bahaya pandemi serta dampak ekonomi akibat wabah flu burung

22
BAHAYA PANDEMI DAN PENULARAN SERTA CARA PENANGGULANGAN WABAH FLU BURUNG (AVIAN INFLUENZA) Nanda Subhan 0707101010114 A-07 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA DARUSSALAM BANDA ACEH ABSTRAK Dewasa ini virus H5N1 atau yang lazim dikenal sebagai virus flu burung (Avian Influenza) telah mewabah dimana – mana. Virus ini pada awalnya hanya menginfeksi unggas. Namun akhir – akhir ini diberitakan bahwa ada manusia yang telah terserang virus flu burung,bahkan virus ini telah mengakibatkan kematian manusia yang telah terinfeksi virus ini. Indonesia tergolong kawasan yang rawan terhadap serangan flu burung. Hal ini disebabkan karena pada umumnya unggas berada di sekitar peternakan rakyat,yang umumnya berskala kecil. Melihat kondisi ini, maka perlu diadakan usaha pengendalian wabah flu burung ini agar flu burung yang pada awalnya bersifat pandemic tidak berubah menjadi endemik.

Upload: miswardwardzone

Post on 01-Dec-2015

181 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

bahaya pandemi serta kerugian flu burung

TRANSCRIPT

BAHAYA PANDEMI DAN PENULARAN SERTA CARA PENANGGULANGAN WABAH FLU BURUNG (AVIAN

INFLUENZA)

Nanda Subhan0707101010114

A-07

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA

DARUSSALAM BANDA ACEH

ABSTRAK

Dewasa ini virus H5N1 atau yang lazim dikenal sebagai virus flu

burung (Avian Influenza) telah mewabah dimana – mana. Virus ini pada

awalnya hanya menginfeksi unggas. Namun akhir – akhir ini

diberitakan bahwa ada manusia yang telah terserang virus flu

burung,bahkan virus ini telah mengakibatkan kematian manusia yang

telah terinfeksi virus ini. Indonesia tergolong kawasan yang rawan

terhadap serangan flu burung. Hal ini disebabkan karena pada

umumnya unggas berada di sekitar peternakan rakyat,yang umumnya

berskala kecil. Melihat kondisi ini, maka perlu diadakan usaha

pengendalian wabah flu burung ini agar flu burung yang pada awalnya

bersifat pandemic tidak berubah menjadi endemik.

Keyword: Avian influenza,Virus H5N1, Pandemi, patofisiologi, Penanggulangan

PENDAHULUAN

Penyakit influensa unggas

(avian influenza), atau lebih dikenal

sebaga“wabah flu burung”, pertama

kali dilaporkan pada tahun 1878

sebagai wabah yangmenjangkiti ayam

dan burung di Italia (Perroncito, 1878),

yang disebut juga sebagai“Penyakit

Lombardia” mengikuti nama sebuah

daerah lembah di hulu sungai

Po.Meskipun di tahun 1901 Centanini

dan Savonucci berhasil

mengidentikfikasi organisme mikro

yang menjadi penyebab penyakit

tersebut, baru di tahun 1955 Schafer

dapat menunjukkan ciri-ciri organisme

itu sebagai virus influensa A (Schafer,

1955). Dalam penjamu alami yang

menjadi reservoir virus flu burung,

yaitu burung-burung liar, infeksi yang

terjadi biasanya berlangsung tanpa

gejala (asimtomatik) karena virus

influensa A itu dari jenis yang

berpatogenisitas rendah dan hidup

bersama secara seimbang dengan

penjamu-penjamu tersebut (Webster,

1992, Alexander, 2000).

Dalam beberapa hari terakhir,

wilayah Indonesia kembali dilanda

wabah flu burung. Masyarakat pun

ramai membicarakan flu burung yang

telah nyata-nyata menelan korban

manusia. Seperti kita ketahui, dari

tahun ke tahun jumlah korban semakin

bertambah. Flu burung pertama kali

dilaporkan di Indonesia pada bulan

Agustus 2003. Sampai dengan awal

Februari 2006, virus ini dilaporkan

menjadi endemik di 26 propinsi di

Indonesia. Pada akhir Januari 2007,

tercatat sudah terjadi 81 kasus flu

Burung, dimana 63 diantara

penderitanya meninggal dunia

(sumber: depkes). Indonesia kini

menempati peringkat teratas di dunia

dalam hal ancaman pandemi flu

burung.

KARAKTERISTIK DAN

MORFOLOGI VIRUS FLU

BURUNG

Virus flu burung

tergolong virus influenza tipe

A. Virus Influenza tipe A dapat

menginfeksi spesieshewan

seperti burung,babi,kuda,ikan

paus dan singa laut. Virus

Influenza memiliki 8 segmen

RNA dengan panjang 12-15

ribu pasang basa. Influenza A

bentuknya bulat atau filamen

dengan diameter 50-120

nanometer x 200-300

nanometer. Tiap virus memiliki

50 paku (spike) yang

mengandung protein HA (80%)

dan NA(20%). Keduanya

berfungsi sebagai antigen

yang mempengaruhi antibodi.

Protein HA: berperan dalam

proses attachment virus

dengan sel, yaitu berinteraksi

langsung dengan reseptor

yang ada di permukaan sel.

Protein NA: sebagai perusak

reseptor dengan memotong

asam sialat dari reseptor.

Proses ini penting untuk

pelepasan virus dari sel

(budding). Influenza A dibagi

menjadi beberapa subtipe

berdasarkan sifat antigen dari

protein haemagglutinin (H)

dan neuraminidase (N).

Sampai saat ini ditemukan 15

jenis H (H1-H15) dan 9 jenis N

(N1-N9). Virus avian influenza

mati dengan pemanasan 56

derajat Celsius selama tiga

jam atau 60 derajat Celsius

selama 30 menit

PATOGENESA

Mutasi genetik virus avian

influenza seringkali terjadi sesuai

dengan kondisi dan lingkungan

replikasinya. Mutasi gen ini tidak saja

untuk mempertahankan diri akan tetapi

juga dapat meningkatkan sifat

patogenisitasnya. Penelitian terhadap

virus H5N1 yang diisolasi dari pasien

yang terinfeksi pada tahun 1997,

menunjukkan bahwa mutasi genetik

pada posisi 627 dari gen PB2 yang

mengkode ekspresi polymesase basic

protein (Glu627Lys) telah

menghasilkan highly cleavable

hemagglutinin glycoprotein yang

merupakan faktor virulensi yang dapat

meningkatkan aktivitas replikasi virus

H5N1 dalam sel hospesnya (Hatta M,

et. al. 2001). Disamping itu adanya

substitusi pada nonstructural protein

(Asp92Glu), menyebabkan H5N1

resisten terhadap interferon dan tumor

necrosis factor α (TNF-α) secara

invitro (Seo SH, et.al. 2002). Infeksi

virus H5N1 dimulai ketika virus

memasuki sel hospes setelah terjadi

penempelan spikes virion dengan

reseptor spesifik yang ada di

permukaan sel hospesnya. Virion akan

menyusup ke sitoplasma sel dan akan

mengintegrasikan materi genetiknya di

dalam inti sel hospesnya, dan dengan

menggunakan mesin genetik dari sel

hospesnya, virus dapat bereplikasi

membentuk virion-virion baru, dan

virion-virion ini dapat menginfeksi

kembali sel-sel disekitarnya. Dari

beberapa hasil pemeriksaan terhadap

spesimen klinik yang diambil dari

penderita ternyata avian influenza

H5N1 dapat bereplikasi di dalam sel

nasofaring (Peiris JS,et.al. 2004), dan

di dalam sel gastrointestinal (de Jong

MD, 2005, Uiprasertkul M,et.al.

2005). Virus H5N1 juga dapat

dideteksi di dalam darah, cairan

serebrospinal, dan tinja pasien

(WHO,2005). Fase penempelan

(attachment) adalah fase yang paling

menentukan apakah virus bisa masuk

atau tidak ke dalam sel hospesnya

untuk melanjutkan replikasinya. Virus

influenza A melalui spikes

hemaglutinin (HA) akan berikatan

dengan reseptor yang mengandung

sialic acid (SA) yang ada pada

permukaan sel hospesnya. Ada

perbedaan penting antara molekul

reseptor yang ada pada manusia

dengan reseptor yang ada pada unggas

atau binatang. Pada virus flu burung,

mereka dapat mengenali dan terikat

pada reseptor yang hanya terdapat

pada jenis unggas yang terdiri dari

oligosakharida yang mengandung N-

acethylneuraminic acid α-2,3-galactose

(SA α-2,3-Gal), dimana molekul ini

berbeda dengan reseptor yang ada

pada manusia. Reseptor yang ada pada

permukaan sel manusia adalah SA α-

2,6-galactose (SA α-2,6-Gal), sehingga

secara teoritis virus flu burung tidak

bisa menginfeksi manusia karena

perbedaan reseptor spesifiknya.

Namun demikian, dengan perubahan

hanya 1 asam amino saja konfigurasi

reseptor tersebut dapat dirubah

sehingga reseptor pada manusia

dikenali oleh HPAI-H5N1. Potensi

virus H5N1 untuk melakukan mutasi

inilah yang dikhawatirkan sehingga

virus dapat membuat varian-varian

baru dari HPAI-H5N1 yang dapat

menular antar manusia ke manusia

(Russel CJ and Webster RG.2005,

Stevens J. et. al. 2006).

PENULARAN FLU BURUNG

Proses penyebaran flu burung

belum sepenuhnya dipahami. Bebek

dan angsa yang merupakan ordo

Anseriformes serta flu burung camar

dan burung laut dari ordo

Charadriiformes adalah pembawa

(carrier) virus influenza A subtipe H5

dan H7. Virus yang dibawa oleh

unggas ini umumnya kurang ganas

(LPAIV). Unggas air liar ini juga

menjadi reservoir alami untuk semua

virus influenza. Diperkirakan

penyebaran virus flu burung karena

adanya migrasi dari unggas liar

tersebut. Beberapa cara penularan

virus flu burung yang mungkin

terjadi :

A. Penularan Antar Unggas

Flu burung dapat menular

melalui udara yang tercemar virus

H5N1 yang berasal dari kotoran

unggas yang sakit. Penularan juga bisa

terjadi melalui air minum dan pasokan

makanan yang telah terkontaminasi

oleh kotoran yang terinfeksi flu

burung. Di peternakan unggas,

penularan dapat terjadi secara mekanis

melalui peralatan, kandang, pakaian

ataupun sepatu yang telah terpapar

pada virus flu burung (H5N1) juga

pekerja peternakan itu sendiri. Jalur

penularan antar unggas di peternakan,

secara berurutan dari yang kurang

berisiko sampai yang paling berisiko

adalah melalui :

a) Pergerakan unggas yang

terinfeksi

b) Kontak langsung selama

perjalanan unggas ke tempat

pemotongan

c) Lingkungan sekitar (tetangga)

dalam radius 1 km

d) Kereta/lori yang digunakan

untuk mengangkut makanan,

minuman unggas dan lain-lain

e) Kontak tidak langsung saat

pertukaran pekerja dan alat-alat

B. Penularan dari Unggas Ke

Manusia

Penularan virus flu burung dari

unggas ke manusia dapat terjadi ketika

manusia kontak dengan kotoran

unggas yang terinfeksi flu burung, atau

dengan permukaan atau benda-benda

yang terkontaminasi oleh kotoran

unggas sakit yang mengandung virus

H5N1.

Orang yang berisiko tinggi tertular flu

burung adalah :

a) Pekerja di peternakan ayam

b) Pemotong ayam

c) Orang yang kontak dengan

unggas hidup yang sakit atau

terinfeksi flu burung

d) Orang yang menyentuh produk

unggas yang terinfeksi flu

burung

e) Populasi dalam radius 1 km

dari lokasi terjadinya kematian

unggas akibat flu burung

C. Penularan Antar Manusia

Pada dasarnya sampai saat ini,

H5N1 tidak mudah untuk menginfeksi

manusia dan apabila seseorang

terinfeksi, akan sulit virus itu menulari

orang lain. Pada kenyataannya,

penularan manusia ke manusia,

terbatas, tidak efisien dan tidak

berkelanjutan. Menurut WHO, pada

2004 di Thailand dan 2006 di

Indonesia, diduga terjadi adanya

penularan dari manusia ke manusia

tetapi belum jelas. 3 Model penularan

ini perlu diantisipasi secara serius

karena memiliki dampak yang sangat

merugikan dan mengancam kesehatan,

kehidupan sosial, ekonomi dan

keamanan manusia. Hal ini sangat

mungkin terjadi karena virus flu

burung memiliki kemampuan untuk

menyusun ulang materi genetik virus

flu burung dengan virus influenza

manusia sehingga timbul virus

Influenza subtipe baru yang sangat

mudah menular (reassortment).

D. Penularan dari Lingkungan ke

Manusia

Secara teoritis, model

penularan ini dapat terjadi oleh karena

ketahanan virus H5N1 di alam atau

lingkungan. Sampai saat ini belum

diketahui secara pasti mekanisme

penularan flu burung pada manusia

namun diperkirakan melalui saluran

pernapasan karena dari hasil penelitian

didapatkan reseptor H5N1 pada

saluran napas manusia terutama

saluran napas bagian bawah dan setiap

orang memiliki jumlah reseptor yang

berbeda-beda, sedangkan pada saluran

percernaan ditemukan reseptor dalam

jumlah yang sangat sedikit namun

belum bisa dibuktikan penularan flu

burung melalui saluran pencernaan dan

ada referensi yang mengatakan bahwa

reseptor H5N1 pada manusia hanya

terdapat pada saluran pernapasan jadi

hal ini masih diperdebatkan. Kotoran

unggas, biasanya kotoran ayam yang

digunakan sebagai pupuk, menjadi

salah satu faktor risiko penyebaran flu

burung. Penyakit ini dapat menular

melalui udara yang tercemar virus

H5N1 yang berasal dari kotoran atau

sekret burung/unggas yang menderita

flu burung. Penularan unggas ke

manusia juga dapat terjadi jika

manusia telah menghirup udara yang

mengandung virus flu burung (H5N1)

atau kontak langsung dengan unggas

yang terinfeksi flu burung.

E. Penularan ke Mamalia Lain

Virus flu burung (H5N1) dapat

menyebar secara langsung pada

beberapa mamalia yang berbeda yaitu

babi, kuda, mamalia yang hidup di

laut, familia Felidae (singa, harimau,

kucing) serta musang (stone marten).

BAHAYA PANDEMI

Ada tiga syarat yang harus dipenuhi

untuk menandai awal terjadinya

pandemi:

a) Sebuah virus subtipe HA, yang

tidak pernah menyerang

manusia minimal satu

generasi, kini muncul (atau

muncul kembali).

b) Menginfeski serta mengalami

replikasi secara efisien dalam

tubuh manusia.

c) Secara mudah menyebar dan

bertahan dalam populasi

manusia.

Ini menunjukkan bahwa ancaman

terjadinya pandemi influensa baru

pada manusia bukanlah secara khusus

terkait dengan minculnya HPAI H5N1.

Sebegitu jauh, H5N1 hanya memenuhi

dua dari tiga syarat di atas: artinya,

untuk sebagian besar umat manusia

ada subtipe baru dan sudah menular

serta menimbulkan penyakit yang

berat dan sangat mematikan, dengan

kematian yang l40 kasus sampai sat

ini. Pada sebagian besar manusia tidak

ada kekebalan terhadap virus sejenis

H5N1. Sebuah pandemi baru sudah di

ambang pintu seandainya H5N1 garis

Asia berhasil memperoleh sifat-sifat

yang memungkinkan ia dapat menular

secara efisien dan bertahan dari

manusia ke manusia. Baik sifat-sifat

itu diperoleh melalui adaptasi secara

berangsur ataupun melalui reasortasi

dengan virus yang sudah beradaptasi

dalam tubuh manusia (Guan 2004).

Secara in vitro sudah dibuktikan

bahwa dua pertukaran asam amino

yang berlangsung simultan yang

terjadi pada reseptor

tempat penggabungan protein HA dari

virus HPAI H5N1 garis Asia (Q226L

dan G228S) mengoptimalkan

ikatannya kepada reseptor tipe 2-6

pada manusia seperti yang dimiliki

oleh virus influenas A yang sudah

beradaptasi dalam tubuh manusia

(Harvey 2004). Gambaryan et al

(2006) berhasil mengidentifikasi dua

isolat virus manusia yang berasal dari

ayah dan anak laki-lakinya yang telah

terinfeksi H5N1 di Hong Kong pada

tahun 2003, yang berbeda dengan

semua isloat H5N1 lainnya yang

diperoleh dari manusia dan unggas,

menunjukkan afinitas yang lebih tinggi

terhadap resseptor 2-6 akibat telah

terjadi mutasi S227N secara unik pada

tempat penggabungan di reseptor HAI.

Pandemi mungkin kini sudah di

ambang pintu, atau bahkan sudah

terjadi ketika anda membaca naskah

ini. Tidak seorang pun dapat

meramalkannya. Kemungkinan hal

seperti itu terjadi berkorelasi langsung

dengan jumlah virus yang beredar di

unggas, dan dengan demikian juga

berarti dengan besarnya kemungkinan

manusia terpapar. Oleh karena itu

keberhasilan membasmi H5N1 pada

sumbernya akan menurunkan risiko

pandemi oleh virus ini. Ada perkiraan,

yang dibahas di email dan juga

berbagai forum diskusi, bahwa cukup

dengan investasi sebesar 10% dari

dana yang disediakan untuk

mengembangkan vaksin manusia yang

spesifik H5, akan mempunyai efek

yang lebih besar jika digunakan untuk

membasmi H5N1 pada unggas dalam

upaya mencegah wabah H5N1 pada

manusia.

Sejak pertama kali H5N1 dapat

diisolasi dari manusia di tahun 1997,

virus ini belum berhasil menyelesaikan

langkah terakhir (yaitu menyebar

secara mudah serta mampu bertahan

pada manusia) dalam memenuhi tiga

syarat di atas untuk dapat menjadi

pandemi di kalangan manusia. Tetapi

penelitian mutakhir belum lama ini

menunjukkan bahwa dari tahun ke

tahun virulensi H5N1 pada mamalia

makin meningkat dan jenis penjamu

pun makin meluas:

• H5N1 yang diisolasi dari

bebek domestik yang nampak

sehat di daratan China dari

tahun 1999 sampai 2002, dan

juga di Vietnam sejak 2003

secara preogresif makin

patogenik terhadap mamalia

(Chen 2004).

• H5N1 telah memperluas jenis

penjamu, dan secara alami

telah menulari dan

membunuh beberapa spesies

mamalia (kucing, harimau)

yang sebelumnya dianggap

resisten terhadap infeksi virus

influensa unggas.

Meskipun demikian, jangan

sampai kita lengah karena sementara

kita terlalu memusatkan perhatian

kepada situasi H5N1 di Asia, virus

influensa lain yang mungkin lebih

mempunyai potensi untuk

menimbulkan pandemi dapat saja

muncul. Misalnya beberapa strain dari

subtipe H9N2 yang sebelum tahun

1980-an belum ditemukan di Asia, kini

bukan saja mulai meluas di antara

populasi unggas di Asia tetapi juga

telah melintas ke populasi babi di

bagian tenggara dan timur China

(Shortridge 1992, Peiris 2001, Xu

2004). Reseptor dari virus-virus ini

menunjukkan kesamaan dalam ciri-ciri

spesifiknya dengan virus yang telah

beradaptasi dengan manusia (Li

2005b, Matrosovich 2001). Viru-virua

H9 ini mempunyai penjamu yang luas,

dan secara genetik beragam serta dapat

secara langsung menginfeksi manusia.

Strain H9N2 yang telah menginfeksi

manusia di Hong Kong, malah

menunjukkan gentipe yang dekat

dengan genotipe virus H5N1 tahun

1997 (Lin 2000).

Adapun fase-fase Pandemi Influenza

adalah sebagai berikut :

TINGKATAN PANDEMI WHO

Periode inter-pandemi

Fase I Tidak adanya subtipe virus

influenza baru pada

manusia, terdapat infeksi

pada binatang (unggas)

dengan risiko rendah pada

penularan manusia.

Fase II Tidak adanya subtipe virus

influenza baru pada

manusia, terdapat infeksi

pada binatang (unggas)

dengan risiko tinggi pada

penularan manusia.

Periode waspada pandemi

Fase III Manusia terinfeksi dengan

virus subtipe baru, tidak

adanya penularan dari

manusia ke manusia.

Fase IV Penularan dari manusia ke

manusia pada klaster kecil

dan terlokalisir pada aren

yang kecil.

Fase V Klaster besar, masih

terlokalisir, virus mulai

beradaptasi ke manusia.

Periode pandemi

Fase VI Penularan yang meningkat

dan transmisi berkelanjutan

pada manusia.

Periode pasca pandemi

PENANGGULANGAN

Pengendalian atau penanggulangan flu

burung yang terbaik adalah mencegah

agar tidak terjadi penularan baik itu ke

hewan maupun manusia. Berikut

adalah hal – hal yang dapat dilakukan

untuk mencegah penularan flu

burung :

a) Hindarilah terpapar/terkena

cairan yang ada pada paruh,

hidung dan mata unggas yang

sakit.

b) Anak-anak mudah tertular flu

burung. Jauhkan dan jangan

dibiarkan bermain dengan

unggas, telur, bulu unggas, dan

lingkungan yang tercemar

kotoran unggas.

c) Buang dan timbunlah dengan

tanah, kotoran unggas yang ada

disekitar rumah.

d) Jangan memegang unggas yang

mati mendadak tanpa sarung

tangan, penutup

hidung/mulut,sepatu/penutup

kaki. Sebaiknya segera kubur

unggas itu.

e) Cuci daging dan telur unggas

sebelum dimasak atau

disimpan di kulkas.

f) Masaklah daging dan telur

unggas sampai matang sebelum

dimakan. Virus flu burung bisa

menular melalui telur atau

daging unggas yang tidak

dimasak sampai matang.

g) Jangan mengkonsumsi daging

unggas yang terkena flu

burung.

h) Bangkai unggas jangan

dijual/dimakan. Segera kubur

agar penyakitnya tidak menular

ke unggas lain, anda sendiri,

keluarga dan tetangga serta

masyarakat luas.

i) Jauhkan kandang unggas dari

rumah tinggal. Kandangkan

unggas dalam kurungan agar

tidak tertular penyakit dari

unggas lain.

j) Pakai penutup hidung/masker

dan kacamata renang (goggle)

jika berada dipeternakan ayam

atau unggas berkumpul.

k) Cuci tangan dengan sabun

setelah memegang unggas atau

telur. Mandi dan cuci pakaian

setelah mengubur unggas mati.

l) Bila ada yang merasa terkena

flu, badan panas, pusing, sesak

napas setelah ada unggas mati

mendadak, segera pergi ke

Puskesmas atau dokter. Jangan

sampai terlambat

KESIMPULANMakna penting peranan virus influensa

unggas (AI) yang sangat patogen

terhadap wabah yang menghancurkan

peternakan unggas secara nyata makin

mejningkat dalam sepuluh tahun

terakhir ini. Bangkitnya virus-virus AI

subtipe H5 dan H7 yang

berpatogenisitas rendah (LP, low

pathogenicity) dari tempat

penampungannya dalam unggas liar

telah menjadi dasar dari proses ini.

Masih harus diteliti apakah benar, dan

mengapa, prevalensi virus H5 dan H7

dalam tempat penampungnya telah

berubah. Dalam hal status endemik

dari H5N1 garis Asia yang

berpatogenisitas tinggi (HPAI) dalam

populasi unggas ternak di Asia

Tenggara, yang juga sering telah

menyebabkan tertularinga unggas

berpindah, sudah saatnya ditinjau

kembali paradigma epidemiologi dan

endemisitas dalam populasi unggas

berpindah. Wabah ini dapat

menimnbulkan kerugian besar

terhadap industri ternak unggas dalam

skala lintas benua. Risiko paparan

pada manusia secara langsung

berhubungan dengan meningkatnya

kehadiran virus yang berpotensi

menular dari hewan ke manusia dalam

unggas ternak.

DAFTAR PUSTAKA

Duhan db.,JF. 2008. Waspada serangan flu burung. http://mikrobia.files.wordpress.com/2008/05/waspada-serangan-flu-burung-3_02.pdf [ diakses pada: 30 september 2010]

Food and agriculture organization (FAO). 2005. Pencegahan dan pengendalian flu burung (avian influenza) pada peternakan unggas skala kecil. http://www.fao.org/docs/eims/upload//241491/ai303id00.pdf [ diakses pada: 30 september 2010]

Kandun IN et al. 2006. Three Indonesian cluster of H5N1 virus infection in 2005. www N Engl J Med. http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMoa060930#t=abstract [ diakses pada: 5 Oktober 2010]

Li LKS et al. 2004. Genesis of a highly pathogenic and potentially pandemic H5N1 influenza virus in eastern asia [abstrak].

Osterholm MT. 2005. preparing for the next pandemic. www N Engl J Med. http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMp058068 [ diakses pada: 5 Oktober 2010]

Pudjiantmoko. 2009. Kasus flu burung subtipe H7 pada burung puyuh di jepang. http://atanitokyo.blogspot.com/2009/03/kasus-flu-burung-subtipe-h7-pada-burung.html

Purwoarminta A. 2007. Pandemi flu burung. http://sutikno.org/index.php?option=com_content&task=view&id=46&Itemid=49

Radji M. 2006. Avian influenza A (H5N1): patogenesis, pencegahan dan penyebaran padamanusia.http://jurnal.farmasi.ui.ac.id/pdf/2006/v03n02/maksum0302.pdf?PHPSESSID=50ac0ac476b31f8693bfbb726df823c1 [ diakses pada: 19 september 2010]

Snacken R et al. 1999. The next influenza pandemic: Lescon from hongkong 1997. http://www.cdc.gov/ncidod/eid/vol5no2/snacken.htm [diakses pada: 5 Oktober 2010]

Utomo BN. 2004. Mengenal penyakit flu burung (avian influenza) dan langkah-langkah penangganannya. http://www.litbang.deptan.go.id/berkas/AI.pdf [ diakses pada: 2 Oktober 2010]

World health organization (WHO). 2005. Avian influenza A (H5N1) infection in humans.www N Engl J Med. http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMra052211 [ diakses pada: 16 september 2010]

World health organization (WHO). 2004. Evolution of H5N1 avian influenza viruses in asia. http://www.cdc.gov/ncidod/EID/vol11no10/05-0644.htm [ diakses pada: 5 oktober 2010