susunan redaksi jurnal sejarah indonesia · nurman candra setiansyah yang membahas dampak wabah flu...

213

Upload: phungdieu

Post on 21-Jun-2019

321 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

SUSUNAN REDAKSI JURNAL SEJARAH INDONESIA

Pimpinan Redaksi : Prof. Nawiyanto (UNEJ) Sekretaris : Dr. Nurul Umamah (UNEJ)

Reviewer : Dr. Purnawan Basundoro (UNAIR)

Prof. Dr. Hariyono (UM) Prof. Dr. Wasino (UNNES) Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono (UNDIP) Dr. Sri Margana (UGM)

Prof. Dr. AjadSudrajad (UNY) Prof. Dr. Hermanu Soebagjo (UNS) Dr. Budi Agustono (USU) Dr. Ida Liana Tanjung (UNIMED) Dr. Bambang Sulistyo (UNHAS) Dr. Linda Sunarti (UI) Prof. Dr. Machasin (UIN Sunan Kalijaga) Prof. Dr. RezaDienaputra (UNPAD) Prof. Dr. H. Ali Mufrodi, M.A. (UIN Sunan Ampel) Prof. Dr. Syukron Kamil, M.A. (UIN Syarif Hidayatullah)

Redaksi Pelaksana : Rully Putri Nirmala Puji, S.Pd., M.Ed. (UNEJ) Muhamad Shokheh, M.A. (UNNES) Rabith Jihan Amaruli, M.Hum. (UNDIP) Ilham Daeng Makkelo, M.A. (UNHAS)

Jurnal ini diterbitkan oleh Perkumpulan Prodi Sejarah se-Indonesia (PPSI) dengan durasi terbitan dua kali setahun pada bulan Mei dan November. Redaksi menerima tulisan dalam bidang penelitian sejarah dan pendidikan sejarah oleh para dosen peneliti dan peminat sejarah untuk diterbitkan dalam jurnal ini

Email : [email protected]

PENGANTAR REDAKSI

Melalui perjalanan panjang dan penuh warna, penerbitan media publikasi sejarah sebagai

salah satu perwujudan kolaborasi kelembagaan program studi sejarah seluruh Indonesia

akhirnya dapat menjadi kenyataan. Media publikasi dengan nama Jurnal Sejarah

Indonesia (JSI) hadir di hadapan sidang pembaca sebagai salah satu wujud kerjasama di

bidang akademis dalam dunia kesejarahan. Kehadiran JSI merupakan realisasi dari

program kerja Perkumpulan Prodi Sejarah se-Indonesia (PPSI), yang diamanatkan oleh

seluruh program studi yang secara kelembagaan menjadi anggota dan menopang

keberadaan perkumpulan profesi sejarah. Melalui penerbitan ini diharapkan jalinan

kerjasama dapat semakin meningkat dan lebih produktif dalam memajukan pengkajian

maupun pengajaran subyek sejarah di Indonesia.

Dalam terbitan edisi perdana ini, JSI menyapa sidang pembaca dengan menyajikan

tulisan-tulisan yang dapat dibagi dalam tiga kelompok besar, yakni historiografi,

(re)konstruksi sejarah, dan didaktika sejarah. Kelompok pertama dengan tema historiografi

hadir melalui tiga tulisan. Tulisan Nawiyanto mengupas pembaharuan historiografi yang

diperjuangkan oleh Aliran Annales yang berawal dari Perancis dan kontribusinya dalam

perkembangan pengkajian sejarah. Tulisan Susanto Zuhdi memetakan perkembangan

historiografi maritim di Indonesia dengan menekankan aspek teoretis, metodologis dan

bahan-bahan pendukungnya, serta mengiskhtisarkan arah dan agenda riset historiografi

maritim Indonesia ke depan. Tulisan ketiga oleh Ivan R.B. Kaunang, yang membahas

tantangan dan peluang dalam pengembangan historiografi (seni) tari Maengket Minahasa

dengan fokus utama terarah pada persoalan sumber dan strategi pemecahannya.

Dalam kelompok kedua yang bisa disebut sebaga sejarah subtantif, tersaji tulisan-

tulisan yang merupakan hasil (re)konstruksi sejarah yang dikerjakan peneliti sejarah sesuai

dengan minat dan perhatian mereka. Tulisan-tulisan dalam kelompok ini cukup beragam.

Tulisan Dhanang Respati Puguh mengkaji perjalanan karier dan perjuangan Nyi Suharni

Sabdowati untuk diakui eksistensinya dalam dunia seni pedhalangan. Tulisan Agus

Suwignyo dan Baha’Uddin membahas implikasi pemindahan ibukota Kabupaten Madiun

bagi upaya menemukan kembali posisi penting Caruban yang pernah (di)hilang(kan).

Sementara itu, tulisan Retno Winarni menyoroti pasang surut sumber penghasilan bupati

di Karesidenan Besuki masa kolonial dan adaptasi yang mereka lakukan terhadap

perubahan sumber dan besaran penghasilan. Dengan fokus pada era yang lebih

kontemporer dan kelompok masyarakat biasa, tulisan IG Krisnadi dan Dewi Salindri

mendiskusikan kondisi sosial-ekonomi dan cara-cara yang dilakukan masyarakat pinggiran

kawasan hutan Meru-Betiri untuk menopang kehidupannya. Berikutnya adalah tulisan

Nurman Candra Setiansyah yang membahas dampak wabah flu burung dan upaya

pengendaliannya di Jawa Timur. Dalam perspektif historis makro, tulisan Sri Ana

Handayani menyoroti transformasi makna dan perubahan orientasi nasionalisme Indonesia

dari era kolonial hingga era reformasi. Kelompok terakhir adalah tulisan bertema didaktika

sejarah, tersaji melalui tulisan Y.R. Surbakti yang mengargumentasikan perlunya

revitalisasi pembelajaran sejarah melalui novel-novel sejarah untuk membuat agar

pengajaran sejarah di sekolah-sekolah menjadi lebih menarik bagi siswa.

Secara realistis harus diakui bahwa penerbitan edisi perdana JSI merupakan

langkah awal yang diambil dengan gelayutan banyak pertanyaan tentang kesinambungan

penerbitannya. Banyak jurnal sejarah yang dikelola secara institusional oleh program studi

maupun himpunan yang telah terbit, namun tidak sedikit yang terengah-engah atau mati-

suri, meskipun semua mengakui penerbitan jurnal merupakan bagian penting atau bahkan

pilar yang menopang kehidupan akademis. Realitas ini menyadarkan pengelola JSI akan

pentingnya komitmen dan vitalnya dukungan secara nyata dalam beragam bentuk baik

dari Pengurus PPSI maupun semua prodi yang menjadi anggotanya. Tanpa komitmen dan

dukungan nyata mereka, terbitan perdana ini dipastikan akan langsung terjerembab dalam

problem klasik tentang kesinambungan penerbitannya. Semoga setelah edisi perdana ini,

edisi-edisi berikutnya dapat menyusul secara teratur sehingga perkembangan dalam riset

dan pengajaran sejarah dapat didokumentasi dan dideseminasikan kepada audiens dengan

jangkauan yang lebih luas.

DAFTAR ISI

Judul dan penulis Halaman

Sumbangan Aliran Annales Dalam Pengkajian Sejarah Nawiyanto

1-16

Historiografi Maritim Indonesia Dalam Perspektif Teori, Metodologi dan Sumber Sejarah: Suatu Pemetaan dan Arah Perkembangan Susanto Zuhdi

17-44

Kearah Penulisan Sejarah (Seni) Tari Maengket: Tantangan Ketersediaan Historiografi Ivan R.B. Kaunang

45-59

Menjadi Seperti Dhalang Laki-Laki: Kiprah Nyi Suharni Sabdowati dalam Dunia Seni Pedhalangan Dhanang Respati Puguh

60-79

Politik Pemerintahan Dan Kebijakan Atas Ruang Dalam Penetapan Ibukota-Baru Kabupaten Madiun: Menemukan Posisi Caruban 1830—2017 Agus Suwignyo dan Baha’Uddin

80-103

Raja Kecil Yang Menjadi Pegawai Pemerintah: Pasang Surut Penghasilan Para Bupati di Karesidenan Besuki Pada Periode 1870-1930-An Retno Winarni

104-130

Dalam Kemurahan Hutan Meru Betiri: Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Penyangga Hutan Meru Betiri tahun 1972-1997 IG Krisnadi dan Dewi Salindri

131-156

Pengendalian Wabah Flu Burung Di Provinsi Jawa Timur Periode 2004-2012 Nurman Candra Setiansyah

157-174

Adaptasi dan Perubahan Nasionalisme di Indonesia Sri Ana Handayani

175-189

Revitalisasi Pembelajaran Sejarah Melalui Kajian Novel Sejarah YR Surbakti

190-208

1

JURNAL SEJARAH INDONESIA

Vol. 1, No. 1, Hal 1-16, Mei 2018

ISSN : 2621-1580

SUMBANGAN ALIRAN ANNALES DALAM PENGKAJIAN SEJARAH

Nawiyanto

Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember Pos-el: [email protected]

ABSTRACT This article examines the Annales school of history. It looks at the background, central figures in the movement, and its influences on the historiography. It is argued that the Annales school fought against the established forms of French historiography dominated by narrative form of political history and made efforts to develop a new kind of history which was more human. In their movement, the Annales scholars called for a close collaboration between history and the other social sciences. This collaboration has brought the Annales to achieve a great success in widening the territory of history by introducing new topics, new sources, and new questions. However, the Annales has been less successful in materializing its ideal of a more human history because some works of Annales scholars has paid too much attention to the inhuman dynamics of structure and conjuncture or even history without human. Keywords: Annales historians, new historiography, contribution, non-political history

ABSTRAK

Artikel ini membahas aliran sejarah Annales. Pembahasan diarahkan pada latar-belakang kemunculannya, tokoh-tokoh kunci dalam gerakan Annales, dan pengaruhnya terhadap historiografi. Dikatakan bahwa aliran Annales memperjuangkan bentuk historiografi Perancis yang mapan yang didominasi oleh bentuk naratif sejarah politik dan melakukan upaya untuk mengembangkan jenis sejarah baru yang lebih manusiawi. Dalam gerakan mereka, para ilmuwan Annales meminta adanya kolaborasi yang erat antara sejarah dan ilmu sosial lainnya. Kolaborasi ini telah membawa Annales meraih sukses besar dalam memperluas wilayah sejarah dengan memperkenalkan topik baru, sumber baru, dan pertanyaan baru. Namun, Annales kurang berhasil mewujudkan cita-citanya tentang sejarah yang lebih manusiawi karena beberapa karya sarjana Annales telah memberi perhatian terlalu besar terhadap dinamika struktur dan konjungtur manusiawi atau bahkan sejarah tanpa manusia. Kata kunci: sejarawan Annales, historiografi baru, kontribusi, sejarah non-politik

2 Vol. 1, No. 1, Hal 1-16, Mei 2018 PENDAHULUAN

Sejarah sebagai studi masa lalu telah mengalami perkembangan yang panjang sejak

zaman klasik ketika Herodotus, bapak sejarah, melakukan upaya serius untuk

membebaskan penulisan sejarah dari dominasi elemen mitos (Gay and Cavanaugh,

1972a:2-3). Upaya ini dilanjutkan oleh Thucydides yang mengembangkan metode kritis

untuk mencapai tulisan sejarah yang lebih akurat. Thucydides, yang sering disebut

sebagai bapak sejarah politik, terkenal dalam upayanya untuk meneliti sumber sejarah

kritis yang dikumpulkan dari para saksi mata. Upaya ini dilakukan dengan menerapkan

teknik cek-silang (cross check) yang sangat penting untuk membangun bukti yang dapat

dipercaya (Gay and Cavanaugh, 1972a:56). Kedua sejarawan perintis telah meletakkan

dasar studi ilmiah tentang sejarah.

Pada periode modern, sejumlah orang juga telah memberikan kontribusi

signifikan terhadap studi sejarah. Sehubungan dengan metode historis, penting untuk

menyebutkan tokoh seperti Lorenzo Valla dan Jean Mabillon yang menekankan sikap

kritis dalam memperlakukan sumber-sumber sejarah. Pentingnya kritik teks, yang

merupakan elemen kunci dalam sejarah kritis, sangat disumbang oleh Valla yang

berhasil mengungkapkan mitos sejarah dalam dokumen gereja (Gay and Cavanaugh,

1972b:1-2). Sementara itu, Mabillon mengembalikan metode sejarah dengan

memperkenalkan diplomatik, sebuah ilmu untuk menentukan otentisitas dokumen.

Menurut Mabillon, penulisan sejarah harus didasarkan pada sumber asli yang telah lulus

melewati serangkaian tes kritis (Gay and Cavanaugh, 1972b:161-162; Kartodirdjo,

1992: 16,128). Hal ini telah merevolusi studi sejarah terutama dalam apa yang sering

disebut sebagai praktik penulisan sejarah.

Dengan adanya revolusi historis tersebut, sebuah asumsi dapat dengan mudah

muncul bahwa tidak perlu lagi ada pembaharuan sejarah. Anggapan demikian kurang

tepat seperti yang ditunjukkan, misalnya, dengan perkembangan aliran sejarah Annales

yang pada awalnya dikembangkan sebagai tanggapan kritis terhadap historiografi yang

telah mapan. Menyebut Annales sebagai 'aliran' sebenarnya juga bermasalah karena

mengandaikan adanya keseragaman suara dalam kelompok ini. Kenyataannya di antara

anggota aliran Annales ada penekanan dan minat yang heterogen dan juga beberapa

generasi telah terlibat dengan kelompok ini. Dengan kata lain, kinerja internal aliran

3 Annales tidak secara simplistis sebagai kelompok homogen yang memiliki satu wajah.

Oleh karena itu, istilah 'aliran' di sini secara longgar digunakan untuk menyebut

sekelompok ilmuwan berbasis Prancis yang memiliki pandangan dan komitmen umum

untuk mengembangkan jenis sejarah baru yang melampaui sejarah politik konvensional

dengan menerapkan pendekatan interdisipliner.

Artikel ini berusaha untuk menguraikan kondisi yang merupakan latar belakang

munculnya aliran Annales. Untuk memahami aliran Annales sebagai sebuah reformasi

di bidang studi sejarah, masuk akal untuk meneliti mengenai keadaan tulisan dan

pemikiran sejarah yang telah terdahulu ada yang ditentang oleh aliran Annales. Hanya

dengan cara ini, dapat diperoleh pemahaman yang lebih baik tentang aliran Annales

sebagai antitesis terhadap pandangan dan bentuk historiografi yang mapan. Selanjutnya,

juga penting untuk membahas masalah teoretis yang diangkat oleh aliran Annales. Pada

artikel ini, penilaian umum sejauh mana aliran Annales berhasil dalam menangani isu

teoretis yang diangkat juga diberikan.

Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode sejarah yang secara umum

meliputi empat tahap pokok, yakni heuristik, kritik sumber, interpretasi dan

historiografi. Sumber penulisan yang dikumpulkan dalam tahap heuristik meliputi

sumber sekunder berupa publikasi yang telah ada dan dilakukan terutama di Menzies

Library, The Australian National Univesity. Informasi yang tersaji dalam sumber-

sumber yang terkumpul didalami dan disikapi secara kritis untuk mendapatkan fakta-

fakta yang dipandang kredibel. Berbagai fakta yang didapat kemudian ditafsirkan dan

disusun menjadi sebuah argumentasi untuk menjelaskan dan menjawab pokok

permasalahan yang telah dirumuskan.

PEMBAHASAN

1. Reaksi terhadap Sejarah Politik Konvensional

Reformasi historis yang dipimpin oleh Ranke telah berkontribusi tidak hanya pada

pembentukan sejarah sebagai profesi modern, namun juga menempatkan sejarah politik

sebagai perhatian utama dalam penulisan sejarah (Powell 1990:xv). Meskipun minat

Ranke tidak terbatas dalam sejarah politik, kampanyenya untuk merekonstruksi sejarah

karena apa yang sebenarnya terjadi (wie est eigentlich gewesen ist) lebih sesuai dengan

4 Vol. 1, No. 1, Hal 1-16, Mei 2018 sejarah semacam ini. Di tangan pendukungnya yang dikelompokkan sebagai aliran

Rankean, tulisan sejarah identik dengan historiografi yang berorientasi pada negara

(Mommsen,1990: 124,139). Penekanan pada bahan arsip sebagai sumber sejarah, tidak

hanya bertanggung jawab atas ketidaktahuan akan sejarah sosial dan budaya, namun

juga menempatkannya pada posisi perifer. Akibatnya, dalam gerakan untuk membuat

sejarah lebih profesional, sejarah non-politik cenderung dikecualikan dari kalangan

akademisi. Perhatian terutama diberikan pada sejarah politik yang berkaitan dengan

peristiwa besar, hubungan diplomatik dan negara (Burke, 1990:7)

Kecenderungan itu juga terjadi di Prancis dimana dominasi sejarah politik

konvensional sangat dirasakan oleh Febvre dan Bloch. Baik Febvre dan Bloch melihat

bahwa studi historis di Prancis yang didominasi oleh Sorbonnistes mengalami stagnasi

yang ditunjukkan oleh kurangnya inovasi dibandingkan dengan studi sejarah di Inggris

dan Amerika Serikat (Hexter, 1979:64-65). Meskipun jumlah sejarawan dan buku

sejarah yang diterbitkan secara kuantitatif masih mengalami peningkatan, perhatian

utama diberikan secara sempit pada dimensi politik. Menghadapi situasi ini, mereka

berusaha mengembalikan tulisan sejarah di Prancis dan mewujudkan obsesi ini dan pada

tahun 1929 mereka mendirikan sebuah jurnal bernama Annales d'histoire economique et

sociale (Ricoeur, 1980:8).

Oleh karena itu, perkembangan aliran Annales pertama-tama harus dilihat

sebagai pemberontakan terhadap dominasi sejarah politik yang berfokus terutama pada

peristiwa besar (Burke, 1990:2). Tulisan sejarah konvensional semacam ini dipandang

kurang memuaskan karena kegagalannya untuk memberikan pemahaman yang memadai

mengenai kompleksitas realitas historis. Kenyataan masa lalu tidak hanya memuat

perang, hubungan diplomatik, orang-orang hebat, kebijakan politik, dan negara, namun

juga menganut aspek ekonomi seperti kepemilikan tanah, pertanian, perdagangan; aspek

sosial seperti kategori sosial mulia, petani, dan pekerja, hubungan kelas antara mereka;

dan aspek budaya seperti kesadaran, religiusitas, mentalitas. Singkatnya, realitas historis

jauh lebih rumit daripada sekedar isu-isu politik.

Gerakan Annales berkomitmen untuk mengalihkan perhatian para sejarawan dan

kepentingan dan membawa mereka menjauh dari sejarah politik yang sempit menuju

'sejarah yang lebih luas dan lebih manusiawi' (Bloch, 1976:v). Dengan kata lain, aliran

Annales ingin mengganti fokus sejarah agar bisa lebih merepresentasikan kompleksitas

5 realitas manusia di masa lalu. Meskipun kritik semacam itu pada dasarnya tidak asli ke

aliran Annales --- seperti juga yang ditemukan pada gagasan Sainte-Beuve dan Michelet

sebelumnya, kepada siapa Febvre dan Bloch berutang --- kritik yang diajukan oleh

Annales sangat kuat dan membentuk gerakan kolektif. berlangsung dalam waktu yang

relatif lama dan merangkul setidaknya tiga generasi.

Kritik mereka secara khusus ditujukan kepada Langlois dan Seignobos yang

sering diidentifikasi sebagai simbol bentuk historiografi Prancis yang mapan (Burke,

1990:10). Baik Febvre dan Bloch memberikan reaksi terhadap pandangan sejarah yang

mapan yang tercermin dalam pendahuluan aux etudes historiques oleh Langlois dan

Seignobos, yang diterbitkan dalam bahasa Inggris sebagai Introduction of Study of

History. Febvre mempublikasikan reaksinya di Combats pour l'histoire, sementara

kritik Bloch dipublikasikan di Apologie pour l'histoire ou metier. Secara umum, kritik

mereka ditujukan kepada apa yang mereka sebut 'historisasi sejarah' atau 'sejarah

positivis' (Riceour, 1980:80; Gay and Cavanaugh, 1975:107).

Menurut Ricoeur, istilah 'positivis' yang digunakan dalam konteks itu tidak

merujuk pada filsafat positivis Comte, tetapi pada serangkaian konotasi. Hal ini

terutama terkait dengan objektivitas historis, pengamatan netral, kritik terhadap

dokumen, fakta sejarah siap pakai, bentuk sejarah naratif-kronologis, sejarah orang-

orang besar, dan individualisme metodologis (Riceour, 1980:80). Annales bertempur

melawan apa yang Simian sebut sebagai 'berhala dari suku sejarawan'. Menurut Simian,

tiga berhala yang pokok yang secara kronis menginfeksi sejarawan adalah berhala

politik yang melebih-lebihkan pentingnya peristiwa politik, berhala individu yang hanya

menekankan pada orang-orang hebat, dan berhala kronologis yang menyebabkan

perangkap narativisme (Burke, 1990:2). Kelemahan-kelemahan ini merupakan target

menengah yang Ecole des Annales menetapkannya sendiri sebagai tugas

pembongkaran. Sasaran selanjutnya pada dasarnya adalah mengembangkan jenis

sejarah baru.

Kelompok Annales mengkritik pandangan yang mapan karena terlalu

menekankan pentingnya dokumen dan karenanya mengabaikan peran penting

sejarawan. Langlois dan Seignobos berpendapat bahwa sejarah hanyalah pemanfaatan

dokumen (Langlois and Seignobos, 1966:316). Berbeda dengan pandangan ini, Bloch

menekankan peran sentral sejarawan dalam praktik sejarah, tidak hanya materi pokok

6 Vol. 1, No. 1, Hal 1-16, Mei 2018 dan dokumen (Bloch, 1976:144). Bloch berpendapat bahwa sejarah bukan hanya

masalah pengumpulan, kritik dan penggunaan dokumen, dan fakta yang terkumpul akan

berbicara secara otomatis sendiri. Menurut Bloch, fakta sejarah belum tersedia secara

otomatis dalam dokumen dan juga sejarah belum ditulis dalam dokumen. Sejarawan

harus mengambil inisiatif untuk mengajukan pertanyaan yang serius kepada dokumen,

menganalisis dan mensintesis fakta yang terkumpul dengan konsepsi dan peralatan

mentalnya (Bloch, 1976:64).

Itu menjadi alasan mengapa Bloch tidak setuju dengan pandangan yang

mendefinisikan sejarah sebagai ilmu masa lalu (Bloch, 1976:22-27). Sejarah, menurut

Bloch, adalah ilmu manusia dalam waktu. Sejarawan memiliki posisi penting

sebagaimana tercermin dalam pernyataannya bahwa tidak ada sejarah, tetapi sejarawan.

Dengan semangat yang sama, Febvre mendefinisikan sejarah sebagai ilmu pengetahuan

masa lalu dan masa kini (Riceour, 1980:8-9). Pengamatan masa lalu, menurut Febvre,

selalu dipengaruhi oleh interferensi terus menerus antara masa lalu dan masa kini.

Peristiwa terkini dan pola kerjanya dapat digunakan untuk menjelaskan pengalaman

masa lalu dan sebaliknya. Ini juga sejajar dengan pandangan Bloch bahwa sejarah

adalah pengetahuan tentang rel yang ditinggalkan oleh semua aktivitas di masa lalu, dan

pengetahuan tentang masa lalu selalu disempurnakan dan diubah oleh interpretasi jejak

(Bloch, 1976:52-57; Du Boulay, 1967:x). Pengamatan netral, menurut Bloch, meski

mungkin, tidak pernah produktif bagi perkembangan sains (Bloch, 1976:65).

Aliran Annales juga bereaksi terhadap semangat spesialisasi dalam sejarah.

Semangat ini telah membagi sejarah menjadi topik dan periode yang sering dipisahkan

satu sama lain. Berbeda dengan pandangan mapan yang mendorong secara signifikan

spesialisasi dalam sejarah (Langlois and Seignobos, 1966:317-318), Aliran Analles

mengkritik pandangan ini sebagai sesuatu yang tidak realistis karena menciptakan

hambatan untuk mencapai pemahaman masyarakat manusia yang lebih baik.

Masyarakat manusia hanya dapat sepenuhnya dipahami melalui perlakuan holistik

mengingat adanya keterkaitan satu periode dengan periode lainnya dan satu aspek

dengan aspek lain. Oleh karena itu, Bloch berpendapat bahwa sejarah harus dipandang

secara keseluruhan (Strayer, 1976:ix). Kelompok Annales memperkirakan bahwa studi

ilmiah di masa lalu mencoba untuk mengungkapkan secara komprehensif dimensi multi

masyarakat manusia.

7

Dengan kata lain, aliran Annales menyarankan sejarawan untuk menulis sejarah

total yang mempelajari masyarakat secara keseluruhan dan menghilangkan batas-batas

yang ada antara disiplin akademis untuk menciptakan ‘satu ilmu pengetahuan manusia'

(Hobsbawm, 1972:3-5; Green, 1993:170). Perhatian yang sempit terhadap apa yang

diremehkan Febvre sebagai sejarah yang berorientasi pada event, histoire

evenementielle (Gilderhus, 1996:123-124) hanya akan membahayakan posisi sejarah di

antara ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat manusia. Menyadari bahaya ini,

Annales mengeksplorasi dan mengembangkan jenis sejarah baru yang didukung oleh

ilmu sosial. Hasilnya adalah sejarah total, sejarah yang berorientasi pada masalah,

sejarah komparatif, sejarah psikologi, geo-sejarah, sejarah jangka panjang, sejarah

serial, antropologi sejarah (Burke, 1990: 110; Le Goff, 1972: 340).

Oleh karena itu, bentuk sejarah naratif harus ditinggalkan. Bentuk ini terutama

didasarkan pada garis kronologis (Langlois and Seignobos, 1966:310), dipandang oleh

kelompok Annales tidak cukup memadai karena kegagalannya untuk merepresentasikan

realitas historis secara keseluruhan. Model ini hanya memberikan pemahaman dangkal

tentang aspek deskriptif, bukan dimensi penyebab. Pemahaman yang lebih baik tentang

masyarakat masa lalu memerlukan bentuk penulisan sejarah analitis. Kelompok Annales

berpendapat bahwa ini tidak dapat dicapai dengan pendekatan individual, namun hanya

dengan pendekatan interdisipliner. Dalam konteks ini, sejarawan perlu meminjam

kerangka teoretis dari disiplin lain dalam menganalisis subyek mereka. Oleh karena itu,

logis bahwa Annales selalu mendorong kolaborasi yang erat antara sejarah dan ilmu

sosial lainnya seperti geografi, sosiologi, ekonomi, antropologi (Burke, 1990: 2, 110-

111). Kolaborasi ini dipandang sebagai instrumen vital untuk melengkapi sejarawan

dengan alat analisis yang tepat.

Aliran Annales telah menandai sebuah era baru dalam pengembangan

historiografi Prancis. Di bawah pengaruh Aliran Annales, historiografi Perancis telah

menunjukkan kontras yang mencolok dengan periode sebelumnya. Pengaruh aliran

Annales tidak hanya tersebar di Prancis, tapi juga di berbagai negara asing. Kenyataan

ini menjadi alasan bagi Burke untuk menyebut gerakan Annales sebagai revolusi

historiografi Prancis. Pernyataan serupa juga telah diberikan oleh seorang sejarawan

Indonesia yang menunjukkan bahwa penerapan pendekatan interdisipliner dalam sejarah

telah menandai dimulainya revolusi kedua dalam metodologi historis setelah revolusi

8 Vol. 1, No. 1, Hal 1-16, Mei 2018 pertama dimulai dengan penerapan diplomatik yang diperkenalkan oleh Mabillon

(Kartodirdjo, 1992:128).

2. Fase Perkambangan Annales dan Tokoh-Tokohnya

Perkembangan Aliran Annales pada umumnya dapat dibagi menjadi tiga fase, seperti

yang disarankan oleh Burke. Tahap pertama antara tahun 1920 dan 1945 ditandai oleh

sebuah pertarungan yang dipimpin oleh Bloch dan Febvre melawan ortodoksi penulisan

sejarah yang didominasi oleh sejarah politik, sejarah diplomatik dan sejarah orang-

orang hebat. Tahap kedua yang mencakup periode 1945-1968 terutama diwarnai oleh

Braudel yang mempromosikan konsep khas struktur dan konjungtur dalam sejarah

perubahan jangka panjang (Burke, 1990:2). Periode ketiga yang dimulai pada tahun

1969 ditunjukkan oleh pengaruh dominan Annales. Namun, dalam fase ini, fragmen

yang menjadi kepentingan kelompok Annales berlangsung. Terlepas dari mereka yang

masih melanjutkan perhatian yang sama dengan fase sebelumnya, beberapa anggota

telah mengalihkan perhatian mereka dari sejarah sosio-ekonomi ke sejarah sosio-

kultural. Bahkan, beberapa anggota telah menemukan antusiasme baru untuk

mempelajari sejarah politik (Burke, 1990:2-3).

Tiga tokoh terkemuka yang terkait dengan Aliran sejarah Annales adalah Lucien

Febvre, March Bloch dan Fernand Braudel. Angka-angka ini telah memberikan

kontribusi luar biasa terhadap prestise intelektual yang dinikmati oleh kelompok

Annales. Sumbangan tertentu kadang-kadang dikaitkan secara berbeda dengan masing-

masing karena perbedaan dalam kepentingan dan kepentingan utama mereka, walaupun

kenyataannya mereka dalam kerjasama yang erat sebagai gerakan kolektif untuk

mereformasi penelitian ini. Sejarah dan menempatkannya sebagai disiplin ilmiah.

memiliki posisi dan status paralel dengan disiplin akademis lainnya.

Febvre menikmati pendidikan tinggi di Ecole Normale Superieure yang

ceramahnya dilakukan dengan metode seminar. Pikirannya dipengaruhi oleh beberapa

tokoh seperti Bergson, Levy-Bruhl dalam filsafat, Maillet dalam linguistik, Bremon

tentang sastra dan Emie Male dalam sejarah seni (Burke, 1973:ix-x). Akan tetapi, Paul

Vidal de la Blache adalah tokoh terbesar yang sangat mempengaruhi Febvre dan

menarik perhatiannya pada geografi. Pengaruh ini tercermin dalam tesisnya, Philippe II

et la Franche-Comte (1911) tentang terutama dengan geografi sejarah. dan lingkungan

9 sosio-ekonomi. Ketertarikannya yang dalam pada geografi membuat dia mengeksplorasi

hubungan antara geografi dan sejarah dan sebagai salah satu hasilnya, Febvre (1925)

menerbitkan sebuah buku, A Geographical Introduction to History.

Karya itu menciptakan fondasi di mana aliran Annales memiliki akar

ketertarikan dan perhatian yang mendalam untuk mempertimbangkan lingkungan fisik

dalam studi sejarah. Meskipun Febvre menunjukkan pentingnya dimensi geografis dan

mendorong sejarawan secara aktif menulis sejarah geo, Febvre sendiri bukanlah

pendukung determinisme geografis. Pentingnya dimensi geografis juga digarisbawahi

oleh Braudel, dan saat ini, ini lebih populer dikaitkan dengan dia karena publikasi karya

monumentalnya di Dunia Laut Tengah.

Kontribusi Febvre sering dikaitkan dengan ketertarikannya pada psikologi

sosial. Dia menekankan secara konsisten pentingnya penjelasan psikologis dalam

sejarah (Manuel, 1972:215-217). Dalam studinya tentang reformasi, dia menunjukkan

bahwa sejarah agama bukanlah tentang institusi agama, tapi sejarah gagasan dan emosi

religius orang-orang yang terkait erat dengan perubahan ekonomi dan sosial. Oleh

karena itu, Febvre menantang gagasan reformasi yang hanya terkait dengan Luther dan

berbagai pelanggaran yang terjadi dalam kehidupan gereja. Menurut Febvre, reformasi

pada dasarnya merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan spiritual baru dari

kelompok sosial yang sedang naik daun, kaum borjuis. Sehubungan dengan ini, Febvre

telah berhasil menunjukkan kemampuannya untuk memanfaatkan karya seni dan sastra

Prancis yang tersedia. Dengan menggunakan sumber ini, Febvre berhasil

mengeksplorasi dan mengelaborasi kesadaran kolektif berdasarkan karakteristik mental

dan psikologis kelompok sosial (Burke, 1973:xii-xiii).

Penekanannya pada sejarah psikologis dapat ditemukan dalam berbagai karya.

Di antara karya-karyanya, The Problem of Unbelief in the Sixteenth Century, dipandang

sebagai karya monumental (Febvre, 1975:110-142). Karya-karyanya mengenai sejarah

psikologis, yang menunjukkan pengaruh Levy Bruhl, mencerminkan pendekatannya

yang dengannya Febvre memahami realitas historisnya. Pendekatan ini, menurut

Febvre, menjanjikan sejarawan dengan cara terbaik untuk memahami dunia sensibilitas

dalam kehidupan manusia. Dunia ini memeluk keyakinan, harapan, ketakutan, dan cinta

yang hanya bisa direkonstruksi oleh alat bantu psikologi, linguistik, antropologi, filsafat

dan menggunakan metode empati (Gay and Cavanaugh, 1975:107). Febvre memiliki

10 Vol. 1, No. 1, Hal 1-16, Mei 2018 pengaruh signifikan terhadap gagasan pengembangan Foucault. Hal ini dapat ditemukan

setidaknya dalam perhatian Foucault tentang silsilah yang menunjukkan kemiripan

dengan sejarah mentalitas dan tren jangka panjang (Burke, 1990:102).

Sama seperti Bloch, Febvre juga memberi contoh pergeseran fokus analisis

historis dari individu ke entitas kolektif (Iggers, 1975:45-51), yang mencerminkan

secara kuat pengaruh Durkheim yang menggarisbawahi keunggulan masyarakat

daripada individu. Dengan pergeseran ini, aliran Annales telah memperlakukan berbagai

kelompok sosial yang sebelumnya diabaikan dalam tulisan-tulisan sejarah, secara adil

dan menghargai posisi mereka secara proporsional sebagai aktor sejarah yang

mengambil bagian dalam perubahan sejarah. Kelompok yang terlupakan mulai

dipertimbangkan sebagai faktor penting dalam peristiwa dan proses sejarah. Jalannya

sejarah ditentukan tidak hanya oleh orang-orang hebat tapi juga orang biasa. Kesadaran

ini telah memberi akses untuk mengenali kemunculan pahlawan sejarah kolektif seperti

petani dan pekerja (Ricoeur, 1980:10). Dengan kata lain, orang biasa juga pembuat dan

agen perubahan historis.

Hampir sama dengan Febvre, Bloch sangat tertarik dengan sejarah dan geografi

saat memasuki Ecole Normal Superieure. Namun, Bloch juga tertarik dengan sosiologi

Durkheim, tidak seperti Febvre yang memiliki perhatian besar terhadap psikologi.

Dipengaruhi oleh Durkheim, Bloch menyadari nilai besar pendekatan interdisipliner

untuk mempelajari pengalaman masa lalu. Dia secara konsisten menekankan dan

memanfaatkan disiplin ilmu seperti geografi, sosiologi, arkeologi, sastra, antropologi,

dan psikologi kolektif. Dia memberikan contoh menarik tentang bagaimana

menggunakan cerita rakyat dan mitos dalam studinya tentang kekuatan magis raja.

Bloch telah menunjukkan kemampuannya dalam memperluas jangkauan bukti sejarah

dan memanfaatkannya dalam karyanya (Gay and Cavanaugh, 1975:131-132).

Studi Bloch tentang masyarakat feodal adalah analisis hubungan struktural di

dunia feodal. Dalam studinya, Bloch menganalisis secara komprehensif interaksi antara

lingkungan fisik, kondisi material, kesadaran kolektif dan mentalitas, dan institusi

sosial, hubungan kelas, dan organisasi politik yang berlaku di masyarakat feodal.

Berdasarkan berbagai bahan sejarah yang dilengkapi dengan jenis sumber baru yang

sebelumnya tidak pernah digunakan, penelitian ini mewakili dirinya sebagai karya

orisinil yang memberikan perspektif dan pendekatan baru untuk penelitian sejarah.

11 Selain itu, obsesi Bloch terhadap sejarah holistik melihat masyarakat manusia sebagai

satu kesatuan juga terwujud dalam karya ini. Berbeda dengan Marx yang

mendefinisikan masyarakat feodal sebagai mode produksi, Bloch memandangnya

sebagai bentuk masyarakat.

Dua kontribusi signifikan yang terkait dengan Bloch adalah perkembangan

sejarah pedesaan dan sejarah komparatif. Perhatian intensif Bloch terhadap teknik dan

teknologi agraris - bajak, penggilingan, rotasi tanaman, biji-bijian, praktik pertanian,

pola lapangan - dikombinasikan dengan prestasinya dalam menerapkan metode regresif

untuk menguraikan kondisi pedesaan pada periode abad pertengahan telah

menempatkannya sebagai ilmuwan perintis sejarah pedesaan Studi manusianya tentang

sejarah pedesaan adalah Les caracteres originaux de l'histoire rurale francaise, yang

diterbitkan dalam versi bahasa Inggris pada tahun 1966 (Bloch, 1966). Selanjutnya,

dengan karya komparatifnya tentang kekuatan magis raja, pergerakan harga ternak,

hubungan feodal, Bloch juga dapat diposisikan sebagai pelopor sejarah komparatif (Gay

and Cavanaugh, 1975: 132-133).

Pencapaian aliran Annales untuk menulis sejarah total, bagaimanapun, sangat

terkait dengan karya Braudel (1972-1973), The Mediterranean dan the Mediterranean

World in the Age of Philip II. Braudel membagi sejarah menjadi tiga lapisan yang

memiliki karakteristik berbeda. Lapisan pertama berkaitan dengan longue duree,

merangkul lingkungan fisik seperti iklim, pegunungan, sungai, laut, vegetasi, dan

interaksi manusia dengan mereka. Struktur pemeriksaan lapisan ini ditandai dengan laju

perubahan yang hampir tidak bergerak. Perubahan lapisan ini membutuhkan waktu yang

sangat lama untuk diamati. Lapisan kedua difokuskan pada moyenne duree yang

berhubungan dengan konjungtur yang membahas tentang tren, siklus dan rythms dengan

durasi sedang. Dalam bagian ini Braudel meneliti sistem ekonomi, demografi, dan mode

peperangan. Lapisan ketiga - courte duree - berkaitan dengan kejadian - l'histoire

evenementielle - ditandai dengan perubahan yang cepat dan dramatis yang terjadi dalam

durasi yang sangat singkat.

Studi ini secara luas dan antusias dihargai tidak hanya oleh sejarawan, tapi juga

oleh sejumlah ilmuwan sosial lainnya. Karya Braudel adalah hasil kolaborasi aktif

antara sejarah dan disiplin lainnya. Sama seperti Bloch dan Febvre, Braudel menentang

metode individual dan menganjurkan sebuah bentuk penelitian kolektif yang mencakup

12 Vol. 1, No. 1, Hal 1-16, Mei 2018 ilmuwan dari semua ilmu manusia (Braudel, 1980:25,34,52). Berdasarkan sumber

sejarah yang lengkap, karya itu merupakan studi monumental dan tak ada bandingannya

yang secara jelas menunjukkan pengaruh lingkungan fisik terhadap aktivitas manusia.

Gagasan ini terkadang salah diartikan sebagai determinisme geografis misalnya oleh

sejarawan Marxis (Iggers, 1975:70).

Pengaruh Braudel dapat diamati, misalnya, dalam pengembangan sejarah

daerah. Di antara para sejarawan, pengaruh Braudel dapat ditemukan dengan sangat

baik pada Reid (1988-1993) dalam karyanya sejarah total Asia Tenggara. Studi Braudel

sebagai model, lingkungan fisik disajikan di halaman awal, diikuti oleh penjelasan

mengenai kondisi material, budaya material, organisasi sosial dan kegiatan budaya.

Volume kedua karyanya berisi penjelasan tentang aktivitas perdagangan, revolusi

agama dan kehidupan politik di Asia Tenggara. Selain itu, karya serupa yang juga

menerapkan model Braudelian juga telah dilakukan oleh Gilberto Freyre dalam trilogi

tentang sejarah sosial Brasil yang berkembang dengan budaya keluarga dan material

(Burke, 1990:100-101).

Di luar departemen sejarah, pengaruh Braudel dapat ditemukan di kalangan

ilmuwan lingkungan. Penegasannya bahwa lingkungan fisik sangat mempengaruhi

aktivitas manusia, telah memberikan stimulus bagi perkembangan sejarah lingkungan

(Green, 1993:170-171;Gilderhus, 1996:124) Sementara itu, gagasan Braudel tentang

longe duree dan konjungsi memiliki relevansi tinggi dengan teori perubahan sosial.

Sebagai contoh, Philip Abrams sangat menghargai karya Braudel di dunia Mediterania

dan menggambarkannya sebagai contoh terbaik dari sosiologi sejarah analitis (Burke,

1990:103-104).

Pada generasi ketiga, salah satu kepentingan utama Annales adalah sejarah

kuantitatif. Hal ini sangat berorientasi pada studi kependudukan. Disumbang secara

substansial oleh Labrousse di generasi sebelumnya (Le Roy Ladurie,1979:20-21).

Pencapaian di bidang ini terutama terkait dengan Goubert dan Le Roy Ladurie. Studi

mereka tentang Beauvais et le Beauvaisis de 1600 a 1730 dan The Peasant of

Languedoc masing-masing telah memberikan kontribusi signifikan terhadap teori

perkembangan ekonomi dan gambaran kehidupan sehari-hari massa penduduk (Iggers,

1975:63). Selain mencerminkan dimensi konjungtif dari divisi sejarah Braudel, studi ini

juga merupakan contoh penting dari sejarah lokal (untuk diskusi teoretis sejarah lokal

13 lihat misalnya Goubert, 1977). Baik Goubert dan Le Roy Ladurie telah menghapus

lingkup historis dari tingkat regional Braudel di dunia Mediterania ke tingkat lokal di

distrik tertentu di Prancis.

Terlepas dari prestasi dalam memperluas teritoris sejarah, Annales hanya

memiliki sedikit kontribusi dalam hal teori sejarah. Kecuali satu karya Bloch, The

Historian's Craft, hampir tidak ada karya teori historis yang diterbitkan oleh sejarawan

Annales. Ini sejajar dengan pernyataan Clark bahwa sejarah Annales pada dasarnya

didasarkan pada filsafat tindakan daripada epistemologi (Clark, 1985:180). Lagipula,

meskipun Annales mendorong kolaborasi yang erat antara sejarah dan ilmu sosial

lainnya, namun teori-teori sosial tersebut belum secara substansial menggunakan teori

sosial dalam karya mereka. Tilly berpendapat bahwa upaya untuk menggunakan

pendekatan kuantitatif belum diikuti penerapan model ekonomi dalam menganalisis

data statistik. Demikian pula, Foster menyatakan bahwa aliran Annales belum membuat

inovasi metodologi historis yang revolusioner. Menurut Foster, tidak ada perbedaan

mencolok dalam penulisan sejarah ekonomi yang dilakukan oleh Annales dan bentuk

konvensionalnya (Ankersmit, 1985:180).

Obsesi Annales untuk menulis sejarah yang lebih manusiawi, tidak sepenuhnya

berhasil. Cipolla menyatakan bahwa beberapa anggota Annales terlalu memperhatikan

dinamika struktur manusia yang tidak manusiawi (Cipolla, 1991:61). Beberapa karya

sejarawan Annales bahkan mencerminkan 'sejarah tanpa fokus pada iklim, hujan, cuaca.

Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah tema baru, namun di sisi lain mereka

bertentangan dengan ideal untuk menulis sejarah yang lebih manusiawi. Selanjutnya,

tujuan untuk menulis sejarah total juga mengarah pada ketidakseimbangan dengan

hanya dengan mempertimbangkan aspek ekonomi masa lalu. Hal ini sangat tercermin

dari fakta bahwa kepentingan utama sejarawan Annales adalah kehidupan material.

Sementara aspek politik telah diturunkan secara serius. Keberhasilan aliran Annales

dalam membuang tema politik sebenarnya memiliki sisi negatif yang bertentangan

dengan ideal aliran Annales untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang

masyarakat manusia. Padahal, aspek politik juga penting. Tidak mungkin untuk

memahami sepenuhnya masyarakat manusia tanpa mempertimbangkan dimensi politik.

14 Vol. 1, No. 1, Hal 1-16, Mei 2018 KESIMPULAN

Munculnya aliran Annales adalah reaksi terhadap ortodoksi historiografi Perancis yang

ditandai secara dominan oleh sejarah politik dan diplomatik yang berfokus pada

peristiwa dan orang-orang hebat, bentuk naratif penjelasan historis. Tidak ada keraguan

bahwa aliran sejarah Annales mencapai sukses besar dalam memperluas wilayah

sejarah. Sebagai gerakan kolektif, aliran ini tidak hanya membuka berbagai penelitian

sejarah yang sebelumnya diabaikan oleh sejarawan tradisional, namun juga

menunjukkan cara baru untuk menggunakan materi sejarah dan untuk merumuskan

pertanyaan baru tentang masa lalu. Kepentingan yang berkembang dalam sejarah

pedesaan, sejarah sosial dan ekonomi, sejarah komparatif, sejarah mentalitas, sejarah

total, dan sejarah kuantitatif terutama dikreditkan oleh aliran Annales. Perkembangan

ini sejalan dengan promosi Annales untuk membangun kolaborasi yang erat dengan

ilmu-ilmu sosial lainnya yang akan melengkapi sejarawan dengan alat dan kerangka

teori yang lebih baik untuk menganalisis masalah-masalah mereka. Sayangnya, belum

ada upaya serius di kalangan ilmuwan Annales untuk menerapkan teori sosial secara

sistematis dalam pekerjaan mereka.

Annales juga sangat berhasil membongkar isu politik dari fokus sejarah. Hal ini

disertai dengan pencapaian subtitusi bentuk naratif deskriptif sejarah dengan bentuk

sejarah yang lebih analitis. Sejarah historiografi Annales sukses besar dalam

menjelaskan perubahan jangka panjang dan menengah yang terjadi di lingkungan fisik

dan ekonomi. Namun, keberhasilan ini tidak tercapai tanpa biaya. Reaksi berlebihan

terhadap dimensi politik menyebabkan kurangnya wawasan politik dalam sejarah

historiografi Annales. Biaya ini merupakan harga yang cukup mahal karena pada

kenyataannya, memisahkan aspek politik dari kompleksitas aktivitas manusia hampir

tidak mungkin. Pada titik ini, dapat dinilai bahwa Annales belum sepenuhnya berhasil

mewujudkan sejarah manusia yang lebih banyak. Dalam mencapai cita-citanya tentang

sejarah yang lebih manusiawi, Annales telah jatuh ke dalam kelemahan lain. Beberapa

karya kelompok Annales bahkan telah menunjukkan kecenderungan sejarah tanpa

manusia.

15 DAFTAR PUSTAKA

Ankersmit, F.R. 1987. Refleksi tentang Sejarah. Jakarta: PT Gramedia.

Bloch, M. 1966. French Rural History: An Essay on its Basic Characteristics.

Berkeley: California University Press.

Bloch, M. 1967. Feudal Society. London: Routledge.

Bloch, M. 1967. Land and Work in Medieval Europe. London: Routledge.

Bloch, M. 1976. The Historian’s Craft. Manchester: Manchester University Press.

Braudel, F. 1972-1973. The Mediterranean and the Mediterranean World in the Age of

Philip II. London: Collins.

Braudel, F. 1980. On History. Chicago: Chicago University Press.

Breisach, E.1994. Historiography: Ancient, Medieval and Modern. Chicago: Chicago

University Press.

Burke, P. 1973. “Introduction: the Development of Lucien Febvre”, dalam P. Burke,

(ed.). A New Kind of History: From the writings of Febvre. London: Routledge.

Burke, P. 1990. The French Historical Revolution: The Annales School, 1929-1989.

Cambridge: Cambridge University Press.

Cipolla,C.M. 1991. Between History and Economics. Oxford: Blackwell.

Clark, S. 1985. “The Annales historians”, dalam Q. Skinner (ed.). The Return of Grand

Theory in the Human Sciences. Cambridge: Cambridge University Press.

Du Boulay, F.R.H. 1967. “Foreword”, dalam M. Bloch. Land and Work in Medieval

Europe. London: Routledge.

Febvre, L. 1925. A Geographical Introduction to History. London: Routledge.

Gay, P. dan G.J. Cavanaugh (eds.). 1972a. Historians at Work. Volume I. New York:

Harper and Row.

Gay, P. and G.J. Cavanaugh (eds.). 1972b. Historians at Work.Volume II. New York:

Harper and Row.

Gay, P. and G.J. Cavanaugh (eds.). 1975. Historians at Works. Volume IV. New York:

Harper and Row.

Gilderhus, M.T. 1996. History and Historians. Englewood Cliffs: Prentice Hall.

Goubert, P. 1972. “Local History”, dalam F. Gilbert and S.R Graubard (eds.). Historical

Studies Today. New York: Norton.

16 Vol. 1, No. 1, Hal 1-16, Mei 2018 Green, W.A. 1993. History, Historians and the Dynamics of Change. Westport:

Praeger.

Habsbawm, E.J. 1972. “From the Social History”, dalam F. Gilbert & S.R. Graubard

(eds.). Historical Studies Today. New York: Norton.

Hexter, J.H. 1979. On Historians. Cambridge: Harvard University Press.

Iggers, G.G. 1975. New Directions in European Historiography. Connectitute:

Wesleyan University Press.

Kartodirdjo, S. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: PT

Gramedia.

Langlois, Ch.V. and C.H. Seignobos. 1966. Introduction to the Study of History.

London: Duckworth.

Le Goff, J. 1972. “Is Politics Still Backbone of History”, dalam F. Gilbert and S.R

Graubard (eds.). Historical Studies Today. New York: Norton.

Le Roy Ladurie, E. 1979. The Territory of History. Hassocks: Harvester University

Press.

Manuel, F.E. 1972. “The Use and Abuse of Psychology in History”, dalam F. Gilbert &

S.R. Graubard (eds.). Historical Studies Today. New York: Norton.

Mommsen, W.J. 1990. “Ranke and the Neo-Rankean School in Imperial Germany”,

dalam G.G. Iggers and J.M. Powell (eds.). Lepold von Ranke and the Shaping of

the Historical Discipline. Syracuse: Syracuse University Press.

Powell, J.M. 1990. “Introduction”, dalam G.G. Iggers and J.M. Powell (eds.). Lepold

von Ranke and the Shaping of the Historical Discipline. Syracuse: Syracuse

University Press.

Reid, A.J.S. 1988-1993. Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680: Vol. 1: The

Lands below the Winds, Vol. 2: Expansion and Crisis. New Haven: Yale

Uiniversity Press.

Ricoeur, P.1980. The Contribution of French Historiography to the Theory of History.

Oxford: Oxford University Press.

Strayer, J.R. 1976. “Introduction”, dalam Manchester: Manchester University Press.

17

JURNAL SEJARAH INDONESIA

Vol. 1, No. 1, Hal 17-44, Mei 2018

ISSN : 2621-1580

HISTORIOGRAFI MARITIM INDONESIA DALAM PERSPEKTIF TEORI, METODOLOGI DAN SUMBER SEJARAH: SUATU PEMETAAN DAN ARAH

PERKEMBANGAN

Susanto Zuhdi

Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia Pos-el:[email protected]

ABSTRACT This article discusses in general the Indonesian maritime historiography written by Indonesian historians in a mapping and its direction of development. By putting the methodological and theoretical framework as well as the use of local resources, a review of the relatively less developed maritime historiography is expected to produce more fascinating results in the future. Maritime history basically contributes greatly to the discovery and strengthening of the "Indonesia-centris" perspective, a long-standing obsession with the development of the Indonesian historiography. Efforts to avoid "follow the Dutch trail" can be done with studies on many marine areas especially eastern Indonesia. With studies as such will be obtained a lot of data from case studies that are useful for the development of methodology and theory or at least concept formulation as proposed by historian A.B. Lapian and initial exploratory concepts are offered from this article. Keywords: maritime historiography, methodology and historical theory, eastern Indonesia.

ABSTRAK

Artikel ini membahas secara umum historiografi maritim Indonesia dari karya yang ditulis sejarawan Indonesia dalam suatu pemetaan dan arah perkembangannya. Dengan meletakkan pada kerangka metodologi dan teori serta penggunaan sumber lokal maka tinjauan atas historiografi maritim yang masih minim diharapkan akan membuahkan hasil yang lebih maksimal di masa depan. Sejarah maritim pada dasarnya memberi sumbangan besar terhadap penemuan dan penguatan perspektif “Indonesiasentris”, suatu obsesi lama dalam rangka pengembangan historiografi Indonesia. Upaya untuk menghindari “follow the Dutch trail” dapat dilakukan dengan kajian pada banyak rumpang atau kawasan laut terutama wilayah timur Indonesia. Dengan kajian itu akan diperoleh banyak data dari studi kasus yang berguna bagi pengembangan metodologi dan teori atau setidaknya rumusan konsep seperti yang diajukan sejarawan A.B. Lapian dan rintisan konsep yang ditawarkan dari artikel ini. Kata kunci: historiografi maritim, metodologi dan teori sejarah, kawasan timur Indonesia.

18 Vol. 1, No. 1, Hal 17-44, Mei 2018 PENDAHULUAN

Dari sejumlah dalil yang dikemukakan Sartono Kartodirdjo dalam disertasi tentang

pemberontakan petani Banten 1888 (1966), berbunyi “Een cristisch onderzoek van de

verschillende aspecten van het historish phenomeen ‘zeeroverij’ in de 19de eeuws

Indonesia zal de vertekening van het historisch beeld, hetwelk bovengenoemd

verschijnsel als een misdadig bedrijf voorstelt, kunnen corrigen (sebuah studi yang

kritis tentang berbagai aspek dari fenomena sejarah ‘bajak laut’ pada abad XIX di

Indonesia akan mengoreksi citra keliru yang menggambarkan gejala tersebut sebagai

suatu gejala kriminal” (Lapian, 2008:25). Gejala bajak laut dalam abad XIX merupakan

masalah besar yang dihadapi pemerintah kolonial Belanda, oleh karena itu penting

sebagai pokok penelitian seperti yang kemudian dilakukan oleh A.B. Lapian.

Argumentasi yang lebih mendasar bagi Lapian dalam studi tentang sejarah maritim

adalah karena:

“studi sejarah Indonesia hingga sekarang lebih banyak mementingkan peristiwa

yang terjadi di darat, walaupun sesungguhnya lebih dari separuh wilayah

Republik Indonesia terdiri dari laut. […] ada bagian yang besar dari pengalaman

dan kegiatan penduduk Nusantara pada masa lampau yang lolos dari

pengamatan dan penelitian sejarawanbangsa kita” (Lapian, 2008:1).

Kini setelah 30 tahun, sejak Lapian mempertahankan disertasinya di Universitas

Gadjah Mada pada 1987, ternyatabelum banyak disertasi sejarawan Indonesia yang

menyusul kemudian,mungkin belum genap sepuluh jumlahnya. Mengingat begitu

luasnya laut dan panjangnya pantai di kepulauan Indonesia maka masih diharapkan

lebih banyak lagi sejarawan Indonesia untuk menulis sejarah maritim. Apalagi jika

pengertian mengenai maritim termasuk persungaian, maka akan lebih luas lagigarapan

sejarah yang melukiskan kehidupan di laut. Metafora mengenai laut sering digunakan

untuk melukiskan kehidupan manusia. Sepasang suami isteri yang baru saja melakukan

akad nikah dan mengikat janji untukmembina sebuah rumah tangga, seringdilukiskan

sebagai bahtera yang akan mengarungi ‘samudera’ kehidupan.

19

Sementara itu tuntutan masyarakat dan bangsa akan pengetahuan mengenai

sejarah maritim meningkat belakangan ini. Pada masa kini tampaknya begitu besar

harapan ditujukan pada bidang kemaritiman, sehingga visi-misi Pemerintah Indonesia di

bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf

Kalla (2014-2019) memilih tema laut. Dengan argumentasi bangsa telah lama

memunggungi laut, maka Indonesia bertekad membangun negara maritim yang kuat dan

menjadikan bangsa kembali jaya di laut.

Tulisan ini mencoba memetakanperkembangan historiografi maritim di

Indonesia ditinjau dari segi-segi:teori, metodologi dan penggunaan sumber yang

dianalisis sehingga dapat diperoleh wawasan untuk melihat arah dan perspektif studi

sejarah maritim ke depan. Meskipun berfokus pada historiografi maritim, tulisan ini

juga dikaitkan dengan historiografi secara umum.

PEMBAHASAN

1. Perspektif Teoretis

Meskipun belum banyak kajian sejarah kemaritiman di tanah air sampai saat ini, kiranya

sudah perlu untuk memetakannya dengan tujuan mengidentifikasi topik atau fokus,

wilayah kajian dalam kaitan dengan pengembangan teori, metodologi dan penggunaan

sumber. Dengan demikian diharapkan dapat dipetakan ke arah mana saja

pengembangan itu akan terwujud di masa depan. Sejarah maritim adalah pengetahuan

mengenai kehidupan masyarakat di masa lampau berkaitan dengan laut dalam aspek-

aspek sosial-ekonomi, budaya, politik dan pertahanan-keamanan serta teknologi. Dalam

aspek sosial-ekonomi, laut memberikan sumber daya bagi kebutuhan hidup dan

pembentukan komunitas di kawasan pesisir.Budaya sebagai konsep sesungguhnya

kurang tepat disebut sebagai aspek, kecuali jika yang dimaksud pada seni atau

pertunjukan. Kebudayaan dalam arti luas justru merupakan gagasan, pikiran dan

tindakan serta hasil yang diperlihatkan dalam sistem nilai tertentu seperti tampak dalam

kehidupannya. Aspek-aspek politik, pertahanan dan keamanan dapat dirangkum sebagai

konsep yang lebih relevan dikaitkan dengan keberadaan suatu negara. Sedangkan aspek

teknologi memperlihatkan kemampuan orang atau etnik bahari dalam melayari dan

20 Vol. 1, No. 1, Hal 17-44, Mei 2018 memanfaatkan laut dengan menggunakan pengetahuan dan peralatan untuk memenuhi

kebutuhan dan dalam mengembangkan peradabannya.

Sejarah maritim tidak dapat dipisahkan dari aspek kewilayahan yang merupakan

unsur penting dalam suatu negara. Beberapa pengertian sehubungan dengan laut

agaknya perlu diberikan sekilas. Selain kata “sea” dalam Bahasa Inggris terdapat

“maritime” berasal dari “mare” dan ”marinus”; “located on or close to te sea”. Seperti

dimuat dalam Webster’s New College Dictionary (2008) berikut ini; mare, sea

“relating to the sea or relating to shipping or maritime affairs; or a sea navigation; or

relating to troop that served at sea as well as on land”. Dengan demikian aspek

pertahanan-keamanan, menjadi unsur pokok suatu negara, karena fungsinya dalam

menjaga kedaulatan. Akhirnya aspek teknologi merupakan unsur penting yang

memungkinkan manusia mampu mengarungi samudera dan menjadikan laut sebagai

ruang kehidupan, yang dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan umat

manusia.

Arah dalam arti menuju ke sasaran “apa” atau “mana” yang hendak dilakukan

dalam konteks penulisan sejarah maritim Indonesia hemat kami pertama-tama haruslah

dikaitkan dengan sejarah secara umum. Dalam sejarah Indonesia aspek kemaritiman

sebagai perspektif sangatlah penting. Pada hakikatnya kita tidak dapat memisahkan

antara “tanah” dalam arti daratan berupa “pulau” dengan unsur “air” atau lautan, untuk

wilayah suatu negara bernama Indonesia. Untuk kedua unsur yang menjadi suatu

konsep yang padu dan serasi itu, karenanya bangsa Indonesia sudah lama menyebutnya

sebagai “tanah-air” (Zuhdi, 2006).

Keindonesiaan dalam arti konsep yang mencakup pengertian “tanah air”

merupakan perspektif yang ditawarkan untuk menentukan arah kajian sejarah maritim.

Keindonesiaan dalam perspektif historis merupakan nilai-nilai sekaligus karakter yang

berproses dan dibentuk oleh dinamika sejarah perjuangan bangsa dalam membebaskan

diri dari belenggu penjajahan asing (Zuhdi 2018a:7)Wilayah yang diperjuangkan itu

berupa negeri dengan luas lautan 2/3 dibanding daratannya. Kondisi obyektif ini

menjadi penting sebagai “mainstream” karena bukan hanya mengenai konsep “geo-

politik”—nama Indonesia sendiri merupakan istilah politik—melainkan juga sebagai

konsep “geo-budaya”. Indonesia sebagai nama negara dengan batas wilayah yang harus

dijaga kedaulatannya, dahulu merupakan bagian dari wilayah yang disebut “negeri di

21 bawah angin” atau “nusantara”, atau “dipantara”, yang menjangkau jauh melebihi

pengertian wilayah geo-politik Indonesia sekarang.

Sebelum membicarakan lebih luas mengenai pokok bahasan, terlebih dahulu

perlu diberi pengantar secara singkat mengenai teori (ilmu) sejarah.

2. Sejarawan dan Teori

Dalam bagian ini dibicarakan terlebih dahulu mengenai teori sejarah secara umum dan

kemudian di bagian akhir dikaitan dengan sejarah maritim. Agaknya sering terdengar

pembicaraan tentang apakah sejarah memerlukan teori. Ada yang mengatakantidak

perlu sedangkan yang lain,berpendapat bagaimanapun sejarah memerlukan teori.

Persoalannya mungkin teori seperti apa dan sejauhmana sejarawan menggunakan teori

atau bukankah malahan merumuskan teori atau setidaknya konsep. Pada prinsipnya

sejarah merupakan ilmu yang berada di antara pengetahuan yang bersifat praktis dan

yang bersifat teoretis. Sejarawan pada dasarnya juga bekerja secara praktis seperti para

ahli filologi mencermati “kata” demi “kata” dari sumber manuskrip, sedangkan

sejarawan dari arsip/dokumen tertulis sezaman. Lebih daripada seorang ahli filologi,

sejarawan terobsesi untuk memaknai fakta bukan sekedar mengemukakan kronik.

Agaknya karena itulah ada ungkapan “secara sejarah” (historically), dimaksud sebagai

pengertian yang menunjuk pada “apa yang telah terjadi” bersifat partikular, yang terjadi

hanya sekali (einmalig). Di pihak lain ada istilah “secara teori” (theoretically),

pengertian yang diberikan untuk penjelasan atau interpretasi atas fakta dari kenyataan

yang pernah terjadi dan bersifat umum (generalization).

Secara konvensional, sejarah dipahami secara lebih nyata dan praktikal sebagai

dikemukakan Leopold von Ranke yakni untuk menjawab pertanyaan “apa yang

sesungguhnya telah terjadi”. Jawaban praktis yang ingin diperoleh adalah mengenai

kronik tentang apa, siapa, di mana dan bila. Dalam kenyataan lain sejarawan tidak

mungkin mampu “menghadirkan masa lampau sebagaimana pernah terjadi”. Berbagai

perspektif, pendekatan dan sumber yang dipilihsejarawan menghasilkan historiografi

yang beragam pula. Dengan demikian pengetahuan tentang masa lalu tentu tidak cukup

hanya untuk mengetahui fakta, melainkan juga ingin dipahami dan dimaknai. Dalam

talian itu maka diperlukan teori dankonsep apakah untuk tujuan menjelaskan

(explanation) atau menafsirkan (interpretation) menjadi penting dalam studi sejarah.

22 Vol. 1, No. 1, Hal 17-44, Mei 2018

Justru karena ketidakpuasan atas hasil kerja sejarawan yang menulis secara

deskriptif, maka Sartono Kartodirdjo mengajukan pendekatan ilmu-ilmu sosial dalam

kajian sejarah yang analitis. Sartono menggunakan pendekatan struktural khususnya

dari sosiologi dalam kajian pemberontakan petani Banten pada 1888 (1984). Dalam

kajiannya itu, Sartono tidak hanya menggunakan konsep tetapi juga teori

sosiologi.Kajian tentang petani yang sengaja dipilih Sartono untuk memperlihatkan

bahwa sejarah tidak hanya mengenai orang-orang besar atau tema politik dengan

cakupan luas. Kajian sejarah lokal tentang petani di Banten pada abad ke-19 yang

dilakukan Sartono merupakan sumbangan besar dalam metodologi baru untuk

historiografi Indonesia waktu itu. Bahkan seperti dikemukakan Adrian Vickers, Sartono

telah mendahului subaltern, suatu corak kajian sejarah mengenai mereka yang

“terpinggirkan”, yang baru puluhan tahun kemudian dikembangkan oleh Rajanit Guha

di India (Vickers 2008:55). Seperti diakui Bambang Purwanto, guru besar sejarah

UGM, meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit, subaltern merupakan “mainstream”

kajian sejarah yang dikembangkan di UGM. Dalam perkembangannya kemudian, justru

Bambang Purwanto mengkritik pendekatan yang dilakukan Sartono mengenai

“Indonesiasentris”. —apa yang oleh Vickers disebut sebagai “oposisi yang bersifat

loyal”, dengan menawarkan paradigma baru dalam penulisan sejarah dengan wawasan

teori yang lebih popular sebagai gabungan teori Barat (western theory) dan wawasan

Indonesia (Nursam 2008:57).Akan tetapi tampaknya belum ada tawaran konsep yang

merupakan gabungan dari dua wawasan teori yang dimaksud. Semestinya sudah ada

dalam tulisan khusus yang mengeksplorasi apa yang dimaksud dengan wawasan

teoretiknya itu.

Dalam perkembangannya, Prof. Bambang Purwanto tidak menulis lagi tentang

ekonomi, seperti dalam disertasinya pada 1992 (tidak diterbitkan) di School of Oriental

and African Studies (SOAS) London.Meskipun menulis beberapa artikel di jurnal atau

bagian buku, namun Bambang tidak lagi meneruskan apalagi mengembangkan teori

maupun konsep sejarah ekonomi. Tampaknya sejarawan ini telah bergeser ke sejarah

sosial. Dalam tulisannya tentang Jakarta tahun 1950-an, perhatian lebih kepada sejarah

keseharian dari masyarakat “terpinggirkan”. Sebetulnya masih sebatas anjuran dan

belum memperlihatkan sejarah sosial dengan pendekatan subaltern yang ingin ia

kembangkan. Purwanto menunjukkan bahwa banyak topik dari sejarah sosial Jakarta

23 yang menarik dan penting dikaji: kaum gelandangan, tukang becak, pelacur dan

sejenisnya. Tulisan ini sebetulnya bukan merupakan sejarah sosial yang utuh melainkan

semacam kerangka atau ancangan saja (Purwanto dalam Nordholt et.al 2008:266-270).

Sartono Kartodirdjo bukan tipe guru “penganjur”, yang hanya menyuruh

muridnya, tetapi yang mengerjakan sendiri dan memberikan contoh bagaimana

menerapkan suatupendekatan yang ia tawarkan. Penerapan teori dan konsep ilmu-

ilmusosial yang dilakukannya, selain menempatkan Sartono sebagai guru utama sejarah

Indonesia karena telah meletakkan dasar historiografi baru, juga apresiasi yang harus

diberikan karena ia taat azas untuk mengembangkan kajian sejarah dan fokus pada tema

yang telah dipilihnya. Begitulah Sartono dalam kajiannya tentang gerakan protes petani

di pedesaan Jawa dalam akhir abad ke-19 dan awal ke-20, dapat berhasil membuat

tipologi gerakan protes sosial khususnya dari kalangan petani yaitu: mileniaris,

messianis, nativis, eskatologis, dan revivalis (Kartodirdjo 1978: 187). Jadi dalam

konteks kerangka konseptual, sejarawan malahan telah menyumbang tidak sekedar

menggunakan konsep ilmu-ilmu sosial. Dalam talian dengan Sartono, ia mula-mula

menggunakan konsep seperti dianjurkan Wertheim, dalam pengakuannya tetapi

kemudian “menghasilkan” konsep tersebut di atas. Di sini tampak bahwa sejarawan

bukan saja “diperbolehkan” menggunakan konsep dari ilmu-ilmu sosial, sejarawan

bahkan dapat “menghasilkan” konsep.

Seiring dengan pembicaraan berkenaan pengembangan studi sejarah, banyak

disayangkan orang bahwa banyak disertasi sejarawan Indonesia tidak diterbitkan dan

dikembangkan dalam pengembangan untuk menghasilkan rumusan konsep dan teori.

Dalam hal ini Sartono telah mengembangkan kajiannya tentang petani dan gerakan

sosial dengan menghasilkan kerangka konsep dalam hal ini tipologi yang akan

diperlihatkan di bawah. Setelah Soegijanto Padmo tidak ada lagi penerus kajian sejarah

ekonomi atau sejarah sosial di Universitas Gadjah Mada (UGM). Justru dari Universitas

Indonesia (UI) lah, yang selama ini hanya dikenal berfokus pada tema politik dan

periode kontemporer, pengembangan studi Sartono dilanjutkan. Dalam kategori yang

sama dengan kajian Sartono, Mohammad Iskandar, dosen Sejarah Universitas Indonesia

(UI) menulis disertasi mengenai perlawanan petani terhadap praktik kolonial di tanah

partikelir di Ciomas, Bogor pada 1886.

24 Vol. 1, No. 1, Hal 17-44, Mei 2018

Iskandar (2006) tidak menggunakan istilah “pemberontakan” seperti Sartono,

tetapi dengan konsep “aksi kolektif” (collective action). Dengan kesadaran

menggunakan teori-teori sosiologi Charles Tilly, Iskandar memilih metodologi

“strukturistik” yang ditawarkan Christhoper Lloyd (1993). Dalam kajian Iskandar,

petani diperlihatkan berperan aktif dalam upaya mengubah struktur, berbeda dari

penggambaran Sartono bahwa pemberontakan petani sebagai akibat dari perubahan

struktur. Dalam kajian Iskandar, petani Ciomas (Bogor) memandang struktur tidak

cocok lagi karena tidak membawa harapan hidup yang lebih baik. Dampak

Pemberontakan Petani Banten karya Sartono tidak sebesar akibat peristiwa yang dikaji

Iskandar. Akibat peristiwa Ciomas Bogor membuat suara pemerintah dan parlemen

terpecah bahkan menimbulkan polemik berkepanjangan selama dua tahun. Akhir dari

itu semua Otto van Rees dicopot dari jabatan gubernur jenderal (Zuhdi dalam

Marihandono ed. 2008:18).

Terdapat hal menarik tentang studi sejarah yang selama ini dikatakan bahwa

yang dikembangkan di UI adalah sejarah politik dan periode kontemporer, ternyata juga

dikembangkan sejarah sosial-petani. Sesungguhnya tradisi sejarah sosial di UI sudah

diletakkan dasarnya oleh Ong Hok Ham, yang memperoleh gelar doktor dari

Universitas Yale Amerika Serikat pada 1975. Dua murid Pak Ong adalah Iman Hilman,

hanya sampai jenjang magister yang diambil di UGM, dan Iskandar. Pada disertasi

Iskandar di UI (2006) ini bolehlah disebut sebagai karya yang hendak meneruskan

tradisi sejarah sosial-ekonomi di UI. Lalu bagaimana perkembangan yang terjadi di

UGM dalam kajian sejarah sosial khususnya tentang petani?

Dalam perkembangan studi sejarah sosial dan terutama ekonomi yang telah

dikembangkan Sartono di UGM kemudian tampaknya kurang diminati. Padahal dalam

perkembangannya pendekatan sejarah sangat diharapkan untuk studi Ilmu Ekonomi.

Untuk kepentingan ilmu sejarah sendiri, pendekatan ekonomi atau bahkan tema

ekonomi perlu pula ditulis oleh sejarawan. Thee Kian Wie adalah sejarawan ekonomi

yang reputasinya diakui secara internasional namun tidak ada penerusnya. Sejarah

ekonomi terancam ‘terhenti’ dan akan hilang dalam sejarah Indonesia. Seperti dikatakan

Thee sendiri sejarawan yang berminat pada sejarah ekonomi memang rendah. Untuk ini

kita perlu memetakan kembali karya sejarawan Indonesia dengan tema ekonomi dalam

konteks sejarah Indonesia. Memang harus diakui bahwa sangat minim sejarawan

25 Indonesia yang memilih ekonomi sebagai tema kajiannya. Dari yang sedikit itu

misalnya adalah Soegijanto Padmo dan dengan beberapa pengecualian juga

Kuntowijoyo keduanya dari UGM. Sepeninggal kedua sejarawan itu belum ada lagi

yang mengambil tema ekonomi dalam penulisan sejarah Indonesia. Sebetulnya ada

sejarawan dari generasi yang lebih muda setelah Soegijanto Padmo, yang juga guru

besar dari UGM, Prof. Bambang Purwanto, yang meskipun disertasi doktornya

mengenai sejarah ekonomi tetapi kemudian lebih banyak tertarik mengkaji historiografi

(Rahardjo, 2017:xxvii—xxviii).

Adalah menarik untuk disimak dengan perkembangan di UGM belakangan ini

terkait pergeseran fokus dari sejarah sosial (petani) abad ke-19 ke sejarah politik dalam

periode kontemporer. Gejala yang tampak ini mungkin sudah menjadi petunjuk akan

terjadinya pergeseran itu. Pada akhir tahun lalu, tampaknya sudah terdapat kesepakatan

kerjasama antara UGM dengan tiga Lembaga riset di Belanda untuk melakukan

penelitian bersama bertajuk “ Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang di Indonesia 1945—

1950”. Adapun tim peneliti dari UGM dipimpin Prof. Bambang Purwanto dan Dr.

Abdul Wahid. Pembiayaan sebesar kira-kira Rp 67 Milyar untuk riset selama empat itu

akan didanai oleh pemerintah Kerajaan Belanda (Kompas, 8 Februari 2018: 7).

Rupanya tidak banyak, kalau bukan minim sejarawan Indonesia yang melakukan

pengembangan teori dan konsep, sebagaimana telah dilakukan Sartono Kartodirdjo.

Karir akademik seorang doktor sejarah dalam pengembangan teori dan konsep

sesungguhnya sangat diharapkan. Perjalanan akademik itu biasanya dapat diamati

sesudah seorang doktor menyelesaikan disertasinya. Dalam kaitan itulah Prof. Sartono

terus mengingatkan agar jangan menjadi doktor “pohon pisang”, artinya yang “hanya

sekali berbuah” setelah itu tidak produktif lagi.Oleh karena umumnya disertasi tidak

diterbitkan sehingga tidak dibaca oleh “peer-group”nya, atau bahkan disertasi itu sering

tidak diketahui keberadaannya lagi. Selain Sartono, dua sejarawan terkemuka Indonesia

yang memberi contoh dalam hal pengembagangan akademikdengan mengemukakan

pemikiran teoretis dan konseptual adalah Taufik Abdullah dan Adrian Bernard (A.B.)

Lapian.

Dalam salah satu penjelasan, Taufik mengemukakan bahwa Indonesia dibentuk

karena “ingatan kolektif” persebaran agama Islam di nusantara. Dari Samudera Pasai

agama Islam dibawa ke pesisir Jawa, dari Demak ke Banjarmasin, tiga Datuk—

26 Vol. 1, No. 1, Hal 17-44, Mei 2018 Patimang, Di Tiro, dan Ri Bandang-- yang mengislamkan Sulawesi Selatan dari

Minangkabau, sedangkan Islam Hitu dan Bacan dibawa dari Gresik. Begitulah jika

direntang akan membentuk ingatan kolektif dalam jaringan nusantara. Dalam memberi

kata pengantar buku Dami N. Toda, Taufik mengemukakan seunik apapun sejarah

Manggarai,mengenai masa lampau Manggarai adalah juga bagian dari denyut sejarah

maritim Indonesia. Karena pertama, dalam cerita asal usul pendiri kerajaan Manggarai

adalah perantau yang datang dari negeri lain. Kedua, adanya hubungan hirarkis antara

pusat-pusat kekuasaan, yang satu sebagai petuanan dari kerajaan yang lain, tetapi

hubungan ini tak pernah stabil; ketiga,memperlihatkan faktor ingatan kolektif dalam

sejarah Manggarai, bukan hanya dengan Bima atau Goa-Tallo tetapi juga dengan

Minangkabau (Toda, 1999).

Bertolak dari kenyataan bahwa Jawa masih menjadi pusat denyut kehidupan

begitu pula soal historiografi,maka suatu upaya untuk menguak ‘pulau sejarah’ bagi

kajian sejarah di luar Jawa menjadi mendesak untuk dikerjakan. Melalui sejarah maritim

hal itu dimungkinkan munculnya metodologi alternatif yang ‘baru’. Melalui sejarah

maritim pula keindonesiaan dalam arti keragaman daerah akan terwadahi. Dalam

dekade belakangan ini sudah semakin marak kajian sejarah luar Jawa. Seperti dikatakan

Taufik Abdullah kini sudah sangat janggal kehilatan kalau ada buku buku sejarah

berjudul “Indonesia” tetapi perhatiannya hanya Jawa saja (Abdullah 1999:6). Pada

waktu yang kurang belih bersamaan kajian tentang “pulau-pulau sejarah yang

terabaikan” di Indonesia pun telah dilakukan. Dalam konteks itu penulis sendiri

mengkaji tentang sejarah Buton dalam abad XVII sampai XVIII (Zuhdi, 2010 &

2018b).

Pengalaman Taufik dalam merumuskan suatu konsep sejarah untuk

menunjukkan bahwa sejarawan memberi sumbangan, menarik untuk dikemukakan

dalam kaitan ini.2 Ketika Taufik diminta memberi ceramah di Universitas Wisconsin,

sebetulnya sampai beberapa hari menjelang kuliah diberikan, belum ada ide apa yang

hendak disampaikan. Ia memang diberi kebebasan mengenai pokok bahasan khususnya

sejarah Indonesia abad XIX, yang dikuasai Taufik. Di sinilah seorang sejarawan

ditantang untuk tidak hanya menyampaikan rangkaian fakta, seperti Taufik sering

2 Wawancara dengan Taufik Abdullah di Hotel Bumi Wiyata Depok, Jawa Barat, 2 November 2017.

27 mengutip ungkapan “one damned after another”, tetapi pentingnya konsep untuk

menangkap gejala yang tidak selalu dikemukakan secara deskriptif. Kemudian dari

buku yang dibaca Taufik menjumpai kata “schakel examen”, maka dari situlah ia

mengemukakanistilah “schakel society” sebagai konsep untuk menjelaskan dan

memaknai suatu situasi kolonial di Sumatera Barat pasca Perang Paderi (1837).

Ternyata tidak serta merta daerah Minangkabau dapat ditaklukkan dalam arti secara

menyeluruh. Ketika Belanda memulai menerapkan administrasi pemerintahannya,

masih dihadapkan pada perlawanan yang terus berlanjut khususnya di Batipuh, pusat

kaum reformis Paderi. Menghadapi kenyataan itu, Belanda menjadikan Batipuh kembali

ke sistem adat asli, dengan pembagian daerah menjadi empat nagari. Ini adalah awal

Belanda untuk mewadahi pertumbuhan organ-organ masyarakat dan tuntutan politik

pada kekuasaan kolonial. Periode antara peristiwa kekalahan Paderi dan Pemberontakan

anti pajak 1908 dipandang sebagai masa ketika penguasa dan yang dikuasai mencoba

menciptakan suatu lingkungan yang membuat mereka dapat mengakui kehadirannya

masing-masing. Dari kenyataan sosio-historis seperti itulah konsep “schakel society”

dapat diterima. Belanda sengaja menyingkirkan pemimpin agama dari kehidupan politik

(pemerintahan) dengan memperkenalkan sistem sekolah modern. Bagi anak orang

kebanyakan Minang, hanya bersekolah dasar 3 tahun. Hanya melalui “ujian

penghubung” (schakel examen), hanya sedikit dari lulusan Sekolah Tiga Tahun dapat

meneruskan ke sekolah modern (Kweekschool) misalnya. Dari kata “schakel” artinya

“penghubung” dalam talian gagasan Taufik dapat juga bermakna sebagai ‘suasana

peralihan’ dari dua ‘dunia’ yang berbeda “Eropah/Belanda” dan “Minang/Melayu”,

namun dalam kehidupan nyata keduanya berada dalam lingkungan fisik yang sama

yakni di Sumatera Barat.

Orang terakhir dari triumvirat sejarawan Indonesia terkemuka penyumbang

konsep sejarah adalah Adrian Bernard Lapian. Lapianmenerapkan teori Fernand

Braudel sebelum merumuskan sendiri konsep sejarah ketika ia menulis sejarah kawasan

Laut Sulawesi abad XIX. Lapian mengemukakan terlebih dahulu struktur geografi,

dalam hal ini dapat disebut sebagai pendekatan geografi dalam kajian sejarah. Meskipun

tidak seluas dan sedalam kajian Fernand Braudel mengenai “dunia Mediteranea” (Laut

Tengah), Lapian terlebih dahulu mengemukakan unsur-unsur geografi antara lain ciri-

ciri laut, iklim, kondisi pantai Laut Sulawesi. Lapian mengemukakan konsep “orang

28 Vol. 1, No. 1, Hal 17-44, Mei 2018 laut-bajak laut-raja laut”, merupakan konsep yang telah memberi sumbangan besar

terhadap historiografi Indonesia. Lapian mengemukakan tiga kekuatan atau disebutnya

sebagai agensi bahari, yang secara garis besar berupa tipe ideal : Orang Laut, Bajak

Laut, Raja Laut (Lapian, 2009:225).

Kehidupan Orang Laut bersifat lokal dan beraktivitas di sekitar pemukimannya.

Dengan struktur sosio-politis dan organisasinya yang masih berada pada tingkat awal,

orang laut berusaha mengatasi segala gangguan dan pelanggaran yang terjadi di

wilayah lautnya, kecuali jika menghadapi kekuatan yang lebih besar. Dalam

perkembangan itu apakah mereka akan masuk ke dalam orbit Bajak Laut atau Raja, atau

menghindar, yang jika terus menerus mereka lakukan maka sampailah pada bagian-

bagian terpencil misalnya di muara sungai, yang disebut sebagai daerah ‘terasing’.

Sedangkan kekuatan bahari tipe Bajak Laut dalam penjelasan Lapian merupakan

kehidupan yang didukung oleh masyarakat dengan struktur lebih mantap dengan

pemimpin yang berwibawa. Eksistensi Bajak Laut sesungguhnya tudak dapat

dilpisahkan dari konteks Raja Laut. Itu karena jika dilihat dari perspektif Raja Laut,

Bajak Laut merupakan ‘masyarakat yang berada di luar sistem (outlaw), mereka adalah

penjahat dan perompak yang beroperasi di laut. Lapian megutip teori tentang

kemerosotan kedaulatan negara. Jika Bajak laut tidak mampu dikendalikan maka

mereka justru akan menggantikan Raja Laut (Lapian, 2009: 226).

Pembahasan mengenai agensi secara implisit membawa Lapian berdialog secara

teoretis dengan Anthony Giddens. Dengan teori strukturasinya, Giddens mengemukakan

dualitas struktur yang dihadapi setiap agensi; sebagai kendala di satu sisi atau peluang

bagi perubahan struktur, di sisi lain. Dengan demikian tampak di sini bahwa sejarawan

telah menyumbang deskripsi yang kemudian dikonseptualisasikan oleh ahli sosiologi.

Dalam kerangka lebih luas, Lapian menunjukkan pendapat bahwa bajak laut di

nusantara sebagai penjahat perlu koreksi.

Secara lebih teoretis, A.B. Lapian (1992) telah mempertegas “sistem laut” (sea

system) sebagai tawaran untuk mengkaji sejarah nusantara (sebagai) sejarah bahari,

yang nota bene sejarah Indonesia. Turunan dari teori itu adalah konsep yang kemudian

dikemukakannya seperti “hintersea” (1994) yang lebih tepat untuk menyebut suatu

daerah pedalaman (hinterland) dalam kaitan sejarah kepulauan Indonesia. Pendekatan

“sea system” pada sejarah Indonesia menempatkan wilayah kepulauan sebagai suatu

29 yang lebih komprehensif dengan menempatkan “laut” sebagai “inti” (heart-sea).Dalam

perbincangan poros maritim dunia sebagaimana digagas pemerintah Jokowi dengan

kebijakan yang dikeluarkan tentang kebijakan laut Indonesia tahun 2017, pada dasarnya

telah diletakkan dasarnya oleh Lapian (Zuhdi, 2015b:25).

3. Metodologi dan Sumber Lokal

Dimengerti secara longgar, metodologi tidak sekedar perangkat metode untuk

mengetahui cara kerja, atau sebagaimana Sartono katakan “to know how to know”.

Metodologi juga mengenai pengertian suatu pendekatan dalam hal penggunaan ilmu-

ilmu lain terutama ilmu sosial seperti dilakukan Sartono sendiri. Untuk merumuskan

teori atau setidaknya konsep-konsep yang diperoleh dari pengalaman kajian sendiri

yang dapat digunakan sejarah Indonesia agaknya akan dipermudah jika kita menggali

sumber lokal dari begitu luasnya daerah yang merekam pengalaman masyarakat

Indonesia. Tidak untuk mengatakan bahwa sumber asing dikesampingkan tetapi

perlunya memanfaatkan sumber dari dalam merupakan kebutuhan mendesak untuk

menulis sejarah Indonesia secara lebih komprehensif. Sesungguhnya tidak ada yang

salah pada “Indonesia sentris” sebagai perspektif untuk mengangkat sejarah Indonesia.

Anjuran van Leur tetap relevan setidaknya untuk melihat segi-segi yang tidak

ditampakkan oleh sudut pandang Eropa atau Belanda.

Sebetulnya akan merupakan hal ideal jika selain tidak mengikuti “jejak

Belanda”, juga tidak menggunakan sumber ciptaannya dalam menuliskan sejarah

Indonesia, tetapi apa mungkin, dan apakah harus dengan sikap ekstrim seperti itu?

Tulisan ini mengemukakan hal yang lebih realistis meskipun timbul obsesi untuk

sepenuhnya mengenyampingkan sumber Eropah. Dengan kerangka konsep yang telah

dikemukakan Lapian, problematik konsep maupun teori mulai dapat diatasi dengan

terus menggali sumber lokal yang kerap disebut historiografi tradisional. Setidaknya

untuk mengimbangi atau kalau bukan malahan untuk menggantikan sebagian besar

sumber asing--karena pertimbangan teori yang hendak dibangun sendiri--maka sumber

tradisional, apakah naskah maupun tradisi lisan, hendaknya menjadi dasar pijakan.

Arah dan pengembangan teori sejarah akan mantap apabila semakin banyak

dilakukan studi kasus yang dihasilkan dan apalagi jika didukung dengan penggunaan

sumber lokal. A.B. Lapian pernah mengemukakan betapapun tingkat kesulitan tetap

30 Vol. 1, No. 1, Hal 17-44, Mei 2018 harus diatasi, untuk tidak mengikuti “jejak Belanda” (follow the Dutch trail) sebagai

“arahan” menulis sejarah Indonesia. Setelah komoditas rempah tidak lagi sebagai

primadona, VOC/Belanda meninggalkan kawasan itu dan sejarah bergerak ke barat, ke

Jawa dan Sumatera karena kepentingannya akan sektor perkebunan dan pertambangan.

Masa lalu Maluku ‘seolah-olah’ hilang dalam sejarah Indonesia.Kenyataan itu

menunjukan minim kajian sejarah di kawasan Indonesia Timur padahalberkarakter

kemaritiman besar (de groote oost). Dalam perkembangan setelah dari Maluku sejarah

bergeser ke Jawa (Cultuurstelsel) pertanyaannya apakah sejarah Maluku sudah tidak ada

yang dapat dikaji lagi.Seperti di bawah ini A.B. Lapian dalam memberi pengantar buku

Adnan Kamal “Kepulauan Rempah-rempah”:

“Pengetahuan kita tentang sejarah Maluku Utara sangat terbatas. Umumnya

diketahui bahwa pada abad ke-16 orang Portugis datang, disusul oleh orang

Spanyol, dan kemudian orang Belanda. Berikut ada adu kekuatan negara-negara

Barat untuk menguasai daerah penghasil rempar-rempah ini. Juga diketahui

sedikit tentang perlawanan Pangeran Nuku pada akhir anad ke-18 dan awal abad

ke-19. Tetapi sejak VOC terlibat dengan perang perang suksesi di Mataram,

apalagi sesudah harga rempah-rempah menurun di Eropa, Belanda lebih banyak

memperhatikan pulau Jawa saja dan kemudian di paro akhir abad ke-19

membuka perkebunan di Sumatera. Maka kesan umum seolah-olah sejarah

Maluku Utara berhenti” (Lapian dalam Kamal, 2010:xix).

Bertolak dari pandangan itu, lebih lanjut Lapian mengemukakan bahwa

penulisan sejarah Indonesia hanya membuntuti arah perhatian Belanda, dari Maluku ke

Jawa, lalu ke Sumatera. Hanya sewaktu-waktu perhatian beralih ke daerah lain misalnya

Belanda menghadapi perlawanan Makasar abad ke-17 atau Banjarmasin pada tahun

1860-an atau ke Lombok 1894 dan dapat ditambah pada daerah lain. Jadi sesungguhnya

kisah sejarah Indonesia sebelum kemerdekaan lebih banyak mengikuti perhatian

pemerintah Batavia (Ibid). Bertolak dari argumentasi di atas maka suatu orientasi dan

perspektif ‘baru’ untuk suatu penulisan sejarah Indonesia perlu semakin dipertegas.

Metodologi dalam arti sederhana adalah mengenai konsep dan kerangka kerja

sejarawan dalam mempraktikkan metode riset dan mengeksplorasiterkait penggunaan

31 sumber. Dalam hal ini, ekstrapolasi teori hanya akan terjadi dengan penerapan

metodologi. Betapapun hebatnya suatu teori dan metodologi, dalam riset sejarah hanya

akan berhenti di atas kertas tanpa dikerjakan dengan sumbernya. Pembicaraan sumber

yang dimaksud di sini adalah semua bahan yang dihasilkan oleh masyarakat setempat

yang mendiami kepulauan. Jenis sumber ini disebut sebagai ‘historiografi tradisional’,

yang dipertentangkan dengan ‘historiografi modern’. Ciri yang disebut pertama

umumnya ditulis dalam bentuk naskah yang kemudian disalin dari generasi ke generasi.

Mengenai hal ikhwal masa lampau sering ditulis menggunakan metafora dan bersifat

mitos. Mengutip Vansina, Taufik Abdullah mengatakan bahwa historiografi tradisional

merupakan pantulan kenyataan. Jadi bukan kenyataan itu sendiri, tetapi sesuatu “yang

diinginkan” yang dianggap sebagai “kewajaran sejarah”. Sedangkan historiografi

modern dikerjakan dengan metode kritis dan menggunakan berupa arsip/dokumen untuk

mendapatkan “kepastian sejarah” melalui fakta sejarah yang merupakan representasi

“apa yang sesungguhnya terjadi”.

Apakah sumber atau historiografi tradisional dapat digunakan sepenuhnya? Pada

umumnya sejarawan menggunakan kedua jenis sumber tersebut dengan

membandingkan atau saling melengkapi satu sama lain. Dapatkah atau absyah kah jika

hanya menggunakan sumber tradisional saja? Atau apakah kredibiltas historiografi

tradisional baru akan diterima jika dibandingkan atau didukung oleh sumber modern?

Dalam kaitan ini patut dikemukakan ada kategori; pertama, mereka yang sepenuhnya

bertumpu pada sumber naskah; kedua, yang bertolak dari naskah sebagai sumber

penulisan; ketiga adalah mereka yang menggunakan naskah untuk mendukung sumber

arsip/dokumen sezaman. Kategori pertama umumnya para ahli filologi, sedangkan dua

terakhir para sejarawan.

Tidak seperti ahli filologi pada umumnya, Hoesein Djajadiningrat, memiliki

“rasa hayat sejarah” yang tinggi. Dengan menganalisis secara kritis sumber naskah

sejarah Banten, dialah doktor pertama orang Indonesia yang berhasil menulis disertasi

dan dipertahankan di Universitas Leiden pada 1913. Bersumber sepenuhnya pada

naskah yang dalam hal ini dikategorikan sebagai historiografi tradisional, Hoesein

menerapkan metode sejarah dan mengajukan unsur prinsip sejarah yakni soal

menetapkan waktu. Hoesein melakukan tinjauan historis atas keterangan kronik tentang

sejarah Banten. Hoesein sangat paham akan perbedaan mana sejarah dan bukan sejarah.

32 Vol. 1, No. 1, Hal 17-44, Mei 2018 Itu dapat diketahui, karena selain bab mengenai tinjauan historis dibahas pula dalam bab

yang lain mengenai “tradisi-tradisi yang secara historis tidak dapat diuji akan

diperbandingkan dengan tradisi-tradisi yang bersamaan dari kronik-kronik lain”

(Djajadiningrat, 1983:2) Salah satu unsur yang dipraktikkannya adalah mengenai kapan

naskah ditulis agar tidak terjadi anakronistis. Dengan memperbandingkan sejumlah

naskah mengenai sejarah Banten misalnya, Djajadiningrat mampu untuk menetapkan

fakta yang konteks pada masanya, sehingga berani mengatakan mana yang “benar” dan

mana yang “keliru”.

Kesejarawanan Hoesein tampak ketika ia “meluruskan” kisah di dalam

Wawacan Sajarah Haji Mangsurmengenai konflik Sultan Haji dengan Sultan Agung,

ayahnya. Dalam wawacan itu, bukanlah Sultan Haji yang sesungguhnya, tetapi ada

seorang asing dari Pulo Putri (Majeti) yang telah merampas pakaian Sultan Haji dalam

perjalanan pulang dari Mekah di pulau tersebut, sehingga ia bias menyamar menjadi

Sultan Haji. Akan halnya Sultan Haji versi wawacan itu, ialah yang kemudian kembali

ke Banten dan berdiam di Cimanuk dengan nama Haji Mangsur. Argumentasi Hoesein

mengatakan untuk “ angkatan yang kemudian yang tidak mau tahu tentang permusuhan

antara bapak lawan anak, memberikan gambaran tersebut. Buat sejarah yang lebih tua,

karya ini tidak berarti” (Djajadiningrat, 1983:15). Dengan tegas Hoesein mengatakan

bahwa kisah tentang Sultan Haji dalamwawacan itu, palsu.

Sejarawan yang mencoba bertolak dari sumber naskah dandidukung dengan

sumber lainnya dapat diambil contoh dari negeri jiran Malaysia. Mardiana Nordin,

sejarawan dari Universiti Malaya menggunakan sumber naskah antara lainTuhfat al-

Nafis,Hikayat Raja-Raja Riau, dan Hikayat Johor Serta Pahang, sebagai sumber

historiografi tradisional untuk mendeskripsikan politik kerajaan Johor dalam abad

XVIII-XIX. Dikatakan Mardiana bahwa meneliti manuskrip dengan disiplin sejarah

mudah, karena umumnya naskah dikerjakan sebagai kajian sastra, yang berisi terutama

unsur mitos dan anakronisme (Nordin, 2008:11). Dalam kaitan ini Mardiana berusaha

menggunakan sumber historiografi tradisional dengan dibandingkan dnegan sumber lain

dan berhasil merekonstruksi sistem politik kerajaan Johor.

Dami N. Toda (1999) bertolak dari sumber sejarah lokal Manggarai

menghasilkan karya sejarah bagus yang dapat mengoreksi kekeliruan pengetahuan yang

dibangun oleh Belanda, seperti banyak dijumpai di tempat lain, disebut konstruksi

33 kolonial (Taufik Abdullah Prakata dalam Toda). Hal menarik dan penting terkait buku

Toda adalah dalam pengembangan teori dan penggunaan sumber sejarah lokal naskah

dan tradisi lisan. Sumber lokal yang disebut sebagai historiografi tradisional memberi

peluang dan dapat digunakan untukmendekonstruksi pengetahuan sejarah Indonesia

yang selama ini diterima (accepted history). Dalam kaitan ini karya Toda

memperlihatkan kekeliruan perspektif luar tentang sejarah Manggarai (Nusa Tenggara

Timur).

Dalam perspektif Bima, sebuah kesultanan besar di ujung timur Pulau Sumbawa,

Manggarai merupakan bagian dari kekuasaannya. Bima secara begitu saja memasukkan

Manggarai ke dalam kekuasaannya dengan menarik garis batas “Pota Nanga Ramo”

sebagai pemetaan wilayah Manggarai dalam penulisan Belanda – Bima tentang

Manggarai. Dalam hal ini pihak Belanda jauh sebelum berkontak langsung dengan

Manggarai telah mencantumkan pengaplingan peta tanah dan pengakuan souverenitas

Bima oleh Belanda atas Manggarai. Oleh karena Bima kemudian menjadi wilayah

kekuasaan Belanda maka otomatis pematokan wilayah itu pun dikaitkan dengan

“pemilikan” otomatis menjadi wilayah koloni Hindia Belanda berdasarkan “kekuasaan”

(opperheerschappij) Belanda atas Bima (Toda, 1999:14)

Argumentasi Dami N.Toda berhasil untuk mendekonstruksi pengetahuan tentang

Manggarai yang dikelirukan itu. Dalam laporan Belanda berdasarkan kisah Bima

dikatakan bahwa Manggarai sebagai ‘barang’ hadiah bayaran mas kawin yang

berpindah pemilik pada peristiwa perkawinan antara putra Bima dengan putri Gowa

(Sulawesi Selatan) pada 1727, tetapi kontradiktif tentang siapa menyerahkan sebagai

mas kawin. Gowa membayarkan Manggarai sebagai mahar kepada Bima, artinya

Belanda mengakui Manggarai sebelumnya berada di bawah pemilikan Gowa. Selain itu

terdapat pula tulisan yang berlawanan bahwa Manggarai dihadiahkan Bima kepada

Gowa sebagai mas-kawin dalam peristiwa itu (Toda, 1999:15). Pokok yang hendak

dikemukakan di sini ialah bagaimana menempatkan Manggarai sebagai suatu lokalitas

yang memiliki sejarah dengan perspektifnya sendiri, meskipun tidak dapat dilepaskan

dari pandangan pihak luar. Begitulah jika sejarah sering dihasilkan oleh sang pemenang

atau yang kuat, tetapi bukan berarti tidak pernah terjadi perubahan. Sejarah Manggarai

diketahui melalui historiografi Gowa dan Bima, kemudian masuk ke dalam

penggambaran Belanda. Ketiga “pusat kekuasaan” yang menghasilkan penulisan sejarah

34 Vol. 1, No. 1, Hal 17-44, Mei 2018 sebagai “berita pikiran” masing-masing utuh pada dirinya dan terikat pada ikatan hirarki

kekuasaan, apalagi setelah Gowa ditaklukkan Speelman pada 1667. Taufik Abdullah

menganalisis keterhubungan antarpihak terkait Manggarai, bahwa klaim Bima atas

Manggarai didukung Gowa, sebagai pertuanan Gowa atas Bima dan kemudian VOC-

Belanda pemegang hegemoni atas wilayah timur ini (Abdullah dalam Toda, 1999:8).

Seperti dikatakan Taufik Abdullah, Dami N. Toda mengajak kita menjelajahi

“pulau-pulau sejarah yang terabaikan” ketika masalah geografi dan tradisi lokal dan

tradisi lisan “dipertemukan” dengan historiografi luar dalam kaitan ini maka kita

dihadapkan pada corak “realitas” dan “bayangan realitas” di dalam “kewajaran sejarah”

ditemukan “kepastian sejarah” bagaimana di balik mitos yang berbenturan fakta dapat

ditegakkan?

Paparan yang telah cukup banyak dikemukakan di atas, tampaknya selaras

dengan upaya yang telah ditunjukkan makalah Seminar Nasional 60 Tahun Seminar

Sejarah Nasional 1957 di Yogyakarta, untuk“Menemukan Historiografi

Indonesiasentris” (Margana, et.al., 2017). Hanya sayangnya kumpulan makalah tersebut

tidak cukup diberi kerangka dan ‘benang merah’ mengenai “indonesiasentris.

Indonesia sentris merupakan perspektif yang terus menerus dieksplorasi ke dalam kerja

metodologis dan teoretis yang tak pernah usai. Dalam kaitan ini tampak ada semacam

tanggapan terhadap apa yang pernah dikemukakan oleh Bambang Purwanto mengenai

gagalnya Indonesiasentris? (2006). Perspektif kemaritiman dengan penggunaan sumber

lokal/tradisional dapat memberi sumbangan bagi pengembangan metode untuk tujuan

itu. Analisis terhadap kabanti (syair) Ajonga Yinda Malusa dan Kanturuna Mohelana

(penyalin dan terjemahan Zahari tt), seperti dipaparkan di bawah ini diharapkan dapat

mendukung sekaligus pemaknnaan terhadap “Indonesiasentris”. Dari kedua sumber ini

dapat diungkapkan sejarah dari sudut pandang suatu komunitas di nusantara sebagai

pemilik masa lampau yang sah, sebagai hadapan atas ‘pandangan luar’ (atau

eropasentris) yang sering dianggap suatu ‘kebenaran’ dan lebih daripada itu menjadi

dominan.

Penggalan syair Ajonga Yinda Malusa(“Pakaian yang Tidak Luntur”):

Kaapaka karana tongko indapo Karena waktu belum ada

Tee Walanda ipiya malona yitu Dengan Belanda beberapa waktu lalu

35 Adika timbu tajagani Taranate Musim Timur kita menjaga Ternate

Tajagani Gowa tongkona adika bara Menjaga Gowa waktunya musim Barat

Dari jenis sumber tradisional di atas memperlihatkan dimensi temporal juga.

Dapat ditangkap maknanya yaitu sebelum kehadiran dan pertolongan VOC/Belanda,

Buton sendiri yang harus menghadapi ancaman Ternate dan Gowa. Penggalan di bawah

ini menunjukkan kondisi setelah pertolongan Belanda itu.

Samatangkana loji imataneyo Setelah kuat loji di Timur

Amarosomo kota isukanayo Teguh tertiblah benteng di Barat

Amatangkamo mboorena lipu siy Sudah kuat kedudukan negeri ini

Akosaromo labu rope labu wana Bernamalah berlabuh haluan berlabuh buritan

Jika “Indonesiasentris” merupakan perspektif yang mewadahi pandangan sejarah

lokal, maka kabantiKanturuna Mohelana (“Pedoman Berlayar”) menjadi sumber

otentik Buton dalam “memandang dirinya” dan mengekspresikan masa lalunya.

Gambaran mengenai Buton dalam “menempatkan dirinya” di dalam sejarah dapat

dibaca dari penggalan kabanti di bawah ini.

Motodikana inuncana kuruani Yang tertulis di dalam Qur’an

Yitumo duka nabita akooni Di situlah nabi kita bersabda

Apaincanamo sababuna tana siy Menyatakan sebabnya tanah ini

Tuamo siy awwalina wolio Demikian ini awalnya Wolio

Tidak berhenti sampai di situ, ternyata masih dapat dibaca lagi bahwa dengan

“kebebasan kultural”, orang Buton juga “berhak” menyatakan dirinya tidak kalah tinggi

dibanding dengan kedudukan orang lain.

Inda kumondoa kupetula-tulaa keya Tidak selesai kuceritakan

Soo kudingki awwalina tia siy Hanya kusinggung awalnya seperti ini

Taoakana akosaro butuni Sebabnya bernama Butuni

36 Vol. 1, No. 1, Hal 17-44, Mei 2018 Aaboorasimo pangkati kalangaana Menempati pangkat yang tinggi

Gambaran sekilas di atas untuk menunjukkan betapa penting dan menariknya upaya

untuk mengungkapkan sumber lokal bagi suatu rekontruksi sejarah apakah nasional atau

regional dari banyaknya komunitas yang beragam di kepulauan ini.

4. Pemetaan dan Arah Perkembangan

Seiring dengan upaya keperluan menulis sejarah untuk kepentingan bangsa yang

merupakan rekomendasi Seminar Sejarah Nasional pertama (SNI, 1957) tema

kemaritiman sudah dirancang oleh sebuah tim yang diketahui A.B. Lapian dengan

anggota Lily Manus, Uka Tjandrasasmita, dan Hasan Muarif Ambary. Hasil kerja tim

menjadi bagian buku SNI Jilid III dalam Bab “Pelayaran dan Perdagangan Nusantara”.

Dalam Indonesia Dalam Arus Sejarah (IDAS, 2010) pun tema maritim tidak muncul,

alasannya sama seperti dalam SNI, IDAS bukan buku sejarah maritim. Keduanya lebih

bertema politik secara luas mengenai Indonesia. Singgih Tri Sulistiyono telah menulis

pengantar sejarah maritim Indonesia, yang sifatnya masih terbatas sebagai hasil laporan

riset Departemen Pendidikan Nasional (2004).

Dalam pengamatan hingga kini belum sampai sepuluh karya disertasi (doktor)

sejarawan Indonesia. Jika disebut secara berurutan tentu A.B. Lapian disebut pertama

(1987), satu dasawarsa kemudian Edward Poelinggomang (1991, diterbitkan 2002)

mengenai Pelabuhan Bebas Makassar abad ke-19;Masyhurimengenai kehidupan

nelayan di pantai utara Jawa (1995, diterbitkan 1996); Gusti Asnan (1998 diterbitkan

2007) mengenai pelayaran pantai barat Sumatera; Susanto Zuhdi(1999 diterbitkan 2010

& 2018) mengenai model kerajaan maritim Buton; Singgih Trisulistyono (2003, belum

diterbitkan) tentang peran Laut Jawa dalam proses integrasi ekonomi nasional; Sutejo

Kuwat Widodo (2005 diterbitkan 2007) tentang Pelabuhan Perikanan di Pekalongan;

Agustinus Supriyono (2008 belum terbit) mengenai buruh pelabuhan Semarang.

Setelah itu muncul beberapa disertasi namun sayangnya belum diterbitkan, antara lain:

Endang Susilowati (2004) tentang Pelabuhan Banjarmasin 1880-1990 pasang surut

pelayaran perahu rakyat; Indriyanto (2010) tentang Pelabuhan Surabaya; Didik

Pradjoko (2015) tentang Laut Sawu seteru-sekutu antarkekuatan kerajaan lokal di

Larantuka abad ke-19.

37

Pemetaan historiografi sejarawan maritim Indonesia yang relative sedikit itu

dikaitkan dengan arah dan perspektif “keindonesiaan” tampak masih terbatas pada

kawasan dan tema tertentu. Perspektif dan tema sejarah maritim sesungguhnya masih

terbuka luas untuk dikaji misalnya pada masyarakat pesisir baik dari aspek sosial-

ekonomi dan budaya masyarakat kepulauan. Kajian petani garam di pesisir Jawa dan

Madura seperti yang dilakukan Dr. Yety Rochwulaningsih, dalam pidato

pengukuhannya sebagai Guru Besar Sejarah dan Sosiologi Maritim pada Universitas

Diponegoro (2017) membuka perspektif ‘baru’ dalam pengembangan sejarah maritim

Indonesia.Dengan menggunakan pendekatan sosiologi, Prof. Yety mengemukakan

permasalahan petani garam yang terpinggirkan dan nasib Indonesia yang justru masih

tergantung impor garam. Padahal negeri ini memiliki laut luas dan garis pantai

terpanjang kedua di dunia.

Dalam perkembangannya tema mengenaikajian maritim sudah lebih banyak

ditemukan dalam IDAS daripada dalam buku Sejarah Nasional Indonesia. Di dalam

IDAS yang terdiri atas 8 jilid plus satu buku kronik, merupakan karya ‘monumental’

sejarawan Indonesia, setidaknya dilihat dari keterlibatan hampir seratus sejarawan dari

Tanah Air. Karya ini merupakan salah satu hasil rekomendasi Konferensi Nasional

Sejarah 2001. Dikerjakan dalam waktu yang panjang buku ini baru dapat diluncurkan

pada 2010. Umumnya karena dengan alasan mahal—dengan harga 5 juta rupiah--buku

ini tidak banyak diketahui apalagi dibaca. Aspek kemaritiman lebih banyak dijumpai

dalam IDAS (jilid 4) dibanding dalam Sejarah Nasional Indonesia (SNI). R.Z.Leirissa

menulis Bab 1 “Eropa Menemukan Asia Tenggara” (4-19); & Bab 2 “Verenigde Oost

Indische Compagnie” (21-41).; bab 3 Uka Tjandrasasmita “Persaingan di Pantai Barat

Sumatera”; Singgih Bab 4 “Pasang Surut Jaringan Makassar Hingga Masa Akhir

Dominasi Kolonial Belanda” (70-85); Singgih Bab 5 “Dinamika Kemaritiman dan

Integrasi Negara Kolonial” (86-125).

Dengan pemetaan kasar di atas tampaknya masih minim dan belum merata akan

kesempatan dan peluang untuk melakukankajian sejarah maritim di Indonesia. Belum

lagi masalah dalam hal belum adanya Perguruan Tinggi/Universitas seperti di

Kalimantan yang memiliki jurusan/Prodi Sejarah. Satu-satunya Prodi Sejarah di

Pontianak dimiliki oleh STIK PGRI. Bukan saja Kalimantan merupakan pulau terbesar

ketiga di Indonesia tetapi juga karena memiliki karakter banyaknya sungai unsur yang

38 Vol. 1, No. 1, Hal 17-44, Mei 2018 tidak mungkin dipisahkan dari kemaritiman, maka sesungguhnya sudah sangat

mendesak untuk membuka Prodi Studi Sejarah.

5. Konsep Ruang Sejarah dan Pengembangan Teori

Pendekatan pasca-struktural (post-structuralism) dan terutama postmodernism yang

mendeskonstruksi sejarah karena pada umumnya hanya ditopang oleh fakta keras

dengan sumber arsip dan dokumen (resmi), perlu dipertimbangkan untuk

mengeksplorasi metodologi yang dibicarakan ini. Posmodernisme secara umum ditandai

oleh reaksi kesadaran diri untuk menghadapi semua wahana yang digunakan oleh aliran

“enlightenment” yang perhatiannya pada “kemajuan” (notion of progress) sebagai

produk budaya modernisme. Sedangkan pos-strukturalisme, dipahami dalam konteks

menyerang strukturalis yang menggunakan Bahasa –an sich—dianggap mewakili

kenyataan. Penggunaan bahasa dalam kerangka semiotiksebagai mekanisme referensial

yang berhubungan dengan “knowing”, “telling”, dan “meaning” harus dipertanyakan

kembali. Meminjam ungkapan Barthes “meaning is always unstable” (Munslow :206-

9).

Sejarah Indonesia pada dasarnya belum merepresentasikan masa lalu dari begitu

banyak pulau, terlebih dari kenyataan itu kehidupan masyarakatnya yang sering

dilukiskan dengan karakter pulau beserta lautnya, memberi peluang untuk

mengembangkan teori. Angin, air pasang surut, riak gelombang bagi masyarakat

kepulauan tidak hanya ditanggapi sebagai gejala alam melainkan juga makna bagi

kehidupannya. Oleh karena factor sejarah, gejala alam itu memberi makna lain dari

kehidupan,yang pada umumnya lebih digambarkan dengan tema politik dan narasi

besar. Kalaupun dibicarakan, politikyang dimaksud merupakan urusan atau kepentingan

masyarakat pulau yang terabaikan termasuk narasi yang tak muncul atau dimunculkan

ke permukaan. Oleh karena banyaknya rumpang pengetahuan mengenai pulau, yang

belum dikaji dan sebelum semua selesai dilakukan maka perlunya dirumuskan teori

yang kemudian diturunkan ke dalam konsep dan pendekatan sebagai pola yang dapat

digunakan untuk kajian yang masih ditunggu.

Bertolak dari konsep “ingatan kolektif” sebagai ditegaskan Taufik Abdullah

bahwa pada dasarnya masyarakat kepulauan diintegrasikan oleh kemaritimannya, maka

pola-pola pemahaman atas gejala sejarahnya dapat dirumuskan. Dalam kaitan itu maka

39 secara teoretik atau setidaknya kerangka konseptual boleh diajukan “ dalam perspektif

sejarah maritim, Indonesia adalah memori kolektif bangsa yang merajut pulau-

pulaunya”, hanya sayangnya masih banyak ‘pulau sejarah’ dan “sejarah pulau yang

terbaikan” (Zuhdi 2014 dalam lipatan depan buku). Jika teori harus dibangun dari titik

tolak pandang (point of view) atau pandangan dunia (world view) di lokasi mana gejala

hendak ditangkap dan diberikan makna, tiada lain dari geografi dan karakter kepulauan

itu sendiri. Kalau begitu maka historiografi maritim Indonesia hendaknya berorientasi

danbertolak seperti yang diungkapkan oleh penyair Kenya Ngugi Thiong ‘O “from what

base do we look at the world”. Bertolak dari geografi kepulauan dengan peran sistem

laut sebagai factor integratif sebag dikemukakan Lapian, maka Indonesia tidak hanya

ditanggapi sebagai kondisi fisiknya saja melainkan juga makna yang sering kali

metaforis.

Marshall Sahlins melalui bukunya “Islands of History” (1985) telah memberi

peluangbagi pengembangan teori sejarah maritim Indonesia. Sebagai ahli antropologi

yang mengkaji kehidupan masyarakat di Kepulauan Hawaiitampaknya ia sadar akan

pentingnya dimensi kesejarahan masyarakat lokal. Seharusnya terjadi pula hal yang

sebaliknya dilakukan sejarawan untuk memanfaatkan pendekatan antropologi untuk

kajian sejarah. Konsep antropologi yang paling relevan dalam studi dan penulisan

sejarah adalah sistem nilai dalam kebudayaan sebagai struktur pemaknaan terhadap

fakta sejarah. Seperti dikatakan Sartono Kartodirdjo bahwa menafsirkan fakta tidak

dapat dilepaskan dari ikatan kebudayaan (kultuurgebundenheit). Kaitan antara sejarah

dan budaya dijelaskan Sahlins dengan ungkapan begini: sejarah adalah gejala yang

secara budaya tertata, sedangkan budaya adalah struktur yang secara historis

direproduksi oleh tindakan (Zuhdi, 2018b:8-9).

Kontrak perjanjian yang dibuat Kesultanan Buton dan VOC/Belanda dari masa

ke masa dalam dua abad itu sesungguhnya merupakan rangkaian peristiwa yang dalam

konsep Sahlins merupakan fakta sejarah yang tertata dalam struktur budaya yakni

pemaknaan saling menguntungkan di antara keduanya. Buton terlindungi dari serangan

Gowa dan Ternate karena kehadiran VOC, sedangkan VOC diuntungkan karena

mendapatkan budak dan menguasai jalur strategis ke Kepulauan Maluku. Budaya dalam

arti struktur tidak berarti stabil karena terjadi berbagai peristiwa perlawanan sehingga

bisa terguncang atau bahkan runtuh sebagian atau keseluruhannya. Dalam arti positif

40 Vol. 1, No. 1, Hal 17-44, Mei 2018 budaya sebagai struktur dapat direproduksi dalam bentuk ‘baru’ atau bentuk modifikasi

oleh karena adanya peristiwa yang digerakkan oleh individu atau kelompok sosial

tertentu. Begitulah ketika terjadi pembangkangan Sultan Himayatuddin karena justru

tidak mengatasi peristiwa perompakan kapal VOC di perairan Baubau 1752, bahkan

sultan berada di pihak perompak, maka struktur yang dijalin lama porak poranda.

Perang Buton pun meletus pada 1755, setelah tiga tahun tarik ulur yang tak

berkesudahan atas janji Buton untuk menyerahkan seribu budak tak terpenuhi, sebagai

hukuman atas tindakan Himayatuddin. Benteng Wolio dan kota Baubau diserang hebat

oleh pasukan yang dipimpin Kapten Reisweber pada 24 Februari 1755. Sapati (perdana

menteri) dan kapitalao (kepala staf angkatan laut) Buton gugur dan ratusan orang tewas

dalam serbuan pasukan Kompeni itu. Peristiwa itu diingat dalam syair Ajonga Yinda

Malusa karya pujangga Buton Abdul Ganiyu, sebagai Zamani Kaheruna Walanda

(zaman huru hara Belanda) (Zuhdi & Effendy 2015a:83).

Bagi Buton Kompeni Belanda dianggap sebagai pengabsyah legitimasi

kedaulatan di satu sisi, tetapi juga sebagai pengancam karena terus menerus

merongrongnya dalam hal kebutuhan untuk mendapatkan budak, di sisi lain. Secara

keseluruhan bagaimanapun Buton mengakui dengan kehadiran VOC, posisi Buton

sebagai negara yang digambarkan sebagai “perahu” terombang ambing antara tarikan

Gowa dan Ternate menjadi stabil. Dalam periode panjang struktur pengalaman

menghasilkan ketajaman intuisi orang Buton tanggap akan gejala alam; jika angin barat

(rope) berhembus maka akan datang serangan Gowa sedangkan angin timur (wana)

berembus tanda serangan Ternate akan datang. Kestabilan “perahu Buton” terwujud

ketika dapat berlabuh (di) haluan dan berlabuh (di) buritan. Begitulah dalam syair

Kabanti Ajonga Yinda Malusa, kondisi itu disebut sebagai “Labu Rope Labu Wana”

(Zuhdi 2018b: 2).

Dari pengalaman ancaman yang silih berganti dalam tempo yang panjang—dua

abad—telah membentuk “ingatan kolektif” yang kemudian menjadi “kesadaran

kolektif” orang Buton Labu Rope Labu Wana dapat disebut sebagai konsep dalam

konteks teori yang dapat menjelaskan bentuk keterancaman dan dinamika pemertahanan

diri bagi suatu komunitas atau entitas politik, yang umumnya masih banyak dijumpai di

negeri kepulauan, khususnya kawasan timur Indonesia.

41 KESIMPULAN

Metodologi dan teoriilmu sejarah akan berkembang jikaterdapat keberlanjutan diskusi

mengenai persoalan historiografi dengan berbagai studi kasus,baik secara langsung atau

tidak langsung, meneruskan dan memantapkan atau memperluas dan memperincinya ke

dalam aspek-aspek tertentu. Secara geografis masih banyak rumpang di banyak

kawasan kepulauan yang belum dikaji, masih banyak ‘pulau sejarah’ yang terabaikan

dan sebagai konsekuensinya merupakan keharusan untuk mengungkap “sejarah pulau”

nya. Arah yang pengembangan kajian sejarah maritim ke kawasan timur menjadi sangat

relevan, dalam konteks banyak kawasan yang belum tersentuh studi kemaritiman, yang

sesungguhnya tidak hanya dalam ranah sejarah, atau dari ilmu sosio-humaniora secara

sendiri-sendiri atau dengan berkolaborasi.

Justru berkolaborasi dengan berbagai ilmu-ilmu lainnya, memungkinkan Ilmu

Sejarah mengembangkan kajian yang lebih komprehensif dan mampu merumuskan

teori. Triumvirat sejarawan terkemua Indonesia—Sartono Kartodirdjo, Taufik Abdullah,

A.B. Lapian,-- telah mendemonstrasikan pencetusan dan pengembangan teori sejarah.

Dalam kaitan dengan sejarah maritim yang dibicarakan ini suatu upaya untuk

menerapkan pemikiran di atas mulai digarap, beberapa disertasi sejarawan maritim

Indonesia, yang dikemukakan di atas menjadi bukti.Penulis sendiri telah mencoba

“berteori” dalam kasus “sejarah Buton yang terabaikan” ini. Dengan mengemukakan

Labu rope labu wana, bukan hanya berarti untuk memahami sikap manusia Buton,yang

dibentuk oleh kesadaran akan ruang sejarah tetapi juga sebagai “teori” sejarah maritim

yang dapat diterapkan pada wilayah kepulauan.

Jika Benedetto Croece mengatakan bahwa “sejarah yang benar” adalah sejarah

kontemporer, apa yang sesungguhnya dimaksudkan adalah bahwa “sejarah selalu

kontemporer”. Artinya sejarah selalu relevan dengan masa kini, karena sejarawan ingin

menghadirkan ‘kembali’ masa lampau itu. Jika garis waktu ingin diproyeksikan ke

depan, maka masa lampau sebagai bahan utama sejarah yang dapat digunakan untuk

merumuskan kebijakan bagi masadepan yang lebih baik. Pertanyaannya kemudian,

fakta sejarah seperti apa yang dianggap relevan dengan kekinian bangsa Indonesia?

Jawaban perlu diletakkan dalam landasan dan pandangan terhadap lingkungan dunia

dan dunia kehidupan dari masyarakat pemilik sejarah.Sejarawan maritim ditantang tidak

hanya mampu menghasilkan kajian dalam arti pengembangan metodologi dan teori,

42 Vol. 1, No. 1, Hal 17-44, Mei 2018 tetapi juga bagi masyarakat-bangsa dalam bentuk rumusan kebijakan, serta bagi

kemanusiaan yang menghargai hakikat kehidupan damai dan sejahtera.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, T. 1971. “Kata Pengantar”, dalam P. de Roo de Faille. Dari Zaman

Kesultanan Palembang. Jakarta: Bhratara.

Abdullah, T. 1995. Pengalaman, Kesadaran, dan Sejarah. Pidato Pengkuhan Guru

Besar dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Sastra UGM, pada tanggal 27

November.

Abdullah, T.. 2009. Indonesia Towards Democracy. Singapore, ISEAS.

Amal, A.M. 2010. Kepulauan Rempah-rempah Perjalanan Sejarah Maluku Utara

1250-1950. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Asnan, G. 2008. Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Braudel, F.1966.The Mediterranean and the Mediterranean World in the Age of Philip

II. Berkeley: University of California Press.

Giddens, A. 2005. “The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration:

Elements of the Theory of Structuration”, dalam Gabrielle M. Spiegel (ed.).

Practicing History New Directions in Historical Writing after the Linguistic

Turn. 121-142.

Iskandar, M. 2006. “Aksi Kolektif Petani Ciomas Tahun 1886 Dampak Politis Bagi

Pemerintahan Hindia Belanda”. Disertasi. Depok: FIB Universitas Indonesia.

Kartodirdjo, S. 1978. Protest Movement in Rural Java: A Study of Agrarian Unrest in

the Nineteenth and Early Twentieth Centuries. Kualalumpur: ISEAS

Kartodirdjo, S. 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta: Pustaka Jaya.

Lapian, A.B. 1994. “Some Explorations in the History of the Maritime World of

Southeast Asia”, Makalah disampaikan dalam IAHA Conference Tokyo, 5-8

September.

Lapian, A.B. 2009. Orang Laut Bajak Laut Raja Laut Studi Kawasan Laut Sulewesi

Abad XIX. Depok: Komunitas Bambu. 2008.Pelayaran dan Perniagaan

Nusantara Abad ke-16 dan 17. Depok, Komunitas Bambu.

Lloyd, C. 1993. The Structures of History. Oxford: Blackwell.

43 Margana, S. et.al. (ed.).2017. Menemukan Historiografi Indonesiasentris. Yogyakarta:

Penerbit Ombak.

Masyhuri. 1996. Menyisir Pantai Utara: Usaha dan Perekonomian Nelayan di Jawa

dan Madura 1850—1940. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama bekerja sama

dengan Perwakilan KITLV.

Munslow, A. 2006. Historical Studies, Second Edition. Cambridge: Routledge.

Nordholt, S., Bambang Purwanto, Ratna Saptari. 2008. Perspektif Baru Penulisan

Sejarah Indonesia. Jakarta: KITLV dan Penerbit Obor.

Notosusanto, N. dan Marwati Djoened Poesponegoro. 1977. Sejarah Nasional

Indonesia, Jilid 3. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Nursam, M. 2008. Sejarah Yang memihak: Mengenang Sartono Kartodirdjo.

Yogyakarta: Ombak.

Poelinggomang, E.L. 2002. Makassar Abad XIX: Studi Tentang Kebijakan

Perdagangan Maritim. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Purwanto, B. 1992. “From Dusun to Market: Native Rubber Cultivation in Southern

Sumatra”. PhD Thesis. London: SOAS University of London.

Purwanto, B. 2006. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?. Yogyakarta: Penerbit

Ombak.

Rahardjo, D.2017. Nasionalisme Sosialisme dan Pragmatisme: Pemikiran Ekonomi

Politik Sumitro Djojohadikusumo. Jakarta: LP3ES.

Rochwulaningsih, Y. 2007. “Membongkar Ketidakadilan Struktural Dalam Usaha

Garam Rakyat Melalui Perspektif Sosiologi Sejarah Guna Mewujudkan

Kesejahteraan Petambak Garam dan Swasembada Garam Nasional”. Pidato

Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro,

Semarang 25 Maret.

Sahlins, M. 1985. Islands of History. Chicago: Chicago University Press.

Supriyono, A. 2008. “Buruh Pelabuhan Semarang: Pemogokan-pemogokan pada zaman

kolonial Belanda, Revolusi dan Republik 1900-1965. Disertasi. Amsterdam:

Vrije Universiteit.

Suryo, Dj. (ed.). 2010. Indonesia Dalam Arus Sejarah,Jilid 4. Editor Umum Taufik

Abdullah dan A.B. Lapian. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Toda, D.N. 1999. Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi. Ende: Nusa Indah.

44 Vol. 1, No. 1, Hal 17-44, Mei 2018 Tri Sulistiyono, S. 2003. The Java Sea Network: Patterrns in the Development of

Interregional Shipping and Trade in the Progress of National Economic

Integration in Indonesia, 1870s—1970s. Proefschrift Universiteit Leiden.

Tri Sulistiyono, S. 2004. Pengantar Sejarah Maritim Indonesia. Jakarta: Depdiknas.

Vos, R.1993. Gentle Janus, Merchant Prince: The VOC and the Tightroep of

Diplomacy in the Malay World, 1740-1800. Leiden, KITLV.

Widodo, S.K. 2005. Ikan Layang Terbang Menjulang. Semarang: Badan Penerbit

Universitas Diponegoro bekerjasama dengan The Toyota Foundation.

Zahari, A.M. Ajonga Yinda Malusa, tt.

Zahari, A.M. Kanturuna Mohelena tt.

Zuhdi, S. 2018a. “Belajar Dari Sejarah Perjuangan Bangsa”, Kompas, 27 Januari

2018:7.

Zuhdi, S. 2008. “Metodologi Strukturistik dalam Historiografi Indonesia: Sebuah

Alternatif”, dalam Djoko Marihandono (ed.). Titik Balik Historiografi di

Indonesia. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Zuhdi, S. 2010. Sejarah Buton Yang Terabaikan Labu Rope Labu Wana. Jakarta:

Rajawali Grafindo, 2010.

Zuhdi, S. 2014. Nasionalisme, Laut, dan Sejarah. Depok: Komunitas Bambu.

Zuhdi, S. 2015b. “Budaya Bahari Sebagai Wajah Utama Masa Depan Negara Maritim

Indonesia”, Orasi Ilmiah Dies Natalis ke-75, FIB-UI, Depok, 8 Desember.

Zuhdi, S. 2018b. “Buton dan Kesadaran Pada Ruang Sejarah”. Orasi Ilmiah 65 Tahun

Prof. Dr. Susanto Zuhdi: Tiga Dekade Arungi Sejarah Bahari. Depok, 4 April

Departemen Sejarah FIB-UI.

Zuhdi, S. dan Muslimin R. Effendy. 2015a. Perang Buton vs Kompeni-Belanda 1752-

1776. Mengenang Kepahlawanan La Karambau. Depok: Kobam.

Zuhdi, S. 2006. “Konsep Tanah-Air Dalam Perspektif Sejarah Indonesia”. Pidato

Pengukuhan Guru Besar tetap, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, Kampus

Salemba 25 Maret.

Zuhdi, Susanto. 2016. Cilacap 1830—1942: Bangkit dan Jatuhnya Sebuah Pelabuhan

di Jawa. Yogyakarta: Penerbit Ombak, sebelumnya diterbitkan (KPG 2002)

45

JURNAL SEJARAH INDONESIA

Vol. 1, No. 1, Hal 45-59, Mei 2018

ISSN : 2621-1580

KE ARAH PENULISAN SEJARAH (SENI) TARI MAENGKET MINAHASA: TANTANGAN KETERSEDIAAN HISTORIOGRAFI

Ivan Robert Bernadus Kaunang

Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sam Ratulangi

Pos-el: [email protected]

ABSTRACT This article aims at discribing the challange of historiography availability, the factors that inhibit the availability of souces for Maengket Dance, and how the srategy toward the historiography availability which adeguate about Maengket Dance can be used in the development of historiography which is not just limited to the historical writing of Maengket Dance, but wider to the historical writing of other performance arts. Heuristic step becomes special in historical method in an effort to find and search for sources. A qualitative interpretive approach was employed to get a description of the link to the purpose of writing. The scarce of historical records became the challange for the availability of historiography of Minahasa Maengket Dance. This thing was related with the historical background of Minahasa as a region which has no standard letter of alphabet as other etnic groups in Indonesia that participate in giving the scarcity of historical sources of Maengket Dance. So it is important to open academic room for paying more attention to Maengket Dance as subject of research that participate in enriching historiography and treasure of culture art in Indonesia Keywords: historiography, Maengket Dance, Minahasa

ABSTRAK

Tulisan ini bertujuan mendeskripsikan tantangan ketersediaan historiografi, faktor yang menghambat ketersediaan sumber Tari Maengket, dan bagaimana strategi ke arah ketersediaan historiografi yang memadai tentang Tari Maengket untuk dapat digunakan dalam pengembangan historiografi yang tidak saja terbatas pada penulisan sejarah Tari Maengket, tetapi lebih luas lagi pada penulisan sejarah seni-seni pertunjukan lainnya. Langkah heuristik menjadi khas dalam metode penelitian sejarah dalam upaya mencari dan menemukan sumber. Pendekatan kualitatif interpretatif digunakan untuk mendapatkan deskripsi kaitan dengan tujuan penulisan. Kelangkaan catatan sejarah menjadi tantangan ketersediaan historiografi Tari Maengket Minahasa. Hal ini terkait dengan latar historis Minahasa sebagai daerah yang tidak memiliki aksara baku sebagaimana sukubangsa lainnya di Indonesia yang turut memberi kelangkaan sumber tentang sejarah Tari Maengket. Dengan demikian penting dibuka ruang-ruang akademik untuk memberikan perhatian lebih terhadap Tari Maengket

46 Vol. 1, No. 1, Hal 45-59, Mei 2018

sebagai subjek penelitian yang turut memperkaya historiografi dan khazanah budaya berkesenian di Indonesia. Kata Kunci: historiografi, Tari Maengket, Minahasa

PENDAHULUAN

Penulisan sejarah atau historiografi memiliki banyak pengertian. Dari semua pengertian

tersebut, mengandung maksud dan tujuan pada setiap tulisan, baik karya sejarah

maupun yang bukan tulisan sejarah. Disebut sebagai sebuah tulisan sejarah atau bukan,

akan terkait langsung dengan metode dan pendekatan penelitian dan penulisan. Dibalik

dari semua tulisan/karya, bagi historiografi yang utama adalah sejauhmana sebuah

tulisan dapat memberikan data/informasi yang dibutuhkan. Historiografi pada akhirnya

sebagai tujuan akhir dari karya sejarah yang dapat memberikan gambaran, informasi,

keterangan, kondisi, dan ketersediaan data/sumber bagi suatu tema tulisan sejarah, baik

berupa buku (text book) maupun berupa cerita-cerita (legenda, mitologi), nyanyian-

nyanyian, syair, puisi, pantun, novel, cerpen, dsb.

Untuk mendapatkan sebuah data/sumber berkaitan dengan tema tertentu tidaklah

mudah, seperti halnya mendapatkan data/sumber berkaitan dengan kesenian rupa, tari,

musik, dan sejenisnya. Seni-seni tertentu, seperti dalam pembahasan ini, yakni

ketersediaan historiografi seni tari Maengket di Minahasa, tidaklah mudah. Hal ini

kaitannya dengan sifat kesenian itu sendiri. Tari adalah seni gerak, dan ekspresinya

dalam bentuk gerakan bukan dalam bentuk tulisan. Terkadang seni gerak atau tarian

dapat ditemukan dalam sebuah tulisan tetapi dalam bentuk syair nyanyian pengiring tari,

bentuk koreografer atau bentuk-bentuk formasi tari. Sangat jarang ditemukan sebuah

karya tulis seni tari, apalagi tari itu adalah tari-tari tradisi pada suatu masyarakat yang

tidak memiliki tulisan atau aksara baku sebagaimana dikenal umum dalam tulisan abjad

A sampai Z.

Minahasa sebagai salah satu sukubangsa (dibaca bangsa) dari sekian ratus suku-

sukubangsa di Indonesia adalah salah satu yang tidak memiliki aksara baku. Banyak

kisah dan peristiwa dari sukubangsa Minahasa masih memerlukan interpretasi dan tafsir

atas begitu banyak simbol-simbol dan tanda-tanda, seperti yang terukir dalam wadah

batu-batuan. Beberapa di antaranya telah diberi makna oleh para pengkaji pendahulu

dengan berbagai alasan yang ditemukan dalam proses penelitian, seperti goresan-

47 goresan dipusat peradaban Minahasa, Watu Pinawetengan. Pemahaman yang sama

dapat ditemukan jika interpretasi arti dan makna terhadap sesuatu tanda dan simbol

memiliki latar emosional yang dapat diterima oleh pemilik budaya setempat. Sebaliknya

terdapat perbedaan pendapat terhadap sesuatu hal jika pemenuhan aspek historis dan

kultural belum dapat dicapai oleh peneliti dan pengkaji tanda dan simbol dimaksud

secara emik.

Apa yang dikemukakan di atas adalah dinamika dari latar historis Minahasa

sebagai suatu daerah, selain tidak memiliki aksara baku sebagaimana sukubangsa

lainnya di Indonesia yang memiliki huruf dan adanya tulisan-tulisan awal dari berbagai

ketersediaan catatan-catatan, dan terbukanya tabir kesejarahan suatu pokok bahasan

tertentu. Kelangkaan catatan sejarah menjaditantangan ketersediaan historiografi Tari

Maengket Minahasa. Tulisan ini bertujuan mendeskripsikan tantangan ketersediaan

historiografi, faktor-faktor yang menghambat ketersediaan sumber Tari Maengket, dan

bagaimana strategi ke arah ketersediaan historiografi yang memadai tentang Tari

Maengket untuk dapat digunakan dalam pengembangan historiografi yang tidak saja

terbatas pada penulisan sejarah Tari Maengket, tetapi lebih luas lagi pada penulisan

sejarah dari seni-seni pertunjukan lainnya.

Metode sejarah menjadi ciri dalam langkah-langkah penelitian terutama langkah

heuristik dalam mencari dan menemukan sumber, dan benar-benar menemukan.

Penemuan sumber dilakukan baik melalui perpustakaan maupun observasi search

internet sebaran sumber terkait lainnya. Setelah sumber diperoleh dan diinventarisir,

klasifikasi sumber dengan pendekatan kualitatif interpretatif, kemudian dilanjutkan

dengan deskriptif. Berdasarkan bentuk penyajiannya sumber data berupa buku teks

seperti, tesis, disertasi, dan makalah-makalah hasil seminar yang sebagian di antaranya

disatukan dalam prosiding seminar nasional maupun internasional, sebagiannya lagi

dalam bentuk sajian jurnal penelitian.

PEMBAHASAN

1. Ruang Intelektual: Tantangan Ketersediaan Historiografi Tari Maengket

Minahasa

48 Vol. 1, No. 1, Hal 45-59, Mei 2018 Sampai saat ini, sepanjang pengetahuan penulis yang aktif melakukan pendampingan di

komunitas-komunitas kelompok diskusi budaya, dan bergaul aktif di dewan kesenian

daerah, serta beberapakali menjadi tim yuri lomba seni budaya khususnya Tari

Maengket di daerahtermasuk ditunjuk sebagai salah satu fasilitator di daerah bersama

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendibud) Jakarta bekerjasama dengan

Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Manado dalam pengusungan TM sebagai salah

satu warisan budaya dunia di tahun (2012) masalah utama yang dihadapi adalah

ketersediaan data/sumber pendukung Tari Maengket.

Menilik sejarah Tari Maengket, tidak bisa lepas dari sejarah daerah Minahasa

yang dalam konteks historiografi pada umumnya di generasi kekinian dan sebelumnya,

hanya memanfaatkan tulisan-tulisan sejarah yang ditulis oleh arsiparis barat. Jika

diamati dengan seksama sejarah publik kaitannya dengan Tari Maengket yang beredar

di media sosial adalah Tari Maengket Imbasan atau tulisan dan karya yang telah melalui

interpretasi atas karya-karya sebelumnya.Sebagai sebuah seni gerak atau tari, proses

perkembangannya sangat dinamis mengikuti kondisi sosial budaya suatu masyarakat.

Ekspresi seni Tari Maengket kekinian tidak lagi original yang mengusung keaslian

sebuah tari sebagaimana awalnya tari itu lahir. Apa yang nampak dalam Tari Maengket

sekarang adalah sebuah ekspresi seni tari yang telah mengalami proses adaptasi dari

zaman ke zaman dalam konteks budaya keminahasaan.

Tantantangan ketersediaan tulisan yang representatif dalam sebuah buku, jika

dibanding dengan karya tari-tarian tradisi di Jawa dan Sumatera, khusus di Minahasa

Sulawesi Utara masih tertinggal jauh. ketertinggalan itu disebabkan oleh banyak faktor

baik dari dalam maupun luar. Faktor dari dalam seperti kurangnya ruang partisipasi

intelektual para pangkaji tari-tari tradisi khususnya di daerah Minahasa, kurangnya

seminar, diskusi, dan sejenis yang membahas khusus tentang Tari Maengket. Begitupun

keterlibatan instansi teknis yang memiliki peran dalam mengembangkan kebudayaan di

daerah, seperti Balai Pelestarian Nilai Tradisi (BPNB) Manado – Sulawesi Utara,

Taman Budaya, Dinas Pendidikan dan, Dinas Kebudayaan, termasuk Perguruan

Tinggi/Universitas. Pada umumnya didapati berkaitan dengan ruang cipta karsa Tari

Maengket ini ditempatkan dalam ruang-ruang pementasan atraksi wisata dan daya tarik

untuk kegiatan pariwisata, dan kegiatan seremonial lainnya.

49 Produksi dan distribusi Tari Maengket sebagai salah satu tarian tradisional yang

menjadi bagian representasi diri/identitaas keminahasaan lebih banyak dibuka ruangnya

pada acara seremonial semata bukan pada kajian-kajian kearah ketersediaan

historiografi Tari Maengket. Festival dan lomba Tari Maengket banyak didapati dan

dilaksanakan oleh sejumlah instansi, dan sering menjadi trendi pada bulan-bulan

tertentu, seperti misalnya Hari Ulang Tahun kota kabupaten di Minahasa (Kabupaten

Minahasa, Minahasa Utara, Minahasa Selatan, Minahasa Tenggara, Kota Manado, Kota

Bitung, Kota Tomohon); kegitan-kegiatan yang diarahkan untuk mengisi kekosongan

suatu acara seremonial-resepsi, yang diakhiri dengan menyajikan atraksi Tari Maengket

sebagai pelengkap suasana meriahnya suatu kegiatan acara.

Tidak disadari lagi oleh seniman yang memproduksi dan mendistribusi Tari

Maengket sebagai salah satu tarian sakral bukan untuk seremonial, namun dengan

pengaruh globalisasi dan kegiatan pariwisata, Tari Maengket ini menjadi ikon utama

dalam banyak kegiatan. Pariwisata dengan industri pariwisatanya telah mendorong

munculnya berbagai sanggar-sanggar seni Tari Maengket sebagian besar di antaranya

jatuh bangun dalam menghidupkan organisasi sanggarnya. Hanya sanggar-sanggar seni

yang memiliki modal sosial dan modal ekonomi yang mapan yang mampu bertahan

dalam eforia memanfaatkan kendaraan memajukan kebudayaan di daerah melalui seni

Tari Maengket Minahasa. Sanggar-sanggar seni yang memiliki modal sosial yang kuat

adalah sanggar yang para pimpinannya memiliki jabatan tertentu di pemerintahan atau

di instansi/lembaga swasta. Modal sosial seperti konsep ini memungkinkan sistem

relasional yang mutual simbiosis mengemuka. Sanggar-sanggar seni Tari Maengket

seperti inilah yang akan sering tampil karena kekuatan jaringan sosial yang

direpresentasikan melalui pimpinannya. Begitupan sistem kerjanya praktik berkesenian

dengan sanggar-sanggar seni Tari Maengket lainnya yang memiliki modal ekonomi

yang mapan.

Eforia lainnya terjadi pada tingkat tinggi, justru sanggar-sanggar seni yang

memiliki kemapanan modal inilah yang menkomodifikasi Tari Maengket sesuai dengan

keinginan sanggar dan panggung. Perubahan-perubahan dalam banyak aspek dalam seni

Tari Maengket terjadi dan tidak bisa dielakkan, karena tidak ada satu instansipun atau

lembaga yang dapat memberikan koreksi terhadap penampilan busana tari dan asesories

lainnya, jenis penggunaan musik pengiring, dan lainnya.

50 Vol. 1, No. 1, Hal 45-59, Mei 2018 Dari fenomena seputar eksistensi Tari Maengket yang dikemukakan

sebelumnya, ternyata ada begitu banyak tema-tema kajian yang dapat dikembangkan

oleh peneliti Tari Maengket. Hambatannya, mungkin disebabkan belum mendapatkan

akses dan minat, serta adanya ruang terbuka yang mengarahkan untuk melakukan kajian

yang berfokus pada Tari Maengket. Hal ini juga terkait dengan infrastuktur yang

memberikan stimulus seperti ketersediaan Perguruan Tinggi yang menjadikan aspek-

aspek seni dan budaya daerah, locus lokalitas menjadi trendi penelitian. Program studi

seni harusnya menjadi pelopor walaupun hanya satu-satunya di daerah ini, akan tetapi

trendi berkesenian di daerah ini terkesan pada praktik atau atraksi (lomba, festival dan

atraksi hiburan lainnya) bukan pada penelitian-penelitian yang menghasilkan karya

tulis. Dengan demikian dorongan kearah ketersediaan historiografi yang memadai untuk

menambah perbendaharaan historiografi Tari Maengket terkesan lambat.

2. Historiografi Yang Tersebar: Inventarisasi Tari Maengket

Pekerjaan heuristik dalam mencari dan menemukan data/sumber Tari Maengket dan

kesenian Minahasa pada umumnya masih sangat langka. Tulisan ini berusaha

menghadirkannya untuk tujuan inventarisasi dan penjelajahan pustaka atau pendataan

dengan memilah sumber atas beberapa klasifikasi teks buku, karya tesis, disertasi, jurnal

hasil penelitian dan sejenisnya.Berikut ini inventarisr historiografi Tari maengket yang

tersebar berdasarkan urutan tahun dan sejauh yang dapat dijangkau oleh penulis.

Secara umum informasi Tari Maengket dapat dikatakan masih sangat kurang dan

dapat dihitung “dengan jari”, artinya secara langsung dapat kita sebut beberapa referensi

yang representatif dalam bentuk karya yang dipublikasikan untuk 5-10 tahun terakhir.

Jika dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya terasa sangat sulit untuk mendapatkan

sumber tulisan, pada umumnya berupa hasil foto kegiatan seremonial Tari Mengket,

observasi lapangan dan wawancara informan. Beberapa catatan historiografi Tari

Maengket umumnya tersebar di bagian bab atau sub-bab dalam sebuah buku ketika

membahas kesenian di daerah. Sebagai contoh dalam buku Sigarlaki, dkk (1977/78)

Sejarah Daerah Sulawesi Utarayang diterbitkan oleh Proyek Penelitian dan Pencatatan

Kebudayaan Daerah (P3KD) yang dalam beberapa halaman terpisah sub-bab

menyinggung sedikit tentang Tari Maengket sebagai tari tradisi, tarian asli daerah

Minahasa ketika panen padi tiba yang biasanya dilaksanakan pada bulan Agustus dan

51 September. Dijelaskan juga soal Tarian Maengket Marambak yang dikhususkan untuk

pesta rumah baru (peresmian), kemudian menjelaskan sedikit tentang perkembangan

Tari Maengket pada masa pendudukan Jepang yang dilarang oleh pemerintah Jepang,

dan yang justru berkembang kesenian musik lainnya seperti musik bambu dan musik

kolintang yang lebih diarahkan untuk menghibur tentara Jepang.

Proyek sejenis di tahun berikutnya dalam payung P3KD Depdikbud adalah

inventarisasi buku historiografi Tari Maengket, dengan pembuatan ensiklopedi musik

dan tari yang pernah dilakukan di Sulawesi Utara tahun 1978/79. Penelitian dan

pencatatan musik dan tari berhasil mencatat sejumlah kesenian baik yang masih

mempertahankan tradisinya maupun yang sudah terpengaruh oleh perkembangan zaman

(modernisasi).

Dalam ensiklopedi ini, selain tari-tarian tradisional dan moderen lainnya, Tari

Maengket termasuk dalam pencatatan, sayangnya yang dicatat tidak lagi Tari Maengket

“asli” original tetapi sudah Tari Maengket Imbasan atau tari yang telah mengalami

banyak perubahan sesuai dengan tanggapan masyarakat dan perkembangan

kebudayaandiwaktu itu. Maengket Imbasan adalah jenis tari yang telah mengalami

variasi dan modernisasi, baik dari ragamnya, tata geraknya termasuk lirik lagunya. Tari

Maengket modernisasi adalah Tari Maengket yang telah dipengaruhi Tari Jajar (tari

baris-berbaris), pengaruh musik dan irama dansa Barat, Mars, Wals, Foxtrot dan

sejenisnya (Ticoalu, 1978/79: 188).

Mengenai sejarah Tari Maengket sebagai sebuah tari tradisi awalnya adalah

tarian sakral dan berfungsi ritual yang hadir bersamaan dengan musim panen padi tiba.

Dalam perkembangannya Tari Maengket telah menjadi seni tontonan yang berfungsi

rekreatif yang tadinya berfungsi untuk kebutuhan ritual adat. Sejak tahun 1925 Tari

Maengket mulai berubah fungsinya: dari fungsi sakral menjadi fungsi hiburan rekreatif,

ketika Tari Maengket dipanggungkan pada saat festival permainan rakyat dan pacuan

kuda di lapangan Sario Manado. Kegiatan festival ini menjadi ajang pertemuan dan

mempererat seluruh kawanua (kawan se-wanua/se-kampung) di seluruh tanah Minahasa

(Ticoalu, 1978/79: 187-188).

Isi ensiklopedi ini untuk Tari Maengket, selain sedikit memberikan informasi

sejarah, asal-usul penamaan dan artinya, yang utama dan terbanyak adalah keterangan

sejarah perkembangan festival Tari Maengket dalam berbagai perlombaannya dari tahun

52 Vol. 1, No. 1, Hal 45-59, Mei 2018 1950 – 1970. Sesudah tahun 1970, maka Tari Maengket mulai ditata dalam bentuknya

seperti yang berkembang sekarang ini (Ticoalu, 1978/79: 189).

Berbarengan dengan kemajuan dan kebangkitan kesenian tradisi yang pada

tahun-tahun tertentu menjadi trendi, usaha-usaha berkesenian dilakukan oleh instansi

terkait seperti Dinas Pendidikan Nasional dengan diadakannya lomba-lomba kesenian

dengan mengikutsertakan Tari Maengket sebagai salah satu tema lomba. Biasanya

sebelum diadakan lomba ada sosialisasi pelatihan pelatih dan yuri pertandingan yang

diikuti oleh para guru. Dari sini diperoleh data historiografi yang bersifat makalah-

makalah lepas yang memberikan informasi tentang Tari Maengket.

Beberapa makaah yang memperkuat historgrafi Tari Maengket, antara lain:

Tulisan Ogi (1982) “Seni Tradisional Maengket” Makalah Bahan Bimbingan dan

Penyuluhan Kesenian Guru-Guru SD se-Kotamadya Manado, 26 Juli – s/d 4 Agustus di

Taman Budaya Manado; Posumah (1985) “Masa Depan Maengket dalam Pembinaan

dan Pengembangannya, Taman Budaya Manado; Posumah (2005) “Diskusi Nilai

Budaya Luhur dalam Kesenian Maengket” Makalah yang dibawakan di Balai Kajian

Sejarah dan Nilai Tradisional Manado.

Selanjutnya, ada kumpulan makalah terkait Tari Maegket yang dirangkum

menjadi satu bundel yang diinisiasi oleh Taman Budaya Manado-Sulut. Beberapa

makalah walaupun tidak membahas khusus Tari Maengket tetapi beberapa catatan

kesenian musik turut menjadi bagian historiografi Tari Maengket. Begitupun kumpulan

materi pelatihan Tari Maengket tingkat lokal dan nasional yang dilaksanakan oleh

Panitia Festival Seni Budaya Sulawesi Utara di Jakarta. Beberapa makalah yang

berhasil didapatkan penulis, antara lain: Anonim (1985) “Hasil Sarasehan Tari

Maengket se Manado Minahasa dan Bitung” 18 Juni. Taman Budaya; Anonim (2006)

“Materi Pelatihan Pelatih Tari Maengket” Oktober. Sulawesi Utara; Tahun yang sama

(2006) “Buku Panduan Seminar Nasional Tari Maengket, Sabtu 24 Juni. Jakarta Nam

Centre; Gerungan (2006) “Penjurian dan Pedoman Dasar Juri/Pembanding dalam

Festival Maengket”; Loho (2006) “Sastra Tari Maengket Versi Tombulu”; Matindas

(2006) “Peran Maengket dalam Pengembangan Masyarakat, Peran Masyarakat dalam

Pengembangan Maengket”; Mewengkang (2006) “Pakaian Tari Maengket Atribut dan

Tatarias”; Parengkuan (2006) Seni Tradisi dari Minahasa, Senarai Kisah Seuntai

53 Sastra”; dan Wenas (2006) “Sejarah Maengket”. Semua tulisan ini terangkum dalam

buku panduan seminar nasional.

Walaupun kumpulan makalah ini ditulis hanya beberapa halaman saja, dan

umumnya tidak melebihi 10 halaman, tetapi makalah-makalah ini telah memberikan

khazanah pengetahuan historiografi Tari Maengket dari berbagai perspektif ide. Dari

sini, seharusnya ruang intelektual, dan bangku-bangku akademik dapat

memanfaatkannya dalam kajian-kajian pengembangan lainnya. Namun sayangnya oleh

karena berbagai faktor sehingga belum menjadi perhatian.

Historiografi lainnya, karya Lumempouw (2002) dalam jurnal ilmiah

Masyarakat Linguistik Indonesia (LMI) membahas Penggunaan Bahasa dalam Tarian

Maengket sebagai Pengungkap Pola Pikir Etnik Tonsea. Tulisan ini bertujuan untuk

mengidentifikasi bahasa daerah yang digunakan sebagai pengungkap pola pikir etnik

Tonsea; menjelaskan makna-makna budaya yang terkandung dalam bahasa itu dan

menklasifikasi relasi kehidupan etnik Tonsea dalam tarian Maengket.Tulisan ini

berdasarkan hasil observasi lapangan dan wawancara sejumlah informan sehingga

penelusuran referensi yang digunakan kaitannya dengan Tari Maengket tidak ada sama

sekali, dan hal ini menjadi kesulitan lain peneliti selanjutnya untuk mengembangkan

penelitian. Simpulan penelitian ini, lirik syair Tari Maengket mencerminkan pola pikir

etnik Tonsea di bidang kehidupan agama, pertanian, dan sistem kekerabatan.

Karya Sri Sunarmi (2004) berjudul Tari Maengket: Perspektif Pemikiran di

Balik Ritual Pergaulan di Minahasa. Penelitian ini berupa tesis magister dengan fokus

kajian seni pertunjukan dengan menitikberatkan pada teknik penyajian Tari Maengket

dalam tiga babak yag ditampilkan sekaligus. Dari tampilan tari ini, kemudian dilihat

aspek-aspek pesan yang tergambar dari sajian tari ini dari unsur-unsur ritus yg

terkandung didalamnya, bentuk-bentuk simbol sebagai pesan, komunikasi verbal

melalui nyanyian tari yang memiliki makna vertikal yang ditujukan kepada Yang Maha

Kuasa, dan makna horisontal kaitan dengan kebersamaan, kekeluargaan antar

masyarakat Minahasa. Tesis ini menggunakan pendekatan fenomenologi, etno-art,

hermeneutik dan simbolik. Simpulan karya ini menunjukkan bahwa Tari Maengket

telah menjadi budaya populer, tari-tarian muda mudi untuk pergaulan.

Selanjutnya berupa laporan penelitian dari Suoth (2005) dengan judul “Kajian

Nilai Budaya Tarian Maengket”. Penelitian ini merupakan salah satu proyek penelitian

54 Vol. 1, No. 1, Hal 45-59, Mei 2018 bagi fungsional di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional (BKSNT) Manado. Dari

judulnya, jelas yang menjadi fokus adalah nilai budaya, disamping penjelasan lainnya

dengan adanya pembagian kelompok umur dalam setiap lomba Tari Maengket, yakni

klasifikasi anak-anak, remaja dan kelompok orang dewasa. Aspek sejarah menjadi

tinjauan latarbelakang namun tidak begitu mendalam, dalam artian hanya sebagai

gambaran umum untuk jalan masuk pada fokus kajian nilai budaya. Simpulannya Tari

Maengket telah menjadi alat hiburan dan menjadi budaya populer dari kampung ke

kampung di daerah Minahasa dalam berbagai kegiatan masyarakat.

Di tahun yang sama karya Rumengan (2005) “Seni Pertunjukan dalam

Perspektif Sejarah” yang turut menyinggung bahasan Tari Maengket dari aspek

kesenian, seperti melodinya, aspek atmosfir vokal etnis Minahasa umumnya yang ada

dalam nyanyian Tari Maengket. Tema kajian lainnya dalam judul yang sama pada

tekanan bahwa masyarakat Minahasa menjadikan nyanyian sebagai salah satu bagian

kehidupan budayanya. Bahwa seluruh aspek kehidupan manusia Minahasa tidak bisa

lepas dari nyanyian sebagai salah satu ritus. Dengan kata lain seluruh aspek kehidupan

tradisi manusia Minahasa tidak ada yang tidak diikuti dengan bernyanyi. Mungkin yang

dimaksud dengan kalimat ini adalah, permohonan-permohonan yang diajukan manusia

Minahasa sesungguhnya dilakukan dengan perkataan berirama sehingga disebut

nyanyian. Karya ini juga menyinggung perkembangan musik Minahasa yang telah

mengalami hibriditas atau percampuran dengan adanya pengaruh gaya musik Portugis

dan Spanyol yang mulai diperkenalkan sejak abad ke-17 oleh para missiologi dengan

lagu-lagu rohani khas gregorian (seperti credo ave Maria), musik barat Iberian

termasuk musikal pengaruh instrumen gitar, ukulele, biola dan sejenisnya.

Dijelaskan lebih jauh bagaimana pengaruh musik Barat terhadap musik-musik

pribumi, musik tradisi di Minahasa turut dipengaruhi atmosfir vokal dengan kekhasan

tangga nada diatonis dalam Tari Maengket yang juga ada dalam musik-musik barat

lainnya seperti fash polka, charamba yang dalam musik lokal di Minahasa disebut

musik karambangan atau musik kobong/kebun; musik petani. Maju pesatnya industri

musik menempatkan musik-musik tradisi seperti Tari Maengket juga berbenah diri

menjadikan nyanyian-nyanyiannya menjadi populer yang dikemas dalam banyak rupa

untuk bersaing dengan “genre-genre” musik pop lainnya.

55

Selanjutnya karya penulis sendiri (2008) “Komodifikasi Tari Maengket

Minahasa: Tradisi ke Pasar”. Tulisan ini diterbitkan dalam Jurnal Kajian Budaya

Volume 5 No.9/2008 yang kemudian menjadi inspirasi dan dilanjutkan menjadi

disertasi pada program doktor kajian budaya di Universitas Udayana Denpasar-Bali

tahun 2010. Disertasi ini diberi judul “Komodifikasi Tari Maengket Minahasa di Era

Globalisasi, kemudian dibukukan dengan memodifikasi beberapa bab yang tadinya

delapan bab. Ketika diedit untuk menjadi sebuah buku yang representatif, termasuk

mengeluarkan bab khusus tentang metode penelitian, maka menjadi 12 bab, dan

diterbitkan dengan judul yang baru: “Maengket Kristalisasi Politik Identitas ke-

Minahasa-an”.

Buku ini merupakan salah satu buku monumental dan representatif dari

historiografi Tari Maengket sebelumnya. Disebut demikian, karena historiografi

sebelumnya barulah bersifat penjelasan dan gambaran umum, dengan pendekatan

positivistik kaitan dengan tujuan tematis yang diangkat dan terbatas pembahasannya.

Sebelumnya dapat dikatakan belum ada buku tentang Tari Maengket. Pada umunya

tulisan dan karya Tari Maengket yang ada, hanya makalah-makalah lepas atau menjadi

bagian (sub-bab) dalam sebuah buku. Kelebihan dari buku ini selain pendekatannya

kajian budaya, alat-alat analisisnya dengan menggunakan beberapa teori posmoderen,

seperti teori komodifikasi, teori budaya populer, teori dekonstruksi, dan teori

representasi.

Karya ini mengkaji kaitannya dengan Tari Maengket, seperti gambaran umum

daerah Minahasa dan kesenian yang berkembang dari masa ke masa, potensi kesenian,

baik kesenian musik dan tari turut juga diikutkan dengan sejarahnya. Perkembangan

Tari Maengket dibahasa tuntas, dari bentuk sakral ke profan, dari bentuk desa ke bentuk

hiburan kota, dari atraksi ritual menjadi atraksi wisata, serta kontestasi dan perebutan

ruang komodifikasi dan ideologi dari banyak organisasi yang berkecimpung dalam seni

Tari Maengket. Hal-hal seperti ini dibahas dalam fenomena festival ke festival dan

sejumlah lomba, pertandingan dan eksebisi Tari Maengket dalam berbagai ruang dan

tempat, termasuk klaim-klaim kaitan dengan eksistensi Tari Mengket dari sejumlah

sanggar dan organisasi/lembaga pemerintah maupun swasta.

Aspek-aspek tari kaitan dengan elemen-elemen Tari Maengket, mulai dari

busananya, gerak tari, lirik dan nyanyian, musik pengiring, tempat pementasan serta

56 Vol. 1, No. 1, Hal 45-59, Mei 2018 estetikanya tidak luput dari pembahasan, termasuk faktor-faktor yang mempengaruhi

perkembangan dan perubahan bentuk, makna, dampak, dan nilai budayanya.

Di tahun yang sama, terbit juga sebuah karya dari disertasi Rumengan (2010) di

program pascasarjana Insitut Seni Indonesia Yogyakarta yang dibukukan atas volume 1

dan II, masing-masing berjudul: “Maengket: Seni Tradisional Orang Minahasa,

Perkembangan dan Permasalahannya”; Maengket Seni Tradisional Orang Minahasa.

Estetika, Struktur Musik, Tari, Sastera”.

Menilik perkembangan historiografi Tari Maengket, gairah penulisan Tari

Maengket mulai muncul, tertama ketika dua buku monumenta itu hadir ke publik

pembaca, walaupun sebelumnya sudah ada historiografi Tari Maengket dari para

praktisi dan penikmat tari melalui Taman Budaya dan penulis sendiri. HistoriografiTari

Maengket, baik dalam bentuk makalah-makalah disejumlah seminar nasional-

internasional, dan dalam jurnal ilmiah,sebagian di antaranya dapat di downloud dari

internet, di antaranya:Kaunang (2015) “Turistifikasi Tari Maengket Minahasa”;

“Kemasan Tari Maengket dalam Menunjang Industri Kreatif Minahasa Sulawesi Utara

di Era Global”; (2017) “Tari Maengket Minahasa sebagai Cerminan Multikultural dan

Pendidikan Karakter Bagi Generasi Muda”. Selanjutnya, Tumurang “Fungsi Tari

Maengket di Kota Tomohon Provinsi Sulut”; Rattu “Penggunaan Media pada Maengket

Era Global”; dan “Kearifan Lokal pada Maengket sebagai Identitas Minahasa”; Rattu

(2017) “Peran Pergelaran Maengket dalam Membingkai Kebhinekaan di Bumi

Nusantara”.

Dari sejumlah karya historiografi Tari Maengket yang disebutkan, terlihat

adanya perkembangan ketersediaan historiografi, namun jika ditilik dari penulis dan

referensi yang digunakan tidak ada perkembangan, karena pada umumnya tulisan yang

ada adalah turunan dari referensi yang terdahulu, hanya saja tema kajian dan analisis

yang berbeda. Secara ontologis objek kajian sama dan yang membedakannya adalah

epitemologis kaitannya dengan pendekatan dan teknik analisis serta tujuan yang

diharapkan dari sebuah karya.

KESIMPULAN

Tari Maengket sebagai sebuah kesenian tari tradisi memiliki daya pikat untuk lebih

banyak dikaji di ruang-ruang akademik walaupun terkesan belum banyak diminati. Di

57 sisi yang lain, ke arah ketersediaan historiografi Tari Maengket sudah menunjukkan

referensi yang memadai untuk melangkah ke tema-tema lain yang lebih menantang.

Inventarisasi historiografi Tari Maengket menunjukkan persebaran tulisan yang

beragam walaupun referensi yang digunakan terbatas atau belum menunjukkan

referensi baru atau masih pustaka turunan. Begitupun penulis masih terbatas pada

beberapa orang dan belum meluas sebagai tema kajian yang menarik dan masif jika

dibanding dengan kesenian tari di daerah lainnya. Walaupun begitu, proses peminggiran

dan vokalitas kajian Tari Maengket dibanding dengan kajian-kajian kesenian tari

lainnya di Indonesia sudah dapat dibandingkan dan menutup kemungkinan adanya

kesenjangan perkembangan budaya lokal yang dapat mempengaruhi kebudayaan

nasional sebagai jati diri bangsa.

Tema-tema kajian pada umumnya seputar seni, kajian budaya, kajian bahasa

dengan pendekatan linguistik antropologi, dan tradisi lisan. Pada umumnya masih dalam

rumpun kajian sosial budaya, sosial humaniora. Belum banyak didapati adanya kajian

diluar tradisi budaya yang ada, seperti karyaMangantar (2016) “Representasi Tari

Maengket pada Desain Arsitektur”. Karya ini menjadikan pola tari sebagai ruang desain

arsitek.

Ke depan, penting ruang-ruang akademik memberi perhatian lebih terhadap

tema kajian yang fokus pada Tari Maengket sehingga temua-temuan baru dapat

diperoleh dan turut memperkaya khazanah budaya berkesenian di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2006. “Buku Panduan, Seminar Nasional Tari Maengket”. Sabtu, 24 Juni.

Panitia Seminar Nasional Tari Maengket, Jakarta: Nam Centre.

Anonim. 2006. “Materi Pelatihan Pelatih Tari Maengket” Oktober. Sulawesi Utara:

Panitia Festival Seni Budaya.

Gerungan, D. 2006. “Penjurian & Pedoman Dasar Juri/Pembanding dalam Festival

Maengket”dalam Anonim Materi Pelatihan Pelatih Tari Maengket Sulawesi

Utara. Jakarta: Panitia Festival Seni Budaya Sulawesi Utara. hlm. 56-65.

Rattu, J.A. 2012. “Penggunaan Media pada Maengket Era Global” Prosiding the 4th.

International Conference on Indonesian Studies: Unity Diversity and Future”

58 Vol. 1, No. 1, Hal 45-59, Mei 2018

dalam https://icssis.files.wordpress.com/2012/05/09102012-38.pdf (diakses April

2018).

Rattu, J.A. t.t. “Kearifan Lokal pada Maengket sebagai Identitas Minahasa” Prosiding

the 5th. International Conference on Indonesian Studies: Etnicity and

Globalization. (diakses, April 2018).

Rattu, J.A. 2017. “Peran Pergelaran Maengket dalam Membingkai Kebhinekaan di

Bumi Nusantara” dalam Prosiding Seminar Nasional Membingkai Kebhinekaan di

Bumi Nusantara: Kerjasama Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sulawesi

Utara dan Laboratorium Fispol Unsrat Manado. Hotel Aryaduta, 26-29 April, hlm.

425 – 437.

Kaunang, I.R.B. 2008. “Komodifikasi Tari Maengket di Minahasa: Tradisi ke Pasar”

dalam Jurnal Kajian Budaya Vol. 5 No. 9 Januari, hlm. 95-108.

Kaunang, I.R.B. 2010. Maengket: Kristalisasi Politik Identitas (ke)Minahasa(an).

Denpasar Bali: Intan Cendekia Yogyakarta kerjasama dengan Program Magister

dan Doktor Kajian Budaya Universitas Udayana Bali.

Kaunang, I.R.B. 2012. “Kemasan Tari Maengket dalam Menunjang Industri Kreatif

Minahasa Sulawesi Utara di Era Global” Laporan Penelitian Unggulan Unsrat,

DIPA Unsrat. Dimuat dalam Jurnal LPPM Unsrat Bidang EkoSosBudKum.

Volume 2 No. 1 Tahun 2015, hlm. 89-106.

Kaunang, I.R.B. 2015. “Turistifikasi Tari Maengket Minahasa di Sulawesi Utara” dalam

https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbsulut/2015/05/18/turistifikasi-tari-

maengket-minahasa-sulawesi-utara/ (diakses April 2018).

Kaunang, I.R.B. 2017. “Tari Maengket Minahasa sebagai Cerminan Multikultural dan

Pendidikan Karakter Bagi Generasi Muda” dalam Prosiding Seminar Nasional

Membingkai Kebhinekaan di Bumi Nusantara: Kerjasama Balai Pelestarian Nilai

Budaya (BPNB) Sulawesi Utara dan Laboratorium Fispol Unsrat Manado. Hotel

Aryaduta, 26-29 April 2017. Hlm.254-265.

Lumempouw Femmy, 2002. “Penggunaan Bahasa Dalam Tarian Maengket sebagai

Pengungkap Pola Pikir Etnik Tonsea” dalam Linguistik Indonesia. Jurnal Ilmiah

Linguistik Indonesia. Tahun 20, Nomor 2. Agustus. Jakarta: Masyarakat

Linguistik Indonesia Bekerjasama denga Yayasan Obor Indonesia, hlm. 159-171.

59 Mangantar, H.V. 2016. “Representasi Tari Maengket pada Desain Arsitektur Manado

Art Center” dalam Jurnal Matrasain Vo. 13 No. 2. Juli. Hlm. 57-69.

https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jmm/article/viewFile/14537/14110 (diakses

April 2018).

Tumurang, M.M.“Fungsi Tari Maengket di Kota Tomohon Provinsi Sulut” dalam

http://digilib.isi.ac.id/2441/8/JURNAL.pdf (diakses April 2018)

Ogi, L. 1982. “Seni Tradisional Maengket” Makalah Bahan Bimbingan dan Penyuluhan

Kesenian Guru-guru SD se- Kotamadya Manado, 26 Juli s/d 4 Agustus. Manado:

Taman Budaya Manado, hlm. 1-7.

Rumengan, P. 2010. Maengket Seni Tradisional Orang Minahasa: Estetika, Struktur

Musik, Tari, Sastera; Permasalahan dan Perkembangan.Vol I, II. Yogyakarta:

Pascasarjana ISI Yogyakakarta.

Sigarlaki, A. (dkk.). 1977/78. Sejarah Daerah Sulawesi Utara. Sulut: Proyek Penelitian

dan Pencatatan Kebudayaan Daerah (P3KD).

Ticoalu, L. 1978/79. Ensiklopedi Musik dan Tari Daerah Sulawesi Utara. Sulut: Proyek

Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah (P3KD).

60

JURNAL SEJARAH INDONESIA

Vol. 1, No. 1, Hal 60-79, Mei 2018

ISSN : 2621-1580

MENJADI SEPERTI DHALANG LAKI-LAKI: KIPRAH NYI SUHARNI SABDOWATI DALAM DUNIA SENI PEDHALANGAN

Dhanang Respati Puguh

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro

Pos-ell: [email protected]

ABSTRACT

This article discusses the career of Nyi Suharni Sabdowati in the art of pedhalangan. It is compiled using historical methods and utilizing the oral history sources, news and articles in the newspapers and magazines, articles in scientific journals, photos, as well as relevant books. According to the facts collected, it successfully reconstructed the career journey of Nyi Suharni Sabdowati. Since her childhood, she has been lived in a family which engaged in the field of art. Her interest and talent in the arts have prompted her to learn various types of Javanese performing arts, such as kethoprak, karawitan, wayang suluh, and wayang kulit purwa. Finally, wayang kulit purwa is a field that she has been pursued. After having studied from several prominent dhalang, especially Ki Nartosabdho, she succeeded becoming a prominent female dhalang in terms of ability and popularity to equal with the male dhalang. Keywords: Nyi Suharni Sabdowati, Ki Nartosabdho, art of pedhalangan, wayang kulit purwa.

ABSTRAK

Artikel ini membahas perjalanan karier Nyi Suharni Sabdowati dalam dunia seni pedhalangan. Artikel ini disusun dengan menggunakan metode sejarah dan memanfaatkan sumber sejarah lisan, berita dan artikel surat kabar dan majalah, artikel dalam jurnal ilmiah, foto, serta buku-buku yang relevan. Berdasar pada fakta-fakta yang dikumpulkan, berhasil direkonstruksi perjalanan karier Nyi Suharni Sabdowati. Sejak kecil ia hidup dalam lingkungan keluarga yang berkecimpung dalam bidang seni. Minat dan bakatnya dalam bidang seni telah mendorongnya untuk belajar berbagai jenis seni pertunjukan Jawa, seperti kethoprak, karawitan, wayang suluh, dan wayang kulit purwa. Akhirnya, wayang kulit purwa merupakan bidang yang ditekuninya. Setelah berguru kepada beberapa dhalang terkemuka, khususnya Ki Nartosabdho, ia berhasil tampil menjadi dhalang wanita terkemuka yang dari segi kemampuan dan popularitas dapat menyamai dhalang laki-laki. Kata Kunci: Nyi Suharni Sabdowati, Ki Nartosabdho, seni pedhalangan, wayang kulit purwa.

61

PENDAHULUAN

Seni pedhalangan merupakan salah satu cabang seni pertunjukan tradisi yang sangat

populer di Jawa hingga saat ini. Popularitas seni pedhalangan di kalangan masyarakat

Jawa ditunjukkan dengan minat masyarakat Jawa untuk menggelar dan menyaksikan

pertunjukan wayang kulit purwa baik di pedesaan maupun di perkotaan untuk berbagai

kepentingan, baik ritual, hiburan pribadi maupun presentasi estetis (tontonan).

Pertunjukan itu masih mendapatkan minat dari masyarakat luas apalagi yang menjadi

dhalang adalah para dhalang terkenal seperti Ki Anom Suroto, Ki Manteb Soedarsono,

Ki Purbo Asmoro, dan Ki Enthus Susmono (Kayam, 2001). Berdasar realitas itu, tidak

mengherankan apabila dunia seni pedhalangan identik dengan dunia laki-laki, karena

laki-lakilah yang banyak menjadi dhalang dan tampil sebagai dhalang terkenal yang

sangat populer di kalangan masyarakat. Dhalang laki-lakilah yang menerima jumlah

permintaan pentas (tanggapan) yang banyak dengan honorarium yang sangat tinggi.

Pertanyaannya adalah apakah benar dunia seni pedhalangan hanya merupakan dunia

laki-laki dan menjadi milik laki-laki? Jawabannya adalah “tidak”. Dunia seni

pedhalangan juga merupakan dunia perempuan. Menurut tradisi dan sejarah,

perempuan telah hadir dan menjadi bagian dari dunia seni pedhalangan secara aktif.

Menurut tradisi lisan, kehadiran dan eksistensi perempuan dalam dunia seni

pedhalangan paling tidak telah ada sejak zaman Kerajaan Mataram Islam. Pada masa

itu dikenal adanya pasangan suami istri yang keduanya adalah dhalang, yaitu Ki dan

Nyi Mulya Lebda Jiwa. Oleh karena sangat populer di kalangan masyarakat keduanya

kemudian dijadikan sebagai abdi dalem kerajaan pada masa pemerintahan Sultan Agung

dan diberi nama Ki dan Nyi Panjangmas. Mereka sangat mahir dan berwibawa dalam

dunia seni pedhalangan pada zamannya. Dalam dunia seni pedhalangan, keduanya

dianggap sebagai cikal bakal dhalang yang masing-masing berkiprah di lingkungan

keraton dan pedesaan. Ki Panjangmas berkiprah dan mengembangkan seni pedhalangan

di dalam keraton dan Nyi Panjangmas berkiprah dan mengembangkan seni pedhalangan

di luar keraton atau di wilayah pedesaan. Dengan demikian, tidak mengherankan

apabila gaya seni pedhalangan Ki Panjangmas berpengaruh terhadap tradisi

pedhalangan keraton, sedangkan gaya seni pedhalangan Nyi Panjangmas berpengaruh

62 Vol. 1, No. 1, Hal 60-79, Mei 2018 terhadap tradisi seni pedhalangan di pedesaan (Soetrisno melalui Soetarno, dkk.,

2007:215; Tanaja, 1971). Sebagian dhalang mengaku keturunan atau masih memiliki

hubungan kekerabatan dengan kedua tokoh dhalang itu. Penulis pernah mendengar,

bahwa dhalang terkenal Ki Anom Suroto konon merupakan keturunan dari Nyi

Panjangmas. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila sampai saat ini ia, kerabat,

dan keturunannya menjadi dhalang terkenal.

Di daerah-daerah pedesaan Jawa Tengah sampai dengan abad ke- 20 masih

dijumpai adanya pasangan suami istri dhalang. Sebagai contoh, adalah orang tua

seniman akademis terkemuka Prof. Dr. Rahayu Supanggah, S. Kar.; keduanya adalah

dhalang di wilayah Boyolali. Ayahnya juga keturunan Ki Panjangmas dan ibunya juga

ahli dalam bermain karawitan (Supanggah, 2011: iii). Dengan demikian, apabila

ayahnya menerima permintaan pentas, maka ibunya berperan sebagai pemain gender

(penggender) mengiringi pergelaran wayang kulit purwa suaminya. Fenomena ini

sangat lazim dijumpai dalam dunia seni pedhalangan Jawa.

Kehadiran perempuan dalam dunia seni pedhalangan ini terus berlanjut sampai

sekarang. Hal ini ditunjukkan dengan adanya perempuan-perempuan yang menekuni

dunia seni pedhalangan melalui belajar kepada orang tua atau kerabat, kursus-kursus

seni pedhalangan, dan pendidikan formal pada level sekolah menengah atas (SMKN 8

Surakarta) dan perguruan tinggi (Institut Seni Indonesia Surakarta) (Puguh, 2015).

Namun demikian, para perempuan yang menekuni dunia seni pedhalangan itu dari segi

popularitas kalah pamor dengan para dhalang laki-laki. Saat ini, kita hampir tidak

mendengar adanya dhalang perempuan yang populer di masyarakat luas. Dalam sejarah,

setelah Nyi Panjangmas, walaupun terdapat dhalang-dhalang perempuan, dari segi

popularitas tampaknya hanya ada dua dhalang perempuan yang hadir dan eksis dalam

dunia seni pedhalangan, yaitu Nyi Suharni Sabdowati dari Sragen dan Nyi Rumiyati

Panjangmas dari Kartasura. Keduanya pernah hidup pada masa yang bersamaan. Nyi

Suharni Sabdowati telah meninggal dunia pada 2006, sedangkan Nyi Rumiyati

Panjangmas saat ini tinggal di Jakarta dan menjadi guru spiritual para seniman Jawa.

Kehadiran dan eksistensi dhalang perempuan merupakan sebuah fenomena yang

menarik untuk mendapat perhatian dalam sebuah kajian.

Nyi Suharni Sabdowati telah menjadi perhatian dari dua sarjana seni pertunjukan,

yaitu: Sugeng Nugroho (2003/2004) dan Suwondo (2003, 2011). Kedua sarjana seni

63 pertunjukan itu menempatkan Nyi Suharni Sabdowati sebagai dhalang penganut dan

epigon gaya Ki Nartosabdho. Berbeda dari kajian yang telah dilakukan, tulisan ini

membahas ketokohan Nyi Suharni Sabdowati (1936-2006) sebagai dhalang perempuan.

Untuk membahas hal tersebut, tulisan ini dipandu dengan beberapa pertanyaan, yaitu:

siapa Nyi Suharni Sabdowati? bagaimana kiprah dan pencapaiannya dalam dunia seni

pedhalangan? dan mengapa ia dapat eksis dalam dunia seni pedhalangan pada masa

hidupnya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, tulisan ini disusun dengan

menggunakan metode sejarah (Jeremy dan MacRaild, 2007) dan memanfaatkan

berbagai sumber, yaitu pengalaman penulis bergaul dan mewawancarai Nyi Suharni

Sabdowati, berita dan artikel surat kabar dan majalah, artikel dalam jurnal ilmiah, foto,

serta buku-buku yang secara khusus membahas tentang Nyi Suharni Sabdowati, dan

buku tentang seni pedhalangan yang relevan dengan tulisan ini.

PEMBAHASAN

1. Lingkungan Sosial: Seni Tradisi Jawa dan Proses Menjadi Dhalang

Beberapa sumber menyebutkan, bahwa bayi perempuan yang kemudian dikenal dengan

nama Suharni Sabdowati dilahirkan pada Senin Pon, 19 Maret 1936 di Gondang Sragen.

Ia adalah anak semata wayang dari pasangan suami istri, Budiharja dan Supartiyem.

Sejak kecil ia tumbuh dalam lingkungan seni. Pada 1938, ketika belum memiliki

pekerjaan tetap, ayahnya bersama seorang Tionghoa yang dikenal dengan sebutan ndara

Bok mendirikan perkumpulan kethoprak dengan nama Kridha Budhaya yang

mengadakan pentas secara berpindah-pindah dari satu kota ke kota yang lain (kethoprak

kelilingan). Sejak saat itulah ia diperkenalkan dengan dunia seni, karena diajak oleh

orang tuanya ke berbagai kota di Jawa Timur untuk mementaskan kethoprak yang

dikelola oleh orang tuanya. Keadaan ini hanya berlangsung selama tiga tahun, karena

pada 1941 orang tuanya kembali ke Gondang Sragen. Ayahnya memutuskan

perkongsiannya dengan ndara Bok dan memisahkan diri dari kehidupan kethoprak.

Kemudian ia menjadi pegawai negeri sipil di Kantor Penerangan Sragen, sementara

ibunya berdagang dan bertani (Suwondo, 2011:14-17; Triwikromo, Suara Merdeka, 27

November 1997: XII).

64 Vol. 1, No. 1, Hal 60-79, Mei 2018 Keterpisahannya dengan dunia kethoprak tidak menyurutkan minatnya terhadap

seni tradisi Jawa, khususnya wayang kulit purwa. Hal ini ditunjukkan dengan

kegemarannya menonton pergelaran wayang kulit purwa sampai selesai (tancep kayon).

Bahkan, pada saat menonton pergelaran itu ia selalu berada pada panggung di belakang

dhalang. Dari kegemaran menonton pergelaran wayang kulit purwa ini, ia mulai kenal

dengan para penabuh gamelan (pangrawit), repertoar-repertoar gendhing yang sering

digunakan dalam pergelaran wayang kulit purwa, dapat memainkan sebagian instrumen

gamelan (ricikan), serta menirukan keplok dan senggakan para pangrawit. Pada saat itu

pula, ia mulai ikut-ikutan merokok (Suwondo, 2011:20-21; Triwikromo, Suara

Merdeka, 27 November 1997: XII).

Pada usia delapan tahun (1944) ia masuk Sekolah Rakyat. Kegemarannya

menonton pergelaran wayang kulit purwa tidak terhenti ketika ia mulai menempuh

pendidikan formal. Bahkan, ia sering bolos sekolah karena ingin menonton pergelaran

wayang kulit purwa pada siang dan malam hari di daerahnya ketika ada orang-orang

memikiki hajat. Ketika ayahnya diangkat menjadi Kepala Jawatan Penerangan

Kecamatan Gondang pada awal kemerdekaan Indonesia, ia juga mendapatkan tugas

untuk memainkan wayang suluh yang bertujuan untuk memberikan penerangan kepada

masyarakat pedesaan. Hal ini sangat menggembirakan Suharni, karena ia dapat

mengikuti ayahnya ketika mementaskan wayang suluh. Keadaan ini semakin

menumbuhkan minat dan kegemarannya terhadap seni khususnya seni pewayangan. Ia

mulai membeli wayang kardus dan ketika mengembala kambing ia memanfaatkan

bahan-bahan tumbuhan untuk dibentuk menjadi wayang. Kegandrungannya terhadap

wayang juga terlihat dari perilakunya yang menjadikan apa yang dipegangnya sebagai

wayang (Suwondo, 2011:22-23; Triwikromo, Suara Merdeka, 27 November 1997: XII).

Kecintaannya terhadap dunia seni diwujudkan dengan membentuk kelompok seni,

yaitu Paguyuban Seni Karawitan Putri dan Paguyuban Seni Jawi dengan segala

aktivitasnya. Sehubungan dengan hal itu, agar dianggap berprestasi ia juga pernah

mengumpulkan sekitar 80 anak untuk menari bersama secara kolosal. Untuk

menjalankan kegiatan-kegiatan seni itu ia harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.

Dari aktivitasnya itu ia menjadi “kembang desa” dalam bidang seni, khususnya seni

tradisi Jawa.

65 Pada 1961, Suharni yang dianggap memiliki kemampuan dalam bidang seni

tradisi Jawa ini dipilih oleh teman-temanya untuk mementaskan wayang suluh selama

tiga jam. Pemilihan itu ternyata tidak hanya dilandasi oleh pertimbangan

kemampuannya dalam bidang seni, tetapi di kemudian hari terungkap bahwa ia dipilih

untuk menandingi dhalang Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang pada saat itu

juga berpentas di daerah Gondang. Walaupun belum pernah tampil memainkan wayang

suluh, dengan bekal melihat pertunjukan wayang suluh yang dimainkan oleh ayahnya,

ia menyanggupi permintaan teman-temannya. Akhirnya, ia berhasil mementaskan

wayang suluh dan mendapat banyak pujian (Triwikromo, Suara Merdeka, 27 November

1997: XII). Pujian itu antara lain karena ia tampil dengan warna suara seperti dhalang

laki-laki. Menurutnya, suaranya yang mirip dengan suara laki-laki itu diperoleh melalui

latihan-latihan yang telah dilakukan sejak ia mengenal pertunjukan wayang kulit purwa

dan sering menirukan senggakan-senggakan yang dilakukan oleh para pangrawit laki-

laki. Ada dua cara yang bisa ditempuh untuk menghasilkan suara laki-laki. Pertama,

jangan sekali-kali menggunakan nada-nada kecil seperti penyuaraan sindhen; dan

kedua, apabila sudah menjadi dhalang wedok jangan menjadi sindhen (Triwikromo,

Suara Merdeka, 18 Desember 1997: XII).

Ketertarikannya untuk menjadi dhalang semakin besar. Pada zaman itu masih

kental kepercayaan, bahwa untuk menjadi dhalang terkenal harus memiliki dukungan

dari “orang pintar” (kasepuhan) atau memiliki ilmu kasepuhan; tidak boleh kosong

(kothong). Di kalangan dunia seni pedhalangan, ilmu kasepuhan itu dapat dianggap

dapat mendukung profesi sebagai dhalang. Atas anjuran teman-temannya, ia diminta

untuk memohon restu dari dukun. Suharni tergiur dengan anjuran itu. Ia kemudian pergi

ke Padepokan Mbah Sura, di Desa Nginggil Purwodadi. Ia memberikan kesaksian,

bahwa suasana di padepokan mirip dengan pasar malam di tengah hutan. Setelah dua

hari berusaha dengan berbagai cara, akhirnya ia berhasil bertemu dengan mbah Sura. Ia

ditanya oleh mbah Sura tentang maksud kedatangannya. Ia menjawab, bahwa ia

memohon doa dan restu karena ingin menjadi dhalang kondhang (terkenal) pendukung

Bung Karno. Ia bertekad ingin menandingi ketenaran dhalang Letre yang berafiliasi

kepada Lekra. Menurutnya, ini merupakan permintaan yang aneh dan berbeda dari

ribuan orang yang datang ke mbah Sura. Akhirnya, Mbah Sura memberikan restu

kepada Suharni yang dimanifestasikan dalam bentuk barang, yaitu: penthung (tongkat

66 Vol. 1, No. 1, Hal 60-79, Mei 2018 kayu), kolor (celana hitam kombor), dan iket wulung (ikat kepala berwarna hitam). Di

kemudian hari ia kaget, karena ketika terjadi peristiwa G 30 S 1965, kemudian

terdengar berita bahwa Mbah Sura itu anggota Partai Komunis Indonesia (PKI); dan

barang-barang yang diberikan kepadanya merupakan simbol PKI, yaitu penthung (P),

kolor (K), dan iket (I). Saat itu ia tidak tahu dan tidak berpikir, karena yang terdapat di

benaknya adalah mbah Sura itu tokoh kasepuhan (“Dhalang Harus Banyak Belajar dan

Srawung”).

Setelah bertemu mbah Sura, setiap tampil di panggung ia mengenakan pakaian

satin hitam, membawa penthung, dan memakai iket wulung seperti seorang warok dari

Ponorogo. Kemudian ia dijuluki 'dhalang wandu', karena selain suaranya persis pria, ia

senang mengenakan celana panjang; pakaian yang tidak lazim bagi para perempuan

pada waktu itu. Suharni menjadi dhalang wayang suluh selama setahun (“Dhalang

Harus Banyak Belajar dan Srawung”).

Gambar 1. Nyi Suharni Sabdowati bersama sanak keluarga, dan anggota Condhong

Raos berfoto di depan toko milik keluarganya di Gondang Sragen [Dasawarsa 1970].

Sumber: Foto Koleksi Keluarga Ki Nartosabdho

67 2. Mengukuhkan Eksistensi: Dari Dhalang Wayang Suluh ke Dhalang Wayang

Kulit Purwa

Kesuksesan sebagai dhalang wayang suluh mendorong Suharni untuk menekuni dunia

wayang kulit purwa sejak 1966. Keinginannya untuk menekuni dunia wayang kulit

purwa ini muncul setelah banyak orang menyarankan agar ia menjadi dhalang wayang

kulit purwa, karena memiliki suara seperti laki-laki. Keinginannya untuk menjadi

dhalang wayang kulit purwa semakin kuat setelah para dhalang senior di wilayah

Sragen, seperti Ki Ganda Suwarna, Ki Ganda Lagiyana, Ki Sudarman Gandadarsana, Ki

Ganda Buwana, dan guru dhalang-nya Ki Ganda Sutikna memberikan dukungan.

Kemudian, ia juga belajar mendhalang kepada Ki Sudarman Gandadarsana. Ia juga

membaca pakem pedhalangan yang berisi pedoman lengkap pertunjukan wayang kulit

purwa semalam suntuk, yaitu Kangsa Adu Jago dan Wahyu Makutha Rama yang berisi

sulukan, janturan, pocapan, antawacana (dialog). Kedua lakon itulah yang kali pertama

ia hafal (“Dhalang Harus Banyak Belajar dan Srawung”). Ia juga memelajari konsep-

konsep dasar estetika pertunjukan wayang kulit purwa agar dapat menghasilkan

pertunjukan yang berkualitas dan memukau penonton, yaitu nuksma dan mungguh

(Sunardi, 2013). Sembari belajar melalui pakem pedhalangan itu, ia juga semakin giat

memantapkan suaranya agar benar-benar memiliki suara seperti dhalang laki-laki. Suara

laki-laki sangat diperlukan karena banyak adegan dalam pertunjukan wayang kulit

purwa yang membutuhkan suara khas laki-laki, seperti suara tokoh-tokoh laki-laki,

adegan perang, suara raksasa, dan kera. Hal ini juga didasari oleh suatu kenyataan,

bahwa ketika dhalang laki-laki memainkan tokoh perempuan, ia juga berusaha untuk

menirukan suara perempuan (Triwikromo, Suara Merdeka, 18 Desember 1997: XII).

Setelah memiliki bekal yang cukup dalam memainkan wayang kulit purwa ia

mendapatkan kesempatan untuk unjuk kemampuan. Debut sebagai dhalang wayang

kulit purwa diawalinya pada 1967 di rumah Sami, Desa Sambungmacam, Kecamatan

Sambungmacan Sragen, dengan lakon Kangsa Adu Jago (“Dhalang Harus Banyak

Belajar dan Srawung”). Ayahnya senang. Akhirnya, ia memutuskan untuk menjadikan

dhalang sebagai profesi. Sudah barang tentu gaya pedhalangan Ki Sudarman

Gandadarsana yang merupakan subgaya Sragenan sangat berpengaruh pada gaya

pedhalangan Suharni.

68 Vol. 1, No. 1, Hal 60-79, Mei 2018 Ketika Ki Nartosabdho mendapat panggilan untuk pentas di Sragen, Suharni

menyempatkan diri untuk menonton pergelaran wayang kulit purwa dhalang terkenal

itu. Ia melihat sesuatu yang lain dari pakeliran Ki Nartosabdho yang memiliki kekhasan

dan memberikan ruang untuk berkreasi dan berinovasi. Setelah menonton pergelaran

itu, ia sangat kesengsem dan muncul keinginan untuk dapat berguru (nyantrik)

kepadanya. Nyantrik adalah salah satu sistem pendidikan dhalang yang dilakukan

dengan cara nyuwita atau ngenger kepada dhalang tertentu yang menjadi idola

(Groenendael, 1987:42-44; Sumanto, 1997:57-60). Pemilihan dhalang sebagai guru

biasanya didasari atas dasar pada kemampuan dan popularitasnya. Dhalang yang

memiliki kemampuan seperti empu dan maestro serta memiliki popularitas, biasanya

menjadi idola bagi para dhalang pemula yang sedang merintis kariernya. Keinginan

Suharni ini dapat dipahami, karena pada saat itu, Ki Nartosabdho telah berhasil

melakukan perubahan unsur-unsur pakeliran untuk menegaskan identitas pedhalangan-

nya, baik dalam catur (narasi dan dialog), sulukan (nyanyian yang disajikan dhalang),

gendhing (musik iringan pergelaran), keprakan, tata panggung, penggarapan karakter

wayang, dan dalam waktu kemudian pembuatan lakon banjaran (biografi) dengan

memanfaatkan unsur-unsur pedhalangan dan karawitan dari daerah lain (Sumanto,

2002: 120; Puguh dan Utama, 2009). Di kemudian hari pembaruan-pembaruan yang

dilakukannya membawa pengaruh yang besar dalam dunia seni pedhalangan wayang

kulit purwa. Lakon banjaran yang dibuatnya kemudian juga menginspirasi para

dhalang generasi berikutnya untuk mengembangkannya. Berdasar studi yang dilakukan

oleh Sugeng Nugroho (2012:Bab III), saat ini paling tidak telah berkembang berbagai

jenis lakon banjaran yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu: Banjaran

Wantah, Banjaran Jugag, dan Banjaran Kalajaya.

Setelah mendapatkan izin dari kedua orang tuanya, ia menemui Ki Nartosabdho di

kediamannya, Jalan Anggrek X No. 7 Semarang. Setelah bertemu dengan Ki

Nartosabdho, ia menyatakan keinginannya. Pada saat itu, Ki Nartosabdho mengatakan,

bahwa apakah tidak keliru memilih dirinya sebagai guru mengingat di Surakarta yang

notabene sebagai pusat kebudayaan Jawa dan dari segi geografis berdekatan dengan

Sragen terdapat para dhalang yang mumpuni. Berdasar kesaksian Nyi Suharni

Sabdowati kepada penulis pada 1993/1994, ketika penulis melakukan wawancara dalam

rangka pengumpulan data untuk penelitian tentang potensi wayang dalam

69 pembangunan, diperoleh informasi bahwa ketika ia akan nyantrik kepada Ki

Nartosabdho ia tidak mendapat kepastian tentang penerimaan atau penolakan sebagai

cantrik. Pada saat ia pamit, ia mendapatkan secarik kertas yang berisi notasi angka

(kepatihan) lelagon Mbok Ya Mesem berlaras slendro sanga miring dengan penulisan

angka-angka yang banyak coretan miringnya. Adapun liriknya sebagai berikut.

E e e mbok ya mesem, mrengut pedahe apa,

E e e mbok ya ngguyu, susah pedahe apa,

Panjalukku dhik tetepa ing janji,

Aja ewa aja tansah cuwa,

Nadyan aku uga tan selak ing janji,

E mesema tansah dakenteni,

Yo bareng angudi luhuring kagunan,

Watone tumemen mesthi kasembadan.

(Sugiarto dkk., 1998/1999: 15).

Terjemahan:

E e e sebaiknya tersenyum, bermuram durja apa faedahnya,

E e e sebaiknya tertawa, bersusah apa faedahnya,

Permintaanku dik, tetaplah pada janji,

Jangan enggan jangan selalu kecewa,

Sesungguhnya aku juga tidak akan mengingkari janji,

E ... tersenyumlah, selalu aku tunggu,

Ayo bersama-sama memelajari dengan tekun keluhuran seni,

Dengan kesungguhan hati pasti akan tercapai.

Setelah menerima notasi lagu itu ia merasa disepelekan. Akan tetapi, setelah mendapat

penjelasan dari pelatih karawitan di daerahnya dan menyimak serta memaknai lirik

lagunya, ia baru mengerti dan sadar bahwa Ki Nartosabdho memberikan respons yang

positif terhadap lamarannya untuk berguru kepadanya. Sejak saat itu, ia mulai membeli

kaset-kaset rekaman komersial wayang kulit purwa oleh Ki Nartosabdho yang

diproduksi oleh perusahaan rekaman pemerintah, Lokananta dan beberapa perusahaan

swasta. Salah satu rekaman kaset wayang kulit purwa yang dibelinya berjudul

70 Vol. 1, No. 1, Hal 60-79, Mei 2018 Gathutkaca Sungging, yang diproduksi Lokananta pada 1973 (Yampolsky, 1987:218).

Kaset-kaset rekaman itu ditranskrip, dihafalkan, dan dilafalkan berulang-ulang seperti

pelafalan yang dilakukan oleh Ki Nartosabdho sebagaimana terdengar melalui rekaman

pita kaset. Dengan cara seperti itu ia dapat menirukan gaya pedhalangan Ki

Nartosabdho. Setelah terasa mantap, dalam setiap pergelaran ia mencoba menyajikan

pedhalangan gaya Nartosabdho. Lakon pertama yang ditampilkan adalah Gathutkaca

Sungging yang diikuti dengan lakon-lakon lainnya. Namun, tidak semua lakon ia

sajikan secara sama persis seperti yang dilakukan oleh gurunya. Selain menampilkan

lelagon-lelagon populer karya Ki Nartosabdho, ia juga memanfaatkan lagu-lagu yang

dibawakan oleh Waljinah untuk mendukung pergelarannya, khususnya untuk adegan

gara-gara.

Peniruan terhadap gaya pedhalangan Ki Nartosabdho ini membuat Suharni

terkenal. Berita tentang peniruan gaya pedhalangan ini juga terdengar oleh Ki

Nartosabdho. Ia selalu menanyakan tentang kebenaran informasi tersebut. Setelah

mendapatkan jawaban dari berbagai pihak, khususnya para anggota Condhong Raos dan

seniman dhalang yang lain, pada 1975 Ki Nartosabdho mengundang Suharni untuk

pentas di rumahnya. Menurut ingatan penulis, Nyi Suharni diminta untuk pentas dalam

rangka resepsi pernikahan anak tetangga Ki Nartosabdho yang bertempat tinggal di

antara kedua rumahnya, yaitu Jalan Anggrek X Nomor 9 Semarang. Sebagaimana

diketahui, Ki Nartosabdho memiliki dua rumah di Jalan Anggrek X yaitu Nomor 7 dan

11 Semarang. Jalan Anggrek X Nomor 7 digunakan untuk kediaman Ki Nartosabdho

dan Jalan Anggrek X Nomor 11 digunakan sebagai rumah tinggal sanak saudara,

anggota Condhong Raos apabila akan pentas dan rekaman, sekaligus sebagai studio

rekaman. Pada saat itu, Ki Nartosabdho-lah yang menyelenggarakan dan bertindak

sebagai tuan rumah resepsi pernikahan anak tetangganya, Citrapanembang, seorang

pengrawit RRI Semarang. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Nyi Suharni. Ia

memilih Gathutkaca Sungging, sebuah lakon yang sudah sering dipentaskannya. Ia juga

mempersiapkan diri sebaik-baiknya karena ingin membuktikan di hadapan orang yang

dianggap sebagai gurunya, bahwa dirinya tidak kalah dengan dhalang-dhalang laki-laki

(Suwondo, 2011:45).

Ternyata tidak mudah untuk mewujudkan suatu keinginan dapat tampil dengan

baik di rumah seorang maestro seni karawitan dan pedhalangan itu. Pentas di rumah

71 seorang seniman besar membuat rombongan karawitan Nyi Suharni grogi; diminta

untuk memainkan Ladrang Temanten Laras Pelog Pathet Barang, sebuah repertoar

yang sudah sangat jamak dalam dunia seni karawitan Jawa pun tidak mampu. Sajian

repertoar ini sebenarnya dimaksudkan untuk memberikan penghormatan kepada

mempelai berdua. Nyi Suharni memberi kesaksian, bahwa yang terdengar bukan

Ladrang Temanten, tetapi ‘ladrang kematian’, sebuah ungkapan betapa buruk nasib

yang menimpa rombongan karawitan-nya. Rombongan Nyi Suharni baru dapat

memainkannya, setelah Ki Nartosabdho turun tangan dengan memberi aba-aba kepada

para pengrawit. Setelah para pengrawit dapat memainkan musik kembali, Nyi Suharni

dapat memulai dan menyajikan lakon Gathutkaca Sungging dengan penuh totalitas.

Pergelaran itu dapat memikat hati Ki Nartosabdho. Setelah usai pergelaran ia

mendapatkan ucapan selamat dan penghargaan dengan penyematan nama ‘Sabdowati’

di belakang namanya, menjadi Suharni Sabdowati. Pemberian tambahan nama ini juga

disaksikan oleh sanak keluarga Ki Nartosabdho dan para anggota Condhong Raos.

Pemberian nama ini sekaligus juga merupakan pengakuan dari Ki Nartosabdho, bahwa

secara formal Nyi Suharni telah diakui sebagai muridnya (Triwikromo, Suara Merdeka,

4 Desember 1997: XII).

Gambar 2. Nyi Suharni duduk berdampingan dengan Ibu Nartosabdho ketika akan

pentas di kediaman Ki Nartosabdho pada 1975.

Sumber: Foto Keluarga Ki Nartosabdho

72 Vol. 1, No. 1, Hal 60-79, Mei 2018 Ketika berguru (nyantrik) kepada Ki Nartosabdho, penulis yang pada waktu itu

masih duduk di bangku sekolah dasar pernah melihat dengan mata kepala sendiri,

bahwa ia sangat hormat dan mampu mengambil hati gurunya dengan tindakan dan

perilaku yang patut dilakukan oleh seorang murid (cantrik) kepada gurunya. Ia sering

mengipasi ketika sang guru merasa kegerahan, membantu memijit kakinya apabila sang

guru terlihat sangat lelah, atau mengambil dan menyulut rokok apabila sang guru akan

merokok. Penulis juga pernah melihat ia membantu menyelesaikan pekerjaan rumah

tangga sang guru, dan bergaul dengan kerabat dan para seniman (pangrawit atau

penabuh gamelan dan pesindhen atau penyanyi wanita) anggota Paguyuban Karawitan

Condhong Raos yang dipimpin oleh Ki Nartosabdho. Selain itu, ia juga rajin

mendengarkan dan mentranskrip rekaman audio pergelaran Ki Nartosabdho. Di luar

acara permintaan pentas (tanggapan) yang diterima sendiri, ia sering mengikuti

pergelaran-pergelaran yang disajikan oleh gurunya di berbagai daerah, baik berangkat

menonton sendiri maupun berangkat bersama rombongan Condhong Raos yang menjadi

pengiring tetap pergelaran Ki Nartosabdho sebagaimana tampak dalam Gambar 3.

Gambar 3. Nyi Suharni Sabdowati, Ibu Tumini Nartosabdho, dan para anggota

Condhong Raos dalam suatu perjalanan menuju kediaman pihak pengundang Ki

Nartosabdho [dasawarsa 1970].

Sumber: Foto Koleksi Keluarga Ki Nartosabdho

73

Upaya-upaya untuk mewarisi kemampuan mendhalang seperti gurunya juga

dilakukan dengan cara-cara yang menurut pandangan masyarakat moderen dianggap

tidak rasional, yaitu ia juga mengumpulkan puntung rokok sisa gurunya yang kemudian

digunakannya untuk merokok. Cara-cara seperti ini juga lazim dilakukan oleh para

dhalang yang ingin mewarisi kemampuan sang guru. Sebagai contoh para dhalang dari

Klaten yang sedang merintis dan memperbaiki karier sebagai dhalang juga pernah

melakukan hal seperti itu. Penulis pernah mendengar cerita, bahwa ketika Ki

Nartosabdho menghadiri undangan resepsi khitanan atau pernikahan dari kerabat

dhalang di Klaten, sebelum kudapan yang disuguhkan kepadanya disantap habis atau

bahkan baru disantap satu atau dua sendok makan, diminta oleh salah seorang dhalang

tuan rumah untuk diberikan kepada anak atau kerabatnya yang menjadi dhalang dengan

maksud mendapatkan berkah dari Sang Maestro. Hal ini juga pernah terjadi pada sosok

Ki Nartosabdho sendiri. Ketika ia nyantrik kepada Ki Pujo Sumarto, Sunarto (nama asli

Ki Nartosabdho sebelum menjadi dhalang) menunggu dengan sabar Sang Guru

menyelesaikan makannya dengan harapan akan mendapatkan sisa makanan yang akan

diberikan oleh Sang Guru.

Nama Nyi Suharni Sabdowati semakin melejit setelah ia mendapatkan

kesempatan untuk pentas siaran di Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta dan

Semarang pada 1977 atas rekomendasi Ki Nartosabdho. Hal ini dapat dipahami, karena

radio merupakan teknologi siaran lintas batas yang pertama dan salah satu alat

komunikasi penting di Indonesia pada saat itu. Radio merupakan media moderen yang

memiliki jangkauan paling luas dan sangat efektif sebagai sarana untuk menggapai

popularitas (Puguh, 2015: 304). Dengan kata lain, siaran RRI menjadi sarana untuk

meningkatkan karier atau menjadi dhalang terkenal dan memiliki nama besar (van

Groenendael, 1987:203). Keberhasilan siaran di RRI juga bermakna pengakuan

pemerintah Indonesia terhadap eksistensi seorang dhalang. Selama nyantrik kepada Ki

Nartosabdho pergaulannya semakin luas. Hal ini juga dimanfaatkan olehnya untuk

belajar (ngangsu kawruh) dan meningkatkan kompetensinya sebagai dhalang. Setelah

Ki Nartosabdho wafat pada 1985, kegiatan ini terus berlanjut. ia juga belajar pada

dhalang-dhalang besar, para seniman, dan tokoh-tokoh politik agar pakeliran-nya lebih

berbobot.

74 Vol. 1, No. 1, Hal 60-79, Mei 2018

3. Pencapaian

Upaya-upaya sepanjang perjalanan meniti karier sebagai dhalang wayang kulit purwa

telah membuahkan hasil. Setelah berguru (nyantrik) kepada maestro dhalang Ki

Nartosabdho, Nyi Suharni Sabdowati semakin dikenal luas oleh masyarakat dan sering

mendapatkan panggilan pentas (tanggapan). Dalam sebulan pada masa kejayaannya Nyi

Suharni Sabdowati mendapat panggilan pentas sebanyak 15 kali di berbagai daerah.

Pada 1977 daerah pementasan Nyi Suharni Sabdowati tidak hanya di daerah Sragen,

tetapi sudah meluas di kota-kota di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Bagi

dhalang perempuan, jumlah itu merupakan suatu yang luar biasa, karena para dhalang

perempuan yang lain seperti Nyi Rumiati dari Kartasura, Nyi Bardiati dari Klaten, dan

Sufiah dari Kebumen hanya menerima panggilan pentas sebanyak dua sampai tiga kali

dalam sebulan. Dari segi imbalan ia juga menerima honorarium yang lebih banyak dari

para dhalang perempuan yang lain, bahkan menyamai para dhalang laki-laki terkenal di

daerah namun masih di bawah honorarium yang diterima oleh gurunya, Ki Nartosabdho

(Suwondo, 2011:86-87). Berdasar jumlah panggilan pentas dan honorarium yang

diterimanya itu, dapat dikatakan ia telah mencapai popularitas seperti dhalang laki-laki

terkenal.

Ketokohannya sebagai dhalang perempuan ini juga ditunjukkan dari adanya

pengakuan para dhalang laki-laki. Sejumlah dhalang memberikan kesaksian, bahwa

Nyi Suharni Sabdowati memiliki kemampuan seperti dhalang laki-laki. Oleh karena

kemampuannya itu, ia juga pernah mendapat kesempatan untuk pentas pada forum Rebo

Legen yang diadakan oleh Ki Anom Suroto. Rebo Legen merupakan sebuah acara

pergelaran wayang kulit purwa yang diselenggarakan secara rutin di rumah kediaman

Ki Anom Suroto di Surakarta untuk memeringati hari kelahirannya (Sarwanto, 2012:

43). Bukti lain dari adanya pengakuan itu adalah ia sering disandingkan dengan dhalang

laki-laki dalam suatu pergelaran wayang kulit purwa yang melibatkan lebih dari satu

dhalang. Hal ini antara lain ditunjukkan dengan beberapa bukti, antara lain pada

peringatan hari kelahiran Ki Nartosabdho ke-77 pada 25 Agustus 2002, Nyi Suharni

Sabdowati yang notabene adalah murid Ki Nartosabdho mendapatkan kesempatan

untuk berada satu panggung pertunjukan wayang kulit purwa bersama dhalang terkenal

dari Karang Pandan, Ki Manteb Soedharsono dan dhalang terkenal dari Semarang, Ki

75 Djoko Hadiwidjojo. Keduanya juga pernah berguru kepada Ki Nartosabdho. Pada saat

itu, mereka menampilkan lakon Kresna Duta di Radio Republik Indonesia Semarang

(“Tiga Dalang Pentas Bareng di RRI”). Tentang pemilihan lakon Kresna Duta ini perlu

mendapatkan keterangan tambahan. Kresna Duta merupakan lakon favorit Ki

Nartosabdho, karena lakon ini pernah disajikan dalam sebuah pergelaran di Gedung

Pemuda Jakarta pada April 1958 dan disiarkan oleh RRI Jakarta yang mengantarkannya

menjadi dhalang terkenal (Sumanto, 2002:46). Dengan demikian, dapat

diinterpretasikan bahwa pemilihan lakon itu dilatarbelakangi oleh pertimbangan tersebut

sekaligus sebagai simbol penghormatan kepada sang guru. Ketokohannya sebagai

dhalang perempuan juga membawa berkah tersendiri bagi Nyi Suharni Sabdowati,

karena ia selalu mendapatkan kesempatan untuk tampil dalam acara-acara yang

memiliki kaitan dengan dunia perempuan, sebagai contoh peringatan Hari Kartini pada

21 April dan Hari Ibu pada 22 Desember.

Gambar 4. Nyi Suharni didampingi oleh Ki Manteb Soedharsono dan Ki Djoko

Hadiwidjojo sedang menerima gunungan/ kayon sebagai simbol pergelaran dimulai

dalam rangka peringatan hari kelahiran Ki Nartosabdho ke 77 pada 25 Agustus 2002 di

RRI Semarang.

Sumber: http://www.gemari.or.id/cetakartikel.php?id=741 (10 Juli 2016).

Selain menerima permintaan pentas (tanggapan) yang bersifat komersial, pada

1987 Nyi Suharni Sabdowati atas prakarsa dan biaya sendiri pergi ke daerah-daerah

transmigrasi di Sumatra untuk menghibur masyarakat transmigran. Kegiatan yang

diselenggarakan dengan bekerja sama dengan Tim Safari Ganasidi ini berhasil

76 Vol. 1, No. 1, Hal 60-79, Mei 2018 menggelar pementasan wayang kulit purwa di Lampung, Bengkulu, dan Jambi. Selain

itu, pada 1996 ia berkunjung ke Merauke untuk menjenguk anaknya. Di Merauke ia

bekerja sama dengan para dhalang dan pangrawit yang berada di daerah transmigrasi

untuk menyelenggarakan pentas wayang kulit purwa. Selama di Merauke ia berhasil

menyelenggarakan pentas wayang kulit purwa sebanyak 14 kali (Suwondo, 2011:93-

94).

Kiprah Nyi Suharni Sabdowati dalam dunia seni pedhalangan menjadi semakin

lengkap setelah ia mendapatkan kesempatan untuk mendhalang di Melbourne Australia

pada 10 Mei 2003. Pergelaran diadakan di Basement Theatre –Sidney Myer Asia

Center, University of Melbourne dengan diiringi oleh Melbourne Community Gamelan.

Sebelumnya ia juga diminta untuk menyajikan wayang kulit purwa bagi murid-murid

sekolah pada 8 Mei 2003 dengan lakon Bima Bungkus yang digelar di Renaissance

Theatre Kew High School, Melbourne (http://www.aiaa.org.au/calendar/cal2003.html,

10 Juli 2016).

Di kalangan masyarakat, Nyi Suharni Sabdowati juga dikenal sebagai dhalang

yang lucu dan mampu memberikan hiburan yang segar bagi para penontonnya. Salah

seorang penggemarnya memberi kesaksian, bahwa Nyi Suharni Sabdowati telah

mengabdikan hidupnya pada dunia seni yang ditekuninya, yaitu pedhalangan wayang

kulit purwa. Dalam video yang berisi fragmen pergelaran Nyi Suharni yang berjudul

“Manusia Versus Kuda dan Manusia Versus Sepeda” Nyi Suharni Sabdowati berhasil

mengundang tawa para penontonnya. Ia telah berhasil menjadi dhalang perempuan

cemerlang yang telah memberikan hikmah dan kegembiraan kepada masyarakat

(“Mengenang Dalang Bu Harni Penghibur Cemerlang”).

Konsistensi Nyi Suharni Sabdowati dalam mengikuti gaya pedhalangan Ki

Nartosabdho mengukuhkan dirinya sebagai murid dan pengikut Ki Nartosabdho. Tidak

mengherankan apabila Sugeng Nugroho (2003/2004) menyematkan sebutan kepada Nyi

Suharni Sabdowati sebagai Duplikat Ki Nartosabdo dan Suwondo (2003 dan 2011)

memberikan sebutan Suharni Sabdowati sebagai Penganut Gaya Nartosabdo.

Konsistensinya terhadap gaya pedhalangan Ki Nartosabdho mengakibatkan dirinya

dapat eksis dalam dunia seni pedhalangan, karena setelah Ki Nartosabdho wafat tidak

ada seorang dhalang pun yang secara konsisten mengikuti gaya Ki Nartosabdho kecuali

77 dirinya. Penampilan Nyi Suharni Sabdowati dapat mengobati kerinduan penggemar Ki

Nartosabdho yang sampai dengan dasawarsa 1990 jumlahnya masih banyak.

Sampai dengan menjelang akhir hayatnya pada 2006 Nyi Suharni Sabdowati

masih bergelut dalam dunia seni pedhalangan walaupun sudah tidak aktif seperti pada

masa kejayaannya. Ia juga berperan dalam mengembangkan seni karawitan dengan

mendirikan group, serta membina campursari. Oleh karena pengabdiannya dalam dunia

seni tradisi Jawa, ia mendapatkan penghargaan dari pemerintah yaitu Piagam Bhakti

Budaya.

KESIMPULAN

Suharni Sabdowati adalah perempuan yang memiliki bakat dalam bidang seni. Sejak

kecil ia sudah mengenal dan kemudian berkecimpung dalam dunia seni tradisi Jawa,

khususnya seni pedhalangan. Bakat seni dan suaranya yang seperti suara laki-laki

dijadikan sebagai modal untuk menekuni dunia seni pedhalangan dan menjadikan

dhalang wayang kulit purwa sebagai profesinya. Di bawah bimbingan para dhalang di

Sragen dan kemudian menjadi cantrik Ki Nartosabdho yang dijalaninya dengan penuh

kesungguhan, kerajinan, dan kedisiplinan, akhirnya Nyi Suharni Sabdowati berhasil

tampil seperti dhalang laki-laki, tidak hanya dalam hal suara dan kualitas

pergelarannya, tetapi juga dalam hal popularitas dan honorarium yang diterimanya.

Selama ini, kita sering mendengar bahwa para dhalang terkenal adalah laki-laki. Nyi

Suharni Sabdowati adalah satu-satunya dhalang perempuan yang memiliki karakter

suara, penampilan, popularitas, dan honorarium seperti dhalang laki-laki terkenal. Ia

dapat eksis dalam dunia seni pedhalangan karena konsisten mengikuti gaya

pedhalangan Ki Nartosabdho dengan penambahan kreativitas yang disesuaikan dengan

selera masyarakat pada zamannya.

DAFTAR PUSTAKA

Black, J. dan D.M. MacRaild. 2007. Studying History. New York: Palgrave Macmillan.

“Dalang Harus Banyak Belajar dan Srawung”,

http://www.gemari.or.id/cetakartikel.php?id=741 (diunduh 10 Juli 2016).

http://www.aiaa.org.au/calendar/cal2003.html (diunduh 10 Juli 2016).

78 Vol. 1, No. 1, Hal 60-79, Mei 2018 Kayam, U. 2001. Kelir Tanpa Batas. Yogyakarta: Gama Media dan Pusat Studi

Kebudayaan Universitas Gadjah Mada.

Nugroho, S. 2003/2004. “Nyi Suharni Sabdowati Dalang Wanita Duplikat Nartosabda”,

Seni Pertunjukan Indonesia, 12.

Nugroho, S. 2012. Lakon Banjaran: Tabir dan Liku-likunya (Wayang Kulit Purwa Gaya

Surakarta. Surakarta: ISI Press.

Puguh, D.R. 2015. “Mengagungkan Kembali Seni Pertunjukan Tradisi Keraton: Politik

Kebudayaan Jawa Surakarta, 1950an-1990an”. Disertasi pada Program Studi

Ilmu-ilmu Humaniora Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Gadjah Mada.

Puguh, D.R. dan M.P. Utama, (ed.). 2009. Pedhalangan Gagrag Nartosabdhan.

Semarang: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang.

Sarwanto. 2012. Kehadiran Anom Suroto dan Rebo Legen bagi Masyarakat Pecinta

Wayang. Surakarta: ISI Press,

SKY, “Mengenang Dalang Bu Harni Penghibur Cemerlang”,

http://www.langitperempuan.com/mengenang-dalang-bu-harni-penghibur-

cemerlang/ (diunduh 10 Juli 2016).

Soetarno, Sarwanto, dan Sudarko. 2007. Sejarah Pedalangan. Surakarta: ISI Surakarta

dan CV Cendrawasih.

Sugiarto, A., dkk., 1998/1999. Kumpulan Gendhing Jawa Karya Ki Nartosabdho.

Semarang: Proyek Pengembangan Kesenian dan Kebudayaan Jawa Tengah.

Sumanto. 2002. Nartosabdo: Kehadirannya dalam Dunia Pedalangan (Sebuah

Biografi). Surakarta: STSI Press.

Sumanto.1997. “Pendidikan Dalang: Hambatan dan Tantangannya”, Wiled: Jurnal Seni,

Th. II (Maret). Surakarta: Sekolah Tinggi Seni Indonesia.

Sunardi. 2013. Nuksma dan Mungguh: Konsep Dasar Estetika Pertunjukan Wayang.

Surakarta: ISI Press.

Supanggah, R. 2011. Dunia Pewayangan di Hati Seorang Pengrawit. Surakarta: ISI

Press.

Suwondo. 2011. Suharni Sabdowati Penganut Gaya Nartasabda. Sukoharjo: CV

Cendrawasih.

79 Suwondo. 2003. “Pengaruh Nartosabdo terhadap Gaya Pakeliran Suharni Sabdowati

Sragen”, Harmonia, Vol. IV No. 2/ Mei – Agustus

Tanaja, R. 1971. Riwajat Pangeran Pandjangmas, Leluhuripun Para Dalang Karaton

Mataram – Kartasura – Surakarta. Surakarta: Penerbitan Pribadi R. Tanaja.

“Tiga Dalang Pentas Bareng di RRI”, Suara Merdeka, 23 Agustus 2002 dalam

http://www.suaramerdeka.com/harian/0208/23/nas12.htm (diunduh 10 Juli 2016).

Triwikromo, T. 1997. “Nyi Suharni Sabdowati: Bermula dari Dalang Wayang Suluh”,

Suara Merdeka, 27 November.

Triwikromo, T. 1997. “Proses Kreatif Nyi Suharni Sabdowati: Belajar dari Kaset Ki

Nartasabda”, Suara Merdeka, 4 Desember 1997.

Triwikromo, T. 1997. “Nyi Suharni Sabdowati: Memperoleh Suara Kera Melalui

Mimpi, Suara Merdeka, 18 Desember.

Van Groenendael, V.M.C. 1987. Dalang di Balik Wayang. Terjemahan Pustaka Utama

Grafiti. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Yampolsky, P. 1987. Lokananta: A Discography of the National Recording Company of

Indonesia 1957-1985. Madison, Wisconsin: Center For Southeast Asian Studies

University of Wisconsin.

80

JURNAL SEJARAH INDONESIA

Vol. 1, No. 1, Hal 80-103, Mei 2018

ISSN : 2621-1580

POLITIK PEMERINTAHAN DAN KEBIJAKAN ATAS RUANG DALAM

PENETAPAN IBUKOTA-BARU KABUPATEN MADIUN:

MENEMUKAN POSISI CARUBAN 1830—2017

Agus Suwignyo dan Baha’Uddin

Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada

Pos-el: [email protected], [email protected]

ABSTRACT The transfer of the capital city of Madiun regency from Madiun city to Mejayan area in Madiun regency in 2010 leaves the issue of the predicate and name of the regency's new capital. The government has established "Mejayan", the capital of Mejayan District, as the new capital of Madiun regency. But some people who call themselves "Caruban residents" demand that "Caruban" be the name of the new capital regency. The reason for this is "Caruban" as the name of the initial administrative structure in the region, which was once a district. This article examines the issue of the new capital-designation of Madiun regency by tracking Caruban's position in the governmental structure of Madiun. Using the primary sources of government documents from the colonial period to the present day, the article shows that Caruban, instead of Mejayan, is a more appropriate name for the new capital of Madiun regency. Nevertheless, the use of Caruban as the name of the capital requires also a change in urban area development plan in a number of districts directly under the capital city of the regency. The article formulates a number of policy recommendations on the issue. Keywords: government politics, capital city, Caruban, Madiun Regency

ABSTRAK

Pemindahan ibukota Kabupaten Madiun dari wilayah Kota Madiun ke daerah Mejayan di Kabupaten Madiun pada tahun 2010 menyisakan persoalan tentang sebutan dan nama ibukota-baru kabupaten itu. Pemerintah telah menetapkan “Mejayan”, yaitu ibukota Kecamatan Mejayan, sebagai ibukota-baru Kabupaten Madiun. Namun sejumlah orang yang menyebut diri “penduduk Caruban” menuntut agar “Caruban” dijadikan nama ibukota-baru kabupaten. Alasannya, “Caruban” merupakan nama awal struktur administrasi di wilayah itu, yang dulunya berupa distrik. Artikel ini mengkaji persoalan sebutan ibukota-baru Kabupaten Madiun dengan menelusuri posisi Caruban dalam struktur pemerintahan di Madiun. Dengan memakai sumber-sumber primer berupa dokumen pemerintah sejak masa kolonial hingga sekarang, artikel menunjukkan bahwa Caruban, alih-alih Mejayan, adalah

81

nama yang lebih tepat bagi ibukota-baru Kabupaten Madiun. Meskipun demikian, pemakaian Caruban sebagai nama ibukota menuntut juga perubahan rencana tata-ruang pengembangan kawasan pusat perkotaan di sejumlah wilayah kabupaten yang langsung berada di bawah cakupan ibukota kabupaten. Artikel merumuskan sejumlah rekomendasi kebijakan atas persoalan tersebut. Kata kunci: politik pemerintahan, ibukota, Caruban, Kabupaten Madiun

PENDAHULUAN

Pada tahun 2010 ibukota Kabupaten Madiun dipindahkan oleh pemerintah dari wilayah

Kota Madiun ke daerah Kecamatan Mejayan di wilayah Kabupaten Madiun.

Pemindahan ibukota Kabupaten Madiun ke luar dari Kota Madiun disebabkan antara

lain oleh perkembangan pesat Kota Madiun. Kota Madiun, yang merupakan tempat

awal kedudukan dan asal-mula berkembangnya pemerintahan

KabupatenmaupunKaresidenan, sekarangtelah berubah status administrasinyamenjadi

Kotamadya Madiun. Selain itu, Kota Madiun dari waktu ke waktu telah menjadi

semakin padat dibandingkan pada masa-masa sebelumnya akibat peningkatan jumlah

penduduk. Kota Madiun semakin membutuhkan ruang-ruang aktivitas di dalam lingkup

luas geografisnya yang tidak mungkin bertambah. Dengan demikian, pemindahan

ibukota Kabupaten Madiun keluar wilayah Kota Madiun antara lain bertujuan untuk

melonggarkan ruang aktivitas politik dan pemerintahan baik bagi pemerintah Kota

Madiun maupun bagi pemerintah Kabupaten Madiun sendiri. Selain itu, dari perspektif

Pemerintah Kabupaten Madiun,pemindahan ibukota kabupaten juga dilandasi oleh

pertimbangan ekonomi menyangkut pendapatan asli daerah dan pemanfaatan peluang-

peluang pengembangan di daerah yang belum terlalu padat.

Meskipun memberi peluang pengembangan potensi ekonomi dan memperluas

ruang gerak aktivitas kepemerintahan, pemindahan ibukota menimbulkan gejolak sosial

yang berkaitan dengan nama maupun sebutan bagi ibukota-baru Kabupaten Madiun.

Sekelompok orang menuntut agar “Caruban”, dan bukan “Mejayan”, dijadikan nama

ibukota-baru Kabupaten Madiun. Kelompok orang itu menyebut diri mereka sebagai

“penduduk Caruban”. Mereka mengajukan alasan bahwa “Caruban” telah memiliki akar

historis dalam nomenklatur administrasi sebagai pusat pemerintahan kabupaten.

Argumen ini didasarkan pada posisi politik Caruban padamasa kerajaan dan masa

kolonial.

82 Vol. 1, No. 1, Hal 80-103, Mei 2018

Pada peta wilayah Kabupaten Madiun sekarang, nama “Caruban” tidak

ditemukan sebagai sebuah lokasi yang memiliki titik koordinat. Kabupaten Madiun,

dengan cakupan wilayah membentang dalam 15 kecamatan pada tahun 2010, juga tidak

lagi memiliki daerah administrasi pada level kecamatan yang disebut “Caruban”.

Meskipun demikian, nama “Caruban” masih dipakai oleh masyarakat sebagai nama

sejumlah lokasi, misalnya nama stasiun bis dan lokasi rumah sakit pemerintah. Dengan

kata lain, nama “Caruban” masih hidup dalam ingatan aktif dan pemakaian sehari-hari

oleh masyarakat. Tuntutan sejumlah orang agar “Caruban” dijadikan nama ibukota-baru

Kabupaten Madiun menimbulkan pertanyaan tentang “Caruban” sebagai kelompok

entitas politik dan kultural sekaligus. Bagaimana jurang antara status politik dan ingatan

sosial masyarakat tentang kedudukan “Caruban” itu dijelaskan secara historis?

Artikel ini mengkaji posisi dan kedudukan Caruban dalam struktur politik

pemerintahan di Kabupaten Madiun sejak masa kolonial hingga sekarang. Secara

khusus, artikel menelusuri kedudukan “Caruban” sebagai pusat pemerintahan dan

perubahan kedudukan tersebut seiring dengan pembaruan-pembaruan struktur

pemerintahan yang mengenai Kabupaten Madiun. Pemindahan ibukota pemerintahan

sering menimbulkan permasalahan seperti yang dikaji dalam artikel ini. Perebutan ruang

menjadi bagian politik pemerintahan yang ditetapkan oleh pengambil kebijakan.

Persoalan muncul karena politik pemerintahan atas ruang tidak sejalan dengan kondisi

dan kebutuhan masyarakat akan hal itu.

Persoalan “Caruban” dalam peristiwa penetapan ibukota-baru Kabupaten

Madiun adalah contoh konkrit tentang administrasi ruang. Persoalan tersebut

menunjukkan bahwa transformasi politik pemerintahan dapat menciptakan maupun

meniadakan keberadan struktur kepemerintahan yang telah ada dan “hidup” dalam

ingatan masyarakat. Dengan kata lain, proses pengambilan kebijakan tentang ruang

sering didasarkan pada pertimbangan kekuasaan dan mengabaikan aspek masyarakat.

Kajian tentang posisi “Caruban” sebagai “ruang” dalam tata-pemerintahan di Kabupaten

Madiun menambah panjang daftar studiyang telah ada tentang kasus-kasus pemindahan

pusat pemerintahan. Meskipun demikian, kajian ini menambah bibliografi tentang

Madiun secara keseluruhan. Hingga saat ini belum ada studi yang secara khusus

mengkaji Caruban.

83

Upaya menguak sejarah Caruban sebagai pusat pemerintahan di Kabupaten

Madiun perlu merujuk beberapa periode berdasarkan sumber-sumber yang tersedia.

Secara garis besar, sejarah Caruban seperti halnya sejarah Kabupaten Madiun dapat

dibagi ke dalam tiga periode politik, yaitu masa pemerintahan awal kerajaan-kerajaan,

masa Hindia Belanda, dan masa Republik Indonesia. Dalam kasus Caruban dan Madiun,

ketiga periode tersebut kira-kira merentang dari waktu antara abad ke-14 hingga tahun

1830 untuk periode pemerintahan awal, tahun 1830—1942 untuk periode Hindia

Belanda, dan antara 1945—sekarang untuk periode Republik Indonesia. Dalam

periodisasi itu terdapat satu celah periode yang kosong, yaitu masa Jepang (1942-1945)

akibat keterbatasan sumber. Untuk mengungkap sejarah pada setiap periode diperlukan

sumber-sumber tertulis yang kredibel dan bersifat primer, artinya sumber yang berasal

dari periode yang dikaji. Paparan berikut menguraikan Caruban sebagai pusat

pemerintahan Kabupaten Caruban dan kemudian Distrik Caruban.

PEMBAHASAN

1. Pemerintahan Awal Caruban: Kendala Sumber Primer

Kesulitan terbesar dalam mengungkapkan sejarah Caruban pada masa-masa awal

(sebelum masa pemerintahan kolonial) adalah hampir tiadanya sumber tertulis dari masa

itu. Sumber tertulis yang tersedia berasal dari Bapak Muhammad Amin Somaatmojo,

berupa catatan pribadi, dan dari arsip dokumentasi kelompok “Gerakan Caruban

Menggunggat 2017”. Demikian ditulis oleh sejarawan Sri Margana dalam tulisannya

“Melawan Kekuasaan Kompeni: Dari Penyerbuan Batavia hingga Perang Suksesi III,

1601—1755” (dalam buku Madiun: Sejarah Politik dan Transformasi Kepemerintahan

dari Awal Abad XIV hingga Awal Abad XXI, penulis Sri Margana, Agus Suwignyo,

Abdul Wahid, Baha’Uddin dan Uji Nugroho[Madiun & Yogyakarta: Pemkab Madiun &

Departemen Sejarah FIB UGM], hlm. 78—82).

Informasi terbatas dari sumber tertulis non-primer itu menguraikan silsilah

bupati-bupati Caruban dari awal abad ke-18, yaitu dari masa pemerintahan Bupati

Raden Cakrakusma II di awal 1700an, hingga tahun 1867 yaitu berakhirnya

pemerintahan Bupati KBRT Jayengrana. Bupati KBRT Jayengrana disebut di dalam

catatan Bapak Muhammad Amin Somaatmojo yang dikutip Sri Margana sebagai

“bupati terakhir” Caruban. Pernyataan “bupati terakhir” menyiratkan bahwa setelah

84 Vol. 1, No. 1, Hal 80-103, Mei 2018 tahun 1867 Caruban tidak lagi dipimpin oleh seorang bupati. Jika posisi “wedono”

adalah jabatan untuk sebuah cakupan wilayah distrik dan “bupati” untuk kabupaten,

maka dapat diasumsikan bahwa Caruban secara administratif kepemerintahan tidak lagi

sebuah kabupaten setelah 1867. Meskipun demikian, asumsi atas sumber terbatas non-

primer tersebut perlu dibandingkan dengan data dari sumber-sumber lain, khususnya

sumber tertulis primer atau yang berasal dari periode yang dikaji.

2. Caruban pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda 1830—1942

Perkembangan Setelah Perang Jawa

Laporan Pemerintah Kolonial tentang Residensi Madiun tahun 1839 memaparkan

secara rinci kedudukan Caruban dan perubahan pusat-pusat pemerintahan di Madiun

kala itu, sekitar 10 tahun setelah berakhirnya Perang Jawa/Perang Diponegoro. Laporan

tersebut terdapat dalam bundel Arsip Madiun No. 2 (koleksi badan Arsip Nasional

Republik Indonesia, ANRI).

Menurut Algemeen Verslag der Residentie Madioen 1839 itu, Karesidenan

Madiun sampai dengan 1830 merupakan wilayah Monconegoro dari Kasultanan

Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Setelah berakhirnya Perang Jawa, Madiun

diserahkan oleh kerajaan-kerajaan itu kepada pemerintah (Hindia Belanda).

Dalam struktur pemerintahan Mancanegara, kekuasaan dipegang oleh Bupati

Wedono dan Bupati (yang terakhir ini berada di bawah yang pertama), keduanya

diangkat oleh Kerajaan dan bertugas menjalankan fungsi sebagai wakil pemerintahan

kerajaan di wilayah tersebut.Ketika Madiun diserahkan kepada pemerintah Hindia

Belanda, terdapat 2 Bupati Kepala (Hoofd Regent yaitu Bupati Wedono) dan 11 Bupati

wakil Kasunanan Surakarta, dan 1 Bupati Kepala dan 8 Bupati sebagai wakil

Kasunanan Surakarta.

Para Bupati Wedono dan Bupati wakil Kasunanan Surakarta mengepalai wilayah

Distrik atau Kabupaten:

1. Caruban

2. Tandingan (Bupati Wedono)

3. Ponorogo (Bupati Wedono)

4. Polorejo

5. Arjowinangun

85 6. Sumoroto

7. Pedanten

8. Plalangan

9. Pacitan

10. Pangul

11. Lorok

Bupati Wedono dan Bupati wakil Kasultanan Yogyakarta mengepalai Distrik atau

Kabupaten:

1. Madiun

2. Magetan

3. Maospati

4. Kariten

5. Tungol

6. Banget

7. Purwodadi

8. Genengan

9. Nyuneng

Sebelum serah-terima kepada pemerintah Hindia Belanda, keputusan

kepemerintahan atas penduduk dipegang oleh kepala desa (Bekkels), yang bekerja di

bawah Bupati dengan pengawasan harian oleh Demang.

Setelah serah-terima, seluruh wilayah—kecuali tiga kabupaten—disatukan

menjadi karesidenan dengan Resolusi Gubernur Jendral 31 Agustus 1830. Karesidenan

tersebut terdiri atas wilayah-wilayah sebagai berikut:

1. Madiun

2. Maospati

3. Purwodadi

4. Pangul

5. Magetan

6. Gorang gareng

7. Jogorogo

8. Caruban

9. Ngawi

86 Vol. 1, No. 1, Hal 80-103, Mei 2018 10. Ponorogo

11. Padanten

12. Sumoroto

13. Pollo Rejo

14. Polangan

15. Pacitan

16. Lorrok

17. Tungul

Dengan Resolusi 6 Juni 1832 No. 1, Pacitan dipisahkan dari Karesidenan

Madiun. Dan sesuai penjelasan Asisten Residen, pengurangan jumlah kabupaten di

wilayah karesidenan terus dilakukan. Dengan Resolusi Gubernur Jendral 6 Juni 1832

dan 22 Maret 1833 No. 1 dan No. 6, pengurangan jumlah kabupaten dilanjutkan dengan

penghapusan kabupaten Pedanten, Gorang gareng, Tungul.

Akhirnya, dengan Keputusan Gubernur Jendral 1 Januari 1839 No. 3, sebuah

organisasi baru struktur pemerintahan menetapkan bahwa Karesidenan Madiun terdiri

atas 4 Kabupaten saja, yaitu

1. Kabupaten Madiun, memiliki 50.075 jiwa penduduk

2. Kabupaten Magetan, memiliki 46.013 jiwa penduduk

3. Kabupaten Ngawi, memiliki 58.298 jiwa penduduk

4. Kabupaten Ponorogo, memiliki 94.340 jiwa penduduk

Selanjutnya terkait batas-batas wilayah Karesidenan Madiun, penetapannya

adalah sebagai berikut. Bekas kabupaten Jogorogo dan Purwodadi di dalam struktur

baru dimasukkan ke dalam wilayah Kabupaten Ngawi sedangkan bekas kabupaten

Sumoroto dan Arjowinangun masuk ke dalam Kabupaten Ponorogo.

Dengan demikian, Karesidenan Madiun memiliki batas-batas yaitu di sebelah

utara berbatasan dengan Rembang dan Semarang, di sebelah timur berbatasan dengan

Kediri, di sebelah selatan dengan Pacitan dan di sebelah barat dengan Surakarta. Jumlah

penduduk Karesidenan Madiun keseluruhan mencapai 265.592 jiwa, yang tersebar ke

wilayah yang luas seluruhnya 1800 pal persegi. Wilayah ini berasal dari bekas 17

kabupaten yang sekarang (setelah reorganisasi berdasarkan Keputusan Gubernur Jendral

1 Januari 1839 No. 3) diringkas menjadi 4 kabupaten.

87

3. Caruban dalam Reorganisasi Pemerintahan Madiun 1900—1942

Pada awal abad keduapuluh, pemerintah Hindia Belanda melakukan reorganisasi

struktur pemerintahan di seluruh wilayah yang dikelolanya di Indonesia. Reorganisasi

itu secara hukum berlangsung dalam dua tahap, yaitu reorganisasi melalui Undang-

Undang Desentralisasi 1906, dan Undang-Undang Restrukturisasi Birokrasi Pemerintah

1922. UU Desentralisasi 1906 melahirkan apa yang disebut Dewan Wilayah

(Gewestelijksraad). UU Restrukturisasi 1922 melahirkan pembagian wilayah ke dalam

struktur Provinsi, di antaranya lahirnya Provinsi Jawa Timur. Meskipun kedua

gelombang reorganisasi pemerintahan di awal abad keduapuluh dimaksudkan untuk

menata sistem besar birokrasi pemerintah, dampaknya pada implementasi di tingkat

bawah terasa hingga ke kampung dan desa.

Di wilayah Karesidenan Madiun, reorganisasi dan restrukturisasi pemerintahan

mengakibatkan berubahnya cakupan wilayah baik di bawah kabupaten maupun di

bawah distrik. Pemindahan cakupan wilayah hingga ke tingkat distrik di dalam

kabupaten di Karesidenan Madiun, mengakibatkan antara lain berubahnya pusat

pemerintahan beberapa distrik, khususnya di wilayah Kabupaten Pacitan dan Kabupaten

Ponorogo.

Secara khusus, Distrik Caruban di Kabupaten Madiun tidak mengalami

perubahan dalam hal pusat pemerintahan. Pemerintahan Distrik Caruban—dalam arti

kedudukan Wedono Caruban—tetap berada di Mejayan, nama sebuah tempat yang juga

merupakan pusat pemerintahan Onderdistrik Mejayan. Namun, Distrik Caruban

mengalami penciutan wilayah dalam konteks reorganisasi pemerintahan tahun 1900.

Sebagaimana tertuang di dalam arsip Algemeene Secretarie, perubahan pembagian

administratif residensi Madiun di awal abad keduapuluh ditetapkan oleh Staatsblad

1900 no. 306. Produk hukum dari pemerintah pusat di Batavia ini telah membentuk

distrik dan onderdistrik secara seakurat mungkin berdasarkan proporsi luasan wilayah

dan jumlah jiwa penduduk.

Tabel 1 menampilkan cakupan wilayah Afdeeling atau Karesidenan Madiun, yang

dicuplik di sini hanya pada bagian Kabupaten Madiun. Tabel 1 menunjukkan bahwa

Kabupaten Madiun pada awal abad keduapuluh terdiri dari 4 wilayah distrik dan 13

wilayah onderdistrik. Keempat wilayah administrasi distrik itu adalah Distrik Bagi yang

88 Vol. 1, No. 1, Hal 80-103, Mei 2018 pemerintahannya bertempat di Kota Madiun, Distrik Caruban yang pemerintahannya

bertempat di Mejayan, Distrik Uteran dengan pemerintahan berkedudukan di Purworejo,

dan Distrik Kanigoro dengan pusat pemerintahan di Kleco.

Tabel 1: Nomenklatur Kepemerintahan Afdeeling Madiun sebelum dan setelah

Reorganisasi Administrasi, 27 Januari 1905

Afdee

ling

Regent-

schap

Controle afdeeling District Onderdistrict

sebelum sesudah sebelum sesudah sebelum sesudah

Ma-

diun

Madiun Madiun Madiun Bagi (Kota

Madiun

Bagi (Kota

Madiun)

1. Madiun

2. Nglames

3. Babadan

1. Madiun

2. Balerejo

3. Juwan

Caruban

(Mejayan)

Caruban

(Mejayan)

1. Mejayan

2. Saradan

3. Pilangken-

ceng

1. Mejayan

2. Saradan

(Tempat

kedudukan

Asisten

Wedono

Ngablak

3. Pilangken-

ceng

Uteran

(Padukuhan

Purworejo di

Desa Geger)

Uteran

(Dukuh

Purworejo

di Desa

Geger)

1. Uteran

2. Kebonsari

3. Dalopo

4. Dagangan

1. Uteran

2. Kebonsari

3. Dalopo

4. Dagangan

Kanigoro

(Padukuhan

Kleco di

Desa

Wungu)

Kanigoro

(Dukuh

Kleco di

Desa

Wungu

5. Kleco

6. Gemarang

7. Gondosuli

5. Kleco

6. Gemarang

7. Gondosuli

(tempat

kedudukan

Asisten

Wedono

Cermo)

(Sumber: Penjelasan Residen Madiun atas Usulan Penataan Pemerintahan Wilayah 27

Januari 1905, Algemeene Secretarie No. 1271 (ANRI), hlm. 1

89

Jika diamati lebih detil, Tabel 1 juga menunjukkan bahwa Mejayan yang

menjadi pusat pemerintahan Distrik Caruban, sekaligus merupakan sebuah wilayah

onderdistrik, yaitu satu cakupan administrasi di bawah distrik. Artinya, pusat

pemerintahan Distrik Caruban adalah sebuah wilayah yang cakupannya cukup luas dan

tidak hanya pada titik keramaian Mejayan. Hal ini diperkuat dengan data pada Tabel 1,

sebagaimana nanti akan diulas.

Selanjutnya melalui reorganisasi desa dan kampung dalam wilayah distrik

diputuskan bahwa 8 desa di Distrik Caruban harus dipisahkan dan lalu digabungkan ke

dalam Distrik Kanigoro. Sayangnya, 8 desa mana saja yang dipindahkan wilayah

Distrik Caruban ke Distrik Kanigoro tidak disebutkan. Bagi penduduk yang berkaitan

dengan hal ini, ada bahaya besar bahwa mereka sekarang memiliki jarak lebih besar

dengan semua urusan di ibukota, dari kepala distrik dan kepala onderdistrik. Bagi

wedono Caruban penjelasan mengecilnya wilayah administrasi ini tidak memberikan

penerangan apa-apa, tetapi nantinya ia akan memerintah luasan wilayah pemerintahan

yang hanya mencakup wilayah yang dulu.

Khususnya terkait kepentingan pengelolaan irigasi di Caruban Selatan dan

untuk urusan tugasnya secara umum, perubahan wilayah ini mengandung kesalahan

tertentu. Akibatnya, ke-8 desa yang dimaksud akan memiliki posisi yang jauh berkurang

dalam pemerintahan khususnya dalam hal kewenangan inspeksi. Dengan alasan itu ke-8

desa tersebut sebaiknya tetap dimasukkan ke dalam distrik Caruban, di bawah

onderdistrik Mejayan (Algemeene Secretarie No. 1271, hlm. 4-5). Pada Peta 1 tampak

luasan geografis Distrik Caruban, yang di dalamnya terdapat Onderdistrik Mejayan,

Onderdistrik Saradan dan Onderdistrik Pilangkenceng.

90 Vol. 1, No. 1, Hal 80-103, Mei 2018

Peta 1: Wilayah Distrik Caruban, Meliputi Onderdistrik Mejayan, Saradan dan

Pilangkenceng

(Sumber peta: KITLV)

Reorganisasi 1905 juga menghasilkan pembagian wilayah desa dan kampung.

Di Distrik Caruban, reorganisasi tersebut mengakibatkan penambahan jumlah desa dari

semula 79 desa menjadi 89 sebagaimana tampak pada Tabel 2. Tabel 2 menunjukkan

bahwa sebagai sebuah Distrik, Caruban mencakup 3 wilayah onderdistrik dengan pusat-

pusat keramaian dan pemerintahannya sendiri. Dengan kata lain, Caruban sebagai suatu

wilayah pemerintahan mencakup seluruh wilayah pusat pemerintahan di semua

onderdistrik. Pusat pemerintahan Distrik Caruban terletak tidak hanya di satu titik

Onderdistrik Mejayan, tetapi juga di Saradan dan Pilangkenceng. Secara khusus,

Onderdistrik Saradan memiliki makna penting karena merupakan tempat kedudukan

Asisten Wedono Caruban. Demikian juga Pilangkenceng. Tiga wilayah onderdistrik

tersebut (yaitu Mejayan, Saradan dan Pilangkenceng) secara bersama-sama membentuk

kesatuan wilayah Caruban.

91

Seperti telah disinggung, Caruban sendiri pada awal abad keduapuluh adalah

salah satu dari 4 distrik di Kabupaten Madiun. Pada saat itu—yaitu pada awal abad

keduapuluh—ibukota Kabupaten Madiun berada di Distrik Bagi dengan titik pusat

keramaian di Kota Madiun. Menurut Staatsblad GG NI No. 306 berdasarkan Besluit

GG van NI 16 November 1900 No. 3tentang pengurangan personil pemerintahan,

Distrik Bagi dipimpin oleh seorang Patih sedangkan Distrik Caruban, Distrik Uteran

dan Distrik Kanigoro dipimpin masing-masing oleh seorang Wedono.

Sementara itu Onderdistrik Madiun, Mejayan, Uteran dipimpin masing-masing

oleh seorang Patih atau Wedono sedangkan Onderdistrik Nglames, Babadan, Saradan,

Pilangkenceng, Kebonsari, Dolopo dan Dagangan dipimpin masing-masing oleh

seorang Asisten-Wedono. Hal ini diperkuat dengan data dari Regeering Almanak, yaitu

buku daftar para pejabat pemerintah. Regeering Almanak (RA) yang dapat diakses

dalam penelitian ini, yaitu Regeering Almanak edisi tahun 1891 sampai dengan 1933,

menunjukkan antara lain bahwa Caruban dipimpin oleh seorang Wedono. Artinya,

Caruban merupakan sebuah wilayah administrasi distrik.

Keberadaan Patih sebagai kepala pemerintahan di Onderdistrik Mejayan dan

Asisten-Residen masing-masing di Onderdistrik Saradan dan Onderdistrik

Pilangkenceng menegaskan bahwa Mejayan sebagai onderdistrik lebih kompleks

persoalannya di mata pemerintah kolonial daripada Saradan dan Pilangkenceng. Namun

itu tidak bermakna bahwa Mejayan merupakan satu-satunya pusat dari administrasi

pemerintahan Caruban.

Tabel 2: Reorganisasi Wilayah Kampung dan Desa di Kabupaten Madiun, 1905

District —

Onderdistrict

Susunan kampung dan desa yang ada

saat ini* (tahun 1905)

District

Onderdist

rict

Susunan baru kampung dan desa yang

disetujui

92 Vol. 1, No. 1, Hal 80-103, Mei 2018

Caruban

— Mejayan

1. Mejayan

2. Batu

3. Krajan

4. Pompa-

wijayan

5. Karanglor

6. Gempol

7. Mrahu

8. Buduran

9. Kayo

10. Maran

11. Pelemkidul

12. Sumberrejo

13. Banjang

14. Klitik

15. Kaliabu

16. Sokasari

17. Majorejo

1. Pandean

2. Ngetrep

3. Sendon

4. Wonoasri

5. Plempung-

rejo

6. Pandansari

7. Kahuman

8. Patian

9. Pagaden

10. Dermo

11. Muningan

12. Kaligunting

13. Blimbing

14. Klejo

15. Kunjen

Caru

ban —

Mejayan

1. Mejayan

2. Batu

3. Krajan

4. Campurjayan

5. Karanglo

6. Gempol

7. Mrahu

8. Buduran

9. Kayo

10. Maron

11. Pelemkidul

12. Sumberrejo

13. Banjong

14. Klitik

15. Kaliabu

16. Sukosari

17. Mojorejo

18. Pandean

19. Ngetrep

20. Skudon

21. Wonoasri

1. Plumpung-rejo

2. Pandansilo

3. Kahuman

4. Patian

5. Pagaden

6. Dermo

7. Kuningan

8. Kaligunting

9. Blimbing

10. Kleco

11. Kuncen

12. Santan

13. Blabakan

14. Kedung-

dawung

15. Dukuhan

16. Gunalan

17. Jatirejo

18. Jatisari

19. Ngadirejo

Caruban

— Saradan

33. Pulung

1. Sumbersari

2. Ngepeh

3. Padran

4. Klumutan

5. Bongsopatro

6. Sumber-

bendo

7. Pajaran

8. Klangon

9. Bandungan

43. Sokarejo*

43. Sambirejo*

43. Sidarejo*

1. Sumber-agung

2. Kenep

3. Bener

4. Pelemlor

5. Siwalan

6. Bajulan

7. Ngablak

Caru

ban —

Saradan

41. Pulung

1. Sumbersari

2. Ngekeh

3. Patian

4. Klumutan

5. Bongso-patro

6. Sumberbendo

7. Pajaran

8. Klangon

9. Bandungan

51. Sakarejo

1. Sambirejo

2. Sidarejo

3. Sumber-agung

4. Kenep

5. Bener

6. Pelemlor

7. Siwalan

8. Bajulan

9. Ngablak

93

Caruban

— Pilang-

kenceng

51. Pilang-

kenceng

1. Salencongan

2. Krapyak

3. Jekak

4. Bagasem

5. Wonoayu

6. Wungu

7. Krebel

8. Klaung-

banteng

9. Luworo

10. Ngengar

11. Gandul

12. Watulor

13. Sumberbelik

14. Sumur

66. Kepanjen

1. Muneng

2. Puhti

3. Sumbang

4. Ngale

5. Duren

6. Bulu

7. Dawuhan

8. Kenongo

9. Sumber-gandu

10. Plagan

11. Kedung-

maron

12. Pengklek

13. Jatus

Caru

ban —

Pilang-

kenceng

61. Pilang-

kenceng

1. Klencongan

2. Krapyak

3. Jetak

4. Bagasem

5. Wanaayu

6. Wungu

7. Krekeb

8. Kedung-

banteng

9. Luwaro

10. Ngengar

11. Gandul

12. Wateslor

13. Sumber-belik

14. Sumur

76. Kepanjen

1. Muneng

2. Puhti

3. Sumbang

4. Ngale

5. Duren

6. Bulu

7. Dawuhan

8. Kenongo

9. Sumber-gandu

10. Plagan

11. Kedung-maran

12. Pengklik

13. Jakser

(Sumber Tabel: Penjelasan Residen Madiun atas Usulan Penataan Pemerintahan

Wilayah 27 Januari 1905, Algemeene Secretarie No. 1271 (ANRI), hlm. 1

4. Kedudukan Caruban pada Masa Republik Indonesia

Pasca kemerdekaan Indonesia tahun 1945 terdapat beberapa perubahan peraturan yang

mengatur mengenai administrasi kewilayahan di Indonesia. Peraturan baru yang muncul

telah menyebabkan perubahan istilah teknis yang digunakan sebagai penyebutan

pemerintahan daerah yang otonom, yang diistilahkan dengan “Pemerintahan Daerah

Swatantra.” Sedangkan daerahnya disebut, “Daerah Swatantra “ yang terbagi atas tiga

tingkatan: 1.) Daerah Swatantra Tingkat I, termasuk Kotapraja Jakarta Raya. 2.) Daerah

Swatantra Tingkat II, termasuk Kotapraja. 3.) Daerah Swatantra Tingkat III. Dalam hal

ini, Kabupaten Madiun termasuk dalam Daerah Swantara Tingkat II.

Selain perubahan-perubahan dalam struktur administrasi pemerintahan, terdapat

pula sejumlah perubahan penting menyangkutorganisasi kewilayahan di Kabupaten

Madiun yang berlangsung pada dekade 1950-an. Berdasarkan Undang-Undang Nomor

12 tahun 1950 tentang pemerintahan daerah kabupaten di Djawa Timur,Madiun

merupakan kabupaten yang menjadi bagian dari Karesidenan Madiun bersama empat

94 Vol. 1, No. 1, Hal 80-103, Mei 2018 lima kabupaten lain meliputi; Magetan; Ngawi; Ponorogo; dan Pacitan, dan satu

kotapraja dengan status kota besar yakni Madiun. Adapun detail mengenai jumlah

kawedanan, kecamatan, desa dan populasi pada tiap-tiap kabupaten diuraikan dalam

tabel 3 berikut:

Tabel 3. Komposisi Daerah dan Populasi di Karesidenan Madiun Tahun 1950

Kabupaten/Kota Banyaknya

Kawedanan Kecamatan Kalurahan Populasi

Madiun (Kabupaten) 4 13 221 511.227 Madiun (Kotapraja) - 1 12 82.901 Magetan 3 13 236 419.494 Ngawi 4 13 215 456.771 Ponorogo 5 19 303 583.536 Pacitan 4 12 164 345.572

Sumber: Kementerian Penerangan, Republik Indonesia: Provinsi Djawa Timur, 1953,

hlm 132-3.

Dalam hal penataan administrasi wilayah, Bupati meneruskan susunan lama—

dengan dasar UUD 1945 bab aturan peralihan, pasal II.Empat orang wedana, sebagai

pembantu bupati, bertugas untuk memimpin kawedanan yang meliputi Madiun, Uteran,

Kanigoro, dan Caruban. Masing-masing wedana tadi dibantu oleh beberapa asisten

wedana atau camat yang jumlahnya disesuaikan dengan banyaknya kecamatan yang ada

dalam suatu lingkup kawedanan. Secara keseluruhan terdapat 13 orang asisten wedana

di kabupaten Madiun. Setiap asisten wedana atau camat membawahi sejumlah kepala

desa yang masing-masing bertugas mengepalai satu kelurahan.

Pada 17 Juli 1958 presiden menyetujui pengesahaan usul undang-undang yang

mengatur mengenai perubahan batas kota praja Madiun dan Daerah Swantantra Tingkat

II Madiun. Perubahan ini berkaitan dengan penetapan Kotamadya Madiun,atau yang

pada masa kolonial lebih akrab disebut sebagai staadsgemeente Madiun, sebagai Kota

Besar berdasar Undang-undang No. 22 tahun 1948. Adapun cakupan dari wilayah

Kotapraja Madiun diatur lebih lanjut dalam Undang-undang No. 16 tahun 1950 yang

95 terbit di Yogyakarta.Karena perubahan tersebut, pemerintah merasa perlu melakukan

perluasan wilayah kotapraja Madiun agar dapat menyesuaikan perkembangan yang ada.

Perluasan wilayah ini dilakukan dengan menambahkan delapan desa yang

berbatasan dengan Kotapraja, yang secara administratif sebenarnya masih merupakan

bagian di wilayah Kabupaten Madiun. Dengan demikian mengurangi cakupan wilayah

Kabupaten Madiun. Adapun desa-desa tersebut meliputi: Mangunhardjo, Winongo,

Redjomulyo, Modjoredjo, Bandjaredjo, Demangan, Djosenan, dan Kuncen.Dalam

melakukan perubahan ini, DPRD-S dan Pemerintah Daerah Swatantra II Madiun sudah

memberikan persetujuan, demikian pula dengan penduduk dari desa-desa yang

bersangkutan. Konsekwensinya, jumlah desa di wilayah Kabupaten Madiun yang pada

awal tahun 1950 adalah 221 berkurang menjadi 213 desa.

Perubahan lain yang terjadi menyangkut organisasi kewilayahan adalah adanya

penghapusan Karesidenan dan Kawedanan. Dalam tata administrasi wilayah

berdasarkan sistem yang dianut di Republik Indonesia, posisi kawedanan dan

karesidenan memang menunjukan masih adanya pengaruh dari sistem kolonial yang

mengadopsi dual system yang berlaku dalam binnenland bestuur (pemerintahan dalam

negeri).Adapun dual system kolonial membagipemerintahan dalam negeri dalam dua

institusi besar yakni Europesche Bestuur (pemerintahan Eropa), dan Indische Bestuur

(pemerintahan bumiputra).

Dalam Europeesche Bestuur terdapat unit administrasi berupa karesidenan yang

dipimpin seorang residen, afdeeling yang dipimpin oleh asisten residen, di bawahnya

terdapat pejabat yang dinamakan controleur dan aspirant resident. Adapun

pemerintahan bumiputra tersusun atas regent (bupati) membawahi kabupaten

(regentschap) yang dalam bekerja dibantu oleh patih atau asisten bupati, wedana atau

demang yang membawahi suatu distrik, dan asisten wedana membawahi onderdistrik.

Struktur kolonial ini tidak paralel dengan struktur nasional RI, dan dapat menimbulkan

kerancuan karena institusi Europesche Bestuur—dimana terdapat karesidenan di

dalamnya—tidak lagi diadopsi.

Penghapusan Karesidenan dan Kawedanan ini berdasar pada Peraturan Presiden

Republik Indonesia Nomor 22 tahun 1963. Peraturan ini lahir oleh karena pemberlakuan

Undang-undang Penyerahan Pemerintahan Umum,yang mengatur mengenai penyerahan

tugas kewajiban, kekuasaan dan wewenang para Pejabat Pamong Praja antara lain

96 Vol. 1, No. 1, Hal 80-103, Mei 2018 penyerahan tugas kewajiban, kekuasaan dan wewenang para Residen dan Wedana

masing-masing kepada Pemerintah Daerah/Kepala Daerah tingkat I dan kepada

Pemerintah Daerah/Kepala Daerah tingkat II. Dengan diberlakukannya peraturan ini

maka dianggap perlu untuk menghapuskannya wilayah Keresidenan dan Kewedanaan.

Melalui peraturan tersebut, pemerintah menyatakan semua Karesidenan dan

Kawedananan atau wilayah Pemerintahan yang setingkat, dengan nama apapun juga,

diseluruh wilayah Indonesia dihapus.Dalam riil pelaksanaan penghapusan itu secara

daerah demi daerah dilakukan dengan Keputusan Menteri Pemerintahan Umum dan

Otonomi Daerah atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong Daerah

tingkat I yang bersangkutan. Pelaksanaannya paling lambat sudah selesai pada akhir

tahun 1965.

Sebelum dikeluarkannya peraturan mengenai penghapusan kawedanan dan

karesidenan ini, Kabupaten Madiun merupakan bagian dari Karesidenan Madiun.

Dalam Kabupaten Madiun terdapat empat kawedanan. Setelah dilaksanakannya

penghapusan, kewenangan karesidenan diserahkan kepada pemerintah Daerah Tingkat I

dan Kabupaten Madiun menjadi salah satu kabupaten yang langsung berada di bawah

pemerintah provinsi Jawa Timur. Adapun empat kawedanan di Kabupaten Madiun juga

turut dihapuskan, sehingga Kabupaten Madiun secara langsung membawahi 13

kecamatan. Dengan perubahan ini, sebagai ganti karesidenan dan kawedanan yang

dihapus, kemudian dibentuk pembantu gubernur untuk tingkat I, dan pembantu bupati

untuk tingkat II.Demikian juga yang terjadi dengan kawedanan di Madiun.Status

kawedanan yang dihapuskan kemudian dijadikan Pembantu Bupati yang berlaku mulai

tanggal 25 Oktober 1963 sampai dengan 7 Mei 1999.

Dihapuskannya Kawedanan ini secara langsung berdampak pada hilangnya 4

wilayah administrasi kawedanan yang ada di wilayah Kabupaten Madiun termasuk

didalamnya adalah Caruban. Berbeda dengan Kawedanan lainnya yang mempunyai

wilayah ditingkat desa, Kawedanan Caruban benar-benar hilang karena tidak

mempunyai nama wilayah Caruban pada tingkat desa ataupun dusun. Status Caruban

kemudian berubah menjadi wilayah pembantu bupati Madiun sampai tahun 1990an.

97 Gambar 1: Gapura Masuk Kota Caruban

Sumber: madiunkab.go.id

5.Caruban Sebagai Memori Kolektif Masyarakat

Meskipun Kawedanan Caruban sebagai administrasi kewilayahan di Kabupaten Madiun

sudah dihapus pada tahun 1963, namun Caruban sebagai memori kolektif masyarakat

tidak pernah hilang bahkan sampai saat ini.Hal itu terlihat pada penyebutan tempat-

tempat penting yang ada di wilayah ini, masyarakat masih menyematkan nama Caruban

menyertai dibelakangnya, misalnya Terminal Caruban, Pasar Caruban, Stadion Caruban

dan sebagainya.Bahkan pada gapura masuk ke wilayah Caruban masih terpampang

dengan jelas nama Kota Caruban, setidaknya sampai awal Februari tahun 2017.

Gambar 2. Terminal Caruban

Sumber: mejayan-madiun.blogspot.com

98 Vol. 1, No. 1, Hal 80-103, Mei 2018

Nama Kota Caruban juga dengan jelas masih digunakan ketika pemerintah

Kabupaten Madiun melakukan kebijakan rintisan untuk memindahkan ibukota

Kabupaten Madiun, dari Pangongangan yang secara administratif masuk ke dalam

wilayah Kota Madiun ke Kota Caruban. Kebijakan ini sudah dirintis pada masa Bupati

Madiun dijabat oleh Drs. Bambang Koesbandono (1983-1988). Kota Caruban sudah

dirintis menjadi Kota Binaan sejak tahun 1985. Kebijakan merintis pemindahan ibu kota

yang dilakukan oleh Kabupaten Madiun pada waktu itu juga dilakukan oleh beberapa

kabupaten lain di Jawa Timur yaitu Kabupaten Probolinggo yang merintis Kraksaan,

Kabupaten Malang yang merintis Kepanjen, Kabupaten Blitar yang merintis Wlingi,

dan Kabupaten Kediri yang merintis Pare.

Gambar 3. Rumah Sakit Umum Daerah Caruban

Sumber: rsudcaruban.madiunkab.go.id

Bupati Drs. Bambang Koesbandono mengeluarkan 3 kebijakan utama dalam

rangka melakukan rintisan Kota Caruban menjadi Kota Binaan, yaitu:

a. Penataan Kota Caruban

Pada periode tahun 1980-an tata ruang Kota Caruban terkesan kurang mendapatkan

perhatian pemerintah daerah, sehingga kondisinya agak semrawut. Salah satunya adalah

karena ditengah jalan utama Caruban terdapat rel kereta api/lori pengangkut tebu dari

perkebunan tebu ke Pabrik Gula Redjo Agung. Selain aspek keselamatan, kondisi ini

99 tentu saja juga mengganggu kelancaran lalu lintas di Caruban. Oleh karena itulah

kemudian Bupati Madiun melakukan koordinasi dengan Komisaris PT Radjawali,

perusahaan BUMN induk dari PG Redjo Agung, untuk menutup jalan kereta

pengangkut tebu itu. Permintaan Bupati Madiun yang disertai dengan alasan kuat dan

proyeksi ke depan pengembangan Caruban itu akhirnya dipenuhi. Jalan kereta api/lori

yang melintas di jalan utama Caruban akhirnya dibongkar pada waktu itu.

b. Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Untuk mewujudkan adanya Pendapatan Asli Daerah untuk Caruban, BupatiDrs.

Bambang Koesbandono membangun Pasar Caruban Baru. Pada 19 April1987 Bupati

Drs. Bambang Koesbandono meresmikan pembangunan Pasar Caruban Baru dengan

melakukan peletakan batu pertama. Proyek Pasar Caruban Baru dibangun dengan

menggunakan dana Inpres Pasar Nomor 10 tahun 1983. Lokasi Pasar Caruban baru

yang berada di tengah kota itu kemudian berkembang pesiar dan menjadi urat nadi

perdagangan masyarakatnya. Tidak hanya menjadi indikator perkembangan

perekonomian masyarakat Caruban namun juga bagi wilayah disekitarnya.

c. Membuat Penanda Wilayah

Penanda wilayah ini kemudian diwujudkan dengan membangun batas Kota Caruban

dibeberapa titik, antara lain di Klitik, Wonoasri, dan Kaligunting, Mejayan.Nama Kota

Caruban juga masih digunakan secara resmi oleh pemerintah Kabupaten Madiun dalam

beberapa dokumen-dokumen yang berhubungan dengan kebijakan rintisan pemindahan

ibu kota ke Kota Caruban. Misalnya pada tahun 1990 pemerintah daerah Kabupaten

Madiun menyusun Rencana Induk Kota (RIK) Caruban yang berisi tentang masterplan

rencana pembangunan dan pengembangan Kota Caruban. Pada tahun 1993/1994, RIK

itu kemudian ditindaklanjuti dengan diterbitkannya peraturan daerah tentang Rencana

Umum Tata Ruang Kota (RTRK) Caruban yang kemudian diteruskan dengan adanya

Peraturan daerah Rencana Detil Tata Ruang Kota Caruban.

Pada tahun yang sama fasilitas umum penting yaitu Rumah Sakit Umum Daerah

Caruban dibangun dan setahun kemudian mulai beroperasi melayani kesehatan

masyarakat Caruban dan sekitarnya. Beberapa kantor penting dan fasilitas umum

lainnya kemudian juga dibangun di wilayah Caruban seperti gedung DPRD Kabupaten

100 Vol. 1, No. 1, Hal 80-103, Mei 2018 Madiun, terminal, stasiun, dan beberapa bangunan penting lainnya. Semua fasilitas

umum dan pemerintahan tersebut dengan jelas masih menggunakan nama Caruban di

belakang nama resminya seperti Rumah Sakit Umum Daerah Caruban, Terminal

Caruban, dan Stasiun Caruban.

Hal yang sama juga masih terjadi pada awal tahun 2000an. Dalam Sub Satuan

Wilayah Pembangunan (SSWP) Kabupaten Madiun, Kota Caruban akan dikembangkan

dan ditingkatkan fungsinya sebagai pusat pemerintahan/ibukota kabupaten. Dengan

fungsi sebagai pusat pemerintahan/ibukota kabupaten, maka akan diikuti oleh fungsi-

fungsi yang lain yang akan menjadikan Kota Caruban sebagai pusat kegiatan utama di

wilayah Kabupaten Madiun. Fungsi-fungsi tersebut antara lain yaitu : (1) pusat

pelayanan sosial, (2) pusat perdagangan dan (3) pusat kegiatan industri dan

pergudangan.

Dengan peningkatan fungsi tersebut diharapkan akan terjadi pula peningkatan

interaksi sosial ekonomi di dalam kota, sehingga akan berpengaruh pada perkembangan

Kota Caruban itu sendiri secara keseluruhan. Dengan demikian Kota Caruban akan

menjadi pusat utama bagi wilayah Kabupaten Madiun. Hal ini berarti bahwa Kota

Caruban menjadi identitas tersendiri bagi Kabupaten Madiun.

Pemilihan Kota Caruban sebagai calon pusat pemerintahan/ibukota kabupaten

didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut : 1) Kota Caruban

merupakan kota terbesar di wilayah Kabupaten Madiun, 2). Kota Caruban mempunyai

daya dukung lahan dan keseimbangan lingkungan, 3). Kota Caruban mempunyai tata

guna lahan dan jaringan jalan, dan 4). Kota Caruban mempunyai ketersediaan fasilitas

dan utilitas umum.

Kota merupakan tempat bermukimnya sejumlah penduduk yang memiliki, pola

hubungan rasional, ekonomis dan individualistis. Dalam kaitan tersebut, kota selain

berfungsi sebagai wadah juga berfungsi sebagai pusat berbagai kegiatan penduduk yang

bersifat heterogen, yaitu antara lain pusat perdagangan, pusat perindustrian, pusat

pelayanan sosial dan pusat pemerintahan. Dalam konteks Kota Caruban, sampai awal

tahun 2000-an, fungsi yang diembannya adalah sebagai pusat perdagangan dan

pelayanan sosial, sedangkan fungsi lainnya khususnya sebagai pusat pemerintahan

belum nampak nyata. Hal ini disebabkan Kota Caruban tidak berstatus sebagai kota

administratif. Dalam perkembangan yang direncanakan, Kota Caruban akan

101 ditingkatkan fungsinya sebagai pusat pemerintahan (ibukota) Kabupaten Madiun sesuai

Peraturan Daerah Kabupaten Madiun No. 21 Tahun 1998 tentang Evaluasi/Revisi

RUTRK/RDTRK Caruban.

Nama Caruban juga diakui oleh pemerintah pusat ketika pada tahun 1994 Kota

Caruban berhasil mendapatkan penghargaan sertifikat kebersihan dan keindahan kota

untuk kategori kota kecil. Pembenahan dalam berbagai komponen seperti dijelaskan

diatas kemudian membuahkan hasil lagi pada tahun 1995 dan 1996 ketika Kota Caruban

berhasil menyabet penghargaan Adipura secara berturut-turut. Bahkan pada tahun 2017,

Kota Caruban juga berhasil meraih Adipura dari Kementerian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan untuk kategori kota kecil.Adipura tahun 2017 yang diterima oleh Caruban

merupakan Adipura ke-10 sepanjang keikutsertaan Caruban dalam penghargaan

kebersihan kota di Indonesia ini.

Dari penjelasan diatas dapat diambil disimpulkan bahwa walaupun secara

administrasi kewilayahan dan juga secara legal formal wilayah Caruban sudah dihapus

oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1963 namun dalam aktualisasi kehidupan sehari-

hari masyarakat tidak pernah hilang. Lebih dari itu Nama Caruban juga masih

digunakan dalam dokumen-dokumen resmi dan fasilitas umum yang dibangun oleh

pemerintah Kabupaten Madiun dalam rangka kebijakan rintisan pemindahan ibu kota.

Hal yang ambigu adalah pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Lingkungan

Hidup dan Kehutanan, yang secara administrasi telah menghapus Caruban tetapi dalam

konteks lain masih mengakuinya secara resmi seperti terlihat pada penghargaan Adipura

yang diraih oleh Caruban dalam kategori kota kecil.

KESIMPULAN

Status Caruban sebagai “daerah mancanegara” Kasunanan Surakarta, berakhir setelah

wilayah itu bersama 19 wilayah mancanegara lainnya di Madiun diserahkan pada tahun

1830 oleh pihak Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta kepada pemerintah

Hindia Belanda menyusul berakhirnya Perang Jawa/Perang Diponegoro. Setelah

penyerahan itu, Caruban khususnya dan Madiun secara keseluruhan berada di bawah

sistem hukum dan pemerintahan Hindia Belanda.

Status Caruban sebagai “Kabupaten” menurut sistem administrasi pemerintahan

mancanegara Kasunanan Surakarta, berakhir menyusul penyederhanaan wilayah

102 Vol. 1, No. 1, Hal 80-103, Mei 2018 administrasi dari 17 kabupaten dalam sistem mancanegara pada Kasunanan Surakarta

dan Kasultanan Yogyakarta itu, menjadi hanya 4 kabupaten di bawah Karesidenenan

Madiundalam sistem pemerintahan Hindia Belanda, berdasarkan Besluit (Surat

Keputusan) Gubernur Jendral Hindia Belanda tanggal 1 Januari 1839 No. 3.

Sejak penyederhanaan sistem administrasi Hindia Belanda menjadi 4 kabupaten

pada 1839, status administrasi Caruban adalah Distrik di dalam Kabupaten Madiun.

Distrik Caruban dipimpin oleh seorang Wedono, berkedudukan di Onderdistrik

Mejayan. Dari perspektif negara kolonial, status distrik wilayah Caruban berlangsung

hingga 1942. Pada awal abad keduapuluh, Distrik Caruban mencakup luas wilayah 3

onderdistrik, yaitu Onderdistrik Mejayan, Onderdistrik Saradan dan Onderdistrik

Pilangkenceng. Onderdistrik Mejayan dipimpin oleh seorang Patih. Onderdistrik

Saradan dan Pilangkenceng dipimpin masing-masing oleh seorang Asisten-Wedono.

Meskipun kedudukan Wedono Distrik Caruban berada di Onderdistrik Mejayan,

namun seluruh tiga onderdistrik di wilayah Distrik Caruban (yaitu Mejayan, Saradan

dan Pilangkenceng) merupakan kesatuan pusat pemerintahan Distrik Caruban terutama

karena jalinan birokrasi pemerintahan ketiga onderdistrik itu. Wilayah administrasi

Kawedanan Caruban, yang menggantikan secara langsung penamaan “Distrik Caruban”

pada masa kolonial,hilang secara resmi dari kewilayahan di Kabupaten Madiun ketika

pemerintah Indonesia menghapus nomenklatur “kawedanan” dari sistem administrasi

dan tata negara Republik Indonesia. Hal ini secara langsung berdampak pada hilangnya

4 administrasi kawedanan yang ada di wilayah Kabupaten Madiun termasuk didalamnya

adalah Caruban.

Meskipun secara legal formal wilayah Caruban sudah dihapus oleh pemerintah

Indonesia, namun secara sosiologis Caruban tidak pernah hilang sampai saat ini.

Bahkan nama Caruban masih dipakai dalam dokumen-dokumen resmi dan fasilitas

umum pemerintah Kabupaten Madiun. Dalam konteks pemerintah pusat, unit

administrasi Kota Caruban masih diakui dengan penghargaan Adipura untuk Caruban

dalam kategori sebagai kota kecil.

DAFTAR PUSTAKA

Algemeene Secretarie 1271 (ANRI)

Algemeen Verslag der Residentie Madioen 1839 (ANRI).

103

Karya Darma, 22 Juli 1996.

Kementerian Penerangan, Republik Indonesia: Provinsi Djawa Timur, 1953

Lembar Negara Republik Indonesia, Nomor 66 1958.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 tahun 1963.

Regeering Almanak 1893—1933.

Sek Neg RI, Seri Produk Hukum, Koleksi ANRI No. 265.

Siaran Pers Pemda Tingkat II Madiun Nomor: 485/590/432.19/1987.

Staatsblad van Gouverneur Generaal van Nederlands Indie No. 306 Besluit GG van NI

16 November 1900 No. 3

Sri Margana, Agus Suwignyo, Abdul Wahid, Baha’Uddin dan Uji Nugroho. 2017.

Madiun: Sejarah Politik dan Transformasi Kepemerintahan dari Awal Abad XIV

hingga Awal Abad XXI.Madiun & Yogyakarta: Pemkab Madiun & Departemen

Sejarah FIB UGM.

Solopos, edisi 3 Agustus 2017.

Undang-undang No. 6 tahun 1959 dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia No. 15

tahun 1959, aturan pelaksanaan dalam Peraturan Pemerintah No. 50 tahun 1963,

Lembaran-Negara Republik Indonesia No. 96 tahun 1963.

Undang-undang Nomor 12 tahun 1950

Undang-undang No. 16 tahun 1950

104

JURNAL SEJARAH INDONESIA

Vol. 1, No. 1, Hal 104-130, Mei 2018

ISSN : 2621-1580

RAJA KECIL YANG MENJADI PEGAWAI PEMERINTAH: PASANG SURUT

PENGHASILAN PARA BUPATI DI KARESIDENAN BESUKI PADA PERIODE 1870-1930-AN

Retno Winarni

Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Pos-el: [email protected]

ABSTRACT

This article aims at answering the questions of: (1) when and how was the process of fluctuation of the salary of the regents in Besuki residency, (2) what factors caused the fluctuations of their salary, (3) what did the colonial authorities and the regents do to response the salary fluctuation. Regents were small kings and representative of king in their own territories. Regent was the ruler of the land, meaning the owner of lands and everything on it. The consequence was that regent could might become rich because of their lucrative income coming from taxes, givings, and percentages of compulsory services. They also recieved percentages from the Cultivation System. This condition changed and declined when the colonial authority modernized the native bureaucracy with a policy that the transformation of their status from a feodal ruler to a government official impacted on the decline in their incomes. But gradually with the position-linked salaries and incentives they obatined, the regents were able to maintain their luxurious life style and lived affluently. Keywords: regents, fluctuation, incomes, luxury, Besuki residency

ABSTRAK Kajian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan (1) Kapan dan bagaimana proses pasang surut penghasilan para bupati Karesidenan Besuki (2) Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya pasang surut tersebut (3) Apa yang dilakukan pemerintah dan para bupati akibat terjadinya pasang surut penghasilan bupati. Bupati adalah raja-raja kecil dan wakil raja di daerahnya masing-masing. Bupati adalah penguasa bumi, artinya pemilik tanah beserta isinya. Konsekuensi dari hal tersebut adalah bupati bisa kaya raya dan hidup mewah, karena penghasilan mereka melimpah berasal dari pajak, upeti, pajak pacumpleng, persentase dari penyerahan wajib. Kemudian juga persentase dari Sistem Tanam Paksa. Kondisi ini mengalami surut ketika pemerintah colonial melakukan modernisasi pada birokrasi pemerintahan pribumi, dengan kebijakan bahwa perubahan atatus bupati sebagai penguasa feodalkemudian berubah

105

menjadi pemerintah berdampak pada menurun drastis penghasilan para bupati, tetapi lambat laun dengan mendapatkan tunjangan yang berkaitan dengan jabatan para bupati tidak terpuruk, terbukti para bupati tetap bisa hidup mewah. Kata kunci: bupati, pasang surut, penghasilan, kemewahan, karesidenan Besuki

PENDAHULUAN

Bupati adalah raja-raja kecil dan wakil raja di daerahnya masing-masing.. Kata bupati

secara etimologis berarti penguasa bumi, artinya pemilik tanah lengkap beserta isinya

(Nina Lubis, 1998:79). Pengertian ini mengandung implikasi bahwa bupati mempunyai

kekuasaan penuh dan berhak memanfaatkan sumber daya alam maupun sumberdaya

manusia untuk kepentingannya. Bupati berhak memungut pajak hasil tanah,

memanfaatkan hasil tanah dan memanfaatkan penduduknya untuk bekerja padanya

(verplichte diensten)(Van Vollenhoven, 1918:717).

Para bupati dari tanah di bawah kekuasaannya bisa mendapatkan penghasilan

dari hasil penyewaaan tanah. Para petani yang mendapatkan jatah tanah dari para bupati

diwajibkan membayar sewa tanah berupa hasil produksi, memungut pajak tanah dan

pajak pacumpleng. Besaran pajak tanah tergantung dari hasil produksinya, sedangkan

pajak pacumpleng besarnya sekitar 1/6 atau 1/7 gulden untuk tiap rumah. Para petani

biasanya membayar pajak pacumpleng dalam bentuk hasil kebunnya. Beberapa tempat

memungut pajak tambahan untuk setiap denda dagang atau kontribusi bagi kelahiran

atau perkawinan bagi anak-anak bupati (Raffles, 2008:94). Kondisi ini berubah setelah

kekuasaan VOC secara politik semakin kuat dan menguasai bekas-bekas wilayah raja-

raja di Jawa, maka kedudukan raja sebagai penguasa tertinggi digantikan oleh VOC.

VOC yang telah berhasil menguasai bekas Kerajaan Blambangan menetapkan

bahwa, masing-masing daerah tetap berada di bawah pimpinan pejabat pribumi.

Kompeni beranggapan bahwa dirinya sebagai pengganti raja Jawa di wilayah ujung

timur Jawa, maka dengan cara yang sama VOC memerintah daerahnya yaitu menurut

leenstelsel (sistem peminjaman tanah) dengan hak memungut hasil atau pajak kepada

penguasa pribumi.

Wilayah yang kemudian menjadi Karesidenan Besuki pada zaman VOC dikelola

dengan dua macam cara yaitu dengan menyewakan beberapa bidang tanah luas kepada

pihak swasta terutama kepada orang-orang Cina kaya dan daerah yang dikuasai VOC

106 Vol. 1, No. 1, Hal 104-130, Mei 2018 serta diperintah oleh para kepala pribumi, yaitu Kabupaten Puger dan Kabupaten

Banyuwangi. Kedua daerah ini oleh VOC diwajibkan menyetorkan hasil bumi, maka

dibuatlah kontrak dengan kedua bupati tersebut. Bupati Puger Prawirodiningrat,

berdasarkan kontrak yang disepakati diwajibkan menyetorkan beberapa jenis barang.

Barang-barang yang diminta tersebut adalah 2 pikul lilin, 2 pikul kardamon

(kapulaga), 2 pikul lada berekor; 10 pikul lada merah dan 2 pikul benang sutera.

Barang-barang tersebut diserahkan tanpa bayaran. Selain itu Kompeni masih menuntut

penyerahan berupa 2 pikul benang kasar, 15 pikul kopi dan 20 pikul tali. Barang-barang

tersebut dibeli oleh VOC dengan harga yang sudah ditentukan oleh VOC (Wijayanti,

2001:56-57)

Bupati Banyuwangi, Raden Tumenggung Wiroguna menurut ketentuan yang

disepakati dengan Kompeni sejak tahun 1774, ia diwajibkan membayar beberapa

penghasilan sebagai pajak. Barang barang tersebut berupa 40 koyang beras gratis, 88

pikul indigo seharga 165 Ringgit Spanyol per pikul dengan pembagian 82,5 Ringgit

untuk Kompeni, 16,5 Ringgit untuk petani dan sisanya 65 Ringgit Spanyol sebagai jatah

bupati. Gua sarang burung disewakan kepada orang Cina sebesar 850 Ringgit Spanyol

pertahun. Sebesar 600 Ringgit Spanyol diserahkan oleh bupati kepada Kompeni dan

sisanya 250 Ringgit Spanyol menjadi bagian bupati. Zeetollen (pajak kelautan) juga

digadaikan kepada orang Cina seharga 300 Ringgit Spanyol pertahun (Wijayanti, 2001:

58)

Soemarsaid Moertono mengatakan bahwa selain pungutan teratur, kadang-

kadang pada waktu tertentu misalnya waktu menikahkan anaknya bupati sebagai

penguasa bisa memungut barang-barang lain, misalnya kelapa, tenaga atau barang

lainnya. Pungutan ini disebut pundhutan. Sumber dana lain berasal dari bea retribusi

pasar atau pelabuhan (Moertono, 1985:146). Jika kekurangan uang, VOC menganjurkan

kepada para bupati untuk menyewakan desa-desa di wilayahnya kepada pihak swasta

(Wijayanti, 2001:58). Kondisi ini berubah ketika VOC bangkrut dan kemudian Jawa

diambil alih oleh Pemerintah Belanda dan Daendels dipercaya untuk memerintah di

Jawa. Pembaharuan tersebut salah satunya adalah model penggajian kepada para bupati.

Pembaharuan penggajian para bupati berkaitan dengan perubahan status bupati dari

status bupati sebagai penguasa feodal menjadi pegawai pemerintah.

107

Daendels berusaha mengadakan modernisasi dalam bidang pemerintahan,

termasuk yang menyangkut kedudukan para bupati. Usaha modernisasi dilakukan oleh

Daendels dengan menerbitkan resolusi dan instruksi yang ditujukan kepada para bupati

di daerah Gubernemen. Instruksi tersebut berisi pernyataan bahwa para bupati di

wilayah ujung timur Jawa dinyatakan sebagai pegawai kerajaan dengan gaji tetap dan

pasti, oleh karena itu berdasarkan resolusi dan instruksi tersebut, hak-hak bupati untuk

memungut penghasilan dari desa dibatasi. Para bupati hanya boleh memungut 1/10 hasil

panen padi, pajak kepala dan pajak-pajak lain dari desa yang dibenarkan menurut adat

(Kartodirdjo, 1987:13). Dengan demikian, jika dibandingkan dengan pada zaman VOC,

penghasilan para bupati sudah sangat berkurang.

Demikian juga pada zaman Raffles dan Komisaris Jenderal. Kebijakan tentang

perpajakan, antara Thomas Stamford Raffles dengan para Komisaris Jenderal tidak jauh

berbeda. Mereka berdua berusaha tidak melibatkan para bupati dalam pemungutan

pajak tanah. Penanganan pemungutan pajak tanah, Raffles menunjuk petinggi sebagai

pejabat pribumi yang bertugas mengumpulkan pajak tanah. Para petinggi kemudian

menyetorkan hasil pemungutan pajak tanah langsung kepada kolektor pajak atau kepada

residen.

Para Komisaris Jenderal demikian juga. Menurut pasal 10 Staatsblad van

Nederlandsch Indie tahun 1818 yang kemudian diperbarui dengan Staatsblad van

Nederlandsch Indie tahun 1819 pasal 20, pajak tanah yang berupa hasil bumi dan uang

diserahkan kepada petugas yang telah ditunjuk oleh pemerintah. Hasil bumi disetorkan

ke gudang-gudang terdekat dari desa mereka. Pajak dalam bentuk uang menurut

ketentuan pasal 11 dan pasal 14, Staatsblad van Nederlandsch Indie 1819 pasal 20, para

kepala desa harus menyetorkan pajak sendiri secara langsung kepada residen atau

kolektor. Tidak seorang pun yang berhak menerima hasil pemungutan pajak tanah desa

kecuali residen atau kolektor (Staatsblad van Nederlandsch Indie 1819 pasal 20). Hal

ini berarti bahwa meskipun para bupati dan para pejabat pribumi masih tetap menerima

persentase dari hasil pemungutan pajak, tetapi karena para bupati tidak berhak secara

langsung memungut pajak dari petani maka penghasilan para bupati menjadi sangat

berkurang.

Sampai zaman Komisaris Jenderal, di Kabupaten Banyuwangi tidak

diberlakukan pembayaran pajak tanah. Di Kabupaten ini para Komisaris Jenderal

108 Vol. 1, No. 1, Hal 104-130, Mei 2018 mempertahankan penanaman wajib kopi dan membebaskan penduduk dari beban pajak

seperti yang pernah ditetapkan Raffles pada masa-masa sebelumnya. Sebagai pengganti

pajak tanah yang harus dibayar petani, petani dilibatkan dalam penanaman kopi dan

perawatan tanaman tersebut (Wijayanti, 2001:141-143). Dari kopi yang diserahkan

kepada pemerintah, petani mendapatkan bagian yang sudah dipotong pajak. Dari

penyerahan hasil tanaman kopi petani, Bupati Banyuwangi mendapatkan besaran

persentase yang telah ditentukan. Perubahan sistem penggajian ini berpengaruh terhadap

kehidupan sosial ekonomi para bupati di Karesidenan Besuki. Artikel ini membahas

pasang surut penghasilan para bupati dan dampaknya bagi kehidupan para bupati di

Karesidenan Besuki periode 1830-an-1930-an. Artikel ini bertujuan untuk menjawab

permasalahan (1) Bagaimana proses pasang surut penghasilan para bupati Karesidenan

Besuki (2) Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya pasang surut tersebut (3)

Apa yang dilakukan pemerintah dan para bupati akibat terjadinya pasang surut

penghasilan bupati.

PEMBAHASAN

1. Satu Kesempatan Meraup Keuntungan: Sistem Tanam Paksa

Para bupati pada zaman Tanam Paksa selain mendapatkan penghasilan dari pajak, juga

persentase dari hasil Tanaman Paksa yang disetorkan kepada pemerintah. Persentase ini

merupakan penghasilan ekstra para bupati selama pelaksanaan Sistem Tanam Paksa

(1830-1870). Persentase dari hasil Tanam Paksa juga bisa disebut bonus untuk para

kepala pribumi. Besar kecilnya bonus tersebut tergantung dari besar kecilnya hasil

produksi tanaman yang disetorkan para bupati (Ong Hok Ham, 1997: 218), maka pada

zaman pelaksanaan Sistem Tanam Paksa bagi kalangan elite bangsawan di seluruh Jawa

merupakan suatu masa yang benar-benar menguntungkan. Para bupati seringkali

mendapat keuntungan yang besar dari pembayaran persentase atas penyerahan-

penyerahan hasil bumi tersebut(Ricklefs, 2005: 186-187). Hal ini menyebabkan para

bupati dan pejabat lain termotivasi untuk tidak mengembalikan sisa dari hasil yang

diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda setelah dipotong pajak. Para bupati

bahkan seringkali berusaha agar tanah yang harus ditanami lebih luas dari yang sudah

ditentukan dengan harapan untuk memperbesar hasil produksi tanaman ekspor(

109 Kartodiedjo, et al, 1976:8). Logikanya semakin luas tanah yang ditanami untuk tanaman

paksa, semakin tinggi persentase yang diterima para bupati.

Gambaran yang jelas bahwa selama pelaksanaan Sistem Tanam Paksa beberapa

jenis tanaman wajib ditanam di Karesidenan Besuki. Pada tahun 1837, ada 6 jenis

tanaman yang dibudidayakan di Karesidenan Besuki. Tanaman tersebut adalah indigo,

tebu, kopi, teh, cochineal, chinamon dan sutera, akan tetapi yang membutuhkan tanah

paling luas adalah tebu(Elson, 1994). Penanaman tebu dimulai pada 1830 secara besar-

besaran dengan menggunakan tanah sawah seluas 700 bahu, dan pada tahun-tahun

berikutnya dikembangkan terus sehingga menjadi penanaman tebu yang cukup luas

(ANRI Besuki 2a5, 1882).

Pusat penanaman tebu selama pelaksanaan Sistem Tanam Paksa di Karesidenan

Besuki, masih tetap di sepanjang daerah pantai utara. Distrik Panarukan dan Distrik

Besuki adalah tempat yang mula-mula penanaman tebu dan indigo dilakukan. Budidaya

kopi berkembang di Distrik Bondowoso, Distrik Penanggungan dan Distrik Wringin

(Nawiyanto, 2001:19) karena pada tahun 1830-an daerah pemukiman penduduk masih

terbatas di sepanjang pantai utara, sedangkan daerah bagian pedalaman masih berupa

hutan belantara. Daerah pedalaman masih sulit dicapai karena jalan darat masih belum

dibangun. Selain itu di Distrik Besuki dan Distrik Panarukan tanahnya subur (Wijayanti,

2001:19).

Dam Sluice dibangun pada tahun 1832. Pembangunan Dam ini menyebabkan

peningkatan hasil produksi tebu. Pada 1835 produksi tebu hanya 76.450 pikul, tahun

1840 menjadi 115.090 pikul, pada tahun 1849 menjadi 199.482 pikul (ANRI,Besoeki

4.2, 1840). Luas lahan penanaman tebu juga mengalami peningkatan. Pada 1830 luas

lahan yang ditanami tebu hanya 700 bahu, pada 1835 luas tanaman tebu meningkat

menjadi 3819 bahu, tahun 1840 seluas 4515 bahu dan pada tahun 1850 meningkat

menjadi 6650 bahu, sedangkan lahan untuk Tanam Paksa indigo, tebu, kopi, teh,

chochenil, chinamon, sutera (silk), dan tembakau juga semakin luas

110 Vol. 1, No. 1, Hal 104-130, Mei 2018 Tabel 1 : Luas Tanah untuk Budidaya Tanaman Untuk Tanam Paksa di

Karesidenan Besuki Dari Tahun 1837-1844 (bahu)

No Jenis Tanaman 1837/Bahu 1844/Bahu

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

Indigo

Tebu

Kopi

Teh

Chocineal

Chinamon

Silk (sutera)

Tembakau

237

400

150

35

3

-

16

-

2.081

3.151

175

-

85

30

-

-

Sumber: R.E. Elson, Village Java Under The Cultivation System 1830 1870 (Sydney:

Allen And Unwin, 1994).

Tabel tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi perbedaan yang signifikan luas

tanah untuk penanaman tebu di Karesidenan Besuki antara tahun 1837 dengan tahun

1844, misalnya pada tahun 1830, lahan yang digunakan untuk tanaman tebu seluas 700

bahu, tapi berdasarkan data Elson pada tahun 1837, lahan yang digunakan untuk

penanaman tebu paksa hanya 400 bahu. Dalam hal ini diduga bahwa sebelum Sistem

Tanam Paksa diberlakukan, sudah ada usaha budidaya tebu di Karesidenan Besuki yang

dilakukan oleh pengusaha swasta, baik oleh orang-orang Cina maupun orang Belanda.

Tanaman lain yang dikembangkan di Karesidenan Besuki Pada zaman Tanam

Paksa adalah indigo. Dari tahun 1837-1844, terjadi perluasan lahan penanaman indigo

yang cukup signifikan, dari 237 bahu pada tahun 1837 menjadi 2081 bahu yang

digunakan untuk penanaman indigo. Data tersebut menunjukkan bahwa tanaman indigo

di Karesidenan Besuki cukup luas, namun demikian pada dasawarsa 1840-an, kopi dan

gula terbukti sebagai tanaman yang paling menguntungkan dan menjadi sumber utama

bagi pendapatan negara induk(Soegijanto Padmo, 1967: 92). Tanaman ekspor lainnya

yang dicoba dibudidayakan di Karesidenan Besuki adalah tembakau, tetapi ternyata

percobaan ini tidak berhasil (Soegijanto Padmo, 1967:92). Bondowoso dan Jember saja

111 tanaman tembakau berkembang dengan baik (Soerjadi, 1974: 63), sedangkan tanaman

lainnya seperti kayu manis dan murbei tidak begitu penting.

Upaya meningkatkan hasil produksi tanaman dagang untuk pasaran Eropa,

penanaman sering melebihi luas tanah yang sudah ditentukan, dan melebihi tenaga

yang digunakan untuk penanaman padi. Tanaman yang sangat memberatkan adalah

indigo (Gonggrijp, 1967:92). Tanaman indigo dicoba ditanam di daerah Besuki dan

Jember (Soerjadi, 1975:63). Tanaman indigo sangat memberatkan karena untuk

penanaman indigo tenaga laki-laki dari beberapa desa diwajibkan bekerja di ladang-

ladang indigo yang letaknya jauh dari tempat tinggal mereka selama tujuh bulan terus

menerus. Selama bekerja, mereka harus makan atas biaya sendiri. Setibanya kembali di

kampung halaman biasanya mereka mendapati tanaman padi mereka sudah hampir

musnah (Gonggrijp, 1967: 92).

Bupati menerima berapa dari persentase hasil tanaman yang disetorkan kepada

pemerintah, tetapi melihat jumlah produksi Tanaman Paksa di Karesidenan Besuki

tahun 1830-1850, dapat dibayangkan betapa besar persentase yang diperoleh para bupati

di Karesidenan Besuki.

Tabel 2 Jumlah Produksi Tanam Paksa di Karesidenan Besuki Tahun 1830-1850

No. Jenis Tanaman 1830 1840 1849

1.

2.

3.

Gula (dalam pikul)

Kopi (dalam pikul)

Nila (pon Amsterdam)

76.450

20.537

1.057

115.000

71.447

56.567

199.482

133.953

13.000

Sumber: I Nyoman Suaryana, “Perubahan Sosial di Karesidenan Besuki Tahun 1830-

1850” Thesis S2 (Yogyakarta: Program Studi Sejarah, fakultas Pasca Sarjana UGM,

1984), hlm. 69

Tabel tersebut menunjukkan bahwa jumlah tanaman paksa yang disetorkan

kepada pemerintah, dari tahun ke tahun terjadi pertambahan yang signifikan. Hanya nila

(indigo) yang mengalami penurunan,karena pada 1850-an sudah banyak digunakan

pewarna kain sintetis, sehingga pemerintah mengurangi areal penanaman indigo.

Jumlah setoran tanaman yang bertambah besar sangat menguntungkan para pejabat

112 Vol. 1, No. 1, Hal 104-130, Mei 2018 pribumi, namun demikian persentase dari tanaman paksa ini hanya dinikmati para

bupati sampai 1870.

Sistem Tanam Paksa dihapus pada 1870, dan perkebunan kolonial dijual kepada

modal swasta, maka cultuur-procenten (bonus) bagi para bupati juga hilang secara

resmi (Ong Hok Ham,1997:218). Penghapusan penanaman wajib dimulai dari

penanaman tingkat kedua, mulai dari lada, teh, cochenille dan tembakau. Penanaman

tebu paksa dihapus secara bertahap, dimulai pada tahun 1870 dan dihapus secara

keseluruhan pada tahun 1890. Tanaman kopi yang paling lama dipertahankan, namun

pada tahun 1915, seluruh penanaman wajib termasuk penanaman kopi diputuskan untuk

dihapus (Burger, 1962:208).

Para bupati selain mendapat persentase dari Tanam Paksa, juga bisa

menyewakan tanah lungguh (Simbolon, 1995:116), terutama kepada pengusaha swasta

baik Cina maupun Eropa. Pada awal abad ke-19 di Karesidenan Besuki sudah ada

perkebunan-perkebunan milik swasta, misalnya perkebunan tebu di Kabupaten Besuki

dan perkebunan kopi di Afdeeling Bondowoso.

2. Penghasilan dari Warisan Adat: Tanah Apanage yang Menjanjikan

Sistem apanage semula muncul dari konsep bahwa penguasa adalah pemilik tanah di

seluruh kerajaan. Para raja menjalankan pemerintahannya dibantu seperangkat pejabat

dan keluarganya, sebagai imbalannya mereka diberi tanah apange. Tanah tersebut

merupakan tanah jabatan, sehingga mereka, para pejabat (patuh) berhak mendapat

layanan kerja dari petani dan mendapat sebagian hasil dari tanah-tanah apanage

(Suhartono, 1991:2).

Apanage berasal dari kata appanare (Latin) yang berarti roti. Roti ini yang akan

memberikan kehidupan bagi pemiliknya, yaitu pemilik apanage. Tanah apanage pada

zaman kerajaan diberikan kepada sentana dan narapraja sebagai siti gadhuhan yang

sifatnya sementara, yaitu selama birokrat itu menduduki jabatan dalam pemerintahan

kerajaan. Para sentana dan narapraja ini sering disebut lurah patuh dan biasanya hanya

disebut dengan patuh saja. Para patuh ini berhak memungut sebagian hasil dari tanah

lungguh. Kata lungguh berarti kedudukan dalam birokrasi kerajaan (Suhartono,

2001:73)

113 Sistem apanage di Madura disebut sistem percaton. Penerima percaton inilah

yang mengatur desa percaton atau sawah percaton, atau kedua-duanya (Wolf, 1966: 50-

52), sehingga sistem tanah percaton dan tanah apange atau tanah lungguh pada

esensinya hampir sama. Sistem apanage di Karesidenan Besuki lebih cocok disebut

dengan tanah lungguh atau tanah bengkok (Condronegoro dan Wiradi, 2008:57), kecuali

di Kabupaten Banyuwangi. Sistem apanage di Karesidenan Besuki awal mulanya dapat

ditelusuri di Kabupaten Blambangan. Sebelum wilayah ini dibagi VOC menjadi

Blambangan bagian timur, Blambangan bagian utara dan Blambangan bagian barat,

wilayah ini merupakan kesatuan dalam satu kerajaan yaitu Kerajaan Blambangan, maka

dari itu lembaga-lembaga yang ada di Blambangan tidak jauh berbeda dengan kerajaan

lain. Lembaga-lembaga yang ada di Keraton Blambangan masih tetap berlaku meskipun

status Blambangan bagian timur telah berubah dari kerajaan menjadi sebuah kabupaten.

Kerajaan Blambangan sudah runtuh sejak 1767 dan VOC yang berhasil

menguasai Blambangan menganggap dirinya pengganti raja-raja Blambangan. Mas Alit

1774 diangkat sebagai Bupati Banyuwangi sehingga status Blambangan merosot dari

sebuah kerajaan berubah menjadi kabupaten, tetapi lembaga dan tradisi yang ada tetap

berlaku. Hal ini dibuktikan bahwa bupati tetap memiliki tanah apanage (tanah

lungguh). Tanah dalem Raden Tumenggung Wiroguna I terletak di sekitar Dusun Pakis,

sebuah dusun yang terletak di pesisiran dekat kota Banyuwangi sekarang. Gaji model

ini dapat dibandingkan dengan model gaji yang berlaku di daerah Vorstenlanden.

Bentuk gaji di daerah Vorstenlanden menurut ketentuan adalah sejumlah desa dijadikan

tanah apanage bagi penguasa pribumi. Pemegang apanage bisa mengambil sebagian

penghasilan dari tanah tersebut setelah menyerahkan sejumlah tertentu yang ditetapkan

VOC (Breman, 1980:15).

Kabupaten Banyuwangi menerapkan cara seperti tersebut diatas. Bupati dan

para pejabat lainnya tinggal di kota kabupaten, maka untuk mengurus tanah lungguh

mereka, diangkat para bekel agung. Bekel agung kemudian mengangkat sejumlah

pejabat, termasuk petinggi. Bekel agung memungut sebagian hasil panen dari tanah

yang diberikan kepadanya, dan menyerahkan sebagian hasil panennya kepada bupati.

Hasil panen ini biasanya dibawa ke nagari (ibukota) sambil menghadap pada waktu-

waktu yang sudah ditentukan. Kewajiban menghadap ke dalem (istana) biasanya

114 Vol. 1, No. 1, Hal 104-130, Mei 2018 dilakukan pada bulan pertama tahun baru Jawa dan pada upacara ulang tahun penobatan

bupati (Breman 1980:42).

Bupati Pertama Besuki, Raden Adipati Ario Prawiro Adiningrat (1818-1844)

digaji dengan uang kontan, namun untuk efisiensi, karena keuangan karesidenan sedang

defisit, bupati juga menerima gaji berupa tanah (De Stoppelar, tt: 12-14). Gaji dan upah

yang berwujud tanah jabatan ini dikerjakan oleh penduduk dengan kerja wajib dan

petani penggarap tanah mempunyai kewajiban untuk menyetorkan pajak (Davelaar,

1891:1-3).

Sawah-sawah untuk pejabat ada dua jenis yaitu sawah untuk penguasa pribumi

seperti bupati, patih, wedana dan asisten wedana, yang bertempat tinggal di kota-kota

dan para lurah atau kepala desa dan pejabat desa yang bertempat tinggal di desa-desa

(Tjondronegoro dan Wiradi, 2008:57). Pemilikan tanah jabatan (tanah lungguh)

menurut peraturan bersifat temporer. Para bupati bisa menikmati hasil bumi dan kerja

petani hanya selama bupati tersebut menduduki jabatan. Para bupati selanjutnya akan

menyewakan tanah mereka kepada kepala desa. Salah satu dari sikep atau kuli kenceng

dari desa akan ditunjuk sebagai bekel yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak

(Ge Prince, 2000: 264-265)

Tabel 3: Distribusi Tanah Bengkok (sawah) di Karesidenan Besuki Tahun 1868

Regentschap

Desa Yang di-

survey

Jumlah desa

yang punya

tanah

jabatan

(bengkok)

Jumlah desa

yang punya

tanah jabatan

(bengkok)

milik komunal

Jumlah desa

yang punya

tanah jabatan

khusus

disisihkan untuk

kepala desa

Probolinggo

Besuki

Banyuwangi

26

36

6

14

9

2

9

-

-

-

9

2

Sumber: Eindresume I, hlm. 87-88 Lampiran A, Dalam Sediono M.P Tjondronegoro

dan Gunawan Wiradi (ed), op.cit., hlm. 58

115

Tabel di atas menunjukkan bahwa, tanah bengkok yang diberikan kepada pejabat

dan pegawai di Karesidenan Besuki tidak luas. Hal ini dapat diketahui bahwa dari 36

desa yang disurvey di Kabupaten Besuki hanya ada 9 desa yang mempunyai tanah

bengkok. Karesidenan Besuki tidak mempunyai tanah komunal, sedangkan jumlah desa

yang memiliki tanah jabatan yang disisihkan untuk kepala desa hanya sebanyak 9 desa.

Dengan demikian rata-rata dari jumlah desa yang mempunyai tanah jabatan 1/4 dari

tanah yang disurvey. Berapa jumlah keseluruhan dari tanah jabatan, harus diketahui

lebih dulu berapa jumlah desa di seluruh Kabupaten Besuki. Data dari tahun 1879

menunjukkan bahwa Kabupaten Besuki memiliki 147 desa (Regerings Almanak van

Nederlandshe Indie, 1879:201), sehingga jumlah desa yang memiliki tanah jabatan

1/4x147: 36 3/4 desa. Demikian juga dengan tanah bengkok, 1/4x147: 36 3/4 desa,

namun berpijak dari data diatas, sulit untuk menentukan seberapa luas tanah yang

digunakan untuk para pejabat dan tanah bengkok perdesa.

Di Banyuwangi dari 6 desa yang disurvey, tanah jabatan hanya 2 desa, dan tanah

bengkok khusus kepala desa hanya 2 desa. Jadi sama dengan Kabupaten Besuki, jumlah

desa yang mempunyai tanah jabatan dan tanah bengkok adalah 1/3 dari jumlah desa

yang disurvey, maka apabila Banyuwangi memiliki dua distrik, yaitu distrik

Banyuwangi, 57 desa dan distrik Rogojampi, 50 desa (Regerings Almanak van

Nederlandshe Indie tahun 1879: 201-202), dengan demikian dapat diperkirakan desa

yang memiliki tanah jabatan dan tanah bengkok adalah 1/3x107: 35 2/5 atau mungkin

bisa dibulatkan sekitar 35 desa, sebab berdasarkan data yang ditemukan oleh FA

Sutjipto menunjukkan bahwa Banyuwangi memiliki tanah jabatan dan tanah bengkok

dalam jumlah yang cukup besar.

Tanah jabatan tersebut dapat diperinci sebagai berikut, dari jumlah seluruh tanah

sawah di Kabupaten Banyuwangi sebanyak 8416 bahu, 222 bahu adalah tanah-tanah

untuk para pejabat pemerintahan dan para ulama pribumi, 191 bahu untuk orang-orang

yang bekerja kepada para kepala pribumi, 579 bahu untuk para petinggi yang jumlahnya

76 orang. 128 bahu untuk para modin yang jumlahnya 76 orang, 239 bahu untuk para

kuwu yang berjumlah 142 orang, sedangkan 6967 bahu untuk para pengayah yang

berjumlah 3644 orang. Tanah yang masih ada untuk para pejabat dari tingkat yang lebih

rendah lagi (Tjiptoatmodjo, 1983: 235).

116 Vol. 1, No. 1, Hal 104-130, Mei 2018

Para kepala desa dan pegawai desa mendapat penghasilan dari hasil hutan, hasil

bumi, hewan, tenaga warga desa dan iuran, sumbangan berupa uang atau barang, uang

penebas kerja dari warga desa, uang paseksen, lumbung desa, dan persen dari

pemungutan pajak negara. Tanah bengkok itu selain berupa sawah, juga berupa tegal,

kebun nipah, kebun teh, tambak atau balong. Kepala desa berhak mendapatkan bantuan

para warga desa ketika megerjakan tanah bengkok, akan tetapi ia wajib memberi makan

para warga desa yang bekerja tersebut. Tanah-tanah bengkok tersebut selain berasal dari

tanah bukaan baru dari tanah hutan belukar, bengkok seringkali juga diambilkan dari

tanah desa yang sudah ada. Karesidenan Besuki memiliki tanah bengkok sekuas 2.404

bahu (Kartohadikusumo,1953:194). Menurut Van Vollenhoven, tanah-tanah apanage

(lungguh, bengkok) dapat ditukar bahkan dapat dijual beberapa tahun maupun

digadaikan, sehingga para bupati bisa memperoleh uang kontan dari hasil penjualan

tanah atau hasil menggadaikan tanah-tanah bengkok mereka (Van Vollenhoven,

1910:235).

Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi selama pelaksanaan Sistem Tanam

Paksa, menyebabkan pemerintah kolonial berusaha untuk mengurangi penyimpangan-

penyimpangan oleh para bupati dengan cara mengurangi kekuasaan para bupati. Usaha

pemerintah ini bersamaan dengan munculnya ide-ide liberal yang bertujuan membatasi

kekuasaan sewenang-wenang para bupati, maka pada tahun 1867 pemerintah selain

mencabut persentase dari hasil tanam paksa pemerintah juga mencabut tanah-tanah

apanage pejabat dan pegawai (Palmier, 1969:17-18). Hal ini bertepatan dengan

kedatangan para pengusaha swasta terutama pengusaha dari Belanda yang

membutuhkan jaminan tersedianya tanah luas dan kemudahan memperolehnya. Itu

sebabnya, kendala-kendala politis dan administrasi sebisa mungkin diminimalisasi

untuk mendukung proses perolehan tanah yang relatif mudah. Perangkat-perangkat

birokrasi harus dirampingkan dan piranti hukum pertanahan diorientasikan kepada

liberalisasi dalam persewaan tanah untuk melicinkan jalan bagi pengusaha untuk

menyewa tanah dari penduduk negara jajahan (Simarmata, 2002:17-18).

Cara tersebut ternyata tidak cukup, dalam hal ini jaminan perolehan tanah harus

juga lebih diperkuat. Unsur negara kemudian difungsikan untuk membantu kelancaran

perolehan tanah. Struktur penguasaan tanah feodalistik yang menunjukkan hubungan

raja dengan tanah, dipakai oleh pemerintah kolonial untuk menjustifikasi hubungan

117 domein-nya dengan tanah. Bersama hilangnya sistem kerajaan, pemerintahan kolonial

dinyatakan sebagai pengganti yang sah dari sistem kerajaan, sekaligus mewarisi

hubungan magisnya dengan tanah (Simarmata, 2002:18).

Realisasinya, tanah-tanah jabatan para kepala pribumi tersebut secara resmi

dihapuskan pada tahun 1870 (Kartodirdjo, et al, 1987:34-35). Akibatnya tanah lungguh

para pejabat tersebut yang tinggal hanya tanah-tanah jabatan untuk para pejabat desa,

yang masih berlaku sampai sekarang. Usaha pemerintah membebaskan tanah dari

penguasa pribumi bertujuan untuk menciptakan pasar bebas bagi komoditas dan untuk

memudahkan berkembangnya usaha-usaha swasta di Hindia Belanda yang didanai

dengan modal besar dari Eropa, khususnya di bidang perkebunan untuk tanaman ekspor

(Wignjosubroto, 2005:37).

Pelaksanaan reorganisasi agraria menyebabkan bupati tidak lagi sebagai pemilik

tanah di daerahnya. Kebijakan ini tidak hanya berpengaruh terhadap penghasilan para

bupati tetapi juga terjadi perubahan hubungan politik antara bupati dengan rakyatnya.

Sebelumnya, model hubungan antara bupati dengan bawahan dan rakyatnya adalah

hubungan feodal, dimana hubungan tersebut didasarkan atas peminjaman tanah. Dalam

sistem feodal, gaji para bawahan bupati adalah anugerah dari bupati, sehingga para

bawahan tersebut sangat tergantung kepada bupati, dan bupati juga bisa menarik

kembali tanah-tanah gaji tersebut sewaktu-waktu, tetapi setelah para bawahan bupati

digaji oleh pemerintah kolonial, kedudukan para bawahan bupati semakin kuat, mereka

tidak lagi merasa terancam kedudukannya karena para bupati tidak lagi bisa

mengangkat dan memecat bawahannya sekehendak hatinya.

Sementara itu, hubungan antara bupati dengan rakyatnya juga berubah. Rakyat

dalam sistem feodal, berperan sebagai peminjam tanah milik para bupati, sehingga

sebagai imbalan dari tanah yang dipinjamkan, para petani wajib menyetorkan dalam

jumlah tertentu dari hasil tanah tersebut dan dikenakan kerja wajib pancen di rumah

pejabat, termasuk kepada para bupati, dan tanah tersebut bisa ditarik sewaktu-waktu dan

diberikan kepada orang lain bila bupati menghendaki. Misalnya ketika bupati

membutuhkan pengerahan tenaga kerja yang banyak maka para bupati tidak segan-

segan membagi lagi tanah-tanah yang sudah dipinjamkan kepada seorang petani

kemudian diberikan kepada patani-petani baru, sehingga tersedia tenaga kerja yang

118 Vol. 1, No. 1, Hal 104-130, Mei 2018 dibutuhkan. Reorganisasi agraria menyebabkan hak milik atas tanah petani dilindungi

oleh undang-undang, sehingga kedudukan tanah menjadi kuat.

3. Kemerosotan Status dan Penghasilan

Weber mengatakan, bahwa salah satu ciri birokrasi pemerintahan modern adalah, para

pegawai menerima kompensasi keuangan regular yang biasanya berupa gaji tertentu dan

jaminan hari tua yang diberikan sebagai uang pensiun. Gaji para pegawai tidak diukur

menurut pekerjaan yang diselesaikan, tetapi berdasarkan status, yaitu berdasarkan

semacam fungsi (pangkat) dan lebih dari itu, mungkin saja, menurut lamanya masa

kerja. Jaminan yang relatif besar bagi penghasilan pegawai, maupun imbalan

penghargaan sosial, membuat jabatan menjadi posisi yang diidamkan Weber, 2009:

244).

Weber juga mengatakan, bahwa dalam birokrasi modern, para pegawai

dipersiapkan menjalani karir dalam urut-urutan hirarkis kedinasan. Mereka merambat

dari posisi rendah, tidak begitu penting, dan dibayar sedikit, menuju posisi lebih tinggi.

Rata-rata pegawai ditetapkan secara mekanis berdasarkan promosi, baik untuk jabatan

maupun untuk menetapkan gaji. Kondisi ini ditetapkan berdasarkan senioritas atau

kadang-kadang sesuai dengan tingkatan yang dicapai dalam ujian keahlian, yang

memberi efek permanen pada karir pegawai. Disini berarti berlaku kualifikasi hak atas

jabatan dan keamanan ekonomi pegawai (Weber, 2009: 245). Berkaitan dengan hal ini

dalam usaha untuk menciptakan birokrasi pemerintahan modern, pemerintah kolonial

menggaji para pejabat pribumi dengan uang kontan.

Sistem penggajian dengan uang kontan sebenarnya sudah dilakukan di

Karesidenan Besuki sejak pengangkatan Bupati Pertama Besuki pada tahun 1818. Cara

penggajian ini di kemudian hari juga berlaku bagi bupati-bupati di kabupaten lain, yaitu

Panarukan, Bondowoso, dan Banyuwangi. Gaji Bupati Besuki sejumlah f.12.000

setahun atau f.1000 per bulan dan Bupati Probolinggo sebesar f. 8.400 setahun atau f.

700 sebulan (ANRI,No.bundel 2a/1, 1823). Rintisan penggajian dengan uang kontan

kepada para bupati tersebut nampaknya belum didasarkan pada kualifikasi keahlian,

pendidikan atau masa kerja tertentu, tetapi berdasarkan status, di mana jabatan politis

tertinggi yaitu bupati diisi tanpa referensi pada sertifikat keahlian, pendidikan maupun

119 masa kerja tertentu, namun demikian rintisan pembentukan birokrasi pemerintahan

modern sudah dimulai meskipun masih banyak kendala di dalam pelaksanaannya.

Bupati dalam birokrasi pemerintahan modern, berkedudukan sebagai pegawai

pemerintah, maka para bupati mendapatkan gaji yang telah ditentukan jumlahnya.

Peraturan pada tahun 1867 menetapkan bahwa tanah lungguh para bupati dihapus.

Kompensasi atas tanah jabatan yang dihapus, pemerintah menaikkan gaji bupati dan

pejabat lainnya. Pemerintah tahun 1874 menentukan bahwa jumlah gaji Bupati

Banyuwangi yaitu 10800 gulden per tahun (Staatsblad van Nederlandsch- Indie, tahun

1874: 104). Gaji tersebut bila dibandingkan dengan gaji para wedana bisa menjadi 5 kali

lipat. Gaji Bupati Bondowoso f.1200 perbulan atau f.14400, per tahun. Bupati Besuki

f.1200 atau f.14400, yang sebelumnya f.12000 pertahun atau f.1000 per bulan. Bupati

Panarukan belum diketahui, tetapi dimungkinkan sama besarnya dengan gaji para

Bupati Besuki. Sementara gaji para pejabat dan pegawai dalam birokrasi pemerintahan

pribumi dapat diketahui dari keputusan pemerintah untuk daerah masing-masing.

Ketika Kabupaten Banyuwangi dimasukkan ke dalam cakupan Karesidenan

Besuki pada tahun 1882, pemerintah menetapkan pula jumlah gaji yang bisa diterima

oleh bupati dan pejabat lainnya dari pemerintah Hindia Belanda di Kabupaten

Banyuwangi. Dalam daftar tersebut ditetapkan bahwa gaji Bupati Banyuwangi adalah

3x gaji Patih Banyuwangi dan hampir lima 5x gaji para wedana (kepala distrik) dan

hampir 10x gaji kepala onder distrik. Besaran gaji ini bisa dibandingkan dengan gaji

Patih Zelfstandig Jember. Meskipun kekuasaan Patih Jember sama dengan kekuasaan

Bupati Banyuwangi, kenyataannya gaji Patih Jember sama dengan gaji Patih Kabupaten

Banyuwangi, yaitu f 240/bulan atau f.3000/tahun (Staadsblad van Nederlandsch-Indie,

No18, Tahun 1883).

Pada tahun 1901 pemerintah menetapkan gaji Bupati Bondowoso sebesar 15.600

gulden pertahun (Staadsblad van Nederlandsch-Indie, No18, Tahun 1901),

sebelumnya gaji Bupati Bondowoso 14.400 gulden pertahun. Jadi kenaikan gaji Bupati

Bondowoso adalah 100 guden per bulan. Kenaikan gaji Bupati Bondowoso ini

didasarkan pada pertimbangan bahwa penghapusan Kabupaten Besuki dan

dicakupkannya wilayahnya ke dalam wilayah kekuasaan Bupati Bondowoso, maka

wilayah kekuasaan Bupati Bondowoso semakin luas, sehingga tugas dan kewajibannya

pun semakin berat.

120 Vol. 1, No. 1, Hal 104-130, Mei 2018

Ketika memasuki abad ke-20, meskipun para bupati berstatus sebagai pegawai

pemerintah tetapi seiring dengan proses modernisasi pemerintahan yang berjalan justru

kekuasaan para bupati secara perlahan pulih kembali. Meningkatnya kekuasaan para

bupati membawa konsekuensi meningkat pula penghasilan para bupati. Penghasilan

tersebut berupa tunjangan-tunjangan jabatan yang dipegang oleh para bupati.

Berdasarkan Besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 23 Januari 1925

No 12, para pejabat pribumi masih mendapatkan tunjangan-tunjangan sesuai dengan

jabatannya, misalnya Bupati Bondowoso, Bupati Panarukan, dan Bupati Banyuwangi

mendapat tunjangan jabatan sebesar f. 150 setiap bulan, sedangkan Patih Selfstandige

Jember mendapat tunjangan jabatan sebesar f.100 setiap bulan (Staadsblad van

Nederlandsch-Indie, No.43, Tahun 1925 Bijlage C).

Tunjangan lain yang bisa dinikmati oleh para bupati adalah tunjangan jabatan

sebagai Kepala Bank Daerah (Kartodirdjo, 1978: CXXXV). Meskipun berapa jumlah

tunjangan resmi sebagai Kepala Bank Daerah ini belum jelas, tetapi jelas akan

menambah penerimaan bulanan dari para bupati. Selain tunjangan sebagai Kepala Bank,

para bupati semestinya juga mendapatkan persentase dari laba tahunan yang diperoleh

Bank Daerah dan Perkreditan lain milik pemerintah.

Penerapan desentralisasi pemerintahan kabupaten menyebabkan terjadinya

perubahan status kabupaten menjadi kabupaten otonom, sehingga pemerintahan

kabupaten berhak mengelola keuangannya sendiri. Dalam hal ini sumber pendapatan

Kabupaten adalah (1). Hasil pemungutan pajak sendiri antara lain pajak mercon, anjing,

iklan dan tontonan; (2). retribusi misalnya uang rooi dan potong hewan;(3). keuntungan

kekayaan dari kabupaten misalnya sewa tanah;(4). keuntungan dari perusahaan daerah

(pasar, rumah potong hewan)(5). tambahan persentase dari hasil pemungutan pajak

pendapatan, pajak tanah, pajak upah, verponding, pajak pegawai, pajak potong hewan

(6). pajak kendaraan bermotor.(7). bantuan tahunan dari pemerintah (Surianingrat,

1983: 157-158).

Perpindahan kewenangan pengelolaan berbagai macam pajak dari pemerintah

Hindia Belanda kepada pemerintah kabupaten tentu saja para bupati dan pejabat

pribumi yang lain, selain mendapatkan persentase dari berbagai pajak tersebut, juga

mendapatkan persentase dari retribusi, persewaan tanah, perusahaan daerah dan juga

bantuan pemerintah. Pada tahun 1927, penyerahan secara resmi wewenang pengelolaan

121 hutan negara dari pejabat Eropa kepada Bupati-bupati Panarukan, Bondowoso dan Patih

Jember(Staatsblad van Nederlandsch Indie, No. 11518, 3 Oktober 1927), juga

wewenang penentuan denda dengan uang terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh

pegawai maupun prajurit ( Staatsblad van Nederlandsch Indie, No. 11518, 3 Oktober

1927). Pemberian wewenang pengelolaan hutan di daerahnya masing-masing tidak

menutup kemungkinan bahwa para bupati memperoleh persentase dari pengelolaan ini.

4. Berbagai Tindakan Menghadapi Penyurutan Penghasilan Para Bupati

Penghapusan berbagai sumber ekonomi Berdasarkan logika, akan menimbulkan

kemerosotan penghasilan para bupati, oleh karena itu untuk mengimbangi berkurangnya

sumber penghasilan para bupati, pemerintah kolonial kemudian juga menerbitkan

peraturan-peraturan lain agar berkurangnya sumber penghasilan para bupati tetap bisa

mencukupi kebutuhannya. Beberapa sumber ekonomi bupati yang hilang, secara logika

akan menyebabkan terjadi kemerosotan perekonomian para bupati. Para bupati, dengan

gaji yang sudah pasti jumlahnya akan kesulitan untuk mencukupi kebutuhan

keluarganya, karena gaji yang diterima tidak bisa direntang untuk kebutuhan satu bulan,

sehingga tidak jarang para bupati terjerat hutang pada rentenir, terutama orang-orang

Cina atau Arab (Sutherland, 1983: 62). Hal ini berkaitan dengan kebutuhan bupati yang

bermacam-macam, misalnya untuk membiayai keluarga besarnya, membiayai

perjamuan makan dengan pejabat Belanda, membeli barang-barang pada pelelangan

barang-barang milik pejabat Belanda yang akan pindah tugas, dan biaya-biaya lain yang

menguras keuangan bupati (Sutherland, 1983: 62).

Dampak berkurangnya sumber penghasilan para bupati tersebut, pada tahun

1877 (Bijblad 4043) pemerintah Hindia Belanda memerintahkan kepada pegawai-

pegawai Eropa supaya menahan kesukaan para bupati “berpesta,” karena pesta dalam

pelantikan-pelantikan, kenaikan pangkat, pemberian gelar kebangsawanan, perkawinan

dan khitanan, atau hajat-hajat lain menyebabkan para bupati banyak hutangnya, ketika

peredaran uang bertambah, mereka tidak dapat mempertahankan cara hidupnya yang

lama tanpa terancam keruntuhan keuangannya. Dampaknya, sebagian besar dari biaya

untuk pesta-pesta itu sering kali dibebankan kepada rakyatnya. Mereka harus

menyumbang bupati dengan makanan atau barang-barang yang diperlukan untuk pesta-

pesta tersebut (Burger, 1962: 211-212).

122 Vol. 1, No. 1, Hal 104-130, Mei 2018

Peraturan tersebut diberlakukan dengan melihat kenyataan bahwa para pejabat

pribumi di Jawa demam pesta, sedangkan pemuasan hasrat itu sering memaksa mereka

untuk berhutang hingga memberatkan serta menimbulkan kemiskinan. Pesta-pesta

tersebut tidak hanya dalam perayaan lebaran, tetapi timbul juga pada peristiwa-peristiwa

kehidupan keluarga, seperti kelahiran, khitanan, perkawinan, dan kematian. Pada

kesempatan ini pejabat pribumi membebani diri dengan kewajiban-kewajiban yang

penepatannya biasanya tidak diperhitungkan dengan jumlah penghasilannya (Gobee dan

Adriaanse, 1991: 8).

Larangan mengadakan pesta-pesta tersebut berkaitan dengan kondisi ekonomi

para buapti akibat adanya penghapusan hak-hak feodal yang merupakan sumber

penghasilan para bupati, bahwa karena cultuurstelsel lama kelamaan ditinggalkan,

terhapus pula hak-hak istimewa para bupati, yang tadinya dipertahankan bersama

cultuurstelsel dan tetap mereka nikmati. Tahun 1867 hak apanage dihapuskan, dan

pada 1882 semua hak untuk memperoleh hadiah dan layanan pribadi (pancen)

ditiadakan (Lombard, 1996:107, Burger, 1957: 62-63), hilangnya sistim presentase

(Kartodirdjo, 1972: 8), dan pelarangan kepada para bupati dan kepala-kepala distrik di

Jawa dan Madura terlibat dalam kegiatan ekonomi dan perdagangan (Staatsblad van

Nederlandsch-Indie. No 244, Tahun 1886). Gaji para bupati sebenarnya cukup besar,

misalnya tahun 1874, ditentukan gaji Bupati Banyuwangi 10.800 gulden pertahun

(Staatsblad van Nederlandsch-Indie, Tahun 1874:104).

Jumlah gaji mereka bila dibandingkan dengan gaji para wedana bisa menjadi 5

kali lipat, pada tahun 1901 gaji Bupati Bondowoso sebesar 15.600 gulden pertahun

((Staatsblad van Nederlandsch-Indie,N0 20 1901), namun karena banyak kewajiban

sosial yang harus dipenuhi, maka pemerintah kolonial memperhitungkan bahwa gaji

sebesar itu mungkin tidak cukup untuk menutup kebutuhan-kebutuhannya. Namun

demikian, realitasnya para bupati di Karesidenan Besuki tetap mampu mempertahankan

gaya hidupnya seperti pada masa lalu. Dalam lingkup kabupaten, para bupati tetap bisa

hidup megah, walaupun tidak semegah bupati zaman VOC, tetapi masih mampu

mendatangkan kesan bahwa mereka tetap raja-raja kecil dan orang kaya di daerahnya.

Kesempatan pertama dimana bupati dapat mempertontonkan kekayaan, selera dan

kedermawanannya, adalah pada pesta pelantikan bupati. Pada pelantikan ini bupati

yang dilantik akan menyediakan makanan, minuman dan hiburan pada sebuah resepsi,

123 yang pertama-tama diperuntukkan orang-orang Eropa setempat, orang-orang Cina dan

priyayi, kemudian baru untuk rakyat umum (Staatsblad van Nederlandsch- Indie no 120

tahun 1901).

Kesempatan lain yang membuktikan bahwa para bupati di Karesidenan Besuki

masih mampu menunjukkan kemampuan ekonominya adalah ketika perayaan hari-hari

besar atau perayaan hari besar keagamaan yaitu hari raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul

Adha. Para bupati dalam kesempatan ini akan mengadakan perjamuan untuk para

pembesar atau para birokrat BB, kolega sesama PP, kerabat dekat maupun jauh dan

rakyat yang berkunjung ke kabupaten.

Keluarga bupati biasanya hidup dalam keluarga besar, yang terdiri atas keluarga

inti yaitu bupati, istri bupati, dan anak-anak bupati, beserta dengan saudara-saudara

dekat maupun jauh yang tinggal di rumah bupati. Hal ini dapat dilihat dari besarnya

rumah tempat tinggal bupati yang sangat besar, dengan kamar yang banyak sekali (hasil

penelitian di bekas kediaman bupati di Kabupaten Besuki dan Bondowoso), dan

kebiasaan para bupati yang suka berpoligami dan mempunyai anak yang banyak sekali

(Lihat lampiran 8 tentang silsilah para Bupati di Karesidenan Besuki). Misalnya di

Kabupaten Banyuwangi yaitu Mas Ngabehi Sumberwaru (Wirya Danu Adinigrat, anak

Suradiwiryo) yang dikemudian hari menjadi Bupati V Banyuwangi (1832-1867).

Tumenggunggung Mas Wirya Danu Adiningrat mempunyai 19 orang anak laki-laki dan

perempuan, yang salah satunya yaitu Astrakusumo yang nantinya menjadi Bupati VII

Banyuwangi (1888-1889) (Utomo, 1993:108-109). Para bupati dapat mempertahankan

gaya hidup dan menyiasati perubahan sumber ekonominya karena peraturan-peraturan

pemerintah tidak dijalankan sebagaimana mestinya.

Cultuurstelsel lama kelamaan ditinggalkan dan dihapus, disertai dengan

penghapusan pula hak-hak istimewa para bupati dan para pejabat birokrasi

pemerintahan pribumi, yang tadinya dipertahankan bersama cultuurstelsel itu tetap

mereka nikmati. Hal ini berkaitan dengan penghapusan Tanam Paksa yang tidak

dilakukan secara serentak, baik jenis tanaman maupun tahun pelaksanaan

penghapusannya. Penghapusan Tanaman Paksa mulai diberlakukan dari tanaman yang

kurang penting yaitu lada, teh, cochenile dan tembakau. Penghapusan Tanaman Paksa

tebu juga tidak dilakukan serentak, tetapi dimulai sejak tahun 1870 dan selesai tahun

1890. Tanaman kopi baru dihapus pada tahun 1915 (Burger, 1962 :208). Di

124 Vol. 1, No. 1, Hal 104-130, Mei 2018 Karesidenan Besuki tanaman-tanaman lada, teh, cochenile dan tembakau bukan

merupakan tanaman penting. Tanaman tembakau bahkan merupakan tanaman yang

gagal dibudidayakan pada zaman Tanam Paksa, tanaman tebu dan kopi merupakan

tanaman yang berhasil di Karesidenan Besuki. Persentase dari tanaman tebu memang

mengalami penurunan, tetapi sampai tahun 1890, para bupati masih berkesempatan

mendapatkan persentase dari tanaman tebu dan tanaman kopi, yang berlangsung sampai

tahun 1915.

Uraian tersebut di atas, jika dicermati bisa dikatakan bahwa meskipun

pemerintah dalam rangka modernisasi birokrasi pemerintahan pribumi telah menghapus

berbagai sumber penghasilan dari para bupati, tetapi tidak semua kebijakan pemerintah

tersebut menyebabkan ekonomi para bupati terpuruk. Realitanya meskipun berbagai

pungutan dilarang oleh pemerintah, namun tidak semua ketentuan pemerintah ini benar-

benar dipatuhi, sehingga tidak ditemukan data yang menunjukkan para bupati bi

Karesidenan Besuki mengalami keterpurukan ekonominya. Misalnya keluarga Bupati

Bondowoso juga mempertahankan tanah-tanah keluarga yang terletak di berbagai desa

(wawancara dengan EM Guntur, Sekretaris Paguyubab Keluarga Ronggo Bondowoso,

Mei 2011 di Bondowoso), bahkan yang terletak di kota Bondowoso (wawancara dengan

Sutrisnowati, Mei 2011, di Bondowoso).

Penghasilan tidak resmi bisa diperoleh para bupati dari sektor lain, misalnya

pembangunan pertanian membuka peluang bagi para bupati dan pejabat pribumi yang

lain. Karesidenan Besuki merupakan daerah di tempat mana perkebunan swasta

berkembang dengan baik. Perusahaan perkebunan ini membutuhkan terjaminnya

kepentingan ekonominya, maka para pengusaha sangat membutuhkan bantuan para

bupati untuk memperoleh tanah dan tenaga kerja, sehingga para pengusaha tidak segan-

segan menyuap bupati. Pada tahun 1890-an Jember merupakan pusat dari sejumlah

skandal tembakau (Sutherland, 1983:62-63). Hal ini tidak menutup kemungkinan juga

terjadi di tempat lain, misalnya di Kabupaten Bondowoso yang terdapat perkebunan

tembakau dan kopi yang luas, di Kabupaten Panarukan yang merupakan tempat

perkebunan tebu yang sangat luas atau di Kabupaten Banyuwangi sebagai pusat

perkebunan kopi.

Para bupati selain itu masih mendapatkan penghasilan yang berupa barang baik

yang resmi maupun tidak resmi. Misalnya, ada ketentuan resmi bahwa setiap satu ekor

125 sapi atau kerbau yang disembelih bupati akan mendapatkan kepala dan kulitnya,

sedangkan dari penyerahan tidak resmi bisa berasal dari para pejabat di bawahnya yang

menginginkan dia dipromosikan menjadi pejabat yang lebih tinggi. Mengingat bahwa

dalam pengangkatan pejabat maupun kenaikan pangkat dari para pejabat, para Residen

meminta rekomendasi dari para bupati. Atau apabila bupati mempunyai hajat, kadang-

kadang berbagai kebutuhan akan bisa dicukupi dari apa yang diserahkan oleh orang-

orang yang mempunyai pamrih terhadap bupati atau kadang-kadang juga berasal dari

pegawai atau bawahannya.

Pada awal abad ke-20, para bupati juga berusaha untuk menanggapi efisiensi

yang diserukan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Hal ini dapat diketahui misalnya

bangunan tempat tinggal bupati Jember yang dibangun pada abad ke-20, tidak luas, dan

dibangun model Eropa, serta dengan kamar-kamar yang tidak terlalu banyak. Hal ini

mengisyaratkan bahwa yang tinggal di rumah Bupati Jember tidak banyak.

Kemungkinan hanya terdiri dari keluarga inti dan para pembantunya (Hasil penelitian di

bekas kediaman Bupati Jember).

Selain itu dengan terbukanya bagi para bupati terhadap gagasan Barat, maka

berubah pula bentuk-bentuk lahiriah pergaulan. Misalnya seorang bupati, pada zaman

dahulu di dalam iring-iringannya selalu membawa kuda tunggangan, tikar, dan tempat

sirihnya, tetapi pada tahun-tahun awal abad ke-20, mobil, kursi empuk dan tempat

rokok lebih diutamakan. Dahulu seorang kontrolir baru dianggap berpendidikan kalau

pandai menari Jawa, tetapi pada awal abad ke-20 seorang wedana belajar sungguh-

sungguh main tenis, main bola sodok, dan berdansa-dansa Barat (Burger, 1962: 66).

Gambaran di Bondowoso, Raden Adipati Ario Kertosubroto (1891-1911) adalah

bupati yang kaya. Pada masa pemerintahannya ia membangun rubah kabupaten yang

sangat megah yang masih ada sampai sekarang (2012)(Penelitian di rumah Bupati

Bondowoso, Mei 2011). Ia mempunyai kesenangan-kesenangan yang berciri feodal. Ia

senang sekali berburu, menembak celeng (babi hutan) atau binatang buas yang lain, dan

setiap malam minggu di Kabupaten Bondowoso diadakan pesta yang dihadiri para

pejabat Belanda, dan para pegawai bawahannya. Dalam pesta ini diadakan wayangan

atau beksan (ledhekan/tayuban) dengan disertai minum-minuman keras (Soerjadi,

1975:70). Pemenuhan kegemaran ini tentu saja memerlukan biaya yang besar.

126 Vol. 1, No. 1, Hal 104-130, Mei 2018

Di zaman lain, Raden Tumenggung Ario Senthot Sastro Prawiro masih mampu

menyelenggarakan peringatan hari pengangkatannya menjadi Bupati Bondowoso

dengan meriah pada tahun 1924 ( foto-foto peringatan pengangkatan R.T Sastroprawiro,

Bupati Bondowoso, 1924). Bupati Bondowoso lainnya yaitu Herman Hidayat, yang

memerintah tahun 1925-1937 adalah Bupati Bondowoso yang kebarat-baratan, selain

cukup kaya. Ia sering mengadakan pesta dansa Barat dan minum minuman keras di

kabupaten. Ia juga mempunyai kesenangan (hobi) mengoleksi mobil, yang tentunya

memerlukan beaya yang besar. Pada tahun 1937 ia meninggal dunia di dalam mobilnya.

Bupati Panarukan R.A.A Sudibiokusumo (1925-1943), mampu menyelenggarakan pesta

perkawinan yang meriah pada tahun 1925 (Ibid: 74).

Selain itu berbeda dengan bupati pada birokrasi pemerintahan tradisional yang

harus membiayai sendiri kegiatan pemerintahannya, dalam birokrasi modern pada

prinsipnya, dalam lingkungan PP dipisahkan antara biro (urusan kantor) dari domisili

pribadi pejabat dan pada umumnya, birokrasi memisahkan aktivitas resmi sebagai

sesuatu yang berbeda dari wilayah kehidupan pribadi. Konsekuensinya uang dan

perlengkapan publik terpisah dari kekayaan pribadi pejabat. Atau dengan kata lain

urusan dinas terpisah dari urusan rumah tangga (Weber, 2009: 237). Dengan demikian

gaji yang tinggi dan berbagai tunjangan yang diterima para bupati bisa digunakan untuk

mencukupi kebutuhan keluarganya saja.

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian sebelumnya dapat dikatakan bahwa penghasilan para bupati di

Karesidenan Besuki mengalami pasang dan surut secara perlahan, tetapi bukan

peristiwa yang terjadi secara alami, tetapi ada kaitannya dengan peristiwa besar dan

peraturan pemerintah. Contohnya, ketika VOC menguasai wilayah bekas kerajaan

Blambangan, seperti kebijakan yang dilakukan di tempat lain, VOC memberlakukan

kebijakan penyerahan wajib (kontingenten dan leveransir), VOC menyerahkan

pelaksanaan kebijakan ini kepada birokrat pribumi (bupati dan bawahannya). Bupati

dalam hal ini yang bertugas mengumpulkan penyerahan yang berupa hasil bumi dan

perkebunan dari penduduk. Dari penyerahan ini bupati mendapatkan persentase, dan

kadang-kadang mendapatkan bonus dari sisa yang wajib diserahkan. Dalam teori bupati

wajib mengembalikan kelebihan dari yang wajib diserahkan oleh petani, tetapi bupati

127 jarang mengembalikannya. Demikian halnya yang terjadi pada zaman Tanam Paksa,

sehingga para bupati kaya raya dan hidup mewah.

Bupati menjadi kaya raya karena kebijakan demikian juga surutnya penghasilan

bupati juga karena kebijakan. Penghasilan bupati mengalami masa surut sejak tahun

1870-an, ketika Pemerintah Hindia Belanda menerapkan kebijakan modernisasi pada

birokrasi pemerintahan peribumi. Kebijakan modernisasi merubah status para bupati

dari penguasa feudal menjadi pegawai semata-mata. Perubahan ini berimplikasi pada

penghasilan bupati, karena sebagai pegawai pemerintahan mereka mendapatkan gaji dan

tunjangan berupa uang kontan dengan jumlah pasti, dengan kehilang hak-hak feudal,

termasuk kehilangan tanah apanage, dan kerja wajib, serta penyerahan-penyerahan

lainnya dari penduduk.

Akibat dari kebijakan modernisasi tersebut adalah penghasilan para bupati

mengalami kemerosotan, maka untuk mengantisipasi agar bupati tidak jatuh miskin

pemerintah Hindia Belanda mengimbangi dengan kebijakan yang bisa menahan agar

para bupati tidak terpuruk secara ekonomis. Kebijakan tersebut misalnya melarang para

bupati mengadakan pesta-pesta besar pada peristiwa-peristiwa tertentu, agar tidak

menguras keuangan kabupaten, memisahkan keuangan kabupaten dengan keuangan

pribadi bupati. Hasilnya, para bupati awalnya memang mengalami kemerosotan

ekonomi tetapi berbagai kebijakan di waktu-waktu selanjutnya menyebabkan secara

perlahan juga menyebabkan perekonomian bupati menjadi stabil.

DAFTAR PUSTAKA

ANRI, Besoeki 4.2 “Algemene verslag van de Residentie Besoeki jaar 1840.”

ANRI, No. bundel 2a/1,”Algemeen verslag den Residentie Bezoeki over den jare

1823”

ANRI Besuki 2a5. “Algemeen verslaag van de Residentie Bezoe-ki over het jaar

1832”. passim.

Regerings Almanak van Nederlandsh Indie, tahun 1879.

Staatsblad van Nederlandsch Indie Tahun 1818 dan 1819.

Staatsblad van Nederlansch- Indie, No 244. Tahun 1886.

Staatsblad van Nederlandsch- Indie, tahun 1874.

Staatsblad van Nederlandsch Indie, No 11518 Tertanggal 3 Oktober 1927

128 Vol. 1, No. 1, Hal 104-130, Mei 2018 Staatsblad van Nederlandsch Indie No 11520 Tertanggal 3 Oktober 1927

Staadsblad van Nederlandsche-Indie No 120, tahun 1901,

Staadsblad van Nederlandsche-Indie, No 120, tahun 1882.

Staatsblad van Nederlandsch Indie, No 43 Tahun 1925 Bijlage C.

Staatsblad van Nederlandsch- Indie, tahun 1874.

Burger, D.H. 1962. Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia (terj. Prayudi). Jakarta:

Pradnya Paramita, 1962.

Burger, D.H. Perubahan-perubahan Struktur Dalam Masyarakat Jawa (terj. Soedjito

Sosrodihardjo).Jakarta: Penerbit Bhratara Karya Aksara, 1957.

Breman, J. 1980. ”The Village on Java and The Early Colonial State” CASP I.

Rotterdam: Erasmus University, 1980.

Elson, R.E. Village Java Under The Cultivation System 1830-1870. Sydney: Allen And

Unwin, 1994.

Gobee E dan C. Adriaanse. 1991 Nasehat-Nasehat C. Snouck Hurgronje Semasa

Kepegawaiannya Kepada Pemerintahan Hindia Belanda. Jakarta: Seri Khusus

INIS Jilid IV.

De Stoppelaar, J.W. t.t. Blambangansch Adatrect. Wegennigen: H Veenman & Zonen.

Tjiptoatmodjo, F.A. S. 1983. “Kota-Kota Pantai di Sekitar Selat Madura Abad XVII

Sampai Medio Abad XIX” Disertasi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Ge Prince. 2000. “Kebijakan Ekonomi di Indonesia, 1900-1942” dalam J. Thomas

Linblad (ed), Sejarah Ekonomi Modern Indonesia: Berbagai Tantangan Baru.

Jakarta: LP3ES.

Gonggrijp, G.F.E 1967. Sejarah Ekonomis Indonesia (terj. Dharmono Hardjowidjono).

Yogyakarta: Tp.

Palmier, L. 1969. Social Status and Power in Java. New York: Humanities Press Inc.

Jan Davelaar, W.A.J. 1891. “Midden Personen Tusschen de Districts Beambten en Desa

Hoofden of Java” dalam TBG, Vol XXXIV. Batavia: Albucht & Rush.

Kuntowijoyo. 1988. Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris: Madura 1830-1940.

Yogyakarta: Pusat Antar Universitas-Studi Sosial Universitas Gadjah Mada.

Lombard, D. 1996, Nusa Jawa Silang Budaya. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.

Kartodirdjo, S. et al.(ed). 1978. Memori Serah Terima Jabatan 1921-1930 (Jawa Timur

dan Tanah Kerajaan). Jakarta: ANRI.

129 Nawiyanto. 2001.“Agricultural Development In A Frontier Region Of Java: Besuki,

1870- The Early 1990s” M.A Thesis .The Australian National University.

Lubis, N.H. 1998. Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942. Bandung: Pusat

Komunikasi Kebudayaan Sunda.

Ong Hok Ham, “Negara Dan Politik”, Dalam Taufik Abdullah, et al, (ed), Konggres

Nasional Sejarah Tahun 1996 Sub Tema Komparatif Dan Dinamika

Regional.Jakarta: Depdikbud RI, 1997.

Simbolon, P. 1995.Menjadi Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Wijayati, P.A. 2001. Tanah dan Sistem Perpajakan Kolonial Pada Masa Inggris

Yogyakarta: Tarawang.

Soerjadi, R.Ng. 1974. “Sejarah Besuki”. Bondowoso: Tp.

Ricklefs. M. C. 2005. Sejarah Indonesia Modern.Yogyakarta: Gadjah Mada University

Press.

Simarmata, R. 2002. Kapitalisme Perkebunan dan Konsep Pemilikan Tanah oleh

Negara. Yogyakarta: Insist.

Kartodirdjo, S. 1972. “Kolonialisme dan Nasionalisme di Indonesia pada Abad -19 dan

Abad -20,” dalam Lembaran Sejarah, No 8, Juni.

Kartodirdjo, et al., S. 1987. Perkembangan Peradaban Priyayi.Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press.

Kartodirdjo, S. et al.,1976. Sejarah Nasional Indonesia Jilid V. Jakarta: Depdikbud.

Wignjosubroto, S. 2005. Desentralisasi Dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia

Belanda: Kebijakan dan Upaya Sepanjang Babak Akhir

Kekuasaan Kolonial di Indonesia (1900-1940). Malang: Bayu Media Publishing.

Condronegoro, S.M.P. dan Gunawan Wiradi (ed.). 2008. Dua Abad Penguasaan

Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa .Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia.

Padmo, S. 2004. Bunga Rampai Sejarah Sosial Ekonomi Indonesia.Yogyakarta: Aditya

Media.

Moertono, S. 1985. Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau:

Studi Tentang Masa Mataram II, Abad XVII Sampai XIX. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia.

130 Vol. 1, No. 1, Hal 104-130, Mei 2018 Raffles, T.S. 2008. The History of Java (terj. Eko Prasetyaningrum et al) Yogyakarta:

NARASI.

Suhartono, 1991.Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-

1920. Yogya: PT Tiara Wacana..

Suhartono. 2001. Serpihan Budaya Feodal. Yogyakarta: Agastya Media.

Surianingrat, B. 1983. Pamong Praja dan Kepala Wilayah. Jakarta: Penerbit Rineka

Cipta.

Kartohadikusumo, S. 1953. Desa. Yogyakarta: Tp.

Sutherland, H. 1983.Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi. Jakarta: Sinar Harapan.

Ensiklopedi. 1986. Ensiklopedi Umum.Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Van Vollenhoven, C. 1918. Het Adatrecht van Nederlandsch-Indie Eerste deel Leiden:

E. J. Brill.

Wolf, E.R. 1966. Peasants. Englewood Cliffs, New Jersey: Practice Hall.

Van Vollenhoven, C. 1910. Adatrecht bundel, bezorgd door de commissie voor het

adatrecht. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.

Weber, M. 2009. Sosiologi (Terj. Nurkholis dan Tim Penerjemah Promothea)

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

131

JURNAL SEJARAH INDONESIA

Vol. 1, No. 1, Hal 131-156, Mei 2018

ISSN : 2621-1580

DALAM KEMURAHAN MERU BETIRI: KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT PENYANGGA HUTAN

MERU BETIRI TAHUN 1972-1997

IG. Krisnadi dan Dewi Salindri

Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember Pos-el: [email protected]

ABSTRACT

This article examines the socio-economic conditions of Meru Betiri forest buffer community. The discussion covers the potential of Meru Betiri area, population, livelihoods, facilities and infrastructure, economic activities of buffer-zone community, farming and livestock, tile industry, crafts, collection of forests products like firewood, bamboo, bee honey and wildlife hunting. Meru Betiri's natural generosity has not prospered the people in the buffer villages. The lacks of development of road infrastructure and facilities, low level of education form the causes of poverty in the buffer-zone villages. Poverty and low levels of education shape the perceptions in exploitative forest use, impacting forest destruction, biodiversity extinctions and causing natural disasters. Meru Betiri has changed its role, from protecting and giving "blessings" in the form of natural mercy to causing disaster to the people in buffer villages. Keywords: Meru Betiri, natural resources, buffer village, encroachments

ABSTRAK

Artikel ini mengkaji kondisi sosial-ekonomi masyarakat penyangga hutan Meru Betiri. Pembahasan mencakup potensi kawasan Meru Betiri, penduduk, mata pencaharian, sarana dan prasarana kegiatan ekonomi masyarakat penyangga, aktivitas pertanian dan peternakan, industri genteng, kerajinan gedhek, dan berbagai aktivitas merambah hutan seperti mencari kayu bakar, bambu, madu lebah dan berburu satwa. Kemurahan alam Meru Betiri belum menyejahterakan penduduk di desa-desa penyangga. Minimnya sentuhan pembangunan prasarana dan sarana jalan, tingkat pendidikan rendah merupakan penyebab kemiskinan penduduk di desa-desa penyangga.Kemiskinan dan tingkat pendidikan rendah, membentuk persepsi dalam pemanfaatan hutan yang eksploitatif, berdampak terhadap kerusakan hutan,

132 Vol. 1, No. 1, Hal 131-156, Mei 2018

kepunahan anekaragam hayati, dan menimbulkan berbagai bencana alam. Meru Betiri berubah peran, dari melindungi dan memberi “berkah” berupa kemurahan alam, berubah memberi musibah bagi penduduk di desa-desa penyangga. Kata kunci: Meru Betiri, sumberdaya alam, desa penyangga, perambahan hutan

PENDAHULUAN

Kajian tentang kehidupan masyarakat di pinggiran hutan Meru Betiri pernah dilakukan

beberapa peneliti. Rukiyat (1976) dalam Survey Suaka Margasatwa Meru Betiri Jawa

Timur, Indonesia mengkaji tindak-perambahan dan penjarahan hutan oleh masyarakat

penyangga hutan berdampak bencana alam dan gangguan satwa.Syafi’i dan Kasim

(1981)dalam Tingkat Pendapatan dan Keadaan Sosial MasyarakatSekitar Hutan di

Daerah Mandilis Sanenrejo Kecamatan Tempurejo Kabupaten Jember,mengkaji aspek

sosial-ekonomi masyarakat pinggiran hutan Meru Betiridi Dusun Mandilis. Kedua

peneliti bersepakat, kondisi masyarakatmiskin di Dusun Mandilis, sebagai penyebab

tindak penjarahan hutan. Sementara itu, Maksum (1999) dalam Studi Persepsi

Masyarakat Desa Penyangga Taman Nasional Meru Betiri, memberi gambaran

lengkap tindak-penjarahan hutan Meru Betiri dilakukanmasyarakat pinggiran hutan,

aparat keamanan dan pengusaha. Ia beranggapan, faktor pendorong terjadi perusakan

hutan adalah aspek ekonomi, politik, hukum, budaya dan geografis. Keterlibatan aparat

penegak hukum dalam perusakan hutan,semakin mempersulit upaya konservasi

(Indrawan, 2012:89-92).

Kajian-kajian tersebut lebih bersifat antropologis maupun sosiologis, dan lemah

dalam wawasan historis. Kajian tentang Dalam Lindungan Meru Betiri: Kehidupan

Sosial-ekonomi Masyarakat Penyangga Hutan di Kawasan Meru Betiri Tahun 1972-

1997 secara diakronis dan berwawasan historis akan melengkapi dan memperkaya

khasanah penulisan sejarah lingkungan khususnya sejarah sosial-ekonomi masyarakat

penyangga hutan di kawasan Meru Betiri.

Upaya pemanfaatan hutan di Jawa sebagai sumber devisa negara dimulai sejak

masa Kerajaan Mataram Hindu (Abad 7 Masehi). Di dalam berita Fa-shien disebutkan,

Kerajaan Holing memanfaatkan hasil hutan seperti penyu, emas, perak, cula badak dan

gading gajah sebagai barang cindera matatamu-tamu kerajaan, sehingga kerajaan ini

telah mengelola hutan sekalipun bersifat eksploitatif. (Marwati, 1984:93-94). Semasa

Kerajaan Majapahit (1292-14780), pengelolaan hutandiserahkan Juruwana, dibantu

133 Pengalasanyang bertanggung jawab atas pekerjaan pengadaan kayu untuk kebutuhan

kerajaan. Pekerjaan penebangan pohon jati dan peremajaan hutan jati diserahkan

Kalang Wadung (Ayu, 2012:4).

Kedatangan VOC di Nusantara (1602), pengelolaan hutan lebih terorganisir

guna memperoleh manfaat ekonomi optimal bagi kepentingannya. Pentingnya nilai

kayu jati di pasaran Eropa, menggerakkan keinginan VOC menguasai hutan jati di Jawa

dengan dikeluarkan Plakat 8 September 1803 yang mengatur semua hutan kayu di Jawa

berada di bawah pengawasan VOC sebagai domain (hak milik VOC) dan regalia (hak

istimewa raja dan para penguasa). Di dalam plakat disebutkan larangan menebang atau

menguasai hutan, bagi yang tidak mematuhi aturan, dikenakan hukuman badan.

Terbitnya plakat tersebut menunjukkan VOC berkuasa atas hutan di Jawa, dan menjadi

“malapetaka” bagi rakyat Jawakarena kehilangan hak ulayat atas hasil hutan (Ayu,

2012:5).

Setelah VOC bubar(1799), Gubernur Jenderal Daendeles melakukan

peremajaan hutan jati di Jawa yang rusak akibat eksploitasi (VOC). Berdasarkan

Staatsblad tahun 1829, perbaikan kawasan hutan rusak dilakukan menggunakan

cabutan anakan pohon jati dari hutan alam berjarak tanam lima meter setiap tanaman

jati. Penduduk pinggiran hutan dilibatkan dalam kegiatan memelihara dan menjaga

tanaman jati dari kerusakan, perusakan, pencurian dan perambahan kawasan hutan.

Sebagai imbalan, mereka diperbolehkaan memanfaatkan kayu limbah dalam hutan

(Ayu, 2012:5).Buurman tahun 1883 memperkenalkan sistem tumpangsari untuk

peremajaan hutan jati di Jawa dengan melibatkan penduduk di pinggiran hutan untuk

menanami kembali bekas hutan yang sudah ditebang habis. Di dalam sistem ini, petani

(pesanggem) diberi kesempatan menanam tanaman pangan diantara tanaman pokok

(Jati) seperti padi gogo, jagung, lombok, dantanaman yang dilarang adalah ketela

pohong, tembakau, berbagai jenis tanaman merambat yang tumbuh lebih cepat daripada

tanaman pokok. Setelah dua tahun, petani diwajibkan menyerahkan andilnya kepada

pihak kehutanan dengan keadaan tanaman hutan sehat dan baik, selanjutnya petani

memperoleh andil di tempat lain dengan sistem sama (Ayu, 2012:6).

Pemerintah Hindia Belanda selain mengelola hutan jati di Jawa untuk

memperoleh keuntungan ekonomi, juga mengelola hutan rimba sebagai Hutan Lindung

yang memberi manfaat penting bagi segenap kehidupan. Salah satu upaya perlindungan

134 Vol. 1, No. 1, Hal 131-156, Mei 2018 hutan yang dilakukannya adalah kawasan Hutan LindungMeru Betiri berdasarkan

Besluit van den Directur van Landbouw Neverheiden Handel pada 29 Juli 1931

Nomor: 7347/B, dan Besluit Directur van Economiche Zaken pada 28 April 1938

Nomor : 5751. Kawasan ini pada tahun 1967 ditunjuk sebagai calon Suaka Alam, dan

selanjutnya ditetapkan sebagai Suaka Margasatwapada 6 Juni 1972 berdasarkan SK.

Menteri Pertanian Nomor : 276/Kpts/Um/ 6/1972 dengan tujuan utama untuk

perlindungan satwa jenisPanthera Tigris Sondaicalyang dikenal sebagai Harimau Jawa

(Anonim, 1995:5). Kawasan Suaka Margasatwa yang semula seluas 50.000 ha, pada

tahun 1982 diperluas menjadi 58.000 ha berdasarkan SK. Menteri Pertanian Nomor:

529/Kpts/Um/6/1982, pada 21 Juni 1982. Perluasan ini mencakup wilayah Perkebunan

Bandealit dan Sukamade Baru seluas 2.155 ha, dan kawasan hutan lindung di sebelah

utara dan kawasan perairan laut sepanjang Pantai Selatan seluas 845 ha. Pada

perkembangan berikutnya yaitu dengan diterbitkan Surat Pernyataan Menteri Pertanian

Nomor 736/Mentan/X/1982 pada 14 Oktober 1982 Suaka Margasatwa Meru Betiri

dinyatakan sebagai calon Taman Nasional Meru Betiri. Pernyataan ini dikeluarkan

bersamaan diselenggarakan Kongres Taman Nasional se-dunia ke-3 di Denpasar, Bali.

Akhirnya kawasan ini memperoleh status sebagai Taman Nasional Meru Betiri

berdasarkan Surat Pernyataan Menteri Kehutanan Nomor: 277/Kpts-VI/1997 pada 23

Mei 1997 seluas 58.000 ha dengan rincian 37.585 ha berada di wilayah Kabupaten

Jember, dan seluas 20.415 ha berada di Kabupaten Banyuwangi (Anonim, 1995:5-6).

Memasuki fase pemerintahan Soeharto (1966-1998), kebijakan nasional

pengelolaan hutan dengan memperbolehkan sektor swasta untuk menebang dan

mengekspor kayu bulat (log) didasarkan pada UU N0.1/1967 dan UU No.6/1968

tentang investasi asing dan dalam negeri, dan UU Kehutanan No.5/1967 dan PP No.

21/1970 mengenai dasar hukum dibolehkan melakukan konsesi Hak Pengusahaan

Hutan (HPH) selama 20-25 tahun, pemotongan kayu log dan industri kehutanan

(plywood). Kebijakan semacam ini sekalipun sektor kehutanan dapat meningkatkan

sumber devisa negara terbesar kedua setelah minyak, namun harus dibayar mahal

dengan terjadinya eksploitasi penebangan kayu log secara besar-besaran pada tahun

1970-an yang berakibat kerusakan hutan, dan hilangnya “hak-hak hutan adat”

sertatermarginalkan sektor sosial ekonomi masyarakat pinggiran hutan (Herman,

2011:35-41). Kondisi semacam ini dialami masyarakat penyangga hutan di kawasan

135 Meru Betiri. Kemurahanalam Meru Betiri, semestinyadapat mensejahterakan

masyarakat pinggiran hutan,namun kebijakan pengelolaan hutan rezim Orde Baru yang

lebih berpihak kepada investor,ditambah berbagai aturan konserversi hutan, tidak

memberikan kontribusi berarti bagi tingkat kelayakan hidup dan kesejahteraan hidup

bagi komunitas masyarakat pinggiran hutan. Bentuk pengelolaan seperti itu,

menyebabkan komunitas masyarakat pinggiran hutan tidak memiliki posisi tawar dan

kuasa terhadap hutan yang justru berada di sekitarnya. Bahkan Pengelolaan Hutan

Bersama Masyarakat (PHBM) telah ditawarkan pemerintah dinilai belum optimal

memberi manfaat bagi masyarakat pinggiran hutan untuk memperbaiki

nasibnya(Hendro, 2003:44-45).

Mengingat terbatasnya ruang, dari sekian banyak permasalahan terjadi di

kawasanMeru Betiri sejak ditetapkan kawasan ini berstatus sebagai Hutan Lindung

(1931), Suaka Margasatwa (1972), maupun sebagai Taman Nasional Meru Betiri

(1997), baik yang menyangkut aspek ekonomi, budaya, hukum, keamanan, politik

maupun geografi, tidak mungkin dibahas satu-persatu. Pada kesempatan ini

pembahasan difokuskan aspek ekonomi khususnya kondisi sosial-ekonomi masyarakat

penyangga hutan di kawasan Suaka Margasatwa Meru Betiri (1972-1997).

PEMBAHASAN

1. Potensi Kawasan Meru Betiri

Informasi tentang kawasan hutan Meru Betiri pertama kali terekamdalam arsipRuy Vaz

Pereira (1544).Arsip itu merekampengalaman hidup Juru Taman Paulusketika menjadi

prajurit Demak bernama Gelar. Ia ditugaskan Sultan Demak, Trenggono untuk pergi ke

Kerajaan Blambangan sebagai mata-mata. Namun secara tidak disengaja bertemu Idayu

(Ibu kandung) dan Wiranggaleng (Ayah Angkat) di dalam hutan belantara yang banyak

harimau di wilayah Kerajaan Blambangan (Pramoedya, 1995:746-751).Sekalipun arsip

itu tidak menyebut namaMeru Betiri, namun Kerajaan Blambangan yang berada di

Semenanjung Blambangan, dan kawasan hutan Meru Betiri termasuk Mrawan, Garahan

sampai Puger di sebelah barat, dan Kesilir di sebelah timur termasuk wilayah

kekuasaannya, bahkan wilayahnya seluruh Eks-Karesidenan Besuki sampai ke

Pasuruan. (Anonim,1976: 104-105). Kawasan tersebut dilaporkan oleh Boomgaard

136 Vol. 1, No. 1, Hal 131-156, Mei 2018 (1876) sebagai kawasan hutan (Wilayah Besuki)yang menjadi “surga bagi harimau dan

babi hutan.” Bahkan keberadaan harimau di kawasan ini dianggap sebagai “teror” bagi

manusia dan bertanggungjawab atas merosotnya populasi satwa besar serta

bertanggungjawab atas ditinggalkan sejumlah desa di Sumberwaru dan Baluran

(Nawiyanto, 2012:76). Pemerintah Hindia Belanda melegalkan perburuan harimau sejak

akhir abad XIX dan berjalan terus hingga populasi harimau semakin sedikit.Tahun

1940-an “teror” harimau telah menghilang di sebagian besar Jawa(Nawiyanto,

2012:77), bahkan populasinyahanya bisa dijumpai di pegunungan terpencil seperti di

hutan Gunung Betiri(Anonim, 1976:9). R. Van der Veen dan Hoogerwef (ahli botani),

pada tahun 1971 melakukan penelitian di Meru Betiri, dan melaporkan di kompleks

Gunung Betiri terdapat 8 ekor Harimau Jawa, dan merekomendasikan kepada

pemerintah Indonesia untuk melindungi populasi Harimau Jawa yang terancam punah

(Anonim, 1976: 10). Pada 6 Juni 1972 kawasanHutan Lindung Meru Betiri ditetapkan

sebagai Suaka Margasatwa untuk melindungi Harimau Jawa (Panthera Tigris

Sondaical) dari ancaman kepunahan berdasarkan SK. Menteri Pertanian Nomor:

276/Kpts/Um/6/1972 pada 6 Juni 1972. (Anonim, 1999:23-26).

Upaya perlindungan satwa jenis Harimau Jawa di kawasan Suaka Margasatwa

Meru Betiri belum menunjukkan hasil nyata. Kegiatan foto trap dilakukan John

Seidensticker (1984)menunjukkan keberadaan Harimau Jawa di kawasan ini

diperkirakan tinggal 5 ekor. Namun ketika dilakukan beberapa kegiatan inventarisasi

satwa (1990-1994) dilengkapi foto trap, tidak menemukan bukti keberadaannya,

sehingga pihak pengelola kawasan beranggapan, keberadaan satwa Harimau Jawa

punah. (Anonim, 1995:8-10).Akhirnya, tujuan Suaka Margasatwa Meru Betiri diperluas

untuk melindungi berbagai jenis flora dan fauna dari kepunahan akibat ulah manusia.

Kawasan Suaka Margasatwa Meru Betiri membentang dari Teluk Meru-puncak

Gunung Betiri (58.000 ha). Secara administrasi pemerintahan, kawasan ini berada di

Kabupaten Jember dan Banyuwangi. Adapun batas-batas kawasan meliputi: sebelah

utara berbatasan dengan PT. Perkebunan Nusantara XII, Kebun Malangsari dan hutan

Perum Perhutani, sebelah timur berbatasan Desa Kalisanen, kawasan PT. Perkebunan

Nusantara XII Kebun Sumberjambe, PT. Perkebunan Treblasala dan Desa Sarongan,

Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, sebelah selatan berbatasan Samudera

Indonesia, sebelah barat berbatasan kawasan hutan Perum Perhutani PT. Perkebunan

137 Nusantara XII Kebun Kalisanen, Kebun Kota Blater, Desa Sanenrejo, Desa Andongrejo

dan Desa Curahnongko (Anonim, 1995:4).

Menurut hasil penelitian Hoogerwerf tahun 1971, di kawasan Suaka

Margasatwa Meru Betiri terdapat 5 tipe vegetasi (pantai, hutan mangrove, hutan rawa

dataran rendah, rheophyte, hutan tropis), 364 jenis flora, 14 diantaranya dilindungi,

dan 181 jenis fauna, 41 diantaranya dilindungi (Sutikto, 1998:1). Anekaragam hayati

flora, fauna di kawasan Suaka Margasatwa Meru Betiri menjadi obyek penelitian bagi

para peneliti, dan berperan sebagai laboratorium alam untuk pengembangan ilmu

pengetahuan berwawasan konservasi. Selain itu kawasan ini memiliki panorama alam

indah dilengkapi aneka flora dan satwanya yang atraktif (Wisata Penyu Pantai

Sukamade, Pantai Bandealit, Pantai Rajegwesi, Wisata Banteng dan aneka satwa lain di

Nanggelan, Baluran, Teluk Penyu,Teluk Permisan), sehingga kawasan ini sangat cocok

untuk rekreasi dan berpotensi sebagai pengembangaan pariwisata.

2. Penduduk, Matapencaharian, Sarana dan Prasarana Kegiatan Ekonomi

Pemukiman penduduk penyangga hutan Meru Betiri menempati tanah seluas 196.294

ha (0,338%) dari seluruh luas kawasan (58.000 ha) meliputi 4 desadi wilayah

Kabupaten Banyuwangi (Sarongan, Kandangan, Kebonrejo, Kalibaru Kulon), dan8

desa di wilayah Kabupaten Jember (Andongrejo, Curahnongko, Wonoasri, Sanenrejo,

Curahtakir, Mulyorejo, Pace, Sidomulyo). Pemukiman tersebut tersebar di Kebun Pantai

Bandealit (1.048 ha), di Lodadi (2.020 ha), di Sumbersalak-Darungan Pantai Bandealit

(7.125 ha), di Desa Sarongan (156.532 ha), di Dusun Rajegwesi (29.569 ha) (Anonim,

1995: 13). Berikut data persebaran penduduk desa-desa penyangga hutan Meru Betiri

seperti dalam tabel berikut.

Tabel: 1 Persebaran Penduduk Desa-desa Penyangga Hutan di Kawasan Meru Betiri

Tahun 1996

No. Nama Desa Luas

(Km

Persegi)

Jumlah Penduduk Jumlah

(Jiwa)

Kepadatan

Laki-

laki

Perempuan

A Kab. Jember

138 Vol. 1, No. 1, Hal 131-156, Mei 2018 1. Curahnongko 283.390 2.883 2.833 5.716 20.17

2. Curahtakir 77.863 5.517 5.908 11.425 14.67

3 Andongrejo 262.790 2.683 2.826 5.509 20,96

4. Sanenrejo 88.946 2.889 2.981 5.870 47.70

5 Wonoasri 6.180 4.841 4.765 9.606 0.64

6 Mulyorejo 192.245 5.558 5.589 11.147 17.25

7 Pace 93.972 2.780 2.905 5.685 16.53

8 Sidomulyo 107.516 3.542 3.630 7.172 14.99

B Kab. Banyuwangi

9 Sarongan 27.001 2.892 2.978 5.870 21.74

10 Kandangan 18.064 18.064 4.205 8.628 47.76

11 Kebonrejo 33.221 3.975 3.994 7.969 4.17

12 Kalibaru Kulon 37.962 13.119 13.284 26.403 1.44

Sumber: Anonim, 2011. Laporan Kegiatan Penyusunan Baseline Data Model Desa

Konservasi Taman Nasional Meru Betiri. Jember: Dirjen Perlindungan Hutan

dan Konservasi Alam Balai Taman Nasional Meru Betiri, hlm. 8.

Mata pencaharian penduduk penyangga hutan Suaka MargasatwaMeru Betiri

sebagian besar bertani sistem tadah hujan, karena selain daerahnya berdataran tinggi

juga belum tersedia fasilitas irigasi (Sarengat, 23 Oktober 2013). Sebagian besar yang

tinggal di Dusun Bandealit (Desa Curahtakir) dan di Dusun Sukamade (Desa

Sarongan)bekerja sebagai buruh di PT Perkebunan Bandealit dan PT Perkebunan

Sukamade Baru. Mereka yang tinggal di pinggiran Pantai Bandealit dan Rajegwesi

bekerja sebagai nelayan, dan merekayang tinggal di Dusun Krajan, Desa Sarongan

sebagian besar bertani, dan sebagian lain bekerja membuat gula kelapa (Sunaryo, 23

Oktober 2013).

Kondisi tempat tinggal penduduk di desa-desa penyangga hutan Meru Betiri

secara umum tidak layak huni menempati rumah berfentilasi buruk, berdinding bambu,

berlantai tanah dan lembab. Tiang rumah sebagian terbuat dari bambu dan kayu, atap

rumah berupa genteng (Ruslan 20 0ktober 2013). Sebagian besar rumah memiliki kamar

tidur tidak berpintu, hanya ditutup kain kelambu (Jumriah 20 ktober 2013). Berikut

139 disajikan data jumlah penduduk dan kondisi rumah warga desa-desa penyangga hutan

Meru Betiri seperti dalam tabel berikut.

Tabel 2 Jumlah Penduduk dan Kondisi Rumah Warga di Desa-desa Penyangga Hutan

Meru Betiri di Wilayah Kecamatan Tempurejo Kabupaten Jember Tahun 1996

No Keterangan Curah

nong-

ko

Sanen-

rejo

Ando

ng-

rejo

Wono-

asri

Curahta

kir

Jumlah

1 Penduduk 5.716 5.870 5.509 9.606 11.425 38.126

2 Kepala Keluarga 1.700 1.485 1.292 1.894 2.579 8.950

3 Rumah Bata-ubin 552 135 229 802 314 2.032

4 Rumah Semi Bata-ubin 372 59 633 950 544 2558

5 Rumah Gedhek 79 1.234 225 - 1.814 3.352

R A T I O

6 Penduduk/Rmh/Orang 5,69 3,82 5,86 4,37 3,82 4,46

7 Kepala Keluarga/Rumah

(KK)

1,69 1,04 1,19 1,08 0,97 1,13

8 Jumlah Rumah Gedhek (%) 7,88 86,41 20,70 0,00 67,89 42,21

Sumber:Sutikto, T, dkk. 1998. Profil Kawasan Penyangga Taman Nasional Meru Betiri

Kabupaten Jember. (Buku II: Laporan Kemajuan). Jember: Badan Perencanaan

Pembangunan Daerah Kabupaten Tingkat II Jember dengan Lembaga

Penelitian Universitas Jember, hlm. 36.

Tabel tersebut menunjukkan, kondisi rumah di tiap-tiap desa penyangga hutan Meru

Betiri di wilayah Kecamatan Tempurejo menjadi salah satu indikator

kekurangmampuan penghuninya, sekalipun masih ada faktor-faktor lain yang

menentukan. Diantara ke-5 desa tersebut, warga Desa Sanenrejo paling banyak

menghuni rumah-rumah gedhek (86,41%), disusul warga Desa Curahtakir sebanyak

(67,89%). Kedua desa ini (1996) termasuk kategori desa miskin di Kabupaten Jember

(Sunaryo, 20 Oktober 2013).

Kondisi prasarana dan sarana baik fisik maupun non-fisik merupakan modal

dasar masayarakat di desa-desa kawasan penyangga hutan Meru Betiri untuk

140 Vol. 1, No. 1, Hal 131-156, Mei 2018 melaksanakan aktivitas perekonomian. Namun kondisi prasarana dan sarana tersebut

(1997) belum memadai dalam menunjang kegiatan perekonomian warga, sehingga ikut

menciptakan kemiskinan masyarakatnya. Desa Sanenrejo memiliki prasarana

perdagangan terbesar berupa toko, kios atau lainnya sebanyak 74 buah (81,08%). Desa

Andongrejo dan Wonoasri tidak memiliki pasar, Penduduk kedua desa ini pada

umumnya memanfaatkan pasar di lokasi desa terdekat, dan kedua desa ini memiliki

prasarana perdagangan yang relatif kecil, sehingga pelayanan kebutuhan penduduk baik

sebagai konsumen maupun produsen menjadi terhambat dan akses aktivitas

perekonomiannya melemah, karena akan terjadi biaya transaksi tinggi (Jumari, 11

Nopember 2013). Sarana jalan yang digunakan sebagai penunjang aktivitas

perdagangan di desa-desa penyangga hutan Meru Betiri di wilayah Kecamatan

tempurejo sampai tahun 1997 pada umumnya hanya memiliki jalan berjenis makadam

dan tanah, dan ada satu desa yang mempunyai jalan beraspal (4 km) yaitu Desa

Wonoasri.

Kondisi jalan setiap desa penyangga hutan Meru Betiri di wilayah Kecamatan

Tempurejo, sebagian besar berupa jalan makadam rata-rata berkisar 72%-88%, jalan

tanah berkisar sepanjang 23 km (88,46%), jalan tanah 3 km (11,54%), dan jalan

beraspal sepanjang 4 km. Sarana dan prasarana penunjang kegiatan aktivitas

perekonomian di kawasan Meru Betiri berupa jalan, alat transportasi, pertokoan, kios,

pasar, juga sarana dan prasarana keuangan formal yang tersedia adalah berupa Bank

Perkreditan Rakyat. Bank ini terdapat di Desa Curahnongko, Desa Sanenrejo dan Desa

Curahtakir, sedangkan dua desa lain, Wonoasri dan Desa Andongrejo belum

memilikinya (Ponirin, 21 Oktober 2013). Keberadaan prasarana keuangan yang tidak

memadai mengakibatkan kebutuhan keuangan penduduk terpenuhi atas jasa keuangan

informal (Ijon, rentenir). Sementara itu keberadaan Koperasi Unit Desa di desa-desa

penyangga hutan Meru Betiri sampai tahun 1997 hanya terdapat di Desa Curahnongko

(Sunaryo 20 Oktober 2013). Keberadaan Ijon atau rentenir di desa-desa penyangga

hutan kawasan penyangga hutan Meru Betiri dirasa sangat memberatkan warga desa,

karena tingkat bunga tinggi sampai 20% dan bunga berbunga. Menurut Kepala Dusun

Mandilis, Desa Sanenrejo, Sarengat (20 Oktober 2013), warga setempat terpaksa

memanfaatkan jasa keuangan informal tersebut karena belum tersedia lembaga fasilitas

keuangan formal seperti Koperasi Unit Desa.

141

3. Mereka yang Bertani dan Beternak

Sebagian besar penduduk di desa-desa kawasan hutan Meru Betiri bekerja sebagai

petani dengan kepemilikan lahan sangat sempit bahkan sebagian besar diantara mereka

tidak mempunyai lahan garapan atau mereka hanya bekerja sebagai buruh tani. Berikut

disajikan data tataguna dan pemanfaatan lahan di desa-desa penyangga hutan Meru

Betiri tahun 1997 seperti dalam tabel berikut.

Tabel 3 Tataguna dan Pola Pemanfaatan Lahan di Desa-desa Penyangga Hutan Meru

Betiri Tahun 1997

Kabupaten/

Kecamatan /

Desa

Jumlah Luas Pemilikan lahan (Ha) Luas

pemilikan

lahan(Ha/KK) KK Sawah Hutan

Perke-

bunan Tegal

Bangun

an/

halaman

Lainnya

Kab. Banyuwangi

Kec. Pesanggaran

Desa Sarongan 1.491 278,6 12.25 1.097,1 185,75 103.75 15 1,6

Desa Kandangan 2.716 471,4 11.114,

9 5.974,2 171 165 19 6,9

Kec. Kalibaru

Desa Kebonrejo 3.336 220 4.154,9 859.769,

5 10 1.899,77 0 2,5

Desa Kalibaru

Kulon 1.826 255 0 143 188 15,48 0,8 2.428,2

Kab. Jember

Kec. Tempurejo

Desa Andongrejo 1.361 60,174 2.5 2,5 170,02 33,51 1.0137 20,1

Desa Curahnongko 1.716 60,274 2.5 2.114 153,42 9.142 6 16,5

Desa Wonoasri 2.948 0 0 207,9 248,37 127,199 37,9 0,2

Desa Sanenrejo 1.657 355,7 6 0 180,12

1 87,050 29,9 5,5

142 Vol. 1, No. 1, Hal 131-156, Mei 2018

Desa Curahtakir 4.375 234 3896,5 2.81 183 139 529,6 2,3

Kec. Sempolan

Desa Mulyorejo 3.321 15 0 2.634 1.874 73,00 255 1,5

Desa Pace 5.863 103 0 1.439 468 190 2.927 0,9

Desa Sidomulyo 2.817 150 0 1.511 639 112 2.733 1,8

J u m l a h 33.427 2.203,

2

42.416,

4

877.702,

1 4.470,7 12.087,8 7.556,9 2.488.1

Rata-rata 2.785,6 183,6 3.534,7 73.141,9 372,6 1.007,3 630,6 207,3

Sumber :Anonim, 1995. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Meru Betiri 1995-2020

(Buku I). Jember: Proyek Pengembangan Taman Nasional Meru Betiri Tahun

Anggaran 1994/1995, hlm.45.

Berdasarkan tabel tersebut diketahui,Desa Kebonrejo sebagai desa yang

memiliki jumlah KK terbanyak (3336 KK), dan memiliki areal hutan (4.154,9 ha),

kebun (859.769,5 ha) bangunan/halaman (1.899,7), areal sawah (220 ha), sehingga

setiap KK di desa ini hanya memiliki lahan seluas 2,5 ha. Sementara itu Desa Wonoasri

yang terdiri 2948 K, sebagian besar wilayahnya terdiri atas hutan (248,37 ha), tegal

(248,37 ha), dan bangunan/halaman (127,199 ha) dan tidak memiliki sawah teknis dan

hutan, sehingga kepemilikan lahan setiap KK di desa ini paling sedikit (0,2 ha) jika

dibandingkan ke-12 desa lainnya. Desa Andongrejo yang terdiri atas 1.361 KK

memiliki sawah 60,174 ha, hutan 2,5 ha, dan kebun 2,5 ha dan tegalan 170,02, 33,51

ha, setiap KK memiliki lahan paling seluas (20,1 ha) jika dibanding ke-12 desa lainnya.

Berapa rata-rata penghasilan petani di desa-desa penyangga hutan Suaka

Margasatwa Meru Betiri? Upaya menghitung pernah dilakukan Tim Peneliti Universitas

Jember (1997). Perhitungan menunjukkan hasil produksi tanaman pangan di desa-desa

penyangga hutan Meru Betiri (1997) secara keseluruhan setiap tahun sebesar Rp

6.203.855,200. Namun prediksi total pendapatan bersih di sektor pertanian tanaman

pangan hanya 25% dari pendapatan kotor. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat produktivitas

lahan kurang menguntungkan dan faktor biaya produksi tinggi. Jika dikonversi dengan

luasan setiap hektar per tahun dapat menghasilkan pendapatan bersih setiap petani

dalam setiap tahun sebesar Rp. 1.888.344,25.(Sutikto,1998:46-47).Rata-rata

143 kepemilikan tanah setiap petani seluas 2.073 ha (Lihat Tabel 3), maka rata-rata

penghasilan bersih setiap petani dalam satu tahun Rp 3.914.54 atau Rp.32.621 daalam

setiap bulannya. Penghasilan ini berada jauh di bawah UMR Jawa Timur tahun 1997

sebesar Rp. 132.500 (UMR Propinsi Jawa Timur Tahun 1997, Bappenas).Walaupun

demikian, petani masih mempunyai penghasilan tambahandari usaha ternak, buruh tani

atau menjual tenaga dari berbagai pekerjaan yang ditawarkan. Tingkat upah buruh tani

pada saat itu (1997) sebesar Rp.4000 per hari, namun tidak sepanjang tahun buruh tani

dapat bekerja, karena tenaga kerjanya dibutuhkan pada saat musim tanam atau musim

panen (Sutikto,1998:47).

Sektor peternakan banyak dimanfaatkan oleh warga penyangga hutan Meru

Betiri, walaupun belum dimanfaatkan secara optimal sebagai pekerjaan utama. Mereka

masih memanfaatkan sektor peternakan sebagai pekerjaan sampingan. Jenis ternak yang

terbanyak sapi, kambing, ayam. Sapi dan kambing menjadi jenis hewan ternak paling

diminati, karena banyak tersedia lahan rumput. Populasi ternak terbanyak terdapat di

Desa Sanenrejo sebanyak 15899 ekor, dan Desa Andongrejo sebanyak 10309 ekor.

Pada umumnya masyarakat kurang mampu secara ekonomi memelihara sapi dengan

cara menggaduh atau bagi hasil dengan pemilik sapi. Menurut Bunasir (20 Oktober

2013), di dalam sistem gaduh terdapat aturan yang disepakati secara turun-temurun,

pihak pemilik ternak menyediakan hewan ternak untuk dipelihara pihak penggaduh.

Pihak pemilik hewan ternak menerima hasil terlebih dahulu dari anak hewan ternaknya,

sedangkan pihak penggaduh menerima hasil ternak berikutnya. Jika hewan ternaknya

beranak lebih dari satu, maka hasilnya dibagi dua dengan pihak penggaduh (Saswoko,

21 Nopember 2013). Di kawasan penyangga hutan Suaka Margasatwa Meru Betiri

tersedia lahan rumput luas, berpotensi untuk dibudidayakan ternak sapi atau kambing.

Namun sistem pengelolaan ternak yang masih tradisional masih dianggap sebagai

pekerjaan sampingan.Hasil penelitian Tim Unej tahun 1997 menunjukkan perhitungan

kasar per tahun usaha ternak sapi sebagai berikut: Modal per ekor Rp. 400.000,- dengan

biaya pemeliharaan Rp.150,- karena rumput tidak beli, setelah dipelihara setahun

diperkirakan terjual Rp. 1.000.000,- sehingga laba kotor per ekor Rp. 450.000.

(Sutikto,1998:47). Jika budidaya ternak dilakukan dengan sistem gaduh, maka hasilnya

Rp.450.000 dibagi dua=Rp 225.000 untuk pemilik sapi, dan Rp. 225.000 untuk

penggaduh. Atau dengan sistem bagi hasil anak lembu yang harganya pada saat itu

144 Vol. 1, No. 1, Hal 131-156, Mei 2018 (1997) ditaksir per ekor berkisar antara Rp.100.000-Rp.125.000,-(Paeman, 11

Nopember 2013).

4. Industri Genteng

Industri genteng di desa-desa kawasan penyangga hutan Suaka Margasatwa Meru Betiri

dapat dijumpai di Desa Sanenrejo tepatnya di Dusun Krajan dan Dusun Mandilis.

Industri genteng di kedua dusun tersebut dapat berkembang didukung oleh tersedianya

bahan baku berupa tanah liat dan kayu bakar yang memadai. Jenis genteng yang

diproduksi di kedua dusun di Desa Sanenrejo adalah genteng pres atau genteng

karangpilang.

Proporsi biaya terbesar jenis industri ini terletak biaya tenaga kerja sekitar 52 %

dari total biaya keseluruhan yang dibutuhkan. Sedangkan proporsi terbesar kedua

terletak di sektor faktor produksi kayu bakar yang menyerap lebih kurang 24 % dari

total biaya keseluruhaan. Sedangkan serapan biaya atas komponen yang dibutuhkan,

maka di sektor tenaga kerja akan memberikan tambahan pendapatan bagi penduduk

setempat dan sekaligus mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Selain faktor tenaga

kerja dan bahan baku, faktor lainnya adalah harus tersedia bahan kayu bakar.

Ketersediaan kayu bakar cukup banyak dan dengan harga yang relatif murah. Hal ini

akan menyebabkan rendahnya harga jual genteng. Harga kayu bakar yang murah

disebabkan lokasi industri genteng yaitu Desa Sanenrejo sebagai salah satu desa yang

berada di kawasan penyangga hutan Meru Betiri yang banyak menyediakan bahan kayu

bakar.

Industri genteng di Desa Sanenrejo melibatkan 360 pengrajin dengan jumlah

tungku sebanyak 60 buah. Setiap tungku rata-rata dikelola oleh tiga tenaga kerja.

Sepanjang tahun rata-rata setiap tungku pembakar dapat beroperasi sebanyak lebih

kurang enam puluh kali pembakaran dengan perincian pada saat musim kemarau (April-

Oktober) setiap tungku dapat beroperasi enam kali dalam sebulan. Pada musim

penghujan sebanyak tiga kali dalam sebulan. Dalam setahun di Desa Sanenrejo terjadi

360 kali pembakaran dengan rata-rata kapasitas sekali pembakaran adalah 4000 buah

genteng, sehingga dalam setahun dapat menghasilkan 1.440.000 unit genteng. Jenis

produksi genteng terbagi atas dua jenis yaitu genteng pres dan genteng karangpilang.

Total produksi setahun 37% diantaranya adalah jenis genteng karangpilang (9.000.000

145 buah per tahun), sedangkan sisanya adalah jenis genteng pres sebanyak 5.400.000 buah

per tahun.Harga per unit genteng pres rata-rata Rp.70, dan genteng karang pilang Rp140

per unit. Omset penjualan dalam setahun adalah sekitar Rp.1.360.000.000, jika nilai

omset ini dikurangi biaya produksi sebesar Rp.824.175, maka margin keuntungan yang

diterima sekitar 40 %nya (Rp 561.825.000). Jika dirata-rata setiap pengrajin genteng di

Desa Sanenrejo akan mendapatkan keuntungan bersih sebesar Rp. 1.560.625 per tahun,

sehingga jika dibandingkan dengan sektor pertanian, sektor industri genteng lebih besar

memberikan pendapatan warganya.

5. Pengrajin Gedhek

Industri kerajinan gedhek di desa-desa penyangga Suaka Margasatwa Meru Betiri

berjumlah sebanyak 18 orang tersebar di Desa Andongrejo 4 pengrajin, Desa Sanenrejo,

dan Desa Curahtakir sebanya 10 pengraajin. Industri pembuatan gedhek banyak

tergantung sektor tenaga kerja (65,7%) dan bahan baku bambu (34%). Industri gedhek

tergantung tingat skillpengrajin dan ketersediaan bahan baku. Pengrajin gedhek

memperoleh bahan baku tidak melalui pembelian, melainkan mencari ke hutan. Setelah

bahan didapat, pengrajin memproses menjadi anyaman bambu. Total jumlah produksi

dalam unit per tahun 3.744 lembar dengan harga jual antara Rp 2500 – Rp. 3000 per

lembar. Omset penjualan dalam setahun keuntungan diperoleh Rp 11.2322.000. Total

biaya sebesar Rp 6.522.000, sehingga keuntungan diperoleh dalam setahun Rp

4.680.000 (41,6%). Sebenarnya nilai penjualan diterima pengrajin sama dengan

pendapatan bersih, karena tidak ada biaya bahan baku dan tenaga kerja. Meskipun hasil

kelihatan besar dan menjanjikan, namun kebutuhan pasar tidak menjanjiikan, sehingga

penghasilan pengrajin tidak optimal (Paeman 11 Nopember 2013).

Di Desa Andongrejo diperkirakan setiap pengrajin dalam setahun hanya

menghasilkan sebesar Rp 624.000 atau jika dikonversikan per hari, maka pendapatan

rata-rata pengrajin per hari sebesar Rp 1.750. Pendapatan tersebut terlalu kecil untuk

dijadikan andalan memenuhi menghidupi keluarga. Berkenaan dengan itu, pada

umumnya tenaga kerja yang terlibat dalam industri ini berlatar belakang pendidikan

rendah, usia lanjut, wanita dan pada umumnya tidak memiliki lahan sawah dan selain

membuat kerajinan bambu, merekaa bekerja sebagai buruh tani atau mencari tambahan

146 Vol. 1, No. 1, Hal 131-156, Mei 2018 penghasilan di hutan. Alasan mereka membuat gedhek adalah karena relatif tidaak

membutuhkan tenaga yang besar, sehari ke hutan, sehari membuaat gedhek di rumah.

Dalam setahun untuk memenuhi kebutuhan pengrajin gedhek di kawasan pengangga

hutan Meru Betiri dibutuhkan bahan baku berupa bambu Wuluh sebanyak 112.320

batang. Sementara itu, untuk membuat selembar gedhek dibutuhkan 30 batang bambu

Wuluh. Jika satu batang bambu seharga Rp 10.000, maka kebutuhan bambu dalam

setahun seharga Rp. 11.232.000. Tingkat kebutuhan bahan baku bambu yang sedikit,

dipengaruhi oleh faktor rendahnya permintaan gedhek. Hal ini diperjelas jika

dibandingkan dengan kemampuan pencari bambu dalam sehari umumnya bisa mencapai

300 batang.

6.Mencari Kayu Bakar di Hutan

Pengambilan kayu bakar oleh penduduk di kawasan hutan Meru Betiri tidaksulit, karena

kayu bakar yang diambil bekas kayu-kayu tebangan di hutan jati yang berbatasan

langsung dengan desa-desa sekitarnya. Pengambilan kayu bakar di hutan diantaranya

untuk keperluan industri rakyat (Pembuatan genteng, tempe, tahu)maupun untuk

konsumsi rumah tangga. Kebutuhan terbesar kayu bakardigunakan untuk industri

genteng. Di Desa Sanenrejo terdapat usaha pembuatan genteng yang membutuhkan

18.000 meter kubik untuk setiap tahun atau setara dengan Rp.225.000.000 (Sutikto dkk.

1998:70). Transportasi untuk membawa kayu bakar biasa dilakukan dengan

menggunakan sepeda yang mempunyai daya angkut maksimal 0,4 meter kubik (Paidi 11

Nopember 2013). Jumlah kebutuhan kayu bakar setahun jika disetarakan sama dengan

45.000 sepeda. Jika diasumsikan bahwa setiap orang (sepeda) hanya sekali dalam sehari

mengangkut kayu bakar maka tenaga kerja pencari kayu bakar yang terlibat khususnya

untuk memasok kebutuhan industri genteng di Desa Sanenrejo rata-rata sejumlah 125

orang dengan pendapatan rata-rata per hari Rp. 5.000 (Sutikto dkk. 1998:68)..

Pengambilan kayu bakar yang melalui Desa Sanenrejo umumnya tidak sampai keluar

kawasan penyangga, umumnya pengambilan untuk keluar dari kawasan penyangga

hutan melewati Desa Andongrejo dan Curahnongko. Di desa tersebut tidak terdapat

pengepul kayu bakar, sehingga cara keluarnya kayu bakar dapat dilihat secara jelas

dengan beriring-iringan sepeda dengan tujuan daerah industri genteng di Ambulu dan

sekitarnya ataupun untuk keperluan konsumsi rumah tangga di daerah daerah yang

147 dilewatinya (Paidi 11 Nopember 2013). Penjualan kayu bakar yang keluar kawasan

penyangga hutan Meru Betiri sulit untuk diperkirakan besarnya, namun berdasarkan

pengamatan di lapangan tidak kurang dari enam puluh sepeda melalui jalur Andongrejo

yang diperkirakan setara dengan 24 meter kubik dalam sehari (Sutikto dkk.1998:69).

Menurut seorang pencari kayu bakar di hutan, Tomiri (11 Nopember 2013),

pencarian kayu bakar dapat dilakukan sepanjang tahun, tetapi pengambilannya lebih

disesuaikan dengan permintaan pasar. Saat ramai adalah pada musim kemarau terutama

industri genteng dapat berproduksi secara optimal, di musim hujan proses produksi

berkurang yang pada akhirnya juga akan mempengaruhi permintaan kayu bakar.

Pekerja-pekerja yang terlibat dalam pencarian kayu bakar pada umumnya saat musim

kemarau, sedangkan pada saat musim penghujan, sebagian diantara mereka berhenti

mencari kayu bakar, dan bekerja sebagai buruh tani yang memperoleh upah lebih

banyak.

Selain warga di pinggiran hutan mencari kayu bakar di hutan untuk kebutuhan

industri rakyat, mereka pergi ke hutan mencari kayu bakar bukan sekedar untuk

memenuhi kebutuhan sendiri, melainkan untuk dijual. Kebutuhan kayu bakar untuk

konsumsi rumah tangga (memasak)mencapai 108.273,6 meter kubik senilai dengan Rp

1.353.420.000 untuk setiap tahunnya. Dari sejumlah itu (108.273,6 meter kubik),

54,30% (58.886,64 meter kubik) senilai Rp 734.907.060 berasal dari kawasan hutan.

(Sutikto dkk. 1998:71)

7. Mengambil Bambu di Hutan.

Jumlah populasi bambu sulit dideteksi secara tepat dikarenakan pengambilan sebagian

besar digunakan untuk bahan yang diperdagangkan dan para pencari bambu rata-rata

masuk hutan 6-7 kali seminggu, berangkat pagi pulang sore dan frekuensi pengambilan

bambu dilakukan sepanjang tahun (Paeman 11 Nopember 2013). Apabila persediaan

tanaman bambu di daerah penghasil bambu menipis/habis, maka para pencari bambu

semakin masuk ke hutan untuk mencari bambu. Cara pengangkutan bambu diangkut

dengan sepeda yang disiapkan di pinggir kawasan hutan. Pekerjaan ini menjadi

prospektif bagi warga, karena hasil hutan tersebut sudah mempunyai penampung khusus

desa-desa sekitarnya. Berikut disajikan data hasil perambahan hutan bambu oleh

148 Vol. 1, No. 1, Hal 131-156, Mei 2018 penduduk penyangga hutan Meru Betiri di wilayah Kecamatan Tempurejo Kabupaten

Jember seperti dalam tabel berikut.

Tabel 4 Hasil Bambu Perambah Hutan Di Desa-desa Penyangga Hutan Meru Betiri

Di Wilayah Kecamatan Tempurejo Kabupaten Jember Tahun 1997

No Desa Jumlah

Pengepul

Hasil/Mg

(Btg.pgl)

Hasil/Thn

(Batang)

Harga/Btg

(Rp)

Hasil/Thn

(Rp)

1 Curahnongko 1 40.000 1.760.000 12.5 22.000.000

2 Sanenrejo 2 80.000 3.520.000 12.5 44.000.000

3 Andongrejo 1 40.000 1.760.000 12.5 22.000.000

4 Curahtair 10 120.000 5.280.000 12,5 66.000.000

5 Wonoasri - - - - -

Jumlah 14 280 12.320.000 154.000.000

Sumber: Sutikto, T, dkk. 1998. Profil Kawasan Penyangga Taman Nasional Meru

Betiri Kabupaten Jember. (Buku II: Laporan Kemajuan). Jember: Badan

Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tingkat II Jember dengan

Lembaga Penelitian Universitas Jember, hlm. 73.

Tabel tersebut menunjukkan jumlah pengepul bambu di seluruh kawasan

penyangga Meru Betiri di wilayah Kecamatan TempurejoKabupaten Jember sebanyak

14 orang (Paeman 11 Nopember 2013). Yang terbanyak dari Desa Curahtakir (10

pengepul).Total hasil hutan Bambu yang diperjual-belikan dalam setahun adalah

sebanyak 12.320.000 batang seharga 154.000.000, sehingga jika dikonversikan dalam

sehari maka dibutuhkan sebanyak 34.222 batang, dan jika setiap pencari bambu dalam

sehari menghasilkan 300 batang, maka untuk memenuhi kebutuhan tersebut

diprediksikan sekitar 114 orang pencari bambu dengan pendapatan rata-rata setiap

pencari bambu Rp.3750 per hari.

Pencarian bambu pada umumnya melewati Desa Sanenrejo dan Curahtakir,

diperkirakan hal ini terjadi dari kawasan penyangga hutan Meru Betiri umumnya bambu

diangkut dengan truk yang mempunyai kapasitas angkut sebesar 1000 batang

(Paemanan 11 Nopember 2013). Pengambilan bambu dilakukan sepanjang tahun,

namun pada musim penghujan jumlah pencari bambu cenderung menurun, karena yang

149 menjadi pencari bambu cenderung lebih memilih sektor pertanian sebagai buruh tani

sebagai andalan pekerjaannya. Berbeda dengan pencari kayu bakar yang sebagian

berasal dari luar daerah kawasan, para pencari bambu sebagian besar berasal dari

daerah penyangga hutan Meru Betiri.Kebutuhan Bambu Wuluh untuk konsumsi industri

gedhek sangat kecil, hal ini terkaitkan produktivitasnyajuga sedikit. Untuk keperluan

industri gedhek dalam setahun hanya dbutuhkan sebesar lebih kurang 1.173.176 batang

atau senilai Rp.11.731.768 (Sutikto dkk.1998:72). Untuk memenuhi kebutuhn bambu

bagi pengusaha gedhek umumnya tidak melalui pengepul tetapi bahan baku diperoleh

dengan mencari di hutan. Rincian konsumsi Bambu Wuluh berdasarkan jumlah

pengepul yang ada di kawasan penyangga hutan Meru Betiri dapat dilihat pada tabel

berikut.

Penduduk di desa-desa penyangga hutan Meru Betiri mencari bambu jenis Bubat

digunakan untuk glantang pada pengeringan tembakau Besuki Na Oost. Oleh karena itu

pengambilan bambu sangat tergantung pada permintaan produsen tembakau Besuki Na

Oost. Seorang pengambil bambu Bubat setiap hari rata-rata mendapatkan 75 batang

dengan harga per batang Rp 50, sehingga Jadi pengambil bambu Bubat per

harimemperoleh pendapatan sebesar 75 batang x Rp 50 = Rp 3.750, sedangkan waktu

yang digunakan untuk pergi ke hutan 4-5 kali per minggu. Penduduk di desa-desa

penyangga hutan di Meru Betiri mencari bambu jenis Lampar digunakan sebagai bahan

pembuat sujen tembakau. Pengambilan bambu Lampar sebanyak 20 batang per hari

untuk tahun 1997. Cara membawa dengan mengalirkan lewat Sungai. Dari 20 batang

bambu tersebut akan menghasilkan sujen seberat 50 kg. Harga 1 kuintal antara Rp

5.000-6.000, sedangkan per minggunya rata-rata mengambil sebanyak 3-4 kali dengan

waktu yang dibutuhkan 8-9 jam (Sutikto dkk. 1998:72).

8.Perambah Hutan Madu Lebah

Madu lebah yang diambilpenduduk di desa-desa penyangga hutan Meru Betiri dikenal

sebagai madu berkualitas baik, dan dikenal sebagai Madu Curahnongko. Pengambilan

madu dilakukan antara Juni-Oktober. Berikut disajikan penghasilan perambah madu

lebah hutan di kawasan penyangga Meru Betiri di wilayah Kecamatan Tempurejo tahun

1997 seperti dalam tabel berikut.

150 Vol. 1, No. 1, Hal 131-156, Mei 2018 Tabel 5 Penghasilan Perambah Madu Lebah Hutan di Kawasan Meru Betiri Tahun

1997

No Desa Jumlah

Peramba

h

Frekuensi/

Mg (Kali)

Hasil Frek

(Botol)

Waktu

(Bulan)

Hrg/btl

(Rp)

Hasil/Thn (Rp)

1 Curahnongk

o

8 2 6 4-6 5.000 9.600.000

2 Sanenrejo 3 3 7 4-6 5.000 6.300.000

3 Andongrejo 6 3 7 4-6 5.000 12.600.000

4 Curahtair 10 2 5 4-6 5.000 10.000.000

5 Wonoasri 3 2 6 4-6 5.000 3.600.000

Jumlah 30 12 31 - - 42.100.000

Sumber: Sutikto, T, dkk. 1998. Profil Kawasan Penyangga Taman Nasional Meru

Betiri Kabupaten Jember. (Buku II: Laporan Kemajuan). Jember: Badan

Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tingkat II Jember dengan

Lembaga Penelitian Universitas Jember, hlm. 82.

Tabel berikut menunjukkan di kawasan penyangga hutan Meu Betiri terdapat 30 pencari

madu hutan yang dalam setahun diperkirakan mencapai pendapatan sebesar Rp.

42.100.000 (8.420 botol per 5.894 liter). Setiap minggu hasil setiap perambah antara

Rp.60.000 sampai dengan Rp.100.000. Suatu pendapatan besar, tetapi pencarian madu

tersebutsangat sulit dan kadangkala menginap di hutan. Madu hutan per botol dijual Rp.

5000, jika seminggu menghasilkan 12 botol, maka telah menghasilkan Rp. 60.000.

9.Berburu Satwa

Penduduk di kawasan penyangga hutan Meru Betiri banyak menangkap satwa liar di

hutan khususnya burung. Hal ini didorong banyakpermintaan burungjenis tertentu yang

jarang dijumpai di tempat lain. Nilai ekonomi satwa liar semakin tinggi apabila dalam

memperoleh jenis satwa yang semakin sulit dicari. Konsumen langsung maupun

pedagang burung yang berada di luar kawasan mendatangi masyarakat yang berada di

kawasan penyangga hutan untuk membeli burung yang diminati. Berikut disajikan data

151 berbagai jenis satwa liar di kawasan hutan Meru Betiri yang diburu oleh penduduk

pinggiran hutan seperti dalam tabel berikut.

Tabel 6 Daftar Jenis Satwa Di Kawasan Meru Betiri Diburu Tahun 1997

No Jenis Satwa Asal Satwa Daerah

Pemasaran

Harga

(Ribuan)

1 Cucak Hijau Bandealit, Pondokrejo,

Curah-nongko

Jember,

Malang,

Surabaya, Bali

50-75

2 Cucak

Gadung/Sekar

gading

Bandealit, Curahnongko,

Curahtakir, Sanenrejo

Jember,

Malang,

Surabaya, Bali

40-50

3 Bunglor Batu Bandealit, Curahnongko,

Curahtakir

Jember,

Malang,

Surabaya, Bali

100-150

4 Bunglor

Merah

Bandealit, Curahnongko,

Curahtakir, Sanenrejo

Jember,

Malang,

Surabaya, Bali,

Jakarta

100-150

5 Burung Hantu Bandealit, Curahnongko,

Curahtakir, Sanenrejo

Jember,

Malang,

Surabaya, Bali

40-50

6 Tekek Udang Bandealit, Curahnongko,

Curahtakir, Sanenrejo

Jember,

Malang,

Surabaya, Bali

20-30

7 Tekek Buto Bandealit, Curahnongko,

Curahtakir, Sanenrejo

Jember,

Malang,

Surabaya, Bali

20-30

8 Trenggiling Bandealit, Curahnongko,

Curahtakir, Sanenrejo

Jember,

Malang,

Surabaya, Bali

10-40

152 Vol. 1, No. 1, Hal 131-156, Mei 2018 9 Kera Bandealit, Curahnongko Jember,

Malang,

Surabaya, Bali

25-50

10 Rajawali

(Garuda

Coklat)

Bandealit, Curahnongko,

Curahtakir, Sanenrejo

Jember,

Malang,

Surabaya, Bali

75-100

11 Ayam Hutan Bandealit, Curahnongko,

Curahtakir, Sanenrejo

Jember,

Malang,

Surabaya, Bali

40-50

12 Kijang/Rusa Bandealit, Curahnongko Jember,

Surabaya.

13 Ular Phyton Bandealit, Curahnongko,

Curahtakir, Sanenrejo

Jember,

Surabaya.

50-100

14 Macan Rem-

rem/Kucing

Hutan

Curahtakir, Sanenrejo Jember,

Surabaya.

25-40

Sumber: Wawancara dengan Pemikat Burung Pujiono 12 Nopember 2013.

Tabel tersebut menunjukkan Jenis burung yang paling banyak diminati oleh masyarakat

adalah jenis Bunglor Merah dengan harga sekitar Rp.100.000 – Rp. 150.000 yang masih

bakalan. Burung tersebut berasal dari daerah Andongrejo (Bande Alit), Curahnongko

dengan daerah pemasaran umumnya dijual ke Jember, Malang, Surabaya, Bali. Selain

Bunglor Merah, terdapat jenis burung lain yang banyak dipesan oleh penggemar seperti

jenis Cucak Hijau dengan harga lebih murah (Rp50.000-Rp.75.000) jika dibandingkan

dengan jenis Bunglor Merah.Selain burung, satwa lain yang diburu Trenggiling dengan

nilai jual Rp 10.000 - Rp.40.000. Macan Remrem (Rp 25.000 – Rp.40.000). Para

pemikat burung satwa tersebut menggunakan cara tradisional, sehingga waktu

penangkapannya lama dan memerlukan cara tersendiri dengan tingkat keberuntungan

tinggi. Bahkan seringkali para pemikat burung melakukan penangkapan burung pada

malam hari dan penuh resiko. Namun omset satwa secara total sulit diprediksi, karena

data sulit dilacak.

153 KESIMPULAN

Kawasan hutan Meru Betiri selain memberikan tempat perlindungan bagi para

penduduk yang tinggal di desa-desa pinggiran hutan (desa-desa penyangga),

kemurahan alam (flora, fauna, mineral) Meru Betiri memberikan sumber

penghidupanbagi penduduk yang tinggal di desa-desa penyangga.Pengrajin genteng di

Dusun Mandilis dan Dusun Krajan, Desa Sanenrejo bisa mendapatkan bahan baku

pembuatan genteng dengan mudah dan murah berupa tanah liat dan kayu bakar yang

melimpah dari kawasan ini. Pengrajin gedhek dari Desa Sanenrejo, Andongrejo,

Curahtakhir pergi ke hutan mencari bahan baku untuk pembuatan gedhek berupa bambu

yang telah tersedia di kawasan hutan Meru Betiri.

Penduduk di desa-desa penyangga, memanfaatkan kemurahan hutan Meru Betiri

dengan melakukan perambahanhutan. Mereka pergi ke hutan mencari kayu bakar untuk

dijual ke pengrajin genteng di Desa Sanenrejo, atau untuk keperluan rumah tangga.

Selain itu mereka mencari bambu ke hutan untuk dijual kepada para pengepul bambu

yang selanjutnya dijual lagi kepada pengusaha tembakau. Madu lebah hutan dan rumput

melimpah yang disediakan hutan Meru Betiri dapat menghidupi penduduk yang tinggal

di desa-desa penyangga. Bahkan kawasan ini memberikan kemurahan berupa aneka

satwa liaryang hidup di dalamnya untuk diburu dan hasilnya dijual ke pasar-pasar satwa

di Jember, Malang, Surabaya, Bali.

Kemurahan alam Meru Betiri belum mensejahterakan penduduk di desa-desa

penyangga. Minimnya sentuhan pembangunan prasarana dan sarana jalan,berdampak

kawasan ini terisolasi dari ibu kota desa. Rendahnya tingkat pendidikan dan minimnya

prasarana dan sarana kegiatan ekonomi, sebagai faktor penyebab kemiskinan penduduk

di desa-desa penyangga. Kemiskinan dan tingkat pendidikan rendah, membentuk

persepsipenduduk desa-desa penyangga dalam pemanfaatan hutan yang eksploitatif. Hal

ini berdampak terhadap kerusakan hutan, dan kepunahan anekaragam hayati, serta

menimbulkan berbagai macam bencana alam. Meru Betiri berubah peran, dari

melindungi dan memberi “berkah” berupa kemurahan alam yang diberikannya, berubah

memberi musibah bagi penduduk di desa-desa penyangga.

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku dan Artikel

154 Vol. 1, No. 1, Hal 131-156, Mei 2018 Ananta Toer, Pramoedya, 1995. Arus Balik. Jakarta: Hasta Mitra.

Anonim, 1976. Suaka Margasatwa Meru Betiri, Jember: Sub-Balai Perlindungan dan

Pelestarian Alam, Jawa Timur II-Jember.

Anonim, 1995. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Meru Betiri 1995-2020 (Buku I).

Jember: Proyek Pengembangan Taman Nasional Meru Betiri Tahun

Anggaran 1994/1995.

Anonim, 1999. Informasi Kawasan Konservasi di Jawa Timur. Surabaya: Balai

Konservasi Sumber Daya Alam IV.

Anonim, 2011. Laporan Kegiatan Penyusunan Baseline Data Model Desa Konservasi

Taman Nasional Meru Betiri. Jember: Kemnterian Kehutanan Dirjen

Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Balaai Taman Nasional Meru

Betiri.

Bappenas, 1997. Upah Minimal Regional (UMR) Tahun 1997, Propinsi Jawa Timur,

dalam https://www.bappenas.go-id, diunduh 21 Pebruari 2018.

Departemen Kehutanan, tanpa tahun terbit. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Reencana

Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan. Tanpa kota dan badan

penerbit.

Departemen Kehutanan, 1988. Deskripsi Kawasan Konservasi Lingkup Balai

Konservasi Sumber Daya Alam IV. Malang, tanpa badan penerbit.

Poeponegoro, M.D dan Nugroho Notosusanto, 1984. Sejarah Nasional Indonesia II .

Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan PN Balai Pustaka.

Hidayat, H. 2011. Politik Lingkungan: Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan

Reformasi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Indrawan, M. dkk. 2012. Biologi Konservasi (Edisi Revisi). Jakarta: CONSERVATION

International-Indonesia, PILI, Yayasan WWF Indonesia, Uni Eropa, dan

YABSHI-Yayasan Bina Sains Hayati Indonesia.

Maksum, M. (dkk.) 1999. Studi Persepsi Masyarakat Desa Penyangga Taman Nasional

Meru Betiri. Yogyakarta: Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan &

Kawasan Universitas Gadjah Mada.

Nawiyanto, 2012. Pengantar Sejarah Lingkungan (Buku Ajar). Jember: UPT

Penerbitan UNEJ.

155 Ruhiyat, Y. (dkk.). 1976.Laporan Survey Su8aka Margasatwa Meru Betiri Jawa Timur,

Indonesia. Bandung: Lembaga Ekologi Unversitas Pajajaran.

Sumartono, H. & Andang Subaharianto, 2003, Strategi Survival Komunitas Masyarakat

Hutan (Studi Kasus di Desa Sumberjati Kecamatan Silo Kabupaten

Jember). Jember: Lembaga Penelitian Universitas Jember.

Sutikto, T. (dkk.). 1998. Profil Kawasan Penyangga Taman Nasional Meru Betiri

Kabupaten Jember. (Buku II: Laporan Kemajuan). Jember: Badan

Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tingkat II Jember dengan

Lembaga Penelitian Universitas Jember.

Syafi’i, I. & Subowo Kasim, 1981. Tingkat Pendapatan dan Keadaan Sosial

Masyarakat Sekitar Hutan di Daerah andilis Sanenrejo Kecamatan

Tempurejo Kabupaten Jember. Jember: Kerjasama Jurusan Sosial-

ekonomi Pertaanian, Fakultas Pertanian, Universitas Negeri Jember

dengan Word Wildlifs Funds, The Netherland, Sub. Balai Perlindungan

dan Pelestarian Alam Jawa Timur II di Jember.

Utari, A.D.. 2012. Penerapan Strategi Hutan Rakyat Opsi Penyelamatan Kehancuran

Hutan Negara. Yogyakarta: Cakrawala.

2. Daftar Wawancara

Bunasir, Buruh Tani dan Penggaduh Sapi, Warga Dusun Mandilis Desa Sanenrejo,

Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember, 21 Oktober 2013.

Jumari, Pedagang Warga Dusun Krajan, Desa Sanenrejo, Kecamatan Tempurejo,

Kabuapeten Jember.

Jumriah, Buruh Tani, Warga Dusun Mandilis, Desa Sanenrejo, Kecamatan Tempurejo,

Kabupaten Jember, 11 Nopember 2013.

Paeman, Buruh Tani, Penggaduh Sapi, Pengrajin Gedhek,Warga Dusun Mandilis, Desa

Sanenrejo, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember,11 Nopember

2013).

Paidi, Pencari Kayu Bakar Warga Dusun Mandilis, Desa Sanenrejo, Kecamatan

Tempurejo, Kabupaten Jember, 11 Nopember 2013.

Ponirin, Kaur Ekonomi dan Pembangunan Desa Sanenrejo, 21 Oktober 2013.

156 Vol. 1, No. 1, Hal 131-156, Mei 2018 Pujiono, Pemikat Burung, warga Dusun Mandilis, Desa Sanenrejo, Kecamatan

Tempurejo, Kabupaten Jember, 12 Nopember 2013.

Ruslan, Ketua RT 01, RW 02, Dusun Mandilis, Desa Sanenrejo, Kecamatan Tempurejo,

Kabupaten Jember, 20 0ktober 2013.

Sarengat, Kasun Mandilis, Desa Sanenrejo, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember,

23-10- 2013.

Saswoko, Pencari Rumput, Warga Dusun Mandilis, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten

Jember, 21 Nopember 2013.

Sunaryo, Sekdes Sanenrejo, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember, 23 Oktober

2013.

157

JURNAL SEJARAH INDONESIA

Vol. 1, No. 1, Hal 157-174, Mei 2018

ISSN : 2621-1580

PENGENDALIAN WABAH FLU BURUNG DI PROVINSI JAWA TIMUR PERIODE 2004-2012

Nurman Candra Setiansyah

Alumnus Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Pos-el: [email protected]

ABSTRACT

This article discusses the control of avian influenza outbreaks in East Java in the period of 2004-2012. It deals with three major problems: 1) the oubreak of avian influenza in East Java; 2) the impact of the spread of avian influenza; 3) the government’s preventive and curative efforts to contain the disease. It employed a historical method with theoretical inspirations from public policy analysis process. It is argued that the sucess story of avian influenza control in the East was due the quick and systematic response to the problem. The government was able to push the communities engaging the poultry sector to change from traditional practice to a more modern one. The government of East Java made a quick response because the local economy relied much on the poultry and poultry products, which were also distributed to other regions in Indonesia. Keywords: avian influenza, impact, government response, poultry community, East Java

ABSTRAK Artikel ini membahas tentang pengendalian wabah flu burung di Jawa Timur pada periode 2004-2012. Pembahasan berkaitan dengan tiga masalah utama: 1) masuk dan mewabahnya flu burung di Jawa Timur; 2) dampak dari penyebaran flu burung; 3) upaya preventif dan kuratif pemerintah untuk mengendalikan wabah. Tulisan menggunakan metode historis dengan inspirasi teoritis dari proses analisis kebijakan publik. Diargumentasikan bahwa kisah sukses pengendalian flu burung di Timur adalah karena respons cepat dan sistematis terhadap masalah tersebut. Pemerintah mampu mendorong masyarakat yang melibatkan sektor perunggasan untuk berubah dari praktik tradisional ke praktik yang lebih modern. Pemerintah Jawa Timur membuat respon cepat karena ekonomi lokal sangat bergantung pada unggas dan produk unggas, yang juga didistribusikan ke daerah lain di Indonesia. Kata kunci: flu burung, dampak, respons pemerintah, masyarakat peternak, Jawa Timur

158 Vol. 1, No. 1, Hal 157-174, Mei 2018

PENDAHULUAN

Flu burung (avian influenza) merupakan salah satu wabah penyakit yang

menggemparkan dan meresahkan masyarakat. Perlu diketahui bahwa penyakit ini tidak

hanya menjangkiti wilayah Asia dimana kasus Flu Burung paling banyak ditemukan

namun juga seluruh dunia. Penyakit Flu Burung merupakan wabah yang fatal bagi

unggas, dengan risiko kematian mencapai 90% (Depkominfo, 2008:1). Dengan

demikian tentu wabah ini sangat membahayakan dan mengancam peternakan unggas

domestik, seperti ayam, itik dan burung puyuh. Secara tidak langsung penyakit Flu

Burung dapat mengancam perekonomian, di antaranya harga unggas dan produk unggas

yang menurun, peluang ekspor menjadi kecil karena kekhawatiran importir atau regulasi

pemerintah negara tujuan, peningkatan biaya produksi, dan pengurangan jumlah tenaga

kerja. Indonesia merupakan negara dengan angka produksi dan konsumsi produk

unggas yang besar.

Selain mengancam perekonomian, wabah flu burung juga mencemaskan karena

dapat menyebabkan kematian pada manusia. Menurut WHO (2013), data menunjukkan

bahwa Indonesia merupakan negara dengan jumlah kasus flu burung pada manusia

tertinggi di dunia, yakni 192 kasus. Angka ini masih diperparah dengan kematian

manusia akibat flu burung sejumlah 159 (WHO, 2013) Sementara itu data pada unggas

tercatat sebanyak 43 kasus di 43 desa pada 30 kabupaten/kota di 12 provinsi dan

menyebabkan kematian unggas sebanyak 1355 ekor (1010 ekor ayam kampung, 140

ekor ayam layer dan puyuh 175 ekor).

Terdapat beberapa kemungkinan terburuk yang dikhawatirkan akibat adanya

pandemi Flu Burung, antara lain adalah: Menimbulkan angka kesakitan dan kematian

dengan prediksi 30% populasi terserang penyakit dan 5% kematian dari jumlah

penderita, Berkurangnya kemampuan pelayanan kesehatan dikarenakan jumlah

penderita melebihi kemampuan pelayanan, Kelumpuhan ekonomi diakibatkan oleh

terganggunya kegiatan perekonomian, dan Gangguan kamtibmas yang dapat mengarah

pada kekacauan sosial (Depkominfo, 2008:39)

Jawa Timur merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki populasi

unggas yang besar. Unggas tidak hanya dibudidayakan secara korporatif namun juga

159 dalam skala kecil di rumah-rumah penduduk dan digunakan untuk konsumsi pribadi

masing-masing keluarga. Hasil dari unggas seperti telur dianggap sebagai bahan

makanan yang bergizi dan mudah didapat di masyarakat Jawa Timur terutama mereka

yang bermukim di wilayah pedesaan.

Kajian mengenai flu burung menarik untuk diteliti karena, peristiwa merebaknya

wabah Flu Burung beserta penanganannya merupakan kajian yang menarik. Pertama

karena melibatkan manusia dan kehidupannya. Flu Burung dalam hal ini harus dilihat

sebagai suatu ancaman terhadap eksistensi spesies Homo sapiens, baik berupa ancaman

terhadap kelangsungan jenisnya, maupun ancaman terhadap kemampuannya

menyelenggarakan kehidupan sosial. Ancaman terhadap kelangsungan jenisnya tidak

lain adalah kematian akibat infeksi virus H5N1 HPAIV (Highly Pathogenic Avian

Influenza Virus) dan penularan virus yang dapat menyebabkan wabah yang meluas dan

berpotensi mendatangkan kasus kematian selanjutnya. Ancaman terhadap manusia

antara lain berupa lesunya perekonomian, munculnya regulasi–regulasi tertentu yang

merintangi hubungan antarmasyarakat (seperti larangan berkunjung ke suatu wilayah

tertentu atau yang dikenal sebagai travel warning) yang berdampak luas secara

multidimensi, berkurangnya interaksi sosial akibat sakit atau dijauhi anggota

masyarakat karena ketakutan berlebih, dan lain–lain permasalahan yang dapat

ditimbulkan sebagai dampak wabah flu burung.

Kedua, fakta bahwa masalah wabah flu burung bukan hal baru bila dilihat secara

luas, karena wabah ini telah dilaporkan sejak akhir abad XIX di Eropa (Alexander dan

Brown, 2009:17) Namun, penelitian dari spesialis tentang unggas dan kesehatan

manusia mulai meneliti mengenai flu burung dan penyebaran di manusia baru terjadi

pada akhir abad ke XX. Hal tersebut dikarenakan pelaporan dan pencatatan kasus flu

burung hingga akhir abad XX sangat sedikit dikarenakan flu burung dianggap sebagai

penyakit flu biasa pada unggas. Penularan penyakit ini ke manusia juga baru terjadi

pada tahun 1997.

Dalam kajian ini ada beberapa pokok masalah yang akan dikaji, yaitu:

Bagaimana masuk dan penyebaran wabah flu burung terjadi di Provinsi Jawa Timur?,

Dampak-dampak apakah yang telah diakibatkan oleh wabah flu burung?, dan Apa

langkah preventif dan kuratif yang diambil pemerintah dan masyarakat dalam

mengendalikan dan mencegah wabah flu burung di Provinsi Jawa Timur? Tujuan yang

160 Vol. 1, No. 1, Hal 157-174, Mei 2018 akan dicapai dalam penulisan ini adalah Mendeskripsikan bagaimana masuk dan

berkembangnya flu burung di Jawa Timur, Menjelaskan dampak-dampak yang telah

diakibatkan dari penyebaran Flu Burung dan mengkaji langkah-langkah preventif dan

kuratif yang dilakukan untuk mengendalikan dan mencegah flu burung.

Tulisan ini merupakan kajian sejarah. Oleh karena itu, metode yang paling tepat

digunakan adalah metode sejarah. Menurut Louis Gottchalk, metode sejarah adalah

proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalaan masa lampau.

Ada empat tahapan dalam metode sejarah, yaitu pengumpulan sumber-sumber

(heuristik), kritik sumber (kritik intern dan kritik ekstern), penafsiran sumber

(interpretasi), dan sintesis sejarah (historiografi) (Gottschalk,1975:32).

Tahap pertama heuristik adalah proses pengumpulan sumber-sumber sejarah

sesuai dengan topik yang dikaji. Sumber sejarah tersebut terbagi menjadi dua, yaitu

sumber primer dan sumber sekunder. Sumber Primer yang dugunakan adalah sumber

yang berupa lisan berupa wawancara dengan peternak unggas yang mengalami dampak

kejadian flu burung pada 2004-2012. Selain wawancara dengan peternak yang terkena

dampak flu burung, sumber primer penulis menggunakan koran dan majalah yang

sezaman dengan periode penulisan artikel. Koran dan majalah tersebut berupa edisi

cetak dan digital. Sedangkan sumber sekunder yang digunakan adalah buku dan literatur

yang sesuai dengan topik yang dibahas. Sumber tersebut meliputi jurnal, laporan

penelitian, peraturan yang diterbitkan pemerintah, buku-buku baik buku digital maupun

buku cetak yang ada di perpustakaan. Salah satu perudang-undangan yang dipakai

adalah Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Penanganan Flu

Burung dalam Mengantisipasi Pandemi Influenza Pada Manusia Di Jawa Timur

Tahapan kedua dari metode yang digunakan adalah kritik sumber. Kritik sumber

terbagi menjadi dua, yaitu kritik intern dan kritik ekstern. Kritik ekstern digunakan

untuk meneliti keaslian sumber dengan cara meneliti gaya bahasa, jenis tulisan, bahan

yang dipakai dan lain-lain. Sedangkan kritik intern digunakan untuk memverifikasi

informasi tersebut sesuai dengan fakta sejarah. Tahap ketiga adalah interpretasi, yaitu

proses menganalisis data yang didapat. Proses tersebut juga disebut penafisran sejarah.

Tahap terakhir adalah historiografi. Tahap ini merupakan penyusunan fakta-fakta yang

dianggap valid dan kredibel menjadi kisah sejarah yang kronologis dan membentuk

kesatuan yang utuh. Penafsiran data diperoleh dari fakta-fakta yang tekumpul dan

161 dihubungkan dengan prinsip 5W+1H yaitu what untuk menanyakan siapa pelaku dalam

kajian tersebut, where untuk menanyakan tempat kejadian, who untuk menanyakan

siapa pelaku dalam kejadian tersebut, when untuk menanyakan kapan peristiwa itu

terjadi, why untuk menanyakan alasan peristiwa itu terjadi dan untuk mengkritisi apa

yang terjadi, how untuk menanyakan bagaimana peristiwa itu terjadi.

PEMBAHASAN

1. Masuk dan Berkembangnya Flu Burung di Jawa Timur

Flu Burung dalam perjalanan penyebaran di Indonesia juga masuk dan menyebar ke

wilayah Jawa Timur. Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang memiliki

penduduk terbanyak di Indonesia. Jawa Timur memiliki penduduk 37.565.706 jiwa.

Provinsi Jawa Timur terletak pada 7 º 12’ - 8 º 48’ Lintang Selatan dan 111º - 114 º 4’

Bujur Timur. Provinsi Jawa Timur memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:

Sebelah Utara: Laut Jawa dan Pulau Kalimantan, Sebelah Timur: Selat Bali dan Pulau

Bali, Sebelah Selatan: Samudera Hindia, Sebelah Barat: Provinsi Jawa Tengah (Badan

Pusat Statistik, 2010: 15).

Secara pasti, tidak bisa diketahui asal mula masuknya virus Flu Burung di Jawa

Timur di wilayah mana, namun pada 2004 sudah banyak kematian unggas. Kematian

terjadi mendadak dan dialami banyak unggas baik di peternakan unggas maupun.

Daerah dengan potensi produk unggas terbesar merupakan daerah dengan kematian

tertinggi di Jawa Timur. Provinsi Jawa Timur memiliki kelembapan udara yang tinggi

yakni hingga 90% dan temperatur udara rata-rata tahunan berkisar antara 19 º Celcius

hingga 29 º Celcius. Suhu yang sejuk inilah membuat unggas mudah berkembang,

sehingga Jawa Timur memiliki produksi unggas yang termasuk besar di Indonesia.

Adanya faktor ini, penghasil unggas dan produk unggas, membuat penyebaran Flu

Burung di Jawa Timur sangat cepat.

Diduga flu burung di Jawa Timur masuk melalui migrasi unggas yang singgah

di Jawa Timur. Unggas-unggas yang bermigrasi ini berasal dari wilayah Indonesia

sendiri maupun unggas dari negara lain yang kebetulan melintasi wilayah Jawa Timur.

Unggas yang singgah ini kadangkala ada yang membawa virus Avian Influenza,

sehingga menjadi perantara masuknya flu burung di Jawa Timur. Beberapa jenis unggas

162 Vol. 1, No. 1, Hal 157-174, Mei 2018 yang menyebarkan flu burung antara lain adalah burung laut, kalkun, burung-burung

liar seperti pelikan, walet, itik dan sebangsanya. Masyarakat juga memiliki kebiasaan

melakukan kegiatan beternak hewan-hewan konsumsi.

Kegiatan beternak selain untuk konsumsi sehari-hari juga digunakan sebagai

salah satu penghasilan baik penghasilan utama maupun penghasilan tambahan. Kegiatan

beternak hewan sudah dimulai sejak awal masa prasejarah. Pada awalnya mereka

memenuhi kebutuhan akan daging konsumsi mengandalkan dengan perburuan. Namun

lambat laun mereka mempunyai inisiatif untuk mengembangbiakkan dengan

menangkap hewan buruan dari alam liar kemudian mengembangbiakkannya. Dengan

adanya hal tersebut kebutuhan akan daging konsumsi terpenuhi tanpa harus berburu di

alam liar. Masyarakat Jawa Timur juga melakukan kebiasaan serupa secara turun

temurun.

Hewan yang dibudidayakan masyarakat Jawa Timur untuk konsumsi dan

sumber pendapatan adalah unggas seperti ayam, bebek, burung puyuh, burung dara,

selain kambing, domba, sapi, kerbau dan babi. Dalam pembudidayaannya masyarakat

menyiapkan tempat tertentu diluar wilayah pemukiman. Hal tersebut dilakukan untuk

mengantisipasi limbah baik bekas pakan dan minum atau kotoran menggangu

lingkungan masyarakat. Namun kebanyakan untuk ternak dalam skala kecil masyarakat

Jawa Timur melakukannya disekitar rumah-rumah mereka sendiri. untuk hewan besar

seperti hewan ternak berkaki empat kandang diletakkan agak menjauh dari rumah

utama, tetapi masih tetap satu lingkup dengan tempat tinggal. Sedangkan untuk unggas

biasanya akan diletakkan di luar kandang dan dibiarkan terbuka di pekarangan baik

depan maupun belakang rumah.

Banyaknya budaya masyarakat yang melakukan ternak unggas di Jawa Timur

membuat Jawa Timur sebagai salah satu provinsi yang menghasilkan produk unggas.

Salah satu wilayah penghasil unggas terbesar adalah wilayah Blitar. Hingga tahun 2012

populasi unggas yang ada di wliayah seluruh wilayah Blitar kurang lebih 26.000.000

ekor, merupakan populasi unggas tertinggi di Jawa Timur. Selain memiliki populasi

unggas yang tinggi, Kabupaten Blitar juga sebagai penghasil produk unggas yakni

Telur. Hingga 2014, produksi telur di kabupaten Blitar mengalahkan produksi telur di

Provinsi Jawa Barat. Hal tersebut karena poplasi unggas yang ada di seluruh Jawa Barat

hanya setara dengan populasi unggas 1 kecamatan di wilayah Blitar.

163

Secara geografis memang Jawa Barat lebih mendukung dalam sektor

peternakan, namun jumlahnya masih kalah dengan wilayah Blitar. Banyaknya ternak di

wilayah Blitar dikarenakan banyak penduduknya bekerja pada sektor peternakan. Selain

digunakan untuk konsumsi dan komersial, unggas terutama burung banyak dipelihara

untuk kesenangan pemilik. Burung-burung tersebut dipelihara untuk hiburan yakni

suara merdu kicauannya. Burung kicau tersebut juga dilombakan dalam beberapa

periode. Selain burung juga ada ayam jantan atau jago yang diternak khusus untuk

sabung ayam yang masih banyak ditemukan di Jawa Timur.

Kebiasaan meletakkan unggas terutama ayam bebas di pekarangan rumah

masyarakat Jawa Timur sudah dilakukan sejak dahulu dan turun temurun. Hal tersebut

banyak ditemukan di wilayah desa desa yang masih banyak menjaga warisan generasi

terdahulu. Mereka beternak skala kecil dengan sekitar 10 hingga 20 ekor setiap

rumahnya. Namun dibalik keunggulan beternak unggas dalam lingkup rumah tangga ini

memiliki kelemahan yakni kotoran ayam yang tercecer di sekitar tempat tinggal

masyarakat. Unggas yang dibiarkan bebas tidak bisa diatur dalam mengeluarkan

kotoran. Kotoran unggas ini bisa menjadi sumber penyebaran bebrbagai penyakit dan

rawan untuk terkontaminasi dengan manusia jika tidak hati-hati. Lingkungan rumah

juga menjadi tercemar dengan kotoran unggas. Jika unggas yang diternak semakin

banyak maka kotoran yang dihasilkan juga akan banyak.

Dalam sejarahnya, Jawa Timur pernah menjadi pandemi penyakit flu. Namun

epidemi flu ini hanya flu yang menyerang manusia pada umumnya.Pandemi tersebut

terjadi tahun 1918. beberapa wilayah kota di Jawa Timur memiliki korban akibat flu di

atas rata-rata. Menurut Brown (1987:239) beberapa wilayah seperti Blitar,

Tulungagung dan Trenggalek pada tahun 1918 memiliki korban di atas rata-rata ,

kemudian pada endemi flu burung wilayah tersebut juga memiliki banyak korban akibat

Flu Burung. Korban yang didapat dari flu burung di wilayah tersebut baik berupa hewan

unggas maupun manusia yang terjangkiti.

Daerah rawan flu burung di Jawa Timur lainnya adalah wilayah Lamongan.

Kabupaten Lamongan merupakan salah satu Kabupaten yang berada di wilayah utara

Propinsi Jawa Timur dengan karakteristik daratan dibelah oleh Sungai Bengawan Solo.

Kabupaten Lamongan berbatasan langsung dengan Kabupaten Tuban, Bojonegoro,

Jombang, Mojokerto dan Gresik. Dilihat dari letak geografisnya Kabupaten Lamongan

164 Vol. 1, No. 1, Hal 157-174, Mei 2018 memegang peranan yang sangat penting dalam jalur lalu lintas perdagangan unggas

serta sebagai tempat budidaya usaha perungasan yang menyediakan sebagian besar

kebutuhan daging unggas di-pasar kota-kota di Jawa Timur (BPS Lamongan, 2010:3).

Kabupaten Lamongan juga merupakan wilayah penyangga Kota Surabaya.

Letaknya yang strategis sebagai penghubung jalur lalu lintas perdagangan unggas antar

Kabupaten, maka sangat dimungkinkan Kabupaten Lamongan juga mengalami wabah

penyakit hewan menular seperti flu burung. Selain jalur transportasi kendaraan darat,

jalur irigasi pertanian sungai Bengawan Solo merupakan sumber penularan yang bisa

membawa virus flu burung ini masuk ke wilayah Kabupaten Lamongan. Hal ini karena

masyarakat memilih untuk membuang bangkai ayam yang mati ke aliran sungai.

Membuang bangkai ayam tersebut akan mempercepat penyebaran virus ini. Bangkai

unggas yang hanyut di sepanjang aliran sungai kemudian akan menjadi sarana

persebaran, dan jika berhenti kemudian akan terjadi kontak dengan manusia dan unggas

(Susanto, 2013:12)

Perilaku masyarakat yang masih mempercayai mitos juga menjadi faktor

pendukung penyebaran flu burung. Ada suatu kepercayaan di masyarakat tradisonal,

temasuk masyarakat Mojokerto, bahwa kotoran bebek di kandang tidak boleh

dibersihkan. Kotoran bebek bisa mencegah bebek terkena penyakit, terutama pada

kakinya. Mereka akan membersihkan kotoran di kandang bebek tersebut jika bebek

sudah habis terjual. Hal tersebut belum ada penelitian mengenai kotoran unggas, tetapi

perilaku tersebut malah mempermudah penularan flu burung melalui kotoran unggas.

Penyebaran flu burung didukung juga dengan adanya distribusi produk unggas

yang telah terkontaminasi dengan flu burung. Sebagian kecil peternak memilih tidak

mengobatinya jika ayamnya yang sakit. Mereka memilih untuk menjual ayamnya

walaupun dengan harga murah atau disembelih daripada mati. Penjual tersebut

berprinsip jika sakitnya hanya ringan mereka akan menyembelihnya dan kemudian

memakannya. Diduga penyebaran ini karena unggas yang terlihat sehat disembelih

kemudian beredar di pasaran dan masyarakat.

Pada dasarnya unggas terlihat sehat sebetulnya bisa juga terinfeksi virus flu

burung. hal tersebut dikarenakan lamanya masa inkubasi virus flu burung di unggas

yang berkisar 3-5 hari. Virus tersebut sebenarnya bisa mati dengan dimasak pada suhu

tinggi. Produk unggas teridikasi flu burung yang dikonsumsi terdapat di beberapa

165 wilayah, seperti di Jember dan Mojokerto. Pada wilayah Jember, produk unggas

konsumsi tersebut ditemukan di pasar-pasar tradisional. Diduga daging unggas tersebut

berasal dari sebuah peterkanan ayam berada di Pakusari, Jember. Menurut pengakuan

peternakan tersebut. Mereka terlanjur menjual daging ayam potong dikarenakan mereka

belum tahu jika penyakit tersebut sangat berbahaya. Mereka mengira penyakit tersebut

hanya penyakit biasa seperti yang terjadi pada unggas sebelumnya (Surya, 2009:11).

2. Dampak Flu Burung Di Jawa Timur

Flu burung yang menyerang Jawa Timur memberikan dampak yang sangat banyak baik

kepada unggas maupun manusia. Rumah sakit Dr. Soetomo Surabaya merupakan salah

satu rujukan pasien Flu Burung. Dalam catatannya merawat hingga tiga belas orang

dengan dugaan tertular penyakit Flu Burung. Dari tiga belas korban tersebut, ada dua

korban yang berhasil diselamatkan oleh Rumah Sakit Dr. Soetomo. Korban yang

berhasil diselamatkan kembali pulih sediakala setelah diberikan perawatan kesehatan

beberapa waktu.

Korban meninggal salah satunya adalah korban yang berasal dari Desa Perning,

Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto. Korban yang berinisial WH berusia 39 tahun,

pada awalnya menderita demam tinggi. Dalam investigasi yang dilakukan oleh tim

penanganan Flu Burung, di sekitar rumah korban banyak ditemukan unggas yang mati

mendadak, termasuk ayam peliharan korban sebanyak 2 (dua) ekor mati mendadak

Korban sebelumnya telah dirawat secara intensif selama lima hari.

Korban lain yang positif terjangkit Flu Burung juga berasal dari Kabupaten

Mojokerto, namun berbeda desa dan kecamatan dengan sebelumnya. Korban berasal

dari Desa Mojotamping, Kecamatan Bangsal, Kabupaten Mojokerto. Pasien berinisial

NA berusia 20 tahun tesebut awalnya sudah 12 hari dirawat secara intensif di ruang

isolasi Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya. Diduga korban tertular dari desa tetangga

korban. Dalam desa tetangga korban tersebut ditemukan ribuan burung puyuh yang mati

mendadak.

Selain dari Kabupaten Mojokerto, ada salah satu korban meninggal akibat Flu

Burung berasal dari Tulungagung. Korban adalah seorang perempuan berusia dua puluh

satu (21) tahun didiagnosis mengalami Flu Burung. Korban memiliki gejala

demam,kehilangan kesadaran dan sulit bernafas. Di lingkungan rumah korban terdapat

166 Vol. 1, No. 1, Hal 157-174, Mei 2018 peternakan yang banyak unggas ternaknya mati mendadak. Kabupaten Tulungagung

juga merupakan salah satu sentra penghasil unggas yang memiliki potensi besar.

Letaknya yang berdekatan dengan Kabupaten Blitar juga menjadi perhatian tim

penanganan Flu Burung. Setelah adanya kematian korban dari Tulungagung, beberapa

orang tim ahli dikirim ke lokasi tempat tinggal korban untuk menyelidiki Flu burung

tersebut.

Flu burung memberikan dampak serius kehidupan ekonomi dan kehidupan

sehari-hari masyarakat. Masyarakat yang kehidupannya menggantungkan pada unggas

sangatlah terpukul dengan adanya Flu burung. Mereka mengaku mengalami kerugian

dalam jumlah besar karena unggas yang mati akibat flu burung adalah unggas yang siap

panen. Salah satu peternak menyebutkan bahwa mereka menghabiskan seluruh unggas

yang ada dikandang ternak mereka karena ketakutan akan menyebarnya Flu Burung.

Peternak lainnya mengungkapkan bahwa ia mengalami kerugian yang sangat besar.

Peternakannya memusnahkan seluruh unggasnya yang terkena Flu burung, kemudian ia

memutuskan untuk menutup selamanya usaha ternak yang telah dilakukan. Hal tersebut

disebabkan kekurangan modal untuk merintis kembali.(Wawancara dengan Dedi

Laksmana, Blitar, 23 Mei 2017)

Kabupaten Tulungagung juga terdapat kasus kematian unggas mendadak. Salah

satu tempatnya adalah di Desa Tenggur, Kecamatan Rejotangan, Kabupaten

Tulungagung. Pada tahun 2004, Supangat, salah satu peternak ayam di Tenggur yang

menjadi korban mengaku dalam dua bulan terakhir ini, tiga belas ribu ekor ayamnya

mati. Bahkan, dalam 15 hari terakhir, dari 2.500 ekor ayam, kini tinggal 50 ekor ayam.

Ayam-ayam tersebut mati karena terserang penyakit yang mirip Flu burung. Di

antaranya kaki berwarna merah, jengger kebiruan, serta pendarahan di dada atau

tembolok ayam. Gejala yang diderita oleh unggasnya mirip dengan kejadian matinya

ayam Arab di Kabupaten Kediri.

Penurunan produksi unggas di Jawa Timur juga dipengaruhi Flu burung. Banyak

unggas yang siap panen tiba-tiba mati mendadak dan dimusnahkan secara sukarela oleh

peternak karena ada gejala mengarah Flu burung. Peternak lebih memilih

memusnahkan unggas yang masih gejala Flu burung, namun beberapa peternak nekat

memotong dan menjual unggas mereka yang sakit mendadak. Mereka beralasan jika

dimasak akan hilang sendiri penyakit yang ada di daging unggas tersebut.

167 Para penyalur unggas untuk luar daerah Jawa Timur juga terkena pengaruh

dampak Flu burung. Mereka dilarang oleh otoritas daerah tujuan distribusi memasukkan

unggas. Selain unggas, juga terdapat larangan memasukkan pakan unggas dari Jawa

Timur. Hal tersebut karena pakan merupakan salah satu media penularan Flu burung.

Salah satu wilayah yang menerapkan larangan pemasukan unggas dari Jawa Timur

adalah Provinsi Sulawesi Tengah. Sebanyak delapan puluh persen bibit ayam yang

berada di Sulawesi Tengah berasal dari wilayah Jawa Timur. (Tempo,2004:2)

Hasil produksi unggas mengalami penurunan mulai tahun 2006 hingga 2009.

Hal tersebut terjadi ketika awal penyebaran Flu burung di Jawa Timur. Penurunan yang

sangat besar antara tahun 2007 hingga 2008 (Badan Pusat Statistik, 2008:270) Pada

tahun 2007 memang flu burung di Jawa Timur sedang marak-maraknya, bahkan ada

korban meninggal pada tahun tersebut. Banyak unggas yang dimusnahkan baik secara

sukarela maupun oleh instansi terkait. Guna mengatasi hal tersebut pemerintah Jawa

Timur melakukan penanganan seperti yang telah disebutkan di atas. Hasil dari

penanganan tersebut dapat terlihat dari tabel di atas. Pada tahun 2010 produksi daging

unggas telah meningkat kembali. Hal tersebut menjadi bukti bahwa upaya penanganan

flu burung yang dilakukan pemerintah dibantu seluruh lapisan masyarakat Provinsi

Jawa Timur berhasil mengurangi korban flu burung.

3. Penanganan Flu Burung oleh Pemerintah Jawa Timur

Pemerintah Jawa Timur melakukan penanganan terhadap wabah flu burung mengacu

pada penetapan flu burung sebagai kejadian luar biasa (KLB). Penetapan KLB flu

burung dilakukan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2005. Hal

tersebut ditetapkan karena adanya penyebaran flu burung yang menimbulkan korban

yang banyak serta adanya korban manusia. Korban flu burung di Indonesia merupakan

tertinggi di dunia. Korban tersebut meliputi manusia maupun matinya unggas.

Sebelumnya, pemerintah juga menetapkan bahwa Jawa Timur juga merupakan wilayah

endemis flu burung pada 24 Januari 2004. Hal tersebut dikarenakan banyaknya unggas

yang mati mendadak setelah terserang penyakit flu burung. Pemerintah Jawa Timur

kemudian pada tahun 2007 mengeluarkan peraturan yang menginstruksikan menangani

flu burung untuk mennghindari adanya korban dari manusia. Peraturan tersbebut

tertuang dalam Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 3 Tahun 2007 Tentang

168 Vol. 1, No. 1, Hal 157-174, Mei 2018 Penanganan Flu Burung Dalam Mengantisipasi Pandemi Influenza Pada Manusia Di

Jawa Timur.

Untuk menangani pasien yang telah terjangkiti dan diduga Flu Burung di Jawa

Timur, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur menetapkan rumah sakit rujukan untuk

penderita Flu Burung. Hal tersebut berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia No. 414/Menkes/SK/IV/2007 tentang Penetapan Rumah Sakit Rujukan

Penanganan Flu Burung (Avian influenza). Penetapan rumah sakit rujukan

memudahkan untuk menganani pasien penderita Flu Burung dan lebih mudah

melakukan pengawasan terhadap penyebaran flu burung pada manusia. Rumah sakit

yang dijadikan rujukan pasien flu burung di Jawa Timur pada awalanya merupakan

rumah sakit umum milik pemerintah daerah. Hal tersebut dilakukan karena membuat

rumah sakit baru tidak akan cepat menangani pasien Flu Burung, sehingga diputuskan

memakai rumah sakit yang sudah ada sebelumnya. Dari rumah sakit yang ada di Jawa

Timur ada delapan buah rumah sakit yang ditetapkan. Rumah sakit tersebut dilakukan

peningkatan sarana,prasarana dan sumberdaya manusia agar sesuai dengan penanganan

flu burung. Rumah sakit rujukan tersebut bukan hanya sebagai tempat penanganan

pasien flu burung, namun juga berfungsi sebagai pusat data dan penanggulangan flu

burung.

Dalam perkembangannya, pemerintah Provinsi Jawa Timur juga menyiapkan

rumah sakit lain yang akan dijadikan rumah sakit rujukan tambahan terkait meluasnya

Flu Burung. Rumah sakit rujukan yang dipersiapkan yaitu RSUD dr. Hariyono

Ponorogo, RSUD Gambiran Kediri, RSUD dr. Sosodoro Bojonegoro, RSUD dr. Moh.

Saleh Probolinggo dan RSUD Pamekasan. Selain rumah sakit rujukan, pemerintah juga

menyiagakan Puskesmas yang berada di wilayah hingga kecamatan untuk menerima

pasien Flu Burung (Lampiran Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 3, 2007:8)

Surabaya sebagai kota terbesar di Jawa Timur dan pintu masuk utama arus

barang keluar dan masuk. Hal tesebut membuat Surabaya rawan akan penyebaran dan

penularan Flu Burung. Walikota Surabaya saat itu, mengeluarkan peraturan walikota,

yakni Peraturan Walikota Surabaya Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pengendalian

Pemeliharaan Dan Peredaran Unggas. Peraturan ini mnegacu pada peraturan gubernur

yang sudah disahkan sebelumnya dan peraturan tentang pemotongan dan penampungan

unggas di Surabaya. Peraturan tersebut mengatur tentang pemeliharaan unggas di kota

169 Surabaya.

Penduduk Surabaya sendiri juga memiliki banyak peliharaan unggas di sekitar

pemukiman mereka. Hal tersebut membuat flu burung rawan menginfeksi ke manusia.

Untuk mengatasi hal tersebutlah pemerintah Kota Surabaya mengeluarkan peraturan

walikota tersebut. Dalam peraturan walikota tersebut, pemerintah kota Surabaya

sepenuhnya melarang pemeliharaan unggas untuk konsumsi. Masyarakat diharuskan

meniadakan unggas yang sudah terlanjur mereka pelihara secara sukarela. Peniadaan

tersebut bisa berupa menjual unggasnya, mengkonsumsi dengan diolah secara baik

ataupun memusnahkan unggasnya. Dalam peraturan tersebut, untuk pemotongan,

penampungan dan penjualan unggas harus mendapat izin dari dinas terkait, dalam hal

ini Dinas Perikanan, Kelautan, Peternakan, Pertanian, dan Kehutanan Kota Surabaya

(Peraturan Walikota Surabaya Nomor 11, 2007).

Peraturan tersebut tidak serta merta membatasi pemeliharaan unggas di

Surabaya, terutama para penghobi unggas. Dalam rangka memfasilitasi masyarakat

yang memiliki hobi terhadap unggas peliharaan, pemerintah Kota Surabaya tetap

menjamin para penghobi untuk memelihara unggasnya. Dalam peraturan tersebut

unggas hobi dapat dipelihara asalkan sesuai dengan peraturan yang diterbitkan. Menurut

peraturan walikota, para penghobi harus melakukan vaksinasi dan menempatkan unggas

peliharaannya terpisah dari rumah tempat tinggal. Vaksinasi dilakukan paling sedikit

tiga bulan sekali dan dapat dilakukan di dinas peternakan. Pembersihan kandang secara

berkala juga merupakan hal penting untuk menjaga unggas peliharaan terawat.

Pembersihan juga memperhatikan kebersihan sisa pakan dan air minum supaya tidak

mengundang unggas liar datang.

Wilayah Mojokerto merupakan salah satu wilayah yang terjangkit Flu Burung.

banyak unggas milik warga yang mati mendadak. Pemerintah Kota Mojokerto

mengeluarkan instruksi melalui walikotanya yakni, Instruksi Walikota Nomor 1 Tahun

2007. Dalam instruksinya akan dilakukan langkah antisipatif dengan penyemprotan dan

pemberian vaksin pada setiap hari Jumat bersamaan dengan program Pemberantasan

Sarang Nyamuk (PSN). Untuk merealisasi program tanggap darurat Flu Burung ini,

akan dibentuk tim terpadu yang terdiri atas Dinas Kesehatan, kecamatan, kelurahan dan

masyarakat. Mereka akan melakukan langkah penyemprotan dan pemberian vaksin

secara intensif sembari memeriksa setiap kondisi unggas-unggas milik warga Kota

170 Vol. 1, No. 1, Hal 157-174, Mei 2018 Mojokerto. Pemerintah kota Mojokerto tidak melarang warganya dalam memlihara

unggas baik untuk konsumsi maupun untuk hobi. Pemusnahan unggas secara massal

belum dilakukan karena pada tahun 2007 belum termasuk kategori darurat. Setelah

adanya korban jiwa di Mojokerto, pemerintah melalui Dinas Peternakan Kabupaten

Mojokerto menetapkan status endemis di wilayah Mojokerto.

Upaya instansi lain dalam membantu pencegahan dan pemberantasan flu burung

juga di lakukan di Jawa Timur. Salah satunya adalah Komite Nasional Pengendalian Flu

Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza (Komnas FBPI). Komnas

ini bekerja sama dengan pelabuhan Tanjung Perak Surabaya melakukan simulasi

penanggulangan. Pelabuhan Tanjung Perak merupakan pintu masuk lalu lintas barang

yang utama di Provinsi Jawa Timur. Wilayah Jawa Timur sejak dahulu menjadi tempat

yang strategis dalam berbagai hal terutama perdagangan. Sejak zaman dahulu sudah

banyak tempat pusat perdagangan yang ada di wilayah Jawa Timur (Hadinoto :2).

Simulasi ini bekerjasama dengan TNI Angkatan Laut, Universitas Airlangga,

RSAL dr Ramelan, Kantor Kesehatan Pelabuhan, Departemen Kesehatan, ASDP,

KPPP, Imigrasi, Ditjen Bea Cukai, PELNI, KPLP. Direktorat Jendral Bea dan Cukai

berperan dalam melakukan kontrol terhadap unggas yang masuk serta olahan-olahan

produk unggas yang berasal dari luar negeri. Maraknya makanan produk unggas impor

dari luar negeri juga menjadi fokus dalam menenggulangi flu burung. Dengan adanya

simulasi dan bekerja sama dengan Bea Cukai dan pelabuhan bisa melakukan karantina

jika ada unggas yang masuk pelabuhan Tanjung Perak jika ditemukan adanya indikasi

flu burung.

4. Penanganan Flu Burung Oleh Masyarakat

Peternak unggas di beberapa wilayah, seperti Blitar, memiliki inisiatif sendiri dalam

memberantas dan mencegah flu burung. Mereka membentuk kelompok diskusi peternak

unggas sendiri untuk berdiskusi mengenani perunggasan terutama penyakit yang ada

pada unggas. Kelompok tersebut memang tidak resmi dibina oleh dinas peternakan,

namun terbukti efektif dalam berbagi ilmu mengenai unggas. Selain membentuk

kelompok peternak, mereka juga berperan aktif mencari vaksin yang digunakan untuk

kekebalan unggas terhadap penyakit flu burung. Mereka mencari hingga ke luar kota

dan mencari informasi cara penanganan flu burung. Salah satu vaksin yang didapat

171 berasal dari wilayah Madiun. Seperti yang diketahui, memang wilayah Madiun tidak

terdapat adanya penyebaran flu burung (Wawancara dengan Dedi Laksmana Biltar 23

Mei 2017)

Selain vaksin buatan pabrik, para peternak juga membuat obat tradisional untuk

menghambat penyebaran flu burung pada unggas ternak mereka. Obat tradisional

tersebut juga berfungsi sebagai penambah kekebalan unggas terhadap flu burung. para

peternak menggunakan ramuan tradisional guna mensiasati mahalnya vaksin dan

antibiotik buatan pabrik serta belum adanya obat yang benar-benar bisa menyembuhkan

unggas dari flu burung. Selain vaksin buatan pabrik, para peternak juga membuat obat

tradisional untuk menghambat penyebaran flu burung pada unggas ternak mereka.

Obat tradisional tersebut juga berfungsi sebagai penambah kekebalan unggas

terhadap flu burung. para peternak menggunakan ramuan tradisional guna mensiasati

mahalnya vaksin dan antibiotik buatan pabrik serta belum adanya obat yang benar-benar

bisa menyembuhkan unggas dari flu burung. Warga Mojokerto, pasca penetapan

endemis flu burung masyarakat sudah sadar dan mengerti penanganan unggas yang

terkena flu burung. Satu kesadaran masyarakat terdapat di Kecamatan Sooko. Di Desa

Jampirogo banyak warga yang mengetahui cara mengantisipasi penyebaran virus flu

burung, misalnya dengan cara membersihkan kandang secara rutin.

Adanya kecemasan akan flu burung membuat masyarakat menjauhi sementara

berbagai produk unggas yang beredar di pasaran. Mereka takut akan adanya produk

unggas yang terkontaminasi flu burung beredar dan mereka konsumsi. Pada dasarnya,

seperti yang dijelaskan di bab sebelumnya, virus flu burung ini bisa mati jika produk

unggas tersebut direbus pada suhu di atas 60º Celcius, namun masyarakat lebih memilih

aman untuk tidak mengkonsumsi sementa produk unggas di Jawa Timur. Mereka

mengganti kebutuhan akan protein hewani dengan bahan makanan lain untuk sementara

waktu demi menghindari tertularnya penyakit flu burung. Beberapa masyarakat yang

mengerti akan pencegahan flu burung tetap mengkonsumsi unggas. Mereka memasak

produk unggas tersebut sesuai dengan ketentuan dan memilih produk unggas yang

masih terlihat segar di pasar. Mereka juga mensiasati dengan menyembelih sendiri

unggas hidup yang mereka beli, sehingga mereka menjadi lebih puas akan kebersihan

unggas yang akan mereka makan.

172 Vol. 1, No. 1, Hal 157-174, Mei 2018 KESIMPULAN

Flu Burung merupakan sebuah penyakit yang baru dikenal di Jawa Timur maupun

Indonesia. Virus ini pada awalnya tersebar dari wilayah Eropa daratan, kemudian

menyebar ke wilayah lain melalui migrasi tahunan unggas. Flu Burung masuk ke

Indonesia pertama kali pada 2003. Jawa Timur dengan populasi unggas terbesar di

Indonesia menjadi daerah yang ditetapkan pandemi flu burung. Penularan penyakit

tersebut juga terjadi pada manusia. Korban jiwa virus flu burung di Jawa Timur

diakibatkan adanya kontak dengan unggas yang mati terkena flu burung. Selain kotak

dengan unggas, tata cara penanganan unggas mati juga menjadi salah satu penyebab

penularan ke manusia. Beberapa masyarakat masih membuang begitu saja unggas yang

mati.

Angka kematian unggas yang besar, mencapai 90%, membuat resah masyarakat.

Unggas yang mati terkena flu burung biasanya terjadi secara mendadak dan jumlah

yang besar. Hal tersebut karena unggas tersebut juga dipelihara secara luas di

masyarakat dalam skala kecil untuk konsumsi pribadi. Timbulnya korban manusia juga

menjadi keresahan masyarakat. Korban jiwa virus flu burung di Jawa Timur diakibatkan

adanya kontak dengan unggas yang mati terkena flu burung. Selain kotak dengan

unggas, tata cara penanganan unggas mati juga menjadi salah satu penyebab penularan

ke manusia. Selain adanya kepanikan dari manusia, juga menimbulkan keresahan dari

segi ekonomi. Banyaknya kerugian materiil disebabkan mati mendadaknya ayam yang

siap panen di peternakan ayam. Hal tersebut membuat perekonomian terganggu karena

besarnya potensi ekonomi dari perunggasan di Jawa Timur.

Keresahan yang terjadi di masyarakat tidak serta merta dibiarkan oleh

pemerintah Provinsi Jawa Timur. Instansi terkait seperti dinas peternakan dan dinas

kesehatan Provinsi Jawa Timur bergerak cepat dalam mengatasi penyebaran dan

mencegah flu burung. Selain adanya perintah dari pusat, hal tersebut dilakukan untuk

mengurangi keresahan masyarakat akibat dampak flu burung. Dinas terkait melakukan

langkah-langkah strategis dalam mengatasi flu burung, antara lain adalah pemberian

vaksin kepada unggas, pembersihan kandang-kandang unggas yang menjadi daerah

endemis di Jawa Timur, edukasi kepada peternak dan masyarakat tentang flu burung.

Langkah yang dilakukan terhadap unggas-unggas juga dibarengi dengan fasilitas

kesehatan untuk manusia yang tertular flu burung. Dinas kesehatan Jawa Timur

173 menyiapkan rumah sakit untuk rujukan pasien flu burung. Dari penanganan yang

dilakukan seluruh komponen masyarakat Jawa Timur, mendapatkan hasil meredanya

kasus Flu Burung di Jawa Timur. Kasus flu burung di Jawa Timur berkurang secara

signifikan pada tahun 2012. Diharapkan provinsi Jawa Timur bebas dari flu burung

sepenuhnya.

DAFTAR PUSTAKA

“Flu Babi + Flu Burung RI = Maut” dalam Koran Surya, 29 April 2009.

Alexander, D.J dan I.H Brown. History of Highly Pathogenic Avian Influenza 2009.

BPS. 2007. Jawa Timur Dalam Angka 2007. Surabaya: Badan Pusat Statistik Jawa

Timur, 2007

BPS. 2010. Lamongan Dalam Angka 2010. Lamongan: Badan Pusat Statistik

Lamongan,.

Budiardjo, M. 2002. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia.

Depkominfo. 2008. Flu Burung, Ancaman dan Pencegahan. Jakarta: Departemen

Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia.

Handinoto. 2007. “Surabaya Kota Pelabuhan (‘Surabaya Port City’)” dalam Dimensi

Teknik Arsitektur, Vol. 35, No. 1, Juli.

Kartodirdjo, S. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta:

Gramedia.

Keputusan Dirjen No. 451/91, tentang Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan

Kejadian Luar Biasa.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 414/Menkes/SK/IV/2007

Tentang penetapan Rumah Sakit Rujukan Penanganan Flu Burung (Avian

Influenza).

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1372/MENKES/SK/IX/2005

tertanggal 19 September 2005 tentang Penetapan Kejadia Luar Biasa (KLB) Flu

Burung (Avian Influenza).

Kuntowijoyo. 2005. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Owen, N.G. 1987. Death and Disease in Southeast Asia: Explorations in Social,

Medical and Demographic History. Inggris: Oxford University Press.

Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Penanganan Flu Burung

174 Vol. 1, No. 1, Hal 157-174, Mei 2018

Dalam Mengantisipasi Pandemi Influenza Pada Manusia Di Jawa Timur.

Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2006 tentang Komite Nasional Pengendalian Flu

Burung (Avian Influenza) dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza.

Peraturan Walikota Surabaya Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pengendalian

Pemeliharaan Dan Peredaran Unggas.

Wawancara Dedi Laksmana, Blitar, 23 Mei 2017

175

JURNAL SEJARAH INDONESIA

Vol. 1, No. 1, Hal 175-189, Mei 2018

ISSN : 2621-1580

ADAPTASI DAN PERUBAHAN NASIONALISME DI INDONESIA

Sri Ana Handayani

Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember Pos-el: [email protected]

ABSTRACT Nationalism has been a hot topic in Indonesia, in relation to events in the country concerning ethnical, religious and group issues. For this reason, a study on Indonesian nationalism from a historical perspective is important. This article empoyed a historical method consisting of four major stages, heuristics, criticism, interpretation, and historiography. The approach used here is semiotics that analyzes word usage. The conclusion of this study is that the Indonetian nationalism during the colonial era had an anti-colonial nature. The nationalism that grew during the Old Order was an unfinished revolutionary nationalism which eventually led to national and regional turmoils in the country. Nationalism of the New Order era related to the stability of state and nation security with xenophobic attitude, more towards state-oriented nationalism rather than nation-oriented one. During the era of reform, nationalism tends to be associated with the economic needs, namely the creative economy. Thus, nationalism in Indonesia has experienced adaptation and change in meaning over time, from the symbol of resistance to a symbol of creative middle class growth. Keywords: nationalism, xenophobia, state-oriented, nation-oriented

ABSTRAK Nasionalisme menjadi perbincangan yang hangat di Indonesia, sehubungan dengan berbagai kejadian di tanah air yang berkaitan dengan isu-isu suku, ras, dan golongan. Untuk alasan ini kajian tentang nasionalisme dari perspektif historis sangat penting. Kajian ini menggunakan metode sejarah dengan empat tahapan pokok, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Pendekatan yang digunakan adalah semiotika yang menganalisis penggunaan kata. Kesimpulan yang didapat dari kajian ini adalah nasionalisme yang tumbuh masa pergerakan merupakan nasionalisme anti penjajah. Nasionalisme yang berkembang masa Orde Lama adalah nasionalisme revolusi belum selesai yang pada akhirnya menimbulkan gejolak kebangsaan dan kedaerahan di Indonesia. Nasionalisme Orde Baru berkaitan dengan stabilitas keamanan negara dan bangsa dengan sikap xenophobia, lebih kearah state oriented dibandingkan dengan nation oriented. Pada Era Refomasi, nasionalisme cenderung dikaitkan dengan kebutuhan ekonomi, yaitu ekonomi kreatif. Dengan demikian, nasionalisme di Indonesia mengalami adaptasi dan perubahan makna dari waktu ke waktu, dari simbol perlawanan menjadi simbol pertumbuhan kelas menengah yang kreatif. Kata kunci: nasionalisme, xenophobia, berorientasi negara, berorientasi bangsa

176 Vol. 1, No. 1, Hal 175-189, Mei 2018

PENDAHULUAN

Sebagai negara kebangsaan, Indonesia mempunyai berbagai konsep yang berasal dari

Barat. Istilah nasionalisme sendiri menjadi menarik untuk dikaji lebih jauh karena

memiliki akar yang panjang dalam perkembangan sejarah bernegara dan berbangsa bagi

masyarakat Indonesia. Bagi bangsa Indonesia sendiri konsep nasionalisme baru

dipelajari sekitar awal abad ke-20 oleh para tokoh pergerakan nasional.

Konsep-konsep Barat banyak digunakan di Indonesia, kemudian diadaptasikan

dengan dengan pemahaman lokal, di satu sisi ada konsep yang berhasil diadaptasikan

dan diterima, di sisi lain ada konsep yang diadaptasikan tetapi tidak dapat diterima,

bahkan ada juga konsep Barat yang pada akhirnya justru dianggap sebagai hal yang

ditabukan untuk dibicarakan di ranah politik juga diranah sosial. Lombard mengatakan

bahwa istilah nasionalisme merupakan salah konsep Barat yang dapat diterima dalam

arti yang tepat oleh masyarakat Indonesia (Lombard, 2005:167).

Nasionalisme di Indonesia menarik untuk dikaji secara historis, karena dalam

perjalan waktu, istilah nasionalisme ini mengalami masa pasang surut dalam pengertian

politik maupun sosial. Pemetaan pemahaman nasionalisme di wilayah Indonesia

memerlukan keinginan politik dan sosial, karena hal ini akan menggambarkan seberapa

besar hasrat bangsa Indonesia untuk memahami konsep nasionalisme ditengah

gempuran berita-berita yang mengglobal.

Bangsa Eropa memahami arti nainalisme melalui proses yang panjang, diawali

dengan kebangkitan pemikiran masa renaisan sampai dengan masa pencerahan. Dalam

proses pencerahan terjadi perubahan pemikiran yang melahirkan berbagai revolusi

sosial, seperti yang terjadi di Perancis, dan Italia. Revolusi Perancis dipelopori dan

dipimpin oleh kaum nasionalis (Adisusilo, 2013:114). Kaum nasionalis menggulingkan

kekuasaan monarki dengan memobilisasi masa dan menggunakan prinsip egalite

(persamaan derajat), liberte (kebebasan), dan fertinite (persaudaraan) . Ketiga slogan ini

menumbuhkan kesadaran masyarakat bahwa mereka bersama-sama mempunyai hak

yang sama atas negara serta mempunyai tanggung jawab yang sama pula

(Adisusilo,2013:114).

177 Latar belakang pertumbuhan pemahaman nasionalisme di Indonesia berbeda

dengan negara-negara di Eropa, walaupun konsepnya sama akan tetapi nuansa

nasionalisme dibalut dengan anti kolonialisme. Hal ini berkaitan dengan perkenalan

konsep nasionalisme dalam era penjajahan Hindia Belanda. Dewasa ini penjajahan

asing tidaklah kentara secara nyata, akan tetapi merasuki seluruh kehidupan rakyat, baik

dalam hal ideologi, sosial budaya, maupun ekonomi. Retorika nasionalisme sudah

diganti oleh para politisi, pembisnis, dan bahkan cendekia dalam konteks yang berbeda

dengan konsep nasionalisme awal kemerdekaan. Nasionalisme menjadi perbincangan

hangat di antara mereka, bahkan nasionalisme diperbincangan lebih kepada state

oriented daripada nation oriented. Dalam situasi inilah nasionalisme Indonesia menjadi

topik yang memikat untuk diperbincangkan.

Tulisan ini merupakan kajian sejarah. Dengan demikian, metode penelitian yang

digunakan adalah metode sejarah. Metode sejarah mempunyai empat tahapan kerja,

yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi (Gottschalk,1987:3).Heuristik

merupakan tahapan pengumpulan sumber yang sesuai dengan tema. Sumber primer

diperoleh dari dokumen, koran sejaman yaitu Kompas, serta tulisan dari orang yang

mengalami langsung kejadian. Sumber sekunder berupa referensi kajian-kajian yang

berkaitan dengan nasionalisme. Sumber primer dan sekunder didapatkan dari

perpustakaan pribadi, ruang baca Jurusan Sejarah, dan ruang baca Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Jember. Tahapan kritik merupakan tahapan untuk menentukan orisinalitas

dan otentitas dari sumber yang didapatkan oleh peneliti. Interpretasi merupakan analisis

dari berbagai peristiwa berdasarkan sumber. Historiografi merupakan gambaran atau

penuangan peristiwa dalam bentuk cerita.

Pendekatan yang digunakan untuk mengkaji nasionalisme ini adalah pendekatan

semiotika. Semiotika berarti menggambarkan dengan tanda, di mana dalam bahasa pun

ada sebuah makna.Nasionalisme merupakan konsep yang abstrak, akan tetapi

mempunyai makna tersendiri bagi orang-orang yang mengkajinya. Teori yang

digunakan dalam kajian ini adalah teori semiotika dari Marcel Danesi yang mengatakan

bahwa simbol mempunyai arti yang penting untuk merepresentasikan keseluruhan

situasi. Pengetahuan untuk merepresentasikan situasi fisik dalam kehidupan secara

simbolis adalah pencapaian benak manusia yang benar-benar luar biasa (Danesi,

2004:130).

178 Vol. 1, No. 1, Hal 175-189, Mei 2018

PEMBAHASAN

1. Nasionalisme Era Pergerakan Nasional

Masa pergerakan nasional merupakan masa yang sangat krusial bagi masyarakat

bumiputera, karena pada masa inilah bibit pemahaman berbangsa dan bernegara belum

begitu banyak dipahami. Bumiputera sebagai warga yang terjajah hanya mempunyai

prinsip bagaimana dapat bertahan hidup di negerinya sendiri. Kesenjangan budaya

antara masyarakat yang menjajah dengan terjajah mengakibatkan perbedaan pandangan

dalam memahami bernegara. Bernegara bagi bumiputera tidak terlepas dengan sistem

kekuasaan feodalis yang memandang kekuasaan sebagai sesuatu yang abstrak dan sarat

dengan mitos, sementara pemerintah Hindia Belanda yang menjadi kolonialis

mengunakan sistem bernegara barat yang bersifat kongkrit (Anderson,1986).

Realitanya, sistem pemerintahan Hindia Belanda di wilayah jajahannya

menerapkan sistem pemerintahan yang bersifat dualisme. Disatu sisi pemerintah Hindia

Belanda menerapkan sistem birokrasi modern baik dalam sistem politik, ekonomi,

maupun kehidupan sosial, hal ini berkaitan dengan kepentingan kehidupan orang-orang

kulit putih yang berada di Hindia Belanda. Di sisi lain, pemerintah Hindia Belanda tetap

menerapkan sistem pemerintahan tradisional untuk untu keberlangsungan kekuasaan

dan kepentingan masyarakat bumiputera. Dalam perkembangannya selanjutnya,

pemerintahan Hindia Belanda menerapkan sistem pemerintahan modern yang berbeda

dengan negeri induknya.

Politik pemerintahan Hindia Belanda berubah sekitar tahun 1870-an, karena ada

desakan dari para wirausahawan negeri Belanda yang menginginkan adanya pihak

swasta dalam mengelola kekayaan Hindia Belanda. Dengan kedatangan para usahawan

swasta ke Hindia Belanda untuk mengelola tanah dan kekayaan lain yang potensial,

maka pemerintah Hindia Belanda mulai melonggarkan aturan-aturan yang ketat, yang

berkaitan dengan sistem ekonomi tanam paksa. Ada perubahan dalam memaknai

kebebasan atau liberalis, walaupun masih terbatas di bidang kewirausahaan. Kebebasan

berusaha yang didominasi oleh orang kulit putih dan tetap yang memegang kendali

kegiatan tanaman ekspor, sementara bumiputera tetap dalam posisi yang tidak

menguntungkan. Memang ada perubahan, terutama buruh perkebunan, mereka tidak

179 lagi sebagai buruh yang wajib kerja tanpa bayaran, tetapi menjadi buruh yang menerima

upah. Sementara elite politik bumiputera belum banyak berubah dari pemikiran yang

bersifat feodalis tradisional.

Baru pada awal abad ke-20, kondisi bumiputera menjadi perhatian para politikus

Belanda yang beraliran humanis, Sejalan dengan desakan yang kuat dari golongan ini,

maka pemerintahan Hindia Belanda menerapkan kebijakan politik Etik atau politik

Balas Budi .

Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan program politik etis atau balas budi.

Program yang berkaitan dengan irigasi, edukasi, dan imigrasi merupakan program untuk

meningkatkan taraf hidup bumiputera. Dari ketiga program yang dijalankan oleh

pemerintah Hindia Belanda, program pendidikan yang berjalan dengan cepat dan dapat

diterima oleh masyarakat bumiputera. Sentuh budaya cara berpikir orang Barat dengan

pendidikan bumiputera, membuka cakrawala baru tentang dunia yang mengglobal pada

waktu itu. Banyak hal-hal baru yang dapat dipelajari melalui pendidikan, masyarakat

yang sudah mengenyam pendidikan dapat mempelajari buku-buku yang sudah dicetak

dalam huruf latin dan menggunakan bahasa yang sekarang dapat dipahami. Cakrawala

baru inilah yang menentukan perubahan berpikir segelintir masyarakat bumiputera

untuk memahami arti kemerdekaan sebagai suatu bangsa.

Pendidikan modern telah melahirkan homines novi (orang baru), kaum ini berhasil

menaikkan status sosial dan prestise sosialnya. Golongan inilah yang memegang

peralihan penting dalam masa pergerakan nasional di Indonesia (Kartodirdjo, 1969:55).

Bumiputera yang telah mengenyam pendidikan dan masuk ke dalam golongan terpelajar

secara perlahan mulai mengenal bahasa di luar bahasa daerahnya terutama bahasa asing

Eropa (Belanda, Inggris, Spanyol, Portugis, dan sebagainya). Cukup menarik untuk

dikaji mengenai kosa kata dan konsep nation dan nationalism. Bahasan tentang bangsa

(nation) inilah yang pada akhirnya dapat mengerahkan masyarakat dan menghimpun

legitimasi bagi sebuah perjuangan kemerdekaan dengan mengatas namakan kepentingan

rakyat dalam pengertian bukan kepentingan pelajar yang terpelajar, tetapi bagi

kepentingan seluruh bumiputera, baik yang terpelajar maupun yang belum terpelajar.

Kosa kata seperti nasionalisme, Indonesia, merdeka, dan sebagainya pada awalnya

lebih banyak diserap dan digunakan oleh bumiputera (berasal dari berbagai daerah

Hindia Belanda) yang belajar di negeri Belanda. Para pelajar yang berada di Belanda

180 Vol. 1, No. 1, Hal 175-189, Mei 2018 mendirikan perkumpulan pelajar dengan nama Indische Vereniging (Perhimpunan

Hindia) pada tahun 1908 (Nagazumi,1986:136). Sementara di Hindia Belanda, baru

segelintir orang yang mengenyam pendidikan modern yang sadar akan kedudukannya

sebagai bangsa yang dijajah. Untuk itu sebagian orang inilah yang mulai memikirkan

kosa kata yang mengenakan untuk perjuangannya di kelak kemudian hari, salah satunya

adalah Soekarno.

Bahasa daerah yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari tidak memungkinkan

adanya satu pemikiran akan suatu konsep baru dari Barat, dan hal ini yang cukup

menyulitkan bagi perkembangan pemahaman baru yang abstrak dalam perbedaan

bahasa bumiputera. Momentum yang sangat berharga adalah pada saat para pemuda

menyatakan kebersamaan dalam forum pertemuan organisasi pemuda yang

mengeluarkan sumpah kebersamaan dalam perjuangan, yaitu Sumpah Pemuda.

Momentum kebersamaan inilah yang pada dasarnya mempermudah membumikan kosa

kata Barat, salah satunya tentang kosa kata nasionalisme. Nasionalisme ini dipahami

sebagai cinta tanah air dan terbebas dari kekusaan asing (Lombard, 2005:136).

Nasionalisme yang lahir masa pergerakkan nasional ini melahirkan arti untuk

berbangsa dan bernegara yang merdeka dari kekuasaan Hindia Belanda. Dengan

demikian lahir berbagai pergerakkan berdasarkan agama, ideologi, golongan, dan

sebagainya yang pada intinya ingin melepaskan diri dari belenggu penjajahan Hindia

Belanda. Keberhasilan bangsa Indonesia membentuk negara kebangsaan melalui tokoh

proklamator Soekarno-Hatta dengan cara menyatakan diri sebagai bangsa yang

merdeka, pada tanggal 17 Agustus 1945. Nasionalisme kemerdekaan terbentuk seperti

yang dipahami dalam konteks positivis, yaitu perasaan yang sangat mendalam dan

kesetiaan individu hanya untuk Negara kebangsaan, nasionalisme ini merujuk kepada

pengertian keyakinan sekelompok orang mengenai bangsa (Kohn,1979).

2. Nasionalisme Era Orde Lama

Bangsa Indonesia memasuki babakan baru dalam kehidupan bernegara dan berbangsa

pada masa revolusi fisik. Pada masa revolusi fisik, berbagai rintangan datang, baik dari

pihak bangsa asing maupun bangsa Indonesia sendiri. Indonesia yang baru merdeka

berusaha untuk berdiri dan mempertahankan keinginan untuk tidak dikuasai oleh bangsa

asing. Jargon-jargon politik mulai tumbuh untuk mengubah mentalitas bangsa Indonesia

181 agar bertahan dalam berbagai kesulitan. Revolusi mulai didengungkan, dan diapahami

rakyat sebagai perlawanan terhadap penjajahan asing. Revolusi dan nasionalisme saling

bergema untuk mengobarkan semangat mempertahankan dan meraih kembali kebebasan

bernegara oleh bangsa sendiri. Pada akhirnya tahun 1950-an, Indonesia berhasil keluar

dari kemelut perjuangan bangsa dengan bangsa asing di satu sisi, dan berhasil

menyatakan bangsa dalam pilar besar dengan jargon revolusi.

Dalam perjalanan waktu, terjadi perpecahan politik antara Soekarno-Hatta, karena

adanya perbedaan pandangan dalam membangun bangsa. Hatta yang lebih tenang

menginginkan pendidikan politik bagi masyarakat secara bertahap, dan membangun

ekonomi rakyat melalui pinjaman yang terbatas. Di Sisi Lain, Soekarno menggunakan

slogan revolusi belum selesai, jadi pada intinya nasionalisme tetap memerangi

kolonialisme, leberalisme, dan imperialisme. Tanggal 1 Desember 1956 Hatta

mengundurkan diri sebagai wakil presiden, karena pandangan membangun bangsa di

antara keduanya semakin berbeda, bahkan Hatta merasa bahwa Seokarno sudah

menjurus kearah penguasaan tunggal (Noor, 2012:148-149).

Bangsa Indonesia yang masih terbuai dengan pemerintahan sendiri, pada awal

orde lama lebih memahami revolusi belum selesai, sehingga yang ada di dalam

benaknya adalah melenyapkan kolonialisme dan imperialism asing dalam hal ini

Amerika dan Eropa. Kebijakan pemerintah lebih kepada kebijakan politik memusuhi

dua kekuatan asing ini. Bahkan pada masa pemerintahan orde lama akhir apa yang

dinamakan NASAKOM (Nasional, Agama, dan Komunis), tiga pilar kekuatan yang

dapat menyatukan bangsa dan menanggkal pengaruh impreialisme Barat. Bahkan,

pendapat Seokarno tentang revolusi belum selesai menyeret Indonesia ke dalam kancah

peperangan dengan Malaysia yang dianggap sebagai bagian dari imperialisme Inggris.

Pasang surut kekuasaan orde lama membawa bangsa Indonesia ke dalam

kemiskinan, karena slogan revolusi belum selesai yang dibangun adalah politik idologi,

yang mengarah kepada demokrasi terpimpin. Demokrasi Barat yang dipadukan dengan

feodalime timur. Beragam pendapat tentang konsep demokrasi terpimpin tidak

menyelesaikan permasalahan mendasar lainnya, yaitu kehidupan ekonomi bangsa.

Aspek ekonomi terpinggirkan dalam perjalanan amanah Undang-Undang Dasar 1945.

Aspek ekonomi melalui revolusi Banteng, berdiri di atas kaki sendiri, dan mengurangi

peran orang China yang terkenal dengan istilah Ali-Baba tidak terleasisasi. Bahkan,

182 Vol. 1, No. 1, Hal 175-189, Mei 2018 bangsa Indonesia terjerat dalam inflasi yang sangat tinggi. Kondisi ekonomi dan politik

yang tidak kondusif, mengakibatkan pemberontakan dan demonstrasi besar-besaran dari

anak bangsa, terutama dari golongan mahasiswa.

Konsep nasonalisme yang dikaitkan dengan revolusi belum selesai mengalami

pergeseran makna. Hal ini dikarena kondisi ekonomi dan politik dalam negeri tidak

terkontrol secara seimbang. Tantangan semakin besar, karena bukan masalah

imperialisme dan kolonialisme semata, tetapi juga masalah ideologi lain yaitu

komunisme yang dianggap juga merongrong kewibawaan pemerintah. Kondisi ekonomi

yang semakin buruk dan pertentangan ideologi semakin komplek, menyeret bangsa

Indonesa dalam tragedi yang dikenal sebagai tragedi gerakan 30 September tahun 1965.

Tragedi inilah yang mengakhiri kekuasaan dan kekuatan orde lama, dan melahirkan

pemerintah yang baru yang di kemudian hari dikenal sebagai Orde Baru.

3. Nasionalisme Era Orde Baru

Orde Baru dibangun di atas luka bangsa karena adanya pertentangan ideologi yang

hampir memporakporandakan bangsa. Pertentangan ideologi yang keras, pada akhirnya

melumpuhkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk mengatasi permasalahan

bangsa yang kompleks, maka orde baru berusaha untuk merajut persatuan bangsa. Salah

satu dari kebijakannya adalah tidak memperbolehkan ideologi komunis berkembang di

Indonesia.

Pemerintah orde baru berusaha untuk memperbaki dan menegakkan kembali

kewibawaan negara dan bangsa melalui pembangunan yang dikenal dengan

modernisasi. Konsep revolusi belum selesai diubah dengan konsep pembangunan.

Pembangunan ini bertahap yang dikenal dengan Pembangunan Lima Tahun (Pelita),

dari masyaragat agraris menuju masyarakat industri. Pembangunan menjadi gaung yang

sangat intens dalam mengubah masyarakat Indonesia menuju masyarakat yang modern.

Pembangunan sebuah bangsa berkaitan dengan nasionalisme dan ketahanan

negara sebagai negara bangsa (nation state), yang memiliki kedaulatan atas atas wilayah

yang menjadi miliknya (Tirtosudarmo, 2011:22). Untuk membangun bangsa, maka

pemerintah Orde Baru mempunyai kebijakan yang bersifat sentralistik, karena ada

faktor yang melatarbelakanginya, antara lain:

183 1. Adanya kekhawatiran terhadap persatuan nasional dan munculnya kekuatan yang

memecah persatuan.

2. Sentralisasi diperlukan dalam rangka memelihara keseimbangan politik dan

keamanan dalam pembagian sumber daya, khususnya antara Jawa yan dihuni oleh

sebagian besar rakyat Indonesia dan luar Jawa yang memiliki sebagian besar sumber

Ekonomi.

3. Pengalaman politik yang dialami Indonesia sekitar tahun 1965, sehingga pemerintah

ingin tetap memegang kendali kebijaksanaan ekonomi.

Pemerintahan Orde Baru menggulirkan ideologi pembangunan atau

developmentalism melalui pelaksanaan berbagai program modernisasi dan

industrialisasi (Manam dan Thung Ju Lan, 2011:11). Bersamaan dengan penerapan

program pembangunan, persoalan nasionalisme tetap menjadi milik elite yang

cenderung dikaitkan dengan ketahanan negara. Secara ekonomi, bangsa Indonsia

mengalami perbaikan dibandingkan masa Orde Lama. Akan tetapi, keberhasilan

ekonomi tidak diimbangi dengan kebebasan berpendapat.

Pemerintah Orde baru membuat berbagai kebijakan baik dibidang politik, sosial,

maupun ekonomi cenderung dimaknai sepihak oleh pemerintah.dalam rangka

memperkokoh integrasi kekuasaan elite penguasa yang justru memperkokoh semua

unsur otoriter Orde Baru daripada suatu integrasi nasional. Stabilitas politik cenderung

mengarah kepada stabilitas kekuasaan tanpa memikirkan stabilitas pemerintahan,

sementara pertumbuhan ekonomi hanya dapat dinikmati oleh penguasa, segelintir elite

birokrat, serta para pengusaha yang dekat dengan kekuasaan (Haris, 2011:11).

Kebijakan yang diterapkan secara sentralistik di bidang ekonomi dan politik di

seluruh Indonesia dengan pendekatan modern, telah melumpuhkan berbagai kearifan

lokal yang dapat menunjang pembangunan itu sendiri. Di samping itu, kebijakan yang

seragam ditunjang dengan pendekatan keamanan yang represif, menindas, dan

menafikan aspirasi masyarakat untuk terlibat dalam proses politik hampir tidak ada.

Pemerintah Orde Baru menerapkan strategi ganda disatu sisi kooporatisme negara, di

sisi lain depolitisasi massa.

Pembangunan ekonomi dengan tujuan kesejahteraan masyarakat belum tercapai

seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945, karena kebijakan ekonomi

yang mengolah kekayaan sumber daya alam daerah belum diimbangi dengan hak atas

184 Vol. 1, No. 1, Hal 175-189, Mei 2018 hasil bagi yang proposional dan adil dengan daerah bersangkutan. Pada dasarnya secara

makro perkembangan ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru relative tinggi. Akan

tetapi, karena tidak imbang dalam pembagian produknya telah menimbulkan

ketimpangan pembangunan itu sendiri. Hasil dari pembangunan ekonomi hanya dapat

dirasakan oleh segelintir masyarakat yang erat dengan kekuasaan, birokrasi, serta

pengusaha yang dekat dengan penguasa.

Hegemoni pemerintah terhadap kehidupan politik masyarakat sangat kuat,

nasionalisme yang terbentuk menjadi state-oriented bukan nation_oriented. Rasa

kebangsaan dipupuk melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.

Program ini, diberlakukan bagi seluruh bangsa Indononesia sejak seseorang duduk

sebagai siswa sekolah menengah. Kesetiaan seseorang terhadap negara bangsa harus

ditunjukkan kepada kesetiaan seseorang terhadap pemimpin tanpa membantah.

Di bidang sosial budaya terjadi pergeseran pengertian gotong royong dan azas

kekeluargaan, di mana dalam birokrasi dan partai politik azas kekeluargaan berubah

menjadi keluarga sendiri yang berkuasa. Demikian juga yang lainnya. neologisme azas

yang mengandung kearifan lokal sangat berkurang. Bangsa yang menginginkan

kebebasan berpendapat tidak tersalurkan, karena dibatasi oleh berbagai peraturan

sepihak. Selain itu, tingkat korupsi yang tinggi di kalangan pejabat tinggi semakin tidak

tersentuh oleh hukum, karena aspek kekeluargaan dan eweh pakewuh.

Akan tetapi, di sisi lain nasionalisme terhadap banggsa sendiri dipupuk melalui

cara lain, seperi melalui anjuran dari atas (menteri), musik, dan budaya. Sekitar awal

tahun 1980-an, menteri perindustrian yang dijabat oleh Jendral M. Yusuf menggiatkan

cintailah produk dalam negeri. slogan cintailah produk-produk Indonesia, yaitu

membangkitkan rasa nasionalisme terhadap produk bangsa sendiri. Hal ini berjalan

karena bangsa Indonesia diserbu oleh produksi dari luar, bangsa Indonesia merasa

bergengsi tinggi apabila menggunakan produk dari luar. Dengan adanya slogan

mencintai produk sendiri. Diharapkan masyarakat akan membeli hasil karya anak

bangsa yang akan mendukung keberlangsungan perekonomian pengrajin lokal

khususnya. Bahkan, salah satu group band terkenal dari Bandung, yaitu Bimbo

mengeluarkan lagu yang berkaitan dengan nasionalisme yaitu cintailah produk

Indonesia melalui lagu Aku Cinta Buatan Indonesia. Semangat nasionalisme bukan

hanya di bidang politik saja, melainkan juga melalui teater, musik, dan budaya lainnya.

185 Nasionalisme era orde baru yang cenderung kearah state oriented, tidak

memberikan ruang yang bebas untuk kebebasan berpendapat karena Negara memegang

kontrol utama. Nasionalisme lebih diarahkan kepada kepatuhan terhadap pejabat,

birokrat, dan unsur atasan dengan alasan untuk keutuhan persatuan dan kesatuan

bangsa. Dalam rentang waktu sekitar 30 tahun orde baru berkuasa tumbuh dengan subur

korupsi, nepotisme, belenggu kebebasan berpendapat, dan kesenjangan sosial yang

semakin lebar menumbuhkan rasa ketidakpuasan segelintir masyarakat Indonesia yang

memahami cara berbangsa dan bernegara yang demokrasi. Hegemoni pemerintah

disegala bidang melahirkan rasa ketidaknyamanan dan ketidakpatuhan terutama dari

golongan generasi muda terhadap pemerintah Orde Baru, karena ruang demokrasi

semakin terbatas, eksplorasi rasa kebangsaan menjadi sangat berkurang.

Pada tahun 1998, pemerintah Indonesia tidak dapat mengelak dari krisis moneter

yang mengglobal. Krisis ini melumpuhkan sendi perekonomian pemerintah Indonesia

yang berimbas pada tingkat inflansi yang sangat tinggi. Rakyat yang merasa tidak puas

dengan belenggu kebebasan secara politik, didera dengan kondisi ekonomi yang

menurun dratis, mengakibatkan demontrasi nasional dari seluruh golongan atau lapisan

masyarakat yang dimotori oleh mahasiswa. Demontrasi nasional berhasil menggantikan

Orde Baru dengan Orde reformasi. Bagaimana nasonalisme dipahami oleh bangsa yang

berusaha untuk eksis di tengah gempuran krisis yang menghancurkan sendi-sendi

ekonomi yang telah dibangun satu dekade oleh pemerintahan Orde Baru.

4. Nasionalisme Era Reformasi

Eforia masyarakat atas keberhasilan mengganti sistem pemerintahan Orde Baru ke Orde

Reformasi membuat semangat reformasi diwarnai dengan berbagai usulan bernegara

dari berbagai pihak. Sistem pemerintahan dibenahi disesuaikan dengan pergerakkan

zaman. Gerakakan reformasi yang dimotori mahasiswa mengagendakan enam tujuan

utama, yaitu (1) adili Suharto dan kroni-kroninya, (2) Laksanakan amandemen UUD

1945, (3) hapuskan Dwi Fungsi ABRI, (4) Pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya,

(5) tegakkan supermasi hukum, dan (6) ciptakan supermasi hukum. Dalam proses

perjalan berbangsa dan bernegara, tidak semua tuntutan gerakan reformasi terpenuhi.

Akan tetapi, bagaimana dengan perasaan bangsa Indonesia dalam berbangsa dan

bernegara yang terbungkus dalam nasionalisme?

186 Vol. 1, No. 1, Hal 175-189, Mei 2018 Nasionalisme harus diletakkan dalam konteks zaman. Nasionalisme era reformasi

menghadapi tangtangan yang berbeda dengan zaman-zaman sebelumnya, di mana

permasalahan yang dihadapi Negara semakin kompleks. Terlebih zaman reformasi

adalah zaman teknologi gawai yang menciutkan dunia dalam sebuah dunia maya. Berita

yang mudah diakses, pertemanan yang semakin maya, berita-berita yang mudah

diakses, sistem ekonomi melalui daring yang semakin membumi mengharuskan

masyarakat Indonesia harus melek teknologi. Generasi muda Indonesia dewasa ini

berpotensi mengalami pergeseran dalam konsep dirinya mengenai komunitas imajiner.

Ketika koneksitas teknis semakin kuat, maka ada kecenderungan konektisitas dalam

rasa dan berbangsa akan merenggang. Kemajuan teknologi dunia harus diimbangi oleh

nasionalisme, agar tidak terjebak dalam kelunturan nasionalisme itu sendiri.

Bagaimana generasi muda di Indonesia pada tahun 1928 mampu menciptakan

sistem keyakinan dan simbol dalam pertautan akar-akar sosiokultural yang melintas

batas keetnisan, geopolitik, geografi, bahasa yang membuka wawasan bangsa menuju

pembentukan nasionalisme kewargaan yang luas dan inklusif (Latif, 2017:6). Akan

tetapi, tantangan masyarakat Indonesia dalam membentuk nasionalisme era reformasi

berbeda dengan masa generasi sebelumnya, karena tantangan yang dihadapi berkaitan

dengan tarikan global kearah demokrasi di tengah gempuran teknologi canggih yang

semakin mengglobal.

Di tengah situasi yang semakin kompleks, masyarakat Indonesia harus dapat

berdiri atas kaki sendiri dalam membangun bangsa dan negara. Tantangan demokrasi ke

depan adalah bagaimana mewujudkan pengakuan politik dan politik pengakuan yang

menjamin hak individu maupun kesetaraan hak atas aneka kelompok budaya sehingga

dapat berdampingann secara damai dan produktif dalam republik Indonesia.

Dewasa ini, pemerintah mencanangkan nawa cita untuk mengubah mental bangsa

Indonesia secara cepat, tujuannya agar dapat mengikuti arus zaman tanpa tenggelam

dalam kekuatan asing dunia. Rencana yang sudah di atur dalam instruksi presiden tahun

2016 tentang gerakan nasional revolusi mental dalam lima program yang harus

digalakkan, yaitu:

1. Gerakan Indonesia melayani

2. Gerakan Indonesia bersih

3. Gerakan Indonesia tertib

187 4. Gerakan Indonesia mandiri

5. Gerakan Indonesia bersatu

Tujuan dari nawa cita ini adalah mengubah dan memperbaiki karakter bangsa,

sasaran utamanya adalah sumber daya manusia yang andal sejak dini dalam rangka

memperkuat daya saing bangsa. Adapun tujuan utamanya adalah mengikis habis budaya

birokrasi yang malas, budaya priyayi yang selalu ingin dilayani, budaya korupsi, budaya

disiplin, budaya kreatif, dan sebagainya (Toha, 2017:6).

Dunia sedang mengalami proses globalisasi yang digerakkan oleh ilmu

pengetahuan dan eknologi yang mampu melampaui batas ruang dan waktu. Dalam

proses globalisasi, ekonomi pasar akan mempengaruhi negara bangsa di dunia, Ekonomi

pasar akan mempengaruhi Indonesia secara nyata, maka dalam tataran tertentu, ekonomi

global dapat menghancurkan atau sebaliknya dapat menumbuhkan ekonomi suatu

negara bangsa, dalam arti bahwa ekonomi global atau pasar dapat mempengaruhi segi

ekonomi, politik, maupun masyarakat suatu bangsa yang dapat saja menjadi suatu

ancaman negara bangsa yang tidak siap menerima perubahan ekonomi pasar yang

sudah mengglobal. Di sinilah tantangan bangsa Indonesia, bagaimana membentuk

nasionalisme yang dapat mengimbangi bahkan mengungguli kekuatan bangsa lain.

Kemampuan Negara dan pemerintah dalam merawat, mengelola, dan terus

memperbarui nasionalisme sebagaimana imajinasi para pendahulunya sebagai pendiri

bangsa di wilayah Nusantara, tampaknya akan menjadi faktor kunci kearah mana

bangsa Indonesia akan menuju. Yudi Latif yang mengatakan bahwa dalam wawasan

Pancasila, kesadaran nasionalisme itu mengandung nilai-nilai emansipatori (Latif,

2017:6). Sumber penindasan dapat datang dari homogenitas globalisasi maupun dari

partikularisasi lokalisme. Nasionalisme diharapkan dapat menjembatani perbedaan ini.

Diharapkan rasa kebangsaan Indonesia dengan dipandu nilai-nilai Pancasila dapat

mengantisipasi tantangan yang harus dihadapi dengan jalan menawarkan visi global

tanpa meninggalkan kearifan lokal.

KESIMPULAN

Nasionalisme dipinjam dari bahasa asing, akan tetapi dalam berkembangannya

pengertian nasionalisme menjadi membumi karena beberapa tokoh pergerakkan berhasil

memberi arti nasionalisme yang mengakar dengan tradisi lokal di berbabagai daerah di

188 Vol. 1, No. 1, Hal 175-189, Mei 2018 Indonesia. Nasionalisme mengalami neologisme dalam perjalanan sejarah Bansa

Indonesia.

Pemahaman nasionalisme di Indonesia dari waktu ke waktu berubah, sesuai

dengan jiwa zamannya. Pada masa pergerakan nasional, nasionalisme dipahami sebagai

lawan dari kolonialisme dan imperialism yang pada waktu itu sedang merajai di belahan

dunia Timur.

Pada Masa kemerdekaan pun, konsep nasionalisme mengalami perubahan makna.

Masa Orde Lama nasionalisme lebih menekankan kepada pengertian revolusi belum

selesai yang berkaitan dengan tumbuhnya demokrasi terpimpin atau ke arah penguasaan

tunggal. Pada masa Orde Baru di mana konsep nasionalisme untuk membangun bangsa

itu lebih menekankan kepada stabilitas politik bangsa Indonesia, yang sangat tidak

menghendaki komunisme. Nasionalisme yang lahir lebih bersifat kepada ideologi

negara, di samping untuk membangun ekonomi bangsa menuju kesejahteraan

masyarakat. Era reformasi nasionalisme ditujukan untuk memujudkan cita-cita bangsa

yang tertuang dalam nawa cita. Berbagai aspek nasionalisme dikaitkan dengan

kecintaan terhadap negara. Nasionalisme dewasa ini adalah nasionalisme yang dapat

memadukan pengaruh global tanpa meninggalkan kearifan lokal.

DAFTAR PUSTAKA

Adisusilo, S. 2013. Sejarah Pemikiran Barat dari yang KLasik sampai Modern. Jakarta:

Raja Grafindo Persada.

Anderson, B.R.O’G. 1986. “The Idea of Power in Javanesse Culture”, dalam Claire Holt

(ed.), Culture and Politics In Indonesia. Ithaca: Cornell University Press.

Gottschalk, L. 1987. Mengerti Sejarah. Terjemahan Nugroho Notosusanto. Jakarta,

Universitas Indonesia Press.

Kartodirdjo, S. 1969. “Struktur Sosial dari Masyarakat Tradisional dan Kolonial”,

dalam Lembaran Sejarah, No 4, Desember 1969. Yogyakarta: Seksi Penelitian

Djurusan Sejarah Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada.

Kohn, H. 1979. Nasionalisme Arti dan Sejarahnya. Jakarta: P.T. Pembangunan.

Latif, Y. 2017. “Respons Idealisme Muda”, dalam Kompas Sabtu 28 Oktober.

Lombard, D. 2005. Nusa Jawa: Silang Budaya Batas-Batas Pembaratan. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama.

189 Manam, M.A.dan Thung Ju Lan. 2011. “Nasionalisme dan Ketahanan Budaya

Indonesia sebagai Sebuah Problem Kontemporer”, dalam Thum Ju Land an

M’Azzam Manam, Nasionalisme dan Ketahanan Budaya. Jakarta: LIPI bekerja

sama dengan Yayasan Obor.

Marcel, D. 2004. Pesan, Tanda, dan Makna. Yogyakarta: Jalasutra.

Nagazumi, A. 1986. “Masa Awal Pembentukan Perhimpunan Indonesia Kegiatan

Mahasiswa Indonesiadi Negeri Belanda”, dalam Akira Nagazumi (ed.), Indonesia

dalam Kajian Sarjana Jepang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Noor, Deliar. 2012. Mohammad Hatta Hati Nurani Bangsa. Jakarta: Kompas.

Tirtosudarmo, R. “Nasionalisme dan Ketahanan Budaya: Beberapa Catatan dari

Prspektif Demografis”, dalam Thum Ju Lan an M’Azzam Manam (ed.),

Nasionalisme dan Ketahanan Budaya. Jakarta: LIPI bekerja sama dengan

Yayasan Obor.

Toha, A. 2017. “Apa Kabar Revolusi Mental Jokowi?, dalam Kompas, Selasa 28

November.

JURNAL SEJARAH INDONESIA

Vol. 1, No. 1, Hal 190-208, Mei 2018

ISSN : 2621-1580

REVITALISASI PEMBELAJARAN SEJARAH MELALUI KAJIAN NOVEL SEJARAH

Y.R. Subakti

Program Studi Pendidikan Sejarah, FKIP, Universitas Sanata Dharma Pos-el : [email protected]

ABSTRACT In teaching their subjects, history teachers use more books and LKS as the source. The materials use scientific language and contain the facts of history in a brief and dense, making learners less interested and easily bored. This paper discusses the learning of history by using historical novels containing materials in accordance with the curriculum of history learning. Historical novels can help students as if experiencing their own events in the past making them more challenging and stimulating in learning. Learning history using novels can be done with a project-based learning approach that provides an opportunity for teachers to manage learning in the classroom by involving project work. Project work contains complex tasks based on problems and requires students to design, solve problems, make decisions, conduct investigations, and provide students with opportunities to work independently or in group. Bringing history novels into learning in the teacher's classroom has brought students to a new understanding of history. Historical novels can involve student emotions like the use of their cognitive ability when thinking of the history. Keywords: learning history, project-based approach, historical novels

ABSTRAK Dalam mengajar subyeknya, guru sejarah lebih banyak menggunakan buku paket dan LKS sebagai sumber. Bahan bahan ini menggunakan bahasa ilmiah dan berisi fakta-fakta sejarah secara singkat dan padat sehingga membuat peserta didik kurang berminat dan mudah bosan. Tulisan ini membahas pembelajaran sejarah dengan menggunakan novel sejarah yang memuat materi sesuai dengan kurikulum pembelajaran sejarah. Novel sejarah dapat membantu siswa seolah-olah mengalami sendiri peristiwa pada masa lalu sehingga lebih menantang dan merangsang dalam pembelajaran. Pembelajaran sejarah menggunakan novel dapat dilakukan dengan pendekatan pembelajaran berbasis proyek yang memberikan kesempatan kepada guru untuk mengelola pembelajaran di kelas dengan melibatkan kerja proyek. Kerja proyek memuat tugas-tugas yang kompleks berdasarkan permasalahan dan menuntut siswa melakukan kegiatan merancang, memecahkan masalah, membuat keputusan, melakukan investigasi, serta memberikan kesempatan siswa untuk bekerja secara mandiri maupun kelompok. Dengan membawa novel sejarah ke dalam pembelajaran di kelas guru telah membawa siswa pada pemahaman baru tentang sejarah. Novel sejarah dapat melibatkan emosi siswa sebagaimana kognitifnya digunakan ketika memikirkan sejarah tersebut. Kata kunci: pembelajaran sejarah, pendekatan berbasis projek, novel sejarah

191 PENDAHULUAN

“Membosankan. Remeh. Formal. Hafalan sejak SD. Tidak paham makna dan

manfaatnya.” Ungkapan-ungkapan tersebut merupakan trade-mark mata pelajaran

Sejarah. Sayang! Pendidikan Sejarah sering dianggap sia-sia karena dalam realitasnya:

dirasa sekadar pelajaran hafalan dan menjawab pertanyaan “yang diharapkan” oleh para

siswa, sehingga terjadi marjinalisasi mata pelajaran ini dari pihak manajemen sekolah,

orang tua, dan peserta didik sendiri. Pelajaran sejarah oleh peserta didik maupun para

pendidik dirasa sebagai pelajaran yang “kalah pamor” dan percuma karena belajar dan

mengajarkan sesuatu (teori) yang “tidak dapat diwujudkan”.

Edward Carr (1961:30) menyatakan, bahwa “history is a continuous process of

interaction between the historian and his facts, and unending dialogue between the

present and the past”, artinya sejarah adalah suatu proses interaksi yang terus menerus

antara sejarawan dengan fakta-fakta yang ada padanya, suatu dialog yang tidak ada

akhirnya antara masa sekarang dengan masa silam”. Benjamin (1991:1-2) menguraikan

fungsi belajar sejarah:

By studying the record that previous generations have left, we can find

our about the kind of lives they led and how they faced their problems.

We can use what we learn about the experiences of people who lived

before us to help solve problems we face today. Though the modern

world is quite different from the societies in which our ancestor lived,

the story of their accomplishments and failuresnis only yardstick by

which we can measure the quality of our own lives and the success of our

social arrangements.

Wineburg (2007:6) menilai sejarah perlu diajarkan di sekolah karena memiliki

potensi untuk menjadikan manusia berkeperikemanusiaan. Lebih jauh Wineburg

menjelaskan bahwa jika dimanfaatkan dengan baik dengan menyelaraskan kebutuhan

kekinian dan mengabaikan yang tidak sesuai lagi, sejarah akan sangat berguna untuk

dipelajari sebagai sarana untuk belajar dari pengalaman kehidupan dengan tujuan

menatap masa depan agar lebih bermakna bagi kehidupan.

Melalui strategi yang tepat dalam memahami nilai-nilai sejarah, pembelajaran

sejarah dapat mempertinggi sikap kritis dan daya kreatif bangsa terutama untuk

192 menjawab berbagai tantangan bangsa pada masa kini. Pengajaran sejarah yang normatif

seperti ini dalam beberapa hal diakui oleh para ahli telah berperan dalam pewarisan

nilai-nilai luhur bangsa untuk memperkuat tujuan pendidikan. Mempelajari sejarah

bukannya sekedar untuk memahami masa lampau itu sendiri, tetapi bermakna dalam

pencarian pelajaran dan antisipasi masa kini dan mendatang. Hal ini sesuai pula dengan

ungkapan Seeley (dalam Wiriaatmadja, 2003:93) yang mempertautkan masa lampau

dengan sekarang dalam pemeonya ”We study history, so that we may be wise before the

event”.

Sebetulnya, seorang pendidik sejarah yang baik tidak hanya menguasai materi

sejarah dengan baik dalam konteks lokal, nasional, maupun global, tetapi juga mahir

menerapkan teknik dan metodologi mengajar agar relevan dengan tujuan-tujuan

pendidikan. Dalam menghadapi kehidupan saat ini, peserta didik tidak hanya

membutuhkan keterampilan intelektual saja, namun ia juga membutuhkan ketegaran,

keuletan, kesetiaan, kemampuan berinteraksi sosial, dan kemanusiaan sehingga

pendidikan sejarah di sekolah jangan hanya kental dengan pengembangan kegiatan

berpikir (ranah kognitif) dengan mengabaikan domain afektifnya dan pendidikan nilai.

Sangat kuat anggapan di kalangan siswa bahwa belajar sejarah tidak lain dari

belajar menghafal fakta-fakta. Pandangan yang demikian menyebabkan munculnya

sikap yang memperlihatkan rasa bosan, tidak tertarik pada bidang sejarah, dan merasa

belajar sejarah sebagai beban yang tidak ada gunanya. Banks (1985:226-227)

mengemukakan, mempelajari sejarah tidak hanya mempelajari apa yang tersurat dalam

buku-buku sejarah atau produk terhadap sejarah, tetapi bagaimana memecahkan

masalah sejarah tersebut melalui metodologi sejarah. Dengan demikian, siswa dapat

memahami mengapa kehidupan manusia selalu berubah (tidak ada yang abadi di dunia

ini kecuali perubahan).

Pada hakikatnya, pelajaran sejarah bukan hanya pelajaran yang menghafalkan

tokoh, tahun, dan tempat. Sebaliknya, sejarah selalu berhubungan dengan menafsirkan,

memahami, dan mengerti (Kuntowijoyo, 2008:2). Nilai terpenting dari pembelajaran

sejarah tersebut adalah ketrampilan pemahaman sejarah yang dapat diterapkan oleh

peserta didik, baik dalam kehidupan seharihari maupun dalam bidang lain seperti sosial,

budaya, dan politik.

193

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa untuk dapat menafsirkan, memahami,

dan mengerti sejarah, guru sejarah lebih banyak menggunakan buku paket dan LKS

sebagai sumber. Bahasa yang digunakan dalam buku paket dan LKS ini merupakan

bahasa ilmiah yang cenderung akan membuat peserta didik mudah bosan. Buku paket

dan LKS yang diberikan kepada peserta didik berisi fakta-fakta peristiwa sejarah sejak

masa prasejarah hingga peristiwa kontemporer yang disajikan dengan singkat dan padat.

Buku paket dan LKS seolah memaksa peserta didik untuk menghafalkan semua materi

yang ada didalamnya. Akibatnya, selain membosankan, juga akan mengurangi minat

baca peserta didik.

Salah satu solusi yang bisa ditawarkan untuk mengatasi masalah ini adalah

dengan memberikan buku bacaan lainnya kepada peserta didik. Buku bacaan dengan

bahasa yang mudah dipahami dan memuat unsur sastra akan lebih menarik kepada

peserta didik. Buku bacaan seperti ini terdapat pada novel. Novel yang dimaksud disini

tentunya adalah novel sejarah yang memuat materi sesuai dengan kurikulum

pembelajaran sejarah. Novel sejarah akan lebih mudah dimengerti daripada sejarah

nonfiksi yang ilmiah karena bahasa yang digunakan lebih mudah dalam dipahami

(Howell, 2014:4).

Melalui novel sejarah diharapkan siswa lebih mampu mendalami setting sejarah

yang terjadi beserta nilai-nilai yang ada di dalamnya. Dengan demikian siswa lebih

tertantang dan terangsang untuk mempelajari sejarah melalui bantuan novel sejarah.

PEMBAHASAN

1. Manfaat Novel dalam Pembelajaran Sejarah

Pembelajaran sejarah dengan menggunakan novel sejarah merupakan salah satu

pembelajaran afektif, sebab pembelajaran ini lebih menekankan pada internalisasi nilai.

Belajar afektif ciri khasnya terletak dalam belajar menghayati nilai dari objek-objek

yang dihadapi melalui alam perasaan, entah objek itu berupa orang, benda,

kejadian/peristiwa; ciri yang lain terletak pada belajar mengungkapkan perasaan dalam

bentuk ekspresi yang wajar. Dalam kajian psikologi belajar, sejak kecil orang harus

belajar menerima perasaannya sebagai bagian dari kepribadiannya sendiri. Dengan

194 demikian, dia mampu menguasai ungkapan perasaannya dan tidak kehilangan kontrol

rasional.

Pembelajaran sejarah dengan menggunakan media novel bisa menggunakan

teori belajar yang dikembangkan oleh Barbara K. Given, yaitu sistem pembelajaran

emosional. Given (2007: 79) memiliki keyakinan bahwa emosi negatif pasti

menghambat prestasi akademis, sementara emosi positif bisa meningkatkan perolehan

pengetahuan dan keterampilan. Emosi tidak dapat diabaikan dan sangat penting dalam

proses pembelajaran karena setiap emosi memotivasi siswa dapat mempengaruhi

kepribadian siswa dan pada akhirnya mempengaruhi kemampuan belajar mereka

(Given, 2007:119).

Sistem pembelajaran emosional harus dapat membantu siswa untuk

mengungkapkan gagasan dan aktivitas yang mereka sukai dan guru perlu memasukan

rencana pelajaran yang mengembangkan tujuan pribadi. Dalam pembelajaran emosional

guru harus mampu menyamakan langkah dengan emosi siswa, meskipun hal tersebut

memang tidak mudah. Given memberikan contoh pembelajaran emosional dalam

sejarah sebagai berikut. Ketika siswa belajar tentang tokoh sejarah, pembahasan di kelas

tentang bagaimana perasaan si tokoh dalam ketakutan, kesedihan, atau cita-cita apa

yang mendorongnya untuk bertindak- memberi sudut pandang emosional yang bisa

dirasakan siswa tanpa harus menarik perhatian terhadap dirinya sendiri. Selain itu

guru bisa menggunakan cerita (termasuk novel sejarah) untuk membantu anak-anak

mengenali beragam karakter. Cerita juga bisa mendukung kecakapan analitis remaja dan

memperhalus transisi dari masa kanak-kanak menuju kedewasaan. Siswa akan merasa

dibolehkan kembali mengenang masa lalu sambil membuat keterkaitan dengan tokoh-

tokoh cerita dengan cara yang lebih dewasa. Emosi bisa dibahas secara tidak langsung

melalui tokoh-tokoh itu sehingga siswa tidak merasa canggung (Given, 2007:126).

Sebuah karya sejarah, terkadang tidak saja bersumber pada data dan fakta

konvensional, seperti arsip, buku, ensiklopedi, surat, dan lain sebagainya, yang

kebanyakan hanya dapat menujukkan realitas di bagian permukaan saja. Akan tetapi,

harus pula dapat menggunakan sumber alternatif lain, terutama karya-karya sastra,

seperti novel, roman, cerpen, puisi, dan lain sebagainya. Memang karya sastra tidak

memisahkan unsur-unsur riil dan khayal. Namun demikian, sudah menjadi tugas

seorang sejarawan untuk memisahkan itu. Usaha mempergunakan berbagai karya sastra

195 lebih banyak membantu, daripada merugikan, terutama mendapatkan data sosial yang

sangat berharga dan tidak dapat didapatkan dari keterangan-keterangan sumber

konvensional yang terkadang hanya berupa data yang kaku sehingga tidak dapat

menggambarkan realitas yang terjadi pada masa lampau. Kekurangan itu sebenarnya

dapat diatasi menggunakan berbagai karya sastra. Novel, misalnya, walaupun ada nilai-

nilai yang bersifat khayal, namun pengambaran dalam novel adalah realitas yang

mewakili jiwa zamannya.

Esten (1990:40) mengungkapkan bahwa dengan memahami novel-novel sejarah

kita akan mendapatkan gambaran dari suatu proses perubahan sosial dan tata nilai, dan

kita akan melihat bahwa perkembangan novel-novel tersebut merupakan suatu

proses yang berpangkal dari perubahan sosial dan tata nilai tadi. Sastra sebagai sebuah

karya tidak muncul dari khayalan saja, tetapi seorang pengarang mengambilnya dari

realitas kehidupan yang terjadi.

Fungsi novel sejarah juga berperan untuk menghidupkan akan gambaran masa

lalu yang menjadi pokok cerita dan mampu memberikan informasi sejarah. Novel

sejarah dapat membuat siswa memiliki kesempatan seolah-olah mengalami sendiri

peristiwa pada masa lalu, siswa dapat belajar bagaimana kebudayaannya, dan

membangun kepedulian pada sejarah. Novel sejarah memiliki kelebihan dalam hal

kedetilan dalam menyajikan data dan tema dan unsur-unsur lain yang perlu lebih di

explorasi. Konflik yang ada dalam sejarah menjadi riil kepada siswa sebab tokoh

didalamnya diperkenalkan pada dimensi manusia yang sebanarnya. Sukses dan

kekalahan mereka menimbulkan suatu tanggapan emosional dari pembaca. Tanggapan

ini dapat menggambarkan bahwa para siswa masuk dalam dunia masa lalu dan memiliki

perspektif dalam suatu dimensi historis.

Berikut beberapa pemahaman menghidupkan gambaran masa lalu dalam sejarah

melalui novel sejarah adalah :

a. Kesempatan seolah-olah mengalami sendiri peristiwa pada masa lalu.

b. Membantu ”others” dalam sejarah dirasakan nyata dan hadir dalam kelas. Tujuan

novel sejarah adalah memungkinkan pembaca, melalui perspektif karakter-karakter

di dalam cerita, merasakan seolah-olah berada di tempat kejadian.

c. Menyelidiki berbagai kebudayaan dan berbagai pandangan tentang kejadian tertentu.

196 d. Memberikan makna pada berbagai pengalaman dalam sistem sosial, budaya, tempat

dan berbagai hal lainnya yang abstrak.

e. Memperdengarkan suara yang tidak terdengar dalam pola sejarah yang ”Grand

History”.

f. Mendapatkan pelajaran dari masa lalu mengenai rasa sedih, sakit, kekecewaan,

kemenangan, dan mimpi.

g. Media pengembangan daya imajinasi. Sejarawan, misalnya, hanya akan menarasikan

bahwa Gajahmada bepergian ke Bubat. Novelis akan bercerita lebih detail mengenai

apa yang dikenakan oleh Sang Mahapatih, apa pula yang dikendarai, dimakan, dan

dipikirkannya sepanjang perjalanan.

Beberapa contoh novel sejarah yang dapat dijadikan atau dimasukkan ke dalam proses

pembelajaran sejarah, sebagai berikut.

Ronggeng Dukuh Paruk. Karya Ahmad Tohari.

Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dibuka dengan lanskap tatapan burung

(dalam arti sebenarnya, yakni sepasang burung bangau yang terbang di atas dukuh),

untuk memaparkan latar “sejarah” yang akan terjadi di sana. Ruang: Dukuh Paruk yang

dikelilingi ribuan hektar sawah kerontang. Waktu: dibuka di satu musim kemarau

panjang, sebelas tahun setelah 1946. Juga ditekankan bahwa penduduk dusun tersebut,

yang tinggal di dua puluh tiga rumah, berasal dari keturunan yang sama. Mereka terikat

persaudaraan darah dan daging. Ini penting untuk melihat, bagaimana peristiwa-

peristiwa yang terjadi, mencoba mencerai-beraikan ikatan persaudaraan ini.

Kedua tokoh utama segera diperkenalkan. Rasus, saat itu masih bocah berumur

tiga belas tahun. Ia digambarkan sebagai pemimpin di antara teman-temannya, paling

tidak digambarkan sebagai bocah paling cerdas. Ketika mereka kesusahan untuk

mencabut pohon singkong disebabkan tanah yang kering, sementara tak ada air untuk

melunakkan tanah, ia muncul dengan gagasan untuk mengencingi pangkal batang

singkong tersebut, dan berhasil mencabutnya.

Tokoh kedua, si gadis kecil Srintil. Ia masih berumur sebelas tahun ketika

pertama kali diperkenalkan. Tak seorang pun pernah mengajarinya berdendang atau

menari ronggeng, tapi ia bisa melakukannya nyaris sempurna. Itu membuat orang

197 percaya bahwa roh indang telah merasuk tubuhnya. Indang merupakan semacam

wangsit di dunia ronggeng, dimana orang yang dirasukinya, dipercaya akan terpilih

menjadi ronggeng. Rasus dan Srintil bersahabat sejak kecil. Lebih dari itu, Rasus

tampak mulai “cemburu” ketika Srintil terpilih menjadi ronggeng, yang artinya Srintil

telah menjadi milik semua orang.

Meskipun cerita banyak berputar di sekitar kedua tokoh ini, terutama hubungan

asmara mereka yang tarik-ulur, tentu saja Ronggeng Dukuh Paruk memaparkan dunia

yang lebih luas dari itu. Hal paling penting, yang akan kita tengok ke depan, tentu saja

bagaimana novel ini menyikapi tragedi paling berdarah dalam sejarah Indonesia:

peristiwa penghancuran Partai Komunis Indonesia, dan pembantaian simpatisan mereka

yang terjadi kemudian.

Terlebih menyangkut kedua tokoh utama ini, keduanya harus terpisah oleh

sebuah peristiwa sejarah ini. Rasus, kelak akan diperkenalkan dengan identitasnya yang

baru sebagai tentara. Sangat menarik bagaimana seorang prajurit (dalam hal ini Rasus),

melihat dan terlibat dalam kasus tragedi 1965 ini. Sementara di sisi lain, juga akan

muncul Srintil dengan identitasnya yang juga baru, sebagai penari ronggeng untuk

propaganda kaum merah (Partai Komunis), dan bagaimana ia melihat dirinya di situasi

itu (http://ekakurniawan.net/blog/tragedi-1965-dalam-novel-ronggeng-dukuh-paruk-

3158.php)

Lintang Kemukus Dini Hari karya Ahmad Tohari

Tahun 1964 merupakan kejayaan Ronggeng Dukuh Paruk, sekalipun Srintil tidak lagi

mau untuk melayani para lelaki, tapi dia mau untuk sekedar manggung. Dia bahkan

seringkali diundang untuk manggung dalam rapat-rapat. Ini berawal ketika Pak Bakar

orang dari Dawuan yang selalu berpidato dengan berapi-api, memberikan seperangkat

pengeras suara dan properti untuk keperluan Ronggeng. Sejak saat itu pula, satu-satunya

akses menuju Dukuh Paruk hiruk pikuk berlambang partai.

Perubahan yang begitu cepat di daerah Dukuh Paruk memuat Sakarya dan

Kartareja gamang, namun dia tidak bisa berbuat banyak karena Pak Bakar telah banyak

membantu kehidupan masyarakat. Dalam pidatonya Pak Bakar selalu menyisipkan hal-

hal berbau propaganda, seringkali pentas ronggeng juga berakhir dengan rusuh. Hal

198 inilah yang kemudian membuat Srintil dan grup ronggengnya memilih untuk tidak

mengiktui lagi acara-acara yang dilakukan oleh Pak Bakar.

Hingga suatu ketika, Sakarya mendapati cungkup makan Ki Secamenggala telah

dirusak orang. Hal ini semakin meruncing ketika ditemukan caping hijau. Caping hijau

bukanlah sesuatu yang digunakan oleh orang-orang Bakar, orang yang selama ini

diduga merusak cungkup makam. Demi menjaga kehormatan dan pelampiasan balas

dendam, maka Srintil masuk kembali ke rombongan Bakar.

Tahun 1965 keadaan menjadi tak terkendali, ekspansi tentara ke desa semakin sering,

rumah orang-orang Bakar dibakar. Kasak kusuk dan kerusuhan ini sampai juga di

Dukuh Paruk. Ternyata Bakar adalah orang PKI. Untuk menyelesaikan masalah, maka

Srintil dan Kartareja memutuskan untuk datang ke kantor polisi. Mereka menjelaskan

bahwa mereka hanya berkesenian dan sama sekali tidak terlibat kegiatan PKI. Bukannya

diperbolehkan kembali, mereka berdua ditahan. Hal ini membuat semangat Dukuh

Paruk mati, perempuan yang dibanggakan dan seorang tetua tidak lagi berada di tempat

mereka.

Yang terpukul dengan hal ini tentu Sakarya, namun semua itu hanyalah awal,

karena beberapa hari kemudian serombongan orang membakar Dukuh Paruk hingga

yang tersisa hanyalah puing-puing. Banyak orang yang menganggap Dukuh Paruk

sudah diambang kematian, apalagi Srintil saat ini tidak diketahui lagi dimana rimbanya.

Sakarya, Nyai Kartareja, Sakum, dan dua orang lainnya ikut ditahan.

Alur yang digunakan dalam cerita ini adalah alur maju yaitu menceritakan dari

Srintil merasa kehilangan Rasus kemudian cerita berkembang ke arah dia tidak mau lagi

melayani para lelaki, namun dia kemudian menjadi gowok, dan ikut Pak Bakar

meronggeng dalam rapat-rapat. Tidak tahunya, Pak Bakar merupakan kader PKI,

sehingga dalam penumpasan gerakan PKI, Srintil pun ikut ditahan. Sumber

https://preteers.wordpress.com/2012/07/10/resensi-novel-lintang-kemukus-dini-hari-

ahmad-tohari/

Canting. Karya Arswendo Atmowiloto

“Canting tak perlu mengangkat bendera tinggi-tinggi, karena canting sekarang ini

bukan cap dulu yang dianggap budi luhung oleh sebagian besar pemakainya. Maka tak

ada pilihan lagi bagi Ni Jika ingin tetap hidup dan menghidupkan kembali usaha

199 ibunya, ia harus melebur diri; canting harus melebur dirinya; cara bertahan dan bisa

melejit, bukan dengan menjerit, bukan dengan memuji keagungan masa lampau, bukan

dengan memusuhi. Tapi dengan jalan melebur dir. Ketika ia melepaskan cap canting,

ketika itulah usaha batiknya jalan. (dikutip dari

http://namamegapurnama.blogspot.co.id/2015/06/nilai-ideologi-dalam-karya-sastra-

novel.html)

Canting, simbol budaya yang kalah, tersisih, dan melelahkan. Adalah Ni---

sarjana farmasi, calon pengantin, putri Ngabean---yang mencoba menekuni, walau harus

berhadapan dengan Pak Bei, bangsawan berhidung mancung yang perkasa; Bu Bei,

bekas buruh batik yang menjadi ibunya; serta kakak-kakaknya yang sukses.

Ca Bau Kan karya Remy Sylado

Novel ini bercerita tentang kisah cinta antara seorang perempuan asli Betawi bernama

Siti Noerhaijati yang biasa dipanggil Tinung dan 2 pria bernama Tan Peng Liang. Tan

Peng Liang yang pertama berasal dari Bandung , seorang rentenir yang kejam

sedangkan yang kedua berasal dari Semarang yang seorang pengusaha tembakau.

Awal kisah diawali ketika Tinung wanita muda yang sedang hamil harus

ditinggal mati oleh suaminya. Menyebabkan ia dibenci oleh mertuanya dan kemudian

diusir. Dan ia kembali pulang ke rumah orang tuanya. Dan iapun harus kehilangan

janinnya karena keguguran. Setelah itu ia disuruh kerja oleh ibunya yang tidak

menginginkan Tinung terus berdiam diri di rumah. Dan ia diajak oleh sepupunya yang

bernama sodah untuk menjadi seorang “Ca-Bau-Kan”. Seorang “Ca-Bau-Kan” yang

sering "menghibur" orang Tionghoa pada zaman kolonial Belanda di Indonesia. Ia

bekerja sebagai seorang “Ca-Bau-Kan” di suatu tempat yang dinamakan Kali Jodo.

Karena ditempat ini sudah terlestari kebiasaan-kebiasaan imigran Tionghoa

mendapatkan jodoh.

Awal mulanya Tinung tidak ingin bekerja disini api karena terus didesak

akhirnya ia harus mau melayani pria-pria tiap malam. Sampai suatu malam ia bertemu

dengan Tan Peng Liang asal dari Bandung. Karena Tan Peng Liang tertarik terhadap

Tinung iapun mengajak Tinung untuk ikut bersamanya. Tinung pun mau walaupun pada

awanya ia menolak. Mereka tinggal satu rumah meskipun mereka belum menikah. Tan

Peng Lian yang seorang rentenir yang kejam membuat Tinung tidak betah tetap tinggal

200 disana karena ia harus menyaksikan penyiksaan teradap orang-orang yang tidak

membayar hutangnya. Sampai pada suatu hari ia menyaksikan penyiksaan anak buah

Tan Peng Liang memberikan penyiksaan yang sadis sampai orang itu mati terbunuh.

Tinung pun melarikan diri dari tempat itu. Dan itu membuat Tan Peng Liang marah dan

menyuruh anak buahnya untuk mencari Tinung. Akhirnya tinung ditemukan dan ia

mendapat sisaan dari Tan Peng Liang, Tan Peng Liang takut bila Tinung pergi ia akan

menceritakan kesadisannya kepada orang-orang. Tetapi pada akhirnya juga ia dapat

melarikan diri. Tinung yang sedang hamil saat itu kembali ke orang tuanya. Dan ia pun

diajak oleh sepupunya untuk menyanyi menghibur orang-orang. Tinung pun mau.

Tinung pun melahirkan. Tan Peng Liang pun dikabarkan sudah meninggal.

Kemudian ada seorang pria yang tertrik pada Tinung, ia adalah Tan Peng Liang

dari Semarang. Tinung merasakan hal yang sama pada tan Peng Liang.Tan Peng Liang

mengajak tinung ikut bersamanya, tetapi Tinung bingung karena ia mempunyai anak

yang masih bayi Tan peng Lian tidak keberatan dan ia pun menyuruh Tinung membawa

anaknya ikut bersama mereka. Tan Peng Lian pun mengajak Tinung pergi ke rumah

orang tuanya untuk mengenalkan Tinung. Mereka pun disetujui. Tan Peng Lian

sebelumnya sudah mempunyai istri yang kini sakit-sakitan dan dua orang anak. Anak-

anak Tan Peng Liang tidak menyukai Tinung, karena mereka merasa setelah ayahnya

menikahi Tinung mereka dan ibunya atau istri tan Peng Liang tidak mendapat perhatian

lagi dari Tan Peng Liang. Dan pada suatu saat ketika Tan Peng Liang pergi dan Tinung

sendiri dirumah, anak-anak Tan Peng Liang pergi mendatang Tinung ereka mencaci-

maki Tinung dan menyiksa Tinung serta mengusir Tinung. Tinung pun tidak berdaya

kemudian Tinung pun pergi meninggalkan rumah (disarikan dari

http://ginafirdiani.blogspot.co.id/2015/07/ringkasan-novel-ca-bau-kan-hanya-

sebuah.html).

Beberapa karya penting lainnya adalah karya karya Langit Kresna Hariadi

seperti Gajah Mada, Gajah Mada Hamukti Palapa, Gajah Mada Bergelut dalam

Kemelut Takhta dan Angkara. Ada juga karya seperti Bencana Jawa,

Suropati dan Robert Anak Suropati karya Abdul Muis,

Hulu Balang Raja karya Nur Sutan Iskandar,Burung-Burung Manyar karya YB. Man

gunwijaya, dan Para Priyayi karya Umar Kayam.

201 2. Model Pembelajaran Sejarah Berbasis Novel Sejarah

Pemanfaatan novel sejarah bagi pembelajaran sejarah di kelas juga bisa dijadikan sarana

menumbuhkan nilai-nilai kebangsaan peserta didik. Novel sejarah yang dipilih tentu

harus mengandung nilai-nilai kebangsaan. Sebagai contoh adalah novel-novel karya

Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka). Menurut Khakim (2014:162) novel karya

Hamka tersebut memiliki nilai-nilai kebangsaan dan dapat menumbuhkan rasa cinta

terhadap tanah air. Novel karya Hamka ini tentu bisa dijadikan sebagai salah satu

alternatif novel untuk menumbuhkan nilai kebangsaan bagi peserta didik.

Pemanfaatan novel sejarah dalam pembelajaran sejarah bukan berarti

meninggalkan pemanfaatan buku teks dan LKS. Buku teks tetap menjadi salah satu

referensi utama bagi peserta didik. Menurut Kochar (2008:189) novel sejarah

merupakan bacaan pelengkap. Kochar mengatakan bahwa sebagai bahan bacaan

pelengkap, novel sejarah dapat memperluas wawasan sejarah bagi peserta didik. Guru

bisa memberikan tugas kepada peserta didik untuk membaca sebuah novel sejarah. Pada

pertemuan di kelas, guru memancing dengan beberapa kata kunci hingga memunculkan

diskusi dalam kelas. Pemanfaatan novel sejarah juga tidak harus menghilangkan semua

sumber belajar dan bahan ajar lainnya. Guru sejarah haruslah melakukan analisis

kebutuhan terlebih dahulu (Ramilury Kurniawan dalam

http://journal2.um.ac.id/index.php/sejarah-dan-budaya/article/download/1510/805)

Banyak model pembelajaran sejarah yang dapat dikembangkan dan diterapkan

dalam proses belajar mengajar di kelas. Dari berbagai model yang tersedia, kiranya

yang paling tepat dalam pembelajaran sejarah berbasis novel sejarah adalah

menggunakan model Project Based Learning(Model Pembelajaran Berbasis Proyek).

Model inimenggunakan proyek (kegiatan) sebagai inti pembelajaran. Dalam kegiatan

ini, siswa melakukan eksplorasi, penilaian, interpretasi, dan sintesis informasi untuk

memperoleh berbagai hasil belajar (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) (Ramilury

Kurniawan dalam http://journal2.um.ac.id/index.php/sejarah-dan-

budaya/article/download/1510/805).

Saat ini pembelajaran di sekolah-sekolah masih lebih terfokus pada hasil belajar

berupa pengetahuan (knowledge) semata. Itupun sangat dangkal, hanya sampai pada

tingkatan ingatan (C1) dan pemahaman (C2) dan belum banyak menyentuh aspek

aplikasi (C3), analisis (C4), sintesis (C5), dan evaluasi (C6). Ini berarti pada umumnya,

202 pembelajaran di sekolah belum mengajak siswa untuk menerapkan, mengolah setiap

unsur-unsur konsep yang dipelajari untuk membuat (sintesis) generalisasi, dan belum

mengajak siswa mengevaluasi (berpikir kritis) terhadap konsep-konsep dan prinsip-

prinsip yang telah dipelajarinya. Sementara itu, aspek keterampilan (psikomotor) dan

sikap (attitude) juga banyak terabaikan.

a. Langkah-Langkah Model Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based

Learning)

Di dalam pelaksanaannya, model pembelajaran berbasis proyek memiliki langkah-

langkah (sintaks) yang menjadi ciri khasnya dan membedakannya dari model

pembelajaran lain seperti model pembelajaran penemuan (discovery learning model)

dan model pembelajaran berdasarkan masalah (problem based learning model). Adapun

langkah-langkah itu adalah; (1) menentukan pertanyaan dasar; (2) membuat desain

proyek; (3) menyusun penjadwalan; (4) memonitor kemajuan proyek; (5) penilaian

hasil; (6) evaluasi pengalaman.

Model pembelajaran berbasis proyek selalu dimulai dengan menemukan apa

sebenarnya pertanyaan mendasar, yang nantinya akan menjadi dasar untuk memberikan

tugas proyek bagi siswa (melakukan aktivitas). Tentu saja topik yang dipakai harus pula

berhubungan dengan dunia nyata. Selanjutnya dengan dibantu guru, kelompok-

kelompok siswa akan merancang aktivitas yang akan dilakukan pada proyek mereka

masing-masing. Semakin besar keterlibatan dan ide-ide siswa (kelompok siswa) yang

digunakan dalam proyek itu, akan semakin besar pula rasa memiliki mereka terhadap

proyek tersebut. Selanjutnya, guru dan siswa menentukan batasan waktu yang diberikan

dalam penyelesaian tugas (aktivitas) proyek mereka.

Dalam berjalannya waktu, siswa melaksanakan seluruh aktivitas mulai dari

persiapan pelaksanaan proyek mereka hingga melaporkannya sementara guru

memonitor dan memantau perkembangan proyek kelompok-kelompok siswa dan

memberikan pembimbingan yang dibutuhkan. Pada tahap berikutnya, setelah siswa

melaporkan hasil proyek yang mereka lakukan, guru menilai pencapaian yang siswa

peroleh baik dari segi pengetahuan terkait konsep yang relevan dengan topik), hingga

keterampilan dan sikap yang mengiringinya. Terakhir, guru kemudian memberikan

kesempatan kepada siswa untuk merefleksi semua kegiatan dalam pembelajaran

203 berbasis proyek yang telah mereka lakukan agar di lain kesempatan pembelajaran dan

aktivitas penyelesaian proyek menjadi lebih baik.

b. Manfaat Penerapan Project Based Learning

Banyak sekali manfaat yang dapat diraih melalui penerapan model pembelajaran

berbasis proyek (Project Based Learning) ini, misalnya: (1) siswa menjadi pebelajar

aktif; (2) pembelajaran menjadi lebih interaktif atau multiarah; (3) pembelajaran

menjadi student centred); (4) guru berperan sebagai fasilitator; (5) mengembangkan

kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa; (6) memberikan kesempatan siswa

memanajemen sendiri kegiatan atau aktivitas penyelesaian tugas sehingga melatih

mereka menjadi mandiri; (7) dapat memberikan pemahaman konsep atau pengetahuan

secara lebih mendalam kepada siswa; dsb.

3. Langkah-Langkah Penggunaan Novel Sejarah Dalam Pembelajaran

Penggunaan novel sejarah sepanjang digunakan bersamaan dengan buku teks dan

sumber primer telah membuat sejarah menjadi lebih menyenangkan dan berkaitan

dengan kehidupan siswa. Weiner (2001) mengungkapkan bahwa novel sejarah telah

membangun cara pandang dari masyarakat bawah yang banyak mengungkap

permasalahan kehidupan dan pengalaman mereka.

Demikian juga Wiriaatmadja (2002: 118-120) menguraikan beberapa

langkah yang perlu dilakukan dalam proses pembelajaran sejarah dengan

memanfaatkan novel sejarah, yaitu:

a. menentukan terlebih dahulu topik sejarah yang akan dibahas agar kita dapat

menseleksi novel sejarah yang relevan. Hal ini mengacu kepada kompetensi

dasar dari kurikulum yang berlaku

b. memberikan latar belakang sejarah bagi fiksi sejarah tadi,

c. membaca novel tersebut,

d. untuk menunjang telaah fiksi sejarah ini digunakan dengan berbagai kegiatan

pengayaan.

Sarah K. Herz (2007) membuat suatu rancangan yang dapat digunakan guru

untuk membantu penggunaan novel sejarah di dalam kelas sejarah. Menurutnya,

guru sejarah dapat menggunakan novel sejarah untuk memperjelas, menguatkan,

204

dan melakonkan tema dan peristiwa sejarah yang para siswa kesulitan mengingat

atau memahaminya. Roman sejarah dapat mempermudah memahami sejarah untuk

siswa yang kebingungan, tidak tertarik, atau tidak mau menerima buku teks sebagai

sumber pembelajaran

Ada beberapa hal yang harus guru dan siswa penting pahami sebelum

menggunakan novel sejarah dalam pembelajaran di kelas. Penting bagi guru dan

para siswa untuk mempertimbangkan beberapa petunjuk untuk mengevaluasi

ketelitian roman historis itu. Petunjuk untuk meneliti data dapat dibagi menjadi

empat utama ketegori yaitu: seting, karakter, alur cerita, dan tema.

1. Setting ( waktu dan tempat)

a. Adakah pengarang teliti dalam menguraikan periode historis tertentu di

dalam novelnya ?

b. Daftar beberapa detil yang menguraikan periode sejarah tertentu dan paralel

dengan studi tentang periode historis tertentu seperti keadaan geografi,

transportasi, seragam atau pakaian, adat istiadat, agama, tata sosial, dan

sikap sosial.

c. Apakah detil tempat yang terdapat dalam novel tersebut itu asli ?

d. Apakah uraian tempat terjadi peristiwa cocok pada periode historis tertentu?

2. Karakter

a. Adakah tokoh historis yang dikenali siswa? Buat daftarnya.

b. Apakah figur yang historis tersebut dideskripsikan secara panjang lebar

dalam novel tersebut?

c. Cek karakter yang dilukiskan dari tokoh sejarah tersebut kemudian

bandingkan dengan buku teks sejarah?

d. Apakah karakter khayalan sesuai dengan seting sejarahnya ?

e. Daftar karakter yang antagonis dan protagonis baik itu tokoh historis atau

tokoh khayalan dan tunjukan bagian dari roman yang mendukung ciri ini.

f. Jelaskan keterlibatan karakter itu di dalam peristiwa sejarah.

g. Bagaimana peran dalam setiap karakter dalam roman tersebut ?

3. Alur cerita

a. Apakah alur cerita memusatkan pada suatu peristiwa sejarah tertentu ?

205

b. Apakah tokoh sejarah di dalam roman tersebut mengambil bagian pada suatu

peristiwa sejarah terkenal?

c. Apakah konflik yang digambarkan itu riil atau khayal ?

d. Apakah tokoh tersebut melakonkan suatu momen sangat penting di dalam

sejarah?

e. Tema. Dengan tema tertentu, pengarang menggunakan orang-orang dan

peristiwa dari masa lalu untuk menerangkan beberapa kebenaran pada masa

lampau.

4. Ringkasan.

a. Menurut pendapatmu, mengapa pengarang memilih untuk menulis tentang

peristiwa historis tertentu tersebut?

b. Apakah pengarang memiliki cara pandang baru mengenai tokoh sejarah atau

peristiwa sejarah tersebut?

c. Mengapa ini dipertimbangkan sebagai suatu roman historis?

d. Apakah roman ini termasuk suatu roman sejarah yang baik atau jelek

berdasarkan pada definisi fiksi historis yang sebelumnya?

e. Apa yang kondisi sosial yang diungkapkan pengarang dalam novel tersebut?

f. Bagaimana komentar pengarang yang kamu pikirkan tentang kondisi sosial

tersebut?

g. Bagaimana menghubungkan kondisi sosial tersebut dengan kondisi zaman

ini?

h. Bagaimana karakter yang digambarkan dapat mengungkapkan tema novel

sejarah tersebut?

i. Apakah roman ini mencerminkan tema lebih dari satu?

j. Apakah ada lebih dari satu pandangan mengenai tema yang terdapat dalam

roman tersebut?

4. Hasil Penggunaan Novel Sejarah Dalam Pembelajaran Sejarah

Guru sejarah yang membawa novel sejarah ke dalam pembelajaran sejarah di kelas telah

membangun siswanya pada pemahaman baru tentang sejarah. Novel sejarah dapat

melibatkan emosi siswa sebagaimana kognitifnya digunakan ketika memikirkan sejarah

tersebut. Ada beberapa hal yang terjadi setelah guru menggunakan novel sejarah dalam

206 pembelajaran yang merupakan manifestasi dari menghidupkan kembali masa lampau

dalam pembelajaran sejarah.

Langkah-langkah tersebut meliputi: a) Siswa terbawa larut kedalam isi novel

tersebut. Siswa menjadi lebih senang terhadap sejarah. Siswa mulai untuk membuat

kesimpulan mengenai kondisi geografis, organisasi pemerintahan, keyakinan agama,

sikap sosial, tipe makanan, ukuran kota, alat transfortasi, distribusi kesejahteraan, kelas

sosial, dan hukum; b) Siswa mulai mempertanyakan kebenaran fakta sejarah yang

terdapat dalam novel sejarah tersebut sehingga melatih keterampilan berpikir kritis; c)

Siswa jauh lebih mengingat apa yang terdapat dalam isi novel tersebut dibanding apa

yang terdapat dalam buku teks sejarah; d) Siswa mendapatkan informasi sejarah lebih

mudah dibanding dari buku teks karena dipahami dari plot cerita, karakter, dan seting

novel sejarah tersebut; e) Siswa menjadi lebih sadar hubungan antara masa lalu dengan

keadaan masyarakat dimana dia tinggal; f) Siswa mulai melihat bagaimana mempelajari

masa lalu membantu mereka untuk memahami masa sekarang; g) Siswa mulai

memahami keberanian yang dibutuhkan untuk menghadapi berbagai tantangan,

menyadari resiko yang akan ditanggung dalam kehidupan sosial, siap menerima sebuah

kekalahan, dan memahami faktor-faktor yang dibutuhkan untuk sukses; h} Siswa mulai

menyadari proses dari suatu perubahan, kesadaran bahwa kehidupan saat ini pun akan

berubah, dan mereka mulai melatih diri untuk beradaptasi dengan perubahan.

KESIMPULAN

Novel sejarah dapat dijadikan sebagai bahan kajian sejarah di kelas. Novel dapat

dijadikan sebagai alat atau sarana untuk menghidupkan kembali akan gambaran masa

lalu yang menjadi pokok cerita dan mampu memberikan informasi sejarah. Novel

sejarah dapat membantu siswa merasa memiliki kesempatan seolah-olah mengalami

sendiri peristiwa pada masa lalu. Novel sejarah memiliki kelebihan dalam hal kedetilan

dalam menyajikan data dan tema dan unsur-unsur lain yang perlu lebih di explorasi.

Konflik yang ada dalam sejarah menjadi riil kepada siswa sebab tokoh didalamnya

diperkenalkan pada dimensi manusia yang sebanarnya. Sukses dan kekalahan dalam

konflik yang tertulis dalam novel menimbulkan suatu tanggapan emosional dari

pembaca. Tanggapan ini dapat menggambarkan bahwa para siswa masuk dalam dunia

masa lalu dan memiliki perspektif dalam suatu dimensi historis.

207

Pembelajaran sejarah dengan menggunakan novel dapat dilakukan dengan

menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis proyek adalah model pembelajaran

yang memberikan kesempatan kepada guru untuk mengelola pembelajaran di kelas

dengan melibatkan kerja proyek. Kerja proyek memuat tugas-tugas yang kompleks

berdasarkan permasalahan (problem) yang sangat menantang, dan menuntut siswa untuk

melakukan kegiatan merancang, memecahkan masalah, membuat keputusan, melakukan

kegiatan investigasi, serta memberikan kesempatan siswa untuk bekerja secara mandiri

maupun kelompok. Hasil akhir dari kerja proyek tersebut adalah suatu produk yang

antara lain berupa laporan tertulis, presentasi atau rekomendasi.Melalui proses

pembelajaran proyek maka pembelajaran sejarah dengan menggunakan novel sebagai

salah satu sumber kajian, dapat merangsang siswa untuk lebih mencintai pelajaran

sejarah dan nilai-nilai keutamaan juga akan tertanam pada diri siswa.

DAFTAR PUSTAKA

Atmowiloto, A. 2007. Canting. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Banks, J.A. 1985. Teaching Strategies for the Sosial Studies. New York: Longman

Benjamin. 1991. A Student Guide to History.New York: St. Martin Press

Given, B. K. 2007. Brain Based Teaching. Bandung: Kaifa.

Hariadi, L.K. Gajah Mada. Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara.

Hariadi, L.K. Gajah Mada. Hamukti Palapa.

Howell, J. 2014. Popularising History: Reigniting Pre-Service Teacher and Student

Interest in History via Historical Fiction. Australian Journal of Teacher

Education.

http://ekakurniawan.net/blog/tragedi-1965-dalam-novel-ronggeng-dukuh-paruk-

3158.php

Kayam, U. 1992. Para Priyayi. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti

Kemdikbub. 2013. Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum 2013. BPSDMPK

dan PMP. Jakarta

Kuntowijoyo. 2008. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.

Mangunwijaya, Y.B. 1981. Burung-Burung Manyar. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Mangunwijaya, Y.B. 1983. Roro Mendut-Pronocitro. Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama.

208 Ramilury Kurniawan dalam http://journal2.um.ac.id/index.php/sejarah-dan-budaya/

article/download/1510/805

Sarah K. Herz http://www.yale.edu/ynhti/curriculum/units/1981/cthistory/

81.ch.10.x.html

Sylado, R. 1999. Ca Bau Kan. Hanya Sebuah Dosa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Tohari, A. 1995. Lintang Kemukus Dini Hari. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Tohari, A. 2007. Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Weiner, R.G. 2001. History: Teaching and Methode. Texas Tech University

Wineburg, S. 2006. Berpikir Historis: Memetakan Masa Depan, Mengajarkan Masa

Lalu. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Wiriaatmadja, R. 2002. Pendidikan Sejarah, Sikap Kebangsaan, Identitas Nasional,

Sejarah lokal, Masyarakat Multikulktural. Bandung: Historia Utama Press.