makalah anak i tumbang
Post on 03-Jan-2016
74 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
MAKALAH KEPERAWATAN ANAK I
DETEKSI DINI PEKEMBANGAN BALITA
Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Keperawatan Anak I
Dosen Pengampu: Puji Purwaningsih, Skep., Ns
Disusun oleh:
1. Ismaya Setiafiid (010601065)
2. Kurnia Dewi (010601073)
3. Sahrun (010601100)
4. Vyna Anggraeny DS (010601113)
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
NGUDI WALUYO UNGARAN
2008
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas ridho dan
karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Deteksi Dini Perkembangan Balita”.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu
Puji Purwaningsih Skep., Ns dan kepada semua pihak yang turut membantu
menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu saran dan kritik yang sifatnya membangun, penulis
harapkan demi perbaikan makalah ini. Dan semoga penulisan ini dapat
memberikan manfaat kepada penulis pada khususnya dan semua pembaca pada
umumnya.
BAB II
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap orang tua menginginkan anak mereka tumbuh dengan sehat dan
berkembang dengan optimal. Hanya saja dewasa ini banyak anak-anak yang
mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang kurang optimal, dan
menjadi sangat disayangkan adalah kurangnya perhatian orang tua terhadap
anak. Padahal dalam perkembangan anak terdapat masa kritis, dimana
diperlukan rangsangan atau stimulasi yang berguna agar potensi berkembang
(Soetjiningsih, 1995).
Perkembangan anak akan optimal bila interaksi sosial diusahakan
sesuai dengan kebutuhan anak pada berbagai tahap perkembangnnya, bahkan
sejak bayi masih dalam kandungan. Perkembangan sosial sangat dipengaruhi
oleh lingkungan dan interaksi anak dengan orang tuanya/ orang dewasa
lainnya. Sedangkan lingkungan yang tidak mendukung akan menghambat
serta menimbulkan penyakit-penyakit yang potensial dapat mengakibatkan
gangguan perkembangan anak (Soetjiningsih, 1995).
Sayangnya, banyak ahli kesehatan yang percaya bahwa tidak banyak
yang dapat dikerjakan untuk mengatasi kelainan ini dan mereka percaya pula
bahwa kelainan yang ringan dapat normal dengan sendirinya. Sikap seperti ini
dapat menghambat pemulihannya, bahkan pada kasus-kasus tertentu dapat
mengakibatkan cacat yang permanen yang tidak seharusnya dapat dihindari
(Soetjiningsih, 1995).
Pada saat ini berbagai metode deteksi dini untuk mengetahui gangguan
perkembangan anak telah dibuat. Karena deteksi dini kelainan perkembangan
anak sangat berguna, agar diagnosis maupun pemulihannya dapat dilakukan
lebih awal, sehingga tumbuh kembang dapat berlangsung seoptimal mungkin
(Soetjiningsih, 1995).
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Setelah mengikuti seminar diharapkan mahasiswa mampu menjelaskan
deteksi dini perkembangan balita
2. Tujuan Khusus
a. Mampu mengetahui deteksi dini perkembangan balita serta instrumen
yang digunakan
b. Mampu menjelaskan peran perawat dalam upaya deteksi
perkembangan
c. Mampu melaksanakan upaya deteksi perkembangan balita
menggunakan DENVER II dan KPSP (Kuisioner Pre Screening
Perkembangan)
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian Tumbang
Pertumbuhan dan perkembangan adalah suatu proses yang berlangsung
terus menerus pada berbagai segi dan saling berkaitan, dan terjadi perubahan
pada individu semasa hidupnya. Pertumbuhan dan perkembangan adalah
proses dari maturasi dan pembelajaran (Suruadi dan Yulianni; 2006)
Pertumbuhan adalah Proses bertambahnya ukuran/dimensi akibat
bertambah banyaknya sel-sel dan atau bertambah besarnya sel-sel serta
bertambahnya jaringan interseluler
(http://edwintohaga.wordpress.com/2008/04//3/deteksi-dini-tumbuh-kembang-
anak-kita/)
Pertumbuhan berhubungan dengan perubahan pada kuantitas yang
maknanya terjadi perubahan pada jumlah dan ukuran sel tubuh yang
ditunjukkan dengna adanya peningkatan ukuran dan berat seluruh bagian
tubuh (Whaley dan Wong, 2000).
Pertumbuhan (growth) berkaitan dengan masalah perubahan dalam
besar, jumlha, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu, yang
bias diukur denghan ukuran berat (gram, pound, kilogram), ukuran pangjang
(meter dan sentimeter), umur tulang dan keseimbangan metabolic (retensi
kalsium dan nitrogen tubuh) (Soetjiningsih, 1995)
Perkembangan (development) adalah bertambahnya kemapuan (skill)
dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur
dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan. Di sini
menyangkut adanya proses diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh,
organ-organ dan system organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga
masing-masing dapat memenuhi fungsinya. Termasuk juga perkembangan
emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan
lingkungannya (Soetjiningsih; 1995, 1).
Perkembangan berhubungan dengan perubahan secara kualitas,
diantaranya terjadi peningkatan kapasitas individu untuk berfungsi yang
dicapai melalui proses pertumbuhan, pematangan dan pembelajaran (Whaley
dan Wong; 2000)
Perkembangan sebagai peningkatan ketrampilan dan kapasitas anak
untuk berfungsi secara bertahap dan terus-menerus. Jadi perkembangan adalah
suatu proses untuk menghasilkan peningkatan kemampuan untuk berfungsi
pada tingkat tertentu (Marlow; 1988).
B. Deteksi Dini Tumbuh
Deteksi dini tumbuh adalah kegiatan/pemeriksaan untuk menemukan
secara dini adanya penyimpangan tumbuh kembang pada balita dan anak pra
sekolah.
Semakin dini maka intervensinya akan dapat semakin cepat.
Jenis deteksi dini yaitu deteksi dini penyimpangan pertumbuhan, deteksi
dini perkembangan, deteksi dini penyimpangan mental emosional.
Deteksi dini perkembangan bertujuan untuk mengetahui
perkembangan anak normal atau adanya penyimpangan.
(http://edwintohaga.wordpress.com/2008/04//3/deteksi-dini-tumbuh-kembang-
anak-kita/)
C. Cara Deteksi Tumbuh Kembang Anak
1. Penilaian Pertumbuhan Anak
a. Ukuran Antropometrik
Tergantung umur (age dependence)
BB terhadap umur, TB terhadap umur, lingkar kepala terhadap
umur, lingkar lengan atas terhadap umur.
Interpretasi:
BB terhadap umur :
Menurut Gomez
- > 90 % = normal
- 90%-75% = malnutrisi ringan (grade I)
- 75 %-61% = malnutrisi sedang (grade II)
- < / = 60% = malnutrisi berat (grade III)
Menurut Jelliffe
- 110 % - 90% = normal
- 90% - 81% = malnutrisi ringan (grade I)
- 80% - 61% = malnutrisi sedang (grade II dan III)
- < / = 60% = malnutrisi berat (grade IV)
Menurut WHO
- percentil ke 50 – 3 = normal
- percentil < / = 3 = malnutrisi
Klasifikasi di Indonesia
Menggunakan modifikasi Gomez pada KMS, kemudian
kenaikan BB dicatat pada KMS. Bila terdapat kenaikan tiap
bula adalah normal, bila tidak terjadi kenaikan maka resiko
tinggi terjadinya gangguan pertumbuhan.
TB terhadap umur:
Menurut Kanawati dan McLaren
- >/= 95%: normal
- 95-90%: mal nutrisi ringan
- 90-85%: mal nutrisi sedang
- 85%: mal nutrisi berat
CDC/WHO
- >/= 90%: normal
- < 90%: stunted/mal nutrisi kronis
BB terhadap TB:
McLaren/Read
- 110-90%: normal
- 90-85%: mal nutrisi ringan
- 85-75%: mal nutrisi sedang
- <75% dengan/tanpa edema: mal nutrisi berat
Waterlow
- 110-90%: normal
- 90-80%: mal nutrisi ringan
- 80-70%: mal nutrisi sedang
- <70%: mal nutrisi berat
CDC/WHO
- 85-80%: mal nutrisi sedang
- <80%:wasting/mal nutrisi akut
NCHS
- persentil ke 75-25: normal
- persentil ke 10-5: mal nutrisi sedang
- < persentil ke 5: mal nutrisi berat
Lingkar lengan atas
WHO dan Shakir
- >85% atau >14 cm: normal
- <76% atau > 12,5 cm: mal nutrisi berat
Tidak tergantung umur
BB terhadap TB, LLA terhadap TB
Lainnya
Lingkaran dada, lingkaran perut dan lingkaran leher
b. Pemeriksaan Fisik
Keseluruhan fisik
Dilihat bentuk tubuh, perbandingan bagian kepala, tubuh dan
anggota. Juga diperhatikan apa ada edema atau tidak
Jaringan otot
Pertumbuhan otot diperiksa pada lengan atas, pantat dan paha
dengan cara cubitan tebal.
Jaringan lemak
Diperiksa pada kulit di bawah trisep dan subskapula dengan cara
cubitan tipis.
Rambut
Yang diperiksa adalah pertumbuhannnya, warna, diameter
(tebal/tipis), sifat (keriting/lurus), dan akar rambut (mudah dicabut/
tidak).
Gigi-geligi
Saat erupsi gigi susu, saat tanggal, dan erupsi gigi permanen.
c. Pemeriksaan Laboratorium
Terutama pemeriksaan darah, yaitu antara lain, kadar Hb, serum
protein (albumin dan globulin), hormon, dll
d. Pemeriksaan Radiologis
Untuk menilai umur biologis, yaitu umur tulang (bone age), biasanya
dilakukan apabila ada kecurigaan adanya gangguan pertumbuhan.
(Soetjiningsih, 1995)
2. Penilaian Perkembangan Anak
a. Tahap-Tahap Penilaian Perkembangan Anak
Anamnesis
Melakukan anamnesis lengkap, karena kelainan perkembangan
dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Dengan anamnesis yang
teliti maka salah satu penyebabnya dapat diteliti.
Skrining gangguan perkembangan anak
Pada tahap ini dianjurkan digunakan instrument-instrumen untuk
skrining guna mengetahui kelainan perkembangan anak. Misalnya
dengan menggunakan DDST, tes IQ, atau tes psikologi lainnya.
Evaluasi lingkungan anak
Melakukan evaluasi lingkungan anak misalnya dengan
menggunakan HSQ (Home Screening Quetionnaire).
Evaluasi pendengaran dan penglihatan anak
Untuk anak umur < 3 tahun dengan tes fiksasi, anak 2,5 – 3 tahun
dengan kartu gambar dari Allen, dan di atas 3 tahun dengan huruf
E, juga diperiksa apakah ada strabismus dan selanjytnya periksa
korne dan retinanya.
Melalui anamnesis atau menggunakan audiometer kalau ada
alatnya.
Evaluasi bicara dan bahasa anak
Untuk mengetahui apakah kemampuan anak berbicara maíz dalam
batas-batas yang normal atau tidak.
Pemeriksaan fisik
Untuk melengkapi anamnesis agar diketahui kelainan fisik yang
dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak.
Pemeriksaan neurology
Untuk mengetahui secara dini adanya palsi cerebralis
menggunakan pemeriksaan neurologi
Evaluasi penyakit-penyakit metabolic
integrasi dari hasil penemuan
Pembuatan suatu kesimpulan diagnosis dari gengguan
perkembangan tersebut.
(Soetjiningsih; 1995)
b. Tes Perkembangan Menurut Denver (Denver Developmental
Screening Test/DDST )
Pengertian
DDST adalah salah satu dari metode skrining terhadap kelaianan
perkembangan anak, tes ini bukanlah tes diagnostic atau tes IQ
(Soetjiningsih;1995).
Denver II adalah revisi utama dan standararisasi ulang dari Denver
Development Screning Test (DDST) dan reviced Denver
Developmental Screening Test (DDST-R). Denver II ini berbeda dari
test skrining sebelumnya dalam bagian-bagian yang meliputi bentuk,
interpretasi dan rujukan seperti tes, tes ini juga mengkaji motorik
kasar, bahasa, motorik halus, adaptif dan perkembangan social
personal pada anak-anak dari 1 bulan sampai 6 tahun (Donna L. Wong;
2003)
Manfaat Denver II
Pada penilaian Denver II menilai perkembangan anak dalam empat
faktor, sebagai berikut:
1. Personal social ( social personal )
Penyesuaian diri dengan masyarakat da perhatian terhadap
kebutuhan perorangan.
2. Fine motor adaptive (motorik halus adaptif)
Koordinasi mata tangan, memainkan atau menggunakan benda-
benda kecil pemecahan masalah
3. Language (bahasa)
Mendengar, mengerti, dan menggunaka bahasa.
4. Gross motor (motorik kasar)
Duduk, jalan, melompat, dan gerakan-gerakan umum otot besar.
Tujuan DDST II
1. Untuk menilai perkembangan anak sesuai usia
2. Memantau anak yang tampak sehat, umur dari lahir
sampai dengan enam tahun
3. Menjaring anak tanpa gejala terhadap kemungkinan
adanya kelainan perkembangan
4. Memastikan apakah anak dengan persangkaan ada
kelainan, apakah benar-benar ada kelainan.
5. Memonitor anak dengan resiko perkembangan
Petunjuk Pelaksanaan DDST II
1. Cara pemeriksaan DDST II
(a) Tentukan umur anak pada saat pemeriksaan
(b) Tarik garis pada lembar DDST II sesuai dengna umur yang
telah ditentukan
(c) Lakukan pengukuran pada anak setiap komponen dengan
batasan garis yang ada mulai dari motorik kasar, bahasa,
motorik halus dan personal sosial.
(d) Tentukan hasil penilaian apakah normal, meragukan, dan
abnormal
- Keterlambatan (abnormal) apabila terdapat keterlambatan /
lebih pada 2 sektor atau bila dalam 1 sektor didapat 2
keterlambatan lebih ditambah 1 sektor atau lebih terdapat 1
ketrlambatan.
- Meragukan apabila 1 sektor terdapat 2 keterlambatan/ lebih,
atau 1 sektor/lebih didapatkan 1 keterlambatan.
- Dapat juga dengan menentukan ada tidaknya keterlambatan
pada masing-masing sector bila menilai tiap sector atau
tidak menyimpulkan gangguan perkembangan keseluruhan.
(Hidayat; 2005).
2. Alat untuk DDST II
(a) Benang sulaman merah
(b) kismis atau permen
(c) Kerincingan dengan pegangan
(d) Kubus kayu berwarna (2,5 cm) 8-10 buah
(e) Botol kaca bening yang dapat dibuka
(f) Lonteng kecil
(g) Pensil warna
(h) Boneka dan botol kecil
(i) Bola tennis
(j) Cangkir plastik dengan pegangan
(k) Kertas kosong
Cara menghitung umur dan menggambar garis
Contoh:
Indah dibawa oleh ibunya ke poliklinik tumbang RSU Ungaran.
Tanggal lahir 5 april 2000, tanggal pemeriksaan 14 november 2003.
Hitung umur indah dan ganbar garis umurnya?
Jawab:
Tahun Bulan Hari
Tgl tes 2003 11 14
Tgl lahir 2000 4 5
Umur 3 7 9
Kemudian buat garis umur dan cantumkan tanggal pemeriksaan pada
format DDST
HAL – HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN
Lakukan test dari sector yang kurang aktif terlebih dahulu : personal
social, motorik halus, bahas dan motorik kasar.
Mulailah dari yang mudah dilakukan , jika anak kurang tepat
melakukannya beri stimulus dan lakukan test ulang.
Test yang menggunakan alat yang sama dilakukan secra berurutan
Test dilakukan untuk setiap sector, dan mulailah dari sebelah kiri garis
umur terus kekanan
BILA ADA RESIKO PERKEMBANGAN
Lakukan paling sedikit 3 test yang paling dekat disebelah garis umur
serta tiap test yang ditembus garis umur pada setiap sektor
Bila anak tidak mampu untuk melakukan salah satu pertama (gagal,
menolak, no Opportunity) → lakukan test tambahan kesebelah kiri
pada sektor yang sam sampai anak dapat melewati 3 test
BILA ANAK LEBIH RELATIF KEMAMPUAN
Pada setiap sektor dilakukan paling sedikit 3 test yang paling dekat
kesebelah kiri garis umur dan test yang ditembus garis umur
Lanjutkan test kekanan dari setiap test yang dalam satu sektor hingga
tercapai 3 gagal
Tiap test dilakukan 3 kali sebelum ditentukan gagal
SKOR YANG DIPAKAI DALAM DDST II
P: Pas/lewat
- Anak melakukan test dengan baik
- Ibu atau pengasuh memberi laporan L, tepat atau dapat dipercaya
bahwa anak dapat melakukan
F: Fail/Gagal
- Anak tidak dapat melakukan test dengan baik.
- Ibu atau pengasuh memberi laporan tepat, bahwa anak tidak dapat
melakukan dengan baik.
NO: No Opportunity/ Tidak ada kesempatan
- Anak tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan test karena ada
hambatan.
R: Refusal/Menolak
- Anak menolak untuk malakukan test.
KODE PENILAIAN
F = Fail (Gagal)
R = Refusal (Menolak)
P = Pass (Lewat)
NO = No Opportunity (tidak ada kesempatan)
INTERPRETASI DARI NILAI DDST II
A. ADVANCED/PENILAIAN LEBIH
Melewati pokok secara lengkap ke kanan dari garis usia (dilewati pada
<25% anak pada usia yang lebih besar dari anak tersebut).
AGE LINE
B. NORMAL
Melewati, gagal atau menolak pokok yang di potong berdasarkan garis
usia antara persentil ke-25 dan ke-75.
AGE LINE
Apabila anak gagal/menolak tugas pada item disebelah kakan garis
umur
AGE LINE
P
F
R
R
Apabila anak lulus, gagal/menolak tugas dimana garis umur berada
antara 25%-75% (warna putih).
C. CAUTION /PERINGATAN
Gagal atau menolak pokok yang dipotong berdasarkan garis usia di
atas atau di antara persentil ke-75 dan ke-90.
AGE LINE
Apabila anak gagal/menolak tugas pada item dimana pada garis umur
berada diantara 75%-90% (warna kelabu)
d. Kuisioner Resived Pre Screening Developmental (KPSP)
Kuisioner Resived Pre Screening Developmental atau Kuisioner
Pre Skrining Perkembangan (KPSP) adalah revisi dari PDQ yang asli.
Keuntungan dari Kuisioner Resived Pre Screening Developmental (R-
PDQ) meliputi penambahan dan pengaturan bagian-bagian agar menjadi
lebih tepat usia, menyederhanakan penilaian orang tua dan
mempermudah perbandingan dengna norma-norma Denver
Developmental Screening Test (DDST).
R-PDQ adalah pra skrining yang dijawab orang tua yang terdiri
dari 105 pertanyaan dari DDST, meskipun hanya subset pertanyaan yang
diajukan untuk setiap kelompok usia. Pada orang tua yang
pendidikannya kurang, format mungkin perlu dibacakan oleh pemberi
asuhan.
BAB III
FENOMENA
Kekerasan terhadap Anak di Sekitar Kita
KITA pernah tersentak oleh berita-berita mengenai kekerasan terhadap
anak yang seringkali berada di luar akal sehat. Contohnya awal tahun ini ada
berita seorang ibu membakar dua anak kandungnya sendiri yang masih berusia 3
tahun dan 11 bulan. Si sulung akhirnya meninggal dunia karena luka bakarnya
sangat parah, sedangkan adiknya harus menjalani perawatan cukup lama di rumah
sakit.
Ada pula seorang ibu yang menganiaya anak angkatnya. Bertahun-tahun
barulah kasus tersebut terungkap berkat tetangganya yang curiga sering
mendengar suara tangisan. Ketika ketahuan si anak sudah telanjur mengalami
derita lahir dan batin amat berat. Ada banyak bekas luka di sekujur tubuhnya.
Sebenarnya sangat banyak kasus kekerasan terhadap anak namun tidak terekspos
oleh media massa karena berbagai alasan. Bisa karena kasusnya tidak tragis
sehingga dianggap kurang bernilai sebagai berita, bisa pula akibat sengaja ditutup-
tutupi. Sebuah hasil penelitian menyebutkan 90% pelaku kekerasan terhadap anak
adalah orang dewasa. Bahkan kebanyakan orang terdekat korban, misalnya orang
tua atau wali, kerabat, serta guru.
Kekerasan pada anak bisa berupa kekerasan fisik, psikologis, seksual, dan
ekonomi. Faktor individu si pelaku sering menjadi pendorong atau pemicunya.
Kebanyakan penyebabnya adalah kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis
serta kesulitan ekonomi. Anak-anak kemudian menjadi pelampiasan.
Data Komisi Nasional Perlindungan Anak menyebutkan tahun 2004 ada
544 kasus kekerasan terhadap anak dan 2005 meningkat menjadi 736 kasus.
Jumlah sebenarnya diyakini lebih banyak lagi mengingat banyak yang tidak
dilaporkan atau sengaja dirahasiakan karena dianggap aib baik oleh korban,
keluarga, maupun masyarakat. Sebenarnya cakupan kekerasan terhadap anak
sangat luas. Unicef menyebutkan beberapa fakta yang cukup memprihatinkan.
Diperkirakan sekitar 60% anak balita Indonesia tidak memiliki akta
kelahiran. Lebih dari 3 juta anak terlibat dalam pekerjaan yang berbahaya. Sekitar
sepertiga pekerja seks komersial berumur kurang dari 18 tahun, sedangkan
40.000-70.000 anak lainnya menjadi korban eksploitasi seksual.
Masih ditambah sekitar 100.000 wanita dan anak-anak diperdagangkan
setiap tahun. Lalu ada sekitar 5.000 anak yang ditahan dan 84% di antaranya
ditempatkan di penjara untuk orang dewasa.
Masalah lain yang tak kalah memprihatinkan adalah pelecehan terhadap
anak, terutama anak-anak dan wanita yang tinggal di daerah konflik atau bekas
bencana. Kekerasan terhadap anak sering terjadi di sekitar kita tetapi barangkali
kita tidak menyadari karena kurang peka, menganggap sebagai hal biasa, atau
bahkan abai.
Kasus itu bisa terjadi dalam keluarga dan sekolah. Contohnya seorang ibu
atau ayah memukuli anaknya dengan alasan untuk mendisiplinkan. Di sekolah
sudah dianggap sebagai kewajaran jika guru menghukum muridnya yang
melakukan kesalahan atau lalai dengan cara berdiri di depan kelas. Bahkan bagi
murid yang dianggap ''nakal'' hukumannya bisa lebih berat, yakni dijemur di
halaman sekolah atau diminta membersihkan kamar mandi. Sepintas hukuman
semacam itu dianggap lumrah, tetapi sebenarnya merupakan tindak kekerasan
juga meskipun kadarnya lebih ringan.
Di lingkungan keluarga kekerasan terhadap anak lebih disebabkan oleh
paradigma keliru orangtua. Mereka beranggapan anak adalah miliknya dan bebas
diperlakukan apa saja. Dalam kadar yang ringan si anak diberi hukuman berupa
pukulan atau tugas lain, serta dilecehkan jika tidak melakukan sesuatu yang
diinginkan. Misalnya karena nilai-nilai rapornya jelek si anak dimarahi dan
mendapat sebutan ''goblog'', ''bloon'', ''idiot'', dan sebagainya. Termasuk kekerasan
kategori agak berat dan berat antara lain diminta bekerja tanpa mengenal waktu
untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga.
Bahkan yang sangat memilukan adalah kenyataan tak sedikit anak-anak
yang semestinya menikmati keriangan dunia bermain bersama temannya dijual
dan dijadikan pekerja seks komersial.
Di sekolah anak-anak yang kurang pandai atau prestasinya tertinggal dari
temannya serta mendapat cap ''nakal'' sering diperlakukan kurang layak oleh
gurunya.
Ada yang dilecehkan dengan sebutan atau perlakuan yang bersifat
merendahkan dan bagi yang dianggap ''nakal'' memperoleh hukuman. Para orang
tua dan guru yang melakukan kekerasan itu mungkin tidak menyadari tindakannya
bisa berdampak panjang bagi si anak. Pelecehan dan hukuman akan membekas
pada benak si anak dan bisa mempengaruhi perkembangan kejiwaannya.
Agresif
Bagi yang sering dilecehkan kemungkinan besar menjadi pribadi yang
kurang percaya diri, minder, peragu, dan bergantung pada orang lain. Anak yang
kerap menerima tindak kekerasan secara fisik berupa hukuman ketika dewasa bisa
tumbuh menjadi pribadi yang agresif dan suka melakukan kekerasan.
Mereka mendapat contoh kekerasan di masa kecilnya sehingga pola dan
cara hidup mereka akan dijalani dengan kekerasan pula, bukan dialog atau diskusi.
Jika kita masih menganggap anak-anak merupakan generasi masa depan bangsa,
marilah sejak sekarang kita hentikan kekerasan terhadap mereka, baik yang ringan
maupun berat.
Seringan apapun jenis kekerasan yang dilakukan tetaplah sebuah
kekerasan yang bisa berdampak terhadap perkembangan anak-anak kita. Anak-
anak tersebut mempunyai hak disayangi, memperoleh pendidikan yang baik,
dihidupi secara layak, berkreasi, kebebasan, bahkan hak untuk ''nakal''. Butuh
penyadaran pada masyarakat luas untuk menghindarkan tindakan kekerasan fisik,
psikologis, ekonomi, dan sosial terhadap anak.
Kita telah memiliki UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak untuk
menjamin anak-anak di seluruh Tanah Air memperoleh perlakuan yang layak.
Meski harus diakui tidak mudah, perlu dibentuk norma sosial dan budaya baru
yang bersifat melindungi serta menghormati anak-anak. Sekecil apapun tindak
kekerasan terhadap anak harus mendapat perhatian dari masyarakat. Bisa dengan
cara saling mengingatkan atau kalau tidak, melapor ke polisi.
Penegakan hukum yang buruk sehingga kasus-kasus kekerasan, termasuk
kekerasan pada anak tidak ditangani sebagaimana mestinya harus diperbaiki. Ada
beberapa langkah yang bisa ditempuh untuk menekan atau bahkan menghilangkan
kasus-kasus kekerasan terhadap anak.
Pertama, menyosialisasikan tindakan-tindakan yang tergolong sebagai
kekerasan terhadap anak beserta peraturan-peraturannya.
Caranya dengan menyebar stiker atau melakukan penyuluhan langsung kepada
masyarakat bekerja sama lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang peduli pada
anak-anak. Dalam konteks ini peran media massa baik cetak maupun elektronik
cukup penting. Liputannya diharapkan tidak hanya mengutamakan nilai berita.
Namun lebih dari itu juga perlu mempertimbangkan misi memerangi
kekerasan terhadap anak, sehingga tidak mengedepankan hal-hal yang tragis atau
bombastis. Hak-hak korban tindak kekerasan mesti dilindungi dan dihormati,
khususnya jika berupa kekerasan seksual kategori berat.
Kedua, memberi dorongan kepada para korban kekerasan untuk
melaporkan kasus yang menimpanya kepada pihak berwajib. Di sinilah LSM-
LSM, media massa, dan kelompok-kelompok masyarakat yang peduli pada anak-
anak memegang peran amat penting. Selain kasusnya dilaporkan, para korban
perlu ditampung, didukung, dan direhabilitasi kondisi fisik serta kejiwaannya.
Bekerja sama dengan pemerintah dan instansi terkait perlu didirikan rumah
penampungan bagi korban kekerasan terhadap anak hingga ke daerah-daerah.
Ketiga, para penegak hukum harus lebih serius menindaklanjuti laporan-
laporan kasus kekerasan terhadap anak hingga tuntas. Bukan hanya pada
kekerasan yang termasuk kategori berat, melainkan juga yang ringan dan mungkin
dianggap sebagai kewajaran oleh sebagian orang.
Para pelakunya diproses dan diberi hukuman yang setimpal. Langkah
tersebut diharapkan menjadi semacam shock theraphy sehingga orang akan
berpikir ulang untuk melakukan.
Memang tidak segampang membalikkan telapak tangan untuk
mewujudkan suatu masyarakat yang mau melindungi dan menghormati anak-
anak.
Butuh proses dan waktu serta kerja keras karena hal tersebut berhubungan erat
dengan persoalan norma sosial dan budaya yang sudah mengakar kuat di
masyarakat.Empat serangkai, yakni pemerintah-penegak hukum-LSM-media
massa mesti bahu-membahu dan terus bekerja sama untuk mewujudkan itu.
Jika kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan terhadap perempuan
telah memperoleh perhatian selayaknya, kini saatnya kekerasan terhadap anak
juga demikian.
Ke depan, kita menginginkan tidak lagi ada orang tua atau guru
menghukum anak atau muridnya dengan cara apapun walau beralasan untuk
mendisiplinkan, memperbaiki perilaku, dan sebagainya.
Ada cara-cara ''menghukum'' yang lebih mendidik dan manusiawi tanpa
mencederai fisik atau kejiwaan si anak yang bisa berdampak sangat panjang. Bagi
pelaku kekerasan terhadap anak kategori berat, antara lain memperdagangkan,
melacurkan, dan menganiaya hingga luka parah atau bahkan meninggal, tak ada
pilihan lain kecuali dihukum berat.(Bambang Tri Subeno-27)
(Suara Merdeka, 16 Oktober 2006)
BAB IV
PEMBAHASAN
Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah masa balita. Karena
pada masa ini pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi dan menentukan
perkembangan anak selanjutnya. Pada masa balita ini perkembangan kemampuan
berbahasa, kreatifitas, kesadaran sosial, emosional, dan intelegensia berjalan
sangat cepat dan merupakan landasan perkembangan berikutnya. Perkembangan
moral serta dasar-dasar kepribadian juga dibentuk pada masa ini. Bahkan ada
sarjana yang mengatakan bahwa ”The child is the father of the man”. Sehingga
setiap kelainan/ penyimpanagn sekecil apapun apabila tidak terdeteksi apalagi
tidak ditangani dengan baik, akan mengurangi kualitas sumber daya manusia
kelak kemudian hari.
Masalah tumbuh kembang anak merupakan masalah yang perlu diketahui
atau dipahami sejak konsepsi hingga dewasa yang menurut WHO sampai usia 18
tahun, sedang menurut Undang-Undang Kesejaheraan Anak RI No 4 Tahun 1979
sampai dengan usia 21 tahun sebelum menikah. Beberapa masalah tumbuh
kembang anak hyang perlu dijadikan acuan dalam pemndeteksian diantaranya:
10% anak akan mencapai kemampuan pada usia dini, 50% anak akan mencapai
kemampuan kemudian, 75% anak akan mencapai kemampuan lebih kemudian,
90% anak akan sudah harus dapat mencapai kemampuan pada batas usia paling
lambat masih dalam batas normal dan 10% anak dimasukkan dalam katagori
terlambat apabila belum bias mencapai kemampuannya.
Secara umum terdapat beberap ciri anak yang memiliki kelainan dan perlu
pendeteksian diantaranya apabila pada usia 1-1,5 bulan belum bias tersenyum
secara spontan, anak usia lebih 3 bulan masih menggenggam dan belum bersuara,
usia 4-5 bulan belum tengkurap dengan kepala diangkat, pada usia 7-8 bulan
anaka belum bias disusukkan tanpa bantuan, pada usia 12 bula belum bisa
menjepit, pada usia 15 bulan belum berjalan, pada usia 18 bulan anak belum
mampu mengucapkan 4-5 kata, pada usia 2 tahun anak belum bisa menyebut
nama sendiri, pada usia 30 bulan anak belum bisa menggambar, pada usia 3 tahun
anak belum bisa berpakaian, pada usia 3,5 tahun anak belum bisa mengenal
warna, pada usia 4 tahun anak belum bisa manggambar orang 3 bagian dan pada
usia 4,5 tahun anak belum bisa bercerita maka perilaku di atas perlu dilakukan
pendeteksian untuk mengenal berbagai masalah tumbuh kembang anak.
Begitu banyak fenomena kekerasan pada anak/ balita yang tercatat pada
tahun 2006. kekerasan terhadap anak merupakan salah satu penyebab dari
timbulnya masalah perkembangan anak/ balita. Kekerasan pada anak bisa berupa
kekerasan fisik, psikologis, seksual, dan ekonomi. Kebanyakan penyebabnya
adalah kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis serta kesulitan ekonomi.
Sehingga anak menjadi pelampiasan. Banyak anak dibawah umur yang terlibat
dalam pekerjaan yang berbahaya bahkan pekerja seks komersial yang merupakan
pelecehan terhadap anak.
Di lingkungan keluarga kekerasaan terhadap anak lebih disebabkan oleh
paradigma keliru orang tua, yaitu mereka beranggapan bahwa anak adalah
miliknya dan bebas diperlakukan apa saja. Misalnya memberi hukuman berupa
pukulan atau tugas lain bahkan si anak dimarahi dan mendapat sebutan
”goblok”,”blo’on”, dan sebagainya.
Hal ini berdampak panjang bagi si anak karena bisa mempengaruhi
perkembangan kejiwaannya misalnya anak menjadi pribadi yang kurang percaya
diri, minder, peragu, dan bergantung pada orang lain bahkan ketika dewasa bisa
tumbuh menjadi pribadi yang agresif dan suka melakukan kekerasan. Jadi apapun
jenis kekerasan yang dilakukan tetaplah sebuah kekerasan yang bisa berdampak
terhadap perkembangan anak, padahal anak mempunyai hak disayangi,
memperoleh pendidikan yang baik, dihidupi secara layak, berkreasi, kebebasan
bahkan hak untuk ”nakal” sehingga masalah perkembangan dapat dihindari
Dalam rangka menanggulangi masalah atau gangguan perkembangan
anak, perawat mempunyai tugas yang sangat penting. Dengan pendekatan
interdisiplin, perawat melakukan koordinasi dan kolaborasi dengan keluarga serta
anggota tim kesehatan lainnya. Keluarga adalah mitra perawat, sehingga harus
terbina dengan baik, tidak hanya saat perawat membutuhkan informasi dari
keluarga saja, melainkan seluruh rangakaian proses perawatan anak harus
melibatkan keluarga secara aktif (Supartini; 2004).
Untuk membantu mengatasi masalah perkembangan anak, pada saat ini
berbagai metode deteksi dini untuk mengetahui gangguan perkembangan anak.
Demikian pula dengan skrining untuk mengetahui penyakit-penyakit yang
potensial dapat mengakibatkan gangguan perkembangan anak. Karena deteksi dini
kelainan perkembangna anak sangat berguna, agar diagnosis maupun
pemulihannya dapat dilakukan lebih awal, sehingga tumbuh kembang anak dapat
berlangsung seoptimal mungkin (Soetjiningsih; 1995).
Untuk menilai perkembangan anak, pertama yang dapat dilakukan adalah
dengan wawancara tentang faktor kemungkinan yang menyebabkan gangguan
dalam perkembangan, kemudian melakukan tes skrining perkembangan anak
dengan DDST (DENVER II), tes IQ dan tes psikologi lainnya. Selain itu juga
dapat dilakukan tes lainnya seperti evaluasi dalam lingkungan anak yaitu interaksi
anak selama ini, evaluasi fungsi penglihatan, pendengaran, bicara, bahasa, serta
melakukan pemeriksaan fisik lainny, seperti pemeriksaan neurologis, metabolik ,
dan lain-lain.
Dengan melakukan beberapa tes tersebut diharapkan resiko masalah
perkembangan anak dapat terdeteksi lebih dini dan dapat diatasi lebih awal.
Karena Denver II dan tes-tes lainnya mencakup penilaian terhadap personal sosial,
motorik halus, bahasa, dan motorik kasar. Untuk mendukung hal ini, maka
diperlukan anamnesis yang baik, pemeriksaan fisik yang teliti dan pemeriksaan
penunjang lainnya agar diagnosis dapat dibuat, supaya intervensi dan pengobatan
dapat dilakukan sebaik-baiknya.
Dengan kerja sama tenaga kesehatan dan lembaga sosial lainnya
(misalnya, LSM, pemerintah, dan lain-lain) diharapkan gangguan perkembangan
anak, seperti gagal tumbuh, gangguan makan, gangguan tidur, enuresis
fungsional, enkopresis fungsional, gagap, mutisme efekti, gangguan
perkembangan spesifik, autisme, hiperaktif, bahkan sampai gangguan dalam
fungsi fungsional, yaitu retardasi mental dapat dihindari (Hidayat; 2005).
BAB V
PERAN PERAWAT
dalam UPAYA DETEKSI PERKEMBANGAN BALITA
Perawat adalah salah satu anggota tim kesehatan yang bekerja dengan
anak dan orang tua. Beberapa peran penting seorang perawat anak, yaitu sebagai
pembela (advocacy), pendidik, konselor, koodinator, pembuat keputusan etik,
perencana kesehatan, pembina hubungna terpeutik, pemantau, evaluator, dan
peneliti. Perawat dituntut sebagai pembela bagi anak atau keluarganya pada saat
mereka membutuhkan pertolongan, tidak dapat mengambil keputusan/
menentukan pilihan, dan meyakinkan keluarga untuk menyadari pelayanan yang
tersedia, pengobatan, dan prosedur yang dilakukan dengan cara melibatkan
keluarga.
Perawat berperan sebagai pendidik, baik secara langsung dengan memberi
penyuluhan/ pendidikan kesehatan pada orang tua anak maupun secara ridak
langsung dengan menolong orang tua/ anak memahami pengobatan dan perawatan
anaknya. Kebutuhan orang tua terhadap pendidikan kesehatan dapat mencakup
pengertian dasar tentang penyakit anaknya, perawatan anak selama anak dirawat
di rumah sakit, perawatan lanjut untuk persaiapan pulang ke rumah. Tiga domain
yang dapat diubah oleh perawat melalui pendidikan kesehatan adalah
pengetahuan, ketrampilan, serta sikap keluarga dalam hal kesehatan, khususnya
perawatan anak sakit.
Suatu waktu anak dan keluarganya mempunyai kebutuhan psikologis
berupa dukungan / dorongan mental. Sebagai konselor, perawat dapat memberi
konseling keperawatan ketika anak dan orang tuanya membutuhkan. Hal inilah
yang membedakan layanan konseling dengan pendidikan kesehatan. Dengan cara
mendengarkan segala keluhan, melakukan sentuhan, dan hadir secara pisik,
perawat dapat saling bertukar pikiran dan pendapat dengan orang tua anak tentang
masalah anak dan kelurganya, dan membantu mencarikan alternatif
pemecahannya.
Dengan pendekatan interdisiplin, perawat melakukan koordinasi dan
kolaborasi dengan anggota tim kesehatan lain, dengan tujuan terlaksananya
asuhan yang holistik dan komprehensif. Perawat berada pada posisi kunci untuk
menjadi koordinator pelayanan kesehatan karena 24 jam berada disamping pasien.
Keluarga adalah mitra perawat. Oleh karena itu kerja sama dengan keluarga juga
harus terbina dengan baik, tidak hanya saat perawat membutuhkan inpormasi dari
kelurga saja, melainkan seluruh rangkain proses perawatan anak harus melibatkan
keluarga secara aktif.
Perawat dituntut untuk dapat berperan sebagai pembuat keputusan etik
dengan berdasarkan pada nilai moral yang diyakini dengan penekanan pada hak
pasien untuk mendapat otonomi, menghindari hal – hal yang merugikan pasien,
dan keuntungan asuhan keperawatan yaitu meningkatkan kesejahteraan pasien.
ditingkat kebijakan. Perawat harus mempunyai suara untuk di dengar oleh para
pemegang kebijakan dan harus aktif dalam gerakan yang bertujuan untuk
meningkatkatkan kesejahteraan anak. Perwat yang paling mengerti tentang
layanan keperawatan anak. Oleh karena itu perawat dapat meyakinkan pemegang
kebijakan bahwa usulan tentang perencanaan pelayanan keperawatan yang di
ajukan dapat memberi dmpak terhadap peningkatan kualitas pelayanan kesehatan
anak.
Akhirnya sebagai peneliti, perawat anak membutuhkan keterlibatan penuh
dalam upaya menemukan masalah – masalah keperawatan anak yang harus
diteliti, melaksanakan penelitian langsung, dan menggunakan hasil penelitian
kesehatan / keperawatan anak dengan tujuan meningkatkan kualitas praktik /
asuhan keperawatan pada anak. Untuk peran ini diperlukan kemampuan berpikir
kritis dalam melihat fenomena yang ada dalam layanan asuhan keperawatan anak
sehari- hari dan menelusuri penelitian yang telah dilakukan serta menggunakan
literatur untuk memvalidasi masalah penelitian yang ditemukan. Pada tingkat
kualifikasi tertentu, perawat harus dapat melaksanakan penelitian yang bertujuan
untuk meningkatkan kualitas praktik keperawatan anak.
BAB VI
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Deteksi dini tumbuh adalah kegiatan/pemeriksaan untuk menemukan
secara dini adanya penyimpangan tumbuh kembang pada balita dan anak pra
sekolah.
Peran perawat dan orang tua maupun petugas kesehatan lainnya
sangatlah penting dalam upaya mewujudkan pertumbuhan dan perkembangan
anak secara optimal, khususnya apda masa balita.
Penilaian pertumbuhan anak meliputi antropometri, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratirium dan radiologis, tapi yang paling digunakan untuk
menentukan keadaan pertumbuhan adalah antropometri
Untuk mendukung perkembangan anak yang optimal maka dilakukan
tes yang dikenal dengan nama DDST II (Denver II) yang menilai empat
faktor, diantaranya penilaian terhadap personal sosial, motorik halus, bahasa,
dan motorik kasar.
B. Saran
Untuk mengatasi gangguan dalam pertumbuhan dan perkembangan pada
balita, maka perawat sebaiknya melakukan deteksi dini perkembangan balita.
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, A,Aziz Alimul. 2005. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak I Edisi I.
Jakarta: Salemba Medika.
Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC.
Supartini, Yupi. 2004. Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakart: EGC.
Suriadi dan Rita Yuliani. 2006. Asuhan Keperawatan pada Anak. Jakarta: CV.
SAGUNG SETO.
Wong, Dona L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik Edisi 4. Jakarta:
EGC.
(http://edwintohaga.wordpress.com/2008/04//3/deteksi-dini-tumbuh-kembang-
anak-kita/)
(http://suaramerdeka.com)
top related