bab i dan ii
Post on 18-Jul-2016
24 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
PENDAHULUAN
Craniosynostosis merupakan kelainan craniofacial yang membutuhkan terapi
pembedahan yang paling sering dijumpai. Craniosynostosis adalah suatu kondisi
dimana terjadi penutupan prematur satu atau lebih sutura cranial yang muncul di
intrauterine atau sesaat setelah kelahiran.1 Hal tersebut dapat menyebabkan
pertumbuhan pada sutura yang lain dan akan membuat bentuk kepala yang abnormal.
Selain bentuk yang abnormal, kelainan tersebut juga dapat memberikan gangguan
fungsional seperti peningkatan tekanan intra kranial, hydrocephalus, gangguan
perkembangan, dan amblyopia.2
Craniosynostosis ditemukan 1 dari 3000 kelahiran. Sagittal dan coronal
craniosynostosis merupakan tipe yang paling sering ditemui dan ditemukan empat
kali lipat lebih banyak pada laki-laki dibandingkan perempuan.2 Craniosynostosis
dikategorikan sebagai isolated craniosynostosis dan syndromic craniosynostosis.
Isolated craniosynostosis ditemukan pada 80% kasus dan biasanya bersifat sederhana,
tidak berasosiasi dengan abnormalitas lain dan etiologinya non-genetik.
Kemungkinan terjadi isolated craniosynostosis adalah retriksi kepala fetal saat di
intrauterine. Syndromic craniosynostosis memiliki gejala yang lebih kompleks
dimana sering kali lebih dari satu sutura yang terlibat dan bersifat genetik. Syndromic
craniosynostosis sering kali dikaitkan dengan mutasi pada Fibroblast Growth Factor
Receptors (FGFR).3
Managemen untuk anak dengan craniosynostosis telah berkembang selama
beberapa dekade terakhir dan mayoritas terapi pembedahan. Kesulitan dari anestesi
adalah manajemen dari transfuse darah massif dan prolonged anesthesia pada anak
yang seringkali menjadi sulit karena masalah spesifik dari sindrom craniosynostosis.
Persiapan pre-operatif, induksi dan rumatan anesthesia, kontrol dari pendarahan,
penggunaan produk darah, gangguan metabolik, dan keadaan post-operatif harus
diperhatikan dengan cermat.3
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Craniosynostosis
Pertumbuhan dari tulang kepala anak memiliki garis lurus dengan
pertumbuhan bayi anak. Pada saat kelahiran, bayi memiliki hamper 40% dari ukuran
otak dewasa dan pada usia 9 tahun, otak dan tulang kepala akan mendekati 90% dari
ukuran orang dewasa. Pertumbuhan yang cepat ini terjadi akibat keberadaan dari
sutura yang belum bergabung dan fontanel yang masih terbuka. Tulang kepala
memiliki empat sutura, yakni sutura coronal, sutura lamboid, sutura metopic, dan
sutura sagittal. (Gambar 1)
Gambar 1. Sutura pada kranial
Penutupan dari sutura yang premature akan berujung pada craniosynostosis
yang menyebabkan gambaran dismorfik pada kepala jika tidak diobati (Gambar 2).
Gangguan perkembangan otak dan gangguan kognitif merupakan efek yang bisa
terjadi akibat dari craniosynostosis yang tidak diobati.4
Gambar 2. Craniosynostosis
Insiden dari terjadinya craniosynostosis adalah 1 dari 3000 kelahiran.2 Banyak
teori yang mengkategorikan craniosynostosis. Salah satu kategori yang paling sering
adalah non-sindromik dan sindromik. Non-sindromik craniosynostosis hanya
mengenai satu sutura dan tidak disertai dengan sindrom lainnya. 50% dari kasus non-
sindromik craniosynostosis hanya melibatkan sutura sagitalis. Formasi tersebut
disebut juga scaphocephali. Sutura coronal paling sering terkena selain sutura sagittal
dengan angka kejadian 20% dari kasus craniosynostosis, dan disebut juga
plagiocephali. Angka kejadian craniosynostosis pada sutura metopic adalah 10%, dan
disebut juga trigonocephali.4 Sindromik craniosynostosis terhitung 20% dari kasus
craniosynostosis dan biasanya melibatkan dua atau lebih sutura. Lebih dari 150
sindrom sudah diidentifikasi berdasarkan gambaran klinisnya, namun sindrom apert
dan sindrom crouzon merupakan yang paling sering ditemukan.kedua sutura koronal
biasanya mengalami gangguan pada keuda sindrom ini. Penderita sindro apert dan
crouzon juga biasanya mengalami midface hypoplasia dan apnea obstruktif karena
anatomi jalan napas yang abnormal.4
Sebagian besar craniosynostosis diturunkan secara genetik autosomal
dominan. Mutasi pada gen yang mengkode Fibroblast Growth Factor Receptors
(FGFRs) menyebabkan sebagian besar sindrom. Fibroblast Growth Factors (FGFs)
berikatan dengan FGFRs dan mengatur pertumbuhan dan differensiasi sel. Interaksi
yang abnormal dari kedua protein berujung pada sinyal intrasellular yang abnormal.
Contohnya pada sindrom apert, FGF berikatan degngan FGFR 2 yang abnormal
dalam jangka waktu yang cukup lama, sehingga memberikan sinyal yang premature
pada sel tulang yang immature untuk berdifferensiasi dan menyebabkan penutupan
sutura.3
Baik craniosynostosis sindromik ataupun non-sindromik bisa menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial. Angka kejadian peningkatan tekanan intrakranial
tercatat pada 40% - 70% dari kasus sindromik craniosynostosis akibat penutupan
sutura yang multipel. Peningkatan tekanan intrakranial bisa disebabkan oleh
hidrosefalus, obstruksi jalan napas, ukuran kepala yang terlalu kecil untuk otak
(disproporsi kranioserebral) atau abnormalitas drainase vena di otak. gejala dari
peningkatan tekanan intrakranial melliputi sakit kepala, iritabilitas, kejang, gangguan
perkembangan, kebutaan, dan kematian.4
Manajemen pada craniosynostosis adalah pembedahan. Tujuan dari
manajemen ini adalah untuk mencegah progresifitas yang abnormal, untuk
memperbaiki abnormalitas, dan untuk mengurangi tekanan intrakranial yang bisa
muncul jika pembedahan tidak dilakukan. Pembedahan bisa dilakukan berdasarkan
indikasi emergensi ataupun elektif. Pembedahan emergensi dilakukan jika memenuhi
kriteria, yaitu memerlukan perlindungan terhadap jalan napas dengan cepat,
memerlukan perlindungan terhadap mata dengan cepat, dan untuk mengurangi
peningkatan tekanan intrakranial baik bersifat akut ataupun kronik. Pada pembedahan
elektif, waktu untuk pembedahan masih kontroversial. Pembedahan pada usia 3 dan 6
bulan memiliki keuntungan karena tulang yang masih lembut sehingga mudah untuk
dibentuk kembali dan otak masih berada dalam masa pertumbuhan yang cepat.
Kerugian dari operasi pada usia dini adalah pembedahan berulang yang bisa
menyebabkan disproporsi kranioserebral yang berujung pada craniostenosis. Risiko
pada anak juga meningkat mengingat volume darah yang lebh kecil.3
2.2. Manajemen Anestesi
2.2.1. Penilaian Pre-operatif
2.2.1.1. Jalan Napas (Airway)
Penilaian terhadap jalan napas merupakan hal yang penting dalam
perencanaaan teknik anestesi untuk pembedaan craniofacial. Pada sindrom yang
bersangkutan dengan cranialsynostosis, seperti sindrom apert dan crouzon,
didapatkan gangguan pada jalan napas. Pada sindrom apert, midface hypoplasia dan
proptosis dapat menyulitkan pemasangan sungkup muka. Ukuran hidung yang kecil
dan choanal stenosis menyebabkan resistensi tinggi terhadap aliran udara melalui rute
nasal yang menyebabkan penderita mengharuskan bernapas melalui mulut.
Pemasangan sungkup muka dengan mulut tertutup cukup sulit, namun maneuver jalan
napas, ditambah penggunaan oropharyngeal airway (OPA), nasopharyngeal airway
(NPA), atau continuous positive airway pressure (CPAP) biasanya cukup efektif
dalam menanggulangi obstruksi. Tindakan intubasi melalui laringoskop biasanya
berhasil di mayoritas kasus. Merupakan hal yang penting untuk memastikan jika pipa
endotrakea tidak akan melengkung atau terkompresi, dan yang paling penting adalah
memastikan dan menegah pergeseran pipa endotrakea yang dapat menyebabkan hal
merugikan, seperti intubasi endobrochial atau ekstubasi yang tidak disengaja.3
2.2.1.2. Sistem Respirasi
Sebuah studi menunjukkan komplikasi respirasi ditemukan pada 6,1%
penderita sindrom apert. Riwayat infeksi saluran napas atas merupakan faktor risiko
terjadinya komplikasi respirasi pada intraoperatif. Mengi merupakan komplikasi
respirasi yang paling sering ditemukan, bahkan pada beberapa kasus, keadaan mengi
dapat membatalkan rencana operasi. Mekasnisme terjadinya mengi kemungkinan
karena saluran pernapasan bawah mengalami kekakuan atau bergabungnya cincin
trakea secara vertikal dan akumulasi dari sekret yang menyebabkan bunyi mengi yang
monofonik. Hal ini bisa diatasi dengan suctioning trakea, anestesia yang dalam, dan
terapi bronkodilator.
2.2.1.3. Obstructive Sleep Apnea (OSA)
Hamper 50% penderita sindrom apert, sindrom crouzon, dan sindrom pfeiffer
mengalami OSA. Obstruksi dapat terjadi di tempat yang bermacam-macam, namun
midface hypoplasia dapat menyebabkan distorsi pada anatomi nasofaring.
Penggunaan pipa nasofaring (NPA) diindikasikan pada masa infansi, penggunaan
NPA memegang peranan penting dalam managemen obstruksi jalan napas atas. Anak
penderita craniosynostosis sering dijadwalkan untuk dilakukan trakeostomi 1-2
minggu sebelum pembedahan kraniofasial. Trakeostomi dapat membuat saluran
napas menjadi stabil dan memastikan prosedur intraoperatif dan postoperative yang
lebih lancar. Pada anak dengan obstruksi saluran napas atas yang tidak dilakukan
trakeostomi, proses induksi anestesi bisa cukup sulit mengingat kemungkinan
terjadinya obstruksi saluran napas ketika induksi. Namun pada sebagian besar kasus,
maneuver seperti jaw thrust dan penggunaan alat bantu baik itu pipa oral atau pun
nasofaring sudah cukup.
Selain kemungkinan obstruksi saluran napas atas terjadi ketika proses
anestesi, efek jangka panjang dari obstruksi saluran napas atas terhadap system
kardiovaskular dan system saraf pusat. Ketika tidur, obstruksi saluran napas yang
dapat terjadi pada anak dengan sindromik craniosynostosis akan membentuk sebuah
siklus yang melibatkan tekanan intrakranial (ICP) dan tekanan perfusi serebral (CPP).
Pada fase aktif dari proses tidur, sebuah studi menemukan terjadinya peningkatan
tekanan intrakranial dan penurunan tekanan perfusi serebral. Penurunan dari tekanan
perfusi serebral yang bersifat intermitten dan episodik mempunyai efek negatif pada
neurological dan gangguan kognitif dalam jangka panjang.
2.2.2. Induksi dan Rumatan Anestesi
Masih banyak perdebatan mengenai induksi melalui intravena dan inhalasi
pada pasien pediatrik, seperti distress yang disebabkan oleh penahanan sungkup pada
wajah dan ketidaknyamanan dengan kanula intravena. Salah satu pertimbangan pada
akses intravena adalah kesulitan pemasangan selang intravena, jadi induksi inhalasi
lebih baik digunakan untuk mengoptimalkan akses intravena. Risiko obstruksi saluran
napas atas merupakan risiko yang ada pada seluruh proses induksi anestesi, namun
risiko ini meningkat pada kasus-kasus sindromik craniosynostosis, terutama obstruksi
pada saluran napas atas. Oleh karena itu, induksi inhalasi disertai rumatan dengan
ventilasi spontan sering dilakukan untuk meminimalisasi risiko gangguan pada jalan
napas. Pipa orofaring (OPA) juga dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas dari jalan
napas. Biasanya, induksi inhalasi dilakukan menggunakan sevoflourane.
Rumatan anestesi menggunakan agen volatile dan campuran oksigen/udara
{nitrous oxide tidak disarankan mengingat risiko terjadinya emboli udara pada vena
(VAE)}. Bolus fentanyl dengan dosis 10-15 µg/kgBB dan pelumpuh otot non-
depolarisasi digunakan untuk awal dari proses pembedahan. Ketika mendekati akhir
dari proses pembedahan, kombinasi dari morfin, parasetamol intravena, dan anti-
emetik diberikan pada penderita (beberapa institusi menggunakan remintanil). Pietrini
melakukan sebuah studi membandingkan remintanil dan sevofluran dengan
remintanil dan isofluran pada anak yang menjalani pembedahan dan tidak ditemukan
perbedaan dari parameter hemodinamik ataupun waktu pemulihan.
2.2.3. Posisi
Penempatan posisi perlu dilakukan secara hati-hati untuk mengoptimalkan
proses pembedahan dan untuk meminimalisasi risiko komplikasi. Pasien bisa berada
dalam posisi supinasi, pronasi, atau berada pada posisi pronasi yang dimodifikasi.
Posisi pronasi yang dimodifikasi ini disebut juga posisi “sphinx” karena pasien
berada dalam posisi pronasi dengan kepala dan leher ekstensi sehingga dagu berada
dalam posisi relaks dengan bantuan tahanan. Namun, pada posisi sphinx,
hyperekstensi dari leher dapat berujung pada kerusakan sumsum tulang belakang.
Pada posisi ini harus dipastikan bahwa tidak ada tekanan langsung ke leher untuk
meminimalisir tekanan vena dan menghindari potensi peningkatan tekanan
intrakranial dan pendarahan vena.
Gangguan pada mata dapat muncul baik pada sindromik ataupun non-
sindromik craniosynostosis. Abrasi dan iritasi kornea dari cairan pembersih dapat
dihindari dengan lubrikan topical. Pada anak dengan sindromik synostosis, risiko
terjadi gangguan meningkat karena proptosis. Mekanisme lain daari gangguan pada
bola mata disebabkan oleh tekanan terhadap mata. Tekanan tersebut bisa berujung
pada kerusakan saraf optic dan iskemi retina yang berujung pada kebutaan
pascaoperasi.
2.2.4. Neuroanestesia
Anak dengan craniosynostosis baik sindromik atau non-sindromik mengalami
peningkatan tekanan intrakranial. Kadar normal untuk tekanan intrakranial dan
tekanan perfusi serebral pada anak belum diteliti secara rinci. Namun, kadar tekanan
intrakranial <10 mmHg dianggap normal. Tekanan intrakranial >15 mgHg telah
disetujui sebagai hipertensi intrakranial. Banyak anak dengan craniosynostosis
kompleks yang tekanan intrakranialnya terus dipantau untuk membantu keputusan
intervensi operatif. Pada kasus penderita disertai peningkatan intrakrania, tekanan
perfusi serebral perlu dipantau sampai operasi selesai.
Kadar normal dari tekanan perfusi serebral bermacam-macam tergantung
umur, namun konsensus menyatakan tekanan perfusi serebral 40-50 mmHg pada
infansi dan anak dianggap normal. Para dokter anestesi harus bisa meminimalisasi
faktor yang meningkatkan tekanan intrakranial, seperti hiperkapnia dan hipoksia, dan
faktor yang meningkatkan tekanan vena seperti posisi pasien dan batuk.
Emboli udara vena (VAE) merupakan komplikasi yang sering terjadi pada
operasi craniosynostosis. Faberowski dkk menemukan bahwa insidensi VAE saat
craniectomy untuk craniosynostosis adalah 82,6% ketika dideteksi menggunakan
precordial Doppler. Mereka juga menemukan bahwa mayoritas dari VAE tidak ada
hubungan dengan perubahan hemodinamik. Dari seluruh VAE yang terdeteksi, 48,4%
mengalami perubahan pada Doppler dengan sendirinya. 36% dari kasus VAE
memiliki hubungan dengan perubahan end-tidal CO2, dan hanya 15,6% berasosiasi
dengan hipotensi. Tingginya insidensi VAE pada infansi disebabkan oleh kehilangan
darah yang cepat yang meyebabkan penurunan tekanan vena sentral (CVP) sehingga
perubahan gradient tekanan antara atrium kanan dan tempat pembedahan membuat
terbentuknya gelembung udara.
2.2.5. Pendarahan
Pada sebagian besar kasus, transfusi merupakan hal yang tidak terhindarkan
karena terjadinya pendarahan yang masif pada operasi craniofacial. Persentase
volume darah yang hilang meningkat pada anak-anak karena faktor usia dan berat
badan. Hal ini terjadi karena ukuran kepala yang relatif besar sehingga area untuk
terjadi pendarahan lebih besar dan persentase darah pada kepala yang lebih banyak.
Operasi yang lama (durasi dari induksi sampai keluar dari theater lebih dari 5
jam) berasosiasi dengan peningkatan kehilangan volume darah (BVL). Peningkatan
BVL ini bisa berujung pada transfusi. Sindromik craniosynostosis bukan merupakan
faktor risiko terjadi peningkatan BVL. Namun, sindromik synostosis seringkali
bersifat kompleks dan memerlukan operasi yang lama. Hipotermia merupakan salah
satu faktor yang berkontribusi dalam terjadinya koagulopati yang dapat meningkatkan
BVL dan sering terjadi pada operasi craniofacial. Intervensi awal dan cepat untuk
mempertahankan keadaan normothermi perlu dilakukan untuk mencegah hipotermi
yang dapat memperparah BVL.
Pada proses pembedahan, ada saat ketika pendarahan terjadi secara tiba-tiba.
Pengetahuan mengenai staging pembedahan membuat para dokter anestesi mampu
untuk memprediksi dan mempersiapkan untuk menanggulangi pendarahan.
Pendarahan muncul pada diseksi kepala awal dan pengangkatan periosteum.
Panduan transfusi berbeda-beda pada setiap pusat kesehatan. Pada saat terjadi
pendarahan yang cepat dan banyak, parameter hemodinamik seperti tekanan arteri
dan tekanan vena pusat bisa menjadi pemandu untuk transfusi. Pada keadaan
hemodinamik stabil, indikasi absolut transfusi bisa diterapkan yaitu ketika kadar
hemoglobin 7-8 g/dL atau hematokrit (Hct) 0,27-0,3. Strategi untuk menanggulangi
pendarahan salah satunya adalah transfusi pada fase awal, ketika proses pembukaan
coronal, transfusi 20% dari perkiraan volume sel darah merah ditambah fresh frozen
plasma (FFP) sepertiga dari volume tersebut dan infus kristaloid sebanyak 8
ml/kgBB/jam. Namun, cara ini banyak ditentang karena dapat menyebabkan
overtransfusi.
2.2.5.1. Transfusi Sel Darah Merah (RBC)
Pada anak dengan usia lebih dari 4 bulan, transfusi sel darah merah
(RBC) diindikasikan jika pendarahan intraoperatif >15% dari total volume
darah dan kadar hematokrit <24% pada masa perioperatif dengan gejala
anemia. Penggunaan formula Hb yang diinginkan – Hb actual x berat (kg) x 3
dapat memberikan jumlah volume darah yang diinginkan (biasanya 10 – 20
mL RBC/kg). Perhitungan pendarahan maksimal (MABL) juga perlu
dilakukan dalam intraoperatif untuk memperhitungkan kapan transfusi
dilakukan, formula MABL = EBV (Ho – H1): Ho, dimana EBV merupakan
estimasi volume darah total, Ho adalah kadar hematokrit awal dan H1 adalah
kadar hematokrit paling rendah yang bisa diterima.4
2.2.5.2. Transfusi Trombosit
Pasien pembedahan dengan pendarahan mikrovaskular biasanya
membutuhkan terapi jika hitung platelet kurang dari 50 x 109 /L, dan jarang
membutukan terapi jika lebih dari 100 x 109 /L. Dosis pemberian platelet
konsentrat biasanya adalah satu platelet konsentrat per 10 kgBB. Pada anak
dengan berat dibawah 10 kg, pemberian 5 mL/kg – 10 mL/kg dapat
meningkatkan kadar platelet sebanyak 50 – 100 x 109 /L.
2.2.5.3. Fresh Frozen Plasma (FFP)
FFP diindikasikan pada koreksi pendarahan mikrovaskular ketika
prothrombin dan waktu partial thromboplastin (APTT) lebih dari 1,5x normal.
FFP juga diindikasikan untuk mengkoreksi pendarahan mikrovaskular pada
saat transfuse masif ketika tes koagulasi tidak dapat dilakukan. Dosis FFP
harus dihitung untuk mendapatkan minimum 30% dari konsentrasi faktor
plasma, yang biasanya bisa didapat dengan dosis 10 mL/kg – 15 mL/kg FFP.
2.2.5.4. Criopresipitat
Criopresipitat sebaiknya dipertimbangkan pada saat pendarahan
mikrovaskular terjadi dengan kadar fibrinogen dibawah 80 mg/dL. Satu unit
criopresipitat per 10 kg tubuh meningkatkan konsentrasi fibrinogen plasma
sebanyak 50 mg/dL dalam keadaan tidak ada pendarhan masif.
Pada seluruh jenis operasi perbaikan craniosynostosis, transfuse RBC
merupakan hal yang umum dilakukan, sedangkan transfusi platelet, FFP, dan
criopresipitat terhitung jarang digunakan.
2.2.6. Transfusi Darah Homolog dan Cell Salvage
Transfusi darah homolog (HBT) memiliki risiko tinggi (SHOT) dan
berbahaya. Hal ini meliputi reaksi hemolitik akut, gangguan akut pada paru karena
transfuse, infeksi, dan komplikasi dari transfusi masif seperti koagulopati, gangguan
elektrolit dan gangguan asam basa. Oleh karena itu, strategi dalam mengurangi
kebutuhan dari transfusi darah homolog telah dibuat (tabel 1).
Pre-operatif Intra-operatif
Suplemen besi Teknik pembedahan meticulous
Erythropoetin Infiltrasi adrenalin
Intraoperatif cell salvage
Acute normovolemic hemodilusi
Hypervolemik hemodilusi
Controlled hypotension
Anti-fibrinolitik
Transfusi darah
Tabel 1. Strategi konservasi darah
Kadar hematokrit preoperatif yang rendah merupakan penanda peningkatan
kebutuhan HBT. Untuk mengoptimalisasi hematokrit preoperatif, perlu diagnosis dan
terapi terhadap anemia, penggunaan suplemen besi, dan eritropoetin. Recombinant
Human Erythropoetin (EPO) diberikan melalui subkutan setiap minggu selama 3-4
minggu sebelum pembedahan bisa meningkatkan kadar hematokrit preoperatif
sebanyak 28-56% dan mengurangi kebutuhan transfusi.
Intraoperatif cell salvage memiliki risiko berbahaya, termasuk koagulopati,
hemolysis, kontaminasi bakteri, dan kerusakan pada platelet. Sebuah studi
menunjukkan bahwa mikroorganisme yang paling sering ditemukan adalah
coagulase-negative staphylococci. Namun, tidak ada satupun pasien yang menerima
transfuse darah kultur positif menunjukan gejala ataupun gambaran laboratorium
bacteremia.
Teknik dilusi darah sering kali digunakan untuk mengurangi transfuse darah
allogenik. Hemodilusi normovolemik akut meliputi pengambilan darah utuh dari
pasien dan mengganti volume ini dengan kristaloid atau koloid. Kemudian darah utuh
ini akan dimasukkan kembali pada akhir operasi. Sebuah studi telah dilakukan untuk
meneliti teknik ini dan tidak ditemukan keuntungan dalam penggunaan teknik ini.
Penggunaan antifibrinolitik sudah sering digunakan dan menunjukan hasil
yaitu menurunnya kebutuhan transfusi. Asam tranexamat sering digunakan dalam
beberapa pusat kesehatan di dunia. Masih banyak perdebatan mengenai mekanisme
asam tranexamat dalam mengurangi pendarahan.
2.2.7. Gangguan Metabolik
Gangguan metabolik yang muncul pada operasi adalah terganggunya fisiologi
asam basa dan elektrolit akibat kehilangan darah yang signifikan dan proses transfusi
baik itu kristaloid, koloid, ataupun produk darah.
Insiden hipokalsemia pada sebuah studi terhadap pendarahan dan
manajemennya pada operasi craniosynostosis adalah 10% (hipokalsemia
didefinisikan sebagai kadar kalsium <0,9 mM). Hal ini mayoritas disebabkan oleh
transfuse dari darah yang mengandung citrate.
Peningkatan kadar potassium plasma sering kali muncul setelah pasien
menjalani transfusi. Insiden terjadinya hyperkalemia (potassium >5,5 mM) pada
sebuah studi adalah 45%. Packed Red Cell (PRC) yang disimpan lebih dari 2 minggu
mengandung >40 mM potassium. Sebaliknya, PRC yang disimpan <1 minggu
memiliki <20 mM. Karena alasan tersebut, PRC yang digunakan pada operasi
craniofacial anak sebaiknya berusia <1 minggu.
Sebuah studi metabolik asidosis pada operasi craniosynostosis
mengungkapkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara maksimum base
deficit dan total volume darah dan colloid yang diberikan selama intraoperatif.
Stricker dkk mengungkapkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara jumlah
cairan kristaloid yang diberikan dengan metabolic asidosis intraoperative (BE <-5 dan
pH <7,3). Menurut penelitian yang dilakukan Choi dkk, 25% dari pasien memiliki
base deficit awal <-4 pada saat insersi dari jalur arteri. Hal ini menjelaskan bahwa
kemungkinan ketoasidosis merupakan konsekuensi dari puasa preoperatif.
2.2.8. Manajemen Post-operatif
Pada sebagian besar kasus, pasien akan diekstubasi setelah operasi selesai dan
dipindahkan ke ruang pemulihan. Jika pasien masih dalam keadaan tidak stabil, telah
menjalani operasi “prolonged”, dan memiliki riwayat gangguan jalan napas maka
ekstubasi bisa ditunda hingga keadaan pasien stabil. Mayoritas pasien akan dirawat
pada pediatric intensive care unit (PICU). Kadar hematokrit harus diperhatikan pada
saat postoperatif. Pemeriksaan koagulasi diindikasikan jika pendarahan berlebih pada
saat post-operatif.
Seperti pada operasi lain, manajemen nyeri merupakan hal yang krusial.
Penggunaan opioid dengan dosis yang tepat biasanya dibutuhkan, dengan follow up
untuk memastikan bahwa pasien menerima opioid dengan adekuat. Penggunaan non-
steroid anti inflammatory drugs (NSAID) biasanya ditunda karena menghindari
terjdinya inhibisi platelet dan peningkatan pendarahan post-operatif. Asetaminofen
bisa digunakan sebagai penambah opioid.
KESIMPULAN
Craniosynostosis adalah sebuah kondisi kompleks yang bersifat
multifaktorial. Bukan hanya sindromik craniosynostosis, non-sindromik
craniosynostosis bisa saja menyebabkan gangguan perkembangan otak yang bisa
berujung pada gangguan belajar dan gangguan kognitif. Keuntungan dari
penanggulangan craniosynostosis dengan cepat adalah insidensi dari gangguan
kognitif yang bisa dihindari. Dengan penanggulangan berupa operasi, tentunya perlu
dipersiapkan dengan matang terutama dari segi anestesi. Manajemen preoperasi,
intraoperasi, dan post-operasi harus dipersiapkan. Monitoring terhadap keadaan
pasien intraoperatif menjadi masalah yang paling berat mengingat terjadinya
pendarahan yang masif dan pemilihan transfusi yang memiliki banyak efek samping.
Namun, dengan persiapan preoperatif yang matang dan monitoring volume
intravaskuler saat operasi, hasil yang baik bisa didapat.
top related