repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 45155 › chapter ii.pdf... · bab...
Post on 27-Feb-2020
2 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini dibahas konsep-konsep yang terkait dengan penelitian yang
akan dilakukan, yaitu :
1. Fraktur
1.1 Defenisi fraktur
Fraktur adalah patah tulang atau terputusnya kontinuitas jaringan tulang
yang ditentukan sesuai dengan jenis dan luasnya (Brunnner & Suddarth, 2001).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang , retak atau patahnya tulang yang
utuh, yang biasanya disebabkan oleh trauma/rudapaksa atau tenaga fisik yang
ditentukan jenis dan luasnya trauma (Lukman &Ningsih, 2009) .
1.2 Etiologi Fraktur
Etiologi fraktur yang dimaksud adalah peristiwa yang dapat menyebabkan
terjadinya fraktur diantaranya peristiwa trauma(kekerasan) dan peristiwa
patologis.
1.2.1 Peristiwa Trauma (kekerasan)
a. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung dapat menyebabkan tulang patah pada titik
terjadinya kekerasan itu, misalnya tulang kaki terbentur bumper
mobil, maka tulang akan patah tepat di tempat terjadinya benturan.
Patah tulang demikian sering bersifat terbuka, dengan garis patah
melintang atau miring (Oswari, 2005).
b. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang di tempat yang
jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah
Universitas Sumatera Utara
bagian yang paling lemah dalam hantaran vektor kekerasan. Contoh
patah tulang karena kekerasan tidak langsung adalah bila seorang
jatuh dari ketinggian dengan tumit kaki terlebih dahulu. Yang patah
selain tulang tumit, terjadi pula patah tulang pada tibia dan
kemungkinan pula patah tulang paha dan tulang belakang. Demikian
pula bila jatuh dengan telapak tangan sebagai penyangga, dapat
menyebabkan patah pada pergelangan tangan dan tulang lengan
bawah (Oswari, 2005).
c.Kekerasan akibat tarikan otot
Kekerasan tarikan otot dapat menyebabkan dislokasi dan patah
tulang. Patah tulang akibat tarikan otot biasanya jarang terjadi.
Contohnya patah tulang akibat tarikan otot adalah patah tulang
patella dan olekranom, karena otot triseps dan biseps mendadak
berkontraksi (Oswari, 2005).
1.2.2 Peristiwa Patologis
a. Kelelahan atau stres fraktur
Fraktur ini terjadi pada orang yang yang melakukan aktivitas
berulang – ulang pada suatu daerah tulang atau menambah tingkat
aktivitas yang lebih berat dari biasanya. Tulang akan mengalami
perubahan struktural akibat pengulangan tekanan pada tempat yang
sama, atau peningkatan beban secara tiba – tiba pada suatu daerah
tulang maka akan terjadi retak tulang (Price, 2005).
b. Kelemahan Tulang
Universitas Sumatera Utara
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal karena lemahnya
suatu tulang akibat penyakit infeksi, penyakit metabolisme tulang
misalnya osteoporosis, dan tumor pada tulang. Sedikit saja tekanan
pada daerah tulang yang rapuh maka akan terjadi fraktur (Price
2005).
1.3 KlasifikasiFraktur
Ada beberapa jenis fraktur menurut Brunnner & Suddarth (2001), yaitu :
1.3.1 Fraktur komplit, patah pada seluruh garis tengah tulang dan
biasanya mengalami pergeseran (bergeser dari posisi normal).
1.3.2 Fraktur tidak komplit (inkomplit), patah yang hanya terjadi pada
sebagian dari garis tengah tulang.
1.3.3 Fraktur tertutup (fraktur simple), tidak menyebabkan robeknya
kulit.
1.3.4 Fraktur terbuka (fraktur komplikata/kompleks), fraktur dengan luka
pada kulit atau mebran mukosa sampai ke patahan tulang. Fraktur terbuka
digradasi menjadi : Grade I dengan luka bersih kurang dari 1 cm panjang
nya ; Grade II luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang
ekstensif dan Grade III luka yang sangat terkontaminasi dan mengalami
kerusakan jaringan lunak ekstensif, merupakan paling berat.
1.3.5 Berdasarkan bentuk patahan tulang
a. Greenstick, fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang sisi
lainnya membengkok.
b.Transversal, fraktur sepanjang garis tengah tulang.
Universitas Sumatera Utara
c. Oblik, fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang (lebih
tidak stabil dibanding transversal).
d.Spiral, fraktur memuntir seputar batang tulang.
e. Kominutif, fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen.
f. Depresi, fraktur dengan fragmen patahan terdorng ke dalam (sering
terjadi pada tulang tengkorak dan tulang wajah).
g.Kompresi, fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada
tulang belakang).
h.Patologik, fraktur yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit (kista
tulang, penyakit Paget, metastasi tulang, tumor).
i. Avulsi, tertariknya fragmen tulang oleh ligamen atau tendon pada
perlekatannya.
j. Impaksi, fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang
lainnya.
1.4 Manifestasi klinis
Menurut Lukman & Ningsih (2009), ada beberapa manifestasi klinis
fraktur yaitu :
1.4.4 Nyeri
Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen
tulang.
1.4.5 Hilangnya fungsi dan deformitas
Universitas Sumatera Utara
Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan
cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa ) bukannya
tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau
tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas
yang diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal.
Ekstremitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot
bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
1.4.6 Pemendekan Ekstremitas
Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat di atas dan di bawah tempat fraktur.
Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain 2,5 sampai 5 cm (1-2
inci).
1.4.7 Krepitus
Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan
lunak yang lebih berat.
1.4.8 Pembengkakan lokal dan perubahan warna
Pembengkakan lokal dan perubahan warna pada kulit terjadi sebagai
akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru
terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.
1.5 Proses Penyembuhan Fraktur
Proses penyembuhan fraktur bervariasi sesuai dengan ukuran tulang dan
umur pasien. Faktor lainnya adalah tingkat kesehatan pasien secara
Universitas Sumatera Utara
keseluruhan, atau kebutuhan nutrisi yang cukup. Berdasarkan proses
penyembuhan fraktur, maka dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1.5.1 Proses Hematom
Merupakan proses terjadinya pengeluaran darah hingga terbentuk
hematom (bekuan darah) pada daerah terjadinya fraktur tersebut, dan yang
mengelilingi bagian dasar fragmen. Hematom merupakan bekuan darah
kemudian berubah menjadi bekuan cairan semi padat (Discon & Wright,
1992).
1.5.2 Proses Proliferasi
Pada proses ini, terjadi perubahan pertumbuhan pembuluh darah
menjadi memadat, dan terjadi perbaikan aliran pembuluh darah (Pakpahan,
1996).
1.5.3 Proses pembentukan callus
Proses pembentukan callus pada orang dewasa antara 6-8 minggu,
sedangkan pada anak-anak 2 minggu. Callus merupakan proses
pembentukan tulang baru, dimana callus dapat terbentuk di luar tulang
(superiosteal callus) dan di dalam tulang (endosteal callus). Proses
perbaikan tulang terjadi sedemikian rupa, sehingga trabekula yang
dibentuk tidak teratur oleh tulang imatur untuk sementara bersatu dengan
ujung-ujung tulang yang patah sehingga membentuk suatu callus tulang
(Pakpahan, 1996).
1.5.4 Proses konsolidasi (penggabungan)
Perkembangan callus secara terus-menerus, dan terjadi pemadatan
tulang seperti sebelum terjadi fraktur, konsolidasi terbentuk antara 6-12
Universitas Sumatera Utara
minggu (ossificasi) dan antara 12-26 minggu (matur). Tahap ini disebut
dengan penggabungan secara terus-menerus (Pakpahan, 1996).
1.5.5 Proses Remodeling
Proses remodeling merupakan tahapan terakhir dalam penyembuhan
tulang, dan proses pengembalian bentuk semula. Proses terjadinya
remodeling antara 1-2 tahun setelah terjadinya callus dan konsolidasi
(Brunner& Suddarth, 2001).
1.6 Komplikasi fraktur
1.6.1 Komplikasi awal
a. Syok
Pada komplikasi awal dapat terjadi syok hipovolemik atau
trumatik, akibat perdarahan (baik kehilangan darah ekterna
maupun yang tidak kelihatan) dan kehilangan cairan ekstrasel ke
jaringan yang rusak ( Brunner & Suddarth 2001).
b.Sindrom Emboli Lemak
Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk ke dalam
darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan
kapiler atau karena katekolamin yang dilepaskan oleh reaksi stress
pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan terjadinya
globula lemak dalam aliran darah( Brunner & Suddarth 2001).
c. Sindrom Kompartemen
Sindrom kompartemen merupakan masalah yang terjadi saat
perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk
kehidupan jaringan. Ini bisa disebabkan karena penurunan ukuran
Universitas Sumatera Utara
kompartemen otot karena fasia yang membungkus otot terlalu ketat
atau gips atau balutan yang menjerat. Bisa juga karena penigkatan
isi kompartemen otot karena edema atau perdarahan sehubungan
dengan berbagai masalah (misalnya iskemia, cedera remuk,
penyutikan bahan pengahancur jaringan) ( Brunner & Suddarth
2001).
1.6.2 Komplikasi lambat atau lanjutan
a. Penyatuan terlambat atau tidak ada penyatuan (Mal-union atau
Non-union)
Penyatuan terlambat terjadi bila penyembuhan tidak terjadi dengan
kecepatan normal untuk jenis dan tempat fraktur tertentu.
Penyatuan terlambat mungkin berhubungan dengan infeksi
sistemik dan distraksi (tarikan jauh) fragmen tulang.
Tidak adanya penyatuan terjadi karena kegagalan penyatuan ujung-
ujung patahan tulang ( Brunner & Suddarth 2001).
b.Nekrosis avaskular tulang
Nekrosis avaskular terjadi bila tulang kehilangan asupan darah dan
mati. Dapat terjadi setelah fraktur, dislokasi, terapi kortikosteroid
dosis tinggi berkepanjangan, penyakit ginjal kronik, anemia sel
sabit dan penyakit lain. Tulang yang mati mengalami kolaps atau
diabsorpsi dan diganti dengan tulang yang baru ( Brunner &
Suddarth 2001).
c. Reaksi terhadap alat fiksasi interna
Universitas Sumatera Utara
Alat fiksai interna biasanya diambil setelah penyatuan tulang telah
terjadi, namun pada kebanyakan pasien alat tersebut tidak diangkat
sampai menimbulkan gejala. Nyeri dan penurunan fungsi
merupakan indikator utama telah terjadinya masalah. Masalah
tersebut meliputi kegagalan mekanis (pemasangan dan stabilisasi
yang tidak memadai), kegagalan material (alat yang cacat atau
rusak), berkaratnya alat, menyebabkan inflamasi lokal, respon
alergi terhadap campuran logam yang dipergunakan, dan
remodelingosteoporotik disekitar alat fiksasi (stres yang
dibutuhkan untuk memperkuat tulang diredam oleh alat tersebut
mengakibatkan osteoporosis disuse) ( Brunner & Suddarth 2001).
2. Nyeri
2.1 Definisi nyeri
Menurut The International Association for the Study of Pain (1979,
dalam Potter & Perry 2005), nyeri didefenisikan sebagai perasaan sensori
dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan
kerusakan jaringan atau potensial yang menyebabkan kerusakan jaringan.
Sementara itu defenisi keperawatan tentang nyeri adalah apapun yang
menyakitkan tubuh yang dikatakan individu yang mengalaminya yang ada
kapanpun individu mengatakannya (Brunner & Suddarth, 2001).
McCaffery(1980 dalamPrasetyo, 2010) menyatakan bahwa nyeri
adalah segala sesuatu yang dikatakan seseorang tentang nyeri tersebut dan
terjadi kapan saja saat seseorang mengatakan merasakan nyeri. Definisi ini
menempatkan seorang pasien sebagai expert (ahli) di bidang nyeri, karena
Universitas Sumatera Utara
hanya pasienlah yang tahu tentang nyeri yang ia rasakan. Bahkan nyeri
adalah sesuatu yang sangat subjektif, tidak ada ukuran yang objektif
padanya, sehingga hanyalah orang yang merasakannya yang paling akurat
dan tepat dalam mendefenisikan nyeri.
2.2 Klasifikasi nyeri
2.2.1 Klasifikasi nyeri berdasarkan awitan
Berdasarkan waktu kejadian, nyeri dapat dikelompokkan sebagai
nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi dalam
waktu atau durasi 1 detik sampai dengan kurang dari enam bulan,
sedangkan nyeri kronis adalah nyeri yang terjadi dalam waktu lebih dari
enam bulan. Nyeri akut dapat dipandang sebagai nyeri yang terbatas dan
bermanfaat untuk mengidentifikasi adanya cedera atau penyakit pada
tubuh. Nyeri akut biasanya menghilang dengan sendirinya dengan atau
tanpa tindakan setelah kerusakan jaringan menyembuh (Tamsuri, 2007).
Nyeri kronis umumnya timbul tidak teratur, intermitten, atau
bahkan persisten. Nyeri ini menimbulkan kelelahan mental dan fisik
(Tamsuri, 2007). Pada individu yang mengalami nyeri kronis timbul suatu
perasaan tidak aman karena ia tidak pernah tahu apa yang dirasakan dari
hari ke hari. Gejala nyeri kronik meliputi keletihan, insomnia, anoreksia,
penurunan berat badan, depresi, putus asa, dan kemarahan. Pasien dengan
nyeri kronis tidak atau kurang memperlihatkan hiperaktivitas autonom
tetapi memperlihatkan gejala irritabilitas, kehilangan semangat, dan
gangguan kemampuan berkonsentrasi. Nyeri kronis ini sering
mempengaruhi semua aspek kehidupan penderitanya, menimbulkan
Universitas Sumatera Utara
distress, kegalauan emosi, dan mengganggu fungsi fisik dan sosial (Potter
& Perry, 2005).
2.2.2 Klasifikasi nyeri berdasarkan lokasi
Berdasarkan lokasi nyeri, nyeri dapat dibedakan menjadi enam
jenis, yaitu nyeri superfisial, nyeri somatik dalam, nyeri viseral, nyeri alih,
nyeri sebar, dan nyeri bayangan (fantom) (Tamsuri, 2007).
Nyeri superfisial biasanya timbul akibat stimulasi kulit seperti pada
laserasi, luka bakar, dan sebagainya. Nyeri berlangsung sebentar,
terlokalisasi, dan memiliki sensasi yang tajam.
Nyeri somatik dalam (deep somatic pain) adalah nyeri yang terjadi
pada otot tulang serta struktur penyokong lainnya, umumnya nyeri bersifat
tumpul dan distimulasi dengan adanya perenggangan dan iskemia.
Nyeri viseral adalah nyeri yang disebabkan oleh kerusakan organ
interna. Nyeri bersifat difusi dan dapat menyebar keberbagai arah. Durasi
bervariasi tetapi biasanya berlangsung lebih lama dari pada nyeri
superfisial. Nyeri dapat terasa tajam, tumpul atau unik tergantung organ
yang terlibat.
Nyeri sebar (radiasi) adalah sensasi nyeri yang meluas dari sensasi
asal ke jaringan sekitar. Nyeri dapat bersifat intermitten atau konstan.
Nyeri fantom adalah nyeri khusus yang dirasakan klien yang
mengalami amputasi. Nyeri oleh klien dipersepsikan berada pada organ
yang telah diamputasi seolah-olah organnya masih ada.
Nyeri alih (reffered pain) adalah nyeri yang timbul akibat adanya
nyeri viseral yang menjalar ke organ lain, sehingga dirasakan nyeri pada
Universitas Sumatera Utara
beberapa tempat dan lokasi. Nyeri jenis ini dapat timbul karena masuknya
neuron sensori dari organ yang mengalami nyeri ke dalam medula spinalis
dengan serabut saraf yang berada pada bagian tubuh lainnya.
2.2.3 Klasifikasi nyeri berdasarkan organ
Nyeri organik adalah nyeri yang diakibatkan adanya kerusakan
(aktual atau potensial) organ. Nyeri neurogenik adalah nyeri akibat
gangguan neuron, misalnya pada neuralgia dan dapat terjadi secara akut
maupun kronis. Nyeri psikogenik adalah nyeri akibat berbagai faktor
psikologis, umumnya terjadi ketika efek-efek psikogenik seperti cemas
dan akut timbul pada klien (Tamsuri, 2007).
2.3 Fisiologi nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima
rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah
ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat
yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor,
secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielin dan ada juga
yang tidak bermielin dari syaraf perifer. Berdasarkan letaknya, nosireseptor
dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit
(kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena
letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi
yang berbeda (Potter & Perry, 2005).
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang
berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan.
Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
Universitas Sumatera Utara
a. Reseptor A delta Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det)
yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang
apabila penyebab nyeri dihilangkan.
b. Serabut C Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det)
yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat
tumpul dan sulit dilokalisasi.
Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang
terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga
lainnya. Karena struktur reseptornya kompleks, nyeri yang timbul merupakan
nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi
organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri
yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan
organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi
(Tamsuri, 2007).
2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri
2.4.1 Jenis kelamin
Secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna
dalam berespon terhadap nyeri (Gill,1990dalam Potter & Perry, 2005).
Beberapa kebudayaan yang mempengaruhi jenis kelamin (misalnya,
menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus berani dan tidak boleh
Universitas Sumatera Utara
menangis, sedangkan seprang anak perempuan boleh menangis dalam
situasi yang sama (Potter & Perry, 2005).
2.4.2 Usia
Usia merupakan variabel yang penting dalam merespon nyeri. Cara
lansia merespon nyeri dapat berbeda dengan orang yang berusia lebih
muda. Lansia cenderung mengabaikan nyeri dan menahan nyeri yang berat
dalam waktu yang lama sebelum melaporkannya atau mencari perawatan
kesehatan (Brunner & Suddarth, 2001).
2.4.3 Budaya
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu
mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang
diterima oleh kebudayaan mereka.Hal ini meliputi bagaimana bereaksi
terhadap nyeri (Calvillo dan Flaskerud, 1991 dalam Potter & Perry, 2005).
Petugas kesehatan seringkali berasumsi bahwa cara yang mereka lakukan
dan apa yang mereka yakini adalah sama dengan cara dan keyakinan orang
lain. Dengan demikian, mereka mencoba mengira bagaimana klien
berespon terhadap nyeri. Misalnya, apabila seorang perawat yakin bahwa
menangis dan merintih mengindikasikan suatu ketidakmampuan untuk
mentoleransi nyeri, akibatnya pemberian terapi mugkin tidak cocok untuk
klien berkebangsaan Meksiko-Amerika yang menangis keras tidak selalu
mempersepsikan pengalaman nyeri sebagai sesuatu yang berat atau
mengharapkan perawat melakukan intervensi (Calvillo dan Flaskerud,
1991 dalam Potter & Perry, 2005).
Universitas Sumatera Utara
2.4.4 Ansietas
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks, ansietas
yang dirasakan seseorang seringkali meningkatkan persepsi nyeri, akan
tetapi nyeri juga dapat menimbulkan perasaan ansietas. Sebagai contoh
seseorang yang menderita kanker kronis dan merasa takut akan kondisi
penyakitnya akan semakin meningkatkan persepsi nyerinya (Prasetyo,
2010).
2.4.5 Pengalaman Sebelumnya
Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri, akan tetapi
pengalaman yang telah dirasakan individu tersebut tidak berarti bahwa
individu tersebut akan mudah dalam menghadapi nyeri pada masa
mendatang. Seseorang yang terbiasa merasakan nyeri akan lebih siap dan
mudah mengantisipasi nyeri daripada individu yang mempunyai
pengalaman sedikit tentang nyeri (Prasetyo, 2010).
2.4.6 Pola Koping
Individu yang memiliki lokus kendali internal mempersepsikan diri
mereka sebagai individu yang dapat mengendalikan lingkungan mereka
dan hasil akhir suatu peristiwa, seperti nyeri (Gill, 1990 dalam Potter &
Perry, 2005). Sebaliknya, individu yang memiliki lokus kendali eksternal,
mempersepsikan faktor-faktor lain di dalam lingkungan mereka, seperti
perawat, sebagai individu yang bertanggungjawab terhadap hasil akhir
peristiwa. Individu yang memiliki lokus kendali internal melaporkan
mengalami nyeri yang tidak terlalu berat daripada individu yang memiliki
lokus kendali eksternal (Schulteis, 1987 dalam Potter & Perry, 2005).
Universitas Sumatera Utara
2.4.7 Dukungan Sosial dan Keluarga
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada
anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan,
dan perlindungan. Walaupun klien tetap merasakan nyeri, tetapi akan
mengurangi rasa kesepian dan ketakutan ( Potter & Perry, 2005).
2.5 Pengukuran Nyeri
2.5.1 Skala Numerik Nyeri
Skala ini sudah biasa dipergunakan dan telah divalidasi. Berat
ringannya rasa sakit atau nyeri dibuat menjadi terukur dengan
mengobyektifkan pendapat subyektif nyeri. Skala numerik dari 0 hingga
10, di bawah ini, nol (0) merupakan keadaan tanpa atau bebas nyeri,
sedangkan sepuluh (10), suatu nyeri yang sangat hebat (Brunner &
Suddarth, 2001).
Skala Numerik Nyeri
2.5.2 Visual analog scale
Terdapat skala sejenis yang merupakan garis lurus, tanpa angka.
Bisa bebas mengekspresikan nyeri, ke arah kiri menuju tidak sakit, arah
kanan sakit tak tertahankan, dengan tengah kira-kira nyeri yang sedang
(Potter & Perry, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Visual Analog Scale (VAS)
Tidak ada rasa nyeri Sangat nyeri
Pasien diminta menunjukkan posisi nyeri pada garis antara kedua
nilai ekstrem. Bila anda menunjuk tengah garis, menunjukkan nyeri yang
moderate/sedang (Brunner & Suddarth, 2001).
2.5.3 Skala Wajah Wong dan Barker
Skala nyeri enam wajah dengan ekspresi yang berbeda,
menampilkan wajah bahagia hingga wajah sedih, digunakan untuk
mengekspresikan rasa nyeri. Skala ini biasanya dipergunakan mulai anak
usia 3 (tiga) tahun (Potter & Perry, 2005).
Skala wajah untuk nyeri
Pengukuran nyeri yang dipakai untuk mengukur skala nyeri pada
penelitian ini adalah skala numerik nyeri. Skala ini merupakan skala yang
paling umum digunakan untuk mengukur skala nyeri. Nilai 1-4
menggambarkan nyeri ringan, 5-6 menggambarkan nyeri sedang, dan 7-0
nyeri berat (Brunner & Suddarth, 2001).
Universitas Sumatera Utara
2.6 Respon Tubuh Terhadap Nyeri
2.6.1 Respon fisik
Respon fisik timbul karena pada saat impuls nyeri ditransmisikan
oleh medulla spinalis menuju batang otak dan thalamus, sistem saraf
otonom terstimulasi, sehingga menimbulkan respon yang serupa dengan
respon tubuh terhadap stres. Pada nyeri skala ringan sampai moderat serta
nyeri superfisial,tubuh bereaksi membangkitkan General Adaptation
Syndrome (Reaksi Fight or Flight), dengan merangsang sistem saraf
simpatis sedangkan pada nyeri yang berat dan tidak dapat ditoleransi serta
nyeri yang berasal dari organ viseral, akan mengakibatkan stimulasi
terhadap saraf parasimpatis (Tamsuri,2007).
2.6.2 Respon perilaku
Respon perilaku yang timbul pada klien yang mengalami nyeri
dapat bermacam-macam. Meinhart dan Mc. Caffery (1983)
menggambarkan fase perilaku terhadap nyeri yaitu: antisipasi, sensasi, dan
pasca nyeri (Mc. Caffery dalam Tamsuri, 2007).
Fase antisipasi merupakan fase yang paling penting dan merupakan
fase yang memungkinkan individu untuk memahami nyeri. Individu
belajar untuk mengendalikan emosi (kecemasan) sebelum nyeri muncul,
karena kecemasan dapat menyebabkan peringatan sensasi nyeri yang
terjadi pada klien dan atau tindakan ulang yang dilakukan oleh individu
untuk mengatasi nyeri menjadi kurang efektif.
Pada saat terjadi nyeri, banyak perilaku yang diungkapkan oleh
seorang individu yang mengalami nyeri seperti menangis, meringis,
Universitas Sumatera Utara
meringkukkan badan, menjerit, dan bahkan berlari-lari. Pada fase paska
nyeri, individu bisa saja mengalami trauma psikologis, takut, depresi, serta
dapat juga menjadi menggigil.
2.5.6 Respon Psikologis
Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien
terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi individu. Individu
mengartikan nyeri sebagai suatu yang negatif cenderung memiliki suasana
hati sedih, berduka, ketidakberdayaan, dan dapat berbalik menjadi rasa
marah dan frustasi. Sebaliknya pada induvidu yang memiliki persepsi
nyeri sebagai pengalaman positif akan menerima nyeri yang dialaminya
(Tamsuri, 2007).
2. 7 Manajemen nyeri
Terdapat berbagai tindakan yang dapat dilakukan seorang perawat
untuk mengurangi rasa nyeri yang diderita. Tindakan-tindakan tersebut
mencakup tindakan nonfarmakologis dan tindakan farmakologis. Dalam
beberapa kasus nyeri yang sifatnya ringan, tindakan non-farmakologis adalah
intervensi yang paling utama, sedangkan tindakan farmakologis dipersiapkan
untuk mengantisipasi perkembangan nyeri. Pada kasus nyeri sedang sampai
berat, tindakan non-farmakologis menjadi suatu pelengkap yang efektif untuk
mengatasi nyeri disamping tindakan farmakologis yang utama (Prasetyo,
2010).
2.7.1 Manajemen nyeri secara farmakologis
Menangani nyeri yang dialami pasien melalui intervensi
farmakologis dilakukan dalam kolaborasi dengan dokter atau pemberi
Universitas Sumatera Utara
keperawatan lainnya dan pasien (Brunner & Suddarth, 2001). Beberapa
agens farmakologi digunakan untuk menangani nyeri. Semua agen tersebut
memerlukan resep dokter. Keputusan perawat, dalam penggunaan obat-
obatan dan penatalaksanaan klien yang menerima terapi farmakologi,
membantu dalam upaya memastikan penanganan nyeri yang mungkin
dilakukan ( Potter &Perry, 2005).
a. Analgesik
Penatalaksanaan nyeri secara farmakologis meliputi penggunaan
opioid (narkotik), nonopioid/NSAIDs (Nonsteroid Anti-Inflamasi
Drugs), dan adjuvan, serta ko-analgesik. Analgesik opioid (narkotik)
terdiri dari berbagai derivate dari opium seperti morfin dan kodein.
Narkotik dapat menyebabkan penurunan nyeri dan memberi efek
euphoria (kegembiraan) karena obat ini mengadakan ikatan dengan
reseptor opiate (ada beberapa reseptor opiate seperti mu, delta, dan
alppa) dan mengaktifkan penekanan nyeri endogen pada susunan
syaraf pusat. Narkotik tidak hanya menekan rangsang nyeri, tetapi juga
menekan pusat pernapasan dan batuk di medulla batang otak. dampak
lain dari narkotik adalah sedasi dan peningkatan toleransi obat
sehingga kebutuhan dosis obat akan meningkat (Tamsuri,2007).Untuk
nyeri yang sedang sampai berat menggunakan analgesik opioid atau
narkotik (AHCPR, 1992 dalam Potter & Perry, 2005). Analgesik
narkotik yang diberikan secara oral atau injeksi, bekerja pada pusat
otak yang lebih tinggi dan medulla spinalis melalui ikatan dengan
Universitas Sumatera Utara
reseptor opioid untuk memodifikasi persepsi nyeri dan reaksi terhadap
nyeri.
Analgesik non-opioid (analgesik non-narkotik) atau sering disebut
juga Nonsteroid Anti-InflammatoryDrugs, (NSAIDs) seperti aspirin,
asetaminofen, dan ibu profen selain memiliki efek anti nyeri juga
memiliki efek anti-inflamasi dan anti-demam (anti-piretik). Obat-obat
golongan ini menyebabkan penurunan nyeri yang bekerja pada ujung-
ujung syaraf perifer di daerah yang mengalami cedera, dengan
menurunkan kadar mediator peradangan yang dibangkitkan oleh sel-sel
yang mengalami cedera (Tamsuri, 2007). Terapi pada nyeri
postoperasi ringan sampai sedang menggunakan NSAIDs. Mekanisme
kerja pasti NSAIDs tidak diketahui, NSAIDs diyakini bekerja
menghambat sintesis prostaglandin dan menghambat respons selular
selama inflamasi. Kebanyakan NSAIDs bekerja pada reseptor saraf
perifer untuk mengurangi transmisi dan resepsi stimulus nyeri.
NSAIDs tidak menyebabkan sedasi atau depresi pernapasan juga tidak
mengganggu fungsi berkemih atau defekasi. Sehingga agens NSAIDs
dapat menjadi efektif sebagai analgesik yang manjur bagi beberapa
klien atau pemberian analgesik melalui oral dapat semanjur pemberian
injeksi untuk mengatasi nyeri (McKenry & Salerno, 1995 dalam Potter
& Perry, 2005).
b. Analgesik Dikontrol-Pasien (ADP)
Sistem pemberian obat, yang disebut ADP, merupakan metode
yang aman untuk penatalaksanaan nyeri kanker, nyeri pascaoperasi,
Universitas Sumatera Utara
dan nyeri traumatik. Kebanyakan klien lebih menyukai metode
pemberian injeksi berkala. Hal ini merupakan sistem pemberian obat
yang memungkinkan klien mendapatkan medikasi nyeri ketika mereka
menginginkan obat tersebut tanpa risiko overdosis. Tujuan metode ini
ialah mempertahankan kadar plasma analgesik yang konstan, sehingga
masalah pemberian dosis sesuai kebutuhan dihindari. ADP sistemik
biasanya termasuk pemberian obat intravena, tetapi metode ini juga
dapat diberikan melalui subkutan. ADP merupakan pompa infuse
yang dapat dibawa (biasanya diatur komputer), yang berisi ruang untuk
tempat spuit atau merupakan alat khusus dirancang seperti pengatur
dosis yang menggunakan jam tangan yang diperlengkapi pengaturan
dini pemberian obat dalam dosis kecil. Analgesik yang dipilih ialah
morfin. Untuk menerima dosis, klien menekan tombol yang menempel
pada alat ADP ( Potter & Perry, 2005).
c. Analgesik Epidural
Analgesik epidural merupakan suatu bentuk anastesia lokal dan
terapi yang efektif untuk menangani nyeri pascaoperasi akut, nyeri
persalinan, dan melahirkan, dan nyeri kronik, khususnya yang
berhubungan dengan kanker (McNair,1990 dalam Potter & Perry, 2005
). Analgesik ini memungkinkan pengontrolan atau pengurangan nyeri
yang berat tanpa efek sedative dari narkotik parenteral atau oral yang
lebih serius. Analgesia epidural berlangsung dalam jangka waktu
pendek atau panjang, tergantung pada kondisi klien dan harapan hidup.
Terapi jangka pendek digunakan untuk mengatai nyei akibat bedah
Universitas Sumatera Utara
intratorak, bedah abdomen, dan bedah orthopedi. Terapi jangka
panjang digunakan untuk nyeri yang tidak dapat dikendalikan, pada
bagian tubuh bawah, khususnya bila bagian tubuh itu bilateral (DuPen
& William,1992 dalam Potter & Perry, 2005).
Tabel 2.1Analgesik dan Indikasi terapi (Potter & Perry, 2005)
Kategori Obat
Indikasi
ANALGESIK NON-NARKOTIK
Asetaminofen (Tylenol)
Asam asetilsalisilat (aspirin)
NSAID
Ibuprofen (Motrin, Nuprin)
Naproksen (Naprosyn)
Indometasin (Indocin)
Tolmetin (Tolectin)
Piroksikam (Feldene)
Ketorolak (Toradol)
ANALGESIK NARKOTIK
Meperidin (Demerol)
Metilmorfin (Kodein)
Morfin sulfat
Fentanil (Sublimaze)
Butofanol (Stadol)
Hidromorfon HCL (Dilaudid)
ADJUVAN
Amitriptilin (Elavil)
Hidroksin (Vistaril)
Klorpromazin (Thorazine)
Diazepam (Valium)
Nyeri pasca operasi ringan
Demam
Dismenore
Nyeri kepala vascular
Artritis rheumatoid
Cedera atletik jaringan lunak
Gout
Nyeri pasca operasi
Nyeri traumatik berat
Nyeri kanker
Infark moikard
Cemas
Depresi
Mual
Muntah
Universitas Sumatera Utara
2.7.2 Manajemen nyeri secara Non-farmakologis
Intervensi nyeri dengan cara non farmakologis memiliki resiko
yang sangat rendah. Pada nyeri yang sangat hebat, mengkombinasikan
tehnik nonfarmakologis dengan obat-obatan mungkin cara yang efektif
untuk menghilangkan nyeri (Brunner & Suddarth, 2001).
Tindakan nonfarmakologi mencakup intervensi perilaku-kognitif
dan penggunaan agen-agens fisik. Tujuan intervensi perilaku-kognitif
adalah mengubah persepsi klien tentang nyeri, mengubah perilaku nyeri,
dan memberi rasa pengendalian yang lebih besar sedangkan agen-agens
fisik bertujuan memberi rasa nyaman, memperbaiki disfungsi fisik,
mengubah respons fisiologis, dan mengurangi rasa takut yang terkait
dengan imobilisasi(Potter & Perry, 2005).
Berikut ini beberapa teknik manajemen nyeri secara non-
farmakologi :
a. Relaksasi
Relaksasi adalah suatu tindakan untuk membebaskan mental dan
fisik dari ketegangan dan stress, sehingga dapat meningkatkan
toleransi terhadap nyeri (Prasetyo, 2010). Menurut Potter & Perry
(2005), teknik relaksasi memberikan individu kontrol diri ketika terjadi
rasa tidak nyaman atau nyeri, stress fisik dan emosi pada nyeri. Teknik
relaksasi dapat digunakan saat indvidu dalam kondisi sehat atau sakit.
Teknik relaksasi tersebut merupakan upaya pencegahan untuk
membantu tubuh segar kembali. Teknik relaksasi mungkin perlu
diajarkan beberapa kali agar mencapai hasil yang optimal, klien yang
Universitas Sumatera Utara
telah mengetahui teknik ini mungkin hanya perlu diinstruksikan
menggunakan teknik relaksasi untuk menurunkan atau mencegah
meningkatnya nyeri.
Berbagai metode relaksasi digunakan untuk menurunkan
kecemasan dan ketegangan otot sehingga didapatkan penurunan
denyut jantung, penurunan respirasi, serta penurunan ketegangan otot.
(Prasetyo, 2010). Contoh tindakan relaksasi yang dapat dilakukan
untuk menurunkan nyeri adalah napas dalam dan relaksasi otot , dan
juga aromaterapi.
Steward (1996) dalam Rabi’al (2009) menjelaskan teknik relaksasi
sebagai berikut :
1) Nafas dalam
- Diharapkan pasien menarik nafas dalam dan mengisi paru-paru
dengan udara.
- Kemudian perlahan-lahan udara dihembuskan sambil
membiarkan tubuh menjadi kendor dan merasakan betapa
nyamannya hal tersebut
- Selanjutnya pasien bernapas beberapa kali dengan irama
normal
- Pasien menarik napas dalam lagi dan menghembuskan pelan-
pelan dan membiarkan hanya kaki dan telapak tangan yang
kendor. Perawat meminta pasien untuk mengkonsentrasikan
pikiran pasien pada kaki yang terasa ringan dan hangat.
Universitas Sumatera Utara
- Setelah itu mengulang langkah ke-4 dan mengkonsentrasikan
pikiran pada lengan perut, punggung, dan kelompok otot-otot
yang lain.
2) Relaksasi progresif
Latihan relaksasi progresif meliputi kombinasi latihan
pernapasan yang terkontrol dan rangkaian kontraksi serta
relaksasi kelompok otot. Klien mulai latihan bernapas dengan
perlahan dan menggunakan difragma, sehingga memungkinkan
abdomen terangkat perlahan dan dada mengembang penuh.
Saat klien melakukan pola pernapasan yang teratur, perawat
mengarahkan klien untuk melokalisasi setiap daerah yang
mengalami ketegangan otot, berpikir bagaimana rasanya,
menegangkan otot sepenuhnya, dan kemudian merelaksasikan
otot-otot tersebut. Kegiatan ini menciptakan sensasi
melepaskan ketidaknyamanan dan stress. Secara bertahap, klien
dapat merelaksasi otot tanpa harus terlebih dahulu
menegangkan otot-otot tersebut. Saat klien mencapai relaksasi
penuh, maka persepsi nyeri berkurang dan rasa cemas terhadap
pengalaman nyeri menjadi minimal(Potter & Perry, 2005).
Berikut ini cara latihan progresif menurut Steward (1996)
dalam Rabi’al (2009) :
- Kontraksikan masing-masing otot dalam 10 kali hitungan
kemudian lemaskan
Universitas Sumatera Utara
- Lakukan latihan diruangan yang tenang dengan posisi duduk
atau sambil berbaring nyaman
- Bawalah seseorang yang berlaku sebagai “pelatih” yang
memberikan perintah untuk mengkontraksikan otot,
menghitung sampai 10 kali dan memerintah untuk melemaskan
otot
3) Aromaterapi
Aromaterapi adalah metode yang menggunakan minyak atsiri
untuk meningkatkan kesehatan fisik dan emosi. Minyak atsiri
adalah minyak alami yang diambil dari tananman aromatik.
Menurut roulier (1990) minyak atsiri yang bersifat analgetik
(menghilangkan rasa sakit) adalah chamomile frankincense,
cengkih, wintergreen, lavender, dan mint (Koensoemardiyah,
2009). Berdasarkan penelitian di UniversitasWarwick di
Inggris,bau yangdihasilkan akan berikatan dengan gugus steroid di
dalam kelenjar keringat,yangdisebutosmon,yang mempunyai
potensisebagaipenenangkimiaalami.Responbauyangdihasilkanakan
merangsangkerjaselneurokimiaotak.Sebagaicontoh,bauyangmenye
nangkanakanmenstimulasithalamusuntukmengeluarkanenkefalinya
ngberfungsisebagaipenghilangrasasakitalamidanmenghasilkanperas
aansejahtera(Primadiati,2002).Enkefalinsepertihalnya endorphin
merupakanzatkimiawiendogen(diproduksiolehtubuh)yangberstrukt
urserupadenganopioid(Brunner & sudarth,2002).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Guyton (1990) enkefalin dianggap dapat menimbulkan
hambatan presinaptik dan hambatan post sinaptik pada serabut-serabut
nyeri tipe C dan tipe delta A dimana mereka bersinaps di kornu
dorsalis. Proses tersebut mencapai inhibisi dengan penghambatan
saluran kalsium. Selanjutnya, penghambatan tampaknya berlangsung
lama karena setelah mengaktivasi sistem analgesia, maka analgesia
seringkali berlangsung selama bermenit-menit bahkan berjam-jam.
b) Imajinasi terbimbing
Imajinasi terbimbing adalah upaya untuk menciptakan kesan
dalam pikiran klien, kemudian berkonsentrasi pada kesan tersebut
sehingga secara bertahap dapat menurunkan persepsi klien terhadap
nyeri. Tindakan ini membutuhkan konsentrasi yang cukup, upaya
kondisi lingkungan klien mendukung untuk tindakan ini. Kegaduhan,
kebisingan, bau menyengat atau cahaya yang sangat terang perlu
dipertimbangkan agar tidak mengganggu klien untuk berkonsentrasi
(Prasetyo, 2010).
Perawat melatih klien dalam membangun kesan dan berkonsentrasi
pada pengalaman sensori. Mula-mula perawat meminta klien untuk
memikirkan pemandangan yang menyenangkan atau pengalaman yang
meningkatkan penggunaan semua indra. Klien kemudian menjelaskan
kesan tersebut dan perawat mencatatnya sehingga catatan tersebut
dapat digunakan pada latihan berikutnya (Potter & Perry, 2005).
Dengan mata terpejam, pasien diinstruksikan untuk
membayangkan bahwa setiap napas yang diekshalasi secara lambat
ketegangan otot dan ketidaknyamanan dikeluarkan, menyebabkan
Universitas Sumatera Utara
tubuh rileks dan nyaman dan setiap kali napas dihembuskan pasien
diinstruksikan untuk membayangkan bahwa udara yang dihembuskan
membawa pergi nyeri dan ketegangan. Imajinasi terbimbing
dipraktikkan oleh pasien selama sekitar 5 menit, tiga kali sehari. Selain
itu imajinasi terbimbing dapat berfungsi hanya pada beberapa orang
(Brunner & Suddarth, 2001). Berikut merupakan contoh bagian latihan
imajinasi terbimbing : “ bayangkan diri Anda sekarang berbaring di
atas rumput yang hijau, segar, di atas bukit yang indah. Udara sejuk,
Anda melihat sekitar Anda bunga sedang bermekaran. Anda melihat ke
atas langit cerah, biru, sinar matahari yang redup tidak menyilaukan.
Semerbak wangi bunga meneyelimuti, sungguh suasana yang sangat
indah” (Prasetyo, 2010).
b. Distraksi
Distraksi adalah suatu tindakan pengalihan perhatian pasien ke hal-
hal lain di luar nyeri, yang dengan demikian diharapkan dapat
menurunkan kewaspadaan pasien terhadap nyeri bahkan meningkatkan
toleransi terhadap nyeri.
Stimulus yang menyenangkan dari luar dapat merangsang sekresi
endorphin, sehingga stimulus nyeri yang dirasakan oleh pasien
berkurang. Peredaan nyeri secara umum berhubungan langsung dengan
partisipasi aktif individu, banyaknya modalitas sensori yang
digunakan dan minat individu dalam stimulasi, oleh karena itu
stimulasi otak akan lebih efektif dalam menurunkan nyeri (Tamsuri,
2007).
Universitas Sumatera Utara
Adapun distraksi ini meliputi :
1) Distraksi visual, misalnya : menonton TV, melihat
pemandangan. Menonton acara-acara yang humor atau acara
yang disukai oleh klien akan menjadi teknik distraksi yang
dapat membantu mengalihkan perhatian klien akan nyeri yang
ia alami (Prasetyo, 2010).
2) Distraksi auditory, misalnya : mendengarkan suara/ musik yang
disukai (Prasetyo, 2010).Musik terbukti menunjukkan efek
yaitu menurunkan frekuensi denyut jantung, mengurangi
kecemasan dan depresi, menghilangkan nyeri, menurunkan
tekanan darah, dan mengubah persepsi waktu. Musik
menghasilkan perubahan status kesadaran melalui bunyi,
kesunyian, ruang dan waktu. Musik yang dapat memberikan
efek terapeutik harus didengarkan minimal 15 menit. Di
keadaan perawatan akut, mendengarkan musik dapat
memberikan hasil yang sangat efektif dalam upaya mengurangi
nyeri postoperasi (Guzetta, 1989 dalam Potter & Perry, 2005).
c. Stimulasi kutaneus
Stimulasi kutaneus merupakan stimulasi kulit yang dilakukan
untuk menghilangkan nyeri. Masase, kompres dingin dan panas, dan
stimulasi saraf elektrik transkutan (TENS) merupakan langkah-langkah
sederhana dalam upaya menurunkan persepsi nyeri. Salah satu
pemikiran adalah bahwa cara ini menyebabkan pelepasan endorfin,
sehingga memblok transmisi stimulus nyeri. Teori gate kontol
Universitas Sumatera Utara
mengatakan bahwa stimulus kutaneus mengaktifkan transmisi serabut
saraf sensorik A-beta yang lebih besar dan lebih cepat. Proses ini
menurunkan transmisi nyeri melalui serabut C dan delta-A berdiameter
kecil. Gerbang sinaps menutup transmisi impuls nyeri (Potter & Perry,
2005). Berikut ini beberapa contoh stimulus kutaneus :
1) Masase
Masase adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum, sering
dipusatkan pada punggung dan bahu. Masase dapat membuat
pasien lebih nyaman karena masase membuat relaksasi otot.
(Brunner & Suddarth, 2001).Slow-stroke back massage adalah
tindakan masase punggung dengan usapan yang perlahan selama 3-
10 menit sebanyak 60 kali usapan permenit (Potter & Perry, 2005).
Masase punggung ini dapat menyebabkan timbulnya mekanisme
penutupan terhadap impuls nyeri saat melakukan gosokan
penggung pasien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan
menstimulasi mekanoreseptor. Apabila masukan yang dominan
berasal dari serabut delta-A dan serabut C, maka akan membuka
sistem pertahanan disepanjang urat saraf dan klien
mempersepsikan nyeri.Alur saraf desenden melepaskan opiat
endogen yaitu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh.
(Potter & Perry, 2005).
2) Kompres panas dan dingin
Universitas Sumatera Utara
Kompres panas dan dingin dapat menghilangkan nyeri dan
meningkatkan proses penyembuhan. (Ceccio, 1990 dalam Potter &
Perry, 2005).
Kompres panas dan dingin pada tubuh bertujuan untuk
meningkatkan perbaikan dan pemulihan jaringan. Kompres panas
atau dingin menghasilkan perubahan fisiologis suhu jaringan,
ukuran pembuluh darah, tekanan darah kapiler, area permukaan
kapiler untuk pertukaran cairan dan elektrolit, dan metabolisme
jaringan (Kozier, 2009).
Kompres dingin adalah suatu teknik dari stimulasi kulit yang
dilakukan untuk menghilangkan nyeri dan merupakan langkah
sederhana dalam upaya menurunkan persepsi nyeri. Kompres
dingin dapat menghilangkan nyeri dan meningkatkan proses
penyembuhan yang mengalami kerusakan. Kompres dingin dapat
dilakukan di dekat lokasi nyeri atau di sisi tubuh yang berlawanan
tetapi berhubungan dengan lokasi nyeri, hal ini memakan waktu 5
sampai 10 menit. Pengompresan di dekat lokasi aktual nyeri
cenderung memberi hasil yang terbaik. Seorang klien dengan
merasakan sensasi dingin, terbakar, dan sakit serta baal. Apabila
klien merasa baal, maka es harus diangkat (Potter & Perry, 2005).
Menurut Tamsuri (2007)pada aplikasi dingin, selain
memberikan efek menurunkan sensasi nyeri, aplikasi dingin juga
memeberikan efek fisiologis seperti : menurunkan respon inflamasi
jaringan, menurunkan aliran darah,dan mengurangi edema.
Universitas Sumatera Utara
Menurut kozier (2009) efek fisiologis dari kompres panas yaitu
vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas kapiler, meningkatkan
metabolisme seluler, dan meredakan nyeri dengan merelaksasikan
otot.
Kompres panas dan dingin pada tubuh dapat berbentuk kering
dan basah. Kompres panas kering dapat digunakan secara lokal,
untuk konduksi panas, dengan menggunakan botol air panas,
bantalan pemanas elektrik, bantalan akutermia, atau kemasan
pemanas disposibel. Kompres panas basah dapat diberikan,
melalui konduksi, dengan cara kompres kasa, kemasan pemanas,
berendam, atau mandi (Kozier, 2009).
3) Stimulasi saraf elektrik transkutan (TENS)
TENS (Transkutaneus Electrical Nerve Stimulation) adalah
suatu alat yang menggunakan aliran listrik, baik dengan frekuensi
rendah maupun tinggi, yang dihubungkan dengan beberapa
elektroda pada kutaneus. TENS merupakan prosedur non-invasif,
merupakan metode yang aman untuk mengurangi nyeri baik akut
maupaun kronis (Tamsuri, 2007).
Terdapat penelitian yang menyatakan adanya keefektifan
penggunaan TENS dalam penanganan nyeri post operasi (AHCPR,
1992). Teknik ini terbukti pula efektif dalam pengontrolan nyeri
pada low back pain kronis, nyeri phantom, nyeri menstruasi, dan
yang lainnya (Tamsuri, 2007).
d. Akupresur
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan teori obat Asia, yang mengatakan bahwa sutatu
kekuatan kehidupan, dalam bentuk energi, bersirkulasi di seluruh
tubuh dalam siklus yang didefinisikan dengan benar, akupresur
memungkinkan alur energi yang terkongesti untuk meningkatkan
kondisi yang lebih sehat.Perawat ahli terapi mempelajari alur energi
atau meridian tubuh dan memberi tekanan pada titik- titik tertentu di
sepanjang alur (Potter & Perry, 2005).
Stimulasi pada titik akupuntur mengaktifkan tiga pusat yaitu spinal
cord, midbrain dan pituitari untuk melepaskan neurokimia seperti
endorphin, serotonin dan norepinehrin yang mampu memblok pesan
nyeri. Selain endorphin, stimulasi pada titik akupuntur juga terjadi
pelepasan adrenocorticotropin hormone (ACTH) dari pituitari. ACTH
menstimulasi adrenal untuk memproduksi kortisol (Pearl, 1999).
Dibawah ini adalah teori terkait mekanisme kerja akupresur.
1)Teori neurotransmitter. Akupuntur mempengaruhi area otak,
menstimulilasi sekresi beta-endorphin dan enkepalin pada otak
dan spinal cord. Pelepasan neurotransmitter mempengaruhi
sistem imun dan sistem antinoceptive.
2) Teori sistem syaraf otonom. Akupuntur menstimulasi pelepasan
norepinephrin, acetylcholine dan beberapa tipe opoid,
menormalkan sistem syaraf otonom dan mengurangi nyeri.
3) Teori gate control. Akupuntur mengaktifkan reseptor
antinoceptive yang menghambat transmisi sinyal nociceptive
pada dorsal horn.
Universitas Sumatera Utara
4) Teori vascular-interstisial akupuntur memanipulasi sistem
elektris tubuh dengan menciptakan atau meningkatkan transpor
sirkuit tertutup pada jaringan. Hal ini memfasilitasi
penyembuhan yang diikuti oleh transfer material dan energi
elektris diantara jaringan yang normal dan jaringan yang
terluka.
5) Teori kimia darah. Akupuntur mempengaruhi konsentrasi
trigliserida, kolesterol dan phospholipid dalam darah, oleh
karena itu akupuntur bisa menaikkan dan menurunkan
komponen darah di perifer, dengan cara demikian akupuntur
mengatur tubuh menuju homeostasis (National Institute of
Health, 1997).
Teknik akupresur dilakukan dengan berbagai cara yang aman, tidak
melukai kulit atau menyebabkan pecahnya pembuluh darah, yaitu
menggunakan beberapa alternatif cara berikut : menggunakan jari
jempol, menggunakan beberapa jari tangan yang disatukan, hanya jari
telunjuk saja, atau dengan telapak tangan, membuat gerakan cubitan
halus, tetapi tidak sampai memar, menepuk-nepuk atau memukul-
mukul ringan, dan menggosok dengan jari jempol atau telapak tangan
(Oka, 2008).
e. Hipnosis
Hipnoterapi adalah terapi yang dilakukan terhadap klien yang
berada dalam kondisi hipnosis. Kata hipnosis berasal dari bahasa
yunani, yaitu hypnos yang berarti “tidur”. Seseorang yang berada dalam
Universitas Sumatera Utara
kondisi hipnosis akan menampilkan kecenderungan yang berbeda
dibandingkan dengan seseorang yang tidak dalam kondisi hipnosis.
Dalam kondisi hipnosis, seseorang cenderung lebih mudah menerima
saran atau sugesti ( hiper-sugestion). Dengan sugesti penyembuhan
(hypno-therapeutic), hipnoterapis bisa memodifikasi perilaku klien, dari
emosional, sikap, hingga berbagai macam kondisi, seperti kebiasaan
buruk, kecemasan, stres yang berhubungan dengan penyakit akut
maupun kronis, manajemen rasa sakit dan nyeri, serta pengembangan
pribadi manusia (Hakim, 2010)
Hipnosis dapat membantu mengubah persepsi nyeri melalui
pengaruh sugesti positif. Suatu pendekatan kesehatan holistik,
hipnosis-diri menggunakan sugesti-diri dan kesan tentang perasaan
yang rileks dan damai. Individu memasuki keadaan rileks dengan
menggunakan berbagai ide pikiran dan kemudian kondisi-kondisi yang
menghasilkan respon tertentu bagi mereka (Edelman dan mandel
dalam Potter & Perry, 2005). Hipnosis-diri sama seperti dengan
melamun . Konsentrasi yang intensif mengurangi ketakutan dan stress
karena individu berkonsentrasi hanya pada satu pikiran. (Potter &
Perry, 2005).
Universitas Sumatera Utara
top related