repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › ... penerapan prinsip transparansi...
TRANSCRIPT
PENERAPAN PRINSIP TRANSPARANSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007
TENTANG PENANAMAN MODAL KAITANNYA DENGAN DOMESTIC REGULATIONS WTO
T E S I S
Oleh
Asmin Nasution 067005084/HK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N 2 0 0 8
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
HALAMAN PENGESAHAN (Hasil Penelitian)
Nama : Asmin Nasution Nomor Pokok : 067005084 Program Studi : Ilmu Hukum Judul Tesis : PENERAPAN PRINSIP TRANSPARANSI DALAM
UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL KAITANNYA DENGAN DOMESTIC REGULATIONS WTO
Menyetujui, Ketua Komisi Pembimbing
Prof.Dr.Bismar Nasution, SH.MH K e t u a
Dr.Sunarmi, SH.M.Hum Dr.Mahmul Siregar, SH.M.Hum Anggota Anggota Ketua Program Studi Ilmu Hukum Direktur Prof.Dr.Bismar Nasution, SH.MH Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa, B.MSC NIP. 131 570 455 NIP. 130 535 852
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
ABSTRAK
Penanaman modal mempunyai arti yang sangat penting bagi pembangunan ekonomi nasional sebagai tujuan yang hendak dicapai melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Undang-undang ini juga memberikan ruang kepada Pemerintah untuk mengambil kebijakan guna mengantisipasi berbagai perjanjian internasional yang terjadi dan sekaligus untuk mendorong kerjasama internasional lainnya guna memperbesar peluang pasar regional dan internasional bagi produk barang dan jasa di Negara Indonesia. Indonesia sebagai anggota Organisasi Perdagangan Dunia (OPD) yang diberi hak dan sekaligus kewajiban untuk menjabarkan ketentuan-ketentuan umum GATT dan GATS dalam peraturan perundang-undangan nasional yang disebut “Domestic Regulation” sepanjang mengenai ketentuan transparansi harus benar-benar diperhatikan. Dalam penulisan Tesis ini terdapat tiga permasalahan yaitu : bagaimana hubungan ketentuan-ketentuan perdagangan internasional dengan ketentuan penanaman modal yang ditetapkan suatu negara anggota World Trade Organization dan apakah prinsip-prinsip hukum perdagangan internasional, khususnya di sektor jasa telah diterapkan dalam peraturan penanaman modal di Indonesia, serta apakah prinsip transparansi pada Undang-Undang Penanaman Modal sudah mengakomodir Domestic Regulations WTO. Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif analitis dan merupakan penelitian hukum normatif, yaitu mengumpulkan, menganalisis dan mensistematiskan hasil penelitian hukum yang berlaku, kemudian melakukan sinkronisasi peraturan perundang-undangan secara vertikal dan horizontal berdasarkan pada prinsip transparansi tentang Penanaman Modal dalam kaitannya dengan Domestic Regulations WTO dengan penelitian lapangan sebagai penunjang. Prinsip transparansi pada Undang-undang No.25 Tahun 2007 sudah mengakomodir dari Domestic Regulations WTO, terbukti Indonesia selaku anggota WTO telah membuka pasarnya terhadap perdagangan barang (goods) dan jasa-jasa (services) asing untuk diperdagangkan di Indonesia, yang dalam perumusan regulasinya berkewajiban untuk memperhatikan konsistensi antara hukum Indonesia dengan ketentuan-ketentuan di dalam GATT/GATS, terutama dalam kaitan dengan komitmen kebijakan yang mendukung akses pasar di bidang perdagangan jasa yang telah dinyatakan dalam “Specific of Commitment”. Sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan arus investasi, penulis memandang perlu untuk dilakukan pendidikan dan pelatihan terhadap pihak-pihak terkait dalam proses berinvestasi, harmonisasi dan sinkronisasi peraturan investasi daerah yang selaras dengan peraturan investasi pusat, serta membentuk Sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (SPTSP) agar para investor termasuk calon investor merasa tertarik untuk lebih cepat mengambil keputusan menanamkan modalnya di Indonesia. Kata kunci : Prinsip transparansi, penanaman modal, Domestic Regulations WTO
i Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
ABSTRACT
Investment has important aspects on the national economic development as the objective of constitution Number 25 year 2007 about Investment. This constitution also give opportunity to government to take regulation in order to anticipate various international agreement which exist also to support international cooperation to increase regional and international market opportunity of goods and service in Indonesia. Indonesia as one of World Trade Organization (WTO) which has right and also obligations to define general regulation GATT and GATS in national regulations which called as “Domestic Regulation” correlated with transparency regulation should give full attention. In the research of the Thesis, there are three problems ; how correlation between the international trade regulations and the capital investment regulations predetermined by the member-nations of World Trade Organization and have the legal principles of international trade especially in service been implemented in the capital investment regulations in Indonesia, and has the transparancy principle in the Capital Investment Laws accomodated Domestic Regulations of WTO. The thesis established in analytic descriptive and as normative constitution research result, for example, collected analysis and systematize current law that exist nowadays, then perform synchronization of constitution whether vertically and horizontally based on transparency principle about Investment related to Domestic Regulation of WTO supported by field research. Transparency principle in Constitution Number 25 year 2007 has accommodated from Domestic Regulations of WTO, can be seen in Indonesia as WTO member has open its market to foreign goods and service trading to established in Indonesia, which in regulation formulation has to concern the consistency between Indonesian regulations and policy in GATT/GATS, particularly related to policy commitment which support market access un service trading which has stated in “Specific of Commitment”. As one effort to increase investment flow, writers view that it is important to established education and training toward concern parties in investment process, harmonization, and synchronization regional investment regulation which suitable with central investment regulation, also create One Way Integrated Service System so that investors including prospective investors which feel interest to take decision to invest their capital / investment in Indonesia Keywords: Transparency Principle, Investment, Domestic Regulations of WTO
ii Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim, Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Syukur yang tak henti-hentinya Penulis panjatkan kepada Allah SWT Yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang telah berkenan memberikan rahmat serta
hidayahNya sehingga Penulis dapat menyelesaikan Tesis ini.
Penulis dengan segala kerendahan hati menyadari bahwa dalam penulisan
Tesis ini masih banyak memiliki kekurangan maupun ketidaksempurnaan yang
disebabkan keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki. Untuk itu penulis tidak menutup
diri dan akan sangat berterima kasih atas kritik dan saran yang dapat membangun dan
bermanfaat pada masa yang akan datang.
Penulis menyadari bahwa tidak akan dapat menyelesaikan Tesis ini tanpa
bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, untuk itu Penulis mengucapkan terima
kasih yang ikhlas atas segala sumbangsih untuk terselesaikannya Tesis ini kepada :
1. Bapak Prof.Chairuddin P.Lubis, DTM&H., SPA(k)., selaku Rektor USU.
2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc., selaku Direktur Sekolah Pascasarjana
USU.
3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH., selaku Ketua Program Magister Ilmu
Hukum Sekolah Pascasarjana USU dan juga selaku Ketua Komisi Pembimbing
dan Penguji.
4. Bapak Prof.Dr.Runtung, SH.M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
iii Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
5. Bapak Para Pembantu Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Ibu Dr. Sunarmi, SH, M.Hum., selaku Sekretaris Program Magister Ilmu Hukum
Sekolah Pascasarjana USU dan juga selaku Anggota Komisi Pembimbing dan
Penguji.
7. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH.MHum., selaku Anggota Komisi Pembimbing
dan Penguji
8. Bapak Prof. Dr.Muhammad Yamin, SH.CN.MS., selaku Anggota Komisi Penguji
9. Bapak Prof.Dr.Suhaidi, SH.MH., selaku Anggota Komisi Penguji.
10. Para Dosen yang telah bersusah payah memberikan ilmunya dan membuka
cakrawala berpikir penulis yang akan sangat berguna dalam menghadapi tugas-
tugas di masa yang akan datang.
11. Kedua Orang Tua T.Nasution (Alm) dan N.Lubis (Almh)) yang tercinta, Mertua
(Abah OK. Boerhanuddin dan Ibu Wan Syahrizad (Almh)), atas doa dan jerih
payahnya yang telah mendorong keberhasilan ini dapat penulis capai.
12. Istri (Rabiatul Syahriah, SH.M.Hum) yang tercinta serta anak-anakku (Ridho
Ananda Syahputra Nasution dan Anastasia Adinda Syahputri Nasution) yang
telah dengan setia, sabar dan penuh pengertian memberikan motivasi yang sangat
besar bagi Penulis dalam menyelesaikan studi ini.
13. Khusus buat abang ipar Burhan Aziddin, SH.SU (Alm.) Dosen Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membimbing dan mendorong
penulis di dalam membina karir sebagai Staf Pengajar di Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
iv Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
14. Abanganda H.Amru Daulay, SH (Bupati Mandailing Natal) yang telah cukup
banyak membantu, membimbing penulis sejak di BP-7 Propinsi Sumatera Utara
hingga penulis dapat menyelesaikan studi ini.
15. Abang Ir.H.Muhammad Iqbal Hasibuan (Alm) yang telah banyak memberikan
bantuan, bimbingan bagi penulis baik secara langsung maupun tidak langsung
hingga penulis dapat menyelesaikan studi.
16. Serta rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, untuk semua
bantuan yang telah diberikan kepada Penulis.
Akhirnya penulis berharap bahwa Tesis ini dapat berguna sebagai sumbang
saran dan pemikiran mengenai Penanaman Modal di Indonesia ini khususnya di
wilayah Propinsi Sumatera Utara, juga bagi para pembaca yang berminat serta
berkepentingan dengan bidang dari penulisan ini.
Medan, Februari 2008 Penulis,
Asmin Nasution 067005084/HK
v Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
RIWAYAT HIDUP
I. DATA DIRI
Nama : ASMIN NASUTION, SH
Tempat/Tgl Lahir : Madina, 01 Desember 1959
Alamat : Komplek THI Blok A No.36 Tanjung Sari – Medan
Agama : Islam
II. PENDIDIKAN FORMAL
1. SD Negeri Gunung Baringin Kabupaten Madina, Tahun 1966-1972
2. SMP Negeri Panyabungan Kabupaten Madina, Tahun 1973-1976
3. SMA Negeri 6 Medan, Tahun 1976-1979 (perpanjangan waktu 6 bulan)
4. S-1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Tahun 1979-1985
5. S-2 Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas
Sumatera Utara, Tahun 2006-sekarang.
III. PENDIDIKAN NON FORMAL
1. Penataran P4 Tingkat Nasional Pola 120 Jam Tahun 1981 (Peserta
Terbaik I)
2. Penataran Prajabatan Tahun 1986.
IV. KELUARGA
Ayah : T. Nasution (Alm)
Ibu : N. Lubis (Almh)
Istri : Rabiatul Syahriah, SH.MHum.
Anak : 1. Ridho Ananda Syahputra Nasution
2. Anastasia Adinda Syahputri Nasution
vi Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
V. RIWAYAT JABATAN/KARIR
1. Staf Pengajar Fakultas Hukum USU Tahun 1983 – sekarang
2. Penatar P-4 Tahun 1983 – 1994
3. Asisten Pembantu Dekan III Fakultas Hukum USU, Tahun 1994 – 1998
4. Anggota Dewan Pengupahan Daerah (DEPEDA) Kabupaten Mandailing
Natal (Madina) Tahun 2007 – sekarang.
VI. ORGANISASI
1. Anggota Korps Pegawai Negeri Sipil Republik Indonesia (KORPRI),
Tahun 1986 – sekarang.
2. Ketua Umum Korps Asisten Dosen Fakultas Hukum USU, Tahun 1998-
2002.
Medan, Februari 2008 Penulis,
Asmin Nasution 067005084/HK
vii Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ...................................................................................................... i
ABSTRACT.................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iii
RIWAYAT HIDUP......................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................. viii
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................ xi
BAB I : PENDAHULUAN........................................................................ 1
A. Latar Belakang ....................................................................... 1
B. Permasalahan.......................................................................... 15
C. Tujuan Penelitian ................................................................... 16
D. Manfaat Penelitian ................................................................. 17
E. Keaslian Penelitian................................................................. 18
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ................................................ 18
1. Kerangka Teori ............................................................... 18
2. Kerangka Konsepsi .......................................................... 23
G. Metode Penelitian................................................................... 27
1. Jenis dan Sifat Penelitian ................................................. 27
2. Sumber Data..................................................................... 28
3. Teknik Pengumpulan Data .............................................. 30
4. Analisis Data ................................................................... 30
BAB II : HUBUNGAN PRINSIP-PRINSIP HUKUM PERDAGANGAN
INTERNASIONAL DENGAN PERATURAN PENANAMAN
MODAL ...................................................................................... 31
A. Prinsip-Prinsip Hukum Perdagangan Internasional dalam
Kerangka World Trade Organization..................................... 31
1. Kesepakatan-Kesepakatan WTO .................................... 31
viii Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
2. Prinsip-Prinsip Hukum Perdagangan Internasional
Dalam Kerangka WTO .................................................... 44
B. Prinsip-Prinsip Hukum WTO Dalam Perdagangan Jasa
Internasional .......................................................................... 50
C. Hubungan Prinsip-prinsip Hukum Perdagangan
Internasional dan Peraturan Penanaman Modal ..................... 66
BAB III : PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP HUKUM PERDAGANGAN
INTERNASIONAL DALAM HUKUM PENANAMAN
MODAL DI INDONESIA ......................................................... 75
A. Perkembangan Hukum Penanaman Modal di Indonesia ....... 75
B. Prinsip-prinsip Hukum Penanaman Modal di Indonesia........ 85
C. Penerapan Prinsip-Prinsip Perdagangan Internasional dalam
Hukum Penanaman Modal di Indonesia ............................... 91
1. Prinsip Perlakuan Sama (National Treatment dan Most
Favoured Nations) .......................................................... 91
2. Prinsip Larangan Pembatasan Kuantitatif ...................... 94
BAB IV : PENERAPAN PRINSIP TRANSPARANSI PADA UNDANG-
UNDANG NO.25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN
MODAL KAITANNYA DENGAN DOMESTIC
REGULATIONS World Trade Organization ................................ 103
A. Domestic Regulations World Trade Organization ................. 103
B. Domestic Regulation dan Persyaratan Penanaman Modal di
Indonesia ................................................................................ 113
C. Prinsip Transparansi Dalam Penanaman Modal .................... 117
D. Penerapan Prinsip Transparansi Dalam Undang-undang
No.25 Tahun 2007.................................................................. 123
E. Undang-undang No.25 Tahun 2007 Cukup Mengakomodir
Domestic Regulations World Trade Organization (WTO) ... 132
ix Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN .................................................... 135
A. Kesimpulan ............................................................................ 135
B. Saran-saran ............................................................................. 139
DAFTAR PUSTAKA
x Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
DAFTAR SINGKATAN
AFTA = Asean Free Trade Area
APEC = Asia Pasific Economic Cooperation
ECOSOC = Economic and Social Council
FDI = Foreign Direct Invesment
GATS = General Agreement on Trade in Services
GATT = General Agreement on Tariff and Trade
GSP = Generalized System of Preferences for Developing Countries
IBRD = International Bank of Reconstruction and Development
IMF = International Monetary Fund
ITO = International Trade Organization
MNC = Multi National Corporation
NAFTA = North America Free Trade Agreement
OPD = Organisasi Perdagangan Dunia
PBB = Perserikatan Bangsa-Bangsa
TRIMs = Trade Related Investment Measures
TRIPs = Trade Related Intellectual Property Rights
WTO = World Trade Organization
xi Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
1
BAB I PENDAHULU
A. tar Belakang
asing (PMA) secara langsung1 adalah merupakan suatu
fenomena y
PM
dip
lang
manfaat yang sangat signifikan bagi Negara tujuan penanaman modal (host country)
karena sifatnya yang permanen/jangka panjang, juga memberi andil dalam alih
tekn
ka
inv
ek
pe
penanaman modal merupakan kewenangan absolut dari Negara tujuan penanaman
AN
La
Penanaman modal
ang riil dalam konteks pembangunan negara-negara berkembang, karena
A merupakan salah satu pilihan pembiayaan pembangunan yang belum dapat
enuhi oleh negara-negara berkembang. Selain menghasilkan devisa secara
sung bagi Negara, kegiatan penanaman modal secara langsung menghasilkan
ologi, alih keterampilan manajemen, dan membuka lapangan kerja baru.2 Oleh
rena itu Negara-negara berkembang cenderung untuk berkompetisi menarik
estasi asing untuk memanfaatkan kehadiran modal tersebut dalam pembangunan
onomi. Salah satu cara yang dilakukan adalah menyiapkan perangkat peraturan
rundang-undangan yang menarik bagi investor, baik asing maupun domestik.
Awalnya diyakini bahwa kewenangan menetapkan aturan-aturan hukum
nanaman modal asing secara langsung (foreign direct investment) adalah kegiatan
an penanaman modal. Cara penanaman modal ini selalu dibedakan dengan penanaman modal lalui portofolio yang dilakukan melalui pembelian saham atau efek lainnya di pasar modal.
1 Pepenanaman yang dilakukan dengan melakukan kegiatan usaha dan membentuk badan hukum di daerah tujume 2 Pandji Anoraga, Perusahaan Multi Nasional Penanaman Modal Asing, (Jakarta : Dunia Pustaka Jaya, 1995), hlm. 47
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
2
modal (host country), karena kewenangan tersebut lahir dari kedaulatan Negara untuk
mengatur orang asing dan kekayaannya yang berada di wilayah territorial host
co
co
ses
ole
int
(GATT)
mengatur kegiatan penanaman modal di wilayah kedaulatannya.
Namun pendapat ini mengalami berubahan setelah berakhirnya Putaran
Urug pakatan
pe gan
ter
Ag
na
kesepa
modal.3
untry. Dalam rangka memanfaatkan secara optimal modal asing, Pemerintah host
untry berhak menetapkan ketentuan penanaman modal dalam peraturan nasional
uai dengan kebutuhan pembangunan ekonominya. Kewenangan ini tidak dibatasi
h peraturan-peraturan perdagangan internasional, karena ketentuan perdagangan
ernasional sebagaimana diatur dalam General Agreement on Tariff and Trade
tidak ditujukan untuk membatasi kewenangan Pemerintah host country
uay (Uruguay Round, 1986 – 1994) yang menghasilkan beberapa kese
dagan internasional yang terkait langsung dengan kebijakan penanaman modal,
utama Agreement on Trade Related Investment Measures (TRIMs),dan General
reement on Trade in Services (GATS). Sejak saat itu, pembentukan peraturan
sional di bidang penanaman modal tidak dibenarkan bertentangan dengan
katan-kesepakatan perdagangan internasional yang terkait dengan penanaman
3 Lebih lanjut, Mahmul Siregar (1), Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal Studi
olah Pascasrnasional da
Kesiapan Indonesia Dalam Perjanjian Investasi Multilateral, Medan : Universitas Sumatera Utara Sek arjana, 2005. Terkaitnya peraturan penanaman modal dengan peraturan perdagangan inte lam GATT terlihat pada putusan Panel Penyelesaian Sengketa GATT terkait tindakan Parlemen Kanada mengesahkan Canada’s Foreign Investment Review Act pada tanggal 12 Desember 1973. Untuk menjamin keuntungan yang signifikan bagi Kanada, Pemerintah menetapkan syarat-syarat bagi investor yang melakukan permohonan penanaman modal asing, yakni : (1) membeli sejumlah persentase tertentu barang-barang dari Kanada, (2) menggantikan produk impor dengan
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
3
Agreement on TRIMs melarang ditetapkannya persyaratan penanaman modal
dalam peratu
GA
da
req
pe
pe
pada 4
GATS mengatur berkenaan dengan cara pemasukan jasa (Mode of Supply).
Moda suplly jasa yang terkait langsung dengan pengaturan penanaman modal adalah
supply jasa
bo ment of
ran nasional Negara anggota yang tidak konsisten dengan Article III
TT (National Treatment) dan Article XI GATT (larangan hambatan kuantitatif)
lam bentuk persyaratan kewajiban menggunakan kandungan lokal (local content
uirement), kebijakan keseimbangan perdagangan (trade balancing policy),
mbatasan akses terhadap devisa untuk impor (foreign exchange limitation), dan
mbatasan ekspor (export limitation) yang ditujukan untuk memberikan keuntungan
perusahaan domestik.
melalui kehadiran komersil (Commercial Presence).
Pasal 1 Ayat 1 GATS menyatakan 4 (empat) cara pemasokan jasa, yaitu cross
rder supply5, consumption abroad6, commercial presence7, dan move
prodenga ) berpendapat bahwa Panel mengakui kedaulatan Kanada untuk mengatur sendiri kebijakan penanaman modalnya, dan Panel tidak bermaksud untuk menguji kedaulatan tersebut. Namun, Panel berpendapat bahwa dalam melaksanaan kedaulatan tersebut tidak berarti Pemerintah Kanada boleh begitu saja menyampingkan kewajiban internasional yang ditelah disepakatinya (GATT).
AgrTerj
Cowil ana dalam memberikan jasa Co dimana jasa dib kan ole
duk buatan Kanada, (3) membeli barang-barang dari Kanada jika barang-barang tersebut bersaing n barang impor (4 membeli dari supplier Kanada. Dalam memutuskan sengketa ini Panel GATT
4 Lebih lanjut dapat dilihat pada ilustrative list yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
eement on Trade Related Investment Measures.(Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, emahan Resmi Persetujuan Akhir Putaran Uruguay, Jakarta, 1994).
5 Cross Border Supply (CBS), istilah WTO yang berkaitan dengan Schedule of Specific mmitment atau SOC tentang modes of supply yang berarti cara perdagangan yang dilakukan dari ayah atau negara pemasok jasa (supplier) ke dalam wilayah suatu negara (konsumen) dim
jasa tersebut pemasok tidak memasuki wilayah atau negara konsumen. Contohnya adalah melalui media elektronik.
6 Consumption Abroard (CA), istilah WTO yang berkaitan dengan Schedule of Specific mmitment atau SOC tentang modes of supply yang berarti cara perdagangan jasaeri h penyedia jasa kepada pengguna jasa dengan cara pengguna jasa mendatangi penyedia
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
4
F
8Fnatural person . Ketentuan investasi langsung (direct invesment) yang diatur dalam
GATS a n
pre
un
dis
pe
tre
akuisi
tujuan untuk melakukan pemasokan suatu jasa. Kedua, pendirian suatu kantor cabang
atau perwakilan di daerah wilayah suatu negara dengan tujuan untuk melakukan
pem
mu insip-prinsip dan aturan-aturan perdagangan jasa-jasa
dengan tuju
lib
da
dalah kete tuan yang menyangkut commercial presence atau disebut
sence of juridicial person dengan ketentuan bahwa negara anggota diwajibkan
tuk memberikan akses ke pasar domestiknya dan memberikan perlakuan non
kriminasi antar sesama anggota (most favored nation) serta memperlakukan
masok jasa asing yang tidak lebih jelek dari pemasok jasa domestik (national
atment), yaitu setiap jenis usaha yang dilakukan melalui : pertama, pendirian
si atau pendirian suatu badan hukum di dalam wilayah suatu negara dengan
asokan suatu jasa.9
Sasaran yang ingin dicapai oleh GATS adalah terciptanya sebuah kerangka
ltilateral yang berisikan pr
an untuk perluasan perdagangan berdasarkan kondisi yang transparan dan
eralisasi yang progresif serta sebagai sarana meningkatkan pertumbuhan ekonomi
ri seluruh negara mitra dagang dan untuk pembangunan negara berkembang.
h jasa di bidang kesehatan dimana seorang pasien dari Indonesia berobat ke Singapura vement of consumers).
7
mitment (SOC) tentang modes of supply yang berarti cara pemasokan jasa dimana dalam mberikan jasanya penyedia jasa memasuki wilayah atau negara konsumen dengan mendirikan suatu
jasa. Conto(mo Commercial Presence (CP), istilah WTO yang berkaitan dengan schedule of specific commeperusahaan di wilayah atau negara tersebut. Contoh pembukaan kantor cabang bank asing di Indonesia (Pr Speneg padUn
esence of Juridicial Person). 8 Presence of Natural Persons (PNP), istilah WTO yang berkaitan dengan schedule of
cific Of Commitment (SOC) tentang modes of supply yang berarti jasa yang diberikan oleh warga ara suatu negara dalam wilayah negara lain, contohnya jasa Konsultan, Pengacara dan Akuntan.
9 Bismar Nasution (1), Kesiapan Otonomi Daerah Menyambut Pasar Global, Disampaikan a Orasi Ilmiah dalam rangka Wisuda Sarjana Universitas Asahan Ke-X, Diselenggarakan oleh iversitas Asahan, (Asahan : Sabtu, 29 Juli 2006), hlm. 4.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
5
Liberalisasi perdagangan di sektor jasa-jasa komersial dalam kerangka GATS
diban
Sp
bid
dib
din
rhadap peraturan penanaman
modal di se
termasuk mengatur ketentuan tentang persyaratan-persyaratan penanaman modal
dalam peraturan nasional Negara anggota (domestic regulation).
dal agangan
jas rsi
un
be
me
untuk memberitahukan kepada Dewan Perdagangan Jasa, sedikitnya sekali setahun,
tentang adanya peraturan perundang-undangan yang baru atau pedoman
admin
gun dengan pendekatan liberalisasi yang progresif yang diwujudkan dalam
ecific of Commitment10 yang dinyatakan oleh setiap negara peserta atas bidang-
ang perdagangan jasa yang diliberalisasi. Dengan pendekatan ini negara-negara
erikan waktu untuk mempersiapkan industri-industri jasa domestik yang belum
yatakan dalam Specific of Commitment.11
GATS juga menetapkan sejumlah batasan te
ktor jasa yang dapat menghambat perdagangan jasa internasional
General Agreement on Trade in Services (GATS) mengatur transparansi
am satu pasal tersendiri (Article III). Kewajiban transparansi dalam perd
a ve GATS diwujudkan dalam bentuk kewajiban publikasi semua undang-
dang, peraturan, pedoman pelaksana, serta semua keputusan dan ketentuan yang
rlaku secara umum yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat maupun daerah yang
mpunyai dampak pada pelaksanaan persetujuan GATS dan adanya kewajiban
istrative dan perubahan-perubahannya.
10 Specific Of Commitment adalah kebijakan yang dilakukan negara anggota-anggota WTO
O. 11 Bismar Nasution (2), “Penerapan Good Governance Dalam Menyambut Domestic
ulations WTO”, Disampaikan pada Acara Diskusi Mengenai dakan oleh Bank Indonesia, tanggal 21 Juni 2007, Jakarta, hlm. 1-
berdasarkan kondisi perekonomian negaranya, sebelum full program menurut kesepakatan-kesepakatan WT Reg Domestic Regulations – WTO, yang dia 2
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
6
Negara-negara anggota WTO diberi hak dan sekaligus kewajiban untuk
me abarkan
un
ke
da
(WTO) menyadari bahwa
Domestic
ham
GATS menetapkan bahwa untuk menjamin agar tindakan yang terkait dengan
persyaratan dan prosedur, standar lisensi dan persyaratan perijinan bukan digunakan
seb
lem
ya
pe
b. Tidak lebih berat daripada yang semestinya untuk menjamin kualitas jasa-
jasa
pply
nj ketentuan-ketentuan umum GATS dalam peraturan perundang-
dangan nasional yang disebut “Domestic Regulations”, yang memuat ketentuan-
tentuan tentang qualifications requirements and procedures, technical standard
n licensing prosedural and requirements”.12
Negara-negara anggota World Trade Organization
Regulations tersebut dapat saja muncul atau dipergunakan sebagai
batan-hambatan dalam perdagangan jasa. Oleh karena itu, dalam Article VI : 4
agai hambatan perdagangan, Dewan Perdagangan Jasa harus, melalui lembaga-
baga tertentu yang mungkin dibentuk, menetapkan ketentuan-ketentuan (disiplin)
ng diperlukan. Ketentuan-ketentuan tersebut ditujukan untuk memastikan bahwa
rsyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh suatu negara-negara peserta :
a. Didasarkan pada kriteria yang objektif dan transparan, misalnya
kesanggupan dan kemampuan untuk menyediakan jasa ;
c. Dalam hal prosedur perijinan, bukan merupakan hambatan dalam su
jasa-jasa.13
12 Ibid, hlm. 2
13 Ibid.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
7
Ada beberapa alasan penting mengapa perundangan domestic regulations
menjadi pen
1. nting untuk menjadi peserta
tidak akan menjadi
ma lah/prob
dilakukan oleh Indonesia adalah menegakkan prinsip transparansi hukum dan
kebijakan dan juga tidak perlu ada kekhawatiran, sebab Good Governance telah
me
Do
pu embahasan mengenai transparansi. Kebijakan
transparans
pro
perizinan, biaya, proses pengurusan, sampai pada tindakan penolakan.14
Pasal III General Agreement on Trade in Services (GATS) tentang
Tran
ting untuk Indonesia, antara lain :
Indonesia telah meratifikasi beberapa perjanjian pe
organisasi internasional (WTO) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994
2. Tuntutan dari negara anggota-anggota WTO, termasuk Indonesia.
3. Perundingan sampai saat ini sedang berlangsung.
Agar hasil perundingan Domestic Regulations – WTO
sa lem bagi Indonesia terkait ketentuan transparansi, maka yang harus
nyiapkan sejumlah prinsip yang sangat relevan dalam menyambut perundingan
mestic Regulations – WTO.
Sudah dapat dipastikan bahwa perundingan mengenai Domestic Regulations
n tidak akan bisa dipisahkan dari p
i akan lebih mengarah secara teknis kepada persyaratan-persyaratan dan
sedur perizinan terkait supply jasa, mulai dari kegiatan permohonan, persyaratan
sparansi, menyatakan :
14 Ibid., hlm. 3-4.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
8
1. Para anggota wajib segera menerbitkan (paling lambat pada saat
a peraturan
s) atau persetujuan internasional
denga m
GATS terutama dikarenakan salah satu moda dari perdagangan jasa adalah kehadiran
komersial
jas
berlakunya) semua undang-undang, peraturan, pedoman pelaksanaan, serta semua keputusan dan ketentuan yang berlaku secara umum yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah yang mempunyai dampak pada pelaksanaan persetujuan ini. Persetujuan internasional yang mempengaruhi perdagangan jasa-jasa dimana suatu negara anggota turut serta dalam persetujuan tersebut juga wajib diterbitkan.
2. Apabila publikasi seperti tersebut di atas tidak tersedia, informasi mengenai hal tersebut harus tersedia secara umum
3. Setiap negara harus segera dan paling tidak sekali setiap tahun memberitahukan Dewan Perdagangan Jasa tentang adanyperundang-undangan yang baru atau perubahan terhadap undang-undang, peraturan maupun pedoman administratif yang berlaku yang mempunyai dampak yang sangat berarti terhadap perdagangan jasa-jasa yang tercantum dalam “specific commitment” negara itu yang dibuat berdasarkan persetujuan ini.
4. Setiap negara harus menjawab segera seluruh permintaan informasi yang spesifik yang berasal dari negara lain tentang berbagai ketentuan (measures of general applicationsebagaimana dimaksud dalam para 1 : Setiap negara juga harus mendirikan satu atau lebih pusat informasi yang spesifik atas permintaan negara lain mengenai seluruh masalah dan hal-hal yang harus diberitahukan sesuai dengan para 3. Pusat informasi tersebut harus didirikan dalam dua tahun setelah berlakunya persetujuan ini. Fleksibilitas yang memadai mengenai batas waktu pendirian enquiry point tersebut dapat disepakati untuk masing-masing negara berkembang. Enquiry point dimaksud tidak harus merupakan depositories peraturan perundang-undangan.
5. Suatu negara boleh memberitahukan kepada Dewan Perdagangan Jasa tentang tindakan yang dilakukan oleh negara lain yang dianggapnya mempunyai dampak terhadap pelaksanaan persetujuan ini.
Dengan demikian peraturan penanaman modal memiliki hubungan yang erat
n peraturan perdagangan internasional di sektor jasa sebagaimana diatur dala
dari investor asing ke Negara tujuan investasi. Untuk dapat memberikan
anya kepada konsumen, investor datang dan mendirikan usaha di wilayah Negara
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
9
tujuan investasi, seperti usaha jasa perbankan, asuransi, pendidikan, telekomunikasi,
perho
ko
pe
co
ma
ya
reg
Indonesia sudah melakukan upaya menarik modal asing dan dalam negeri
sejak tahun 1967 dengan diundangkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman
19
ma
ata
1.
2. tuhan dan dalam
waktu yang cepat
3. Sarana dan prasarana yang masih kurang memadai, terutama di luar Pulau Jawa
aha yang tangguh/bonafid
telan, dan lain sebagainya. Supply jasa yang dilakukan dengan kehadiran
mersial (commercial presence) ini akan bersentuhan dengan ketentuan hukum
nanaman modal langsung yang diterapkan oleh negara tujuan investasi (host
untry). Ketika investor asing melakukan supply jasa secara commercial presence,
ka investor tersebut harus mematuhi persyaratan-persyaratan penanaman modal
ng diterapkan oleh pemerintah host country dalam peraturan nasionalnya (domestic
ulation).
Modal Asing. Disusul kemudian dengan Undang-undang No. 6 Tahun
68 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Sampai saat ini terdapat beberapa
salah pokok yang masih sering dikeluhkan oleh para investor dalam berinvestasi
u menanamkan modalnya di Indonesia, antara lain15 :
Tidak mudahnya memperoleh dukungan pembiayaan
Sulitnya mendapatkan lahan usaha yang sesuai dengan kebu
4. Kurangnya tenaga kerja yang sudah terampil dan yang siap pakai
5. Sulitnya mencari mitra us
6. Lamanya pengurusan perizinan di daerah 15 Pandji Anoraga, Op.cit, hlm. 84
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
10
Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 29 Maret
2007 telah m
un
Mo
pe n p
dij
agar
mampu menciptakan terwujudnya kedaulatan ekonomi Indonesia.
Keterkaitan pembangunan ekonomi dengan pelaku ekonomi kerakyatan
dim e ublik
Ind
ek
pe
da
Indonesia mendapat perhatian dalam Undang-Unda Tahun 2007
sehingga terdapat pengaturan mengenai pengesahan dan perizinan yang di dalamnya
terd at pe
san
pe
engesahkan Rancangan Undang-Undang Penanaman Modal menjadi
dang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
dal, yang selanjutnya disingkat menjadi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.
Hal ini merupakan amanat konstitusi yang mendasari pembentukan seluruh
ratura erundang-undangan di bidang perekonomian, sebagaimana yang telah
abarkan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945,
pembangunan ekonomi nasional harus berdasarkan prinsip demokrasi yang
16
antapkan lagi dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat R p
onesia Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam rangka demokrasi
onomi sebagai sumber hukum materiil. Dengan demikian, pengembangan
nanaman modal bagi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi menjadi bagian
ri kebijaksanaan dasar penanaman modal.17
Permasalahan pokok yang dihadapi penanam modal dalam memulai usaha di
ng Nomor 25
ap ngaturan mengenai pelayanan terpadu satu pintu. Dengan sistem itu,
gat diharapkan bahwa pelayanan terpadu di pusat dan di daerah dapat menciptakan
nyederhanaan perizinan dan percepatan penyelesaiannya.
16 Hadi Setia Tunggal, Undang-Undang Penanaman Modal Tahun 2007 beserta
nya, (Jakarta : Harvarindo, 2007), hlm. 36. 17 Ibid.
Penjelasan
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
11
Peningkatan peran penanaman modal tersebut harus tetap dalam koridor
kebijakan pe
ke
usa
ka
n
ekonomi na
No
Undang-undang No. 25 Tahun 2007 adalah untuk :
1. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional ;
n ; ;
dengan
ya mnya diatur dalam
Undang-undang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang No.11 Tahun 1970 dan Undang-undang No.6
Ta
de
mbangunan nasional yang direncanakan dengan tahap memperhatikan
stabilan makro ekonomi dan keseimbangan ekonomi antar wilayah, sektor pelaku
ha, dan kelompok masyarakat, mendukung peran usaha nasional, serta memenuhi
idah tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance).
Penanaman modal mempunyai arti yang sangat penting bagi pembanguna
sional sebagaimana tujuan yang hendak dicapai melalui Undang-Undang
.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Tujuan penanaman modal menurut
2. Menciptakan lapangan kerja ; 3. Meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjuta4. Meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional
an teknologi nasional ;5. Meningkatkan kapasitas dan kemampu6. Mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan ; 7. Mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil
menggunakan dana yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri, dan
8. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.18
Undang-Undang No.25 Tahun 2007 ini menjadi satu-satunya undang-undang
ng mengatur tentang penanaman modal di Indonesia. Sebelu
hun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah
ngan Undang-undang No.12 Tahun 1970. Untuk melaksanakannya diperlukan
18 Lihat Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 25 tahun 2007
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
12
pengaturan teknis melalui peraturan pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya
ses
memberikan ruang kepada
Pe
int
lai
ba
omi di wilayah tertentu ditempatkan sebagai
bagian untuk menarik potensi pasar internasional dan sebagai daya dorong guna
me ingkatka
ya
ha
me
ha
pe
20
Hak, kewajiban dan tanggung jawab penanam modal diatur secara khusus
guna memberikan kepastian hukum, mempertegas kewajiban penanam modal
terha memberikan
pe orma
sos
uai yang diisyaratkan oleh UUPM tersebut.19
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 juga
merintah untuk mengambil kebijakan guna mengantisipasi berbagai perjanjian
ernasional yang terjadi dan sekaligus untuk mendorong kerjasama internasional
nnya guna memperbesar peluang pasar regional dan internasional bagi produk
rang dan jasa di Indonesia.
Kebijakan pengembangan ekon
n n daya tarik pertumbuhan suatu kawasan atau wilayah ekonomi khusus
ng bersifat strategis bagi pengembangan perekonomian nasional, juga mengatur
k pengalihan aset dan hak untuk melakukan transfer dan repatriasi dengan tetap
mperhatikan tanggung jawab hukum, kewajiban fiskal, dan kewajiban sosial yang
rus diselesaikan oleh penanam modal, kemungkinan timbulnya sengketa antara
nanam modal dan pemerintah juga diantisipasi Undang-Undang Nomor 25 Tahun
07 dengan pengaturan mengenai penyelesaian sengketa.
dap penerapan prinsip tata kelola perusahaan yang baik
ngh tan atas tradisi budaya masyarakat dan melaksanakan tanggung jawab
ial perusahaan.
un 2007 : Sebuah Catatan, (Jakarta : Jurnal Hukum Bisnis No.4 Vol. 26/2007), hlm. 5 19 Lihat Adang Abdullah, Tinjauan Hukum atas Undang-Undang Penanaman Modal No.25 Tah
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
13
Pengaturan tanggung jawab penanam modal diperlukan untuk mendorong
iklim persaingan usaha yang sehat, memperbesar tanggung jawab lingkungan dan
pe
pe
da Und
ma
tenta
Pada awal pelaksanaan Pembangunan Jangka Panjang Tahap II telah banyak
tantangan yang harus dihadapi oleh Indonesia. tantangan tersebut antara lain
keikutsertaa
Un
(W
me
pe
cit
sebelum berdirinya PBB Tahun 1945. Dan cita-cita demikian baru terwujud pada
tahun 1994 (setelah 47 tahun).20
menuhan hak dan kewajiban tenaga kerja, serta upaya mendorong ketaatan
nanam modal terhadap peraturan perundang-undangan secara transparan.
Prinsip transparansi atau keterbukaan merupakan salah satu asas penting
lam ang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, yaitu asas yang terbuka terhadap hak
syarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif
ng kegiatan penanaman modal.
n Indonesia ke dalam organisasi perdagangan dunia berdasarkan Undang-
dang No.7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement on Establishing WTO
orld Trade Organization). Disepakatinya hasil Putaran Uruguay GATT yang
rupakan putaran ke-8 sejak tahun 1947, menandakan telah adanya pergeseran
radaban dunia, khususnya di bidang perdagangan. Dikatakan demikian, karena cita-
a untuk membentuk suatu organisasi perdagangan internasional telah timbul sejak
pai Terbentuknya WTO (World Trade Osional, 1996), hlm. 1.
20 Taryana, Sunandar, Perkembangan Hukum Perdagangan Internasional dan GATT 1947 sam rganization), (Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Na
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
14
Masuknya Indonesia sebagai anggota WTO berdasarkan UU No. 7 Tahun
1994 membawa konsekwensi hukum berupa kewajiban untuk menyesuaikan
pe
ya
ya
f kesepakatan bidang
pe man
lang
Measures dan Agreement on Trade in Services yang kemudian menghasilkan
kesepakatan Domestic Regulation.
Te
ke n modal yang diterapkan oleh Pemerintah
Ind
sam
TR
(legally bi aka egulations sepanjang mengenai
ketentuan transparansi harus benar-benar diperhatikan. Jangan sampai hasil
kesepakatan dalam pengaturan transparansi menjadi masalah atau problem bagi
Ind
ne
raturan perundang-undangan nasionalnya dengan kesepakatan-kesepakatan WTO
ng telah diratifikasi dan menjamin bahwa peraturan perundang-undangan nasional
ng telah disesuaikan tersebut dapat dilaksanakan.
Meskipun WTO tidak mengatur secara komprehensi
nana modal, akan tetapi terdapat setidaknya dua kesepakatan yang terkait
sung dengan peraturan penanaman modal, yakni Agreement on Trade Related
rkait kedua agreement tersebut, maka yang perlu diperhatikan adalah
tentuan mengenai syarat-syarat penanama
onesia dalam berbagai peraturan perundang-undangan penanaman modal. Jangan
pai syarat-syarat penanaman modal tersebut bertentangan dengan Agreement on
IMs, GATS serta Domestic Regulation.
Mengingat bahwa sifat dari kesepakatan WTO adalah mengikat secara hukum
nding), m perundingan domestic r
onesia. Jika hal ini terjadi, maka Indonesia akan sangat rentan terhadap tuntutan
gara mitra dagang lainnya. Kekhawatiran ini cukup beralasan mengingat
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
15
transparansi merupakan salah satu isu krusial dan klasik dalam kebijakan di
Indonesia.
B.
perdagangan internasional dan penanaman modal asing
sel menj
seb
kepa
penanaman modal. Sering dikatakan bahwa WTO tidak memiliki mandat untuk
mengatur persoalan penanaman modal, karena kebijakan penanaman modal tunduk
pada
me
Pe
int
pe
ke
Terkait dengan peraturan penanaman modal di Indonesia, sejumlah
permasalahan perlu diteliti, antara lain : apakah hukum penanaman modal di
Ind telah sesuai dengan ketentuan
pe anga
21
Permasalahan
Hubungan antara
alu adi perdebatan. Perdebatan ini selalu mengarah pada kewenangan WTO
agai organisasi di bidang perdagangan yang semakin memperluas pengaturannya
da bidang-bidang lain di luar perdagangan seperti ketentuan-ketentuan terkait
kedaulatan sebuah negara. Disamping itu WTO didirikan dengan mandate untuk
ngatur masalah-masalah perdagangan dunia, tidak termasuk penanaman modal.
rtanyaan yang sering muncul adalah bagaimana sebenarnya hubungan perdagangan
ernasional dan penanaman modal ? Apakah WTO berwenang mengatur masalah
nanaman modal ? Dalam hal yang bagaimana GATT dapat diterapkan dalam
bijakan di bidang penanaman modal ?
onesia, khususnya UU No. 25 Tahun 2007
rdag n internasional yang terkait dengan penanaman modal ? Apakah
21 Ibid., hlm. 4
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
16
persyaratan-persyaratan penanaman modal yang diterapkan di Indonesia tidak
berte
20
jutnya dirumuskan
bat
1. internasional dengan
2. Apaka
jasa telah diterapkan dalam peraturan penanaman modal di Indonesia ?
3. Apakah prinsip transparansi pada Undang-Undang Penanaman Modal sudah
C. Tuj
Berdasarkan uraian yang terdapat dalam rumusan masalah, maka yang
ini adalah :
1. ntuk
dengan ketentuan penanaman modal di sektor jasa yang ditetapkan suatu negara
anggota WTO
ahwa prinsip transparansi pada Undang-Undang Penanaman
ntangan dengan kesepakatan-kesepakatan WTO dan apakah UU No. 25 Tahun
07 telah mengakomodir domestic regulation WTO ?
Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut diatas, selan
asan permasalahan yang diteliti, sebagai berikut :
Bagaimana hubungan ketentuan-ketentuan perdagangan
ketentuan penanaman modal yang ditetapkan suatu negara anggota WTO ?
h prinsip-prinsip hukum perdagangan internasional, khususnya di sektor
mengakomodir Domestic Regulations WTO ?
uan Penelitian
menjadi tujuan dari penelitian
U menganalisis hubungan ketentuan-ketentuan perdagangan internasional
2. Untuk menganalisis penerapan prinsip-prinsip hukum perdagangan
internasionaldi sektor jasa dengan peraturan penanaman modal di Indonesia.
3. Untuk menganalisis b
Modal sudah mengakomodir Domestic Regulations WTO.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
17
D. Manfaat Penelitian
manfaat teoritis dan praktis. Adapun kedua kegunaan
tersebut ad
1.
i adalah sebagai bahan atau data informasi di bidang ilmu
huk
me
(fre
bidang perdagangan jasa (trade services), kaitannya dengan Domestic Regulations –
World Trade Organization (WTO).
2. Secara praktis
Ma an masukan bagi Pemerintah RI
embuatan peraturan perundang-undangan, khususnya dalam
keb
inte
bis
E. Keaslian Penelitian
h dilakukan oleh peneliti dan tenaga
ad inistrasi di Sekretariat Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana
ketahui bahwa penelitian tentang Penerapan Prinsip
Tr
Penelitian ini memiliki
alah :
Secara teoritis
Manfaat penelitian in
um, khususnya di bidang hukum investasi bagi kalangan akademisi, untuk
ngetahui dinamika penanaman modal dan perkembangan perdagangan bebas
e trade) atau liberalisasi perdagangan (trade liberalization), khususnya di
nfaat penelitian ini secara praktis sebagai bah
dan DPR RI dalam p
ijakan penanaman modal sekaitan dengan kesepakatan-kesepakatan organisasi
rnasional (WTO), serta pedoman bagi para pelaku bisnis dalam menjalankan
nisnya di wilayah Indonesia.
Berdasarkan pemeriksaan yang tela
m
Universitas Sumatera Utara, di
ansparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
18
Modal Kaitannya Dengan Domestic Regulations WTO, belum pernah dilakukan
dala
ten
ilmuan,
yakni : juju
dip
kri
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
menguraikan hubungan perdagangan
man modal pada dasar bertolak dari asumsi bahwa
peraturan p
ham
Neg
dipe
yang bebas tersebut didukung oleh ketentuan-ketentuan yang menjamin
kebebasan arus modal. Peraturan perdagangan internasional saling
mem
terb
yan
arus
m pendekatan dan perumusan masalah yang sama, walaupun ada topik penelitian
tang hukum investasi/penanaman modal, namun jelas berbeda.
Jadi penelitian ini adalah “asli”, karena sesuai dengan asas-asas ke
r, rasional, objektif dan terbuka/transparan. Sehingga penelitian ini dapat
ertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan dan
tikan, serta saran-saran yang sifatnya membangun.
Teori-teori yang mencoba
internasional dan penana
erdagangan internasional yang tidak dibebani oleh hambatan-
batan perdagangan (trade barriers) mampu menciptakan kesejahteraan
ara-negara yang melakukan perdagangan internasional. Manfaat yang
roleh akan lebih optimal apabila peraturan perdagangan internasional
butuhkan dengan peraturan perdagangan internasional yang lebih
uka. Asumsi lain adalah bahwa adakalanya peraturan penanaman modal
g menetapkan syarat-syarat penanaman modal menyebabkan terdistorsinya
perdagangan barang/jasa internasional. Negara-negara menetapkan
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
19
persyaratan penanaman modal dalam peraturan nasionalnya, akan tetapi pada
keny
bag
n komoditi secara
bebas, peng
inte
panj
efisi 22
Sanada dengan pandangan tersebut, Renato Reguiro menjelaskan
bahwa hukum perdagangan internasional bertujuan membuka pasar
internasional sec
perd
peru
mem
kon
aka
hambatan-hamba n perdagangan.
ataannya persyaratan tersebut dapat dipergunakan sebagai trade barriers
i masuknya barang dan jasa dari luar negeri.
Rober Gilpin, mengatakan bahwa melalui pertukara
hapusan pembatasan modal, dan pembagian tenaga kerja secara
rnasional, setiap orang akan memperoleh keuntungan dalam jangka
ang, karena sumber-sumber yang langka akan dimanfaatkan secara
en.
ara luas, tanpa terganggu oleh hambatan-hambatan
agangan. Keterbukaan pasar, akan mendorong perubahan pola bisnis
sahaan multinasional dengan melakukan investasi ke luar negeri untuk
enuhi supply pasar internasional dan mendekatkan diri dengan
sumen.23 Dengan cara ini sistem perdagangan internasional yang liberal
n membuka pasar internasional secara luas, tanpa terganggu oleh
ta
ahmul Siregar (2), Perdagangan dan Penanama 22 M n Modal : Tinjauan terhadap Kesiapan
Hukum di Indonesia Menghadapi Persetujuan Perdagangan Multilateral yang Terkait dengan Peraturan Penanaman Modal, (Medan : Universitas Sumatera Utara Sekolah Pascasarjana, 2005), hlm.11.
23 Renato Ruggiero, “ Foreign Direct Investment and The Multilateral Trading System,” (Transnational Corporation : Vol. 5 No. 1, April, 1996), hal. 1.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
20
Mekanisme hambatan tarif yang diatur dalam hukum perdagangan
internasional mempengaruhi pola perubahan pengembangan usaha perusahaan
mul
lang
aka
relo
wila
imp 24
Sebaliknya, hukum penanaman modal domestik dapat menciptakan
hambatan-hambatan terhadap perdagangan internasional dengan menetapkan
syarat-syarat
huk
pen
ham
tinasional dari sekedar kegiatan perdagangan menjadi kegiatan investasi
sung (direct investment). Penerapan hambatan tarif pada kegiatan impor
n menekan perusahaan-perusahaan multinasional untuk melakukan
kasi investasi langsung ke wilayah host country. Produksi langsung di
yah host country akan lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan
or yang bebannya lebih besar karena dibebani tarif impor yang besar.
penanaman modal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip
um perdagangan internasional. Meskipun persyaratan-persyaratan
anaman modal tersebut bukan ditujukan secara khusus untuk menciptakan
batan di bidang perdagangan internasional, tetapi adakalanya persyaratan
ebih lanjut UNCTAD, World Investment Report 1996 : Investment Trade and
ontoh perkembangan industry otomotif di Argentina. Dibawah tekanan hambatan tarif , perusahaan otomotif asing mengadakan produksi otomotif langsung di wilayah
24 LInternational Policy Arrangement, (New York and Geneva : UN, 1996), hal. 75-80. Laporan ini mengambil cimpor otomotifArgentina. Hasilnya, antara Desember 1958 dan Nopember 1961, badan berwenang di Negara tersebut menyetujui rpengemKeperinteHuperden199
encana investasi sektor otomotif mencapai US $ 97.000.000,- dengan 22 proyek bangan perusahaan otomotif. Perhatikan juga Laporan Department of Trade and Industry
rajaan Inggris. Pengalaman Negara ini menunjukkan bahwa kegiatan investasi asing (FDI) oleh usahaan multinasional di Negara tersebut umumnya berlangsung dengan mengikuti pola rnalisasi yang dimulai dengan kegiatan perdagangan dan akhirnya melakukan produksi langsung.
kum perdagangan internasional dan kebijakan Inggris di bidang perdagangan mendorong usahaan multinasional menjadi tidak sekedar melakukan kegiatan perdagangan tetapi merubahnya gan kegiatan investasi langsung. (United Kingdom, Department of Trade and Industry, (London : 6), hal.3
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
21
tersebut menimbulkan akibat yang dapat mengganggu kelancaran arus
perdagangan internasional. Secara umum, pertimbangan yang demikian yang
sela
kete
inte
asih belum ada perjanjian internasional yang bersifat
multilateral
menga
direct investment, FDI) secara komprehensif dan komplit. Usaha terakhir
dalam membuat peraturan yang komprehensif mengenai FDI ini pun masih
belu
neg
yan
mes
kese
perd
treatment (Article III GATT) dan larangan pembatasan kuantitatif (Article III
GATT) tidak membenarkan adanya persyaratan penanaman modal yang dapat
menciptakan hambatan perdagangan internasional.
lu dipergunakan panel penyelesaian sengketa GATT/WTO untuk melihat
rkaitan hubungan hukum penanaman modal dengan hukum perdagangan
rnasional.
Sebenarnya m
yang disepakati oleh kebanyakan negara-negara di dunia ini yang
tur tentang prinsip-prinsip penanam modal asing langsung (foreign
m membuahkan hasil karena besarnya tarik menarik kepentingan antara
ara-negara maju yang biasanya sebagai penanam modal dan negara-negara
g sedang berkembang sebagai host countries atau penerima modal. Namun
kipun demikian beberapa prinsip perdagangan internasional dalam
pakatan WTO telah membuka hubungan yang tidak terpisahkan antara
agangan internasional dan penanaman modal langsung. Prinsip national
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
22
WTO sebagai suatu lembaga yang mengadministrasikan dan
memantau pelaksanaan kesepakatan Putaran Uruguay jelas akan tidak mampu
mem
yan
dipe
tran
sekr
term
melalui pemberian informasi secara terbuka pada saat konsultasi dan
penyelesaian sengketa yang timbul dari persetujuan.
pad nya, karena
peraturan-pe
hasi
Prin
mem
pasar yang efisien serta mencegah penipuan (fraud).27
antau seluruh peraturan atau kebijaksanaan perdagangan negara anggota
g jumlahnya lebih dari seratus negara. Oleh karena itu, instrumen yang
rgunakan adalah mekanisme transparansi dan notifikasi. Dengan prinsip
sparansi, negara anggota diwajibkan melakukan pemberitahuan kepada
etariat WTO atas publikasi-publikasi dimana TRIMs dapat ditemukan,
asuk yang diterapkan oleh pemerintah daerah. Transparansi juga dituntut
25
Friedman mengatakan bahwa hukum itu bersifat diskriminatif, baik
a peraturan-peraturannya sendiri maupun melalui penegakan
raturan hukumnya sendiri tidaklah tidak memihak. Ia merupakan
l dari suatu bantuan atau perjuangan kekuasaan dalam masyarakat.26
sip transparansi atau keterbukaan dalam hal ini berfungsi untuk
elihara kepercayaan publik terhadap pasar dan menciptakan mekanisme
ahmul Siregar (1), Op.cit. hlm. 289-290. 25 M
26 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 151. 27 Bismar Nasution (3), Keterbukaan dalam Pasar Modal, (Jakarta : Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, 2001), hlm. 9.
Comme t [Un 1]:
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
23
Dalam rangka pembaharuan hukum penanaman modal, perlu dipahami
pendapat Burg
pem
men
(pre
“pe
abil
tran
2. Kerangka Konsepsi
Bagian sepsi ini akan dijelaskan hal-hal berkenaan
akan oleh peneliti dalam penulisan Tesis ini.
Kon adal
untu
Kon jug
digeneralisasikan dalam hal-hal yang khusus yang biasa disebut dengan
defenisi operasional.
’s. Menurut studi yang dilakukan beliau mengenai hukum dan
bangunan, terdapat 5 (lima) unsur yang harus dikembangkan supaya tidak
ghambat ekonomi, yaitu “Stabilitas” (stability), “prediksi”
dictability), “keadilan” (fairness), “pendidikan” (education), dan
ngembangan khusus dari sarjana hukum” (the special development
ities of the lawyer).28 Hukum yang predictable akan sulit terwujud jika
sparansi tidak menjadi pedoman dalam pelaksanaannya.
kerangka kon
dengan konsep yang digun
sep ah suatu bagian yang terpenting dari perumusan suatu teori.
Konsep pada dasarnya berperan dalam penelitian Tesis ini adalah
k menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas.
sep a dapat diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang
28 Leonard J.Theberge, Law and Economic Development, Jurnal of International Law and Policy, (Vol. 9, 1980), hlm. 232.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
24
Defenisi operasional ini mempunyai peranan penting dalam
menghindark
men
istil
esis ini dipergunakan juga defenisi
ope
a.
ksanakan proses pengurusan pendirian
perusahaan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan
relevan mengenai penanaman modal.
Tra
lang mpengaruhi perdagangan
inter
daga
T
pros keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan
informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan.30
an perbedaan (diskriminasi). Pengertian antara penafsiran
dua (double) atau biasa juga disebut dengan istilah “dubius” dari suatu
ah yang dipergunakan.
Dalam proses penelitian T
rasional untuk memberikan pegangan bagi penulis, sebagai berikut :
Prinsip Transparansi
Keterbukaan dalam mela
nsparansi/transparency, istilah GATT, suatu prinsip bahwa
kah-langkah kebijakan nasional yang me
nasional harus benar-benar jelas dan terbuka untuk dinilai mitra
ngnya.29
ransparansi (transparency) yaitu keterbukaan dalam melaksanakan
es pengambilan
29 Eddie Rinaldy, Kamus Perdagangan Internasional, (Jakarta : Indonesia Legal Centre Publishing, 2006), hlm. 344. 30 Johny Sudharmono, Be G2C Good Governed Company, (Jakarta : Elex Media Komputindo, 2004), hlm. 8
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
25
Transparansi atau keterbukaan yaitu berusaha menyediakan informasi
perus haan,
trans
agar
dapa
beri
b. Pena
pengertian tentang penanaman modal adalah
segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam
negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah
nega
P
Dala m modal untuk melakukan usaha di
wila h
dala
P
Asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah
Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing,
baik ya
berp
a termasuk informasi teknis (technical information). Tujuan
paransi atau keterbuakan adalah membuka ketertutupan informasi,
tidak menimbulkan ketidakpastian bagi investor. Ketidakpastian
t mengakibatkan investor sulit mengambil keputusannya untuk
nvestasi.31
naman Modal
Pasal 1 butir 1 memberikan
ra Republik Indonesia.32
asal 1 butir 2 memberikan pengertian tentang Penanaman Modal
m Negeri adalah kegiatan menana
ya Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal
m negeri dengan menggunakan modal dalam negeri.
asal 1 butir 3 memberikan pengertian tentang Penanaman Modal
ng menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang
atungan dengan penanam modal dalam negeri.
31 BismaPersyaratan HukuNasty/wordpress.co 32 Hadi S
r Nasution (4), Prinsip Keterbukaan, Pengelolaan Perusahaan Yang Baik Dan m di Pasar Modal, (Februari 10, 2008) dapat diakses di http://www.Bismar m
etia Tunggal, Op.cit., hlm. 4.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
26
c. General Agreement on Trade in Services (GATS)
y tentang
Peng
Inte
untu
yaitu
(ii)
Comm
dari setiap negara meliberalisasikan perdagangan jasa.33
d. Domestic Regulations
Peratu ra lain
TS, untuk mengatur ketentuan-ketentuan
adm
diny
dapa
and
Requirement. 34
e. World Trade Organization (WTO)
Orga
khus B ngsa-Bangsa (PBB).
Salah satu kesepakatan yang dicetuskan dalam Putaran Urugua
aturan Prinsip-prinsip dan Ketentuan-ketentuan dalam Perdagangan
rnasional di Bidang Jasa, termasuk penerapan disiplin dan prosedur
k masing-masing sub sektor. GATS terdiri dari tiga kerangka dasar
: (i) Frame work agreement, berisikan peraturan dan disiplin umum,
Annexes, mengatur masing-masing sektor jasa, dan (iii) Schedule Of
itment atau SOC dari masing-masing negara, berisikan komitmen
ran perundang-undangan nasional yang berisikan anta
ketentuan-ketentuan umum GA
inistratif maupun prosedural terkait sektor-sektor jasa yang telah
atakan dalam Specific of Commitment. Domestic Regulations juga
t memuat ketentuan-ketentuan tentang Qualifications Requirements
Procedures, Tehnical Standard dan Licensing Procedure and
nisasi Perdagangan Dunia (OPD) memiliki status sebagai organ
us Perserikatan a
33 Eddie Rinal 34 Bismar
dy, Op.cit, hlm.128-129 Nasution (2), Op.cit, hlm.2.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
27
G. Metode Penelitian
salahan yang diangkat dan untuk menjawab tujuan
penelitian i
diu
1.
adalah penelitian hukum normatif. Penelitian
huk m
(doectrinal research
sebagai law as it written in the book, maupun hukum sebagai law as it by the
judge through judicial process.
Un ntang Penanaman Modal Kaitannya
De n
yur
ken
arti
atau suatu klasifikasi tanpa secara langsung bertujuan untuk membangun dan
menguji hipotesa-hipotesa atau teori-teori. Dengan kata lain, penelitian ini
merupakan penelitian hukum
me
pen
Sesuai dengan perma
ni, maka dalam metode penelitian ini langkah-langkah yang dipergunakan
raikan sebagai berikut :
Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan
u normatif menurut Ronald Dworkin disebut juga penelitian doktrinal
), yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum
35
Penelitian yang dilakukan terhadap Penerapan Prinsip Transparansi Dalam
dang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Te
nga Domestic Regulations WTO dilakukan dengan melalui pendekatan
idis, yaitu bagaimana hukum didayagunakan sebagai instrumen mewujudkan
yamanan berinvestasi. Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif analitis,
nya membatasi kerangka studi kepada suatu pengumpulan data, suatu analisis
normatif, yakni mengumpulkan, menganalisis dan
nsistematiskan hukum yang berlaku berkaitan dengan asas, konsep dan
elitian lapangan sebagai penunjang.
Bismar Nasution (5), Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum,
Hukum, (Medan : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2003), hlm. 1. 35
Majalah
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
28
2. Sumber Data
Sumber bahan hukum pada penelitian ini didasarkan pada bahan-bahan
sum
dila
bah
kan upaya memperoleh bahan-
bahan
berwen
semua bahan-bahan yang diperlukan dapat diperoleh atau tersedia di
perpustakaan.
Adap
a. trian dan Perdagangan (Perindag) Propinsi Sumatera Utara
b. ) Propinsi Sumatera Utara
tudi pendahuluan.
Diperoleh informasi atau bahan bahwa potensi yang cukup besar untuk
berinvestasi dalam bidang usaha, antara lain di bidang industri (pabrikan),
perdagangan barang dan jasa, perhotelan, dan lain-lain.
ber berupa perpustakaan dan dokumen pemerintah. Penelitian lapangan juga
kukan untuk mendapatkan bahan-bahan guna melengkapi dan menunjang
an-bahan kepustakaan dan dokumen.
Penelitian lapangan yang dilaksanakan merupa
langsung berupa dokumentasi dari instansi-instansi pemerintah yang
ang dan terkait. Hal ini dilakukan oleh karena kemungkinan besar tidak
un yang menjadi informan adalah :
Staf Dinas Perindus
Staf Badan Investasi dan Promosi (BAINPROM
c. Staf Biro Pusat Statistik (BPS) Sumatera Utara
d. Pengurus Kantor Dagang dan Industri Daerah (Kadinda) Sumatera Utara
Sesuai dengan judul penelitian Tesis ini telah dilakukan s
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
29
Sumber data kepustakaan dan dokumen diperoleh dari :
a.
eempat Pembukaan UUD 1945
ungan
b. , artikel, hasil-hasil
seminar atau pertemuan ilmiah lainnya dari kalangan pakar hukum
c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan
penulisan Tesis ini sepanjang surat kabar dan majalah tersebut memuat informasi
yang relevan dengan Penerapan Prinsip Transparansi Dalam Undang-Undang
Bahan hukum primer, terdiri dari :
1) Norma atau kaedah dasar, yaitu Alinea K
2) Peraturan dasar, yaitu Pasal 27 dan Pasal 33 UUD 1945
3) Peraturan Perundang-undangan (prinsip transparansi) yang berhub
dengan penanaman modal dalam kaitannya dengan Domestic Regulations
World Trade Organization (WTO).
Bahan hukum sekunder, seperti : hasil-hasil penelitian
yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer
dan sekunder, serta bahan-bahan primer, sekunder dan tersier (penunjang) di
luar bidang hukum, misalnya yang berasal dari bidang budaya, sosiologi,
ekologi, lingkungan, filsafat dan lainnya yang dipergunakan untuk
melengkapi atau menunjang data penelitian.
Kamus, ensiklopedi, surat kabar dan majalah juga menjadi sumber bahan bagi
Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya Dengan Domestic
Regulations WTO.36
Soerjono Soekanto (1), Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, Cetakan Keempat, 1995), hlm. 88
36
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
30
3. Teknik Pengumpulan Data
ngumpulan data dalam penelitian ini
adalah
me
tert
4. Analisis Data
ukum, diolah dan dianalisis berdasarkan metode kualitatif
yaitu dengan melakukan : Pertama, menemukan makna atau konsep-konsep yang
terkandung dalam bahan hukum (konseptualisasi). Konseptualisasi ini dilakukan
denga
kali
ber
kat
dije
teo
menggunakan metode deduktif, untuk selanjutnya disajikan dalam bentuk uraian
kalimat.
Teknik yang dipergunakan untuk pe
dengan menggunakan studi dokumen yaitu dilakukan dengan
nginventarisir berbagai bahan hukum baik bahan hukum primer, sekunder dan
ier melalui penelusuran kepustakaan (library research).
Terhadap bahan h
n cara memberikan interpretasi terhadap bahan hukum berupa kata-kata dan
mat-kalimat ; Kedua, mengelompokkan konsep-konsep yang sejenis atau
kaitan (kategorisasi) ; Ketiga, menemukan hubungan di antara berbagai
egori ; Keempat, hubungan di antara berbagai kategori diuraikan dan
laskan. Penjelasan ini dilakukan dengan menggunakan perspektif pemikiran
ritis para sarjana. Kemudian dalam penarikan kesimpulan dengan
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
BAB II HUBUNGAN PRINSIP-PRINSIP HUKUM PERDAGANGAN
INTERNASIONAL DENGAN PERATURAN PENANAMAN MODAL
A. Prinsip-Prinsip Hukum Perdagangan Internasional dalam Kerangka WTO
1. Kesepakatan-Kesepakatan WTO
World Trade Organization (WTO) resmi berdiri pada tanggal
1 Januari 1995. Berdirinya WTO dilatar-belakangi oleh ketidakpuasan
Negara-negara penandatangan GATT terhadap status GATT yang tidak
bersifat permanen dan daya mengikatnya yang hanya bersifat kontraktual.
Pada Putaran Uruguay (1986–1994), negara-negara penandatangan GATT,
terutama negara-negara maju, lebih menghendaki adanya sebuah organisasi
perdagangan dunia yang permanen, memiliki daya mengikat secara hukum
(legally binding) terhadap anggota-anggotanya, serta memiliki lingkup
pengaturan perdagangan yang lebih luas. Kelemahan-kelemahan GATT
dipandang tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah perdagangan
internasional yang terus berkembang.37
Agreement on Establishing World Trade Organization disetujui
sebagai salah satu hasil akhir Putaran Uruguay. Pembentukan WTO
dilatarbelakangi tujuan-tujuan sebagai berikut :38
37 Lebih lanjut Taryana, Sunandar, Op.cit, hlm. 6-7
38 Ibid, hlm. 127
31 Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
32
a. Membentuk sistem multilateral yang kuat yang mampu menangani berbagai masalah perdagangan di masa datang
b. Membentuk organisasi yang dapat menyediakan forum negosiasi dalam masa transisi dari sistem lama ke sistem yang baru. Juga menangani masalah-masalah baru seperti perdagangan jasa, perdagangan dan lingkungan
c. Meningkatkan status GATT menghadapi organisasi-organisasi internasional lain yang bertanggung jawab dalam hubungan ekonomi. Tujuannya adalah agar GATT menjadi setaraf dengan organisasi-organisasi Bretton Woods yakni Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (IBRD), untuk membantu kegiatan ekonomi internasional.
d. Menempatkan GATT sebagai organisasi sentral dan penting yang bertanggung jawab mengatur masalah-masalah perdagangan dan ekonomi di antara negara-negara pesertanya.
WTO memberikan kerangka kelembagaan perdagangan di antara
anggota-anggotanya dalam hal-hal yang berhubungan dengan persetujuan-
persetujuan dan instrumen-instrumen hukum terkait yang tercakup di dalam
persetujuan-persetujuan perdagangan multilateral yang mengikat semua
anggota, persetujuan-persetujuan perdagangan plurilateral yang berlaku bagi
anggota-anggota yang telah menerimanya, dan mengikat anggota-anggota
tersebut, tidak menimbulkan baik kewajiban-kewajiban dan hak-hak bagi
anggota yang tidak menerimanya.
Dalam memainkan peran strategisnya pada penataan system
perdagangan WTO, mempunyai beberapa fungsi, yaitu sebagai berikut :39
a. memperlancar pelaksanaan, administrasi dan operasi dan mencapai sasaran-sasaran dari persetujuan ini serta persetujuan-persetujuan perdagangan multilateral, dan juga harus memberi suatu kerangka kerja bagi pelaksanaan, administrasi dan operasi persetujuan-persetujuan perdagangan plurilateral.
39 Ibid, hlm.4
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
33
b. menyediakan forum perundingan untuk anggota-anggotanya yang berhubungan dengan hubungan perdagangan multilateral mereka dalam bidang yang diatur di dalam persetujuan-persetujuan yang dilampirkan dalam persetujuan ini. OPD dapat juga menyediakan suatu forum bagi perundingan-perundingan lebih lanjut di antara anggota-anggotanya mengenai hubungan-hubungan perdagangan multilateral mereka, dan suatu kerangka kerja pelaksanaan hasil-hasil dari perundingan-perundingan tersebut, sebagaimana yang dapat diputuskan oleh Konferensi Tingkat Menteri.
c. mengatur kesepakatan mengenai tata tertib aturan dan prosedur
penyelesaian sengketa (selanjutnya disebut “Kesepakatan Penyelesaian Sengketa” atau “KPS”) dalam Lampiran 2 pada persetujuan ini.
d. mengatur Mekanisme Pemantauan Kebijaksanaan Perdagangan
(selanjutnya disebut “MPKP”) seperti yang terdapat pada Lampiran 3 persetujuan ini.
e. untuk mencapai keterkaitan yang lebih besar dalam pengambilan
kebijaksanaan ekonomi global, WTO harus bekerjasama, sebagaimana mestinya, dengan Dana Moneter Internasional dan dengan Bank Internasional harus rekonstruksi dan pembangunan serta badan-badan afiliasinya.
WTO dan kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkannya tidak
ditujukan untuk menggantikan GATT, akan tetapi meneruskan dan
memperluas asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang telah dihasilkan dalam
kesepakatan-kesepakatan GATT terdahulu. GATT yang disempurnakan sejak
tahun 1947 adalah peraturan dasar dalam WTO. Oleh karena itu, kesepakatan-
kesepakatan WTO tetap dibangun diatas prinsip-prinsip perdagangan
internasional yang telah diletakkan GATT sejak tahun 1947.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
34
Berdasarkan kesepakatan para anggota, bahwa ketentuan GATT 1947
masih tetap berlaku dan merupakan bagian dari GATT 1994, kecuali protokol
tentang Pemberlakuan Ketentuan GATT untuk sementara (Protocol of
Provisional Application). Selain “Article Agreement” GATT 1947 juga
menjadi bagian dari GATT 1994 berbagai perjanjian/kesepakatan yang
dihasilkan oleh Putaran Tokyo (1973 – 1979).
Kesepakatan-kesepakatan tersebut, adalah sebagai berikut :40
a. Kesepakatan Penafsiran Pasal II ayat 1 (b) GATT Kesepakatan tentang Penafsiran Pasal II ayat 1 (b) GATT menyangkut lebih “bea pungutan lainnya” yang dikenakan selain tarif yang telah mengikat. Untuk memastikan transparansi hak dan kewajiban negara-negara anggota seperti tertuang dalam Pasal II alinea 1 (b), maka jenis dan besar “bea atau pungutan lainnya” yang dikenakan pada tarif yang diikat, harus dicatat di dalam Daftar Konsesi, tanpa merobah posisinya sebagai “bea pungutan lainnya”. Tanggal pencatatan semua tarif yang mengikat dilakukan pada tanggal 15 April 1994. Apabila suatu tarif sebelumnya sudah diberikan konsensi, maka besarnya “bea pungutan lainnya” yang dicatat dalam Daftar Konsesi, tidak boleh melebihi besarnya “bea atau pungutan lainnya” tersebut pada saat pertama kali digabungkan ke dalam daftar. Setiap anggota WTO dapat melakukan tuntutan terhadap keberadaan “bea atau pungutan lainnya” asalkan pada saat pengikatan tarif asli tidak ada “bea atau pungutan lainnya”.
b. Kesepakatan tentang Penafsiran Pasal VII GATT Pasal VII GATT mengatur perdagangan yang dilakukan oleh negara (State Trading Enterprise). Yang dimaksudkan dengan “State Trading” adalah perusahaan milik pemerintah atau Badan Milik Pemerintah termasuk Badan Pemasaran (Marketing Boards), yang telah diberi hak-hak istimewa dan khusus atau diistimewakan, berdasarkan kekuatan peraturan perundang-undangan atau konstitusi, dimana dalam praktek kegiatannya melalui pembeliannya atau penjualannya dapat mempengaruhi
40 Ibid, hlm. 137-140
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
35
tingkat atau arah impor atau ekspor. Menurut Pasal XVII ayat 1, negara anggota wajib konsisten dengan prinsip dasar GATT 1994 untuk tidak melakukan diskriminasi, terutama dalam menerapkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang dapat mempengaruhi impor atau ekspor yang dilakukan oleh pedagang swasta. Kesepakatan tersebut menentukan bahwa negara anggota harus memberitahukan tentang keberadaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kepada Dewan Perdagangan Barang untuk dievaluasi oleh kelompok kerja (working party) yang akan dibentuk sesuai dengan ketentuan alinea 5. Keharusan pemberitahuan itu tidak berlaku terhadap impor produk yang perlu segera digunakan baik oleh pemerintah maupun perusahaan sebagaimana spesifikasi di atas tidak untuk dijual kembali atau dipergunakan untuk memproduksi barang untuk dijual. Setiap negara anggota akan meninjau kebijaksanaannya, sehubungan dengan kepatuhan pemberitahuan BUMN kepada Dewan Perdagangan Barang. Dengan tinjauannya setiap negara anggota sejauh mungkin harus memperhatikan kepastian transparansi sehingga memungkinkan untuk dipahaminya operasi BUMN yang diberitahukan dengan pengaruhnya terhadap perdagangan internasional.
c. Kesepakatan tentang Ketentuan Neraca Pembayaran Kesepakatan ini merupakan kesepakatan Penafsiran Pasal XII tentang Penerapan Kuota karena alasan kesulitan neraca pembayaran, dan XVIII : B dan persyaratan dalam Deklarasi 1979 mengenai Kebijaksanaan Perdagangan untuk Tujuan Neraca Pembayaran bagi Negara Berkembang. Namun kesepakatan ini tidak dimaksudkan untuk mengubah hak dan kewajiban para anggota menurut Pasal XII atau XVIII:B GATT. Para anggota telah sepakat untuk memberitahukan secepatnya jadwal penghapusan kebijaksanaan impor yang ditujukan untuk perbaikan neraca pembayaran. Tetapi apabila ada keberatan pemberitahuan itu, perlu diberikan alasan pembenaran yang jelas. Kebijaksanaan pembatasan impor yang akan diterapkan itu adalah pembatasan yang dampak hambatannya paling minim. Kebijaksanaan tersebut mencakup : bea masuk tambahan, ketentuan deposit impor atau kebijaksanaan serupa lainnya yang mempunyai dampak terhadap harga barang impor. Kebijaksanaan tersebut dilaksanakan dalam bentuk tambahan bea masuk yang diumumkan secara jelas sesuai dengan ketentuan prosedur notifikasi.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
36
Pada dasarnya harus dihindarkan penggunaan kuota untuk tujuan neraca pembayaran, kecuali bila neraca pembayaran dalam keadaan kritis, dimana kebijaksanaan harga tidak cukup untuk mengatasi kesulitan neraca pembayaran. Dalam hal terjadi keadaan seperti itu, harus diberikan alasan pembenaran yang jelas mengapa kebijaksanaan harga tidak cukup untuk mengatasi kesulitan neraca pembayaran yang dihadapi. Selanjutnya negara yang mengenakan kuota harus menjelaskan perkembangan neraca pembayarannya dan pengurangan kuotanya. Satu jenis produk hanya boleh dikenakan satu jenis pembatasan impor. Selanjutnya diatur tentang prosedur konsultasi dalam rangka neraca pembayaran, pemberitahuan tertulis dan pencatatan, dan hasil konsultasi neraca pembayaran. Lembaga yang bertugas menangani masalah ini adalah Komite Pembatasan-Pembatasan dalam rangka kesulitan neraca pembayaran yang melaksanakan serangkaian konsultasi untuk menilai semua kebijaksanaan pembatasan impor.
d. Kesepakatan tentang Penafsiran Pasal XXVI tentang “Free Trade Area” dan “Custom Union” Kesepakatan ini bertujuan untuk mempermudah perdagangan dari anggota lain dengan wilayah perdagangan bebas dan tidak menambah hambatan perdagangan negara-negara anggota WTO lainnya dengan anggota wilayah tersebut. Oleh karenanya dalam pembentukan atau perluasan keanggotaannya sedapat mungkin menghindari terjadinya dampak ikatan dalam perdagangan negara anggota WTO lainnya.
e. Kesepakatan tentang Penundaan Kewajiban Menurut GATT Permohonan penundaan syarat yang telah ada harus disertai uraian tentang tindakan-tindakan yang akan diambil oleh anggota, tujuan kebijaksanaan khusus yang diupayakan oleh anggota dan sebab-sebab yang menghalangi anggota untuk mencapai tujuan kebijaksanaannya dengan tindakan-tindakan yang konsisten dengan kewajiban menurut GATT 1994. Penundaan syarat apapun yang berlaku pada tanggal diberlakukannya persetujuan WTO akan terhenti, kecuali diperpanjang sesuai dengan prosedur-prosedur di atas dan prosedur Pasal IX c dan prosedur WTO pada tanggal selesainya atau dua tahun dari tanggal dimulainya Persetujuan WTO.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
37
f. Kesepakatan Penafsiran Pasal XXVIII GATT Kesepakatan ini merupakan penafsiran dari ketentuan tentang prosedur penarikan kembali konsesi tarif. Untuk maksud perubahan atau penarikan kembali konsesi, anggota yang mempunyai rasio ekspor tertinggi dipengaruhi oleh konsesi tersebut (yaitu ekspor produk ke pasar anggota yang merubah atau menarik kembali konsesi tersebut), terhadap ekspor totalnya akan dianggap mempunyai kepentingan pemasokan utama jika sebelumnya sudah tidak mempunyai hak negosiasi awal atau kepentingan pemasokan utama seperti diatur dalam Pasal XVIII. Kesepakatan tersebut akan ditinjau ulang oleh Dewan Perdagangan Barang setelah lima tahun dari tanggal berlakunya WTO untuk menguji apakah kriteria tersebut telah berjalan secara baik dalam menentukan redistribusi hak-hak negosiasi bagi kepentingan ekspor berskala kecil dan menengah.
g. Protokol Marrakesh dari GATT 1994 Daftar tarif dari para anggota yang terlampir dalam protokol menjadi daftar tarif GATT 1994 WTO berlaku. Daftar tarif yang disampaikan dalam kerangka keputusan para menteri mengenai negara-negara berkembang yang paling terbelakang akan menjadi lampiran dari protokol.
Selain kesepakatan tentang penyempurnaan mekanisme GATT, juga
tercakup dalam perjanjian akhir Putaran Uruguay masalah-masalah baru di
bidang perdagangan barang seperti ketentuan investasi yang dapat
mempengaruhi perdagangan, terutama yang dapat menghambat pelaksanaan
ketentuan Pasal III dan Pasal XI GATT 1947 yaitu tentang Pengenaan Pajak
Dalam Negeri dan Pembatasan Fisik Barang dan Perdagangan yang terkait
dengan Perlindungan Hak Milik Intelektual. Bahkan dengan kesepakatan
Putaran Uruguay, telah memperluas cakupan lingkup pengaturan GATT tidak
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
38
hanya menyangkut produk barang, tetapi juga jasa yang diatur di dalam
perjanjian tersendiri dan merupakan bagian dari perjanjian WTO.41
Disamping kesepakatan-kesepakatan tersebut, WTO juga
menghasilkan sejumlah kesepakatan yang tidak saja mengatur masalah tarif
dan perdagangan internasional, tetapi meluas pada peraturan perdagangan
internasional yang terkait dengan ketentuan-ketentuan penanaman modal,
yakni :
a. General Agreement on Trade in Services (GATS)
General Agreement on Trade in Services (GATS) meletakkan
aturan-aturan dasar bagi perdagangan internasional di bidang jasa. GATS
berisikan dua kumpulan kewajiban utama, yaitu kumpulan tentang konsep,
prinsip dan aturan yang menetapkan kewajiban yang berlaku bagi seluruh
“measures” yang mempengaruhi perdagangan jasa dan kumpulan
kewajiban khusus hasil negosiasi yang merupakan komitmen yang berlaku
untuk sektor jasa dan sub sektor jasa yang terdaftar pada “Schedule of
Commitment”.42
WTO yang mengambil alih peranan GATT dalam memelihara
sistem perdagangan dunia yang terbuka dan bebas adalah organisasi
internasional lainnya. Berbeda dengan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB),
WTO benar-benar mempunyai “gigi”, kemudian tidak seperti IMF dan
World Bank, WTO mempunyai misi yang sangat jelas dan tindakan serta 41 Ibid, hlm. 144 42 Syahmin, AK., Hukum Dagang Internasional dalam Kerangka Studi Analitis, (Jakarta :: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 171
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
39
aturan yang dikeluarkannya berlaku sama bagi setiap negara anggota,
tanpa membedakan negara berkembang dan maju.
Salah satu aspek yang dicakup oleh WTO adalah perdagangan jasa
yang diatur dalam GATS yang merupakan salah satu lampiran (annex)
dari perjanjian pembentukan WTO (selanjutnya disebut dengan Perjanjian
WTO). GATS meletakkan aturan-aturan dasar bagi perdagangan
internasional di bidang jasa. Aspek perdagangan jasa ini merupakan aspek
yang sama sekali tidak disentuh secara mendalam oleh GATT. Tujuan
dibentuknya GATS ditegaskan dalam Deklarasi Punta del Este, deklarasi
yang merupakan dasar dilaksanakannya perundingan Putaran Uruguay,
yaitu untuk membentuk suatu kerangka multilateral dari prinsip dan aturan
tentang perdagangan jasa.
Sebagaimana telah ditegaskan di atas, secara garis besar GATS
berisikan dua kumpulan kewajiban. Pertama, adalah kumpulan tentang
konsep, prinsip, dan aturan yang menciptakan kewajiban yang berlaku
bagi seluruh measure yang mempengaruhi perdagangan jasa. Kedua
adalah kumpulan tentang kewajiban khusus hasil negosiasi yang
merupakan komitmen yang berlaku untuk sektor jasa dan sub-sektor jasa
yang terdaftar pada Schedule of Commitment (selanjutnya disingkat
dengan SOC) negara anggota. Di samping itu, perjanjian ini juga berisikan
lampiran tentang sektor-sektor jasa tertentu yang mempunyai karakteristik
khusus serta keputusan-keputusan dan Understanding. Kedua komponen
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
40
ini merupakan satu kesatuan yang berlaku dan mengikat seluruh anggota
WTO.
Kumpulan pertama GATS berisikan kewajiban umum yang beberapa
di antaranya berlaku untuk seluruh sektor jasa (misalnya most-favoured-
nation dan transparansi) dan beberapa hanya berlaku untuk SOC
(misalnya Pasal XI tentang Payment and Transfers). Sementara itu,
kumpulan kedua berupa komitmen pembukaan akses pasar yang
ditawarkan kepada anggota lain sebagai hasil perundingan.
Secara lebih rinci GATS terdiri dari 6 Bagian, 29 Pasal dan 8
Lampiran (annex) yang dapat dikelompokkan ke dalam 6 (enam)
kelompok, yaitu :
1) Kewajiban umum yang berlaku bagi semua anggota; 2) Kewajiban khusus yang tercantum dalam SOC masing-masing
anggota; 3) Ketentuan pengecualian terhadap kewajiban; 4) Isu-isu untuk perundingan mendatang; 5) Annex dan keputusan menteri yang menjelaskan berbagai aspek
GATS; 6) Masalah-masalah teknis, prosedural, dan administratif
Dalam ketentuan umum, diatur prinsip-prinsip yang tidak jauh
berbeda dengan prinsip-prinsip yang diatur GATT. Prinsip-prinsip
tersebut antara lain :
1) Most-favoured-nation treatment (non-discrimination); 2) Protection through specific commitment (termasuk market
acces), national treatment dan additional commitment); 3) Transparansi; 4) Peningkatan partisipasi negara sedang berkembang;
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
41
5) Integrasi ekonomi; 6) Liberalisasi bertahap ; dan 7) Keadaan darurat.43
Ruang lingkup perdagangan internasional di bidang jasa sesuai Pasal
1 ayat (1) GATS, yang berbunyi : “This agreement applies to measures by
member affecting trade in services”.
Pasal ini mencoba memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud
dengan “trade in services”, adalah perdagangan jasa yang dilakukan
dengan cara sebagai berikut :44
1) Jasa yang diberikan dari suatu wilayah negara ke wilayah negara lainnya (cross border) misalnya jasa yang mempergunakan media telekomunikasi;
2) Jasa yang diberikan dalam suatu wilayah negara kepada konsumen dari negara lain (consumption abroad) misalnya turisme;
3) Jasa yang diberikan melalui kehadiran badan usaha suatu negara dalam wilayah negara lain (commercial presence) misalnya pembukaan kantor cabang bank asing;
4) Jasa yang diberikan oleh warga negara suatu negara wilayah negara lain (presence of natural person) misalnya jasa konsultan, pengacara dan akuntan.
b. Agreement on Trade Related Investment Measures (TRIMs)
Di bidang TRIMs perjanjian yang akan disepakati tidak mencakup
masalah investasi seperti yang dikehendaki negara maju, melainkan
terbatas pada interpretasi lebih lanjut terhadap ketentuan yang sudah ada
dalam GATT. Dalam perjanjian yang akhirnya disetujui dalam perjanjian
43 Ibid, hlm. 172-174 44 Ibid, hlm. 179-180
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
42
Uruguay Round. Hal pokok yang menjadi hasil perjanjian di bidang
TRIMs adalah penekanan kembali tentang ketentuan GATT yang
melarang adanya “local content requirement dan trade balancing”.45
Dirjen GATT merumuskan ilustrative list yang kemudian dijadikan
lampiran integral dari Agreement on TRIMs sebagai berikut :
“a. Persyaratan penanaman modal yang tidak sejalan dengan keharusan perlakuan sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal III.4 GATT 1994 : (1) Pembelian atau penggunaan produk-produk yang berasal dari
dalam negeri atau dari sumber dalam negeri lainnya dirinci menurut produk-produk tertentu, volume atau nilai barang produk, atau menurut perbandingan dari volume atau nilai produksi lokal ; atau
(2) Pembelian atau penggunaan produk impor oleh perusahaan dibatasi sampai jumlah tertentu dikaitkan dengan volume atau nilai produksi lokal yang diekspor;
b. Persyaratan penanaman modal yang tidak sejalan dengan
keharusan penghapusan pembatasan kuantitatif, sebagaimana diatur dalam Pasal XI ayat (1) GATT 1994 : (1) Impor produk yang dipakai dalam proses produksi atau
terkait dengan produksi lokalnya secara umum atau senilai produk yang diekspor oleh perusahaan yang bersangkutan ;
(2) Impor produk yang dipakai dalam atau terkait produksi lokal dengan membatasi aksesnya terhadap devisa luar negeri sampai jumlah yang terkait dengan devisa yang dimasukkan oleh perusahaan yang bersangkutan ;
(3) Ekspor atau penjualan untuk ekspor apakah dirinci menurut produk-produk khusus, menurut volume atau nilai produk-produk atau menurut perbandingan volume atau nilai dari produksi lokal perusahaan yang bersangkutan”.46
45 Ibid, hlm. 86-87. 46 Mahmul Siregar (1), Op.cit, hlm. 63-64.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
43
c. Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights
Persetujuan tentang aspek-aspek dagang Hak Atas Kekayaan
Intelektual (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property
Rights – TRIMs), merupakan standar internasional yang harus diterapkan
negara anggota WTO dalam peraturan perundang-undangan yang
mengatur berkenaan dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) atau
Hak Cipta, dan hak-hak yang terkait, seperti Merek Dagang, Indikasi
Geografis, Disain Industri, Paten, Hak Atas Topografi Rangkaian Terpadu
Semi Konduktor, Perlindungan Mengenai Undisclosed Information, dan
Pengawasan Terhadap Praktek yang Membatasi Konkurensi dan Kontrak
Lisensi.47
Di bidang TRIPs, Indonesia seperti juga negara berkembang
lainnya, ditempatkan dalam kedudukan yang terpaksa untuk memikul
beban dalam memberikan perlindungan terhadap hak atas kekayaan
intelektual dari negara maju sebagai imbalan dalam kesediaan negara maju
menyelesaikan perundingan Uruguay Round dan memberikan akses ke
pasar. Untuk mengantisipasi adanya kesulitan dalam melaksanakan
implementasi, pihak Indonesia dalam perundingan berulang kali
menekankan perlunya pemikiran mengenai masalah pelaksanaan.
Berdasarkan pertimbangan itu Indonesia menghendaki adanya fleksibilitas
dalam ketentuan menerapkan kewajiban enforcement dan bantuan teknis
47 Bismar Nasution (1), Op.cit, hlm. 6
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
44
yang konkret dalam pelaksanaan. Dalam perjanjian TRIPs, telah
disepakati perlunya ada bantuan teknis untuk melaksanakan enforcement
dalam kewajiban TRIPs.48
2. Prinsip-Prinsip Hukum Perdagangan Internasional Dalam Kerangka
WTO
Dari waktu ke waktu ketentuan GATT disempurnakan lewat berbagai
putaran perundingan, terakhir lewat perundingan Putaran Uruguay (1986-
1994) yang berhasil membentuk sebuah Organisasi Perdagangan Dunia
(World Trade Organization), yang akan melaksanakan dan mengawasi aturan-
aturan perdagangan internasional yang telah dirintis GATT sejak tahun 1947.
Aturan-aturan GATT 1947 diintegrasikan ke dalam sistem WTO, yang tidak
hanya mengatur perdagangan barang, tetapi juga perdagangan jasa, masalah
hak milik intelektual, dan aspek-aspek penanaman modal yang terkait.49
Dalam menghadapi era globalisasi yang tengah berjalan di segala
sektor dewasa ini, Indonesia telah meratifikasi beberapa perjanjian penting
yang di antaranya adalah menjadi peserta organisasi internasional seperti
WTO, APEC, AFTA, dan lain-lain. Konsekuensi penting dari keanggotaan
suatu organisasi dunia, seperti WTO yang diratifikasi Indonesia melalui
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 pada tanggal 2 November 1994
mewajibkan Indonesia berhati-hati dalam memberlakukan peraturan ekonomi.
48 Syahmin, AK., Op.cit, hlm. 85-86 49 Syahmin, AK., Op.cit, hlm. 12.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
45
Dalam berpartisipasi mewujudkan globalisasi perdagangan bebas
tahun 2020, maka melalui Undang-undang No.5 Tahun 1999, Indonesia telah
menunjukkan itikad baik untuk siap bersaing secara internasional.50
Ratifikasi yang dilakukan pemerintah Indonesia atas Agreement
Establishing the World Trade Organization dilihat dari segi hukum
merupakan suatu langkah yang tidak dapat dicegah sebab sebagai negara yang
berkembang dengan posisi lemah dalam peraturan dagang inernasional,
Indonesia harus meletakkan tumpuan pada suatu forum multilaral, yakni
WTO sebagai wujud suatu kekuasaan internasional di bidang perdagangan
antar negara, yang diharapkan menegakkan rule of law dalam masyarakat
global. Hal yang paling membutuhkan perlindungan hukum adalah pelaku
yang posisinya paling lemah.
Sejak tahun 2003 telah berlaku era pasar bebas untuk perdagangan
bebas AFTA (Asean Free Trade Area) dan tahun 2010 untuk negara-negara
APEC (Asia Pasific Economic Cooperation) yang Indonesia juga turut di
dalamnya dan secara keseluruhan negara anggota WTO (World Trade
Organization) pada tahun 2020.51
World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia
(OPD), mempunyai sejumlah prinsip, yaitu :52
50 Ibid, hlm. 14. 51 Ibid, hlm. 15 52 Nurdin, Muhammad Husin, Indonesia Dalam Lipatan Ekonomi Global (GATT/WTO), (Banda Aceh : Sophia Center, 2007), hlm. 45-47.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
46
a. Most Favored Nation (MFN) atau Non diskriminasi Prinsip Most Favored Nation (MFN) menyatakan bahwa perdagangan internasional antara anggota GATT harus dilakukan secara non-diskriminatif. Dengan demikian prinsip utama adalah bahwa konsensi yang diberikan kepada suatu negara mitra dagang harus berlaku pula bagi semua negara lainnya. Satu negara tidak boleh diberi perlakuan lebih baik atau lebih buruk daripada negara lain. Dengan demikian maka semua negara ditempatkan pada kedudukan yang sama, dan semua negara harus turut menikmati peluang yang tercapai dalam liberalisasi perdagangan internasional dan memikul kewajiban yang sama.
b. National Treatment
Prinsip National Treatment adalah merupakan sisi lain dari konsep non-diskriminasi. Prinsip ini melarang perbedaan perlakuan antara barang asing dan barang domestik yang berarti bahwa pada saat suatu barang impor telah masuk ke pasaran dalam negeri suatu anggota, dan setelah melalui daerah pabean serta membayar biaya masuk, maka barang impor tersebut harus diperlakukan secara tidak lebih buruk daripada hasil dalam negeri.
c. Tarif sebagai Instrumen Tunggal untuk Proteksi
Menurut prinsip ini, GATT mengizinkan proteksi terhadap hasil dalam negeri. Namun dengan proteksi yang diperlukan terhadap hasil dalam negeri hanya dapat dilakukan melalui tarif atau bea masuk yang dikenakan terhadap barang impor, dan tidak boleh dengan cara pembatasan lainnya. Antara lain, maksud prinsip ini adalah agar proteksi yang diberikan terhadap hasil dalam negeri dan pembatasan yang diterapkan terhadap barang impor, dapat diterapkan dengan cara yang lebih jelas atau transparan, dan dampak distorsi akibat proteksi tersebut dapat dilihat secara lebih jelas.
d. Tariff Binding
Untuk lebih menjamin perdagangan internasional yang lebih predictable, maka diterapkan ketentuan untuk melakukan tariff binding atau suatu komitmen yang mengikat negara-negara anggota supaya tidak meningkatkan bea masuk terhadap barang impor setelah masuk dalam daftar komitmen binding.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
47
e. Persaingan yang Adil Aturan GATT juga mengandung prinsip persaingan yang adil atau fair competition. Dengan semakin terjadinya subsidi terhadap ekspor serta terjadinya dumping, GATT semakin menghadapi masalah. Aturan main yang berlaku bagi negara peserta GATT untuk menghadapi subsidi ekspor maupun untuk dumping tersebut pada teks dalam perjanjian GATT maupun pada Anti Dumping Code dan Subsidies Code hasil Tokyo Round. Untuk menghadapi dumping dan subsidi ekspor, negara pengimpor diberi hak untuk mengadakan anti dumping duties dan countervailing duties sebagai imbalan ataupun tindakan balasan terhadap dumping atau subsidi ekspor.
f. Larangan terhadap Restriksi Kuantitatif Prinsip lain dalam GATT adalah larangan umum terhadap restriksi yang bersifat kuantitatif, yakni quota dan jenis pembatasan yang serupa. Ketentuan ini oleh para pendiri GATT dianggap sangat penting karena pada waktu GATT didirikan pembatasan kuantitatif merupakan hambatan yang paling serius dan yang paling sering ditemui sebagai warisan dari zaman depresi pada tahun 1930-an. Namun demikian gejala peningkatan penerapan pembatasan kuantitatif pada beberapa tahun ini semakin meningkat gejala tersebut misalnya terdapat misalnya di bidang pertanian, tekstil, baja dan barang hasil industri yang mempunyai arti penting bagi negara-negara berkembang. Namun demikian GATT memperbolehkan pembatasan kuantitatif yang diterapkan oleh negara anggota dalam hal suatu negara menghadapi masalah dalam hal neraca pembayarannya. Dan langkah pembatasan kuantitatif yang diambil suatu negara anggota tidak boleh melampaui batas waktu yang diperlukan untuk mengatasi masalah neraca pembayaran.
Menurut Olivier Long53, prinsip-prinsip WTO/OPD, adalah sebagai
berikut :54
53 Olivier Long, adalah mantan pimpinan Sekretariat GATT (Direktur Jenderal GATT) 54 Syahmin AK., Op.cit, hlm. 47-49
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
48
a. Most Favored Nation atau Non-diskriminasi Prinsip yang utama dalam GATT adalah prinsip non diskriminasi yang dalam GATT disebut prinsip Most-Favored Nation (MFN). Secara ringkas MFN ini merupakan suatu prinsip bahwa perdagangan internasional antara anggota GATT harus dilakukan secara non diskriminasi. Dengan demikian, prinsip utama adalah bahwa konsensi yang diberikan kepada satu negara mitra dagang harus berlaku pula bagi semua negara. Satu negara tidak boleh diberi perlakuan lebih baik atau lebih buruk daripada negara lainnya. Semua negara ditempatkan pada kedudukan yang sama dan semua negara harus turut menerima menikmati peluang yang tercapai dalam liberalisme perdagangan internasional dan mewakili kewajiban yang sama.
b. National Treatment
Prinsip national treatment melarang perbedaan perlakuan antara barang asing dan barang domestik yang berarti bahwa pada saat suatu barang impor telah masuk ke pasar dalam negeri suatu anggota dan setelah melalui daerah pabean serta membayar bea masuk (bila ada), barang impor tersebut harus diperlakukan secara tidak lebih buruk daripada barang hasil dalam negeri.
c. Tarif sebagai instrumen tunggal untuk proteksi
Prinsip ketiga adalah GATT mengizinkan proteksi terhadap barang hasil dalam negeri, namun demikian proteksi yang diperlakukan terhadap hasil dalam negeri hanya dapat diperlakukan melalui tarif atau bea masuk yang dikenakan terhadap barang impor dan tidak boleh dengan cara pembatasn lainnya.
d. Tarif Binding
Untuk lebih menjamin perdagangan internasional yang lebih dapat ditafsir (lebih predictable), maka diterapkan ketentuan untuk melakukan tarif binding atau suatu komitmen yang mengikat negara-negara anggota supaya tidak meningkatkan bea masuk terhadap barang impor setelah masuk dalam daftar komitmen binding.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
49
e. Persaingan yang adil Aturan GATT juga mengandung prinsip persaingan yang adil atau fair competition. Dengan semakin terjadinya subsidi terhadap ekspor serta terjadinya dumping, GATT semakin menghadapi masalah. Untuk menghadapi dumping dan subsidi ekspor, negara pengimpor diberi hak untuk mengenakan anti dumping duties dan counter vailing duties sebagai imbalan ataupun tindakan balasan terhadap dumping atau subsidi ekspor.
f. Larangan terhadap restriksi kuantitatif
Prinsip lain dalam GATT adalah larangan umum terhadap restriksi yang bersifat kuantitatif, yakni kuota dan jenis pembatasan yang serupa. Ketentuan ini oleh para pendiri GATT dianggap sangat penting karena pada waktu GATT didirikan, pembatasan kuantitatif merupakan hambatan yang serius dan paling sering diterima sebagai warisan dari zaman depresi pada tahun 1930.
g. Waiver dan pembatasan darurat terhadap impor
GATT mengizinkan diadakan perkecualian dalam bentuk waiver dan langkah darurat lain. Perkecualian dalam bentuk waiver yang diizinkan adalah dalam kasus tertentu, yaitu dalam suasana darurat yang memilih penanganan dengan mengambil langkah proteksi karena industri dalam negerinya menghadapi masalah. Proteksi tersebut merupakan langkah darurat yang bersifat sementara (safe guards).
Sistematika dari uraian mengenai berbagai prinsip-prinsip tersebut di
atas terdapat pada publikasi GATT yang dikeluarkan oleh Sekretariat GATT.
Uraian tersebut merumuskan suatu sistematika yang secara “arsitektur”
menunjang pandangan yang mengandung tema utama yang mengarah pada
tujuan akhir untuk menerapkan sistem perdagangan yang terbuka dan bebas.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
50
Prinsip-prinsip tersebut juga dapat disusun dalam suatu “arsitektur”
yang tujuan akhirnya dapat lebih “bernuansa”. Walaupun substansinya sama,
namun urutan sistematika yang sifatnya lebih “bernuansa” telah
dikembangkan oleh Olivier Long, mantan Direktur Jenderal GATT, dimana
“arsitektur” GATT terdiri dari prinsip-prinsip dasar yang tegas tetapi dengan
aturan main yang mengandung prosedur-prosedur yang ditentukan secara
terinci apabila diperlukan adanya perkecualian terhadap prinsip-prinsip
tersebut. Di sinilah letaknya fleksibilitas GATT.
Tetapi fleksibilitas tersebut di atas juga merupakan sumber sengketa
yang dapat timbul bukan saja karena perbedaan interpretasi teknis tetapi juga
perbedaan yang sumbernya lebih fundamental, tetapi yang tertutup oleh
nuansa. Untuk lebih mempertajam aturan main yang masih mengandung
nuansa yang tidak terlalu jelas maka secara bertahap dan berkala, GATT
menyelenggarakan perundingan yang tujuannya adalah antara lain
mempertajam isi dari aturan main yang ada agar penerapannya dapat lebih
memenuhi sasaran dan isinya dianggap lebih adil.55
B. Prinsip-Prinsip Hukum WTO Dalam Perdagangan Jasa Internasional
Dalam ketentuan umum diatur prinsip-prinsip perdagangan jasa (GATS),
antara lain :56
55 H.S.Kartajoemena, Substansi Perjanjian GATT/WTO dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa, (Jakarta : UI-Press, 2000), hlm.43 56 Syahmin AK., Op.cit, hlm. 184
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
51
1. Most Favoured-Nation Treatment (MFN)
MFN merupakan suatu kemudahan yang diberikan kepada suatu negara juga
harus diberikan untuk negara lain. MFN ini merupakan prinsip utama di dalam
perdagangan barang (GATT) yang juga dipakai dalam perdagangan jasa (GATS).
Konsep MFN ini mempunyai sejarah amat panjang yang dapat ditelusuri
keberadaannya sejak abad ke-12, meskipun secara formal konsep ini muncul
pertama sekali pada abad ke-17. Pertumbuhan perdagangan selama abad ke-15
dan 16 kelihatannya menjadi sebab utama munculnya klausul MFN. Amerika
Serikat menggunakan klausul ini pada tahun 1778 pada perjanjiannya yang
pertama dengan Prancis.
MFN atau dikenal juga dengan prinsip nondiskriminasi merupakan suatu
kewajiban umum (general obligation) dalam GATS. Kewajiban ini bersifat
segera (immediately) dan otomatis (unconditionally).
Dalam pengaturan mengenai MFN pada Pasal II Paragraf I GATS
dipergunakan perumusan “…. each Member shall accord immediately and
unconditionally to services and services supplier of any other Member,
“treatment non less favourable” than it accord to like services and services
supplier of any other country”. Istilah “treatment no less favourable” juga
digunakan di dalam Pasal XVI tentang market acces dan Pasal XVII tentang
national treatment.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
52
Perbedaannya ialah dalam MFN treatment no less favourable yang
dibandingkan adalah perlakuan yang diberikan terhadap services supplier dari
suatu negara dengan negara lainnya, sedangkan dalam national treatment yang
dibandingkan adalah perlakuan yang diberikan terhadap domestic services
supplier dengan foreign services supplier. Sementara itu, dalam market acces
pengertiannya adalah perlakuan yang diberikan terhadap foreign services supplier
oleh suatu negara harus sesuai dengan persyaratan dan pembatasan yang
tercantum di dalam Schedule of Commitments (SOC) negara itu.
Meskipun demikian, sistem GATS memberikan kebebasan bagi anggotanya
untuk menyimpang dari kewajiban MFN. Oleh karena itu, suatu anggota dapat
saja memberikan perlakuan yang lebih baik atas suatu sektor jasa kepada suatu
atau beberapa anggota dibandingkan dengan yang diberikan kepada anggota lain
sepanjang anggota lain tersebut diperlakukan minimal sesuai dengan yang
dicantumkan dalam SOC. Akan tetapi, suatu negara tidak dibenarkan untuk
memberikan perlakuan yang lebih sedikit dari yang dicantumkan dalam SOC
kepada suatu atau beberapa anggota (misalnya berdasarkan prinsip resiprositas).
Masalah MFN exemption ini hampir menggagalkan perundingan Putaran
Uruguay pada bulan Desember 1993 yang lalu. Amerika Serikat melakukan
pendekatan yang dianggap oleh mitra rundingnya sebagai suatu kekeliruan.
Pendekatan AS ini dikenal dengan two-tier approach yang khusus diberlakukan
untuk sektor jasa keuangan. Dalam pendekatan ini AS memberlakukan tiga
kategori mitra dagangnya, yaitu : (a) negara yang memperoleh seluruh manfaat
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
53
atas komitmen yang diberikan ; (b) negara yang hanya memperoleh manfaat
sebagian komitmen ; (c) negara yang tidak memperoleh manfaat dari komitmen
AS. Pendekatan ini secara prinsipil bertentangan dengan konsep MFN exemption.
Sebagai jalan keluar, untuk menghindari kegagalan perundingan, disepakati
untuk melanjutkan perundingan di sektor jasa keuangan sampai dengan akhir Juni
1995. Dalam lanjutan perundingan AS menegaskan kembali posisinya bahwa AS
akan membuka jasa keuangannya kepada semua anggota WTO sepanjang negara
lain meningkatkan pembukaan pasar jasa keuangannya.
2. Protecting Through Specific Commitments
Dalam perdagangan barang anggota (contracting parties), GATT mempunyai
empat kewajiban utama, yaitu (a) memberlakukan trade barrier secara
nondiskriminasi; (b) membatasi tarif pada tingkat yang ditetapkan dalam tariff
schedule; (c) membatasi penerapan other barrier ; dan (d) menyelesaikan
sengketa dengan cara konsultasi dan proses penyelesaian sengketa khusus.
Dalam perdagangan jasa, proteksi dengan menggunakan pembatasan tarif
tersebut tidak bisa dilaksanakan karena jasa-jasa itu sendiri, mengingat sifatnya
yang abstrak, masuk ke suatu wilayah tidak melalui pelabuhan (customs) sehingga
tidak dapat dihambat melalui tarif. Oleh karena itu, proteksi yang dapat dilakukan
dalam perdagangan jasa adalah dalam bentuk SOC yang dibuat masing-masing
negara sesuai dengan keadaan negara tersebut yang kemudian dirundingkan
dengan mitra dagangnya.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
54
SOC pada hakikatnya mengandung suatu “reservation”. Artinya negara yang
membuat SOC tersebut tunduk pada ketentuan GATS dengan disertai suatu
kondisi, pembatasan, dan persyaratan sebagaimana tercantum dalam
komitmennya itu.
SOC ini diatur pada Bagian III yang terpisah dari Bagian II GATS yang
merupakan general obligations. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa
schedule of commitments bukan merupakan automatic obligation, tetapi
merupakan suatu specific obligation. Artinya yang menjadi kewajiban adalah
sesuai dengan yang tercantum dalam SOC negara yang bersangkutan.
Dalam Bagian III GATS (specific of commitments) dikenal 3 (tiga) macam
komitmen, yaitu :
a. Komitmen market acces
b. Komitmen national treatment, dan
c. Additional commitments
Tiga macam komitmen ini digabung jadi satu dalam SOC dari masing-masing
negara.
Pendekatan yang dipergunakan dalam pembuatan SOC adalah bersifat
campuran sebagai hasil kompromi dalam menentukan cakupan GATS
sebagaimana telah dijelaskan di atas. Positive list dipergunakan di dalam
membuka sektor/sub-sektor maupun transaksi kepada foreign services supplier.
Artinya hanya sektor/sub-sektor/transaksi yang dibuat dalam SOC itu saja yang
dapat dimasuki oleh foreign services supplier sesuai dengan persyaratan atau
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
55
pembatasan yang ada dengan mendapat perlindungan penuh dari GATS.
Pendekatan ini dikenal dengan nama “up-down approach”.
Sebaliknya, pendekatan negative list dipergunakan ketika negara tersebut
menyatakan komitmennya di bidang market acces dan national treatment. Untuk
market acces, komitmen tersebut dinyatakan dalam bentuk terms, limitations, and
conditions. Contohnya adalah untuk bentuk pendirian perusahaan joint ventures,
modal pihak asing maksimal sebesar 49%. Untuk national treatment, dinyatakan
dalam bentuk conditional and qualifications, misalnya pihak asing hanya dapat
mendirikan hotel bintang 5 ; suatu ketentuan yang tidak berlaku bagi pengusaha
nasional. Pendekatan ini dikenal dengan nama “bottom up approach”. Sementara
itu, additional commitments dinyatakan dalam bentuk suatu understaking
(pernyataan) yang biasanya menyangkut suatu kualifikasi profesional, standar,
dan perizinan.
SOC dari masing-masing negara sesuai dengan Pasal XX Paragraf 3 menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari GATS. Dengan demikian, SOC tersebut
mengikat bagi negara yang membuatnya. Dengan SOC ini, tercermin juga suatu
prinsip, yaitu prinsip liberalisasi dalam perdagangan jasa dilakukan secara
bertahap (progressive liberalization) sesuai dengan keadaan dan kemampuan
negara masing-masing. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal XIX GATS.
Indonesia dalam rangka perundingan Putaran Uruguay telah mencantumkan 5
sektor jasa dengan 49 jenis transaksi dalam SOC, yaitu :
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
56
a. Telekomunikasi dengan 9 jenis transaksi;
b. Industri dengan 19 jenis transaksi;
c. Transportasi laut dengan 2 jenis transaksi;
d. Pariwisata dengan 3 transaksi; dan
e. Jasa keuangan : (1) nonbank dengan 10 transaksi ; (2) bank dengan 6 jenis
transaksi
Komitmen yang diberikan tersebut lebih sempit dari kenyataan yang berlaku.
Sebagai contoh di sektor perbankan, dalam pendirian bank campuran kepemilikan
modal pihak asing hanya maksimal 49%, sedangkan berdasarkan ketentuan yang
berlaku pihak asing boleh memiliki 85% saham.
Dalam penyusunan SOC, dipergunakan istilah-istilah teknis yang
membutuhkan penjelasan lebih lanjut antara lain sebagai berikut :57
a. None Istilah ini dimaksudkan untuk menyatakan keinginan anggota yang memberikan komitmen secara penuh (full commitments). Artinya sektor jasa yang ditawarkan tidak disertai dengan hambatan dan/atau pembatasan.
b. Bound Hambatan dan/atau pembatasan yang diberikan untuk sektor jasa yang dicantumkan dalam SOC akan diubah, kecuali menjadi lebih terbuka, tanpa pemberian kompensasi.
c. Unbound Hambatan dan/atau pembatasan terhadap sektor jasa yang dicantumkan dalam SOC, dapat diubah oleh anggota (no commitment)
57 Ibid, hlm. 189
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
57
Sebagai ilustrasi, dapat dilihat pada SOC Indonesia untuk subsektor jasa
perbankan di bawah ini.
Sector or sub-sector
Limitation on Market Access
Limitation on National Treatment
Additional Commitments
Commercial banking : 1. Acceptance
of deposits
1. Subject to government
regulation on Foreign Commercial Borrowing.
2. None 3. For joint Bank not
more than 49% of the capital share owned by foreign partner(s)
4. For joint bank, only director can assumed by expatriates
1. None 2. Unbound Joint
bank may only open new branch in 8 cities
4. For joint bank,
only director can assumed by expatriates
Sumber : Hukum Dagang Internasional (dalam Kerangka Studi Analisis),
Syahmin AK.SH.MH. hlm. 190
Dari ilustrasi di atas dapat dijelaskan bahwa pada sub sektor commercial
banking dengan jenis transaksi penerimaan deposito, Indonesia mengikatkan diri
secara multilateral untuk hal-hal sebagai berikut :
a. Limitation on Market Access 1) Cross Border Supply
Bank yang beroperasi di Indonesia diizinkan menerima deposito dari luar negeri dengan syarat tunduk kepada ketentuan pinjaman luar negeri.
2) Consumption Abroad Tidak ada larangan bagi penduduk Indonesia untuk mendepositokan uangnya di luar negeri. Kebebasan ini tidak akan diubah tanpa kompensasi.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
58
3) Commercial Presence Bank campuran hanya boleh membuka cabang di delapan kota di Indonesia. Ketentuan ini tidak berlaku bagi bank nasional dan bank asing.
4) Natural Presence Orang asing hanya boleh bekerja di bank campuran sebagai direktur. Ketentuan ini tidak berlaku bagi bank nasional dan asing.
b. Limitation on National Treatment 1) Cross Border Supply
Dalam hal menerima deposito dari luar negeri tidak ada perbedaan perlakuan antara bank nasional, bank campuran maupun bank asing.
2) Consumption Abroad Tidak ada komitmen, artinya Indonesia bebas menetapkan ketentuan yang diinginkan.
3) Commercial Presence Untuk bank campuran, pihak asing hanya boleh memiliki maksimal modal 49%. Persyaratan ini tidak akan dikurangi.
4) Natural Presence Orang asing hanya boleh bekerja di bank campuran sebagai director. Tidak ada additional commitments yang diberikan oleh Indonesia.58
3. Transparansi
Prinsip transparansi diatur dalam Pasal III GATS yang mewajibkan semua
anggota mempublikasikan semua peraturan perundangan, pedoman pelaksanaan,
serta semua keputusan dan ketentuan yang berlaku secara umum yang
dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah yang mempunyai dampak pada
pelaksanaan GATS. Di samping itu, juga diwajibkan untuk memberitahukan
Council for Trade in Services (salah satu “badan” dalam WTO) atas setiap
perubahan atau dikeluarkannya peraturan perundangan yang baru yang
berdampak terhadap perdagangan jasa yang dicantumkan dalam SOC.
Pemberitahuan ini minimal dilakukan sekali dalam setahun. 58 Ibid, hlm. 190-191
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
59
Kewajiban lainnya yang harus dilaksanakan oleh semua anggota adalah
pembentukan “enquiry point”. Enquiry point ini berfungsi sebagai pusat informasi
yang menyediakan informasi spesifik bagi setiap anggota mengenai seluruh
masalah tentang perdagangan jasa. Enquiry point ini sudah harus berdiri paling
lambat 1 Januari 1997.59
4. Peningkatan Partisipasi Negara Sedang Berkembang (Development Country)
Secara prinsip sistem WTO tidak membedakan antara negara maju dan negara
berkembang. Namun demikian, dalam kondisi-kondisi tertentu kepada negara
berkembang diberikan perlakuan khusus. Hal ini dapat dilihat pada perlakuan
khusus yang diberikan kepada negara sedang berkembang dalam penyampaian
SOC. Penyampaian SOC ini merupakan salah satu syarat untuk dapat menjadi
original member WTO (Pasal 11 WTO). Kepada negara sedang berkembang
(least developing country), Indonesia tidak termasuk kriteria ini, diberikan waktu
sampai dengan April 1995, sedangkan untuk negara lainnya batas waktu
penyerahan adalah 15 Desember 1993.
Di samping itu, kepada negara sedang berkembang juga diberi kemudahan
dalam rangka meningkatkan partisipasinya melalui perundingan SOC yang
menyangkut :
59 Ibid, hlm. 192
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
60
a. Peningkatan kapasitas jasa dalam negeri dan efisiensi serta daya saing sektor
jasa dalam negeri antara lain melalui akses kepada teknologi secara komersial;
b. Perbaikan akses terhadap jaringan distribusi dan informasi ; dan
c. Liberalisasi akses pasar untuk sektor-sektor dan cara pemasokan yang menjadi
kepentingan bagi ekspor negara berkembang (Pasal IV (1) GATS)
Kemudahan lainnya yang diberikan kepada negara sedang berkembang adalah
dalam rangka negosiasi selanjutnya untuk membuka pasar. Kepada mereka
diberikan fleksibilitas yang cukup untuk membuka sektor yang lebih sedikit,
melakukan liberalisasi transaksi yang lebih sedikit, melakukan perluasan akses
pasar secara bertahap sejalan dengan situasi pembangunannya (Pasal XIX ayat (2)
GATS).
Selanjutnya, dalam rangka membantu negara sedang berkembang, negara
maju diwajibkan untuk mendirikan “contact point” untuk membantu negara
berkembang dalam mengakses informasi mengenai pasar masing-masing negara
maju. Informasi tersebut meliputi ;
a. Aspek komersial dan teknis dari pemasok jasa ;
b. Pendaftaran, pengakuan dan cara memperoleh kualifikasi profesional ; dan
c. Terjadinya teknologi jasa (Pasal IV (2) GATS).60
60 Ibid, hlm. 192-193.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
61
5. Integrasi Ekonomi
Kerjasama regional telah lama dipandang sebagai pengecualian dari klausula
MFN dalam perjanjian perdagangan. Meskipun demikian, WTO secara prinsip
tidak melarang anggotanya untuk bergabung dengan organisasi kerjasama
ekonomi regional seperti NAFTA (North America Free Trade Agreement), atau
mengadakan perjanjian liberalisasi perdagangan jasa antara dua atau lebih negara,
asal saja memenuhi beberapa kriteria yang sangat rinci dan kompleks
sebagaimana diatur dalam Pasal V GATS.
Kriteria yang diatur oleh Pasal V GATS tersebut dimaksudkan untuk
memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan setiap kemungkinan yang dapat
merugikan sebagai akibat dibentuknya kerjasama ekonomi regional. Secara
umum, ketentuan tersebut dimaksudkan agar tingkat tarif atau non tariff barrier
yang rendah di antara sesama anggota kerjasama ekonomi regional tersebut tidak
merugikannya yang bukan anggota. Hambatan perdagangan sesudah kerjasama
ekonomi regional tersebut terbentuk tidak boleh lebih tinggi dari sebelum
kerjasama tersebut dibentuk.
Persyaratan yang ditentukan oleh Pasal V GATS tersebut adalah sebagai
berikut :
a. Harus meliputi banyak sektor;
b. Penghapusan ketentuan diskriminatif yang ada dan/atau pelarangan tindakan
baru yang diskriminatif;
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
62
c. Tidak meningkatkan hambatan perdagangan jasa secara keseluruhan pada
sektor atau subsektor dibandingkan dengan tingkat hambatan yang ada
sebelum diadakannya kerjasama;
d. Pemasok jasa yang berbentuk badan hukum milik negara bukan anggota
kerjasama yang berusaha di banyak sektor harus diperlakukan sama dengan
ketentuan kerjasama
e. Apabila kerjasama regional tersebut dibentuk antara sesama negara
berkembang, kepada mereka harus diberikan fleksibilitas sesuai dengan
tingkat pembangunannya.
f. Apabila suatu negara memperoleh keuntungan dengan adanya kerjasama
regional yang dibentuk, anggota kerjasama tersebut tidak boleh meminta
kompensasi dari anggota yang memperoleh keuntungan itu.
6. Liberalisasi Bertahap
Tujuan akhir dari GATS adalah menciptakan liberalisasi perdagangan jasa
total dimana tidak ada hambatan sama sekali dalam arus peredaran jasa. Untuk
mencapai tingkat itu, cara yang ditempuh adalah secara bertahap, mengingat tidak
samanya tingkat pertumbuhan masing-masing anggota WTO.
Liberalisasi bertahap tersebut dilakukan dengan mewajibkan semua anggota
WTO untuk melakukan putaran negosiasi secara berkesinambungan yang dimulai
paling lambat lima tahun sejak berlakunya Perjanjian WTO (sejak 1 Januari
1995). Negosiasi tersebut harus dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
63
measures yang berdampak buruk terhadap perdagangan jasa. Meskipun demikian,
proses liberalisasi harus dilakukan dengan tetap menghormati kepentingan
nasional dan tingkat pembangunan masing-masing (Pasal XIX ayat (1) dan (2)
GATS). Ketentuan dalam Pasal XIX dapat digunakan oleh negara maju untuk
menekan negara berkembang untuk melakukan perundingan selanjutnya.
Dalam pada itu, komitmen yang telah diberikan dalam rangka perundingan
Putaran Uruguay dan telah menjadi annex dari GATS, pada prinsipnya tidak
boleh ditarik, diubah dan/atau dikurangi. Perbaikan hanya dimungkinkan apabila
dilakukan dengan maksud untuk meningkatkan komitmen. Penarikan dan/atau
perubahan komitmen yang diberikan hanya dapat dilakukan dengan pembayaran
kompensasi kepada anggota yang dirugikan (Pasal XIX GATS).
7. Keadaan Darurat
Escape Clauses merupakan ketentuan penting dalam suatu perjanjian
internasional, baik multilateral seperti GATT, regional seperti ASEAN, bilateral
atau umum (general) seperti Generalized System of Preferences for Developing
Countries (GSP). Berbeda dengan exception (pengecualian), escape clause
diberlakukan untuk kondisi yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya. Dengan
kata lain, pengecualian dilakukan untuk kesulitan yang dapat diperkirakan
sebelumnya.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
64
Secara umum escape clause membolehkan suatu anggota, dalam kondisi
tertentu, untuk sementara menghindar dari satu aspek perjanjian tanpa merusak
tujuan dari perjanjian tersebut secara keseluruhan. Escape clause dalam suatu
perjanjian memberikan kepastian bagi penandatanganan bahwa dalam situasi
darurat, mereka dibenarkan untuk sementara menghindar dari komitmen yang
telah diberikan.
Pada perdagangan barang, terdapat beberapa ketentuan yang membenarkan
anggota untuk melakukan “penyimpangan” dari ketentuan, yaitu dalam hal :
a. Kompetisi impor yang curang (unfair), dengan cara pengenaan anti dumping
duties dan counterveiling duties (Pasal VI dan XVI GATT) ;
b. Kompetisi impor yang tidak curang (fair), tetapi jumlah impor meningkat
sangat pesat sehingga dapat membahayakan industri dalam negeri dengan
menggunakan ketentuan Pasal XIX GATT, yaitu tentang emergency
protection.
Di samping penyimpangan di atas, Pasal XII GATT juga membolehkan
anggota melakukan pembatasan impor, baik jumlah maupun nilai, dalam hal
anggota tersebut mengalami kesulitan neraca pembayaran. Penyimpangan
tersebut harus dilakukan dengan cara :
a. Menghindari kerusakan yang tidak perlu terhadap kepentingan komersial atau
ekonomi anggota lain ;
b. Tidak diberlakukan secara tidak rasional, yaitu mencegah impor barang dalam
jumlah komersial minimum sehingga dapat merusak jalur perdagangan
reguler;
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
65
c. Tidak menerapkan pembatasan yang mencegah impor contoh barang atau
mencegah impor dalam rangka patent, trade mark, copyright.
Dalam GATS anggota dalam keadaan darurat juga dibenarkan untuk
melakukan penyimpangan sementara dari komitmen yang diberikannya.
Penyimpangan tersebut dapat dilakukan dalam hal kesulitan negara pembayaran.
Dalam kondisi seperti ini anggota diperkenankan melakukan pembatasan-
pembatasan di dalam perdagangan jasa yang telah dicantumkan dalam SOC-nya.
Pembatasan tersebut harus dilakukan dengan syarat :
a. Tidak menimbulkan diskriminasi di antara sesama anggota ; b. Konsisten dengan ketentuan International Monetary Fund (IMF); c. Menghindarkan kerugian komersial, ekonomi dan keuangan anggota
lainnya; d. Tidak melebihi hal-hal yang perlu untuk mengatasi keadaan ; e. Harus bersifat sementara dan dihapuskan secara bertahap.
Tindakan pengamanan darurat, selain kesulitan negara pembayaran yang
dapat dilakukan anggota, masih akan dirundingkan secara multilateral.
Perundingan tersebut sudah harus dimulai paling lambat tiga tahun setelah
berjalannya WTO. Hal ini untuk memberikan kesempatan bagi anggota untuk
mempelajari kesulitan apa saja yang mungkin timbul setelah berjalannya GATS,
mengingat perdagangan jasa belum diatur sebelumnya.61
61 Ibid, hlm. 197-198
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
66
C. Hubungan Prinsip-prinsip Hukum Perdagangan Internasional dan Peraturan Penanaman Modal
Karakteristik perdagangan internasional yang termasuk dalam cross border
issues selalu dipergunakan sebagai argumentasi untuk membedakan disiplin ini
dengan penanaman modal. Non-cross border issues pada kegiatan penanaman modal
menjadi dasar pandangan yang menyetujui pengaturan penanaman modal tunduk
sepenuhnya pada pelaksanaan kedaulatan internal negara tuan rumah (host country).
Dengan demikian host country memiliki kebebasan yang luas untuk menetapkan
peraturan penanaman modal yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan
nasionalnya. Lebih jauh argumentasi ini menjadi dasar sikap yang resisten terhadap
hadirnya sebuah perjanjian internasional di bidang penanaman modal yang mengikat
negara-negara.
Hubungan yang tidak terpisahkan antara peraturan penanaman modal dan
peraturan perdagangan internasional sebenarnya telah menjadi pembahasan
masyarakat internasional pada saat berlangsungnya United Nations Conference on
Trade and Employment tahun 1948 di Havana. Konferensi yang menghasilkan
Havana Charter ini meminta kepada negara-negara peserta agar menghindari
perlakuan yang diskriminatif terhadap investor asing.62 Namun kegagalan ratifikasi
menyebabkan kajian ini kurang mendapat perhatian.63 Masalah ini kembali menarik
62 United Nations, The Impact of Trade Related Investment Measures : Theory, Evidency and
Policy Implication, (New York : United Nations, 1991), hlm. 79 63 Lebih lanjut John H. Jackson, The World Trading System : Law and Policy of International
Economic Relations, (Cambridge, Massachusetts, London, England : The MIT Press, 1989), hlm. 32-39.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
67
perhatian pada saat Parlemen Kanada mengesahkan Canada’s Foreign Investment
Review Act pada tanggal 12 Desember 1973. Untuk menjamin keuntungan yang
signifikan bagi Kanada, Pemerintah menetapkan syarat-syarat bagi investor yang
melakukan permohonan penanaman modal asing, yakni : (1) membeli sejumlah
persentase tertentu barang-barang dari Kanada, (2) menggantikan produk impor
dengan produk buatan Kanada, (3) membeli barang-barang dari Kanada jika barang-
barang tersebut bersaing dengan barang impor (4) membeli dari supplier Kanada.64
Perubahan UU Penanaman Modal Kanada ini mengakibatkan perusahaan Gannet
harus setuju untuk menjual produk dari perusahaan penanaman modal Kanada kepada
perusahaannya di Amerika Serikat (AS) dan Apple Computer harus membeli suku
cadang untuk kegiatannya di Kanada.65
Dalam memutuskan sengketa ini Panel GATT berpendapat bahwa Panel
mengakui kedaulatan Kanada untuk mengatur sendiri kebijakan penanaman
modalnya, dan Panel tidak bermaksud untuk menguji kedaultan tersebut. Namun,
Panel berpendapat bahwa dalam melaksanaan kedaulatan tersebut tidak berarti
Pemerintah Kanada boleh begitu saja menyampingkan kewajiban internasional yang
ditelah disepakatinya (GATT).66 Dengan memperhatikan keterkaitan antara
persyaratan penanaman modal dan kewajiban-kewajiban Kanada dibawah ketentuan
64 Paul Civello, “The TRIM’s Agreement : A Filed Attempt at Investment Liberalization”, (1999), Minnesota Journal of Global Trade, hlm. 3-10
65 Christy, “ Negotiating Investment in the GATT : ACall for Functionalism (1991) 12 Michigan Journal of International Law 743, hlm. 789-790.
66 Lebih lanjut perhatikan Canada Administration of the Foreign Investment Review Act, FIRA Panel Report, February 7th 1984, hlm. 140-144. Perhatikan juga Cathrine Curtiss and Kathryn Cameroon, “The United State-Latin American Trade Laws”, (1995), New York Journal of International Law, hlm. 127.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
68
GATT, Panel memutuskan bahwa persyaratan-persyaratan penanaman modal yang
diwajibkan oleh Pemerintah Kanada tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip
perdagangan internasional yang diatur dalam GATT, terutama prinsip national
treatment.
Pada periode setelah berlakunya Agreement on Trade Related on Investment
Measures hasil perundingan Putaran Uruguay, bermunculan sengketa-sengketa
perdagangan yang lahir dari peraturan penanaman modal, antara lain Brazil dengan
kebijakan investasi sektor otomotif, India dengan kebijakan local content
requirement, Indonesia dengan kebijakan “mobil nasional”, Filipina dengan
kebijakan foreign exchange limitation, dan berbagai negara lainnya. Sejumlah
sengketa tersebut menunjukkan bahwa adakalanya peraturan penanaman modal suatu
negara dapat menimbulkan sengketa bidang perdagangan internasional, ketika
peraturan penanaman modal tersebut bertentangan dengan kewajiban internasional
dari host country berdasarkan prinsip-prinsip perdagangan internasional yang diatur
dalam GATT/WTO.
Pasca Putaran Uruguay, hubungan peraturan penanaman modal dengan
peraturan perdagangan internasional semakin kuat. Setidaknya terdapat dua
kesepakatan utama yang dapat dipergunakan untuk mengukur keharmonisan antara
peraturan penanaman modal dengan kewajiban host country berdasarkan kesepakatan
perdagangan internasional, yakni Agreement on Trade Related Invesment Measures
(Agreement on TRIMs) dan General Agreement on Trade in Services (GATS).
Kesepakatan pertama pada dasarnya ditujukan untuk menghindari terjadinya
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
69
peraturan penanaman modal host country yang menetapkan syarat-syarat yang dapat
mendistorsi arus perdagangan barang internasional, dan kesepakatan GATS mengatur
ketentuan-ketentuan pokok penanaman modal di sektor jasa melalui perdagangan jasa
dengan modus commercial presence.
Lebih khusus hubungan yang tidak terpisahkan antara peraturan perdagangan
internasional dengan peraturan penanaman modal yang diterapkan oleh negara-negara
anggota WTO dalam jurisdiksi mereka, dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Terdapat persyaratan penanaman modal yang menciptakan hambatan
perdagangan internasional
Peraturan penanaman modal asing masing-masing negara pada dasarnya berisi
ketentuan tentang persyaratan-persyaratan dan kewajiban-kewajiban yang harus
dipenuhi oleh investor (asing), seperti persyaratan kandungan local, kewajiban
menggunakan komponen tertentu buatan dalam negeri, kewajiban alih teknologi,
kebijakan keseimbangan perdagangan, pembatasan bidang usaha, pemilikan
saham, penggunaan tenaga kerja asing dan lain sebagainya.67
Tidak jarang beberapa dari persyaratan penanaman modal tersebut justru
menciptakan hambatan terhadap perdagangan internasional. Persyaratan
penanaman modal yang diwajibkan oleh Pemerintah Host Country dalam
peraturan domestiknya (domestic regulation) menciptakan dampak diskriminatif
dalam perlakuan terhadap barang-barang impor. Kewajiban bagi investor untuk
67 David Conklin dan Donald Lecraw, “Restriction on Foreign Ownership During 1984-1994 ;
Development and Alternative Policies”, Transnational Corporations, Vol. 6 No. 1, April, 1997, hlm. 4.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
70
menggunakan barang-barang buatan dalam negeri host country yang dijadikan
sebagai syarat untuk dapat melakukan penanaman modal atau untuk
mendapatkan kemudahan pajak, menyebabkan adanya perlakuan khusus terhadap
barang-barang buatan dalam negeri.
Panel penyelesaian sengketa GATT menyimpulkan bahwa perubahan
peraturan penanaman modal Kanada pada tahun 1973, yang mencantumkan
syarat penanaman modal dan kewajiban investor untuk menggantikan produk
impor dengan produk dalam negeri Kanada, membeli sejumlah persentase
tertentu barang-barang buatan Kanada, dan pembelian impor dengan
menggunakan supplier domestik, bertentangan dengan prinsip national treatment
yang diakui secara luas dalam perdagangan internasional. Persyaratan
penanaman modal yang diterapkan Pemerintah Kanada menyebabkan adanya
perlakuan khusus dan diskriminatif terhadap barang-barang buatan dalam negeri.
Persyaratan ini tidak sejalan dengan prinsip national treatment yang mewajibkan
perlakuan sama antara barang impor dengan barang buatan dalam negeri. 68
Contoh lain, misalnya persyaratan penanaman modal sector otomotif yang
diterapkan Brazil yakni kewajiban investor untuk memenuhi rasio 1:1 atas impor
barang mentah dengan yang dibuat di dalam negeri serta terhadap perbandingan
penggunaan barang modal impor dengan buatan dalam negeri. Demikian juga
bahwa impor kenderaan tidak boleh melebihi jumlah kenderaan yang sudah
68 Canada Administration of the Foreign Investment Review Act, FIRA Panel Report,
Februari 7th 1984, hlm. 140-144.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
71
diekspor. Panel dalam perkara ini menetapkan bahwa persyaratan penanaman
modal yang diterapkan Brazil bertentangan dengan Article III.4 dan XI.1 GATT
tentang national treatment dan larangan hambatan kuantitatif.69
2. Commercial Presence dalam perdagangan jasa merupakan tindakan penanaman
modal
Salah satu perubahan yang sangat signifikan sejak berlangsungnya
Uruguay Round 1996, adalah terjadinya perluasan perundingan ke arah bidang-
bidang non konvensional, antara lain perundingan perdagangan di sektor jasa
komersial yang dikenal dengan nama General Agreement on Trade Services
(GATS), yang berisikan pedoman-pedoman umum perdagangan di sektor jasa
komersial.
Sasaran yang ingin dicapai GATS adalah terciptanya sebuah kerangka
multilateral yang berisikan prinsip-prinsip dan aturan-aturan perdagangan jasa-
jasa dengan tujuan untuk perluasan perdagangan berdasarkan kondisi yang
transparan dan liberalisasi yang progresif serta sebagai sarana meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dari seluruh negara mitra dagang dan untuk pembangunan
negara berkembang.70
Lampiran (annex) dari perjanjian pendirian WTO mencantumkan ketentuan
bidang investasi, yaitu :
69 Brazilian Automotif Measures, Panel Report, www.wto.org/english/tratop_e/investment/
dispute_e, diakses 8 Juni 2008 70 Bismar Nasution (2), Op.cit, hlm. 1.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
72
8. Ketentuan-ketentuan investasi yang berkaitan dengan perdagangan barang diatur
dalam Trade Related Investment Measures (TRIMs)
9. Ketentuan-ketentuan investasi yang berkaitan dengan perdagangan jasa diatur
dalam General Agreement on Trade Services (GATS)
Ketentuan investasi yang diatur dalam GATS adalah ketentuan yang
menyangkut Commercial Presence atau disebut Presence of Juridicial, dengan
ketentuan bahwa negara anggota diwajibkan untuk memberikan akses ke pasar
domestiknya dan memberikan perlakuan non diskriminasi antar sesama anggota (most
favoured nation) serta memperlakukan pemasok jasa asing yang tidak lebih jelek dari
pemasok jasa domestik (national treatment).71
Dalam kesepakatan GATT baru, tampaknya sejumlah previlage itu akan
dihapus dan “prinsip perdagangan bebas” akan dimaksimalkan, tapi bukan hanya itu,
bidang pengaturan GATT juga semakin diperluas, tidak hanya menyangkut
perdagangan barang-barang manufaktur. Bidang pengaturan GATT baru antara lain
mencakup “kebebasan arus investasi”.
Di sinilah letak ketimpangan model perdagangan bebas yang terdapat dalam
GATT bagi negara-negara berkembang. Karena dengan dihapusnya sejumlah
perlakuan khusus dan diperluasnya bidang pengaturan GATT, seperti ketentuan
mengenai kebebasan arus jasa dan arus investasi, maka perusahaan Multi Nasional
(MN) atau Multi National Corporation (MNC) milik negara maju dapat dengan
mudah masuk ke dalam sektor-sektor ekonomi skala kecil menengah yang dikelola 71 Bismar Nasution (1), Op.cit, hlm.5.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
73
oleh pengusaha lokal di negara berkembang. Bahkan jika dibiarkan, mereka/investor
dapat masuk ke sektor ekonomi dirumuskan sebagai “menguasai hajat hidup orang
banyak”.72
Jadi tampaklah dengan adanya prinsip perdagangan bebas yang
diintroduksikan ke dalam GATT melalui Putaran Uruguay (Uruguay Round),
sebenarnya lebih banyak merugikan daripada menguntungkan negara-negara
berkembang, seperti Indonesia. Dengan demikian nyatalah bahwa model perdagangan
internasional bebas sebagaimana dimaksudkan dalam Kesepakatan GATT baru
(1994) akan lebih banyak menguntungkan pihak yang kuat, dalam hal ini negara-
negara maju, seperti Amerika Serikat, Jepang, RCC, dan lainnya.
Peraturan penanaman modal/investasi yang berhubungan dengan perdagangan
(Trade Related Investment Measures atau TRIMs) dibahas dalam Putaran Uruguay
yang bertujuan untuk menyatukan kebijakan dari negara-negara anggota dalam
hubungannya dengan investasi asing dan mencegah proteksi perdagangan sesuai
dengan prinsip-prinsip GATT, seperti “National Treatment” (Perlakuan Nasional).
Seperti diketahui, penanaman modal asing, seperti juga bentuk lain dari
perdagangan internasional, bisa menimbulkan perbedaan kepentingan antara negara
penanam modal (host country). Penanam modal asing tidak akan menjadi instrumen
perdagangan internasional, bila investor tidak akan menerima keuntungan kompetitif
atau keuntungan kompetitif untuk investasi yang dibuatnya di luar negeri.
72 Pandji Anoraga, Op.cit, hlm. 27
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
74
Pada waktu yang sama, begitu juga investasi asing tidak akan diterima oleh
negara penerima modal, bila negara tersebut tidak mendapatkan keuntungan sebagai
hasil langsung dari investasi asing.
Pertimbangan-pertimbangan tersebut menjadi dasar perundingan yang
mengarahkan negara-negara penerima modal mengatur investasi asing di negara
tersebut. TRIMs melarang pengaturan-pengaturan penanaman modal yang tidak
sesuai dengan prinsip-prinsip GATT 1994, sebagai instrumen untuk membatasi
penanaman modal asing. Namun ada pengecualian-pengecualian tertentu asal
memenuhi syarat-syarat tertentu pula.73
73 Erman Radjagukguk, Hukum Investasi di Indonesia Pokok Bahasan, (Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 248.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
75
BAB III PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL DALAM HUKUM PENANAMAN MODAL
DI INDONESIA A. Perkembangan Hukum Penanaman Modal di Indonesia
Penanaman modal di Indonesia telah berkembang cukup lama dalam kurun
waktu kurang lebih empat puluh tahun, dimana dalam kurun waktu tersebut kegiatan
penanaman modal di Indonesia, baik penanaman modal asing maupun penanaman
modal dalam negeri telah berkembang dan memberikan kontribusi dalam mendukung
pencapaian sasaran pembangunan nasional.
Dasar hukum mengenai penanaman modal di Indonesia diawali dengan :
1. Masa penguasaan atau penjajahan oleh bangsa-bangsa Eropa (1511-1942) : a. Masa penguasaan Portugis (1511-1596) b. Masa penguasaan Belanda yang pertama (1596-1795) c. Masa penguasaan Prancis (1795 – 1811) d. Masa penguasaan Inggris (1811 – 1816) e. Masa kembalinya penguasaan Belanda (1816 – 1942)
2. Masa pendudukan Jepang (1942 – 1945) 3. Masa revolusi mempertahankan kemerdekaan (1945 – 1949) 4. Masa orde lama (1949 – 1967) 5. Masa orde baru (1967 – 1998)
a. Undang-undang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal yang disingkat dengan UUPMA No.1 Tahun 1967 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-undang No.11 Tahun 1970.
b. Undang-undang No.6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri yang disingkat dengan UUPMDN sebagaimana telah dirubah dengan Undang-undang No.12 Tahun 1970.
6. Masa setelah krisis ekonomi (1998 – sekarang) Presiden Republik Indonesia (Susilo Bambang Yudhoyono), telah mengesahkan Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.74
74 K.Harjono, Dhaniswara, Hukum Penanaman Modal Tinjauan Terhadap Pemberlakuan Undang-undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 17.
Comment [U1]:
Comment [U2]:
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
76
Sejak diumumkan Undang-Undang Penanaman Modal, baik asing maupun
dalam negeri, penanaman modal/investasi mulai berkembang di Indonesia pada tahun
1967, dan untuk selanjutnya mengalami perkembangan yang pasang surut. Kemudian
pada tahun 1975 mengalami peningkatan, namun pada tahun 1980 mengalami
penurunan, tetapi pada tahun 1990 mengalami peningkatan yang agak
menggembirakan. Namun akibat krisis ekonomi yang dahsyat pada tahun 1997,
terjadi penurunan yang sangat mencolok, bahkan tak tanggung-tanggung, beberapa
investor hengkang ke luar negeri dengan memindahkan usahanya, antara lain
PT.Indofood Sukses Makmur Tbk, memindahkan kantor pusatnya ke Singapura,
PT.Sony Indonesia Tbk, menutup pabriknya di Pulau Jawa.
Sejalan dengan perkembangan ekonomi dunia akhir-akhir ini, maka untuk
menarik investor untuk berinvestasi di Indonesia semakin sulit, tidaklah semudah
dibandingkan dengan masa yang lampau/sebelumnya. Beberapa andalan utama yang
selama ini menjadi insentif dalam menarik investor, seperti pasar dalam negeri yang
cukup aktif dan berpeluang untuk berkembang pesat, sumber daya alam yang cukup
besar, dan beranekaragam, tidak lagi dapat diandalkan dengan sepenuhnya.
Di samping faktor di atas, ada lagi beberapa faktor yang menyebabkan
investor enggan untuk berinvestasi di Indonesia, yaitu disebabkan para investor masih
sering menghadapi masalah-masalah dalam merealisasikan proyek-proyek
investasinya, terutama adalah :75
75 Panji Anoraga, op.cit, hlm. 83-84
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
77
1. Tidak mudahnya memperoleh dukungan pembiayaan ; 2. Sulitnya mendapatkan lahan usaha yang sesuai dengan kebutuhan dan
dalam waktu yang cepat ; 3. Sarana dan prasarana yang masih belum memadai, terutama di luar Pulau
Jawa; 4. Kurangnya tenaga kerja yang sudah terampil dan yang siap pakai serta
tingginya upah pekerja ; 5. Sulitnya mencari mitra usaha yang tangguh/bonafid dan dipercaya; 6. Lamanya proses pengurusan perizinan, terutama di daerah.
Beberapa negara yang mempunyai kepentingan dalam menarik investor,
seperti RRC, Vietnam, India, beberapa negara ASEAN (Malaysia, Thailand, dan
Filipina) dan negara-negara Amerika Latin juga memiliki berbagai keunggulan,
bahkan melebihi Indonesia, seperti tenaga kerja yang lebih murah di India, Singapura,
Vietnam, dan RRC, serta proses perizinan yang jauh lebih mudah dan cepat.76
Andalan-andalan tadi semakin diperlemah akibat adanya kenyataan bahwa
pasar dunia menjadi terbuka (pasar bebas) dan semakin majunya perundingan-
perundingan perdagangan internasional serta gencarnya upaya untuk mencabut
berbagai sistem proteksi ini berarti keputusan investasi lebih dititikberatkan pada
efisiensi. Dengan demikian upaya peningkatan investasi hanya dapat terjadi jika
Indonesia memiliki daya saing yang tinggi, yang betul-betul melebihi keadaan
negara-negara pesaing utama Indonesia.
Pemerintah telah mengeluarkan berbagai paket kebijakan, antara lain dengan
mengesahkan dan memberlakukan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal yang merupakan bukti adanya jaminan kepastian hukum bagi
investor untuk berinvestasi di Indonesia.
76 Ibid, hlm. 151
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
78
Tujuan Undang-Undang Penanaman Modal adalah :77
1. Memberikan kepastian hukum, transparansi, dan tidak membeda-bedakan, serta memberikan perlakuan yang sama kepada investor dalam dan luar negeri ;
2. Meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global yang merosot sejak krisis moneter ;
3. Penanaman modal akan diberi insentif, diantaranya berupa fasilitas fiskal, imigrasi, dan lisensi impor;
4. Penyederhanaan proses investasi dan menciptakan pelayanan terpadu. Pelayanan terpadu itu meliputi bantuan untuk memperoleh fasilitas fiskal dan informasi yang menyangkut penanaman modal;
5. Memprioritaskan kaum pekerja Indonesia, namun membolehkan posisi dan keahlian tertentu ditempati ekspatriat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Latar belakang dikeluarkannya berbagai paket kebijakan tersebut, antara lain
untuk lebih menggairahkan dan meningkatkan efisiensi kinerja perekonomian
nasional. Sebab selama ini prosedur perizinan yang terkait dengan birokrat dirasakan
berbelit-belit dan terlalu panjang (Indonesia waktunya selama 105 hari, dibanding
hanya 5 hari di Singapura).78
Menurut hasil survei Bank Dunia (World Bank) baru-baru ini, Indonesia
menduduki peringkat ke-123 diantara 178 negara dalam hal kemudahan melakukan
investasi, berhubung karena “red-tape” (regulasi berlebihan), dan korupsi, serta
hukum perburuhan. Memang “red-tape” berkaitan erat dengan mentalitas para
koruptor yang sudah berurat berakar dalam sistem pemerintahan Negara Indonesia.
Semakin banyak peraturan, semakin besar peluang terbuka untuk memungut “biaya”,
77 Hadi Setia Tunggal, Op.cit, hlm. iii 78 Harian “Analisa”, Medan, Rabu, 17 Oktober 2007, hlm. 16
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
79
“sumbangan wajib”, “pungli”, dan “kickbacks” (pembayaran kembali-reaksi) sebagai
uang pelicin urusan perizinan bahkan sepotong surat keterangan sederhana.79
Padahal Indonesia terus memperbaiki iklim investasi dari setiap pergantian
pejabat dan rezim pemerintahan. Istilah pengurusan izin investasi asing dan domestik
“di bawah satu atap” tidak asing lagi bagi semua investor. Mengapa masih ada
keluhan dan sorotan ketidakberesan tersebut.80
Diharapkan dengan pemberlakuan Undang-Undang No.25 Tahun 2007 ini
dapat memberi motivasi/dorongan bagi baik investor untuk meningkatkan/
menambah investasinya, maupun calon investor untuk berinvestasi di Indonesia,
karena kebijakan pemerintah untuk meningkatkan arus investasi dari segi yuridis
sudah dapat dikatakan positif, terbukti dengan diberlakukannya Undang-Undang
No.25 Tahun 2007 yang merupakan jaminan kepastian hukum bagi para investor/
calon investor.
Ada beberapa jaminan kepastian hukum yang diberikan oleh pemerintah
terhadap penanam modal/investor, antara lain :81
1. Pemerintah memberikan perlakuan yang sama kepada semua penanam modal/non diskriminasi, kecuali ada hak istimewa berdasarkan perjanjian dengan Indonesia ;
2. Pemerintah tidak akan melakukan pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal/nasionalisasi, apabila dilakukan, Pemerintah akan memberikan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar ;
79 Ibid 80 Ibid. 81 Ibid, hlm.9-10
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
80
3. Pemerintah tidak melarang penanam modal/investor untuk mengalihkan aset yang dimilikinya kepada pihak yang diinginkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan ;
4. Pemerintah memberi hak kepada penanam modal untuk melakukan transfer dan repatriasi dalam valuta asing.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Pasal 26 telah mengatur secara tegas
tentang pelayanan terpadu satu pintu dengan tujuan membentuk penanam modal/
investor dalam memperoleh kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal, dan informasi
mengenai penanaman modal/investasi yang dilakukan oleh lembaga atau instansi
yang berwenang di bidang penanaman modal yang mendapat pendelegasian atau
pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan
perizinan dan non perizinan di tingkat pusat atau lembaga atau instansi yang
berwenang mengeluarkan perizinan dan non perizinan di propinsi atau kabupaten/
kota.
Selanjutnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 memberi pengertian
tentang pelayanan terpadu sebagai berikut :82
Pelayanan terpadu satu pintu adalah kegiatan penyelenggaraan suatu perizinan dan non perizinan yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki perizinan dan non perizinan yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen yang dilakukan dalam satu tempat.
Sebenarnya pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk
mengatasi masalah-masalah tersebut, yaitu :
1. Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan deregulasi di sektor perbankan, termasuk dalam bidang perkreditan;
82 Hadi Setia Tunggal, Op.cit, hlm. 5.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
81
2. Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan di bidang perolehan lahan/tanah, termasuk mengenai pemberian Hak Guna Usaha (HGU) dengan jangka waktu 95 dengan cara memberikan dan diperpanjang di muka selama 60 tahun dan dapat diperbaharui selama 35 tahun ;
3. Pemerintah telah menawarkan pembangunan sarana dan prasarana yang kurang memadai tersebut (di luar Pulau Jawa) kepada pihak swasta;
4. Pemerintah telah menawarkan para investor untuk ikut berperan serta dengan menyisihkan sebagian modal yang ditanam untuk menyelenggarakan diklat di samping memanfaatkan balai-balai latihan kerja yang dikelola oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Untuk mengurangi kesulitan mendapatkan mitra usaha yang bonafid, Pemerintah melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah mengeluarkan buku potensi mitra usaha, dan meningkatkan kerjasama dengan Kadin dan Asosiasi-asosiasi sektoral.
5. Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan berbagai perangkat kebijakan untuk memperlancar, mempercepat proses pengurusan perizinan sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.83
Selain upaya-upaya tersebut, pemerintah Indonesia juga melakukan kegiatan
dalam bidang promosi baik di dalam maupun di luar negeri. Kegiatan promosi ini
meliputi antara lain menyebarkan informasi mengenai kebijakan umum penanaman
modal/ investasi, project profile, potensi penanaman modal di Indonesia, mengadakan
temu usaha/temu wisata, melaksanakan investasi ke luar negeri, seperti di Jepang,
Australia, RRC, Hongkong, Itali, Malaysia, bahkan Amerika Serikat. Di samping itu
juga mengadakan pameran dan menerbitkan publikasi/brosur penanaman modal,
menerima delegasi/misi investasi dari luar negeri, seperti Jepang, Amerika Serikat,
Australia, Korea Selatan, dan negara-negara Arab, bahkan melaksanakan bimbingan
investasi kepada calon investor dari dalam dan luar negeri.84
83 Pandji Anoraga, Op.cit, hlm. 84-85. 84 Ibid, hlm. 85.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
82
Pemerintah RI melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah
mengikutkan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) dalam rombongan ke
Prancis pada bulan Oktober 2007 untuk meningkatkan hubungan dagang bilateral
Indonesia – Perancis, saat ini mencapai sekitar 1,7 miliar dolar AS di tahun 2006 dan
berpotensi untuk meningkat lagi. Total ekspor Indonesia ke Perancis Tahun 2006
mencapai 720,40 juta dolar AS dan impor mencapai 949,91 juta dolar AS di tahun
yang sama.
Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS), Perancis adalah mitra dagang
Indonesia terbesar keenam dari 27 negara Uni Eropa. Kunjungan tersebut merupakan
salah satu upaya mempromosikan dunia bisnis Indonesia, termasuk Sumatera Utara
ke mancanegara, dengan menunjukkan potensi bisnis yang ada di tanah air.
Menurut informasi Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI)
menandatangani Nota Kesepakatan atau Memory of Understanding (MoU) dengan
para pengusaha muda Perancis yang tergabung dalam Masyarakat Perancis –
Indonesia (The France – Indonesia Society), yang berisi sejumlah komitmen bersama
antara pengusaha muda Indonesia dan Perancis untuk meningkatkan kerjasama
ekonomi, terutama perdagangan dan investasi.85
Secara global kehadiran investor untuk berinvestasi di Indonesia terpusat pada
dua sektor utama, yakni pengolahan sumber daya alam, terutama pertambangan dan
energi, dan industri pengolahan dengan tujuan utama untuk pengamanan sumber daya
alam, sementara di sektor industri pengolahan dimaksudkan untuk perluasan pasar 85 Harian “Waspada”, Medan, Sabtu, 20 Oktober 2007, hlm. 6
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
83
dan pemanfaatan tenaga murah, mendekatkan diri pada bahan mentah serta
menciptakan basis industri baru, kemudian yang paling utama adalah sebagai ikhtiar
pemindahan dampak pencemaran industri.
Konsekuensi pemusatan investasi pada sektor pengolahan sumber daya alam,
terutama pada sektor pertambangan dan energi, jelas-jelas membawa dampak besar
terhadap kelestarian lingkungan hidup di Indonesia. Sudah terlalu banyak kasus
pencemaran lingkungan hidup di Indonesia, justru diakibatkan oleh eksplorasi sumber
daya alam yang semakin meningkat oleh kehadiran penanam modal atau investor
(asing).
Bahayanya sejumlah angin segar atau iming-iming untuk para investor justru
semakin gencar ditiupkan. Memang bagi Indonesia dengan jumlah penduduk yang
begitu besar jumlahnya, membuka peluang bagi investor (asing) sepertinya suatu
tindakan, yang apa boleh buat, harus dilakukan. Namun demikian, apa yang telah
diberikan kepada investor (asing) betul-betul suatu hubungan yang “asimetris”,
artinya keuntungan jauh lebih banyak dikeruk penanam modal/pemodal/investor
(asing), sementara yang dapat diperoleh tidak lebih sekedar limbah.
Pembukaan investasi (asing) di Indonesia dalam banyak hal sangat
menguntungkan negara-negara industri, seperti Jepang, Korea Selatan dan Taiwan.
Hal ini disebabkan oleh tingginya apresiasi mata uang mereka terhadap dolar
Amerika Serikat di satu sisi dan peningkatan proteksi pasar ekspor mereka, seperti di
USA dan MEE.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
84
Di kebanyakan negara di dunia, kehadiran penanam modal/investor (asing)
dapat disambut dan dapat dipandang dengan kecurigaan, mungkin kedua pandangan
terhadap hal itu masuk akal, tentu sebaliknya di Indonesia, penanam modal/investor
(asing) itu disambut baik, karena dapat memberikan keuntungan cukup besar terhadap
perekonomian nasional, misalnya penanam modal/investor (asing) dapat :86
1. menciptakan lowongan kerja bagi penduduk negara tuan rumah, sehingga mereka dapat meningkatkan penghasilan mereka dan standar hidup mereka
2. menciptakan kesempatan penanaman modal bagi penduduk negara tuan rumah, sehingga mereka dapat berbagi dari pendapatan perusahaan-perusahaan baru.
3. meningkatkan ekspor dari negara tuan rumah, mendatangkan penghasilan tambahan dari luar yang dapat dipergunakan untuk berbagai keperluan untuk kepentingan penduduknya.
4. menghasilkan pengalihan pelatihan teknis dan pengetahuan, yang mana dapat digunakan oleh penduduk untuk mengembangkan perusahaan dan industri lain
5. memperluas potensi keswasembadaan negara tuan rumah dengan memproduksi barang setempat untuk menggantikan barang impor
6. menghasilkan pendapatan pajak tambahan yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan, demi kepentingan penduduk dari negara tuan rumah
7. membuat sumber daya negara tuan rumah – baik sumber daya alam dan sumber daya manusia – lebih baik pemanfaatannya daripada semula.
Sebaliknya pengalaman di banyak negara menunjukkan bahwa penanaman
modal/investasi (asing) mengharuskan pengamatan yang hati-hati untuk menjaga dari
tindakan yang dapat berlawanan dengan kepentingan nasional negara tuan rumah,
misalnya kerusakan lingkungan terhadap sumber daya alam.
86 John W.Head, Pengantar Ilmu Hukum Ekonomi, (Jakarta : Proyek ELIPS & Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997), hlm.88-89
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
85
B. Prinsip-prinsip Hukum Penanaman Modal di Indonesia
Sudah sejak dahulu kala bisnis atau pada waktu itu masih terbatas pada
“perdagangan” menjadi sarana penting untuk mendekatkan negara-negara dan bahkan
kebudayaan-kebudayaan yang berlain-lainan. Kalau dilihat dalam perspektif sejarah,
perdagangan merupakan faktor penting dalam pergaulan antar bangsa-bangsa yang
justru sempat menyebarkan perdamaian dan persaudaraan.
Di kawasan kepulauan, para saudagar dulu membawa dagangannya sampai ke
tempat jauh dengan berlayar. Di kawasan daratan, para saudagar seringkali
menempuh jarak jauh untuk mengantar barang dagangannya, kadang-kadang dengan
mengikuti rombongan kafilah. Sejarawan besar dari Skotlandia, William Robertson
(1721 – 1793), menegaskan bahwa “perdagangan memperlunak dan memperhalus
cara pergaulan manusia”. Filsuf dan ahli ilmu politik Prancis, Montesquieu (1689-
1755), pada waktu yang sama lebih melihat kehalusan dalam pergaulan sebagai syarat
untuk perdagangan.
Hampir menjadi gejala umum bahwa dimana adat istiadat bersifat halus, di
situ ada perdagangan, dan dimana ada perdagangan, di situ adat istiadat bersifat halus.
Entah sebagai akibat atau sebagai syarat, yang pasti ialah perdagangan sanggup
menjembatani jarak jauh dan menjalin komunikasi serta hubungan baik antara
manusia.87
87 K.Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta : Kanisius, 2000), hlm. 347
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
86
Dengan sarana transportasi dan komunikasi yang dimiliki sekarang, bisnis
perdagangan internasional bertambah penting lagi. Berulangkali dapat didengar
bahwa kini Indonesia hidup dalam era globalisasi ekonomi/pasar bebas, kegiatan
ekonomi mencakup seluruh dunia, sehingga hampir semua negara terlibat dalam
pasar bebas, sebagaimana dimengerti sekarang dan merasakan akibat pasang surutnya
pasar ekonomis. Memang benar, kenyataan ini tidak bisa dipungkiri, yang melahirkan
konsekuensi hubungan dagang internasional antar negara, mau tidak mau, harus
transparan/terbuka, termasuk dalam menanamkan modal/berinvestasi.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, penanaman modal/investasi harus
menjadi bagian dari penyelenggaraan perekonomian nasional dan ditempatkan
sebagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, dan lain
sebagainya dalam suatu sistem perekonomian yang berdaya saing.
Tujuan penyelenggaraan penanaman modal hanya dapat tercapai, apabila
faktor penunjang yang menghambat iklim penanaman modal dapat diatasi, antara lain
melalui perbankan, koordinasi antar instansi pemerintah pusat dan daerah, penciptaan
birokrasi yang efisien, kepastian hukum di bidang penanaman modal, biaya ekonomi
yang berdaya saing tinggi, serta iklim usaha yang kondusif di bidang ketenagakerjaan
dan keamanan berusaha.88
Dengan perbaikan berbagai faktor penunjang tersebut, diharapkan realisasi
penanaman modal akan membaik secara signifikan dengan berlandaskan pada
prinsip-prinsip sebagai berikut :89
88 Hadi Setia Tunggal, Op.cit, hlm.27 89 Ibid, hlm.42-44
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
87
1. Asas kepastian hukum Yang dimaksud dengan “asas kepastian hukum” adalah asas dalam negara hukum yang meletakkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai dasar dalam setiap kebijakan dan tindakan dalam bidang penanaman modal.
2. Asas keterbukaan Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah asas yang terbuka terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kegiatan penanaman modal.
3. Asas akuntabilitas Yang dimaksud dengan “asas akuntabilitas” adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari penyelenggaraan penanaman modal harus dipertanggung jawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Asas perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara Yang dimaksud dengan “asas perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara” adalah asas perlakuan pelayanan non diskriminasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, baik antara penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing maupun antara penanam modal dari satu negara asing dan penanam modal dari negara asing lain.
5. Asas kebersamaan Yang dimaksud dengan “asas kebersamaan” adalah asas yang mendorong peran seluruh penanam modal secara bersama-sama dalam kegiatan usahanya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.
6. Asas efisiensi berkeadilan Yang dimaksud dengan “asas efisiensi berkeadilan” adalah asas yang mendasari pelaksanaan penanaman modal dengan mengedepankan efisiensi berkeadilan dalam usaha untuk mewujudkan iklim usaha yang adil, kondusif, dan berdaya saing.
7. Asas berkelanjutan
Yang dimaksud dengan “asas berkelanjutan” adalah asas yang secara terencana mengupayakan berjalannya proses pembangunan melalui penanaman modal untuk menjamin kesejahteraan dan kemajuan dalam segala aspek kehidupan, baik untuk masa kini maupun yang akan datang.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
88
8. Asas berwawasan lingkungan Yang dimaksud dengan “asas berwawasan lingkungan” adalah asas penanaman modal yang dilakukan dengan tetap memperhatikan dan mengutamakan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan hidup.
9. Asas kemandirian
Yang dimaksud dengan “asas kemandirian” adalah asas penanaman modal yang dilakukan dengan tetap mengedepankan potensi bangsa dan negara dengan tidak menutup diri pada masuknya modal asing demi terwujudnya pertumbuhan ekonomi.
10. Asas keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional
Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional” adalah asas yang berupaya menjaga keseimbangan kemajuan ekonomi wilayah dalam kesatuan ekonomi nasional.
Dari sekian prinsip-prinsip ini, ada satu prinsip yang benar-benar relevan
dengan era globalisasi/pasar bebas, yaitu perlakuan non diskriminasi terhadap
penanam modal/investor yang berasal dari negara manapun yang melakukan kegiatan
penanaman modal/investasi di Indonesia, kecuali bagi penanam modal/investor dari
suatu negara yang memperoleh hak istimewa berdasarkan perjanjian dengan
Indonesia.90
Disamping asas-asas tersebut, UU Penanaman Modal di Indonesia dibangun
diatas prinsip-prinsip penanaman modal sebagai berikut :
1. Perlakuan sama dalam bidang usaha
Pasal 4 ayat (2) UU PM menetapkan perlakuan sama antara penanaman modal
asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) dengan tetap mengacu
kepada kepentingan nasional. Kaidah dalam Pasal 4 ayat (2) mengandung dua
variable yang harus dimaknai secara utuh, yakni kewajiban memberikan
90 Lihat Pasal 6 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
89
perlakuan sama dan mengacu pada kepentingan nasional. Hal ini berarti perlakuan
sama tersebut tidak bisa dipisahkan dengan kepentingan nasional. Artinya, dalam
keadaan-keadaan tertentu perlakuan sama tersebut dapat tidak diterapkan kepada
penanaman modal asing. Tentunya pengecualian semacam ini harus sesuai
dengan kesepakatan internasional.
Jika dipahami secara menyeluruh sebenarnya UU PM tidak memberikan
perlakuan yang benar-benar sama antara PMA dan PMDN. Beberapa ketentuan
dari UU PM tersebut membebankan sejumlah pembatasan penanaman modal
terhadap PMA, salah satu diantaranya adalah pembatasan bidang usaha pada
PMA. Pasal 12 UU PM sebenarnya tidak membuka seluruh bidang usaha kepada
investor asing. Bidang usaha yang terkait langsung dengan keamanan negara
seperti produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang dan bidang
usaha yang secara eksplisit dalam undang-undang dinyatakan tertutup, tidak
dibenarkan bagi penanaman modal asing.
2. Penerapan Syarat Penanaman Modal
Pasal 12 ayat (4) UU PM memberikan hak kepada pemerintah untuk menetapkan
syarat-syarat penanaman modal pada bidang usaha yang terbuka bagi penanaman
modal. Selanjutnya pada ayat (5) ditetapkan kriteria kepentingan nasional yang
harus diperhatikan dalam menetapkan persyaratan penanaman modal, yakni
perlindungan sumber daya alam, perlindungan, pengembangan usaha mikro,
kecil, menengah, dan koperasi, pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan
kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerja sama dengan
badan usaha yang ditunjuk Pemerintah.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
90
Persyaratan-persyaratan yang dikenakan terhadap penanaman modal.
Persyaratan ini bisa beragam bentuknya, misalnya persyaratan joint venture
(pembatasan pemilikan saham asing), kemitraan dengan usaha kecil, menengah
dan koperasi, alih teknologi, dan persyaratan-persyaratan bidang lingkungan
hidup.
3. Perlakuan khusus terhadap Negara-negara tertentu
Pasal 6 ayat (2) UU PM menerapkan perlakuan diskriminatif dengan adanya
perlakuan khusus kepada negara-negara tertentu berdasarkan perjanjian dengan
Indonesia. Sasaran dari perlakuan khusus ini adalah negara-negara yang terikat
perjanjian penanaman modal secara bilateral, regional maupun multilateral
dengan Indonesia.
Dalam hukum perdagangan internasional ketentuan yang demikian didasarkan
pada prinsip standard of preferential treatment yang membuka peluang adanya
penyimpangan prinsip MFN melalui perlakuan khusus terhadap negara-negara
tertentu, seperti negara bertetangga, atau sesama anggota custom union, dan
wilayah perdagangan regional atau kawasan tertentu.
4. Fasilitas penanaman modal
UU PM mengatur tentang fasilitas penanaman modal pada Bab X mulai dari
Pasal 18 sampai dengan Pasal 24. Bentuk fasilitas penanaman modal yang
diberikan berdasarkan UU No. 25 Tahun 2007 meliputi kemudahan perpajakan,
hak transfer dan repatriasi, amortisasi yang dipercepat, kemudahan perijinan,
kemudahan bea masuk, dan fasilitas hak atas tanah.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
91
C. Penerapan Prinsip-Prinsip Perdagangan Internasional dalam Hukum Penanaman Modal di Indonesia
Indonesia adalah negara anggota WTO dan telah meratifikasi Kesepakatan
Pendirian WTO dengan UU No. 7 Tahun 2004. Sebagai anggota dari pergaulan
masyarakat internasional yang beradab, Indonesia memiliki kewajiban
mengharmoniskan peraturan perundang-undangannya dengan kewajiban internasional
yang telah disepakatinya. Tidak terkecuali UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal harus pula harmonis dengan kesepakatan-kesepakatan internasional yang
diterima Indonesia dalam pergaulannya pada berbagai kerjasama internasional. Jika
hal ini tidak dipenuhi, maka Indonesia akan dibawa kedalam penyelesaian sengketa
oleh negara-negara lain yang berkepentingan.
Berikut ini akan diuraikan analisis tentang penerapan prinsip-prinsip
perdagangan internasional dalam hukum penanaman modal di Indonesia.
1. Prinsip Perlakuan Sama (National Treatment dan Most Favoured Nations )
Dalam hukum perdagangan internasional, kedua prinsip ini menuntut tidak
adanya perlakuan khusus terhadap barang buatan dalam negeri dan larangan
adanya perlakuan diskriminatif berdasarkan asal negara. Barang buatan dalam
negeri dan barang asal impor diperlakukan sama, demikian pula bahwa perlakuan
terhadap semua negara anggota WTO harus sama tanpa ada negara tertentu yang
diperlakukan khusus.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
92
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan tidak ditemukan adanya
peraturan penanaman modal yang mensyaratkan adanya kewajiban untuk
menggunakan barang buatan dalam negeri sampai jumlah, nilai atau persentase
tertentu dalam proses produksi sebagai syarat penanaman modal di Indonesia.
Terakhir Indonesia menggunakan persyaratan kandungan lokal dalam kegiatan
penanaman modal berdasarkan Instruksi Presiden RI No.2 Tahun 1996 jo.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No.31/MP/SK/2/1996.
Kedua peraturan ini mensyaratkan penggunaan komponen buatan dalam negeri
dalam investasi otomotif di Indonesia sebanyak 20% pada tahun pertama
produksi, 40% pada tahun kedua dan 60% pada tahun ketiga. Kebijakan ini
dirubah karena adanya keputusan Panel penyelesaian sengketa WTO yang
menyatakan kebijakan tersebut bertentangan dengan prinsip national treatment
dan karenanya kebijakan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai hambatan
perdagangan internasional.91
Dalam UU No.25 Tahun 2007, persyaratan yang demikian kembali terlihat
dalam Pasal 18 ayat (3) huruf j yang mengkaitkan fasilitas penanaman modal
dengan penggunaan produksi dalam negeri kemungkinan akan mendapat
perhatian investor asing. Fasilitas penanaman modal yang demikian dapat
berdampak pada perdagangan internasional, karena pemberian fasilitas tersebut
didasarkan pada syarat yang dapat berakibat ada perbedaan perlakuan antara
91 Indonesia Automotif Pioner Industry, Panel Report, diakses pada www.wto.org/english/
tratop _e/investment/dispute/html tanggal 8 Juni 2008.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
93
barang buatan dalam negeri dengan barang impor. Dalam hal ini perlakuan
khusus diberikan kepada barang buatan dalam negeri dalam bentuk fasilitas
penanaman modal, fasilitas mana tidak diberikan kepada penanam modal yang
menggunakan barang impor. Tentunya masih bisa diperdebatkan, mengingat
bahwa Pasal ini tidak mensyaratkan adanya kewajiban menggunakan barang
buatan dalam negeri dalam jumlah, nilai atau persentase tertentu seperti yang
dilarang dalam Agreement on TRIMs. Tindakan ini merupakan tindakan sukarela
tetapi diberikan insentif investasi. Pasal 18 ayat (3) huruf j ini berlindung pada
argumentasi tidak adanya kewajiban menggunakan barang buatan dalam negeri.
Dalam UU No. 25 Tahun 2007 perlakuan sama antara investor asing dan
investor domestik dijadikan sebagai kebijakan dasar penanaman modal di
Indonesia. Dalam Pasal 4 ayat (2) UU tersebut ditegaskan, “Dalam menetapkan
kebijakan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah memberi
perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan penanam modal
asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional”. Hal ini berarti bahwa
UU Penanaman Modal telah mengakomodir prinsip perlakuan sama, yang
diwajibkan oleh GATT, Agreement on TRIMs maupun GATS.
Pasal 6 ayat (1) UU PM menetapkan kewajiban Pemerintah memberikan
perlakuan yang sama kepada semua penanam modal yang berasal dari negara
mana pun yang melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan ini merupakan
penerapan dari prinsip most favoured nations dalam perdagangan internasional.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
94
Menyimpang dari Pasal 6 ayat (2) UU PM menerapkan perlakuan diskriminatif
dengan adanya perlakuan khusus kepada negara-negara tertentu berdasarkan
perjanjian dengan Indonesia. Sasaran dari perlakuan khusus ini adalah negara-
negara yang terikat perjanjian penanaman modal secara bilateral, regional
maupun multilateral dengan Indonesia.
Dalam hukum perdagangan internasional ketentuan yang demikian didasarkan
pada prinsip standard of preferential treatment yang membuka peluang adanya
penyimpangan prinsip MFN melalui perlakuan khusus terhadap negara-negara
tertentu, seperti negara bertetangga, atau sesama anggota custom union, dan
wilayah perdagangan regional atau kawasan tertentu.
2. Prinsip Larangan Pembatasan Kuantitatif
GATT melarang adanya peraturan domestik yang menerapkan kebijakan
pembatasan kuantitatif terhadap barang impor. Dalam peraturan penanaman
modal, kebijakan ini umumnya diterapkan dalam persyaratan penanaman modal
dalam bentuk pembatasan impor secara langsung, misalnya dalam bentuk
kebijakan keseimbangan perdagangan (trade balancing policy), pembatasan
impor dengan membatasi akses terhadap devisa (foreign exchange limitation).
Tidak satu pun dari kebijakan tersebut yang ditetapkan sebagai syarat penanaman
modal di Indonesia.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
95
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa persyaratan-persyaratan
penanaman modal dalam peraturan domestik di Indonesia tidak bertentangan
dengan prinsip larangan pembatasan kuantitatif sesuai Article XI GATT. Dengan
kata lain, larangan pembatasan kuantitatif telah terakomodasi dalam peraturan
penanaman modal di Indonesia.
Sehubungan dengan persyaratan penanaman modal yang terkait dengan
liberalisasi investasi di sektor jasa berdasarkan GATS terlebih dahulu harus
dipahami ketentuan-ketentuan pokok sebagai berikut :
a. GATS tidak berlaku secara umum terhadap seluruh peraturan penanaman
modal domestik. Keberlakuan GATS terbatas pada peraturan penanaman
modal di sektor jasa. Hal ini pun masih dibatasi pada sektor jasa yang telah
menjadi commitment liberalisasi dari Negara anggota yang bersangkutan.
b. Negara anggota masih dibenarkan menetapkan syarat-syarat penanaman
modal pada sektor jasa yang sudah diliberalisasikan berdasarkan commitment
Negara anggota tersebut melalui mekanisme specific of commitment.
c. Liberalisasi sektor usaha jasa berdasarkan GATS dengan demikian bersifat
progressif, berdasarkan positif list. Artinya liberalisasi berdasarkan GATS
hanya mengikat pada sektor usaha jasa yang didaftarkan dalam schedule of
commitment Negara peserta.
d. Perlakuan sama antara investor asing dan domestik berlaku pada tahap post
establishment stage atau setelah perusahaan penanaman modal berdiri.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
96
Perlakuan sama tidak mencakup tahap pre establishment stage atau tahap
entry appropal.
Berdasarkan prinsip-prinsip dasar tersebut, berikut diuraikan analisis tentang
persyaratan penanaman modal di Indonesia.
1. Pembatasan Bidang Usaha
UU No. 25 Tahun 2007 tidak membuka seluruh bidang usaha bagi kegiatan
penanaman modal asing. Pasal 12 UU ayat (2) tersebut menetapkan bahwa
bidang usaha yang terkait langsung dengan keamanan negara seperti produksi
senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang dan bidang usaha yang secara
eksplisit dalam undang-undang dinyatakan tertutup, tidak dibenarkan bagi
penanaman modal asing. Ayat (3) selanjutnya menetapkan bidang usaha yang
tertutup bagi penanaman modal asing berdasarkan alasan kesehatan, moral,
kebudayaan, lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan nasional, serta
kepentingan nasional lainnya.
Lebih lanjut dalam Pasal 12 ayat (5) ditegaskan bahwa pemerintah dapat
menetapkan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan berdasarkan kriteria
kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber daya alam, perlindungan,
pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, pengawasan
produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam
negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk pemerintah.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
97
Pembatasan bidang usaha yang demikian tidak dilarang dalam kesepakatan
internasional di bidang perdagangan. Agreement on TRIMs tidak ditujukan untuk
mengatur pembatasan bidang usaha. Agreement ini hanya mengatur
pendisiplinan performance requirement yang berdampak negatif pada kelancaran
perdagangan barang. Sementara GATS mewajibkan adanya perlakuan sama
antara penanaman modal asing dengan penanaman modal dalam negeri, akan
tetapi daya laku dari GATS terbatas pada penanaman modal sektor jasa dan
masih dibatasi pula oleh sistim positive list dan specific of commitment dari
negara-negara peserta.
Dengan demikian yang harus menjadi perhatian adalah jangan sampai bidang
usaha yang ditutup terhadap investor asing tersebut adalah bidang usaha yang
telah dibuka oleh Indonesia berdasarkan negosiasi GATS.
2. Pembatasan Penggunaan Tenaga Kerja Asing
Pasal 10 UU No.25 Tahun 2007 mewajibkan perusahaan penanaman modal
dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja untuk mengutamakan tenaga kerja
Warga Negara Indonesia. Perusahaan penanaman modal berhak menggunakan
tenaga ahli warga negara asing untuk jabatan dan keahlian tertentu sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Perusahaan penanaman modal yang
mempekerjakan tenaga kerja asing diwajibkan menyelenggarakan pelatihan dan
melakukan alih teknologi kepada tenaga kerja warga negara Indonesia sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
98
Pada prinsipnya penggunaan tenaga kerja asing dibatasi pada bidang-bidang
pekerjaan atau jabatan yang belum dapat diisi oleh tenaga kerja Warga Negara
Indonesia. Pembatasan ini sepintas bertentang dengan GATS yang mengatur
tentang free personal movement yang tidak membatasi penggunaan tenaga kerja
asing dalam kegiatan investasi.
Namun meskipun demikian, ketentuan pembatasan penggunaan tenaga kerja
asing tidak bertentangan dengan GATS. Peraturan nasional Negara-negara
anggota (domestic regulations) dibenarkan untuk menetapkan syarat-syarat
penggunaan tenaga kerja asing dengan memperhatikan specific of commitment
dari negara anggota yang bersangkutan.
3. Persyaratan Pemberian Fasilitas Penanaman Modal
UU PM mengatur tentang Fasilitas Penanaman Modal pada Bab X mulai dari
Pasal 18 sampai dengan Pasal 24. Secara umum tidak ada ketentuan perdagangan
internasional yang melarang pemberlakuan insentif investasi berupa fasilitas
penanaman modal. Masalah bisa muncul jika pemberian insentif investasi
dikaitkan dengan performance requirement yang bertentangan dengan Agreement
on TRIMs. Terkait dengan hal tersebut, menarik untuk diperhatikan ketentuan
Pasal 18 UU PM, karena pada pasal ini terdapat dua kemungkinan keberatan
penanam modal, khususnya PMA. Pertama, fasilitas penanaman modal tidak
diberikan kepada semua penanam modal, akan tetapi hanya kepada penanaman
modal yang memenuhi persyaratan tertentu. Bisa saja ketentuan demikian
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
99
diartikan sebagai ketentuan yang diskriminatif. Kedua, Pasal 18 ayat (3) huruf j
mengkaitkan fasilitas penanaman modal dengan penggunaan produksi dalam
negeri.
Persyaratan untuk memperoleh fasilitas penanaman modal sebagaimana diatur
dalam Pasal 18 ayat (3) huruf a sampai dengan i tidak bertentangan dengan
ketentuan perdagangan internasional, karena tidak ada ketentuan secara
imperative melarang persyaratan tersebut. Pemberian fasilitas yang dibatasi pada
penanaman modal yang memenuhi syarat tertentu semestinya dipandang sebagai
konsistensi pemerintah terhadap pandangan yang mengakui bahwa penerapan
kebijakan penanaman modal tunduk pada kedaulatan politik Indonesia yang
pelaksanaannya disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan ekonomi. Dalam
pemaknaan yang demikian, syarat-syarat tersebut adalah bentuk dari kebutuhan
pembangunan ekonomi Indonesia pada sektor industri. Masalah seperti ini belum
mendapatkan pengaturan yang tegas dan merupakan salah satu agenda
kontroversi dalam negosiasi trade and investment.
Pasal 18 ayat (3) huruf j yang mengkaitkan fasilitas penanaman modal dengan
penggunaan produksi dalam negeri kemungkinan akan mendapat perhatian
investor asing. Fasilitas penanaman modal yang demikian dapat berdampak pada
perdagangan internasional, karena pemberian fasilitas tersebut didasarkan pada
syarat yang dapat berakibat ada perbedaan perlakuan antara barang buatan dalam
negeri dengan barang impor. Dalam hal ini perlakuan khusus diberikan kepada
barang buatan dalam negeri dalam bentuk fasilitas penanaman modal, fasilitas
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
100
mana tidak diberikan kepada penanam modal yang menggunakan barang impor.
Tentunya masih bisa diperdebatkan, mengingat bahwa Pasal ini tidak
mensyaratkan adanya kewajiban menggunakan barang buatan dalam negeri
dalam jumlah, nilai atau persentase tertentu seperti yang dilarang dalam
Agreement on TRIMs. Tindakan ini merupakan tindakan sukarela tetapi
diberikan insentif investasi. Pasal 18 ayat (3) huruf j ini berlindung pada
argumentasi tidak adanya kewajiban menggunakan barang buatan dalam negeri.
4. Persyaratan Penanaman Modal
Pasal 12 ayat (4) UU PM memberikan hak kepada pemerintah untuk
menetapkan syarat-syarat penanaman modal pada bidang usaha yang terbuka
bagi penanaman modal. Selanjutnya pada ayat (5) ditetapkan kriteria kepentingan
nasional yang harus diperhatikan dalam menetapkan persyaratan penanaman
modal, yakni perlindungan sumber daya alam, perlindungan, pengembangan
usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, pengawasan produksi dan distribusi,
peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerja sama
dengan badan usaha yang ditunjuk Pemerintah.
Agreement on TRIMs melarang performance requirement yang tidak
konsisten dengan Article III dan XI GATT. Tetapi tidak melarang persyaratan
penanaman modal lainnya seperti kewajiban joint venture, pembatasan pemilikan
saham asing, kemitraan dengan UKMK, alih teknologi dan persyaratan-
persyaratan berkenaan dengan upaya melindungi lingkungan hidup. Persyaratan-
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
101
persyaratan yang demikian termasuk pada non-cross border issues yang
pelaksanaannya tergantung pada kebutuhan pembangunan ekonomi Negara host
country.
Dalam kaitannya dengan GATS, maka harus dipahami bahwa GATS berlaku
untuk penanaman modal sektor jasa yang dibatasi oleh pendekatan positive list
dan specific of commitment. GATS mewajibkan perlakuan sama berdasarkan
prinsip MFN dan NT. Pendekatan positive list membatasi keberlakuan GATS
untuk bidang-bidang usaha yang tercantum dalam commitment negara anggota.
Bahkan GATS juga masih membenarkan adanya persyaratan-persyaratan tertentu
yang diterapkan kepada penanaman modal asing sepanjang persyaratan tersebut
masuk dalam specific of commitment dari Negara peserta.
Perlakuan sama dalam sistim perdagangan jasa berlaku pada tahap post
establishment stage yakni setelah perusahaan penanaman modal berdiri atau
mendapatkan persetujuan penanaman modal. Jika demikian, pada saat entry
approval (pre-establishment stage), host country masih dibenarkan menetapkan
persyaratan-persyaratan penanaman modal yang disesuaikan dengan kebutuhan
pembangunan ekonomi suatu negara. Demikian seharusnya pemaknaan
liberalisasi bertahap dalam bidang penanaman modal sektor jasa.
Dalam penerapan persyaratan penanaman modal, yang harus diperhatikan
adalah persyaratan yang ditetapkan tidak masuk dalam kategori performance
requirement yang dilarang berdasarkan Agreement on TRIMs, dan persyaratan
penanaman modal terhadap penanaman modal asing sektor jasa dilakukan
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
102
berdasarkan specific of commitment Indonesia dalam WTO. Di samping itu perlu
diperhatikan Article IV GATS terkait dengan ketentuan mengenai domestic
regulations dalam penetapan syarat.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
BAB IV PENERAPAN PRINSIP TRANSPARANSI PADA UNDANG-UNDANG NO.25
TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL DALAM KAITANNYA DENGAN DOMESTIC REGULATIONS WTO
A. Domestic Regulations WTO
Bila ditelusuri ke belakang, globalisasi ekonomi yang bergulir cepat sejak
awal 1990-an, bermula dari situasi dan kondisi perekonomian dunia pasca Perang
Dunia Kedua Tahun 1945. Amerika Serikat dengan negara sekutunya sebagai
kekuatan riil ekonomi dan politik waktu itu memprakarsai “Konferensi Bretton
Woods”, yang menghasilkan seperangkat aturan hukum ekonomi internasional berikut
organisasi pelaksananya yang menjadi cikal bakal terbentuknya sistem perekonomian
dunia.
Dalam konferensi ini negara-negara maju sepakat untuk saling mengakhiri
kebijakan perdagangan mereka yang “protektif dan menggantinya dengan sistem
perdagangan bebas yang tunduk pada prinsip-prinsip pokok General Agreement of
Tariffs and Trade (GATT)92. Kecuali itu, mereka juga sepakat untuk menciptakan
sistem nilai tukar mata uang nasional mereka secara tetap dengan acuan nilai tukar
dolar Amerika Serikat terhadap emas. Dengan batasan seperti itulah setiap negara
memperoleh kebebasan untuk menyusun dan menerapkan agenda ekonomi
nasionalnya masing-masing di wilayah nasional mereka, termasuk menjabarkan
92 Ida Susanti & Bayu Seto, Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas Menelaah Kesiapan hukum Indonesia Dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas ; (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 9.
103 Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
104
ketentuan-ketentuan umum General Agreement on Trade in Services (GATS) dalam
peraturan perundang-undangan nasional, yang disebut “Domestic Regulations”, untuk
mengatur ketentuan-ketentuan administratif maupun prosedural terkait sektor-sektor
jasa yang telah dinyatakan dalam “Specific of Commitment”.
Domestic regulations tersebut memuat ketentuan-ketentuan tentang :93
1. Persyaratan dan prosedur (qualifications requirements and procedures)
2. Standar teknis (technical standard)
3. Standar lisensi dan persyaratan perizinan (standard licensing and procedure
requirement)
Pasca – Uruguay Round, negara peserta WTO melakukan serangkaian
pertemuan tingkat menteri dengan agenda-agenda, antara lain meninjau penerapan
beberapa perjanjian WTO, meneruskan perundingan beberapa sektor perdagangan
yang belum selesai, dan mencoba memasukkan beberapa topik baru ke dalam lingkup
WTO, seperti misalnya tentang investasi dan kompetisi. Beberapa perundingan itu
misalnya WTO Ministerial Conference di Singapore (1996), Seatle – Washington
(1999), dan Doha – Qatar (2002).94
Seluruh perjanjian (agreement) WTO dianggap sebagai satu “undertaking”.
Artinya, semua anggota negara WTO menandatangani perjanjian-perjanjian WTO
sebagai satu kesatuan paket dan bukan terpisah sendiri-sendiri. Akibatnya, negara
peserta tidak dapat memilih perjanjian yang mana saja yang akan diikutinya (secara
93 Lihat Article IV : General Agreement in Trade in Services. 94 Ida Susanti & Bayu Seto, Op.cit, hlm.12
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
105
lepasan).Hal ini memberikan keuntungan sekaligus kerugian bagi negara berkembang
yaitu :
a. Untungnya : dengan prinsip ini perjanjian di bidang tekstil dan pertanian, 2 (dua)
bidang yang sangat penting bagi negara berkembang yang dahulunya “terlepas”
dari paket GATT kini menjadi 1 (satu) bagian dalam WTO, sehingga semua
anggota negara termasuk negara maju menjadi terikat pada perjanjian ini.
b. Ruginya : negara berkembang menjadi terikat juga pada perjanjian-perjanjian
yang sejak awal dirasakan akan lebih banyak membebani mereka, misalnya
tentang TRIPs, TRIMs, dan GATS.
Perjanjian-perjanjian yang dibuat dalam kerangka WTO tidak hanya mengatur
perdagangan barang saja (goods), tetapi juga sektor jasa (services), hak milik
intelektual (intellectual property rights), dan beberapa aspek dari penanaman modal
asing (aspects of investment).95
Sebagai konsekuensi dari komitmen Indonesia selaku anggota WTO, adalah
bahwa Indonesia harus membuka pasarnya terhadap perdagangan barang dan jasa
dari negara anggota WTO lainnya. Indonesia tidak lagi dapat menutup diri dari
masuknya barang-barang (goods) dan jasa-jasa (services) asing untuk diperdagangkan
di Indonesia. Apabila Indonesia secara khusus berpikir tentang perdagangan jasa
asing yang dibuka akses pasarnya, maka Indonesia harus bersedia untuk selain
menjadi penjual jasa-jasa dari luar negeri juga menjadi pasar dari perdagangan jasa-
95 Ibid, hlm. 13-14.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
106
jasa dari luar negeri. Salah satu bentuk perdagangan jasa di Indonesia yang paling
“rentan”, namun paling “potensial” untuk dimasuki oleh pedagang jasa asing adalah
pedagang keterampilan dan keahlian yang biasa disebut “tenaga kerja asing”.96
Dalam rangka perdagangan bebas di Indonesia, salah satu ketentuan dasar
yang ditegakkan adalah “pembukaan akses pasar” terhadap perdagangan barang dan
jasa dari negara lain. Dengan demikian, perdagangan jasa di Indonesia juga diwarnai
dengan persaingan bebas dan terbuka. Sebagaimana yang terkandung di dalam
komitmen untuk membuka askes pasar dari semua negara anggota WTO lainnya.
Sebagai anggota WTO, dalam perumusan regulasinya Indonesia berkewajiban
untuk memperhatikan konsistensi antara hukum Indonesia tersebut dengan ketentuan-
ketentuan di dalam GATT maupun GATS, terutama dalam kaitan dengan komitmen
kebijakan yang mendukung akses pasar di bidang perdagangan jasa. Komitmen
kebijakan tersebut pada dasarnya meliputi beberapa hal berikut :97
1. Negara anggota World Trade Organization (WTO) dilarang untuk membatasi
jumlah penyedia jasa, dalam bentuk kuota, monopoli, pemberian hak-hak
eksklusif, atau karena alasan kebutuhan ekonomi.
Artinya, mekanisme penyediaan jasa di lingkungan negara anggota World Trade
Organization (WTO) terjadi semata-mata karena mekanisme pasar dan tidak
diintervensi oleh peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah negara
setempat, yang menyebabkan terjadinya pembatasan jumlah pekerja yang boleh
96 Ibid., hlm. 472 97 Ibid., hlm. 474 - 476
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
107
bekerja di suatu negara tersebut. Juga, negara tersebut berkewajiban untuk
melarang terjadinya praktek monopoli maupun pemberian hak-hak eksklusif. Di
Indonesia, saat ini telah ada ketentuan di dalam Undang-undang No.5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang
mengatur tentang larangan-larangan tersebut. Bahkan alasan ekonomipun tidak
dapat dijadikan dasar untuk melakukan pembatasan tersebut.
2. Tidak membatasi jumlah total pelayanan jasa dalam bentuk kuota atau
persyaratan kebutuhan ekonomi.
Bila pada bagian sebelumnya yang dilarang adalah membatasi jumlah personal/
lembaga penyedia jasa melalui kuota atau karena alasan kebutuhan ekonomi, pada
bagian ini juga dilarang dilakukan pembatasan terhadap jumlah dari jenis
pelayanan jasa yang akan disediakan oleh pemasok jasa dari luar negeri.
Misalnya : dilarang suatu negara tertentu memberikan jatah kepada anggota
World Trade Organization (WTO) lainnya untuk memasok jasa hanya sebanyak
10 (sepuluh) jenis jasa saja. Jenis dari jasa yang dapat dipasok oleh suatu negara
bisa menjadi sangat banyak, mengingat banyaknya aktivitas manusia yang hanya
akan lancar terjadi berkat adanya bantuan penyedia jasa tersebut. Dengan
demikian, semua negara anggota World Trade Organization (WTO) yang
memiliki potensi memasok jasa, diharapkan akan memiliki kesempatan seluas-
luasnya untuk dapat memasok semua jenis jasa tersebut tanpa ada hambatan
kuantitatif.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
108
3. Tidak membatasi nilai total transaksi jasa atau kekayaan dalam bentuk kuota atau
persyaratan kebutuhan ekonomi
Apabila di bagian sebelumnya yang dilarang adalah membatasi jumlah
pemasoknya atau jumlah jenis jasa yang akan dipasok, maka di bagian ini yang
dilarang adalah menentukan batas maksimal nilai pemasokan jasa yang berasal
dari suatu negara tertentu dalam suatu kurun waktu tertentu.
4. Tidak membatasi jumlah personel yang dipekerjakan oleh penyedia jasa atau yang
dipekerjakan di sektor jasa tertentu dalam bentuk kuota atau persyaratan
kebutuhan ekonomi
Seorang/sebuah lembaga pemasok jasa seringkali mempekerjakan orang lain
dalam memperdagangkan jasanya. Sebagai contoh, sebuah perusahaan sirkus dari
China akan mengadakan pertunjukan di Indonesia. Perusahaan sirkus tersebut
adalah pemasok jasa pertunjukan dan tentulah perusahaan tersebut melibatkan
banyak penyedia jasa lain untuk melaksanakan pertunjukan. Personel yang
dipekerjakan oleh pemasok jasa itupun jumlahnya tidak boleh dibatasi oleh
negara di tempat pemasokan jasa dilakukan.
5. Tidak membatasi atau mensyaratkan bentuk kerjasama atau badan hukum tertentu
bagi penyedia jasa yang akan beroperasi
Maksud dari larangan pembatasan ini adalah tidak memperkenankan negara
anggota World Trade Organization (WTO) mengharuskan pemasokan jasa diikat
dengan bentuk kerjasama tertentu (misalnya harus dalam bentuk technical
assistance agreement saja dan tidak boleh dalam bentuk kerjasama yang lain).
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
109
Juga, suatu negara anggota World Trade Organization (WTO) dilarang
mewajibkan pemasok jasa harus berbadan hukum tertentu, misalnya dalam bentuk
Perseroan Terbatas (PT) atau dilarang dalam bentuk koperasi, dan lain-lain.
Apabila dikaitkan dengan Pasal 5 ayat 2 Undang-undang No.25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal, dikaitkan dengan Undang-undang No. 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas, ditemukan beberapa peraturan yang masih melakukan
pembatasan yang bisa jadi melanggar larangan tersebut. Pihak pemasok jasa
(misalnya biro perjalanan) yang akan mendirikan perusahaan di Indonesia harus
dibuat berdasarkan hukum Indonesia (berarti harus memilih bentuk badan hukum
yang hanya dikenal di Indonesia). Terlebih lagi, hukum positif Indonesia juga
mengharuskan didirikannya perusahaan tersebut dalam bentuk Perseroan Terbatas
(PT). Hal ini menimbulkan munculnya pekerjaan rumah bagi Indonesia untuk
mengkaji lebih lanjut tentang konsistensi antara Undang-undang No.25 Tahun
2007 dan Undang-undang No. 40 Tahun 2007 dengan konteks kewajiban
Indonesia sebagai anggota World Trade Organization (WTO).
6. Tidak membatasi partisipasi modal asing, misalnya dengan pembatasan
maksimum pemilikan saham
Masih berkaitan dengan Undang-undang No. 40 Tahun 2007 jelas sekali bahwa
peraturan memberikan pembatasan tentang jumlah saham yang boleh dimiliki
oleh pihak asing (dalam konteks ini adalah pemasok jasa asing). Sebagian sektor
jasa hanya dapat dimiliki oleh pemasok jasa asing sebesar kurang dari 50% (lima
puluh persen) dari total saham, sementara sektor jasa yang lain dapat dimiliki oleh
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
110
pemasok jasa asing lebih dari 50% (lima puluh persen) dari total saham
(bergantung dari sektor jasa yang akan diisinya). Hal ini makin diyakini bahwa
ternyata sebagian ketentuan tentang penanaman modal dan peraturan perusahaan
Indonesia ternyata masih belum harmonis/paralel dalam menjalankan
kewajibannya sebagai anggota World Trade Organization (WTO).
Masih dalam kerangka World Trade Organization (WTO), pembatasan
terhadap pembukaan akses pasar di bidang perdagangan jasa, dapat ditemukan di
dalam 2 (dua) asas non diskriminasi yang ada di dalam General Agreement of Tariffs
and Trade (GATT) maupun General Agreement on Trade of Services (GATS).
Kedua asas tersebut adalah asas Most Favoured Nation Principle dan National
Treatment Principle. Secara umum kita dapat memaknai pengertian Most Favoured
Nation (MFN) Principle sebagai :98
Asas yang melarang negara anggota World Trade Organization (WTO) untuk memberikan perlakuan-perlakuan istimewa (berbeda) hanya kepada pemasok jasa dari 1 (satu) atau beberapa negara anggota World Trade Organization (WTO) (sedangkan pemasok jasa dari negara anggota World Trade Organization (WTO) lainnya tidak mendapatkan perlakuan-perlakuan istimewa tersebut).
Intinya, prinsip Most Favoured Nation (MFN) ini mengharuskan suatu negara
anggota World Trade Organization (WTO) untuk memberikan perlakuan yang sama
terhadap seluruh anggota World Trade Organization (WTO) lainnya.
98 Ibid, hlm. 477
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
111
Sedangkan yang dimaksud sebagai prinsip National Treatment adalah : 99
Asas yang melarang semua negara anggota World Trade Organization (WTO)
untuk memberikan perlakuan-perlakuan istimewa (berbeda/lebih
menguntungkan) hanya kepada pemasok jasa dari dalam negeri, bila
perlakuan tersebut tidak diberikan juga kepada pemasok jasa dari luar negeri.
Apabila diperhatikan kenyataan yang terjadi, ternyata Undang-undang No. 7
Tahun 1994 dan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 sama sekali tidak menunjukkan
keberadaannya sebagai subsistem yang saling mendukung. Hal ini yang menimbulkan
pertanyaan, dalam hal Indonesia harus menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan
kedua peraturan tersebut, maka yang harus dijawab terlebih dahulu adalah peraturan
mana yang harus berlaku untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Apabila dirujuk kepada asas Pacta Sunt Servanda, sebuah asas hukum
internasional yang telah berlaku sebagai International Customary Law, maka bagi
Indonesia yang menjadi anggota World Trade Organization (WTO) dan sepakat
untuk terikat pada The Final Act serta harus tunduk dan melaksanakan kewajiban
yang muncul dari peraturan tersebut. Apabila Indonesia mengabaikan kewajibannya
tersebut dan membuat ketentuan-ketentuan lain yang bertentangan dengan The Final
Act, maka pemerintah Indonesia akan dianggap melanggar asas Pacta Sunt Servanda
tersebut. Akibatnya, Indonesia sebagai pelanggar The Final Act dapat digugat oleh
negara-negara anggota World Trade Organization (WTO) lain yang merasa dirugikan
dengan keberadaan dari Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tersebut. Hal ini dapat
99 Ibid.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
112
terjadi sebagai akibat dari pelaksanaan prinsip transparansi, mengingat setiap anggota
World Trade Organization (WTO) memiliki kewajiban untuk melaporkan setiap
peraturannya yang dapat berdampak terhadap perdagangan internasional harus
dilaporkan dan didaftarkan kepada World Trade Organization (WTO). Dengan
demikian, setiap anggota World Trade Organization (WTO) akan memiliki akses
untuk mengetahui isi peraturan dari negara anggota World Trade Organization
(WTO) lainnya dan mengevaluasi apakah pemberlakuan peraturan tersebut dapat
berdampak negatif terhadap pelaksanaan perdagangan bebas dan terhadap
kepentingan perdagangan negara tersebut.
Kembali ke dalam konteks inkonsistensi antara Undang-undang No. 13 Tahun
2003 dengan General Agreement on Trade in Services (GATS), maka dalam hal ada
negara anggota World Trade Organization (WTO) yang merasa dirugikan oleh
substansi undang-undang tersebut, berhak untuk mengajukan claim. Apabila claim
tersebut dikabulkan oleh Disputes Settlement Body adalah memerintahkan kepada
Indonesia untuk mencabut kebijakan penempatan tenaga kerja asing (TKA) di
Indonesia (sebagaimana yang termuat di dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003).
Bahkan, bila pelaksanaan dari Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tersebut ternyata
menimbulkan kerugian material kepada negara yang menggugat, Indonesia bisa
diperintahkan untuk membayar kerugian yang dialami oleh negara penggugat
tersebut.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
113
Claim dapat diajukan melalui Disputes Settlement Body dari World Trade
Organization (WTO). Disputes Settlement Body memiliki kewenangan untuk
membentuk Panel yang akan melakukan penyelesaian perkara, mengesahkan
keputusan Panel (penyelesaian sengketa tingkat pertama) dan Appelate Body
(penyelesaian sengketa tingkat banding). Selain itu, Disputes Settlement Body juga
berwenang untuk memantau pelaksanaan putusan Disputes Settlement Body.
Dalam menyelesaikan masalah antar negara, Disputes Settlement Body
berwenang untuk memutuskan perselisihan antar negara, anggotanya. Putusan dari
Disputes Settlement Body tersebut dapat berisi :
1. Perintah untuk mencabut kebijakan perdagangan pihak anggota yang
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan di dalam World Trade Organization
(WTO)
2. Dapat juga putusan tersebut mewajibkan negara pelanggar untuk membayar
kompensasi atas kerugian yang dialami negara anggota lainnya
3. Apabila isi putusan tersebut ternyata tidak dipatuhi oleh pihak yang oleh putusan
Disputes Settlement Body dikenai kewajiban, maka negara yang dirugikan dapat
menunda konsesi atau menunda pelaksanaan kewajiban terhadap negara
pelanggar.
B. Domestic Regulations dan Persyaratan Penanaman Modal di Indonesia
Liberalisasi investasi sektor jasa sebagaimana diatur dalam GATS bersifat
progresif, dimana Negara-negara anggota WTO masih dimungkinkan untuk
menjabarkan ketentuan liberalisasi investasi jasa dalam peraturan nasional (domestic
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
114
regulations), yang memuat ketentuan-ketentuan tentang qualifications requirements
and procedures, technical standard dan licensing prosedural and requirements.
Article VI : 4 GATS menetapkan bahwa untuk menjamin agar tindakan yang
terkait dengan persyaratan dan prosedur, standar lisensi dan persyaratan perijinan
bukan digunakan sebagai hambatan perdagangan, Dewan Perdagangan Jasa harus,
melalui lembaga-lembaga tertentu yang mungkin dibentuk, menetapkan ketentuan-
ketentuan (disiplin) yang diperlukan. Ketentuan-ketentuan tersebut ditujukan untuk
memastikan bahwa persyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh suatu negara-negara
peserta :
a. Didasarkan pada kriteria yang objektif dan transparan, misalnya kesanggupan dan
kemampuan untuk menyediakan jasa ;
b. Tidak lebih berat daripada yang semestinya untuk menjamin kualitas jasa-jasa
c. Dalam hal prosedur perijinan, bukan merupakan hambatan dalam supply jasa-
jasa.
Sehubungan dengan hal tersebut, berikut akan diuraikan mengenai
persyaratan-persyaratan penanaman modal sektor jasa di Indonesia terkait dengan
ketentuan domestic regulations.
1. Persyaratan Pemilikan Saham
Untuk sektor jasa finansial (perbankan dan asuransi) hukum penanaman
modal di Indonesia menetapkan persyaratan pembatasan pemilikan saham asing
yang cukup bervariasi. Asuransi, misalnya harus dilakukan dengan usaha
patungan dengan pemilikan saham asing maksimum sebesar 80%. Di sektor
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
115
telekomunikasi, Indonesia memberikan syarat maksimum pemilikan saham asing
pada usaha patungan sebesar 95%. Selanjutnya pada subsektor perhubungan
udara, maksimum pemilikan saham asing sebesar 49% untuk semua bidang usaha
yang meliputi jasa angkutan niaga berjadwal, tidak berjadwal dan jasa
penyelenggaraan bandar udara. Pada sektor jasa kesehatan yang meliputi
pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit, medical check up, laboratorium
klinik, pelayanan rehabilitasi mental, jaminan pemeliharaan kesehatan,
penyewaan peralatan medis, jasa asistensi dalam pertolongan kesehatan dan
evakuasi pasien dalam keadaan darurat, jasa menejemen rumah sakit, dan jasa
pengetesan pemeliharaan dan perbaikan peralatan medis, jumlah maksimum
pemilikan saham asing yang diijinkan sebesar 49%.
Persyaratan yang membatasi pemilikan saham asing tidak bertentangan
dengan GATS maupun domestic regulations WTO. Tidak satu pun dari
kesepakatan tersebut yang secara imperative melarang Negara anggota WTO
membatasi pemilikan saham asing pada perusahan patungan yang didirikan
menurut hukum nasional dari Negara anggota yang bersangkutan.
Ketentuan pembatasan pemilikan saham asing merupakan syarat yang
ditetapkan pada tahap entry appropal atau pre-establihment stage yang tidak
termasuk dalam lingkup keberlakuan GATS. Persyaratan pada tahap ini
sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah host country. Dengan demikian,
persyaratan diskriminatif mengenai pemilikan saham antara asing dan domestic
pada saat entry appropal masih relevan dengan GATS maupun domestic
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
116
regulations. Terlebih lagi persyaratan yang demikian tidak berhubungan secara
langsung dengan terjadinya hambatan perdagangan jasa internasional.
2. Pembatasan Tenaga Asing
Pada uraian bab sebelumnya telah ditegaskan bahwa UU No.25 Tahun 2007
lebih mengutamakan penggunaan tenaga kerja WNI pada perusahaan-perusahaan
penanaman modal. Pada prinsipnya tenaga kerja asing dibenarkan sepanjang
jabatan yang didudukinya belum bisa dilakukan oleh tenaga kerja warga Negara
Indonesia. Demikian pula jika diperhatikan ketentuan Pasal 42 ayat (4) UU No.
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, secara tegas menyatakan bahwa tenaga
kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk
jabatan tertentu dan waktu tertentu.
Persyaratan penggunaan tenaga kerja WNI juga dapat dilihat dalam berbagai
sektor usaha jasa. Pada sektor usaha jasa pelayanan rumah sakit misalnya,
ketentuan penanaman modal di Indonesia mempersyaratkan semua tenaga medis
dan paramedis wajib menggunakan tenaga kerja WNI. Tenaga medis asing hanya
dibenarkan sebagai tenaga konsultan. Hal yang sama terjadi pada sektor jasa
pendidikan tinggi. Penanaman modal asing pada subsektor jasa pendidikan tinggi
wajib menggunakan staf pengajar warga Negara Indonesia. Tenaga asing hanya
diijinkan sebagai tenaga konsultan.
Agreement on TRIMs maupun GATS sama tidak ditujukan untuk
mendisiplinkan persyaratan pengutamaan tenaga kerja domestik. Ketentuan free
personal movement yang mengiringi liberalisasi modal dapat dibatasi oleh
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
117
peraturan domestik dari Negara anggota, sesuai dengan kebutuhan pembangunan
ekonomi dari Negara tersebut. Hal ini berarti bahwa persyaratan investasi yang
mengutamakan tenaga kerja domestik tidak bertentangan dengan kesepakatan
WTO.
Namun meskipun demikian, patut diperhatikan bahwa jangan sampai
persyaratan ini menghambat akses pasar atau menghalangi supply jasa yang pada
gilirannya dapat mempengaruhi kualitas supply jasa yang diberikan. Oleh karena
itu, sama sekali tidak membenarkan pekerja asing pada bidang pekerjaan tertentu
adalah kurang tepat. Pembatasan dilakukan tidak secara umum, akan tetapi pada
jabatan-jabatan tertentu dalam jumlah personil dan jangka waktu yang ditentukan
oleh perundang-undangan.
C. Prinsip Transparansi Dalam Penanaman Modal
Biasanya sebelum calon penanam modal/investor akan menanamkan
modalnya di suatu negara, termasuk di Indonesia, ada beberapa hal yang menjadi
perhatian negara calon investor. Beberapa hal ini seringkali menjadi perhatian bagi
investor agar mereka dapat meminimalisasi risiko dalam berinvestasi, antara lain
transparansi (transparency), yaitu kejelasan mengenai peraturan perundang-
undangan, prosedur administrasi yang berlaku, serta kebijakan investasi.
Transparansi adalah tantangan terbesar yang dihadapi perusahaan saat ini, dan
akan terus berlangsung selama para CEO dan eksekutif lainnya tidak mau melakukan
pendekatan kepemimpinan yang berbasis nilai. Transparansi adalah salah satu cara
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
118
mengelola bisnis yang penting. Transparansi bukanlah strategi dan bukan sesuatu
yang bisa diajarkan konsultan.100
Apabila diukur dengan hal-hal yang biasanya menjadi perhatian penanam
modal/investor tersebut, maka negara seperti Indonesia, setelah menjalankan
kebijakan penanaman modal asing lebih dari dua puluh tahun, dapat dikatakan cukup
memenuhi harapan calon investor.101
Berkaitan dengan hal tersebut, penanaman modal harus menjadi bagian dari
penyelenggaraan perekonomian nasional dan ditempatkan sebagai upaya untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja,
meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan kapasitas dan
kemampuan teknologi nasional, mendorong pembangunan ekonomi kerakyatan serta
menempatkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu sistem perekonomian yang
berdaya saing.102
Pengaturan penanaman modal yang ada dalam Undang-undang No.25 Tahun
2007 merupakan hasil evaluasi terhadap ketentuan penanaman modal yang ada
sebelumnya dengan memperhatikan sikap dan keinginan serta harapan para investor
yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia, tentunya dengan tetap
memperhatikan kepentingan nasional di atas kepentingan para penanam modal/
investor yang bersangkutan.
100 Herb Baum & Tammy Kling, The Transparent Leadership, (Jakarta : Bhuana Ilmu Populer, 2004), hlm. 7. 101 Jurnal Hukum Bisnis, Volume 26, No.4 Tahun 2007, hlm. 17. 102 Hulman Panjaitan & Abdul Mutalib Maharim, Komentar dan Pembahasan Undang-undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. (Jakarta : Indhillco, 2007), hlm. 1
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
119
Pada hakekatnya dapat dikemukakan bahwa kehadiran Undang-undang No.25
Tahun 2007 merupakan terobosan baru yang sangat positif untuk mengundang
investor, karena mengandung asas keterbukaan (transparansi). Namun demikian,
sebagian kalangan beranggapan bahwa kehadiran Undang-undang No.25 Tahun 2007
ini justru bertentangan dengan UUD 1945, sehingga terdapat beberapa lembaga
swadaya masyarakat yang telah mengajukan judicial review terhadap Undang-undang
No.25 Tahun 2007 tersebut, di antaranya adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang
tergabung dalam Gerakan Rakyat Melawan Neo-Kolonialisme dan Imperialisme alias
Gerak Lawan. Bahwa selain bertentangan dengan UUD 1945, Undang-undang No.25
Tahun 2007 dianggap hanya sekedar untuk membuka keran liberalisasi ekonomi
Indonesia.103
Banyak harapan yang digantungkan pemerintah dengan dikeluarkannya
Undang-undang No.25 Tahun 2007, khususnya peningkatan investasi dan lapangan
kerja untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam rangka
implementasinya, pemerintah maupun departemen terkait dituntut untuk
mengeluarkan sejumlah peraturan pelaksana dari undang-undang ini. Dan dalam
rangka efisiensi dan efektivitasnya, sangat dibutuhkan komitmen dan political will
yang kuat dari semua pihak, khususnya pemerintah, karena keberadaan investasi tidak
hanya dinikmati oleh para investor yang akan menanamkan investasinya, tetapi para
investor juga harus memperhatikan kepentingan rakyat yang berada di sekitar wilayah
investasi, artinya investor tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang dan
sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat setempat. 103 Ibid., hlm. 7
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
120
Kemerosotan ekonomi berpengaruh secara meluas. Pengaruhnya tidak hanya
terhadap pasar domestik, tetapi juga pasar dunia/global, sehingga para investor,
terutama investor individual di seluruh dunia melihat portofolio mereka hancur, dan
beberapa orang kehilangan dananya. Bisnis di Jepang, Jerman, Italia dan Perancis
sama terpengaruhnya seperti bisnis Amerika Serikat, tetapi dalam keadaan seperti itu
beberapa investor tetap bertahan dengan bisnisnya dan berhasil meskipun
perekonomian terpukul.
Banyak investor yang mempraktikkan strategi bisnis transparan melihat dari
pinggir lapangan ketika beberapa pesaing investor disidik, dituntut, atau bahkan
perusahaannya ditutup. Mereka membuat rencana selama masa baik, tetapi rencana
yang sama itu pula mereka gunakan selama masa sulit. Mereka tetap menjalani bisnis
mereka, mengikuti standar dan bekerja menurut seperangkat nilai yang diumumkan
secara terbuka (transparan). Mereka tidak perlu bolak balik menyusun strategi yang
berbeda, karena mereka telah melakukan hal yang benar.
Jika diperiksa banyak perusahaan yang berhasil dan akan ditemukan
pemimpin perusahaan/eksekutif perusahaan yang berniat mengelola bisnis secara
transparan dan memberikan informasi pada pemegang saham secara jujur dan etis.
Pemimpin perusahaan itu memberikan banyak perhatian untuk kepentingan para
pemegang saham, dan mereka tahu bahwa transparansi bermanfaat bagi siapa saja,
termasuk investor. Mereka tahu bahwa transparansi adalah suatu pilihan, dan tidak
dapat diatur dengan undang-undang.104
104 Herb Baum & Tammy Kling, Op.cit, hlm. 180
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
121
Rencana bisnis yang jelas dan transparan hampir selalu berhasil melewati
ujian waktu. Rencana itu dapat menjadi strategi tepat untuk segala musim, dan
menumbuhkan minat yang besar dari para investor. Rencana bisnis yang dijalankan
secara buruk, yang tidak berakar pada nilai dasar, tidak hanya merupakan gangguan
bagi karyawan dan pemegang saham, tetapi berbahaya bagi perekonomian suatu
negara, termasuk perekonomian Indonesia.
Pemimpin transparan tahu bahwa tidak bijaksana mengambil jalan pintas
untuk memperbesar angka-angka pada periode berikutnya demi mempersiapkan
perusahaan untuk dijual, karena hal ini tidak akan berpengaruh dalam jangka panjang.
Hal ini tidak akan membangun nilai saham bagi pemilik saham dalam jangka
panjang, dan tidak akan membantu karyawan perusahaan. Selama dasawarsa silam,
banyak perusahaan kehilangan pandangan tentang hal itu, karena mereka berjuang
untuk mencoba menghentikan saham mereka dari kejatuhan akibat investor mengejar
saham perusahaan teknologi. Ketika pasar jatuh, pemegang saham mengalami
perubahan, dan perubahan itu mengubah cara investor membeli saham hingga
perusahaan menemukan bahwa pemilik saham (shareowner) semakin sedikit dan
pemegang saham (shareholder) semakin banyak.
Memang transparansi yang tulus sulit diketahui, beberapa eksekutif
perusahaan memahami betul konsep memimpin secara transparan, dan perusahaan
yang dipimpinnya mendapatkan manfaat. Mereka adalah pemimpin yang dapat
membangun kultur perusahaan yang kuat, dimana berbisnis secara jujur dan etis
menjadi pemahaman dan pemikiran dasar dari para karyawannya. Perusahaan
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
122
memproduksi dan menjual produk yang bermanfaat dan memberikan nilai tambah
bagi kehidupan konsumen, dan pimpinan perusahaan berkomunikasi secara terbuka
(transparan) dengan pemegang saham (investor), analis, karyawan, dan masyarakat
umum.
Transparansi yang sah terjadi, ketika sasaran organisasi benar-benar
dijalankan dengan pelaksanaannya, tetapi sulit untuk memastikan dan terkadang sulit
ditentukan. Kebenaran biasanya muncul dengan sendirinya dalam bagaimana
perusahaan dilihat dari waktu ke waktu.
Ada 2 (dua) jenis yang biasanya muncul dalam praktik transparansi, yaitu :105
1. Transparansi sejati ; transparansi yang lebih dari sekedar menyampaikan
informasi atau memamerkan wajah baik perusahaan pada konsumen (consumer),
bersifat mendalam dan mendorong seluruh industri agar memeriksa praktik bisnis
mereka. Transparansi sejati membuat industri farmasi mengambil tindakan keras
terhadap hal-hal seperti obat tiruan atau produksi obat-obatan yang dapat
mencederai konsumen. Transparansi sejati akan menciptakan undang-undang bagi
produk yang aman untuk anak-anak, melindungi customer dari hal-hal seperti
bahaya asbes, mengikuti aturan pelaporan keuangan dan melaksanakan standar
untuk melindungi konsumen. Transparansi sejati memiliki daya tahan dan terjalin
dalam cara karyawan berinteraksi, berpikir dan hidup setiap hari. Itulah satu-
satunya jenis transparansi yang memberi dampak yang langgeng dan mengubah
perusahaan yang gagal menjadi lebih baik.
105 Ibid, hlm. 228
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
123
2. Transparansi situasional ; transparansi yang terjadi ketika pemimpin atau
perusahaan bereaksi secara terbuka dan memberikan informasi yang tidak sesuai
dengan nilai dasar perusahaan. Ini tidak tulus, itu adalah dendam terhadap situasi
atau kecaman, dan tidak memiliki daya tahan jika tidak berakar pada nilai dasar.
Artinya jika seluruh kultur perusahaan bukan sesuatu yang karyawan tahu
konsekuensinya seperti kebenaran setengah-setengah, kualitas produk buruk, atau
perilaku “apa untungnya bagi saya”, maka kultur perusahaan itu tidak transparan.
D. Penerapan Prinsip Transparansi Dalam Undang-undang No.25 Tahun 2007
Prinsip-prinsip yang mendasari penyelenggaraan penanaman modal yang
diatur dalam Undang-undang No.25 Tahun 2007 tersebut kiranya bukan hanya slogan
di atas kertas melainkan benar-benar merupakan prinsip yang dalam penerapan dan
pelaksanaannya dapat dilakukan secara konsisten, termasuk prinsip keterbukaan
(transparansi), dan prinsip non diskriminasi berdasarkan ketentuan peraturan, baik
antara penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing, termasuk pengaturan
mengenai pengesahan dan perizinan dengan sistem pelayanan terpadu satu pintu (one
door service system). Dengan sistem ini, sangat diharapkan bahwa pelayanan terpadu
di pusat dan di daerah dapat menciptakan penyederhanaan perizinan dan percepatan
penyelesaiannya. Upaya ini ditujukan untuk memotong birokrasi yang selama ini
dirasakan merupakan penghambat. Sebelumnya terdapat 12 prosedur dan dibutuhkan
waktu sampai 90 hari dalam pengurusan perizinan.106
106 Hulman Panjaitan & Abdul Mutalib Maharain, Op.cit, hlm. 3-4
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
124
Bagi seorang pengusaha manca negara yang ingin berinvestasi di sebuah
wilayah di Indonesia, adanya pelayanan satu atap melegakan karena ia tidak perlu
lagi menunggu dengan waktu lama untuk memperoleh izin usahanya di Indonesia.
Bahkan ia tidak lagi perlu mengeluarkan biaya pajak maupun pungutan lainnya yang
dapat membengkak dari tarif resmi akibat panjangnya jalur birokrasi yang harus
ditempuh untuk memperoleh izin usaha tersebut sebelum adanya pelayanan satu atap.
Sebenarnya, hal ini sudah diupayakan sebelumnya lewat Keppres No.29 Tahun 2004
mengenai penyelenggaraan penanaman modal, baik asing (PMA) maupun dalam
negeri (PMDN) melalui sistem pelayanan satu atap semasa era Presiden Megawati
Soekarno Putri. Dalam Keppres tersebut dinyatakan bahwa penyelenggaraan
penanaman modal khususnya yang berkaitan dengan pelayanan persetujuan,
perizinan, dan fasilitas penanaman modal dilaksanakan oleh BKPM. Pelayanan satu
atap ini meliputi penanaman modal yang dilakukan baik di tingkat provinsi,
kabupaten, maupun kotamadya berdasarkan kewenangan yang dilimpahkan oleh
Gubernur/Bupati/Walikota kepada BKPM. Jadi, BKPM bertugas melakukan
koordinasi antara seluruh departemen atau instansi pemerintah lainnya, termasuk
dengan pemerintah kabupaten, kota, serta provinsi yang membina bidang usaha
penanaman modal.107
Seorang pengusaha asing kemungkinan besar juga akan tetap membatalkan
niatnya berinvestasi di Indonesia walaupun proses pengurusan izin investasi menjadi
lebih lancar dan lebih murah setelah dilaksanakannya UUPM No.25 Tahun 2007
107 Jurnal Hukum Bisnis, Op.cit, hlm. 36
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
125
tersebut, jika Undang-Undang mengenai kepabeanan dirasa tidak menguntungkannya
karena pengusaha tersebut akan banyak melakukan impor, atau pasar tenaga kerja di
Indonesia dirasa tidak fleksibel akibat berlakunya UU No.13 Tahun 2003 mengenai
ketenagakerjaan.108
Ada baiknya pemerintah pusat membantu sungguh-sungguh upaya pemerintah
daerah dalam menyederhanakan proses perizinan penanaman modal di daerah.
Walaupun ada sejumlah daerah seperti Jepara dan Yogyakarta telah berhasil membuat
pelayanan satu atap, namun masih lebih banyak lagi daerah yang bahkan sama sekali
tidak tahu bagaimana memulai pembangunan satu atap. Juga di daerah-daerah yang
sama sekali tidak ada kesamaan visi dari lembaga-lembaga pemerintah, ditambah lagi
tidak ada keseriusan dari Bupati, sangat sulit diharapkan daerah-daerah tersebut dapat
membangun pelayanan satu atap. Disini peran pemerintah pusat sangat diharapkan.
UUPM No.25 Tahun 2007 harus diakui merupakan suatu kemajuan besar dalam
upaya selama ini menyederhanakan proses perizinan penanaman modal untuk
meningkatkan investasi di dalam negeri. Namun, hasilnya sangat tergantung pada
bagaimana implementasinya di lapangan. Oleh karena itu, impelmentasinya harus
dimonitor secara ketat, khususnya di daerah. Lagi-lagi, masalah klasik lainnya di
republik ini adalah Indonesia termasuk jempolan dalam membuat konsep atau
memformulasikan suatu UU. Tetapi, hanya sedikit dari UU yang ada hingga saat ini
di bidang ekonomi yang dilaksanakan secara sungguh-sungguh.109
108 Ibid, hlm. 37 109 Ibid, hlm. 41.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
126
Sebagai wujud pelaksanaan prinsip keterbukaan (transparansi) yang tersebut
dalam Pasal 3 ayat (1) huruf (b) Undang-undang No.25 Tahun 2007, pemerintah telah
mengeluarkan Daftar Negatif Investasi (DNI) yang diatur dalam Peraturan Presiden
No. 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Daftar Bidang
Usaha yang Tertutup dan Daftar Bidang Usaha yang Terbuka dengan persyaratan di
bidang penanaman modal, yang berlaku pada tanggal 3 Juli 2007 (sebagaimana telah
dirubah dengan Peraturan Presiden No.111 Tahun 2007) tentang Daftar Bidang
Usaha yang Tertutup dan Terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal
yang berlaku pada tanggal 3 Juli 2007.
Kriteria bidang usaha yang tertutup dengan persyaratan, antara lain : 1. Memelihara tatanan hidup masyarakat ; 2. Melindungi keanekaragaman hayati ; 3. Menjaga keseimbangan ekosistem ; 4. Memelihara kelestarian hutan alam ; 5. Mengawasi pengawasan Bahan Berbahaya Beracun (B3) ; 6. Menghindari pemalsuan dan mengawasi peredaran barang dan/atau jasa
yang tidak direncanakan ; 7. Menjaga kedaulatan negara, atau ; 8. Menjaga dan memelihara sumber daya terbatas. Kriteria bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan, antara lain : 1. Perlindungan sumber daya alam ; 2. Perlindungan dan pengembangan Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan
Koperasi (UMKMK) ; 3. Pengawasan produksi dan distribusi ; 4. Peningkatan kapasitas teknologi ; 5. Partisipasi dalam negeri, dan 6. Kerjasama dengan badan usaha yang ditunjuk oleh Pemerintah.110
110 Hulman Panjaitan & Abdul Mutalib Maharani, Op.cit, hlm. 158-159
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
127
Beleid atau kebijakan ini menunjukkan komitmen pemerintah akan
keterbukaan (transparansi) sehingga tidak ada lagi bidang usaha yang “abu-abu”.
Abu-abu yang dimaksud disini adalah tidak jelas, mana bidang usaha yang telah
tertutup dan mana yang masih terbuka bagi penanam modal, sehingga menimbulkan
dampak yang buruk, yang menimbulkan akibat berupa :
1. Peluang korupsi, sogok menyogok agar birokrat menjadikan yang “abu-
abu” bahkan yang “hitam” menjadi putih.
2. Investor enggan datang dan menanamkan modalnya di Indonesia dan lebih
baik memilih negara lain yang lebih terbuka (transparan).111
Daya tarik investor (asing) untuk berinvestasi di Indonesia akan sangat
tergantung pada sistem hukum yang diterapkan, yaitu sistem hukum yang mampu
menciptakan kepastian (predictability), keadilan (fairness), dan efisiensi (efficiency).
Bahkan dalam era globalisasi ekonomi sekarang ini, ketiga unsur tersebut menjadi
kian bertambah penting, antara lain dengan berkembangnya mekanisme pasar.
Penciptaan iklim usaha yang kondusif sebagai kebijakan dasar penanaman
modal (investasi) adalah merupakan hal yang sangat penting diperhatikan.
Terciptanya iklim usaha yang kondusif sedemikian rupa, merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi berinvestasi (asing), khususnya faktor politik. Apabila suhu
politik di dalam negeri tidak stabil, sudah barang tentu investor (asing) tidak akan
berminat untuk berinvestasi di Indonesia, termasuk di wilayah Propinsi Sumatera
Utara yang pada tanggal 16 April 2008 melakukan pemilihan langsung Kepala
Daerah (Gubernur). 111 Ibid, hlm. 19
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
128
Kondisi ini sangat memungkinkan terjadinya instabilitas, karena suhu politik
semakin memanas. Namun para calon yang akan dipilih telah melakukan kesepakatan
damai melalui Komisi Pemilihan Umum Propinsi Sumatera Utara, sebagai
penyelenggara yang dibebani tugas dan tanggung jawab.
Menurut Kepala Badan Investasi dan Promosi Propinsi Sumatera Utara,
Sabrina, peranan tim Task Force atau Satuan Tugas dalam melakukan mediasi ke
berbagai pelaku usaha untuk eliminasi persoalan yang ada, menjadi faktor kunci
untuk mendongkrak arus investasi ke daerah ini.
Dari realisasi investasi 1,1 miliar dolar AS atau setara Rp.10,1 triliun (kurs
Rp.9.200 per dolar AS) itu, modal asing menyumbang 177,114 juta dolar AS, dan
dalam negeri sebesar 929,363 juta dolar AS. Seluruh investasi itu terdiri dari 21
proyek modal asing dan 6 proyek PMDN. Tenaga kerja yang direkrut mencapai 5.251
orang dengan lokasi proyek tersebar di 25 kabupaten dan kota Sumut.
Dijelaskan Sabrina, dari 21 realisasi modal asing (investasi asing) itu, 17
diantaranya sudah mendapat izin usaha tetap (ready to operation) dan empat sisanya
merupakan peralihan status usaha dari Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) ke
Penanaman Modal Asing (PMA).
Untuk Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sendiri, lanjut Sabrina,
modal (investasi asing) sebesar 929,363 juta dolar AS itu terdiri dari enam proyek,
yang surat persetujuan (SP)-nya telah dikeluarkan Badan Koordinasi Penanaman
Modal (BKPM) Pusat.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
129
Diakuinya, peningkatan investasi Penanaman Modal Asing (PMA) dan
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) pada 2007 itu lebih dikarenakan adanya
faktor keyakinan pengusaha terhadap sektor yang ditangani. “Faktor lain yang cukup
memberi dukungan karena pertumbuhan ekonomi makro Sumut yang cukup fantastis
sebesar 9,03% pada kuartal 3 pada 2007. Hal ini semakin memacu keyakinan
pengusaha bahwa berinvestasi di Sumut tetap aman”, tukasnya.112
Menurut Sabrina, secara akumulasi investasi PMA dan PMDN di Sumut dari
2002-2007 juga menunjukkan perbaikan signifikan. Ini terlihat dari capaian investasi
senilai 3,987 miliar dolar AS, atau setara Rp.36,68 triliun (kurs Rp.9.200 per dolar
AS).
Rincian akumulasi PMA dari 2002-2007 itu meliputi 187 rencana proyek
dengan rencana investasi 2,352 miliar dolar AS, dan terealisasi 71 proyek dengan
investasi sebesar 634,240 juta dolar AS. Sedangkan rincian akumulasi PMDN pada
periode sama, meliputi 90 rencana proyek dengan rencana investasi sebesar 33,470
miliar dolar AS dan terealisasi 37 proyek dengan investasi 3,353 miliar dolar AS.
Melihat fakta rencana terhadap realisasi investasi Penanaman Modal Asing
(PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dari 2002-2007 di Sumut itu
kita merasa optimis pada 2008, investasi bisa lebih membaik mengingat sejumlah
investor asing, sudah menyatakan kesediaannya untuk menanam modal di daerah ini.
112 Harian “Waspada”, 2007, Op.cit, hlm. 4.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
130
Sampai akhir Februari 2008, Sabrina mengaku investor asal Polandia sudah
menyatakan minatnya pada investasi CPO, furniture, komunikasi dan transportasi di
Sumut. “Minat itu mereka tunjukkan dengan mengundang kita untuk promosi di
negara”, tukas Sabrina.113
Demikian pula dari Cekoslowakia. Menurut Sabrina sejumlah pengusaha di
sana juga menyatakan minat pada bidang pengolahan air limbah, PAM dan
pembangunan power hydro untuk pembangkit listrik. Mereka meminta kita
mengajukan proposal rencananya. Sebagai tindak lanjutnya, kita akan menggandeng
Kadin Sumut, Dinas Pertambangan dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
untuk finalisasi proposal.114
Pasal 12 ayat (4) Undang-undang No.25 Tahun 2007 secara umum telah
memberikan hak kepada pemerintah untuk menetapkan syarat-syarat penanaman
modal pada bidang usaha yang terbuka bagi investor. Selanjutnya pada ayat (5)
ditetapkan kriteria kepentingan nasional yang harus diperhatikan dalam menetapkan
persyaratan penanaman modal, yakni perlindungan sumber daya alam, perlindungan,
pengembangan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi, pengawasan produksi dan
distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta
kerjasama dengan badan usaha yang ditunjuk pemerintah.
113 Ibid. 114 Ibid
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
131
Dalam kaitannya dengan GATS, maka harus dipahami bahwa GATS berlaku
untuk modal sektor jasa yang dibatasi oleh pendekatan positive list dan specific of
commitment. GATS mewajibkan perlakuan sama berdasarkan prinsip MFN dan NT.
Pendekatan positive list membatasi keberlakuan GATS untuk bidang-bidang usaha
yang tercantum dan commitment negara anggota.115
Perlakuan sama dalam sistem perdagangan jasa berlaku pada tahap post
establishment stage yakni setelah perusahaan penanaman modal. Jika demikian, pada
saat entry approval (pre-establishment stage), host country masih dibenarkan
menetapkan persyaratan-persyaratan penanaman modal yang disesuaikan dengan
kebutuhan pembangunan ekonomi suatu negara. Dalam penerapan persyaratan
penanaman modal, yang harus diperhatikan adalah persyaratan yang ditetapkan tidak
masuk dalam kategori performance requirement yang dilarang berdasarkan
Agreement on Trade Related Investment Measures, dan persyaratan penanaman
modal terhadap penanam modal asing sektor jasa dilakukan berdasarkan specific of
commitment Indonesia dengan World Trade Organization (WTO).
Disamping itu perlu diperhatikan Article IV GATS terkait dengan ketentuan
mengenai domestic regulations dalam penetapan syarat. Article VI : 4 GATS
menetapkan bahwa untuk menjamin agar tindakan terkait dengan persyaratan dan
prosedur, standar lisensi dan persyaratan perizinan bukan digunakan sebagai
hambatan perdagangan, Dewan Perdagangan Jasa harus melalui lembaga-lembaga
tertentu yang mungkin dibentuk.
115 Jurnal Hukum Bisnis, Op.cit, hlm.27
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
132
Persyaratan penanaman modal untuk mengutamakan penggunaan tenaga kerja
domestik tidak bertentangan dengan ketentuan perdagangan internasional. Ketentuan
tentang free personal movement dalam GATS tidak berlaku secara umum dalam
pengaturan penanaman modal. Negara anggota masih dapat menetapkan persyaratan
penggunaan tenaga kerja domestik sesuai dengan komitmen spesifik negara
tersebut.116
Pada dasarnya Undang-undang No.25 Tahun 2007 tersebut secara umum
masih harmonis dalam menetapkan syarat-syarat penanaman modal dengan
ketentuan-ketentuan perdagangan internasional. Di samping itu, pelaku usaha
(investor dalam negeri) domestik harus lebih mempersiapkan diri untuk bersaing
dengan pelaku usaha (investor asing), karena pengecualian dan pembatasan tersebut
suatu saat akan dihapuskan dan mengarah pada pelaksanaan liberalisasi perdagangan
barang dan jasa dan liberalisasi investasi secara full commitment.
E. Undang-undang No.25 Tahun 2007 Cukup Mengakomodir Domestic Regulations World Trade Organization (WTO)
Sejak berlangsungnya Putaran Uruguay (Uruguay Round) tahun 1996,
General Agreement on Tariff and Trade (GATT) mengalami sejumlah perubahan.
Salah satu perubahan yang sangat signifikan adalah terjadinya perluasan perundingan
ke arah bidang-bidang non konvensional, antara lain perundingan perdagangan di
116 Ibid, hlm. 28.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
133
sektor jasa komersial. Perundingan di sektor jasa komersial kemudian menghasilkan
apa yang saat ini dikenal dengan nama GATS (General Agreement on Trade in
Services) yang berisikan pedoman-pedoman umum perdagangan di sektor jasa
komersial.
Sasaran yang ingin dicapai oleh GATS adalah terciptanya sebuah kerangka
multilateral yang berisikan prinsip-prinsip dan aturan-aturan perdagangan jasa-jasa
dengan tujuan untuk perluasan perdagangan berdasarkan kondisi yang transparan dan
liberalisasi yang progresif serta sebagai sarana meningkatkan pertumbuhan ekonomi
dari seluruh negara mitra dagang dan untuk pembangunan negara berkembang.
Liberalisasi perdagangan di sektor jasa-jasa komersial dalam kerangka GATS
dibangun dengan pendekatan liberalisasi yang progresif yang diwujudkan dalam
specific of commitment yang dinyataan oleh setiap negara peserta atas bidang-bidang
perdagangan jasa yang dilebarisasi. Dengan pendekatan ini negara-negara diberikan
waktu untuk mempersiapkan industri-industri jasa domestic yang belum dinyatakan
dalam specific of commitment.117
GATS sendiri mengatur transparansi dalam satu pasal tersendiri (Article III).
Kewajiban transparansi dalam perdagangan jasa versi GATS diwujudkan dalam
bentuk kewajiban publikasi semua undang-undang, peraturan, pedoman pelaksanaan,
serta semua keputusan dan ketentuan yang berlaku secara umum yang dikeluarkan
oleh pemerintah pusat maupun daerah yang mempunyai dampak pada pelaksanaan
117 Bismar Nasution (2), Op.cit, hlm. 1-2.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
134
persetujuan GATS dan adanya kewajiban untuk memberitahukan kepada Dewan
Perdagangan Jasa, sedikitnya sekali setahun, tentang adanya peraturan perundang-
undangan yang baru atau pedoman administrative dan perubahan-perubahannya.118
Apa yang harus dilakukan oleh Indonesia adalah menegakkan prinsip
transparansi dalam hukum dan kebijakan, agar apapun hasil perundingan tentang
domestic regulations terkait ketentuan transparansi tidak akan menjadi problem bagi
Indonesia.119
Sehubungan dengan hal ini, Indonesia telah menyahutinya dengan
mengakomodir prinsip transparansi ke dalam Undang-Undang No.25 Tahun 2007,
sebagai salah satu prinsip yang mendasari penyelenggaraan penanaman modal di
Indonesia dalam kaitannya dengan Domestic Regulations WTO.
118 Ibid, hlm. 3 119 Ibid, hlm. 4.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Pada awalnya Negara-negara memandang bahwa peraturan perdagangan
internasional sebagaimana diatur dalam GATT tidak memiliki hubungan
dengan peraturan perundang-undangan nasional (domestic regulations)
tentang penanaman modal. Pandangan ini didukung oleh argumentasi yang
menyatakan bahwa peraturan penanaman modal bersifat non cross border dan
sepenuhnya tunduk pada kedaulatan negara. Dengan demikian peraturan
penanaman modal tidak dapat dikaitkan dengan peraturan perdagangan
internasional (GATT) yang sifatnya lintas batas Negara (cross border issues).
Argumentasi lain adalah ketidakwenangan WTO sebagai organisasi yang
diberi mandat oleh negara-negara anggotanya untuk mengatur masalah tarif
dan perdagangan internasional, kemudian memperluas jurisdiksi
pengaturannya pada masalah penanaman modal.
Pandangan ini berubah setelah Putaran Uruguay (1986-1994) dimana
WTO menyepakati kesepakatan yang terkait dengan ketentuan perundang-
undangan nasional tentang penanaman modal, antara lain Agreement on Trade
Related Investment Measures dan General Agreement on Trade in Services
(GATS). Agreement on TRIMs mengatur tentang persyaratan-persyaratan
penanaman modal yang tidak konsisten dengan ketentuan perdagangan
135 Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
136
internasional, khususnya Article III GATT tentang national treatment dan
Article XI tentang General Prohibition on Quantitative Restriction.
Kesepakatan WTO di bidang perdagangan jasa yang diatur dalam General
Agreement on Trade in Services tidak bisa dipisahkan dengan ketentuan di
bidang penanaman modal. Meskipun perdagangan jasa berbeda dengan
kegiatan penanaman modal, akan tetapi prinsip-prinsip perdagangan jasa
mempengaruhi pengaturan penanaman modal, terutama dikarenakan salah
satu modal perdagangan jasa dilakukan melalui kehadiran komersial
(commercial presence). Supply jasa melalui modus ini pada dasarnya adalah
kegiatan penanaman modal, karena investor datang dan mendirikan usaha di
wilayah tujuan investasi.
Oleh karena itu, penerapan prinsip-prinsip perdagangan, yang meliputi
prinsip national treatment, most favoured nation, larangan pembatasan access
pasar, transparansi akan mempengaruhi kebijakan terkait penanaman modal.
Terkaitnya peraturan perdagangan internasional dan peraturan nasional
tentang penanaman modal didasarkan pada alasan : (1) bahwa beberapa dari
persyaratan penanaman modal yang diterapkan oleh Negara-negara dalam
domestic regulations, menciptakan hambatan perdagangan internasional,
(2) Peraturan perdagangan internasional yang liberal perlu dilengkapi dengan
peraturan penanaman modal yang liberal untuk mengoptimalkan manfaat dari
kebebasan arus modal internasional.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
137
2. Hukum penanaman modal di Indonesia yang saat ini diundangkan dalam UU
No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, pada prinsipnya telah
mengakomodir prinsip-prinsip perdagangan internasional, termasuk prinsip
perdagangan internasional di sektor jasa. UU No.25 Tahun 2007 dibangun di
atas prinsip-prinsip hukum penanaman modal modern yang mengedepankan
penerapan prinsip kepastian hukum, transparansi, non diskriminasi,
akuntabilitas, responsibilitas dan pertanggung jawaban sosial dan lingkungan
yang seluruhnya relevan dengan prinsip-prinsip perdagangan internasional.
Prinsip-prinsip tersebut sudah terakomodir dalam UU No.25 Tahun 2007. Hal
ini terbukti dari sejumlah pasal dalam undang-undang tersebut yang mengatur
tentang perlakuan sama, keterbukaan, tanggung jawab sosial, perizinan yang
lebih disederhanakan dan sudah ditindak lanjuti dengan penetapan bidang-
bidang usaha yang terbuka dan tertutup serta bersyarat bagi penanaman
modal.
Beberapa persyaratan penanaman modal yang diterapkan dalam UU
No.25 Tahun 2007 tidak bertentangan dengan Agreement on TRIMs, GATS
maupun domestic regulations. Meskipun beberapa dari persyaratan tersebut
masih membedakan perlakuan antara asing dan domestik, namun tidak berarti
persyaratan tersebut bertentangan dengan GATS. Keberlakuan GATS dibatasi
oleh specific of commitment yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia dan
perlakuan sama dalam konteks GATS diterapkan pada fase post establishment
stage (tahap dimana perusahaan sudah berdiri). Oleh karena, persyaratan
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
138
penanaman modal yang diskriminatif tersebut diterapkan oleh UU No.25
Tahun 2007 pada fase entry appropal (perusahaan belum berdiri), maka
persyaratan yang demikian tidak bertentangan dengan GATS.
3. Domestic Regulations pada dasarnya adalah seperangkat kaidah hasil
perundingan yang ditujukan untuk menyokong terwujudnya internalisasi
modal. Sasaran yang ingin dituju oleh Domestic Regulations adalah
harmonisasi persyaratan-persyaratan penanaman modal dalam ketentuan
domestik (domestic regulations) dari negara-negara anggota. Agar tidak
terdapat syarat-syarat penanaman modal dalam peraturan nasional yang tidak
rasional dan menghambat pergerakan arus modal secara internasional.
Undang-Undang No.25 Tahun 2007 sejalan dengan tujuan Domestic
Regulations. Undang-undang cukup mengakomodir ketentuan Domestic
Regulations. Hal ini dapat dibuktikan dengan diaturnya secara pasti dalam
undang-undang tersebut mengenai :
a. Penetapan bidang usaha dan persyaratan yang lebih transparan dan lebih
membuka kesempatan yang lebih besar.
b. Sistem perizinan yang lebih sederhana.
c. Perlakuan sama sebagai kebijakan dasar penanaman modal di Indonesia.
d. Transparansi melalui kewajiban penyusunan laporan kegiatan penanaman
modal.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
139
e. Mengeliminir pembedaan perlakuan antara asing dan domestik dengan
mengakhiri ada dua undang-undang yang berbeda (UUPMA dan
UUPMDN).
Khusus mengenai prinsip transparansi Undang-Undang No.25 Tahun 2007
sudah mengakomodir prinsip ini melalui penetapan bidang usaha yang lebih
terbuka, perizinan yang lebih sederhana, keterbukaan dalam laporan kegiatan
penanaman modal dan yang terpenting undang-undang ini menetapkan
kewajiban bagi investor.
Untuk menerapkan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate
governance) dimana salah satu prinsipnya adalah transparency (keterbukaan).
Namun meskipun demikian, terdapat tantangan dalam penerapan prinsip
keterbukaan terkait domestic regulations, yakni pada tingkat peraturan-
peraturan daerah. Sangat dimungkinkan dengan adanya kewenangan
pemerintah daerah di bidang penanaman modal, daerah mengeluarkan
peraturan-peraturan yang justru bertentangan dengan kesepakatan WTO,
termasuk domestic regulations.
B. Saran-saran
Saran yang dapat diberikan penulis adalah sebagai berikut:
1. Agar tidak terjadi hambatan terhadap realisasi investasi yang besar dan sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka sebaiknya instansi-instansi/
badan-badan/lembaga-lembaga yang berwenang dalam hal pengelolaan investasi,
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
140
dan juga masyarakat dapat memberi perhatian yang besar dan pengawasan yang
benar terhadap proses berinvestasi, yang dimulai dari proses perizinan,
pengoperasian usaha, tanggung jawab lingkungan, dan lain sebagainya. Dengan
demikian investor merasa yakin dan percaya serta nyaman berinvestasi di
Indonesia, termasuk di wilayah Propinsi Sumatera Utara.
2. Di samping memberi perhatian dan pengawasan terhadap proses berinvestasi oleh
pihak-pihak yang berkompeten, diharapkan dapat mensosialisasikan dan
memperjelas peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal/
investasi yang berlaku secara transparan, termasuk peraturan perundang-
undangan di bidang Pemerintahan Daerah (otonomi daerah), Perseroan Terbatas
(PT) dan lain sebagainya.
3. Sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan arus investasi, penulis memandang
perlu untuk dilakukan pendidikan dan pelatihan terhadap pihak-pihak terkait
dalam proses berinvestasi, harmonisasi dan sinkronisasi peraturan investasi
daerah yang selaras dengan peraturan investasi pusat, serta membentuk Sistem
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (SPTSP) agar para investor termasuk calon
investor merasa tertarik untuk lebih cepat mengambil keputusan menanamkan
modalnya di Indonesia.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
DAFTAR PUSTAKA Adolf, Huala, Arbitrase Komersial Internasional, Jakarta : Raja Grafindo Persada,
2002. ________, Hukum Perdagangan Internasional : Persetujuan Umum Mengenai Tarif
dan Perdagangan, Jakarta: Iblam, 2005. Aldridge, E.John & Sutojo Siswanto, Good Corporate Governance Tata Kelola
Perusahaan yang Sehat, Jakarta : Mulia Pustaka, 2005. Anoraga, Pandji, Perusahaan Multinasional & Penanaman Modal Asing, Jakarta :
Pustaka Jaya, 1995. Baum Herb & Kling Tammy, The Transparent Leadership, Jakarta : Bhuana Ilmu
Populer, 2004. Bertens, K. Pengantar Etika Bisnis, Yogyakarta : Kanisius, 2000. Christy, “Negotiating Investment in the GATT : A Call for Functionalism, 12
Michigan Journal of International Law 743, 1991, Canada Administration of the Foreign Investment Review Act, FIRA Panel Report,
February 7th, 1984. Curtiss Cathrine and Cameroon Kathryn, “The United State-Latin American Trade
Laws”, New York Journal of International Law, 1995. Conklin David dan Lecraw Donald, “Restriction on Foreign Ownership During 1984-
1994 ; Development and Alternative Policies”, Transnational Corporations, Vol. 6 No. 1, April, 1997.
Brazilian Automotif Measures, Panel Report, www.wto.org/english/tratope/
investment/dispute_e, diakses 8 Juni 2008 Indonesia Automotif Pioner Industry, Panel Report, diakses pada www.wto.org/
english/tratop_e/investment/dispute/html tanggal 8 Juni 2008. Civello, Paul, “The TRIM’s Agreement : A Filed Attempt at Investment
Liberalization”, Minnesota Journal of Global Trade, 1999.
141 Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
142
Diana, Anastasia, Mengenal E-Business, Yogyakarta : Andi Offset, 2001. Fenno, Brooks, Strategi Bisnis Penunjang Pertumbuhan Usaha Makro, Semarang :
Dahara Prize, 1992. Fuady, Munir, Doktrin-doktrin Modern Dalam Corporate Law, Eksistensinya Dalam
Hukum Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002. Fuady, Munir, Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis, Bandung : Citra
Aditya Bakti, 1999. Harian Analisa, 17 Oktober 2007. Harian Waspada, 20 Oktober 2007. Harian Waspada, 2008. Husin, Muhammad Nurdin, Indonesia Dalam Lipatan Ekonomi Global (GATT/WTO),
Banda Aceh : Sophia Center, 2007. Ibrahim, Johannes, Hukum Organisasi Perusahaan Pola dan Badan Hukum,
Bandung : Refika Aditama, 2006 Jackson, John H., The World Trading System : Law and Policy of International
Economic Relations, Cambridge, Massachusetts, London, England : The MIT Press, 1989.
K. Harjono, Dhaniswara, Hukum Penanaman Modal, Jakarta : Raja Grafindo Persada,
2007. Kartadjoemena, HS., Substansi Perjanjian GATT/WTO dan Mekanisme Penyelesaian
Sengketa, Jakarta : UI Press, 2000. Kelsen, Hans, Teori Hukum Murni Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif, Bandung :
Nusa Media & Nuansa, 2006. ________, Teori Umum Hukum dan Negara Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif
Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif – Empirik, Jakarta : BEC Media Indonesia, 2007.
Lubis, T. Mulya, Peranan Hukum Dalam Perekonomian di Negara Berkembang,
Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1986.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
143
Mahadi, Falsafah Hukum Suatu Pengantar, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1989. Mertokusumo, Soedikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta : Liberty,
1999. Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Perseroan Indonesia, Bandung : Citra Aditya
Bakti 1996. Nasution, Bismar, “Aspek Hukum Dalam Transparansi Pengelolaan Perusahaan
BUMN/BUMD sebagai Upaya Memberantas KKB”, http://www.Bismar Nasty. wordpress.com
________, “Kesiapan Otonomi Daerah Menyambut Pasar Global”, Medan :Sekolah
Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara, 2006. ________, “Keterbukaan Dalam Pasar Modal”, Jakarta : Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2001. ________, “Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, Medan
: Majalah Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2003. ________, “Penerapan Good Governance Dalam Menyambut Domestic Regulations
– WTO”, Medan : Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2007. ________, “Pengaruh Globalisasi Ekonomi pada Hukum Indonesia”, Medan :
Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara. ________, “Prinsip Keterbukaan, Pengelolaan Perusahaan Yang Baik Dan
Persyaratan Hukum Di Pasar Modal”, (Februari 10, 2008), http://www.Bismar Nasty/Wordpress.com
Nugroho, Alois, A., Dari Etika Bisnis ke Etika Ekobisnis, Jakarta : Gramedia Widia
Sarana Indonesia, 2001. Panjaitan Hulman & Maharim Abdul Mutalib, Komentar dan Pembahasan Undang-
undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Jakarta : Indhillco, 2007.
Pengestu, Mari, dkk, Indonesia dan Tantangan Ekonomi Global 50 Tahun Suhadi
Mangkusuwondo, Jakarta : Centre for Strategic and International (CSIS), 2003.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
144
Radjagukguk, Erman, Hukum Investasi di Indonesia Pokok Bahasan, Jakarta : Universitas Indonesia, Fakultas Hukum, 2005.
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000. Ramelan, W. Djuwita, Jurnal Hukum Bisnis, Jakarta : Vol.26 No.4, 2007. Ranuhandoko, IPM, Terminologi Hukum Inggris – Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika,
2003. Republik Indonesia, Departemen Luar Negeri, Terjemahan Resmi Persetujuan Akhir
Putaran Uruguay, Jakarta, 1994. ________, Undang-undang RI Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67 ________, Undang-undang RI Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125 ________, Undang-undang RI Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106 Rinaldy, Eddie, Kamus Perdagangan Internasional, Jakarta : Indonesia Legal Center
Publishing, 2006. Setia Tunggal, Hadi, Undang-undang Penanaman Modal 2007 Beserta Peraturan
Pelaksanaannya, Jakarta : Harvarindo, 2007. Siregar Mahmul, “UUPM dan Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional
Dalam Kegiatan Penanaman Modal”, Jakarta : Jurnal Hukum Bisnis, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, 2007
________, Hukum Penanaman Modal Asing, Kumpulan Tulisan Hukum Investasi
Asing Langsung (Foreign Direct Investment), Medan : Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, 2003.
________, Hukum Tentang Perdagangan dan Investasi Multilateral (Kumpulan
Tulisan tentang Hukum Perdagangan dan Investasi Multilateral), Buku 6, Medan : Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara 2004.
________, Hukum tentang Perdagangan dan Investasi Asing Multilateral (Kumpulan
Kliping Koran, Hasil Penelitian dan Kebijakan Deregulasi), Medan : Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, 2003.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
145
________, Perdagangan dan Penanaman Modal : Tinjauan terhadap Kesiapan Hukum di Indonesia Menghadapi Persetujuan Perdagangan Multilateral Yang Terkait Dengan Peraturan Penanaman Modal. Medan : Universitas Sumatera Utara Sekolah Pascasarjana, 2005.
________, Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal Studi Kesiapan
Indonesia Dalam Perjanjian Investasi Multilateral, Medan : Universitas Sumatera Utara Sekolah Pascasarjana, 2005.
Soekanto, Soerjono, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta :
Raja Grafindo Persada, 2004 ________, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 1995 ________, Tata Cara Penyusunan Karya Tulis Ilmiah, Jakarta : Ghalia Indonesia
1983. Sudarmono, Johny, BE G2C Good Governed Company, Jakarta : Elex Media
Komputindo, 2004. Sunandar, Taryana, Perkembangan Hukum Perdagangan Internasional dari GATT
1947 sampai Terbentuknya WTO (World Trade Organization), Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1996.
Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : Raja Grafindo Persada,
1997. Surya, Indra, Ivan Yustiavandana, Penerapan Good Corporate Governance
Mengesampingkan Hak-hak Istimewa demi Kelangsungan Usaha, Jakarta : Lembaga Kajian Pasar Modal dan Keuangan (LKPMK), Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006.
Susanti, Ida, dkk, Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas : Menelaah Kesiapan
Hukum Indonesia dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003.
Syahmin, AK., Hukum Dagang Internasional (Dalam Kerangka Studi Analitis),
Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006. Theberger, Leonard, J., Law and Economic Development, Journal of International
Law and Policy, Vol. 9, 1980.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.
146
Tjager, I Nyoman, dkk, Corporate Governance, Tantangan dan Kesempatan Bagi Komunitas Bisnis Indonesia, Jakarta : Prehallindo, 2003.
United Nations, The Impact of Trade Related Investment Measures : Theory,
Evidency and Policy Implication, New York : United Nations, 1991. Van Apeldoorn, L.J. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Pradnya Paramita, 2001. W.Head, John, Pengantar Umum Hukum Ekonomi, Jakarta : Elips, 1997. Yani Ahmad & Widjaja Gunawan, Perseroan Terbatas, Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2003. ________, Seri Bisnis, Perseroan Terbatas, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003. Yuhassarie, Emmy, Prosiding Perseroan Terbatas dan Good Corporate Governance,
Jakarta : Pusat Kajian Hukum, 2005.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008.