alergi

31
Bab IV PENYAKIT ALERGI Istilah alergi dikemukakan pertama kali oleh von Pirquet pada tahun 1906, yang pada dasarnya mencakup baik respon imun berlebihan yang menguntungkan seperti terjadi pada vakisnasi, maupun mekanisme yang merugikan dan menimbulkan penyakit. Dewasa ini alergi diartikan sebagai reaksi imunologik terhadap antigen secara tidak wajar atau tidak tepat pada seseorang yang sebelumnya pernah tersensitisasi dengan antigen bersangkutan dan sebagian besar para pakar lebih suka menggunakan istilah alergi dalam kaitannya dengan respon imun berlebihan yang menimbulkan penyakit atau yang disebut reaksi hipersensitivitas tipe I. Ada dua tahap utama dalam sejarah penemuan patogenesis alergi atopik seperti dirangkum oleh Romagnani yaitu : tahap pertama yang dimulai pada 1879 pasa saat mana Ehrlich untuk pertama kali menemukan sel mastosit dan eosinofil, dan penemuan reagin oleh Prausnitz dan Kaustner pada tahun 1921, diakhiri dengan identifikasi IgE yang mengungkapna sifat reagin oleh Ishizaka dan Johnson. Konsep alergi yang dikemukakan pada saat itu adalah proses inflamasi yang disebabkan interaksi antara alergen lingkungan dan IgE yang terikat pada reseptor IgE antara alergen lingkungan dan IgE yang terikat pada reseptor IgE pada sel monosit yang melepaskan berbagai mediator : Tahap kedua dimulai pada 1986 dengan penemuan sitokin yang diproduksi oleh sel T yang

Upload: ayu-theresia-marboen

Post on 26-Dec-2015

41 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: alergi

Bab IV

PENYAKIT ALERGI

Istilah alergi dikemukakan pertama kali oleh von Pirquet pada tahun 1906, yang pada

dasarnya mencakup baik respon imun berlebihan yang menguntungkan seperti terjadi pada

vakisnasi, maupun mekanisme yang merugikan dan menimbulkan penyakit. Dewasa ini alergi

diartikan sebagai reaksi imunologik terhadap antigen secara tidak wajar atau tidak tepat pada

seseorang yang sebelumnya pernah tersensitisasi dengan antigen bersangkutan dan sebagian

besar para pakar lebih suka menggunakan istilah alergi dalam kaitannya dengan respon imun

berlebihan yang menimbulkan penyakit atau yang disebut reaksi hipersensitivitas tipe I.

Ada dua tahap utama dalam sejarah penemuan patogenesis alergi atopik seperti

dirangkum oleh Romagnani yaitu : tahap pertama yang dimulai pada 1879 pasa saat mana

Ehrlich untuk pertama kali menemukan sel mastosit dan eosinofil, dan penemuan reagin oleh

Prausnitz dan Kaustner pada tahun 1921, diakhiri dengan identifikasi IgE yang

mengungkapna sifat reagin oleh Ishizaka dan Johnson. Konsep alergi yang dikemukakan

pada saat itu adalah proses inflamasi yang disebabkan interaksi antara alergen lingkungan dan

IgE yang terikat pada reseptor IgE antara alergen lingkungan dan IgE yang terikat pada

reseptor IgE pada sel monosit yang melepaskan berbagai mediator : Tahap kedua dimulai

pada 1986 dengan penemuan sitokin yang diproduksi oleh sel T yang mengatur produksi IgE

oleh sel B, serta deskripsi sel Th1 dan Th2. Saat ini pengertian reaksi alergi adalah akibat

yang ditimbulkan oleh respon sel Th2 terhadap allergen lingkungan. Respons sel Th2 spesifik

allergen merupakan pemicu rektrutmen dan keterlibatan berbagai jenis sel lain maupun

berbagai faktor terlarut dan molekul adhesi yang menghasilkan kaskade inflamasi yang

sangat kompleks. Karena itu alergi atopik saat ini disebut sebagai hipersensitivitas terhadap

allergen yang dipicu oleh sel Th2 dan dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan.

Dalam 20-30 tahun terkahir telah terjadi peningkatan dalam angka kejadian alergi,

bahkan di negara berkembang alergi atopik dapat dijumpai pada 20% populasi yang

mencakup berbagai jenis kelainan yang dikaitkan dengan IgE, misalnya asma, rinitis alergi,

dermatitis atopik, alergi makanan dan lain-lain. Peningkatan prevalensi alergi diduga

disebabkan berbagai faktor, diantaranya perubahan gaya hidup, misalnya penggunaan sistem

pengatur suhu ruangan didalam rumah disertai ventilasi yang kurang, penggunaan antibiotik

Page 2: alergi

spektrum luas, infeksu virus, diet dan lain-lain. Walaupun pada umumnay jarang

menimbulkan kematian, alergi menyebabkan penderita merasa tidak nyaman. Perkembangan

IPTEK akhir-akhir ini dapat mengidentifikasi berbagai faktor genetik dan lingkungan dan

mendukung pernyataan bahwa kedua faktor tersebut sangat mempengaruhi terjadinya atopi.

Konsep patogenesis alergi yang dianut saat ini adalah bahwa timbulnya alergi dan

perjalanan penyakitnya ditentukan oleh interaksi antara gen dengan lingkungan; seseorang

menderita alergi kalau ia memang peka (susceptible) sekaligus terpapar pada rangsangan

yang seusai atau tepat. Ada beberapa konsep mengenai interaksi gen lingkungan ini. Yang

pertama adalah bahwa baik genotip kepekaan maupun paparan terhadap faktor lingkungan,

keduanya diperlukan untuk menimbulkan risiko alergi. Yang kedua adalah bahwa paparan

terhadap allergen lingkungan meningkatkan risiko terjadinya alergi pada semua individu,

tetapi pada individu dengan genotip kepekaan, risikonya lebih besar. Kemungkinan ketiga

adalah paparan alergen lingkungan hanya meningkatkan risiko pada mereka yang peka, dan

kemungkinan keempat adalah baik lingkungan maupun genotip meningkatkan risiko.

Faktor genetik berperan dalam mengatur berbagai aspek timbulnya gejala alergi,

diantaranya mengatur pembentukan IgE, respon imun spesifik terhadap allergen tertentu dan

respons imun berlebihan. Upaya pencegahan timbulnya alergi saat ini terutama ditujukan

untuk mengidentifikasi sedini mungkin individu berisiko tinggi dan memberikan terapi

profilaktik untuk mencegah terjadinya penyakit kronik. Berbagai metod untuk

mengidentifikasi fajtor eksogen dan endogen telah dikembangkan dalam rangka memperoleh

niomarker yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk memberikan terapi yang tepat.

Selain IgE yang sudah lama diketahui sebagai faktor yang merupakan mediator terjadinta

alergi bahkan digunakan untuk menunjang diagnosis etiologi, berbagai substansi biologis lain

saat ini telah diketahui sangat erat kaitannya dengan patofisiologi alergi, misalnya berbagai

jenis sitokin, dan berbagai jenis substansi biokimiawi lain yang dihasilkan oleh sel-sel tubuh

serta baerbagai molekul permukaan dan reseptor seluler.

PERAN LIMFOSIT PADA ALERGI

Dalam beberapa tahun terakhir terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa ada

respons yang berbeda antara sel Th1 dan Th2, dan bahwa respons sel Th2 erat kaitannya

dengan alergi. Kalau respons sel Th1 menghasilkan IL-2, IFN-ϒ dan TNF-β, yang

mengaktivasi makrofag IL-4, IL-5,IL-10 dan IL-13 yang bertanggung jawab atas respons

antibodi, termasuk produksi IgE, dan menghambat fungsi makrofag. Polarisasi respons imun

Page 3: alergi

spesifik Th1 dan Th2 tidak berasal dari lineage berbeda, tetapi berasal dari precursor sel Th

sama yang berkembang kearah predominan sel sel Th1 atau Th2 atas pengaruh faktor genetik

dan lingkungan pada tungkat presentasi antigen. Pakar lain menyatakan bahwa sel T CD4+

pertama-tama berkembang dahulu menjadi Th0 yang menghasilkan profil sitokin yang tidak

selalu sama, tetapi bila stimulasi antigen berlanjut, terjadi polarisasi ke arah sel Th1 atau Th2,

masing-masing memproduksi sitokin tertentu. Faktor genetik dan lingkungan mempengaruhi

diferensiasi sel Th1/Th2 dengan menentukan predominasi sitokin tertentu dalam lingkungan

mikro (microenvironment) dimana sel bersangkutan diaktivasi. Adanya Il-4 sejak awal dalam

lingkungan mikro merupakan rangsangan kuat untuk berkembang ke arah sel Th2, sedangkan

IL-12 dan IFN dalam lingkungan mikro menyebabkan perkembangan sel Th kearah Th1.

Mekanisme yang bertanggung jawab atas produksi IL-4 awal maupun sumber IL-4 tidak

diketahui, tetapi sel Th naif sendiri ternyata dapat memproduksi sejumlah kecil IL-4 sejak

awal stimulasi. Efek induksi IL-4 mendominasi sitokin yang lain, sehingga bila kadar IL-4

mencapai ambang yang diperlukan sel Th berdeferensiasi menjadi Th2. Selain sitokin

predominan dalam lingkungan mikro, diferensiasi sel Th1/Th2 juga dipengaruhi oleh faktor-

faktor yang bergantung pada kontak (contact dependent factors), diantaranya yang paling

penting adalah ligasi TCR, dan sinyal yang diberikan oleh interaksi CD40-CD40L dan

molekul ko-stimulator B7-CD28. Sin yal kostimulasi meningkatkan ekspresi IL-4 pada saat

pengenalan dan meningkatkan diferensiasi sel TCD4 naif menjadi sel efektor yang

memproduksi IL-4. Selanjutnya faktor yang berperan dalam polarisasi sel Th1/Th2 adalah

faktor transkripsi, termasuk diantaranya keluarga NFAT yang mampu menginduksi

transkripsi promoter IL-4.

Profil sitokin yang diproduksi oleh sel T CD4+ pada penyakit alergi dan non-alergi

dipengaruhi oleh jenis dan dosis antigen, jenis APC, sitokin dalam lingkungan mikro, sinyal

ko-stimulasi yang diterima oleh sel T, dan faktor pejamu khususnya faktor genetik. Jadi profil

sitokin dan fungsi sel T CD4+ tidak ditentukan sebelumnya melainkan bergantung pada

bagaimana sel itu distimulasi oleh antigen. Seperti halnya sel Th1 dan sel Th2 yang aktif,

populasi sel T memory yang dihasilkan in vivo dalam kondisi polarisasi, cenderung

menghasilkan sitokin yang sama apabila diaktivasi, tetapi profil sitokin yang dihasilkan oleh

sel T memory dapat berubah, misalnya bila distimulasi dalam lingkungan IL-12 sel Th2

memory dapat memproduksi IFN-ϒ yang merupakan sitokin Th1. Dilain pihak, bila diberikan

dalam dosis tinggi, IL-12 dapat meningkatkan sintesis IL-4, mungkin melalui peningkatan

produksi Il-10. Walaupun memory yang reversibel ini akan hilang bila distimulasi berulang

Page 4: alergi

kali, karena sel T memory akan berdeferensiasi menjadi sel Th2 efektor yang tidak memiliki

reseptor IL-12. Sebenarnya regulasi respons imunyang melibatkan sel Th1/Th2 lebih

kompleks, misalnya sel Th2 yang diidentifikasi terutama karena ia memproduksi IL-4 dan

bukan IFN-ϒ, dapat digolongkan lebih lanjut dalam golongan dengan fungsi berbeda. Jumlah

Il-5, IL-10 dan TGF-β dapat bervariasi dan mengubah fungsi spesifik sel Th2. Heterogenitas

produksi sitokin ini dapat menjelaskan mengapa pada respons yang lain diproduksi IgG4 atau

IgE sedangkan pada respons yang lain diproduksi IgA atau IgG2. Disamping itu berbagai

penelitian membuktikan bahwa sebagian sel Th2 dapat berfungsi sebagai sel regulator untuk

menekan respons imun, dan karena sebagian produksi sel Th2, seperti TGF-β mempunyai

sifat supresor yang potensial, ada kemungkinan bahwa sel Th2 yang berfungsi sebagai

regulator/supresor berbeda dengan sel Th2 konvensional. Hasil penelitian respons sel T CD4+

pada mukosa mulut mengungkapkan bahwa sel T CD4+ yang memproduksi IL-4 dan TGF-β

dapat diikduksi dengan pemberian antigen dosis rendah, sedangkan dosis oral yang tinggi,

menginduksi toleransi atau menyebabkan sel menjadi tidak responsif.

Gambar 3d-1 memperlihatkan berbagai jalur alternatif diferensiasi sel Th1/Th2 dan

hubungannya dengan alergi.

Pakar lain yang mempelajari peran sel T pada alergi, menggolongkan sel T

berdasarkan reseptor yang diekspresikan yaitu sel T-αβ dan T-ϒδ. Dikemukakannya bahwa

sel T-ϒδ spesifik allergen terdapat dalam jumlah besar pada mukosa saluran nafas penderita

asma, dan karena sel T-ϒδ sejak lama diketahui merupakan unsur pertahanan lini pertama

pada permukaan epitel, diduga sel itu juga berperan pada patogenesis asma. Ada indikasi

bahwa sel T-ϒδ membantu fungsi sel T-αβ berfungsi penuh. Pengenalan allergen oleh sel T-

ϒδ tidak memerlukan pemrosesan dan presentasi melalui MHC, tetapi bergantung pada

Page 5: alergi

pembentukan kompleks antara antigen atau epitop allergen dengan TCr. Sel T-ϒδ yang

teraktivasi dapat memberikan sinyal kontak yang menginduksi sel B untuk melakukan Ig

switch dan menghasilkan IgE. Dalam beberapa penelitian juga terbukti bahwa sel T-ϒδ

menghasilkan sitokin dengan profil yang sama dengan yang dihasilkan oleh sel Th2.

Interaksi sel Th2 dengan sel B untuk menginduksi sintesis IgE dilakukan dengan

bantuan ligasi CD40 oleh CD40L. Ligasi CD40-CD40L ini pentingn untuk isotype switching

Ig menjadi IgE, tetapi disamping ligasi CD40-CD40L, interaksi antara sel Th2 dengan sel B

juga memerlukan ko-stimulasi melalui berbagai molekul lain. Gambar 3d-2 memperlihatkan

interaksi sel T dengan sel B pada pembentukkan IgE. (dimodifikasi dari Bacharier)

Sintesis IgE oleh sel B memerlukan 2 sinyal. Sinyal pertama dihasilkan oleh IL-4

yang mengaktifkan transkripsi pada lokus Cε, jadi menentukan spesifinitas isotip IgE dan

sinyal kedua melalui ligasi CD40-CD40L mengaktifkan mesin rekombinasi dan

menghasilkan rekombinasi DNA menjadi IgE.

Selain molekul CD3, CD4, CD28 dan CD40 beserta ligandnya, molekul CD19, CD22

dan CD58 yang diekspresikan pada sel B terbukti juga berperan dalam interaksi antara sel T

dan sel B. Seperti telah diuraikan terdahulu, selain memproduksi IL-4, sel Th2 yang

teraktivasi juga memproduksi IL-4,sel Th2 yang teraktivasi juga memproduksi berbagai

sitokin lain (GM-CSF,IL-5,IL6,IL-9,IL-10).sebagai respon terhadap sitokin yang diproduksi

oleh sel Th2, sel-sel lain memproduksi berbagai mediator misalnya eotaxin, TGF-B, IL-11

dan interaksi antara berbagai faktor diatas bertanggung jawab atas mekanisme atau

patofisiologi alergi yang dinyatakan dengan produksi igE, rekrutmen dan aktivasi mastosit,

Page 6: alergi

basofil dan eosinofil, fibrosis subepitel dan perubahan bentuk jaringan. Dengan pengertian

bahwa produksi sitokin Th2 pada penderita alergi menimbulkan penyakit alergi, sedangkan

sel Th1 pada penderita alergi menimbulkan penyakit alergi , sedangkan sel Th1 dengan IFN-y

yang diproduksinya menghambat stimulasi sintesis igE, maka konversi sel Th2 spesifik

allergen menjadi sel Th1 dianggap bermanfaat untuk penderita tersebut.

PERAN FAKTOR GENETIK PADA ALERGI

Melalui berbagai penelitian diketahui bahwa pola pewarisan penyakit alergi tidak

mengikuti konsep mendel seperti yang terjadi pada penyakit genetik tunggal, tetapi mengikuti

konsep multigenik yang kompleks. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa kecenderungan

sel T berkembang menjadi sel Th2 diatur oleh bermacam-macam sitokin, reseptor sitokin dan

berbagai faktor transkripsi. Berdasarkan hal itu diduga bahwa kecenderungan menderita

penyakit alergi terletak pada berbagai gen dan kecenderungan menderita penyakit alergi

terletak pada berbagai gen dan kecenderungan itu berbeda antara satu individu dengan

individu lainnya. Penelitian awal yang berhubungan dengan genetik pada atopi difokuskan

pada beberapa gen yang besar kemungkinannya terlibat dalam reaksi alergi , misalnya gen

MHC, gen yang menyandi sitokin pro-inflamasi , gen yang menyandi reseptor igE dengan

afinitas tinggi dan lokus TCR. Selain itu juga dupelajari beberapa gen lain produknya diduga

berperan dalam patofisiologi penyakit alergi, misalnya gen yang menyandi molekul adhesi ,

gen yang menyandi khemokin dan reseptornya dan gen yang menyandi faktor penglepasan

histamin (histamine release factor). Gen yang mengatur respon spesifik terhadap allergen

dihubungkan dengan HLA. Hasil berbagai penelitian mengungkapkan bahwa MHC kelas 11,

diantaranya HLA-DRBI, DRB3 dan DRB5 mempunyai peranan penting dalam mengatur

respons igE spesifik terhadap beberapa allergen tertentu. HLA-DR2, khususnya DR2.2 dan

DR2.12 juga terbukti menetukan ketanggapan (responsiveness) seorang individu terhadap

allergen dan dengan demikian berperan dalam mengekspresikan sensitivitas individu

bersangkutan terhadap atopi. Seorang individu dengan HLA-B8 dan HLA-DW3

menunjukkan kepekaan yang lebih besar terhadap alergi dibanding orang normal, dan hal ini

diperkuat dengan kadar igE spesifik yang lebih tinggi. Gen yang menyandi subunit B dari

reseptor igE afinitas tinggi (FceRI) yang terletak pada kromosom 11q13, terbukti merupakan

gen atopi yang sangat poten. FceRI pada permukaan APC mempunyai peranan besar dalam

pengaturan sintesis igE. Ekspresinya yang bervariasi pada APC memungkinkan reseptor ini

menyesuaikan fungsi stimulasi dan sekresinya dengan lingkungan mikro. Hal yang hampir

sama dikemukakan oleh pakar lain yang menyatakan bahwa subunit B mempengaruhi proses

Page 7: alergi

transduksi sinyal melalui reseptor dengan memperhalus kepekaan reseptor terhadap ligand ,

atau dengan mengatur volume sinyal yang di transduksikan.

Tabel 3d-1 beberapa gen yang diduga berperan pada asma atau atopi

LOKASI GEN FUNGSI GEN

2q CD28 Proliferal sel T

3p Kelompok

Khemokin

Rekrutmen sel T dan

makrofag

5q IL-3-5,9,13

B2AR

GRL

Switching gel B,

proliferasi sel mastosit

Reseptorberpasangan

dengan protein G

dalam paru.

Reseptor

glukokortikoid

6p21-p22 Region HLA

TNF

Presentasi antigen

Memperantairespons

inflamasi

12q23 NOS

IFN-Y

Proinflamasi/

bronkhodilator

Menghambat aktivitas

IL-4

*dikutip dari Howard *

B2AR=B2 adrenergic receptor GRL = glucocorticoid receptor , NOS + nitric

oxide sy thase.

Suatu lokus pada kromosom 5q31-q33 merupakan kelompok gen yang mengatur

produksi igE secara umum. Gen yang menyandi IL-4 dan beberapa gen lain dalam lokus

tersebut mengatur produksi igE melalui mekanisme non-cognate , sehingga diduga bahwa

peningkatan ekspresi IL-4 dapat menginduksi sel B (yang diprogramkan untuk membentuk

Page 8: alergi

igG terhadap berbagai jenis antigen) untuk memproduksi igE melalui class switching .

berbagai faktor mengatur transkripsi gen IL-4 diantaranya NFAT (nuclear factor of activated

T cells ) STAT-6 (signal transducer and activators of transcription-6), proto-onkogen cmaf

dan GATA -3 . hingga saat ini bukti keterlibatan faktor-faktor transkripsi tersebut pada alergi

adalah dalam menginduksi diferensiasi sel T kearah Th2 , jadi lebih berfungsi sebagai

regulator transkripsi secara umum untuk berbagai sitokin Th2, dan tidak secara langsung

mengatur transkripsi gen IL-4 , kecuali c-maf yang menunjukkan aktivitas transkripsi spesifik

untuk promoter IL-4.

Gen CD28 yang terletak pada kromosom 2q dianggap merupakan molekul

“accessory” dalam mengatur kadar igE. Kelompok gen sitokin yang terletak pada kromosom

5q terdiri atas banyak gen yang berperan pada atopi , termasuk diantaranya gen IL-4,IL-

5,IL-10,dan IL-13, IL-4 merupakan komponen kunci dalam menginduksi sintesis igE setelah

stimulasi antigen. Adanya beberapa polimorfisme reseptor IL-4 yang terletak pada kromosom

6 juga telah dilaporkan dan kemudiaan terbukti bahwa polimorfisme ini dihubungkan dengan

kadar igE dan asma atopik. Walaupun faktor genetik menentukan susptibilitas seseorang

faktor lingkungan merupakan faktor yang penting untuk manifestasi klinik penyakit alergi ,

seperti di perlihatkan pada gambar 3d-3.

PERANAN FAKTOR LINGKUNGAN

Seperti telah disebut diatas, faktor lingkungan memegang peranan penting pada alergi.

Akhir-akhir ini diketahui bahwa pola reaktivitas sel T terhadap allergen lingkungan yang

menandakan fenotip responder terhadap allergen bersangkutan pada orang dewasa,

ditentukan sejak sebelum lahir . sensitivitasi awal sel T terjadi dalam kandungan sebagai

akibat transfer transplasentral allergen dengan kadar rendah, yaitu bila ibunya terpapar pada

allergen bersangkutan pada saat hamil . pada kehamilan yang sukses, respons janin terhadap

allergen ini terjadi demikian . rupa sehingga intrinsik condong kearah perkembangan sel Th2.

Predominasi sel Th2 pada masa janin ini karakteristik untuk kompartemen sel Th anin dan

diperlukan untuk mengurangi reaktivitas sistem –imun maternal terhadap fetus serta

mencegah perkembangan sel Th1 karena produk sel Th1 sangat toksik untuk plasenta . sel-sel

limfosit dalam flasenta diduga memproduksi IL-10 yang menghamabtan fungsi Th1.

Predominasi Th2 tersebut tampak jelas pada keluarga dengan riwayat atopi . respons Th2

spesifik allergen pada janin yang berlanjut pada masa anak-anak merupakan gambaran fase

induksi alergi atopi dan dihubungkan dengan penurunan kemampuan memproduksi sitokin

Page 9: alergi

Th IFN-Y pada neonatus. Penemuan ini menunjukkan kemungkinan mekanisme respons Th2

yang persisten pada anak –anak yang atopi. Gambar 3d-4 dan 3d-5 berturut-turut

memperlihatkan produksi mRNA IL-4 spesifik allergen dan IFN-Y oleh sel-sel

mononuklear individu atopi dan non-atopi menurut umur.

Suseptibilitas (diwariskan)

Asma Atopi Hiper-responsif

bronchial Genetic disease modifying factors

Pengaruh lingkungan

Pengaruh maternal perinatal

Alergen (dl rumah) Infeksi saluran nafas

(virus) Asap rokok (polutan) Prematuritas Faktor diet

Asma presimpotatik atau dini

Manifestasi klinik asma(perubahan struktur dan fungsi saluran nafas

reversbel dan ireversibel.

Page 10: alergi

Gambar 3d-3 interaksi gen –lingkungan dalam perkembangan asma pada anak

dikutip dari howard .

Faktor lingkungan yang berperan sesudah lahir merupakan faktor yang lebih penting

dalam mempengaruhi reaksi seseorang terhadap allergen lingkungan , bahkan merupakan

faktor penyebab meningkatnya prevalensi alegi diseluruh dunia. Diantara faktor lingkungan

yang penting adalah allergen dalam rumah , misalnya tungau (housrdust mite) polusi udara ,

perubahan pola makanan dan paparan mikroba. Perubahan lingkungan berperan dalam

perubahan keseimbangan antara perkembangan sel Th1 / Th2 . peningkatkan paparan

terhadap beberapa jenis allergen sehingga tungau debu rumah, bulu bintang peliharaan,

neoalergen, serta vaksinasi yang mengakibatkan peningkatan Th2, seperti tetanus , pertusis,

difteri, menyebabkanperkembangan sel Th condong kearah Th2 dan meningkatkan risiko

atopi di lain fhak perubahan flora komensal akibatkonsumsi makanan semisteril, pengunaan

air lebih bersih , penurunan paparan terhadap infeksi alami dengan mengurangi jumlah

Page 11: alergi

keluarga yang tinggal serumah , akomodasi yang tidak terlalu padat , vaksinasi dan

pengobatan antibiotika menyebabkan perkembangan kearah sel Th 1 dan mengurangi risiko

atopi.

PATOFISIOLOGI

Ciri reaksi hipersensitivitas tipe 1 adalah dilepaskannya berbagai mediator oleh sel

matosit dan basofil akibat rangsangan allergen yang terikat pada imunoglobin E (igE) yang

terdapat pada permukaaan sel-sel tersebut . granula sekretirik sel basofil dan sel mastosit

mengandung berbagai mediator baik yang ada sebelumnya (preformed) misalnya histamin ,

serine protease , heparin maupun yang baru dibentuk sebagai respons terhadap rangsangan ,

misalnya prostaglandin (PGD2)leukotrien , platelet activating factor (PAF) dan berbagai jenis

sitokin. Mediator –mediator ini menarik sel-sel inflamasi lain sehingga menimbulkan

manifestasi klinik alergi seperti inflamasi , bronkhospasme sekresi lendir berlebihan ,

peningkatan permeabilitas vaskuler yang berakibat edema. Walaupun penglepasan mediator

oleh basofil dan mastosit , khususnya histamin dapat terjadi melalui rangsangan khemokin

atau interleukin tertentu (IL-3) tanpa bergantung pada igE (igE independent histamin

releasing factor HRF) igE dependent –HRF merupakan faktor yang paling penting . sehingga

igE dianggap sebagai faktor yang bertanggung jawab atas terjadinya reaksi hipersensitivitas

tipe 1. pada penderita alergi , igE terdapat bebeas dalam serum maupun dalam keadaan

melekat pada permukaan sel mastosit dan basofil. Seperti telah diuraikan di atas ,

pembentukan igE oleh sel B memerlukan bantuan sel T dengan perantaraan berbagai molekul

terlarut yang disekresi maupun molekul ko-stimulator yang terdapat pada permukaan sel CD4

yang teraktivitasi . yang paling penting diantara molekul yang terdapat pada permukaan sel

( membrane bound co-stimulatory molecules) adalah ligand untuk CD40 (CD40L) yang di

ekspresikan oleh sel CD4 + aktif. Interaksi sel T CD4 dengan sel B melalui reseptor dan

molekul ko-stimulator serta pengaruh menginduksi proliferasi dan diferensiasi sel B . diantara

sitokin yang berperan pada sintesis igE adalah IL-4 dan IL-3 yang diproduksi oleh sel Th2.

Berbeda dengan IL-4 yang hanya diproduksi oleh sel Th2. Berbeda dengan IL-4 yang hanya

diproduksi oleh sel Th2 IL-13 selain diproduksi oleh sel Th2 juga di produksi oleh sel Th 1 .

dalam hal ini IL-13 membantu meningkatkan efek IL-4 bila konsentrasi IL-4 sub- optimal.

Sitokin ini menginduksi sel B naif yang mengekresi kan igM dan igD untuk melakukan

immunoglobin class switching sehingga memproduksi igE . dilain fihak sel Th1

memproduksi IFN –y yang menghambat fungsi sel Th2 . ada perbedaan yang jelas antara

produksi igE pada penderita atopi dan orang normal . penderita atopi memproduksi igE

Page 12: alergi

dalam jumlah berlebihan sebagai respons terhadap allergen tertentu , sedangkan orang normal

umumnya memproduksi isotip imunoglobin lain , misalnya igG atau igM dan hanya sedikit

igE.

Reaksi alergi terjadi bila igE terikat silang (crosslinked ) dengan allergen pada

permukaan sel efektor seperti sel mastosit atau basofil yang mengakibatkan degranulasi sel-

sel tersebut , diikuti keluarnya berbagai mediator yang berperan dalam menimbulkan gejala

alergi. Peningkatan igE pada basofil dan sel mastosit terjadi melalui FCERI yang di

ekskresikan pada sel-sel tersebut . pada penderita alergi FCERI yang diekspresikan pada sel

basofil, mastosit , langerhans, sel dendrintik maupun monosit merupakan reseptor igE dengan

afinitas tinggi sehingga igE lebih mudah berikatan dengan FCCRI , konsekuensi yang lain

adalah , bahwa kompleks igE –FCCRI dapat menangkap lebih banyak allergen atau lebih

mudah menangkap allergen yang berukuran besar yang tidak difagositosisoleh makrofag .

presentasiantigen atau allergen oleh APC yang diperantarai oleh igE (igE-MAP) kepada sel

Th terjadi melalui interaksi dengan FCCERI atau dengan CD23 dan mengakibatkan aktivitasi

sistem imun secara terus –menerus walaupun kadar antigen rendah . akibatnya adalah sel Th2

akan berproliferasi dan melalui sitokin yang diproduksinya , khususnya 11-4 merangsang

banyak sel B untuk melakukan Ig switch dan memproduksi igE . APC yang mengeksresikan

FcCRI , khususnya sel langerhans dan sel dendritik pada epidermis diduga mempunyai

peranan penting pada terjadinya dermatitis atopik , sehingga dermatitis atopik merupakan

paradigma dari reaksi tipe lambat yang diperantarai igE-FceRI. Selain sel-sel diatas ,

eosinofil juga mengekresikan FCCRI sehingga eosinofil sering dihubungkan dengan alergi

dan proses inflamasi yang menyertainya. Ada berbagai bukti yang menyatakan bahwa

granula eosinofil bersifat toksik untuk epitel saluran nafas , meningkatkan permeabilitas

vaskuler dan dapat merangsang sel-sel lain termasuk basofil pada alergi dibuktikan dengan

adanya infiltrasi eosinofil pada kulit atau mukosa pada daerah inflamasi dan seringkali

jumlahnya tidak sebanding dengan yang ada dalam darah . rekrutmen eosinofil dari darah

kedalam mukosa pada daeraj inflamasi dan seringkali jumlahnya tidak sebanding dengan

yang ada dalam darah. Rekrutmen eosinofil pada sel endotel melalui molekul adhesi

(vascular endothealial adhesion molecules-1 ,VCAM-1) 2,. Produksi faktor kemotaktik yang

merangsang migrasi eosinofil ke dalam mukosa. Migrasi eosinofil kedalam jaringan dikontrol

oleh IL-5 ,IL-3 dan GMSCF. Dilain fihak ekspresi VCAM-1 pada sel-sel endotel

ditingkatkan oleh IL-4 dan IL-13 . sitokin IL-5 ,IL-3 dan GM-CSF tidak saja menginduksi

eosinofiphiloesises tetapi juga meningkatkan metabolisme ksidatif , ekspresi reseptor

Page 13: alergi

membran dan penglepasan protein granula yang mengandung major basic protein (MBP)

eosinofhil peroxidase (EPO) eosinophil cationic protein (ECP) dan eosinophil derived

neurotoxin yang merupakan mediator inflamasi.

Atopi pada orang dewasa dihubungkan dengan ekspersi terus – menerus imunitas

spesifik terhadap antigen yang ditandai dengan produksi sitokin Th2 yaitu IL-4,IL-5dan IL-

13 yang meningkatkan produksi igE dan eosinofil . sebaliknya mereka yang non- atopi

memperlihatkan imunitas Th1 yang ditandai dengan produksi IFN-Y yang menghambat

perkembangan sel Th2 . hal ini berakibat terhambatnya produksi igE . bukti adanyaaktivitas

Th2 tampak dari akumulasi limfosit Th2 pada tempat-tempat terjadinya reaksi

hipersensitivitas di kulit atau mukosa bronkus. Jumlah sel T spesifikasi yang memproduksi

IL-4 dalam sirkulasi penderita atopi jauh lebih banyak dibanding pada mereka yang non-

atopi,disamping itu jumlah IL-4 yang disekresi juga lebih banyak . hal-hal itu turut

memebantu peningkatan sintesis igE pada penderita atopi. Selain diproduksi oleh sel Th2 ,

IL-4 dan IL-3 juga diproduksi oleh sel-sel yang mengekresikan FceRI, yaitu basofildan sel

mastosit dan oleh sel CD8 . sitokin IL-4 dan IL-13 yang membantu meningkatkan biosintesis

igE dan merangsang perubahan sel Th0 menjadi Th 2 merupakan sitokin utama yang

berperan dalam proses inflamasi yang terjadi pada alergi.

Alergi obat didasarkan atas induksi reaksi imunologi spesifik dan berlatar belakang

sensitasi limfosit atau sunstansi yang dihasilkannya, baik antibody maupun sitokin. Karena

itu patofisiologi alergi obat berbeda dengan jenis reaksi-reaksi obat yang lain misalnya reaksi

akibat dosis berlebihan atau efek samping obat. Walaupun gelja kelinik alergi obat kadang-

kadang sulit dibedakan dari gejala kelinik yang disebabkan efek samping obat atau dosis obat

berlebihan, cirri penting yang menbedakan keduannya adalah bawa pada alergi obat terdapat

reaksi imunologi yang tidak tepat (inappropriate) atau berlebihan terhadap obat tertentu dan

metabolitnya .32

Hampir setiap obat dapat menginduksi reaksi imunologik.33 Namun demikian, sulit

sekali meramalkan dan mencegah terjadinya reaksi alergi obat karena mekanisme proses

imunologi yang mendasari reaksi itu belum seluruhnya diketahui secara pasti. Ada beberapa

reaksi misalnya reaksi anafilatik terhadap antibiotic betalaktam dihubungkan dengan IgE

spesifik, sedangkan reaksi kulit dan respons inflamasi lain terhadap misalnya sulfonamide,

fenitoin dan penisilin dikaitkan dengan limposit T tersensitisasi yang ada dalam ada

disirkulasi darah sel efektor utama pada reaksi yang dipeltarai IgE adalah sel mastosit yang

Page 14: alergi

diaktifasi oleh antigen yang dalam waktu beberapa detik dapat melepaskan sitokin pro-

inflamasi sebagai respon terhadap antigen, sehingga sel itu penting dalam fase induksi

respons antigen IGE karena merupakan sumber IL-4 tetapi disamping itu sel T juga penting

dalam fase efektor pada reaksi yang dipelentarai oleh sel T.32

Pengenalan obat limfostit T

Klon sel T spesifik obat dapat diperoleh dari darah pasien yang alergi terhadap

banyak obat, termasuk penisilin, sulfonamida, iodicaine, carbamazepin dan penitoin.

Sebagian besar sel T spesifik obat mengekspresikan reseptor αβ dengan fenotip CD4+ atau

CD8+ dan aktifitasnya diatur oleh MHC kelas 1 dan kelas 2. Pola produksi klon sel T spesifik

obat bermacam-macam : klon spesifik, benzyl penisilin merupakan klon yang memproduksi

sitokin dengan pola seperti Th1, taiutu IL-2 dan IFN-γ dengan kadar tinggi, sedangkan klon

spesifik lidocaine memproduksi sitokin campuran TH0 dan TH2. Penelitian lain

mengungkapkan bahwa limfosit pasien alergi obat dengan gelaja reaksi kulit

mengekskresikan HLA-DR yang kadarnya sesuai dengan beratnya reaksi. Hal ini

membuktikan peranan limfosit yang berada dikulit untuk menginduksi reaksi alergi pada

kulit. 32. Walaupun aada bukti bukti peranan sel T dalam alergi terhadap oabt,. Walaupun

aada bukti bukti peranan sel T dalam alergi terhadap oabt, sulit menggunakan limfosit untuk

menentukan diagnosis karena jumlah klon sel T spesifik obat biasanya sangat sedikit. 32

Metabolism obat dan pembentukan antigen

Salah satu hal yang perlu dipertimbangkan pada respon imun terhadap obat adalah

apakah obat itu secara kimiawi reaktif dan mampu berikatan secara kovalen dengan protein

carier. Bila tidak maka ia memerlukan metabolism oksidatif untuk menjadi reaktif. Beberapa

jenis obat cenderung berikatan dengan protein atau makromolekul lain invivo, sehingga

terbentuk kompleks hapten-protein yang bersifar imunogenik (hipotesis hapten).32 Beberapa

jenis obat lain tidak mengikat protein secara langsung tetapi metabolit obat yang terbentuk

akibat perombakan enzimatik in vivo dapat mengadakan konjugasi dengan protein kemudian

menjadi imunogenik.32,33 Salah satu enzim yang memperantarai metabolism oksidatif obat

adalah golongan enzim cytochrome P450 yang menghasilkan happen yang dikenal oleh sel T

tersensititasi. Contoh obat yang secara sepontan membentuk happen adalah penisilin dan B

laktam, bahwa klon sel T spesifik distimulasi carier. Alternative lain adalah bahwa klon sel T

spesifik distimulasi oleh obat yang dipresentasikan oleh APC: dalam hal ini metabolisme obat

secara enzimatik maupun pembentukan konjugat obat carier tidak lagi diperlukan.

Page 15: alergi

Hepar pada umumnya menjadi tempat perombakan obat dan tempat terjadinya

konjugasi sehingga tidak heran kalau hepar sering menjadi organ sasaran reaksi alergi obat,

tetapi akhir ini diketahui bahwa monosit juga mengekspresikan enzim cytochcrom P450

dengan kadar tinggi yang mungkin dapat mengakibatkan oksidasi obat dalam darah, kulit dan

jaringan perifer lain.

Hal lain yang mempengaruhi reaksi alergi obat alah farktor majemuk diaktaranya

umur dan sifat genetic individu ersangkutan. Reaksi alegi obat jarang dijumpai pada anak

kecil diduga hal ini disebabkan perkembangan sistem imun yang belum lengkap atau

kemungkinan terpapar pada obat pada anak yang terlalu besar sama halnya seperti pada

reaksi alergi yang lain, factor genetic mempengaruhi sifat structural reseptor pada permukaan

sel kemampuan untuk menyulut reaksi imunologi pelepasan mediator dan lain-lain sehingga

manifestasi klinik reaksi alergi obat berbeda antara satu individu dengan individu yang lain.

Manifestasi klinik alergi obat

Manifestasi klinik obat bermacam-macam, tergantung opada reaksi imunologik yang

ditimbulkan dan oragan atau jaringan yang yang menjadi sasaran. Reaksi anafilaktik

merupakan rekasi yang paling berbahaya dan sering fatal rekasi yang lain dijumpai adalah

anemia hemolitik, serum sickness, vaskulitis reaksi arthus, nefritis dan lain lain. walupun

adanya reaksi imunologiktidak dapat dipastikan secara langsung, alergi oabat dapat diduga

bila dijumpai keadaan berikut :32,33

a. Adanya kelainan dari berbagai oragan sekaligus, misalnya apada, kulit, kelenjar

limpe, sendi, ginjal, susunan saraf perifer khususnya disertai demam.

b. Adanya kelainan pada kulit msalnya urtikaria, eksim, ptechiae aatu ertema

c. Perubahan hemologik yang menyertai gejala alergi, misalnya eosinofilia, limfosit

plasmositoid dalam sirkulasi, destruksi eritrosit, leukosit atau rombosit

d. Menghilangkan gejala setelah pemberiann obat dihentikan

e. Pemaparan pada obat yang sama walaupun dosisnya kecil, menimbulkan kembali

gejala alergi

f. Risiko reaksi anafilaktik lebih sering terjadi pada awal pemberian obat dibandingkan

waktu terapi sudah berlangsung beberapa saat, dan tidak ada korelasi anatara dosis

obat dengan beratnya manifestasi klinik.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM PADA ALERGI

Page 16: alergi

Hingga saat ini sudah banyak perkembangan dalam metode laboratorium untuk

menunjang diagnosis dan evaluasi penderita alergi. Sebagian metode laboratorium lebih

banyak digunakan untuk menunjang riset pada penderita alergi dan belum banyak digunakan

untuk pelayanan laboratorium secara rutin, walaupun dimasa mendatang besar kemungkinan

test-test tertentu akan diterapkan diklinik.

Pemerikasaan seputum merupakan cara lanhsung untk mengetahi adanya imflamasi

saluran nafas secara non inflasif yang membedakan palasma dari penytakit baru lain.

terdapatnya eisinofi dari sekutum indkasi untuk asma, sedangkan predominasi neutrofil

merupakan cirri penyakit paru obstrutif kronnik walaupun demikian pemeriksaan sekutum

banyak kendalanya. Prosedur induksi merupakan untuk memperoleh sekutum akan

memeyebabkan influx neutrofil yang mengganggu interpretasi hasil test.36

Kadar allergen dilingkungan atau dirumah penederita meruakan factor resiko pentying

untuk timbulnya alergi. Namun hingga saat ini pengukuran kadar allergen seperti kadar

allergen tunau, masih terbatas dalam penelitian tetapi kelak mungkin dapat digunakan sebgai

proman untuk penatalaksanaan. Berbagai cara setandarisasi allergen telah dikembangkan ,

demikian pula metode pengukuran, diantara metode difusii radial dan RIA,cross

immunoelectrophoresis untuk menganalisis ekstrak allergen, polyacylamide gel

electrophoresis, immunoblotting dan inhibition immunoassay.37

Uji kulit hingga saat ini masih dilakukan secara luas untuk menunjang diagnosis

allergen allergen tertentu. Metode ini dapat dilakukan ecara masa dan waktu singkat dengan

hasil cukup baikprinsip test ini adalah bahwa adanya igE spesifik pada perukaan basofil aatu

sel mastosit pada kulit akan merangsang pelepasan histamine,, leukotrien dan mediator lain

bila igE tersebut berikatan dengan allergen yang digunakan pada uji kulit, sehingga

menimbulkan reaksi positif.tetapi uji kulit tidak selalu memberikan hasil positif walaupun

pemeriksaan dengan jalan lain berhasil positif, terutama pada alergi terhadap obat. Besar

kemungkinan bahwa alrgi ditunjukan pada epitopyang terdapat pada metabolit obat dan

bukan terhadap obat itu sendiri uji kulit yang menggunakan obat bersangkutan memberikan

hasil negative. Hasil uji kulit karenannya sulit diinterpretasikan untuk mementukan ada

tidaknya alergi sistemik terhadap obat. Berbaud dan kawan-kawan melakukan studi untuk

mendapatkan cara mendeteksi alaergi sistemik terhadap obat. Pertama dilakukan patch test

terhadap obat yang dicurigai; bila hasilnya negative dilakukan prick test dan bila hasilnya

tetap negative dilakukan uji intradermal. Reaksi positif dapat terjai segera atau dalam eaktu

Page 17: alergi

bebrapa hari pada DTH. 72% penederita menunjukan hasil positif dan pada 42% bereaksi

positif pada patch test , sehingga hal ini menunjukan bahwa test itradermal lebih sensitive

dibandung patch test.

Pengukuran kadar IgE total dan IgE spesifik hingga saat ini mendonasi laboratorium

untuk menujnag diagnose. Metode yang digunaka pada umumnya metode ELISA atau RAST

dengn berbagai modifikasi tingginya kadar igE sering klai membantu konfirmasi adanya

konfirmasi namun demikian , dalm interpretasikan hasil test perlu diingant untuk tidak seta

merta untuk menyingkirkan alergi bila kadar igE rendah sebaliknya tidak memastikan

diagnosis bila kadar igE tinggi. Disamping itu, kadar igE juga tergantung pada usia igE tidak

diketahiu tidak dapat menembus plasenta karena itu kadar igE dalam darah tali pusat

biasanya sangat sendagh (< 2 IU/ml). kadar igE meningkat secara progesif pada anak normal

pada usia 10-15, kemudian menurun kembali hingga mencapai kadar igE pada orang dewasa

non-atopik yaitu sekitar 90 IU/ml. anak anakyang atopic menunjukan peningkatan kadar igE

lebih cepat dan lebih tajam sejak tahun pertama dibandingkan mereka yang nonatopik. Diatas

usia 14 thn, kadar igE melebihi 333 IU/ml (800 ug/ml) pada umumnya abnormal tinggi.

Kadar igE pada penderita alergi biasanya berfluktuasi sesuai pemaparan individu tersebut

terhadap allergen pada saat pemaparan kadar igE pada umumnya lebih tinggi dibandingkan

saat tidak terpapar (kadar basal) tetapi pada penderita alergi kadar IgE basal pada umumnya

lebih tinggi dibanding penderita nonatopik. Kadar basal ini dipengaruhi oleh factor genetic

dan telah dibuktikan bahwa limfosit T memegang peran penting pada pengaturan dalam

sintesis IgE. Anti IgE dan anti FcERI dapat berfungsi sebagai antigen yang bersifat klinik

sama dengan reaksi alergi. Karena itu deteksi anti IgE atau anti FcERI dalam serum

mempunyai makna diagnosis dan bahkan kemungkinan besar makna terapetik di kemudian

hari. Selain meningkatkan kadar IgE spesifik, allergen juga dapat meningkatkan kadar IgG

spesifik terhadap aergen bersangkutan. Pada individu yang tidak terimunisasi dan kemudian

terpapar pada allergen tertentu kadar IgG spesifik biasanya rendah. Sebaliknya pada individu

yang pernah mendapat injeksi antigen tertentu, baik secara kebetulan (gigitan serangga atau

injeksi obat) maupun secara aktif mendapat imunoterapi allergen, kadar IgG spesifik dapat

sangat meningkat. Indikasi pengukuran kadar IgG spesifik diantaranya adalah untuk

mengetahui apakah seseorang pernah terpapar pada antigen tertentu atau untuk memantau

respon imun humoran terhadap antigen. 42

Pemeriksaan terhadap penglepasan histamine oleh basofil in vitro dianggap

bermanfaat untuk menentukan adanya alergi, misalnya mengevaluasi status alergi penderita.

Page 18: alergi

Pemeriksaan ini menunjukkan korelasi baik dengan uji kulit yang seringkali disarakan tidak

nyaman oleh penderita. disamping itu dismaping itu kelebihan test penglepasan histamin dari

uji kult adalah menghindari kemungkinan terjadi reaksi anafilaktik, menghindari bahaya

booster respons imun sebelumnya dan dapat dilakukan pada penderita yang pnderita

dermatitis dengan lesi kulit luas yang tidak memungkinkan dilakukan uji kulit. Berbagai kit

reagen untuk mengukur kadar histamine dengan cara immunoassay sudah tersedia dipasaran

tetapi karna pemeriksaan dengan kit ini memerlukan darah segar, penggunaannya menjadi

lebih terbatas dibanding test RAST. Pengukuran kadar histamine serum juga terbatas karena

histrain segera dirombak oleh diamin-oksidase dan metiltransferase sehingga half-life

histamine sangat pendek.

Aktivitas sel mastosit juga dapat diukur dengan parameter enzim triptase dan

pengukuran kadar enzim triptase dalam serum penderita bermanfaat untuk menunjang

diognasis atopi. Triptase adalah protease yang hanya terdapat dalam sel mastosit manusi adan

dalam basofil walaupun kadarnya dalam basofil jauh lebih rendah (1/500 kadarnya dalam

mastosit). Enzim ni terdapat dalam granula dan dilepaskan pada saat aktivasi.

Penglepasannya parallel dengan penglepasan histamin. Kelebihannya adalah bahwa enzim ini

stabil dan immunoreaktifitasnya tidak hilang dalam waktu beberapa hari. Dengan demikian

enzim ini dapat digunakan sebagai pertanda aktivitas sel mastosit dan kadarnya dalam serum

menunjukan tingkat aktivitas sel tersebut. Penderita dengan reaksi anafilaksis menunjukn

kadar trptase yang meningkat dan menetap dalam jangka waktu cukup lama sehingga dapat

digunakan untuk diagnosis anafilaksis dan mementau allergen challenge.

Uji reaksi imunologik terhadap obat ditunjukan untuk mendeteksi respons imun

spesifik terhadap orang tertentu dengan menentukan IgE spesifik atau mengidentifikasi

lmfosit yang tersensitisasi oleh obat bersangkutan. Tabel 3d-2 memeperlihatkan lasifikasi

reaksi imunologik terhadap obat dan test yang mungkin bermanfaat untuk mendeteksinya.

Table 3d-2 : Klasifkasi reaksi imunologik terhadap obat44

Reaksi Uraian Antibodi Sel Lain-lain Klinik Jenis Test

Tipe I Anafilaktik IgE Basofil,

mastosit

Anafilaksis

utikaria

Anafilaktik

urtikaria

Uji-kulit,

histamine

release,

Page 19: alergi

RAST

Tipe II Sitotoksik

Sitolitik

IgG, IgM Semua sel

dengan

isoantigen

C’, RES Apten

nemia

hemolitik

nefritis

IgG, IgM

spesifik

Tipe III Kompleks

imun

C’ Serum

sickness,

erupsi

Circulating

immune

compl C3,

C4, CH50

Tipe IV DTH Limfosit Dermatitis

kontak

Uji-kiulit,

stimulasi

Ly in vitro

Pengukuran kadar berbagai jenis leukotrien seperti LTB4 yang berfungsi sebagai

kemotaktik, LTC4 dan LTE4 yang merupakan brokhokonstriktor yang poten belum terbukti

mempunyai makna klinik demikian pula pengukuran kadar metabolit PGD2 dalam plasma

penderita alergi masih sulit dilakukan secara rutin.35 Pengukuran kadar sitokin

bermanfaat untuk mengetahui fenotip respons Th, misalnya ketidak mampuan seorang anak

untuk memproduksi IFN-ɤ merupakan faktor resiko untuk terjadi atopi di kemudian hari,

demikian pula pengukuran kadar IL-4 mungkin akan sangat bermakna di kemudia untuk

diagnosis dan evaluasi penderita alergi. Cytokine assay dapat dilakukan dengan cara ELISA,

RIA, maupun bioassay. ELISA dan RIA pada umunya lebih sederhana dan tidak dipengaruhi

oleh berbagai inhibitor dalam plasma, sedangakan bioassay lebih sensitive dan medeteksi

sitokin dalam bentuk aktif. Tetapi bioassay memerlukan cara kerja yang cermat, memerluka

cell-line , lingkungan yang steril dan memerlukan sarana untuk kultur sel dan harvesting yang

memenuhi syarat. 35 Ada beberapa sitokin yang perlu diukur di tingkat Mrna, dan untuk ini

diperlukan amplifikasi dengan PCR.10

Upaya mengatasi masalah alergi di kemudian hari akan banyak diarahkan untuk

menentukan dan menyingkirkan faktor resiko. Dalam hal ini perkembangan dalam

bioteknologi sangat membantu untuk mengidentifikasi faktor-faktor genetik yang bereperan

dalam alergi. Berbagai studi telah dilakukan melalui berbagai pendekatan, antara lain

positional cloning approach45 dan candicate gene approach. 7 Penelitian-penelitian lebih

lanjut perlu dilakukan untuk menentukan apakah hasil penemuan-penemuan itu dapat

Page 20: alergi

diaplikasikan di klinik, baik sebagai faktor prediksi maupun kemungkinan penerapan terapi

gen di kemudian hari.