alergi

31
Bab IV PENYAKIT ALERGI Istilah alergi dikemukakan pertama kali oleh von Pirquet pada tahun 1906, yang pada dasarnya mencakup baik respon imun berlebihan yang menguntungkan seperti terjadi pada vakisnasi, maupun mekanisme yang merugikan dan menimbulkan penyakit. Dewasa ini alergi diartikan sebagai reaksi imunologik terhadap antigen secara tidak wajar atau tidak tepat pada seseorang yang sebelumnya pernah tersensitisasi dengan antigen bersangkutan dan sebagian besar para pakar lebih suka menggunakan istilah alergi dalam kaitannya dengan respon imun berlebihan yang menimbulkan penyakit atau yang disebut reaksi hipersensitivitas tipe I. Ada dua tahap utama dalam sejarah penemuan patogenesis alergi atopik seperti dirangkum oleh Romagnani yaitu : tahap pertama yang dimulai pada 1879 pasa saat mana Ehrlich untuk pertama kali menemukan sel mastosit dan eosinofil, dan penemuan reagin oleh Prausnitz dan Kaustner pada tahun 1921, diakhiri dengan identifikasi IgE yang mengungkapna sifat reagin oleh Ishizaka dan Johnson. Konsep alergi yang dikemukakan pada saat itu adalah proses inflamasi yang disebabkan interaksi antara alergen lingkungan dan IgE yang terikat pada reseptor IgE antara alergen lingkungan dan IgE yang terikat pada reseptor IgE pada sel monosit yang melepaskan berbagai mediator : Tahap kedua dimulai pada 1986 dengan penemuan sitokin yang diproduksi oleh sel T yang

Upload: ayu-theresia-marboen

Post on 22-Nov-2015

39 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Bab IVPENYAKIT ALERGI

Istilah alergi dikemukakan pertama kali oleh von Pirquet pada tahun 1906, yang pada dasarnya mencakup baik respon imun berlebihan yang menguntungkan seperti terjadi pada vakisnasi, maupun mekanisme yang merugikan dan menimbulkan penyakit. Dewasa ini alergi diartikan sebagai reaksi imunologik terhadap antigen secara tidak wajar atau tidak tepat pada seseorang yang sebelumnya pernah tersensitisasi dengan antigen bersangkutan dan sebagian besar para pakar lebih suka menggunakan istilah alergi dalam kaitannya dengan respon imun berlebihan yang menimbulkan penyakit atau yang disebut reaksi hipersensitivitas tipe I.Ada dua tahap utama dalam sejarah penemuan patogenesis alergi atopik seperti dirangkum oleh Romagnani yaitu : tahap pertama yang dimulai pada 1879 pasa saat mana Ehrlich untuk pertama kali menemukan sel mastosit dan eosinofil, dan penemuan reagin oleh Prausnitz dan Kaustner pada tahun 1921, diakhiri dengan identifikasi IgE yang mengungkapna sifat reagin oleh Ishizaka dan Johnson. Konsep alergi yang dikemukakan pada saat itu adalah proses inflamasi yang disebabkan interaksi antara alergen lingkungan dan IgE yang terikat pada reseptor IgE antara alergen lingkungan dan IgE yang terikat pada reseptor IgE pada sel monosit yang melepaskan berbagai mediator : Tahap kedua dimulai pada 1986 dengan penemuan sitokin yang diproduksi oleh sel T yang mengatur produksi IgE oleh sel B, serta deskripsi sel Th1 dan Th2. Saat ini pengertian reaksi alergi adalah akibat yang ditimbulkan oleh respon sel Th2 terhadap allergen lingkungan. Respons sel Th2 spesifik allergen merupakan pemicu rektrutmen dan keterlibatan berbagai jenis sel lain maupun berbagai faktor terlarut dan molekul adhesi yang menghasilkan kaskade inflamasi yang sangat kompleks. Karena itu alergi atopik saat ini disebut sebagai hipersensitivitas terhadap allergen yang dipicu oleh sel Th2 dan dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan.Dalam 20-30 tahun terkahir telah terjadi peningkatan dalam angka kejadian alergi, bahkan di negara berkembang alergi atopik dapat dijumpai pada 20% populasi yang mencakup berbagai jenis kelainan yang dikaitkan dengan IgE, misalnya asma, rinitis alergi, dermatitis atopik, alergi makanan dan lain-lain. Peningkatan prevalensi alergi diduga disebabkan berbagai faktor, diantaranya perubahan gaya hidup, misalnya penggunaan sistem pengatur suhu ruangan didalam rumah disertai ventilasi yang kurang, penggunaan antibiotik spektrum luas, infeksu virus, diet dan lain-lain. Walaupun pada umumnay jarang menimbulkan kematian, alergi menyebabkan penderita merasa tidak nyaman. Perkembangan IPTEK akhir-akhir ini dapat mengidentifikasi berbagai faktor genetik dan lingkungan dan mendukung pernyataan bahwa kedua faktor tersebut sangat mempengaruhi terjadinya atopi.Konsep patogenesis alergi yang dianut saat ini adalah bahwa timbulnya alergi dan perjalanan penyakitnya ditentukan oleh interaksi antara gen dengan lingkungan; seseorang menderita alergi kalau ia memang peka (susceptible) sekaligus terpapar pada rangsangan yang seusai atau tepat. Ada beberapa konsep mengenai interaksi gen lingkungan ini. Yang pertama adalah bahwa baik genotip kepekaan maupun paparan terhadap faktor lingkungan, keduanya diperlukan untuk menimbulkan risiko alergi. Yang kedua adalah bahwa paparan terhadap allergen lingkungan meningkatkan risiko terjadinya alergi pada semua individu, tetapi pada individu dengan genotip kepekaan, risikonya lebih besar. Kemungkinan ketiga adalah paparan alergen lingkungan hanya meningkatkan risiko pada mereka yang peka, dan kemungkinan keempat adalah baik lingkungan maupun genotip meningkatkan risiko.Faktor genetik berperan dalam mengatur berbagai aspek timbulnya gejala alergi, diantaranya mengatur pembentukan IgE, respon imun spesifik terhadap allergen tertentu dan respons imun berlebihan. Upaya pencegahan timbulnya alergi saat ini terutama ditujukan untuk mengidentifikasi sedini mungkin individu berisiko tinggi dan memberikan terapi profilaktik untuk mencegah terjadinya penyakit kronik. Berbagai metod untuk mengidentifikasi fajtor eksogen dan endogen telah dikembangkan dalam rangka memperoleh niomarker yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk memberikan terapi yang tepat. Selain IgE yang sudah lama diketahui sebagai faktor yang merupakan mediator terjadinta alergi bahkan digunakan untuk menunjang diagnosis etiologi, berbagai substansi biologis lain saat ini telah diketahui sangat erat kaitannya dengan patofisiologi alergi, misalnya berbagai jenis sitokin, dan berbagai jenis substansi biokimiawi lain yang dihasilkan oleh sel-sel tubuh serta baerbagai molekul permukaan dan reseptor seluler.PERAN LIMFOSIT PADA ALERGIDalam beberapa tahun terakhir terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa ada respons yang berbeda antara sel Th1 dan Th2, dan bahwa respons sel Th2 erat kaitannya dengan alergi. Kalau respons sel Th1 menghasilkan IL-2, IFN- dan TNF-, yang mengaktivasi makrofag IL-4, IL-5,IL-10 dan IL-13 yang bertanggung jawab atas respons antibodi, termasuk produksi IgE, dan menghambat fungsi makrofag. Polarisasi respons imun spesifik Th1 dan Th2 tidak berasal dari lineage berbeda, tetapi berasal dari precursor sel Th sama yang berkembang kearah predominan sel sel Th1 atau Th2 atas pengaruh faktor genetik dan lingkungan pada tungkat presentasi antigen. Pakar lain menyatakan bahwa sel T CD4+ pertama-tama berkembang dahulu menjadi Th0 yang menghasilkan profil sitokin yang tidak selalu sama, tetapi bila stimulasi antigen berlanjut, terjadi polarisasi ke arah sel Th1 atau Th2, masing-masing memproduksi sitokin tertentu. Faktor genetik dan lingkungan mempengaruhi diferensiasi sel Th1/Th2 dengan menentukan predominasi sitokin tertentu dalam lingkungan mikro (microenvironment) dimana sel bersangkutan diaktivasi. Adanya Il-4 sejak awal dalam lingkungan mikro merupakan rangsangan kuat untuk berkembang ke arah sel Th2, sedangkan IL-12 dan IFN dalam lingkungan mikro menyebabkan perkembangan sel Th kearah Th1. Mekanisme yang bertanggung jawab atas produksi IL-4 awal maupun sumber IL-4 tidak diketahui, tetapi sel Th naif sendiri ternyata dapat memproduksi sejumlah kecil IL-4 sejak awal stimulasi. Efek induksi IL-4 mendominasi sitokin yang lain, sehingga bila kadar IL-4 mencapai ambang yang diperlukan sel Th berdeferensiasi menjadi Th2. Selain sitokin predominan dalam lingkungan mikro, diferensiasi sel Th1/Th2 juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bergantung pada kontak (contact dependent factors), diantaranya yang paling penting adalah ligasi TCR, dan sinyal yang diberikan oleh interaksi CD40-CD40L dan molekul ko-stimulator B7-CD28. Sin yal kostimulasi meningkatkan ekspresi IL-4 pada saat pengenalan dan meningkatkan diferensiasi sel TCD4 naif menjadi sel efektor yang memproduksi IL-4. Selanjutnya faktor yang berperan dalam polarisasi sel Th1/Th2 adalah faktor transkripsi, termasuk diantaranya keluarga NFAT yang mampu menginduksi transkripsi promoter IL-4.Profil sitokin yang diproduksi oleh sel T CD4+ pada penyakit alergi dan non-alergi dipengaruhi oleh jenis dan dosis antigen, jenis APC, sitokin dalam lingkungan mikro, sinyal ko-stimulasi yang diterima oleh sel T, dan faktor pejamu khususnya faktor genetik. Jadi profil sitokin dan fungsi sel T CD4+ tidak ditentukan sebelumnya melainkan bergantung pada bagaimana sel itu distimulasi oleh antigen. Seperti halnya sel Th1 dan sel Th2 yang aktif, populasi sel T memory yang dihasilkan in vivo dalam kondisi polarisasi, cenderung menghasilkan sitokin yang sama apabila diaktivasi, tetapi profil sitokin yang dihasilkan oleh sel T memory dapat berubah, misalnya bila distimulasi dalam lingkungan IL-12 sel Th2 memory dapat memproduksi IFN- yang merupakan sitokin Th1. Dilain pihak, bila diberikan dalam dosis tinggi, IL-12 dapat meningkatkan sintesis IL-4, mungkin melalui peningkatan produksi Il-10. Walaupun memory yang reversibel ini akan hilang bila distimulasi berulang kali, karena sel T memory akan berdeferensiasi menjadi sel Th2 efektor yang tidak memiliki reseptor IL-12. Sebenarnya regulasi respons imunyang melibatkan sel Th1/Th2 lebih kompleks, misalnya sel Th2 yang diidentifikasi terutama karena ia memproduksi IL-4 dan bukan IFN-, dapat digolongkan lebih lanjut dalam golongan dengan fungsi berbeda. Jumlah Il-5, IL-10 dan TGF- dapat bervariasi dan mengubah fungsi spesifik sel Th2. Heterogenitas produksi sitokin ini dapat menjelaskan mengapa pada respons yang lain diproduksi IgG4 atau IgE sedangkan pada respons yang lain diproduksi IgA atau IgG2. Disamping itu berbagai penelitian membuktikan bahwa sebagian sel Th2 dapat berfungsi sebagai sel regulator untuk menekan respons imun, dan karena sebagian produksi sel Th2, seperti TGF- mempunyai sifat supresor yang potensial, ada kemungkinan bahwa sel Th2 yang berfungsi sebagai regulator/supresor berbeda dengan sel Th2 konvensional. Hasil penelitian respons sel T CD4+ pada mukosa mulut mengungkapkan bahwa sel T CD4+ yang memproduksi IL-4 dan TGF- dapat diikduksi dengan pemberian antigen dosis rendah, sedangkan dosis oral yang tinggi, menginduksi toleransi atau menyebabkan sel menjadi tidak responsif.Gambar 3d-1 memperlihatkan berbagai jalur alternatif diferensiasi sel Th1/Th2 dan hubungannya dengan alergi.

Pakar lain yang mempelajari peran sel T pada alergi, menggolongkan sel T berdasarkan reseptor yang diekspresikan yaitu sel T- dan T-. Dikemukakannya bahwa sel T- spesifik allergen terdapat dalam jumlah besar pada mukosa saluran nafas penderita asma, dan karena sel T- sejak lama diketahui merupakan unsur pertahanan lini pertama pada permukaan epitel, diduga sel itu juga berperan pada patogenesis asma. Ada indikasi bahwa sel T- membantu fungsi sel T- berfungsi penuh. Pengenalan allergen oleh sel T- tidak memerlukan pemrosesan dan presentasi melalui MHC, tetapi bergantung pada pembentukan kompleks antara antigen atau epitop allergen dengan TCr. Sel T- yang teraktivasi dapat memberikan sinyal kontak yang menginduksi sel B untuk melakukan Ig switch dan menghasilkan IgE. Dalam beberapa penelitian juga terbukti bahwa sel T- menghasilkan sitokin dengan profil yang sama dengan yang dihasilkan oleh sel Th2.Interaksi sel Th2 dengan sel B untuk menginduksi sintesis IgE dilakukan dengan bantuan ligasi CD40 oleh CD40L. Ligasi CD40-CD40L ini pentingn untuk isotype switching Ig menjadi IgE, tetapi disamping ligasi CD40-CD40L, interaksi antara sel Th2 dengan sel B juga memerlukan ko-stimulasi melalui berbagai molekul lain. Gambar 3d-2 memperlihatkan interaksi sel T dengan sel B pada pembentukkan IgE. (dimodifikasi dari Bacharier)

Sintesis IgE oleh sel B memerlukan 2 sinyal. Sinyal pertama dihasilkan oleh IL-4 yang mengaktifkan transkripsi pada lokus C, jadi menentukan spesifinitas isotip IgE dan sinyal kedua melalui ligasi CD40-CD40L mengaktifkan mesin rekombinasi dan menghasilkan rekombinasi DNA menjadi IgE.Selain molekul CD3, CD4, CD28 dan CD40 beserta ligandnya, molekul CD19, CD22 dan CD58 yang diekspresikan pada sel B terbukti juga berperan dalam interaksi antara sel T dan sel B. Seperti telah diuraikan terdahulu, selain memproduksi IL-4, sel Th2 yang teraktivasi juga memproduksi IL-4,sel Th2 yang teraktivasi juga memproduksi berbagai sitokin lain (GM-CSF,IL-5,IL6,IL-9,IL-10).sebagai respon terhadap sitokin yang diproduksi oleh sel Th2, sel-sel lain memproduksi berbagai mediator misalnya eotaxin, TGF-B, IL-11 dan interaksi antara berbagai faktor diatas bertanggung jawab atas mekanisme atau patofisiologi alergi yang dinyatakan dengan produksi igE, rekrutmen dan aktivasi mastosit, basofil dan eosinofil, fibrosis subepitel dan perubahan bentuk jaringan. Dengan pengertian bahwa produksi sitokin Th2 pada penderita alergi menimbulkan penyakit alergi, sedangkan sel Th1 pada penderita alergi menimbulkan penyakit alergi , sedangkan sel Th1 dengan IFN-y yang diproduksinya menghambat stimulasi sintesis igE, maka konversi sel Th2 spesifik allergen menjadi sel Th1 dianggap bermanfaat untuk penderita tersebut. PERAN FAKTOR GENETIK PADA ALERGI Melalui berbagai penelitian diketahui bahwa pola pewarisan penyakit alergi tidak mengikuti konsep mendel seperti yang terjadi pada penyakit genetik tunggal, tetapi mengikuti konsep multigenik yang kompleks. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa kecenderungan sel T berkembang menjadi sel Th2 diatur oleh bermacam-macam sitokin, reseptor sitokin dan berbagai faktor transkripsi. Berdasarkan hal itu diduga bahwa kecenderungan menderita penyakit alergi terletak pada berbagai gen dan kecenderungan menderita penyakit alergi terletak pada berbagai gen dan kecenderungan itu berbeda antara satu individu dengan individu lainnya. Penelitian awal yang berhubungan dengan genetik pada atopi difokuskan pada beberapa gen yang besar kemungkinannya terlibat dalam reaksi alergi , misalnya gen MHC, gen yang menyandi sitokin pro-inflamasi , gen yang menyandi reseptor igE dengan afinitas tinggi dan lokus TCR. Selain itu juga dupelajari beberapa gen lain produknya diduga berperan dalam patofisiologi penyakit alergi, misalnya gen yang menyandi molekul adhesi , gen yang menyandi khemokin dan reseptornya dan gen yang menyandi faktor penglepasan histamin (histamine release factor). Gen yang mengatur respon spesifik terhadap allergen dihubungkan dengan HLA. Hasil berbagai penelitian mengungkapkan bahwa MHC kelas 11, diantaranya HLA-DRBI, DRB3 dan DRB5 mempunyai peranan penting dalam mengatur respons igE spesifik terhadap beberapa allergen tertentu. HLA-DR2, khususnya DR2.2 dan DR2.12 juga terbukti menetukan ketanggapan (responsiveness) seorang individu terhadap allergen dan dengan demikian berperan dalam mengekspresikan sensitivitas individu bersangkutan terhadap atopi. Seorang individu dengan HLA-B8 dan HLA-DW3 menunjukkan kepekaan yang lebih besar terhadap alergi dibanding orang normal, dan hal ini diperkuat dengan kadar igE spesifik yang lebih tinggi. Gen yang menyandi subunit B dari reseptor igE afinitas tinggi (FceRI) yang terletak pada kromosom 11q13, terbukti merupakan gen atopi yang sangat poten. FceRI pada permukaan APC mempunyai peranan besar dalam pengaturan sintesis igE. Ekspresinya yang bervariasi pada APC memungkinkan reseptor ini menyesuaikan fungsi stimulasi dan sekresinya dengan lingkungan mikro. Hal yang hampir sama dikemukakan oleh pakar lain yang menyatakan bahwa subunit B mempengaruhi proses transduksi sinyal melalui reseptor dengan memperhalus kepekaan reseptor terhadap ligand , atau dengan mengatur volume sinyal yang di transduksikan.Tabel 3d-1 beberapa gen yang diduga berperan pada asma atau atopi LOKASIGENFUNGSI GEN

2qCD28Proliferal sel T

3pKelompok

Khemokin Rekrutmen sel T dan makrofag

5qIL-3-5,9,13

B2AR

GRLSwitching gel B, proliferasi sel mastositReseptorberpasangan dengan protein G dalam paru. Reseptor glukokortikoid

6p21-p22Region HLA

TNF Presentasi antigen Memperantairespons inflamasi

12q23NOSIFN-YProinflamasi/bronkhodilatorMenghambat aktivitas IL-4

*dikutip dari Howard * B2AR=B2 adrenergic receptor GRL = glucocorticoid receptor , NOS + nitric oxide sy thase.Suatu lokus pada kromosom 5q31-q33 merupakan kelompok gen yang mengatur produksi igE secara umum. Gen yang menyandi IL-4 dan beberapa gen lain dalam lokus tersebut mengatur produksi igE melalui mekanisme non-cognate , sehingga diduga bahwa peningkatan ekspresi IL-4 dapat menginduksi sel B (yang diprogramkan untuk membentuk igG terhadap berbagai jenis antigen) untuk memproduksi igE melalui class switching . berbagai faktor mengatur transkripsi gen IL-4 diantaranya NFAT (nuclear factor of activated T cells ) STAT-6 (signal transducer and activators of transcription-6), proto-onkogen cmaf dan GATA -3 . hingga saat ini bukti keterlibatan faktor-faktor transkripsi tersebut pada alergi adalah dalam menginduksi diferensiasi sel T kearah Th2 , jadi lebih berfungsi sebagai regulator transkripsi secara umum untuk berbagai sitokin Th2, dan tidak secara langsung mengatur transkripsi gen IL-4 , kecuali c-maf yang menunjukkan aktivitas transkripsi spesifik untuk promoter IL-4. Gen CD28 yang terletak pada kromosom 2q dianggap merupakan molekul accessory dalam mengatur kadar igE. Kelompok gen sitokin yang terletak pada kromosom 5q terdiri atas banyak gen yang berperan pada atopi , termasuk diantaranya gen IL-4,IL-5,IL-10,dan IL-13, IL-4 merupakan komponen kunci dalam menginduksi sintesis igE setelah stimulasi antigen. Adanya beberapa polimorfisme reseptor IL-4 yang terletak pada kromosom 6 juga telah dilaporkan dan kemudiaan terbukti bahwa polimorfisme ini dihubungkan dengan kadar igE dan asma atopik. Walaupun faktor genetik menentukan susptibilitas seseorang faktor lingkungan merupakan faktor yang penting untuk manifestasi klinik penyakit alergi , seperti di perlihatkan pada gambar 3d-3. PERANAN FAKTOR LINGKUNGAN Seperti telah disebut diatas, faktor lingkungan memegang peranan penting pada alergi. Akhir-akhir ini diketahui bahwa pola reaktivitas sel T terhadap allergen lingkungan yang menandakan fenotip responder terhadap allergen bersangkutan pada orang dewasa, ditentukan sejak sebelum lahir . sensitivitasi awal sel T terjadi dalam kandungan sebagai akibat transfer transplasentral allergen dengan kadar rendah, yaitu bila ibunya terpapar pada allergen bersangkutan pada saat hamil . pada kehamilan yang sukses, respons janin terhadap allergen ini terjadi demikian . rupa sehingga intrinsik condong kearah perkembangan sel Th2. Predominasi sel Th2 pada masa janin ini karakteristik untuk kompartemen sel Th anin dan diperlukan untuk mengurangi reaktivitas sistem imun maternal terhadap fetus serta mencegah perkembangan sel Th1 karena produk sel Th1 sangat toksik untuk plasenta . sel-sel limfosit dalam flasenta diduga memproduksi IL-10 yang menghamabtan fungsi Th1. Predominasi Th2 tersebut tampak jelas pada keluarga dengan riwayat atopi . respons Th2 spesifik allergen pada janin yang berlanjut pada masa anak-anak merupakan gambaran fase induksi alergi atopi dan dihubungkan dengan penurunan kemampuan memproduksi sitokin Th IFN-Y pada neonatus. Penemuan ini menunjukkan kemungkinan mekanisme respons Th2 yang persisten pada anak anak yang atopi. Gambar 3d-4 dan 3d-5 berturut-turut memperlihatkan produksi mRNA IL-4 spesifik allergen dan IFN-Y oleh sel-sel mononuklear individu atopi dan non-atopi menurut umur.

Suseptibilitas (diwariskan)Asma AtopiHiper-responsif bronchialGenetic disease modifying factorsPengaruh lingkungan Pengaruh maternal perinatalAlergen (dl rumah)Infeksi saluran nafas (virus)Asap rokok (polutan)Prematuritas Faktor diet

Asma presimpotatik atau dini

Manifestasi klinik asma(perubahan struktur dan fungsi saluran nafas reversbel dan ireversibel.

Gambar 3d-3 interaksi gen lingkungan dalam perkembangan asma pada anak dikutip dari howard .

Faktor lingkungan yang berperan sesudah lahir merupakan faktor yang lebih penting dalam mempengaruhi reaksi seseorang terhadap allergen lingkungan , bahkan merupakan faktor penyebab meningkatnya prevalensi alegi diseluruh dunia. Diantara faktor lingkungan yang penting adalah allergen dalam rumah , misalnya tungau (housrdust mite) polusi udara , perubahan pola makanan dan paparan mikroba. Perubahan lingkungan berperan dalam perubahan keseimbangan antara perkembangan sel Th1 / Th2 . peningkatkan paparan terhadap beberapa jenis allergen sehingga tungau debu rumah, bulu bintang peliharaan, neoalergen, serta vaksinasi yang mengakibatkan peningkatan Th2, seperti tetanus , pertusis, difteri, menyebabkanperkembangan sel Th condong kearah Th2 dan meningkatkan risiko atopi di lain fhak perubahan flora komensal akibatkonsumsi makanan semisteril, pengunaan air lebih bersih , penurunan paparan terhadap infeksi alami dengan mengurangi jumlah keluarga yang tinggal serumah , akomodasi yang tidak terlalu padat , vaksinasi dan pengobatan antibiotika menyebabkan perkembangan kearah sel Th 1 dan mengurangi risiko atopi. PATOFISIOLOGI Ciri reaksi hipersensitivitas tipe 1 adalah dilepaskannya berbagai mediator oleh sel matosit dan basofil akibat rangsangan allergen yang terikat pada imunoglobin E (igE) yang terdapat pada permukaaan sel-sel tersebut . granula sekretirik sel basofil dan sel mastosit mengandung berbagai mediator baik yang ada sebelumnya (preformed) misalnya histamin , serine protease , heparin maupun yang baru dibentuk sebagai respons terhadap rangsangan , misalnya prostaglandin (PGD2)leukotrien , platelet activating factor (PAF) dan berbagai jenis sitokin. Mediator mediator ini menarik sel-sel inflamasi lain sehingga menimbulkan manifestasi klinik alergi seperti inflamasi , bronkhospasme sekresi lendir berlebihan , peningkatan permeabilitas vaskuler yang berakibat edema. Walaupun penglepasan mediator oleh basofil dan mastosit , khususnya histamin dapat terjadi melalui rangsangan khemokin atau interleukin tertentu (IL-3) tanpa bergantung pada igE (igE independent histamin releasing factor HRF) igE dependent HRF merupakan faktor yang paling penting . sehingga igE dianggap sebagai faktor yang bertanggung jawab atas terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe 1. pada penderita alergi , igE terdapat bebeas dalam serum maupun dalam keadaan melekat pada permukaan sel mastosit dan basofil. Seperti telah diuraikan di atas , pembentukan igE oleh sel B memerlukan bantuan sel T dengan perantaraan berbagai molekul terlarut yang disekresi maupun molekul ko-stimulator yang terdapat pada permukaan sel CD4 yang teraktivitasi . yang paling penting diantara molekul yang terdapat pada permukaan sel ( membrane bound co-stimulatory molecules) adalah ligand untuk CD40 (CD40L) yang di ekspresikan oleh sel CD4 + aktif. Interaksi sel T CD4 dengan sel B melalui reseptor dan molekul ko-stimulator serta pengaruh menginduksi proliferasi dan diferensiasi sel B . diantara sitokin yang berperan pada sintesis igE adalah IL-4 dan IL-3 yang diproduksi oleh sel Th2. Berbeda dengan IL-4 yang hanya diproduksi oleh sel Th2. Berbeda dengan IL-4 yang hanya diproduksi oleh sel Th2 IL-13 selain diproduksi oleh sel Th2 juga di produksi oleh sel Th 1 . dalam hal ini IL-13 membantu meningkatkan efek IL-4 bila konsentrasi IL-4 sub- optimal. Sitokin ini menginduksi sel B naif yang mengekresi kan igM dan igD untuk melakukan immunoglobin class switching sehingga memproduksi igE . dilain fihak sel Th1 memproduksi IFN y yang menghambat fungsi sel Th2 . ada perbedaan yang jelas antara produksi igE pada penderita atopi dan orang normal . penderita atopi memproduksi igE dalam jumlah berlebihan sebagai respons terhadap allergen tertentu , sedangkan orang normal umumnya memproduksi isotip imunoglobin lain , misalnya igG atau igM dan hanya sedikit igE. Reaksi alergi terjadi bila igE terikat silang (crosslinked ) dengan allergen pada permukaan sel efektor seperti sel mastosit atau basofil yang mengakibatkan degranulasi sel-sel tersebut , diikuti keluarnya berbagai mediator yang berperan dalam menimbulkan gejala alergi. Peningkatan igE pada basofil dan sel mastosit terjadi melalui FCERI yang di ekskresikan pada sel-sel tersebut . pada penderita alergi FCERI yang diekspresikan pada sel basofil, mastosit , langerhans, sel dendrintik maupun monosit merupakan reseptor igE dengan afinitas tinggi sehingga igE lebih mudah berikatan dengan FCCRI , konsekuensi yang lain adalah , bahwa kompleks igE FCCRI dapat menangkap lebih banyak allergen atau lebih mudah menangkap allergen yang berukuran besar yang tidak difagositosisoleh makrofag . presentasiantigen atau allergen oleh APC yang diperantarai oleh igE (igE-MAP) kepada sel Th terjadi melalui interaksi dengan FCCERI atau dengan CD23 dan mengakibatkan aktivitasi sistem imun secara terus menerus walaupun kadar antigen rendah . akibatnya adalah sel Th2 akan berproliferasi dan melalui sitokin yang diproduksinya , khususnya 11-4 merangsang banyak sel B untuk melakukan Ig switch dan memproduksi igE . APC yang mengeksresikan FcCRI , khususnya sel langerhans dan sel dendritik pada epidermis diduga mempunyai peranan penting pada terjadinya dermatitis atopik , sehingga dermatitis atopik merupakan paradigma dari reaksi tipe lambat yang diperantarai igE-FceRI. Selain sel-sel diatas , eosinofil juga mengekresikan FCCRI sehingga eosinofil sering dihubungkan dengan alergi dan proses inflamasi yang menyertainya. Ada berbagai bukti yang menyatakan bahwa granula eosinofil bersifat toksik untuk epitel saluran nafas , meningkatkan permeabilitas vaskuler dan dapat merangsang sel-sel lain termasuk basofil pada alergi dibuktikan dengan adanya infiltrasi eosinofil pada kulit atau mukosa pada daerah inflamasi dan seringkali jumlahnya tidak sebanding dengan yang ada dalam darah . rekrutmen eosinofil dari darah kedalam mukosa pada daeraj inflamasi dan seringkali jumlahnya tidak sebanding dengan yang ada dalam darah. Rekrutmen eosinofil pada sel endotel melalui molekul adhesi (vascular endothealial adhesion molecules-1 ,VCAM-1) 2,. Produksi faktor kemotaktik yang merangsang migrasi eosinofil ke dalam mukosa. Migrasi eosinofil kedalam jaringan dikontrol oleh IL-5 ,IL-3 dan GMSCF. Dilain fihak ekspresi VCAM-1 pada sel-sel endotel ditingkatkan oleh IL-4 dan IL-13 . sitokin IL-5 ,IL-3 dan GM-CSF tidak saja menginduksi eosinofiphiloesises tetapi juga meningkatkan metabolisme ksidatif , ekspresi reseptor membran dan penglepasan protein granula yang mengandung major basic protein (MBP) eosinofhil peroxidase (EPO) eosinophil cationic protein (ECP) dan eosinophil derived neurotoxin yang merupakan mediator inflamasi. Atopi pada orang dewasa dihubungkan dengan ekspersi terus menerus imunitas spesifik terhadap antigen yang ditandai dengan produksi sitokin Th2 yaitu IL-4,IL-5dan IL-13 yang meningkatkan produksi igE dan eosinofil . sebaliknya mereka yang non- atopi memperlihatkan imunitas Th1 yang ditandai dengan produksi IFN-Y yang menghambat perkembangan sel Th2 . hal ini berakibat terhambatnya produksi igE . bukti adanyaaktivitas Th2 tampak dari akumulasi limfosit Th2 pada tempat-tempat terjadinya reaksi hipersensitivitas di kulit atau mukosa bronkus. Jumlah sel T spesifikasi yang memproduksi IL-4 dalam sirkulasi penderita atopi jauh lebih banyak dibanding pada mereka yang non-atopi,disamping itu jumlah IL-4 yang disekresi juga lebih banyak . hal-hal itu turut memebantu peningkatan sintesis igE pada penderita atopi. Selain diproduksi oleh sel Th2 , IL-4 dan IL-3 juga diproduksi oleh sel-sel yang mengekresikan FceRI, yaitu basofildan sel mastosit dan oleh sel CD8 . sitokin IL-4 dan IL-13 yang membantu meningkatkan biosintesis igE dan merangsang perubahan sel Th0 menjadi Th 2 merupakan sitokin utama yang berperan dalam proses inflamasi yang terjadi pada alergi. Alergi obat didasarkan atas induksi reaksi imunologi spesifik dan berlatar belakang sensitasi limfosit atau sunstansi yang dihasilkannya, baik antibody maupun sitokin. Karena itu patofisiologi alergi obat berbeda dengan jenis reaksi-reaksi obat yang lain misalnya reaksi akibat dosis berlebihan atau efek samping obat. Walaupun gelja kelinik alergi obat kadang-kadang sulit dibedakan dari gejala kelinik yang disebabkan efek samping obat atau dosis obat berlebihan, cirri penting yang menbedakan keduannya adalah bawa pada alergi obat terdapat reaksi imunologi yang tidak tepat (inappropriate) atau berlebihan terhadap obat tertentu dan metabolitnya .32Hampir setiap obat dapat menginduksi reaksi imunologik.33 Namun demikian, sulit sekali meramalkan dan mencegah terjadinya reaksi alergi obat karena mekanisme proses imunologi yang mendasari reaksi itu belum seluruhnya diketahui secara pasti. Ada beberapa reaksi misalnya reaksi anafilatik terhadap antibiotic betalaktam dihubungkan dengan IgE spesifik, sedangkan reaksi kulit dan respons inflamasi lain terhadap misalnya sulfonamide, fenitoin dan penisilin dikaitkan dengan limposit T tersensitisasi yang ada dalam ada disirkulasi darah sel efektor utama pada reaksi yang dipeltarai IgE adalah sel mastosit yang diaktifasi oleh antigen yang dalam waktu beberapa detik dapat melepaskan sitokin pro-inflamasi sebagai respon terhadap antigen, sehingga sel itu penting dalam fase induksi respons antigen IGE karena merupakan sumber IL-4 tetapi disamping itu sel T juga penting dalam fase efektor pada reaksi yang dipelentarai oleh sel T.32 Pengenalan obat limfostit T Klon sel T spesifik obat dapat diperoleh dari darah pasien yang alergi terhadap banyak obat, termasuk penisilin, sulfonamida, iodicaine, carbamazepin dan penitoin. Sebagian besar sel T spesifik obat mengekspresikan reseptor dengan fenotip CD4+ atau CD8+ dan aktifitasnya diatur oleh MHC kelas 1 dan kelas 2. Pola produksi klon sel T spesifik obat bermacam-macam : klon spesifik, benzyl penisilin merupakan klon yang memproduksi sitokin dengan pola seperti Th1, taiutu IL-2 dan IFN- dengan kadar tinggi, sedangkan klon spesifik lidocaine memproduksi sitokin campuran TH0 dan TH2. Penelitian lain mengungkapkan bahwa limfosit pasien alergi obat dengan gelaja reaksi kulit mengekskresikan HLA-DR yang kadarnya sesuai dengan beratnya reaksi. Hal ini membuktikan peranan limfosit yang berada dikulit untuk menginduksi reaksi alergi pada kulit. 32. Walaupun aada bukti bukti peranan sel T dalam alergi terhadap oabt,. Walaupun aada bukti bukti peranan sel T dalam alergi terhadap oabt, sulit menggunakan limfosit untuk menentukan diagnosis karena jumlah klon sel T spesifik obat biasanya sangat sedikit. 32Metabolism obat dan pembentukan antigen Salah satu hal yang perlu dipertimbangkan pada respon imun terhadap obat adalah apakah obat itu secara kimiawi reaktif dan mampu berikatan secara kovalen dengan protein carier. Bila tidak maka ia memerlukan metabolism oksidatif untuk menjadi reaktif. Beberapa jenis obat cenderung berikatan dengan protein atau makromolekul lain invivo, sehingga terbentuk kompleks hapten-protein yang bersifar imunogenik (hipotesis hapten).32 Beberapa jenis obat lain tidak mengikat protein secara langsung tetapi metabolit obat yang terbentuk akibat perombakan enzimatik in vivo dapat mengadakan konjugasi dengan protein kemudian menjadi imunogenik.32,33 Salah satu enzim yang memperantarai metabolism oksidatif obat adalah golongan enzim cytochrome P450 yang menghasilkan happen yang dikenal oleh sel T tersensititasi. Contoh obat yang secara sepontan membentuk happen adalah penisilin dan B laktam, bahwa klon sel T spesifik distimulasi carier. Alternative lain adalah bahwa klon sel T spesifik distimulasi oleh obat yang dipresentasikan oleh APC: dalam hal ini metabolisme obat secara enzimatik maupun pembentukan konjugat obat carier tidak lagi diperlukan. Hepar pada umumnya menjadi tempat perombakan obat dan tempat terjadinya konjugasi sehingga tidak heran kalau hepar sering menjadi organ sasaran reaksi alergi obat, tetapi akhir ini diketahui bahwa monosit juga mengekspresikan enzim cytochcrom P450 dengan kadar tinggi yang mungkin dapat mengakibatkan oksidasi obat dalam darah, kulit dan jaringan perifer lain. Hal lain yang mempengaruhi reaksi alergi obat alah farktor majemuk diaktaranya umur dan sifat genetic individu ersangkutan. Reaksi alegi obat jarang dijumpai pada anak kecil diduga hal ini disebabkan perkembangan sistem imun yang belum lengkap atau kemungkinan terpapar pada obat pada anak yang terlalu besar sama halnya seperti pada reaksi alergi yang lain, factor genetic mempengaruhi sifat structural reseptor pada permukaan sel kemampuan untuk menyulut reaksi imunologi pelepasan mediator dan lain-lain sehingga manifestasi klinik reaksi alergi obat berbeda antara satu individu dengan individu yang lain.Manifestasi klinik alergi obatManifestasi klinik obat bermacam-macam, tergantung opada reaksi imunologik yang ditimbulkan dan oragan atau jaringan yang yang menjadi sasaran. Reaksi anafilaktik merupakan rekasi yang paling berbahaya dan sering fatal rekasi yang lain dijumpai adalah anemia hemolitik, serum sickness, vaskulitis reaksi arthus, nefritis dan lain lain. walupun adanya reaksi imunologiktidak dapat dipastikan secara langsung, alergi oabat dapat diduga bila dijumpai keadaan berikut :32,33a. Adanya kelainan dari berbagai oragan sekaligus, misalnya apada, kulit, kelenjar limpe, sendi, ginjal, susunan saraf perifer khususnya disertai demam.b. Adanya kelainan pada kulit msalnya urtikaria, eksim, ptechiae aatu ertemac. Perubahan hemologik yang menyertai gejala alergi, misalnya eosinofilia, limfosit plasmositoid dalam sirkulasi, destruksi eritrosit, leukosit atau rombositd. Menghilangkan gejala setelah pemberiann obat dihentikane. Pemaparan pada obat yang sama walaupun dosisnya kecil, menimbulkan kembali gejala alergif. Risiko reaksi anafilaktik lebih sering terjadi pada awal pemberian obat dibandingkan waktu terapi sudah berlangsung beberapa saat, dan tidak ada korelasi anatara dosis obat dengan beratnya manifestasi klinik.PEMERIKSAAN LABORATORIUM PADA ALERGIHingga saat ini sudah banyak perkembangan dalam metode laboratorium untuk menunjang diagnosis dan evaluasi penderita alergi. Sebagian metode laboratorium lebih banyak digunakan untuk menunjang riset pada penderita alergi dan belum banyak digunakan untuk pelayanan laboratorium secara rutin, walaupun dimasa mendatang besar kemungkinan test-test tertentu akan diterapkan diklinik.Pemerikasaan seputum merupakan cara lanhsung untk mengetahi adanya imflamasi saluran nafas secara non inflasif yang membedakan palasma dari penytakit baru lain. terdapatnya eisinofi dari sekutum indkasi untuk asma, sedangkan predominasi neutrofil merupakan cirri penyakit paru obstrutif kronnik walaupun demikian pemeriksaan sekutum banyak kendalanya. Prosedur induksi merupakan untuk memperoleh sekutum akan memeyebabkan influx neutrofil yang mengganggu interpretasi hasil test.36 Kadar allergen dilingkungan atau dirumah penederita meruakan factor resiko pentying untuk timbulnya alergi. Namun hingga saat ini pengukuran kadar allergen seperti kadar allergen tunau, masih terbatas dalam penelitian tetapi kelak mungkin dapat digunakan sebgai proman untuk penatalaksanaan. Berbagai cara setandarisasi allergen telah dikembangkan , demikian pula metode pengukuran, diantara metode difusii radial dan RIA,cross immunoelectrophoresis untuk menganalisis ekstrak allergen, polyacylamide gel electrophoresis, immunoblotting dan inhibition immunoassay.37Uji kulit hingga saat ini masih dilakukan secara luas untuk menunjang diagnosis allergen allergen tertentu. Metode ini dapat dilakukan ecara masa dan waktu singkat dengan hasil cukup baikprinsip test ini adalah bahwa adanya igE spesifik pada perukaan basofil aatu sel mastosit pada kulit akan merangsang pelepasan histamine,, leukotrien dan mediator lain bila igE tersebut berikatan dengan allergen yang digunakan pada uji kulit, sehingga menimbulkan reaksi positif.tetapi uji kulit tidak selalu memberikan hasil positif walaupun pemeriksaan dengan jalan lain berhasil positif, terutama pada alergi terhadap obat. Besar kemungkinan bahwa alrgi ditunjukan pada epitopyang terdapat pada metabolit obat dan bukan terhadap obat itu sendiri uji kulit yang menggunakan obat bersangkutan memberikan hasil negative. Hasil uji kulit karenannya sulit diinterpretasikan untuk mementukan ada tidaknya alergi sistemik terhadap obat. Berbaud dan kawan-kawan melakukan studi untuk mendapatkan cara mendeteksi alaergi sistemik terhadap obat. Pertama dilakukan patch test terhadap obat yang dicurigai; bila hasilnya negative dilakukan prick test dan bila hasilnya tetap negative dilakukan uji intradermal. Reaksi positif dapat terjai segera atau dalam eaktu bebrapa hari pada DTH. 72% penederita menunjukan hasil positif dan pada 42% bereaksi positif pada patch test , sehingga hal ini menunjukan bahwa test itradermal lebih sensitive dibandung patch test.Pengukuran kadar IgE total dan IgE spesifik hingga saat ini mendonasi laboratorium untuk menujnag diagnose. Metode yang digunaka pada umumnya metode ELISA atau RAST dengn berbagai modifikasi tingginya kadar igE sering klai membantu konfirmasi adanya konfirmasi namun demikian , dalm interpretasikan hasil test perlu diingant untuk tidak seta merta untuk menyingkirkan alergi bila kadar igE rendah sebaliknya tidak memastikan diagnosis bila kadar igE tinggi. Disamping itu, kadar igE juga tergantung pada usia igE tidak diketahiu tidak dapat menembus plasenta karena itu kadar igE dalam darah tali pusat biasanya sangat sendagh (< 2 IU/ml). kadar igE meningkat secara progesif pada anak normal pada usia 10-15, kemudian menurun kembali hingga mencapai kadar igE pada orang dewasa non-atopik yaitu sekitar 90 IU/ml. anak anakyang atopic menunjukan peningkatan kadar igE lebih cepat dan lebih tajam sejak tahun pertama dibandingkan mereka yang nonatopik. Diatas usia 14 thn, kadar igE melebihi 333 IU/ml (800 ug/ml) pada umumnya abnormal tinggi. Kadar igE pada penderita alergi biasanya berfluktuasi sesuai pemaparan individu tersebut terhadap allergen pada saat pemaparan kadar igE pada umumnya lebih tinggi dibandingkan saat tidak terpapar (kadar basal) tetapi pada penderita alergi kadar IgE basal pada umumnya lebih tinggi dibanding penderita nonatopik. Kadar basal ini dipengaruhi oleh factor genetic dan telah dibuktikan bahwa limfosit T memegang peran penting pada pengaturan dalam sintesis IgE. Anti IgE dan anti FcERI dapat berfungsi sebagai antigen yang bersifat klinik sama dengan reaksi alergi. Karena itu deteksi anti IgE atau anti FcERI dalam serum mempunyai makna diagnosis dan bahkan kemungkinan besar makna terapetik di kemudian hari. Selain meningkatkan kadar IgE spesifik, allergen juga dapat meningkatkan kadar IgG spesifik terhadap aergen bersangkutan. Pada individu yang tidak terimunisasi dan kemudian terpapar pada allergen tertentu kadar IgG spesifik biasanya rendah. Sebaliknya pada individu yang pernah mendapat injeksi antigen tertentu, baik secara kebetulan (gigitan serangga atau injeksi obat) maupun secara aktif mendapat imunoterapi allergen, kadar IgG spesifik dapat sangat meningkat. Indikasi pengukuran kadar IgG spesifik diantaranya adalah untuk mengetahui apakah seseorang pernah terpapar pada antigen tertentu atau untuk memantau respon imun humoran terhadap antigen. 42Pemeriksaan terhadap penglepasan histamine oleh basofil in vitro dianggap bermanfaat untuk menentukan adanya alergi, misalnya mengevaluasi status alergi penderita. Pemeriksaan ini menunjukkan korelasi baik dengan uji kulit yang seringkali disarakan tidak nyaman oleh penderita. disamping itu dismaping itu kelebihan test penglepasan histamin dari uji kult adalah menghindari kemungkinan terjadi reaksi anafilaktik, menghindari bahaya booster respons imun sebelumnya dan dapat dilakukan pada penderita yang pnderita dermatitis dengan lesi kulit luas yang tidak memungkinkan dilakukan uji kulit. Berbagai kit reagen untuk mengukur kadar histamine dengan cara immunoassay sudah tersedia dipasaran tetapi karna pemeriksaan dengan kit ini memerlukan darah segar, penggunaannya menjadi lebih terbatas dibanding test RAST. Pengukuran kadar histamine serum juga terbatas karena histrain segera dirombak oleh diamin-oksidase dan metiltransferase sehingga half-life histamine sangat pendek.Aktivitas sel mastosit juga dapat diukur dengan parameter enzim triptase dan pengukuran kadar enzim triptase dalam serum penderita bermanfaat untuk menunjang diognasis atopi. Triptase adalah protease yang hanya terdapat dalam sel mastosit manusi adan dalam basofil walaupun kadarnya dalam basofil jauh lebih rendah (1/500 kadarnya dalam mastosit). Enzim ni terdapat dalam granula dan dilepaskan pada saat aktivasi. Penglepasannya parallel dengan penglepasan histamin. Kelebihannya adalah bahwa enzim ini stabil dan immunoreaktifitasnya tidak hilang dalam waktu beberapa hari. Dengan demikian enzim ini dapat digunakan sebagai pertanda aktivitas sel mastosit dan kadarnya dalam serum menunjukan tingkat aktivitas sel tersebut. Penderita dengan reaksi anafilaksis menunjukn kadar trptase yang meningkat dan menetap dalam jangka waktu cukup lama sehingga dapat digunakan untuk diagnosis anafilaksis dan mementau allergen challenge.Uji reaksi imunologik terhadap obat ditunjukan untuk mendeteksi respons imun spesifik terhadap orang tertentu dengan menentukan IgE spesifik atau mengidentifikasi lmfosit yang tersensitisasi oleh obat bersangkutan. Tabel 3d-2 memeperlihatkan lasifikasi reaksi imunologik terhadap obat dan test yang mungkin bermanfaat untuk mendeteksinya.Table 3d-2 : Klasifkasi reaksi imunologik terhadap obat44

Reaksi UraianAntibodi SelLain-lainKlinikJenis Test

Tipe IAnafilaktikIgEBasofil, mastositAnafilaksis utikariaAnafilaktik urtikariaUji-kulit, histamine release, RAST

Tipe IISitotoksikSitolitikIgG, IgMSemua sel dengan isoantigenC, RESApten nemia hemolitik nefritisIgG, IgM spesifik

Tipe IIIKompleks imunCSerum sickness, erupsiCirculating immune compl C3, C4, CH50

Tipe IVDTHLimfositDermatitis kontakUji-kiulit, stimulasi Ly in vitro

Pengukuran kadar berbagai jenis leukotrien seperti LTB4 yang berfungsi sebagai kemotaktik, LTC4 dan LTE4 yang merupakan brokhokonstriktor yang poten belum terbukti mempunyai makna klinik demikian pula pengukuran kadar metabolit PGD2 dalam plasma penderita alergi masih sulit dilakukan secara rutin.35 Pengukuran kadar sitokin bermanfaat untuk mengetahui fenotip respons Th, misalnya ketidak mampuan seorang anak untuk memproduksi IFN- merupakan faktor resiko untuk terjadi atopi di kemudian hari, demikian pula pengukuran kadar IL-4 mungkin akan sangat bermakna di kemudia untuk diagnosis dan evaluasi penderita alergi. Cytokine assay dapat dilakukan dengan cara ELISA, RIA, maupun bioassay. ELISA dan RIA pada umunya lebih sederhana dan tidak dipengaruhi oleh berbagai inhibitor dalam plasma, sedangakan bioassay lebih sensitive dan medeteksi sitokin dalam bentuk aktif. Tetapi bioassay memerlukan cara kerja yang cermat, memerluka cell-line , lingkungan yang steril dan memerlukan sarana untuk kultur sel dan harvesting yang memenuhi syarat. 35 Ada beberapa sitokin yang perlu diukur di tingkat Mrna, dan untuk ini diperlukan amplifikasi dengan PCR.10Upaya mengatasi masalah alergi di kemudian hari akan banyak diarahkan untuk menentukan dan menyingkirkan faktor resiko. Dalam hal ini perkembangan dalam bioteknologi sangat membantu untuk mengidentifikasi faktor-faktor genetik yang bereperan dalam alergi. Berbagai studi telah dilakukan melalui berbagai pendekatan, antara lain positional cloning approach45 dan candicate gene approach. 7 Penelitian-penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk menentukan apakah hasil penemuan-penemuan itu dapat diaplikasikan di klinik, baik sebagai faktor prediksi maupun kemungkinan penerapan terapi gen di kemudian hari.