a. pendahuluan -...
TRANSCRIPT
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Ringkasan Eksekutif 1
A. PENDAHULUAN
Sistem angkutan umum di sebagian besar kota-kota raya dan besar
di Indonesia dilayani oleh angkutan umum jalan raya. Sistem
angkutan umum yang baik, terencana, dan terkoordinasi dengan
baik akan meningkatkan efektifitas dan efisiensi sistem transportasi
perkotaan.
Mengacu kepada Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang
Lalu lintas Angkutan Jalan, diamanatkan untuk kota Besar dan kota
Raya memiliki sistem angkutan massal jalan berlajur khusus yang
harus didukung sistem pengumpan. Namun setelah ditetapkannya
undang-undang ini, hingga saat ini belum ada dokumen resmi
sebagai jabaran dari undang-undang ini yang ditetapkan guna
memandu proses perencanaan sistem angkutan massal berbasis
jalan dikawasan perkotaan.
Oleh karenanya untuk dapat mengembangkan dan menerapkan
sistem ini dikawasan perkotaan sesuai dengan amanat undang-
undang, perlu ditetapkan suatu bentuk panduan yang dapat
dijadikan acuan bagi proses perencanaan angkutan massal berbasis
jalan untuk kawasan perkotaan, khususnya kota-kota dengan
kategori kota besar dan kota raya.
B. MAKSUD DAN TUJUAN
Maksud kegiatan adalah melakukan analisis dan evaluasi
pengembangan sistem angkutan massal berbasis jalan yang ramah
lingkungan dan hemat energi di wilayah perkotaan.
Tujuan kegiatan adalah tersusunnya konsep pengembangan
angkutan massal berbasis jalan yang ramah lingkungan dan hemat
energi di perkotaan.
C. LINGKUP KEGIATAN
a) Inventarisasi dan review kebijakan mengenai pengembangan
sistem transportasi massal berbasis jalan di perkotaan;
b) Inventarisasi kebijakan pengembangan sistem angkutan massal
berbasis jalan yang ramah lingkungan dan hemat energi di
perkotaan;
c) Menganalisis dan mengevaluasi kondisi eksisting dan rencana
prasarana jalan perkotaan;
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Ringkasan Eksekutif 2
d) Menganalisis dan mengevaluasi kondisi eksisting pelayanan
sistem angkutan massal berbasis jalan yang ramah lingkungan
dan hemat energi di perkotaan;
e) Menyiapkan konsep kriteria kebutuhan data/informasi untuk
melakukan perencanaan angkutan massal berbasis jalan yang
ramah lingkungan dan hemat energi di perkotaan;
f) Melakukan analisis kelengkapan data/informasi yang memadai
untuk proses pengembangan angkutan massal berbasiskan jalan
untuk setiap kota;
g) Melakukan studi literatur / benchmarking untuk proses
perencanaan sistem angkutan massal berbasis jalan di negara
lain;
h) Menetapkan kota (percontohan) untuk proses pengembangan
sistem angkutan massal berbasis jalan yang ramah lingkungan
dan hemat energi di perkotaan;
i) Melakukan analisis pengembangan sistem angkutan massal
berbasis jalan yang ramah lingkungan dan hemat energi di
perkotaan terpilih;
j) Menyiapkan konsep pedoman perencanaan angkutan massal
berbasis jalan yang ramah lingkungan dan hemat energi di
perkotaan; dan
k) Lokasi obyek studi ini akan dilaksanakan di Kota Makasar,
Bandung, Semarang, Palembang, Medan, Surabaya dan Jakarta
(JABODETABEK).
D. PENDEKATAN DAN METODOLOGI
Untuk mencapai tujuan dan sasaran studi, perlu dirumuskan suatu
metodologi yang ditekankan pada pengembangan pedoman
angkutan massal berbasis jalan yang ramah lingkungan dan hemat
energi pada jaringan transportasi perkotaan.
Tahapan-tahapan pendekatan kajian, ditransformasikan kedalam
suatu bentuk alur yang lebih terstruktur yang menempatkan
tahapan-tahapan tersebut kepada posisi dan level yang jelas seperti
yang ditunjukan dalam Gambar 1.
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Ringkasan Eksekutif 3
Gambar 1. Pola Pikir Kajian
BENCHMARKING
LAP. PENDAHULUAN
LAP. ANTARA
Konsep Pedoman Pengembangan SAUM Berbasis Jalan
Konsep SAUM Kota Percontohan:Pola JaringanPols OperasionalKapasitas LayananTeknologi Moda
REKOMENDASI
LAP. AKHIR
Inventarisasi peraturan
perundangan
Inventarisasi kajian,
studi, rencana dll
PENETAPAN KRITERIA DATA/INFORMASI
PERENCANAAN ANGKUTAN MASSAL
JALAN RAYA
PROSES KAJI ULANG
• Studi2 terkait
•Penelusuran sumberpustaka
terkait dengan SAUM Berbasis
Jalan
KAJIAN ASPEK LEGAL &
INSTITUSIONAL
Review perundangan yang
berhubungan dengan
perencanaan angkutan
umum
KAJIAN PUSTAKA
REFERENSI &PENGALAMAN DOMESTIK &
INTERNASIONAL
MENGENAI SAUM JALAN
KONSEP. LAP. AKHIR
PENETAPANLOKASI UJI
KASUS
INVENTARISASI DATA DI MASING-MASING KOTA
ANALISIS & EVALUASI
Kondisi Eksisting Jaringan, Lalu lintas,
Guna Lahan
Strategi & Kebijakan
Angkutan Umum
Identifikasi Masalah
Eksisting
PENGEMBANGAN KONSEP S.A.U.M JALAN
Titik Pelayanan
KapasitasLayanan
PENGEMBANGAN
PEDOMAN
&
REVIEW KONSEP
PEDOMAN
Pola Jaringan
Teknologi Moda
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Ringkasan Eksekutif 4
E. PROSEDUR PEDOMAN PERENCANAAN BRT
Secara konseptual langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam
merencanakan koridor angkutan massal berbasis jalan dijelaskan
sebagai berikut:
1. Analisis Permintaan dan Penetapan Koridor
2. Rancangan Operasional:
a. Penentuan Pola Operasi Sistem
b. Perancangan Jejaring dan Layanan
c. Perancangan Rute
d. Penentuan Rentang (Waktu operasional) Layanan
e. Penentuan Frekuensi Layanan
f. Estimasi Jenis dan Jumlah Armada
g. Estimasi Jumlah Platform pada titik layanan(Halte)
h. Penentuan Rancangan titik layanan (Halte)
3. Pemilihan Teknologi Kendaraan BRT
4. Penyiapan Rencana Usaha:
a. Penyiapan Kelembagaan dan Fungsinya
b. Penyiapan Model Usaha (Bisnis)
c. Pola Manajemen dan Operasi dengan Pendekatan
Kaidah Bisnis
d. Efisiensi Operasional
e. Pengembangan Perolehan Pendapatan dan Pemasaran
f. Strategi Komunikasi untuk Identitas Lembaga
g. Perencanaan Operasional
h. Kebijakan Tarif dan Subsidi untuk Pengguna (Fare
Policy and User Subsidy)
i. Penerapan Subsidi
5. Penyiapan Kebijakan Pendukung:
a. Integrasi Moda
b. Manajemen permintaan perjalanan
c. Integrasi dengan Perencanaan Guna Lahan
6. Proses Penyiapan Implementasi Sistem BRT:
a. Rencana Pendanaan
b. Opsi – opsi Pembiayaan Lokal
c. Penentuan operator
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Ringkasan Eksekutif 5
F. PEMILIHAN KONSEP SISTEM ANGKUTAN UMUM
MASSAL PERKOTAAN
Langkah awal yang dibutuhkan oleh pembuat kebijakan suatu kota
adalah menyesuaikan sistem yang akan dipilih berdasarkan
karakteristik kota tersebut dengan menggunakan parameter-
parameter umum seperti yang ditunjukan dalamTabel 1.
Tabel 1. Kriteria untuk Pemilihan Sistem Angkutan Massal
Kriteria
Nilai Ambang
Kereta
(disyaratkan)
Kereta
(minimum)
atau BRT
Busway/BRT
(minimum)
Populasi Kawasan
Perkotaan
2,000,000 1,000,000 750,000
Populasi Pusat Kota 700,000 500,000 400,000
Kepadatan Populasi
Pusat Kota (org/km2)
5,500 3,900 1,950
Luas Lantai di CBD
(km2)
4,500,000 2,2500,000 1,800,000
Jumlah Pekerjaan 100,000 70,000 50,000
Tujuan perjalanan
harian di CBD/km2
120,000 60,000 40,000
Tujuan perjalanan
harian di CBD/koridor
70,000 40,000 30,000
Pergerakkan keluar
CBD di garis cordon
di jam sibuk
75,000-100,000 50,000-70,000 35,000
Sumber:Deen, T.B. and Pratt, R.H. (1992)
Mengacu kepada kriteria didalam Tabel 1, maka berdasarkan
ketersediaan data (dalam hal ini jumlah populasi kota) dari masing-
masing kota yang dijadikan sampel dalam studi ini, sistem
angkutan massal yang sesuai dengan karakteristik kota ditunjukan
dalamTabel 2.
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Ringkasan Eksekutif 6
Tabel 2. Sistem Angkutan Massal Kota-kota Sampel
KOTA
TEKNOLOGI SAUM KOTA
Kereta Kereta atau
BRT Busway/BRT
DKI JAKARTA
SURABAYA
MEDAN
PALEMBANG
BANDUNG
SEMARANG
MAKASAR
Interpretasi dari sistem angkutan massal untuk kota-kota seperti
yang ditunjukan dalam Tabel 2 adalah bahwa untuk kota dengan
jumlah populasi tertentu sudah harus dilayani oleh bentuk angkutan
massal tertentu, seperti DKI Jakarta dan Surabaya sudah harus
dilayani oleh angkutan massal berbasis rel. Namun ini tetap
disesuaikan dengan karakteristik dari koridor yang ada atau
direncanakan, sehingga untuk koridor-koridor yang belum sesuai
tetap bisa dilayani oleh sistem angkutan umum lainnya. Contoh
lainnya adalah seperti kota Bandung dan Medan yang masih bisa
memiliki opsi antara angkutan masssal berbasis rel dan jalan. Hal
penting lainnya adalah juga mempertimbangkan rencana kota
dimasa datang terutama dari prediksi jumlah penduduk yang akan
ditampung. Sehingga tentunya pilihan sistem angkutan massal ini
selayaknya menggunakan ukuran angka prediksi tersebut dan
rekomendasi yang ditunjukan dalam Tabel 2(mis. kota Semarang&
Makasar) bisa digunakan sebagai kebijakan antara sampai kondisi
dan kesiapan kota sudah tercapai.
G. SISTEM DAN TEKNOLOGI RAMAH LINGKUNGAN
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat emisi kendaraan adalah:
1) Faktor-faktor yang terkait dengan perjalanan, seperti:Jumlah
perjalanan, jarak perjalanan, dan cara/gaya mengemudi;
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Ringkasan Eksekutif 7
2) Faktor-faktor yang terkait dengan jaringan jalan, seperti:Desain
geometris jalan;
3) Faktor-faktor yang terkait dengan kendaraan, seperti:Ukuran
mesin, horsepower, berat kendaraan.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mengukur kualitas
lingkungan dari suatu kendaraan, yaitu:
1) Tingkat emisi;
2) Standar kualitas udara di sekitar;
3) Kualitas bahan bakar;
4) Jenis bahan bakar dan sistem penggerak;
5) Tingkat kebisingan di dalam dan di luar kendaraan;
6) Standar ventilasi dan temperatur di kendaraan.
Sementara itu, untuk mencapai standar emisi tertentu, beberapa
komponen yang perlu diperhatikan dalam program pengendalian
emisi yaitu:
1) Kualitas bahan bakar;
2) Teknologi mesin;
3) Teknologi pengendali emisi;
4) Program pemeriksaan dan perawatan kendaraan;
5) Pelatihan pengemudi.
Sedangkan untuk tingkat kebisingan, ditentukan oleh beberapa
faktor berikut, yaitu:
1) Teknologi bahan bakar dan penggerak;
2) Rancangan sistem penggerak;
3) Ukuran kendaraan (relatif terhadap ukuran mesin);
4) Teknologi peredam suara dan “knalpot” yang digunakan;
5) Kualitas permukaan jalan;
6) Proses perawatan/pemeliharaan.
H. JENIS DAN TINGKAT EMISI BAHAN BAKAR
Keputusan tentang jenis bahan bakar dan sistem penggerak
(propulsion) moda angkutan umum memiliki dampak terhadap
kesehatan masyarakat, efisiensi operasional dan biaya operasi.
Pemilihan bahan bakar dan teknologi mesin yang terbaik dibuat
dengan pertimbangan kelayakan ekonomi, keuangan, sosial dan
lingkungan. Kebijakan dari pemerintah juga penting untuk
diperhitungkan karena mungkin terkait dengan pertimbangan
strategis yang lebih luas.
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Ringkasan Eksekutif 8
I. SISTEM DAN TEKNOLOGI HEMAT ENERGI
Beberapa parameter yang mempengaruhi efisiensi penggunaan
bahan bakar, adalah: kapasitas mesin, tarikan aerodinamis
(aerodynamic drag), berat kendaraan, rolling
resistance.Sedangkanfaktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi
bahan bakar dari suatu kendaraan adalah frekuensi perjalanan, jarak
tempuh, jumlah pemberhentian, kecepatan rata-rata kendaraan.
Tabel 3menunjukkan konsumsi penggunaan bahan bakar untuk
perjalanan dalam kota dari jenis bus tunggal (panjang 12 m)
terhadap berbagai jenis bahan bakar.
Tabel 3. Konsumsi Bahan Bakar untuk Jenis Bus Tunggal
Jenis Bahan
Bakar
Konsumsi Bahan Bakar
km/liter liter/100km
LPG 1 100
Hibrida 1,37 73
CNG 0,73 137
Diesel 0,99 101
Bio Diesel 1,7 59
Sumber: diolah dari berbagai sumber
J. SISTEM ANGKUTAN UMUM MASSAL PERKOTAAN
BERBASIS JALAN YANG RAMAH LINGKUNGAN
DAN HEMAT ENERGI
Secara ideal sistem angkutan massal berbasis jalan harus
menggunakan sumber energi listrik, sehingga aspek yang menjadi
pertimbangan penting adalah aspek pembiayaan baik untuk
investasi maupun pemeliharaan dan aspek estetika, terkait teknologi
bus listrik yang masih menggunakan jejaring kawat listrik diudara.
Namun sejalan dengan berkembangnya teknologi, saat ini sudah
dikembangkan dan dioperasikan teknologi bus listrik yang
menggunakan baterai yang dapat diisi ulang secara “on line”
(OLEV) tanpa menggunakan kabel.
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Ringkasan Eksekutif 9
Bus listrik dengan pengisian secara bergerak (On-Line Electric
Vehicle/OLEV), seperti yang ditunjukan dalam Gambar 2dan
Gambar 3 merupakan teknologi kendaraan bertenaga listrik
inovatif yang pengisian daya listriknya dilakukan dengan
mekanisme transmisi atau jarak jauh (remote) dari unit pemasok
tenaga listrik yang dikubur dibawah permukaan jalan.
Sumber:Seung, Y. A., et.al (2010)& Ko, Y. D., and Jang, Y. J., (2011)
Gambar 2. Bus dengan sistem OLEV
Sumber:Seung, Y. A., et.al (2010)&Ko, Y. D., and Jang, Y. J., (2011)
Gambar 3. Mekanisme Pengisian Tenaga OLEV
Unit pengirim (transmitter) tenaga listrik - kabel induktif dibawah
permukaan jalan - membangkitkan medan magnet untuk memasok
sejumlah tenaga yang dibutuhkan oleh bus untuk bergerak. Disisi
lain, unit pengambil tenaga yang dipasang di bagian bawah bus
mengumpulkan tenaga listrik dari jarak jauh dan
mendistribusikannya ke mesin untuk menggerakkan bus dan juga
ke baterai yang berada didalam bus. Proses pengambilan tenaga
listrik ini dilakukan secara menerus baik dalam keadaan bergerak
maupun berhenti. Sehingga teknologi ini mampu mengatasi
kebutuhan ukuran dan kapasitas baterei yang besar agar dapat
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Ringkasan Eksekutif 10
menyimpan tenaga yang memadai untuk kendaraan sebesar bus
beroperasi secara normal.
Oleh karenanya, aspek ekonomilah yang nampaknya akan
menentukan pilihan dari teknologi moda angkutan massal berbasis
jalan sejauh regulasi yang berlaku masih memberikan toleransi
terhadap adanya emisi gas buang pada kadar tertentu. Dengan
asumsi bahwa teknologi OLEV masih belum bisa digunakan secara
luas dan tinjauan aspek lingkungan murni diukur dari tingkat emisi
maka urutan prioritas pilihan moda angkutan massal berbasis jalan
dengan teknologi dan jenis bahan bakar berikut:
1) Diesel Hybrid Electric atau CNG;
2) Diesel Euro V;
3) Diesel Euro IV;
4) Diesel Euro III.
Untuk aspek ekonomi, maka penilaian terhadap pilihan suatu
teknologi moda dan jenis bahan bakar sangat terkait dengan aspek
hemat energi atau lebih spesifik kepada konsumsi penggunaan
bahan bakar. Bila sisi tinjau hanya dari tingkat konsumsi bahan
bakar saja untuk situasi yang setara maka prioritas pilihan moda
adalah sebagai berikut;
1) Diesel Hybrid Electric;
2) Diesel (Euro);
3) LPG;
4) CNG.
Dengan adanya fakta bahwa tingkat konsumsi bahan bakar dan
emisi gas buang, terutama untuk bahan bakar diesel masih bisa
direduksi dengan berbagai perlakuan khusus baik dari sisi teknologi
penggerak kendaraan maupun sisi campuran bahan bakar
diesel,maka untuk lebih obyektif, aspek hemat energi perlu
dikonversikan kepada nilai biaya investasi dan operasional untuk
suatu sistem angkutan massal yang diterapkan pada suatu kota.
Oleh karenanya tidak mudah untuk menetapkan suatu standar baku
berdasarkan aspek hemat energi, sehingga yang perlu dijadikan
acuan utama adalah aspek ramah lingkungan dalam bentuk regulasi
standar baku mutu lingkungan dan kebijakan terhadap penggunaan
sumber energi berbasiskan fosil.
Mengacu kepada kondisi faktual saat ini terhadap kesediaan
prasarana dan sarana yang mendukung penggunaan kendaraan
BBG, nampaknya untuk sementara waktu sampai kondisinya jauh
lebih kondusif, penggunaan moda angkutan massal berbasis jalan
raya dengan teknologi CD (standar EURO IV ke atas) masih layak
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Ringkasan Eksekutif 11
untuk dipertimbangkan. Namun tentunya hal ini perlu diimbangi
dengan prosedur pemantauan dan pengendalian yang ketat dan
konsisten agar standar kualitas emisi tetap bisa dipertahankan.
Oleh karena itu, bila kebijakan energinya adalah tidak
menggunakan energi berbasis fosil, maka untuk sistem angkutan
massal berbasis jalan di kota-kota (Besar dan Raya) Indonesia yang
paling sesuai adalah menggunakan moda berbahan bakar gas alam
yang tentunya dengan catatan sejauh teknologi OLEV masih belum
bisa diterapkan atau masih terlalu mahal untuk digunakan dalam
kurun waktu tertentu.
K. PEMILIHAN KOTA PERCONTOHAN
Proses pemilihan kota percontohan mengacu kepada kriteria dasar
terutama yang terkait dengan prasyarat kebutuhan data untuk
analisis, khususnya analisis kuantitatif. Dari hasil inventarisasi
kelengkapan data di masing-masing kota sesuai dengan prasyarat
jenis data untuk keperluan analisis dirangkum dalam Tabel 4.
Tabel 4. Tabulasi Ketersediaan Data Pokok Sebagai Kota
Percontohan
Kriteria Medan Palembang DKI
Jakarta Bandung Semarang Surabaya Makassar
Koridor BRT Eksisting Belum
Ada Ada Ada Ada Ada
Belum Ada
Belum Ada
Data Trayek Eksisting Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada
Data Asal-Tujuan Perjalanan
Ada Lemah Ada Lemah Tidak Ada Ada Lemah
Data Sosial Ekonomi Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada
Data Rencana Tata Ruang
Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada
Rencana Koridor BRT Ada Ada Ada Ada Ada Belum
Ada Ada
Frekuensi Angkutan Umum
Ada Lemah Ada Ada Ada Ada Lemah
Okupansi Pengguna Angkutan Umum
Ada Tidak Ada Ada Tidak Ada
Tidak Ada Ada Tidak Ada
Model Jaringan Transportasi
Ada Tidak Ada Ada Tidak Ada
Tidak Ada Ada Tidak Ada
Sumber:Analisis Konsultan
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Ringkasan Eksekutif 12
Dari hasil verifikasi terhadap ketersediaan dan kualitas komponen
utama data yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa kota
Surabaya bisa dijadikan percontohan untuk proses analisis
angkutan umum massal jalan raya dalam studi ini.
L. PENGEMBANGAN SAUM KOTA SURABAYA
Berdasarkan data hasil survai HIS, besarnya potensi permintaan
angkutan umum eksisting dan lokasi aktifitas naik turun
penumpang ditunjukan dalam Gambar 4dan Gambar 5.
Gambar 4. Permintaan Angkutan Umum Kota Surabaya
Gambar 5. Lokasi Naik-Turun Penumpang
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Ringkasan Eksekutif 13
Dari kedua gambar diatas (Gambar 4 dan Gambar 5) dapat ditarik
gariskoridor utama angkutan umum yang dapat dikembangkan
menjadi suatu sistem angkutan umum yang baru seperti yang
ditunjukandalam Gambar 6.
Gambar 6. Perkiraan Koridor Utama SAUM Kota Surabaya
Jika diambil 3 koridor yang akan dijadikan koridor SAUM kota
Surabaya1), maka 3 koridor utamatersebut yaitu:
1) Koridor A :Terminal Purabaya- Kenjeran-Ujung Baru
2) Koridor B : Terminal Purabaya- Bulak Banteng
3) Koridor C :Citra Raya –Rungkut (UNESA)
1. Besaran Permintaan untuk 3 Koridor SAUM Jalan
Kota Surabaya
Analisis besaran permintaan dimasing-masing koridor
dilakukan untuk mengetahui koridor yang pelu
diimplementasikan terlebih dahulu. Analisis dilakukan
untuk dua skenario, yaitu skenario koridor tunggal dan
multi koridor.
1) Penetapan akhir trase koridor berkaitan dengan geometrik (dan juga komponen
lainnya seperti biaya, sosial, ekonomi, kebijakan dan kesiapan PEMDA dll) akan di
finalisasi dalam satu studi kusus mengenai detail desain teknis (detail engineering
desain, DED) yang tidak disertakan pembahasannya dalam studi ini.
Rungkut
Citra Raya
Terminal Purabaya
Bulak BantengUjung Baru
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Ringkasan Eksekutif 14
Dari hasil uji skenario tunggal (Tabel 5), diprediksi koridor
C memiliki keunggulan dari jumlah demand eksisting yang
ada. Nilai seat turn-over (pertukaran penumpang dalam
kendaraan) di koridor yang ada cukup besar menandakan
koridor ini dapat dipotong menjadi 2 koridor terpisah.
Tabel 5. Skenario Koridor Tunggal SAUM Kota Surabaya
Corridor Dir Length
(km)
Passanger
(pax/hour)
Max Vol
(pax/hour)
Av. Vol
(pax/hour)
Seat
Turn Over A S-U 16.93 3,070 1,752 1,240 2.5
U-S 17.53 4,045 3,162 1,623 2.5
B S-U 21.36 3,405 1,517 1,070 3.2
U-S 22.9 4,616 2,548 1,587 2.9
C B-T 22.72 5,107 2,798 1,790 2.9
T-B 22.64 5,072 2,603 1,826 2.8
Dengan pendekatan multi koridor, keseluruhan koridor
BRT dalam uji skenario ini diasumsikan telah beroperasi
secara bersamaan, dan hsil uji ditunjukan dalam Tabel 6.
Tabel 6. Skenario Multi Koridor SAUM Kota Surabaya
Cor Dir Length Passangers (pax/hour) Volume Seat
Turn-Over Ticket Transfer Total Max Average
A S-U 16.93 3,148 418 3,566 2,235 1,220 2.6
U-S 17.53 4,199 362 4,561 3,486 1,508 2.8
B S-U 21.36 3,713 426 4,139 1,867 1,121 3.3
U-S 22.9 4,484 410 4,894 2,486 1,375 3.3
C B-T 22.72 6,021 808 6,829 3,508 2,100 2.9
T-B 22.64 5,478 687 6,165 2,958 2,084 2.6
Total penumpang yang diangkut seluruh koridor BRT
meningkat 19% dibandingkan total penumpang seluruh
koridor BRT skenario tunggal. Jika dilihat dari jumlah
transaksi, jumlah transaksi skenario multi koridor lebih
besar 6.8% dibandingkan skenario tunggal. Pada koridor A
terjadi peningkatan jumlah transaksi sebesar 3% dan total
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Ringkasan Eksekutif 15
penumpang koridor A 14% lebih tinggi dibandingkan
skenario tunggal. Peningkatan jumlah penumpang tertinggi
terjadi pada koridor C dengan peningkatan sebesar 28%
(peningkatan jumlah transaksi 13%) sedangkan untuk
koridor B peningkatan jumlah penumpang yang terjadi
sebesar 2% (meningkat 13% untuk jumlah transaksi).
Jumlah penumpang yang transfer antar koridor sebesar
3,111 pax/jam (10.32% dari total penumpang seluruh
koridor).
2. Kebutuhan Armada SAUM Surabaya
Kebutuhan armada dihitung dari demand tahun dasar. Hal
ini dilakukan untuk mengetahui kapasitas minimum SAUM
yang dibutuhkan. Secara keseluruhan kebutuhan armada
untuk masing-masing koridor dapat dilihat dalam Tabel 7.
Tabel 7. Tabulasi Kebutuhan Jumlah Armada SAUM
Surabaya
Koridor L v Tl h No N
A 17.2 17 10 5 27 30
B 22.1 17 10 5 32 36
C 22.7 17 10 5 35 39
Sedangkan kebutuhan dimensi SAUM kota Surabaya
ditunjukan dalamTabel 8.
Tabel 8. Perkiraan Dimensi SAUM Kota Surabaya
Cor Volume
Maximum
Volume
Rata-Rata LF2) Nsb F Cbmax Cbvrg
LFvrg
Cbmax
A 3,486 1,508 1 1 20 175 76 0.43
B 2,486 1,375 1 1 20 125 69 0.55
C 3,508 2,100 1 1 20 176 105 0.60
2 ) Nilai LF ijin diambil 1 dengan asumsi kapasitas kendaraan adalah jumlah
total penumpang maksimum yang dapat diangkut bukan berdasarkan
jumlah kursi yang ada
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Ringkasan Eksekutif 16
Berdasarkan Tabel 8 diatas, maka untuk SAUM kota
Surabaya membutuhkan kapasitas satu moda 130-180
pax/jam. Dari kebutuhan ini maka jenis moda yang bisa
digunakan adalah jenis bus tempel (articulated bus).
3. Lokasi Halte
Lokasi titik-titik naik-turun dan transfer penumpang dapat
direncanakan berdasarkan gambar hasil model baik titik
boarding, titik alighting maupun total keduanya
(Gambar 7). Ukuran dimensi halte dan platform hendaknya
memperhatikan jumlah total aktivitas penumpang di titik
tersebut.
Gambar 7. Potensi Lokasi Halte
4. Estimasi Biaya Operasional
Tabel 9 menunjukan esitimasi besaran biaya operasional
dan Tabel 10 menunjukkan estimasi besaran tarif teknis
SAUM kota Surabaya.
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Ringkasan Eksekutif 17
Tabel 9. Estimasi Biaya Operasional Koridor SAUM
Kota Surabaya
Item BBG EURO 2 EURO 6
Koridor A Cost/bus/km/jam
Investasi Bus 7,359 7,163 8,596
Profit 10% Investasi Bus 736 716 860
Biaya Operasional dan Pemeliharaan 10,848 10,939 10,436
Biaya overhead O-M 1,858 1,858 1,858
Total cost/bus/km/jam 20,801 20,677 21,750
Total cost/koridor/jam 21,841,490 21,711,133 22,837,395
Koridor B Cost/bus/km/jam
Investasi Bus 7,042 7,042 7,042
Profit 10% Investasi Bus 704
704
704
Biaya Operasional dan Pemeliharaan 10,842 8,682 10,429
Biaya overhead O-M 1,632 1,632 1,632
Total 20,220 18,061 19,807
Total cost/koridor/jam 30,426,862 27,177,755 29,806,139
Koridor C Cost/bus/km
Investasi Bus 8,797 7,331 8,797
Profit 10% Investasi Bus 880
733
880
Biaya Operasional dan Pemeliharaan 10,993 11,089 10,585
Biaya overhead O-M 1,669 1,669 1,669
Total 22,339 20,822 21,931
Total cost/koridor/jam 39,727,532 37,029,565 39,002,691
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Ringkasan Eksekutif 18
Tabel 10. Estimasi Tarif Teknis SAUM Kota Surabaya
Biaya(Rp 1,000,000) Permintaan (pax) Tarif
(Rp/pax) Jam2an Tahunan Jam Puncak Tahunan
Koridor A
BBG 21.8 135,526.4
6,610
21,940,479
6,177
EURO 2 21.7 134,717.6 6,140
EURO 6 22.8 141,706.0 6,459
Koridor B
BBG 30.4 188,798.7
9,688
32,157,240
5,871
EURO 2 27.2 168,638.0 5,244
EURO 6 29.8 184,947.1 5,751
Koridor C
BBG 39.7 246,509.3
12,499
41,487,752
5,942
EURO 2 37.0 229,768.5 5,538
EURO 6 39.0 242,011.7 5,833
5. Analisis Emisi SAUM Kota Surabaya
Analisis emisi akan dibahas untuk masing-masing jenis
bahan bakar yang digunakan. Besaran emisi dihitung
melalui pendekatan volume bahan bakar yang digunakan
selama operasional SAUM. Dalam studi ini tidak dibahas
secara detail besaran konsumsi bahan bakar akibat
pengaruh kemiringan jalan, kecepatan kendaraan,
percepatan/perlambatan kendaraan dan pola penggunaan
gear ratio selama pengoperasiannya karena dianggap telah
direpresentasikan oleh asumsi kecepatan operasional/disain
selama SAUM beroperasi. Hasil estimasi tingkat emisi
untuk SAUM Kota Surabaya ditunjukan dalam Tabel 11.
.
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Ringkasan Eksekutif 19
Tabel 11. Perkiraan Besaran Emisi SAUM Kota Surabaya
Corr Qj ECij EFij Emision (kg CO2-e) Total
CO2-e (kg/day) vol unit factor Unit CO2 CH4 N2O CO2 CH4 N2O
BBG
A 7,452 liter 0.039 GJ/m3 51.2 2.1 0.3 14,880 610 87 15,578
B 9,044 liter 0.039 GJ/m3 51.2 2.1 0.3
18,059 741 106 18,906
C 9,520 liter 0.039 GJ/m3 51.2 2.1 0.3 19,010 780 111 19,901
EURO 2 Diesel
A 6,210 liter 38.6 GJ/1000L 69.2 0.2 0.5 16,588 48 120 16,755
B 7,537 liter 38.6 GJ/1000L 69.2 0.2 0.5 20,131 58 145 20,335
C 7,933 liter 38.6 GJ/1000L 69.2 0.2 0.5 21,191 61 153 21,405
EURO 6 Diesel
A 2,981 liter 38.6 GJ/1000L 69.2 0.05 0.5 7,962 6 58 8,025
B 3,618 liter 38.6 GJ/1000L 69.2 0.05 0.5 9,663 7 70 9,740
C 3,808 liter 38.6 GJ/1000L 69.2 0.05 0.5 10,172 7 73 10,252
6. Perkiraan Pertumbuhan Demand SAUM Kota
Surabaya di Masa Mendatang
Pertumbuhan penumpang rata-rata seluruh koridor di tahun
2030 sebesar 40.82% dan estimasi volume maksimum yang
teradi di masing-masing koridor ditunjukan dalam
Tabel 12.
Tabel 12. Perkiraan Volume Maksimum di Segmen SAUM
Kota Surabaya
Corr Vol Seg
max
Cbmax
H=3 min H=2 min
Cor A
2015 3,692 185 124
2020 4,061 204 136
2025 4,465 224 149
2030 4,909 246 164
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Ringkasan Eksekutif 20
Cor B
2015 2,633 132 88
2020 2,896 145 97
2025 3,185 160 107
2030 3,501 176 117
Cor C
2015 3,714 186 124
2020 4,086 205 137
2025 4,493 225 150
2030 4,940 247 165
Berkaitan dengan kapasitas kendaraan,diperlukan besarnya
volume maksimum masing-masing ruas untuk mengetahui
kebutuhan jenis moda yang tepat. Jenis bus yang digunakan
dalam simulasi adalah bus tempel (articulated bus) dengan
kapasitas tiap bus sebesar 170 penumpang (pax). Dengan
mempertahankan headway 3 menit koridor A maupun
koridor C telah mengalami over-demand. Jika peluang
memperkecil headway masih dimungkinkan maka dengan
membuat headway pelayanan menjadi 2 menit, kebutuhan
kapasitas di koridor A dan C dapat teratasi. Jika
diperkirakan kedepan kondisi beban lalu lintas sangat
tinggi dan tidak dimungkinkan untuk memperkecil
headway maka opsi lainnya adalah meningkatkan kapasitas
moda BRT yang ada menjadi bus tempel ganda (Bi-
Articulated Bus) atau transformasi ke moda jenis LRT.
7. PerkembanganModa SAUM Kota Surabaya di
Masa Mendatang
Dengan tanpa memperhitungkan kendala fisik, ekonomi
dan kebijakan Pemda, dimensi moda SAUM suatu kota
selain dari sisi demand juga sangat dipengaruhi komponen
lainnya yaitu desain headway dan kecepatan pelayanan.
Kedua komponen tersebut akan berdampak langsung
kepada besaran kapasitas yang disediakan.Melihat
perkembangan demand SAUM kota Surabaya maka
disusun suatu skenario penetapan moda sehingga akan
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Ringkasan Eksekutif 21
diperoleh gambaran moda yang sesuai dan Pemda dapat
mengambil langkah-langkah persiapan yang dianggap
perlu.
Gambar 8. Perkiraan Arus Maksimum Koridor SAUM
Kota Surabaya
Asumsi desain headway pelayanan adalah 2.5, 3 dan
5 menit. BRT bisa lebih fleksibel untuk nilai headway,
namun LRT dan MRT memiliki permasalahan untuk nilai
headway yang kecil (<2menit) hal ini berkaitan dengan
sistem persinyalan serta aspek keselamatan operasional.
Minimum headway LRT dan MRT bisa mencapai 110
detik (~1.8 menit, dengan sistem sinyal yang sangat rumit
dan teknologi yang terbaru) namun umumnya nilai
headway desain terkecil untuk LRT dan MRT
menggunakan nilai 140 detik (~2.3 menit).
Untuk kecepatan desain, BRT memiliki hambatan lebih
besar (khususnya di simpang dan jalur mix-traffic seperti
flyover) kecuali jika didesain exclusive elevated. Kecepatan
maksimum di ruas umumnya kurang dari 45 km/jam.
Namun, dengan asumsi adanya tambahan waktu proses
boarding-aligthing diperkirakan kecepatan layanan
maksimum kurang dari 30 km/jam. LRT dan MRT dapat
mencapai 70 km/jam (90 km/jam maksimum di dalam
-
1,000
2,000
3,000
4,000
5,000
6,000
2010 2015 2020 2025 2030
Max
Flo
w (
pax
/ho
ur)
Koridor A Koridor B Koridor C
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Ringkasan Eksekutif 22
terowongan/tunnel). Kecepatan layanan maksimum bisa
mencapai 50 km/jam. Berdasarkan batasan tersebut diambil
kecepatan pelayanan yang akan disimulasikan sebesar 20,
25 dan 30 km/jam. Untuk kapasitas moda yang digunakan
diambil nilai sebagai berikut:
1) Artikulated Bus : 170 pax/jam
2) Bi-Articulated Bus : 270 pax/jam
3) BRT :350 pax/jam (Siemens
Combino Plus, 2 cars)
M. KESIMPULAN
1) Dari hasil kajian dan analisis terhadap berbagai literatur dapat
ditarik satu kesimpulan sebagai berikut :
a) Ada beberapa definisi tentang angkutan massal namun
salah satu definisi yang cukup singkat dan tepat adalah
sebagai berikut; angkutan yang mampu mengangkut
dan memindahkan banyak orang dalam waktu yang
bersamaan. Begitu pula halnya untuk definisi
“Angkutan Massal Berbasis Jalan”. Salah satu definisi
adalah sebegai berikut; moda angkutan umum cepat
yang mampu mengkombinasikan kualitas angkutan
massal berbasis rel dengan tingkat fleksibilitas dari
angkutan bis.
b) Moda transportasi yang ramah lingkungan dapat
didefinisikan sebagai moda yang dapat memberikan
manfaat bagi lingkungan, yaitu kendaraan dengan
konsumsi bahan bakar yang rendah (efisien),
menghasilkan emisi polutan dan suara yang rendah,
manufaktur yang ramah lingkungan, menggunakan
bahan-bahan pembentuk kendaraan yang optimum dan
dapat di daur ulang, serta mempunyai kelebihan lain
yang relevan dengan lingkungan.
c) Secara umum, kendaraan yang hemat energi adalah
kendaraan dengan konsumsi bahan bakar paling efisien
atau ekonomis, dimana efisiensi pengunaan bahan
bakar diukur berdasarkan rasio jarak tempuh perjalanan
per unit bahan bakar yang dikonsumsi, biasanya dalam
km/ liter. Namun bagi sistem angkutan massal yang
hemat energi tergantung dari beberapa faktor seperti
teknologi peggerak dan jenis bahan bakar, pola
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Ringkasan Eksekutif 23
operasional bis, keterpaduan rencana jaringan dengan
guna lahan dan kebijakan pendukung lainnya.
d) Dengan asumsi ketersediaan dari sumber energi dan
kebijakan perlindungan lingkungan, maka sumber
energi penggerak dari moda angkutan massal berbasis
jalan yang ramah lingkungan adalah tenaga listrik, gas
alam dan Solar bersih.
2) Dari hasil observasi lapangan diperoleh gambaran:
a. DKI Jakarta telah menerapkan sistem BRT, sedangkan
Palembang, Bandung dan Semarang baru menerapkan
sistem semi BRT (sistem Transit). Namun seluruh kota
yang diobservasi telah memiliki konsep perencanaan
sistem angkutan massal pada tataran makro.
b. Kondisi faktual di tujuh kota yang dijadikan sampel
dalam studi ini, jaringan angkutan umumnya tidak
terstruktur dan tumpang tindih serta tidak terintegrasi
secara fisik maupun sistem.
c. Angkutan kereta api yang beroperasi di DKI Jakarta,
Bandung, Surabaya dan Medan merupakan bagian dari
sistem angkutan massal regional namun dalam
pelaksanaanya sebagian besar berjalan sendiri-sendiri.
Seringkali akses menuju ke stasiun kurang didukung
moda angkutan umum lainnya.
3) Berdasarkan analisis terhadap data teknis yang diperoleh dari
observasi lapangan, Kota Jakarta, Medan, Bandung dan
Surabaya sudah layak dilayani oleh angkutan massal berbasis
Rel pada koridor-koridor yang sesuai
4) Penerapan angkutan massal jalan raya lebih sesuai pada
koridor-koridor yang perkembangan intensitas guna lahannya
linier
5) Penetapan struktur jaringan layanan (Trunk-Feeder atau Direct
Service) bisa ditinjau dari perbedaan kepadatan penduduk antar
wilayah, jarak antara pusat dan pinggir kota dan besaran
permintaan pada koridor yang dikaji.
6) Regulasi yang mewajibkan penerapan lajur khusus (terproteksi)
untuk angkutan massal jalan raya merupakan kendala utama
untuk kota-kota besar di Indonesia
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Ringkasan Eksekutif 24
7) Secara substansi, lajur khusus baru perlu diterapkan bila
kecepatan tempuh rata-rata pada koridor yang dikaji kurang
dari 20 km/jam
8) Dalam studi ini telah dikembangkan konsep pedoman
pengembangan angkutan massal berbasis jalan yang
mempertimbangkan konsep ramah lingkungan dan hemat
energi
9) Karena luasnya lingkup definisi dari istilah “pengembangan”,
maka pedoman yang dikembangkan difokuskan pendalamannya
untuk prosedur perencanaan angkutan massal perkotaan
berbasis jalan.
10) Untuk uji coba aplikasi dari konsep pedoman yang
dikembangkan, khusus untuk lingkup perencanaan koridor dan
operasional, kota Surabaya adalah kota yang paling memenuhi
karena;
a) Data untuk analisis tersedia dengan memadai;
b) Belum menerapkan/mengoperasikan sistem angkutan
massal;
c) Konsep perencanaan makronya tidak mengarah kepada
angkutan massal berbasis jalan (sistem BRT).
11) Dari hasil uji coba perencanaan sistem BRT di kota Surabaya
dengan prosedur analisis skala penuh dapat ditarik beberapa
kesimpulan:
a) Pengoperasian SAUM secara multi koridor (konektifitas
antar moda) akan memberikan nilai tambah baik dari
jumlah penggunaan SAUM itu sendiri maupun jumlah
transaksi (penjualan tiket) dengan catatan adanya integrasi
sistem antar koridor SAUM.
b) Perencanaan desain kapasitas hendaknya didasarkan pada
volume maksimum yang terjadi di tiap koridor hal ini untuk
menjaga seluruh potensi penumpang yang dapat diangkut.
c) Perencanaan kapasitas berdasarkan volume maksimum
terlihat over capacity, namun sesungguhnya desain
kapasitas berdasarkan volume rata-rata koridor tidak
menjamin nilai faktor muat akan semakin baik.
d) Penerapan desain berdasarkan volume rata-rata koridor
akan mengakibatkan adanya potensi demand yang tidak
terangkut. Hal ini dapat disiasati dengan membuat suatu
rute pelayanan khusus, namun nilai load factor mungkin
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Ringkasan Eksekutif 25
tidak akan lebih baik dibanding desain berdasarkan nilai
volume maksimum ruas.
e) Selain itu perlu dicermati bahwa dengan adanya tambahan
armada khusus akan berimplikasi tambahan biaya
operasional (minimal dari jumlah armada dan SDM
lapangan yang lebih banyak).
f) Penggunaan CNG tidak selalu memiliki nilai BOK lebih
baik dari bus berbahan bakar diesel. Sedangkan dari sisi
emisi bus berbahan bakar CNG menghasilkan emisi (CO2-e)
lebih baik dibandingkan bus diesel standar EURO 2 namun
tidak lebih baik jika dibandingkan emisi bus diesel
EURO 6.
g) Dalam desain SAUM hendaknya memperhatikan
kemungkinan peningkatan demand dimasa mendatang.
h) Dengan memiliki nilai perkiraan demand masa mendatang
dapat diperkirakan kemungkinan-kemungkinan perubahan
yang dapat terjadi.
i) Untuk contoh kasus SAUM di kota Surabaya, sistem
articulated bus hanya sanggup melayani demand hingga
tahun 2015. Adanya dua opsi bi-articulated atau LRT tentu
harus dipertimbangkan saat awal SAUM direncanakan
terutama berkaitan dengan penyediaan lahan
(memperkirakan desain halte, koridor, utilitas, sarana dan
prasarana pendukung).
N. REKOMENDASI
1) Urutan prioritas untuk kebijakan penggunaan bahan bakar
angkutan massal perkotaan berbasis jalan adalah moda dengan
teknologi penggerak berbasiskan: tenaga listrik, bahan bakar
gas alam dan Solar bersih
2) Dalam konteks penggunaan energi alternatif untuk sumber
tenaga listrik bisa mulai mempertimbangkan penggunaan
teknologi nuklir
3) Kebijakan penggunaan bahan bakar gas alam untuk sistem BRT
di Indonesia harus merupakan kebijakan yang bersifat
transisional untuk sampai pada penggunaan teknologi
penggerak listrik baik yang didasarkan dari tenaga pembangkit
konvensional maupun tenaga pembangkit berbasiskan tenaga
nuklir
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Ringkasan Eksekutif 26
4) Kriteria (teknis) utama untuk penetapan sistem operasional
Angkutan Massal Jalan Raya adalah besarnya permintaan
(demand) dan kecepatan tempuh rata-rata (operasional) pada
masing-masing koridor
5) Pola operasional sistem Transit atau BRT di Indonesia harus
menggunakan pendekatan jejaring dan sistem teknologi pintar
(ITS).
6) Sistem Transit atau BRT untuk kota-kota (Besar & Raya)
sebaiknya menerapkan sistem operasi layanan langsung (direct
service)
7) Sistem Transaksi BRT harus menerapkan sistem elektronik
8) Pengelolaan angkutan massal jalan raya (BRT) harus
diserahkan pada suatu lembaga pengelola yang terpisah dari
Regulator/Otorita & Operator.
9) Rencana Operasional sistem BRT di kota-kota Indonesia
mutlak harus memiliki rencana usaha (Bisnis Plan)
10) Regulator/Otorita harus memberikan kewenangan penuh pada
lembaga pengelola untuk mengelola secara profesional &
menerapkan pendekatan bisnis pada skala penuh
11) Perlu dikembangkan pedoman rancangan operasional khusus
untuk BRT dengan sistem operasi layanan langsung dan
tertutup (direct service).
12) Perlu adanya satu standar baku karena beberapa standar faktor
emisi yang dikembangkan untuk Indonesia masih kurang
(terutama untuk kendaraan dan moda transportasi dengan
standar teknologi baru ).
13) Perlu adanya standarisasi komponen dan unit harga satuan
untuk perhitungan BOK mengingat hingga saat ini komponen-
komponen dan unit harga satuan tiap komponen tidak banyak
dipublikasikan.
14) Perlu penetapan definisi yang lebih terukur dengan
menambahkan kriteria kuantitatif jumlah penumpang dan
kecepatan tempuh. Oleh karenanya sistem angkutan massal
dapat didefinisikan sebagai angkutan penumpang kolektif
perkotaan (urban) atau pinggiran kota (suburban) yang mampu
mengangkut penumpang sebesar 10,000 atau lebih orang per
jam (sibuk) per arah dengan kecepatan tempuh rata-rata
operasional 25 km/jam atau lebih, baik dengan moda berbasis
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Ringkasan Eksekutif 27
jalan ataupun berbasis rel, dipermukaan, layang dan dibawah
tanah.
Sedangkan untuk sistem angkutan massal berbasis jalan yang ramah
lingkungan dan hemat energi dapat didefinisikan sebagai angkutan
penumpang kolektif perkotaan (urban) atau pinggiran kota
(suburban) yang mampu mengangkut penumpang sebesar 3,000
orang atau lebih per jam (sibuk) per lajur per arah dengan kecepatan
tempuh operasional 25 km/jam atau lebih, baik dipermukaan, layang
dan dibawah tanah dan dioperasikan dengan menggunakan tenaga
listrik, pendekatan jejaring dan teknologi pintar.