84451716-ckd

30
1 BAB I TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Tinjauan Tentang Penyakit Ginjal Kronik 1.1.1 Definisi Definisi Penyakit Ginjal Kronis (PGK) atau Chronik Kidney Disease (CKD) menurut NKF-K/DOQI adalah: a. Kerusakan ginjal selama ≥ 3 bulan. Yang dimaksud terdapat kerusakan ginjal adalah apabila dijumpai kelainan struktur atau fungsi ginjal dengan atau tanpa penurunan GFR, dengan salah satu manifestasi brupa kelainan patologi, atau petanda kerusakan ginjal, termasuk kelainan komposisi darah atau urin, atau kelainan radiologi. b. GFR < 60 ml/ 1,73 m 2 ≥ 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal. GFR < 60 ml/ 1,73 m 2 ≥ 3 bulan diklasifikasikan sebagai PGK tanpa memperhatikan ada atau tidak adanya kerusakan ginjal oleh karena pada tingkat GFR tersebut atau lebih rendah, ginjal telah kehilangan fungsinya ≥ 50% dan terdapat komplikasi. 1.1.2 Patofisiologi Berbagai faktor etiologi penyakit ginjal kronik menyebabkan kerusakan ginjal dengan berbagai cara yang menyebabkan berbagai perubahan morfologi glomerulus, tergantung pada diagnosa awal glomerulonefritis. Perkembangan kerusakan ginjal utamanya melalui 3 jalur yaitu kerusakan massa nefron, hipertensi intraglomerular dan proteinuria. Paparan initiation factors menghasilkan kerusakan massa nefron. Kerusakan massa nefron dan fungsi ginjal akan dikompensasi dengan hipertrofi nefron. Perubahan ini menyebabkan peningkatan proses filtrasi glomerulus, reabsorbsi dan sekresi oleh sel nefron yang masih baik. Progresifitas dalam proses ini adalah adanya peningkatan tekanan dalam pembuluh kapiler glomerulus yang dimediasi oleh angiotensin II (AT II) untuk mengimbangi hiperfiltrasi yang selanjutnya menjadi maladaptif dan berkembang menjadi hipertensi intraglomerular. Hipertensi intraglomerular secara tak langsung ditimbulkan oleh AT II yang merupakan

Upload: aliydr

Post on 30-Nov-2015

80 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: 84451716-CKD

1

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Tinjauan Tentang Penyakit Ginjal Kronik

1.1.1 Definisi

Definisi Penyakit Ginjal Kronis (PGK) atau Chronik Kidney Disease (CKD)

menurut NKF-K/DOQI adalah:

a. Kerusakan ginjal selama ≥ 3 bulan.

Yang dimaksud terdapat kerusakan ginjal adalah apabila dijumpai kelainan

struktur atau fungsi ginjal dengan atau tanpa penurunan GFR, dengan salah satu

manifestasi brupa kelainan patologi, atau petanda kerusakan ginjal, termasuk

kelainan komposisi darah atau urin, atau kelainan radiologi.

b. GFR < 60 ml/ 1,73 m2 ≥ 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

GFR < 60 ml/ 1,73 m2 ≥ 3 bulan diklasifikasikan sebagai PGK tanpa

memperhatikan ada atau tidak adanya kerusakan ginjal oleh karena pada tingkat

GFR tersebut atau lebih rendah, ginjal telah kehilangan fungsinya ≥ 50% dan

terdapat komplikasi.

1.1.2 Patofisiologi

Berbagai faktor etiologi penyakit ginjal kronik menyebabkan kerusakan ginjal

dengan berbagai cara yang menyebabkan berbagai perubahan morfologi glomerulus,

tergantung pada diagnosa awal glomerulonefritis. Perkembangan kerusakan ginjal

utamanya melalui 3 jalur yaitu kerusakan massa nefron, hipertensi intraglomerular dan

proteinuria. Paparan initiation factors menghasilkan kerusakan massa nefron.

Kerusakan massa nefron dan fungsi ginjal akan dikompensasi dengan hipertrofi nefron.

Perubahan ini menyebabkan peningkatan proses filtrasi glomerulus, reabsorbsi dan

sekresi oleh sel nefron yang masih baik. Progresifitas dalam proses ini adalah adanya

peningkatan tekanan dalam pembuluh kapiler glomerulus yang dimediasi oleh

angiotensin II (AT II) untuk mengimbangi hiperfiltrasi yang selanjutnya menjadi

maladaptif dan berkembang menjadi hipertensi intraglomerular. Hipertensi

intraglomerular secara tak langsung ditimbulkan oleh AT II yang merupakan

Page 2: 84451716-CKD

2

vasokonstriktor kuat arteriol aferen dan eferen. Efek AT II lebih kuat pada arteriol

eferen sehingga meningkatkan tekanan kapiler glomerulus. Hal ini memicu kerusakan

permeabilitas glomerulus dan menimbulkan proteinuria. Protein yang berada di tubulus

renalis akan menimbulkan peningkatan produksi sitokin peradangan dan vasoaktif pada

membran apikal tubulus proksimal, sehingga akan menimbulkan kerusakan dan

penurunan fungsi ginjal. Adanya proteinuria dapat mempercepat progresifitas kerusakan

nefron (Dipiro et al, 2008). Selain itu patogenesis penyakit ginjal kronis dapat berasal

dari kombinasi berbagai efek toksik antara lain penumpukkan produk-produk yang

secara normal diekskresikan oleh ginjal (seperti nitrogen yang merupakan hasil

metabolisme protein), peningkatan hormon yang secara normal dimetabolisme di ginjal

(seperti insulin) dan penurunan jumlah zat yang dibentuk di ginjal (seperti

erytropoeitin). disamping itu, pada penyakit ginjal kronik juga terjadi perpindahan

elektrolit yaitu peningkatan jumlah Na+ dan air di intrasel serta penurunan K+ intrasel.

Hal ini berperan dalam perubahan fungsi dari beberapa enzim, sistem transport dan

sebagainya (McPhee, 1995).

1.1.3 Etiologi

Beberapa faktor resiko yang mengawali Chronic Kidney Disease adalah:

Faktor susceptible

Individu dengan faktor susceptible mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya

penyakit ginjal, meskipun faktor tersebut tidak terbukti secara langsung

menyebabkan kerusakan ginjal. Faktor tersebut antara lain: pertambahan usia,

penurunan massa ginjal dan berat lahir rendah, ras/etnik, riwayat keluarga,

pendapatan dan pendidikan yang rendah, inflamasi sistemik dan dislipidemia.

Faktor inisisasi

Merupakan faktor yang secara langsung dapat menyebabkan kerusakan ginjal,

meliputi : diabetes melitus, hipertensi, penyakit autoimun, Polycystic Kidney

Disease, toksisitas obat, infeksi saluran kemih dan obstruksi saluran kemih

bawah.

Page 3: 84451716-CKD

3

Faktor progresif

Merupakan faktor yang memperparah terjadinya kerusakan ginjal yang dikaitkan

dengan penurunan yang cepat terhadap kerusakan ginjal akibat faktor inisiasi,

yang meliputi : glikemia, peningkatan tekanan darah, merokok dan proteinuria

(Dipiro et al, 2008)

1.1.4 Klasifikasi

Penyakit ginjal kronik biasanya diklasifikasikan berdasarkan pada penurunan

kemampuan ginjal. Kemampuan ginjal ini dapat diketahui dari nilai laju filtrasi

glomerulus (GFR). Nilai GFR dapat diukur menggunakan senyawa-senyawa yang bebas

difiltrasi, tidak direabsorpsi, tidak disekresi, tidak beracun dan tidak mengalami

metabolisme dalam tubuh. Contoh dari senyawa-senyawa ini adalah inulin dan

kreatinin. Adapun nilai GFR normal yaitu 120 mL/menit.

Tabel I. Klasifikasi Menurut NKF-DOQI Untuk Penyakit Ginjal Kronik (wells,

i.,2008)

Rumus yang digunakan untuk menghitung nilai klirens kreatinin dan GFR

(GlomeruluFiltration Rate) (Stigant et al., 2003; Sudoyo, dkk., 2006).

Cockroft-Goult untuk orang dewasa :

Laki-laki: Klirens Kreatinin (mL/min) = (140-umur) x berat badan (kg) x 0,81

72 x kreatinin serum (µmol/L)

Klirens Kreatinin (mL/detik) = (140-umur) x berat badan (kg) x 50

72 x kreatinin serum (µmol/L)

Wanita : Klirens Kreatinin (mL/min) = dikalikan (x) 0,85

Page 4: 84451716-CKD

4

1.1.5 Komplikasi

Komplikasi dari penyakit ginjal kronis antara lain sebagai berikut:

a. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit

Keseimbangan garam dan air dalam tubuh merupakan fungsi regulasi ginjal.

Penurunan filtrasi glomerulus dapat mengakibatkan retensi garam dan air yang

meningkatkan volume intravaskular sehingga menyebabkan hipertensi. Apabila hal

ini terjadi terus menerus akan menyebabkan edema paru akibat dari overload cairan

dalam tubuh (Dipiro et al, 2008).

Pada pasien penyakit ginjal kronik (PGK) yang stabil, kandungan air dan ion

natrium total dalam tubuh sedikit meningkat, hiperkalemia sebagai akibat primer

dari gangguan pengeluaran ion kalium ke dalam urin atau terjadi hipokalemia

dikarenakan adanya gangguan pada pengambilan kalium dari makanan,

penggunaan diuretika atau hilangnya kalium melalui saluran pencernaan.

Disamping itu terdapat pula asidosis metabolic gangguan kemampuan ginjal untuk

mengekskresikan H+ mengakibatkan asidosis sistemik disertai penurunan pH dan

kadar HCO3- plasma. Ekskresi NH4

+ merupakan mekanisme utama ginjal dalam

usahanya mengeluarkan H+ dan pembentukan kembali HCO3-. Pada penyakit ginjal,

ekskresi NH4+ total berkurang akibat berkurangnya jumlah nefron. Salah satu gejala

yang sudah jelas akibat asidosis adalah pernapasan Kussmaul yaitu pernapasan

yang berat dan dalam, yang timbul karena kebutuhan untuk meningkatkan ekskresi

karbondioksida sehingga dapat mengurangi beban asidosisnya (Wilson and Price,

1995). Sebabkan pula hipokalsemi karena terjadi gangguan dalam mensintesis 1,25-

dihidroksivitamin D, peningkatan kadar asam urat serum dan pembentukan kristal-

kristal yang menyumbat ginjal dapat menyebabkan penyakit ginjal akut atau kronik,

hipomagnesia karena penurunan, asupan magnesium akibat anoreksia,

berkurangnya pemasukan protein dan penurunan absorpsi dari saluran cerna

(Wilson and Price, 1995).

b. Kelainan Kardiovaskular dan Paru

Retensi cairan pada uremia sering menyebabkan gagal jantung kongestif dan

atau edema paru. Hipertensi ialah komplikasi paling umum pada tahap akhir

penyakit ginjal (Kasper, 2005). Kombinasi hipertensi, anemia dan kelebihan beban

Page 5: 84451716-CKD

5

sirkulasi akibat retensi natrium dan air semuanya berperan dalam meningginya

kecenderungan kasus gagal jantung kongestif (Wilson and Price, 1995).

c. Kelainan Hematologik

Penurunan massa nefron menyebabkan penurunan ginjal dalam memproduksi

erythropoietin (EPO), penyebab utama anemia pada pasien CKD. Keadaan anemia

pada pada pasien CKD menyebabkan penurunan supply oksigen, sehingga terjadi

peningkatan cardiac output dan left ventricular hypertrophy (LVH). Hal ini

meningkatkan resiko perkembangan penyakit kardiovaskuler (Dipiro et al, 2008).

Anemia normositik dan normokromik yang khas selalu terjadi pada sindrom

uremik. Biasanya hematokrit menurun hingga 20-30% sesuai derajat azotemia.

Faktor kedua yang ikut berperan dalam anemia adalah masa hidup sel-sel darah

merah pada pasien penyakit ginjal hanya sekitar separuh dari masa hidup sel-sel

darah merah normal. Disamping defisiensi eritropoiesis dan kecenderungan

hemolitik, maka kehilangan darah melalui saluran cerna juga dapat menyebabkan

anemia. Faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan anemia antara lain kehilangan

darah, defisiensi besi dan asam folat. (Wilson and Price, 1995)

d. Kelainan Gastrointestinal

Anoreksia, mual dan muntah merupakan gejala yang sering ditemukan pada

uremia dan seringkali menjadi gejala-gejala awal keadaaan ini. Disamping itu,

dapat terbentuk tukak pada mukosa lambung dan usus besar dan kecil dan dapat

menyebabkan pendarahan yang cukup berat. Akibat dari pendarahan ini sangat

serius karena penurunan tekanan darah akan semakin menurunkan GFR. Sedangkan

darah yang dicerna akan menyebabkan peningkatan yang tajam dari kadar BUN

(Wilson and Price, 1995).

e. Gangguan Endokrin-Metabolik

Pada penyakit ginjal, terdapat gangguan pada fungsi paratiroid, toleransi

glukosa dan metabolisme insulin. Demikian pula pada metabolisme lemak, kalori

protein serta kelainan nutrisional lain dari uremia. Fungsi kelenjar hipofisis dan

adrenal relatif normal, namun terjadi ketidakabnormalan kadar kortisol, aldosteron,

hormon pertumbuhan dan tiroksin yang ada pada sirkulasi (Kasper, 2005).

Page 6: 84451716-CKD

6

f. Kelainan Dermatologi

Kelainan dermatologi seperti pucat (akibat anemia), ekimosis dan hematom

(akibat hemostasis yang kurang baik), pruritus dan ekskoriasi (akibat endapan

kalsium dan hiperparatiroidisme sekunder), turgor kulit yang jelek dan membran

mukosa yang kering (akibat dehidrasi) (Brenner and Lazarus, 1995).

1.1.6 Penatalaksanaan Terapi

Penatalaksanaan terapi penyakit ginjal kronik meliputi:

1) Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya, yang dilakukan sebelum terjadi

penurunan LFG.

2) Pengendalian keseimbangan air dan garam

Pemberian cairan disesuaikan dengan produksi urine yaitu 24 jam ditambah 500

ml. Diet normal mengandung rata-rata 50 mEq. Furosemid dosis tinggi masih

dapat digunakan pada awal penyakit ginjal kronik, akan tetapi pada fase lanjut

tidak lagi bermanfaat dan, pada obstruksi merupakan kontraindikasi (Pedoman

Diagnosis dan Terapi, 2008).

3) Diet rendah protein dan tinggi kalori

Diet rendah protein tinggi kalori akan memperbaiki keluha ual, menurunkan

BUN dan akan memperbaiki gejala. Selain diet rendah protein akan menghambat

pogesivitas penurunan faal ginjal (Pedoman Diagnosis dan Terapi, 2008).

4) Pengelolaan hipertensi

Target tekanan darah 125/75 mmHg diperlukan untuk menghambat laju

progesivitas penurunan faal ginjal. Penghambat ACE dan ARB diharapkan akan

menghambat progesivitas penyakit ginjal kronik. Pemantauan faal ginjal secara

serial perlu dilakukan pada awal pengobatan hipertensi jika digunakan

penghambat ACE dan ARB (Pedoman Dianosis dan Terapi, 2008).

5) Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal yang disebabkan oleh

hiperfiltrasi glomerulus, yaitu dengan pembatasan asupan protein mulai

dilakukan pada LFG ≤ 6 ml/menit, sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan

asupan protein tidak selalu dianjurkan. Terapi farmakologis seperti penggunaan

Page 7: 84451716-CKD

7

antihipertensi untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi

glomerulus.

6) Pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskuler, misal pengendalian hipertensi,

diabetes melitus, dislipidemia, anemia, hiperfosfatemia, dan terapi terhadap

kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit.

7) Pencegahan dan terapi komplikasi, misalnya anemia, osteodistrofi renal akibat

hiperfosfatemia, dan lain-lain.

8) Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Sudoyo, dkk.,

2006).

1.2 Tinjauan Tentang Udema Paru

1.2.1 Definisi

Udema paru akut termasuk serangan tiba-tiba pada saluran respirasi yang berbahaya,

berhubungan dengan akumulasi dari cairan pada interstitium paru yang berlangsung selama

beberapa menit atau jam (Heandley, 2007).

1.2.2 Patofiologi

Ketidakseimbangan pada starlin forces adalah kunci dari akumulasi cairan pada

interstitium dan alveolus. Terdapat tiga mekanisme pemberian respons untuk menjaga

interstitium dan alveolus tetap kering, yaitu tekanan onkotik plasma (25mmHg) lebih

besar dari tekanan kapiler paru (7-12 mmHg), jaringan penyambung dan barier selular

relatif impermiabel terhadap protein plasma, extensive lymphatic system (Sovari, et

all.,2008).

Jika mekanisme normal untuk menjaga paru tetap kering mengalami gangguan,

maka paru akan mengalami kelebihan cairan, edema cenderung terakumulasi malalui

rangkaian tahap yang dapat diprediksi. Proses ini terbagi menjadi tiga tahap (Sovari, et

all.,2008) :

1. Transfer cairan meningkat pada interstitium paru, karena aliran limfatk juga

menngkat, tidak diikuti dengan peningkatan volume interstitial.

Page 8: 84451716-CKD

8

2 Kapasitas dari imfatik tidak mencukupi untuk mengeringkan kelabihan cairan dan

cairan mulai terakumulasi di ruang interstitium yang mengeliligi bronkiolus dan

pembuluh darah paru

3 Cairan bertambah banyak, meningkatkan tekanan sehingga cairan mengisi rongga

interstitial mengelilingi alveoli dan akhirnya mengganggu tight junctions pada

membran alveol. Penembahan cairan pertama pada perifer dari membran kapiler

alveoli dan akhirnya menggenangi alveoli.

3.1.1 Penatalaksanaan Terapi

Penatalaksanaan terapi edema paru terdiri dari terapi penyakit dasar dan terapi suportif

(Alsagaff, dkk., 2005):

1. Terapi penyakit dasar

Merupakan faktor yang sangat penting dalam pengobatan, sehingga perlu

diketahui dengan segera penyebabnya. Terapi ideal untuk edema permeabilitas

adalah agen yang dapat memperbaiki permeabilitas vaskular abnormal, namun

sampai saat ini belum ada obat tersebut.

2. Terapi suportif

Karena terapi spesifik tidak selalu dapat diberikan smpai penyebabnya diketahui

maka pemberian terapi suportif sangat penting. Tujuan umum adalah

mempertahankan fungsi fisiologik dan seluler dasar seperti pertukaran gas,

perfusi organ dan metabolisme aerob.

Pemberian oksigen

Oksiegen diberikan dengan aliran tinggi, sebaiknya dengan masker dengan

sasaran PaO2 minimal 60mmHg sepanjang PaCO2 dalam batas normal. Jika

upaya ini tidak mampu mempertahankan PaO2 > 60mmHg atau terjadi retensi

CO2 maka diperlukan intubasi endotrakeal tube dengan ventilator mekanik.

Keseimbangan cairan dan nutrisi

Hematokrit

Hemoglobin adekuat harus dipertahankan yaitu hematokrit sekitar 30-35%. Bila

hematokrit turun <30% dapat diberikan transfusi darah PRC (packed red cell)

untuk meningkatkan kapasitas pengangkutan O2

Page 9: 84451716-CKD

9

3.2 Tinjauan Tentang Pneumonia

3.2.1 Definisi

Pneumonia merupakan suatu penyakit infeksi yang menyebabkan peradangan

akut parenkim paru dan pemadatan eksudat pada jaringan paru. Bakteri yang dapat

menyebabkan pneumonia adalah Streptococcus pneumonia yang merupakan penyebab

utama jumlahnya > 70 %, Mycoplasma pneumoniae sekitar 10-20% kasus. Penyakit

pneumonia diperberat dengan munculnya organisme nosokomial (didapat dari rumah

sakit), ditemukannya organisme-organisme baru (seperti Legionella) yang

menyebabkan pneumonia, serta bertambahnya pasien immunocompromise seperti pada

pasien penyakit HIV-AIDS ( Dipiro, 2008).

Pneumonia adalah suatu infeksi pada alveoli, distal airways, dan interstitium

pada paru (Kasper, et all., 2005).

Berikut terdapat lima klasifikasi dari pneumonia community-acquired, aspiration,

hospital-acquired,ventilator-associated, and health care–associated (Wells, et all.,

2008).

3.2.2 Etiologi

Tabel 2. Bakteri patogen yang biasa menginfeksi berdasarkan tipe dari pneumonia

(Well, et all., 2008)

Page 10: 84451716-CKD

10

3.2.3 Patofisiologi

Pneumonia umumnya sering disebabkan oleh bakteri gram positif streptococci

dan staphylococci, dan bakteri gram negatif yang secara normal mendiami saluran cerna

(enterics), tanah dan air (nonenterics) (Dipiro,2008).

Patogen prominen yang paling sering menyebabkan pneumonia pada orang

dewasa sehat adalah S. Pneumoniae ( pneumococcus ) dan M. Pneumoniae. Sedangkan

pada anak, pneumonia disebabkan oleh microorganisme yang memiliki range lebih luas,

tidak hanya bakteri, bisa juga disebabkan oleh virus, seperti RSV, parainfluenza, dan

adenovirus. M. Pneumoniae merupakan patogen yang paling penting pada anak dewasa

(Dipiro, 2008 ).

3.2.4 Gejala Klinis

Tanda yang mungkin ada adalah suhu ≥ 390 C, dispnea : inspiratory effort

ditandai dengan takipnea, retraksi (chest indrawing), nafas cuping hidung dan sianosis.

Gerakan dinding toraks dapat berkurang pada daerah yang terkena, perkusi normal atau

redup. Pada pemeriksaan auskultasi paru dapat terdengar suara nafas utama melemah

atau mengeras, suara nafas tambahan berupa ronki basah halus di lapangan paru yang

terkena (Setiawati, dkk., 2008).

Tabel 3. Tabel manifestasi klinis pneumonia (Dipiro, 2008)

Page 11: 84451716-CKD

11

3.2.5 Penatalaksanaan Terapi

Pengobatan pneumonia terdiri atas pemberian antibiotik dan pengobatan

suportif. Yang harus diperhatikan pertama kali pada pasien pneumonia adalah evaluasi

terhadap fungsi pernafasan dan untuk menentukan adanya penyakit di sistemik, seperti

dehidrasi atau sepsis yang berakibat kolaps pada sirkulasi. Perawatan suportif pada

pasien pneumonia termasuk oksigen bila terjadi hipoksia, bronkodilator ketika terjadi

bronkospasme, serta pengeluran cairan bila ada. Terapi pelengkap antara lain cairan ,

nutrisi, serta pengontrolan demam. Dehidrasi dapat tejadi karena demam, intake

makanan kurang, adanya mual muntah. Terapi awal pneumonia bakterial diberikan

secara empiris, dengan penggunaan antibiotik spektrum luas sebelum spesifik patogen

penyebab diketahui (DiPiro,et al. 2008; Soedarsono, 2004).

Tabel 4. Terapi Antibiotik Empirik Pasien Pneumonia Dewasa (American Thoracic Society (ATS), 2001; PDPI, 2006)

Rawat Jalan Tanpa faktor modifikasi: - Golongan β-laktam, atau - β-laktam + anti β-laktamase

Dengan faktor modifikasi: - Golongan β-laktam + anti β-laktamase, atau - Fluorokuinolon (levofloksasin, moksifloksasin, gatifloksasin)

Jika dicurigai pneumonia atipik: - Makrolid baru (roksitromisin, klaritomisin, azitromisin)

Rawat Inap Tanpa faktor modifikasi: - Golongan β-laktam atau β-laktam + anti β-laktamase intravena (iv), atau - Sefalosporin generasi ke-2, generasi ke-3 iv, atau - Fluorokuinolon iv

Dengan faktor modifikasi: - Sefalosporin generasi ke-2, generasi ke-3 iv, atau - Fluorokuinolon iv

Jika dicurigai disertai infeksi bakteri atipik ditambah makrolid baru

Rawat Intensif

Tidak ada faktor risiko infeksi pseudomonas: - Sefalosporin generasi ke-3 iv non pseudomonas ditambah makrolid baru atau

fluorokuinolon respirasi iv Dengan faktor modifikasi:

- Sefalosporin anti pseudomonas iv atau karbapenem iv ditambah fluorokuinolon anti pseudomonas (siprofloksasin) iv atau aminoglikosida iv

Bila curiga disertai infeksi bakteri atipik: - Sefalosporin anti pseudomonas iv atau karbapenem iv ditambah aminoglikosida

iv, ditambah lagi makrolid baru atau fluorokuinolon respirasi iv

Page 12: 84451716-CKD

12

Tabel 5. Tabel dosis antibiotik untuk terapi pneumonia (Dipiro, 2008)

Page 13: 84451716-CKD

13

BAB II

ASUHAN KEFARMASIAN

1.1 Data Pasien

1.Identitas Pasien

- Nama : Ny. N

- Alamat : Surabaya

- Umur/BB/PB : 66 tahun / 58kg

- Ruang : B2

2. MRS : 17 Juni 2010

3. Keluhan MRS : Pasien sesak nafas

4. Diagnosa : CKD (chronic kidney disease) + HD (hemodialisa) +

ALO (acute lung odema) + suspect pneumonia

5. KRS : 22 Juni 2010

6. Riwayat Penyakit :

- Hipertensi

- CKD sejak tahun 2006

7. Riwayat Obat : captopril, valsartan, sohobion

8. Riwayat alergi : -

1.2 Anamnesa

Pasien mengalami sesak nafas 1 ½ jam sebelum masuk rumah sakit, sebelumnya pasien merasa pusing, demam, pinggang sakit dan sempat pingsan

Page 14: 84451716-CKD

14

1.3 Catatan Perkembangan Pasien

Tanggal Problem/Kejadian/Tindakan Klinisi

17/6 Pasien mengalami sesak nafas, lemah, merasa badannya demam, bengkak pada kakiDiberikan O2

Pasien dikonsulkan ke dokter paru, hasilnya pasien dicurigai menderita pneumoniaPasien diberikan terapi :Furosemid iv 3x1 ampulRanitidin iv 2x1 ampulCeftriaxone iv 2x1gCiprofloxacin infus 2x1Nebul cobivent 3x1Neurodex 1x1 tablet

18/6 Pasien masih mengalami sesak nafas, nyeri pada uluhati, dan pusingKaki masih bengkakKondisi pasien masih lemahPasien menjalani HDHb pasien turunDiberikan tambahan terapi:Vifferon 1x1 tabletKetosteril 3x2 tablet

19/6 Pasien masih mengalami sesak nafas, meski sudah agak berkurang, kaki masih bengkak, amsih mera pusing dan kondisi pasien masih lemahTerapi tetap

21/6 Kondisi pasien mulai membaik, sesak sudah tidak dirasakan, namun pasien masih merasa pusingBengkak kaki bekurangPasien mengeluh pusing sejak kemarin (20/6 ’10)Diberikan terapi mertigo 2x1 tablet

22/6 Kondisi pasien mulai membaik, O2 dilepasPasien menjalani hemodialisa (HD)Pasien meminta pulang setelah HD

Page 15: 84451716-CKD

15

Profil Pengobatan Pasien

No. DMK : 1102-xxxxMRS : 17/06/2010KRS : 22/06/ 2010Inisial Pasien : Ny. NUmur/BB/Tinggi : 66 tahun/ 58kg /-Alamat : SurabayaRiwayat Sosial : umum

Keluhan Utama : sesak nafasKeluhan Tambahan : pusing, demam, kaki bengkakDiagnosis : CKD + HD + ALO + susp. pneumoniaRiwayat Penyakit : HT, CKDRiwayat Obat : captopril, valsartan

Kepatuhan : +Alergi : -Merokok/Alkohol : -Obat Tradisional : jamuOTC : sohobion

PROFIL PENGOBATAN PADA SAAT MRS

No Nama Obat Rute Regimen Dosis Tanggal Pemberian Obat (2010)17/6 18/6 19/6 20/6 21/6 22/6

O2 nc + + + + +Lasix (furosemid) Iv 3x1amp +

(2 amp)+ + + +

Ranitidin iv 2x1amp + + + + +Ceftriaxone iv 2x1g + + + + + +Ciprofloxacin iv 2x1 infus + + + + + +Combivent nebul 3x1 + + + + + +Neurodex po 1x1 tab + + + + + +Vifferon po 1x1tab + + + + +Asam folat po 1x1tab + + + + +Ketosteril po 3x2tab + + + + +Mertigo po 2x1 + + k/pHD + +

Page 16: 84451716-CKD

16

Captopril po 2x1 + + + + + +Valsartan po 1x1 + + + + + +

DATA KLINIK

Data Klinik Normal Tanggal (2010)17/6 18/6 19/6 20/6 21/6 22/6

TD (mm/Hg) < 130/80 188/122 140/90 160/80 180/110 150/100 140/80RR (x/menit) 20-30 26 26 20 24Nadi (x/menit) 80-100 126 90 90 85 90 90Suhu tubuh (oC)

36-37 36,2 36,0 37,5 37,5 37,5 37,0

GCS 456 456Sesak + + +Lemah + + + ± ±Nyeri uluhati +Pusing + + +Demam + + +Bengkak Kaki (+) kaki (+) kaki (+) kaki (+) kaki (-) kaki (-)

Komentar :

- Tekanan darah pasien tinggi, karena psien memang mempunyai riwayat penyakit hipertensi.- Pasien mengeluh sesak sejak awal MRS, hal ini dapat disebabkan karena odema paru yang diderita, atau

karena pneumonia yang kemungkinan diderita oleh pasien.- Pasien juga menderita udema pada kaki, karena pasien menderita CKD

Page 17: 84451716-CKD

17

DATA LAB

Data Lab Normal Tanggal (2010)17/6 18 22/6

Hb (g/dl) 11,0 – 16,5 8,4 7,6Hematokrit (%) 36 – 50 27,0 21,6Leukosit ( /µL) 3500 –

1000012900 8400

Trombosit ( /µL) 150.000 –300.000

321.0000 223.000

Albumin (g/dl) 3,5 – 5,5 3,0 3,3SGOT 11 – 41 51SGPT 10 – 41 44GDS (mg/dl) <200 84BUN (mg/dl) 10 – 20 24,8 45,2Kreatinin (mg/dl) 0,7 – 1,5 5,7 7,1ɤ GT (U/L) 8 – 38 6,7TG (mg/dl) 35 -135 53Kolesterol (mg/dl)

150 – 250 179

Globulin (mg/dl) 2,2 – 3,5 2,35 2,8Natrium (mmol/L)

136 – 145 142 144

Kalium (mmol/L)

3,5 – 5,0 4,9 3,8

Klorida (mmol/L)

98 – 106 107 106

BGAPH 7,35 – 7,45 7,5PCO2 (mmHg) 35 – 45 34,7PO2 (mmHg) 80 – 100 56,4UrinanalisaLeukosit 2-3Protein / albumin +Urobilinogen -Bilirubin -Reduksi -Epitel 4-6Eritrosit >>Bakteri -Silinder -

Komentar:

- Pasien pada saat masuk kadar Hbnya rendah disebabkan karena pada pasien PGK produksi eritropoetin menurun, pasien mengalami anemia.

- Hct turun dikarenakan pasien mengalami anemia sehingga komposisi sel darah merah dalam darah turun.

- Kadar ureum meningkat karena ginjal sebagai organ pengeleminasi urea dari tubuh mengalami gangguan fungsi.

- Peningkatan kreatinin serum lebih dari 2x lipat mengindikasikan penurunan fungsi ginjal.

- Pasien mengalami proteinuria dikarenakan ada gangguan pada filtrasi glomerulus sehingga protein loss ke dalam urin.

-

Page 18: 84451716-CKD

18

Berikut perhitungan GFR dari pasien

Kliren kreatinin (ClCr) = CrC x 72

BB x ) Umur -140(x 0,85

= ( 140-66) x 58 = 8,6 ml/menit

72 x 5,7

GFR = 8,6 ml/menit /1,73 m2 stage 5

Page 19: 84451716-CKD

19

Profil Pengobatan

Obat Indikasi obat pada pasien

Pemantauan kefarmasian

Komentar dan alasanMulai Jenis obat Rute Dosis Berhenti17/6 Lasix

(furosemid)20mg/2 ml

iv 3x1 amp

2 amp (17/6)

21/6 Mengatasi udema paru Tekanan darah,Kadar elektrolit seperti kalium (ES furosemid :hipokalemia), Udem

Diberikan untuk menurunkan tekanan darah, dan mencegah terjadinya oedema akibat fungsi ginjal yang menurunn, yang bekerja dengan menghambat reabsorbsi dari sodium dan klorida, hal ini menyebabkan peningkatan ekskresi dari dari air, sodium, klorida, dan potassium. (Anderson et al., 2002).

Furosemide (40 to 100 mg IV bolus) sebaiknya diberikan sebagai venodilator dan diuresis, memobilisasi cairan dari paru ke sirkulasi, lalu dikeluarkan dari urine (choelho, et all.,2oo7)

17/6 Ranitidin Iv 2x1 g 22/6 Mencegah stress ulcer Mual dan nyeri lambung Untuk mencegah mual dan muntah akibat asam lambung yang meningkat (Lacy, 2008).

17/6 Ceftriaxine Iv 2x1g 22/6 Membunuh bakteri penyebab pneumonia

Demam, jumlah leukosit, sesak nafas.

Ceftriaxone merupakan antibiotik golongan cephalosporin generasi

Page 20: 84451716-CKD

20

ketiga. Ceftriaxone merupakan antibiotika spektrum luas dan efektif untuk pengobatan infeksi yang disebabkan bakteri gram positif dan gram negatif (McEvoy, 2004).Pnemonia : i.v 1 g sekali sehari.Sepsis : i.v 2 g sekali sehari.(Lacy, 2008)

17/6 Ciprofloxacin Iv 2x1 infus 22/6 Membunuh bakteri penyebab pneumonia

Demam, jumlah leukosit, sesak nafas.

Ciprofloksasin adalah anti infeksi golongan fluoroquinolon (McEvoy, 2004). Ciprofloksasin mempunyai aktivitas yang sangat baik terhadap bakteri gram negatif dan cukup baik terhadap bakteri gram positif. Fluoroquinolon juga aktif untuk mengatasi pneumonia atipikal dan bakteri patogen intrasel seperti spesies legionella dan beberapa mikobacteria termasuk Mycobacterium tuberculosis dan M avium compleks (Katzung, 2001).Pneumonia : i.v 400 mg setiap 8 jam selama 10-14 hari (Lacy, 2008)

Page 21: 84451716-CKD

21

17/6 Combiven (ventolin)

nebul 3x1 22/6 Untuk mengatasi sesak Keadaan umum, tanda-tanda vital (RR), sesak napas

Bronkodilator dibutuhkan pada pasien pneumonia yang mengalami bronkospasme.

16/6 Neurodex po 1x1 22/6 Vitamin Kondisi umum Neurodex mengandung vitamin B1, B6 dan B12. B1 berperan dalam metabolisme karbohidrat, B6 berperan sebagai koenzim dalam metabolisme karbohidrat, lemak dan asam amino, sedangkan B12 berperan dalam pertumbuhan, reproduksi sel, hematopoiesis, nukleoprotein dan sintesis myelin (Tatro et al., 2003).

18/6 Viferon po 1x1 22/6 Suplemen vitamin dan mineral

Kondisi tubuh lemas Terapi untuk memperbaiki kondisi umum pasien.Sebagai suplemen besi, Pasien PGK rentan mengalami anemia karena penurunan sintesis eritropoietin di ginjal, sehingga diperlukan suplemen zat besi untuk mengatasinya.

18/6 Asam folat po 1x1 22/6 Suplemen asam folat Pasien PGK biasanya mengalami defisiensi asam folat.

18/6 Ketosteril (600mg)

po 3x2 22/6 Nutrisi asam amino α-keto

BUN dan kreatinin Asam amino α-Keto ini berfungsi memenuhi kebutuhan protein pada pasien PGK yang mengalami defisiensi akibat diet rendah protein. Selain itu, asam amino α-Keto ini aman untuk pasien PGK karena tidak

Page 22: 84451716-CKD

22

meningkatkan BUN.20/6 Mertigo po 2x1

k/p22/6 Mengatasi vertigo Kondisi pusing Pada tanggal 20/6 s.d 22/6 pasien

merasa pusing berputar, sehingga diberikan mertigo yang mengandung betahistin, untuk mengatasi vertigo.

17/6 Captopril po 2x12,5 mg

22/6 Mengkontrol tekanan darah pasien

Tekanan darah pasien Ca Channel Bloker golongan dihidropiridin efeknya pada ginjal yaitu memvasodilatasi arteri aferen dan eferen juga sebagai renoprotektif.

17/6 Valsartan po 1x80mg 22/6 Mengkontrol tekanan darah pasien

Tekanan darah pasien ARB merupakan first choice pada CKD karena mempunyai manfaat renoprotektif yaitu dengan memvasodilatasi arteri efferen (sehingga menurunkan tekanan intraglomerular) dan menghambat pertumbuhan sel mesangium (Locatelli et al., 2002).

Page 23: 84451716-CKD

23

Asuhan Kefarmasian

Termasuk :

1. Masalah aktual dan potensial

2. Masalah Obat jangka panjang

3. Pemantauan efek obat

4. Keputusan penderita

5. Pemilihan Obat

6. Penghentian Obat

7. Efek samping obat

8. Interaksi Obat

OBAT PROBLEM TINDAKAN (usulan kepada klinisi, perawat, pasien )Ceftriaxone Penggunaan ceftriaxone, dapat menyebabkan

disfungsi ginjal (A to Z drug fact), sementara pasien sudah mengalami CKD

Dilakukan monitoring kondisi ginjal pasien, dilakukan penggantian antibiotik, dengan Golongan β-laktam atau β-laktam + anti β-laktamase intravena (iv), atau penyesuaian dosis untuk pasien ini.

Ciprofloxacin Dosis yang diberikan terlalu besar untuk pasien CKD

Dilakukan penyesuaian dosis menjadi setengah dari dosis untuk pasien dengan ginjal normal

Furosemid Dosis yang diberikan pada pasien terlalu tinggi, 3 kali 1 ampul (20mg)

Dosis furosemid yang diberikan 2x 20mg

Page 24: 84451716-CKD

24

MONITORING

No Parameter Tujuan Monitoring

1. BUN dan kreatinin Untuk mengendalikan progresivitas penyakit dan mencegah komplikasi, tingginya kadar BUN dan kreatinin yang tidak dikontrol akan berdampak kerusakan semua sistim organ.

2. TD Untuk mengontrol komplikasi gagal ginjal, tekanan darah yang terkontrol (<130/80) akan memperlambat progresifitas PGK.

3. Keseimbangan elektrolit (terutama kalium)

Untuk mengetahui bila terjadi gangguan keseimbangan elektrolit yang merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pasien dengan gangguan ginjal.

4 Sesak nafas Untuk mengetahui efektifitas dari antibiotik yang digunakan untuk terapi pneumonia

KONSELING

No. Obat Materi Konseling 1 Obat HT yang ada

pada pasien (captopril dan

valsartan)

Captopril :Aturan pakai dan indikasi : Diminum 3 kali sehari 1 tablet 1 jam sebelu makan Diindikasikan untuk mengontrol tekanan darah

Valsartan :Aturan pakai dan indikasi Diminum 1 tablet pada pagi hari. Diindikasikan untuk mengatasi hipertensi

2 Vifferon Obat diminum sesudah makan pada pagi hari sehari satu kali.

3 - Pasien suka minum jamu, disarankan pada pasin untuk tidak lagi mengkonsumsi jamu, karena dapat memperparah kondisi CKD yang diderita.

Page 25: 84451716-CKD

25

BAB III

PEMBAHASAN

Pasien Ny. N masuk rumah sakit dengan keluhan sesak nafas sejak 1 ½ jam

sebelum masuk rumah sakit, sebelumnya pasien merasa pusing, demam, pinggang

sakit dan sempat pingsan. Pasien mempunyai riwayat penyakit hipertensi, dan juga

sudah menderita penyakit gagal ginjal kronis sejak tahun 2006 dan telah menjalani

hemodialisa sebanyak 16 kali. Kondisi umum pasien pada saat masuk rumah sakit

tampak sakit sedang dengan TD 188/122 mmHg, nadi 126 kali/menit, suhu 36,20C, dan

RR 26 kali/menit. Pasien didiagnosa penyakit ginjal kronis dengan komplikasi odema

paru. Selain itu, hasil cek laboratorium menunjukkan kadar ureum dan kreatinin yang

tinggi (BUN 24,8 mg/dl dan kreatinin 5,7 mg/dl). Dari hasil perhitungan klirens

kreatinin (ClCr) dengan rumus Cockroff & Gault diketahui bahwa klirens kreatinin

pasien adalah 4,60 ml/menit. Karena klirens kreatininnya kurang dari 15 ml/menit. Dari

perhitungan tersebut, pasien tersebut sudah mengalami gagal ginjal stadium akhir.

Pasien juga diduga menderita bronkopneumonia, dari hasil konsul dokter paru.

Pada penatalaksanaan terapi Ny. N ini diutamakan untuk mengatasi udema paru,

dan mengatasi infeksi pneumonia yang diderita. Sehingga pada tanggal 17 juni 2010

diberikan furosemid sebanyak 2 ampul, dan dilanjutkan 3x 1 ampul. Dilanjutkan sampai

tanggal 21 Juni 2010. Untuk mengatasi udema paru furosemide (40 to 100 mg IV

bolus) sebaiknya diberikan sebagai venodilator dan diuresis, memobilisasi cairan dari

paru ke sirkulasi, lalu dikeluarkan dari urine (choelho, et all., 2007). Selain itu

furosemid Diberikan untuk menurunkan tekanan darah, dan mencegah terjadinya

oedema akibat fungsi ginjal yang menurunn, yang bekerja dengan menghambat

reabsorbsi dari sodium dan klorida, hal ini menyebabkan peningkatan ekskresi dari dari

air, sodium, klorida, dan potassium. (Anderson et al., 2002). Menurut A to Z drug facts

dosis furosemid yang diberikan untuk udema dengan komplikasi penyakit gagal ginjal

kronis adalah 40 mg, dan bila tidak memberikan respons maka dapat ditingkatkan

sampai 80mg. Sehingga disimpulkan pemberian dosis furosemid pada pasien ini terlalu

Page 26: 84451716-CKD

26

tingi. Dosis yang seharusnya diberikan untuk pasien ini adalah 2x1 ampul, dan

dilakukan monitoring terhadap udema dan sesak nafas pasien.

Pasien dicurigai menderita pneumonia, pasien langsung diberikan terapi antibiotik

untuk mengatasi pneumonia yaitu kombinasi dari ceftriaxone 2x1 gram dan

ciproflixacin 2mg/ml infus 50ml. Kedua antibiotik ini merupakan pilihan antibiotik

yang digunakan untuk mengatasi pneumonia pada orang dewasa rawat inap menurut

American Thoracic Sociaty tahun 2001. Penggunaan ceftriaxone, dapat menyebabkan

disfungsi ginjal (A to Z drug fact), sementara pasien sudah menderita penyakit gagal

ginjal kronis, sehingga sebaiknya pemberian ceftriaxone diganti dengan Golongan β-

laktam atau β-laktam + anti β-laktamase intravena (iv), dan atau penyesuaian dosis

untuk pasien ini. Dan menurut British national formulary edisi 56, ciprofloxacin

diberikan setengah dari dosis normal bila klirens kreatinin dari pasien kurang dari 20

ml/menit, nilai klirens kreatinin pasien ini 8,6 ml/menit, sehingga perlu ada penyesuaian

dosis dari ciprofloxacin.

Untuk menurunkan tekanan darah pasien digunakan captopril dan valsartan. ARB

merupakan first choice pada CKD karena mempunyai manfaat renoprotektif yaitu

dengan memvasodilatasi arteri efferen (sehingga menurunkan tekanan intraglomerular)

dan menghambat pertumbuhan sel mesangium (Locatelli et al., 2002). Ca Channel

Bloker golongan non dihidropiridin efeknya pada ginjal yaitu memvasodilatasi arteri

aferen dan eferen juga sebagai renoprotektif.

Terapi lain yang diberikan pada pasien ini yaitu terapi ranitidin, yang digunakan

untuk mencegah peningkatan asam lambung yang berlebih karena terjadinya stess ulcer

pada pasien. Neurodex dan vifferon yang merupakan fitamin untuk memperbaiki

kondisi klinis pasien. Ketosteril, yang berisis asam amino keto, digunakan untuk

memenuhi kebutuhan protein dari pasien dan dapat juga menurunkan BUN, sehingga

baik untuk pasien dengan penyakit gagal ginjal kronis.

Pasien juga menerima ketosteril yang berisi asam amino α-keto acid yang

berfungsi sebagai suplemen asam amino untuk mencukupi kebutuhan protein pada

pasien gagal ginjal dengan diet rendah protein yang berpotensi mengalami malnutrisi.

Selama perjalanan penyakit gagal ginjal terdapat abnormalitas metabolisme BCAA

Page 27: 84451716-CKD

27

(branched-chain amino acid) dan BCKA (Branched-chain keto acid) yang

mengakibatkan deplesi BCAA. Penambahan suplemen α-keto acid dan asam amino

essensial terbukti lebih efektif daripada diet rendah protein saja dalam menurunkan urea

dalam darah dan urin (Cano et al, 2006).

Pada pasien dengan gangguan ginjal, perlu dilakukan monitoring terhadap kadar

kalsium, fosfat dan asam urat karena kondisi pasien yang rentan mengalami

hipokalsemia, hiperfosfatemia dan hiperurisemia. Monitoring darah lengkap perlu

dilakukan secara rutin agar dapat lebih memantau perkembangan kondisi pasien. Selain

itu monitoring terhadap serum elektrolit harus dilakukan rutin karena pasien rentan

mengalami ketidakseimbangan elektrolit dan juga dikarenakan pasien mendapat terapi

dengan Furosemid.

Pada tanggal 18 Juni 2010 dan tanggal 22 Juni 2010 pasien menjalani

hemodialisa. Dan setelah hemodalisa tanggal 22 Juni pasien meminta keluar dari rumah

sakit, sehingga pasien dipulangkan.

Page 28: 84451716-CKD

28

DAFTAR PUSTAKA

Anonim., 1994., Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab/UPF Paru Ilmu Penyakit Paru,

RSU Dr. Soetomo, Surabaya.

Anderson, P.O., James, E.K., William, G.T., 2002, Handbook of Clinical Drug Data,

Tenth Edition. New York : McGraw Hill Comp. Inc.

Anonim 2009. MIMS Indonesia Petunjuk dan Konsultasi, Edisi 10 2009/2010,

Jakarta: PT InfoMaster, lisensi CMP Medica.

Cano, Noel, Fouque, Leverve., 2006, Application of Branched-Chain Amino Acids in

Human Pathological States: Renal Failure, Journal of Nutrition.

Dipiro, Joseph. T., Robert L.Talbert, Gary C. Yee, Gary R. Matake, Barbara G. Wells,

L. Michael Posey, 2008, Pharmacotherapy A Pathophysiological Approach,

Seventh Edition. New York : McGraw-Hill Medical Publishing Division.

Fauci, A. S., Kasper, D. L., Longo, D. L., Braunwald, E., Hauser, S. L., Jameson, J. L.,

Loscalzo, J., 2008, Harrison’s Principles of Internal Medicine, 17th Edition.

New York : McGraw Hill Comp. Inc.

Ganong, William F., 1997, Review of Medical Physiology, USA: Appleton and Lange

Hamilton, C. W., 2006. Chronic Kidney Disease. In: Wells, B.G., Dipiro, J.T.,

Schwinghammer, T.L., Hamilton, C.W., Pharmacotheraphy Handbook, USA:

Mcgraw-Hill Comapanies, Inc.p.781-796

ISFI, 2008. ISO Indonesia (Informasi Spesialite Obat Indonesia), Vol. 43, Jakarta :

Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia.

Page 29: 84451716-CKD

29

Joy, M. S., Kshirsagar, A., Franceschini, N., 2008. Chronic kidney disease. In: DiPiro,

J.T., Talbert, L., Yee, G.C., , Matzke, G.R., Wells, B.G., and Posey, L.M.,

Pharmacotherapy: a pathophysiologic approach, 7th ed., United States of

America: The McGraw-Hill Companies, Inc., p. 745-764.

Kasper, Dennis L. et al, 2005, HARRISON’S Manual of Medicine, New York : The

McGraw-Hill Companies, Inc.

Lacy C.F., Amstrong. L.L., Ingrim. N.N., Lance. L.L., 2008, Drug Information

Handbook, 17 th ed, Hudson : Lexi-Comp. Inc.

Lingappa, V. R, 1995, Renal Disease, In: McPhee, S. J., Lingappa, V. R., Ganong, W.

F., Lange, D. L., (Eds), Pathophysiology of Disease – An Introduction to

Clinical Medicine, 1st Edition, Stamford: Appleton & Lange A Simon &

Schuster Company

McEvoy Gerald K , 2004. AHFS Drug Information, USA: American Soc Of Health

System

Mehta D.K., (Eds), 2008, British National Formulary 56, London : British Medical

Assosiation and Royal Pharmaceutical Society

McPhee, S.J., 1995. Patophisiology of Disease An Introduction to Clinical Medicine,

First Edition, Connecticut: Appleton and Lange.

National Kidney Foundation, 2002. K/DOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic

Kidney Disease : Evaluation, Classification and Stratification, Guideline 1

(cited 6 Mei 2010). Available from : URL :

http://www.kdoqi.org/professionals/kdoqi/guidelines_ckd/toc.htm

Neal, M.J., 2005, At a Glance Farmakologi Medis, Edisi Kelima. Penerbit Erlangga.

Page 30: 84451716-CKD

30

Pagana, K.D., Pagana T.J., 2002. Mosby’s Manual of Diagnostic and Laboratory Test,

second edition, USA : Mosby. Inc.

Royal College of Physicians of London and the Renal Association, 2006. Chronic

kidney disease in adults; UK guidelines for identification, management and

referral (cited 6 Mei 2010). Available from : URL :

http://www.renal.org//CKDguide//full//CKDprintedfullguide.pdf.

Sudoyo, A. W et all., 2006, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Keempat, Jakarta :

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Sweetman, S., 2007. Martindale 35: The Ccomplete Drug Reference. Britain :

Pharmaceutical press, Electronic version.

Tatro, D.S, 2003. A to Z drug Facts and Comparisons. Electronic version,

Book@Ovid.

Wilson, Denise. 2008. Manual of Laboratory and Diagnostic Tests. USA: The

McGraw-Hill Companies, Inc.

Wells, B.J., Dipiro, J.T., Schwinghammer, T.L., and Hamilton, C.W., 2003.

Pharmacoterapy Handbook. 5th edition, New York : McGraw-Hill Companies

Inc.