82944857-makalah-dinamika-korupsi

38
MAKALAH DINAMIKA KORUPSI DI INDONESIA Diajukan untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah PLSBT RIZKI ACHIRUDIN 0906888 JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

Upload: ahmad-syahruddien-jimmy-monovers

Post on 24-Oct-2015

23 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

MAKALAH

DINAMIKA KORUPSI DI INDONESIA

Diajukan untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah PLSBT

RIZKI ACHIRUDIN

0906888

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT serta Nabi Muhammad

SAW sebagai Rasul-Nya, yang telah melimpahkan karunia serta rahmat kepada

saya sehingga makalah ini dapat selesai disusun.

Makalah Dinamika Korupsi Di Indonesia ini disusun untuk memenuhi

tugas mata kuliah Pendidikan Lingkungan Sosial, Budaya, dan Teknologi

(PLSBT) sebagai tugas akhir perkuliahan menjelang Ujian Akhir Semester.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, serta semoga

makalah ini dapat menjadi motivasi serta renungan dalam upaya pemberantasan

korupsi di Indonesia.

Upaya penyempurnaan kualitas penyusunan terus dilakukan secara

berkesinambungan. Penulis mengharapkan kritik serta saran yang membangun

guna penyempurnaan penulisan berikutnya.

Penulis ucapkan terima kasih, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi

kita semua. Amin. Wassalammualaikum warahmatullahiwabarakatu.

Bandung, 24 Desember 2010

Rizki Achirudin

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Penulisan

D. Metode Penelitian

E. Sistematika Penulisan

BAB II DINAMIKA KORUPSI DI INDONESIA

A. Pengertian Korupsi

B. Motif Korupsi

C. Fenomena Korupsi di Indonesia

1. Budaya Korupsi

2. Sejarah Korupsi di Indonesia

3. Korupsi di Indonesia pada Masa Sekarang

D. Upaya Pemberantasan Korupsi

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Korupsi seakan-akan sudah membudaya di Indonesia. Dari kasus BULOG

hingga kasus makelar pajak Gayus Tambunan merupakan contoh nyata

korupsi di Indonesia. Korupsi tidak henti-hentinya menggerogoti bangsa ini,

dari kalangan atas maupun bawah seakan-akan sudah terkontaminasi oleh

bahaya laten korupsi. Dari kalangan atas misalnya dari kaum birokrat sendiri

sudah terjamuri oleh mental korupsi. Seperti kasus Gayus Tambunan yang

sedang hangat-hangatnya dibicarakan merupakan contoh ikhwal korupsi di

Indonesia. Makelar pajak yang mengambil keuntungan privat dengan

menggelapkan data serta memberi konpensasi terhadap orang atau badan yang

kena pajak sehingga tidak ada pemasukan bagi Negara namun memberi

pemasukan terhadap harta pribadi.

Kasus penggelapan pajak merupakan tindakan korupsi. Bukan hanya kasus

Gayus Tambunan yang patut dibicarakan, namun masih banyak kasus lain

yang merupakan tindakan korupsi. Kasus Gayus Tambunan bukan satu-

satunya kasus korupsi yang pernah terjadi di Indonesia, kasus ini merupakan

sebagian kecil dari sekian kasus yang Nampak ke permukaan. Kasus

penggelapan, suap, manipulasi, serta bentuk ketidak jujuran lainnya yang

memakan hak orang lain masih banyak terjadi pada bangsa ini. Tindakan-

tindakan korupsi lainnya banyak terjadi di Indonesia, baik dari kalangan atas

hingga kalangan bawah yang nantinya terjadi semacam mata rantai yang

saling bekerja sama maupun bekerja sendiri-sendiri namun saling mencontoh.

Upaya pemberantasan korupsi terus digencarkan pemerintah. Salah

satunya dengan penbentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun

bukanlah hal yang mudah dalam pemberantasan korupsi di Indonesia yang

sudah menjamur serta mendarah daging dalam setiap segi pemerintahan

maupun kehidupan sehari-hari dalam masyarakat. Tindak korupsi melekat

dalam mental bangsa, baik secara disadari maupun tidak. Korupsi seakan-akan

sudah menjadi budaya di Indonesia, yang ada sejak zaman feodal di Nusantara

hingga kemerdekaan Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Setelah memaparkan latar belakang masalah yang menyangkut korupsi di

Indonesia, selanjutnya akan dipaparkan mengenai rumusan masalah yang akan

dikaji dalam makalah ini. Agar pembahasan lebih terfokus ke pokok

permasalahan, maka pembahasan akan dibagi menjadi beberapa bentuk

pertanyaan sebagai berikut, antara lain :

1. Apa yang dimaksud dengan korupsi ?

2. Apa contoh kasus korupsi di Indonesia ?

3. Mengapa kasus korupsi banyak terjadi di Indonesia ?

4. Bagaimana cara pemberantasan korupsi di Indonesia ?

C. Tujuan Penulisan

Dari rumusan masalah yang sudah ditentukan, selanjutnya dipaparkan

mengenai tujuan penulisan makalah, yang antara lain :

1. Mengetahui serta memahami apa yang dimaksud dengan korupsi.

2. Mengetahui serta memahami contoh kasus korupsi di Indonesia.

3. Mengetahui serta memahami sebab tumbuhnya korupsi di Indonesia serta

sejarah korupsi di Indonesia.

4. Mengetahui, memahami, serta menerapkan upaya pemberantasan korupsi

yang efektif di Indonesia.

D. Metode Penulisan

Metode yang digunakan dalam menyusun makalah ini adalah dengan

pengkajian literatur mengenai korupsi serta sejarah korupsi itu sendiri di

Indonesia serta dengan melihat dan memahami fakta yang terjadi di lapangan.

Literatur yang digunakan berupa buku, jurnal, artikel, serta bahan lainnya

yang relevan dengan topik yang dibahas dalam makalah ini.

Selanjutnya konsep dari literatur serta pembahasan di dalamnya dikaji lalu

dipahami yang nantinya akan dituangkan dan dikaji ulang dalam makalah ini.

Konsep-konsep dari berbagai literatur dijadikan suatu generalisasi yang

berguna untuk mempermudah pemahaman. Dari konsep serta generalisasi

yang sudah terbentuk selanjutnya dihubungkan dengan fenomena yang terjadi

di lapangan. Metode ini bertujuan untuk lebih menambah pemahaman yang

kompleks dan saling berhubungan serta menghindari kesubjektivan dalam

penulisan makalah.

E. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Penulisan

D. Metode Penulisan

E. Sistematika Penulisan

BAB II DINAMIKA KORUPSI DI INDONESIA

A. Pengertian Korupsi

B. Motif Korupsi

C. Fenomena Korupsi di Indonesia

1. Budaya Korupsi

2. Sejarah Korupsi di Indonesia

3. Korupsi di Indonesia pada Masa Sekarang

D. Upaya Pemberantasan Korupsi

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

BAB II

DINAMIKA KORUPSI DI INDONESIA

A. Pengertian Korupsi

Dari segi etimologis, istilah korupsi berasal dari bahasa latin corruptio

atau corruptus, corruptio berasal dari kata corrumpere yang berarti busuk,

menggoyangkan, memutar balik, serta menyogok. Kata tersebut kemudian

diturunkan ke dalam bahasa Inggris menjadi corruption. Sedangkan dalam

bahasa Belanda, istilah korupsi berasal dari kata korruptie yang artinya

kebusukan, keburukan, kejahatan, ketidakjujuran, penyuapan, penggelapan,

kerakusan, amoralitas, dan segala penyimpangan dari kesucian. Dari segi

etimologis tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa korupsi merupakan

perilaku atau perbuatan tidak jujur yang di dalamnya termasuk bentuk

kebusukan, keburukan, kejahatan, penyuapan, penggelapan, kerakusan, serta

bentuk tindakan amoralis.

Suatu perbutaan dikatakan korupsi apabila sudah ada pemisahan antara

kepemilikan publik dengan kepemilikan pribadi. Dalam sistem kerajaan

(feodal) yang pernah ada di nusantara, meskipun raja bertindak sewenang-

wenang dalam menggunakan harta kerajaan tidak dapat dikatakan korupsi

karena sistem yang dipakai adalah raja sebagai Negara (despotis). Sehingga

semua yang ada di dalam dan wilayah kerajaan merupakan milik raja dan raja

bebas menggunakannya.

Istilah korupsi di Indonesia dikenal dengan istilah KKN (Korupsi, Kolusi,

Nepotisme). Korupsi merupakan perilaku menyimpang dari aturan etis formal

yang menyangkut tindakan seseorang dalam posisi otoritas publik yang

disebabkan oleh pertimbangan pribadi seperti kekayaan, kekuasaan, dan status

(Walters, 2006). Dari definisi yang diungkapkan oleh Walters dapat

disimpulkan bahwa korupsi tidak hanya segala bentuk dalam meraup kekayaan,

namun korupsi juga bisa berbentuk penyalahgunaan wewenang serta perolehan

kekuasaan dan status secara tidak sah (curang). Istilah kolusi digunakan untuk

menyebut segala hal penyalahgunaan wewenang atau jabatan. Misalnya dalam

kasus Gayus Tambunan yang menyalahgunakan jabatannya dalam posisi

petugas pajak dengan memalsukan dokumen maupun menggelapakan data

perusahaan yang kena pajak, dan ia menerima sejumlah uang dari perusahaan

bersangkutan sebagai uang pelicin. Contoh lain misalnya anggota dewan yang

bernegosiasi dengan suatu badan atau perusahaan dalam suatu tender suatu

proyek publik (misalnya proyek pembangunan jalan) yang seharusnya dipilih

secara adil namun dipilih dengan cara memilih pemberi uang pelicin (sogokan)

terbesar. Uang pelicin (sogokan) masuk ke kantong pejabat yang rakus bagai

tikus, sehingga tidak ayal jika sering terjadi jalan yang ambruk, amblas, serta

bolong dalam jangka pendek dari awal pembangunan karena pemborong yang

dipilih dalam pembuatan jalan tidak dipilih secara sehat dari kualifikasi dan

kriteria yang sesuai.

Penyalahgunaan wewenang yang dianggap sebagai perilaku korupsi tidak

hanya berdasarkan pemungutan materi atau memperkaya diri sendiri.

Penyalahgunaan wewenang yang termasuk korupsi juga berbentuk seperti

penyalahgunaan wewenang dalam pemilihan posisi (kedudukan) secara tidak

sehat. Misalnya dalam pemilihan anggota dewan yang seharusnya dipilih

berdasarkan kriteria dan kualifikasi skill tertentu namun dipilih secara

kekerabatan guna memberi posisi maupun untuk menjaga kedudukan si

pemberi jabatan. Tindakan tersebut lebih dikenal di Indonesia sebagai tindakan

nepotisme. Hal ini pernah terjadi di Indonesia pada saat rezim Orde Baru

berkuasa yaitu dengan memasukan sanak saudara maupun kerabat ke dalam

birokrasi yang dipilih secara tidak sehat dan adil. Mereka yang masuk ke dalam

birokrat nantinya akan menjadi antek guna mengamankan posisi penguasa

sehingga sulit untuk tumbuhnya oposisi dalam birokrat. Indonesia menganut

sistem demokrasi, yakni kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan rakyat

berhak untuk berpartisipasi dalam birokrat. Dari sistem demokrasi yang di anut,

pemilihan pejabat seharusnya dilakukan secara adil dan tidak boleh dilakukan

secara sepihak tetapi dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama. Nepotisme

bertujuan untuk memberi posisi serta melanggengkan kekuasaan sehingga sulit

untuk tumbuhnya kaum oposisi dalam sistem pemerintahan. Sistem ini

berdasarkan asas saling menguntungkan dari pihak yang diangkat serta pihak

yang mengangkat.

Tindakan nepotisme berdampak pada kurangnya profesionalitas kerja. Hal

ini terjadi Karena pejabat yang diangkat tidak melalui proses kualifikasi

sehingga tidak memenuhi kriteria yang mumpuni. Selain itu pula, tindakan ini

memberi dampak pada ketidaktransparan sistem sehingga sulit untuk dilakukan

pengawasan karena mereka saling melindungi satu sama lain.

B. Motif Korupsi

Korupsi dilakukan secara sadar untuk memperoleh kekayaan, kekuasaan,

maupun jabatan. Korupsi juga bisa terjadi secara terencana maupun tidak,

tergantung pada kesempatan yang ada. Keinginan manusia tidak ada batasnya,

berlawanan dengan ketersediaan yang terbatas sehingga banyak terjadi

persaingan dalam meraih sesuatu. Pencapaian tujuan (keinginan) seperti

kekayaan misalnya tidak mudah dicapai sehingga banyak yang menggunakan

jalan lain yang tidak jujur untuk mencapainya. Jalan tersebut antara lain dengan

korupsi. Korupsi mempercepat memperoleh hasil apabila ada kesempatan yang

longgar untuk meraihnya. Kesempatan itu antara lain karena adanya kedudukan

sehingga mudah untuk berbuat korup. Selain itu pula, tindak korupsi banyak

terjadi karena kurangnya pengawasan sehingga tindak korupsi mudah saja

dilakukan. Pengawas yang bertugas mengawasi keuangan Negara justru banyak

yang terseret ke dalam kasus korupsi sehingga tidak ayal kasus korupsi di

Indonesia sulit untuk diberantas karena aparatnya pun sama saja.

Korupsi merupakan bahaya laten yang apabila tidak diberantas sampai ke

akar-akarnya akan bergenerasi kembali dan membudaya dalam bangsa

Indonesia. Kesenjangan sosial di Indonesia merupakan jurang pemisah antara si

miskin dan si kaya. Kesenjangan sosial ini dapat berdampak pada tindak

korupsi yakni timbulnya sikap untuk mengejar kekayaan dengan cara mudah.

Seseorang yang miskin ataupun menengah tentunya ingin menjadi kaya. Pada

suatu kesempatan ketika ia duduk dalam kursi jabatan yang cukup strategis

misalnya, merupakan posisi yang memungkinkan untuk meraih kekayaan

dengan cara cepat yakni dengan korupsi.

Maraknya kasus korupsi yang terjadi di Indonesia tidak terlepas dari faktor

budaya yang melekat pada bangsa sebagai warisan zaman feodal. Budaya

sangat sulit untuk dirubah, karena terjadi secara turun temurun dan melekat

dalam jiwa. Salah satu budaya bangsa Indonesia adalah rasa balas budi yang

kuat. Rasa balas budi apabila tidak dicermati dengan baik dapat menjadi sikap

negatif, salah satunya menjadi tindak korupsi. Seseorang yang diangkat

menjadi seorang pejabat misalnya, ketika dia sudah diangkat cenderung

memunculkan rasa untuk membalas budi kepada pihak yang membantunya

dalam pencapaian tujuan. Rasa untuk membalas budi itu bisa berbentuk materi

maupun nonmateri. Bentuk materi misalnya dengan memberikan sejumlah

uang yang didapat dengan jujur ataupun juga dengan korupsi. Bentuk

nonmateri misalnya dengan memberi jalan untuk mengangkat ke dalam suatu

posisi serta dapat pula berbentuk pemberian dispensasi maupun hak khusus

yang tidak sesuai dengan hukum ataupun melanggar hukum.

Salah satu tujuan hidup manusia adalah untuk bergenerasi dan hidup

sejahtera. Investasi masa depan sangat penting guna mempertahankan harkat

dan martabat generasi berikutnya. Investasi masa depan dapat juga menjadi

motif untuk tindak korupsi, yang bisa berbentuk materi dan nonmateri pula.

Bentuk materi bertujuan untuk mempertahankan kekayaan, sedangkan bentuk

nonmetari bertujuan untuk mempertahankan kedudukan sehingga terjadi rotasi

keluarga dalam suatu jabatan. Hal ini berhubungan dengan kesenjangan sosial

yang terjadi dalam masyarakat, yakni yang kaya akan semakin kaya dan yang

miskin semakin miskin karena sulit untuk meraih suatu kedudukan yang sudah

dipegang oleh satu pemegang.

Faktor yang paling menentukan dalam suatu tindak korupsi adalah krisis

iman. Iman muncul dari hati kemudian diterapkan dalam bentuk tindakan.

Lemahnya iman sangat memperngaruhi dalam bertindak seperti tidak ada rasa

takut untuk berbuat tidak jujur dan berbuat jahat. Seseorang yang berbuat

korupsi sudah tentu imannya lemah sehingga berani mengambil sesuatu yang

bukan haknya. Lemahnya iman dapat membentuk jiwa yang mudah goyah serta

mudah terbawa hawa nafsu. Hal yang termasuk hawa nafsu misalnya rasa ingin

menjadi terpandang, memperoleh kekuasaan dan kedudukan dalam jabatan

maupun dalam masyarakat, serta untuk memiliki kekayaan. Hawa nafsu

muncul dalam setiap jiwa seseorang, sehingga apabila tidak dikritisi secara

cermat dapat menimbulkan sikap negatif seperti korupsi. Ada suatu konsep

yang menyatakan bahwa ke;emahan manusia adalah harta, tahta, dan wanita.

Hal ini juga termasuk hawa nafsu yang apabila dikritisi akan berdampak pada

perbuatan negatif pula. Pencapaian hawa nafsu sering bersifat negatif karena

adanya rasa untuk mencapai dengan cepat dan mudah.

C. Fenomena Korupsi di Indonesia

1. Budaya Korupsi

Korupsi di Indonesia menjamur di setiap segi bidang kehidupan yang

seakan-akan sudah menjadi budaya asli bangsa Indonesia. Dari mulai

masyarakat kecil hingga masyarakat kelas atas tidak luput dari perilaku

korupsi yang sebagian kalangan anggap sebagai bahaya laten yang sudah

mendarah daging. Salah satu contoh misalnya dalam urusan pelayanan

umum perlu atau selalu saja memerlukan uang tips atau sebagainya yang

sifatnya tidak memaksa namun perlu dilakukan. Dari contoh tersebut dapat

dilihat bahwa tindak korupsi juga tidak terlepas dari sikap masyarakat

sendiri yang seakan-akan menerima atau mungkin tidak menyadari. Hal ini

merupakan tanda kekurang pahaman masyarakat tentag apa bentuk korupsi

itu. Pemberian uang jalan dalam pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP)

di Kelurahan mungkin dianggap sah sah saja oleh masyarakat tetapi inilah

benih mental korupsi sehingga lama-kelamaan hal ini akan mengikat tidak

lagi bersifat sukarela sehingga mau tidak mau masyarakat yang ingin

membuat KTP harus mengeluarkan uang lebih. Bahkan, KTP yang

merupakan syarat sebagai warga Negara Indonesia dapat diperoleh dengan

mudah melalui oknum oknum aparat pemerintah dengan mengeluarkan

bayaran. Sehingga tidak ayal jika banyak terjadi tindak kejahatan dengan

penggunaan KTP ganda ataupun palsu.

Bentuk sikap dari masyarakat dis samping kebobrokan oknum

pemerintah korup merupakan pembentuk budaya korupsi di Indonesia.

Masyarakat selalu menginginkan pelayanan praktis, mereka cenderung

tidak ingin melalui proses formal yang dianggap bertele-tele dan rumit

sehingga banyak diantara mereka yang menggunakan jalan pintas yakni

dengan penyuapan, uang tips, uang pelicin, dll. Dalam memperoleh Surat

Izin Mengemudi seharusnya melalui berbagai tes yang antara lain tes

kesehatan, tes teori, dan yang terakhir tes praktek. Namun sekarang mudah

saja memperoleh SIM tanpa melalui berbagai proses tersebut yakni hanya

dengan mengeluarkan sejumlah uang bayaran dan menyerahkan formulir

yang sudah di isi ke petugas SIM. Ini merupakan fakta di lapangan yang

merupakan asas saling menguntungkan antara pembuat SIM dengan

petugas SIM. Pembuat SIM ingin proses yang mudah, dan petugas SIM

ingin memperoleh uang dengan cara mudah meskipun menyalahgunakan

wewenangnya. Hal ini tidak akan terjadi apabila ada kesadaran tentang

tindak korupsi di antara kedua belah pihak. Petugas tidak akan me;akuka

tindakan tersebut apabila tidak ada peran serta masyarakat yang

menyokong adanya kesempatan untuk korupsi dan juga sebaliknya

masyarakat tidak akan melakukan jalan pintas tersebut apabila tidak ada

kesempatan yang diberikan oleh petugas. Dampak dari hal tersebut adalah

meningkatnya angka kecelakaan lalu lintas. Hal ini wajar saja terjadi karena

banyak pengendara yang memperoleh SIM tanapa melalui prosedur yakni

dengan jalan pintas tadi, sehingga banyak pengendara yang mempunyai

SIM tetapi kurang mumpuni dalam berkendara.

Dibutuhkan suatu restorasi dalam struktur pemerintahan, yakni dengan

membersihkan aparat-aparat yang korup dari jajaran pemerintahan. Hal ini

memungkinkan suatu jalannya sistem dari tugas-tugas yang diemban oleh

aparat sehingga pengawasan ke bawah dapat berjalan. Tindak korupsi harus

dapat ditumpas sampai ke akar-akarnya, karena bagaimanapun tindak

korupsi disebabkan oleh tidak berjalannya pengawasan secara maksimal.

Sebagaimana diungkapkan oleh Harahap, penumpasan tindak korupsi yang

efektif adalah dengan pembersihan dari atas yakni pembersihan pejabat

korup yang selanjutnya ke tingkat bawah.

2. Sejarah Korupsi di Indonesia

Sistem yang berkembang di Nusantara sebelum sistem moderen adalah

sistem kerajaan (feodal). Kekuasaan pada sistem feodal berada di tangan

raja yang berlangsung secara turun-temurun hingga derajat ke empat

(Burger, 1962). Raja sepenuhnya adalah pemilik kerajaan (despotis)

sehingga berhak atas tanah serta segala isinya yang ada di wilayah kerajaan.

Kegiatan perekonomian pada masyarakat tradisional Jawa dilakukan

dengan cara bertani. Hasil dari pertanian digunakan untuk pemenuhan

kebutuhan sendiri serta untuk diserahkan kepada raja (Erlina, 2009).

Hubungan vertikal antara masyarakat dengan raja dilakukan melalui

perantara kepala desa hingga kepada bupati yang derajatnya berada di atas

masyarakat biasa. Sistem tradisional Jawa yang memproduksi hanya untuk

kebutuhan sendiri dan raja berubah setelah datangnya VOC ke nusantara.

Di samping harus berproduksi untuk kebutuhan sendiri serta raja dan

vasalnya, kini berubah yakni harus menyerahkan kepada VOC pula (Erlina,

2009). pada zaman VOC, raja yang awalnya berkuasa secara absolute kini

berada di dalam pengaruh VOC sehingga setiap keputusan harus atas

persetujuan VOC. Selain itu pula, para bupati yang awalnya hanya tunduk

kepada raja kini harus tunduk pula kepada VOC sehingga ada dwisembah.

Para bupati yang mengabdi pula kepada VOC berhak untuk bertindak

terhadap masyarakat selama itu tidak mengusik raja. Hal ini terutama

tumbuh di daerah Priangan yang merupakan wilayah semi-otonom (Erlina,

2009).

VOC sebenarnya adalah organisasi yang anggotanya merupakan orang

kelas bawah Eropa. Mereka terdiri dari para petualang, gelandangan,

penjahat, dan orang-orang bernasib jelek di Eropa (Erlina, 2009). Latar

belakang inilah yang membuat sistem administrasi VOC kacau dan bobrok

hingga akhirnya mengalami kebangkrutan. Mereka menjalani hidup dengan

gaya bangsawan sehingga ketika datang ke Jawa mereka melampiaskannya

dengan berbagai cara salah satunya korupsi dan pemerasan.

VOC berkuasa di Jawa berdampingan dengan kerajaan yang ada.

Sistem administrasi VOC dipegang oleh pemerintah kolonial, sedangkan

sistem kerajaan berpusat pada raja (Lombart, 1966). Sistem ini harusnya

berjalan berdampingan satu sama lain karena berbeda kepentingan pula,

namun yang terjadi justru sebaliknya kerajaan cenderung dikendalikan oleh

VOC. Semua kebijakan serta pengaturan struktur kerajaan harus atas

persetujuan VOC, seperti pengangkatan anggota birokrasi kerajaan kelas

atas harus atas persetujuan VOC.

Konsep despotis yang berkembang di Jawa membuat posisi raja sangat

penting dan berkuasa penuh. Raja adalah pemilik tanah, sedangkan rakyat

adalah penumpang di tanah raja. Oleh karena itu, rakyat harus mengabdi

penuh kepada raja. Persembahan sebagai tanda patuh diberikan kepada raja

berupa upeti. Upeti merupakan sumbangan, hadiah, atau sejenisnya, yang

diwujudkan dalam terminology berbeda (Abdullah, 2009). Upeti diberiakn

pada saat persembahan oleh rakyat (klein) kepada raja (patron) agar tetap

terjalin hubungan baik di antaranya. Pemberian upeti dimaksudkan untuk

mempermudah serta memperlancar urusan antara klein dan patron.

Konsep Patron-Klein digunakan juga oleh VOC. Kedudukan VOC yang

semakin kuat di dalam kerajaan membuat VOC memiliki hak-hak khusus.

Hal ini disebabkan karena pengaruh VOC yang semakin kuat atas kerajaan,

baik melalui perjanjian maupun politik adu domba mereka dalam

mencampuri urusan kerajaan sehingga mereka bahkan disaudarakan. Para

bupati yang awalnya hanya tunduk kepada raja kini harus tunduk pula

kepada VOC sehingga mereka sering disebut sebagai antek-antek VOC.

Kekuasaan raja tidak terbatas. Kemegahan serta kekayaan raja yang

melimpah mendorong perhatian kaum bangsawan untuk meniru serta

meraih hal yang sama meskipun ada aturan feodal yang melarang hal

semacam itu. Kedudukan bangsawan yang tidak sama dengan raja tentunya

akan sulit untuk mendapatkan hal tersebut, oleh karena banyak digunakan

jalan lain yang cepat dan mudah untuk mewujudkannya. Menurut Day

dalam Erlina (2009) kebiasaan raja pada akhirnya mendorong para

bangsawan di sekitarnya dan pejabat-pejabat dibawahnya untuk meniru

tradisi kehidupan istana. Hal inilah yang memicu terjadinya kecurangan

dalam penarikan upeti dari rakyat yang sebagian masuk ke kantung mereka.

Selain inginhidup megah, bangsawan juga memiliki keturunan yang

harus mereka sejahterakan pula. Menjadi seorang bangsawan atau pejabat

merupakan dambaan setiap orang, sehingga ketika mengemban gelar

tersebut mereka harus menghidupi sanak keluarga serta kerabatnya.

Mendapat penghasilan lebih bukanlah perkara yang mudah sehingga

banyak dilakukan jalan pintas dalam pencapaian hal tersebut.

Budaya upeti di Jawa merupakan administrasi kerajaan. Klein

menyerahkan upeti kepada patron melalui perantara pejabat desa hingga

bupati. Dalam perantaraan ini banyak terjadi tindak kecurangan dengan

mengambil sebagian upeti sebelum diserahkan kepada raja. Selain itu pula,

cara yang digunakan yakni dengan membayar rendah hasil pertanian rakyat

yang kemudian dijual dengan harga tinggi kepada VOC yakni hingga 50

gulden/1 pikul (56 kg), (Erlina, 2009). Bentuk penyelewengan lainnya

adalah dengan penambahan kuantitas hasil panen. Kuantitas panen yang

ditetapkan VOC hanya 56 kg/pikul, namun para bupati melipatkannya

menjadi 112 kg/pikul. Petani dituntut untuk menyerahkan panen sejumlah

pikul gunung, namun yang diserahkan kepada VOC hanya sejumlah pikul

gudang. Hal ini terjadi karena pada saat itu belum ada standar satuan hitung

sehingga manipulasi dalam penghitungan mudah terjadi. Masyarakat Jawa

yang feodal menganggap segala tindakan yang sekarang dianggap sebagai

korupsi adalah sesuatu yang wajar, artinya selama massyarakat

berpandangan seperti itu maka hal demikian tidaklah dilihat sebagai sesuatu

yang salah (Erlina,2009).

Perspektif moderen tentang korupsi tidak hanya dituduhkan kepada

bupati, namun kehancuran VOC juga dikarenakan oleh korupsi. Tindakan

korupsi yang dilakukan oleh anggotanya membuat VOC tidak mampu

dalam mengontrol keuangan sehingga hutang merajalela. Defisitnya dana

dalam kas VOC tidak diimbangi dengan surplus yang masuk karena

pemasukan juga telah tergerogoti oleh korupsi. Terbongkarnya kasus

korupsi serta penyalahgunaan Gubernur Jenderal VOC Speelman

merupakan bukti kebobrokan anggota VOC termasuk Gubernur

Jenderalnya sendiri. Speelman melakukan pengesahan serta pembayaran

untuk serdadu-serdadu yang sebenarnya tidak ada dan untuk pekerjaan

yang tidak dilakukan; meetapkan harga lada di bawah harga yang

ditetapkan oleh Heeren XVII; membiarkan para pedagang swasta

melanggar monopoli VOC; serta menggelapkan sejumlah dana. Upaya

pemberantasan korupsi dilakukan VOC dengan menghukum mati 26 orang

dari awal abad 18 karena melakukan penyelundupan (Erlina,2009).

Dua pemerintahan yang berkuasa secara berdampingan dan hamper

sama di dalam keduanya terdapat tindak korupsi. tetapi ada yang perlu

digaris bawahi di sini tentang perbuatan yang dianggap sebagai korupsi.

Korupsi terjadi saat adanya pemisahan kepemilikan antara kepemilikan

pribadi dengan kepemilikan publik. Tindakan korupsi oleh perspektif

moderen pada kekuasaan feodal tidak dapat dikatakan sebagai tindak

korupsi karena pada masa itu tidak ada pemisahan kepemilikan antara

kepemilikan pribadi dengan keemilikan publik. Tindak korupsi terjadi pada

VOC karena sudah ada pemisahan kepemilikan antara kepemilikan pribadi

dengan kepemilikan publik. Namun meskipun tindakan tersebut tidak

dikatakan sebagai tindak korupsi karena tidak adanya pemisahan

kepemilikan, hal tersebut merupakan cikal bakal korupsi yang sudah

menerap dalam mental bangsa. Mental tersebut melekat hingga sekarang

sehingga tindak korupsi mengakar dan tumbuh dalam bangsa ini.

Sadar atau tidak sadar mental korupsi melekat dalam bangsa ini.

Kebiaasaan curang oleh para pejabat feodal menurun kepada generasi

sekarang sehingga tindak korupsi sangat sulit diberantas.

3. Korupsi di Indonesia pada Masa Sekarang

Korupsi menjamur di Indonesia. Kasus korupsi seakan-akan sudah

menjadi sarapan pagi dalam agenda berita pagi. Korupsi tidak hanya

menjangkiti kalangan pejabat namun hingga masyarakat bawah pun tidak

luput dari tindak korupsi. Korupsi di kalangan pejabat misalnya kasus yang

terjadi akhir-akhir ini tentang makelar pajak. Masih banyak lagi kasus

korupsi di kalangan pejabat seperti kasus BULOG yang menyeret nama

Tomy Suharto, kasus Bank Century yang menyeret banyak nama, serta

kasus lainnya pada saat rezim Orde Baru berkuasa.

Rezim Orgde Baru yang berkuasa 32 tahun lamanya dipenuhi oleh

intrik-intrik KKN, termasuk sang pemimpin sendiri tidak luput dari

tuduhan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Peraupan harta Negara demi

kepentingan pribadi banyak terjadi pada masa itu yang seakan-akan Negara

adalah milik sendiri. Kekuasaan yang diemban seakan-akan adalah

anugerah untuk melakukan apapun sehingga muncul istilah “asal bapak

senang’ dari masyarakat. Jajaran pemerintahan seakan-akan adalah reuni

keluarga dan sahabat sehingga pelanggengan kekuasaan mudah terkontrol

dengan baik.

Setelah rezim Orde Baru berakhir pada tahun 1998, muncul Orde

Reformasi yang diharapkan mampu membenahi segala aspek negatif dari

Orde sebelumnya di samping lebih mengembangkan sisi positifnya juga.

Dikeluarkannya UU No 38 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara

yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme merupakan

salah satu upaya dalam memberantas korupsi. Pengeluaran perundangan ini

merupakan langkah keseriusan pemerintah dalam pemberantasan korupsi.

namun ternyata masih banyak kendala dalam pencapaian tujuan tersebut.

Praktek di lapangan tidak semudah pengeluaran perundangan. Masih

banyak terdapat ketimpangan antara perundangan dengan pelaksanaan di

lapangan, pelaksanaan cenderung jalan di tempat sehingga tidak banyak

mendapatkan hasil. Salah satu bukti nyata dari kegagalan tersebut adalah

tidak adanya tindakan tegas terhadap pelaku korupsi yang sudah terbukti

bertindak korup. Penindakan terhadap pelaku korupsi di Indonesia terlihat

canggung tidak seperti di Cina yang secara tegas menghukum mati setiap

pelaku korupsi di negaranya. Hal inilah yang menjadi kendala sehingga

pelaku korupsi masih saja bermunculan karena tidak adanya rasa khawatir

dengan hukuman.

Ketidaktegasan menambah pekerjaan lebih berat. Belum terusutnya satu

kasus muncul kasus baru sehingga menambah perhatian serta pekerjaan

dalam memberantas korupsi. Salah satu contoh adalah kasus Bank Century

yang sampai saat ini masih timpang belum ada kejelasan hingga muncul

kasus baru makelar pajak Gayus Tambunan yang disenyalir penuh intrik

politik.

Kasus Bank Century yang menyeret mantan menteri keuangan Sri

Mulyani serta wakil presiden Boediono belum menemukan titik pasti serta

bukti yang cukup jelas untuk mengadili keduanya. Pengusutan dilakukan

secara terus menerus tanpa adanya penindakan yang jelas dalam mencari

bukti. Apa salahnya untuk sekedar memeriksa, benar atau salahnya akan

terbukti setelah dilakukan pemeriksaan. Hukum bersifat mengikat serta

tidak pandang bulu, setiap orang yang melanggar hukum wajib menerima

sanksi tanpa terkecuali. Pemberantasan korupsi memerlukan ketegasan

serius serta tidak pandang bulu sehingga setiap pelaku korupsi akan kapok

serta mencegah timbulnya kasus baru.

Kasus Gayus Tambunan yang sering dijuluki sebagai makelar pajak

merupakan kasus yang cukup heboh. Bagaimana tidak seorang petugas

pajak dengan jabatan tidak terlalu tinggi bisa melakukan korupsi dengan

jumlah rupiah yang cukup besar. Pajak sebagai sarana distribusi dana

masyarakat yang dikelola oleh pemerintah lalu selanjutnya diberikan

kembali kepada masyarakat dengan bentuk yang lain ternyata tersendat

dalam pengelolaannya sendiri. Seorang petugas pajak biasa saja bisa

melakukan korupsi dengan jumlah seperti itu apalagi petugas lain yang

jabatannya lebih tinggi, mungkin akan melebihi angka dari kasus Gayus

Tambunan. Hal ini mengindikasikan tidak adanya pengawasan yang ketat

dan menyeluruh sehingga tindak korupsi dapat berjalan dengan mudah.

Tidak hanya pejabat diatasnya yang mungkin dapat melakukan korupsi

anmun pejabat di bawahnya juga sangat mungkin untuk melakukan korupsi.

salah satunya adalah penariakan pajak di daerah, saya sebut saja namanya

Rudi (nama samaran), beliau adalah petugas pajak di salah satu Kabupaten.

Sebelum jatuh tenggang waktu penarikan pajak, beliau mengunjungi wajib

pajak untuk melakukan negosiasi. Beliau datang tanpa undangan

sebelumnya dan datang dengan spontan. Negosiasi dilakukan dengan

mengajukan penawaran kepada waji pajak dengan dalih membantu ia

meminta data keuangan. Penawaran dilakukan dengan pemberian

kompensasi pajak namun dengan tariff tertentu. Si wajib pajak tentunya

sangat senang dengan penawaran ini karena meringankan tariff pajak yang

harus dikeluarkannya.

Contoh kasus di atas merupakan bukti bahwa tindak korupsi sudah

menjamur di setiap segi, baik kalanagna atas maupun bawah. KPK yang

bertugas sebagai pengawas, penyelidik, serta penindak kasus korupsi

ternyata belum mampu bekerja secara maksimal. ICW (Indonesia

Corruption Watch) serta sekretaris umum MTII (Masyarakat Transparansi

Internasional Indonesia) pernah mengecam KPK dalam kasus Bank

Century. Kedua organisasi tersebut menilai KPK lamban dan tidak serius

dalam menindak kasus Century padahal sudah ada bukti yang cukup kuat

untuk melakukan tindakan.

D. Upaya Pemberantasan Korupsi

Pemberantasan korupsi bukanlah perkara yang mudah, perlu penanganan

serius dari tiap-tiap tingkatan pemerintah hingga masyarakat umum. Korupsi

yang sudah membudaya di Indonesia sudah melekat pada setiap lapisan

masyarakat, tidak hanya lapisan atas namun lapisan bawah yang merupakan

mayoritas penduduk pun tidak luput dari tindak korupsi. Penanganan korupsi

perlu kerjasama seluruh bangsa Indonesia, tidak hanya dengan mengandalkan

KPK atau aparat lainnya namun perlu peran serta dari masyarakat pula. Upaya

penanganan korupsi oleh pemerintah perlu dilakukan secara tegas, berikut

beberapa upaya pemerintah dalam menindak kasus korupsi.

1. UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan

Bebas Korupsi, Kolusi, Nepotisme.

2. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

3. UU No. 30 Tahun 2002 yang melahirkan Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK).

4. Penetapan Hari Anti Korupsi Nasional pada 9 Desember 2004.

5. Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, yang

berisi 10 Instruksi Umum yang ditujukan kepada seluruh instansi

pemerintah dan 11 Instruksi Khusus yang ditujukan kepada para Menteri,

Jaksa Agung, Kapolri, Gubernur, Bupati, dan Walikota.

Perundangan yang sudah banyak dikeluarkan pemerintah merupakan

pegangan kuat untuk pemberantasan korupsi. hal tersebut perlu diimbangi

dengan pelaksanaan di lapangan, karena perundangan saja tidak aka nada

artinya jika tidak ada bukti di lapangan. Ketegasan merupakan kunci dari

pemberantasan korupsi di Indonesia.

Selain upaya dengan perbaikan sistem politik dan pemerintahan, perbaikan

di bidang sosial juga harus dilakukan. Karena tindak korupsi merupakan

masalah yang menyangkut kepentingan publik dan individu. Perbaikan di

bidang sosial ini adalah perbaikan mental bangsa Indonesia tentang tindak

korupsi serta perbaikan kesenjangan sosial dalam masyarakat. Mental warisan

feodal harus sesegera mungkin dilenyapkan dalam pola fikir setiap masyarakat

sehingga muncul kesadaran tentang anti korupsi. Selain itu pula perlu

ditanamkan sikap anti korupsi terhadap generasi muda sehingga tindak korupsi

tidak akan muncul pada masa yang akan datang, salah satu langkahnya adalah

melalui pendidikan karakter di sekolah serta lingkungan lainnya guna memberi

penyuluhan serta pendidikan.

Perbaikan di bidang sosial diarapkan mampu mengubah pola fikir serta

membentuk jiwa anti korupsi. Pemberantasan korupsi diawali dari masing-

masing individu masyarakat, tidak dengan menunggu dan menggantungkan

kepada penindak hukum. Hal ini karena hukum sudah tidak mencerminkan

keadilan seperti fungsi aslinya, hukum telah tercemari pula oleh berbagai intrik

termasuk korupsi baik itu intrik politik maupun intrik lainnya. Hukum sekarang

hanya bersifat sementara karena telah berubah dari fungsi aslinya yakni hukum

telah menjadi mesin penanggulangan kejahatan bukan lagi sebagai penegak

hukum. Oleh karena itu, perlu peran serta masyarakat dalam mengawasi serta

bertindak dalam kestabilan sistem di negeri tercinta ini.

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Korupsi adalah tindakan seseorang yang menyalahgunakan kepentingan

publik untuk memperoleh kepentingan pribadi. Korupsi banyak menggerogoti

perekonomian Indonesia serta sistem politik yang berjalan sehingga

menyebabkan keterpurukan dalam berbagai bidang baik itu sosial, ekonomi,

politik, maupun pertahanan. Korupsi yang terjadi di Indonesia tidak henti-

hentinya terjadi sejak zaman kemerdekaan Indonesia.

Budaya korupsi melekat pada setiap lapisan masyarakat di Indonesia, baik

itu lapisan atas (birokrat), pejabat, aparat, maupun masyarakat kebanyakan

lainnya. Sikap mental korupsi melekat dari kebiasaan masyarakat tradisional

yang selanjutnya pada generasi selanjutnya hingga sekarang. Kebiasaan asli

pribumi tradisional nusantara yang biasa memberi upeti ditambah dengan

kedatangan VOC yang membawa pengaruh negatif merupakan salah satu

munculnya mental korupsi.

Kebiasaan masyarakat tradisional Jawa pada zaman feodal adalah santun

serta balas budi yang tinggi, sehingga apapun yang dikontribusikan orang lain

kepadanya memunculkan rasa ingin membalas budi yang tinggi. Balas budi

yang positif yang tentunya tidak melanggar norma sah-sah saja dilakukan,

namun apabila dengan cara yang melanggar norma (korupsi, kolusi, nepotisme)

hal tersebut merupakan sebuah pelanggaran. Oleh karena mental balas budi

merupakan salah satu sikap yang mendorong tidak korupsi.

Kedatangan VOC ke nusantara membawa pengaruh negatif terhadap

mental bangsa. Kemewahan serta gaya hidup yang hedonis menyentuh serta

ditiru oleh pribumi. Persentuhan budaya negatif memeperngaruhi bangsa

pribumi untuk hidup mewah dan hedonis. Untuk dapat hidup seperti itu

bukanlah perkara yang mudah, perlu kerja keras serta nasib yang baik dalam

mencapainya. Oleh karena itu banyak digunakan jalan pintas dalam

mencapainya, salah satunya adalah dengan bertindak korup yang terutama

dilakukan oleh para bupati dan kalangan bangsawan lainnya yang merupakan

kaki tangan Belanda.

Mental korupsi melekat pada masyarakat moderen hingga tidak tanggung-

tanggung pejabat pemerintahan pun tidak luput dari tindak korupsi. Kasus

korupsi yang merupakan agenda bangsa ini belum menemukan titik temu yang

efektif dalam pemberantasan maupun pencegahan. Kurangnya ketegasan

hukum serta pengawasan yang ketat merupakan kendala mengapa tindak

korupsi sulit diberantas di negeri ini. Buntunya kasus Bank Century merupakan

bukti ketidaktegasan aparat dalam mengungkap serta menindak pelaku korupsi.

selain itu pula pengawasan dari pemerintah masih belum terorganisir dengan

baik sehingga memudahkan bagi pelaku korupsi untuk melakukan tindak

korupsi, salah satu contoh adalah kasus Gayus Tambunan sang makelar pajak.

Sungguh memprihatinkan bangsa ini ditusik serta digerogoti oleh oknum

bangsanya sendiri. Berbagai upaya dialakukan guna memberantas korupsi.

perundangan dikeluarkan namun tidak banyak diimbangi dengan pelaksanaan

yang tegas di lapangan. Upaya yang paling efektif adalah penindakan dengan

tidak pandang bulu dan secara tegas seperti yang dilakukan di Negara Cina

serta dengan peran serta masyarakat itu sendiri dengan perbaikan mental dan

keikutsertaan dalam melakukan pegawasan. Perbaikan sosial masyarakat perlu

dilakukan dengan perbaikan mental serta penanaman sikap anti korupsi.

B. Saran

Hal utama yang harus dilakukan dalam pemberantasan korupsi adalah

dengan adanya keterpaduan serta keseimbangan hukum yang ada dengan

mental masyarakat. Mental korupsi yang ada dalam setiap masyarakat perlu

dihapuskan sehingga muncul jiwa dan sikap anti korupsi. kesadarn merupakan

kunci tama dari aplikasi perbaikan mental. Namun mengubah mental bukanlah

perkara yang mudah, ada ketimpangan antara budaya asli dengan perspektif

masa sekarang tentang tindak korupsi. Oleh karena itu perlu ada seleksi dalam

bertindak yaitu dengan memilah dan memilih mana perbuatan negatif dan

mana perbuatan positif yang layak dilakukan. Selain itu pula perlu iman yang

kuat dalam setiap diri masyarakat, karena iman yang kuat tidak akan

melakukan tindak korupsi. Dalam agama tindak korupsi merupakan tindakan

dosa dan haram hukumnya karena mengambil hak yang bukan haknya.

Korupsi tidak akan terjadi jika tidak ada kesempatan. Korupsi yang terjadi

di Indonesia tidak lain disebabkan karena kurangnya pengawasan yang ketat

serta masih adanya kelonggaran. Untuk itu perlu perbaikan sistem pengawasan

yang ketat sehingga segala tindak korupsi dapat mudah diamati dan dapat

dengan mudah ditindak setegas mungkin. Namun hal ini juga bukanlah perkara

yang mudah karena tmental korupsi sudah menjamur dalam setiap segi

termasuk aparat penegas hukum itu sendiri. Contohnya adalah kasus mantan

Kapolri Susno Duadji yang terkena kasus korupsi saat Pilkada Jabar. Ini

merupakan bukti jelas bahwa mental korupsi sudah menginfeksi aparat

penegak itu sendiri. Upaya yang perlu dilakukan selektif dalam pemilihan

anggota pejabat maupun penegak hukum serta pembentukan tim khusus yang

benar-benar bersih dari tindak korupsi.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, A. (2009). “Upeti: Cikal Bakal Lahirnya Budaya Korupsi (Sebuah

Perspektif Historis)”. Journal of Historical Studies. 10, (1), 1-18.

Entang, M. (2009). “Tantangan Abad 21, Perilaku dan Strategi Memberantas

Korupsi”. Journal of Historical Studies. 10, (1), 141-153.

Harahap, K. (2009). “Pemberantasan Korupsi Pada Masa Reformasi (Suatu

Tinjauan Historis)”. Journal of Historical Studies. 10, (1), 130-140.

Supardan, D. (2009). “Anatomi Korupsi dalam Perspektif Ilmu-Ilmu Sosial di

Indonesia”. Journal of Historical Studies. 10, (1), 113-129.

Wijanarti, E. (2009). “Korupsi Pada Masa VOC dalam Perspektif Sejarah

Mentalis”. Journal of Historical Studies. 10, (1), 19-49.