kajian polemik kpk v.s. polri “dinamika yang terjadi ... · “dinamika yang terjadi antara...
TRANSCRIPT
KAJIAN POLEMIK KPK v.s. POLRI
“DINAMIKA YANG TERJADI ANTARA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DAN
KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA (POLRI): DILEMATIK DALAM PENEGAKKAN HUKUM DI
INDONESIA”
Kajian dilakukan oleh
Kementerian Kajian Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Padjadjaran Kabinet Inspirasi
Sebagai Koordinator Isu Korupsi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia
bekerjasama dengan
Himpunan Mahasiswa Pidana Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..........................................................................................................................................1
DINAMIKA KISRUH KPK DAN POLRI: KONFLIK ELIT RUGIKAN RAKYAT (LAGI) ....1
Oleh: Kementerian Kajian Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Padjadjaran Kabinet Inspirasi .................................................................................................................1
ANALISA HUKUM TERHADAP KEWENANGAN KPK DAN OBJEK PRAPERADILAN DALAM PUTUSAN PRAPERADILAN NOMOR.04/PID.PRAP/2015/PN.JAK SEL ................16
Oleh : Himpunan Mahasiswa Pidana Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran..................................16
1
DINAMIKA KISRUH KPK DAN POLRI: KONFLIK ELIT RUGIKAN RAKYAT (LAGI)
Oleh:Kementerian Kajian Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa
Keluarga Mahasiswa Universitas Padjadjaran Kabinet Inspirasi1
Dinamika yang terjadi antara Cicak versus Buaya Jilid 3 (tiga) (KPK dan
Polri) berawal dari penetapan Komjen Pol Budi Gunawan menjadi tersangka oleh KPK
pada saat menjelang pencalonan Komjen Pol Budi Gunawan menjadi Kapolri pada
tanggal 13 Januari 2015. KPK menetapkan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai
tersangka dalam kasus “Rekening Gendut” dan gratifikasi.
Tidak lama kemudian, pada tanggal 23 Januari 2015, Badan Reserse Kriminal
Mabes Polri menangkap Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto dengan tudingan
menjadi orang dibalik pemberian kesaksian palsu dalam sengketa pilkada
Kotawaringin, Kalimantan Tengah pada tahun 2010. Selanjutnya, pada tanggal 24
Januari 2015, pimpinan KPK yakni Adnan Pandu Praja (Wakil Ketua KPK) diadukan
ke Badan Reserse Kriminal Mabes Polri atas dugaan pemalsuan surat notaris dan
penghilangan saham PT Desy Timber.
Kemudian pada tanggal 25 Januari 2015, Presiden Joko Widodo membentuk
Tim Independen untuk menangani kericuhan KPK dan POLRI kemudian memberikan
rekomendasi kepada Presiden untuk menentukan suatu sikap. Tim Independen yang
beranggotakan salah satunya yakni Oegroseno (Mantan Wakapolri), Jimly Assidiqie,
Ahmad Syafii Maarif (Mantan Ketua Umum Muhammadiyah), Hikmaanto Juwana
1 Kajian ini dibuat oleh Kementerian Kajian Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Padjadjaran yang diketuai oleh Aa Habib Baihaqi sebagai Presiden dan Mochamad Indra Safwatulloh sebagai Menteri Kajian Stategis.
2
(Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia), dan Erry Riyana
Harjapamekas (mantan Wakil Ketua KPK).
Pada tanggal 26 Januari 2015, kembali lagi pimpinan KPK, Zulkarnaen (Wakil
Ketua KPK) diadukan ke kepolisian terkait dengan penghentian penyidikan kasus
korupsi dana hibah Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) Jawa
Timur pada 2008 yang diduga melibatkan Gubernur Jawa Timur. Hal serupa juga
menimpai Ketua KPK, Abraham Samad yang dianggap telah melanggar kode etik KPK
karena melakukan pertemuan dengan fungsionaris PDIP terkait pencalonan cawapres
dari Joko Widodo saat jelang pemilihan presiden 2014. Namun patut disayangkan hal
ini seperti terdapat nuansa politis didalamnya. Disisi lain masyarakat menuntut
ketegasan Presiden Joko Widodo dalam menyelesaikan kisruh antara KPK dan Polri
untuk dapat diselesaikan secepatnya.
Pada tanggal 16 Februari 2015, pengajuan pra peradilan Komjen Pol Budi
Gunawan diterima sebagian oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan pada saat hari
yang sama Abraham Samad juga ditetapkan tersangka oleh Pengadilan Negeri
Makassar.
KPK dan POLRI: Penegakkan Hukum di Indonesia
Konsep Negara Hukum atau Rechtsstaat dirumuskan dengan tegas dalam
Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Dalam
konsep Negara Hukum maka yang diharapkan menjadi panglima dalam dinamika
kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan politik ataupun ekonomi. Prof. Jimly
Asshidiqie mengatakan bahwa prinsip Negara Hukum adalah the rule of law, not of
3
man.2 Berarti, memandang bahwa tindakan pemerintahan pada pokoknya adalah hukum
sebagai sistem, bukan orang perorang yang hanya bertindak sebagai ‘wayang’ dari
skenario sistem yang mengaturnya.
Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah
rechtstaat itu mencakup empat elemen penting, yaitu:3
1. Perlindungan hak asasi manusia;2. Pembagian kekuasaan;3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang;4. Peradilan Tata Usaha Negara.
Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap
Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah The Rule of Law, yaitu:4
1. Supremacy of Law;2. Equality before the law;3. Due Process of Law.
Keempat prinsip rechtstaat yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di
atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip Rule of Law yang
dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern di
zaman sekarang.Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting Negara Hukummenurut The
International Commission of Jurist itu adalah:5
1. Negara harus tunduk pada hukum;2. Pemerintah menghormati hak-hak individu;3. Peradilan yang bebas dan tidak memihak.
Keempat prinsip rechtstaat yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di
atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip Rule of Law yang
dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern di
2 Jimly Asshidiqe, Artikel “Gagasan Negara Hukum” dilihat dari http://jimly.com/makalah/namafile/57/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf.3Ibid.4Ibid.5Ibid.
4
zaman sekarang. Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting Negara Hukum menurut
The International Commission of Jurist itu adalah:6
1. Negara harus tunduk pada hukum;2. Pemerintah menghormati hak-hak individu;3. Peradilan yang bebas dan tidak memihak.
Menurut Schletema dalam Arief Sidharta merumuskan pandangannya tentang
unsur-unsur dan asas-asas Negara Hukum itu secara baru, yaitu meliputi 5 (lima) hal
sebagai berikut:7
1. Pengakuan, penghormatan, dan perlindungan Hak Asasi Manusia yang berakar dalam penghormatan atas martabat manusia (human dignity).
2. Berlakunya asas kepastian hukum. Tujuan negara hukum adalah untukmenjamin kepastian hukum dalam masyarakat. Hukum bertujuan untuk mewujudkan kepastian hukum dan prediktabilitas yang tinggi, sehingga dinamika kehidupan bersama dalam masyarakat bersifat ‘predictable’. Asas-asas yang terkandung dalam atau terkait dengan asas kepastian hukum itu adalah:
a. Asas legalitas, konstitusionalitas, dan supremasi hukum;b. Asas undang-undang menetapkan berbagai perangkat peraturan tentang
cara pemerintah dan para pejabatnya melakukan tindakan pemerintahan;c. Asas non-retroaktif perundang-undangan, sebelum mengikat undang-
undang harus lebih dulu diundangkan dan diumumkan secara layak;d. Asas peradilan bebas, independen, imparial, dan objektif, rasional, adil
dan manusiawi;e. Asas non-liquet, hakim tidak boleh menolak perkara karena alasan
undang-undangnya tidak ada atau tidak jelas;f. Hak asasi manusia harus dirumuskan dan dijamin perlindungannya
dalam undang-undang atau UUD;3. Berlakunya Persamaan (Similia Similius atau Equality before the Law) 4. Asas demokrasi dimana setiap orang mempunyai hak dan kesempatan yang
sama untuk turut serta dalam pemerintahan atau untuk mempengaruhi tindakan-tindakan pemerintahan
5. Pemerintah dan Pejabat mengemban amanat sebagai pelayan masyarakat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan bernegara yang bersangkutan.
Jika kita kaitkan dengan peristiwa yang terjadi antara KPK dan Polri. Kita harus
memisahkan antara penegakkan hukum (berkaitan dengan penetapan Komjen Pol
Budi Gunawan (Calon Kapolri), Abraham Samad (Ketua KPK), dan Bambang
6Ibid.7 B. Arief Sidharta, “Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum”, dalam Jentera (Jurnal Hukum), “Rule of Law”, PusatStudi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Jakarta, edisi 3 Tahun II, November 2004, hlm.124-125.
5
Widjojanto (Wakil Ketua KPK) sebagai tersangka) serta laporan atas pelanggaran
hukum yang dilakukan oleh Zulkanaen (Wakil Ketua KPK), dan Adnan Pandu Praja
(Wakil Ketua KPK) dan proses politik (berkaitan dengan pengisian jabatan Kapolri).
Jangan sampai politik itu sendiri mencampuri penegakkan hukum sehingga proses
hukum yang dilakukan tidak akan berjalan dengan murni.
Hal ini juga berkaitan dengan Teori Hukum Murni yang dikemukakan oleh
Hans Kelsen dalam bukunya yang terkenal adalah Reine Rechslehre (ajaran hukum
murni). Teori hukum murni lazim dikaitkan dengan Mazhab Wina. Mazhab Wina
mengetengahkan dalam teori hukum pencarian pengetahuan yang murni, dalam arti
yang paling tidak mengenal kompromi, yaitu pengetahuan yang bebas dari naluri,
kekerasan, keinginan-keinginan dan sebagainya. Lebih lanjut Hans Kelsen
mengatakan bahwa “Hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir non yuridis seperti
unsur sosiologis, politis, historis, bahkan nilai-nilai etis”.8 Teori hukum murni juga
tidak boleh dicemari oleh ilmu-ilmu politik, sosiologi, sejarah dan pembicaraan
tentang etika.
Teorinya yang “murni” (the pure theory of law) bebas dari elemen-elemen asing
pada kedua jenis teori tradisional, teori tersebut tidak tergantung pada pertimbangan-
pertimbangan moralitas dan fakta-fakta aktual. Jangan sampai filosofi hukum yang
ada dikontaminasi oleh ideologi politik dan moralitas serta mengalami reduksi karena
ilmu pengetahuan. Sedangkan hukum itu sendiri harus murni dari elemen-elemen
asing yang tidak yuridis. Inilah prinsip metodologis dasarnya dari konsep Hans kelsen
tentang konsep hukum murninya.
8 Prof. Darji Darmodiharjo, S.H. dan DR. Shidarta, S.H., M.Hum., Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008, hal 115.
6
Kita harus menghargai setiap tindakan dalam penegakkan hukum yang ada di
Indonesia baik itu KPK maupun Polri karena mereka merupakan institusi penegak
hukum sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Tindakan
Presiden Joko Widodo tidak boleh ikut campur dalam penegakkan hukum.
Adapun perihal jika pimpinan KPK ditetapkan sebagai tersangka, maka
tindakan pilihan yang dilakukan bagi Presiden Joko Widodo yakni:
1. Menonaktifkan sementara ketika dalam proses penyidikan hingga di pengadilan.
2. Menentukan PLT sementara untuk menjalankan kewenangan KPK hingga batas
waktu pemilihan pimpinan KPK yang baru jika memang pimpinan KPK
ditetapkan sebagai tersangka.
3. Mengeluarkan Perpu mengenai pergantian Pimpinan KPK jika dalam keadaan
memaksa dan genting.
4. Melaksanakan pemilihan pimpinan KPK secepatnya agar tidak menghambat
penegakkan pemberantasan korupsi.
Ketegasan Presiden Joko Widodo
Sebenarnya, pada tanggal 25 Januari 2015, Presiden Joko Widodo membentuk
Tim Independen untuk menangani kericuhan KPK dan POLRI yang beranggotakan
salah satunya yaitu Oegroseno (Mantan Wakapolri), Jimly Asshidiqie, Ahmad Syafii
Maarif (Mantan Ketua Umum Muhammadiyah), Hikmaanto Juwana (Guru Besar
Hukum Internasional Universitas Indonesia), dan Erry Riyana Harjapamekas (mantan
Wakil Ketua KPK). Namun hasil dari Tim Independen untuk menangani kericuhan
KPK dan Polri belum juga selesai.
Ketua Tim Independen bentukan Presiden Joko Widodo untuk penyelesaian
permasalahan antara KPK dan Polri, Syafil Maarif mengaku menunggu pernyataan
7
dari Joko Widodo yang belum menyatakan sikap kisruh KPK dan Polri. Syafril
menuntut Presiden Joko Widodo untuk segera menyelesaikan kisruh antara KPK dan
Polri. Namun hingga saat ini, belum ada sikap dari Presiden Joko Widodo untuk
menyelesaikan KPK dan Polri secepatnya.
Masyarakat telah bosan dengan polemik yang terjadi antara KPK dan Polri.
Masyarakat menuntut adanya tindakan yang cepat agar tidak terlambat dalam
menyelamatkan penegakan pemberantasan korupsi di Indonesia. Jika terlambat maka
agenda pemberantasan korupsi juga akan terhambat. Presiden Joko Widodo dalam
janji kampanyenya telah berjanji akan menciptakan pemerintahan yang bersih dan
professional. Maka, seharusnya Presiden Joko Widodo menepati janjinya dalam
menciptakan pemerintahan yang bersih dan professional, khususnya berkaitan dengan
pengisian jabatan lembaga pemerintahan dan penegakkan hukum yang sesuai dengan
kewenangannnya serta professional dalam penyelesaian permasalahan antara KPK
dan Polri. Berdasarkan Pasal 11 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang berbunyi:
Pasal 11
(1) Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat disertai dengan alasannya.
(3) Persetujuan atau penolakan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap usul Presiden sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal surat Presiden diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak memberikan jawaban dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), calon yang diajukan oleh Presiden dianggap disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
(5) Dalam keadaan mendesak, Presiden dapat memberhentikan sementara Kapolri dan mengangkat pelaksana tugas Kapolri dan selanjutnya dimintakan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(6) Calon Kapolri adalah Perwira Tinggi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang masih aktif dengan memperhatikan jenjang kepangkatan dan karier.
8
(7) Tata cara pengusulan atas pengangkatan dan pemberhentian Kapolri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), dan (6) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
(8) Ketentuan mengenai pengangkatan dan pemberhentian dalam jabatan selain yang dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kapolri.
Berdasarkan aturan diatas maka Presiden diberikan kewenangan untuk
mengangkat dan memberhentikan Kapolri dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat. Adapun dalam keadaan mendesak, Presiden dapat memberhentikan sementara
Kapolri dan mengangkat pelaksana tugas Kapolri dan selanjutnya dimintakan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pada saat Presiden menunjuk pelaksana tugas
Kapolri yakni Badrudin Haiti, menurut Pasal 11 ayat (5) UU No. 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia maka tindakan Presiden Joko Widodo tidak
benar karena tidak adanya keadaan yang mendesak untuk mengangkat pelaksana tugas
dan pada saat itu tidak ada Kapolri yang sedang menjabat.
Pasca dari putusan Pra Peradilan
Pasca putusan pengabulan sebagian dari Pra Peradilan yang diajukan oleh
Komjen Pol Budi Gunawan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menuai
kontroversi. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pada tanggal 16 Februari 2015,
tepat pada pukul 10.25 WIB, Hakim Sarpin memutuskan, “Menyatakan penyidikan
penetapan tersangka adalah tidak sah dan tidak berdasarkan hukum serta tidak
mempunyai kekuataan hukum mengikat”.9 Berikut ini merupakan rekam jejak dari
perjalanan Komjen Pol Budi Gunawan:10
9 http://news.detik.com/read/2015/02/16/124506/2834194/10/akhir-perjalanan-praperadilan-komjen-budi-gunawan.10 Ibid.
9
Sumber : http://news.detik.com/read/2015/02/16/124506/2834194/10/akhir-perjalanan-praperadilan-komjen-budi-gunawan.
Putusan pra peradilan tidak menjadi justifikasi bahwa Komjen Pol Budi Gunawan
bersih dari tuduhan korupsi dan dapat dilantik oleh Presiden menjadi Kapolri. Presiden Joko
Widodo untuk mengangkat Kapolri seharusnya tidak menunggu putusan pra peradilan
Komjen Pol Budi Gunawan karena sebenarnya proses politik tidak berpengaruh dan proses
hukum. Pada hakikatnya, putusan pra peradilan berkaitan dengan Komjen Pol Budi Gunawan
sebenarnya tidak berpengaruh apa-apa terhadap pelantikan atau tidaknya Komjen Pol Budi
Gunawan menjadi Kapolri. Tujuan dari hukum disini bukanlah menjadi alat untuk legitimasi
10
bahwa Komjen Pol Budi Gunawan pantas menjadi Kapolri. Akan tetapi, perihal pantas atau
tidaknya Komjen Pol Budi Gunawan menjadi Kapolri adalah terkait dengan mekanisme
pengisian jabatan Kapolri, yakni dari tahap memenuhi persyaratan menjadi Kapolri,
kemudian seleksi yang dilakukan oleh panitia seleksi, hingga kepada diajukan oleh Presiden
kepada DPR untuk dilakukannya uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test). Disinilah
peran masing-masing dari proses politik dan proses hukum berjalan berdampingan agar
penegakkan hukum tidak dipengaruhi oleh politik yang menyebabkan politisasi hukum
sehingga penegakkan hukum harus ditegakkan secara murni.
Presiden Joko Widodo dapat melantik Komjen Pol Budi Gunawan disisi lain juga
proses penyidikan tetap berjalan. Komjen Pol Budi Gunawan dapat diperiksa oleh KPK
ketika dilantik kemudian diberhentikan sementara yang disertai alasan dalam keadaan
mendesak jikalau memang perlu diberhentikan untuk dilakukan penyidikan oleh KPK.11
Keadaan mendesak yang dimaksud berdasarkan pada Penjelasan Pasal 11 ayat (5) UU
Kepolisian Negara Republik Indonesia, berbunyi “Yang dimaksud dengan "dalam keadaan
mendesak" ialah suatu keadaan yang secara yuridis mengharuskan Presiden menghentikan
sementara Kapolri karena melanggar sumpah jabatan dan membahayakan keselamatan
negara”. Melanggar sumpah jabatan disini berdasarkan, yakni:12
Pasal 23
Lafal sumpah atau janji sebagaimana diatur dalam Pasal 22 adalah sebagai berikut :"Demi Allah, saya bersumpah/berjanji : bahwa saya, untuk diangkat menjadi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Tri Brata, Catur Prasatya, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah yang sah;
bahwa saya, akan menaati segala peraturan perundang-undangan yang berlakudan melaksanakan kedinasan di Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dipercayakan kepada saya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab;
11 Pasal 11 ayat (5) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.12 Pasal 23 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
11
bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan negara, Pemerintah, dan martabat anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara daripada kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan;
bahwa saya, akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus saya rahasiakan; bahwa saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat dan bersemangat untuk kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak akan menerima pemberian berupa hadiah dan/atau janji-janji baik langsung maupun tidak langsung yang ada kaitannya dengan pekerjaan saya".
Jika memang terbukti melanggar sumpah jabatan yang salah satunya menaati
peraturan perundang-undangan yang berlaku, menjunjung tinggi kehormatan negara,
Pemerintah, dan martabat anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia serta
mengutamakan kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara daripada kepentingan diri
sendiri, seseorang atau golongan. maka Presiden dapat memberhentikan Kapolri karena
Kapolri diduga melanggar hukum terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi. Sesuai
dengan Pasal 11 ayat (5) UU Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka Presiden dapat
menunjuk pelaksana tugas Kapolri untuk melakukan penyelenggaraan tugas kepolisian.
Selain itu, Presiden juga dapat mengambil langkah preventif dan permasalahan tidak
berlarut-larut maka Presiden dapat tidak melantik Komjen Pol Budi Gunawan kemudian
Presiden dapat mengajukan calon Kapolri yang baru berdasarkan hasil panitia seleksi
sehingga permasalahan diantara KPK dan Polri serta masyarakat dapat terselesaikan.
Pasca putusan pra peradilan dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terkait dengan
penyidikan penetapan Komjen Pol Budi Gunawan adalah tidak sah dan tidak berdasarkan
hukum serta tidak mempunyai kekuataan hukum mengikat. Jika memang benar KPK
mempunyai bukti yang kuat untuk membuktikan bahwa Komjen Pol Budi Gunawan bersalah
maka KPK dapat mengajukan upaya hukum luar biasa ke Mahkamah Agung terkait dengan
keputusan pra peradilan Komjen Pol Budi Gunawan yang dikeluarkan Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan.
12
Masyarakat Menjadi Korban
Konflik Polri dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kemarn memanas
tersebut menimbulkan konflik horizontal di masyarakat. Perseteruan tersebut diduga kuat
digalang sejumlah oknum petinggi di Mabes Polri dan KPK dengan memanfaatkan lembaga
hukum milik Negara. Kegaduhan tersebut disinyalir adanya peran elit politik yang menambah
polemik diantara KPK dan Polri. Urutan kronologis sejak Budi Gunawan di tetapkan menjadi
Kapolri yang kemudian disusul penetapan tersangka oleh KPK, dan berlanjut dengan
penetapan tersangka Komisioner KPK Bambang Widjojanto, dirasa agak janggal dan
mengganggu rasionalitas.13
Polemik antara KPK dan Polri yang bisa dikatakan jilid 3 (tiga) menimbulkan
keresahan di masyarakat. Keresahan itu menimbulkan reaksi masyarakat salah satunya
muncul 2 (dua) golongan yakni golongan pendukung KPK dan golongan pendukung Polri.
Hal ini menimbulkan konflik horizontal yang memanas antara kedua pendukung tersebut.
Disisi lain penegakkan pemberantasan korupsi harus ditegakkan dan disisi lain penegakkan
hukum juga harus ditegakkan. Jika dibiarkan akan menjadi rakyat tidak akan percaya kepada
Pemerintah karena Pemerintah tidak menyelesaikan permasalahan ini dan tidak berlarut-larut.
Keputusan Presiden Joko Widodo perihal penggantian calon Kapolri
Keputusan Presiden Joko Widodo perihal penunjukkan Badrodin Haiti gantikan
Budi Gunawan sebagai calon Kapolri merupakan sikap yang patut diapresiasi dari Joko
Widodo. Menurut Presiden Joko Widodo yang menyatakan bahwa “pencalonan Komisaris
Jenderal Polisi Budi Gunawan SH MSi sebagai kapolri telah menimbulkan pebedaan
pendapat di masyarakat, maka untuk menciptakan ketenangan serta memperhatikan
kebutuhan Kepolisian negara Republik Indonesia, untuk segera dipimpin oleh seorang kapolri
13 http://news.okezone.com/read/2015/01/27/337/1097556/kegaduhan-konflik-kpk-polri-diduga-didalangi-segelintir-oknum.
13
yang definitif maka hari ini kami mengusulkan calon baru yaitu Komisaris Jenderal Polisi
Drs. Badrodin Haiti untuk mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai
Kapolri”.14 Selain masalah calon kapolri, Jokowi juga memutuskan untuk menerbitkan
keppres pemberhentian sementara pimpinan KPK (Abraham Samad dan Bambang
Wijoyanto) yang menghadapi masalah hukum maka sesuai dengan UU yang berlaku maka
akan mengeluarkan keppres untuk memberhentikan sementara dua pimpinan KPK”.15 Hal ini
sesuai dengan Pasal 32 ayat (2) UU No 32 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi yang berbunyi, “Dalam hal Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi
tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya”.
Perihal pengisian kekosongan kursi pimpinan KPK, Jokowi mengatakan akan
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) untuk mengangkat tiga anggota
sementara pimpinan KPK yaitu mantan Ketua KPK Taufikurahman Ruki, Pakar hukum Prof
dr. Indriyanto Senoadji, dan Johan Budi yang saat ini menjabat Deputi Penindakan KPK.16
Keputusan Presiden Joko Widodo untuk mengakhiri konflik antara dua lembaga
mengintsruksikan kepada kepolisian dan meminta kepada KPK untuk mentaati rambu-rambu
aturan hukum dan kode etik yang berlaku. Keputusan Jokowi senada dengan rekomendasi
Tim 9 yang telah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo pada Selasa, 17 Februari 2015,
yakni:17
1. Tim Konsultatif Independen tetap pada rekomendasi awal agar presiden tidak melantik Komjen Pol Budi Gunawan sebagai Kapolri meski beliau telah dihapuskan status tersangka dalam Putusan Pra Peradilan mengingat putusan Pra Peradilan tidak terkait dengan substansi sangkaan. Tim mengharapkan presiden berupaya agar Budi bersedia mundur dalam pencalonan Kapolri demi kepentingan bangsa dan negara.
2. Presiden segera memulai proses pemilihan calon Kapolri agar institusi Polri terjaga soliditas dan independensinya serta Kapolri terpilih dapat memastikan sinergi dengan lembaga penegak hukum lain.
3. Presiden segera turun tangan melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan keberadaan KPK yang sejumlah pimpinannya ditetapkan tersangka dan sejumlah
14 http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2015/02/150218_jokowi_ganti_kapolri.15 Ibid.16 Ibid.17 http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2015/02/150218_rekomendasi_tim9_bg.
14
penyidik serta pegawainya ditersangkakan atau terancam ditersangkakan. Tim merasa perlu memberikan masukan kepada Presiden atas adanya kekhawatiran tumbuhnya persepsi negatif publik terhadap Polri dengan penetapan tersangka kepada pimpinan, penyidik dan pegawai KPK yang didasarkan kasus-kasus lama dan terkesan tidak substansial. Tim merasa khawatir dengan merosotnya kewibawaan presiden dengan adanya proses kriminalisasi yang terus berlangsung padahal Presiden sudah memerintahkan untuk menghentikannya pada 25 Januari 2015.
4. Presiden perlu memastikan KPK menjalankan fungsi dan tugasnya secara efektif sebagaimana diatur dalam UU KPK sehingga tidak terjadi pelemahan KPK sebagaimana ditegaskan dalam Nawa Cita.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan maka disini harus dapat
menentukan sikap dengan cepat dan tepat dengan pertimbangan yang matang dalam
menyelesaikan segala macam permasalahan. Keputusan Jokowi jangan diambil tergesa-gesa
tanpa pertimbangan yang matang karena akan merugikan rakyat dan rakyat akan menjadi
korban dari kasus yang terjadi. Kita harus mengingat bahwa sebenarnya tujuan dibentuknya
negara sesuai dengan pembukaan UUD 1945 adalah salah satunya untuk menyejahterakan
rakyat. Perihal dinamika antara KPK dan Polri, Presiden jangan membiarkan kembali konflik
antara KPK dan Polri. Sebelum itu, terjadi sebaiknya Presiden melakukan tindakan-tindakan
preventif untuk mencegah timbulnya kasus KPK dan Polri muncul hingga ke permukaan
kembali.
15
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
B. Arief Sidharta, “Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum”, dalam Jentera (Jurnal Hukum), “Rule of Law”, PusatStudi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Jakarta, edisi 3 Tahun II, November 2004.
Prof. Darji Darmodiharjo, S.H. dan DR. Shidarta, S.H., M.Hum., Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Jimly Asshidiqe, Artikel “Gagasan Negara Hukum” dilihat dari http://jimly.com/makalah/namafile/57/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf.
Jimly Asshiddiqie, Artikel “Peradilan Etika” dilihat dari http://www.jimly.com/makalah/namafile/158/Peradilan_Etika_03.pdf.
http://theglobejournal.com/politik/jokowi-pastikan-minggu-depan-kisruh-polri-kpk-selesai/index.php
http://www.dw.de/kronologi-cicak-versus-buaya-jilid-tiga/a-18211420
http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2015/02/150218_rekomendasi_tim9_bg.
http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2015/02/150218_jokowi_ganti_kapolri.
Diskusi dengan Bilal Dewansyah, SH, MH sebagai Dosen Hukum Tata Negara Fakultas
Hukum Universitas Padjadjaran berkenaan pandangan mengenai “Dinamika antara
KPK dan POLRI”.
16
ANALISA HUKUM TERHADAP KEWENANGAN KPK DAN OBJEK PRAPERADILAN
DALAM PUTUSAN PRAPERADILAN NOMOR.04/PID.PRAP/2015/PN.JAK SEL
Oleh :Himpunan Mahasiswa Pidana Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran18
I. KASUS POSISI
1. Pada tanggal 13 Januari 2015, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah
menetapkan status Komjen Pol Budi Gunawan menjadi tersangka.19
2. Komjen Pol Budi Gunawan diduga melakukan tindak pidana korupsi, yakni
diduga menerima hadiah atau janji pada saat menjabat sebagai Kepala Biro
Pembinaan Karir Deputi SDM Mabes Polri periode tahun 2003-2006 dan jabatan
lainnya di Kepolisian RI.
3. Komjen Pol Budi Gunawan diduga telah melanggar Pasal 5 ayat 2, Pasal 11, dan
Pasal 12 huruf a atau huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat 1 kesatu KUHPidana.
4. Pada tanggal 19 Januari 2015, Komjen Pol Budi Gunawan melalui kuasa
hukumnya mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan karena penetapan dirinya sebagai tersangka oleh KPK.
5. Pada tanggal 02 Februari 2015, Sidang perdana perkara praperadilan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan atas nama pemohon Komjen Pol Budi Gunawan dimulai
dan dipimpin oleh hakim tunggal Sarpin Rizaldi. Perkara tersebut terdaftar
18 Kajian ini dibuat oleh Solihin Niar Ramadhan, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran,
angkatan 2011, aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan salah satunya Himpunan Mahasiswa Pidana (HIMAPI) FH UNPAD sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Pidana (HIMAPI) FH UNPAD.
19 “Kronologi Kasus Budi Gunawan dan Ketegangan KPK-POLRI”, dalam <http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2015/02/150216_kronologi_bg_kpk>, [17/02/2015].
17
dengan Nomor.04/Pid.Prap/2015/PN.Jak Sel., namun sidang tersebut ditunda
selama sepekan setelah kuasa hukum KPK tidak hadir pada persidangan.
6. Dalam sidang kedua, tanggal 09 Februari 2015, kedua pihak hadir. Pihak Budi
Gunawan diminta terlebih dulu menyampaikan dalil permohonan. Pada intinya,
kuasa hukum Budi menilai penetapan tersangka kliennya tidak sah. Sedangkan,
KPK menilai praperadilan yang diajukan Budi Gunawan bersifat prematur karena
dalam Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang mengatur
mengenai praperadilan, tak ada aturan mengenai penetapan tersangka.
7. Pada persidangan tanggal 10 Februari 2015, tim kuasa hukum Budi Gunawan
menghadirkan empat saksi fakta terdiri dari tiga pejabat Polri, yakni dua mantan
penyidik KPK AKBP Irsan dan AKBP Hendi Kurniawan, Direktur Tindak Pidana
Ekonomi Bareskrim Budi Wibowo, dan Plt Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.
Selain itu, pihak Budi juga menyerahkan 73 alat bukti berupa surat, print out
berita dari media online, hingga video.
8. Pada persidangan tanggal 11 Februari 2015, sidang praperadilan kembali
dilanjutkan dengan menghadirkan saksi ahli dari pihak Budi Gunawan. Saksi
yang hadir yakni Guru Besar Hukum Unpad Romli Atmasasmita, Guru Besar
Hukum Unpad I Gede Pantja Astawa, Guru Besar Hukum Universitas
Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda dan Guru Besar Hukum Universitas
Khairun Margarito Kamis.
9. Pada persidangan tanggal 12 Februari 2015, KPK hanya menghadirkan satu saksi
fakta di persidangan, yakni penyelidik KPK, Iguh Sipurba. Menurutnya, KPK
cukup mempunyai dua alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 44 Undang-
Undang KPK. KPK sudah mempunyai dua alat bukti yang cukup seperti
18
dokumen, keterangan saksi, hingga Laporan Hasil Analisa dari Pusat Pelaporan
Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK).
10. Pada persidangan tanggal 13 Februari 2015, KPK langsung menghadirkan tujuh
saksi, terdiri dari empat saksi ahli dan tiga saksi fakta. Empat saksi ahli yakni
pakar hukum tata negara Zainal Arifin Mochtar, pakar filsafat hukum Arief
Sidharta, Dosen Hukum Acara Pidana Universitas Indonesia Junaedi, dan
pensiunan Jaksa Adnan Pasliadja. Adapun saksi fakta yang dihadirkan yakni
mantan Kepala Satgas Koordinasi dan Supervisi KPK Anhar Darwis, pegawai
administrasi divisi penyidikan KPK Dimas Adiputra, dan pegawai administrasi
divisi penyelidikan KPK Wahyu Dwi Raharjo.
11. 2 Pegawai bidang administrasi Komisi Pemberantasan Korupsi, Wahyu Budi
Raharjo sebagai pegawai administrasi di Divisi Penyelidikan, dan Dimas
Adiputra sebagai pegawai administrasi di Divisi Penyidikan menjadi saksi fakta
membenarkan adanya surat perintah penyelidikan (sprinlidik) yang terbit pada
tanggal 2 Juni 2014 dan surat perintah penyidikan (sprindik) yang keluar pada
tanggal 12 Januari 2015 atas kasus yang menjerat Komjen Pol Budi Gunawan.20
12. Kemudian pada hari Senin, persidangan tanggal 16 Februari 2015, tepat pukul
10.25 WIB Hakim Sarpin Rizaldi mengabulkan permohonan praperadilan yang
diajukan oleh kuasa hukum Komjen Pol Budi Gunawan atas status tersangka
yang ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
13. Berikut ini isi putusan praperadilan Komjen Pol Budi Gunawan:
a. Mengabulkan permohonan pemohon praperadilan sebagian;
20 Nafiysul Qodar, “Saksi Membenarkan Ada Sprinlidik dan Sprindik Kasus Budi Gunawan”, dalam
<http://news.liputan6.com/read/2175743/saksi-benarkan-ada-sprinlidik-dan-sprindik-kasus-budi-gunawan>, [17/02/2015].
19
b. Memerintahkan sprindik yang menetapkan pemohon sebagai tersangka oleh
termohon adalah tidak sah dan tidak berdasarkan hukum;
c. Menyatakan penyidikan yang dilakukan oleh termohon terkait peristiwa
pidana sebagaimana dimaksud dalam penetapan tersangka terhadap diri
pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat 2,
Pasal 11 atau 12 b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP adalah tidak sah dan tidak berdasar
atas hukum dan oleh karenanya penyidikan a quo tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat;
d. Menyatakan penetapan tersangka atas diri pemohon yang dilakukan oleh
termohon adalah tidak sah;
e. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih
lanjut oleh termohon yang berkaitan dengan penetapan tersangka terhadap diri
pemohon oleh termohon;
f. Membebankan biaya perkara kepada negara sebesar nihil;
g. Menolak permohonan pemohon praperadilan selain dan selebihnya.
II. MASALAH HUKUM DAN TINJAUAN TEORITIK
A. Masalah Hukum
1. Apakah KPK memiliki kewenangan dalam Melakukan Penyelidikan,
Penyidikan, dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi Terhadap Komjen Pol
Budi Gunawan?
20
2. Apakah penetapan tersangka dapat dijadikan sebagai objek pemeriksaan dalam
permohonan praperadilan dihubungkan dengan Pasal 77 KUHAP ?
B. Tinjauan Teoritik
Lembaga praperadilan memiliki fungsi untuk menjaga ketertiban pemeriksaan
pendahuluan dan untuk melindungi tersangka dan terdakwa terhadap tindakan-tindakan
penyidik (kepolisian) dan/atau penuntut umum (kejaksaan) yang melanggar hukum dan
merugikan tersangka.21 Diadakannya suatu lembaga yang dinamakan praperadilan,
diatur dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP), kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam
Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP.
Praperadilan itu tidak merupakan badan tersendiri, tetapi merupakan suatu
wewenang saja dari Pengadilan. Berdasarkan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No.8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Praperadilan adalah wewenang pengadilan
negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini:
a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas
permintaan demi tegaknya hukum dan pengadilan;
c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya
atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke
pengadilan.
21 Selain itu, fungsi lembaga praperadilan adalah sebagai alat kontrol atau pengawasan secara
horizontal dari penyidik. S. Tanusubroto, Peranan Pra-Peradilan dalam Hukum Acara Pidana, Bandung, Alumni, 1983, hlm.73.
21
Berdasarkan Pasal 1 angka 10 dan Pasal 77 KUHAP, dapat disimpulkan bahwa
terdapat 6 objek praperadilan, yaitu :
a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan;22
b. Sah atau tidaknya suatu penahanan;23
c. Sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan; 24
d. Sah atau tidaknya suatu penghentian penuntutan;25
e. Permintaan ganti kerugian;26 dan
f. Permintaan rehabilitasi.27
Dalam sidang praperadilan ini, terdapat dua belah pihak. Pihak pertama disebut
sebagai “Pemohon” dan pihak kedua disebut sebagai “Termohon”. Pemohon diberi
beban pembuktian lebih dahulu untuk membuktikan adanya peristiwa28 tersebut, dan
selanjutnya pihak Termohon diberi kesempatan pula untuk menyerahkan bukti-bukti
guna memperkuat sangkalannya atau bantahannya.
22 Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan
tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP. Pasal 1 angka 20 KUHAP.
23 Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP. Pasal 1 angka 21 KUHAP.
24 Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Pasal 1 angka 2 KUHAP.
25 Penuntutan adalah tindakan penuntut untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Yang dimaksud dengan “penghentian penuntutan” tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung. Pasal 1 angka 7 KUHAP.
26 Ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam KUHAP. Pasal 1 angka 22 KUHAP.
27 Rehabilitasi adalah hak seorang untuk mendapatkan pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan, atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut maupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam KUHAP. Pasal 1 angka 23 KUHAP.
28 Yang dimaksud dengan “peristiwa” disini adalah peristiwa hukum yang menjadi objek praperadilan, antara lain : penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, permintaan ganti kerugian dan rehabilitasi.
22
Setelah dipersidangkan, baik Pemohon maupun Termohon mengajukan surat-
surat bukti bahwa kalau perlu dengan saksi-saksi, dan atas surat-surat bukti dan saksi-
saksi tersebut, baik Pemohon maupun Termohon tidak berkeberatan, maka Hakim
memberikan kesempatan bagi Pemohon maupun Termohon untuk menanggapi surat-
surat bukti yang telah diajukannya.29
Pemeriksaan praperadilan dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya 7
(tujuh) hari, hakim harus sudah menjatuhkan putusannya.30 Putusan hakim dalam acara
pemeriksaan praperadilan harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya untuk
mengabulkan atau menolak permintaan pemeriksaan itu. Amar atau isi putusannya
harus memuat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (3) huruf e KUHAP yang
memuat hal sebagai berikut:
a. Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau
penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat
pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka;
b. Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau
penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib
dilanjutkan;
c. Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan
tidak sah, maka dalam hal putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti
kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu
penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah, dan tersangkanya tidak
ditahan, maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya;
d. Dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak
termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda
29 S. Tanusubroto, Op.Cit., hlm.84.30 Lihat Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP.
23
tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda
itu disita.
III. ANALISIS HUKUM
A. Kewenangan KPK dalam Melakukan Penyelidikan, Penyidikan, dan
Penuntutan Tindak Pidana Korupsi Terhadap Komjen Pol Budi Gunawan.
Berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat
penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan
tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara
negara;
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme,
bahwa yang dimaksud dengan penyelenggara negara adalah Pejabat Negara yang
menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan
tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian, dalam Pasal 2 menyebutkan
bahwa Penyelenggara Negara meliputi :
1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara;
2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;
3. Menteri;
4. Gubernur;
5. Hakim;
24
6. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku; dan
7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan
penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.31
Komjen Pol Budi Gunawan, pada saat menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan
Karir Deputi SDM Mabes Polri periode tahun 2003-2006 memiliki kedudukan sebagai
pejabat Eselon II. Apabila ditafsirkan menggunakan penafsiran gramatikal pada Pasal 2
angka 7 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 di atas, maka Komjen Pol Budi
Gunawan tidak termasuk dalam kategori “Penyelenggara Negara”. Apabila
menggunakan kategori penyelenggara negara berdasarkan pasal ini, jelas bahwa KPK
tidak memiliki kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
terhadap Komjen Pol Budi Gunawan. Sehingga, pertimbangan hakim Sarpin Rizaldi
mengenai Komjen Pol Budi Gunawan bukanlah merupakan “Penyelenggara Negara”
dapat dibenarkan.
Komjen Pol Budi Gunawan, sebagai anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia tunduk kepada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia. Dalam Pasal 2 undang-undang tersebut menyebutkan
bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum (cetak tebal
oleh penulis), perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Perlu
dicermati bahwa dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi, kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan,
31 Dalam penjelasan Pasal 7 UU No.28 Tahun 1999, bahwa yang dimaksud dengan "pejabat lain yang
memiliki fungsi stategis" adalah pejabat yang tugas dan wewenangnya di dalam melakukan penyelenggaraan negara rawan terhadap praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang salah satunya Pejabat Eselon I dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
25
penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi tidak hanya melibatkan
penyelenggara negara saja, melainkan juga aparat penegak hukum (cetak tebal oleh
penulis). Sehingga, apabila kita melakukan penafsiran sistematis terhadap Pasal 11
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, dan
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang untuk melakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi terhadap Komjen Pol Budi
Gunawan.
Penentuan kewenangan KPK dan penafsiran terhadap “penyelenggara negara”
dan “aparat penegak hukum” apabila dikaitkan dengan proses praperadilan, bahwa hal
tersebut bukan merupakan kewenangan praperadilan.
B. Objek Praperadilan dalam Perkara Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jak.Sel
Dihubungkan dengan Pasal 77 KUHAP
Penetapan status seseorang menjadi tersangka merupakan salah satu bagian dalam
tahap penyidikan. Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau
keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.32
Dalam pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi menyatakan bahwa:
“Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, terhitung sejak tanggal penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang ini.”33
Berdasarkan pasal tersebut, saat seseorang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh
KPK, maka prosedur khusus yang berlaku adalah prosedur yang terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Pasal
32 Pasal 1 angka 14 KUHAP.33 Yang dimaksud dengan “prosedur khusus” adalah kewajiban memperoleh izin bagi tersangka
pejabat negara tertentu untuk dapat dilakukan pemeriksaan.
26
ini tidak menghapuskan segala prosedur yang terdapat dalam KUHAP, karena
berdasarkan Pasal 62 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi menyebutkan bahwa:
“Pemeriksaan di sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku34 dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.”
Berdasarkan Pasal 1 angka 10 KUHAP, Praperadilan adalah wewenang
pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini:
a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas
permintaan demi tegaknya hukum dan pengadilan;
c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya
atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan
Kemudian sudah dijelaskan bahwa terdapat 6 objek praperadilan, yaitu :
a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan;
b. Sah atau tidaknya suatu penahanan;
c. Sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan;
d. Sah atau tidaknya suatu penghentian penuntutan;
e. Permintaan ganti kerugian; dan
f. Permintaan rehabilitasi
Penetapan tersangka, walaupun merupakan bagian dari tahap penyidikan, bukan
merupakan objek dari praperadilan. Hal tersebut didukung secara tegas dalam Pasal 77
34 Yang dimaksud dengan “hukum acara pidana yang berlaku” adalah sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
27
KUHAP sebagai hukum positif Indonesia. Penetapan tersangka jelas berbeda dengan
proses penangkapan. Sehingga dalam kasus ini, penetapan tersangka yang terdapat
dalam amar putusan nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jak.Sel bukan merupakan objek
praperadilan. Konsekuensinya, bahwa hakim praperadilan telah memutus melampaui
kewenangannya.
IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
1. Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang untuk melakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi terhadap Komjen Pol
Budi Gunawan. Namun, penentuan kewenangan KPK dan penafsiran
terhadap “penyelenggara negara” dan “aparat penegak hukum” apabila
dikaitkan dengan proses praperadilan, bahwa hal tersebut bukan merupakan
kewenangan praperadilan.
2. Penetapan seseorang menjadi tersangka tidak dapat dijadikan sebagai objek
dari praperadilan. Pasal 77 KUHAP secara tegas membagi objek
praperadilan menjadi 6 jenis, antara lain: penangkapan, penahanan,
penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, permintaan ganti
kerugian, dan permintaan rehabilitasi. Hakim dalam putusannya nomor
04/Pid.Prap/2015/PN.Jak.Sel memperluas objek praperadilan, sehingga
hakim praperadilan telah memutus melampaui kewenangannya.
B. Rekomendasi
Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi dari semua Lingkungan
Peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan
28
pengaruh-pengaruh lain.35 Sebagai lembaga peradilan yang memiliki kewenangan
pengawasan, Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap
penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawahnya
dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman.36 Oleh karena itu, dalam fungsi
pengawasan, sebaiknya Mahkamah Agung mempelajari dan meninjau kembali putusan
praperadilan nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jak.Sel.
35 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.36 Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
29
DAFTAR PUSTAKA
S. Tanusubroto, Peranan Pra-Peradilan dalam Hukum Acara Pidana, Bandung: Alumni,
1983.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.