176238298 hiv aids dalam kehamilan penatalaksanaannya who 2013

83
BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN DAN PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013 ) Oleh : Indah Triayu Irianti Pembimbing : dr. Naomi Pongtasik Supervisor : dr. Eddy Tiro, Sp.OG (K) DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK DI BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS 1 REFERAT SEPTEMBER 2013

Upload: ari-wibowo-kasta

Post on 24-Nov-2015

47 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

REFERAT SEPTEMBER 2013BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGIFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN DAN PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013 )

Oleh :Indah Triayu IriantiPembimbing : dr. Naomi PongtasikSupervisor :dr. Eddy Tiro, Sp.OG (K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK DI BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIAMAKASSAR 2013

HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN DAN PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)

I. PENDAHULUAN

Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak negara di seluruh dunia. UNAIDS, badan WHO yang mengurusi masalah AIDS, memperkirakan jumlah ODHA di seluruh dunia pada Desember 2004 adalah 35,9-44,3 juta orang. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari HIV/AIDS. HIV/AIDS menyebabkan berbagai krisis secara bersamaan, menyebabkan krisis kesehatan, krisis pembangunan negara, krisis ekonomi, pendidikan dan juga krisis kemanusiaan. Dengan kata lain HIV/AIDS menyebabkan krisis multidimensi. Sebagai krisis kesehatan, AIDS memerlukan respons dari masyarakat dan memerlukan layanan pengobatan dan perawatan untuk individu yang terinfeksi HIV. 1 Pada tahun 2009, diperkirakan 860.000 wanita hamil ditemukan hidup dengan HIV di Afrika Timur dan Selatan, lebih daripada di daerah lain di dunia. Daerah ini juga mempunyai persentase yang tinggi, yaitu rata-rata 47% dari total keseluruhan anak yang hidup dengan HIV, dimana lebih 90% yang terinfeksi melalui penularan vertikal dari ibu ke bayi selama kehamilan, persalinan atau menyusui.2 Tanpa pengobatan, sekitar 25% -50% dari ibu HIV-positif akan menularkan virus ke bayi mereka selama kehamilan, bersalin, atau menyusui.3 Pada tahun 2007, lebih dari 2 juta anak di seluruh dunia yang hidup dengan HIV /AIDS, dengan mayoritas berada di wilayah sub-Sahara Afrika. Sekitar 400.000 bayi tertular HIV dari ibu mereka setiap tahun, yaitu sekitar 15% dari total kejadian global HIV. Tingkat infeksi HIV pediatrik di Afrika sub-Sahara tetap tinggi, dengan lebih dari 1.000 bayi baru lahir terinfeksi HIV per hari.3 Risiko penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dikurangi sampai kurang dari 5% melalui kombinasi langkah-langkah pencegahan penularan dari ibu ke anak atau yang dikenal dengan PMTCT (Prevention Mother to Child Transmission), termasuk terapi ARV (antiretroviral) untuk ibu hamil dan anak yang baru lahir. PMTCT dimulai selama ANC (antenatal care), ketika wanita melakukan tes HIV dan menerima hasilnya bahwa dia positif HIV. Rekomendasi di bagian sub-Sahara Afrika adalah terapi ARV diberikan pada wanita selama kehamilan, saat persalinan, dan selama masa nifas atau sementara pemberian ASI eksklusif. Bayi juga harus menjalani tes HIV secara berkala dan minum obat untuk mencegah penularan virus sementara ia disusui.2 PMTCT dapat mengurangi risiko penularan vertikal HIV menjadi kurang dari 1%. Penularan HIV dari ibu ke bayi hampir lenyap di Amerika Serikat dan Eropa, tetapi terus menjadi masalah besar yang tak terkendali di negara-negara Afrika. Pemanfaatan PMTCT di sub-Sahara Afrika telah meningkat secara signifikan selama dekade terakhir, tetapi masih jauh dari yang diharapkan. Pada tahun 2003, hanya 3% dari ibu hamil yang HIV-positif di wilayah ini dimanfaatkan untuk melakukan PMTCT. Persentase ini meningkat drastis menjadi 33% pada tahun 2007 dan 53% pada tahun 2010. Sayangnya, ini masih menyisakan sekitar setengah dari semua perempuan hamil yang HIV-positif tidak memanfaatkan PMTCT, menempatkan mereka pada risiko tinggi untuk menularkan virus kepada bayi mereka. 3

II. EPIDEMIOLOGIPenularan HIV/AIDS terjadi akibat kontak cairan tubuh yang mengandung virus HIV yaitu melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun heteroseksual, jarum suntik pada pengguna narkotika, transfusi komponen darah dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkannya, Oleh karena itu kelompok risiko tinggi terhadap HIV/AIDS, misalnya pengguna narkotika, pekerja seks komersil dan pelanggannya, serta narapidana.1Namun infeksi HIV/AIDS saat ini juga telah mengenai semua golongan masyarakat, baik kelompok risiko tinggi maupun masyarakat umum. Jika pada awalnya, sebagian besar ODHA berasal dari kelompok homoseksual maka kini telah terjadi pergeseran dimana persentase penularan secara heteroseksual dan pengguna narkotika semakin meningkat. Beberapa bayi yang telah terbukti tertular HIV dari ibunya menunjukkan tahap yang lebih lanjut dari tahap penularan heteroseksual.1Sejak tahun 1985 sampai tahun 1996, kasus AIDS masih amat jarang ditemukan di Indonesia. Sebagian besar ODHA pada pariode itu berasal dari kelompok homoseksual. Kemudian jumlah kasus baru HIV/AIDS semakin meningkat dan sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam yang terutama disebabkan akibat penularan melalui narkotika suntik. Sampai dengan terinfeksi HIV adalah pada akhir maret 2005 tercatat 6789 kasus HIV/AIDS yang dilaporkan. Jumlah itu tentu masih sangat jauh dari jumlah sebenarnya. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2002 memperkirakan jumlah penduduk Indonesia yang terinfeksi HIV adalah antara 90.000 sampai 130.000 orang.1Sebuah survei yang dilakukan di Tanjung Balai Karimun menunjukkan peningkatan jumlah pekerja seks komersil (PSK) yang terinfeksi HIV yaitu dari 1% pada tahun 1995/1996 menjadi lebih dari 8,3% pada tahun 2000. Sementara itu survei yang dilakukan pada tahun 2000 menunjukkan angka infeksi HIV yang cukup tinggi di lingkungan PSK di Merauke, yaitu 5-26,5%, 3,36% di Jakarta Utara, dan 5,5% di Jawa Barat.1Fakta yang paling mengkhawatirkan adalah bahwa peningkatan infeksi HIV yang semakin nyata pada pengguna narkotika. Padahal sebagian besar ODHA yang merupakan pengguna narkotika adalah remaja dan usia dewasa muda yang merupakan kelompok usia produktif. Pengguna narkotika suntik mempunyai resiko tinggi untuk tertular oleh virus HIV yang dapat menular melalui darah. Penyebabnya adalah penggunaan jarum suntik secara bersamaan dan berulang yang lazim dilakukan oleh pengguna narkotika. Survei yang dilakukan di RS Ketergantungan Obat di Jakarta menunjukkan peningkatan kasus infeksi HIV pada pengguna narkotika yang sedang menjalani rehabilitasi yaitu 15% pada tahun 1999, meningkat cepat menjadi 40,8 pada tahun 2000, dan 47,9 pada tahun 2001. Bahkan suatu survei di sebuah kelurahan di Jakarta Pusat dilakukan oleh Yayasan Pelita Ilmu menunjukkan 93% pengguna narkotika terinfeksi HIV. 1Surveilens pada donor darah dan ibu hamil biasanya digunakan sebagai indikator untuk menggambarkan infeksi HIV/AIDS pada masyarakat umum. Jika pada tahun 1990 belum ditemukan darah donor di Palang Merah Indonesia (PMI) yang tercemar HIV, maka pada periode selanjutnya ditemukan infeksi HIV yang jumlahnya makin lama makin meningkat. Persentase kantung darah yang dinyatakan tercemar HIV adalah 0,002% pada periode 1992/1993, 0,003% pada periode 1994/1995, 0,004% pada periode 1998/1999 dan 0,016% pada tahun 2000. Survei yang dilakukan pada tahun 1999-2000 pada beberapa klinik KB, puskesmas dan rumah sakit di Jakarta yang dipilih secara acak menemukan bahwa 6 (1,12%) ibu hamil dari 537 orang yang bersedia menjalani tes HIV ternyata terinfeksi HIV.1Mortalitas maternal pada penderita HIV/AIDS dihubungkan oleh berbagai keadaan, yaitu hampir setengah dari 42 juta orang hidup dengan HIV adalah wanita dengan usia reproduksi. Selain itu, lebih dari 2 juta yang terinfeksi HIV adalah wanita hamil, lebih dari 90% dari mereka terdapat di negara berkembang, sementara 600.000 wanita meninggal di awal tahun karena komplikasi dari kehamilan dan persalinan.4 Infeksi HIV pada wanita hamil berkisar dibawah 1% sampai 40% pada negara-negara yang berbeda. Peningkatan penderita AIDS yang tertinggi berada di negara afrika, walaupun prevalensi di beberapa negara Asia patut dipertimbangkan. Prevalensi angka kejadian telah menurun dibeberapa wilayah, seperti Uganda dan diketahui bahwa penderita AIDS yaitu wanita yang mempunyai usia yang lebih muda jumlahnya mulai menurun di negara Afrika Selatan, tetapi prevalensi masih tinggi di wilayah lainnya. Terjadi peningkatan jumlah wanita hamil yang terinfeksi oleh HIV dengan komplikasi yang berefek pada angka mortalitas maternal.4Saat ini terdapat 33 juta orang yang hidup dengan HIV/AIDS, 15 juta diantaranya adalah perempuan dan 2,5 juta adalah anak-anak dengan usia kurang dari 15 tahun. Transmisi penularan HIV dari ibu ke anaknya dapat dihitung dari besarnya infeksi yang didapat oleh anaknya sendiri. Penularan dari ibu ke anak dapat terjadi melalui intrauterin, intrapartum dan selama menyusui. Tanpa adanya pengobatan antiretroviral, faktor risiko infeksi pada wanita yang dapat ditularkan ke anak berkisar antara 16 hingga 40%. Menyusui merupakan faktor risiko penularan yang berperan hanya 10%. Obat-obatan antivirus yang diberikan pada ibu hamil yang terinfeksi HIV dan bayinya secara signifikan dapat mengurangi risiko penularan dari ibu ke anak. Dengan pengobatan antriretroviral menyebabkan jumlah virus HIV yang rendah, tidak menyusui dan operasi sesaria elektif, penularan HIV ke anak dapat diturunkan sekitar 0 hingga 2%. 5

III. DEFINISI

AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah suatu penyakit retrovirus epidemik, menular yang disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus, yang pada kasus berat bermanifestasi sebagai depresi berat imunitas selular, dan mengenai kelompok risiko tertentu, termasuk pria homoseksual atau biseksual, penyalahgunaan obat-obatan intravena, penderita hemofilia, dan penerima transfusi darah lainnya, hubungan seksual dari individu yang terinfeksi HIV, dan bayi baru lahir dari ibu yang terinfeksi virus tersebut. 6

IV. ETIOLOGIPenyebab AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah sejenis virus yang disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV). Ini adalah suatu virus RNA berbentuk sferis dengan diameter 1000 angstrom yang termasuk retrovirus dari family Lentiviridae. Strukturnya terdiri dari lapisan luar atau envelop yang terdiri atas glikoprotein gp 120 yang melekat pada glikoprotein gp 4. Dibagian dalamnya terdapat lapisan kedua yang terdiri dari protein p17. Setelah itu terdapat inti HIV yang dibentuk oleh protein p 24. Didalam inti terdapat komponen penting berupa dua buah rantai RNA dan enzim reverse transcriptase.7Dikenal dua serotipe HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang juga disebut Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), dimana virus ini pertama kali diisolasi oleh Luc M4ontagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983. HIV-1, sebagai penyebab sindrom defisiensi imun (AIDS) yang tersering, penyebarannya lebih luas di hampir di seluruh dunia,sedangkan HIV 2 ditemukan pada pasien-pasien dari Afrika barat dan Portugal dahulu dikenal juga sebagai human T cell-lymphotropic virus tipe III (HTLV-III), lymphadenophaty associated virus (LAV) dan AIDS associated virus. HIV 2 lebih mirip dengan monkey virus yang disebut SIV (Simian Immunodeficiency Virus), antara HIV 1 dan HIV 2 intinya mirip , tetapi selubungnya berbeda.7 Genom HIV mengkode sembilan protein yang esensial untuk setiap aspek siklus hidup virus. Dari segi struktur genom, virus-virus memiliki perbedaan yaitu bahwa protein HIV-1,Vpu, yang membantu pelepasan virus, tampaknya diganti oleh protein Vpx pada HIV-2. Vpx meningkatkan infekstivitas (daya tular) dan mungkin merupakan duplikasi dari protein lain, Vpr. Vpr diperkirakan meningkatkan trasnkripsi virus. HIV-2 yang pertama kali diketahui dalam serum ini para perempuan Afrika Barat (warga Senegal) pada tahun 1985, menyebabkan penyakit klinis tetapi tampaknya kurang patogenik dibandingkan dengan HIV-1.8

Gambar 4.1 Struktur dasar virus HIV 9

V. PATOGENESISLimfosit CD4 merupakan target utama infeksi HIV karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4 berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respon imun yang progresif. Kejadian infeksi HIV primer dapat dipelajari pada model infeksi akut Simian Immunodeficiency Virus (SIV). SIV dapat menginfeksi limfosit CD4 dan monosit pada mukosa vagina. Virus dibawa oleh antigen presenting cells ke kelenjar getah bening regional. Pada model ini, virus dideteksi pada kelenjar getah bening dalam 5 hari setelah inokulasi. Sel individual di kelenjar getah bening yang mengekspresikan SIV dapat dideteksi dengan hibridasi in situ dalam 7 sampai 14 hari setelah inokulasi. Viremia SIV dideteksi 7-21 hari setelah infeksi.1Puncak jumlah sel yang mengekspresikan SIV di kelenjar getah bening berhubungan dengan puncak antigenemia p26. Jumlah sel yang mengekspresikan virus di jaringan limfoid kemudian menurun secara cepat dan dihubungkan sementara dengan pembentukan respon imun spesifik. Insiden dengan menghilangnya viremia adalah peningkatan sel limfosit CD8. Walaupun demikian tidak dapat dikatakan bahwa respon sel limfosit CD8 menyebabkan kontrol optimal terhadap replikasi HIV. Replikasi HIV berada pada keadaan steady state beberapa bulan setelah infeksi. Kondisi ini bertahan relatif stabil selama beberapa tahun, namun lamanya sangat bervariasi. Faktor yang mempengaruhi tingkat replikasi HIV tersebut, dengan demikian juga perjalanan kekebalan tubuh pejamu, adalah heterogenitas kapasitas replikatif virus dan heterogenitas intrinsik pejamu.1Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi. Namun secara umum dapat dideteksi pertama kali setelah replikasi virus telah menurun sampai ke level steady state. Walaupun antibodi ini umumnya memiliki aktifitas netralisasi yang kuat melawan infeksi virus, namun ternyata tidak dapat mematikan virus. Virus dapat menghindar dari netralisasi oleh antibodi dengan melakukan adaptasi pada envelopnya, termasuk kemampuannya mengubah situs glikosilasinya, akibatnya konfigurasi 3 dimensinya berubah sehingga netralisasi yang diperantarai antibodi tidak dapat terjadi.1Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala tertentu. Sebagian memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu setelah terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula yang perjalanannya lambat (non-progressor). Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes.1Tanpa pengobatan ARV, walaupun selama beberapa tahun tidak menunjukkan gejala, secara bertahap sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV akan memburuk, dan akhirnya pasien menunjukkan gejala klinik yang makin berat, pasien masuk tahap AIDS. Manifestasi awal dari kerusakan kekebalan tubuh adalah kerusakan mikro arsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV yang luas di jaringan limfoid, yang dapat dilihat dengan pemeriksaan hibridisasi in situ. Sebagian besar replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan diperedaran darah tepi. 1

Siklus Replikasi HIV adalah sebagai berikut : 101. Terjadi fusi dari sel HIV ke permukaan sel inang.2. Dengan bantuan enzim reverse transcriptase, RNA HIV terintegrasi dan virus protein lainnya memasuki sel inang.3. DNA virus terbentuk akibat proses transkripsi terbalik.4. DNA virus diangkut melintasi inti dan terintegrasi ke dalam DNA inang.5. RNA virus baru digunakan sebagai RNA yang digunakan untuk membuat protein virus.6. RNA virus baru dan protein pindah ke permukaan sel yang baru dan masih imatur, terbentuklah virus HIV baru.7. Virus matang oleh enzim protease HIV dan melepaskan protein individu.

Gambar 5.1 Siklus Replikasi HIV.10

Respon Imun Terhadap Infeksi HIV Segera setelah terpajan HIV, individu akan melakukan perlawanan immun yang intensif. Sel-sel B menghasilkan antibodi-antibodi spesifik terhadap berbagai protein virus. Di temukan antibodi netralisasi terhadap regio-regio di gp120 selubung virus dan bagian eksternal gp 41. Deteksi antibodi adalah dasar bagi berbagai uji HIV (misalnya, enzyme linked immunosorbant assay /ELISA). Di dalam darah dijumpai kelas antibodi immunoglobulin G (IgG) maupun immunoglobulin M (IgM), tetapi seiring dengan menurunnya titer IgM, titer IgG (pada sebagian besar kasus) tetap tinggi sepanjang infeksi. Antibodi IgG adalah antibodi utama yang digunakan dalam uji HIV. Antibodi terhadap HIV dapat muncul dalam 1 bulan setelah infeksi awal dan pada sebagian besar orang yang terinfeksi HIV muncul dalam 6 bulan setelah terinfeksi. 8 Produksi immunoglobulin diatur oleh limfosit T CD4, dimana sel limfosit T CD4 diaktifkan oleh sel penyaji antigen (APC) untuk menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-2 yang membantu merangsang sel B untuk membelah dan berdiferensiasi menjadi sel plasma. Sel plasma ini kemudian menghasilkan immunoglobulin yang spesifik untuk antigen yang merangsangnya. Sitokin IL-2 penting dalam aktivitas intrasel. CD4 berfungsi untuk mengeluarkan berbagai sitokin yang memperlancar proses-proses misalnya produksi immunoglobulin dan pengaktifan sel T tambahan dan makrofag. Dua sitokin spesifik yang dihasilkan oleh limfosit ( CD4,IL-2 dan interferon gamma berperan dalam imunitas seluler. Pada kondisi normal, limfosit CD4 mengeluarkan interferon gamma yang menarik makrofag dan mengintensifkan reaksi immun terhadap antigen. Namun apabila limfosit CD4 tidak berfungsi dengan benar maka produksi interferon gamma akan menurun. IL-2 penting untuk memfasilitasi tidak saja produksi sel plasma tetapi juga pertumbuhan dan aktivitas antivirus sel CD8 dan replikasi limfosit CD4. Limfosit CD4 tidak mampu membelah diri sehingga timbul fenomena yang disebut anergi. 8 Teori lain menyatakan adanya peran pembentukan sinsitium. Pada pembentukan sinsitium, limfosit CD4 yang tidak terinfeksi berfusi dengan sel-sel yang terinfeksi sehingga mengalami banyak sel yang tidak terinfeksi. Akhirnya, menurunnya jumlah limfosit CD4 mungkin disebabkan oleh terbentuknya virus-virus baru melalui proses pembentukan tunas, virus-virus tersebut menyebabkan rupturnya membran limfosit CD4 yang secara efektif mematikan sel tersebut. Apapun teori yang menjelaskan berkurangnya limfosit CD4, gambaran utama pada infeksi HIV tetaplah deplesi sel-sel tersebut. Deplesi limfosit CD4 tersebut bervariasi di antara para pengidap infeksi HIV. Sebagian faktor yang mempengaruhinya adalah fungsi sistem imun pejamu (misalnya : penyakit kongenital, metabolik, defisiensi gizi) atau perbedaan strain virus.8

VI. PENGARUH HIV/AIDS PADA KEHAMILAN Penularan HIV-1 dapat terjadi di dalam rahim (intrauterin), pada saat persalinan (intrapartum), atau postnatal melalui menyusui. Bukti transmisi dalam rahim yaitu terjadi dalam 8 minggu kehamilan, infeksi berasal dari deteksi HIV-1, dimana virus di isolasi yang diambil dalam spesimen janin dan jaringan plasenta, didapatkan sekitar 20% -60% dari bayi yang terinfeksi pada saat lahir, didapatkan antigen p24 diserum janin. Bukti dalam transmisi intrapartum di dapat dari pengamatan kelahiran bayi kembar, yang menemukan bahwa bayi kembar yang lahir pertama kali memiliki risiko dua kali lipat lebih tinggi tertular HIV-1 dibandingkan dengan bayi kembar yang lahir kedua. 11 Paparan janin terhadap virus dalam cairan serviko-vaginal diperkirakan sangat berperan. Selain itu, laporan terbaru menunjukkan bahwa cara persalinan dapat mempengaruhi tingkat transmisi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pecahnya ketuban lebih dari 4 jam dapat meningkatkan risiko penularan HIV. Sekitar setengah dari bayi yang terinfeksi, akan memiliki studi virus negatif pada waktu kelahiran. Transmisi postnatal lebih banyak ditemukan di negara Afrika.11 Kontribusi masing-masing transmisi dari keseluruhan tampaknya belum menunjukkan bahwa penularan di dalam rahim jarang terjadi dan sebagian besar infeksi terjadi pada saat persalinan atau pada akhir kehamilan. Kesimpulan ini berdasarkan tidak ditemukannya sindrom dismorfik HIV-1, kurangnya manifestasi infeksi HIV-1 pada kelahiran dan temuan bahwa HLV-1 terdeteksi pada minggu pertama kehidupan. Virus terdeteksi dalam waktu 48 jam setelah lahir, keadaan ini dianggap bayi telah terinfeksi selama kehamilan. Sedangkan infeksi intrapartum diasumsikan jika studi virus negatif selama minggu pertama kehidupan, namun akan menjadi positif antara 7 dan 90 hari kemudian. 11Tabel 5.1 Faktor Yang Mempengaruhi Transmisi HIV dari Ibu ke Janin. 11VIRUSGenotip dan fenotip virusResistensi virus & jumlah virus

MATERNALStatus immunologis ibuStatus nutrisi ibuFaktor perilakuPengobatan ART

OBSTETRIPecah ketuban (>4 jam)Cara persalinanPerdarahan intrapartumProsedur obstetric

FETALPrematuritas

BAYIMenyusuiFaktor traktus gastrointestinalSistem immun immature

1. FAKTOR VIRUS Transmisi penularan virus HIV meningkat dengan adanya peningkatan viremia ibu. Pengamatan klinis dengan pengembangan teknik baru untuk pengukuran virus, seperti Polymerase kuantitatif Chain Reaction (PCR) DNA dan RNA, telah terbukti bahwa adanya peningkatan viral load ibu dan risiko penularan dari ibu ke anak. Lebih dari setengah perempuan dengan viral load > 50 000 RNA/ml pada saat persalinan telah terbukti dapat menularkan virus. Dalam sebuah studi Prancis, tingkat penularan meningkat dengan meningkatnya viral load yaitu 12% pada mereka yang mempunyai jumlah viral load kurang dari 1000 RNA/ ml dibandingkan dengan 29% pada mereka dengan yang mempunyai jumlah viral load >10.000 RNA/ml. Viral load lokal dalam sekresi cairan serviko-vaginal dan dalam ASI juga penting dalam penentu risiko intrapartum dan menyusui.11 Adanya penyakit menular seksual, peradangan, kekurangan respon imun lokal dapat mempengaruhi virus. Transmisi pasca kelahiran dikaitkan dengan kehadiran virus HIV-1 yang terinfeksi dalam ASI. Pemberian ART pada ibu selama kehamilan diperkirakan dapat mengurangi penularan virus, ditandai dengan pengurangan viral load, meskipun mekanismenya mungkin juga termasuk post-exposure prophylaxis pada anak setelah lahir, seperti penggunaan AZT telah terbukti dapat mengurangi penularan. ART mungkin lebih efektif dalam mencegah penularan.11 Sejumlah sub tipe HIV-1 atau kelompok clade telah di identifikasi, dengan perbedaan distribusi geografis. Terdapat sedikit bukti tentang pengaruh sub tipe pada infeksi atau transmisi, meskipun beberapa penelitian telah menunjukkan peningkatan kemampuan in vitro dari sub tipe E untuk menginfeksi sel epitel dari vagina dan leher rahim. Sub tipe dapat mempengaruhi sel tropisme virus, dan pada gilirannya dapat mempengaruhi infektifitas melalui rahim ataupun melalui infeksi genital atau dalam ASI. Kebanyakan penelitian tentang varian virus pada ibu dan anak-anak telah menunjukkan bahwa strain di bayi adalah bagian dari virus ibu. Fenotip virus yang berbeda menunjukkan perbedaan tropisme jaringan. Makrofag tropik non syncytium inducing (NSI) muncul dan diwariskan kepada anak ataupun cucu ketika strain ibu yang dominan adalah syncytium inducing. 112. FAKTOR MATERNAL Pemaparan berulang terhadap strain virus yang berbeda melalui kehamilan terjadi melalui hubungan seksual dan merupakan mekanisme yang bertanggung jawab atas peningkatan yang diamati dalam setiap kasus HIV. Perkembangan resistensi terhadap AZT selama kehamilan telah terbukti jarang, tetapi keprihatinan telah diungkapkan bahwa kemungkinan pengembangan strain yang resisten terhadap HIV-1 pada wanita yang menerima monoterapi AZT selama kehamilan dapat berakibat lebih tinggi pada penularan kehamilan berikutnya. 11 Penularan dari ibu ke anak lebih mungkin disebabkan oleh penurunan status kekebalan ibu, tercermin dari jumlah CD4. Studi Kolaboratif Eropa (ECS) menemukan bahwa ada peningkatan risiko penularan dari ibu ke anak jika CD4 ibu jumlahnya berada di bawah 700/mm3. Transmisi meningkat hampir linear dengan penurunan jumlah CD4. Terdapat hasil yang bertentangan tentang peran antibodi dalam mencegah transmisi. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa peningkatan antibodi ibu adalah terkait dengan menurunnya transmisi. Wanita yang menularkan virus HIV dalam rahim mungkin memiliki tingkat antibodi yang autologous daripada mereka yang tidak menularkan, atau pada wanita-wanita di mana penularan terjadi secara intrapartum. 11 Satu laporan menyatakan bahwa ada korelasi antibodi ibu pada wilayah karboksi gp41 envelop glikoprotein dengan berkurangnya transmisi vertikal. Keterlibatan imunitas sel-T spesifik dalam patogenesis transmisi ibu ke anak belum dapat ditentukan. Sedikit yang mengetahui tentang peran antibodi mukosa HIV-1 dan pelepasan virus dalam saluran kelamin yang dapat mempengaruhi tingkat penularan intrapartum. Infeksi melalui menyusui dikaitkan dengan kurangnya IgM dan IgA dalam ASI.11 Serum vitamin A dengan ibu yang terinfeksi positif HIV-1 menunjukkan adanya korelasi dengan risiko transmisi dalam studi Malawi. Rata-rata tingkat vitamin A pada ibu yang menularkan virus ke anak-anak mereka secara signifikan lebih rendah dibandingkan mereka yang tidak tertular. Wanita yang mempunyai kadar vitamin A yang rendah, yaitu 1,4 umol/l memiliki risiko tinggi 4,4 kali lipat tertular. Dalam suatu studi AS menunjukkan terdapat hubungan antara rendahnya kadar vitamin A dengan tingkat penularan, sedangkan penelitian kohort lain memang menunjukkan adanya korelasi. Mekanisme efek vitamin A belum diketahui secara pasti, tetapi terdapat pengaruh vitamin A pada integritas mukosa vagina atau plasenta dan sifat stimulasi kekebalan vitamin.11 Beberapa faktor perilaku telah dikaitkan dengan peningkatan penularan dari ibu ke anak, termasuk merokok dan penggunaan obat-obatan. Hubungan seks selama kehamilan telah dikaitkan dengan peningkatan risiko penularan dari ibu ke anak. Penularan 30% ditunjukkan pada wanita yang memiliki lebih dari 80 episode hubungan seks tanpa kondom selama kehamilan dibandingkan dengan mereka yang terlindungi sebesar 9,1%. Hal ini mungkin disebabkan oleh peningkatan konsentrasi atau keanekaragaman jenis virus HIV-1, atau efek dari serviks atau peradangan vagina atau lecet. Peningkatan terjadinya korioamnionitis sebelumnya telah dilaporkan terkait dengan aktivitas seksual pada kehamilan. Adanya penyakit menular seksual selama kehamilan telah berkorelasi dengan peningkatan risiko transmisi, dan PMS telah terbukti meningkatkan pelepasan virus melalui sekresi cairan serviko-vaginal.11 Faktor plasenta telah terlibat dalam penularan virus dari ibu ke anak. Infeksi plasenta dengan HIV-1 ditandai dengan adanya sel Hofbauer, dan sel-sel trofoblas yang mengekspresikan CD4 + yang rentan terhadap infeksi. Sebuah asosiasi antara peningkatan transmisi dan adanya korioamnionitis digambarkan di awal epidemi. Infeksi plasenta lain dan kondisi non-menular seperti solusio plasenta juga telah terlibat. Merokok dan penggunaan narkoba dapat meningkatkan transmisi melalui gangguan pada plasenta. Di daerah tinggi prevalensi malaria, infeksi plasenta umum terjadi selama kehamilan.11

3. FAKTOR OBSTETRI Mayoritas penularan dari ibu ke bayi terjadi pada saat persalinan, faktor obstetrik merupakan penentu penting penularan. Mekanisme yang terjadi pada saat intrapartum adalah kontak kulit secara langsung, yaitu kontak antara selaput lendir bayi dan ibu melalui sekresi cairan serviko-vaginal selama persalinan. HIV-1 yang terdapat dalam cairan sekresi serviko-vaginal akan meningkat empat kali lipat selama kehamilan. Semakin tinggi tingkat infeksi pada anak kembar sulung mungkin karena pemaparan yang lama oleh sekresi cairan serviko-vaginal. Dalam penelitian kohort menyatakan bahwa kelahiran prematur, perdarahan intrapartum dan prosedur persalinan terkait dengan risiko penularan. Faktor-faktor lain seperti tindakan episiotomi dan persalinan operatif telah terlibat dalam beberapa studi.11 Pecahnya ketuban dalam waktu yang lama telah dikaitkan dengan peningkatan risiko penularan pada sejumlah penelitian dan merupakan faktor risiko yang penting. Dalam studi di Amerika, durasi pecahnya ketuban lebih dari empat jam hampir dua kali lipat terjadinya risiko infeksi. Persalinan melalui operasi sesaria elektif dapat menyebabkan tingkat transmisi kurang dari 1%. 114. FAKTOR JANINFaktor genetik janin mungkin memainkan peran dalam transmisi. Sedikit yang belum mengetahui tentang peran faktor-faktor genetik seperti delesi CCR-5 delta 32 dan HLA kompatibilitas ibu dan bayi dalam penentuan risiko penularan. Kesesuaian HLA antara bayi dan ibu telah dikaitkan dengan peningkatan risiko penularan. Telah dilaporkan bahwa bayi prematur mempunyai tingkat penularan HIV-1 yang lebih tinggi. Wanita dengan jumlah CD4 yang rendah lebih cenderung memiliki kelahiran prematur, yang mungkin mempengaruhi temuan ini. Peningkatan infeksi terlihat pada anak kembar sulung dan telah banyak dilaporkan sebagai bukti transmisi penularan secara intrapartum. Faktor janin lain mungkin termasuk koinfeksi dengan patogen lain, nutrisi janin dan status kekebalan janin.115. FAKTOR BAYIMenyusui merupakan faktor yang sangat berperan dalam penularan virus dari ibu ke anak, dimana lebih dari 30% infeksi HIV perinatal akan terjadi melalui ASI. Keadaan ini kurang umum di dapatkan pada negara maju, dimana sebagian besar perempuan HIV-positif tidak akan menyusui. Faktor-faktor pelindung dalam ASI yaitu mucin, antibodi HIV, laktoferin, dan sekretorik leukosit PI (SLPI). Sebuah meta analisis studi penularan melalui menyusui menunjukkan risiko tambahan penularan melalui menyusui menjadi antara 7 hingga 22%, setara dengan dua kali lipat dari tingkat penularan. Sebuah studi Soweto telah menunjukkan tingkat transmisi 18% pada susu formula bayi dibandingkan dengan 42% pada ASI. 11Selama menyusui, risiko penularan yang diperkirakan sekitar 30%. Risiko penularan melalui ASI juga mungkin tergantung pada faktor-faktor lain, seperti stadium penyakit ibu, abses payudara, mastitis, puting yang retak, kadar vitamin A pada ibu dan sariawan pada anak. Di negara Zimbabwe, sebuah penelitian menunjukkan bahwa 31% ibu yang menyusui yang telah terinfeksi HIV-1 terbukti memiliki penyakit puting aktif. Penularan terjadi pada akhir transmisi postnatal, setelah usia enam bulan, telah dijelaskan dalam sejumlah studi, di Abidjan, 12% bayi yang lahir dari ibu HIV-1 positif didiagnosis setelah usia enam bulan, tetapi mungkin telah terinfeksi sebelumnya. 11Risiko penularan postnatal juga mungkin berkaitan dengan faktor-faktor lain pada bayi baru lahir. Masuknya HIV dapat terjadi melalui saluran gastrointestinal setelah proses pencernaan virus dalam rahim atau saat lahir. Terdapat penurunan keasaman, berkurangnya lendir, dan aktivitas IgA lebih rendah yang dapat mempermudah penularan. Bayi baru lahir dengan sistem kekebalan tubuh yang rendah yaitu kekurangan makrofag dan sel T menyebabkan mudah terjadinya infeksi. 11VII. TANDA & GEJALAVII.1 HIV positif tanpa gejala Banyak orang dengan HIV-positif tidak memperlihatkan gejala.Seringkali orang hanya mulai merasa sakit ketika masuk pada periodeAIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). Kadang-kadang orang hidup dengan HIV melalui periode sakit dan kemudian merasa baik-baik saja.12 Sementara virus itu sendiri kadang-kadang dapat menyebabkan orang merasa sakit, sebagian besar gejala yang parah dan penyakit HIV berasal dariinfeksi oportunistikyang menyerang sistem kekebalan tubuh. Penting untuk diingat bahwa beberapa gejala infeksi HIV mirip dengan gejala penyakit pada umumnya, seperti flu, atau infeksi saluran pernapasan atau pencernaan.12

VII.2 Tanda dan Gejala Tahap Awal Infeksi HIV Pada 2-4 minggu awal setelah terpapar HIV (sampai3 bulan kemudian), seseorang dapat mengalami penyakit akut, sering digambarkan sebagai flu berat. Keadaan ini disebutsindrom retroviral akut (ARS), atauInfeksi primer HIV, ini merupakan respon alami tubuh terhadap infeksi HIV.Selama infeksi primer HIV, terjadi peningkatan virus yang beredar dalam darah, yang berarti bahwa orang dapat lebih mudah menularkan virus kepada orang lain. Gejalanya bisa berupa:12

1. Demam2. Ruam3. Panas dingin4. Ruam5. Berkeringat di malam hari6. Nyeri otot7. Sakit tenggorokan8. Kelelahan9. Pembengkakankelenjar getah bening10. Ulkus di mulut

a. Infeksi Akut

Terjadi segera setelah infeksi HIV, antibodi anti-HIV tidak terdeteksi, sementara terdapat RNA HIV atau antigen p24.Infeksi baru terjadi pada umumnya hingga 6 bulan setelah infeksi selama antibodi anti-HIV terdeteksi.Sepanjang tahap ini merupakan infeksi awal HIV atau merujuk ke infeksi HIV akut atau baru.13 Sekitar 40% sampai 90% diperkirakan pasien dengan infeksi HIV akut akan mengalami gejala sindrom retroviral akut, ditandai dengan demam, limfadenopati, faringitis, ruam kulit, mialgia/arthralgia, dan gejala lainnya.Bagaimanapun juga infeksi HIV sering tidak terkenali karena mirip dengan banyak infeksi virus lainnya, seperti influenza dan infeksi mononukleosis. Infeksi akut juga dapat tanpa gejala.13 Selama periode infeksi, sejumlah besar virus sedang diproduksi dalam tubuh.Virus ini menggunakan sel CD4 untuk meniru dan menghancurkan sel. Oleh karenajumlah CD4dapat menurun dengan cepat, akhirnya respon imun memulai untuk membawa virus dalam tubuh kembali ke suatu tingkat yang disebutset point virus, yang merupakan tingkat relatif stabil virus dalam tubuh.Pada titik ini, jumlah CD4 mulai meningkat, tapi mungkin tidak kembali ke tingkat pra-infeksi.12

b. Diagnosis Infeksi HIV akut

Infeksi HIV akut biasanya didefinisikan sebagai terdeteksinya RNA HIV atau antigen p24, yang terakhir sering digunakan saat ini adalah tes antigen atau antibodi (Ag/Ab), tes kombinasi HIV dalam serum atau plasma.Ketika sindrom retroviral akut dicurigai pada pasien dengan hasil tes antibodi HIV negatif atau tak tentu, tes RNA HIV harus dilakukan untuk mendiagnosis infeksi akut.Tingkat RNA HIV-positif yang rendah ( 100.000 kopi / mL).13 Sebuah diagnosis dugaan infeksi HIV akut dapat dilakukan atas dasar hasil tes antibodi HIV negatif atau tak tentu dan hasil tes RNA HIV positif.Namun, jika hasil tes RNA HIV rendah-positif, tes harus diulang menggunakan spesimen yang berbeda dari pasien yang sama.Hal ini sangat tidak mungkin bahwa tes kedua akan memproduksi hasil positif palsu.Skrining rutin untuk infeksi akut merupakan pilihan untuk penggunaan Ag/Ab, tes HIV sebagai tes skrining HIV primer atau untuk menguji semua sampel negatif antibodi HIV RNA.13Kombinasi tes HIV Ag/Ab (ARCHITECT HIV Ag/Ab Combo dan GS HIV Combo Ag/Ab) sekarang disetujui oleh Food and Drug Administration, namun tes yang tersedia saat ini tidak membedakan antara hasil tes antibodi yang positif dan hasil antigen positif.Jadi HIV Ag/spesimen Ab-reaktif harus diuji dengan uji antibodi, dan jika hasil tes negatif atau tak tentu dan jika dicurigai adanya infeksi HIV akut, lebih lanjut dilakukan tes RNA HIV.Pasien yang didiagnosis dugaan dengan infeksi HIV akut harus memiliki pengujian serologis diulang selama 3 sampai 6 bulan ke depan untuk mengetahui adanya serokonversi.13

VII.3 Tanda dan Gejala Tahap Kronis atau Fase Laten Infeksi HIV

Setelah infeksi awal, virus menjadi kurang aktif dalam tubuh.Selama periode ini, banyak orang tidak memiliki gejala infeksi HIV.Periode ini disebut "periode kronis" atau "fase laten".Periode ini bisa bertahan sampai10 tahunkadang-kadang lebih lama. 12 Periode Laten terjadi setelah tahap akut infeksi HIV, penyakit bergerak ke tahap yang disebut latency klinis.Periode ini kadang-kadang disebutinfeksi HIV tanpa gejalaatauinfeksi HIV kronis.Selama fase ini, diproduksi virus HIV yang rendah, meskipun masih aktif.Seseorang dapat bertahan dengan terdeteksinya viral loaddan jumlah CD4 yang sehat tanpa menggunakan obat selama tahun-tahun pada awal fase ini.Seseorang mungkin tidak memiliki gejala atauinfeksi oportunistik.Periode ini bisa bertahan hingga8 tahun atau lebih. Penting untuk diingat bahwa tubuh masih bisa menularkan HIV kepada orang lain selama fase ini.Menjelang pertengahan dan akhir periode ini, viral load mulai meningkat dan jumlah CD4 mulai turun.Oleh karena itu tubuh akan mulai mengalamigejala konstitusionalHIV sebagai peningkatan virus dalam tubuh.12VII.4 AIDS Seseorang akan didiagnosis AIDS Karena jumlah sel CD4 mulai menurun di bawah200 sel/mm3 dalam darah (< 200 sel/mm3), (Jumlah CD4 normal adalah antara 500 dan 1.600 sel/mm3.) Ini adalah tahap infeksi yang terjadi ketika sistem kekebalan tubuh rusak parah dan tubuh akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik. Tanpa pengobatan, orang yang didiagnosis dengan AIDS biasanya bertahan sekitar 3 tahun.Setelah seseorang memiliki infeksi oportunistik yang berbahaya, harapan hidup jatuh sekitar1 tahun.12VIII. PENEGAKAN DIAGNOSIS

Penegakan diagnosis dilakukan dengan menggunakan sistem CDC ( centers for disease control dan prevention classification system) dan WHO (World Health Organization). Dikatakan AIDS jika telah terinfeksi virus HIV dengan jumlah CD4 < 200 sel/ul atau persentase CD4 < 14% yang dihubungkan dengan tanda dan gejala dari adanya infeksi kuman HIV. Sistem CDC digunakan untuk kepentingan klinik dan penelitian epidemiologi. Berbeda dengan sistem WHO, klasifikasi dari sistem WHO digunakan berdasarkan manifestasi klinik yang ditemukan.14VIII.1 Klasifikasi Diagnosis Infeksi HIV Menurut Sistem CDC Kategori CDC HIV/AIDS diambil berdasarkan adanya penurunan sel CD4 dan kondisi yang berhubungan dengan diagnosis HIV. Sebagai contoh, jika pasien ditemukan dengan kondisi yang termasuk kriteria kategori B tetapi tanpa gejala, pasien tersebut dapat dimasukkan ke dalam kategori B. Sebagai tambahan, pengkategorian berdasarkan kondisi spesifik, sesuai indikasi di bawah. Pasien yang termasuk kategori A3,B3 dan C1-C3 dianggap terdiagnosis HIV.14Tabel 8.1 Sistem Klasifikasi CDC pada Infeksi HIV pada Anak & Remaja.14Jumlah Sel CD4Kategori klinik

ATanpa gejala, HIV fase akut atau PGLB*Bergejala, tidak termasuk kategori A atau CC#AIDS-sesuai dengan indikasi

(1) 500 cells/LA1B1C1

(2) 200-499 cells/LA2B2C2

(3) 38.5C) atau diare >1 bulan10. Neuropati perifer2. Kategory C (AIDS Indikator bergejala)141. Bakterial pneumonia, bersifat rekuren (dua atau lebih episode dalam 12 bulan)2. Kandidiasis pada bronkus, trakhea, atau paru-paru3. Kandidiasis esofagus4. Cervical carcinoma invasive, dikonfirmasi dengan biopsi5. Coccidioidomycosis, yang telah menyebar atau terdapat diluar paru6. Cryptococcosis ekstrapulmoner7. Cryptosporidiosis kronik intestinal (durasi >1 bulan)8. Penyakit Cytomegalovirus 9. Ensefalopati, yang terkait HIV10. Herpes simpleks: Ulkus kronik (durasi >1 bulan), atau bronkhitis, pneumonitis, atau esophagitis11. Histoplasmosis, yang telah menyebar atau terdapat diluar paru12. Isosporiasis kronik intestinal (durasi >1 bulan)13. Sarkoma Kaposi14. Limfoma Burkitt, immunoblastik, atau primary central nervous system15. Mycobacterium aviumcomplex (MAC) atauMycobacterium kansasii, disseminated atau ekstrapulmoner16. Mycobacterium tuberculosis, pulmonary or extrapulmonary17. Pneumocystis jiroveci(formerlycarinii) pneumonia (PCP)18. Progressive multifokal leukoencephalopathy (PML)19. Salmonellasepticemia, rekuren (non tifoid)20. Toxoplasmosis di otak21. Wasting syndrome karena HIV (hilangnya berat badan >10 kg ) disertai dengan diare kronik

VIII.2 Klasifikasi Diagnosis Infeksi HIV Menurut Sistem WHO Penentuan stadium berdasarkan penemuan klinis yang didapatkan dari diagnosis, evaluasi dan pengelolaan HIV/AIDS yang tidak disertai hasil CD4. Sistem stadium ini banyak digunakan dibanyak negara untuk menentukan kelayakan penggunaan ART (anti retrovirus). Stadium klinis dikategorikan dari stadium 1 sampai 4. Tahap ini ditentukan oleh kondisi klinis dan gejala tertentu dan tidak bergantung oleh jumlah CD4. Sistem stadium digunakan di berbagai negara untuk pertimbangan pemberian terapi antiretrovirus. Stadium klinis dikategorikan dari stadium 1 sampai stadium 4, yang dimulai saat terjadi infeksi HIV primer. Dibawah ini adalah kondisi klinis atau gejala dan tanda yang didapatkan pada pasien yang terinfeksi HIV. Pada sistem stadium menurut WHO, remaja dan orang dewasa di definisikan sebagai individu yang berusia lebih dari atau sama dengan usia 15 tahun.14Tabel 8.2 STADIUM KLINIS HIV/AIDS UNTUK REMAJA DAN DEWASA BERDASARKAN WHO.15STADIUM KLINIS I

Asimptomatik Limfadenopati Generalisata Persisten

STADIUM KLINIS II

Penurunan berat badan bersifat sedang yang tak diketahui penyebabnya (