16 pembuatan demplot budidaya kepiting soft cell sebagai upaya pemberdayaan masyarakat pesisir

Upload: deni-marsudi

Post on 30-Oct-2015

44 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

pertanian

TRANSCRIPT

PEMBUATAN DEMPLOT BUDIDAYA KEPITING SOFT CELL SEBAGAI UPAYA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR

PEMBUATAN DEMPLOT BUDIDAYA KEPITING SOFT CELL SEBAGAI UPAYA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIRTim Peneliti Balitbang Prov. Jateng

Jl. Imam Bonjol 190 SemarangRINGKASAN

PendahuluanKepiting bakau atau mud crab merupakan salah satu jenis Crustacea, yang memiliki nilai ekonomis penting. Sejak beberapa tahun terahir populasi kepiting bakau di daerah pesisir utara maupun selatan Jawa Tengah semakin berkurang, hal ini antara lain disebabkan karena eksploitasi terhadap sumberdaya kepiting yang sangat intensif dan semakin berkurangnya habitan kepiting yaitu hutan bakau (mangrove) di wilayah pesisir. Eksploitasi sumberdaya perairan yang mengabaikan kelestariannya, baik karena pemanfaatan yang berlebih maupun dengan cara merusak habitat, pada akhirnya akan memiskinkan masyarakatnya.

Seharusnya kegiatan eksploitasi penangkapan harus dibarengai dengan kegiatan budidaya. Salah satu sumberdaya perikanan yang memiliki nilai ekonomis penting dan merupakan komoditas ekspor adalah kepiting bakau (Scylla serrata Forsskal, 1775). Permintaan pasar domestik maupun dunia makin meningkat dari tahun ke tahun. Salah satu produk kepiting yang diminati konsumen adalah kepiting dengan cangkang lunak (Soft shell). Kepiting Soft shell merupakan komoditi primadona yang bernilai ekonomis tinggi (pada tahun 2005 sekitar Rp. 40.000,-/kg).

Berkaitan dengan budidaya kepiting Soft shell di wilayah pesisir Kabupaten Pemalang khususnya dan pesisir Pantura umumnya (seperti Demak, Jepara dan Rembang), terdapat beberapa permasalahan di antaranya adalah sebagai berikut : Masyarakat pada umumnya belum banyak mengenal kegiatan budidaya kepiting Soft shell, sehingga kegiatan ini belum banyak dilakukan oleh masyarakat setempat.

Usaha budidaya kepiting dengan cangkang lunak telah dilakukan oleh beberapa petani di Kabupaten Pemalang. Budidaya kepiting bakau dilakukan di tambak seluas 3 hektar yang dikelola oleh 3 kelompok petambak, tiap kelompok beranggotakan 25 orang. Namun produksinya dirasakan belum optimal. Beberapa faktor yang mengakibatkan rendahnya produksi kepiting bakau Soft shell di daerah ini antara lain: teknologi budidaya dan pengelolaan kepiting bakau yang dilakukan secara tradisional, sehingga mortalitasnya masih cukup tinggi. Selama ini kebutuhan benih kepiting untuk budidaya masih disuplai dari hasil penangkapan di kawasan mangrove dan di sekitar pertambakan. Penguasaan teknologi budidaya kepiting masih relatif rendah sehingga kematian kepiting masih cukup tinggi; masih rendahnya produksi menyebabkan permintaan kepiting lunak untuk ekspor tidak dapat terpenuhi.Di daerah pesisir Kabupaten Pemalang terdapat puluhan hektar hutan bakau dan daerah potensial hutan mangrove yang perlu dikembangkan dan dilestarikan. Disamping daerah tersebut, di Propinsi Jawa Tengah juga terdapat wilayah pesisir yang memiliki potensi untuk pengembangan budidaya kepiting bakau, dengan karakteristik perairan dan permasalahan yang berbeda, seperti Kabupaten Demak, Kabupaten Jepara, Kabupaten Rembang (Pantura) dan Kabupaten Cilacap (Pansela).

Pengkajian penerapan teknik budidaya kepiting Soft shell merupakan langkah strategis bagi pembinaan dan peningkatan serta pengembangan budidaya kepiting, sebagai upaya untuk mengoptimalkan pemanfaatan lahan pesisir di Wilayah Pantai Propinsi Jawa Tengah. Hal ini menjadi lebih penting artinya mengingat semakin berkembangnya permintaan akan hasil produk kepiting, yang tidak mungkin dapat terpenuhi hanya mengandalkan produksi dari hasil penangkapan.

Oleh karena itu untuk membantu memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh kelompok petani tambak yang cukup potensial dalam meningkatkan produk komoditi unggulan Kabupaten Pemalang khususnya dan Propinsi Jawa Tengah pada umumnya serta dalam rangka pemenuhan target produksi yang diminta oleh pembeli/ekportir, maka dilakukan pengkajian perbaikan teknologi budidaya kepiting bakau dengan cara melakukan uji coba budidaya kepiting soft shell dengan menerapkan penggunaan shelter pelindung, tata letak karamba, dan manajemen pemberian pakan di kawasan pertambakan di Desa Mojo, Kecamatan Ulujami, Kabupaten Pemalang. Materi dan MetodeHasil penelitian BALITBANG Provinsi Jawa Tengah ini dilaksanakan pada bulan Oktober Desember 2005 yang dilaksanakan di daerah pertambakan di Desa Mojo, Kecamatan Ulujami, Kabupaten Pemalang. Materi yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari hewan uji, wadah uji, pakan uji, dan peralatan serta bahan yang digunakan selama penelitian. Hewan uji yang digunakan berupa kepiting bakau (S. serrata Forsskal, 1775) dengan berat awal 80 g yang diperoleh dari nelayan pengumpul di daerah setempat. Penggunaan hewan uji dilakukan pengelompokan berdasarkan berat dan panjang cangkangnya (carapace).

Media uji yang digunakan adalah air laut bersalinitas 23 ppt. Dasar penggunaan salinitas ini karena dalam Kuntiyo et al. (1994) dinyatakan salinitas yang sesuai bagi kondisi lingkungan hidup kepiting bakau adalah 15 30 ppt. Pakan yang digunakan adalah ikan rucah dari jenis ikan Petek dengan kandungan nutrisi yang telah diketahui sebelumnnya . Pakan diberikan pada masing-masing hewan uji per hari adalah 3% dari berat tubuh hewan uji (Soim, 1994). Frekuensi pemberian pakan dilakukan 3 kali per hari, pagi, sore dan malam hari, kecuali pada penelitian dengan penerapan frekuensi pemberian pakan.. Perbandingan jumlah pemberian pakan pada sore dan malam hari lebih banyak dari pada pagi hari yaitu 20% : 40%:40%, hal ini disebabkan karena nafsu makan kepiting bakau lebih besar pada malam hari (Hanafi, 1992).

Wadah uji yang digunakan selama penelitian ini adalah boks plastik dan penutup dari bambu, berukuran (panjang x lebar x tinggit) 30 cm x 20 cm x 20 cm sebanyak 4000 buah. Sebelum digunakan wadah uji dibersihkan dengan air tawar lalu disterilkan dengan menggunakan klorin sebanyak 125 mg/L (LeBlanc dan Overstreet, 1991) kemudian dikeringkan. Wadah uji ini diapungkan pada rakit bambu berukuran (1x1 m2) per unit perlakuan. Tata letak wadah dipergunakan sebagai perlakuan. Demikian juga pelindung/shelter wadah dari intensitas sinar matahari dipergunakan sebagai variabel dalam perlakuan. Peralatan yang digunakan yaitu: DO meter, pHmeter merk Hanna, Refraktometer merk Atago, Termometer, Sechii disk, Neraca Analitik MP-600 merk Chyo, Spectrofotometer UV Vis, cuvet, kertas saring dan gelas ukur, Botol Gelap, Label dan alat tulis, Seser.

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap dengan menerapkan 3 perlakuan, yaitu penggunaan shelter, penggunaan jenis rakit, frekuensi pemberian pakan. Berat dan umur hewan uji diasumsikan homogen. Padat penebaran hewan uji sebanyak 15 ekor per m2. Perlakuan ini ditentukan berdasarkan tingkat kepadatan tertinggi yang telah diterapkan oleh para petani tambak tradisional dalam pemeliharaan kepiting bakau dengan berat awal 50 - 80 g (Suroso, 2004).

Berdasarkan hal tersebut kemudian dibuat beberapa perlakuan yaitu perlakuan shelter (S) dan Non Shelter (NS), perlakuan penggunaan berbagai jenis rakit 2 baris, 3 baris dan 4 baris (R2, R3 dan R4), frekuensi pemberian pakan: 1 kali sehari (F1), dua kali sehari (F2) dan tiga kali sehari (F3). Masing masing perlakuan diulang 20 kali.

Pengamatan dilakukan selama satu bulan dengan kegiatan meliputi pemberian pakan, pengumpulan sisa pakan, pengelolaan kualitas air dan penimbangan berat tubuh hewan uji setiap 7 hari sekali. Selain itu diamati pula tingkat mortalitas kepiting dan jumlah kepiting moulting selama pemeliharaan. Pengamatan moulting dilakukan setiap 2 jam sekali Pengumpulan sisa pakan dilakukan 1 kali sehari sebelum pemberian pakan, kemudian sisa pakan tersebut ditimbang berat keringnya untuk mengetahui jumlah pakan yang dikonsumsi kepiting yang selanjutnya digunakan untuk perhitungan nilai FCR dihitung dengan rumus Tacon (1987) :

FCR =

Keterangan :FCR= Food Convertion Ratio/ Rasio Konversi Pakan;

F = Jumlah berat kering pakan yang dikonsumsi (g);

Wt= Berat kering tubuh hewan uji pada waktu t (g);

Wo= Berat kering tubuh hewan uji pada awal penelitian (g).

Pertumbuhan spesifik didefinisikan sebagai penambahan berat yang dicapai dalam suatu periode tertentu yang dinyatakan dalam prosentase kenaikan berat tiap hari (persen/hari dan dihitung dengan rumus Watanabe et al. (2001) :

SGR = ;

Keterangan : LPS= Laju Pertumbuhan Spesifik (%/hari);

W1= Berat awal hewan uji (g);

W2 = Berat akhir hewan uji (g);

T= Periode pemeliharaan (hari);

Mortalitas kepiting dihitung dengan rumus Effendie (1979) : M = ; Keterangan : M= Mortalitas (%);

Nt = Jumlah kepiting pada akhir penelitian (ekor);

No= Jumlah kepiting pada awal penelitian (ekor).

Pengukuran parameter air, meliputi: pengukuran salinitas, suhu, dan pH serta kecerahan air dilakukan setiap hari dan pengukuran kadar oksigen dan amonia serta nitrit setiap 7 hari sekali. Tekstur tanah dianalisa sekali selama pemeliharaan. Pengukuran ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana daya dukung lingkungan terhadap pemeliharaan kepiting bakau.

Perbedaan pengaruh perlakuan terhadap parameter pengamatan yang diujicobakan diketahui dengan menggunakan Analisis Ragam (ANOVA). Sebelum dilakukan pengujian ANOVA dipenuhi persyaratan normalitas dan homogenitas data. Ketentuan tersebut dilakukan dengan pengujian terhadap data yang diperoleh, meliputi: uji normalitas Lilliefors dan uji homogenitas Bartlett. Transformasi data dilakukan jika data tidak menyebar normal. Apabila terdapat pengaruh nyata dari perlakuan, maka letak perbedaan antar perlakuan diketahui dengan uji Tukey Krammer Tes (Steel dan Torrie, 1995).

Hasil dan Pembahasan

1. Gambaran Umum Lokasi

a. Kondisi umum wilayah pertambakan

Luas lahan pertambakan Kabupaten Pemalang mempunyai areal 1.537 hektar, dengan jumlah petani tambak sebanyak 1339 orang. Delapan puluh persen lahan tersebut sudah tidak produktif untuk menghasilkan udang windu, oleh karena itu daerah ini sangat potensial untuk mengembangkan budidaya kepiting.

Wilayah pertambakan di daerah ini mempunyai struktur tanah pasir berlumpur, diantaranya yang cukup potensial untuk budidaya kepiting yaitu di Desa Mojo Kecamatan Ulujami. Daerah ini berada di sepanjang aliran sungai Comal dan pada bagian yang berbatasan dengan pantai terdapat rintisan reservat hutan bakau seluas 5 Ha. Kawasan ini berfungsi sebagai pelindung abrasi dan sebagai daerah pemijahan maupun tempat mencari makan organisme yang mempunyai habitat di kawasan bakau.

Daerah konservasi hutan mangrove ini dirintis oleh kelompok tani setempat. Jumlah kelompok tani tambak di wilayah ini sebanyak 7 kelompok, masing masing beranggotakan sekitar 25 orang. Tiga kelompok petani tambak menangani pemeliharaan kepiting bakau soft shell sedangkan lainnya menangani masalah penghijauan di kawasan pertambakan dengan pohon bakau. Kegiatan ini bermula pada kegiatan pembesaran/penggemukan kepiting, namun banyak mengalami kegagalan karena semakin tingginya nilai operasional untuk memproduksi kepiting besar/gemuk.

b. Kualitas Air Tambak Penelitian

Pengukuran kualitas air media tambak tempat penelitian pemeliharaan kepiting bakau dengan sistim baterai pada tambak percobaan di Desa Mojo, Kecamatan Ulujami, Kabupaten Pemalang selama penelitian ditunjukkan beberapa parameter. Hasil rata rata pengukuran selama penelitian menunjukan nilai: suhu 29,66 C; salinitas 18,29 ppt; oksigen terlarut 4,75 mg/l; pH 8,42; NH3- 0,02 mg/l; NO2- 0,004 mg/l, kecerahan 32,04 cm. Nilai - nilai tersebut masih menunjukkan kisaran yang cukup baik dalam menunjang kehidupan kepiting bakau.

2. Perlakuan Penggunaan Shelter

a. Pencapaian Berat dan Pertumbuhan

Hasil pengukuran berat kepiting bakau dengan perlakuan penggunaan shelter menunjukkan terjadinya peningkatan pencapaian berat dari minggu ke minggu pada setiap perlakuan. Berat rerata kepiting bakau di akhir penelitian pada perlakuan penggunaan shelter dicapai sebesar 119,10 g dengan rerata berat penebaran awal 92,15 g. Dengan perlakuan tanpa penggunaan shelter dicapai sebesar 112,84 g, rerata berat penebaran awal 90,3 g. Hasil analisa ternyata pada pemeliharaan kepiting dengan perlakuan penggunaan shelter pada media pemeliharaan selama penelitian menunjukkan pencapaian nilai rerata berat yang lebih tinggi dibanding pada perlakuan tanpa penggunaan shelter.

Kecepatan rerata pertumbuhan kepiting bakau selama penelitian pada perlakuan penggunaan shelter mencapai nilai sebesar 0,92 % per hari. Perlakuan tanpa penggunaan shelter mencapai nilai sebesar 0,8 % per hari. Perlakuan penggunaan shelter selama penelitian menunjukkan nilai rerata kecepatan pertumbuhan yang lebih tinggi dibanding pada perlakuan tanpa penggunaan shelter, walaupun perbedaan tersebut tidak terlalu jauh selisihnya.

Berdasarkan pendapat berbagai peneliti (Brick, 1974; Hill, 1974; Heasman dan Fielder. 1983; Pollock et al., 1988; Nilkanth dan Savant 1993; Hudson dan Lester, 1994; Chen dan Chia, 1996a; Chen and Chia, 1996b), dinyatakan bahwa pertumbuhan kepiting bakau sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: faktor genetik dan faktor faktor fisika, kimia dan biologi lingkungan, yang meliputi: arus, pasang surut, struktur tanah dasar perairan, intensitas cahaya, salinitas, suhu, oksigen terlarut dalam air, pH perairan, amoniak, ammonium, nitrit, nitrat, tingkat kesuburan perairan, hama dan penyakit, serta kompetitor.

Pada budidaya kepiting bakau dengan sistim baterai, letak kedudukan kepiting yang dipelihara berada pada permukaan air. Pada posisi demikian kondisi kepiting sepanjang hari mengalami tekanan akibat pengaruh penetrasi intensitas cahaya matahari yang dapat menimbulkan dehidrasi yang berefek lanjut pada gangguan pertumbuhan. Fungsi shelter di dalam budidaya kepiting bakau dengan sistim baterai adalah untuk melindungi organisme dari pengaruh langsung penetrasi intensitas cahaya matahari yang dapat mengakibatkan meningkatnya suhu permukaan perairan yang akan berpengaruh pada pertumbuhan kepiting.

b. Faktor Konversi Pakan

Hasil perhitungan Faktor konversi pakan kepiting bakau selama penelitian pada perlakuan penggunaan shelter mencapai nilai sebesar 2,10. Pada perlakuan tanpa penggunaan shelter mencapai nilai sebesar 2,44. Perlakuan penggunaan shelter kepiting bakau ternyata menunjukkan nilai rerata faktor konversi pakan yang lebih rendah dibanding pada perlakuan tanpa penggunaan shelter.

Hal ini dapat dinyatakan bahwa akibat pengaruh pemasangan shelter di bagian permukaan perairan tempat budidaya kepiting bakau menghasilkan efisiensi penggunaan pakan yang lebih baik dibanding pada perlakuan tanpa shelter. Jadi dengan penerapan perlakuan seperti ini dapat meningkatkan efisiensi pakan sebesar 34 % selama pemeliharaan.

Sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Hill (1976); Prasad dan Neelakantan (1988) bahwa kepiting merupakan hewan nokturnal, di mana aktivitasnya termasuk kegiatan mencari makanan untuk pertumbuhannya dilakukan pada waktu malam hari dalam kondisi lingkungan gelap tanpa cahaya. Kondisi lingkungan tempat hidup kepiting bakau yang diberi perlakuan shelter mempunyai kesamaan keadaan seperti yang diperlukan oleh kehidupan kepiting. Dengan demikian kepiting yang diletakkan pada kondisi dengan intensitas cahaya yang lebih rendah akan lebih banyak melakukan aktivitasnya termasuk kegiatan memanfaatkan makanan yang ada di sekitar lingkungan hidupnya. Lebih aktifnya kepiting bakau di suatu lokasi dalam memanfaatkan pakan akan dapat lebih meningkatkan efisiensi pakan.

c. MortalitasHasil pengamatan mortalitas kepiting bakau selama penelitian menunjukkan bahwa pada proses pemeliharaan kepiting bakau yang diperlakukan dengan pemberian shelter mencapai 40 % dan pada perlakuan kontrol tanpa menggunakan shelter sebesar 50 %. Dengan demikian pemeliharaan kepiting bakau dengan sistim baterai yang diperlakukan dengan pemberian shelter dapat memberikan perbedaan respon terhadap tingkat mortalitas selama pemeliharaan. Respon tersebut berupa perbedaan nilai mortalitas yang terjadi pada perlakuan penggunaan shelter yaitu 10 % lebih kecil dibanding pada perlakuan tanpa shelter.

Seperti telah diketahui bahwa kehidupan kepiting bakau dipengaruhi oleh berbagai faktor dalam maupun luar yang meliputi faktor fisika, kimia dan biologi lingkungan perairan (Hill, 1974; Brett, 1979; Heasman dan Fielder. 1983; Pollock et al., 1988; Nilkanth dan Savant 1993; Hudson dan Lester, 1994; Chen dan Chia, 1996a; Chen and Chia, 1996b). Intensitas cahaya merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kematian pada organisme perairan seperti kepiting bakau. Menurut berbagai hasil penelitian tersebut, dinyatakan bahwa intensitas cahaya matahari yang menembus perairan banyak mengandung sinar ultra violet yang dapat membahayakan organisme perairan. Disamping itu intensitas sinar cahaya matahari yang mengenai secara langsung sepanjang hari kepada kepiting bakau, dapat mengakibatkan meningkatnya suhu permukaan tubuh yang berakibat terjadinya dehidrasi tubuh yang selanjutnya menyebabkan kematian kepiting.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di kawasan pertambakan tradisional, terutama di daerah pertambakan udang, pada umumnya mempunyai tingkat kedalaman air rerata sekitar 80 cm. Kondisi tambak yang demikian ini termasuk pada tambak percontohan mempunyai fluktuasi kualitas air secara harian cukup tinggi (Sunaryo,1998). Intensitas cahaya yang terjadi pada tambak pemeliharaan kepiting bakau yang tidak terlindung oleh shelter dapat memimpin terjadinya peningkatan suhu perairan yang dapat menyebabkan terjadinya fluktuasi kualitas air, seperti: salinitas, oksigen, pH, ammoniak, ammonium, nitrit dan nitrat. Banyak tersisanya pakan yang tidak termakan akibat penurunan selera makan kepiting yang terjadi akibat stres oleh pengaruh tingginya intensitas cahaya matahari dapat berakibat fatal pada organisme yang dipelihara.

Sisa sisa pakan yang mengandung nilai nutrisi terutama protein yang tinggi merupakan sumber bahan beracun yang sangat berbahaya bagi organisme yang dipelihara. Terakumulasinya sisa pakan yang terjadi di suatu perairan dapat meningkatkan konsentrasi ammoniak. Daya racun dari senyawa ini sangat berkaitan erat dengan kondisi lingkungan perairan media pemeliharaan kepiting bakau, seperti: suhu, salinitas, pH dan kandungan oksigen. Daya racun ammoniak akan semakin meningkat dengan meningkatnya nilai pH suatu perairan. Pada kondisi konsentrasi amonia dalam perairan rendah dapat menjadi beracun apabila pH perairan menjadi tinggi. Kondisi demikian ini yang merupakan salah satu penyebab tingginya tingkat mortalitas kepiting bakau pada proses pemeliharaan dengan penerapan sistim baterai tanpa shelter.

d. Produksi Kepiting Moulting

Kepiting bakau moulting selama penelitian pada perlakuan penggunaan shelter sebesar 65 %. Perlakuan tanpa penggunaan shelter menghasilkan nilai sebesar 35 %. Perlakuan penggunaan shelter kepiting bakau selama penelitian menghasilkan tingkat jumlah kepiting moulting yang lebih besar dibanding pada perlakuan tanpa penggunaan shelter.

Faktor kejadian moulting pada crustacea dipengaruhi oleh berbagai faktor, di antaranya adalah adanya rangsangan alami, hilangnya X-sinus gland organ complex (X-SGOC), dan Autotomy dari pereopods (Skinner, 1985). Rangsangan alami yang paling potensial adalah suhu dan panjang hari. Pengaruh dari temperatur telah dilaporkan oleh Reaumur (1972) dalam Herrick (1985) kemudian selanjutnya diikuti oleh peneliti peneliti lainnya, seperti Passano (1960b), Rouquette dan Vernet-Cornubert (1964), Gilgan dan Burn (1977), Chang dan Bruce (1980).

Pada lobster (Hommarus americanus) yang dijaga pada temperatur antara 22- 24 C dapat lebih mempercepat tingkat perkembangan kematangan gonad yang biasa diikuti proses moulting dalam waktu kurang dari 2 tahun yang biasanya proses ini secara umum memerlukan waktu 8 tahun (Hughes dan Mathiessen, 1962; Hughes et al., 1972). Dengan demikian berdasarkan hasil hasil penelitian yang telah dilakukan terdahulu menunjukkan bahwa faktor penggunaan shelter dapat berakibat pada terjadinya fluktuasi temperatur pada media pemeliharaan kepiting bakau merupakan salah satu penyebab terjadinya perbedaan jumlah moulting kepiting bakau.

Faktor pengaruh intensitas sinar matahari terhadap kejadian moulting juga memegang peranan penting. Berbagai peneliti menyatakan bahwa lingkungan dalam kondisi gelap dapat memperpendek waktu siklus moulting Gecarcinus lateralis (Bliss, 1956), menghambat moulting crayfish Orconectes vitilis (Stephens, 1953), tidak mempengaruhi siklus moulting dari Uca pugilator (Weis, 1976a). Sedangkan pada proses penyinaran secara konstan dapat menghambat moulting G. lateralis (Bliss, 1956), tetapi tidak mempengaruhi waktu siklus U. pugilator (Weis, 1976a), sedangkan kegelapan yang dikombinasikan dengan starvasi dapat menghambat moulting U. pugilator (Stewart and Squirres, 1968).

3. Perlakuan Penggunaan Berbagai Jenis Rakit

a. Pencapaian Berat dan Pertumbuhan

Hasil pengukuran berat kepiting bakau di akhir penelitian pada perlakuan penggunaan jenis rakit yang tersusun 2 baris mencapai nilai sebesar 121,62 g dengan rerata berat penebaran awal 90,25 g. Perlakuan penggunaan rakit yang tersusun 3 baris mencapai nilai sebesar 118,45 g dengan rerata berat penebaran awal 92,4 g. Perlakuan penggunaan berbagai jenis rakit yang tersusun 4 baris mencapai nilai sebesar 114,04 g dengan rerata berat penebaran awal 91,85 g. Perlakuan penggunaan jenis rakit yang disusun secara 2 baris untuk meletakkan boks (wadah) kepiting bakau pada pemeliharaan dengan sistim baterai selama penelitian menunjukkan pencapaian nilai rerata berat yang lebih tinggi dibanding pada perlakuan penggunaan berbagai jenis rakit lainnya.

Pertumbuhan kepiting bakau yang dipelihara dengan berbagai perbedaan perlakuan penggunaan jenis rakit yang terdiri dari rakit 2 baris, 3 baris dan 4 baris selama penelitian menunjukkan respon pertumbuhan yang berbeda beda, yaitu berturut turut secara berurutan sebesar 1,1 % per hari, 0,9 % per hari dan 0,7 % per hari. Perlakuan penggunaan jenis rakit untuk meletakkan bok kepiting pada pemeliharaan dengan sistim baterai yang terdiri dari rakit 2 baris menghasilkan nilai rerata pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan penggunaan jenis rakit 3 baris dan rakit 4 baris.

Perbedaan respon pertumbuhan yang timbul pada penelitian ini lebih disebabkan oleh pengaruh lingkungan tempat kehidupan kepiting bakau yang terjadi sebagai akibat lanjut dari pengaruh perlakuan. Pemeliharaan kepiting bakau dengan menggunakan jenis rakit 2 baris mempunyai kondisi lingkungan yang lebih baik dibandingkan dengan rakit 3 baris dan 4 baris. Pada pemeliharaan kepiting bakau yang ditempatkan pada rakit dengan sistim 3 baris dan 4 baris mempunyai sistim sirkulasi air yang jelek, sehingga menimbulkan banyak kotoran yang menumpuk di sela sela rakit.

Tumpukan kotoran ini lambat laun dapat menyumbat lubang lubang jalannya air sehingga dapat menimbulkan turunnya kualitas air terutama oksigen terlarut dalam air. Kondisi ini diperburuk oleh tumbuhnya Chaetomorpha dan Enteromorpha yang tumbuh di sela sela rakit, sehingga akan menambah terjadinya penurunan oksigen di waktu malam hari.

Dalam kondisi yang demikian, maka pertumbuhan kepiting bakau yang hidup di lingkungan yang lebih baik menghasilkan pertumbuhan yang baik pula. Hal ini diperjelas oleh pendapat berbagai ahli yang menyatakan bahwa faktor lingkungan perairan, terutama salinitas, oksigen, suhu, pH, ammoniak, amonium, nitrit, kecerahan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan kepiting bakau (Hill, 1974; Heasman dan Fielder. 1983; Pollock et al., 1988; Nilkanth dan Savant 1993; Sreenivasula. dan Bhagyalakshmi, 1994; Zhang et al., .1995; Chen dan Chia, 1996a; Chen and Chia, 1996b)

b. Faktor Konversi PakanHasil perhitungan Faktor konversi pakan kepiting bakau selama penelitian pada perlakuan penggunaan jenis rakit 2 baris mencapai nilai sebesar 1,78. Perlakuan penggunaan jenis rakit 3 baris mencapai nilai sebesar 2,21. Perlakuan penggunaan berbagai jenis rakit 4 baris mencapai nilai sebesar 2,54. Nilai rerata faktor konversi pakan dengan perlakuan penggunaan jenis rakit 2 baris pada pemeliharaan kepiting bakau dengan sistim baterai selama penelitian menunjukkan lebih rendah dibanding pada perlakuan penggunaan jenis rakit 3 baris dan 4 baris. Dengan demikian dapat diartikan bahwa perlakuan penggunaan jenis rakit 2 baris mempunyai tingkat efisiensi yang lebih baik dibanding pada perlakuan penggunaan jenis rakit 3 baris dan 4 baris.

Pada rakit 2 baris kotoran yang ada pada bok pemeliharaan dapat tersirkulasi lebih baik dibanding dengan penggunaan rakit 3 baris dan 4 baris karena posisi bok tidak terhalang oleh keberadaan bok lainnya, Kepiting bakau yang hidup pada lingkungan yang lebih buruk seperti yang terjadi pada rakit 3 baris dan 4 baris banyak menggunakan energi untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Apabila energi yang tersedia dalam pakan tidak cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, maka nilai protein yang ada tidak dipergunakan untuk tumbuh melainkan dipecah untuk energi. Hal ini terjadi karena protein merupakan sparing effect dari pada lemak (Capuzzo,1982; Cousin, et al., 1993).

c. Mortalitas

Hasil pengamatan Mortalitas kepiting bakau selama penelitian pada perlakuan penggunaan jenis rakit 2 baris sebesar 40 %. Perlakuan penggunaan jenis rakit 3 baris mencapai nilai sebesar 55 %. Perlakuan penggunaan jenis rakit 4 baris mencapai nilai sebesar 60 %. Perbedaan mortalitas yang dihasilkan dari ketiga jenis rakit yang dipergunakan dalam pemeliharaan kepiting bakau cenderung diakibatkan oleh kondisi kurang baiknya lingkungan tempat kehidupan kepiting sebagai akibat dari pengaruh sistim yang dipergunakan. Pada pemeliharaan kepiting bakau dengan menggunakan rakit 3 baris dan 4 baris banyak ditemukan kelompok algae yang terperangkap di dalam kotak bok pemeliharaan. Kondisi ini terjadi karena kurang lancarnya sirkulasi air di dalam bok pemeliharaan kepiting yang terletak di bagian tengah karena terhambat oleh letak kedudukan bok lainnya yang terletak di bagian tepi.

Kondisi algae yang semakin menumpuk di bok pemeliharaan akan mengalami penguraian menjadi amoniak yang sangat membahayakan kehidupan kepiting. Pada kondisi lingkungan perairan yang mempunyai kualitas air kurang stabil maka konsentrasi ammoniak akan sangat berbahaya bagi kehidupan kepiting bakau. Hal ini dipertegas oleh pernyataan (Van Rijn et al., 1984; Chen dan Lei, 1990) bahwa senyawa amoniak sangat berbahaya pada lingkungan yang mempunyai kualitas air berfluktuasi.

d. Produksi Kepiting Moulting

Hasil pengamatan Kepiting bakau moulting selama penelitian pada perlakuan penggunaan jenis rakit 2 baris sebesar 55 %. Perlakuan penggunaan jenis rakit 3 baris menghasilkan nilai sebesar 40 %. Perlakuan penggunaan jenis rakit kepiting bakau 4 baris menghasilkan nilai sebesar 35 %. Perlakuan penggunaan jenis rakit 2 baris selama penelitian menghasilkan tingkat jumlah kepiting moulting yang lebih banyak dibanding pada perlakuan penggunaan jenis rakit 3 baris dan 4 baris.

Seperti dijelaskan di atas, bahwa pertumbuhan kepiting bakau sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan tempat hidupnya (Hill, 1974; Brett, 1979; Heasman dan Fielder. 1983; Pollock et al., 1988; Nilkanth dan Savant 1993; Hudson dan Lester, 1994; Chen dan Chia, 1996a; Chen and Chia, 1996b). Pada kondisi lingkungan yang kurang baik dapat mengakibatkan terganggunya pertumbuhan kepiting bakau, sedangkan proses aktivitas moulting perlu didahului dengan kondisi tubuh dengan pertumbuhan yang baik. Oleh karena itu pada perlakuan perbedaan penggunaan rakit dapat mengakibatkan perbedaan respon jumlah moulting kepiting bakau.4. Perlakuan Pemberian Frekuensi Pakan

a. Pencapaian Berat dan Pertumbuhan

Hasil pengukuran Berat rerata kepiting bakau di akhir penelitian pada perlakuan frekuensi pemberian pakan 1 kali sehari mencapai nilai sebesar 116,8 g dengan rerata berat penebaran awal 93,1 g. Perlakuan frekuensi pemberian pakan kepiting bakau 2 kali sehari mencapai nilai sebesar 117,4 g dengan rerata berat penebaran awal 92,1 g. Perlakuan frekuensi pemberian pakan kepiting bakau 3 kali sehari mencapai nilai sebesar 123 g dengan rerata berat penebaran awal 92,4 g. Perlakuan frekuensi pemberian pakan kepiting bakau 3 kali sehari selama penelitian menunjukkan pencapaian nilai rerata berat yang lebih tinggi dibanding pada perlakuan frekuensi pemberian pakan kepiting bakau 2 kali dan 1 kali sehari.

Hasil pengamatan kecepatan rerata pertumbuhan kepiting bakau selama penelitian pada perlakuan frekuensi pemberian pakan kepiting bakau 1 kali sehari mencapai nilai sebesar 0,18 % per hari. dengan Perlakuan frekuensi pemberian pakan kepiting bakau 2 kali sehari mencapai nilai sebesar 0,67 % per hari. Dengan perlakuan frekuensi pemberian pakan kepiting bakau 3 kali sehari mencapai nilai sebesar 1,02 % per hari. Perlakuan frekuensi pemberian pakan kepiting bakau 3 kali sehari menunjukkan nilai rerata kecepatan pertumbuhan yang lebih tinggi dibanding pada perlakuan frekuensi pemberian pakan 2 kali dan 1 kali sehari. Kepiting bakau mempunyai sifat - sifat tersendiri di dalam hal pola kebiasaan makan dan makanannya. Hewan ini mempunyai aktivitas mencari makan pada waktu malam hari karena termasuk hewan nokturnal dan cara makan mangsanya dilakukan dengan mencabik-cabik mangsanya kemudian dimakan sedikit demi sedikit (Hill, 1976; Hill 1982; Kasry, 1984; Prasad dan Neelakantan, 1988; Kathivel dan Srinivasagam, 1992). Sesuai dengan pola kebiasaannya, maka pemberian pakan dengan frekuensi yang sesering mungkin dapat menghasilkan tingkat kecepatan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan pemberian pakan sekaligus diberikan secara keseluruhan.

Pakan utama kepiting bakau yang diberikan adalah ikan segar yang mempunyai kandungan protein cukup tinggi. Jenis pakan yang demikian apabila berada di dalam air terlalu lama akan diurai menjadi senyawa senyawa yang lebih kecil berupa asam asam amino penyusunnya kemudian menghasilkan produk amoniak yang cukup berbahaya bagi kehidupan kepiting. Ammoniak ini akan diubah menjadi nitrat oleh bakteri secara anaerob maupun aerob. Proses ini akan memimpin terjadinya penurunan kualitas air media pemeliharaan yang dapat mengganggu proses pertumbuhan kepiting bakau. Hal ini dipertegas oleh pendapat (Chen dan Lin, 1992) yang menyatakan bahwa kandungan amoniak yang tinggi di dalam air dapat mengganggu pertumbuhan organisme yang hidup di dalamnya.

b. Faktor Konversi PakanHasil perhitungan Faktor konversi pakan kepiting bakau selama penelitian pada perlakuan frekuensi pemberian pakan kepiting bakau 1 kali sehari mencapai nilai sebesar 2,3. Perlakuan frekuensi pemberian pakan kepiting bakau 2 kali sehari mencapai nilai sebesar 2,23. Perlakuan frekuensi pemberian pakan kepiting bakau 3 kali sehari mencapai nilai sebesar 1,88. Perlakuan frekuensi pemberian pakan kepiting bakau 3 kali sehari selama penelitian menunjukkan nilai rerata faktor konversi pakan yang lebih rendah dibanding pada perlakuan frekuensi pemberian pakan kepiting bakau 2 kali dan 1 kali sehari. Dengan demikian dapat diartikan bahwa perlakuan frekuensi pemberian pakan kepiting bakau 3 kali sehari selama penelitian mempunyai tingkat efisiensi yang lebih baik dibanding pada perlakuan frekuensi pemberian pakan kepiting bakau 2 kali dan 1 kali sehari. Kepiting bakau mempunyai pola kebiasaan makan dan makanan yang spesifik. Hewan ini mempunyai aktivitas mencari makan pada waktu malam hari dan cara makan mangsanya dilakukan dengan memakan sedikit demi sedikit (Hill, 1976; Hill 1982; Kasry, 1984; Prasad dan Neelakantan, 1988; Kathivel dan Srinivasagam, 1992). Proses makan sampai dengan pengeluaran feces diperlukan waktu kurang lebih selama 6 jam. Sesuai dengan pola kebiasaannya, maka pemberian pakan dengan frekuensi yang sesering mungkin dapat menghasilkan tingkat kecepatan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan pemberian pakan yang diberikan secara keseluruhan.

Banyak sedikitnya frekuensi pemberian pakan memberikan pengaruh pada sisa pakan yang dihasilkan. Semakin sering pemberian pakan dilakukan, maka semakin sedikit pula sisa pakan yang dihasilkan. Pakan utama kepiting bakau yang diberikan adalah ikan segar yang mempunyai kandungan protein cukup tinggi. Jenis pakan yang demikian apabila berada di dalam air terlalu lama akan diurai menjadi senyawa senyawa yang lebih kecil berupa asam asam amino penyusunnya kemudian menghasilkan produk amoniak yang cukup berbahaya bagi kehidupan kepiting. Ammoniak ini akan diubah menjadi nitrat oleh bakteri secara anaerob maupun aerob. Proses ini akan memimpin terjadinya penurunan kualitas air media pemeliharaan yang dapat mempengaruhi tingkat efisiensi pakan kepiting bakau. Hal ini dipertegas oleh pendapat Chen dan Lei (1990) yang menyatakan bahwa kondisi lingkungan yang kurang mendukung terutama kandungan amoniak di dalam air dapat menurunkan tingkat efisiensi pakan organisme yang hidup di dalamnya.

Kepiting bakau merupakan organisme yang bersifat selalu menyesuaikan dengan kondisi lingkungan di luar tubuhnya. Pada saat kondisi lingkungan mempunyai kandungan konsentrasi amoniak yang tinggi dari hasil perombakan sisa pakan, maka organisme ini akan menyesuaikan diri dengan jalan tidak mengekskresikan senyawa amoniak dari hasil proses metabolisme yang ada di dalam tubuhnya sampai kondisinya sama dengan lingkungan luar. Proses penyesuaian ini memerlukan energi yang cukup besar. Apabila energi yang terdapat di dalam pakan tidak memenuhi untuk melakukan proses adaptasi tersebut, maka akan diambilkan dari protein yang seharusnya untuk tumbuh. Dengan demikian proses ini dapat mengakibatkan inefisiensi pakan.

c. Mortalitas

Hasil pengamatan Mortalitas kepiting bakau selama penelitian pada perlakuan frekuensi pemberian pakan kepiting bakau 1 kali sehari sebesar 60 %. Perlakuan frekuensi pemberian pakan kepiting bakau 2 kali sehari mencapai nilai sebesar 55 %. Perlakuan frekuensi pemberian pakan kepiting bakau 3 kali sehari mencapai nilai sebesar 40 %. Perlakuan frekuensi pemberian pakan kepiting bakau 3 kali sehari selama penelitian menghasilkan tingkat mortalitas yang lebih rendah dibanding pada perlakuan frekuensi pemberian pakan kepiting bakau 2 kali dan 1 kali sehari.

Perbedaan respon ini diakibatkan oleh kecenderungan semakin banyaknya sisa pakan yang terjadi pada proses pemberian pakan dengan frekuensi yang lebih rendah, sehingga menimbulkan penurunan kualitas air sebagai akibat dari terjadinya proses perombakan bahan organik menjadi senyawa yang lebih kecil berupa amoniak. Dari penjelasan terdahulu telah disebutkan bahwa kandungan amoniak dalam perairan sangat berpengaruh bagi pertumbuhan bahkan dapat mematikan organisme yang hidup di dalamnya. Pada kondisi kandungan amoniak dengan konsentrasi yang rendah, daya racunnya dapat meningkat pada kondisi perairan yang tidak stabil kualitas airnya terutama salinitas, oksigen dan pH perairan.

d. Produksi Kepiting Moulting

Hasil pengamatan Kepiting bakau moulting selama penelitian pada perlakuan frekuensi pemberian pakan kepiting bakau 1 kali sehari sebesar 40 %. Perlakuan frekuensi pemberian pakan kepiting bakau 2 kali sehari menghasilkan nilai sebesar 50 %. Perlakuan frekuensi pemberian pakan kepiting bakau 3 kali sehari menghasilkan nilai sebesar 50 %. Perlakuan frekuensi pemberian pakan kepiting bakau 3 kali sehari selama penelitian menghasilkan tingkat jumlah kepiting moulting yang lebih besar dibanding pada perlakuan frekuensi pemberian pakan kepiting bakau 2 kali dan 1 kali sehari.

Proses aktivitas moulting sangat ditentukan oleh faktor rangsangan lingkungan (Skinner, 1985). Semakin baik dari faktor kondisi lingkungan dan tubuh kepiting mempunyai potensi yang cukup baik untuk terjadinya moulting. Seperti dijelaskan di atas, bahwa kepiting bakau moulting sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan tempat hidupnya (Hill, 1974; Brett, 1979; Heasman dan Fielder. 1983; Pollock et al., 1988; Nilkanth dan Savant 1993; Hudson dan Lester, 1994; Chen dan Chia, 1996a; Chen and Chia, 1996b). Pada kondisi lingkungan yang kurang baik dapat mengakibatkan terganggunya proses moulting. Oleh karena itu pada perlakuan perbedaan frekuensi pemberian pakan yang dapat memimpin terjadinya penurunan kualitas air dapat mengakibatkan perbedaan respon jumlah moulting kepiting bakau.Kesimpulan dan SaranKesimpulan

1. Pada penelitian budidaya kepiting soft shell dengan penerapan perlakuan shelter memberikan perbedaan nilai kecepatan pertumbuhan sebesar 0,12 % per hari lebih tinggi, nilai konversi pakan 0,23-0,30 lebih rendah, mortalitas10-15 % lebih kecil, moulting 10-30 % lebih tinggi dari pada sistim pemeliharaan tanpa penggunaan shelter.

2. Pada penelitian budidaya kepiting soft shell dengan penerapan perlakuan penggunaan perbedaan jenis rakit 2 baris, 3 baris dan 4 baris menunjukkan bahwa penggunaan rakit 2 baris menghasilkan kecepatan pertumbuhan paling baik, yaitu antara 1,07 1 % per hari,nilai konversi pakan 1,72-1,74, mortalitas 40-45 %, dan moulting 50-55 %.

3. Pada penelitian budidaya kepiting soft shell dengan penerapan perlakuan perbedaan frekuensi pemberian pakan 1 kali sehari, 2 kali sehari dan 3 kali sehari menunjukkan bahwa frekuensi pemberian pakan 3 kali sehari menghasilkan kecepatan pertumbuhan paling baik, yaitu antara 0,18-0,23 % per hari, nilai konversi pakan 2,3-2,32, mortalitas 55-60%, moulting 30-40 %.Saran

Dari hasil penelitian ini disarankan sebagai berikut:

1. Dalam pemeliharaan kepiting soft shell diperlukan adanya pelindung untuk menghindari besarnya kematian akibat pengaruh langsung penetrasi intensitas sinar matahari. Adapun dalam penggunaan pelindung perlu dicarikan alternatif bahan yang secara ekonomi menguntungkan. Pelindung pohon bakau merupakan salah satu bahan yang cukup baik untuk kehidupan kepiting bakau disamping itu mempunyai fungsi ganda untuk memperbaiki lingkungan dan melindungi abrasi pantai.

2. Penggunaan rakit jenis dua baris sangat disarankan dalam pemeliharaan kepiting soft shell untuk menghindari besarnya kematian akibat kurang lancarnya sirkulasi air. Disamping itu kedalaman tambak perlu diperdalam sampai dengan 1,5 m dan sirkulasi air diperlancar untuk menghindari terjadinya fluktuasi harian kualitas air yang besar.

3. Frekuensi pemberian pakan dalam pemeliharaan kepiting soft shell sebaiknya dilakukan sesering mungkin (3 kali sehari) untuk menghindari kerusakan sisa pakan yang dapat memimpin terjadinya penurunan kualitas air yang sangat membahayakan bagi kehidupan kepiting soft shell.

4. Untuk mengatasi kendala kelangkaan benih yang berakibat lanjut pada kelestarian usaha budidaya kepiting soft shell yang mempunyai prospek cukup baik, maka perlu meningkatkan penelitian di bidang perbenihan kepiting bakau pengkayaan benih kepiting bakau di daerah mangrove.Hak Cipta 2004 Balitbang Prov. Jateng

Jl. Imam Bonjol No. 190 Semarang 50132

Telp : (024) 3540025,

Fax : (024) 3560505

Email : [email protected]_1169901539.unknown

_1169927991.unknown

_1150736915.unknown