00 pengantar lestari ke-01 vol.1 no.1 lahan gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan...

126

Upload: ngothien

Post on 03-Mar-2019

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta
Page 2: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

S U R V E I

1Leo Agustino, Pemilihan Umum di Indonesia Tahun 2014

Bukan Ruang Hampa

B E R A N D A

Tata Ruang, bagaimana pun adalah sebuah masalah yang tidak sederhana bagi setiapperencanaan wilayah yang didasarkan atas kebutuhan pembangunan berkelan-jutan. Ruang dalam pengertian yang sudah ditegaskan dalam UU no 26 tahun

2007 tentang Tata Ruang, adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, danruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempatmanusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsunganhidupnya. Karenanya, ruang yang tersedia di sebuah wilayah perlu dibagi-bagi menurutfungsi-fungsinya. Apakah untuk tempat pemukiman, ataukah, bagian dari jalur sistemtransportasi, ataupun juga bagian dari jalur hijau. Pun ruang tersebut perlu dipilahmenurut fungsi perlindungan dan pemanfaatannya, baik yang berkenaan dengan ruanguntuk lingkungan, maupun ruang bagi budidaya. Karenanya, penataan ruang selalumengandaikan sebuah sistem perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian.

Jurnal Lestari edisi kali ini mengetengahkan topik Tata Ruang sehubungan denganfokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta yang berkembang di lapangan, problem-problem yang muncul kemudian, dan kemungkinan solusinya, coba ditampilkan dalamartikel-artikel pada edisi ini. Salah satu yang tampil ke permukaan terkait kebijakan tataruang adalah adanya banyak kendala di lapangan, banyak penggunaan pemanfaatan lahandan intervensi perencanaan tata ruang telah gagal untuk memperhitungkan secara benarkonsekuensi lingkungan, seperti yang terkait dengan penataan perkampungan, sistemtransportasi, dan pembangunan area banjir dan lainnya. Demikian halnya yang terjadi diwilayah pengelolaan sumberdaya alam dan kawasan konservasi. Tumpang tindih peman-faatan lahan, konflik tata batas, maupun ketidaktepatan ruang pemanfaatan. Kesemua iniselain mengakibatkan kerusakan tata ruang juga mengancam kelestarian lingkungan.

Nirarta Samadhi dkk dalam tulisannya di jurnal ini yang berjudul Perubahan Iklim danPerencanaan Tata Ruang menegaskan bahwa pertumbuhan kota dan urbanisasi juga akanberdampak negatif pada perubahan iklim jika tidak dikelola dengan baik. Saat ini, kotamenambah sekitar 1.4 juta individu setiap minggu dan pertumbuhan populasi ini diikutipula dengan munculnya gedung-gedung baru, jalan, dan sistem transportasi. Dengan poladan proses urbanisasi yang terjadi saat ini, sangat besar harga yang harus dibayar. Kotamengonsumsi hampir dua pertiga energi di dunia dan berkontribusi pada 70 persen emisigas rumah kaca secara global. Di beberapa kota maju di Indonesia seperti Jakarta danSurabaya, sektor transportasi merupakan kontributor terbesar emisi Gas Rumah Kaca(GRK) di perkotaan, yakni masing-masing sebesar 47 persen dan 23 persen.

Selain itu, dalam beberapa tahun terakhir mulai muncul berbagai macam tinjauandan kritik tentang perkembangan kawasan perkotaan yang cenderung tidak mengin-

Page 3: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

S U R V E I

2 Lestari, Vol. 1, No. 1, 2016

dahkan aspek lingkungan. Dinamika kawasan perkotaan cenderung mengakomodasikepentingan ekonomi ketimbang sosial dan lingkungan. Sehingga pada tahun 2045 untukkasus Indonesia, diperkirakan wilayah kota akan ditempati 82% dari total jumlahpenduduk untuk berbagai kegiatan. Tidak berbeda dengan perkembangan di kawasankonservasi. Kecenderungan pengelolaan yang bersifat eksploitatif pada kegiatanekonomi telah mendorong semakin meningkatnya bencana ekologis (banjir, kekeringan,longsor, dll).

Dalam 15 tahun terakhir bencana meterologis berlangsung rutin dan semakin luaswilayahnya. Dimana hal ini tidak terlepas dari semakin tingginya proses alih fungsilahan di wilayah hulu maupun hilir. Alih fungsi lahan tidak semata karena faktorkemiskinan melainkan juga karena kebijakan pembangunan daerah yang cenderungeksploitatif. Nurlatipah Natsir dalam artikelnya mengemukakan bahwa alih fungsi lahanpertanian merupakan sebuah solusi yang bersifat kontra produktif dengan pembangunanberkelanjutan. Kebijakan ini hanya memberikan solusi untuk lahan pemukiman, namunmelahirkan masalah baru terutama di bidang ekonomi dan lingkungan. Alih fungsi lahanyang terjadi selama ini seringkali mengabaikan konsep tata ruang hijau dan mengakibat-kan berbagai permasalahan lingkungan. Di Kota Tasikmalaya sebagai contoh, alih fungsilahan pertanian tidak hanya mengakibatkan menurunnya produksi pertanian, namunjuga mengakibatkan kelangkaan bahan baku industri kerajinan rakyat yang terbuat darimendong.

Kegagalan merancang dan membela penataan ruang yang berkelanjutan bukan sajamenyebabkan kerusakan lingkungan, melainkan juga semakin mengakibatkankemakmuran dan keadilan menjauh dari masyarakat terutama dari golongan lapisanbawah dan miskin. Dalam pemahaman Leni Rosilyn yang menulis Kebijakan Pemba-ngunan Daerah dan Potensi Aplikasi Kajian Lingkungan Hidup Strategis menyatakanbahwa tantangan tata ruang terlihat di berbagai tingkat jurisdiksi dari provinsi,kabupaten, sampai dengan pedesaan terjadi pula di tingkat kawasan hutan dan arealdengan pengunaan lain maupun di tingkat perizinan pengelola sumber daya alam.Padahal, perencanaan tata ruang yang baik merupakan syarat penting bagi kemajuanpembangunan di sebuah wilayah baik dari aspek sosial, ekonomi dan lingkungan.

Selain itu problem dari kegagalan perencanaan tata ruang juga diakibatkan olehkurangnya keterlibatan masyarakat dalam perencanaan tata ruang. Studi yang dilakukanoleh Hesty Hastuty tentang Peran Serta Masyarakat dalam Pengaturan Tata Ruang,menunjukkan bahwa pada kebanyakan perencanaan tata ruang, masyarakat acapkalidilihat sekedar sebagai konsumen yang pasif. Memang mereka diberi tempat untukaktivitas kehidupan, kerja, rekreasi, belanja dan bermukim, akan tetapi kurang diberipeluang untuk ikut dalam proses penentuan kebijakan dan perencanaannya. Padahal,sebagai mahkluk yang berakal dan berbudaya, manusia membutuhkan rasa penguasaandan pengawasan (a sense of mastery and control) terhadap habitat atau lingkungannya.

Kerusakan lingkungan acapkali dilekatkan dengan masalah keterbatasan dalamalokasi anggaran. Karena itu Sigit Setiawan pun mengajukan tawaran tentang arti pentingdari Penganggaran Hijau. Hijau (green budgeting) dalam penyusunan anggaran di tingkatnasional maupun daerah. Dalam aplikasinya, dapat dilakukan dari sisi belanja dan

Page 4: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

S U R V E I

3Leo Agustino, Pemilihan Umum di Indonesia Tahun 2014

pendapatan. Green budgeting dalam sisi belanja dapat dilihat dari alokasi belanjapemerintah yang tercermin pada alokasi untuk pembangunan infrastruktur, perumusankebijakan publik, insentif dan disinsentif jasa lingkungan hidup, subsidi publik padaenergi dan pertanian, dan lainnya sesuai dengan prinsip kelestarian lingkungan.Sedangkan dari sisi pendapatan, green budgeting melingkupi sumber-sumber pendapatanpemerintah atas kegiatan-kegiatan yang tidak merusak kelestarian lingkungan.Wujudnya dapat terlihat dalam bentuk kebijakan pemberlakuan pajak lingkungan,penerimaan atas perizinan eksploitasi sumber daya alam yang ramah lingkungan,pendapatan dari BUMN dan swasta yang menerapkan prinsip green resources, greenprocess dan green product.

Gagasan lain yang mulai dicoba dikembangkan dalam mewujudkan tata ruang yangdapat mengintegrasikan kepentingan pembangunan dan pelestarian lingkungan adalahpendekatan lanskap. Dalam artikelnya Perencanaan Tata Ruang Lanskap di Pedesaan,Augusta dan Chris Bennett melihat bahwa tata ruang yang selama ini dalam penerapannyasering terbukti banyak menghadapi tantangan untuk menjamin kelestarian lingkungan.Ada banyak contoh kasus yang gagal karena faktor wilayah yang sangat luas dan tidakterkendali, konflik lintas batas, biaya tinggi dan koordinasi antar lembaga yang tidakmemadai diantara lembaga formal dan informal yang terkait. Karenanya, gagasan yangditawarkan adalah pentingnya tata ruang yang berfokus pada pendekatan sub-lanskapyang bersarang-pada lanskap serupa yang lebih besar, cukup kecil untuk dapat dikelola,namun cukup besar untuk dapat direplikasi

Konflik juga terkait dengan tata guna lahan dengan fungsi. Banyak kasus sengketaantara pemerintah dengan warga karena lahan miliknya dianggap masuk dalam kawasanhutan. Karena itu, Chris Bannett dan Suhardi Suryadi dalam artikel “Konflik diantaraStatus dan Fungsi Lahan” menyebutkan bahwa pengelolaan sumberdaya alam berbasislanskap yang berkelanjutan dapat diwujudkan jika hambatan-hambatan sektoraldiminimalkan dan kolaborasi antarsektor, yaitu antara masyarakat desa, pihak swastadan pemerintah, terutama instansi kehutanan, dapat berjalan secara optimal.Permasalahan utamanya adalah acapkali pemerintah kurang siap untuk berkolaborasidengan yang lain karena khawatir kewenangannya akan dituntut sebagaimana terjadidalam penentuan status tanah

Pada akhirnya seluruh rangkaian artikel dalam Jurnal ini diharapkan mampumembangun perspektif perencanaan tata ruang yang lebih sistematik dan harusberwawasan lingkungan, demi pengurangan emisi gas rumah kaca. Ruang bukan sesuatuyang kosong tanpa penghidupan. Di ruang inilah segala kepentingan penghidupandipertaruhkan. Kesalahan merencanakan sebuah ruang bisa berdampak negatif bagibanyak pihak. Terutama masyarakat miskin yang tidak punya akses politik. Apabila hal-hal yang menjadi tawaran di dalam Jurnal ini dipertimbangkan oleh para pembuatkebijakan publik, bukan tidak mungkin kesejahteraan masyarakat menjadi sesuatu yangdapat diwujudkan•

Erlinda Ekaputri

Page 5: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

BUKAN RUANG HAMPA

Oleh Erlinda Ekaputrihlm 4

Daftar Isi

KONFLIK DI ANTARASTATUS DAN FUNGSI

LAHAN

Oleh Chris PA Bennett &Suhardi Suryadi

hlm 21

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAHDAN POTENSI APLIKASI KAJIAN

LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS:STUDI KASUS KEBIJAKAN

KEHUTANAN DI KABUPATENPALALAWAN

Oleh Leni Rosilynhlm 36

Penerbitan Jurnal Lestari dimaksudkan sebagai media informasi dan pertukaran pemikiran dan pengalaman berkenaandengan masalah pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan berbasis lanskap yang merupakan bagian dari upayamitigasi perubahan iklim di Indonesia. Jurnal ini diterbitkan oleh Proyek USAID LESTARI berisikan tulisan ilmiahpopuler, ringkasan hasil penelitian, survei, dan ide-ide kritis bagi perbaikan kebijakan pembangunan lingkungan hidup.Redaksi mengundang berbagai individu ahli baik sebagai praktisi, akademisi dan birokrasi yang memiliki minat untukberdiskusi dan menulis secara bebas dan kreatif seraya berkomunikasi dengan masyarakat luas. Setiap tulisan yangdisajikan dalam Jurnal Lestari tidak selalu selaras atau mencerminkan pendapat Jurnal Lestari. Karenanya, Redaksiberhak untuk menyingkat dan memperbaiki setiap tulisan yang dikirimkan dan dimuat tanpa mengubah maksud danisinya. Dilarang mengutip, menerjemahkan, dan memperbanyak, kecuali dengan izin tertulis dari Redaksi.© Hak cipta dilindungi Undang-undang.

MENJAGA RUANGPENGHIDUPAN

Oleh Anom Astikahlm 62

MENYIKAPI PERUBAHAN IKLIMDALAM PENATAAN RUANG

DAN PEMBANGUNAN

Oleh Dr Tjokorda Nirarta Samadhi,Retno Wihanesta, dan Reidinar Juliane

hlm 6

Page 6: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

DAMPAK ALIH FUNGSILAHAN PERTANIAN

TERHADAP INDUSTRIKERAJINAN MENDONG DI

KOTA TASIKMALAYA

Oleh Nurlatipah Nasirhlm 115

• Penanggungjawab: Reed Merrill • Pemimpin Redaksi: Erlinda Ekaputri • Managing Editor: Anom

Astika • Dewan Redaksi: Chris Bennett, Neville Kemp, Suhardi Suryadi, Ufroz Ayyub, Ni Made Chitra

Anggraini • Sekretaris Redaksi: Maria Serenade Sinurat • Produksi: Awan Dewangga.

Diterbitkan oleh Proyek USAID LESTARI, Alamat : Wisma GKBI Lantai 12, Suite 1210 Jl. Jendral Sudirman

Kav 28, Jakarta, Indonesia. Tlp./Faks 021-5740565/ 021-5740566

Email: [email protected]; Website: www.lestari-indonesia.org

PERAN SERTAMASYARAKAT DALAM

KEBIJAKAN TATA RUANG

Oleh Hesty Hastuti SHhlm 66

URGENSI GREEN BUDGETINGDALAM MENURUNKAN EMISI

Oleh Sigit Setiawanhlm 101

ERENCANAAN TATA RUANGLANSKAP DI PEDESAAN:

TATA KELOLA LAHAN BERSKALAKECIL DALAM SEBUAH KERANGKA

HUKUM

Oleh Cut Agusta M Anandi & Chris PA Bennetthlm 81

Page 7: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

6 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

MENYIKAPI PERUBAHANIKLIM DALAM PENATAANRUANG DAN PEMBANGUNANOleh Dr Tjokorda Nirarta Samadhi, Retno Wihanesta, &Reidinar Juliane*

Saat ini, dunia menyaksikan pesatdan maraknya pertumbuhan kota-kota di berbagai penjuru dunia.

Setengah penduduk bumi saat ini tinggaldi perkotaan, dan ini diperkirakan akanmeningkat hingga 60 persen pada 2050,dengan mayoritas pertumbuhan terjadidi kota-kota di Asia dan Afrika dimanapenduduk kota akan meningkat dua kalilipat antara tahun 2000 dan 2030.1 Di

sebagian besar negara, urbanisasi telahmenjadi bagian penting dalam pemba-ngunan menuju perekonomian yanglebih kuat dan stabil.2 Negara-negara diSelatan yang mengalami urbanisasitercepat dalam 10-20 tahun terakhirpada umumnya adalah negara-negaradengan pertumbuhan ekonomi tercepat.Kota-kota juga merupakan pusat inovasiteknologi, kesenian, kebudayaan, pendi-

A R T I K E L

Di tengah maraknya urbanisasi dan peluang penghidupan yang menjanjikan, seringkali pertumbuhankota dan urbanisasi jika tidak dikelola dengan baik akan berdampak negatif pada perubahaniklim. Artikel ini menjabarkan kaitan antara perencanaan tata ruang perkotaan dan emisi gasrumah kaca, di mana kota yang mengalami perebakan (urban sprawl) dibandingkan dengankota yang kompak (compact city). Seperti kota-kota di Indonesia yang menghasilkan emisi lebihtinggi akibat konsumsi energi dan penggunaan kendaraan bermotor pribadi. Artikel ini jugamemaparkan konsep Transit Oriented Development (TOD) sebagai upaya mitigasi dan adaptasiterhadap perubahan iklim. Serta menjabarkan berbagai upaya yang dapat dilakukan di masamendatang, termasuk melakukan analisis dampak pembangunan terhadap emisi dan merancangpengelolaan komprehensif yang mempertimbangkan berbagai wilayah di tingkatan metropolitan.

Kata kunci: Perkotaan, tata ruang, perubahan iklim, mitigasi, adaptasi

* Tjokorde Nirata Samadhi, Direktur WRIIndonesia; Retno Wihanesta, Urban PlannerWRI Indonesia; Reidinar Juliane, Communicat-ion Specialist WRI Indonesia

1 Victoria A. Beard, Anjali Mahendra, dan MichaelWestphal, “Towards a More Equal City” (WRIRoss Center for Sustainable Cities, 2016) atau

http://www.wri.org/publication/towards-more-equal-city

2 Alex de Sherbinin dan George Martine, “UrbanPopulation, Development and EnvironmentDynamics (Paris: CICRED, 2007) atau http://www.cicred.org/Eng/Publications/pdf/Policypapers/PP3.pdf

Page 8: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

7Tjokorda N Samadhi, Menyikapi Perubahan Iklim dalam Penataan Ruang

dikan, dan ilmu pengetahuan. Mening-katnya penduduk di kota berarti kesem-patan yang lebih luas bagi interaksi dankomunikasi, penyebarluasan pengeta-huan, serta pengembangan ide-ide danteknologi baru.3

Kota juga berkontribusi pada pere-konomian nasional secara signifikan.Enam ratus kota dengan kontribusiProduk Domestik Bruto (PDB) terbesarterhadap pertumbuhan PDB di dunia dari2007 hingga 2025, yang dikenal sebagaithe city 600, menghasilkan PDB sebesar30 triliun dolar AS pada 2007. Angka inilima puluh persen lebih besar daripadaPDB global, dan besaran ini diperkirakanakan meningkat hingga 64 triliun dolarAS pada 2025 atau hampir 60 persendari PDB global.4 Menariknya, kontribusikota di negara berkembang terhadapperekonomian nasional lebih besardibandingkan dengan kota di negaramaju.

Di tengah pertumbuhan ekonomiyang menjanjikan dan pendapatan perkapita yang meningkat, seringkali luputdari perhatian bahwa pertumbuhan kotadan urbanisasi juga akan berdampaknegatif pada perubahan iklim jika tidakdikelola dengan baik. Saat ini, kotamenambah sekitar 1.4 juta individusetiap minggu dan pertumbuhan populasiini diikuti pula dengan munculnya ge-dung-gedung baru, jalan, dan sistem

transportasi. Dengan pola dan prosesurbanisasi yang terjadi saat ini, sangatbesar harga yang harus dibayar.5 Kotamengonsumsi hampir dua pertiga energidi dunia dan berkontribusi pada 70persen emisi gas rumah kaca secaraglobal. Di beberapa kota maju di Indo-nesia seperti Jakarta dan Surabaya,sektor transportasi merupakan kontri-butor terbesar emisi Gas Rumah Kaca(GRK) di perkotaan, yakni masing-masing sebesar 47 persen6 dan 23persen.7

Seiring pertumbuhan kota, risikoterhadap perubahan iklim pun mening-kat. Akibat perubahan iklim, jutaanpenduduk di wilayah perkotaan diseluruh dunia akan mengalami kenaikanpermukaan air laut, banjir, badai yanglebih sering dan lebih parah, serta musimpanas dan dingin yang lebih ekstrem. DiIndonesia, 50.3 persen dampak peru-bahan iklim mengakibatkan kekeringan,banjir, longsor, kebakaran, dan badaidalam rentang waktu 1907 hingga 2007(Pribadi, 2008). Dampak perubahaniklim juga dirasakan oleh masyarakatdari berbagai tingkatan, terutama olehpenduduk miskin yang hidup di sepan-

3 UN Habitat, “Cities and Climate Change, GlobalReport on Human Settlements 2011” (London:Earthscan) atau https://unhabitat.org/wp-content/uploads/2012/06/GRHS2011-0.pdf

4 Richard Dobbs et al., “Urban world: Mappingthe Economic Power of Cities”, (McKinsey Global Institute, 2011)

5 Aniruddha Dasgupta and Pierre Guislain,“Who Needs Cars? Smart Mobility Can MakeCities Sustainable” (WRI, 2015) atau http://www.wri.org/blog/2015/01/who-needs-cars-smart-mobility-can-make-cities-sustainable

6 Institute for Transportation & DevelopmentPolicy, “Transportasi Sumbang Emisi Terba-nyak” (2011) atau http://www.itdp-indonesia.org/transportasi-sumbang-emisi-terbanyak/

7 Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi JawaTimur, “Transportasi Pencemar Terbesar GasRumah Kaca” (2014) atau http://kominfo.jatimprov.go.id/read/umum/40177

Page 9: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

8 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

jang tepi sungai, di lereng yang rawanlongsor, di dekat tempat-tempat terce-mar, di lahan yang tidak rata, dan disepanjang pesisir.8

Dampak perubahan iklim makindiperparah dengan pengelolaan urbani-sasi yang tidak mumpuni, sehingga perludipastikan bahwa pertumbuhan kotatidak menurunkan kualitas hidup pendu-duknya. Jika tidak dikelola dengan baik,pertumbuhan kota dan perubahan iklimakan berada di sebuah lingkaran yangmemperburuk satu sama lain. Pertum-buhan kota akan berdampak pada peru-bahan iklim dan mengikis ketahanankota terhadap perubahan iklim, sedang-kan perubahan iklim akan berdampakburuk bagi pembangunan kota danpenduduknya.

Kota memainkan peranan yang besardalam mengelola interaksi antara pem-bangunan kota dan perubahan iklim.Dalam konteks Indonesia, pemerintahtelah mengajukan kontribusi nasional(Nationally Determined Contribution)untuk mengurangi emisi gas rumah kaca,yakni sebesar 29-41 persen pada 2030.Berdasarkan laporan Biennial UpdateReport (BUR) Indonesia yang diajukankepada UNFCCC pada Januari 2016,kebakaran gambut (47.8%) dan energi(34.9%) merupakan dua sektor yangpaling banyak berkontribusi pada emisigas rumah kaca di Indonesia. Dengandemikian, kota perlu memikirkan aksimitigasi dan adaptasi terhadap peru-bahan iklim untuk mempertahankan dan

meningkatkan kualitas hidup pendudukkota, dan upaya mitigasi dan adaptasitersebut memerlukan pendekatan barudalam perencanaan tata ruangperkotaan.

POLA PERKEMBANGANKOTA DAN EMISI GASRUMAH KACA

Masalah terkait emisi gas rumah kacadan perubahan iklim tidak lepas daripengaruh tata ruang di tingkatan kota. Dibagian pendahuluan, telah disebutkanbahwa transportasi merupakan penyum-bang emisi gas rumah kaca terbesar diperkotaan.9 Tingginya penggunaankendaraan pribadi merupakan faktorutama yang menjadikan sektor trans-portasi sebagai kontributor terbesar.Permasalahan perubahan iklim khusus-nya di tingkat perkotaan telah memicukota untuk melakukan upaya mitigasimelalui pengurangan penggunaan kenda-raan pribadi.

Terdapat dua arah perkembangankota yang banyak dikenal dalam pene-litian: rebakan kota (urban sprawl) dankota yang kompak (compact city). Re-bakan kota menjelaskan keadaan dimanapopulasi manusia bergerak menjauhidaerah perkotaan menuju wilayahdengan kepadatan rendah dan biasanyabergantung pada kendaraan pribadi,10

8 WRI Ross Center for Sustainable Cities, “UrbanClimate Resilience” dalam http://www.wrirosscities.org/our-work/topics/urban-climate-resilience

9 Tommy Apriando, “Sektor Transportasi Penyum-bang Emisi Terbesar Wilayah Perkotaan”, (Mo-ngabay Indonesia, 2014) dalam http://www.mongabay.co.id/2014/06/13/sektor-transportasi-penyumbang-terbesar-emisi-wilayah-perkotaan/

10 Cornell University, “Defining Sprawl and SmartGrowth” (Cornell University, Community and

Page 10: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

9Tjokorda N Samadhi, Menyikapi Perubahan Iklim dalam Penataan Ruang

sedangkan kota yang kompak mengede-pankan kepadatan permukiman denganpenggunaan lahan yang bervariasi (mixedland uses), termasuk permukiman,tempat bekerja, fasilitas rekreasi, tempatberbelanja, dan ruang terbuka. Kotayang kompak juga dibangun dengansistem transportasi publik yang efisiendan memiliki tata ruang perkotaan yangmemungkinkan mobilisasi dengan berja-lan dan bersepeda, konsumsi energi yangrendah, dan polusi yang berkurang.11

Seperti pada umumnya kota-kota dinegara yang sedang berkembang, kota-kota di Indonesia menghadapi tantanganpola perkembangan kota yang tidakterkontrol dan tersebar (urban sprawlatau rebakan kota) yang dapat dicirikandengan kepadatan permukiman yangrendah. Sebagai contoh, setelah dere-gulasi dan debirokratisasi oleh pemerin-tah nasional serta investasi dari dalamdan luar negeri, kawasan industri ataukonsentrasi permukiman di pinggiranJakarta mulai berkembang.12 Setelah itu,

perkembangan di pinggiran Jakartamengikuti pembangunan infrastrukturjalan tol yang menghubungkan Jakartadan wilayah pinggiran.13 Perkembanganini terus terjadi hingga di luar batasJabodetabek, misalnya menuju Serangdan Karawang.14 Meningkatnya aksesdengan adanya infrastruktur jalan toltersebut dan harga lahan di daerahpinggiran yang lebih murah dibandingJakarta merupakan faktor penentumengapa masyarakat memilih untuktinggal di daerah pinggiran.15 Akibatnya,penduduk di pinggiran kota berkembangsecara pesat, sedangkan penduduk dikota utama berkembang lebih lambat.16

Regional Development Institute) dalam https://cardi.cals.cornell.edu/focal-areas/land-use/sprawl/definition

11 Cornell University, “Defining Sprawl and SmartGrowth” (Cornell University, Community andRegional Development Institute) dalam https://cardi.cals.cornell.edu/focal-areas/land-use/sprawl/definition

12 Tommy Firman, “The Continuity and changein Mega-Urbanization in Indonesia: A Survey ofJakarta Bandung Region (JBR) Development”,dalam Habitat International 33 (2009), hal 327 -339; Delik Hudalah et al., “Industrial Land De-velopment and Manufacturing Deconcentrationin Greater Jakarta” dalam Urban Geography 34(2013), hal. 950-971. Delik Hudalah dan TommyFirman, “Beyond property: Industrial Estatesand Post-Suburban Transformation in JakartaMetropolitan Region”, dalam Cities, No. 29

(2012), atau https://www.researchgate.net/profile/Delik_Hudalah/publication/250916326_Beyond_property_Industrial_estates_and_post-suburban_transformation_in_Jakarta_Metro-politan_Region/links/0046351ed68d251932000000.pdf

13 Hudalah, D. et al., “Industrial Land Develop-ment and Manufacturing Deconcentration inGreater Jakarta” dalam Urban Geography 34(2013), hal. 950-971.

14 Hudalah, D. et al., “Industrial Land Develop-ment and Manufacturing Deconcentration inGreater Jakarta” dalam Urban Geography 34(2013), hal. 950-971.

15 Haryo Winarso dan Tommy Firman, “Residen-tial land development in Jabodetabek, Indonesia:Triggering Economic Crisis?” dalam HabitatInternational 26 (2002), hal 487 - 506

16 Tommy Firman , “The Urbanisation of Java:2000-2010: towards ‘the Islands of Mega-UrbanRegions’ (2016) dalam http://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/17441730.2016.1247587?scroll=top&needAccess=true; HaryoWinarso, Delik Hudalah, dan Tommy Firman,“Peri-urban transformation in the Jakarta metro-politan area” (2015) dalam Habitat International,No. 49 (2015), atau https://www.researchgate.net/profi le/Haryo_Winarso/publication/277814471_Pen-urban_transformation_in_the_Jakarta_metropolitan_area/links/55746a5a08

Page 11: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

10 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

Meskipun demikian, daerah pinggiranmasih sangat tergantung dengan Jakartasebagai kota utama yang menyebabkantingginya kebutuhan mobilitas antarakedua daerah tersebut. Perencanaaninfrastruktur jalan yang berorientasipada mobil atau kendaraan pribadi jugamendorong masyarakat untuk meng-gunakan kendaraan pribadi, terutamadalam menghubungkan Jakarta dan kota-kota di sekitarnya.

Kebutuhan mobilitas yang tinggitersebut tidak diimbangi dengan per-baikan angkutan umum sehingga menye-babkan banyaknya penglaju yang meng-gunakan kendaraan pribadi. Menurutstudi yang dilakukan oleh Japan Inter-national Cooperation Agency (JICA),pertumbuhan penglaju yang mengguna-kan mobil dan sepeda motor pribadi diJakarta telah meningkat secara dramatissebesar 17% selama 8 tahun.18

Tingginya penggunaan kendaraanpribadi tentunya akan berimbas kepadatingginya emisi gas rumah kaca. Olehkarena itu, tidak mengherankan bilatransportasi merupakan faktor penyum-bang emisi gas rumah kaca terbesar diJakarta.19 Dengan semakin cepatnyaperkembangan rebakan di sekitar kotaJakarta seperti yang ditunjukkan olehgambar 1 dan meningkatnya penggunaankendaraan pribadi, maka permasalahanemisi gas rumah kaca pun akan semakinmengkhawatirkan.

Kota yang kompak (compact city)atau berkepadatan tinggi memilikitingkat penggunaan kendaraan bermotoryang rendah karena masyarakat akanmudah mencapai tujuan dengan berjalankaki atau bersepeda. Sebaliknya, kota

Gambar 1. Perkembangan rebakan disekitar kota Jakarta.17

aeacff1ffcbcd9/Pen-urban-transformation-in-the-Jakarta-metropolitan-area.pdfs

17 E. Rustiadi, “Analisis Spasial Permasalahan Pem-bangunan Kawasan JABODETABEK”, dalamDelik Hudalah dan Tommy Firman, “Beyondproperty: Industrial estates and post-suburbantransformation in Jakarta Metropolitan Region”,dalam Cities, No. 29 (2012), atau https://www.re-searchgate.net/profile/Delik_Hudalah/publicat-ion/250916326_Beyond_property_Industrial_estates_and_post-suburban_transformation_in_Jakarta_Metropolitan_Region/links/0046351ed68d251932000000.pdf

18 The Coordinating Ministry of Economic Affairsand Japan International Cooperation Agency,“JABODETABEK Urban Transportation PolicyIntegration Project in the Republic of Indonesia”(2012) dalam xa.yimg.com/kq/groups/13372012/2070452830/name/jutpi_final_report.pdf

19 Syahrina D. Anggraini, Rizaldi Boer, dan RetnoGumilang Dewi, “Study on Carbon Governanceat Sub-national Level in Indonesia; Case Study:Jakarta Province” (2011) dalam https://pub.iges.or.jp/pub_file/carbon-governance-sub-national-level-1/download

Page 12: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

11Tjokorda N Samadhi, Menyikapi Perubahan Iklim dalam Penataan Ruang

yang merebak memiliki tingkat peng-gunaan kendaraan bermotor yang tinggidikarenakan jauhnya jarak antara asaldan tujuan pergerakan masyarakat. Halini tentunya berakibat pada konsumsienergi yang tinggi dibandingkan dengankota yang berkepadatan tinggi.21 Gambar2 menunjukkan konsumsi energi di kota

yang kompak (berkepadatan tinggi) dankota yang merebak.

Penggunaan energi sangat berkaitandengan emisi gas rumah kaca. Dengandemikian, dapat dikatakan bahwa polaperkembangan kota pada akhirnyamenentukan tingkat emisi yang dike-luarkan. Hal ini dibuktikan oleh sebuahstudi yang membandingkan emisi gaskarbon dioksida di tiga kota di Torontoyang berbeda pola perkembangannya.Studi tersebut menunjukkan bahwa kotayang merebak mengeluarkan emisi gaskarbon dioksida yang lebih tinggi diban-dingkan dengan kota kompak yangmemiliki kepadatan yang tinggi.22

Contoh lain yang menunjukkanbahwa emisi gas rumah kaca tidaktelepas dari pola perkembangan kotaadalah Atlanta dan Barcelona. Keduakota tersebut memilki jumlah pendudukyang hampir sama, namun dengan polaperkembangan kota yang berbeda.Atlanta adalah kota yang merebakdengan luas wilayah sekitar 26 kali luaswilayah Barcelona, sedangkan Barcelonamerupakan kota yang kompak. Sebagaihasilnya, penggunaan kendaraan ber-motor, konsumsi energi, dan emisikarbon dioksida di Atlanta lebih tinggidibanding Barcelona.23

Berbagai penelitian telah membuk-tikan bahwa kota kompak dengan

Gambar 2. Konsumsi energi di kota yangkompak dan di kota yang merebak.20

20 Newman & Kenworthy, “Urban density andtransport-related energy consumption” (1989)dalam Carlos Dora, Jamie Hosking, PierpaoloMudu, Urban Transport and Health; Module 5g;Sustainable Transport: A Sourcebook for Policy-makers in Developing Cities (giz, 2009), atauhttp://www.sutp.org/files/contents/documents/resources/A_Sourcebook/SB5_Environment%20and%20Health/GIZ_SUTP_SB5g_Urban-Transport-and-Health_EN.pdf

21 WRI and World Bank Group, “Module 1: TODas a strategy to achieve a sustainable city”dalam http://wricitieshub.org/sites/default/files/Module%201%20-%20Intro%20to%20TOD%20Final_1.pdf

22 WRI and World Bank Group, “Module 1: TODas a strategy to achieve a sustainable city”dalam http://wricitieshub.org/sites/default/files/Module%201%20-%20Intro%20to%20TOD%20Final_1.pdf

23 Helen Mountford dan Andrew Steer, “By theNumbers: The New Climate Economy” (WRI.2014) atau http://www.wri.org/blog/2014/09/numbers-new-climate-economy

Page 13: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

12 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

Gambar 3. Emisi per kapita di kota yang kompak dan kota yang merebak.24

Gambar 4. Emisi karbon dari sektor transportasi di Atlanta dan Barcelona.25

24 Jared R VandeWeghe dan Christopher Kennedy, “A Spatial Analysis of Residential Greenhouse GasEmissions in the Toronto Census Metropolitan area” (2007), dalam WRI and World Bank Group,“Module 1: TOD as a strategy to achieve a sustainable city” dalam http://wricitieshub.org/sites/default/files/Module%201%20-%20Intro%20to%20TOD%20Final_1.pdf.

25 Bertaud dan Richardson, “Transit and Density: Atlanta, the United States and Western Europe”(2004), dalam Helen Mountford dan Andrew Steer, “By the Numbers: The New Climate Economy”(WRI. 2014) atau http://www.wri.org/blog/2014/09/numbers-new-climate-economy

Page 14: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

13Tjokorda N Samadhi, Menyikapi Perubahan Iklim dalam Penataan Ruang

kepadatan tinggi dan tata guna lahanyang bervariasi dapat mengeluarkanemisi gas rumah kaca yang rendah.Dengan demikian, sangat diperlukanperencanaan tata guna lahan yang padatuntuk mengurangi penggunaan kenda-raan pribadi sehingga dapat menjadiupaya mitigasi terhadap perubahan iklimsecara efektif.

PERENCANAAN TATARUANG KOTA UNTUKMITIGASI DAN ADAPTASIPERUBAHAN IKLIM

MitigasiBagi kota yang telah terlanjur mere-

bak seperti kota-kota besar di Indonesiapada umumnya, diperlukan upaya mana-jemen permintaan transportasi ataumanajemen kebutuhan transportasi(transport demand management), yaitumembatasi penggunaan kendaraanpribadi dan mendorong masyarakatuntuk menggunakan angkutan umum dankendaraan tidak bermotor.26 Upayatersebut dapat dilakukan dengan me-ngembangkan angkutan umum massalsebagai tulang punggung mobilitasmasyarakat, diimbangi dengan pemba-tasan penggunaan kendaraan pribadiseperti dengan cara mengurangi parkir.Pengembangan angkutan umum massaltersebut tentunya perlu diintegrasikandengan perencanaan tata ruang yang

kompak. Akses yang dekat denganstasiun, pembangunan infrastruktur bagipejalan kaki dan sepeda, serta pemba-tasan jumlah parkir merupakan kom-ponen penting dalam mengurangi peng-gunaan kendaraan pribadi.

Integrasi antara perencanaan tataruang dan angkutan umum dikenaldengan konsep Transit Oriented Deve-lopment (TOD). World ResourcesInstitute dan World Bank mendefi-nisikan TOD sebagai suatu strategiperencanaan untuk mencapai pemba-ngunan perkotaan yang baik, padat,memiliki penggunaan lahan yang ber-variasi, ramah terhadap pejalan kaki danpesepeda, serta dibangun di sekitarstasiun transportasi massa.27 Dengandemikian, pengembangan angkutanumum massal diharapkan dapat menga-rahkan perkembangan TOD atau mere-formasi pola perkembangan kota. Dam-pak yang diharapkan yaitu penggunaangkutan umum dan kendaraan tidakbermotor, seperti sepeda dan pejalankaki, akan meningkat, sedangkan peng-gunaan kendaraan bermotor pribadiakan menurun, yang pada akhirnya akanmengurangi emisi gas rumah kaca.

Mengenai jenis angkutan umum yangdikembangkan, sistem bis seperti BusRapd Transit (BRT) dapat menjadi pilihankarena biayanya yang lebih terjangkaudari LRT dan metro.28 Selain itu, sistem

26 Andrea Broaddus, Todd Litman, GopinathMenon, Manajemen Permintaan Transportasi;Dokumen Pelatihan (giz, 2009), atau dalam http://www.sutp.org/files/contents/documents/re-sources/H_Training-Material/GIZ_SUTP_ TM_Transportation-Demand-Management_ID.pdf

27 WRI and World Bank Group, “Module 1: TODas a strategy to achieve a sustainable city”dalam http://wricitieshub.org/sites/default/files/Module%201%20-%20Intro%20to%20TOD%20Final_1.pdf

28 Lloyd Wright dan Walter Hook, Bus RapidTransit Planning Guide, (New York: Institute ofTransportation & Development, 2007), atau

Page 15: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

14 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

bis atau BRT lebih efektif secara biayauntuk kota-kota dengan ukuran sedangdan dapat ditingkatkan kapasitasnyamenyerupai sistem rel seperti yangdilakukan di Curitiba, Brazil.30 Curitibamerupakan salah satu contoh kota dinegara yang sedang berkembang yangberhasil menerapkan TOD pada koridorBRT. Penggunaan lahan yang bervariasidan kepadatan tinggi yang dikembangkandisepanjang koridor BRT merupakanfaktor penting dalam meningkatkanpengguna BRT,31 sehingga berdampak

pada proporsi pengguna bus dan BRT diCuritiba yang mencapai 45 persen.32

Contoh keberhasilan penerapanTOD di sekitar koridor angkutan umumberbasis rel adalah Tokyo. Area Metro-politan Tokyo terhubung dengan ja-ringan kereta yang sangat baik yangdidukung oleh jaringan angkutan umumbis yang sangat baik pula. Hal ini dikare-nakan Area Metropolitan Tokyo dikem-bangkan bersamaan dengan pemba-ngunan jaringan kereta. Pada areaperkotaan yang besar misalnya, perja-lanan menuju stasiun dapat ditempuhdengan berjalan kaki, sehingga dapatberdampak pada pengurangan emisi.33

Sama halnya di Chicago, pelaksanaan

https://www.nbrti.org/docs/pdf/ITDP%20BRT%20Planning%20Guide.pdf

29 Faìbio duarte, “TOD in Curitiba: How BRTMay Reshape a City” dalam http://www.cseindia.org/userfiles/Fabio%20Duarte.pdf

30 Robert Cervero dan Danielle Dai, “BRT TOD:Leveraging transit oriented development withbus rapid transit investments”, dalam TransportPolicy 36 (2014), hal 127 - 138

31 Robert Cervero dan Danielle Dai, “BRT TOD:Leveraging transit oriented development withbus rapid transit investments”, dalam TransportPolicy 36 (2014), hal 127 - 138

Gambar 5. Bus Rapid Transit di Curitiba, Brazil.29

32 International Trade Administration Singapore,“Passenger Transport Mode Shares in WorldCities” dalam Journeys (2011) https://www.lta.gov.sg/ltaacademy/doc/J11Nov-p60PassengerTransportModeShares.pdf

33 WRI and World Bank Group, “Module 1: TODas a strategy to achieve a sustainable city”dalam http://wricitieshub.org/sites/default/files/

Page 16: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

15Tjokorda N Samadhi, Menyikapi Perubahan Iklim dalam Penataan Ruang

TOD juga berdampak pada penguranganemisi gas rumah kaca.34

Walaupun terdapat beberapa contohkeberhasilan penerapan TOD dalampengurangan emisi, beberapa negarasedang berkembang masih menghadapitantangan dalam penerapan TOD. Dikota Bogota dan Ahmedabad, misalnya,BRT belum dapat memberi perubahanterhadap pola perkembangan kota yangpadat di sekitar koridor BRT.35 Beberapafaktor yang dapat menghalangi pelaksa-naan TOD adalah sebagai berikut:36

1. Tidak adanya integrasi dan kordinasidalam perencanaan dan pelaksanaanTOD, termasuk kordinasi antaralembaga pemerintah yang berkaitandengan transportasi dan perencanaantata ruang.

2. Tidak adanya kebijakan yang mendu-kung TOD, termasuk penentuankode zonasi (zoning codes) yangmendefinisikan kepadatan bangunandan penggunaan lahan yang ber-variasi.

3. Dana yang terbatas.

Ketiga faktor tersebut juga terjadi dikota-kota Indonesia sebagai negara yangsedang berkembang.

Berkaitan dengan hambatan tersebut,terdapat beberapa hal yang perlu dilaku-kan demi keberhasilan TOD, yaitukepemimpinan politik dan visi yang kuat;institusi yang secara langsung bertang-gung jawab terhadap pelaksanaan TOD;perencanaan yang mengintegrasikantransportasi dan tata ruang serta didu-kung oleh regulasi yang tepat (e.g.perencanaan tata ruang dan peraturanzonasi); partisipasi masyarakat dalamproses perencanaan; desain tata ruangyang mendukung TOD (e.g. kepadatantinggi, penggunaan lahan yang bervariasi,prioritas pada angkutan umum, pejalankaki dan sepeda); infrastruktur yangmendukung TOD (e.g. infrastrukturangkutan umum, pejalan kaki, dansepeda) serta infrastruktur pendukunglainnya seperti air dan sanitasi; mengem-bangkan model bisnis TOD yang mem-berikan opsi pembiayaan; pengelolaanlahan untuk mencapai tujuan TOD,misalnya melalui penyesuaian lahan danpembagian lahan; dan menyediakanakses terhadap perumahan untuk masya-rakat berpenghasilan rendah.37

Beberapa prinsip tersebut sejalandengan keberhasilan TOD di sepanjangkoridor BRT Curitiba. PemerintahCuritiba mempunyai visi yang lebihbesar, yaitu bukan hanya sekadar me-ningkatkan mobilitas melalui BRT, tetapi

Module%201%20-%20Intro%20to%20TOD%20Final_1.pdf

34 Peter Haas et al., “Transit Oriented Develop-ment and The Potential for VMT-related Green-house Gas Emissions Growth Reduction”(Center for Transit Oriented Development,2010) dalam http://ctod.org/pdfs/2010TODPotentialGHGEmissionsGrowth.pdf

35 Robert Cervero dan Danielle Dai, “BRT TOD:Leveraging transit oriented development withbus rapid transit investments”, dalam TransportPolicy 36 (2014), hal 127 - 138

36 WRI and World Bank Group, “Module 1: TODas a strategy to achieve a sustainable city”dalam http://wricitieshub.org/sites/default/files/Module%201%20-%20Intro%20to%20TOD%20Final_1.pdf

37 WRI and World Bank Group, “Module 1: TODas a strategy to achieve a sustainable city”dalam http://wricitieshub.org/sites/default/files/Module%201%20-%20Intro%20to%20TOD%20Final_1.pdf

Page 17: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

16 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

juga mengarahkan atau membentukperkembangan kota yang lebih berke-lanjutan.39 Dengan demikian, perenca-naan dilakukan secara komprehensifdengan mengintegrasikan transportasidan tata ruang. Selain itu, pemerintahjuga bersikap proaktif dalam menjalan-kan kebijakan yang mendukung pelak-

sanaan TOD, seperti reformasi zonasi,insentif pajak, dan pembangunan infra-struktur.40 Pencapaian pelaksanaan TODtersebut berbeda dengan kasus TODpada koridor BRT di Bogota danAhmedabad. Pimpinan di kedua kotatersebut lebih mengedepankan pening-katan mobilitas daripada membentukatau mengarahkan perkembangan kota,sehingga perencanaan tata ruang dise-kitar stasiun tidak dijalankan.41

Untuk kasus TOD di Jabodetabek,pemerintah telah mengembangkan

Gambar 6. Rencana Transit Oriented Development di Jakarta.38

38 Kementerian Perhubungan, “Masterplan Perke-retaapian Jabodetabek 2020 (Konsep 2)” dalamhttps://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0ahUKEwjcndnK3rPTAhXHvY8KHb4uBecQFgghMAA&url=http%3A%2F%2Fjakartabytrain.com%2Fdata%2Fwp-content%2Fuploads%22014%2F08%2FMaster-Plan-Jabotabek-Perkeretaapian.pdf&usg=AFQjCNGasXrlFvazryrj05nFU_EL1V-ptQ

39 Hiroaki Suzuki, Robert Cervero, dan Kanako Iuchi.Transforming Cities with Transit; Transit and Land-UseIntegration for Sustainable Urban Development (2013),dalam Robert Cervero dan Danielle Dai, “BRTTOD: Leveraging transit oriented developmentwith bus rapid transit investments”, dalamTransport Policy 36 (2014), hal 127 - 138

40 Robert Cervero, “The Transit Metropolis: AGlobal Inquiry” (1998), dalam Robert Cerverodan Danielle Dai, “BRT TOD: Leveraging transitoriented development with bus rapid transitinvestments”, dalam Transport Policy 36(2014), hal 127 - 138

41 Robert Cervero dan Danielle Dai, “BRT TOD:Leveraging transit oriented development withbus rapid transit investments”, dalam TransportPolicy 36 (2014), hal 127 - 138

Page 18: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

17Tjokorda N Samadhi, Menyikapi Perubahan Iklim dalam Penataan Ruang

Rencana Besar (Master Plan) Perkereta-apian Jabodetabek dan menentukanbeberapa lokasi yang akan dikembang-kan sebagai TOD (gambar 7).42 Namun,mengingat rencana lokasi TOD beradapada daerah yang sudah terbangun,pembebasan lahan akan menjadi salahsatu masalah yang paling menantang.43

Sebuah studi dari Puspita et al. 2015menyebutkan perlunya tata kelola lahandengan melibatkan peran berbagaiinstitusi yang berkaitan demi keber-hasilan TOD.44

AdaptasiBagian sebelumnya telah menjabar-

kan mengenai upaya mitigasi pengu-rangan emisi gas rumah kaca di tingkatankota. Apabila tidak ada upaya mitigasi,perubahan iklim akan semakin memper-parah permasalahan yang saat ini melan-da kota-kota di Indonesia, misalnyabanjir, yang menyebabkan kerugian

ekonomi yang signifikan. Sebagai con-toh, kerugian ekonomi yang ditimbulkanoleh banjir besar di Jakarta pada tahun2013 adalah sebesar 3 miliar dolarAmerika Serikat.45 Selain itu, dampakperubahan iklim juga semakin terlihat ditingkatan kota. Kenaikan air laut yangdibarengi dengan cepatnya pertumbuhanpenduduk Jakarta, tingginya laju penu-runan tanah, dan rendahnya kapasitasdrainase kota yang tersumbat olehsampah dapat membuat banjir semakinmenjadi masalah yang semakin mempri-hatinkan. Oleh karena itu, selain upayamitigasi, diperlukan juga upaya adaptasiuntuk meningkatkan ketahanan masyara-kat dalam menghadapi dampakperubahan iklim.

Pemerintah telah mengeluarkanPeraturan Menteri Lingkungan Hidupdan Kehutanan No. 33 Tahun 2016tentang Pedoman Penyusunan AksiAdaptasi Perubahan Iklim. Peraturan inimenyajikan pedoman kepada pemerin-tah untuk menyusun aksi adaptasi peru-bahan iklim dan mengintegrasikannya kedalam rencana pembangunan wilayah.Saat ini, belum ada rencana tata ruang diIndonesia yang mengintegrasikan upayaadaptasi. Pemerintah saat ini tengahdalam tahap mengembangkan pedomanuntuk mengintegrasikan upaya adaptasike dalam rencana tata ruang.46

Apabila suatu kota ingin mengimple-mentasikan konsep TOD sebagai upaya

42 Kementerian Perhubungan, “MasterplanPerkeretaapian Jabodetabek 2020 (Konsep 2)”dalam https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0ahUKEwjcndnK3rPTAhXHvY 8KHb4uBecQFgghMAA&url=http%3A%2F%2Fjakartabytrain.com%2Fdata%2Fwp-content%2Fuploads%2F2014%2F08%2FMaster-Plan-Jabotabek-Perkeretaapian.pdf&usg=AFQjCNGas XrlFvazryrj05nFU_EL1V-ptQ

43 Puspita Dirgahayani, Ibnu Syabri, NurrohmanPutro Waluyo, “Land Governance for TransitOriented Development in Densely Built UrbanArea (Case Study: Jakarta, Indonesia)” dalamhttp://www.dynamicglobalsoft.com/easts2015/program/pdf_files/1436.pdf

44 Puspita Dirgahayani, Ibnu Syabri, NurrohmanPutro Waluyo, “Land Governance for TransitOriented Development in Densely Built UrbanArea (Case Study: Jakarta, Indonesia)” dalamhttp://www.dynamicglobalsoft.com/easts2015/program/pdf_files/1436.pdf

45 Delta Alliance, “Jakarta Climate AdaptationTools” (Munich Reinsurance Company GeoRisks Research, 2014) dalam http://www.delta-alliance.org/projects/jakarta-climate-change-adaptation-tools

46 Wawancara dengan Bapak Wilmar Salim, Ph.D,M. Reg. Dev, ST, 13 April 2017

Page 19: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

18 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

mitigasi dalam mengurangi emisi gasrumah kaca, maka konsep ini pada saatbersamaan juga memberikan kesem-patan bagi kota untuk meningkatkanketahanan terhadap dampak perubahaniklim. Kota-kota dengan konsep TODdapat dirancang untuk meningkatkanketahanan terhadap bencana, misalnyadengan merancang pembangunan dengankepadatan tinggi di wilayah yang berisikorendah. Kemudian, pihak-pihak terkaitdapat secara sistematis mengatasi berba-gai risiko di wilayah tersebut, misalnyadengan memastikan bahwa konsentrasipenduduk terpadat terjadi di wilayahdengan infrastruktur jaringan denganberagam perangkat komunikasi. Wilayahitu kemudian dapat dijadikan sebagaizona tempat berlindung di saat darurat.47

PERENCANAAN LINTASBATAS DALAM UPAYAPENURUNAN EMISI GASRUMAH KACA

Di saat rencana tata ruang sudahmengintegrasikan upaya mitigasi danadaptasi melalui tata ruang yang padatdan sesuai dengan analisis risiko bencanaakibat perubahan iklim, diperlukan pulapengelolaan yang baik terhadap pemba-ngunan baru. Pihak pengembang ataupelaku usaha dapat berpartisipasi dalammemastikan pembangunan dirancangdengan memperhatikan aspek perubahaniklim.

Bangkitan atau tarikan pergerakanyang ditimbulkan oleh pembangunanbaru tentunya berimplikasi pada pening-katan emisi gas rumah kaca dan peru-bahan iklim, yang dampaknya akanmerugikan masyarakat. Oleh karena itu,analisis mengenai dampak pembangunanterhadap emisi gas rumah kaca darisektor transportasi perlu mendapatperhatian besar.

Melalui suatu perangkat pengelolaanpembangunan baru yang dapat memper-kirakan dampak emisi gas rumah kaca,pihak pengembang atau pelaku usahadapat berkontribusi dalam upaya mitigasimelalui rekomendasi yang ditetapkanoleh pemerintah. Hal ini tentunyamembawa manfaat – pemerintah dapatmenghemat dana dalam mengimplemen-tasikan upaya mitigasi dan mewujudkantarget pengurangan emisi gas rumahkaca. Selain upaya mitigasi, tidak menu-tup kemungkinan bahwa mekanismepengelolaan pembangunan baru jugadapat mengusulkan upaya adaptasidengan mengintegrasikan dampak risikobencana akibat perubahan iklim. Hasilanalisis tersebut juga dapat digunakansebagai masukan bagi rencana tata ruangwilayah.

Usulan untuk mengintegrasikan emisigas rumah kaca ke dalam sistem penge-lolaan pembangunan baru masih memer-lukan kajian yang lebih mendalam,seperti bagaimana mekanisme kontribusiatau keterlibatan pihak pengembang ataupelaku usaha dalam upaya mitigasi danadaptasi, perhitungan emisi gas rumahkaca yang paling memungkinkan untukditerapkan, serta keterkaitannya denganperaturan yang berlaku.

47 WRI and World Bank Group, “Module 1: TODas a strategy to achieve a sustainable city”dalam http://wricitieshub.org/sites/default/files/Module%201%20-%20Intro%20to%20TOD%20Final_1.pdf

Page 20: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

19Tjokorda N Samadhi, Menyikapi Perubahan Iklim dalam Penataan Ruang

Selain itu, mengingat pola perkem-bangan kota-kota besar di Indonesiayang sudah merambah hingga ke daerahsekitarnya, maka tidak menutup ke-mungkinan bahwa dampak perubahanlahan di satu wilayah akan mempe-ngaruhi wilayah lainnya. Oleh karena itu,diperlukan analisis risiko bencana,rencana tata ruang, dan analisis dampakpembangunan baru yang sifatnya lebihkomprehensif, yaitu mencakup wilayahyang lebih luas, misalnya kawasan me-tropolitan. Perencanaan dan pengelolaandi tingkat metropolitan juga memung-kinkan adanya upaya mitigasi dan adap-tasi terhadap dampak yang dihasilkanoleh pembangunan di suatu daerahtertentu di daerah lainnya. Tanpa adanyaperencanaan dan pengelolaan yangkomprehensif di tingkat metropolitan,penyelesaian masalah akan terfrag-mentasi, yang pada akhirnya belum dapatmeningkatkan ketahanan masyarakat danmengurangi emisi gas rumah kaca padasuatu wilayah. Pengalaman beberapakota di negara sedang berkembang jugamenunjukkan bahwa tidak adanyakordinasi antar lembaga pemerintah,dalam hal ini di tingkatan metropolitan,dapat mempersulit pelaksaan TODsebagai upaya pengurangan emisi gasrumah kaca.48

Dengan semakin kompleksnya isuyang perlu diintegrasikan dalam prosesperencanaan dan pengelolaan, mulai dariaspek mitigasi dan antisipasi hingga

luasnya wilayah yang perlu dikaji, keha-diran sebuah platform tentunya akansangat membantu dalam menyelesaikankompleksitas tersebut. Platform tersebutdiharapkan dapat memberikan informasimengenai dampak perubahan tata gunalahan atau pembangunan baru terhadapperubahan lingkungan yang berkaitandengan perubahan iklim atau emisi gasrumah kaca. Namun, pembangunanplatform tentu membutuhkan prosesterutama untuk kasus di Indonesia yangmemiliki keterbatasan dalam keter-sediaan data. Platform tersebut dapatberfungsi sebagai alat yang mendukungpemerintah untuk proses pengambilankeputusan, terutama dalam kaitannyadengan mitigasi dan adaptasi perubahaniklim.

KESIMPULAN

Di tengah maraknya urbanisasi,pertumbuhan ekonomi yang menjan-jikan, dan pendapatan per kapita yangmeningkat, seringkali luput dari perha-tian bahwa pertumbuhan kota danurbanisasi juga akan berdampak negatifpada perubahan iklim jika tidak dikeloladengan baik. Seiring pertumbuhan kota,risiko terhadap perubahan iklim punmeningkat, misalnya dengan adanyakenaikan permukaan air laut, banjir,badai yang lebih sering dan lebih parah,serta musim panas dan dingin yang lebihekstrem.

Masalah terkait emisi gas rumah kacadan perubahan iklim tidak lepas daripengaruh tata ruang di tingkatan kota.Kota-kota di Indonesia yang berkem-bang dengan cara tersebar (urban sprawl

48 WRI and World Bank Group, “Module 1: TODas a strategy to achieve a sustainable city”dalam http://wricitieshub.org/sites/default/files/Module%201%20-%20Intro%20to%20TOD%20Final_1.pdf

Page 21: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

20 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

atau rebakan kota) turut berkontribusipada meningkatnya emisi gas rumah kacaakibat maraknya penggunaan kendaraanbermotor pribadi sebagai alat mobilisasi,belum lagi didukung oleh infrastrukturyang mengakomodasi kendaraan ber-motor pribadi. Banyak penelitian telahmenunjukkan bahwa kota yang merebakmengeluarkan emisi gas karbon dioksidayang lebih tinggi dibandingkan dengankota kompak yang memiliki kepadatanyang tinggi. Dalam kasus Atlanta danBarcelona dengan jumlah penduduk yanghampir sama, misalnya, Atlanta denganpertumbuhan kota yang merebak meng-hasilkan konsumsi energi dan emisikarbon dioksida yang lebih tinggi diban-dingkan dengan Barcelona yang meru-pakan kota yang kompak.49

Perencanaan tata ruang di tingkatperkotaan dengan demikian perlumemikirkan aspek mitigasi dan adaptasiterhadap perubahan iklim. Transit Orient-ed Development (TOD), suatu strategi

perencanaan pembangunan perkotaan,dapat menjadi salah satu upaya efektifuntuk mengurangi kendaraan bermotorpribadi dan mengurangi emisi. KonsepTOD tersebut juga dapat menjadibentuk adaptasi terhadap perubahaniklim.

Ke depannya, diperlukan suatu upayauntuk mengintegrasikan upaya mitigasidan adaptasi di perencanaan tata ruangperkotaan. Analisis yang dapat mem-perikarakan dampak pembangunan baruterhadap emisi gas rumah kaca dapatmembawa manfaat bagi pemerintah,pelaku usaha, dan masyarakat kota.Selain itu, upaya mitigasi dan adaptasiperlu dilakukan dengan mempertim-bangkan wilayah lain, misalnya di ting-katan metropolitan. Dengan peren-canaan dan pengelolaan yang kompre-hensif di tingkatan metropolitan, penye-lesaian masalah tidak akan terfragmen-tasi dan pada akhirnya dapat membantuupaya mitigasi dan adaptasi wilayah yanglebih komprehensif terhadap perubahaniklim. Pada akhirnya, kota perlu memilikisuatu visi revolusioner untuk meningkat-kan ketahanan masyarakat dan mencipta-kan kota yang ramah lingkungan melaluiperencanaan tata ruang yangterintegrasi•

49 WRI and World Bank Group, “Module 1: TODas a strategy to achieve a sustainable city”dalam http://wricitieshub.org/sites/default/files/Module%201%20-%20Intro%20to%20TOD%20Final_1.pdf; Helen Mountford and AndrewSteer, “By the Numbers: The New ClimateEconomy” (2014) dalam http://www.wri.org/blog/2014/09/numbers-new-climate-economy

Page 22: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

21Chris PA Bennett et al., Konflik di antara Status dan Fungsi Lahan

KONFLIK DI ANTARASTATUS DAN FUNGSILAHANMengatasi Hambatan Sektoral dalam PengelolaanBerkelanjutan di Tingkat Bentang Alam/Lanskap*

Oleh Chris PA Bennett1 & Suhardi Suryadi2

Pengelolaan lanskap yang berkelanjutan dapat diwujudkan jikahambatan-hambatan sektoral

diminimalkan sehingga kolaborasiantarsektor, yaitu antara masyarakat

desa, pihak swasta dan pemerintah,terutama instansi kehutanan, dapatberjalan. Permasalahan utamanya adalahketidaksiapan pemerintah untuk berko-laborasi dengan yang lain karena kha-watir kewenangannya akan dituntutsebagaimana terjadi dalam penentuan

Dari hulu sampai hilir di Indonesia, pengelolaan lanskap atau bentang alam yang berkelanjutansesuai dengan interdependensi di antara manfaat pengelolaan lingkungan hidup dan pembangunanekonomi dapat berhasil apabila kendala kolaborasi antar sektor masyarakat lokal, swasta danpemerintah daerah dapat dikurangi. Pengalaman di tingkat lapangan dengan pendekatan bertahaptelah menunjukkan adanya inovasi untuk mengatasi tantangan tersebut dengan mengakomadirkebutuhan masyarakat lokal dan kepentingan sektor lain sesuai dengan kebijakan yang berlaku.Pendekatan adaptif dan partisipatif berdasarkan lima prinsip pragmatis melalui penyempurnaanzonasi atau penataan ruang dapat mengakomadir persepsi lokal didalam pola ruang yang berlaku.Penyempurnaan zonasi dalam pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan dapat meningkatkankepastian ruang dan mendorong investasi sebagai prasyarat bagi terwujudnya kemakmuran hijau.

Kata kunci: deforestasi, pendekatan lanskap, kepastian ruang, pengelolaan sumber dayaalam, perizinan, perhutanan social, hak usaha lahan, kolaborasi antarsektor, forum multipihak.

A R T I K E L

* Berdasarkan “Elusive Development Challenge —Achieving landscape-based approaches to ruraldevelopment with a focus on forestry land resourcemanagement that can be sustained in an increasinglyurban world” at Sustainable Landscapes forSustainable Livelihoods side-event of Operat-ionalizing the landscapes approach: Process,Pitfalls and Progress, PEFC, 18th November2016, Kuta Sheraton, Bali.

1 Forestry & Land Use Governance, USAID-LES-TARI Indonesia, [email protected] dan, University of British Columbia, Facultyof Land & Food Systems, [email protected].

2 Senior Editor, USAID-LESTARI Indonesia,[email protected]; [email protected]

Page 23: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

22 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

status tanah. Pemerintah diharapkanbertanggung jawab untuk melindungifungsi lahan demi mempertahankan jasalingkungan dan ekonomi bagi masyara-kat. Hal ini terbukti benar ketika melihatkebutuhan air yang menyatukan masya-rakat yang tinggal di hulu dan masyarakatyang di hilir DAS. Zonasi dan alokasilahan yang membatasi hulu dan hilir yangdilakukan oleh pihak kehutanan terka-dang dirasakan kurang tepat bagi masya-rakat setempat dan pihak swasta yangsumber mata pencahariannya berada didalamnya.

Dalam sektor pembangunan, pende-katan lanskap bagi pembangunan desadan kawasan konservasi sedang naikdaun. Pendekatan berbasis lanskap bagipembangunan desa dan pembangunanurban masyarakat hilir dianggap tepatsecara lokal maupun global. Merekamungkin terkenal, tetapi hal ini bisamenjadi pedang bermata dua, terutamabagi upaya konservasi itu sendiri. Berba-gai pembangunan desa, kehutanan,agroforestri, agrikultur dan perikanandarat kerap kali menyematkan label“REDD+” pada nama-nama kegiatannyaproyek agar mendapatkan pendanaan.Saat ini, label “lanskap” juga seringdigunakan untuk mengidentifikasi bahwadalam berbagai proposal proyek dankarya ilmiah. Faktanya, ada 22.000 karyailmiah yang mengaku membahas pende-katan-pendekatan lanskap, padahalhanya empat puluh karya pantas dikata-kan demikian. Sebuah meta-riset terha-dap berbagai artikel jurnal dan ‘literaturabu-abu’ dengan kata “REDD+” padajudulnya yang dapat menghasilkan grafikyang menunjukkan kurva naik turunnya

penggunaan istilah tersebut dan kemu-dian akan bersinggungan dengan kurvakarya dalam istilah “lanskap” padajudulnya. Jika demikian, maka dapatdikatakan bahwa lanskap memangbernilai. Pandangan serupa diungkapkanoleh lebih dari satu partisipan diskusipanel FPEC yang diadakan oleh CIFOR,18 November 2016.

Secara konseptual, interdependensiinstitusional dan biofisik yang merupa-kan dasar utama dari pendekatan-pendekatan lanskap telah dijabarkanoleh Sayer dkk.3 Meskipun ada progresyang tidak pasti di lapangan, (Sayer20164). Pendekatan lanskap membimbinginteraksi-interaksi penggunaan lahanantara para pemangku kepentingan“stakeholders” dan “stickholders” yangbertanggung jawab atas pengendalianfungsi-fungsi legal penggunaan lahan(Bennett 19965) di dalam bidang kehu-tanan, agroforestri dan agrikultur, daninteraksi-interaksi ini dapat memenga-ruhi pusat-pusat kota di hilir (WorldBank 20036). Namun, menyinergiskanyurisdiksi penggunaan lahan denganaspek-aspek biofisik lanskapnya sepertiantara wilayah administratif denganDAS-nya adalah hal yang sulit.

3 J. Sayer et al., www.pnas.org/cgi/doi/10.1073/pnas.1210595110.

4 J. Sayer et al. (2106) Measuring the effectivenessof landscape approaches for conservation anddevelopment, Sustainable Science, OverviewArticle, accepted 14 November 2016.

5 Bennett et al. (1996) Of Stakeholders and“Stickholders”, CIFOR Seminar.

6 World Bank (2013) A World Bank Strategy forSupporting Good Governance of Forest Landin Indonesia: Assets for the Poor … the Poor asAssets, Report No. IDP-191.

Page 24: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

23Chris PA Bennett et al., Konflik di antara Status dan Fungsi Lahan

Pendekatan-pendekatan lanskapkerap kali digunakan untuk melindungikawasan konservasi tertentu demipengurangan emisi GRK dan perlindung-an keanekaragaman hayati atau disesuai-kan dengan keberadaan pembangunanekonomi di sekitar kawasan konservasiyang pada akhirnya akan dapat mempe-ngaruhi kawasan konservasi tersebutdan sebaliknya. Proyek LESTARI yangsedang beroperasi di Indonesia menjadi-kan kawasan-kawasan konservasi sepertitaman nasional, cagar alam dan suakamargasatwa yang memiliki hutan primeralamiah dan/atau lahan gambut sebagaitarget utama proyek. Berbeda denganLESTARI, Program Millenium ChallengeAgreement Indonesia’s Green Pros-perity (MCAI) menitikberatkan padakawasan-kawasan non konservasidengan menggunakan program investasiekonomi hijau untuk mengentas kemis-kinan seperti lewat program energi danpengelolaan SDA berkelanjutan. Pende-katan lanskapnya disesuaikan dengankeberadaan situs-situs investasi pentingdi sekitar kawasan konservasi denganpertimbangan adanya interdependensiantara aktivitas ekonomi tersebutdengan lingkungan sekitarnya (Bennettet al 20147).

Tulisan ini mencoba mengupasberbagai tantangan dan kesempatanterkait dengan kegiatan pembangunanlingkungan berbasis lanskap yang mulaimeningkat di Indonesia. Termasukmengkaji hambatan-hambatan sektoraldalam menerapkan pendekatan-pende-

katan berbasis lanskap, terutama terkaitdengan konflik antara status hukumlahan dengan fungsi-fungsinya yangmenyajikan cara pembangunan pragmatisuntuk mengatasi berbagai hambatan yangada. Selain itu, dibahas pula cara penge-lolaan lahan yang inovatif dan konstruktifsehingga diharapkan dapat memenuhikepentingan setiap pemangku kepen-tingan, mempertimbangkan bahwa “kitaadalah di mana kita berada” (sensu ClareShort 2002). Hal lain yang juga akandianalisis adalah dinamika ekonomipolitik di berbagai lanskap agar pengelo-laan tata guna lahan dapat terus-menerusmeniti kemajuan. Penekanan khususterkait tata guna lahan diberikan padapersoalan transparansi perizinan peman-faatan SDA, alokasi dana desa yangdiatur dalam Peraturan Desa No. 6Tahun 2014 serta peran dinas kehutananyang bertanggung jawab atas pengelola-an lahan, dan sistem penggunaan lahantradisional sebagaimana diatur olehPutusan Mahkamah Konstitusi No. 35dan 45 tahun 2013.

Bersama-sama, perubahan-perubahantersebut memungkinkan terwujudnyazonasi dan alokasi lahan secara lebih baikyang dicapai lewat upaya rasionalisasipenggunaan lahan partisipatoris danintersektoral serta harmonisasi lahandesa dan lahan konsesi di berbagaitingkat. Pendekatan-pendekatan lanskapkelak akan menggantikan proyek-proyekyang selama ini terlalu eksklusif dansektoral yang berpotensi memicu kecem-buruan sosial. Rasionalisasi zonasi yangpragmatis menyediakan kesempatan bagipengguna lahan untuk berinovasi secaramandiri dengan tetap mematuhi hukum

7 Bennett, Feld & Hardiono (2014) InclusiveLandscape Approaches for Strategic Investment inGreen Prosperity, MCC Working Paper.

Page 25: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

24 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

yang berlaku. Sebenarnya, Kemendagripernah menyatakan dukungan bagibentuk inovasi yang demikian, kreatif danlegal (Kompas 20158). Tidak kalahpentingnya, dengan pendekatan yangbersifat multi pihak, dapat dihasilkankebijakan-kebijakan yang mendorongpeningkatan transparansi, terutamaterkait perizinan penggunaan lahan sesuaiUU14/2008 tentang Keterbukaan Infor-masi Publik. Kebijakan-kebijakan terse-but dapat meminimalkan pengaruhkepentingan-kepentingan sepihak yangmerupakan hal yang berlawanan daripendekatan partisipatoris. Kesemua inipada akhirnya dapat mewujudkan keber-lanjutan. Didukung dengan berbagaireformasi pemerintahan sebagai salahsatu bagian dari upaya mematangkandemokrasi Indonesia, maka pendekatanlanskap memberikan angin optimistis bagiperbaikan pengelolaan lahan.

KONFLIK STATUS LAHANDENGAN FUNGSINYA

Tantangan-tantangan besar memangbenar adanya. Semua penggiat pende-katan lanskap perlu secara eksplisitmengakuinya. Inisiatif pengelolaan lahanyang terlalu ambisius dan tak acuhterhadap realitas tersebut pasti akan samagagalnya dengan pendekatan pengelolaanlanskap yang bersifat sektoral.Menggunakan pendekatan lanskap yangberupaya mempertimbangkan semuaaspek biofisik, sosial dan ekonomi dansemua pemangku kepentingan dengan

segala perbedaan tugas, pokok danfungsinya (tupoksi) akan berujung padabentuk intervensi yang “berusahamelakukan segalanya, di setiap tempat,tetapi tidak mencapai apa pun, di manapun.” Kegagalan untuk belajar darikelemahan-kelemahan pendekatanlanskap terintegrasi seperti pada kasusIntegrated Conservation DevelopmentProjects (ICDP) yang kurang memikirkanhubungan intersektoral juga perludihindari. Sekalipun pendekatan lanskapberisiko memicu munculnya inisiatif-inisiatif yang sekedar menggunakan label‘lanskap’ bagi nama proyek semata. Tidakmengherankan jika sudah banyak inisiatifyang menggunakan label ‘lanskap’ namunhanya sekedar (keproyekan) meskisebenarnya berpotensi “mencemarireputasi pendekatan lanskap”, sebagai-mana yang terjadi pada kasus REDD+.

Dapat dikatakan bahwa tantanganpaling besar dalam pendekatan lanskapadalah menyelesaikan perseteruanmengenai apa fungsi biologis, sosial danekonomi dari lanskap dan siapa yangberwenang atas fungsi-fungsi tersebut.Dengan kata lain, bagaimana agar fungsi-fungsi ekonomi dari suatu lanskap dapatdidukung oleh status administratif darilahan tersebut yang merupakan tanggungjawab dari berbagai badan pemerin-tahan? Hal ini menjadi sebuah perma-salahan dilematik karena pemerintahakan cenderung mengedepankan legiti-masi hukum daripada legitimasi sosialyang pada akhirnya akan memengaruhilanskap itu sendiri, sebagai contoh,kawasan hulu dan hilir DAS yang dibagisecara administratif menjadi desa dankota. Itulah mengapa ada kutipan yang

8 Kompas (2016) Pemda Berinovasi Tidak DapatDipidana. Kompas, Otonomi Daerah, 20 April2016, hlm. 4.

Page 26: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

25Chris PA Bennett et al., Konflik di antara Status dan Fungsi Lahan

berikut dari Kementerian Agraria danTata Ruang (ATR), yakni, “Penegasanfungsi hutan lebih penting dibandingpenetapan kawasan hutan pada umum-nya,” yang meliputi fungsi hidrologi,penyelamatan air dan fungsi lainnya.9

Fungsi-fungsi ini dapat berjalan jika tataruang menjadi panglima dan merupakansalah satu faktor terhadap arah pemba-ngunan. Sekalipun permasalahan spasialselama ini belum menjadi salah satu isudalam pembuatan kebijakan publik.Karenanya, koordinasi dan komunikasiantar lembaga merupakan pemahamankarakteristik wilayah menjadi sorotan.Masalah utama dalam pengelolaan lahanyang terdesentralisasi lebih lebih sejakarahan re-sentralisasi berdasarkanUU23/2014 lebih terletak pada koordi-nasi antar institusi baik secara vertikalmaupun horizontal (ADB 200710)

SOLUSI KONFLIK ANTARASTATUS DAN FUNGSI LAHAN

Ada pertanyaan pokok menuju solusikonflik antara status dan fungsi di ditingkat lanskap, dan pembangunanrendah emisi dan perlindungan kehatiyang sedang diupayakan melalui bebe-rapa proyek di Indonesia. Namun sebe-lum menjabarkan prinsip-prinsip terse-but, beberapa pertanyaan akan dijawabterlebih dahulu, terutama terkait kesu-

litan implementasi di lapangan. Hal initerlontarkan pada sebuah konferensipendekatan lanskap, mengenai penyele-saian masalah dalam implementasipendekatan lanskap (lihat catatanfootnote 1).

Apa hambatan dalam implemen-tasi pendekatan lanskap?

Pendekatan lanskap sering disamakandengan “anggur tua di dalam botolbaru”, sekedar kemasan baru dariproyek ICDP yang gagal sebelumnya.Selain itu, pendekatan-pendekatan yang‘ego-wilayah’ dan/atau ‘ego-sektoral’yang biasa digunakan oleh instansi danpihak pengelola lahan–contohnya HTIdan HPH yang peta-petanya belummemiliki perincian di luar kawasankonsesi–memberikan tantangan besarbagi implementasi pendekatan lanskap.Membenci pemangku kepentingantertentu, seperti pemegang konsesikelapa sawit, hanya memperburuksuasana dan mempersulit kolaborasiinklusif dengan para pihak yang sudahmenetap lama di suatu lanskap. Ter-akhir, perdebatan mengenai apa yangpantas disebut sebagai pendekatanlanskap dan mana yang bukan telahmemperlambat proses belajar di la-pangan yang sebenarnya dapat bergunasebagai pelajaran paling penting me-ngenai berbagai indikator definisi pende-katan lanskap dan berbagai indikatorkesuksesan dan kegagalannya.

Apa strategi dan syarat utamabagi implementasi efektif?

Tidak diragukan lagi, bahwa kesa-daran dan kemauan politik untuk dapat

9 Menteri Agraria dan Tata Ruang (2016) http://tataruangpertanahan.com/artikel-429-pena-taan-kawasan-hutan-demi-kemakmuran-bangsa.html, from, www.bpn.go.id, 26 October 2016.

10 Asian Development Bank (2007) Natural ResourceManagement in a Decentralized Framework(NRMdf), ADB TA No 4687-INO: 2007.

Page 27: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

26 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

menghilangkan pemahaman dan pe-gangan sektoralistik (ego-wilayah dan ego-sektoralisme) suatu keniscayaan. Dalamkaitan ini dapat digunakan model-modelyang membandingkan dampak ekonomi,sosial dan lingkungan dari pendekatanlanskap dan pendekatan sektoral sehing-ga lebih mudah dimengerti dan diaksesoleh semua pihak yang berkepentingan.Upaya tersebut tergantung pada berbagaiunsur,

• Mematuhi moto “kita adalah dimana kita berada”, yaitu tidak mulai darinol, sedangkan pendekatan “kami versusmereka” tidaklah membantu. Bayangkan,apabila badan-badan kehutanan ber-sikeras dengan kewenangannya. Di sisilain, berbagai LSM membawa poster-poster yang keras dalam aksi-aksi pro-tesnya. Dibutuhkan jalan tengah yangdapat memenuhi semua kepentingan,dan tidak kecuali kepentingan sebagiankecil dari mereka yang hanya mempertim-bangkan keuntungan jangka pendek danmengabaikan kerugian jangka panjang.Bagi kebanyakan pemangku kepentingan,sebenarnya, saling memahami kebutuhansatu sama lain, menghargai perbedaandan memercayai sesama adalah langkahawal dalam mencari jalan tengah sebagaisolusi. Tentu saja, tidak semua orangakan mendapatkan apa pun yang diingin-kan. Sehingga sudah siap untuk membuatkompromi demi jalan tengah yangberkelanjutan.

• Mengingat keanekaragam pihakyang berkepentingan dengan lanskapatau bentang alam tertentu, sangatdiperlukan persamaan persepsi antarsemua pihak terhadap pemanfaatan lahantersebut. Diperlukan trayek proses

kepercayaan diantara pihak yang berke-pentingan mulai dengan saling penger-tian atas kepentingan masing masing dansaling hormati serta pada akhirnyamenciptakan saling percaya. Denganadanya rasa saling percaya, dapat dite-mukan titik persetujuan prinsip danpelakasanaan koordinasi dan kolaborasidi tingkat lapangan yang diperlukan agarsupaya pendekatan lanskap berlakusehingga mendapat legitimasi social danhukum.

• Perlu ada pengertian tegas ditingkat lapangan terhadap batas danpengunaan berbagai tipe ruang. SkalaTata Ruang Provinsi (1:150,000) ataupunTata Ruang Kabupaten (1:50,000) relatifkasar untuk menentukan batas antarzona pemanfaatan lahan. Sebaiknya,1:5,000 atau lebih mendetail yang mudahditentukan semua terutama batas antarzona tersebut baik di tanah negaramaupun areal dengan pengunaan lain(APL), misalnya, melalui Rencana DetailTata Ruang (RDTR) berdasarkan ka-wasan perdesaan seperti tertuang diUU26/2007 tentang Tata Ruang sesuaipula dengan Undang-undang Desa (UU6/2016). Perlu pula keserasian antar zona.Dengan adanya zonasi atau raisionalisasipemanfaatan lahan yang diterima semuapihak yang berkepentingan, maka akanmudah dapat mencari bersama “dimana”(where) dan “apa” (“what”) pemanfaatanruang yang berkelanjutan. Sehingga“bagaimana” (how) memanfaatan ruangakan lebih mungkin dilakukan sesuaikearifan lokal dan keadaan biofisikasetempat berdasar asas berkelanjutan,yaitu, dari bawah bukan dengan upayadipaksa dari atas.

Page 28: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

27Chris PA Bennett et al., Konflik di antara Status dan Fungsi Lahan

• Tidak kalah pentingnya tolokukur (metrik) pengendalian pemanfaatanzona lahan yang objektif dan praktisdengan secara yang dapat di mengertioleh semua pihak.

• Agar semua unsur tersebut diatasdapat dimengerti oleh para pihak sangatdiperlukan visualizasi pilihan antaraskenario optimal dengan skenario buruk(business-as-usual, BAU). Tidak meng-ganti kajian serta penyajian hasilnya dalambentuk tabel, grafik dan peta, namunvisualizasi implikasinya sebagai nilaitambah argumen pendekatan lanskaptidak sebatas dimengerti dan ahli namunjuga didukung para pihak yang berkepen-tingan dengan pendekatan lanskap.

Struktur tata guna dalam mening-katkan efektivitas pendekatan lanskap?

Proses dan dampak dari perizinanpenggunaan lahan amat perlu partisipa-toris dan transparan berdasarkan datageospasial yang terkini. Mewujudkanakuntabilitas dalam proses perizinandapat menghindari ketidakadilan alokasilahan dan menjamin dampak lingkunganmenunjang pembangunan ekonomi yangbersifat bekerlanjutan.

Apa dan bagaimana cara yangefektif untuk dapat berkolaborasi?

Memanfaatkan proses multi-pihak,misalnya, Forum Multi Pihak (MSF)untuk menanamkan pemahaman, rasahormat, dan rasa percaya antara satusama lain agar terjalin kerja sama se-sungguhnya merupakan keseharianinstitusionalnya. Penting dipikirkan agarMSF yang ada tidak berubah menjadiUnit Manajemen (PMU) dan didominasi

oleh pihak-pihak tertentu saja yangbermaksud melakukan kontrol atas hal-hal yang menguntungkan saja. MSF jugaharus menjadi inklusif bagi sebanyak-banyaknya aktor, termasuk bagi pihakyang dianggap sebagai ‘si jahat’ karenamementingkan keuntungan jangkapendek. Memastikan bahwa peserta MSFmerupakan individu yang berpenge-tahuan, tulus dan menitikberatkanproses dibandingkan institusionalisasiformal sangat penting agar keberadaan-nya fungsional dan berkelanjutan.

Bagaimana menciptakan komit-men jangka panjang bagi pendekatanlanskap?

Di samping Pembayaran Jasa Ling-kungan (PES), perlu ada cara lain untukmendorong masyarakat setempat danpemerintah daerah agar bersedia menga-dopsi pendekatan lanskap dan memper-baiki tata kelola hutan dan atau gambutdi daerah hilir sehingga risiko masalah-masalah lingkungan, tanah longsor,banjir dan kekeringan air, dapat diku-rangi. Mengoptimalkan modal sosial,pengetahuan dan SDM yang dimiliki parapemangku kepentingan dalam upayaberinovasi sangat penting. Inovasi me-mang perlu dikembangkan, terutama saatabsennya petunjuk yang preskriptif(pedoman-pedoman, Petunjuk Pelak-sanaan [Juklak] atau Petunjuk Teknis[Juknis]). Kemendagri telah menjaminbahwa inovasi tidak akan dilarang selamamematuhi hukum yang ada.11

11 Kompas (Print Edition), “Pemda BerinovasiTidak Dapat Dipidana”, Kompas (print edition),Otonomi Daerah, 2016 April 20, hlm. 4.

Page 29: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

28 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

Terpenting adalah bagaimana mem-buat visualisasi perbandingan skenariopengelolaan lahan yang optimal versusskenario business-as-usual (BAU), se-hingga tidak merasa puas dengan visi danmisi yang sekedar berbentuk pernyataan.Semua pihak yang berkepentingan dalampengelolaan lanskap mesti mengertikonsekwensi baik skenario “BAU”maupun skenario optimal. Selain mengu-tamakan penggunaan contoh-contohnyata, yang didasarkan pada pengalamanmasa lampu atau bukti di lapangankarena “melihat berarti percaya.” Selan-jutnya, pada tahap pengendalian programpembangunan sumber dalam semuapihak yang berkepentingan dapat mudahmembuat perbandingan “BAU” danoptimal, yakni, “lihat dulu, baru percaya”.Singkatnya, visualisasi keuntungan daripendekatan lanskap dan kerugiannyasangat diperlukan

Apa yang harus dihindari?Perlu diakui bahwa sejarah pengelo-

laan sumber daya alam penuh denganselisih pendapat antar para pihak yangberkepentingan. Konsekwensinya,sering ada konflik antara status lahan danfungsi lahan bagi siapapun yang tergan-tung pada mutu pengelolaan lingkungan.Namun ada solusi yang mengakui hakdan kewajiban kelembagaan pemerintahdan non-pemerintah. Hanya sejauhmanakepentingan para pihak terarah kepembangunan yang berkelanjutan. Dasarkompromi atau jalan tengah yang diperlu-kan antar pihak tersebut tergantungkepada kesempatan berwacana bersama,sehingga ada saling pengertian atasperbedaan kepentingan yang ada.

Termasuk perlu menghilangkan salahpersepsi bahwa proses menyesuaikanfungsi lahan dengan status melalui pe-nyempurnaan zonasi akan terlalu lamadan begitu menghambat perkembanganekonomi dan lingkungan hidup yangterkait. Sebaliknya. Ketika belum adakeserasian antara zonasi status tata gunalahan dan fungsinya justru dapat meng-hambat pembangunan dan ketergan-tungannya pada proyekproyek eksternal dan akan menyita waktudan memakan biaya mahal. Apalagi kalautetap ada selisih pendapat antar pihaksetempat tentang penggunaan lahan.

Apa yang perlu dipantau dilapangan dalam evaluasi kinerjapembangunan lanskap?

Walaupun dinamika antar para pihakdi lanskap tertentu kompleks, misalnya, didaerah aliran sungai, Indikator-indikatorterkait perkembangan ataupun degradasilingkungan, tidak memerlukan inter-pretasi yang rumit dan memakan waktu,berdasarkan data khusus namun dime-ngerti dan diakses oleh semua pihak yangberkepentingan dalam lanskap. Misalnya,titik api dan wilayah kerusakannya,pembangunan jalan yang tidak seharusnyaada, deforestasi dan lain lain serupaberdasarkan citra landsat yang dapatdiakses secara umum. Perlu diadakanperbandingan antara wilayah intervensidengan yang tidak ada yaitu memakai“kontra faktual”. Sejauh mana bisa,pemantauan dilakukan oleh agensi yangpatuh pada mandat-mandat sektoralnya(KLHK, BIG, ATR, dll) namun melibatkanmasyarakat yang punya kepentingan padalanskapnya.

Page 30: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

29Chris PA Bennett et al., Konflik di antara Status dan Fungsi Lahan

LIMA PRISNSIPPENERAPANPENDEKATAN BERBASISLANSKAP UNTUKKESERASIAN

Prinsip-prinsip apa yang harus digu-nakan untuk menggabungkan yurisdiksiformal dengan realitas biofisik di la-pangan secara pragmatis? Ada limaprinsip yang ditawarkan, setidaknya bagiIndonesia, yang dirumuskan denganmempertimbangkan variasi dan kom-pleksitas lanskap dan hukum penggunaanlahan. Prinsip-prinsip tersebut mengakuimoto “kita adalah di mana kita berada”(Clare Short cit. World Bank 2003) danjuga mengakui kegagalan-kegagalan daritata guna lahan saat ini untuk membantumengidentifikasi bagaimana transisiterhadap keberlanjutan dapat dilakukan.Prinsip pertama yang akan dibahas dapatdikatakan sebagai prinsip paling pentinguntuk mengatasi konflik hukum denganfungsi lahan.

Proses Membangun ForumPara Pihak Dalam PengelolaanLanskap

Salah satu wadah wacana para pihakdengan ciri lintas sektor yang mencip-takan saling kepercayaan dalam upayapengelolaan lanskap adalah forummultipihak (multi-stakeholder forum,MSF) yang punya ciri transparan, inklusivdan akuntabel. Namun pendirian danpelaksanaan MSF harus lebih ditekankanpada proses dari pada aspek kelem-bagaan. MSF sebagai bagian untukmembangun kepercayaan antar pemang-ku kepentingan - yang biasanya saling

mencurigai satu sama lain – dimaksudkanagar terjalin kerja sama dan membuatkeputusan yang lebih berkelanjutansebagai bagian dari pekerjaan insti-tusionalnya sehari-hari. Dengan demi-kian, sumber daya alam (air, hutan, dll)akan benar-benar menjadi sumberkemakmuran dan kekompakan masya-rakat, bukan pemecah belah. Ini berartiMSF penting fokus kepada isu strategisdalam pengelolaan lanskap yang dapatdiatasi dengan peningkatan kolaborasidan koordinasi antar pihak yang sebagaianggota MSF.

Suatu contoh dari MSF yang menarikadalah Forum Hapakat Lestari di Kabu-paten Pulang Pisau, Provinsi KalimantanTengah di lanskap Kesatuan HidrologisGambut (KHG14). Pada tahun 2016,suatu kelompok kerja MSF (Tim 9)karena terdiri dari sembilan anggota daripemerintah, masyarakat perdesaan danswasta yang memfasilitasi persetujuanterhadap rancangan sekat kanal kanal(penutupan kanal atau “canal blocking”)gambut agar tanah gambut dapat me-nahan air pada musim kemarau danmengurangi risiko kebakaran lahan danhutan (karhutlah) di wilayah tersebut.Persetujuan di awal terhadap dampakproyek (PADIATAPA atau FPIC, freeprior and informed consent) terdiri darisatu proses yang melibatkan masyarakatperdesaan, Balai Besar Sungai danSumber Daya Air (PU), PemerintahKabupaten serta Badan Restorasi Gam-but (BRG). Kesepakatan mencakuppenutupan kanal primer, sekunder dantersier (handil) yang sebagai dasarkekuasaan lahan lokal. Pendekatanlanskap multi-pihak tersebut telah

Page 31: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

30 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

mampu menghindari konflik yangsebelumnya muncul ketika penutupankanal gambut dilakukan tanpa konsultasisecukupnya dengan masyarakat (Gambar1 dan 2).

Kajian Lingungan Hidup Strategis(KLHS) sebagai Peluang Mening-katkan Mutu Tata Guna LahanLanskap

Walaupun Kajian Lingungan HidupStrategis (KLHS) wajib dalam prosespenyusunan Kebijakan, Rencana danProgram (KRP) sebenarnya lebih sebagaipeluang meningkatkan mutu dan pelak-sanaannya dimana lanskap berada dida-lam wilayah RPJMD dan RTRWK/P.Terlalu sering dua instrument peren-canaan pokok seperti RTRWK danRPJMD sebagai perencanaan-peren-canaan elegan yang hanya akan menjadiberdebu tersimpan di rak-rak bukukarena KLHSnya disusun para pakartidak cukup partisipatif dan sulit dime-ngerti. Penggunaan instrumen ataumetodologi perencanaan yang bagussekalipun - ketika asing dan sulit dipa-hami oleh instansi dan masyarakat lokal– tetap menjadi sia-sia dan tidak ber-makna bagi siapapun kecuali bagi yangmembuat rencana itu sendiri dan yang

tidak merasakan dampak negatif akibatkesalahan perencanaan. Visualisasiperbandingan skenario pengelolaanlahan yang optimal versus skenariobusiness-as-usual (BAU), sehingga tidakmerasa puas dengan visi dan misi yangsekedar berbentuk pernyataan.

Salah satu contoh pemanfaatanvisualizasi skenario skenariopembangunan serta hasil danrekomendasi KLHS adalah peninjauankembali (PK) KLHS dalam rangka reviewRTRWK di Kabupaten Mimika, Mappidan Boven Digoel di Provinsi Papua.Aspek visualizasi tidak mengganti kajianpakar namun melengkapinya agar parapihak mudah dapat terlibat didalamproses penyusunan dan penggunaanKLHS. Oleh karena PK KLHS

Gambar 2. Tahap kedua, pelaksanaanPADIATAPA tentang rancangan indikatif sekatkanal gambut

Gambar 1. Tahap pertama PADIATAPA,peningkatan kesadaran tentang masalah, manfaatkomitmen para pihak dari pembuatan danpemilaharaan sekat di kanal gambut, keteranganproses PADIATAPA

Page 32: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

31Chris PA Bennett et al., Konflik di antara Status dan Fungsi Lahan

berdasarkan kajian dari KLHS asli dapatdilengkapi dengan pertimbangan isustrategis dan kajian terkini saja; tidakmemerlukan banyak waktu dan relatifsederhana. Namun legitimasi sosialdapat ditingkatkan dengan visualizasitersebut baik dalam proses maupundalam pemanfaatan KLHS sebagai arahanRTRWK serta dasar evaluasi pelaksa-naannya di tingkat lanskap. Sehinggameningkatkan partisipasi semua pihakbaik skenario skenario alternatif pemba-ngunan maupun proses KLHS dapatdivisualisasikan (Gambar 3 dan 4).

Menggunakan Titik MasukWilayah Yurisdiksi dalam Penca-paian Pendekatan Lanskap

Titik masuk perkembangan pende-katan lanskap tidak mulai dari posisiteori berdasarkan rekayasa social,lingkungan dan ekonomi sangat diper-lukan agar terintegrasi dengan yurisdiksiadministratif pada berbagai tingkat,provinsi, kabupaten (RTRW/RPJMD)dan desa (RPMJDes), yang memilikikawasan hutan dan lahan pribadi. Perlumenggunakan tata guna lahan yang ada,misalnya, Kesatuan Pengelolaan Hutan

Gambar 3. Visalualizasi skenarioalternatif “BAU” pembangunaninvestasi perkebunan kelapa sawit.

Gambar 4. Visalualizasi skenarioalternatif “BAU” pembangunaninvestasi perkebunan kelapa sawit.

Page 33: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

32 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

(KPH), Kesatuan Hidrologis Gambut(KHG), subak, P3A, dan lain lain untukpenyempurnaan wilayah yang ada, yaitu;(a). APA yang dapat dilaksanakan di zona-zona kawasan hutan (produksi, lindung,konservasi) dan Kawasan Strategis lewatperaturan zonasi yang berlaku sepertiRencana Detail Tata Ruang, KawasanPerdesaan. (b). DIMANA dengan skalayang cukup kecil, 1:5000, dilakukandelineasi dan demarkasi lahan partisi-patoris di lapangan. (Biasanya, petarencana tata ruang kabupaten menggu-nakan skala 1: 50.000 yang terlalu kasarsehingga membingungkan pihak-pihaklapangan, termasuk badan-badan peme-

rintahan, swasta dan warga setempat,dan menyulitkan implementasi). Upayatersebut niscaya menghasilkan kepastianspasial yang mengundang berbagaiinvestasi inovatif di lapangan yang men-dayagunakan potensi masyarakat lokal,modal sosial serta kearifan lokal.

Salah satu contoh adalah prosespenataan ruang bersama didalam polaruang yang berlaku di Kabupaten Abdya,Provinsi Aceh. Proses direspon KPHkarena dapat membuat kolaborasikonstruktif diantara masyarakat per-desaan dan instansi KPH dalam rangkapenyempurnaan zonasi atau “blocking”KPH. Beberapa hasil lain mencakup,

Gambar 6. Hutan Kebun- wanatani / kebun campur(pala, durian, dll) daripetani di Kawasan HutanLindung memenuhi fungsilindung tanah dan sumberdaya air

Gambar 5. Kebun Hutan– wanatani / kebun campur(pala, durian, dll) daripetani di Areal denganPengunaan Lain (APL)memenuhi fungsi lindungtanah dan sumber daya air.

Page 34: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

33Chris PA Bennett et al., Konflik di antara Status dan Fungsi Lahan

citra resolusi tinggi sebaiknya tidakharus ada; dengan citra landsat (gratis)cukup, kepentingan fasilitasi pendekatanmulti-pihak, wana tani rakyat (agro-forestri) juga dapat melindungi fungsijasa hutan terutama untuk mengurangierosi dan melindungi sumber daya air;Dengan kata lain, kebun hutan sebagaikebun lindung diareal hutan lindungmembuka peluang untuk PerhutananSosial (PS) serta kepastian lahan yangterkait (Gambar 5 dan 6); sebagai zonapenyangga melindungi areal konservasidi hulu; Hasil pendekatan tersebut jugadapat sebagai muatan untuk penyusunanRPJMDes serta rencana Detail TataRuang di Kawasan Strategis.

Kembangkan Perangkat Mo-dular Sub-lanskap dengan TujuanMemperluasnya sampai seluruhLanskap

Bagi kawasan lanskap yang luas perludibagi menjadi beberapa kawasan sub-lanskap yang cukup kecil sehinggamemudahkan pengelolaan dan sinergiberbagai kegiatan agar efisien untukdiperluas dapat diperkuat melalui kebi-jakan seperti, peraturan daerah ataupunBupati. Lanskap dapat dibagi berdasar-kan Kawasan Perdesaan (yang salahsatunya dapat ditetapkan berdasarkanDAS), Kesatuan Hidrologi Gambut,Kawasan Adat dan/atau wilayah keca-matan selama pembagian kawasannyasesuai dengan fungsi biofisik lingkungan-nya. Dari prinsip-prinsip pendekatanlanskap diatas akan menjadi sebuahprogram yang koheren dan sebagaisebuah praktik modular yang dapatdigandakan dan bertahan lebih lama

dibanding proyeknya itu sendiri. Hal inikarena adanya keberadaan legitimasisosial dan hukum yang memotivasi parapemangku kepentingan untuk memper-tahankan proyeknya dan membantudalam mendapatkan dana.

Misalnya, di enam lanskap di Indo-nesia –di Aceh, Kalteng, dan Papua–seluas lebih dari delapan juta hektar,program USAID-LESTARI beroperasidengan menggunakan tiga macam temateknis berbasis lanskap: Tata GunaLahan dan Hutan, Advokasi, Kemitraandalam Konservasi, dan Koordinasidengan Sektor Swasta. Di wilayah-wilayah di mana ketiga tema teknistersebut bersinggungan, tercipta sinergiyang kuat berkat meningkatnya keber-lanjutan, efisiensi logistik dari intervensi,dan efektivitasnya (kegiatan-kegiatanyang saling mendukung satu sama lain).Hal tersebut membuat perubahan-perubahan transformatif semakin realis-tis dan mungkin bertahan lebih lama dariusia proyeknya. Penggerak-penggerakperubahan di lapangan seperti kemitraandalam konservasi dan kerja sama denganpihak swasta dapat muncul dan bertahankarena inisiatif-inisiatif perbaikan tataguna lahan dan hutan dan advokasi.Dengan demikian, dapat dikatakanbahwa LESTARI mendukung popularitasIndonesia dalam tata guna lahan danhutan dan pengelolaan lahan yang terwu-jud dalam konferensi nasional kehutanankeenam pada tahun 2016 bertemakan“Repositioning Indonesian forestry towardsthe realization of good forestry govern-ance.” Dalam rangka tersebut pende-katan modular sublanskap tersebut dapatdiperluas kalau sudah terbukti berhasil,

Page 35: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

34 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

diberdayakan oleh kebijakan setempat,seperti terlihat di matriks berikut,

Validasi, Verifikasi danAkuntabilitas Dampak Lanskap

Tidak kalah petingnya adalah systemmonev pengembangan lanskap ber-kelanjutan. Walaupun interdependensibanyak faktor, tolok ukur monev tidakharus terlalu canggih ataupun rumit agarsemua pihak yang berkepentinganmengerti dan dapat terlibat. Meng-gunakan indikator-indikator yangtransparan dan mudah diakses publikuntuk mengevaluasi dampak intervensilanskap, misalnya, titik-titik api, wilayahkerusakannya (fire scar), pembangunanjalan yang tidak dibutuhkan kawasanhutan, deforestasi, dll, semuanya di-overlay dengan kawasan pengelolaanataupun perizinan yang berlaku supayajelas siapa yang bertanggung jawab.Perlu membuat perbandingan dampaksecara spasial dan temporal. [Bennettdkk. 2012 MCC).

Validasi, verifikasi dan akuntabilitasdampak lanskap paling penting terhadapproses perizinan yang bisa baik sebagaipeluang maupun ancaman terhadap mutupengelolaannya. Transparansi perizinan(dimana ada dan tidak ada), serta persya-ratannya sangat menentukan trayekperkembangan lanskap. Termasukpenyesuaian data geospasial dari pena-taan ruang dengan lokasi serta tata gunalahan perizinan. Inilah tujuan dari salahsatu contoh keterpaduan antara fungsilahan dan pemanfaatannya dalam keter-kaitan antara Sistem Manajemen Infor-masi Tata Ruang (SIMTARU) dan“sustainability screening tool (SST)” buat

proses perizinan di Dinas PelayananTerpadu Satu Pintu di Papua.

KESIMPULAN

Memang banyak tantangan untukmenghasilkan pendekatan lanksap diIndonesia seperti ego-sektoralisme,kurangnya koordinasi dan kolaborasiantar para pihak terkait lemahnyapenegakan hukum, anggaran terbatasuntuk investasi jangka panjang,kurangnya akuntabilitas dari perusaklingkungan. Terlebih tema dari tulisanini, yaitu, selisih antar status lahan danfungsi sosio-ekonomi-lingkungannya.Tantangan mendasar mengenai kurangkoordinasi dan kolaborasi antar pihaksudah mulai diatasi secara langsung dantak langsung baik diantara kelembagaanpemerintah maupun diantara organisasipemerintah daerah dengan masyarakatlokal dan swasta. Tantangannya bukanbagaimana instansi Kehutananmenglelola hutan atau sebaliknya hutanditangani masyarakat lokal atau swasta.Namun yang penting bagaimana agarsemua pihak berkolaborasi secarasukarela. Meski terkadang masalah dapatsebagai peluang tak terlihat (“problemscan be opportunities in disguise”).

Ada indikasi bahwa perkembanganparadigma kebijakan tata guna lahanyang lebih memungkingan pendekatanlanskap diterapkan di Indonesia baikkarena tantangan maupun peluangmaupun karena belum terjadi dimanamana. Sebagai contoh, sistem KPH adapeluang, hanya pendanaan dan kapasitassumber daya manusia masih belumoptimal. Misalnya, pada tahun 2016

Page 36: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

35Chris PA Bennett et al., Konflik di antara Status dan Fungsi Lahan

untuk KPH V dimana sekitar 100 desadianggarkan sekitar Rp 700 juta pertahun sedangkan dianggarkan Dana DesaRp 565 juta juta per desa (gampong) dilanskap Leuser, Provinsi Aceh.Walaupun hanya sebagian Dana Desadapan digunankan untuk pengelolaanlingkungan hidup namun kemungkinanlaju kenaikan per tahun akan lebihdaripada untuk KPH V (Lihat Tabel 1).

Sekalipun demikian, diberbagailokasi mulai terlihat hubungan diantarainstansi Kehutanan dan masyarakat desalebih positif dimana sebelumnya salingcuriga. Dengan dukungan USAID-LESTARI, penataan ruang bersama antarpihak di Kabupaten Abdya danpenyusunan RPJMDes bersamamerupakan salah satu indikasi tersebut.Contoh lain, inisiatif yang didukungMCAI dalam rangka penataan batas desatelah meningkatkan kepastian ruang danmeningkatkan hubungan konstruktifdiantara instansi perdesaan danKehutanan yang berada dalam wilayahdesa.

Pemanfaatan ruang dimana status danfungsi yang serasi cenderung lebihtransparan sejak ada UU14/2008 tentang

keterbukaan informasi public, telahmenunjang upaya peningkatantransparansi dan akuntabilitas dalamproses perizinan sumber daya alam.Gabungan lingkungang hidup danKehutanan dalam KementrianKehutanan Lingkungan Hidup danKehutanan (KLHK) juga mendukungupaya harmonisasi diantara status danfungsi lahan. Dengan peningkatanDirektorat Jendral Tata Ruang menjadiKementerian Agraria dan Tata Ruang(ATR) diharapkan dapat mendekatikepentingan masyarakat denganpenataan ruangannya. Sehingga adakeserasian antara status dan fungsi lahan.Memang proses proses tersebut akanlama. Boleh dikatakan bahwa kemajuandemokrasi Indonesia adalah indikasiutama bahwa pendekatan lanskap akanmenjadi sukses. Pendekatan lanskapdiberdayakan melalui kelembagaandewasa ini walaupun tidak selalu secepatdiharapkan. Istilah “alon alon asalkelakon” sangat relevan supaya konflikantara fungsi dan status lahan dapatdiselesaikan dan ‘ego-sektoralisme’ dan‘ego-sentralisme’ sekedar dipahamisebagai lelucon belaka•

Gambar 7. KPH V dimana 100 wilayahdesa (gampong)

Page 37: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

36 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

KEBIJAKAN PEMBANGUNANDAERAH DAN POTENSI APLIKASIKAJIAN LINGKUNGAN HIDUPSTRATEGISStudi Kasus Kebijakan Kehutanan di Kabupaten Pelalawan

Oleh Leni Rosilyn

Kebijakan merupakan salah satuunsur penting suatu organisasi ataulembaga sebagai landasan untuk

tindakan-tindakan nyata di lapangan. Kebi-jakan dapat diturunkan dalam bentukstrategi, rencana, peraturan, kesepakatan,konsensus, kode etik, program, proyekdan sebagainya. Keberhasilan kebijakansangat ditentukan oleh proses pembuatan,pelaksanaan dan pengawasannya.

Kebijakan yang tepat diperlukandalam melaksanakan pembangunandaerah berkelanjutan. Untuk mendukunghal tersebut ada 3 faktor lingkungan yangperlu diperhatikan, yaitu : (1) terpeli-haranya proses ekologi yang essensial,

(2) tersedianya sumber daya yang cukup,dan (3) lingkungan sosial-budaya danekonomi yang sesuai (Soemarwoto,2004). Terpeliharanya proses ekologiyang essensial berarti terjaminnyaeksistensi bumi dengan sumber dayayang cukup dan potensial untuk dapatdigunakan dalam meningkatkan produk-tivitas kegiatan sosial-budaya dan ekono-mi masyarakat secara berkelanjutan.Keberlanjutan ekonomi berarti terusberkembangnya produktivitas kegiatanekonomi yang dicirikan oleh meningkat-nya mutu kehidupan dan kesejahteraanmasyarakat secara berkelanjutan.

Demi keberlanjutan ekonomi,seringkali sumber daya alam dan ling-

A R T I K E L

Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam mempertimbangkan dampak yang akan timbulakibat implementasi kebijakan adalah dengan mengembangkan pendekatan metode SEA (Strategic EnvironmentAssessment). Metode SEA atau KLHS merupakan proses yang sistematis dan komprehensif di dalam mengeva-luasi dampak lingkungan yang diperkirakan timbul dari suatu kebijakan, perencanaan atau program dan alternatif-alternatifnya. Hanya saja, penggunaan KLHS bersifat “voluntary” (sukarela/tidak wajib/tidak harus dilakukan),artinya pihak yang melakukan kajian KLHS ini secara sukarela untuk menjadikan KLHS sebagai intstrumendalam perumusan kebijakan untuk memperhatikan aspek keberlanjutan, lingkungan selain sosial dan ekonomi.Berdasarkan kasus di Kabupaten Pelalawan Propinsi Riau, aplikasi KLHS bagi pemerintah daerah cukup pentingkarena akan memberikan masukan bagi kebijakan pemerintah kabupaten seperti ; dalam bentuk apa dansejauhmana KRP diwujudkan menjadi kegiatan dan proyek; status dan kondisi lingkungan yang akan terjadi(setelah proyek dilaksanakan); dampak yang ditimbulkan oleh KRP atau proyek lain yang tidak menjadi kajian,daya dukung lingkungan dan perubahan teknologi, politik dan orientasi ekonomi di masa depan.

Kata kunci: Dampak Lingkungan, KLHS, Status lingkungan dan daya dukung

Page 38: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

37Leni Rosilyn, Kebijakan Pembangunan Daerah: Studi Kasus di Palalawan

kungan dilupakan. Kebijakan pengelola-an sumber daya alam dan implikasinyamenjadi isu yang serius untuk diamatikarena, sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 yangkemudian diganti dengan Undang-undangNomor 32 Tahun 2004 tentang Peme-rintah Daerah laju degradasi sumberdaya alam dan lingkungan semakin cepat.

Salah satu sumber daya alam yangmendapat ancaman adalah hutan, walau-pun dua abad terakhir para praktisikehutanan terus berupaya melaksanakanprinsip-prinsip kelestarian dalam penge-lolaan hutan. Realitas menunjukkanbahwa maraknya penggundulan hutan(degradation of forest) akibat perambahanmaupun penebangan liar menyebabkanterganggunya ekosistem hutan bahkansampai terbentuknya suatu padang pasir(desert of forest). Keadaan ini dikha-watirkan mengancam bahkan merusaksumber daya alam tersebut. Sebagaicontoh, Subandar (2004) menyatakanfakta di Provinsi Riau luas hutan me-nyusut 80% dalam 2 tahun sejak diberla-kukannya otonomi daerah yang menga-kibatkan banjir sangat parah dengankerugian Rp. 1,12 triliyun.

Menurut Elvida dan Sukadri (2002),prinsip pengelolaan hutan harus dise-suaikan dengan karakteristik hutantropis yang meliputi keterkaitan huludan hilir, keanekaragaman hayati sebagaistock product dan iptek. Pengelolaantidak semata-mata untuk meningkatkanpenerimaan daerah (termasuk PAD),tetapi dititikberatkan pada kewenanganpemerintah daerah untuk mengelolahutan dengan arif dan bijaksana. Selainpeningkatan produksi/ekonomi, hutan

harus dilihat sebagai penyangga kehi-dupan (ekosistem) yang mendukungkesejahteraan rakyat.

Kabupaten Pelalawan memiliki luas1.396.115 ha, dengan luas daratan1.292.264 ha, diantaranya berdasarkanrencana tata ruang wilayah (RTRW)seluas 994.299 ha (76,94%) merupakankawasan hutan konsesi. Kawasan hutandi luar konsesi seluas 297.965 ha(23,06%) berupa Taman Nasional (TN)Tesso Nilo yang berada di KabupatenPelalawan seluas 36.872 ha, SuakaMargasatwa (SM) 34.938 ha yang terbagiatas SM Kerumutan seluas 18.607 ha dansisanya merupakan SM Tasik Metas, SMTasik Belat, SM Tasik Serkap dan SMTasik Sarang Burung. Areal di luarkonsesi lainnya adalah hutan bakauseluas 8.567 ha. Areal lain yang terma-suk pada kategori di luar areal konsesiadalah lahan terbuka dan semak belukar.Adapun kondisi areal di luar konsesi inisecara umum terdiri atas areal transmi-grasi, kebun karet yang menjadi milikmasyarakat, semak belukar, perkebunankelapa sawit masyarakat, hutan sekunderdan kebun masyarakat (Tabel1).

Salah satu upaya memacu pertum-buhan ekonomi Kabupaten Pelalawanialah dengan pengolahan sumber dayaalam, berupa hutan dan pengembanganareal pertanian dan perkebunan denganmemanfaatkan areal hutan. Sejauh ini,pemanfaatan areal hutan telah dilakukansecara tidak terkendali dengan sistemtebang liar dan tanpa mengindahkanaturan tebang tanpa bakar (no burnpolicy) oleh pengusaha di bidang kehu-tanan. Ini akhirnya menyebabkan berba-gai kerusakan dan pencemaran, seperti

Page 39: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

38 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

polusi udara dan bencana banjir (RiauPos Online, 16 Maret 2006). Selamaperiode Juli – Agustus 2005 di Kabu-paten Pelalawan terdapat 309 titik api/hotspots (Eyes On The Forest, 2005).

Produk Domestik Regional Bruto(PDRB) Kabupaten Pelalawan sektorkehutanan dan perkebunan tahun 2006mencapai Rp.3,299,564.16 (40,43%) daritotal keseluruhan Rp.8,160,835.18 (BPSKabupaten Pelalawan, 2007). Setiaptahun pemerintah daerah mengupayakanagar PDRB sektor perkebunan dankehutanan mengalami peningkatan.Kebijakan pemerintah untuk menaikkanPDRB sektor kehutanan ini bisa berdam-pak negatif terhadap sumber daya hutandan lingkungan. Lebih-lebih hasil analisiscitra satelit menunjukkan bahwa ka-wasan yang memiliki izin pemanfaatanberada dalam kondisi areal tumpangtindih, di luar areal konsesi dan arealpengalihan fungsi kawasan (reskoring).(Dinas Kehutanan dan PT. Tiara KreasiUtama, 2007).

Berbagai perubahan kondisi hutanberdampak negatif terhadap kelestarianlingkungan dan hutan, dan seharusnya inisudah menjadi pertimbangan dalamperumusan kebijakan. Menurut Gillespiedan McNeill, (1992) dalam Sutton(1999), dampak terburuk terpisahnyakebijakan dan implementasinya adalahhilangnya tanggung jawab pembuatkebijakan terhadap hasil dari implemen-tasi kebijakan. Keterpisahan itu dapatmembuka pintu darurat (escape hatches),yaitu pembuat kebijakan bisa mengelakdari tanggungjawabnya terhadap imple-mentasi kebijakan yang dibuatnya.

Salah satu cara yang dapat dilakukanoleh pemerintah dalam mempertimbang-kan dampak yang akan timbul akibatimplementasi kebijakan adalah denganmengembangkan pendekatan metodeSEA (Strategic Environment Assessment).Metode SEA merupakan proses yangsistematis dan komprehensif di dalammengevaluasi dampak lingkungan yangdiperkirakan timbul dari suatu kebijakan,

Tabel 1. Distribusi total penggunaan lahan di Kabupaten Pelalawan

No Pemanfaatan Luas (Ha) %

1. Perusahaan Perkebunan Swasta 321.353 24.87

2. IUPHHK-HT 411.865 31.87

3. IUPHHK-HA 257.881 19.96

4. Hutan Rakyat 3.200 0.25

5. Areal di Luar Konsensi 297.965 23.06

Jumlah 1.292.264 100.00

Sumber: Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan dan PT. Tiara Kreasi Utama, 2007

Page 40: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

39Leni Rosilyn, Kebijakan Pembangunan Daerah: Studi Kasus di Palalawan

perencanaan atau program dan alter-natif-alternatifnya, termasuk persiapanlaporan tertulis atas temuan-temuanyang berguna untuk membuat keputusanpublik yang bertanggung jawab (Theriveland Partidario, 1996).

Kebijakan untuk menerapkan SEAtelah banyak ditempuh oleh banyaknegara di dunia, seperti di China untukpembangunan berbagai sektor (Xiuzhenet al., 2002), Taiwan pada sektor pari-wisata (Kuo et al., 2005) dan di Swediapada sektor energi (Nilsson et al., 2005).IUCN/Nepal (1995) dalam Therivel andPartidario (1996) menerangkan untuksektor kehutanan di Nepal, SEA diguna-kan untuk menyusun OFMP (OperationalForest Management Plan) karena mem-prediksi dampak negatif yang menjadikonsekuensi pembangunan dapat dihin-dari atau diminimalisasi dengan memper-timbangkan alternatif dan memilihtindakan penanganan yang tepat denganbiaya efektif.

Di Indonesia, Kementerian LingkunganHidup pada tahun 2004 mengadopsi SEAdengan nama KLS (Kajian LingkunganStrategis), namun karena persamaanistilah dengan Departemen Pertahananyang juga punya KLS untuk maksud yanglain maka pada tahun 2007 bergantinama menjadi KLHS (Kajian LingkunganHidup Strategis). Sementara BadanPerencanaan Pembangunan Nasionaljuga mengadopsi SEA dengan namaSNREA (Strategic Natural ResourcesEnvironment Assessment). Karena baruditerapkan, tidak mengherankan bilapenerapannya belum terlihat signifikanterhadap perumusan kebijakan. Padahalpendekatan yang digunakan dalam KLHS

bukanlah hal baru, banyak pendekatanyang bisa dilakukan pemerintah untukmelibatkan aspek lingkungan dalammerumuskan kebijakan, seperti pende-katan Analisis Biaya dan Manfaat.

Kondisi ini menimbulkan pertanyaanmengapa perumusan kebijakan belummengintegrasikan aspek lingkungan? Apapermasalahan aplikasi KLHS dalamperumusan kebijakan sektor kehutanandi Kabupaten Pelalawan ?

KERANGKA PEMIKIRAN

Tingkat kerusakan hutan tertinggi(sekitar 89 %) terjadi di hutan produksiyang dikelola oleh pemegang HPH(Kartodiardjo, 2003). Di KabupatenPelalawan terdapat industri pulp dankertas yang pemenuhan bahan bakunyaberasal dari hutan alam Pelalawan.Untuk memenuhi permintaan bahanbaku, industri ini telah memanfaatkanjutaan hektar hutan alam dan meng-konversi hutan tersebut menjadi perke-bunan akasia. Dalam dua tahun terakhir,APRIL (induk PT. Riau Andalan Pulp danPaper) sendiri telah mengkonversi 50ribu hutan alam di hutan gambut diKabupaten Pelalawan dan membuat jalanuntuk memasuki kawasan SemenanjungKampar (Noor, 2006).

Terkait hal di atas, kebijakan peme-rintah untuk konversi hutan atau mele-pas kawasan hutan menjadi kawasan nonhutan (perkebunan, pertanian danindustri) harus dipertimbangkan secarabijaksana, tidak hanya memikirkan aspekekonomi (keuntungan semata) tetapiharus memikirkan juga dampak negatifyang akan timbul. Disinilah potensi

Page 41: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

40 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

penerapan Kajian Lingkungan HidupStrategis (KLHS) dalam perumusankebijakan pembangunan.

Teknik KLHS didefinisikan sebagaiproses sistematis dan komprehensifdalam evaluasi dampak lingkungan yangdiprakirakan akan muncul akibat pelak-sanaan kebijakan, rencana atau program(KRP) yang dilakukan pada tahap awaldari proses pengambilan keputusankegiatan pembangunan selain pertim-bangan-pertimbangan ekonomi dansosial (Kementerian Lingkungan Hidup,2004).

Penelitian – penelitian denganpendekatan KLHS telah banyak mem-

berikan kontribusi dalam memahamibahwa setiap kegiatan pembangunansebagai implementasi suatu kebijakantidak selalu menimbulkan dampakpositif, namun bisa juga mengakibatkankerugian (dampak negatif) . Studi yangdilakukan Marzuki (2004) mengenai nilaiekonomi total hutan dalam wilayah PT.Newmont Nusa Tenggara di KabupatenSumbawa dengan luas 12.638,56 hektardiperkirakan sebesar Rp. 473,87 miliar/tahun (nilai terendah) sedangkan (nilaitertinggi) adalah sebesar Rp. 1.043triliun per tahun. Pendapatan pemerin-tah dan masyarakat dari PT. NNT tahun1997-2003 (secara keseluruhan) adalah

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian

Page 42: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

41Leni Rosilyn, Kebijakan Pembangunan Daerah: Studi Kasus di Palalawan

sebesar Rp. 2,278 triliun, kebijakanpengembangan industri pertambanganterbuka oleh PT. NNT dengan meng-konversi hutan lindung tidak layaksecara ekonomi.

Maturana (2004) menyatakan PT.Riau Andalan Pulp and Paper, peru-sahaan industri bubur kertas dan kertasyang teletak di Kabupaten Pelalawanmemiliki areal yang dapat dikonversiseluas 250.000 ha, mampu menghasilkannilai manfaat ekonomi (economic benefit)US$ 1,336,119,511, sementara nilaibiaya ekonomi (economic cost) US$3,547,376,172. Terlihat bahwa biaya-biaya ekonomi lebih tinggi dibandingkanmanfaat-manfaat ekonomi yang terkait.

Selanjutnya menurut Heleosi (2006),di Kabupaten Kutai Kartanegara (denganpendekatan KLHS dan Cost BenefitAnalysis) ternyata diketahui bahwaestimasi nilai ekonomi kebijakan pene-bangan hutan (dengan volume kayu hasilpenebangan 1.103.812,50 m3) selamalima tahun, menimbulkan kerusakanlingkungan sebesar Rp 14,023 trilyun,sedangkan manfaat yang diperoleh hanyasebesar Rp 6,516 trilyun. Hasil analisisbiaya manfaat kebijakan penebanganhutan secara kuantitatif menunjukkannilai kerugian ekonomi karena keru-sakan lingkungan lebih besar daripadamanfaat ekonomi yang diperoleh peme-rintah daerah.

Karenanya, untuk mengetahui sejauhmana aspek lingkungan diintegrasikandalam penyusunan kebijakan kehutanandi Kabupaten Pelalawan diperlukananalisis kebijakan terhadap produkkebijakan pemerintah daerah sektorkehutanan. Analisis ini meliputi aspek

kelembagaan dan aturan mainnya, dalamhal ini adalah bagaimana melibatkanaspek lingkungan dalam setiap kebijakansektor kehutanan.

KAJIAN LINGKUNGANHIDUP STRATEGIS

Perkembangan KLHS dimulai sejakadanya kekecewaan terhadap kapasitasEIA (Environmental Impact Assessment)dalam membantu pengambilan kepu-tusan. Dengan pertimbangan dan telahdibahas secara luas, ini disebabkan oleh(Partidario, 1999):1. Waktu pengambilan keputusan,

terutama pada hambatan kecil ditingkat kebijakan dan perencanaan,tambahan keputusan terjadi dalamkekosongan pendekatan kajiandampak yang sistematik, akan ber-pengaruh pada tahapan berikutnyayaitu pada rancangan dan peren-canaan proyek lingkungan.

2. Lingkup pengambilan keputusan.Kurangnya dasar dan ruang lingkupyang tidak jelas dari keputusankebijakan dan perencanaan me-rupakan faktor pembatas utamauntuk melaksanakan metode yangpragmatis dan teknologis sepertiEIA.

3. Tahapan informasi. Disadari bahwaproyek EIA membutuhan tingkataninformasi dan kepastian yang tidaktersedia dan tidak dapat diberikanbersamaaan pada tahapan kebijakandan perencanaan.

Urutan peristiwa yang mendorongmunculnya KLHS

Page 43: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

42 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

Tabel 2. Sejarah KLHS

Tahun Peristiwa

1969 The National Environmental Policy Act (NEPA) melalui KongresUS, memberi mandat pada para agen dan departemen pemerintahpusat untuk mempertimbangkan dan menilai efek proposalterhadap lingkungan untuk disahkan dan proyek utama lain.

1978 US Council for Environmental Quality (USCEQ) mengeluarkanperaturan untuk NEPA yang mana meminta USAID dan kebutuhanspesifik untuk penilaian program.

1989 Bank Dunia mengadopsi perintah internal (OD. 4.00) dalam EIAuntuk mempertimbangkan persiapan penilaian sektor dan regional

1990 European Economic Community mengeluarkan proposal yangpertama untuk petunjuk Penilaian lingkungan dari Kebijakan,Rencana dan Program

1991 UNECE Convention pada EIA dalam konteks menyeluruh mem-promosikan aplikasi EA untuk kebijakan, rencana dan program(diadopsi dari Espoo, Finlandia)

1991 The OECD Development Assistance Committee mengadopsiprinsip yang mengarah pada pengaturan spesifik untuk menganalisadan memonitor dampak lingkungan dari program bantuan ( OECD,1992)

1992 UNDP memperkenalkan peninjauan lingkungan sebagai alatperencanaan (UNDP, 1992)

1997 The European Commission mengeluarkan proposal CouncilDirective untuk menilai efek dari rencana dan program terhadaplingkungan (European Commission, 1997)

Sumber: Partidario (2000)

Page 44: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

43Leni Rosilyn, Kebijakan Pembangunan Daerah: Studi Kasus di Palalawan

Namun, kebutuhan akan KLHS tidakhanya karena kelemahan EIA. PenggagasKLHS mendesak agar KLHS sebagaiinstrumen untuk memperkenalkankepekaan lingkungan dan menginte-grasikannya dalam kebijakan, rencanadan program. Peran KLHS di sini adalahsebagai penentu untuk memperkenalkanprinsip pembangunan berkelanjutan danmenggunakannya untuk pertimbanganefek kumulatif yang lebih baik.

Definisi KLHSAda dua definisi KLHS yang lazim

dilaksanakan dalam studi KLHS, yaitudefinisi yang menekankan pada pende-katan evaluasi dampak lingkungan (EIA-driven) dan pendekatan keberlanjutan(sustainability-driven). Definisi pertama,menempatkan KLHS pada posisi menge-valuasi dampak lingkungan dari suatukebijakan, rencana atau program pem-bangunan, seperti tertuang dalam definisiberikut (Sadler dan Verheem, 1996):“KLHS adalah proses sistematis untukmenjamin bahwa konsekuensi ataudampak lingkungan akibat suatu usulankebijakan, rencana atau program telahdipertimbangkan dan dievaluasi sedinimungkin dalam proses pengambilankeputusan, paralel dengan pertimbangansosial dan ekonomi”.

Sedangkan definisi kedua lebihmenekankan pada keberlanjutan penge-lolaan sumberdaya seperti tertuangdalam definisi berikut: “Merupakanproses untuk mengintegrasikan pertim-bangan lingkungan dalam pengambilankeputusan pada tahap kebijakan, rencanaatau program, untuk menjamin prinsipkeberlanjutan sedini mungkin”.

Berdasarkan kedua definisi tersebutserta mempertimbangkan kesesuaiandengan kebutuhan instrumen pengelolaanlingkungan di Indonesia, maka definisiKLHS yang digunakan di Indonesia adalahproses sistematis dan komprehensifuntuk mengevaluasi dampak lingkungandengan mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi serta prinsip-prinsip keber-lanjutan dari usulan kebijakan, rencanaatau program pembangunan.

Prinsip pokok yang harus menjadipertimbangan dalam melakukan KajianLingkungan Hidup Strategis, menurutKementerian Lingkungan Hidup (2004):1. Aplikasi KLHS harus menjadi bagian

tidak terpisahkan dari keseluruhanproses dan kaidah-kaidah pem-bangunan berkelanjutan.

2. Teknik KLHS diaplikasikan terhadapkebijakan, rencana atau program(KRP) secara terpisah atau kombinasidari ketiganya. Analisis pertim-bangan-pertimbangan lingkunganharus diintegrasikan secara penuhdan pada tahap awal dari prosesperumusan KRP.

3. Teknik KLHS diaplikasikan padatingkat konsep dan bukan padaaktivitas fisik (lokasi dan rancangbangun) tertentu yang lazimnyamenjadi domain studi AMDAL.

4. Salah satu aspek kajian dalam melak-sanakan KLHS adalah melakukanevaluasi dan membandingkan dampaklingkungan dari berbagai alternatifpilihan KRP yang menjadi kajian.

5. Dalam suatu proses pengambilankeputusan pembangunan, KLHSseharusnya menjadi bagian daripertanggungjawaban publik.

Page 45: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

44 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

6. Pendekatan pelaksanaannya bersifatekosistemik, yang berlandaskan padaprinsip eko-efisiensi dan pemba-ngunan berwawasan lingkungan.

7. Pelibatan seluruh stakeholders yangmeliputi instansi pemerintah terkait,legislatif, perguruan tinggi, lembagaswadaya masyarakat termasuklembaga adat, dan sektor swastaterkait. Teknis pelaksanaannyadilakukan secara partisipatif, antaralain, melalui diskusi kelompokterarah (focused group discussion) danmulti criteria decision making (contoh:metode Analytical Hierarky Process).

8. Tidak menghambat pelaksanaaninvestasi di daerah.

9. Difokuskan pada dampak tidaklangsung, dampak kumulatif, dandampak sinergistik, baik pada tingkatlokal, regional, nasional, dan global.

Pendekatan yang digunakan dalampenerapan KLHS akan berbeda padasetiap negara, baik dari segi metodologimaupun implikasinya. MenurutKementerian Lingkungan Hidup (2004),beberapa pendekatan KLHS yang ditem-puh di berbagai negara dapat disajikansecara ringkas, sebagai berikut:1. Pendekatan KLHS secara formal

(formal SEA), menyerupai metodologiAMDAL dengan memasukkan per-timbangan dan disusun dalam sebuahlaporan untuk dijadikan sebagai dasarpengambilan keputusan. Di negaraAmerika Serikat, Belanda, danSelandia Baru formal SEA diimple-mentasikan dalam peraturan.

2. Penilaian Lingkungan (EnvironmentalAppraisal), umumnya dibatasi pada

isu-isu yang berkaitan dengan badanyang bertanggung jawab terhadappelaksanaan kegiatan. Pendekatan inibiasanya tidak dilengkapi laporanimplikasi lingkungan, kurang siste-matis, dan umumnya tidak disertaidiskusi dengan instansi lain maupunmasyarakat.

3. Penilaian Analisis Biaya Manfaat (Costbenefit Appraisal), difokuskan untukmengurangi biaya (ekonomi danlingkungan) dan meningkatkankeuntungan atas kegiatan-kegiatanyang strategic. Penyusunan formalSEA dilakukan secara komprehensif.

4. Pendekatan Proyek yang dimodifikasi(Modified Project SEA), menggunakanmetodologi AMDAL dan digunakanuntuk kajian terhadap programsebagai dasar penyusunan rencanaproyek.

5. Pendekatan yang lebih mengarahpada rasionalisasi KRP, dimanaprinsip-prinsip kajian lingkungancenderung dirancang dalam bentukkebijakan-kebijakan dan rencana-rencana melalui identifikasi kebu-tuhan dan pilihan untuk pemba-ngunan yang berkelanjutan.

6. Pendekatan ekosistemik, menekan-kan pentingnya menempatkan obyekkajian dalam konteks keterkaitandengan sistem lain yang lebih besar.

Tahapan KLHSKerangka kerja dan metodologi

KLHS diuraikan dalam tahapan sebagaiberikut (KLH, 2008):1. Penyaringan, tahapan ini dlakukan

untuk mengetahui apakah diperlukanstudi KLHS. Kegiatan pada tahapan

Page 46: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

45Leni Rosilyn, Kebijakan Pembangunan Daerah: Studi Kasus di Palalawan

ini meliputi : menentukan konteksdan data dasar, kontekskelembagaan, isu-isu permasalahanlingkungan hidup, keterkaitan KRPdengan persoalan lingkungan hidup,tujuan dan fokus KLHS.

2. Pelingkupan, tahapan ini dilakukanuntuk mengetahui ruang lingkupKLHS melalui studi data dasar, isu-isu keberlanjutan pembangunan,sasaran KLHS dan sasaran KRP.

3. Alternatif KRP, pada tahapan inidilakukan perumusan tujuan/sasaranKRP, identifikasi dan perbandinganalternative KRP, analisis KRP danalternatifnya, KRP lain yang relevan,analisis system (bisa dengan sistempemodelan, teknik-ekonomik).

4. Analisis Lingkungan (Evaluasi danValuasi Dampak KRP), dilakukandengan: (a) interpretasi data;(b) evaluasi dan prakiraan dampakKRP; (c) memfokuskan pada dampaktidak langsung, kumulatif, dan siner-gistik; (d) analisis: multi-kriteria,ketidakpastian, dan pembobotan;(e) mitigasi dampak.

5. Alternatif KRP dan PengambilanKeputusan, bagian dari tahapan iniadalah: (a) proses dan mekanismepengambilan keputusan; (b) keter-libatan publik dan stakeholders lain;(c) argumentasi pengambilan kepu-tusan. Bisa dengan metode analisismulti-kriteria, survei publik, valuasiekonomi, efektivitas biaya, analisisbiaya-manfaat.

6. Rencana Pemantauan dan Penge-lolaan KRP, yang dilakukan padatahapan ini adalah: (a) implementasimitigasi dampak; (b) perbaikan KRP;

(c) tindaklanjut pengelolaan dampakKRP melalui pembentukan SistemPengelolaan Lingkungan Hidup Adaptif.

ELEMEN PENTINGDALAM KLHS

Menurut KLH (2008), elemen pen-ting dalam KLHS adalah: sesuai kebu-tuhan (fit for the purpose), berorientasipada tujuan (objective-led oriented),didorong motif keberlanjutan(sustainability-driven), ruang lingkupkomprehensif (comprehensive scope),relevan dengan pengambilan keputusan(decision-relevant), terpadu (integrated),transparan (transparent), partisipatif(participative), dapat dipertanggung-jawabkan (accountable), efektif dalampembiayaan (cost-effective).

Secara substansial, KLHS merupakanupaya sistematis dan logis dalam mem-berikan landasan bagi terwujudnyapembangunan berkelanjutan melaluiproses pengambilan keputusan yangtelah mempertimbangkan aspek ling-kungan secara lebih proporsional selainaspek ekonomi dan sosial.

Menurut Sheate et al., (2001), kuncikeberhasilan aplikasi KLHS adalahsebagai berikut:1. Memerlukan proses transparan,

pertimbangan lingkungan terhadapkebijakan, rencana dan program yangstrategis.

2. Menilai dampak kebijakan denganmemberi pilihan alternatif yang terbaik.

3. Pertikaian antar stakeholders, pem-buat keputusan dan publik dibenahi.

4. Memerlukan proses sistematik,membenahi kekurangan antara

Page 47: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

46 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

institusi dalam kerangka kerjabersama.

5. Diatur oleh peraturan perundangan.6. Data dan informasi yang baik.7. Ada badan independen untuk menilai

dan dapat dipertanggungjawabkan.8. Integrasi dimulai dari awal sampai

akhir dan sebagai katalisator

pembangunan sebagai panduan danpelatihan.

9. Secara aktif, partisipatif dan prosespendidikan bagi semua kelompok,stakeholders mampu mengambilkeputusan yang mampumeningkatkan kesadaran untukdimensi strategis (KRP).

Sumber : Partidario (1995) dalam KLH (2004)

Tabel 3. Prosedur dan metodologi pelaksanaan KLHS di beberapa negara

Page 48: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

47Leni Rosilyn, Kebijakan Pembangunan Daerah: Studi Kasus di Palalawan

10. Berkelanjutan dan proses belajardimana pengambilan keputusan yangselama ini di perbaharui dengankonsekuensi untuk mengimple-mentasi KLHS.

11. Tergantung pada kualitas dan kete-patan yang tinggi dalam aplikasimetode penilaian, kualitatif dankuantitatif

Implementasi KLHSChaker et al., (2005) menyatakan

untuk mengimplementasikan KLHS adabanyak cara, tergantung pada keadaan,termasuk peraturan dan perundang-undangan dan penyelenggaraan peme-rintah yang ada. Selanjutnya untukmengimplementasikan KLHS dibutuhkanpelatihan dan peningkatan kapasitas(capacity building).

Di Cina, implementasi KLHS padatahap kebijakan, rencana dan programsudah terlihat di berbagai sektor pem-bangunan. Konsep KLHS sudah diadopsilebih dari 10 tahun untuk mendukungpengambilan keputusan di level kebi-jakan, antara lain: Strategi Energi Daerah(Strategi Propinsi Shanxi untuk IndustriBatu Bara dan Listrik), Kebijakan Pe-ngembangan Industri Automobil, Peren-canaan Wilayah Pantai Timur Xiamendan Pencegahan dan PengendalianPencemaran Udara di RRC. Oleh karenaitu, KLHS secepatnya akan diatur denganperaturan perundangan di China(Xiuzhen et al., 2002).

Penerapan KLHS berikutnya adalahsebagai alat pendukung perencanaan diMalaysia yang masih pada tahap per-siapan. Di Malaysia KLHS digunakanuntuk mengidentifikasi berbagai dampak

lingkungan dari kebijakan, rencana danprogram, yang berhubungan denganRencana Pembangunan Nasional untukmendukung program pembangunanberkelanjutan (Briffett et al., 2003).

Kabupaten PelalawanKabupaten Pelalawan memiliki luas

1.396.115 Ha, dengan luas daratan1.299.264 Ha, diantaranya berdasarkanrencana tata ruang wilayah (RTRW)seluas 994,299 Ha (76,94%) merupakankawasan hutan konsesi. Areal di luarkonsesi seluas 297,965 Ha (23,06%)berupa Taman Nasional (TN) TessoNilo yang berada di Kabupaten Pela-lawan seluas 36.872 Ha, SuakaMargasatwa (SM) Kerumutan seluas18.607 Ha dan Suaka Margasatwa (SM)Tasik Besar-Tasik Metas dan TasikSerkap-Tasik Sarang Burung seluas16.031 Ha. Areal di luar konsesi lainnyaadalah hutan bakau seluas 8.567 Ha.Areal lain yang termasuk pada kategoridi luar areal konsesi adalah lahan ter-buka dan semak belukar. Adapun kon-disi areal di luar konsesi ini secaraumum terdiri atas areal transmigrasi,kebun karet yang menjadi milik masya-rakat, semak belukar, perkebunankelapa sawit masyarakat, hutan sekunderdan kebun masyarakat (Dinas Kehutanandan PT. Tiara Kreasi Utama, 2007).Dalam Rencana Pembangunan JangkaMenengah (RPJM) Tahun 2006-2010Kabupaten Pelalawan, arah kebijakankehutanan telah ditetapkan sebagaiberikut:1. Penyediaan data base dan rencana

mikro kehutanan serta mendorongupaya penataan kawasan hutan sesuai

Page 49: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

48 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

dengan kondisi dan peruntukannya,sehingga dapat dioptimalkan peman-faatan hutan dan menjamin keles-tarian hutan.

2. Peningkatan mutu dan produktivitassumberdaya hutan serta mengopti-malkan fungsi hutan sesuai denganfungsi peruntukannya.

3. Peningkatan dan mengoptimalkanpenyelenggaraan konservasi sumber-daya alam hayati dan ekosistem.

4. Peningkatan pemberdayaan potensisumberdaya manusia masyarakatbeserta keluarga untuk dapat me-ningkatkan keterampilan dan kese-jahteraan masyarakat.

5. Optimalisasi pengelolaan hutanproduksi yang kurang produktif danpengembangan hutan rakyat.

6. Revitalisasi potensi kawasan hutanmenurut fungsinya dalam mem-bangun ekonomi masyarakat disekitar dan dalam hutan, sebagai satukesatuan sistem dan manajemen yangberkelanjutan pada setiap jeniskawasan hutan.

Realisasi dari arah kebijakan itu,Pemerintah Daerah Kabupaten Pela-lawan menyusun program-programpemantapan kawasan hutan, prakondisipengelolaan hutan, rehabilitasi danreboisasi hutan, pembangunan hutankota, keamanan hutan, pemberdayaanmasyarakat, pengembangan hutan rakyat,pengembangan aneka usaha kehutanan,optimalisasi pemanfaatan hutan danprogram industry agroforestri dengankemampuan hutan alam dan HTI sebagaibahan baku, melalui pemulihan fungsikawasan hutan.

Kebijakan pembangunan daerahuntuk sektor kehutanan yang dikajidalam penelitian ini dibatasi pada kebi-jakan pemberian izin pengusahaan hutanyaitu Hutan Tanaman Industri (HTI),yang kemudian berganti nama menjadiIzin Usaha Pemanfaatan Hasil HutanKayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT). Kebijakan HTI/IUPHHK-HT ialahkebijakan nasional yang operasionalnyadimulai dengan:1. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun

1990 tentang Hak PengusahaanHutan Tanaman Industri;

2. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun1999 tentang Pengusahaan Hutan danPemungutan Hasil Hutan pada HutanProduksi;

3. Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun2002 tentang Tata Hutan dan Penyu-sunan Rencana Pengelolaan Hutan,Pemanfaatan Hutan dan PenggunaanKawasan Hutan;

4. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun2007 tentang Tata Hutan dan Pe-nyusunan Rencana PengelolaanHutan, serta Pemanfaatan Hutan;

5. Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun2008 tentang Perubahan Atas Pera-turan Pemerintah Nomor 6 Tahun2007 tentang Tata Hutan dan Penyu-sunan Rencana Pengelolaan Hutan,serta Pemanfaatan Hutan.

Dari lima peraturan pemerintah iniyang akan dikaji adalah 2 peraturanpemerintah pada periode PP No. 6/1999dan PP No. 34/2002. Kedua peraturanpemerintah ini dipilih karena memilikiperbedaan dalam wewenang pemberianizin HTI/IUPHHK-HT.

Page 50: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

49Leni Rosilyn, Kebijakan Pembangunan Daerah: Studi Kasus di Palalawan

Permasalahan kebijakan kehutanan diKabupaten Pelalawan dimulai daritahapan perencanaan pembangunandaerah. Sebelum dimekarkan menjadikabupaten baru, kondisi kabupaten inimemang sangat tertinggal dan bisadijadikan contoh ketidakmerataanpembangunan nasional. Karenanyabanyak yang harus dilakukan PemerintahKabupaten Pelalawan untuk mengejarberbagai ketinggalan pembangunan.

Pemerintah mulai menyusun kebi-jakan pembangunan daerah yang dimulaidengan penyusunan RTRW Kabupaten.Sebagai bagian dari Propinsi Riau, untukpengelolaan kawasan hutan seharusnyamengacu pada Tata Guna Hutan Kese-pakatan (TGHK) dan RTRW PropinsiRiau. Namun ternyata overlay antarakedua peta ini menunjukkan adanyaperbedaan pembagian kawasan hutan(Gambar 9). Sampai sekarang memangbelum ada peta padu serasi antara keduapeta ini. Diantara permasalahan-perma-salahan yang akan ditangani secepatnyaoleh Menteri Kehutanan dalam 5 tahunkepemimpinannya termasuk adalahpenyelesaian paduserasi RTRWP-TGHKProvinsi Sumatera Utara, Provinsi Riaudan Provinsi Kalimantan Tengah.

Sebaran hutan berdasarkan TataGuna Hutan Kesepakatan (TGHK)membagi kawasan hutan menjadi bebe-rapa fungsi yaitu Hutan Produksi (HP),Hutan Produksi Terbatas (HPT), HutanProduksi Konversi (HPK), Areal Peng-gunaan Lain (APL) dan Hutan SuakaAlam dan Wisata (HSAW). Pembagianfungsi hutan tersebut berdasarkan padakriteria kelerengan, curah hujan danjenis tanah.

Sedangkan pembagian kawasan hutandengan RTRW berdasarkan PP Nomor47 tahun 1997 tentang Rencana TataRuang Wilayah Nasional terdiri atasHutan produksi (HP)/kawasan budidayakehutanan, Hutan bakau (HB), Kawasanlindung setempat (KLS), Suaka Mar-gasatwa (SM) dan Buffer zone (Buffer).Pembagian ini merupakan pembagianberdasarkan pemanfaatan kawasan,sehingga terminologi yang digunakanpun akan berbeda dengan terminologidalam TGHK.

Penyusunan RTRWK seharusnyajuga mengacu pada RTRWP, namundilihat dari peta (Gambar 10), terjaditumpang tindih kawasan. Untuk kasus inidilihat dari peruntukan kawasan lindungdan hutan produksi. Areal pada RTRWPropinsi yang merupakan kawasanlindung namun pada RTRW KabupatenPelalawan ternyata merupakan HutanProduksi. Menurut UU No. 24 Tahun1992 tentang Penataan Ruang Pasal 22ayat (1) Rencana Tata Ruang WilayahKabupaten/Kotamadya Daerah TingkatII merupakan penjabaran Rencana TataRuang Wilayah Propinsi Daerah TingkatI ke dalam strategi pelaksanaanpemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kotamadya daerah tingkat II, yangmeliputi:a. Tujuan pemanfaatan ruang wilayah

kabupaten/kotamadya daerah tingkatII untuk peningkatan kesejahteraanmasyarakat dan pertahanankeamanan;

b. Rencana struktur dan polapemanfaatan ruang wilayahkabupaten/kotamadya daerah tingkatII;

Page 51: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

50 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

c. Rencana umum tata ruang wilayahkabupaten/kotamadya daerah tingkatII;

d. Pedoman pengendalian pemanfaatanruang wilayah kabupaten/kotamadyadaerah tingkat II.

Berkaitan dengan perizinan peman-faatan hutan (IUPHHK-HT), maka harus

dibenahi dulu acuan bagi perizinantersebut, karena menurut Pasal 21 ayat(3) Rencana Tata Ruang wilayah propinsidaerah tingkat I menjadi pedoman untuk:poin d. penataan ruang wilayah kabu-paten/kotamadya daerah tingkat II yangmerupakan dasar dalam pengawasanterhadap perizinan lokasi pem-bangunan.

Tabel 4 Peraturan perundangan daerah dengan konsiderannya

Page 52: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

51Leni Rosilyn, Kebijakan Pembangunan Daerah: Studi Kasus di Palalawan

Untuk perizinan ini, menurut mantanKasubdin. Perencanaan Dinas Kehu-tanan Kabupaten Pelalawan menyatakan“Bahwa kita belum pernah melaksa-nakan perizinan ini sebelumnya dantidak ada sosialisasi sehingga pertim-bangan teknis yang dibuat pada waktu ituhanya 1 lembar kertas saja.” Ditam-bahkan lagi “bahwa dasar perizinanadalah RTRWK, sementara RTRWKyang ada dibuat hanya berdasarkankesepakatan, bukan penelitian dan tidakmelibatkan instansi pemerintah dan nonpemerintah terkait lingkungan dalampenyusunannya”.

STUDI KASUS

Studi kasus yang akan dibahas padabagian ini adalah prosedur perizinan

dalam hubungan dengan integrasi ling-kungan pada 2 perusahaan, yaitu: PT.Selaras Abadi Utama dan PT. Madukoro.Dua perusahaan ini dipilih karena terda-pat inkonsistensi dengan peraturanperundangan yang mengatur tentangIUPHHK-HT.

PT. Selaras Abadi UtamaMendapat izin pengusahaan hutan

pada tanggal 30 Desember 2002, SK No.522.21/IUPHHKHT/XII/2002/005dengan luas 13.600 ha. Wewenangbupati memberikan izin berdasarkanKeputusan Menteri Kehutanan Nomor:10.1/Kpts-II/2000 tentang PedomanPemberian Izin Usaha Pemanfaatan HasilHutan Kayu Hutan Tanaman. Perizinantersebut dikeluarkan setelah keluarnyaPeraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun

Sumber : Olahan, 2008

Tabel 5 Alur Perizinan 2 (dua) Perusahaan

Page 53: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

52 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

2002, tanggal 8 Juni 2002 tentang TataHutan dan RPH Pemanfaatan Hutan danPenggunaan Kawasan Hutan. Pada pasal42, bahwa izin usaha pemanfaatan hasilhutan kayu pada hutan alam atau izinusaha pemanfaatan hasil hutan kayu padahutan tanaman diberikan oleh menteriberdasarkan rekomendasi bupati atauwalikota dan gubernur.

Namun Pasal 99 poin c dari PP inidisebutkan bahwa terhadap permohonanHPH kayu pada hutan alam dan hutantanaman baik untuk perpanjangan mau-pun permohonan baru, yang sudahsampai pada tingkat persetujuan prinsip,proses penyelesaiannya dengan carapengajuan permohonan. Izin prinsip PT.SAU telah dikeluarkan pada tanggal 12Juli 2001 dengan Keputusan BupatiPelalawan Nomor: 522.21/Dishut-PR/10/VII/2001/02.

Surat Menteri Kehutanan No. SE.02/Menhut-II/2004 tanggal 11 Agustus 2004tentang IUPHHK-HT poin 3 IUPHHK-HT yang diterbitkan oleh Gubernur,Bupati/Walikota sebelum 5 Februari2003, dapat diakui dan dilayani adminis-trasinya, apabila memenuhi persyaratan:

a. Areal IUPHHK-HT berada padahutan produksi yang tidak dibebanihak izin lainnya (tidak tumpang tindihhak/izin);

b. Kondisi dan potensi hutan sesuaidengan kriteria areal hutan tanamansebagaimana ditetapkan dalamKeputusan Menteri KehutananNomor 10.1/Kpts-II/2000 tanggal 6Nopember 2000 tentang PedomanPemberian IUPHHK-HT;

c. Telah melunasi kewajiban iuran izinusaha pemanfaatan hutan;

d. Jenis komoditas tanaman yang akanditanam adalah jenis tanaman hutan.

Terhadap izin PT. SAU ini MenteriKehutanan juga mengeluarkan surat No.S.382/Menhut-IV/2004 tanggal 28 Sep-tember 2004 yang menyatakan bahwasecara yuridis Keputusan bupati tersebuttelah memenuhi persyaratan dan sesuaidengan peraturan perundang-undanganyang berlaku. Izin untuk PT. SAU sahsecara hukum dan administrasi.

Tapi dari segi perlindungan dankelestarian lingkungan, izin yang dike-luarkan bertentangan dengan:

Tabel 6. Rencana Kerja Tahunan (RKT) IUPHHKHT atau HTI yang dikeluarkan

1 CV. Bhakti Praja Mulia 522.21/IUPHHKHT/I/2003/011 5,8 3,7 572,38

2 PT. Selaras Abadi Utama 522.21/IUPHHKHT/XII/2002/005 13,6 10,3 923,53

3 PT. Rimba Mutiara Permai 522.21/IUPHHKHT/I/2003/008 9,0 800 37,65

4 PT. Mitra Taninusa Sejati 522.21/IUPHHKHT/I/2003/009 7,3 1,7 128,50

5 PT. Merbau Pelalawan Lestari 522.21/IUPHHKHT/XII/2002/004 5,6 2,6 179,74

6 PT. Putri Lindung Bulan 522.21/IUPHHKHT/I/2003/005 2,5 1,9 159,07

Total 43,8 21,01 2,000,86

Sumber: PT. Tiara Kreasi Utama bekerjasama dengan Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan 2007

Page 54: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

53Leni Rosilyn, Kebijakan Pembangunan Daerah: Studi Kasus di Palalawan

1. SK Menhut 10.1/Kpts-II/2000 danLampiran Keputusan Menteri Kehu-tanan Nomor : 21/Kpts-Ii/2001,Tentang Kriteria Dan Standar IzinUsaha Pemanfaatan Hasil HutanKayu Hutan Tanaman Pada HutanProduksi karena masih tingginyapotensi kayu (Tabel 5).

2. Tentang target tebangan yang ada diRKT yang melebihi ketentuan jugaberbeda dengan PP 34/2002 Pasal 30ayat (1) bahwa usaha pemanfaatanhasil hutan kayu dan atau bukan kayupada hutan tanaman sebagaimanadimaksud dalam Pasal 28 huruf bmeliputi kegiatan penyiapan lahan,pembibitan, penanaman, pemeli-haraan, pengamanan, pemanenanatau penebangan hasil, pengolahandan pemasaran.

3. PP 34/2002 Pasal 30 ayat (3) Usahapemanfaatan hasil hutan pada hutantanaman, dilaksanakan pada lahankosong, padang alang-alang dan atausemak belukar dihutan produksi.

4. Keputusan Presiden Nomor 32/1990tentang Pengelolaan KawasanLindung, izin diberikan di atas lahangambut dengan kedalaman lebih dari3m, berada di sempadan SungaiKampar dan 1,384 Ha kawasanmerupakan buffer zone Suaka Marga-satwa Kerumutan. (Gambar 11 danTabel 16 )

5. Ada sanksi dalam UU No. 24/1992tentang Penataan Ruang pasal 26 (1)bahwa izin pemanfaatan ruang yangtidak sesuai dengan rencana tataruang wilayah kabupaten/kotamadyadaerah tingkat II yang ditetapkanberdasarkan undang-undang inidinyatakan batal oleh Kepala Daerahyang bersangkutan. Karena data dariDinas Kehutanan Kabupaten Pela-lawan kerjasama dengan PT. TiaraKreasi Utama (2007) bahwa (Tabel16 dan Tabel 18) terdapat peng-gunaan kawasan di kawasan buffersuaka margasatwa (1.384 Ha) dan dikawasan Non Kehutanan (14,195 Ha).

Tabel 7. Distribusi penggunaan kawasan bufferSM untuk IUPHHKHT di Kabupaten Pelalawan

No. Nama Perusahaan Buffer SM(Ha)

1 PT. Selaras Abadi Utama 1,384

2 Perusahaan lainnya 6,292

Total 7,676

Sumber : PT. Tiara Kreasi Utama Kerjasama denganDinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan, 2007

Page 55: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

54 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

WALHI Riau melalui LembagaKajian Hukum dan Demokrasi (LKHD)pernah menggugat izin yang dikeluarkanbupati untuk PT. SAU di Pengadilan TataUsaha Negara (PTUN). Pada persi-dangan di PTUN Pekanbaru pada tanggal27 Juli 2006, gugatan LKHD tidak dite-rima karena:1. Maksud dan tujuan organisasi peng-

gugat bukan untuk pelestarian fungsihutan dan tidak ada bukti keterli-batan organisasi ini dalam hal ling-kungan dan pelestarian fungsi hutan.

2. Gugatan dianggap prematur, karenaPT. SAU dalam proses verifikasi olehDeparteman Kehutanan.

PT. Madukoro1. Merupakan perusahaan mitra PT.

RAPP, melalui izin dari Bupati Pela-lawan IUPHHK-HT Nomor 522.1/Dishut/2001/675, tanggal 11 Septem-ber 2001. Luas area konsesi 15.000ha. Sama nasibnya dengan perizinan

lain yang diterbitkan sejak tanggal 1Januari 2001 sampai dengan tanggal 4Februari 2003 harus dilakukanverifikasi oleh Departemen Kehu-tanan sesuai Permenhut No. P.03/Menhut-II/2005 tentang PedomanVerifikasi Izin Usaha PemanfaatanHasil Hutan Kayu Hutan Tanamanyang Diterbitkan oleh Gubernur atauBupati/Walikota, tanggal 18 Januari2005.

2. Nota Dinas Direktur Jenderal BinaProduksi Kehutanan No. ND.130/VI-BPHT/2006 tanggal 13 Juni 2006ditujukan kepada Menteri Kehu-tanan, perihal Telaahan DispensasiRKT tahun 2006 terhadap 11(sebelas) perusahaan mitra PT.RAPP, salah satunya adalah PT.Madukoro yang dalam proses verifi-kasi dan belum mendapat persetu-juan dari Menteri Kehutanan.

3. Surat Menteri Kehutanan 17 Juli2006 hanya menyetujui 8 dari 11

Tabel 8. Target produksi di areal land clearing penyiapan lahan penanaman(hutan alam) An. PT. Madukoro seluas 4.908 Ha.

Sumber : Lampiran SK Kadishut Prop. Riau No. Kpts/522.2/PK/2520

Page 56: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

55Leni Rosilyn, Kebijakan Pembangunan Daerah: Studi Kasus di Palalawan

perusahaan HTI yang dikeluarkanoleh bupati yang dapat diberikan izinpenebangan. Terdapat 3 perusahaanyang belum mendapat verifikasi dandiindikasikan tumpang tindih denganizin pemanfaatan lainnya. Olehkarenanya tidak dapat diberikanpelayanan pengakuan administrasiseperti izin penebangan. Ketigaperusahaan tersebut adalah PT.Triomas FDI, PT. Madukoro dan PT.Uniseraya.

4. Namun kepala Dinas Propinsi Riaumengeluarkan izin penebangan(RKT) terhadap PT.Madukoro pada10 Juli 2006, ini bertentangan dengan2 surat sebelumnya (surat dalam poin2 dan 3).

Kondisi areal konsesi PT. Madukorobertentangan dengan:1. SK Menhut No. 10.1/Kpts-II/2000

dan Lampiran Keputusan MenteriKehutanan No. 21/Kpts-Ii/2001,Tentang Kriteria Dan Standar Izin

Usaha Pemanfaatan Hasil HutanKayu Hutan Tanaman Pada HutanProduksi karena masih tingginyapotensi kayu (Tabel 17).

2. Keputusan Presiden Nomor 32/1990tentang Pengelolaan Kawasan Lin-dung, karena izin diberikan di ataslahan gambut dengan kedalamanlebih dari 3m dan berada di sem-padan Sungai Kampar (Gambar 2).

Ada sanksi di UU No. 24/1997 untukizin pemanfaatan ruang yang tidak sesuaidengan RTRWK. Bahwa IUPHHK-HTyang diberikan berada di kawasan NonKehutanan sebesar 1,821 Ha (Tabel 8).

Berbeda dengan PT. SAU yangmemiliki keabsahan izin secara adminis-trasi, PT. Madukoro bukan hanya darisegi perlindungan dan kelestarian ling-kungan, namun dari segi proses per-izinan juga memiliki kelemahan. ArealPT. Madukoro merupakan bekas HPHPT. Yos Raya Timber, yang menjadialasan Departemen Kehutanan tidak

Tabel 9. Distribusi penggunaan kawasan non kehutanan untuk IUPHHKHT diKabupaten Pelalawan

No. Nama Perusahaan Kawasan Non Kehutanan (Ha)

1. PT. Madukoro 1,821

2. PT. Selaras Abadi Utama 14,195

3. Perusahaan lainnya 35,960

Total 51,976

Sumber:PT. Tiara Kreasi Utama Kerjasama dengan Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan, 2007

Page 57: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

56 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

meloloskan verifikasi. Namun PT.Madukoro tetap beroperasi sehinggaPolda Riau melakukan penyitaan kayudan penangkapan supir truk pengangkatkayu milik PT. Madukoro. Supir trukdibebaskan dan namun kayu dilelang.Sampai sekarang di Kabupaten Pela-lawan masih terjadi berbagai kegiataneksploitasi sumberdaya hutan, terlihatdari ditemukannya kayu yang ditimbundalam tanah. Selain itu juga terjadikekerasan antara pihak polisi dan kar-yawan PT. RAPP.

Kejadian tersebut menambah daftarisu kerusakan lingkungan dan hutan yangada di Kabupaten Pelalawan. Dari hasilwawancara mendalam terhadap stake-holders didapat informasi tentang pen-dapat stakeholders terhadap integrasilingkungan dalam perumusan kebijakankehutanan di Kabupaten Pelalawan.Hasil wawancara terhadap stakeholders,tidak saja menjawab pertanyaan siapamereka, tapi juga sifat hubungan stake-holders tersebut dengan persoalan yangdihadapi. Sehingga bisa ditemukanstakeholders yang tepat dan relevandalam pengambilan keputusan.

Dari sekian banyak program dankegiatan bidang kehutanan, sebenarnyaada beberapa poin yang sesuai denganKLHS, yaitu pada tahapan pengumpulandata dasar (peta, sistem informasi,rekalkulasi sumberdaya hutan danpelibatan publik) Tahapan berkutnyadalam penyusunan Pola Dasar Pem-bangunan yang disahkan dengan PerdaNomor 45 Tahun 2002 tentang PolaDasar Pembangunan Daerah KabupatenPelalawan Tahun 2001-2005. Namundisayangkan dari dokumen ini adalah

inkonsistensi dengan kebijakan sebe-lumnya. Dimana, setelah menceritakanvisi, misi, pembangunan daerah namunpada bagian strategi dan arah kebijakantidak ada satupun yang menunjang kearah pengelolaan hutan dan lingkungan.

Setelah melihat berbagai kekurangandalam tiga dokumen yang seharusnyasangat benar karena menjadi modal awaldalam penyusunan kebijakan berikutnya.Bagaimana mungkin Pemerintah Kabu-paten Pelalawan menggantungkan diridalam mengambil keputusan pada halyang tidak konsisten. Demi persyaratanlingkungan akhirnya pemerintah jadisangan bergantung pada rekomendasiAMDAL. Padahal AMDAL sifatnyadilaksanakan pada level proyek. Dalamkasus yang diceritakan sebelumnyaadalah suatu kawasan lindung dalamperuntukan dijadikan kawasan hutanproduksi. Ketika izin sudah diajukanoleh pihak investor, maka AMDALmenjadi tidak efektif.

Memang dalam dalam implementasikebijakan perizinan, ada persyaratanmelakukan studi kelayakan dan AMDAL.Tapi kedua kajian ini bergantung padaRTRW. Suatu saat RTRW juga diting-galkan demi investasi, dan untuk inte-grasi lingkungan, pemerintah hanyabergantung pada AMDAL.

Disamping itu KLHS memiliki sifat“voluntary” (sukarela/tidak wajib/tidakharus dilakukan), artinya pihak yangmelakukan kajian KLHS ini secarasukarela untuk menjadikan KLHS seba-gai intstrumen dalam perumusan kebi-jakan untuk memperhatikan aspekkeberlanjutan, lingkungan selain sosialdan ekonomi. Beda halnya dengan

Page 58: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

57Leni Rosilyn, Kebijakan Pembangunan Daerah: Studi Kasus di Palalawan

AMDAl yang bersifat “mandatory”(perintah/wajib/harus dilakukan) sebagaisyarat perizinan tetapi ternyata tidakefektif. Hal itu dikarenakan AMDALdibuat berdasarkan keinginan investoruntuk dapat segera beroperasi. Hal-halyang menjadi penghambat atauberdampak negatif, dapat diatasi denganteknologi dan sebagainya.

Lebih ironis lagi ketika AMDALseringkali dibuat ketika kegiatan telahberoperasi. Kartodihardjo (2007)menyatakan posisi AMDAL yang tidakdijadikan dasar perencanaan kegiatanpembangunan memang bukan barangbaru. Kepala PPLH IPB mengatakan :“Ya…Inilah Indonesia. Lebih 90%AMDAL dilakukan setelah konstruksipembangunan, tetapi tidak ada yangpernah mendapat sanksi”.

Idealnya, pemerintah daerah sebagaipenyelenggara pemerintahan, perencanadan pelaksana pembangunan sudahpunya data dasar untuk selanjutnyadibuat kajian terhadap dampak negatifyang akan terjadi terhadap kebijakan,rencana dan program. Sehingga terhadapkegiatan yang akan dilaksanakan didaerahnya, pemerintah sudah punyadasar yang jelas untuk melaksanakansuatu kegiatan, sebaliknya tidakmelaksanakan (menolak) sejak awalsebelum para investor mengeluarkanongkos yang akhirnya membuatpemerintah berat untuk menolak(gratifikasi).

Ini menjadi pelajaran bagi kita karenasudah ada kasus yang menjadi contohburuk dalam hal pengambilan keputusandi Kabupaten Pelalawan. Contoh ini jugabisa dimanfaatkan untuk memberipenjelasan kepada pembuat kebijakan diKabupaten Pelalawan akan pentingnyapertimbangan lingkungan selain sosialdan ekonomi. Ini penting dalam prosesaplikasi KLHS bagi pemerintah daerah.Karena prakiraan dampak dalam studiKLHS berkaitan dengan hal-hal berikut :dalam bentuk apa dan sejauhmana KRPdiwujudkan menjadi kegiatan danproyek; status dan kondisi lingkunganyang akan terjadi (setelah proyekdilaksanakan); dampak yang ditimbulkanoleh KRP atau proyek lain yang tidakmenjadi kajian, daya dukung lingkungandan perubahan teknologi, politik danorientasi ekonomi di masa depan.

Simpulan akhirnya, tampak kemudianbahwa Integrasi aspek lingkungan diakuipara stakeholders hanya pada levelproyek (AMDAL) dan belummemperhatikan kondisi dan kebutuhandaerah. Hal ini disebabkan adanyainkonsitensi antar peraturanperundangan dan pemahaman terhadapperaturan perundangan yang berbeda-beda. Kemudian evaluasi terhadapdampak yang dilakukan pada levelproyek tidak efektif, sehingga evaluasiterhadap dampak lingkungan yang akantimbul harus dilaksanakan pada tahapperumusan kebijakan•

Page 59: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

58 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

Gambar 1. Peta overlay RTRW Propins Riau dan TGHK

Page 60: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

59Leni Rosilyn, Kebijakan Pembangunan Daerah: Studi Kasus di Palalawan

Page 61: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

60 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

Gambar 2. Peta Overlay lahan Gambut dan Areal PT SAU serta PT Madukoro

Page 62: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

61Leni Rosilyn, Kebijakan Pembangunan Daerah: Studi Kasus di Palalawan

Page 63: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

S U R V E I

62 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017R E H A T

MenjagaRuang Penghidupan

Anom Astika

Sebuah ruang, atau wilayah denganseluruh mahluk hidup yang ada di dalam-nya, tak pernah diinginkan menjaditempat yang tidak layak huni. Manusia,beserta flora dan fauna oleh alam diberi-kan ruang dengan siklus hidup danhabitatnya masing-masing. Sebuah desa,katakanlah, saat ia mulai menjadi tempattinggal manusia selalu menempatkanruang untuk berbudidaya, dan ruangkonservasi sebagai bagian dari upayamerawat bumi. Ada lahan untuk dita-nami, ada yang dikeramatkan,atausebagai tempat penyimpan air.

Artefak masa lalu seperti PrasastiHarinjing (804 M), menyebutkan bahwaraja memberikan hak sima (tanah yangdilindungi) kepada para pendeta didaerah Culangi karena mereka telahberjasa membuat saluran sungai bernamaHarinjing. Lalu Prasasti Bakalan atauWulig (933 M), mengungkapkan bahwapada masa pemerintahan Raja KediriMpu Sindok, telah dibuat bendunganuntuk pengairan lahan persawahanpenduduk daerah Kapulungan, WuatanWulas, dan Wuatan Tamya.

Catatan masa lalu sangat bermaknabahwa penataan ruang telah menjadibagian penting dari kebijakan peme-rintah kerajaan, terkait pengaturan aliransungai. Ini mengandaikan tentang adanyaruang-ruang yang perlu dialiri olehsungai, baik untuk kepentingan airminum, pertanian maupun pengendalianalam. Beberapa abad sebelumnya Pra-sasti Tugu dari Kerajaan Tarumanegaramenyebutkan tentang pembangunansaluran sungai untuk pengendalianluapan air sungai. Dengan kata lain,penataan ruang pada masa lalu di nusan-tara sangat bergantung pada pemahamanmanusia akan keadaan alam.

Tentunya catatan arkeologis dimukatelah sedikit banyak memiliki tautandengan tradisi atau adat yang bertujuanmerawat alam. Seperti hutan adat la-rangan, yang ada di beberapa di bebe-rapa daerah di Indonesia. Adat itumelarang manusia untuk mengambilapapun di dalam hutan. Bahkan rantingkering kayu yang jatuh dari pohon takboleh juga diambil. Kesemua ini dimak-sudkan untuk tujuan merawat lingkungan

Page 64: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

S U R V E I

63Anom Astika, Menjaga Ruang Penghidupan

sumber daya air agar kondisi mata airdan sungai tidak mengalami kekeringan.Semuanya dalam pemahaman tentangmerawat ruang hidup, dan sebuahpengetahuan tradisional tentang tataruang.

Jaman berganti penataan ruang punberubah. Pada masa tanam paksa kolo-nial di abad ke 19, nyaris seluruh tanahpertanian di Jawa dan Sumatera diubahmenjadi lahan-lahan perkebunan. Jalur-jalur air untuk pertanian diubah menjadijalur air perkebunan dengan volume airyang lebih besar. Akibatnya, ketikakembali digunakan untuk pertaniansawah, tanaman padi mengalami kesu-litan tumbuh, panenan hancur, hinggamuncul bencana kelaparan. Artinya polapenataan ruang budidaya, terkait denganalih fungsi lahan akan kontra produktifjika dilakukan secara serampangan, danatau tidak memperhatikan bagaimanamasyarakat mengolah alamnya, danbagaimana alam bekerja sudah pasti akanmengakibatkan malapetaka bagi kehi-dupan masyarakat.

Pada masa kini persoalan penataan

ruang berkembang menjadi lebihkompleks, dan membawa dampak yangmengancam keberlanjutan kehidupanmanusia. Itulah kekacauan penataanruang yang berpengaruh pada perubahaniklim. Pertumbuhan jumlah penduduk,kendaraan bermotor, perluasan wilayahpemukiman, wilayah industri di perko-taan, dan alih fungsi lahan di sejumlahwilayah dan hutan, membuat semakinkecilnya wilayah hijau baik di perkotaanmaupun pedesaan. Wilayah resapan airdi perkotaan atau pun wilayah sumbermata air di desa bahkan “digadaikan”untuk kepentingan bisnis. Sementarabelum tersedia teknologi penggantitetumbuhan hijau yang menyimpan danmenyerap zat-zat karbon dioksida.Akibatnya pemanasan bumi oleh karenaulah manusia menjadi tak terhindarkan.Jika pada masa lalu manusia berusahamemahami logika perubahan musim, kiniseolah-olah alam dipaksa untuk mengertikebutuhan manusia. Sepertinya manusiabelum terlalu paham apa akibat daritingkah polahnya yang mengacaukansiklus alam.

Page 65: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

S U R V E I

64 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

Fenomena yang demikian bukannyadiabaikan oleh banyak negeri di dunia.Kesadaran akan dampak perubahan iklimtelah menjadi kesadaran internasionalsejumlah pemerintah di berbagai belahandunia. Protokol Kyoto yang diluncurkansejak tahun 1990 misalnya, adalahsebuah kesepakatan berbagai negeriuntuk bersama-sama mengurangi dam-pak perubahan iklim sebagai akibat daripemanasan global. Masing-masing peme-rintahan dari setiap negeri yang terlibatdituntut untuk merumuskan kebijakan-kebijakan yang bertujuan mengurangidampak perubahan iklim. Ini mengingatfenomena perubahan iklim adalahfenomena yang memiliki dampakberantai yang dialami oleh semua negeridi seluruh dunia. Pengurangan emisi GasRumah Kaca (GRK) juga merupakanagenda bersama dunia. Amerika Serikat,misalnya, sudah berkomitmenmengurangi 3,9 % dari tingkat emisiGRK tahun 1990.

Di Indonesia sendiri perubahan iklimsudah dan sedang terjadi. Ia bukansesuatu yang masih jauh dihadapan sana.Faktanya, bumi terasa semakin panas.Fenomena rumah kaca membawa efekyang tidak sedikit. Pembabatan hutansecara tidak terkendali turutmemperparah keadaan. Permukaan airlaut terus naik. Penelitian yang dilakukan

Sutisna dan kawan-kawan pada 2002silam menunjukkan kecenderungannaiknya permukaan air laut di tiga lokasipantai Utara Jawa, yaitu Tanjung Priok,Semarang, dan Jepara. Ada perubahanpermukaan 8 milimeter per tahun.Bahkan, lebih jauh lagi dampakperubahan temperatur global membawaimplikasi terhadap pangan, ketersediaanair, dan ekosistem seperti kerusakanterumbu karang. Bahkan melahirkankondisi cuaca yang ekstrim dan risikoperubahan besar yang bersifatmendadak.

Rencana Aksi Nasional PerubahanIklim (RAN-PI), yang terbit sejak 2007adalah upaya Pemerintah Indonesiadalam merealisasikan kesepakatan-kesepakatan dari Protokol Kyoto.Rencana aksi ini merupakan pedomanbagi institusi atau lembaga terkait dalammelaksanakan berbagai upaya mitigasidan adaptasi terhadap perubahan iklim.Turunan dari rencana aksi ini beberapadiantaranya muncul dalam berbagaiperaturan Menteri Lingkungan Hidupdan Kehutanan, maupun dalam beberapaperaturan daerah yang dikeluarkan olehsejumlah pemerintah daerah provinsidan kabupaten/kota.

Lebih jauh lagi, antisipasi terhadapdampak perubahan iklim sangatditentukan kebijakan tata ruang nasional.

Page 66: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

S U R V E I

65Anom Astika, Menjaga Ruang Penghidupan

Agar memberikan kepastian hukum dankeadilan, penataan ruang haruslah diaturmelalui suatu kebijakan atau politikhukum. Beruntung, Indonesia sudahmemiliki Undang-Undang No. 26 Tahun2007 tentang Penataan Ruang. DalamUndang-Undang ini, kepastian hukumdan keadilan menjadi salah satu asaspenataan ruang. Dengan asas ini berartipenataan ruang diselenggarakanberlandaskan hukum dan ketentuanperaturan perundang-undangan. Selainitu, penataan ruang dilaksanakan denganmempertimbangkan rasa keadilanmasyarakat serta melindungi hak dankewajiban para pemangku kepentingan.

Asas ini berkorelasi dengan RencanaAksi Nasional Perubahan Iklim (RAN-PI).Masalah jangka panjang bagi Indonesiadalam kerangka perubahan iklim adalahbagaimana kebijakan dan ketentuan yangada mampu menjawab setiap persoalan.Peraturan dan kebijakan yang dibuatharus mampu menjamin perbaikankondisi sosial ekologis. Karena itu,keselarasan dan kebaruan kerangkakebijakan dan peraturan pengelolaan tataruang akan menentukan keberlanjutanrencana aksi tersebut.

Penegakan hukum merupakankebijakan pendukung. Spirit penegakanhukum dalam Rencana Aksi NasionalPerubahan Iklim dan Undang-Undang

Tata Ruang bertemu pada simpultertentu. RAN-PI menyatakanpenegakan hukum diterapkan secara adilkepada pemberi izin atau peminta izinpada semua aktivitas yang melanggar tataruang wilayah ekosistem. UU PenataanRuang juga memuat ancaman sanksi jikaterjadi pelanggaran atas tata ruang.

Bagaimanapun, kesadaran semuapemangku kepentingan adalah kunci bagiupaya mitigasi dan adaptasi perubahaniklim. Perubahan iklim bukanlah urusanKementerian Lingkungan Hidup danKehutanan semata, tetapi jugakomponen bangsa yang lain. Selain itukebijakan yang antisipatif tidak hanyadibutuhkan dari Pusat, tetapi juga dapatdari Pemerintah Daerah. Tentunya,kebijakan apapun yang diambil danperaturan apapun yang dibuat,keselarasan setiap instrumen hukummutlak perlu. Seperti sifat tata ruangyang saling berkaitan menjadi sebuahekosistem, setiap instrumen hukum punakan saling berkelindan sebagai sebuahkekuatan. Dalam konteks perubahaniklim dan tata ruang, sekalipunpenegakan hukum adalah kebijakanpendukung namun merupakan faktoryang penting. Kondisi ruang dan iklimakan semakin rusak manakala hukummudah dibeli dan dikendalikan olehkekuatan ekonomi dan politik•

Page 67: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

66 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

PERAN SERTA MASYARAKATDALAM KEBIJAKAN TATARUANG

Oleh Hesty Hastuti, SH

Sebagai salah satu negara berkem-bang, Indonesia masih menghadapipermasalahan besar dalam menata

perkembangan dan pertumbuhan wila-yah di kota-kotanya. Fenomena perkem-bangan kota yang terlihat jelas adalahbahwa pertumbuhan kota yang pesatterkesan meluas terdesak oleh kebu-tuhan masyarakat,1 menjadi kurang

serasi dan terkesan kurang terencana.Kehidupan kota besar di Indonesia,semakin tidak nyaman akibat dari me-

A R T I K E L

1 Pada tahun 1980 penduduk perkotaan berjumlahsekitar 32,85 juta atau 22,27% dari jumlahpenduduk nasional). Tahun 1990 jumlah pen-duduk perkotaan menjadi sekitar 55,43 juta atau30,9% dari jumlah penduduk nasional. Tahun1995 jumlah penduduk perkotaan menjadi sekitar71.88 juta atau 36,91% dari jumlah penduduknasional). Tahun 2005 jumlah penduduk perko-taan diperkirakan mencapai hampir 110 juta

orang, dengan pertumbuhan tahunan sekitar 3juta orang. Sensus penduduk tahun 2000 men-catat total jumlah penduduk adalah 206.264.595jiwa (www.bps.go.id/sector/population/ta-ble1.shtml). Tingkat urbanisasi mencapai 40%(tahun 2000), dan diperkirakan akan menjadi60% pada tahun 2025 (sekitar 160 juta orang)(Bank Dunia, 2003). Laju pertumbuhan pendu-duk perkotaan pada kurun waktu 1990-2000tercatat setinggi 4,4%/tahun, sementara pertum-buhan penduduk keseluruhan hanya 1,6%/tahun.Perkembangan kota-kota yang pesat ini dise-babkan oleh perpindahan penduduk dari desa kekota, perpindahan dari kota lain yang lebih kecil,pemekaran wilayah atau perubahan status desamenjadi kelurahan.

Pada kebanyakan perencanaan tata ruang, masyarakat kerap dilihat sekedar sebagai konsumenyang pasif. Meskipun secara normatif masyarakat berhak untuk dilibatkan dalam pengaturan tataruang, sebagaimana disebut pada konsideran butir d Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007bahwa “keberadaan ruang yang terbatas dan pemahaman masyarakat yang berkembang terhadappentingnya penataan ruang sehingga diperlukan penataan ruang yang transparan, efektif danpartisipatif agar terwujud ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan”. Hanya sajabanyak hambatan dalam pelaksanaan peran serta masyarakat disebabkan oleh faktor internaldan eksternal dan bentuk pelibatan masyarakat yang hanya bersifat formalitas belaka, Sehinggapesimis dengan program-program pelibatan peran masyarakat

Kata kunci: pembangunan kota, tata ruang, transparan, partisipatif

Page 68: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

67Hesty Hastuti, Peran Serta Masyarakat dalam Kebijakan Tata Ruang

ningkatnya kepadatan penduduk, kurang-nya wilayah hijau dan ruang-ruangterbuka,2 dan meningkatnya jumlahkendaraan bermotor dengan cepat.

Seperti kita amati bersama kondisi didaerah Jabodetabek, tampak bahwapenataan ruang yang ada tidak digunakansesuai dengan fungsinya. Seperti mi-salnya, pemukiman di daerah aliransungai Ciliwung, ruang terbuka hijauyang beralih fungsi menjadi tempatindustri, daerah penyerapan air yang jugaberubah menjadi kawasan pemukiman.Semua ini akan berdampak negatif dalamupaya melakukan pembangunan yangberkelanjutan. Akibatnya muncul poten-si permasalahan baru, seperti transporta-si, ketidaksiapan infrastruktur, jugaketidaksesuaian dengan Rencana TataRuang Wilayah.

Pelaksanaan pembangunan berkelan-jutan, di samping mempertimbangkanpemanfaatan sumber daya alam harus

sesuai dengan daya tampung dan dayadaya dukung lingkungan. Tujuannya,selain untuk mendukung ekosistem,dalam pemanfaatannya harus mem-perhatikan kebutuhan generasi menda-tang, seperti yang telah dicanangkansejak KTT Rio pada tahun 1992. Sumberdaya alam adalah aspek penting dalampenataan ruang karena pemanfaatanruang untuk pembangunan tanpa mem-perhatikan daya dukung dan daya tam-pung lingkungan dapat menimbulkanpenyusutan (depletion) sehingga padagilirannya dapat menimbulkan pence-maran lingkungan.

Hal ini menuntut perkembanganpembangunan fisik baik di kawasanperkotaan maupun kawasan pedesaanmemerlukan sebuah penataan, hal inibetujuan meletakan fungsi strategissebuah ruang agar dapat di dayagunakansecara optimal dan menghindari kontra-produktif atas kemanfaatan sebuahruang. Oleh karena itu, ruang perluditata agar dapat memelihara keseim-bangan lingkungan dan memberikandukungan yang nyaman terhadap ma-nusia serta mahluk hidup lainnya dalammelakukan kegiatan dan memeliharakelangsungan hidupnya secara optimal.3

Karena ruang merupakan tempatinteraksi sosial, maka dalam penataanruang tentu akan bersinggungan denganmasyarakat sebagai elemen di dalam

2 Singapura dan Kuala Lumpur yang semulakumuh dapat berubah menjadi kota yang lapangdan hijau, seiring dengan semakin meningkatnyakesejahteraan penduduknya. Demikian puladengan Kota Guangzhow, sebuah kota tua yangsemula amat padat dan kumuh, telah berubahmenjadi kota yang longgar dengan flat-flat tinggilengkap dengan sarana olah raga terbuka yangmemadai. Investasi di bidang perumahan verticaldi Guangzhow dirangsang oleh pemberianinsentif pajak serta tariff listrik dan air minumyang lebih murah. Sarana olah raga, sekolahdan kebutuhan-kebutuhan hidup lain tersedia,membuat biaya transportasi menjadi murah.Keterlambatan kita mensosialisasikan hunianvertikal—meski Undang-undang Tentang Ru-mah Susun, terbit terlebih dahulu di bandingkandengan Undang-undang Tentang Perumahandan Permukiman—menyebabkan kota-kotabesar lain di wilayah Indonesia berkembangmelebar, menjadi tidak effisien serta mengurangidaya dukung lingkungan secara signifikan.

3 Ir. Imam S. Ernawi, MCM, M.Sc, Kebijakan Pe-nataan Ruang Berdasarkan UU No. 26 tahun2007 Dalam Rangka Penyelenggaraan Infra-struktur Pekerjaan Umum, Disampaikan padaMata Kuliah Umum Kedinasan Terpusat untukProgram Magister Angkatan 2008 diselenggara-kan hari Senin, 11 Agustus 2008.

Page 69: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

68 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

ruang itu sendiri. Ruang itu sendiriberdasarkan Pasal 1 Undang-undangNomor 26 Tahun 2007 disebutkanbahwa: “Ruang adalah wadah yangmeliputi ruang darat, ruang laut, danruang udara, termasuk ruang di dalambumi sebagai satu kesatuan wilayah,tempat manusia dan makhluk hidup lain,melakukan kegiatan, dan memeliharakelangsungan hidupnya”.

Pada kebanyakan perencanaan tataruang, masyarakat kerap dilihat sekedarsebagai konsumen yang pasif. Memangmereka diberi tempat untuk aktivitaskehidupan, kerja, rekreasi, belanja danbermukim, akan tetapi kurang diberipeluang untuk ikut dalam proses penen-tuan kebijakan dan perencanaannya.Padahal, sebagai mahkluk yang berakaldan berbudaya, manusia membutuhkanrasa penguasaan dan pengawasan (asense of mastery and control) terhadaphabitat atau lingkungannya. Rasa terse-but merupakan faktor mendasar dalammenumbuhkan rasa memiliki untukkemudian mempertahankan atau meles-tarikan.

Bila masayarakat tidak dilibatkandalam proses perencanaan dan pemba-ngunan lingkungannya, tidak diberikesempatan untuk bertindak secara aktifmemberikan “cap” pribadi atau kelom-pok pada lingkungannya, tidak memper-oleh peluang untuk membantu, menam-bah, merubah, menyempurnakan ling-kungannya, akan kita dapatkan masyara-kat yang apatis, acuh tak acuh, danmungkin agresif.

Pelibatan masyarakat dalam perenca-naan kota di Indonesia masih seringdiabaikan, padahal penting sekali artinya

untuk menumbuhkan harga diri, percayadiri dan jati diri. Apalagi bagi kaum papayang termasuk kategori “The silentmajority”, keterlibatan mereka bolehdikata tidak ada. Sehingga peran sertamasyarakat dalam proses perencanaantata ruang dan lingkungan hidup masihsangat terbatas.4

Secara normatif masyarakat berhakuntuk dilibatkan dalam pengaturan tataruang, dapat dilihat pada Konsideranbutir d Undang-undang Nomor 26Tahun 2007 disebutkan bahwa “kebera-daan ruang yang terbatas dan pema-haman masyarakat yang berkembangterhadap pentingnya penataan ruangsehingga diperlukan penataan ruang yangtransparan, efektif dan partisipatif agarterwujud ruang yang aman, nyaman,produktif dan berkelanjutan”. Sehinggadapat dipahami bahwa masyarakatberhak untuk berperan serta dalampenyusunan Rencana Detail Tata RuangKawasan Perkotaan serta masyarakatberkewajiban berperan serta dalammemelihara kualitas ruang dan berkewa-jiban menaati rencana tata ruang yangtelah ditetapkan. Dengan demikian,produk Rencana Detail Tata RuangKawasan Perkotaan merupakan hasilkesepakatan seluruh pelaku pemba-ngunan (stakeholders), termasuk masya-rakat.

Dalam Undang-Undang Nomor 26Tahun 2007 tentang Penataan Ruangjuga disebutkan secara tegas tentangperan masyarakat, dalam Pasal 65,bahwa “Pemerintah melakukan penye-

4 Eko Budihardjo. Kota yang Berkelanjutan(Sustainable City), UI Press, Jakarta, 1998, hal: 7

Page 70: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

69Hesty Hastuti, Peran Serta Masyarakat dalam Kebijakan Tata Ruang

lenggaraan penataan ruang denganmelibatkan peran masyarakat” PenataanPeran masyarakat tersebut, dilakukanantara lain melalui:1. Partisipasi dalam penyusunan renca-

na tata ruang2. Partisipasi dalam pemanfaatan ruang,

dan3. Partisipasi dalam pengendalian

pemanfaatan ruang

Bahwa dalam penataan ruang diseleng-garakan dengan memperhatikan asas-asasyang antara lain meliputi: keterpaduan,keserasian, keselarasan, keseimbangan,keberlanjutan, keterbukaan, akuntabili-tas, dan terhadap peran serta masyarakatdalam pengaturan penataan ruang digu-nakan pendekatan yang demokratis,kesetaraan gender, dan keterbukaan.Pendekatan ini merupakan dasar bagipendekatan “community driven planning”yang menjadikan masyarakat sebagaipenentu dan pemerintah sebagai fasilita-tornya. Sejalan dengan proses penataanruang yang interaktif, maka keterlibatanmasyarakat ada pada setiap prosestersebut dan selalu tanggap dan mengi-kuti setiap dinamika dan perkembangandi dalam masyarakati.5

Dengan demikian kita sadari bersamabahwa tujuan utama dalam penyelengga-raan penataan ruang berkelanjutanadalah demi tercapainya kesejahteraanmasyarakat sehingga dalam pelaksanaanpembangunan berkelanjutan (sustainabledevelopment), penyaluran aspirasi masya-rakat dengan segenap stakeholder harus

jelas bagaimana bentuk serta mekanismenya, karena semakin tinggi partisipasimasyarakat maka akan semakin mening-katkan kinerja penataan ruang.

Sehingga peran serta masyarakatmerupakan hal yang sangat pentingdalam pengaturan tata ruang karena padaakhirnya hasil penataan ruang adalahuntuk kepentingan seluruh lapisanmasyarakat dengan menikmati manfaatruang berupa manfaat ekonomi, sosial,lingkungan sesuai tata ruang, serta demitercapainya tujuan penataan ruang yaitumewujudkan ruang wilayah nasionalyang aman, nyaman, produktif danberkelanjutan berdasarkan WawasanNusantara dan Ketahanan Nasional.

Peran serta masyarakat di bidang tataruang semula diatur di dalam PeraturanPemerintah (PP) Nomor 69 tahun 1996yang merupakan peraturan operasionaldari Undang-undang Nomor 24 Tahun1992 tantang Penataan Ruang PeraturanPemerintah tersebut berisi tentangPelaksanaan hak dan kewajiban sertabentuk dan tata cara peran serta masya-rakat dalam penataan ruang, setelahberlakunya Undang-undang Nomor 26Tahun 2007 yang menggantikan Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 kemu-dian muncul kembali pengganti atas PPNomor 69 Tahun 1996 yang pada tahun2010 di tetapkan PP Nomor 68 Tahun2010 tentang Bentuk dan Tata CaraMasyarakat Dalam Penataan Ruang.

Dalam PP Nomor 68 tahun 2010yang disebut masyarakat adalah: “orangperseorangan, kelompok orang terma-suk masyarakat hukum adat, korporasi,dan/atau pemangku kepentingan nonpe-merintah lain dalam penataan ruang”

5 Pedoman penyusunan tata ruang perkotaan,Bab V, hal V-4

Page 71: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

70 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

sedangkan untuk peran masyarakatdalam PP tersebut juga disebutkanbahwa “Peran masyarakat adalah par-tisipasi aktif masyarakat dalam peren-canaan tata ruang, pemanfaatan ruang,dan pengendalian pemanfaatan ruang”.

Dengan demikian dapat disebutkanbahwa penataan ruang diselenggarakanoleh berbagai instansi pemerintahdengan melibatkan masyarakat sepertitelah disebutkan dan atau pemangkukepentingan non pemerintah dalampenataan ruang, yang dalam pelak-sanaannya harus dilakukan secara koor-dinasi, baik di tingkat administrasipemerintahan maupun antar pemerintahdan masyarakat sehingga terhindar darikesenjangan penanganan ataupun pena-nganan yang tumpang tindih dalam upayamewujudkan tujuan penataan ruang6.

Peran serta masyarakat dalam pe-nataan ruang dapat diwujudkan dalambentuk pengajuan usul, memberi saran,atau mengajukan keberatan kepadapemerintah. Dalam mengajukan usul,memberikan saran, atau mengajukankeberatan kepada pemerintah dalamrangka penataan ruang bagian KawasanPerkotaan dapat dilakukan melaluipembentukan forum kota, asosiasiprofesi, media massa, LSM, lembagaformal kemasyarakatan (sampai tingkatlembaga perwakilan rakyat)7.

Di samping hak masyarakat untukberpartisipasi dalam penataan ruang,masyarakat juga wajib menjaga kualitasruang dengan mematuhi dan mentaatisegala ketentuan normatif yang telah

ditentukan dalam peraturan terkait. Disamping kewajiban menjaga kualitasruang, peran serta masyarakat dimaksud-kan sebagai proses pembelajaran masya-rakat dan pemerintah yang secara lang-sung dapat memperbaiki kapasitasmereka dalam mencapai kesepakatan.Tidak dapat dipungkiri bahwa rencanatata ruang pada dasarnya merupakankesepakatan berbagai stakeholders yangdilahirkan melalui serangkaian dialogyang konstruktif dan berkelanjutan.Melalui proses dialog yang terus mene-rus sepanjang keseluruhan prosespenataan ruang akan terjadi prosespembelajaran bersama dan pemahamanbersama (mutual understanding) berbagaipihak tentang penataan ruang8.

Beranjak dari latar belakang di atas,maka melalui penelitian ini kita dapatmengetahui bagaimana peran sertamasyarakat dalam hal penataan ruang,untuk dapat memberikan masukan dalammendorong partisipasi masyarakat dalampenataan ruang secara lebih aktif, de-ngan mengukur kinerja pemerintahapakah dalam menjalankan kewenangan-nya telah sesuai prinsip-prinsip pemerin-tahan yang baik (Good Governance).

PERMASALAHANDengan mendasarkan pada latar

belakang yang telah diungkapkan, makadalam penelitian ini akan di identifikasibeberapa permasalahan sebagai berikut:1. Apakah pengaturan tata ruang saat

ini telah memberikan peluang bagimasyarakat untuk berperan serta

6 Aca Sugandhi, Tata Ruang dalam LingkunganHidup. Jakarta: 1999, hal 12

7 Op. Cit. hal V-5

8 Sjofjan Bakar, Kelembagaan Pengendalian pe-manfaatan Ruang Di Daerah, http://bulletin.penataanruang.net/

Page 72: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

71Hesty Hastuti, Peran Serta Masyarakat dalam Kebijakan Tata Ruang

secara optimal?2. Hambatan-hambatan apa saja yang

mempengaruhi peran serta masyara-kat dalam penataan ruang?

3. Bagaimana bentuk mekanisme idealperan serta masyarakat terhadappenataan ruang?

KERANGKA KONSEPTUALUntuk menghindari adanya penaf-

siran yang beragam, maka dalam pene-litian ini dibuat kerangka konsepsionalsebagai berikut:

1. Peran Serta MasyarakatSecara terpisah di temukan dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia artiperan serta adalah “ikut ambil bagiandalam suatu kegiatan; keikutsertaansecara aktif; partisipasi”.

Sedangkan pengertian masyarakatdalam Kamus Besar Bahasa Indonesiaadalah “sejumlah manusia dalam artiseluas-luasnya dan terikat oleh suatukebudayaan yang mereka anggap sama”,di dalam PP Nomor 68 Tahun 2010tentang Bentuk dan Tata Cara PeranMasyarakat Dalam Penataan Ruangmemberikan batasan pengertian masyara-kat sebagai berikut: “Masyarakat adalahorang perseorangan, kelompok orangtermasuk masyarakat hukum adat, korpo-rasi, dan/atau pemangku kepentingannonpemerintah lain dalam penataan ruang”.

Kemudian pendefinisian peranmasyarakat dalam pengaturan tata ruangadalah partisipasi aktif masyarakat dalamperencanaan tata ruang, pemanfaatanruang, dan pengendalian pemanfaatanruang (Pasal 1 Angka 9, PP No. 68Tahun 2010).

2. RuangDalam Undang-undang Nomor 26

Tahun 2007 tentang Tata Ruang di-sebutkan pengertian ruang adalah wadahyang meliputi ruang darat, ruang laut danruang udara, termasuk ruang didalambumi sebagai kesatuan wilayah, tempatmanusia dan mahluk hidup lain, melaku-kan kegiatan, dan memelihara kelang-sungan hidupnya (Pasal 1 angka 1).Dalam penelitian ini batasan ruang yangdipergunakan adalah ruang darat dansecara khusus berada di wilayah per-kotaan.

3. Tata RuangDalam Undang-undang Nomor 26

Tahun 2007 tentang Tata Ruang dise-butkan Tata ruang adalah wujud strukturruang dan pola ruang (Pasal 1 angka 2).Lebih rinci didefinisikan pula stukturruang dan pola ruang di dalam pasal 1,ketentuan umum. Stuktur ruang adalahsusunan pusat-pusat pemukiman dansistem jaringan prasarana dan saranayang berfungsi sebagai pendukungkegiatan sosial ekonomi masyarakatyang secara hierarkis memiliki hubunganfungsional. Pola ruang adalah distribusiperuntukan ruang Dalam satu wilayahyang meliputi peruntukan ruang untukfungsi lindung dan peruntukan ruanguntuk budi daya.

4. Penyelenggaraan Penataan RuangDalam Undang-undang Nomor 26

Tahun 2007 tentang Tata Ruang disebut-kan Penyelenggaraan penataan ruangadalah kegiatan yang meliputi pengaturan,pembinaan, pelaksanaan dan pengawasanpenataan ruang (pasal 1 angka 6)

Page 73: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

72 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

5. Pengaturan Penataan RuangUndang-undang Nomor 26 Tahun

2007 tentang Tata Ruang menyatakanPengaturan penataan ruang adalah upayapembentukan landasan hukum bagipemerintah, pemerintah daerah, danmasyarakat dalam penataan ruang (pasal1 angka 9).

A. Peran Masyarakat Di DalamPenataan Ruang

Peran masyarakat di dalam PenataanRuang diatur di dalam PeraturanPemerintah Nomor 68 Tahun 2010tentang Bentuk dan Tata Cara PeranMasyarakat Dalam Penataan Ruangsebagai terjemahan dari Pasal 65 ayat (3)Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007tentang Penataan Ruang. Sebelumkeluarnya Peraturan Pemerintah ter-sebut, acuan yang digunakan dalamPelibatan Peran Masyarakat adalahPeraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun1996 tentang Pelaksanaan Hak DanKewajiban, Serta Bentuk Dan Tata CaraPeran Serta Masyarakat Dalam PenataanRuang yang merupakan peraturan opera-sional dari Undang-undang Nomor 24Tahun 1992 tantang Penataan Ruang.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta,sudah beberapa kali melibatkan peranmasyarakat di dalam Penataan Ruang,yaitu dalam rangka Evaluasi RencanaRinci Tata Ruang Wilayah (RRTRW)Kecamatan pada tahun 2002 yang dilaku-kan oleh Dinas Tata Ruang (DTR)Provinsi DKI Jakarta, Evaluasi RencanaTata Ruang Wilayah (RTRW) Jakarta2010 pada tahun 2005 yang dilakukanoleh Badan Perencanaan PembangunanDaerah (Bappeda) Provinsi DKI Jakarta,

Evaluasi dan Revisi RRTRW Kecamatanpada tahun 2008 yang kembali dilak-sanakan oleh DTR Provinsi DKI Jakarta,dan Penyusunan RTRW Jakarta 2030pada tahun 2008 yang dilakukan olehBappeda Provinsi DKI Jakarta. Selaindalam tahapan Perencanaan Tata Ruangseperti tersebut di atas, pelibatan masya-rakat juga dilakukan dalam tahapanPemanfaatan Ruang dan PengendalianPemanfaatan Ruang. Namun demikian,dalam tulisan ini akan dipaparkan me-ngenai proses pelibatan peran masyara-kat dalam tahapan Perencanaan TataRuang dengan mengambil kasus EvaluasiRRTRW Kecamatan tahun 2002 danEvaluasi RTRW Jakarta 2010 pada tahun2005. Kasus Evaluasi RRTRW Keca-matan dan Penyusunan RTRW Jakarta2030 pada tahun 2008 tidak dibahas,karena pelibatan peran masyarakatdalam kegiatan tersebut merupakanpelaksanaan dari metoda yang sudahdirumuskan sebelumnya.

B. Pelaksanaan Peran MasyarakatDalam Perencanaan Tata Ruang

Proses pelibatan peran masyarakatdalam perencanaan tata ruang pada saatpertama kali dilaksanakan pada tahun2002 mengalami kendala yang cukupbesar, karena masih umumnya PeraturanPemerintah Nomor 69 Tahun 1996 didalam mengatur peran masyarakat, baikdalam bentuk maupun tata caranya. Didalam Peraturan Pemerintah tersebutterdapat beberapa kelemahan, sepertilingkup dan bentuk peran masyarakatyang relatif sama untuk tiap jenjangrencana, tidak jelasnya kelompok masya-rakat yang terlibat dan waktu pelibatan-

Page 74: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

73Hesty Hastuti, Peran Serta Masyarakat dalam Kebijakan Tata Ruang

nya, serta tidak jelas/rincinya mekanismepenyelenggaraannya. Peraturan Peme-rintah tersebut memang sudah ditindak-lanjuti dengan Peraturan Menteri DalamNegeri (Permendagri) Nomor 9 tahun1998 tentang Tata Cara Peran SertaMasyarakat dalam Proses PerencanaanTata Ruang di Daerah. Namun peranmasyarakat yang diatur di dalam Permen-dagri tersebut juga tidak lebih rinci dariPeraturan Pemerintahnya. Yang menon-jol di dalam Permendagri tersebut adalahpeningkatan peran Pimpinan/DPRD danadanya pelibatan para Pakar dan TokohMasyarakat.

Oleh karena itu, sebelum melaksana-kan pelibatan peran masyarakat dalamproses Evaluasi RRTRW Kecamatan,Dinas Tata Ruang (dahulu Dinas TataKota) terlebih dahulu melakukan kajianterhadap bentuk-bentuk pelibatanmasyarakat, beserta tata caranya. Dariberbagai bentuk yang ada, maka terpilih-lah FGD (Focus Group Discussion) sebagaibentuk pelibatan masyarakat. FGD initerpilih, karena forum ini dianggapsebagai forum yang paling tepat untukmembahas suatu masalah tertentu,seperti evaluasi RRTRW Kecamatan,yang diselenggarakan dalam suasanainformal/santai.

Langkah selanjutnya yang harusdilakukan adalah menyiapkan mode-rator/fasilitator yang kompeten danpeserta diskusi terfokus. Melalui bentukkerjasama dengan IAP (Ikatan AhliPerencanaan), maka disiapkanlah fasilita-tor melalui pelatihan terlebih dahulu,karena unsur yang paling berperananpenting dalam menentukan keberhasilanFGD adalah peran moderator/fasilitator.

Sejalan dengan itu, proses pemilihanpeserta, yaitu dari wakil masyarakat(anggota Dewan Kelurahan) dan pe-ngembang juga dilakukan. Batasanjumlah peserta diskusi terfokus danprinsip keterwakilan semua stakeholdersmenjadi pertimbangan penting dalampemilihan peserta. Materi-materi terkaitdengan bahan-bahan yang akan didis-kusikan di dalam FGD pun disiapkanoleh Konsultan.

Prosedur pelibatan peran masyarakatyang ditempuh pada saat itu secaraumum dibagi ke dalam 4 (empat) tahapanbesar, yaitu Tahap Persiapan, TahapPelaksanaan, Tahap Pengolahan, sertaTahap Umpan Balik dan PengambilanKeputusan.

Tahap Persiapan dibagi dalam duakelompok aktivitas yang berbeda, yaitupersiapan teknis administratif dan per-siapan substantif. Tahap PersiapanTeknis Administratif terdiri dari:1. Pendekatan kepada semua stake-

holders, yaitu Camat, Lurah, DewanKelurahan, Pengembang/Asosiasiuntuk memberitahukan akan adanyaForum Pelibatan Masyarakat dalamevaluasi RRTRW Kecamatan diwilayahnya.

2. Penentuan tempat/ruangan dantanggal pelaksanaan forum, besertakelengkapan penunjangnya (layoutruangan yang interaktif, makanan,minuman, sound system, flip-chart,kertas buram/roti, papan tulis/whiteboard, alat-alat tulis, dan lain-lain).

3. Penyiapan fasilitator ahli penataanruang untuk mengendalikan forumperan masyarakat tersebut.

Page 75: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

74 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

4. Penyebaran undangan dan pema-sangan spanduk serta poster-posterdi tempat-tempat strategis.

Tahap Persiapan Substantif terdiridari:1. Penyiapan peta rencana, peta kondisi

sekarang, dan peta kosong untukmasing-masing kecamatan.

2. Penyiapan data-data penunjanglainnya, seperti penyebaran pendu-duk, isu-isu penataan ruang di ka-wasan tersebut, dan lain sebagainya.

Tahap Pelaksanaan forum FGDmerupakan tahap utama dalam prosespelibatan peran masyarakat. Hal pentingyang perlu diberi perhatian dalam tahapini adalah kemampuan fasilitator dalammengendalikan forum sesuai dengantujuannya. Fasilitator di dalam forum iniberfungsi sebagai Dinamisator (Pemba-ngun Suasana), Motivator (Penyemangat),Moderator (Pengatur Diskusi), dansekaligus Konduktor (Pengarah Konsis-tensi). Hasil pelaksanaan forum FGD inikemudian dituangkan di dalam bentukBerita Acara pelaksanaan forum.

Hasil dari pelaksanaan forum FGDtersebut selanjutnya diolah secara teknisdi dalam Tahap Pengolahan. Masukan-masukan dari stakeholders diakomodasidan diwujudkan ke dalam peta-petateknis hasil evaluasi dan peta alternatifpenyesuaian dan/atau revisi rencana tataruang. Perlu dipahami, bahwa prosespelibatan peran masyarakat tidak dapatmenghilangkan proses teknis penataanruang secara profesional. Hal ini berartisemua hasil dari proses pelibatan peranmasyarakat harus kembali ditelaah

secara teknis untuk dijadikan per-timbangan oleh para ahli perencanakota, untuk diwujudkan dalam bentukpeta-peta sesuai dengan ketentuanteknis penataan ruang yang berlaku.

Tahap terakhir adalah Tahap UmpanBalik dan Pengambilan Keputusan.Dalam tahap ini akan dipresentasikanhasil dari Tahap Pengolahan yang dilan-jutkan dengan pembahasan/diskusi.Dalam tahapan ini diharapkan dapatdiperoleh kesepakatan bersama tentangproduk perencanaan tata ruang, sebagaibentuk akhir dari proses pelibatan peranmasyarakat. Hasil pelaksanaan tahapanini juga dituangkan di dalam bentukBerita Acara pelaksanaan forum.

C. Kasus Evaluasi RTRW Jakarta 2010Berbeda dengan proses pelibatan

peran masyarakat pada evaluasi RRTRWKecamatan yang dilakukan oleh DinasTata Ruang, pelibatan peran masyarakatpada evaluasi RTRW Jakarta 2010 yangdilakukan Bappeda lebih bersifat makro.Perbedaan yang utama adalah bentukdan unsur masyarakat yang dilibatkan.Pelibatan peran masyarakat yang dilak-sanakan di dalam evaluasi RTRW Jakarta2010 adalah untuk menentukan kriteriadan menilai evaluasi RTRW denganmenggunakan Metoda Delphi denganperumus 12 Stakeholders kunci. MetodaDelphi dilakukan dengan Focus GroupDiscussion, sedangkan Stakeholderskunci dipilih dengan menggunakanstakeholder analysis.

Dua belas stakeholders kunci itu adalah:1. Badan Perencanaan Pembangunan

Nasional2. Departemen Pekerjaan Umum

Page 76: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

75Hesty Hastuti, Peran Serta Masyarakat dalam Kebijakan Tata Ruang

3. Kementrian Lingkungan Hidup4. Badan Perencanaan Daerah Provinsi

DKI Jakarta5. Dinas Tata Kota Provinsi DKI Jakarta6. Ikatan Ahli Perencanaan (IAP)7. Wahana Ahli Lingkungan Hidup

(Walhi)8. Yayasan Lembaga Konsumen Indo-

nesia (YLKI)9. Real Estate Indonesia (REI)10. Masyarakat Transportasi Indonesia11. Asosiasi Pengelola Pusat Belanja

Indonesia (APBBI)12. Universitas Trisakti

Secara keseluruhan, tahap kegiatanevaluasi dapat dilihat pada Bagan 1.Pelibatan peran masyarakat pada pelak-sanaan Forum FGD dilakukan sebanyak3 kali. Dari kegiatan evaluasi RTRWJakarta 2010 ini terlihat bahwa pelibatan

masyarakat dilakukan dengan memilihwakil dari kelompok masyarakat(kelompok kunci) yang memiliki tingkatkepentingan dan pengaruh yang besar,jadi bukan wakil masyarakat secaralangsung seperti pada kegiatan evaluasiRRTRW Kecamatan.

Namun pelaksanaan berbagai pro-gram pembangunan seperti pemba-ngunan infrastruktur dan sarana kotasering terbentur pada penolakan wargakota. Pembangunan lajur busway diPondok Indah, Mall di Koja, RenovasiPasar Tanah Abang, relokasi pedagangpasar, reklamasi Pantura dan masihbanyak contoh lain yang menunjukkanbahwa resistensi masyarakat terhadaprencana tata ruang masih cukup tinggi.

Karenanya, tidak mengherankan jikadalam penyusunan rencana tata ruangkota dalam berbagai jenjang, hampir

Bagan 1. Tahapan Kegiatan Evaluasi

Page 77: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

76 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

tidak pernah melibatkan masyarakat.Kalaupun ada sangat terbatas padakalangan tertentu yang dianggap tidakoposan.

Pada prakteknya, terdapat berbagaijenjang peran serta masyarakat, dimanajenjang ini ditentukan oleh seberapa jauhmasyarakat dapat melakukan kontrolterhadap seluruh proses penataan ruang.Peran Serta Masyarakat pada jenjangtertinggi adalah peran serta masyarakatyang benar-benar memberikan otoritaspada komunitas atau masyarakat.

Sementara peran serta masyarakatpada jenjang terendah adalah peran sertamasyarakat yang dilakukan sekedarsebagai proses manipulasi. Sebagaimanadikatakan Arstein (1969), apa yang iasebut sebagai “ladder of citizen partici-pation” atau tangga partisipasi masyara-kat sebagaimana dapat dilihat dalamTabel 1 di atas.

Tabel tersebut menjelaskan bahwaberbagai tingkatan kesertaan dapat di-identifikasikan, mulai dari tanpa partisi-pasi sampai pelimpahan kekuasaan.

Tabel 1 Peran Serta Masyarakat dalam Tingkatan Partisipasi

Page 78: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

77Hesty Hastuti, Peran Serta Masyarakat dalam Kebijakan Tata Ruang

Pengelola tradisional selalu engganuntuk melewati tingkat tanpa partisipasidan tokenism, dengan keyakinan bahwamasyarakat biasanya apatis, membuang-buang waktu, pengelola mempunyaitanggungjawab untuk melakukannyaberdasar kaidah-kaidah ilmiah, sertalembaga-lembaga masyarakat mempu-nyai tugas berdasarkan hukum yang tidakdapat dilimpahkan ke pihak lain.

Sebaliknya, masyarakat semakinmeningkat kesadarannya dengan meng-harapkan partisipasi yang lebih berman-faat, yang dalam keyakinan merekatermasuk pula pelimpahan sebagiankekuasaan. Adalah kewajiban kita semuauntuk mengembangkan program peranserta masyarakat jenjang yang semakintinggi.

KELEMAHAN INTERNALMASYARAKAT

Terdapat Pihak Yang tidak BerkompetenYang Mengatasnamakan Masyarakat

Pada tataran praktis, peran sertamasyarakat dapat dilakukan baik olehperorangan maupun kelompok atauperwakilan. Dalam kondisi sosial-politikIndonesia saat ini, dipandang bahwaproses peran serta masyarakat secaraperorangan sangat lemah dan kurangefektip. Hal ini disebabkan terutamakarena kekuasaan pemerintah danswasta yang masih cukup dominan,sehingga upaya-upaya keterlibatanperorangan, khususnya dalam prosesperencanaan dan pengendalian ruangtidak efektip.

Dalam konteks ini peran sertamasyarakat dalam bentuk kelompok atau

perwakilan dipandang lebih kuat danmenjanjikan. Kelompok disini dapatberupa kelompok masyarakat berdasarsatuan wilayah (mis: RT, RW, Kelurahandan lain-lain) kelompok masyarakatberdasar profesi/mata pencaharian(misal: pedagang kaki lima, buruh, sopir,seniman, dll.); kelompok masyarakatadat; dan asosiasi-asosiasi berdasarkepentingan lain.

Individu atau kelompok yang meng-atasnamakan masyarakat setidaknyadipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:a. Menyangkut sejarah komunitas itu

sendiri, apakah mempunyai sejarahyang panjang dan solid ataukahpendek dan tidak solid. Komunitasyang mempunyai sejarah perjuanganpanjang dan telah teruji dalam ba-nyak tantangan tentunya akan lebihmaju dibandingkan komunitas yangtidak mempunyai sejarah perjuanganpanjang.

b. Berkaitan dengan struktur dankapasitas organisasi dalam komunitastersebut. Satu komunitas terkadangmempunyai kapasitas organisasi yangbaik, sementara komunitas lain tidak.

c. Terkait dengan sumber daya atauresources yang dimiliki komunitas.Satu komunitas terkadang mempu-nyai sumber daya (baik alam maupunmanusia) yang leboh dibandingkomunitas lain. Komunitas seperti initentunya mempunyai kemungkinanberkembang lebih tinggi dibandingkomunitas yang tidak mempunyaisumber daya.

Dalam konteks peran serta masyara-kat melalui kelompok atau asosiasi,

Page 79: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

78 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

faktor-faktor di muka adalah kunci yangdapat menyebabkan kesuksesan dankegagalan peran serta masyarakat.Permasalahan yang muncul siapa yangdisebut sebagai “masyarakat”, kelompokmana atau pihak mana? Hal ini akanmengakibatkan pihak yang terlibat tidakmemiliki kompetensi untuk ikut dalampengaturan tata ruang.

Hambatan Eksternal MasyarakatFaktor eksternal disini dimaksudkan

sebagai faktor yang berasal dari luarmasyarakat, dan ini akan meliputi duaaspek. Pertama, menyangkut sistemsocial politik makro dimana komunitastersebut berada. Perlu dicatat dari sisibirokrasi pemerintah yang seringkalimenghambat proses peran serta masya-rakat yang efektif.

Berkaitan dengan ada atau tidaknyaintermediary agencies atau agen-agenperantara yang dapat menjadi penghu-bung antara komunitas dan dunia ataupihak-pihak luar. Agen-agen penghubungini dapat berupa LSM atau organisasisosial-kemasyarakatan lain. Apabilaagen-agen ini secara aktif dapat mem-bantu komunitas dan menghubung-kannya dengan kekuatankekuatan lain diluar komunitas, diharapkan peran sertamasyarakat akan berhasil.

Mekanisme Ideal Peran Serta MasyarakatTerhadap Pengaturan Tata Ruang

Terdapat beragam cara dimana hakmasyarakat dapat dijabarkan dalamproses penataan ruang. Tabel di bawahini memberikan berbagai kemungkinanmekanisme penyampaian hak masyarakatdalam penataan ruang. Yang penting

dicatat adalah bahwa terdapat tiga fungsikunci agar peran serta masyarakat dapatdilakukan dengan baik. Pertama,informasi harus dapat dibagi denganmereka yang terlibat sehingga merekadapat mempertimbangkan hakekatpersoalan yang sedang dihadapi, sertauntuk memahami tujuan-tujuan, tugas-tugas dan kewenangan dari lembaga-lembaga yang terlibat dalam penataanruang dan lingkungan.

Setelah informasi disampaikan (tahap“informationout”), kesempatan kemu-dian diberikan pada masyarakat untukmenyampaikan pandangan-pandanganmereka, baik yang menyangkut hakekatdari persoalan, berbagai kemungkinanpenyelesaiannya, atupun peran merekadalam mengimplementasikan dan memo-nitor hasil-hasil keputusan. Tahap inibiasa disebut sebagai tahap masuknyainformasi (informasi-in). Ini merupakankomponen yang penting, karena menan-dakan bahwa agensi publik tersebuttidak mempunyai semua informasi danpemahaman, serta secara jelas memintamasukan dari pihak luar. Sementarabeberapa butir yang akan disepakatidalam proses partisipasi ini ditentukan,perlu pula diingat untuk secara menerusmelakukan kontak atau interaksi antaraagensi publik tersebut dengan pesertayang terlibat dalam proses.

Dalam prakteknya, penataan ruangdapat dirinci atas tiga tahap yakni:

a. Perencanaan;b. pemanfaatan; danc. pengendalian ruang.

Peran serta masyarakat dapat terjadipada tiga tahap tersebut dengan tingkat

Page 80: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

79Hesty Hastuti, Peran Serta Masyarakat dalam Kebijakan Tata Ruang

kesertaan dan mekanisme yang berbeda.Sebagaimana dapat dilihat dalam Tabelberikut ini, pada masing-masing tahaptersebut masyarakat harus secara aktifterlibat. (Lihat Tabel 2)

Penting dicatat bahwa, seringkali kitahanya memikirkan peran serta masya-rakat dalam penataan ruang hanya padatahap perencanaan saja. Hal ini tidakbenar oleh karena dinamika perkem-bangan kota justru lebih sering terjadi“di luar” rencana yang ada. Oleh karenaitu masyarakat harus terus secara aktif

berperan dalam proses pemanfaatan danpengendalian ruang. Khususnya me-nyangkut proses-proses pembangunanyang dilakukan oleh pemerintah danpihak swsata yang sangat intens, masya-rakat harus terus mengawasi dan aktifberperan serta dalam proses pengen-dalian ruang.

KESIMPULAN1. Peran serta masyarakat dalam

pengaturan tata ruang merupakan se-buah hak yang dijamin oleh konstitusi,

Tabel 2 Peran Serta Masyarakat dalam Tahapan Penataan Ruang

Page 81: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

80 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

sebagaimana yang terdapat pada Pasal 33UUD NRI. Dalam tataran operasionalperan serta masyarakat juga diatur dalamUndang-undang Penetaan Ruang yaituNomor 26 Tahun 2007, dan PeraturanPemerintah Nomor 68 Tahun 2010tentang Bentuk dan Tata Cara Masya-rakat Dalam Penataan Ruang. Artinya disini pemerintah berupaya memberikanruang bagi masyarakat untuk berperansecara optimal. Terutama dari pasal-pasal yang terkandung dalam peraturantersebut terlihat bahwa peraturanpenataan ruang yang terbaru telah jauhlebih lengkap dan komprehensip teru-tama yang mengatur mengenai keterli-batan masyarakat dalam tata ruang.

2. Terdapatnya hambatan dalampelaksanaan peran serta masyarakatdalam pengaturan tata ruang disebabkanoleh faktor internal dan eksternal yangterdapat pada masyarakat. Faktor inter-nal seperti rendahnya pendidikan,pemahaman, kesadaran implementatif,konsistensi, dan komitmen di kalanganmasyarakat akan peran yang seharusnyadapat dilakukan, serta dari faktor ekster-nal seperti minimnya sosialisasi, kemu-

dian pelibatan masyarakat yang hanyabersifat formalitas belaka, Namundemikian, walaupun banyak masyarakatyang pesimis dengan program-programpelibatan peran masyarakat seperti ini,masih terlihat adanya antusiasme daribeberapa anggota masyarakat lainnya.

3. Mekanisme pelibatan masyarakatdalam pengaturan tata ruang tidak hanyapada tahap perencanaan saja, padahaldinamika perkembangan kota justrulebih sering terjadi “di luar” rencanayang ada. Oleh karena itu masyarakatharus terus secara aktif berperan dalamproses pemanfaatan dan pengendalianruang. Khususnya menyangkut proses-proses pembangunan yang dilakukanoleh pemerintah dan pihak swsata yangsangat intens, masyarakat harus terusmengawasi dan aktif berperan sertadalam proses pengendalian ruang. Untukmencapai kondisi dimana pemanfaatanruang perkotaan dapat dilakukan dengancara partisipatif oleh seluruh pelakupembangunan, maka perlu adanya peranpositif dari tiap pelaku pembangunanberdasarkan tugas dan kewenangannyamasing-masing•

Page 82: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

81Cut Augusta et al, Perencanaan Tata Ruang Lanskap Di Pedesaan

PERENCANAAN TATA RUANGLANSKAP DI PEDESAANPerencanaan Tata Kelola Lahan Berskala Kecildalam sebuah Kerangka Hukum*

Oleh Cut Augusta Mindry Anandi & Chris PA Bennett1

Indonesia merupakan satu daribeberapa negara di dunia yang kayaakan keanekaragaman hayati, dengan

simpanan karbon dan lahan gambut. Dariperspektif lanskap, kawasan hutan dan

lahan gambut berada paling banyak diPulau Sumatra, Kalimantan, dan Papua.Jika ketiga pulau tersebut digabung akanmenjadi kawasan dengan simpanankarbon terbesar di wilayah iklim tropis(Betha et al. 2013; Page et al. 2010) danhutan hujan tropis ketiga terbesar tersisadi dunia (Broich et al. 2011). Hingga kini,ancaman deforestasi dan degradasi terusterjadi di kawasan-kawasan strategis inidari berbagai aktifitas dari sektor swastayang mencakup aktifitas pertambangan,ekspansi agroindustry, dan penebangankayu dan juga dari pihak masyarakatsetempat dengan kegiatan cocok tanam.

A R T I K E L

Pendekatan lanskap penggunaan lahan yang berkelanjutan semakin banyak diterapkan. Tataguna lahan semacam ini dipandang sebagai pendekatan yang mendukung pertumbuhan ekonomi.Namun dalam penerapannya sering menghadapi tantangan. Ada banyak contoh kasus yang gagalkarena area yang sangat luas dan tidak terkendali, konflik lintas batas, biaya tinggi dan koordinasiantar lembaga yang tidak memadai. Saat ini fokusnya pada pendekatan sub-lanskap yang memilikitiga tingkatan yurisdiksi zonasi tata ruang. Pertama, rencana tata ruang di tingkat kabupaten;Kedua, berlandasan di dalam distrik, yurisdiksi pengelolaan penggunaan lahan; Ketiga, kelompokdesa yang berada pada lingkungan biofisik serupa dalam wilayah kabupaten dan semua tanahnegara dan swasta. Penerapan dari pendekatan ini seperti proyek USAID-LESTARI di Aceh dianggapstrategis untuk pembangunan konservasi dan ekologi dalam lanskap yang lebih luas.

Kata kunci: Indonesia, tata ruang bentang alam, pemetaan partisifatif, perencanaan wilayahdesa, titik balik, pembagian wilayah, alokasi pemanfaatan lahan

* Berdasarkan makalah “Upstream to Downstream:Jurisdictional Sub-Landscape Approach TowardsSustainable Land Use Planning” disajikan padaKonfrensi Tahunan Bank Dunia berjudul Tanahdan Kemiskinan Dengan tema”ResponsibleLand Governance: Towards an Evidence-basedApproach”, Washington DC 20-34 March 2017

1 Cut Augusta MA, Sustainable Land Use PlanningCoordinator, LESTARI-USAID; Chris Bennett, Fo-restry & Land Use Governance, USAID-LESTARIIndonesia, chris.bennett@lestari-indonesia. org.

Page 83: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

82 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

(Chomitz dan Griffiths 1996; Hansen etal. 2010; Sunderlin et al. 2005).

Berbagai LSM, instansi pemerintahdan pihak swasta, berupaya untukmencapai titik temu dalam pendekatanatau kebijakan yang paling mungkusuntuk menyeimbangkan kepentinganpelestarian alam dan pembangunan..Lambin dkk. (2014) berpendapat bahwaintervensi efektif harus dapat mengim-plementasikan rencana yang mengha-silkan perubahan positif di tingkat dasar.Pendekatan berbasis lanskap dianggapdapat memberikan solusi yang salingmenguntungkan seumua pemangkukepentingam dalam bidang pengelolaanpenggunaan lahan. Pendekatan ini terusdigunakan pemerintah, LSM, dan sektorswasta sebagai sarana untuk mencapaipembangunan yang berbasis penggunaanlahan secara berkelanjutan (Proforest2016). Proyek pengembangan konservasiterintegrasi atau Integrated Conser-vation Development Project (ICDP) danproyek Restorasi Bentang Alam (ForestLandscape Restoration - FLR) adalahcontoh proyek yang memprioritaskansetiap pemangku kepentingan di dalamdan di sekitar wilayah lanskap yangterkena dampak sebagai bagian dariupaya penyadaran, meskipun dengantingkat kesuksesan yang berbeda (Sayer2005; Dudley dkk. 2005).

Instansi pemerintah Indonesia se-sungguhnya telah berpengalaman mene-rapkan pendekatan lanskap, meskipundengan target sectoral yang konven-sional. Sebagai contoh, KementerianLingkungan dan Kehutanan (KLHK)mengidentifikasi daerah aliran sungai(DAS) untuk delineasi wilayah adminis-

trative bagi pengelolaan lahan hutan.Demikian pula Badan PerencanaanPembangunan Nasional (Bappenas) yangmempertimbangkan konektivitas lintasbatas kabupaten dan provinsi dalamupaya pembangunan infrastruktur danpembangunan secara umum. Dan contohterakhir, Kementerian Desa Pemba-ngunan Daerah Tertinggal dan Trans-migrasi (Kemendesa) membuat gugusandesa berdasar potensi komoditas per-tanian, wisata, dan arah pembangunan.

Namun demikian, pendekatanlanskap tidak terbebas dari kontroversi.Secara positif, pendekatan ini lebihberpeluang memberikan pertumbuhanekonomi dan pembangunan bersamaantugas menjaga kelestarian hutan danpengelolaan sumber daya alam untukpemenuhan kepentingan semua pihak;masyarakat setempat, pihak swasta, danpemerintah (Reed et al. 2016). Pende-katan ini mengakui setiap pemangkukepentingan untuk semua jenis penggu-naan lahan (Perhutanan, hutan tanam,pertanian) di dalam dan di luar lingkupwilayah, bagaimana para pihak dapatsaling berhubungan dan memanfaatkansatu sama lain (Sayer et al 2013; Frost etal 2006). Pendekatan ini diakui memilikikeunggulan dalam mengidentifikasi danmengatasi masalah-masalah kolektif yangkerap terjadi di area tertentu.

Sebaliknya, ada tantangan dalamimplementasi pendekatan ini. Salahsatunya adalah pengelolaan kawasanlintas batas yang luas. Pengumpulan datadi wilayah yang luas dan berbeda karak-teristik dan variasi adalah sulit (Grootdkk., 2010). Dengan sistem desentralisasidi Indonesia, masih terdapat egosektoral,

Page 84: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

83Cut Augusta et al, Perencanaan Tata Ruang Lanskap Di Pedesaan

dimana pemerintah di tiap wilayah ad-ministratif bekerja secara egosentrisdengan kepentingan dan kewenanganyang berbeda-beda. Tantangan lainnyaterkait dengan komitmen dan waktu yangtidak sebentar (Dudley et al. 2005).

Masyarakat yang tinggal di pinggirhutan, misalnya, masih melakukanpraktek berladang dengan cara “tebas-bakar”, karena itu penyuluhan intensifuntuk meningkatkan kesadaran harusdiprioritaskan untuk mengubah sikapdan kebiasaan agar lahan dapat diman-faatkan dengan lebih baik. Selanjutnya,membangun kerjasama antara pemangkukepentingan turut membutuhkan kerjakeras agar tidak semata-mata dan selamausia proyek yang biasanya terbatas limasampai sepuluh tahun. Di banyak kasus,ketika masa proyek berakhir, masih adakesenjangan pemahaman tentang proyekdi antara instansi pemerintah dan masya-rakat sehingga initiative tidak berlanjut.

Makalah ini mencoba membahaspendekatan pendekatan berdasarkanlanskap berskala kecil, pada tahap sub-lanskap yang dilakukan sebagai bagiandari proyek USAID LESTARI (2015-2019). Dimana saat ini USAID LESTARImelakukan intervensi di tiga provinsi diIndonesia, yaitu Lanskap Leuser diProvinsi Aceh, Lanskap Katingan-Kahayan di Kalimantan Tengah, dandataran rendah Papua, terutama dataranrendah Lorenz dan Mappi-Boven Digoel,masing-masing dengan variasi tanah kayamineral, lahan gambut, dan area gambut.Tiap lanskap dicirikan dengan matapencaharian utama dan masalah biofisik,seperti, kebakaran hutan dan lahangambut di Kalimantan Tengah, sumber

daya air di Aceh, dan masyarakat tra-disional di Papua.

Pembahasan tulisan ini di fokuskanpada lanskap Leuser Aceh, 70% daritotal arealnya yang masih berupa hutan,meskipun kawasan hutan terus mengha-dapi ancaman di sekitar pinggirannya.Sejak awal tahun 1970-an, hutan nasio-nal sudah dibagi fungsinya, untuk hutanproduksi, hutan lindung, dan TamanNasiomal Gunung Leuser (TNGL)ditetapkan pada tahun 1980-an. Darisudut pandang lanskap, wilayah resapanair memainkan peranan penting dalammenentukan batas administrative untukKesatuan Pengelola Hutan (KPH III, V,dan VI), dan merupakan sumber kehi-dupan masyarakat (perikan air tawar,kegiatan pertanian) dan air minum.Namun, Karena pengelolaan tata gunalahan yang buruk di daerah resapan air,termasuk hutan, mau tidak mau, banjirdan longsor menjadi bencana tiap tahun-nya. Di Aceh, semua desa terletak dihilir sungai dan di sekitar wilayah hutan.Banjir dan longsor menjadi perhatianpemangku kepentingan lokal, sementarakekhawatiran pemerintah mencakuppenebangan liar dan meningkatnyajumlah pengusaha kecil yang tertarikuntuk mengubah lahan kelolanya men-jadi kebun kelapa sawit.

Dengan pembahasan ini diharapkandapat memberikan gambaran tentangtahapan proses intervensi di lokasi pilotsehingga dapat direplikasi khususnyapada wilayah dengan kondisi biofisik dansocial yang mirip. Terutama suatukegiatan yang bertujuan untuk pemba-ngunan beremisi rendah dan perlin-dungan keanekaragaman hayati.

Page 85: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

84 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

PETA ACEH

Page 86: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

85Cut Augusta et al, Perencanaan Tata Ruang Lanskap Di Pedesaan

Implementasi kegiatan di lakukan ditingkat desa yang berbatasan dennenkawasan hutan. Desa-desa dipilih berda-sarkan kedekatan lokasi dan isu ataupotensi serupa seperti perlindungandaerah aliran sungai. Di kebanyakan, sisipembangunan desa di perbatasan hutancukup lamban. Budaya subsisten masya-rakat ini terfokus pada kebutuhan jangkapendek dan tidak memiliki rencana masadepan. Pada saat yang sama, merekamengalami kesulitan mendapatkanpendampingan untuk praktik pertanianyang baik, dan panduan untuk memper-baiki desa, karena komunitas ini keba-nyakan berada di daerah terpencil.

PRINSIP PENDEKATANBERBASIS LANSKAP

Dalam memahami berbagai tantangandan potensi pendekatan lanskap dalamusaha menyeimbangkan kebutuhan matapencaharian, konservasi, dan pemba-ngunan, maka mengidentifikasi elemen-elemen dasar yang akan mendukungperbaikan jangka panjang pada pengelo-laan penggunaan lahan di lapangansangatlah penting. Dimulai dari “rencanadi atas kertas” kemudian direalisasikankedalam penerapan secara pragmatis danbertahan lama. Pendekatan tersebutdilakukan dalam kerangka kerja berda-sarkan tiga tingkatan dasar yurisdiksizonasi tata ruang - yang Pertama, ren-cana tata ruang di tingkat kabupaten;Kedua, yurisdiksi pengelolaan lahan,termasuk kawasan produksi maupunkonservasi dan tanah negara maupunpribadi, dan; Ketiga, gugusan desadengan karakteristik biofisik yang

serupa. Dalam implementasinya, setidak-nya ada lima prinsip kerja yang perluditaati (Bennett & Suhardi 2017)

Konektifitas antar SektorPentingnya melakukan kerja sama

dengan berbagai pihak yang memilikikepentingan yang berbeda (instansipemerintah lintas sector, masyarakat danpelaku bisnis) dalam pembangunanadalah suatu keniscayaan. PembentukanForum Multipihak atau Multi-Stakeholder Forum (MSF) dilakukansebagai langkah awal. MSF baik di skalakecil tingkat desa maupun lebih besardengan fungsi memupuk pemahaman,rasa hormat dan kepercayaan di antaraanggota. Forum ini merupakan wadahyang terbuka dimana pemangku kepen-tingan dapat mengungkapkan pendapat,bertukar informasi, mengajukan solusiuntuk mencapai titik temu dalam penge-lolaan lingkungan dan sumber daya alam.Peran penting MSF cukup signifikan padasalah satu kasus proyek Bank Dunia,PLANAFLORO di Rondonia, Amerikalatin pada tahun 80-an (Mahar andDucrot, 1998). Proyek itu menerapkanpendekatan zonasi untuk memperbaikipengelolaan tata guna lahan pada daerahpinggiran hutan. Pada prosesnya, proyekini memberikan pesan bahwa kerjasamaantara pemangku kepentingan (peme-rintah, masyarakat yang terdampak,pemegang izin, dan pemangku kepen-tingan di luar jangkauan proyek) sangat-lah penting. Meningkatkan komunikasi,pertukaran informasi, dan kerjasamaantara pemangku kepentingan dapatmengurangi kesalahpahaman dan penga-ruh negatif dari pihak luar.

Page 87: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

86 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

Contoh lainnya adalah forum MSFuntuk pengelolaan DAS. Dimana ang-gota perlu sepaham bahwa DAS adalahsuatu ekosistem tersendiri dan berjasapada kehidupan. Forum tersebut dapatmenjadi sarana untuk menyatukanpemahaman bahwa baik dan buruknyakualitas DAS akan mempengaruhikehidupan masyarakan di hilir. Karenaitu, MSF menjadi wadah yang dapatmendorong semua pihak untuk menya-dari bahwa kegiatan produksi yangbersifat ekstraktif di hulu kelak berkon-tribusi pada bencana di hilir, sepertibanjir, tanah longsor dan kekeringan.

Kenali Instrumen Perencanaanyang Ada

Langkah strategis ini untuk menge-nali berbagai peraturan dan instrumenperencanaan yang ada. Di Indonesia,instrument-instrumen perencanaantersebut wajib ada tingkat Nasional,Provinsi, Kabupaten hingga desa dansudah ditentukan fungsinya dimanamemiliki prioritas pembangunan yangberbeda2. Misalnya, menurut sudutpandang sectoral, terdapat rencana yangterfokus pada tata kota dan pengelolaanhutan disusun sebagai acuan pemba-ngunan jangka menengah dan panjang.Proses membuat instrument ini telahmelalui Kajian Lingkungan Hidup Stra-tegis (KLHS) yang dilakukan secarapartisipatori oleh instansi pemerintah

terkait dan para ahli.Inisiatif yang ditetapkan harus seda-

pat mungkin menghindari penyusunanprogram dan rencana baru yang mungkintidak sesuai dengan instrumen yang ada,yang belum tentu segera diterima olehpemerintah daerah. Terutama di negara-negara dengan sistem desentralisasi, unitotonom yang menjalankan pemerintahandan pembangunan di tingkat lokal me-miliki kewenangan dalam mengaturperaturan dan mungkin berbeda denganpemerintah pusat. Prinsip kedua inimenuntun kita ke tahap selanjutnya daripendekatan sub-lanskap.

Sesuaikan dengan YurisdiksiSeperti yang telah dijelaskan sebe-

lumnya instrumen-instrumen perenca-naan adalah pedoman resmi pemerintahdalam pembangunan. Rencana tata ruangprovinsi dan kabupaten adalah yangutama di Indonesia karena memberikanarahan rencana pembangunan danalokasi wilayahnya (kawasan industry,kawasan pertanian, kawasan permu-kiman, kawasan hutan, perlindunganDAS, dan sebagainya). Pada tingkatmikro di wilayah dengan alokasi ka-wasan hutan secara khusus pengelolanyamemiliki kewenangan tersendiri. Penge-lolanya adalah KPH yang mengaturkawasan lindung dan produksi; danBKSDAE yang mengatur taman nasional.Masing-masing pengelola memilikirencana tata ruang tersendiri dan tipepengelolaan yang berbeda. Terlepas dariperbedaan pengelolaan dan kewe-nangan, maka secara umum pengelolaan-nya dikoordinasikan dengan pembuatkeputusan tingkat nasional yang terkait.

2 Instrumen perencanaan diantaranya RencanaTata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Ren-cana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP),Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota(RTRWK), Rencana Pembangunan JangkaMenengah Desa (RPJMDES)

Page 88: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

87Cut Augusta et al, Perencanaan Tata Ruang Lanskap Di Pedesaan

Harmonisasi proyek intervensidengan rencana pembangunan pemerin-tah yang jelas akan memberikan ke-kuatan hukum agar dampaknya dapatbertahan paska proyek. Berpatokan padahirarki wilayah Kabupaten, yurisdiksipengelolaan penggunaan lahan, baik yangberada di lahan negara untuk konservasiatau produksi yang berada di tanahnegara maupun lahan pihak swasta. Didaerah-daerah perbatasan hutan, pemba-ngunan yang sesuai dengan instrumenyang ada akan membantu upaya perbai-kan tata guna lahan dan hutan. Padatahun 1970-an, kawasan hutan di zonasi-kan di atas kertas berdasarkan tutupanvegetasi dan keadaan biofisik. Dalamprosesnya, alokasi yang dibuat tidakdisertai dengan pengakuan formal bagimasyarakat yang sudah tinggal di ka-wasan tersebut. Hal ini menyebabkanberbagai masalah muncul terkait keti-dakpastian tenurial, terutama padapenggunaan lahan masyarakat untukpertanian dan penggembalaan di dalamzona-zona hutan. Partisipasi masyarakatdan harmonisasi dengan instrument yangada dapat memperbaiki pembagian batasdesa, penggunaan lahan, dan pem-bangunan desa yang sesuai.

Mengembangkan Kumpulan sub-Lanskap dalam Lanskap.

Cakupan wilayah kerja dapat menen-tukan keberhasilan suatu proyek inter-vensi. Suatu lanskap dapat merupakansatu kesatuan yang terkoneksi dariekosistem, hutan, koridor spesies, DAS,dan komoditas agrikultur. Tanpadelineasi yang tegas, wilayah cakupanakan menjadi terlalu besar dan tidak

terkontrol. Fokus pada sub-lanskap,dapat memberikan prioritas yang spesifikbertujuan untuk mengatasi masalah yangpaling mendesak di wilayah target yangmemiliki unsur konektivitas yang kuatdengan elemen-elemennya. Ukuran sub-lanskap harus cukup kecil agar dapatdikelola secara efisien dan menemukansinergi antar aktifitas namun wilayahnyaharus cukup besar sehingga dapat dire-plikasi. Misalnya, pembentukan kawasanperdesaan yang terdiri dari lima sampaisepuluh desa yang saling tergantungterhadap manfaat lingkungan dari DAS didalam kabupaten yang sama yang mendu-kung mata pencaharian yangberkelanjutan.

Verifikasi dan AkuntabilitasDampak Lanskap

Langkah ini bertujuan untuk mening-katkan data penggunaan lahan yang akandigunakan untuk menjustifikasi, meman-tau dan verifikasi yang lebih baik untukpengambilan keputusan di tingkat tapakdan tingkat atas, yang terkait denganpenggunaan lahan. Salah satu isu utamayang tersisa di daerah tropis adalahkonflik pada penggunaan lahan karenaalokasi hutan di perbatasan hutan(Barbier and Burgess 1997), danketidakpastian tenurial (Larson dkk2013), dan tata pemerintahan yanglemah (Lambin dkk 2014), yang jugaterjadi di Indonesia (DepartemenKehutanan 2008).

Sinergi antara rencana pembangunanpemerintah dan intervensi menjadikanproses verifikasi dan akuntabilitas tataguna lahan yang transparan. Berbagaidata dan indikator dapat diakses oleh

Page 89: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

88 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

publik untuk menunjukkan proses,kemajuan,dampak berbasis hasil. Haltersebut penting bagi berbagai pihakkhususnya pemegang ijin dan pemberiijin pemanfaatan lahan agar mengetahuiinformasi terkait kondisi lanskap. Seba-gai contoh, adanya data titik api, bekaskebakaran, pembangunan jalan yangtidak seharusnya, dimana data-data yangtersedia dapat membuat perbandinganantar yang non-faktual (spasial) dengandata dasar (Temporal). Tantangannyaadalah jika data dan indikator berbedametodenya, maka tidak diakui olehpembuat kebijakan sebagai capaian yangditargetkan.

Pada skala yang lebih kecil, proses inibisa dimulai di desa yang berada sekitarhutan. Untuk mengoptimalkan peman-faatan lahan, masyarakat harus mendo-rong proses perencanaan tata ruangdesa. Melibatkan perwakilan pihakswasta, masyarakat dan pemerintahuntuk meluruskan pengelolaan peman-faatan lahan yang bertubrukan, merupa-kan pendekatan untuk perbaikan datageospasial tata guna lahan yang lebihbaik dimana dapat menyelesaikan seng-keta lahan

IMPLEMENTASI TINGKATSUB-LANSKAP KAWASANDESA SEBAGAI MODELYANG DAPAT DIREPLIKASI

Lima prinsip di atas melandasi tigajenjang yang saling terkait pada prosesimplementasi yang dilakukan secaraparalel pada tingkat sub-lanskap. Dengandemikian, kerangka kerja ini menerap-kan tiga tingkatan yurisdiksi zonasi

perencanaan tata ruang dasar di lokasipilot. Kegiatan dilakukan pada sub-lanskap kawasan desa karenaketerikatan masyarakat.

Dinamika komunitas desa pinggirhutan dengan budaya, kepercayaan danlokasi tempat tinggal dapatmempengaruhi bagaimana masyarakatdesa memperlakukan lingkungannya,sebagai pelindung atau sebaliknya(Colferdkk.1996). Bagi masyarakat yang tinggaldi hutan, terdapat persepsi merekauntuk melindungi hutan sebagai bagiandari hubungan spiritual, dan numbermata pencaharian seperti hasil hutanbukan kayu (HHBK). Juga terdapatmasyarakat yang reaktif, mengaggaphutan berfungsi untuk pemenuhankebutuhan dan peningkatan pendapatan,Membuka hutan untuk produksi per-tanian masih banyak dilakukan, sepertipraktik pertanian tradisional berladang,yang melakukan tebang dan bakarkarena terbatasnya pengetahuan tentangteknologi pertanian (Padoch dkk., 1998).Selain itu, pembukaan hutan juga meru-pakan bagian dari cara untuk melakukanklaim atas lahan di daerah hutan (Foxdkk., 2009; Angelsen, 1995). Persepsiyang saling bertentangan ini dapat terjadidi satu sub-lansekap yang sama sehinggamengarah pada konflik lahan antarberbagai pihak yang terus menerus.

Jenjang satu - Perencanaan tataruang kawasan perdesaan

Desa merupakan yurisdiksi palingrendah dalam hierarki pemerintahan diIndonesia. Terdapat sekitar 75.000 desayang turut menjadi unit paling pentingdalam pembangunan sosial dan ekonomi

Page 90: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

89Cut Augusta et al, Perencanaan Tata Ruang Lanskap Di Pedesaan

di Indonesia. Pada wilayah yurisdiksidesa terdapat tanah negara yang dua pertiganya berstatus kawasan hutan negaradan tanah swasta/pribadi. Pada tahun2013, dikeluarkan keputusan MahkamahKonstitusi Nomor 35 turut mengako-modasi pengakuan penunjukan tanahadat. Karena itu tata ruang memberikanwadah untuk pembagunan desa yangterarah. Dalam konteks peraturan,perencanaan tata ruang dalam desatertuang dalam undang-undang3 danperaturan menteri4.

Idealnya, rencana pembangunan didesa harus terkait dengan rencanapembangunan di kabupaten/kota induk.Ini terkait sebagai perangkat yang digu-nakan untuk mendukung proses pemba-ngunan yang terfokus dan tepat sasaran.Ironisnya, rencana pembangunan kerapkali tidak terhubung satu sama lain,sehingga memperlambat proses pemba-ngunan. Salah satu contoh penting dariperangkat pembangunan di tingkat desadi Indonesia adalah Rencana Pemba-ngunan Jangka Menengah Desa(RPJMDes). RPJMDes wajib disusun dandirumuskan sebagai acuan daam menen-tukan alokasi dana desa. Pemerintahkabupaten menggunakan RPJMDESuntuk pertimbangan program dan danayang dibutuhkan desa. Terkait peman-faatan dana, desa cenderung fokus padakebutuhan saat ini seperti perbaikan

prasarana dan prasarana umum sepertiakses transportasi, atau balai pertemuanmasyarakat. Terkadang aktifitas inisemakin mendorong pembukaan lahanhutan.

Dalam implementasi proyek,RPJMDES menjadi pintu masuk kegiatandi desa. Hal ini merupakan langkahstrategis, karena pemerintah Indonesiamewajibkan setiap desa memiliki renca-na pembangunan enam tahun ke depanyang diakomodir dalam dokumenRPJMDES. Dalam penyusunannya proyekintervensi membantu desa dalam pen-dampingan masyarakat, dan menyadar-tahukan adanya keterkaitan pemba-ngunan desa dengan perlindungan danpengelolaan hutan dan laan sepertikegiatan pemantauan hutan, mening-katkan komoditas pertanian yang akanmendukung konservasi hutan, kegiatanperlindungan DAS atau kegiatan siagabencana.

Sebagai masukan untuk perencanaantata ruang desa dalam RPJMDES, ProyekLestari juga melakukan pemetaan partisi-patif untuk zonasi desa. Zonasi tersebutmerupakan upaya untuk mengendalikanpemanfaatan lahan di sekitar daerahaliran sungai dan kawasan hutan. Menu-rut FAO, zonasi bertujuan “memisahkanarea dengan potensi dan kendala pemba-ngunan yang serupa.” Proses ini bertu-juan untuk meningkatkan pengelolaanpenggunaan lahan sebagai fokus utama,ada peningkatan kebutuhan untukpengendalian penggunaan lahan lebihlanjut di tingkat masyarakat pedesaan,untuk mendefinisikan ulang dan menin-jau kembali zona hutan yang ada yangditetapkan oleh negara untuk tata kelola

3 Undang-undang No.6/2014 Tentang Desa4 Terdapat dua peraturan kementrian: a.

Kementerian Dalam Negeri 114/2014 TentangPedoman Pembangunan Desa, b. KementerianDesa, Pembangunan Daerah Tertinggal, danTransmigrasi 21/2015 Penetapan PrioritasDana Desa Tahun 2016

Page 91: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

90 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

hutan oleh KPH dan BKSDAE. Peman-faatan lahan dan kesepakatan zonasiyang disetujui akan memperlambatdampak negatif pada kualitas daerahaliran sungai dan mendukung keseim-bangan lingkungan alam sekitar (Lee2009).

Proses partisipasi sangatlah pentingdalam kegiatan zonasi. Perencanaan tataruang dan rencana pembangunan partisi-patif akan menampung informasi dalamkonteks lokal dan untuk mendapatkandukungan langsung dari masyarakat(Valencia -Sandoval 2010). Negoisasizonasi di masyarakat merupakan pende-katan yang digunakan dalam perenca-naan penggunaan lahan sebagai bagiandari REDD+ untuk mendorong penge-lolaan sumber daya berkelanjutan diLaos ( Bourgoin dkk 2012). Di daerahtangkapan air Konto Atas di Indonesia,kebijakan zonasi di desa dilakukan untukmendukung petani dalam intensifikasilahan berdasarkan teori land sparing danland sharing, (penyisihan dan pembagianlahan). Partisipasi masyarakat dalamzonasi membantu menangkap perbedaanide dan penetapan zona lahan berdasar-kan skenario yang dibuat oleh masyara-kat yang mencerminkan hasil biofisik,tenaga kerja dan nilai ekonomi (Lusianaet al 2012). Hal ini sesuai dengan arahanpemerintah melalui Peraturan MenteriDalam Negeri 114/2014 tentang pemba-ngunan desa, yang menekankan partisi-pasi masyarakat, dalam pengumpulaninformasi, rencana pengembanganprogram, dan perencanaan tata ruangdesa yang memprioritaskan optimalisasipenggunaan lahan, mempertimbangkannilai-nilai ekonomi, timbal balik terha-

dap dampak lingkungan, dan mengiden-tifikasi tantangannya.

Sebagai lokasi pilot, dua desa terpilihyaitu Babah Lhung dan Alue Selasih diKabupaten Abdya5. Kedua desa memilikicakupan hutan terluas di Abdya (AcehBarat Daya). Fokus kegiatan adalahzonasi pengelolaan lahan dan hutan yangberbasis DAS. Kedua desa mencakupilahan swasta dan kawasan hutan negarauntuk produksi, perlindungan dankonservasi. Sedangkan kondisi DAS diwilayahnya, yaitu DAS sangat pentinguntuk kemaslahatan di hulu desa hinggahilir, yang merupakan ibukota kabupatenAceh Barat Daya (ABDYA)

Di tingkat kabupaten, terdapat empatDAS di Abdya (lihat Table 2). Intervensidilakukan di DAS Susoh, salah satu DASutama yang menghubungkan TamanNasioal Gunung Leuser, KPH V dankawasan perkotaan Blangpidie di Kabu-paten Abdya. DAS Susoh juga merupa-kan bagian dari kawasan irigasi kewe-

Tabel 1 Daerah Aliran Sungai di AcehBarat Daya beserta luasannya

Daerah Aliran Sungai Luas(DAS) (Ha)

a. DAS Seumayam 35.438,51

b. DAS Manggeng 38.083,08

c. DAS Susoh 24.789,51

d. DAS Batee 89.893,93

5 Gampong Babah Lueng memiliki total luasansekitar 44.604ha, dan Gampong Alue Selasih37.787ha (perhitungan berdasar softwarepemetaan ArcGIS).

Page 92: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

91Cut Augusta et al, Perencanaan Tata Ruang Lanskap Di Pedesaan

nangan nasional. Pengelolaan di sekitarDAS Susoh dapat menjadi model yangideal yang terkait dengan biofisik Leuseryang lebih luas dalam kabupaten Abdyadan berpotensi memperoleh dukunganpolitis untuk direplikasi.

Kegiatan zonasi dilakukan denganpendampingan intensif tim di desa dankonsultasi rutin dengan perwakilanapparat pemerintah dan pemuda desa,dinas terkait serta KPH dan TNGL.Sejauh ini, selain koordinasi di desa,sekitar 50 kepala desa di DAS Susohtelah bertemu untuk memastikan masya-rakat memiliki visi yang sama mengenaipendekatan yang digunakan.

Tim di desa terdiri dari para pemang-ku-kepentingan yang dapat mengajakmasyarakat untuk berkolaborasi. Keha-diran masyarakat akan mendukungkualitas zonasi yang kaya dengan pema-haman budaya setempat, yang mungkinsudah menerapkan penataan ruangsecara adat. Tim menggali tata wilayahadat yang diterapkan tetapi tidak disadarimasyarakat sebagai tata ruang. Sebagaicontoh, lokasi yang dikeramatkan dandilarang untuk melakukan kegiatanapapun dan kawasan untuk kegiatanberburu, dan lokasi yang tidak bolehdibuka/ditebas. Informasi seperti iniakan sangat bermanfaat untuk mem-bangun pemahaman yang sama di antaraanggota tim agar memperoleh dukungandari masyarakat. Membawa informasi inipada proses zonasi dapat mengangkatpengelolaan lahan saat ini untuk rasio-nalisasi tata wilayah yang valid. Sebagaitambahan, hal ini dapat membangun rasakepemilikan dari masyarakat. Tim iniadalah perumus yang melakukan analisa

informasi yang diberikan dari pertemuanwarga (dijelaskan berikut), melakukanpenelusuran lapangan, menganalisa danyang akan memantapkan zonasi hinggafinalisasi. Dalam proses zonasi ini kamilakukan pertemuan sebanyak lima kalidalam periode lima Bulan.

Secara paralel, juga diselenggarakanpertemuan kelompok dimana pesertadibagi ke dalam beberapa kelompokyang mewakili kelompok perempuan,lansia, pemuda, dan petani. Pertemuanini dimaksudkan agar para pesertamendapat gambaran keterkaitan antarakehidupan masyarakat, rencana pemba-ngunan desa dan kelestarian lingkungan(misalnya kualitas aiar sungai, hutan dankualitas lahan). Tiap kelompok membuattabel identifikasi ruang di desa, peman-faatan lahan di desa (hutan adat, hutankeramat, HHBK, habitat spesies ter-tentu, pertanian), kawasan yang secarahistoris berbahaya, tempat-tempatpenting di desa, lokasi kegiatan matapencaharian, kapasitas kawasan denganmenggunakan bahasa daerah setempat.Berdasarkan peta tersebut, tiap kelom-pok membuat analisis kondisi dari tiappenggunaan lahan tersebut, apakah adabencana yang terjadi di kawasan terse-but, apa elemen yang terpenting padakawasan tersebut (seperti sungai, bukit,bakau, lahan gambut), potensi yang ada,dan bagaimana hal-hal itu mempengaruhikehidupan kita. Dalam pertemuan iniTim menggunakan citra satelit yangtersedia untuk membantu visualisasi.

Karena kedua desa cukup luas untukmencapai wilayah hutan, maka diguna-kan beragam citra satelit baik denganresolusi tinggi (30cm) dan rendah (30m)

Page 93: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

92 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

sehingga sebagian besar lokasi dapatdijangkau. Hampir semua pemukimandesa dan pertanian aktif dicakup olehcitra dari World View (30cm) tahun2014 dan 2016 yang diperoleh dari hibahNASA. Sedangkan wilayah pertanianhingga hutan yang tidak ter-cover,menggunakan LANDSAT (30m) tahun2017, Sentinel (10m) tahun 2017.

Selanjutnya, tim desa berperan aktifdalam proses pembuatan zonasi. Dalamtiap pertemuan tim desa didorong untukmenyuarakan pendapat masyarakat baikyang pro-dan –kontra dari zona yangdiusulkan karena mungkin dapat ber-dampak pada kepentingan masyarakat.Tabel prioritas disusun untuk mencatathasil diskusi yang terjadi. Penelusuranlapangan dilakukan untuk memastikanbahwa visualisasi komunitas mewakilikenyataan yang ada di lapangan.

Tahap selanjutnya adalah memprosesdata secara teknis dengan menggunakanperangkat pemetaan. Ahli teknis dariTim melanjutkan proses transfer data,menggunakan perangkat lunak ArcGIS.Data yang digunakan dalam pembuatanzonasi berdasar tabel informasi daripertemuan warga, penelusuran lapangan,dan analisa sederhana tim desa dalamrencana pemanfaatan lahan dan pem-bangunan desa. Produk akhir untukzonasi dituangkan pada peta skala1:5000 sesuai arahan pemerintah yangdisajikan kepada masyarakat dan pe-mangku kepentingan lain (pemerintah,swasta). Karena kedua desa seringmengalami kendala teknis seperti tenagalistrik, keterbatasan waktu, maka Timmenyiapkan peta hasil diskusi dalam A0yang dilapisi plastik, untuk dibawa padatiap pertemuan.

GAMBAR 3 Proses Pemetaan dengan Kelompok Perempuan

Page 94: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

93Cut Augusta et al, Perencanaan Tata Ruang Lanskap Di Pedesaan

Pembahasan lanjutan dilakukandengan melibatkan warga, KPH danwakil dari pemerintah kecamatan dankabupaten. Pembahasan ini menjadisuatu kesempatan bagi warga untukmelakukan justifikasi atas pembagianpemanfaatan lahan yang sudah ada danyang akan datang berdasarkan blok KPH,zona taman nasional, atau dengan wila-yah penyangga lainnya yang digunakanoleh pihak swasta (misalnya perusahaanminyak kelapa sawit, karet). Dalammembuat zonasi desa, Tim mengacupada zona utama KPH6 dan taman

nasional7, yang terbagi ke dalam zonalindung, zona sakral, zona rehabilitasi,dan zona lain seperti zona tradisiional(wilayah yang dikramatkan), dan zonawisata (jika ada). Pada tiap zona, komu-nitas warga menentukan peraturansendiri seperti larangan, dan syarat-syarat untuk pemanfaatan lahan ataupembukaan lahan. Sebagai contoh padazona yang dilindungi, kegiatan dibatasihanya untuk mengumpulkan hasil HHBKdan melarang segala kegiatan pertanian.Pengajuan zonasi dapat bermanfaatuntuk melampirkan tata kelola desa yang

Kesempatan warga melakukan justifikasi atas pembagian pemanfaatan lahan yang sudah ada dan yang akandatang berdasarkan blok KPH

6 Peraturan Pemerintah Indonesia No. 6/2007tentang Tata Kelola Hutan dan RencanaPengelolaan Hutan, dan Pemanfaatan Hutan

7 Peraturan Menteri Kehutanan P.56/Menhut-II/2006 tentang petunjuk untuk zonasi TamanNasional

Page 95: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

94 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

lebih jelas sebagai pemenuhan syaratsketsa desa pada RPJMDES. Tim desadapat memanfaatkan zona untuk peng-gunaan dana desa dan rencana pem-bangunan yang terarah, misalnya per-mohonan pengembangan wisata.

Jenjang kedua– Rasionalisasi danHarmonisasi Zonasi Hutan Negaradan Tanah Swasta

Langkah ini bertujuan untuk mengin-dentifikasi dan memastikan diakuinyablok KPH, zonasi taman nasional danajuan zonasi desa. Pada wilayah studi,KPH, –sebagai unit pengelola hutan ditingkat sub-lanskap, baru terbentuk.Dari segi operasi, KPH ini dalam prosesmenyusun rencana kerja (RPHJP) yangakan menentukan blok (blocking). Darisegi intervensi, kegiatan ini dikaitkandengan jenjang pertama. Pengajuanzonasi di tingkat desa memungkinkanuntuk berkontribusi memberi masukanpada bloking KPH yang berada di wila-yah yang berinteraksi langsung denganmasyarakat.

Dalam mengoperalisasikan KPH yangbaru dibentuk, sering ditemukan ber-bagai kesulitan. Alokasi blocking merupa-kan salah satu dari tantangan tersebut.Karena bekerja antar lintas kabupaten,maka akan terdapat masalah yang ber-beda yang perlu diatasi, terutama ditingkat masyarakat karena perbedaanbudaya setempat, ketergantungan padahasil hutan dan tenurial di kawasanhutan. Di Aceh, masalah yang seringditemui adalah ketidak-jelasan batasantara wilayah hutan lindung dan ka-wasan pertanian. Banyak ditemukanpertanian masyarakat terdapat di dalam

blok kawasan produksi KPH atau ka-wasan mencari HHBK berada di dalamhutan lindung.

Pada tingkat sub-lansekap, Tim jugamemfasilitasi KPH agar memahamidinamika pemanfaatan lahan dari parapemangku-kepentingan. Menjembatanikerjasama antara KPH, perwakilantaman nasiional, mayarakat di wilayahkerja dilakukan dengan beberapa cara,seperti pelibatan dalam penyusunanRPJMDES dan RPHJP. Sebagai balasan,zonasi yang telah ditentukan oleh masya-rakat sekitar KPH akan berkontribusisebagai bahan pertimbangan untk mem-perjelas alokasi pemanfataan lahan hutandan pembagian blok RPHJP. Hal ini jugaakan mendukung penyebaran informasimengenai tata ruang agar dapat memper-baiki pengelolaan sumber daya alam(SDA) serta pemberian izin pemanfaatanhutan. Potensi manfaat jangka panjangadalah membuka kesempatan kerjasamapengelolaan antara KPH dan masyarakatyang terdampak seperti skema masyara-kat hutan (HKm), dukungan yang lebihkuat untuk memasarkan masyarakatNTFP, dan kerjasama lainnya yangberbasis ekonomi.

Jenjang ketiga– PerencanaanTata Ruang Kabupaten yang Rinci

Singkronisasi intervensi di tingkatsub-lansekap berdasarkan instrumenperencanaan pemerintah kabupaten.Proses ini akan mendukung keber-lanjutan program intervensi. Disampingitu, kegiatan bertujuan juga untuk men-selaraskan dengan kebijakan nasionalSatu Peta yang mengakui perlu adanyakompilasi data geospasial, integrasi dan

Page 96: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

95Cut Augusta et al, Perencanaan Tata Ruang Lanskap Di Pedesaan

sinkronisasi8. Capaian itu dilakukandengan proses spasial untuk pengajuanzonasi dengan rasionalisasi dan harmo-nisasi pemanfaatan lahan antara desa dankawasan pengelolaan hutan. Kebijakandan ketersediaan data diteruskan denganInisiatif USAID-LESTARI yakni memba-ngun suatu perangkat skrining perijinanSDA (sustainability screening tool - SST)yang memberikan kepastian zonasi didalam wilayah perijinan dapat turutdiharmonisasikan dengan batas zonasipemanfaatan lahan yang terkait denganizin tersebut. Misalnya mencerminkanperkiraan jarak ke kawasan yang rentanseperti hutan lindung tau zona riparian.Dengan membangun sistem ini, zonasiyang ada dapat digunakan untuk keterbu-kaan data yang akan mempermudah jalurkoordinasi dan pengambilan keputusan.

Untuk singkronisasi, program inter-vensi mempelajari kesesuaian dengan

program pemerintah. intervensi turutmemberi kontribusi pada kajian ling-kungan hidup strategis (KLHS) yang akanmenjadi masukan dalam rencana tataruang daerah jangka panjang (RTRW)atau menengah (RPJM). Fungsi KLHSyang sesuai dengan Program intervensi,memberikan ruang untuk mempelajaripotensi kawasan di setiap sektor terma-suk perlindungan dan konservasi ling-kungan hidup. Dengan identifikasikawasan konservasi yang terdapat padasub-lanskap, Tim dapat mengkaitkankawasan terkait dengan program pemerin-tah yang memberikan kekuatan hukum.

Di lanskap Abdya, identifikasi wila-yah prioritas dalam RTRW untuk tatakelola lingkungan adalah DAS. Timbekerjasama secara intensif denganBadan Koordinasi Perencanaan RuangDaerah (BKPRD) Kabupaten9. Dalam hal

Table 2 Bandingan luas fungsi lahan yang terdampak olehKSK DAS Susoh dan RTRWK Abdya Qanun 17/2013

8 Perpres 9 tahun 2016 tentang percepatanpelaksanaan kebijakan satu peta.

9 BKPRD merupakan tim yang terdiri dari dinas-dinas daerah yang bekerja untuk penyusunanperencanaan tata ruang jangka panjang.

Page 97: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

96 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

rencana tata ruang, pihak pemerintahmengakui pentingnya perlindungan padaDAS di Abdya guna mendukung kegiatanekonomi seperti pertanian dan memini-malisir potensi banjir. Berdasarkanpemahaman ini, pemerintah setempatmenguatkan satu sub-lanskap DAS Susohsebagai fokus tata kelola lahan dan hutansebagai Kawasan Strategis Kabupaten.Kawasan Strategis asalah kawasan yangditetapkan sebagai bernilai untuk kepen-tingan nasional, provinsi atau kabupatensecara khusus; alamnya, secara ekonomi,dan terkait pertahanan seperti tamannasional, daerah aliran sungai dan ka-wasan komoditas potensial. Kawasanyang ditetapkan ini diperkuat dengantanda tangan Bupati. Untuk pengelolaankawasan strategis, pemerintah wajibmenyusun rencana tata ruang tersendiri,Rancangan Tata Ruang Kawasan Stra-tegis Kabupaten (RTRKSK) namunterkait dengan RTRWK (Table 2).Menggunakan kendaraan RTRKSK ini,kami mengkaitkan proses zonasi di desa(jenjang kesatu) yang berada di huluDAS. Dengan memusatkan perhatian

pada perlindungan DAS, pendekatan inijuga secara langsung mempengaruhiperbaikan tata kelola pemanfaatn lahandi desa dan hutan.

Data di bagian luar bersumber dariRTRWK Abdya (187.252ha) dan bagiandalam wilayah cakupan KSK DAS Susoh(25.207ha)

Terdapat sekitar 56 desa yang ber-dampingan dengan DAS Susoh. Setelahmelalui pembahasan selama enam bulan,DAS Susoh sebagai KSK ditandantanganioleh Bupati pada Desember 2016.Dengan penandatangan resmi ini makasecara undang-undang, pemerintah danmasyarakat bertanggung jawab untukmenjaga DAS dan meminimalisir dampakdari kegiatan dari hulu hingga hilir.

Menyusul hasil kerja dari BKPRD,Tim juga mendukung penyusunan renca-na tata ruang rinci untuk kawasan per-kotaan (RDTR). RDTR adalah rencanapemerintah kabupaten jangka panjangyang secara spesifik untuk pembangunankawasan perkotaan. RDTR yang disusunmencakup kawasan perkotaan Blang-pidie, yang menjadi pusat kabupaten

Page 98: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

97Cut Augusta et al, Perencanaan Tata Ruang Lanskap Di Pedesaan

Abdya. Kawasan perkotaan Blangpidieberada di hilir DAS dimana ketergan-tungan masyarakat tinggi.

Dalam menyusun RDTR, bantuanyang diberikan Tim adalah membantupengembangan kapasitas dalam menyu-sun dokumen, teknis pemetaan dananalisis. Produk akhir dari RDTR adalahdokumen dengan kekuatan hukumperaturan bupati. Melalui proses RDTRyang terfokus pada arus hilir di kawasanperkotaan, dan KSK untuk kawasanhulu, maka pemerintah akan memilikilandasan untuk menghubungkan tatakelola lahan dan hutan serta pemba-ngunan kawasan pedesaan dan kawasanperkotaan yang terfokus pada perlin-dungan DAS Susoh.

Dari seluruh proses jenjang mulaikesatu, kedua dan ketiga yang dilakukansecara paralel membutuhkan komitmenyang tinggi. Komitmen menjadi tolakukur keberhasilan kegiatan, yang diberi-kan dari pihak implementor intervensi,pemerintah setempat dan warga. Komit-men ini terbangun dengan adanya pema-haman yang sama atas tujuan kegiatandari awal. Karena itu proses advokasimemiliki posisi krusial di tingkat ekse-kutif pemerintah dan terutama, anggotaBKPRD, KPH, Taman Nasional danmasyarakat desa. Sementara, di tingkatnasional komunikasi dilakukan dengankementerian terkait terutama Kemen-terian ATR dan KLHK. Komunikasidilakukan untuk menginformasikan

Page 99: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

98 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

bahwa pendekatan yang inovatif ini,samasekali tidak bertenatangan denganperaturan yang telah ada, bahkan me-ningkatkan kemungkinan adanya penga-kuan dan menghormati batas zonasi danmelaporkan para pengambil keputusanseperti peraturan Kawasan Perdesaanyang sedang disusun oleh KementerianATR.

KESIMPULAN

Berdasarkan kegiatan yang dilakukan,Proyek Lestari sepakat bahwa pende-katan lansekap adalah pendekatanmenjanjikan. Pendekatan sub-lanskap dikawasan yang lebih kecil terlihat lebihefektif dalam mencapai target. Meskidemikian, perlu diakui adanya ketidak-pastian akan keberlanjutan dampakprogram intervensi. Tanpa menyangkalkenyataan yang terjadi di lapangan,bahwa berbagai masalah kepentingansektoral dapat muncul. Di tingkat desa,masyarakat khawatir terhadap kepemi-likan lahan terutama yang berada dikawasan hutan. Perlu penjelasan beru-lang bahwa zonasi adalah salah satu carauntuk mendapatkan alternatif solusibersama pengelola hutan.

Dalam pelaksanaan pendekatan sub-lanskap, Proyek Lestari merujuk padalima prinsip untuk implementasi pro-gram yang terarah dan efektif. Prinsip iniditerapkan pada tiga jenjang yang dilaku-kan secara paralel. Setiap jenjang mem-pengaruhi satu sama lain untuk keber-hasilan program. Pada jenjang pertama,mengangkat proses zonasi dalam prosesperencanaan tata ruang desa dapatmenstimulasi proses perbaikan tata

kelola lahan, terutama dikawasan desa diperbatasan hutan. Dalam semangatreplikasi, desa-desa yang berdampinganakan bersedia mengikuti jejak serupaberdasar contoh di desa pilot. Selain itu,harmonisasi perencanaan tata ruang yangrinci dengan skala detail hingga 1:5000(RDTR dan peta desa partisipastif)memberikan zona ruang yang lebih rinci.Jenjang kedua berkaitan dengan kola-borasi antara pengguna dan pengelolalahan. Kolaborasi ini bertujuan untukmerasionalisasi dan mengoptimalkanpengelolaan lahan yang dilakukan ber-dasar zonasi. Proses ini dapat membukakesempatan untuk melakukan pengelo-laan manfaat lahan di hutan untuk jangkapanjang dengan cara memasukkanproses zonasi partisipatif ini dalamdokumen RPHJP. Jenjang ketiga adalahproses yang kompleks , tetapi palingstrategis karena berhubungan dengankeberlanjutan dampak program. Advo-kasi yang dilakukan telah mampu menje-batani perbedaan pemangku kepentinganmelalui pertemuan informal dan formalbersama pemerintah, dan masyarakathingga mendapat pemahaman yang sama.Status hukum DAS Susoh sebagai KSKyang mengikat di hulu dan hilir, akanmeningkatkan kemungkinan diberikan-nya dukungan lebih kuat dari pemerintahsetempat dan pemerintah nasional,swasta, LSM dan masyarakat setempat.Contohnya, ketersediaan dukungandana, dukungan tenaga ahli untuk pe-ngembangan kapasitas dimasa depan.

Dalam seluruh proses ini, ProyekLestari melihat bahwa untuk keber-lanjutan dampak program perlu investasidalam peningkatan kapasiatas masya-

Page 100: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

99Cut Augusta et al, Perencanaan Tata Ruang Lanskap Di Pedesaan

rakat desa dan pemerintah setempat.Pemahaman yang sama antar semuapihak juga harus konsisten dan dipupukuntuk membangun komitmen selamaproses kegiatan berlangsung•

REFERENSIAngelsen, A., (1995), Shifting Cultivation

and “Deforestation”: A Study fromIndonesia, World development, vol.23, no. 10, pp. 1713-1729

Barbier, E., & Burgess, J. (1997). TheEconomics of Tropical Forest LandUse Options. Land Economics, 73(2),174-195. doi:10.2307/3147281

Bennett, C.P.A. & Suryadi, S (2017).Function and Status in Conflict: Over-coming sectoral barriers to multi-stakeholder collaboration for sustain-able landscapes. Jurnal LESTARI, Ed.2,2017.

Betha, R., Pradani, M., Lestari, P., Joshi, U.M., Reid, J. S., Balasubramanian, R.,(2013), Chemical speciation of tracemetals emitted from Indonesian peatfires for health risk assessment, Atmos-pheric Research, vol. 122, pp. 571–578

Broich, M., Hansen, M., Stolle, F., Potapov,P., Margono, B. A., & Adusei, B. (2011).Remotely sensed forest cover lossshows high spatial and temporalvariation across Sumatera and Kali-mantan, Indonesia 2000–2008. Envi-ronmental Research Letters, 6(1),014010.

Chomitz, K. M., & Griffiths, C. (1996).Deforestation, shifting cultivation, andtree crops in Indonesia: nationwidepatterns of smallholder agriculture atthe forest frontier. Poverty, Environ-ment, and Growth. World Bank,Washington DC.

Colfer, C. J. P., Woelfel, J., Wadley, R. L., &Harwell, E. (2001). Assessing people’s

perceptions of forests: Research inWest Kalimantan, Indonesia. Peoplemanaging forests: the links betweenhuman well-being and sustainability, 135-154.

Directorate General of Forestry PlanningMinistry of Environment and Forestry(2012) Regulation P.5/VII-WP3H/2012on the technical guidelines of forestgovernance and forest managementplan of Protected Forest ManagementUnit (KPHL) and Production Forestmanagement unit (KPHP)

Dudley, N., Mansourian, S., Vallauri, D.,(2005), Forest restoration in lands-capes: beyond planting trees eds.Mansourian, S., & Vallauri, D., SpringerScience & Business Media.

Fox, J., Fujita, Y., Ngidang, D., Peluso, N.,Potter, L., Sakuntaladewi, N., Sturgeon,J., Thomas, D. (2009), Policies, Political-Economy, and Swidden in SoutheastAsia, Human Ecology, Vol. 37, Issue 3,pp. 305–322

Government of Indonesia (2007), Govern-ment of Indonesia regulation number 6year 2007 on forest governance, forestwork plan and forest use

Government of Indonesia (2007), Nationalconstitution number 26 year 2007 onspatial planning

Government of Indonesia (2014), Nationalconstitution number 6 year 2016 onVillage

Hansen, M. C., Stehman, S. V., & Potapov,P. V. (2010). Quantification of globalgross forest cover loss. Proceedings ofthe National Academy of Sciences,107(19), 8650-8655.

Kompas (2016) Pemda berinovasi TidakDapat Pidana. Kompas, edisi cetak,2016 April 20, hal. 4.

Lambin, E.F., Meyfroidt , P., Rueda, X.,Blackman, A., Borner, J., Cerutti, P.O.,Dietsch, T., Jungmann, L., Lamarque, P.,Lister, J., Walker, N.F., Wunder, S.

Page 101: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

100 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

(2014) Effectiveness and synergies ofpolicy instruments for land use govern-ance in tropical regions, Global Envi-ronmental Change, Vol. 28: 129-140

Larson, A.M., Brockhaus, M., Sunderlin,W.D., Duchelle, A., Babon, A., Dokken,T., Pham, T.T., Resosudarmo, I.A.P.,Selaya, G., Awono, A. and Huynh, T.B.,(2013) Land tenure and REDD+: Thegood, the bad and the ugly. GlobalEnvironmental Change, 23(3), pp.678-689.

Mahar, D. J., & Ducrot, C. E. (1998). Land-use zoning on tropical frontiers:emerging lessons from the BrazilianAmazon, The World Bank, Wa-shington, D.C.

Ministry of Forestry (2006), RegulationNomor P. 56 /Menhut-II/2006 on theguidelines of National Park zones

Ministry of Forestry (2008) Consolidationreport reducing emissions from defo-restation and forest degradation inindonesia, accessed online on https://www.forestcarbonpartnership.org/sites/forestcarbonpartnership.org/files/IFCA_Consolidation_report_REDD_Indonesia.pdf (28 January 2017)

Ministry of Home Affairs (2014) Ministryof home affairs regulation number 114year 2014 on village development

Ministry of village, development of dis-advantage areas and transmigration(2015), Regulation of Ministry ofvillage, development of disadvantageareas and transmigration number 21year 2015 on Priority-setting on theuse of the Village Fund for year 2016

Padoch, C., Harwell, E., Susanto, A., (1998),Swidden‚ Sawah‚ and In-Between:Agricultural Transformation in Borneo,Human Ecology‚ Vol. 26‚ No. 1

Page, S. E., Rieley, J. O., Banks, C. J., (2010),Global and regional importance of thetropical peatland carbon pool, GlobalChange Biology, vol. 17, issue 2

Proforest (2016) Introduction to land-scape or jurisdictional initiatives incommodity agriculture, accessed onlineat http://www.proforest.net/en/publi-cations/introduction-to-landscape-or-jurisdictional-initiatives-in-commodity-agriculture, 01 December 2016

R.S. de Groot, R. Alkemade, L. Braat, L.Hein, L. Willemen (2010) Challenges inintegrating the concept of ecosystemservices and values in landscapeplanning, management and decisionmaking, Ecological 7 260–272

Sayer, J. , Sunderland, T., Ghazoul, J., Pfund,J., Sheil, D., Meijaard, E., Ventera, M.,Boedhihartono, A.G., Day, M., Garcia,C., van Oosten, C.,Buck, L.E. (2013),Ten principles for a landscape ap-proach to reconciling agriculture,conservation, and other competingland uses, PNAS, vol 110, no.21

Sunderlin, W. D., Angelsen, A., Belcher, B.,Burgers, P., Nasi, R., Santoso, L., &Wunder, S. (2005). Livelihoods,forests, and conservation in developingcountries: an overview. World de-velopment, 33(9), 1383-1402.

USAID LESTARI (2016), Restoring peat-land hydrology in Indonesia to reducefire and haze, LESTARI Brief No. 04,27 Juli 2016

Valencia-Sandoval, C., Flanders, D. N.,Kozaka, R.A., (2010) Participatorylandscape planning and sustainablecommunity development:Methodological observations from acase study in rural Mexico, Landscapeand Urban Planning, Vol. 94, pp. 63–70

Page 102: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

101Sigit Setiawan, Urgensi Green Budgeting dalam Menurunkan Emisi

URGENSI GREEN BUDGETINGDALAM MENURUNKANEMISI

Oleh Sigit Setiawan*

Masalah lingkungan hidup bukansaja mencakup pencemaranlingkungan, namun juga me-

lingkupi masalah perubahan iklim.Masalah lingkungan hidup ini dalamdekade belakangan ini menjadi perhatianglobal dan menjadi bahan pembicaraansemua pihak. Mengingat pentingnyapermasalahan tersebut, maka masalahlingkungan menjadi salah satu skalaprioritas untuk ditangani bersama olehseluruh pemangku kepentingantermasuk masyarakat.

Lingkungan hidup merupakan sumberdan tata kehidupan yang memberikan

berbagai manfaat bagi keberlangsungankehidupan manusia. Manfaat lingkunganhidup terdiri dari manfaat ekologi(ecological benefit), manfaat ekonomi(economi cal benefit) dan manfaat sosial(social benefit).1 Ketiga pilar lingkunganhidup ini menjadi sumber dan tatakeberlanjutan kehidupan bagi manusiamaupun bagi kelangsungan lingkunganhidup itu sendiri. Permasalahannya fungsilingkungan tersebut tidak dimanfaatkansecara seimbang, apalagi setelah melihatberbagai rentetan peristiwa kerusakanlingkungan hidup yang begitu masifakhir-akhir ini.

A R T I K E L

* Peneliti Badan Kebijakan Fiskal, KementerianKeuangan. 1 Pezzy (1992) dan Sexton (2008)

Kerusakan lingkungan hidup seringkali juga dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi. Hal ini untukmembenarkan bahwa kemakmuran suatu negara dapat diwujudkan melalui laju pertumbuhandan investasi sebagai dasar membangun masa depan kesejahteraan rakyat. Akibatnya, sumberdayaalam dijadikan sebagai salah satu sandaran utama untuk mempercepat pertumbuhan. Belakanganini mulai banyak dikembangkan pendekatan pembangunan yang mengintegrasikan kepentinganekonomi dan lingkungan. Salah satu pendekatan yang kini mulai dikembangkan adalah penerapangreen budgeting, yaitu paradigma penganggaran yang memprioritaskan unsur kelestarian lingkungandalam penyusunan, implementasi, pengawasan sampai evaluasi dalam belanja pemerintah danjuga pendapatan yang mendukungnya.

Kata kunci: pertumbuhan ekonomi, perubahan iklim, anggaran hijau.

Page 103: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

102 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

Kerusakan lingkungan hidup sering-kali juga dikaitkan dengan pertumbuhanekonomi.2 Di Indonesia, sejak OrdeBaru, pembangunan telah membawapersoalan lingkungan hidup dan kemanu-siaan. Konsep pembangunan yang meno-morsatukan pertumbuhan yang dicanang-kan sejak rezim Soeharto yang selanjut-nya berevolusi melalui reformasi hinggasaat ini, seolah berhasil membenarkanbahwa kemakmuran suatu negara dapatdiwujudkan melalui laju pertumbuhandan investasi sebagai dasar membangunmasa depan kesejahteraan rakyatIndonesia. Dengan alasan memacupertumbuhan ekonomi, negara seolahmutlak memberikan perlindunganhukum dan keamanan bagi investasi.Sumberdaya alam dijadikan sebagai salahsatu sandaran utama untuk mempercepatpertumbuhan tersebut, termasukmengikutsertakan alasan kesejahteraanrakyat sebagai jaminan untuk menopangpertumbuhan tersebut.

Masalah lingkungan hidup memangbukan persoalan salah satu negara saja,tetapi sudah menjadi tanggung jawabseluruh bangsa dan negara. Oleh karenaitulah berbagai upaya dilakukan oranguntuk mencegah tambah rusaknyalingkungan hidup. Seperti dengan dise-lenggarakannya KTT Bumi, ProtokolKiyoto, dan lain sebagainya. Bahkanbeberapa negara yang masih meman-faatkan bahan bakar fosil, berusahamengurangi efek rumah kaca denganmenggunakan bahan bakar gas alam yangsecara ekonomis sangat kompetitif biladibandingkan dengan penggunaan

minyak bumi atau batubara.Model-model dan aplikasi pertum-

buhan dengan mempertimbangkankeseimbangan pertumbuhan, sosial sertasuistainabilitas, agar tidak terjadi keru-sakan yang lebih besar mulai dirancang.3

Salah satu pendekatan yang kini mulaidikembangkan adalah penerapan greenbudgeting, yaitu paradigma penganggaranyang memprioritaskan unsur kelestarianlingkungan dalam penyusunan, imple-mentasi, pengawasan sampai evaluasidalam belanja pemerintah dan jugapendapatan yang mendukungnya. Simpli-fikasinya, apapun yang ada di belanja danpendapatan pemerintah diupayakanuntuk memenuhi prinsip kelestarianlingkungan (Wilkinson, et al., 2008).Secara umum green budgeting adalahsuatu gagasan praktis tentang penerapansustainable development dalam sistemanggaran, yang terintegrasi dalam suatudokumen kebijakan yang didasarkanpada prinsip sustainability secara finan-cial, social, dan environmental. Tulisan inidimaksudkan untuk memaparkan dengananalisis deskriptif kualitatif konsep greenbudgeting dan penerapannya di berbagainegara, khususnya di Indonesia.

GREEN BUDGETING DANANGGARAN PUBLIK

Gagasan tentang green budgetingmulai dikembangkan pada era akhir 90-an sejalan dengan semakinberkembangnya konsep sustainabledevelopment. Meskipun secara umumgreen budgeting merupakan bagian dari

2 Sexton (2008) 3 Pezzy (1992)

Page 104: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

103Sigit Setiawan, Urgensi Green Budgeting dalam Menurunkan Emisi

kebijakan ekonomi, akan tetapi dalampenerapannya green budgeting juga akanmenimbulkan dampak kebijakan yangsifatnya non-economical. Seperti misalnyabagaimana penurunan emisi karbon yangditargetkan oleh pemerintah.

APBN merupakan instrumen untukmengatur pengeluaran dan pendapatannegara dalam rangka membiayai pelak-sanaan kegiatan pemerintah dan pem-bangunan, mencapai pertumbuhanekonomi, meningkatkan pendapatannasional, mencapai staitas perekono-mian, dan menentukan arah serta prio-ritas pembangunan secara umum. Dalamkonteks pembangunan berkelanjutanAPBN juga merupakan wujud nyatakomitmen pemerintah untuk menjagakelestarian lingkungan. Dalam konteksinilah konsep green budgeting menjadisemakin penting.

Green Budgeting menjadi upayainternal birokrasi pemerintahan, yangmendorong dan menyertai upayapihak-pihak eksternal seperti masya-rakat dan swasta, untuk secara ber-sama melakukan tindakan melestarikanlingkungan. Green Budgeting menga-rahkan agar kegiatan-kegiatan peme-rintah yang dibiayai APBN, dapatmenghasilkan sampah lebih sedikit,mengurangi dan menggunakan sumberdaya lebih sedikit sekaligus efektif,efisien dan ekonomis, mengurangiemisi gas rumah kaca serta mengurangikesenjangan sosial masyarakat. Dalampraktiknya, jelas dibutuhkan pema-haman yang berorientasi kehidupanjangka panjang, tidak semata-matadinilai dari sudut pandang ekonomis-pragmatis.

Dalam aplikasinya green budgetingdapat dilihat dari dua sisi, yakni dari sisibelanja dan pendapatan. Dari sisibelanja, green budgeting dapat dilihatdari alokasi belanja pemerintah, sepertimisalnya alokasi untuk pembangunaninfrastruktur, perumusan kebijakanpublik, insentif dan disinsentif jasalingkungan hidup, subsidi publik padaenergi dan pertanian, serta operasionalrutin harian pemerintah, yang semuanyadilakukan dengan prinsip kelestarianlingkungan.

Sedangkan dari sisi pendapatan, greenbudgeting melingkupi sumber-sumberpendapatan pemerintah atas kegiatan-kegiatan yang tidak merusak kelestarianlingkungan. Hal ini dapat diwujudkandalam bentuk berbagai kebijakan sepertipemberlakuan pajak lingkungan,penerimaan atas perizinan eksploitasisumber daya alam yang ramahlingkungan, pendapatan dari BUMN danswasta yang menerapkan prinsip greenresources, green process dan greenproduct.

Penerimaan perpajakan memilikiperanan yang strategis dalam menunjangoperasional fiskal pemerintah. Pajakselain berfungsi sebagai sumber utamapenerimaan negara (budgetary), jugaberfungsi sebagai alat pengatur(regulatory) dan mengawasi kegiatanswasta dalam perekonomian. Namaundalam prakteknya di berbagai negaraberkembang, termasuk Indonesia,kebijakan perpajakan masih lebihmenitikberatkan pada fungsi budgetary,sedangkan fungsi perpajakan sebagairegulatory masih jauh dari angan-angan.Sementara itu di negara-negara maju

Page 105: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

104 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

sudah banyak yang memberlakukangreen tax, yakni jenis pajak yangbertujuan untuk menjaga kelestarianlingkungan.

Dalam praktek, green tax dapatditerapkan dalam bentuk pajak ling-kungan dan pemberian green incentive.Dengan pajak lingkungan, maka setiapperusahaan yang dalam operasionalnyamerusak atau bahkan memperparahkerusakan lingkungan akan dikenakanpajak lingkungan (the polluter paysprinciple), sebab bila tidak dipajaki makabiaya yang ditimbulkan akibat kerusakanlingkungan akan jauh lebih besar lagi.4

Jenis pajak seperti ini sudah banyakditerapkan di banyak negara.

Berdasarkan European EnvironmentAgency5, pada tahun 2003 sumbangangreen tax terhadap total penerimaanpajak sangat bervariasi antar negara.Sekedar contoh, di Canada green taxmenyumbang 3.99%, Denmark (10.27%),France (4.91%), Germany (7.44%), Japan(6.58%), Netherlands (8.93%), Norway(6.86%), Sweden (5.84%), UnitedKingdom (7.57%) dan United States(3.46%).

Green insentive pada dasarnyamemiliki tujuan sama dengan green taxyakni menjaga kelestarian lingkungan,namun memiliki cara pandang yangberbeda dalam penerapannya. Greeninsentive lebih dititikberatkan dalambentuk pemberian berbagai jenis insentiffiskal. Kebijakan seperti ini sudah lazimditerapkan diberbagai negara denganbentuk yang berbeda-beda. Sejak 2008

Philipine misalnya telah menerapkangeneral tax rate sebesar 35% dengan taxholiday term 7 tahun, Guatemala sejak2003 juga menerapkan general tax ratesebesar 31% dengan tax holiday term 10tahun. Sementara Nicaragua (sejak2005) dan Panama (sejak 2004)menerapkan general tax rate sebesar30% dengan tax holiday term 7.Development Bank of Japan telah men-danai beberapa proyek pengembanganrenewable energy dengan tingkat bungatetap (fixed) yang lebih rendah daritingkat bunga pasar dengan jangka waktu13-15 tahun. Deutche Wiederbau Bankmemberikan pinjaman dengan bungatetap yang lebih rendah dari tingkatbunga pasar untuk jangka waktu 20tahun.

Green incentive sudah diterapkan dibeberapa negara, seperti misalnya diAmerika, setiap pembelian mobil hibridaatau kendaraan yang memakai tenagalistrik, diberikan insentif pajak sebesar30% dari harga mobil dengan batasanmaksimal pengurangan 10 juta.Pemakaian mobil hibrida juga diberikanamortisasi penuh. Demikian juga peng-gunaan solar cell akan diberi amortisasipenuh, dan dipercepat agar dapat me-nambah deductible expense yang ada.Bagi konsumen AC non CFC diberikanpengurangan pajak sebesar 10% dariharga AC, dan sebagainya.

Keberadaan green tax dipandangsemakin penting, tanpa adanya green taxpemerintah akan mengalami kesulitandalam menjalankan kebijakan lingkunganyang ditujukan untuk pencegahan,pengendalian, dan penanggulanganpencemaran dan/atau perusakannya.

4 Elkins (2015).5 Lihat https://www.eea.europa.eu/

Page 106: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

105Sigit Setiawan, Urgensi Green Budgeting dalam Menurunkan Emisi

Selama ini untuk menjalankan kebijakanlingkungan pemerintah hanya mengan-dalkan sarana pengaturan yang sifatnyatradisional seperti izin dan persyaratanpemakaian teknologi pencemaran.Padahal kunci utama penanggulanganmasalah lingkungan adalah biaya, di siniberlaku “the polluter pays principle”.Prinsip ini juga diberlakukan olehOrganization for Economic Cooperationand Development (OECD) sebagaipangkal tolak kebijakan lingkungan yangefisien dan efektif. Jadi green tax meru-pakan instrumen pengendalian pence-maran yang paling efektif, karena meru-pakan insentif permanen, guna mengu-rangi pencemaran dan menekan biayapenanggulangannya.

Dalam rangka mereduksi kerusakanlingkungan, green tax semakin meme-gang peranan penting. Melalui kebijakanini diharapkan hasil green tax yangterkumpul dapat digunakan untuk mem-biayai perbaikan kerusakan lingkungan.Namun apabila dunia usaha belummampu menurunkan pencemaran ling-kungan misalnya dengan menggunakanteknologi yang ramah lingkungan ataubahan bakar berbasis renewableresources, maka pemerintah dapat mem-berikan green incentive.

Di Indonesiapun pemerintah sudahmulai memberikan sejumlah greenincentive, meski tidak disebut secaraspefisik. Adapun bentuk-bentuk insentiffiskal yang kini telah diberikan peme-rintah antara lain adalah bea masukditanggung pemerintah, (PMK Nomor33/ PMK.011/2009), PPh ditanggungpemerintah, (PMK Nomor 22/PMK.02/2009) dengan mekanisme SPM Nihil,

PPN ditanggung Pemerintah, (PMK No.178/2007), pembebasan bea masuk(PMK No. 177/2007, PMK 179/2007),investment allowance sebesar 5%pertahun selama 6 tahun (PP No. 1/2007dan PP no. 82/2008), dan investorberhak mendapatkan fasilitas Ps 31A UUPPh (PP No. 62 tahun 2008) dalambentuk pengurangan penghasilan netopaling tinggi 30% (tiga puluh persen) darijumlah penanaman yang dilakukan;penyusutan dan amortisasi yangdipercepat; kompensasi kerugian yanglebih lama, tetapi tidak lebih dari 10(sepuluh) tahun; dan pengenaan PajakPenghasilan atas dividen sebesar 10%.

PENERAPAN GREENBUDGETING DI BEBERAPANEGARA

Selama ini green budgeting telahdiberlakukan di beberapa negara maju,bahkan di saat konsep ini belum menjadicommon awareness di negara-negaraberkembang. Beberapa negara mene-rapkan green budgeting sebagai komit-men mereka terhadap pembangunanberkelanjutan. Salah satunya, di Kanadaterdapat Green Budget Coalition (GBC)yang terdiri dari organisasi-organisasicivil society Kanada yang fokus pada isulingkungan dan konservasi. GBC selamaini berperan mendampingi pemerintahdalam mengembangkan, memberikanrekomendasi, dan mengadopsi gagasangreen budgeting dalam sistem anggaranpemerintah. Salah satu rekomendasiGBC yang diberikan untuk anggaran2010 adalah pengembangan investasiuntuk penyediaan air bersih dan energi

Page 107: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

106 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

terbaharui. Seiring dengan perubahan isuyang berkembang, untuk anggaran tahun2017 GBC merekomendasikan kepadapemerintah Kanada perlunya penekananpada seperangkat instrumen fiskal danpembiayaan untuk mencapai targetmitigasi dan adaptasi terhadap peru-bahan iklim, dan target konservasi alamlainnya.6

Praktik lainnya yang lebih sederhanadi Perancis dan Inggris, agar kebersihanlingkungan tetap terjaga pemerintahmerancang kebijakan untuk mengontrolpembuangan sampah untuk mendorongpara pihak agar lebih peduli terhadappermasalahan volume sampah yang terusmeningkat. Salah satu kebijakan tersebutadalah pemberlakuan pajak yang cukuptinggi untuk setiap sampah yang masukke tempat pembuangan disertai pembe-rian insentif ekonomi untuk setiap orangatau badan yang dapat mengurangijumlah sampah yang dibuangnya melaluiproses daur ulang. Di samping itu insen-tif pajak diberikan bagi pihak yangmenyumbangkan kelebihan persediaanmakanan guna menekan tingginya tum-pukan sampah makanan yang terbuangkarena tidak dikonsumsi.7

Green Budgeting di JermanDalam dekade terakhir Jerman

dihadapkan pada dua tantangan yangsama-sama fundamental, yakni krisiskeuangan dan ekonomi di satu sisi, dankrisis ekologi di sisi yang lain. SejakSeptember 2008, krisis ekonomimengguncang pasar keuangan telah

berdampak pada industri manufaktur.Meskipun pembangunan ekonomi padakuartal ketiga 2009, masih menunjukkantanda-tanda pemulihan dan mengakhirikrisis, namun dalam jangka menengahdampak krisis terhadap keuangan publikmasih akan terasa. Dalam upaya untukmeminimalkan dampak krisis Jermanmelakukan konsolidasi fiskal. Dalamrangka mengatasi dampak krisis, ber-bagai insentif perpajakan diberikan olehpemerintah. Langkah selanjutnya, peme-rintah Jerman melakukan kebijakandefisit dengan cara berhutang.

Perubahan iklim global, hilangnyaspesies dalam skala yang belum pernahterjadi sebelumnya dan runtuhnyakeseimbangan ekosistem juga perlumendapatkan perhatian. Untuk itukonsumsi energi dan sumber dayaekonomi harus dikurangi. Untuk untukmencapai kemakmuran yang konstanatau meningkat, maka perekonomianharus dikendalikan melalui penggunaansumber daya yang lebih ramah ling-kungan. Tujuannya adalah dalam jangkapanjang terciptanya ekonomi yangkarbon rendah, yaitu ekonomi yangtidak lagi mengandalkan pada bahanbakar fosil, mensyaratkan peningkatandalam efisiensi energi dan sumber daya.

Dengan latar belakang di atas, makapemerintah Jerman merubah kebijakanpajak dengan dua alasan, yaitu untukmemberikan insentif perpajakan yangdiperlukan untuk konversi ke sistemekonomi yang berkelanjutan atau mem-berlakukan disinsentif perpajakan. Di sisilain, timbul pertanyaan pula bagaimanautang pemerintah dapat dikurangi.Konsekuensi dari kebijakan perpajakan

6 Green Budget Coalition (2016)7 Mourad, M. (2015).

Page 108: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

107Sigit Setiawan, Urgensi Green Budgeting dalam Menurunkan Emisi

dan penurunan beban utang pemerintahadalah pengurangan pengeluaran ataupeningkatan pendapatan. PemerintahJerman dihadapkan pada pilihan langkah-langkah yang harus dilakukan yangmemungkinkan dapat meningkatkanpendapatan negara dari pajak tanpamerusak lingkungan. Pilihan yang ditem-puh pemerintah adalah pengenaan pajaklingkungan dan menghapus subsidi untukkonsumsi barang-barang yang merusaklingkungan.8

Green Budgeting di InggrisPemerintah Inggris kini sedang

menfokuskan perhatiannya pada utangnegara. Namun demikian PerdanaMenteri David Cameron komitmenuntuk mengurangi emisi karbon Inggrissebesar 34% pada tahun 2020. Untukmendukung komitmen tersebut, Peme-rintah Inggris berjanji membiayai inves-tasi pada projek-projek yang ramahlingkungan. Inggris akan berusaha mem-bangun green banking untuk mendukungInggris melalui transisi menuju ekonomirendah karbon. Setidaknya sampaidengan 2020, Inggris membutuhkaninvestasi sebesar £ 200 miliar untukmemastikan pasokan aman energi yangrendah karbon. Pemerintah Inggris jugaberkomitmen menurunkan penguranganemisi 10% antara Mei 2010 sampaidengan Mei 2011.9

Sebagai wujud komitmen Inggrisdalam mendukung penurunan emisikarbon, pemerintah berencanamengalokasikan anggaran Negara untuk

beberapa proyek seperti untuk memba-ngun Laut Utara menjadi hub energiterbarukan di masa depan, mengembang-kan kendaraan yang lebih efisien, men-dorong green industry, mendukunglangkah-langkah efisiensi energi untukgedung-gedung.10 Sementara itu denganmenurunnya penemuan ladang minyakbaru, maka pemerintah berenana men-dorong pengembangan penyimpanan gas,dan mengembangkan enegi listrik de-ngan memanfaatkan tenaga angin lepaspantai. Disamping itu juga akan dikem-bangkan energi listrik angin skala keciluntuk membantu masyarakat.

Green Budgeting di IndonesiaIndonesia merupakan negara peserta

aktif pada United Nations Conference onEnvironment and Development (UNCED,atau juga dikenal sebagai KTT Bumi) diRio de Janeiro, Brasil pada tahun 1992.Pada tahun 1997, Indonesia mengeluar-kan Agenda 21 Nasional, yang per-siapannya melibatkan lebih dari 1000peserta dari berbagai kalangan selamalebih dari dua tahun. Agenda 21 Nasio-nal berisikan rujukan untuk memasukkanprinsip-prinsip pembangunan berkelan-jutan ke dalam perencanaan pemba-ngunan nasional. Agenda 21 Nasional inikemudian diikuti pula oleh Agenda 21Sektoral yang dikeluarkan tahun 2000,meliputi sektor pertambangan, energi,perumahan, pariwisata dan kehutanan.

Indonesia juga telah menandatangani,meratifikasi dan menyetujui berbagaiperjanjian lingkungan multilateral terma-suk Convention on International Trade of

8 Schlegelmilch, K. (2011)9 OECD (2010) 10 Canada Plus (2012)

Page 109: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

108 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

Endangered Species (CITES), Basel Con-vention on Hazardours Waste, ViennaConvention on the Protection of the OzoneLayer dan Montreal Protocol, UnitedNations Convention on Biological Diversity(UNCBD) dan Cartagena Protocol onBiosafety, dan United Nations FrameworkConvention on Climate Change(UNFCCC) dan Kyoto Protocol, sertaUnited Nations Convention to CombatDesertification (UNCCD).

Dalam rangka mendukung pelak-sanaan pembangunan berkelanjutan,pada tahun 1997, pemerintah mener-bitkan Undang-Undang No. 23 tahun1997 tentang Pengelolaan LingkunganHidup, menggantikan Undang-UndangNo. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Ling-kungan Hidup. Undang-Undang barutahun 1999 tentang Kehutanan menetap-kan bahwa bila terjadi kebakaran didalam kawasan perkebunan, tanggungjawab ditimpakan pada pemegang kon-sesi hutan/perkebunan tersebut, Indone-sia juga telah mengeluarkan peraturanpemerintah yang melarang praktekpembakaran untuk membuka lahan.Untuk mengatasi kebakaran hutan danpolusi asap lintas batas, Indonesia mem-prioritaskan pencegahan.

Pemerintah juga mengeluarkanUndang-Undang No. 22 tentang Peme-rintahan Daerah dan Undang-UndangNo. 25 tentang Perimbangan Keuanganantara Pemerintah Pusat dan Daerahyang menjadi dasar kebijakan dalampemerintahan dan pendanaan pemba-ngunan daerah. Lebih lanjut, undang-undang tersebut juga memberikantanggung jawab yang lebih besar untuk

pengelolaan sumber daya dan lingkungandi tingkat daerah dan lokal.Desentralisasi merupakan pendekatanyang baik untuk pembangunanberkelanjutan karena membuka pintulebih lebar bagi partisipasi masyarakat didalam wilayahnya sendiri. Namundemikian, bagaimana hasil daripendekatan desentralisasi ini masihperlu dilihat, sementara kapasitasmasyarakat dan pemerintah daerahmungkin perlu diperkuat.

Pemerintah menyadari bahwapembangunan yang hanya mengejarpertumbuhan ekonomi tanpamemperhatikan suistainable akanberakibat kebijakan yang diambil gagaluntuk mengembangkan hubungan antaralingkungan dan pembangunan. Untuk itupemerintah mulai concern terhadappenerapan konsep green budgeting dalampenganggaran. Tanpa strategi greenplanning and budgeting, pertumbuhanekonomi diprediksi akan menurun ke3,5% di tahun 2050.11

Tingkat keseriusan pemerintahterhadap konsep green budgeting tercer-min pada Rencana Pembangunan JangkaMenengah Nasional (RPJMN) 2010-2014dan 2015-2019. Dalam RPJM tersebutpemerintah berencana mengembangkangreen budgeting secara terintegrasi dalampenganggarannya, baik secara sektoral,daerah, maupun nasional. Dari 21prioritas kebijakan, cakupan kebijakandikerucutkan pemerintah menjadi enamkelompok: kehutanan dan maritim,pertanian, energi dan industri, trans-portasi dan pembangunan perkotaan dan

11 Ministry of Finance Indonesia (2015)

Page 110: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

109Sigit Setiawan, Urgensi Green Budgeting dalam Menurunkan Emisi

daerah, pendidikan dan kesehatan, danprioritas pendukung lainnya sepertiasuransi bencana. Untuk program kebi-jakan tersebut, terdapat sekitar 0,9% –1,1% (Rp 14 – 19 triliun) dari APBNyang telah dialokasikan pemerintahdalam periode 2011 hingga 2014. Berba-gai ukuran indikator telah disertakanguna mengukur efektivitas dari instru-men yang digunakan dalam implementasiprogram.

BENTUK-BENTUKIMPLEMENTASI12

Green budgeting dapat diimplemen-tasikan dalam berbagai bentuk kebijakandan alokasi anggaran pada berbagaiprojek yang ramah lingkungan. Adapunbeberapa contoh bentuk implementasigreen budgeting di Indonesia adalahsebagai berikut:

1. Pemberian insentif dalamrangka pengembangan sumberdaya terbarukan

Melonjaknya harga minyak di pasarandunia, pembatasan BBM bersubsidi dandampak pemanfaatannya terhadap emisikarbon merupakan momen yang tepatbagi pemerintah untuk mengembangkanenergy baru terbarukan (EBT). Selamaini kendala utama dalam mengem-bangkan EBT adalah subsidi BBM. De-ngan adanya subsidi, maka harga energyyang dihasilkan oleh EBT menjadi tidakkompetitif, sehingga tak banyak investoryang tertarik menanamkan modalnya disektor ini.

Pemerintah Indonesia bertekaduntuk mempercepat pengembangan danpemanfaatan energi terbarukan. Bahkanpemerintah telah mengeluarkan insentif,baik fiskal maupun non fiskal bagipengembang energi terbarukan ini.Beberapa bentuk insentif yang sudahdikeluarkan pemerintah antara lainmengenai patokan harga panas bumiyang dikeluarkan oleh KementerianEnergi Sumber Daya dan Mineral(ESDM), penetapan Daerah KawasanPertambangan panas bumi (DKP), demi-kian juga penetapan kerjasama antarainvestor dan pihak pemakai/user dalamhal ini PLN, bahkan beberapa pemerin-tah daerah telah mengeluarkan kesepa-katan kerjasama dengan investor untukpemanfaatan energi panas bumi.

Dalam konteks ini pemerintah telahmengeluarkan berbagai kebijakan dalammendukung pemanfaatan panas bumidengan dikeluarkannya beberapaperaturan. Peraturan tersebut antara lainPeraturan Menteri Keuangan nomor242/PMK.011/2008 tanggal 31 Desem-ber 2008 tentang Pajak PertambahanNilai Ditanggung Pemerintah atas ImporBarang untuk Kegiatan Usaha EksplorasiHulu Minyak dan Gas Bumi serta Panasbumi. Kemudian disusul dengan dike-luarkannya Peraturan Menteri Keuangannomor 22/PMK.02/2009 tanggal 16Pebruari 2009 tentang Mekanisme PajakPenghasilan Ditanggung Pemerintah danPenghitungan Penerimaan Negara BukanPajak atas Hasil Pengusahaan SumberDaya Panas bumi untuk PembangkitanEnergi/Listrik.

Kementerian Keuangan juga telahmengeluarkan Peraturan Menteri

12 Lihat Syadullah (2010) dan Ministry of FinanceIndonesia (2014).

Page 111: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

110 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

Keuangan nomor 178/PMK.011/2007tentang PPN Ditanggung atas ImporBarang untuk Kegiatan Usaha HuluMigas serta Panas bumi. Diharapkandengan peraturan ini pihak swastadiharapkan akan tertarik dalam investasipanas bumi dan sekaligus meningkatkandaya saing dan efisiensi usaha. Padatahun 2010 Peraturan Menteri Keuanganini diperbaharui lagi menjadi PeraturanMenteri Keuangan nomor 21/PMK.011/2010 dan Peraturan Menteri Keuangannomor Peraturan Menteri Keuangannomor 24/PMK.011/2010.

2. Alokasi anggaran kegiatanyang ramah lingkungan

Salah satu wujud kepedulian negaraterhadap lingkungan hidup yang baik dansehat adalah adanya komitmen anggaranberbasis lingkungan hidup. Dalam Pasal45 UU No 32/2009 disebutkan bahwapemerintah pusat bersama-sama denganDewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) danpemerintah daerah bersama-samadengan Dewan Perwakilan RakyatDaerah (DPRD) wajib untuk mengaloka-sikan anggaran yang memadai melaluipolitik dan kebijakan anggaran.Anggaran ini selain dimaksudkan untukmendanai pembangunan berwawasanlingkungan (eco-development), juga untukmembiayai berbagai kegiatan terkaitmasalah perlindungan dan pengelolaanlingkungan hidup. Bentuk alokasi danamelalui dana bagi hasil (DBH), danaalokasi umum (DAU), dana alokasikhusus (DAK), dana dekonsentrasimaupun dana perbantuan.

Anggaran berbasis lingkungan hidupmerupakan instrumen pencegahan

pencemaran maupun kerusakanlingkungan hidup. Dalam konteks iniyang terpenting bukan hanya terletakpada besaran anggaran, namun juga perludiawasi sejauh mana penggunaan danalingkungan hidup direalisasikan. Alokasidan realisasi anggaran untuk lingkunganhidup menunjukkan sejauhmanakomitmen pemerintah dalammengoptimalkan peran penjagaanlingkungan hidup.

Dalam rangka memenuhi komitmenuntuk menjalankan green budgeting,pemerintah akan mengalokasikansejumlah dana yang ditujukan untukmengurangi 26% emisi karbon dan efekrumah kaca. Total kebutuhan dana yangdianggarkan selama 2010 hingga 2020mencapai Rp. 83,3 triliun. Tentunya inimencerminkan arah anggaran menujugreen economy dan green budgeting.Anggaran ini akan dialokasikan untukmenambah budget untuk lingkungan dansumber daya alam di kementerianterkait. Terutama untuk sektor yanglangsung bersinggungan yakni kemen-terian ESDM, Kementerian Kehutanan,Kementerian Pertanian, KementerianIndustri dan sektor sarana dan prasarana.Terkait hal tersebut, secara keseluruhanterdapat tujuh kementerian yang diwa-jibkan untuk menjalankan budget trackingsystem untuk program mitigasi perubahaniklim berdasarkan Peraturan MenteriKeuangan No. 136/PMK.02/2014.13

3. Penurunan subsidiSubsidi pada hakikatnya merupakan

instrumen fiskal yang bertujuan untuk

13 Ministry of Finance Indonesia (2014)

Page 112: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

111Sigit Setiawan, Urgensi Green Budgeting dalam Menurunkan Emisi

memastikan terlaksanakannya perannegara dalam aktivitas ekonomi gunameningkatkan kesejahteraan masyarakatsecara adil dan merata. Adapun tujuanpemberian subsidi berbeda-beda antarsektor. Sebagai contoh subsidi listrikdiberikan oleh pemerintah dikarenakanTarif Dasar Listrik (TDL) yangditetapkan Pemerintah lebih rendah dariBiaya Pokok Penyediaan (BPP) tenagalistrik. Untuk menjaga ketersediaanlistrik bagi industri, komersial danpelayanan masyarakat serta menjaminterlaksananya investasi dan rehabilitasisarana dan prasarana penyediaan tenagalistrik, maka selisih antara TDL denganBPP disubsidi pemerintah.

Dalam perjalannya ternyata subsidimulai menyimpang dari tujuan semula.Subsidi tidak hanya dinikmati olehgolongan masyarakat lapisan bawah,namun kelompok masyarakat lapisanmenengah ke atas yang sebenarnyamemiliki daya beli yang tinggipun ikutmenikmati subsidi, baik subsidi listrikmaupun subsidi BBM. Dengan semakinmembengkaknya alokasi subsidi dansemakin beratnya beban anggaran baginegara karena volume konsumsi terusmelonjak sejalan dengan meningkatnyakemajuan ekonomi di satu sisi,sedangkan di sisi lain subsidi ditengaraisalah sasaran, maka dalam road mapRPJM 2009-2014 dan 2015-2019,pemerintah akan merestrukturisasi polapemberian subsidi listrik secarabertahap. Dalam pola baru tersebutsubsidi kepada kelompok masyarakatmenengah ke atas akan dicabut dandialihkan untuk golongan masyarakatkurang mampu.

4. Pembatasan Konsumsi BBMBersubsidi

Melonjaknya harga minyak yangmenembus angka US$ 100/barel memili-ki implikasi yang luas bagi ekonomiIndonesia. Disamping berdampak padapeningkatan penerimaan minyak dan gas(mgas), juga berdampak pada pening-katan subsidi bahan bakar minyak (BBM).Diperkirakan melonjaknya harga minyakini akan berdampak pada besaran subsidihingga mencapai Rp 70 triliun termasuksubsidi PT PLN (Persero) yang mencapai27 triliun. Untuk itu diperlukan pengelo-laan keseimbangan penerimaan migasdan subsidi BBM.

Tujuan pemerintah menerapkanpembatasan pemakai konsumsi bahanbakar minyak (BBM) bersubsidi disam-ping untuk menghindari membengkaknyasubsidi BBM juga dimaksudkan agaralokasi subsidi tepat sasaran denganmempertimbangkan faktor kemampuandaya beli masyarakat. Menurut hitung-hitungan kasar, pembatasan konsumenBBM bersubsidi dapat menghematpenambahan BBM hingga Rp10 triliunatau dengan kata lain apabila tidakdilakukan pembatasan maka dapatmenambah subsidi Rp10 triliun atausekitar US$1 miliar.

Dalam pelaksanaanya, rupanyarencana pembatasan BBM bersubsiditidak semulus seperti yang ditargetkan.Protes keraspun silih berganti baik dariKamar dagang dan industry (kadin), parapengamat dan berbagai lembaga swadayamasyarakat (LSM). Kadin mengkha-watirkan kebijakan ini akan berdampakkepada kenaikan cost of production,sehingga akan berdampak pada penu-

Page 113: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

112 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

runan daya saing. Sementara itu parapengamat menilai bahwa pembatasanBBM bersubsidi justru akan berdampakpada inflasi. Sedangkan LSM memprotesrencana ini karena akan membuatkehidupan masyarakat kalangan kecilsemakin terhimpit.

Dengan mempertimbangkan berbagaidampak pembatasan subsidi dan tekanandari berbagai LSM, maupun para penga-mat, pemerintah nampaknya cukup“ciut” menghadapinya. Akibatnya imple-mentasi kebijakan pembatasan BBM yangsedianya akan diterapkan mulai April2010, direvisi menjadi September 2010,kemudia dimundurkan menjadi Oktober2010, bahkan sampai sekarang belumterjadi juga dilaksanakan. Menurut beritayang berkembang rencana tersebut baruakan dilaksanakan mulai 1 April 2011.

Seharusnya pemerintah tidak bolehragu dengan kebijakan yang telah disiap-kan dengan matang sebelumnya. Pemba-tasan yang hanya diperuntukkan bagikendaraan pribadi (plat hitam) tidakmungkin berdampak pada inflasi. Fakta-nya transportasi umum bukan menjaditarget pembatasan, begitu pula denganalat transportasi pabrik-pabrik jugamasih diperbolehkan mengkonsumsiBBM bersubsidi. Dengan gambaran inisaja tidak masuk akal apabila pembatasanBBM bersubsidi akan berdampak padacost of production maupun inflasi.

Pembatasan penggunaan BBM ber-subsidi ini tentunya sudah menjadikeharusan, apabila pemerintah berfikirjangka panjang. Pembatasan penggunaanBBM bersubsidi sebenarnya merupakanempati kita pada generasi yang akandatang. Jika kita betul-betul memikirkan

kehidupan berbangsa dan bernegarasecara berkesinambungan, tidak hanyasekarang saja, maka selayaknya kita punberfikir untuk kelangsungan generasimendatang. Ekspresi rasa sayang kitapada generasi mendatang itu adalahmemikirkan kehidupan mereka di masamendatang, termasuk kesediaan Migas(minyak dan gas) untuk menunjangkehidupannya.

Cadangan Migas Indonesia dewasaini semakin menipis dan apabila kitahabiskan sekarang, maka apa yang akankita sisakan kepada generasi mendatang?Mestinya kita bisa berkaca kepadaAmerika Serikat yang sampai sekarangmasih menyimpan cadangan Migasmereka secara baik dan belum mengeks-plorasinya. Strategi yang mereka pilihadalah selama masih ada stok Migasdunia yang bisa diimpor, mereka lebihbaik impor, meskipun dengan hargalebih mahal. Kelak, ketika cadanganMigas dunia sudah berkurang ataubahkan mengalami krisis, mereka barumulai mengekplorasinya. Pada saat itunanti, Amerika Serikat mampu mencu-kupi kebutuhan Migas warganya secaramurah, di sisi lain bisa memperolehkeuntungan besar dari ekspor Migasyang harganya dapat mereka mainkan.

5. Green procurementGagasan green budgeting salah satu-

nya dapat diimplementasikan melaluipenerapan green procurement padakebijakan publik dalam pengertianmendorong pengadaan barang dan jasaoleh pemerintah untuk menilai bukanhanya nilai keuntungan finansial bagipemerintah, namun juga nilai keun-

Page 114: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

113Sigit Setiawan, Urgensi Green Budgeting dalam Menurunkan Emisi

tungan lingkungan dan dampak negatifterkecil.

Green procurement membutuhkanpertimbangan terhadap kinerja ling-kungan yang terintegrasi dalam seluruhproses procurement, yakni tahap peren-canaan, akuisisi, penggunaan dan pem-buangan. Selain itu, green procurementmembutuhkan pemahaman terhadapdampak lingkungan yang potensialterjadi serta biaya yang dibutuhkandengan penggunaan barang dan jasatersebut.

Penerapan green procurement akanmemberikan manfaat yang luas untukpencapaian pembangunan berkelanjutan.Melalui green procurement Indonesiadapat berperan dalam mengurangi emisigas rumah kaca. Untuk itu pemerintahjuga tengah berupaya memperkuatanggaran guna mendukung upaya peles-tarian lingkungan dan sumber daya alamdengan melakukan pengarusutamaanpembangunan berkelanjutan dalamprogram pembangunan dengan indikatortertentu untuk pengukurannya. Langkahini difokuskan untuk sektor yang lang-sung bersinggungan dengan lingkunganhidup, sumber daya alam, perkebunanhingga sarana dan prasarana.

PENUTUP

Green budgeting merupakan salahsatu model dan penerapan dari konsepperencanaan pembangunan yang mema-sukkan keseimbangan pertumbuhan,sosial serta keberlanjutan (sustainabilitas)sebagai dasar pertimbangannya. GreenBudgeting mengarahkan belanja danpendapatan pemerintah secara kompre-

hensif agar bernafaskan kelestarianlingkungan, dan turut berpartisipasidalam target pengurangan emisi karbonyang digalang di forum internasional.Salah satu instrumen utama greenbudgeting yang dipandang paling efektifuntuk mengatasi pencemaran dan keru-sakan lingkungan adalah green tax, dalambentuk pajak lingkungan dan greenincentive. Penerapan konsep greenbudgeting bervariasi di berbagai negaradengan melibatkan berbagai stakeholderstermasuk publik. Di negara maju, peranpublik begitu menonjol dalam memberi-kan masukan dan rekomendasi solusikebijakan bagi pemerintah. Di Indonesia,walau partisipasi publik dan daerahterlihat masih minim, pemerintah telahmulai menunjukkan keseriusannya dalamgreen economy, sebagaimana terlihatdalam berbagai instrumen kebijakan dankebijakan penganggarannya. Pemerintahtelah mulai menata perencanaan danimplementasi kebijakan dan pengang-garannya agar tidak lagi hanya mengejarpertumbuhan, namun juga memperha-tikan keberlanjutan dan dampaknyaterhadap kelestarian lingkungan hidup•

REFERENSI

Schlegelmilch, K. (2011). EnvironmentalTax and Fiscal Reform Elements inGermany. Green Budget Europe

OECD (2010). United Kingdom Policiesfor a Sustainable Recovery

Canada Plus (2012). United Kingdom (UK)Green Build Markets.

Green Budget Coalition (2016). GreenBudget Coalition’s Recommendationsfor Budget 2017. Submission to Houseof Commons Standing Committee on

Page 115: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

114 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

Finance 2016 pre-budgetconsultations. August 4, 2016.

Mourad, M. (2015). France moves towarda national policy against food waste.Natural Resources Defense Council.

Ekins, P. (2015). Implementing environ-mental fiscal reform in Europe. UCLInstitute for Sustainable Resources

Pezzy, J. (1992). Sustainable DevelopmentConcepts : An Economics Analysis.Environment Paper No. 2. The WorldBank, Washington, D.C.

Sexton, M. Barrett, P., dan Lu, S.-L. (2008).The evolution of sustainable develop-ment dalam Murray, M. and Dainty, A.(eds.) Corporate Social Responsibilityin the Construction Industry. Taylor &Francis, pp. 191-213.

Syadullah, M. (2010). Menuju GreenEconomy. Econisia: Fakultas Ekonomi

Universitas Islam Indonesia.Ministry of Finance Indonesia (2015).

Green Planning and Budgeting Strategyfor Indonesia’s Sustainable Develop-ment 2015-2020. Centre for ClimateChange Financing and MultilateralPolicy, Fiscal Policy Agency, Ministry ofFinance Republic of Indonesia

Ministry of Finance Indonesia (2014).Promoting Green Investment inIndonesia. Presented in the 4th SanGiorgio Group Event on Green,LowEmissions Finance: 1617 October2014, Venice

Wilkinson, D., Benson, D., and Jordan, A.J.(2008). “Green Budgeting”, dalam A.Jordan dan A. Lenschow (eds.),Innovation in Environmental Policy?,Cheltenham and Northampton, MA:Edward Elgar Publishing, pp. 70-92.

Page 116: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

115Nurlatipah Nasir, Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Kota Tasikmalaya

DAMPAK ALIH FUNGSI LAHANTERHADAP INDUSTRIKERAJINAN MENDONG DIKOTA TASIKMALAYAOleh Nurlatipah Nasir*

Meningkatnya pertumbuhanpopulasi penduduk telahmenjadi permasalahan global.

Bumi sebagai satu-satunya planet bagiumat manusia telah menampung populasiyang cukup besar. Kurang dari satu abadlalu, jumlah penduduk dunia mencapaiangka dua milyar. Pada tahun-tahunberikutnya, jumlah penduduk dunia terusmeningkat dengan pesat. Dengan per-tambahan satu milyar penduduk setiap12 – 15 tahun, pada bulan April tahun2017 diperkirakan manusia yang ke 7,5

milyar akan dilahirkan (PopulationMatters, 2017). Dalam laporan yangdikeluarkan oleh Departemen Ekonomidan Sosial PBB, puncak populasi pendu-duk dunia diproyeksikan akan mencapai9,22 milyar pada tahun 2075. Namunsetelah mencapai angka maksimum,jumlah tersebut akan berkurang sedikitdan kembali meningkat hingga mencapaijumlah 8,97 milyar pada tahun 2300(Department of Economic and SocialAffairs Population Division, 2004).

Peningkatan populasi pendudukberimplikasi terhadap ketersediaansumber daya alam di bumi. Overpopulasimenjadi ancaman serius bagi kehidupan

A R T I K E L

Konversi lahan pertanian menjadi lahan pemukiman dilakukan secara besar-besaran untuk menja-wab kebutuhan manusia. Alih fungsi lahan pertanian merupakan sebuah solusi kontra produktifdengan wacana pembangunan berkelanjutan. Kebijakan ini hanya memberikan solusi untuk lahanpemukiman, namun melahirkan masalah baru terutama di bidang ekonomi dan lingkungan. DiKota Tasikmalaya, alih fungsi lahan pertanian tidak hanya mengakibatkan menurunnya produksipertanian, namun juga mengakibatkan kelangkaan bahan baku industri kerajinan mendong.Penelitian ini dilakukan di sentra kerajinan mendong Kota Tasikmalaya untuk melihat dampakalih fungsi lahan pertanian terhadap industri kerajinan mendong yang telah menjadi identitasperekonomian masyarakat. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka, observasidan wawancara mendalam.

Kata kunci: alih fungsi lahan, konversi lahan, mendong.

* Nurlatipah Nasir, Dosen STISIP Tasikmalayadan Konsorsium Hijau

Page 117: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

116 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

manusia. Overpopulasi akan mengaki-batkan ketidakseimbangan ekosistemsebagai akibat kurangnya daya dukungalam terhadap kebutuhan manusia. Halini terjadi ketika jumlah populasi pendu-duk melebihi sumber daya yang tersedia.Salah satu dampak dari peningkatanpopulasi penduduk adalah meningkatnyakebutuhan akan ketersediaan lahan.Sementara di sisi lain luas bumi tidakberubah. Peningkatan populasi jugamengakibatkan peningkatan pelepasankarbondioksida ke atmosfer yangberdampak pada pemanasan global danperubahan iklim.

Lahan mempunyai fungsi yang sangatvital bagi manusia. Fungsi lahan sebagaitempat manusia beraktivitas untukmempertahankan eksistensinya (Pewista& Harini, 2013). Manusia membutuhkanlahan untuk berbagai kebutuhan, sepertipemukiman, tempat usaha Namundemikian, fungsi lahan terus berubahseiring meningkatnya jumlah populasidan kemajuan peradaban manusia.Kebutuhan akan lahan yang terus me-ningkat mengakibatkan terjadinya peru-bahan penguasaan dan fungsi lahan atauyang disebut sebagai alih fungsi lahan(konversi lahan).

Alih fungsi lahan pertanian ini sema-kin masif terjadi terutama di daerahperkotaan. Hal ini seiring dengan kebi-jakan pembangunan yang cenderungterpusat di kota sehingga mengakibatkansebaran penduduk tidak merata antarakota dan desa. Tingginya jumlah pendu-duk di kota mengakibatkan tingginyakebutuhan akan lahan non pertanian,terutama untuk pemukiman. Pemukimansebagai salah satu kebutuhan pokok

manusia mendorong terjadinya alihfungsi lahan pertanian menjadi lahanpemukiman. Hamparan lahan pertaniankemudian berubah menjadi perumahan.Fenomena ini menjadi sebuah gambaranumum yang terjadi di wilayah perkotaandi hamper seluruh negara di dunia, tidakhanya di Indonesia. Hal ini terlihat daridari beberapa riset mengenai alih fungsilahan pertanian menjadi lahan pemu-kiman di beberapa Negara, seperti yangdilakukan oleh Adam Wasilewski danKrzystov Krukoswski (2002) di Polan-dia; Hiroshi Mori (1997) yang melaku-kan studi komparasi konversi lahan diJepang, Inggris, dan Belanda; Md AbdulQuasem (2011) yang melakukan studikonversi lahan di Bangladesh.

Sebagai Negara berkembang, Indo-nesia memerlukan banyak lahan nonpertanian untuk keperluan pemba-ngunan. Pembangunan kawasan industri,jalur transportasi, pemukiman dan lainsebagainya membutuhkan lahan yangcukup besar. Demikian halnya yangterjadi di Kota Tasikmalaya yang baruberdiri pada tahun 2001. Sebagai kotayang sedang berkembang, Kota Tasik-malaya cukup menarik para investoruntuk menanamkan modalnya di KotaTasikmalaya. Lokasi Kota Tasikmalayamemang cukup strategis dan seringkalidigunakan sebagai titik singgah di jalurselatan. Sejak dimekarkan dari Kabu-paten Tasikmalaya, investasi usaha diKota Tasikmalaya terus berkembang.Investasi berarti membuka lapanganpekerjaan, semakin banyak investor yangmasuk, maka semakin tinggi lapanganpekerjaan yang tersedia. Hal ini berartipula semakin tinggi kebutuhan lahan

Page 118: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

117Nurlatipah Nasir, Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Kota Tasikmalaya

untuk usaha dan pemukiman, karenaakan semakin banyak penduduk yangtinggal di wilayah Kota Tasikmalaya.

Tasikmalaya dikenal sebagai peng-hasil berbagai produk kerajinan. Setiapdaerah memiliki ciri khas produk kera-jinan yang berbeda dengan daerahlainnya. Sebagai contoh, KecamatanKawalu dikenal sebagai sentra bordir,Kecamatan Purbaratu dikenal sebagaisentra kerajinan mendong, KecamatanTamansari dikenal sebagai penghasil alaskaki kayu “kelom geulis” dan furniture.Produk yang dihasilkan para pengrajin diTasikmalaya dikenal luas, tidak hanyauntuk kebutuhan lokal tetapi juga sudahdijual ke berbagai wilayah Indonesia.Bahkan beberapa diantaranya telahmampu menembus pasar internasional.

Kerajinan mendong merupakan salahsatu produk unggulan kota Tasikmalaya.Meskipun nilai produksinya tidak sebe-sar produk bordir atau olahan kayu,namun usaha ini mampu menyerapbanyak tenaga kerja. Kerajinan mendongmerupakan unit usaha yang sangattergantung pada alam. Bahan baku utamakerajinan mendong sangat tergantungpada ketersediaan mendong yang diha-silkan oleh petani di sawah. Dengandemikian, kerajinan mendong hanya bisabertahan selama masih ada lahan untukmenanam mendong dan petani maumenanam mendong tersebut. Hal inidikarenakan sebagian besar petani diTasikmalaya lebih memilih menanampadi dibanding komoditas lainnya.

Seiring dengan pertumbuhan eko-nomi di Kota Tasikmalaya, jumlahpenduduk Kota Tasikmalaya terusmeningkat. Penduduk dari luar kota

Tasikmalaya mulai berdatangan, baikuntuk bekerja maupun untuk ber-sekolah. Hal ini menciptakan tingginyakebutuhan akan lahan pemukiman. Sejakawal tahun 2000, pembangunan komplekperumahan semakin pesat. Sebagianbesar dari perumahan-perumahan itudibangun di lahan yang sebelumnyamerupakan lahan pertanian.Pembangunan perumahan terjadi diseluruh wilayah kecamatan di KotaTasikmalaya, termasuk di KecamatanPurbaratu yang merupakan sentra kera-jinan mendong. Hal tersebut, menarikuntuk diteliti lebih jauh bagaimanadampak dari alih fungsi lahan pertanianterhadap industri kerajinan mendong.

Penelitian dilakukan menggunakanmetode penelitian kualitatif. Data yangdigunakan dalam analisis berupa dataprimer dan data sekunder. Pengumpulandata primer melalui observasi danwawancara mendalam, sedangkanpengumpulan data sekunder dilakukanmelalui studi pustaka. Lokasi penelitiandipusatkan di Kecamatan Purbaratu.Alasan memilih lokasi KecamatanPurbaratu dikarenakan jumlah pengrajinmendong terbesar di Tasikmalaya.

TANTANGAN INDUSTRIKERAJINAN MENDONG

Kecamatan Purbaratu terletak di sisisebelah timur Kota Tasikmalaya danberbatasan dengan Kabupaten Tasik-malaya, dan di sebelah utara berbatasandengan Kabupaten Ciamis. Untuk men-capai daerah ini tidaklah sulit. Sebuahgapura di jalur utama Kota Tasikmalayabertuliskan “Sentra Kerajinan Mendong”

Page 119: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

118 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

yang juga diberi keterangan sebagai hasilCSR (corporate social responsibility) darisalah satu pengembang di KecamatanPurbaratu dapat menjadi penunjuk arah.Memasuki gapura, deretan perumahan,pertokoan dan spanduk iklan perumahanmenjadi pemandangan utama. Setelahbeberapa kilometer, baru terlihat akti-fitas penjemuran tenunan tikar mendongdan motor yang berlalu-lalang mengang-kut mendong kering ke pabrik. Namunjumlahnya tidak banyak, hanya beberaparumah saja yang terlihat beraktifitas.

Salah satu faktor penyumbang berku-rangnya lahan pertanian di KecamatanPurbaratu adalah alih fungsi lahan perta-nian menjadi lahan pemukiman. Pemba-ngunan komplek perumahan baru iniberlangsung sejak pertengahan tahun2000-an. Konon sebagian besar lahanperumahan tersebut merupakan lahanbekas sawah dan beberapa diantaranyadigunakan untuk menanam mendong(Hidayat, 2017). Hingga kini telahdibangun sekitar lima komplek peru-mahan baru. Pembangunan pemukimandi Kecamatan Purbaratu belum berakhir,saat ini proses pemasaran terus berlang-sung. Bahkan pada tahun depan rencana-nya akan dibangun komplek perumahanbaru (Mumuh, 2017)

Di Kecamatan Purbaratu saat initidak mudah untuk menemukan lahanyang ditanami mendong. Berdasarkanhasil wawancara, para petani lebihmerasa tenang dengan menanam padidaripada mendong (Iskandar, 2017).Selain itu, kebijakan pemerintah yangsedang menggalakkan penanaman padiorganik turut serta dalam mempengaruhipilihan petani untuk lebih menanam padi

daripada mendong (Mumuh, 2017).Sementara itu, salah satu pengrajinmengatakan bahwa penurunan produksimendong disebabkan oleh tidak adanyaperlindungan bagi petani dan pengarjinmendong dari pemerintah (Jajang, 2017).Faktor kemarau panjang pada tahun2015 yang dinilai sebagai akibat peru-bahan iklim juga membuat beberapapetani berhenti menanam mendong. Halini mengingat tanaman mendong mem-butuhkan lebih banyak air daripada padi.Fakta ini sangat kontradiktif dengan citraKecamatan Purbaratu sebagai sentrakerajinan mendong.

Pertanyaannya kemudian, bagaimanapara pengrajin mendong memenuhikebutuhan bahan bakunya?. Menurut stafBidang Industri Dinas KUKM Perda-gangan dan Perindustrian Kota Tasik-malaya, 80% kebutuhan bahan bakumendong didatangkan dari Jawa Tengahdan Jawa Timur (Durman, 2017). Hal inidibenarkan oleh Mumuh (2017), bahwasaat ini sebagian besar bahan bakumendong didatangkan dari Jember,Malang dan Yogyakarta. Menurutnya,jika dilihat dari sisi harga, mendong yangdidatangkan dari luar kota Tasikmalayamemang lebih murah. Tetapi jika dilihatdari segi kualitas, mendong yang diha-silkan oleh petani Purbaratu lebihberkualitas. Hal ini dikarenakan prosespengeringan yang dilakukan oleh petaniPurbaratu melalui proses pengeringanalami, tanpa menggunakan abu atauapapun untuk mempercepat prosespengeringan (Mumuh, 2017).

Berdasarkan data dari Bidang IndustriDinas KUKM Perindustrian dan Perda-gangan Kota Tasikmalaya, unit usaha

Page 120: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

119Nurlatipah Nasir, Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Kota Tasikmalaya

mendong yang terdaftar sebanyak 174unit usaha, dan 169 diantaranya beradadi Kecamatan Purbaratu. Unit usahakerajinan mendong mampu menyeraptenaga kerja sebanyak 2.292 orang.Namun demikian, pemerintah tidakmengetahui apakah saat ini jumlahtersebut masih berproduksi atau tidak.Pemerintah hanya memiliki data darisejumlah unit usaha yang mendaftarkanperizinan, dan tidak pernah ada laporanjika usaha mereka telah gulung tikar.Fakta di lapangan menunjukkan bahwajumlah unit usaha kerajinan mendongsemakin menurun. Sebagai contoh, unitusaha kerajinan mendong yang berada diKampung Pagergunung, KelurahanSingkup sebelumnya terdapat 20 unitusaha (pabrik) dan yang kini masihbertahan tinggal 5 unit usaha (Mumuh,2017). Sebelum tahun 1985, setiaprumah di Kecamatan Purbaratu memilikialat tenun mendong di rumahnya.

Demikian halnya dengan tenagakerja, para pekerja di unit usaha men-dong kini telah banyak yang beralihprofesi. Padahal sebelumnya banyakpendatang dari luar yang masuk keKecamatan Purbaratu untuk bekerjasebagai pengrajin mendong. Di Pabrikkerajinan mendong terdapat pembagiankerja antara laki-laki dan perempuan.Perempuan menenun mendong untukmenjadi tikar, dan kelompok laki-lakibertugas untuk menjahit atau memberigambar (Dedi, 2017). Kini, para laki-lakitersebut banyak yang beralih profesimenjadi pekerja bangunan atau ber-dagang. Sedangkan perempuan banyakyang beralih profesi sebagai pedagangdan bahkan banyak juga yang menjadi

asisten rumah tangga (Dewi, 2017).Adapun alasan mereka beralih profesiadalah karena penghasilan sebagaipengrajin mendong tidak mampu lagimemenuhi kebutuhan hidup mereka.sebagai ilustrasi, saat ini satu metertenunan mendong diberi upah Rp. 1000,-(seribu rupiah). Dalam satu hari, jikabekerja secara penuh hanya mampumenghasilkan sepuluh meter tenunanmendong, dengan kata lain hanya mampumenghasilkan Rp. 10.000,-. Jumlahtersebut tentu saja tidak cukup untukmemenuhi kebutuhan hidup yang serbamahal. Dewi, yang telah menenun sejakduduk di bangku sekolah dasar kiniberalih profesi sebagai pedagang mi-numan. Menurutnya, hasil dari berda-gang lebih besar daripada menjadipenenun mendong.

Permasalahan dalam kerajinanmendong memang sangat kompleks. Alihfungsi lahan pertanian menjadi lahanpemukiman serta perubahan komodititanam telah mengakibatkan langkanyabahan baku mendong. Di sisi lain, tidakadanya kebijakan pemerintah untukmendukung kerajinan mendong membuatpara petani merasa tidak aman untukmenanam mendong, mereka khawatirtidak ada yang membeli hasil panennya.Kekhawatiran petani ini didasarkan padasemakin berkurangnya unit usahakerajinan mendong. Salah satu faktoryang mengakibatkan semakinberkurangnya produksi kerajinan men-dong adalah karena semakin berkurang-nya permintaan pasar terhadap tikarmendong sebagai akibat masuknya tikarplastik dari China. Tikar plastik dariChina dijual dengan harga yang murah

Page 121: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

120 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

sehingga konsumen banyak yang beralihke tikar palstik. Persaingan usaha inimengakibatkan tekanan kepada parapengusaha tikar mendong agar menjualtikar dengan harga yang sama dengantikar plastik tersebut. Hal ini sulit dilaku-kan karena biaya produksi tikar mendonglebih besar dari harga tikar plastik. Hal inijuga yang kemudian berimbas padarendahnya upah bagi pengrajin mendong.Para pemilik usaha mendong tidak bisamemberi upah tinggi karena harus men-jual produk dengan harga murah.

ALIH FUNGSI LAHAN DANPEMBANGUNANBERKELANJUTAN

Lahan merupakan satu dari tigafaktor produksi utama dalam ekonomiklasik (bersama dengan tenaga kerja danmodal) dan sebuah input penting untukperumahan dan produksi makanan (Wu,2008). Alih fungsi lahan disebut jugasebagai konversi lahan. Konversi adalahsebuah tindakan untuk mengubah peng-gunaan suatu lahan saat ini ke dalamberbagai penggunaan lainnya (Mejia,1998). Konversi lahan identik denganperubahan lahan pertanian menjadi lahannon pertanian. Faktor-faktor yangmenyebabkan konversi lahan dapatdibagi menjadi dua kategori yaitu (1)aras makro meliputi kebijakan peme-rintah (kebijakan spasial dan agraria) danpertumbuhan penduduk dan (2) arasmikro yang terdiri dari pola nafkahrumah tangga (struktur ekonomi rumahtangga), kesejahteraan rumah tangga(orientasi nilai ekonomi rumah tangga),strategi bertahan hidup rumah tangga

(tindakan ekonomi rumah tangga)(Sihaloho, Dharmawan, & Rusli, 2007).

Berdasarkan hasil temuan di la-pangan, yang terjadi di KecamatanPurbaratu adalah alih fungsi lahan perta-nian menjadi lahan pemukiman sertaadanya perubahan jenis budi daya ta-naman dari tanaman mendong menjadipadi. Berdasarkan statistik (BPS KotaTasikmalaya, 2016), luas sawah diKecamatan Purbaratu mencapai 499hektar dan tersebar di enam kelurahan.Luas ini sedikit berkurang jika dibandingdengan data pada tahun 2010 yangmenunjukkan luas sawah di KecamatanPurbaratu seluas 504 hektar (BPS KotaTasikmalaya, 2010). Berdasarkan statis-tik yang dikeluarkan oleh BPS KotaTasikmalaya, berkurangnya luas sawahdari dari 504 hektar menjadi 499 hektarterjadi sejak tahun 2014. Jika dilihat daridata sensus pertanian, jumlah RumahTangga Pertanian (RTP) tahun 2003sebanyak 6377 rumah tangga, dan padatahun 2013 jumlah RTP berkurangmenjadi 2402 rumah tangga (BPS KotaTasikmalaya, 2013). Dengan kata laindalam kurun waktu sepuluh tahun terjadipenurunan jumlah rumah tangga perta-nian sebesar 62,33%. RTP adalah rumahtangga yang salah satu atau lebih anggotarumah tangganya mengelola usahapertanian dengan tujuan sebagian atauseluruh hasilnya untuk dijual, baik usahapertanian milik sendiri, secara bagi hasilatau milik orang lain dengan menerimaupah (BPS Kota Tasikmalaya, 2013).

Berbagai studi menyebutkan bahwakebijakan pemerintah menjadi salah satufaktor dalam terjadinya alih fungsi lahanpertanian menjadi lahan non pertanian.

Page 122: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

121Nurlatipah Nasir, Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Kota Tasikmalaya

Demikian halnya dengan yang terjadi diKota Tasikmalaya. Berdasarkan Pera-turan Daerah Nomor 4 Tahun 2012Tentang Rencana Tata Ruang WilayahKota Tasikmalaya Tahun 2011–2031,Kecamatan Purbaratu ditetapkan sebagaikawasan peruntukkan perumahanberkepadatan sedang dan kawasanperuntukkan perumahan berkepadatanrendah. Pada Pasal 43, pengelolaankawasan peruntukkan perumahanberkepadatan sedang dilakukan melaluipengembangan kawasan siap bangun1/lingkungan siap bangun2 di KecamatanTamansari dan Kecamatan Kawalu (butir6a), dan penyediaan kawasan siap ba-ngun/ lingkungan siap bangun berdirisendiri3 dan perbaikan kualitas peru-mahan (butir 6d). Pada butir (7b) dise-butkan bahwa pengelolaan kawasanperuntukan perumahan kepadatanrendah dilakukan melalui pengembangankawasan perumahan berdasarkan keten-

tuan luasan kavling rumah. RTRW KotaTasikmalaya secara spesifik menyebut-kan Kecamatan Kawalu dan KecamatanTamansari untuk pengembangan ka-wasan siap bangun/ lingkungan siapbangun, namun pada kenyataannyapembangunan perumahan hampir terjadidi seluruh kecamatan di Kota Tasikma-laya, dan kawasan yang disiapkan seba-gian besar adalah bekas lahan pertanian.

RTRW Kota Tasikmalaya Tahun2011-2031 menetapkan KecamatanPurbaratu sebagai salah satu kawasanpertanian tanaman pangan4. Selain itu,Kecamatan Purbaratu juga ditetapkansebagai kawasan produksi komoditasunggulan mendong. Namun demikian,kebijakan pemerintahan Orde Barudalam penyeragaman pangan berdampaksampai sekarang. Ketika seluruh bangsaIndonesia “dipaksa” mengkonsumsiberas, maka petani pun digalakan untukmenanam padi. Setiap ada perkem-bangan varietas padi atau teknik pena-naman padi, maka ujicoba pun dilakukanoleh para petani. Adanya penetapanKecamatan Purbaratu sebagai kawasanpertanian tanaman pangan dan kawasanproduksi komoditas unggul mendongseharusnya mendorong diversifikasitanaman di wilayah ini. Namun demi-kian, saat ini para petani mendongbanyak yang beralih menanam padi

1 Kawasan siap bangun adalah sebidang tanah yangfisiknya telah dipersiapkan untuk pembangunanperumahan dan pemukiman skala besar yang ter-bagi dalam satu lingkungan siap bangun atau lebih,yang pelaksanaannya dilakukan secara bertahapdengan lebih dahulu dilengkapi dengan jaringanprimer dan sekunder prasarana lingkungan sesuaidengan rencana tata ruang lingkungan yang dite-tapkan oleh Pemerintah Kabupaten/ Kota dan me-menuhi persyaratan pembakuan pelayanan prasa-rana dan sarana lingkungan (Kementerian NegaraPerumahan Rakyat Republik Indonesia, 2005)

2 Lingkungan siap bangun adalah sebidang tanahyang merupakan bagian dari kawasan siap bangunyang telah dipersiapkan dan dilengkapi denganprasarana lingkungan dan selain itu juga sesuaidengan persyaratan pembakuan tata lingkungantempat tinggal atau lingkungan hunian dan pela-yanan lingkungan untuk membangun kavling ta-nah matang (Kementerian Negara PerumahanRakyat Republik Indonesia, 2005)

3 Lingkungan siap bangun yang berdiri sendiriadalah lingkungan siap bangun yang bukan me-rupakan bagian dari kawasan siap bangun, yangdikelilingi oleh lingkungan perumahan yang su-dah terbangun atau dikelilingi oleh kawasan de-ngan fungsi-fungsi lain.

4 Kawasan pertanian tanaman pangan merupa-kan lahan pertanian tanaman pangan denganluas keseluruhan kurang lebih 492 Ha.

Page 123: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

122 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

dengan pupuk organik yang sedangdigalakan oleh pemerintah. Secaraekonomi, menanam mendong lebihmenguntungkan daripada menanam padi.Namun, selain sebagai kebutuhan pokokakibat penyeragaman pangan, tidakadanya perlindungan pemerintah terha-dap petani dan pengrajin mendongmembuat pilihan menanam padi sebagaipilihan yang aman.

Alih fungsi lahan pertanian menjadilahan non pertanian merupakan sebuahsolusi yang kontra produktif denganparadigma pembangunan berkelanjutan.Pembangunan berkelanjutan membutuh-kan perubahan mendasar dari pemba-ngunan konvensional. Pembangunankonvensional telah berhasil meningkat-kan pertumbuhan ekonomi, tetapi gagaldalam aspek sosial dan lingkungan(Salim, 2010). Hal ini dikarenakan fokusutama pembangunan hanya sebatasuntuk pertumbuhan ekonomi dan me-ngabaikan masalah sosial dan lingkungan.Alih fungsi lahan pertanian dan peru-bahan jenis budidaya tanaman di Keca-matan Purbaratu sudah mulai menunjuk-kan dampaknya terhadap sektor industrikerajinan mendong. Selama ini, men-dong telah menjadi identitas pereko-nomian masyarakat Kecamatan Purba-ratu. Penurunan jumlah produksi men-dong dengan berbagai faktor penyebab-nya berdampak pada kondisi perekono-mian dan sosial masyarakat. Penurunanjumlah produksi mendong telah menga-kibatkan diversifikasi mata pencaharian.Para pengrajin yang merasa penghasilan-nya dari kerajinan mendong tidak lagimemadai kemudian beralih profesi. Jikasebelumnya masyarakat dari luar Keca-

matan Purbaratu berdatangan untukmenjadi pengrajin tenun, kini masyarakatPurbaratu banyak yang bekerja keluarwilayahnya. Disisi lain, beralihnyakepemilikan lahan seringkali dilatar-belakangi oleh faktor ekonomi, hargayang ditawarkan ditambah dorongankebutuhan hidup yang terus meningkatseringkali membuat para pemilik lahantertarik untuk menjual lahannya.

Memadukan pemberian perhatianpada permasalahan-permasalahan sosialdan lingkungan kedalam tindakan-tindakan ekonomi adalah terkait dengantanggungjawab terhadap pembangunanberkelanjutan termasuk untuk keber-lanjutan kegiatan bisnis di masa yangakan datang (Djatmika, 2012). Kerajinanmendong perlu mendapat perhatianserius dari pemerintah mengingat unitusaha ini memiliki dimensi-dimensikewirausahaan hijau (green entre-preneur). Dimensi tersebut meliputiclean-growth business (kegiatan usahayang tumbuh berkembang tanpa mela-kukan pencemaran), socially-awarebusiness (kegiatan usaha yang memilikikepedulian pada aspek sosial, danenvironmentally save business (kegiatanusaha yang aman terhadap lingkungan)(Djatmika, 2012). Dengan demikian,penetapan Kecamatan Purbaratu sebagaikawasan pengembangan komoditasunggul mendong harus disertai dengankebijakan yang mendukung green entre-preneur untuk mengimplementasikanketiga dimensi tersebut. Hal ini tidakhanya untuk keberlanjutan usaha terse-but namun terkait juga penyelamatanlingkungan dan perhatian sosial. Kebi-jakan berbasis insentif dapat dijadikan

Page 124: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

123Nurlatipah Nasir, Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Kota Tasikmalaya

sebagai alternatif mempengaruhi kepu-tusan petani menggunakan lahannya.

Selain menekankan pada pemba-ngunan ekonomi, pembangunan berke-lanjutan harus memperhatikan aspeksosial dan lingkungan. Meningkatnyajumlah populasi yang disertai alih fungsilahan mengakibatkan ketidakseimbanganekosistem. Alih fungsi lahan pertaniandan hutan menjadi lahan non pertanianberakibat berkurangnya lahan serapanair dan meningkatnya pelepasankarbondioksida ke atmosfer. Hal inidianggap andilnya terjadi pemanasanglobal dan perubahan iklim. Perubahaniklim seringkali mengakibatkan berbagaibencana, curah hujan yang tinggi dankurangnya lahan serapan air seringkalimengakibatkan banjir dan longsor, dankemarau yang panjang mengakibatkanterganggunya produksi pertanian.

Seperti yang telah disampaikansebelumnya, salah satu faktor yangmengakibatkan petani di KecamatanPurbaratu beralih menanam padi daripa-da mendong adalah karena terjadinyamusim kemarau yang panjang pada tahun2015. Sementara pada tahun 2016, curahhujan di Kota Tasikmalaya cukup tinggisehingga mengakibatkan beberapakawasan pusat kota terendam banjir,termasuk di kecamatan Purbaratu(Purnama, 2016). Perubahan iklim inidianggap sebagai akibat dari maraknyaalih fungsi lahan pertanian produktifmenjadi perumahan. Ironisnya alih fungsilahan tersebut terjadi karena kebijakanpemerintah daerah yang mudah mem-berikan izin (rasyid, 2015). Hal inisemakin memperkuat teori yang menga-takan bahwa kebijakan pemerintah di

aras makro sebagai faktor penyebabterjadinya alih fungsi lahan.

KESIMPULAN

Praktek alih fungsi lahan merupakanfenomena umum yang terjadi di wilayah-wilayah perkotaan di dunia. Sebagainegara berkembang Indonesia membu-tuhkan banyak lahan untuk berbagaipembangunan yang kemudian mendo-rong terjadinya alih fungsi atau konversilahan dari lahan pertanian menjadi lahannon pertanian, diantaranya untuk pem-bangunan kawasan industri, infrastrukturdan pemukiman. Alih Fungsi lahanseringkali berdampak negatif terhadapkondisi ekonomi dan sosial masyarakat.Sebagai contoh, industri kerajinanmendong di Kota Tasikmalaya,merupakan industri kerajinan yangsangat tergantung pada ketersediaanbahan baku yang disediakan alam. Alihfungsi lahan serta tidak adanya kebijakanperlindungan terhadap petani dan peng-rajin mendong mengakibatkan kelang-kaan bahan baku sehingga harus menda-tangkan dari provinsi lain. Kebijakanrevitalisasi industri kerajinan mendongperlu dilakukan tidak hanya untukkeberlanjutan usaha, namun juga untukkelangsungan lingkungan dan kondisisosial masyarakat•

REFERENSI1. Department of Economic and Social

Affairs Population Division. (2004).World Population to 2300. UnitedNations. New York: United Nations.

2. Population Matters. (2017). Have WeReached 7.5 Billion? Retrieved April 10,

Page 125: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta

A R T I K E L

124 Lestari, Vol. 2, No. 2, 2017

2017, from https://www.populationmatters.org/reached-7-5-billion/

3. Salim, E. (2010). Pembangunan Berke-lanjutan. In I. J. Azis, L. M. Napitupulu,A. A. Patunru, & B. P. Resosudarmo(Eds.), Pembangunan BerkelanjutanPeran dan Kontribusi Emil Salim (p. 22).Jakarta: PT. Gramedia.

4. Wawancara dengan Iskandar, D.Tasikmalaya, 14 April 2017

5. BPS Kota Tasikmalaya. (2016). KotaTasikmalaya Dalam Angka 2016. Tasik-malaya: BPS Kota Tasikmalaya.

6. BPS Kota Tasikmalaya. (2010). KotaTasikmalaya Dalam Angka Tahun 2010.

7. BPS Kota Tasikmalaya. (2013). AngkaSementara Hasil Sensus Pertanian 2013.Kota Tasikmalaya.

8. Wawancara dengan Durman, M,Tasikmalaya, 13 April 2017.

9. Wawancara dengan Mumuh,Tasikmalaya, 14 April 2017.

10. Wawancara dengan Jajang, Tasikmalaya,14 April 2017.

11. Wawancara dengan Hidayat, R.,Tasikmalaya, 22 Maret 2017.

12. Wawancara dengan Dedi, Tasikmalaya,14 April 2017.

13. Wawancara dengan Dewi, Tasikmalaya,14 April 2017.

14. Djatmika, E. T. (2012). MempersiapkanGreen Entrepreneurs untuk Pemba-ngunan Berkelanjutan. Malang: SidangTerbuka Senat Universitas NegeriMalang.

15. Mejia, A. J. (1998). Land UseConversion Under The AgrarianReform Law. Notes on Business Educat-ion, 1(Number 9), 1-6.

16. Sihaloho, M., Dharmawan, A. H., &Rusli, S. (2007, Agustus). KOnversiLahan Pertanian Dan Perubahan

Struktur Agraria (Studi Kasus diKelurahan Mulyaharja, KecamatanBogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat).Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi,Komunikasi dan Ekologi Manusia, 01(02),253-270.

17. FAO. (2016). State of The World’sForests 2016. Forests and Agriculture:land-use challenges and opportunities .Rome: FAO.

18. Kementerian Negara PerumahanRakyat Republik Indonesia. (2005).Petunjuk Teknis Kawasan Siap BangunDan Lingkungan Siap Bangun Yang BerdiriSendiri. Jakarta: Kementerian NegaraPerumahan Rakyat Republik Indonesia.

19. Pewista, I., & Harini, R. (2013). FaktorDan Pengaruh Alih Fungsi LahanPertanian Terhadap Kondisi SosialEkonomi Penduduk Di KabupatenBantul. Kasus Daerah Perkotaan,Pinggiran Dan Pedesaan Tahun 2001-2010. Jurnal Bumi Indonesia, 2(2), 96-103.

20. Wu, J. (2008). Land Use Changes:Economic, Social, and EnvironmentalImpacts. diakses tanggal April 14, 2017,dari Choices Magazines: http://www.choicesmagazine.org/magazine/article.php?article=49

21. Purnama, Feri. 2015. Banjir danLongsor Melanda Kota Tasikmalaya.diakses tanggal 20 April 2014 dariAntara News: http://www.antaranews.com/berita/598411/banjir-dan-longsor-melanda-kota-tasikmalaya

22. Rasyid, Dadang A. 2015.Alih FungsiLahan Pertanian Di Kota TasikmalayaAncam Ketahanan Pangan, diaksestanggal 20 April 2017 dari: http://jurnalpriangan.com/2015/06/26/781.

Page 126: 00 Pengantar Lestari ke-01 Vol.1 No.1 Lahan Gambut 2016 · fokus pemerintah pada kebijakan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan yang ber-wawasan lingkungan. Mulai dari fakta-fakta