wrap up skenario 1(tifoid)

40
Blok Infeksi dan Penyakit Tropik Demam Ketua : 1102010205 – Nadia Ranah Azmi Sekretaris : 1102010290 – Wira Sari Anggota : 1102009181 – Muhammad Badar 1102010171 – Muhammad Rian 1102010189 – Mutahhara Muhammad 1102008186 – Octiara Gisca Amilia 1102010223 – Puji Anwara 1102010241 – Rifky Jembardiansyah 1102009308 – Yuni Mayasari 1102010306– Yusradina

Upload: wira-sari

Post on 21-Dec-2015

34 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

thyfoid

TRANSCRIPT

Page 1: Wrap Up Skenario 1(Tifoid)

Blok Infeksi dan Penyakit Tropik

Demam

Ketua : 1102010205 – Nadia Ranah Azmi

Sekretaris : 1102010290 – Wira Sari

Anggota : 1102009181 – Muhammad Badar

1102010171 – Muhammad Rian

1102010189 – Mutahhara Muhammad

1102008186 – Octiara Gisca Amilia

1102010223 – Puji Anwara

1102010241 – Rifky Jembardiansyah

1102009308 – Yuni Mayasari

1102010306– Yusradina

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS YARSI

2010/2011

Page 2: Wrap Up Skenario 1(Tifoid)

1

Skenario I

Seorang wanita 30 tahun, mengalami demam sejak 1 minggu yang lalu. Demam

dirasakan lebih tinggi pada sore dan malam hari dibandingkan pagi hari. Disertai juga muntah

yang didahului rasa mual. Pasien terlihat lethargi dan pada pemeriksaan fisik kesadaran

samnolen, nadi bradikardia, suhu tubuh hiperperiksia (pengukuran jam 20:00), lidah terlihat

kotor dengan tepi hiperemis disertai tremor. Pada pemeriksaan widal didapatkan titer anti-

salmonella typhi O 1/320. Ibu tersebut bertanya kepada dokter bagaimana cara pencegahan

penyakitnya.

Page 3: Wrap Up Skenario 1(Tifoid)

2

Sasaran belajar

LI. 1. Memahami dan Menjelaskan Demam

LO. 1.1. Memahami dan Menjelaskan Definisi Demam

LO. 1.2. Memahami dan Menjelaskan Tipe –tipe Demam

LO. 1.2. Memahami dan Menjelaskan Etiologi, Patofisiologi, dan Manifestasi Demam

LI. 2. Memahami dan Menjelaskan Bakteri Salmonella enterica

LO. 2.1. Memahami dan Menjelaskan Morfologi dan Jenis – jenis Solmonella enterica

LO. 2.2. Memahami dan Menjelaskan Cara Penularan

LI. 3. Memahami dan Menjelaskan Demam Tifoid

LO. 3.1. Memahami dan Menjelaskan Epidemiologi Demam Tifoid

LO. 3.2. Memahami dan Menjelaskan Etiologi, Patofisiologi, Manifestasi Demam

Tifoid

LO. 3.3. Memahami dan Menjelaskan Diagnosis

LO. 3.4. Memahami dan Menjelaskan Penatalaksanaan

LO. 3.5. Memahami dan Menjelaskan Komplikasi

LO. 3.6. Memahami dan Menjelaskan Prognosis

LI. 4. Memahami dan Menjelaskan Antibiotik Demam Tifoid

LO. 4.1. Antibiotik yang efektif untuk demam tifoid

LO. 4.2. Farmakokinetik

LO. 4.3. Farmakodinamik

LO. 4.4. Indikasi dan Kontraindikasi

LO. 4.5. Efek samping

Page 4: Wrap Up Skenario 1(Tifoid)

3

Demam

1.1 Pengertian demam

Demam adalah kenaikan suhu tubuh dari normalnya yang ditandai oleh kenaikan

titik-ambang regulasi panas hipotalamus. Pusat regulasi/pengatur panas hipotalamus

mengendalikan suhu tubuh dengan menyeimbangkan sinyal dari reseptor neuronal

perifer dingin dan panas. Selain itu demam juga merupakan gejala adanya gangguan

metabolisme, infeksi atau kerusakan jaringan yang luas.

Normal suhu tubuh berkisar 36.5-37.2 º C. Suhu subnormal di bawah 36ºC,

dengan adanya demam pada umumnya diartikan suhu tubuh di atas 37.2ºC. Terdapat

perbedaan antara pengukuran suhu di aksila dan oral maupun rektal. Dalam keadaan

biasa perbedaan ini berkisar sekitar 0.5ºC; suhu rektal lebih tinggi daripada suhu oral.

Suhu tubuh mengikuti irama sirkadian: suhu pada dini hari rendah, dan suhu tertinggi

terjadi pada pukul 16.00-18.00.

Demam terjadi karena pelepasan pirogen dari dalam leukosit yang sebelumnya

telah terangsang oleh pirogen eksogen yang berasal dari mikroorganisme atau suatu

hasil reaksi immunologik yang tidak berdasarkan suatu infeksi. Pirogen adalah protein

yang identikdengan interleukin-1. Di dalam hipotalamus, zat ini merangsang pelepasan

asam arakidonat serta mengakibatkan peningkatan sintesis prostaglandin E2 yang

langsung dapat menyebabkan suatu pireksia. Pengaruh pengaturan autonom akan

mengakibatkan terjadinya vasokontriksi perifer sehingga pengeluaran panas menurun

dan pasien merasa demam.

1.2 Tipe-tipe demam

Beberapa tipe demam yang mungkin kita jumpai, antara lain:

a. Demam Septik

Pada tipe demam septik, suhu badan berangsur naik ke tingkat yang tinggi sekali pada

malam hari dan turun kembali ke tingkat di atas normal pada pagi hari. Sering disertai

keluhan menggigil dan berkeringat. Bila demam yang tinggi tersebut turun ke tingkat

yang normal dinamakan juga demam hetik.

Page 5: Wrap Up Skenario 1(Tifoid)

4

b. Demam Remiten

Pada tipe demam remiten, suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah

mencapai suhu badan normal. Perbedaan suhu yang mungkin tercatat dapat mencapai

dua derajat dan tidak sebesar perbedaan suhu yang dicatat pada demam septik.

c. Demam Intermiten

Pada tipe demam intermiten, suhu badan turun ke tingkat yang normal selama beberapa

jam dalam satu hari. Bila demam seperti ini terjadi setiap dua hari sekali disebut

tersiana dan bila terjadi dua hari bebas demam diantara dua serangan demam disebut

kuartana.

d. Demam Kontinyu

Pada demam kontinyu variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda lebih dari satu derajat.

Pada tingkat demam terus menerus tinggi sekali disebut hiperpireksia.

e. Demam Siklik

Pada demam siklik terjadi kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang diikuti oleh

periode bebas demam untuk beberapa hari yang kemudian diikuti oleh kenaikan suhu

seperti semula.

Page 6: Wrap Up Skenario 1(Tifoid)

5

Tipe-tipe demam yang belum terdiagnosis

Kategori demam

yang belum

terdiagnosis

Definisi Etiologi

Classic Suhu tubuh >38.3°C (100.9°F)

Durasi >3 minggu

Pasien dievaluasi setelah 3 hari

keluar dari Rumah Sakit.

Infeksi, malignancy, collagen

vascular disease

Nosocomial Suhu tubuh >38.3°C

Pasien diopname >=24 jam

tapi tidak demam atau dalam

masa inkubasi.

evaluasi setelah 3 hari.

Clostridium difficile

enterocolitis, penggunaan obat,

emboli pulmonal, septic

thrombophlebitis, sinusitis.

Immune deficient

(neutropenic)

Suhu tubuh >38.3°C

Jumlah Neutrofil <=500 per

mm3

Evaluasi setelah 3 hari.

Infeksi bakteri oportunistik,

aspergillosis, candidiasis, herpes

virus

HIV-associated Suhu tubuh >38.3°C

Durasi >4 minggu setelah

pasien keluar, >3 hari tiga

setelah keluar dari Rumah

Sakit.

Konfirmasi pasien dengan HIV

Cytomegalovirus,

Mycobacterium avium-

intracellulare complex,

Pneumocystis carinii pneumonia,

drug-induced, Kaposi's sarcoma,

lymphoma

(www.medicalcriteria.com)

1.3. Etiologi, patofisiologi dan manifestasi klinis demam

Etiologi demam

Demam biasanya terjadi akibat tubuh terpapar infeksi mikroorganisme (virus,

bakteri, parasit). Demam juga bisa disebabkan oleh faktor non infeksi seperti kompleks

imun, nekrosis jaringan, neoplasma, inflamasi (peradangan) lainnya. Ketika virus atau

bakteri masuk ke dalam tubuh, berbagai jenis sel darah putih atau leukosit melepaskan “zat

penyebab demam (pirogen endogen)” yang selanjutnya memicu produksi prostaglandin E2

Page 7: Wrap Up Skenario 1(Tifoid)

6

di hipotalamus anterior, yang kemudian meningkatkan nilai-ambang temperatur dan

terjadilah demam. (Sherwood, 2004)

Demam merupakan salah satu manifestasi respons radang yang dihasilkan oleh

mekanisme pertahanan hospes yang ditengahi sitokin. Produksi panas pada demam

meningkatkan pemakaian oksigen, produksi karbondioksida, dan curah jantung.

Patofisiologi demam

Demam diinisiasi oleh berbagai substansi, termasuk agen infeksius atau produknya, kompleks imun, radang atau nekrosis jaringan, dan beberapa agen farmakologik termasuk antibiotik, dan tumor. Substansi tersebut disebut pirogen eksogenus. Substansi tersebut tidak secara langsung mempengaruhi pusat termoregulator. Ukuran dan kompleksitas molekul dari kebanyakan pirogen eksogenus menghambat masuknya ke dalam hipotalamus. Pirogen eksogenus kecil kemampuannya mempengaruhi pusat termoregulator secara langsung, dapat menyebabkan inang melepaskan pirogen endogenus.

Respon terhadap rangsangan dari pirogen eksogenus, dikeluarkan protein (cytokine) dari sel sistem imun yang memicu respon demam. Walaupun limfosit T dan B dan leukosit yang lain memegang peranan yang signifikan, makrofag adalah sel imun yang utama. Protein tersebut disebut pirogen endogenus atau sitokin penyebab demam. Walaupun interleukin-1 (IL-1) dianggap sebagai sitokin yang paling penting, namun setidaknya ada 11 sitokin telah

Page 8: Wrap Up Skenario 1(Tifoid)

7

teridentifikasi dapat menginisiasi respon demam. Beberapa sel neoplastik juga dapat menghasilkan sitokin yang memicu respon demam. Sitokin bergerak melalui pembuluh darah ke AH, kemudian berikatan dengan sel endotel pembuluh darah di AH dan merangsang pelepasan prostaglandin (PGs). Prostaglandin utamanya adalah E2 (PGE2) dan mungkin juga prostaglandin E2α (PGE2α).

Pirogen endogenus secara langsung atau tidak langsung meningkatkan ‘set poin’ termoregulator di AH. Ketika ‘set poin’ suhu ditingkatkan atau suhu diset pada poin yang lebih tinggi, produksi panas ditingkatkan. Proses ini akan meningkatkan temperatur. Ketika perangsang demam dihilangkan, termostat hipotalamik diset kembali pada keadaan normal dan suhu tubuh diturunkan dengan vasodilatasi perifer, berkeringat, dan panting.

Manifestasi demam

Tergantung dari apa yang menyebabkan demam, gejala yang sering menyertai demam antara lain:

Berkeringat Menggigil Sakit kepala Nyeri otot Nafsu makn menurun Lemas Dehidrasi

Demam yang sangat tinggi, lebih dari 39 derajat celcius, dapat menyebabkan: Halusinasi Kejang

Salmonella enterika

2.1. Morfologi dan Klasifikasi Salmonella

A. Morfologi

Berbentuk batang, tidak berspora, pada pewarnaan gram bersifat negatif, ukuran 1-3,5

m, besar koloni rata-rata 2-4 mm, sebagian besar isolat motil dengan flagel peritrik kecuali

Salmonella gallinarum. Salmonella mudah tumbuh pada medium sederhana, tetapi tidak

pernah memfermentasikan laktosa/sukrosa. Biasanya menghasilkan H2S dan resisten terhadap

bahan kimia tertentu yang menghambat bakteri enterik lain.

B. Klasifikasi salmonella

Page 9: Wrap Up Skenario 1(Tifoid)

8

4 serotipe salmonella yang menyebabkan demam enterik- Salmonella paratyphi A (serogrup A)- Salmonella paratyphi B (serogrup B)- Salmonella typhimurium (serogrup B)- Salmonella choleraesuis (serogrup C1)- Salmonella typhi (serogrup D)- Salmonella enteritidis (serogrup D)

2.2. Cara penularan salmonella

Salmonella thypi, basil gram negative yang bergerak dengan bulu getar, tidak bersepora

mempunyai sekurang-kurangnya tiga macam antigen yaitu: antigen O (somatic, terdiri darizat

komplekliopolisakarida), antigen H(flagella), antigen V1 dan protein membran hialin

Salmonella parathypi A.

Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal dengan

5 F yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly (lalat), dan

melalui Feses. Feses dan muntah pada penderita typhoid dapat menularkan kuman salmonella

thypi kepada orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat, dimana lalat

akan hinggap dimakanan yang akan dikonsumsi oleh orang yang sehat. Apabila orang tersebut

kurang memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang

tercemar kuman salmonella thypi masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut.

Page 10: Wrap Up Skenario 1(Tifoid)

9

Demam tifoid

3.1. Epidemiologi Demam Tifoid

Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi endemik di Asia, Afrika, Amerika

Latin Karibia dan Oceania, termasuk Indonesia. Penyakit ini tergolong penyakit menular

yang dapat menyerang banyak orang melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi.

Insiden demam tifoid di seluruh dunia menurut data pada tahun 2003 sekitar 16 juta per

tahun, 600.000 di antaranya menyebabkan kematian. Di Indonesia prevalensi 91% kasus

demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun. Ada

dua sumber penularan S.typhi : pasien yang menderita demam tifoid dan yang lebih sering

dari carrier yaitu orang yang telah sembuh dari demam tifoid namun masih mengeksresikan

S. typhi dalam tinja selama lebih dari satu tahun (Idmgarut. 2009)

Gambar 2. Epidemiologi Demam Tifoid

(http://idmgarut.wordpress.com/2009/01/23/demam-tifoid-thypoid-fever/)

Surveilens Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di Indonesia

sebesar 9,2 dan pada 1994 sebesar 15,4 per 10.000 penduduk. Insidens demam tifoid

bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkai dengan sanitasi lingkungan; di daerah rural

(Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760-

810 per 100.000 penduduk.. Perbedaan insidens di perkotaan berhubungan dengan penyedian

air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang

kurang memenuhi syarat kesehatan manusia.

Page 11: Wrap Up Skenario 1(Tifoid)

10

Case Fatality Rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari seluruh

kematian Indonesia. Namun demikian berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga

Departemen Kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun 1995 demam tifoid tidak termasuk

dalam 10 penyakit dengan mortalitas tertinggi.

3.2. Etiologi, Patofisiologi, Manifestasi Demam Tifoid

Etiologi

Demam tifoid disebabkan oleh jenis salmonella tertentu yaitu s. Typhi, s. Paratyphi A,

dan S. Paratyphi B dan kadang-kadang jenis salmonella yang lain. Demam yang disebabkan

oleh s. Typhi cendrung untuk menjadi lebih berat daripada bentuk infeksi salmonella yang

lain.

Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif yang bersifat motil, tidak

membentuk spora, dan tidak berkapsul. Kebanyakkan strain meragikan glukosa, manosa dan

manitol untuk menghasilkan asam dan gas, tetapi tidak meragikan laktosa dan sukrosa.

Organisme salmonella tumbuh secara aerob dan mampu tumbuh secara anaerob fakultatif.

Kebanyakan spesies resistent terhadap agen fisik namun dapat dibunuh dengan pemanasan

sampai 54,4º C (130º F) selama 1 jam atau 60 º C (140 º F) selama 15 menit. Salmonella tetap

dapat hidup pada suhu ruang dan suhu yang rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan

hidup selama berminggu-minggu dalam sampah, bahan makannan kering, agen farmakeutika

an bahan tinja.

Salmonella memiliki antigen somatik O dan antigen flagella H. Antigen O adlah

komponen lipopolisakarida dinding sel yang stabil terhadap panas sedangkan antigen H

adalah protein labil panas.

Patofisiologi

Masuknya kuman kedalam tubuh yaitu melalui makanan yang terkontaminasi kuman.

Kuman masuk kelambung, sebagian kuman dimusnah kan tetapi sebagian lagi lolos dan

masuk kedalam usus dan berkembang biak. Bila respon imunitas hormonal mukosa(IgA)

kurang baik maka kuman menembus sel-sel epitel(utama sel M) dan kemudian ke lamina

propia. Dilamina propia kuman berkembang dan di fagosit oleh makrofag. Kuman

Page 12: Wrap Up Skenario 1(Tifoid)

11

berkembang dalam makrofag dan kemudian dibawa ke plak peyeri ileum distal dan kemudian

ke kelenjar getah bening mesentrika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman masuk ke

sirkulasi darah (bakterimia I yang asimtomatik) dan menyebar keseluruh organ

retikuloendotelia terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel

fagositdan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan masuk ke sirkulasi

darah lagi mengakibatkan bakterimia kedua kalinya disertai tanda dan gejala infeksi sistemik.

Di hati, kuman masuk kekandung empedu dan berkembang kemudian diekskresikan

secara intermiten kedalam lumen usus. Sebagian kuman keluar melalu feses dan sebagian

masuk lagi kedalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses sama terulang kembali. Karena

makrofag nya telah beraktivitas dan hiperaktif maka saat fagositosis terjadi pelepasan

beberapa mediator inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia(pegal-pegal), sakit

kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental,dan koagulasi.

Di plak peyeri makrofag hiperaktif dan menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan(S

typhi intra magrofag menginduksi reaksi hipersensitive tipe lambat, hiperplasia jaringan dan

nekrosis organ). Pendarahan saluran cerna dapat terjadi karena erosi pemblh darah sekitar

plague peyeri yg mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel munonuklear

didinding usus. Proses patologis jaringan limfoid dpt berkembng hingga lapisan otot, serosa

usus dan dapat perforasi.

Endotoksin dapat menempel direseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya

komplikasi seperti gangguan neuropsikiatri, kardiovaskular, pernafasan, dan gangguan organ

lain.

Manifestasi klinis

Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang

timbul bervariasi dari ringan sampai berat dari asimptomatik samapi gambaran yang khas

disertai komplikasi hingga kematian.

Minggu pertama: demam, nyeri kepala, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi/diare,

tidak enak diperut, batuk, epistaksis dan suhu tubuh meningkat.

Minggu kedua: gejala lebih jelas yaitu: demam, bradikardia, lidah berselaput, hepatomegali,

splienomegali, meteroimus, gangguan mental berupa sammnolen, stupor, koma dan

delirium/psikosis.

Page 13: Wrap Up Skenario 1(Tifoid)

12

3.3. Diagnosis demam tifoid

a. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Laboratorium meliputi pemeriksaan hematologi, urinalis, kimia

klinik,imunoreologi, mikrobiologi, dan biologi molekular. Pemeriksaan ini ditujukan untuk

membantu menegakkan diagnosis (adakalanya bahkan menjadi penentu diagnosis),

menetapkan prognosis, memantau perjalanan penyakit dan hasil pengobatan serta timbulnya

penyulit.

Hematologi

Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun bila terjadi penyulit perdarahan usus

atau perforasi. Pemeriksaan darah dilakukan pada biakan kuman (paling tinggi pada minggu I

sakit), diagnosis pasti Demam Tifoid. (Minggu I : 80-90%, minggu II : 20-25%, minggu III :

10-15%) Hitung leukosit sering rendah (leukopenia), tetapi dapat pula normal atau tinggi.

Hitung jenis leukosit: sering neutropenia dengan limfositosis relatif. LED meningkat.

Leukosit normal adalah 5000-10000/ul.

Kimia Klinik

Enzim hati (SGOT, SGPT) sering meningkat dengan gambaran peradangan sampai

hepatitis akut.

Imunonologi

Pemeriksaan Widal

Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S.thypi. Pada uji widal

terjadi suatu reaksi aglutinasi antara kuman S.thypi dengan antibodi yang disebut aglutinin .

Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan

dan diolah di laboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin

dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu :

a.Aglutinin O (dari tubuh kuman), b. Aglutinin H (flagela kuman), dan c.Aglutinin Vi (simpai

kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.

Widal dinyatakan positif bila :

- Titer O Widal I 1/320 atau

Page 14: Wrap Up Skenario 1(Tifoid)

13

- Titer O Widal II naik 4 kali lipat atau lebih dibanding titer O Widal I atau

Titer O Widal I (-) tetapi titer O II (+) berapapun angkanya.

Diagnosis Demam Tifoid / Paratifoid dinyatakan bila a/titer O = 1/160 , bahkan

mungkin sekali nilai batas tersebut harus lebih tinggi mengingat penyakit demam tifoid ini

endemis di Indonesia. Titer O meningkat setelah akhir minggu. Melihat hal-hal di atas maka

permintaan tes widal ini pada penderita yang baru menderita demam beberapa hari kurang

tepat. Bila hasil reaktif (positif) maka kemungkinan besar bukan disebabkan oleh penyakit

saat itu tetapi dari kontak sebelumnya.

Pemeriksaan Elisa Salmonella typhi/ paratyphi lgG dan lgM

Merupakan uji imunologik yang lebih baru, yang dianggap lebih sensitif dan spesifik

dibandingkan uji Widal untuk mendeteksi Demam Tifoid/ Paratifoid. Sebagai tes cepat

(Rapid Test) hasilnya juga dapat segera di ketahui. Diagnosis Demam Tifoid/ Paratyphoid

dinyatakan 1/ bila lgM positif menandakan infeksi akut; 2/jika lgG positif menandakan

pernah kontak/ pernah terinfeksi/ reinfeksi/ daerah endemik. Hal-hal yang mempengaruhi uji

widal:

1. Pengobatan dini dengan antibiotik

2. Gangguan pembentukan antibodi dan pemberian kortikosteroid

3. Waktu pengambilan darah

4. Daerah endemik atau non endemik

5. Riwayat vaksinasi

6. Reaksi anamnestik (peningkatan titer aglutinin pada infeksi non tifoid akibat

infeksi tifoidmasa lalu atau vaksinasi)

7. Teknik pemeriksaan antar lab

Mikrobiologi

Uji kultur merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan demam

tiroid/paratifoid. Interpretasi hasil : jika hasil positif maka diagnosis pasti untuk demam

tifoid/ paratifoid. Sebalikanya jika hasil negatif, belum tentu bukan demam tifoid/ paratifoid,

karena hasil biakan negatif palsu dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu antara lain

jumlah darah terlalu sedikit kurang dari 2 mL), darah tidak segera dimasukan ke dalam

medial Gall (darah dibiarkan membeku dalam spuit sehingga kuman terperangkap di dalam

bekuan), saat pengambilan darah masih dalam minggu- 1 sakit, sudah mendapatkan terapi

Page 15: Wrap Up Skenario 1(Tifoid)

14

antibiotika, dan sudah mendapat vaksinasi. Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat

segera diketahui karena perlu waktu untuk pertumbuhan kuman (biasanya positif antara 2-7

hari, bila belum ada pertumbuhan koloni ditunggu sampai 7 hari). Pilihan bahan spesimen

yang digunakan pada awal sakit adalah darah, kemudian untuk stadium lanjut/ carrier

digunakan urin dan tinja. Hal-hal yang mempengaruhi uji mikrobiologi:

1. Pasien telah mendapat terapi antibiotik

2. Volume darah berkurang

3. Riwayat vaksinasi

4. Saat pengambilan darah setelah satu minggu

Biologi molekular.

PCR (Polymerase Chain Reaction) Metode ini mulai banyak dipergunakan. Pada cara

ini di lakukan perbanyakan DNA kuman yang kemudian diidentifikasi dengan DNA probe

yang spesifik. Kelebihan uji ini dapat mendeteksi kuman yang terdapat dalam jumlah sedikit

(sensitifitas tinggi) serta kekhasan (spesifitas) yang tinggi pula. Spesimen yang digunakan

dapat berupa darah, urin, cairan tubuh lainnya serta jaringan biopsi.

Kriteria diagnosis yang biasa digunakan adalah :

1. Biakan darah positif memastikan demam tifoid, tetapi biakan darah negative tidak

menyingkirkan demam tifoid.

2. Biakan tinja positif menyokong diagnosis klinis demam tifoid.

3. Peningkatan titer uji widal 4 kali lipat selama 2–3 minggu memastikan diagnosis demam

tifoid.

4. Reaksi widal tunggal dengan titer antibodi Antigen O 1: 320 atau titer antigen H 1: 640

menyokong diagnosis demam tifoid pada pasien dengan gambaran klinis yang khas .

5. Pada beberapa pasien, uji widal tetap negatif pada pemeriksaan ulang walaupun biakan

darah positif.

3.4. Penatalaksanaan demam tifoid

Page 16: Wrap Up Skenario 1(Tifoid)

15

1. Istirahat dan perawatan: mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan.

a) Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, madi,

buang air kecil, dan buang air besar.

b) Perawatan professional (menjaga kebersihan tempat tidur, pakaian dan lain-lain)

2. Diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif): mengembalikan rasa

nyaman dan kesehatan pasien secara normal.

3. Pemberian antimikroba: menghantikan dan mencegah penyebaran kuman.

Kloramfenikol

Dosis: 4x500 mg per hari (dapat per oral atau intravena).Diberikan sampai dengan 7

hari bebas panas.Obat ini dapat menurunkan demam rata-rata 7,2 hari.

Tiamfenikol

Dosis: 4x500 mg. Menurunkan demam pada hari ke-5 sampai hari ke-6

Kotrimoksazol

Dosis untuk orang dewasa: 2x2 tablet (1 tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg

dan 80 mg trimetoprim). Diberikan selama 2 minggu.

Ampisilin dan amoksisillin

Dosis: 50-150 mg/kgBB, digunakan selama 2 minggu.

Sefalosporin Generasi Ketiga

Yang efektif adalah seftriakson. Dosis: 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc, diberikan

selama ½ jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3 hingga 5 hari.

Golongan Fluorokuinolon

1. Norfloksasin dosis 2x400 mg/hari selama 14 hari

2. Siprofloksasin dosis 2x500 mg/hari selama 6 hari

3. Ofloksasin dosis 2x400 mg/hari selama 7 hari

4. Pefloksasin dosis 400mg/hari selama 7 hari

5. Fleroksasin dosis 400mg/hari selama 7 hari

Azitromisin

Page 17: Wrap Up Skenario 1(Tifoid)

16

Tersedia dalam sediaan oral maupun suntikan intravena. Dosis: 2x500 mg

Kortikosteroid (Kombinasi obat antimikroba)

Hanya digunakan pada toksik tifoid atau demam tifoid yang mengalami syok septik.

Dosis: 3x5 mg

Diet dan terapi penunjang

Diberi bubur saring, lalu ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya nasi. Dimana

peningkatan tersebut sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring

ditujukan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus.

3.5. Komplikasi demam tifoid

1. Komplikasi intestinal

Komplikasi didahului dengan penurunan suhu, tekanan darah dan peningkatan frekuensi nadi.Umumnya jarang terjadi, akan tetapi sering fatal, yaitu:

Perdarahan ususDilaporkan dapat terjadi pada 1-10% kasus demam tifoid anak. Bila sedikit hanya

ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin. Bila perdarahan banyak terjadi melena.

Perforasi ususDilaporkan dapat terjadi pada 0,5-3%. Timbul biasanya pada minggu ketiga atau

setelah itu dan terjadi pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara di rongga peritoneum, yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara di antara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan tegak.

PeritonitisBiasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus. Ditemukan gejala

abdomen akut yaitu nyeri perut yang hebat, defance muskulare, dan nyeri pada penekanan.

2.Komplikasi di luar usus (ekstraintestinal)

Terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakteremia) yaitu meningitis, kolesistitis, ensefelopati dan lain-lain. Terjadi karena infeksi sekunder, yaitu bronkopneumonia.

- Komplikasi kardiovaskuler : gagal sirkulasi perifer, miokarditis, tromboflebitis.

- Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, KID, rthritis.

- Komplikasi paru : pneumonia, empiema, pleuritis

- Komplikasi hepatobilier : hepatitis, kolesistitis

- Komplikasi ginjal : glumerolunofritis, pielonefritis, perinefritis

- Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, rthritis

- Komplikasi neuropsikiatrik/tifoid toksik

Page 18: Wrap Up Skenario 1(Tifoid)

17

3.6. Prognosis demam tifoid

Gejala biasanya membaik dalam 2 sampai 4 minggu dengan pengobatan. Hasilnya

mungkin akan baik dengan perawatan dini, tetapi menjadi buruk jika komplikasi

berkembang. Gejala akan kembali jika pengobatan tidak sepenuhnya menyembuhkan infeksi.

(Dugdale, David C, et. al. 2009)

Prognosis demam tifoid tergantung pada ketepatan terapi, usia penderita, keadaan

kesehatan sebelumnya, serotip Salmonella penyebab dan ada tidaknya komplikasi. Di negara

maju, dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitasnya < 1%. Di negara

berkembang, angka mortalitasnya > 10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis,

perawatan dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau

perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan

mortalitas yang tinggi

Relaps sesudah respon klinis awal terjadi pada 4-8% penderita yang tidak diobati

dengan antibiotik. Pada penderita yang telah mendapat terapi anti mikroba yang tepat,

manifestasi klinis relaps menjadi nyata sekitar 2 minggu sesudah penghentian antibiotik dan

menyerupai penyakit akut namun biasanya lebih ringan dan lebih pendek. Individu yang

mengekskresi S. thypi ≥ 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko

menjadi karier pada anak-anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronis terjadi pada

1-5% dari seluruh pasien demam tifoid. Insiden penyakit saluran empedu (traktus biliaris)

lebih tinggi pada karier kronis dibandingkan dengan populasi umum

Antibiotik Demam Tifoid

4.1. Antibiotik yang efektif untuk demam typhoid

A. Kloramfenikol

Merupakan obat pilihan utama untuk mengobati demam typhoid. Dosis yang dianjurkan

adalah 4x500 mg per hari, dapat diberikan secara oral ataupun intravena. Obat diberikan

selama 7 hari bebas panas. Pemberian obat dengan menggunakan penyuntikan intramuskular

tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan pada tempat

suntikan akan terasa nyeri. Penggunakan obat ini dapat menurunkan demam rata-rata 7,2

hari. Namun pada penelitian lain dikatakan bahwa penggunaan obat ini, 90% kuman masih

memiliki kepekaan terhadap antibiotik ini.

Page 19: Wrap Up Skenario 1(Tifoid)

18

B. Tiamfenikol

Dosis dan efektivitas obat ini hampir sama dengan kloramfenikol, akan tetapi

komplikasi hematologi seperti kemungkinannya terjadi anemia aplastik lebih rendah

dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis yang sigunakan adalah 4x500, demam rata-rata

menurun pada hari kelima sampai keenam.

C. Kotrimoksazol

Efektivitas obat ini hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa

adalah 2x2 tablet (i tablet mengandung sulfametoksazol 400mg dan 80mg trimetoprim)

diberikan sampai 2 minggu

D. Ampisislin dan amoksisilin

Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah dibandingkan denagn

kloramfenikol, dosis yang dianjurkan berkisar 50-150 mg/kg BB dan digunakan selama 2

minggu.

E. Sefaloporin generasi ketiga

Golongan sefaloporin yang paling efektik untuk demam typhoid adalah seftriakson,

dosis yang dianjurkan adalah antara 3-4 g dalam dekstrosa 100cc diberikan selama ½ jam

perinfus setiap hari, diberikan selama 3- hari.

F. golongan fluorokuinolon

Norfloksasin dosis 2x400mg/hari selama 14 hari

Siprofloksasin dosis 2x500 mg/ hari selama 6 hari

Ofloksasin dosis 2x400 mg/hari selama 7 hari

Pefloksasin dosis 400mg/hari selama 7 hari

Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari.

4.2. Farmakokinetik

A. Kloramfenikol

Page 20: Wrap Up Skenario 1(Tifoid)

19

Setelah pemberian oral, kloramfenikol diserap dengan cepat. Kadar puncak dalam

darah tercapai 2 jam.

Kira-kira 50% kloramfenikol dalam darah terikat dengan albumin.

Obat ini didistribusikan secara baik ke berbagai jaringan tubuh, termasuk jaringan

otak, cairan serebrospinal dan mata.

Waktu paruh kloramfenikol memanjang pada pasien gangguan faal hati sehingga

dosis perlu dikurangi.

B. . Kotrimoksazol

Rasio kadar sulfametoksazol & trimetoprim yang ingin dicapai dalam darah ialah

sekitar 20:1. Karena sifat nya yang lipofilik, trimetoprim mempunyai volume distribusi yang

lebih besar daripada sulfametoksazol. Dengan memberikan sulfametoksazol 800 mg dan

trimetoprim 160 mg per oral (rasio sulfametoksazol : trimetoprim = 5:1) dapat diperoleh

rasio kadar kedua obat tersebut dalam darah kurang lebih 20:1

Trimetoprim cepat distribusi ke dalam jaringan dan kira-kira 40% terikat pada protein

plasma dengan adanya sulfametoksazol. Volume distribusi trimetoprim hampir 9 kali lebih

besar dari pada sulfametoksazol. Obat masuk ke CSS dan salivadengan mudah. Masing-

masing kompenen ditemukan dalam kadar tinggi di dalam empedu. Kira-kira 65%

sulfametoksazol terikat pada protein plasma. Sampai 60% trimetoprim dan 25-50%

sulfametoksazol di eksresikan melalui urine dalam 24 jam setelah pemberian. Dua-pertiga

dari sulfonamid tidak mengalami konjugasi. Metabolit trimetoprim ditemukan juga

diurin,pada pasien uremia, kecepatan eksresi dan kadar urin kedua obat jenis menurun

Kotrimoksazol tersedia dalam bentuk tablet oral, mengandung 400 mg sulfametoksazol

dan 80 mg trimetoprim atau 800 mg sulfametoksazol dan 160 mg trimetoprim. Untuk anak-

anak tersedia juga suspensi oral yang mengandung 200mg sulfametoksazol dan 40 mg

trimetoprim/5 mL, serta tablet pediatrik yang mengandung 100 mg sulfametoksazol dan 20

mg trimetoprim.untuk pemberian IV tersedia sediaan infus yang mengandung 400mg

sulfametoksazol dan 80 mg trimetoprim setiap 12 jam. Pada infeksi yang lebih berat

diberikan dosis yang lebih besar.dengan pasien gagal ginjal diberikan dosis biasa bila klirens

kreatinin lebih dari30 ml/menit: bila klirens kreatinin 15-30 mL/menit, dosis 2 tablet

diberikan setiap 24 jam obat ini tidak boleh diberikan.

C. Fluorokuinolon

Page 21: Wrap Up Skenario 1(Tifoid)

20

Fluorokuinolon diserap lebih baik melalui saluran cerna.

Bioavailablitasnya pada pemberian oral sama dengan pemberian parenteral

Fluorokuinolon hanya sedikit terikat dengan protein.

Golongan obat ini hanya didistribusi dengan baik pada berbagai organ.

Golongan obat ini mampu mencapai kadar tinggi dalam jaringan prostat dan masa

paruh eliminasinya panjang sehingga obat cukup diberikan 2 kali sehari.

Kebanyakan fluorokuinolon dimetabolisme di hati dan di ekskresikan melalui ginjal.

D. Sefalosporin

Beberapa sefalosporin generasi ketiga misalnya sefuroksim, seftriakson, sefepim,

sefotaksim dan seftizoksim mencapai kadar yang tinggi di cairan serebrospinal (CSS),

sehingga dapat bermanfaat untuk pengobatan meningitis purulenta. Selain itu sefalosporin

juga melewati sawar darah uri, mencapai kadar tinggi di cairan sinovial dan cairan

perikardium. Pada pemberian sistemik, kadar sefalosporin generasi ketiga di cairan mata

relatif tinggi, tetapi tidak mencapai vitreus. Kadar sefalosporin dalam empedu umumnya

tinggi, terutama sefoperazon.

Kebanyakan sefalosporin diekskresi dalam bentuk utuh melalui ginjal, dengan proses

sekresi tubuli, kecuali sefoperazon yang sebagian besar diekskresi melalui empedu. Karena

itu dosis sefalosporin umumnya harus dikurangi pada pasien insufisiensi ginjal. Probenesid

mengurangi ekskresi sefalosporin, kecuali moksalaktam dan beberapa lainnya. Sefalotin,

sefapirin dan sefotaksim mengalami deasetilasi; metabolit yang aktivitas antimikrobanya

lebih rendah juga diekskresi melalui ginjal.

4.3. Farmakodinamik

A. Kloramfenikol

Page 22: Wrap Up Skenario 1(Tifoid)

21

Efek Antimikroba

Kloramfenikol bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman. Efek toksik

kloramfenikol pada sistem hemopoetik sel mamalia diduga berhubungan dengan

mekanisme keja obat ini.

Kloramfenikol umumnya bersifat bakteriostatik. Pada konsentrasi tinggi kadang-

kadang bersifat bakterisid terhadap kuman-kuman tertentu. Spektrum antibakteri

kloramfenikol kebanyakan kuman anaerob.

Resistensi

Mekanisme resistensi terhadap kloramfenikol terjadi melalui inaktivasi obat oleh

asetil transferase yang diperantarai oleh faktor-R dan adapula dengan merubah

permeabilitas membran yang mengurangi masuknya obat ke dalam sel bakteri

4.4. Indikasi dan kontraindikasi

A. Kloramfenikol

Obat ini sebaiknya hanya digunakan untuk mengobati demam tifoid dan

meningitis oleh H. influenzae. Infeksi lain sebaiknya tidak diobati dengan kloramfenikol bila

masih ada antimikroba yang lebih aman dan efektif. Kloramfenikol dikontraindikasikan

untuk neonatus, pasien dengan gangguan faal hati dan yang hipersensitif terhadapnya.

Demam tifoid

Kloramfenikol tidak lagi menjadi pilihan utama untuk mengobati penyakit tersebut

karena telah tersedia obat-obat yang lebih aman seperi siprofloksasin dan seftriakson.

Walaupun demikian, pemakaiannya sebagai lini pertama masih dapat dibenarkan bila

resistensi belum merupakan masalah.

Untuk pengobatan demam tifoid dapat pula diberikan tiamfenikol. Suatu uji klinik di

Indonesia menunjukkan bahwa terapi kloramfenikol (4x500 mg/hari) dan siprofloksasin

(2x500 mg/hari) peroral untuk demam tifoid selama 7 hari tidak berbeda bermakna dalam hal

penyembuhan klinik maupun turunnya demam. Sekalipun demikian siproflokasin lebih

efektif untuk membersihkan sumsum tulang dari Salmonella.

Page 23: Wrap Up Skenario 1(Tifoid)

22

Hingga sekarang belum disepakati obat apa yang paling efektif untuk mengobati status

karier (carrier state) demam tifoid, namun beberapa stidi menunjukkan bahwa norfloksasin

dan spiroploksasin mungkin bermanfaat untuk itu.

Gastroenteritris akibat Salmonella spp (yang bukan S. typhi) tidak perlu diberi

antibiotik karena tidak mempercepat sembuhnya infeksi dan dapat memperpanjang carrier

state.

B. Fluorokuinolon

Fluorokuinolon digunakan untuk indikasi yang jauh lebih luas antara lain:

INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK): Fluorokuinolon efektif untuk ISK dengan atau

tanpa penyulit. Siprofloksasin, norfloksasin, dan ofloksasin dapat mencapai kadar

yang cukup tinggi di jaringan prostat dan dapat digunakan untuk terapi prostatitis

bakterial akut maupun kronik.

INFEKSI SALURAN CERNA: Fluorokuinolon juga efektif untuk diare yang

disebabkan oleh Shigella, Salmonella, E.coli dan Campylobacter. Siprofloksasin

dan ofloksasin mempunyai efektivitas yang baik terhadap demam tifoid.

INFEKSI SALURAN NAPAS (ISN): Secara umum efektivitas flurokuinolon

generasi pertama untuk infeksi bakterial saluran napas bawah adalah cukup baik.

Namun perlu diperhatikan bahwa kuman S.pneumoniae dan S.aureus yang sering

menjadi penyebab ISN kurang peka terhadap golongan obat ini.

PENYAKIT YANG DITULARKAN MELALUI HUBUNGAN SEKSUAL:

Siprofloksasin oral dan levofloksasin oral merupakan obat pilihan utama disamping

seftriakson dan sefiksim untuk pengobatan uretris dan servitis oleh gonokokus.

INFEKSI TULANG DAN SENDI: Siprofloksasin oral yang diberikan selama 4-6

minggu efektif untuk mengatasi infeksi pada tulang dan sendi yang disebabkan oleh

kuman yang peka.

INFEKSI KULIT DAN JARINGAN LUNAK: Fluorokuinolon oraal mempunyai

efektivitas sebanding dengan sefalosporin parenteral generasi ketiga untuk

pengobatan infeksi berat pada kulit atau jaringan lunak.

C. Kotrimoksazol

INFEKSI SALURAN KEMIH

Page 24: Wrap Up Skenario 1(Tifoid)

23

Sulfonamid masih berguna untuk infeksi ringan pada saluran kemih bagian

bawah. Tapi timbulnya resistensi makin meningkat terutama bakteri Gram-negatif

sehingga sulfonamid tidak dapat digunakn pada pengobatan infeksi yang lebih berat

pada saluran kemih tsb,penting untuk membedakan antara infeksi pada ginjal dan

infeksi pada saluran kemih bagian bawah,pada keadaan pielonefritis akut yang

disertai dengan demam hebat dan bila ada kemungkinan timbulnya bakteremia dan

syok, sebaiknya jangan diberikanpengobtan dengan Sulfonamid tetapi dianjurkan

diberikan sesuatu antimikroba yang bakterisid secara parenteral yang dipilih

berdasarkan uji sensitivitasmikroba dari hasil kultur urin, Sulfonamid digunakan

untuk pengobatan sistitis akut maupun kronik,infeksi kronik bagiab kemih bagian

atas dan bakteriuria yang asimtomatik. Sulfonamid efektif untuk sistitis akut

o6lpenyulit pada wanita,pengobatan infeksi ringan saluran kemih bagian bawah

dengan kotrimoksazol ternyata sangat efektif bahkan untuk infeksi oleh mikroba

yang telah resistensi terhadap Sulfonamid sendiri.

INFEKSI SALURAN NAFAS

Kotrimoksazol tidak dianjurkan untuk pengobatan faringitis akut oleh S.

Pyogenes, karena tidak dapat membasmi mikroba.preparat kombinasi ini efektif

untuk pengobatan bronkitis kronik dengan eksaserbasi akut

INFEKSI SALURAN CERNA

Sediaan kombinasi ini sangat berguna untuk pengobatan shigellosis karena

beberapa strain mikroba menyebabkan telah resisten terhadap ampisilin, obat ini

juga ampuh dan efektif untuk demam tifoid, karena prevalensi resistensi mikroba

menyebabkan terhadap obat ini masih rendah.

INFEKSI OLEH PNEUMOCYSTIS CARINI

Pengobatan dengan dosis tinggi (trimetoprim 20 mg/kgBB perhari dengan

sulfametoksazol100 mg/kgBB per hari,dalam 3-4 kali pemberian). Efektif untuk

pasien infeksi berat pada pasien AIDS.

INFEKSI GENITALIA

Karena resistensis mikroba Kotrimoksazol Tidak dianjurkan lagi untuk

pengobatan gonore.pemberian eritromisin 500mg 4 kali sehari selama 10hari atau

160mg trimetoprim dan 800mg sulfametoksazol peroral dua kali sehari selama 10

hari efektif untuk pengobatan chancroid

INFEKSI LAINNYA.

Page 25: Wrap Up Skenario 1(Tifoid)

24

Infeksi oleh jamur nokardia dapat diobati dengan kombinasi ini, sulfametoksazol

mungkin efektif untuk pengobatan bruselosis bahkan bila ada lesi lokal seperti

artritis,endokarditis,atau epididimoorkitis,

D. Sefaloporin generasi ketiga

Sefalosporin generasi ketiga tunggal atau dalam kombinasi dengan aminoglikosida

merupakan obat pilihan utama untuk infeksi berat oleh Klebsiella, Enterobacter, Proteus,

Provedencia, Serratia dan Haemophillus spesies. Seftriakson dewasa ini merupakan obat

pilihan untuk semua bentuk gonore dan infeksi berat penyakit Lyme.

(Istiantoro YH & Gan VHS. 2009)

4. 5. Efek samping

A. Kloramfenikol

REAKSI HEMATOLOGIK. Terdapat dalam 2 bentuk. Yang pertama ialah reaksi

toksik dengan manifestasi depresi sumsum tulang. Bentuk yang kedua adalah

anemia aplastik dengan pansitopenia yang ireversibel dan memiliki prognosis sangat

buruk. Ada pendapat yang menyatakan bahwa kloramfenikol yang diberikan secara

parenteral jarang menimbulkan anemia aplastik. Pengobatan terlalu lama atau

berulang kali perlu dihindarkan. Hitung sel darah secara periodik, hitung leukosit,

dan hitung jenis tiap 2 hari dapat memberi petunjuk untuk mengurangi dosis atau

menghentikan terapi.

REAKSI SALURAN CERNA. Bermanifestasi dalam bentuk mual, muntah, glositis,

diare, dan enterokolitis.

SINDROM GRAY. Pada neonatus, terutama bayi prematur yang mendapat dosis

tinggi (200 mg/kgBB) dapat timbul sindrom Gray.

B. Fluorokuinolon

Beberapa efek samping yang dihubungkan dengan penggunaan obat ini ialah:

SALURAN CERNA: Paling sering timbul pada penggunan golongan kuinolon dan

bermanifestasi dalam bentuk mual, muntah, dan rasa tidak enak di perut.

Page 26: Wrap Up Skenario 1(Tifoid)

25

SUSUNAN SARAF PUSAT: Yang paling sering dijumpai ialah sakit kepala dan

pusing. Bentuk yang jarang timbul ialah halusinasi, kejang dan delirium.

HEPATOTOKSISITAS: Efek samping ini jarang terjadi.

KARDIOTOTOKSISITAS: Beberpa fluorokuinolon antara lain sparfloksasin dan

grepafloksasin (kedua obat ini sekarang tidak dipasarkan lagi) dapat memperpanjang

interval QTc (corrected QT interval).

DISGLIKEMIA: Gatifloksasin dapat menimbulkan hiper-atau hipoglikemia,

khususnya pada pasien berusia lanjut. Obat ini tidak boleh diberikan kepada pasien

diabetes melitus.

FOTOTOKSISITAS: Klinafloksasin (tidak dipasarkan lagi) dan sparfloksasin adalah

fluorokuinolon yang relatif sering menimbulkan fototoksisitas.

LAIN-LAIN: Golongan kuinolon hingga sekarang tidak diindikasikan untuk anak

(sampai 18 tahun) dan wanita hamil karena data dari penelitian hewan menunjukkan

bahwa golongan ini dapat menimbulkan kerusakan sendi

C. Kotrimoksazol

Pada dosis yang dianjurkan tidak terbukti bahwa kotrimoksazol menimbulkan

defisiensi folat pada orang normal, namun batas antara toksisitas untuk bakteri dan

manusia relatif sempit bila sel tubuh mengalami defisiensi folat, dalam keadaan

demikian obat ini mungkin menimbulkan megaloblastosis, leukopenia atau

trombositopenia.

Kira-kira 75% efek samping terjadi pada kulit, berupa reaksi yang khas ditimbulkan

oleh sulfonamid.namun demikian kombinasi sulfametoksazol-trimetoprim

dilaporkan dapat menimbulkan reaksi kulit sampai tiga kali lebih sering

dibandingkan sulfametoksazol tunggal (5,9% vs 1,7%). Dermatitis eksfoliatif,

sindrom stevens-johnson dan toxic epidermal necrolysis jarang terjadi.

Gejala pada saluran pencernaan terutama berupa mual dan muntah, diare jarang

terjadi glositis dan stomatitis relatif sering.

Ikterus terutama terjadi pada pasien yang sebelumnya telah mengalami hepatitis

kolestatik alergik.

Reaksi pada susunan saraf pusat berupa sakit kepala, depresi, dan halussinasi,

disebabkan oleh sulfonanid. Reaksi hematologi lainnya ialah berbagai macam anemia

(aplastik, hemolitik dan makrositik) gangguan koagulasi, granulositopenia,

agranulositosis, purpura, purpura henoch-schonlein dan sulfhemoglobinemi

Page 27: Wrap Up Skenario 1(Tifoid)

26

D. Sefaloporin generasi ketiga

Reaksi alergi merupakan efek samping yang paling sering terjadi, gejalanya mirip

dengan reaksi alergi yang ditimbulkan oleh penisilin. Reaksi mendadak yaitu anafilaksis

dengan spasme bronkus dan urtikaria dapat terjadi. Reaksi silang umumnya terjadi pada

pasien dengan alergi penisilin berat, sedangkan pada alergi penisilin ringan atau sedang

kemungkinannya kecil. Dengan demikian pada pasien dengan alergi penisilin berat, tidak

dianjurkan penggunaan sefalosporin atau kalau sangat diperlukan harus diawasi dengan

sungguh-sungguh. Reaksi Coombs sering timbul pada penggunaan sefalosporin dosis tinggi.

Depresi sumsum tulang terutama granulositopenia dapat timbul meskipun jarang.

Sefalosporin bersifat nefrotoksik, meskipun jauh lebih ringan dibandingkan

aminoglikosida dan polimiksin. Nekrosis ginjal dapat terjadi pada pemberian sefaloridin 4

g/hari (obat ini tidak beredar di Indonesia). Sefalosporin lain pada dosis terapi jauh kurang

toksik dibandingkan dengan sefaloridin. Kombinasi sefalosporin dengan gentamisin atau

tobramisin mempermudah terjadinya nefrotoksisitas.

Diare dapat timbul terutama pada pemberian sefoperazon, mungkin karena ekskresinya

terutama melalui empedu, sehingga mengganggu flora normal usus. Selain itu dapat terjadi

perdarahan hebat karena hipoprotrombinemia, dan/atau disfungsi trombosit, khususnya pada

pemberian moksalaktam.

Daftar Pustaka

Farmakologi UI

Page 28: Wrap Up Skenario 1(Tifoid)

27

Ali Idrus, Setiyohadi Bambang, Sudoyo W aru, K SimaDibrata Marcellus, Setia

Siti(editor).(2009). Ilmu penyakit Dalam edisi 5. InternaPublising, Jakarta

Widoyono. 2005.Penyakit Tropis : Epidemiologi, penularan, Pencegahan dan

pemberantasannya. Erlangga, Jakarta

http://idmgarut.wordpress.com/2009/01/23/demam-tifoid-thypoid-fever

http://amalikablog-penyakitmeningitis.blogspot.com/2010/05/bakteri-salmonella-

typhi.html