sellyauliasite.files.wordpress.com€¦ · web viewbab i. pendahuluan. latar belakang. menurut...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Menurut Winslow (1920) kesehatan masyarakat merupakan ilmu dan seni
untuk mencegah penyakit, memperpanjang masa hidup dan meningkatkan derajat
kesehatan dengan usaha pengorganisasian masyarakat (Chandra, 2006).
Berdasarkan pengertian tersebut terbukti bahwa usaha kesehatan masyarakat dapat
bersifat komprehensif dengan melibatkan masyarakat itu sendiri.
Pengertian yang disampaikan Winslow didukung pula dalam pengerti baru
menurut Achmadi (2012) bahwa kesehatan masyarakat merupakan upaya untuk
menyehatkan penduduk atau masyarakat dengan cirri-ciri berbasis masyarakat,
bersifat preventif, lintas sektor, harus ada community involvement, dan
terorganisir.
Oleh sebab itu, kesehatan masyarakat bukan hanya berbicara atau berteori
tentang penyakit dan penyebarannya (epidemiologi), tentang nutrisi, kesehatan
lingkungan, ilmu perilaku dan pendidikan, tetapi juga bagaimana aplikasi atau
penerapan teori tersebut dalam mengatasi masalah-masalah kesehatan masyarakat
dalam rangka memelihara dan meningkatkan kesehatan masyarakat.
Dari 56 juta kematian di dunia pada tahun 2012, 38 juta kematian (68%)
disebabkan oleh penyakit tidak menular (WH0, 2012). Bahkan diperkirakan pada
tahun 2020 penyakit tidak menular menjadi penyebab kematian tertinggi dengan
berkontribusi sebesar 73% (Pikiran Rakyat, 2011). Berdasarkan data Riskesdas
tahun 2013 angka hipertensi di Indonesia sebesar 9,5% dibandingkan dengan
tahun 2007 sebesar 7,6%, stroke sebesar 12,1% dibandingkan dengan tahun 2007
sebesar 8,3%, demikian juga dengan diabetes sebesar 2,1% dibandingkan dengan
tahun 2007 sebesar 1,1%. Data-data tersebut menunjukkan adanya peningkatan
penyakit tidak menular di Indonesia dan tentunya hal itu menjadi permasalahan
yang perlu untuk di buat penyelidikan dan pencegahannya dalam upaya
peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
Permasalahan yang tidak kalah pentingnya, tetapi juga sekaligus
permasalahan yang jarang disinggung dan dibahas adalah bioterorisme.
Bioterorisme lebih populer dengan sebutan “senjata biologis”. Alasan penting
pemakaian mikroba oleh teroris adalah alasan finansial. Efisiensi dalam hal biaya
murah tetapi menimbulkan dampak yang hebat (Sudibya, tanpa tahun).
Di dunia pada tahun 1763, Inggris menggunakan selimut yang telah
terkontaminasi cacar untuk menginfeksi suku Indian (Gray, 2009). Indonesia
sampai saat ini masih terjadi silang pendapat mengenai isu bioterorisme flu
burung pada unggas itik yang mengandung virus yang hanya ada di Cina. Hal ini
mendukung dengan adanya impor itik ilegal dari Cina (Basuno, tanpa tahun).
Oleh karena itu, bioterorisme merupakan hal yang sesungguhnya juga patut untuk
dilakukan penyelidikan dan pencegahan mengingat hebatnya dampak jika terjadi
bioterorisme. Penyelidikan dan pencegahan bioterorisme membutuhkan peran
ahli kesehatan masyarakat.
Masalah-masalah kesehatan yang ada di Indonesia tentu memberikan
pengaruh pada sumber daya manusia mengingat visi dari RPJMN 3 (2015-2019)
adalah memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan
pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis SDA yang
tersedia, SDM yang berkualitas, serta kemampuan IPTEK (Undang-UdangRI
nomor 27 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
2005-2025). Dengan memasukkan telaah kritis RPJMN 2015-2019 dalam
penyusunan makalah ini, maka peran ahli kesehatan masyarakat, kerja sama lintas
sektor, dan masyarakat sendiri dapat mewujudkan Rencana Pembangunan Jangka
Panjang nasional 2005-2025.
Banyaknya masalah-masalah kesehatan yang ada saat ini, seperti yang sudah
dipaparkan di atas membutuhkan peran ahli kesehatan masyarakat yang handal
dan yang mampu mewujudkan upaya-upaya untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat.
Masalah kesehatan masyarakat dan peran ahli kesehatan masyarakat yang
penulis angkat dalam makalah Peran Ahli Kesehatan Masyarakat adalah telaah
kritis mengenai peran ahli kesehatan masyarakat dalam penyakit menular,
bioterorisme, dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2015-2019.
1.2. Rumusan Masalah
Orientasi kesehatan masyarakat yang berobjek pada masyarakat, berfokus
pada upaya promotif-preventif, dan dengan parameter keberhasilan, yaitu
meningkatnya kesejahteraan masyarakatmenegaskan bahwa ahli kesehatan
masyarakat berperan dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Dalam mendukung RPJMN 2015-2019 diharapakan Indonesia mempunyai
sumber daya manusia yang sehat dan produktif. Perubahan paradigma juga perlu
dilakukan dari yang semula konsep penyembuhan penyakit menjadi pencegahan
penyakit.
Sehingga rumusan masalah dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai
berikut:
a. Bagaimana peran ahli kesehatan masyarakat dalam penyelidikan dan
pencegahan penyakit menular?
b. Bagaimana peran ahli kesehatan masyarakat dalam pencegahan dan
penanganan bioterorisme?
c. Apakah hasil telaah kritis RPJMN 2015-2019 ?
1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan umum penyusunan makalah Peran Ahli Kesehatan Masyarakat
adalah melakukan telaah kritis atas peran ahli kesehatan masyarakat.
1.3.2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus makalah Peran Ahli Kesehatan Masyarakat adalah
melakukan telaah kritis atas:
1. Peran ahli kesehatan masyarakat dalam penyelidikan dan pencegahan wabah
penyakit menular,
2. Peran ahli kesehatan masyarakat dalam pencegahan dan penanganan
bioterorisme, dan
3. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.
1.4. Ruang Lingkup
Penulisan makalah Peran Ahli Kesehatan Masyarakat bertujuan melakukan
telaah kritis atas peran ahli kesehatan masyarakat dalam penyelidikan dan
pencegahan wabah penyakit menular, bioterorisme, dan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Data yang digunakan adalah
data sekunder yang bersumber dari buku, jurnal, peraturan perundangan,artikel,
dan dokumen.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Peran Ahli Kesehatan Masyarakat dalam Penyelidikan dan Pencegahan
Wabah Penyakit Menular
2.1.1 Definisi
Definisi penyakit menular seperti yang dijelaskan oleh Beaglehole, Bonita
dan Kjellstrom (1993 dalam terjemahan Sutomo 1997, h. 162) adalah penyakit
yang disebabkan oleh transmisi suatu agen infeksius tertentu atau produk-produk
toksiknya, dari manusia atau hewan yang terinfeksi ke host yang rentan baik
secara langsung atau tidak langsung.
Proses terjadinya penyakit menular karena interaksi antara agent, host dan
environment yang meliputi 6 komponen berikut (http://health.mo.gov/):
a. Agen penyakit
Ada 6 golongan penyebab penyakit yang bersifat biologis, yaitu
protozoa, metazoa, bakteri, virus, fungi, dan riketsia.
b. Reservoir dari agen penyakit
Reservoir penyakit menular adalah manusia, hewan atau lingkungan.
c. Tempat keluarnya penyakit-penyakit tersebut dari host
Dapat disebut juga dengan portal of exit, yaitu cara keluarnya agen
penyakit dari reservoir, yaitu melalui saluran pernapasan, saluran pencernaan,
saluran perkemihan, dan melalui kulit.
d. Mode transmisi
Mode transmisi penyakit dapat terjadi secara langsung dan tidak
langsung. Mode secara langsung, yaitu dengan kontak langsung (penyakit
kelamin, hepatitis, dan penyakit kulit) dan secara droplet (melalui percikan
ludah). Transmisi penyakit secara tidak langsung melalui binatang, seperti
nyamuk yang menularkan penyakit demam berdarah, malaria, dan filariasis
(Kunoli, 2013).
e. Tempat masuknya agenpenyakit dari host ke host yang lain
Tempat masuknya agen penyakit ke dalam tubuh manusia sama dengan
tempat keluarnya agen penyakit, yaitu dapat melalui saluran pernapasan,
saluran pencernaan, saluran kemih, dan kulit.
f. Kerentanan host
Suatu faktor penentu yang penting adalah derajat kekebalan atau
resistensi alamiah yang ditimbulkan oleh vaksin dari host. Hal ini dapat
dilihat dari faktor genetik, daya tahan tubuh pejamu, status gizi, dan pola
hidup.
Berdasarkan proses kejadiannya, penyakit menular dapat dikategorikan
sebagai berikut (Achmadi, 2012):
a. Penyakit endemik, untuk menggambarkan penyakit atau faktor risiko penyakit
berkenaan yang terdapat atau terjadi di Indonesia selama kurun waktu yang
panjang. Penyakit ini sangat mengganggu Indeks Pembangunan Manusia
Indonesia, seperti diare, TBC, malaria, filariasis, dan hepatitis.
b. Penyakit yang berpotensi menjadi KLB, baik secara periodik yang dapat
diprediksi dan diantisipasi serta pencegahannya. Misalnya, DBD dan kolera.
Beberapa penyakit yang sulit diberantas berpotensi juga menjadi KLB,
misalnya malaria dan hepatitis A.
Alemayehu (2004) dalam tulisannya yang berjudul Communicable Disease
Controlpenyakit menular terbagi menjadi 3 periode sebelum dapat menularkan ke
host yang lain, yaitu:
a. Masa inkubasi adalah interval waktu antara infeksi host dan gejala-gejala atau
tanda-tanda penyakit muncul.
b. Periode prodormal, yaitu interval antara onset gejala penyakit menular sampai
munculnya manifestasi klinik. Sebagai contohnya adalah penyakit campak.
Deman dan pilek terjadi dalam 3 hari pertama, sedangkan bintik koplik dan
lesi muncul pada hari keempat.
c. Periode penularan adalah masa dimana agen infeksi ditularkan dari orang yang
terinfeksi ke host yang rentan.
Menurut Bappenas(2005) penyakit menular yang menjadi prioritas Rencana
Pembangunan Nasional Jangka Panjang 2005-2025 adalah:
a. Malaria
b. Demam Berdarah Dengue
c. Diare
d. Polio
e. Filariasis
f. Kusta
g. Tuberkulosis paru
h. HIV/AIDS
i. Pneumonia
j. Penyakit lain yang dapat dicegah dengan imunisasi
2.1.2 Landasan Hukum
Kebijakan penanggulangan penyakit menular, khususnya penanggulangan
wabah, telah diatur dalam bentuk peraturan perundangan, yaitu Undang-Undang
RI Nomor 4 Tahun 1984 tentang Penyakit Menular dan Peraturan Pemerintah RI
Nomor 40 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Penyakit Menular
(http://www.hukor.depkes.go.id/).
a. Malaria
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 293 Tahun 2009 tentang
Eliminasi Malaria di Indonesia.
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 041/MENKES/SK/I/2007
tentang Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria.
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 043/MENKES/SK/I/2007
tentang Pedoman Pelatihan Malaria.
b. Demam Berdarah Dengue
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 406/MENKES/SK/III/2004
tentang Penetapan Kondisi Kejadian Luar Biasa (KLB) Demam Berdarah
Dengue di Indonesia.
c. Diare
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 852/MENKES/SK/IX/2008
tentang Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat.
d. Polio
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 11/MENKES/SK/I/2002 tentang
Pedoman Pengamanan Virus Polio Liar di Labiratorium.
e. Filariasis
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1582/MENKES/SK/XI/2005
tentang Pedoman Pengendalian Filariasis (Penyakit Kaki Gajah).
f. Tuberkulosis Paru
Keputusan Menteri Kesehatan No. 1389/MENKES/SK/IX/2005 tentang
Komite Ahli gerakan terpadu Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.
g. HIV/AIDS
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 21 Tahun 2013 tentang
Penanggulangan HIV/AIDS.
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1507/MENKES/SK/X/2005
tentang Pedoman pelayanan Konseling dan Testing HIV/AIDS secara
Sukarela (VCT).
h. Penyakit lain yang dapat dicegah dengan imunisasi
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1059/MENKES/SK/IX/2004
tentang Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi.
2.1.3 Mekanisme Kerja ( on the way)
2.1.4 Kelebihan dan Kekurangan (on the way)
2.2 Peran Ahli Kesehatan Masyarakat dalam Pencegahan dan Penanganan
Bioterorisme
2.2.1 Definisi
Bioterorisme dapat didefinisikan sebagai berikut:
1. United Nations Association of Minnesota
Menurut United Nations Association of Minnesota (2014) bioterorisme
adalah penggunaan toksin dan organisme patogen sebagai senjata biologi.
Agen-agen tersebut dapat dikategorikan menjadi tiga berdasarkan atas tingkat
penyebaran agen dan severitas penyakit yang disebabkannya. Pengkategorian
agen akan dibahas padasubbab 2.2.2 mengenai Kategori Agen Bioterorisme.
2. Centers for Disease Control(CDC) Amerika Serikat
Centers for Disease Control (2007) Amerika Serikat mendefinisikan
bioterorisme sebagai serangan dengan segaja melepaskan virus, bakteri, atau
mikroorganisme lain (agen) untuk menyebabkan kesakitan atau kematian pada
manusia, hewan, dan tumbuhan. Agen-agen ini biasanya ditemui di alam,
tetapi dapat diubah kemampuan mereka untuk menginfeksi, tahan terhadap
obat-obatan, dan kemampuan mereka untuk menyebar di lingkungan. Agen
dapat menyebar melalui udara, air, atau makanan. Teroris menggunakan agen
biologi karena agen biologi sangat sulit dideteksi dan tidak menyebabkan
penyakit sampai beberapa jam atau beberapa hari.
3. Departemen Kesehatan Negara Bagian Texas
Bioterorisme menurut Departemen Kesehatan Texas (2014) adalah
istilah modern untuk perang biologis. Perang biologis ini menggunakan
patogen yang dapat membahayakan ideologi, politik, atau finansial.
2.2.2 Kategori Agen Bioterorisme
Agen bioterorisme berdasarkan seberapa mudah mereka menyebar dan
keparahan penyakit atau kematian yang ditimbulkan. Terdapat tiga kategori agen
bioterorisme menurut CDC (2007) Amerika Serikat, yaitu:
1. Kategori A
Sebuah agen biologi digolongkan dalam kategori A jika agen tersebut
memiliki risiko paling tinggi terhadap keamanan publik dan nasional. Kriteria
agen kategori A adalah:
a. Agen mudah menyebar atau bertransmisi dari orang ke orang.
b. Agen menyebabkan angka kematian yang tinggi dan mempunyai potensial
bagi dampak mayor kesehatan masyarakat.
c. Agen mungkin menyebabkan kepanikan publik dan kekacauan sosial.
d. Agen membutuhkan tindakan khusus untuk persiapan kesehatan
masyarakat.
2. Kategori B
Agen biologi digolongkan dalam kategori B karena:
a. Agen secara moderat mudah untuk menyebar.
b. Agen menyebabkan angka kesakitan dalam tingkat moderat dan angka
kematian yang rendah.
c. Agen membutuhkan peningkatan khusus kapasitas laboratorium CDC dan
peningkatan monitoring penyakit.
3. Kategori C
Agen yang masuk ke dalam kategori C adalah patogen yang dapat
direkayasa untuk penyebaran massal di masa depan. Agen biologi
dikelompokkan pada kategori C apabila:
a. Agen mudah tersedia.
b. Agen mudah diproduksi dan disebar.
c. Agen mempunyai potensi menyebabkan dampak angka kesakitan dan
kematian yang tinggi dan masalah kesehatan.
2.2.3 Sejarah Bioterorisme
PBB (2014) dalam United Nations: Bioterrorism (WHO Committee)
menyebutkan bahwa bioterorisme sebagai alat perang telah digunakan di masa
lalu, bahkan sebelum manusia menyadari bahwa infeksi dibawa dan disebarkan
oleh mikroorganisme. Sudibya (tanpa tahun) dalam tulisannya yang berjudul
Sekilas tentang Bioterorisme menyebutkan bahwa pasukan Tartar adalah
kelompok pertama yang melakukan bioterorisme pada tahun 1346 dengan
melemparkan pasien pes belakang garis pertahanan lawan. Selanjutnya
bioterorisme dilakukan oleh pasukan Inggris, Jerman, Spanyol, dan Jepang.
Sumber lain menyatakan bahwa bioterorisme telah dilakukan pada masa
sebelum masehi. Departemen Kesehatan Negara Bagian Texas (2014)
menyatakan bahwa orang pada zaman sebelum masehi tidak paham mengenai
penggunaan agen biologi sebagai senjata. Mereka mungkin menggunakan jasad
yang membusuk untuk meneror lawan mereka. Jadi pada zaman tersebut orang
menggunakan agen biologi sederhana sebagai senjata mereka
(www.dshs.state.tx.us).
Beberapa catatan sejarah penggunaan agen biologi sebagai senjata adalah
sebagaimana tercantum dalam laman Texas Department of State Health Services
(2014) adalahsebagai berikut:
1. Zaman Sebelum Masehi
Pada zaman sebelum masehi penggunaan agen biologi sebagai senjata
dalam perang dapat dilihat pada tabel ……….
Tabel …. Zaman Sebelum Masehi yang Menggunakan Agen Biologi
sebagai Senjata Perang
Urutan Waktu Zaman Sebelum Masehi600 BCAssiria
590 BCAthena
400 BCSyth
400 BCCina
300-100 BCRomawi
190 BCKartagina
Sumber: Texas Department of State Health Services (2014) dalam History of Bioterrrorism
(www.dshs.state.tx.us).
Kejadian penggunaan agen biologi sebagai senjata sesuai urutan waktu
sebelum zaman masehi (www.dshs.state.tx.us):
a. 600 BC
Orang-orang Assiria meracuni sumur-sumur musuh mereka dengan rye
ergot, sejenis fungi pada tanaman gandum hitam, yang membuat musuh
mereka menjadi sakit atau meninggal. Fungi tersebut akan memproduksi
ergotamine sejenis halusinogen yang menyebabkan delusi, paranoid, kedutan
mioklinik, kejang, dan gangguan kardiovaskular yang dapat mengarah pada
kematian. Orang terkena akan kelihatan seperti orang gila sehingga
menyebabkan teror dan demoralisasi.
b. 590 BC
Selama pengepungan Cirrha, Solon dari Athena menggunakan akar
hellebore untuk meracuni air di saluran air yang mengarah dari sungai
Pleistrus. Akar hellebore tersebut digunakan sebagai pencahar. Dalam era
dan tempat yang sama, orang-orang Sparta menggunakan asap beracum yang
dihasilkan oleh pembakaran kayu yang dicelupkan ke salam campuran tar dan
sulfur dalam salah satu peperangan dengan Athena.
c. 400 BC
Prajurit bangsa Syth dilaporkan mencelupkan anak panah mereka ke
dalam tubuh yang membusuk atau ke dalam campuran darah dan feses dari
orang sakit sebagai upaya membuat luka bernanah.
d. 400 BC
Tulisan-tulisan dari sekte Mohist di Cina menyebutkan bahwa
penggunaan lenguhan sapi untuk membuat asap di pembakaran dimana
mustard dan tanaman beracun lain dibakar untuk mencegah penggalian oleh
tentara yang mengepung. Penggunaan asap cacodyls yang beracun (arsenik
trioksida)juga disebutkan dalam manuskrip Cina awal.
Orang-orang Cina awal mungkin mengembangkan asap sebagai senjata
karena praktik fumigasi penghilangan kutu (sejak abad ketujuh sebelum
masehi) atau menurut filosofi Cina bahwa semua materi memudar dalam
bentuk insubstansial sehingga menyebabkan mereka mempelajari efek dan
sifat uap. Naskah-naskah Cina memuat ratusan cara untuk memproduksi asap
beracun atau yang mengiritasi untuk digunakan dalam perang.
e. 300-100 BC
Bangsa Romawi menggunakan lebah dan hornet sebagai senjata dengan
melemparkan mereka kepada musuh. Beberapa sejarawan menyalahkan
praktik ini untuk kekurangan sarang lebah dan hornet selama masa kekaisaran
Romawi.
f. 190 BC
Dalam peperangan Eurymedon, Hannibal, Jenderal bangsa Kartagina
menang atas raja Pergamum, Eumenes II, dengan melemparkan pot-pot yang
berisikan ular-ular beracun ke dek kapal musuh.
2. Tahun 1100-1600 Masehi
Penyebaran penyakit oleh mikroorganisme pada periode ini belum
diketahui. Kepercayaan pada periode ini adalah penyakit disebarkan oleh
tubuh yang membusuk (bad air atau mal aria). Pada abad ketujuh belas
penggunaan senjata biologis secara nyata digunakan oleh pemimpin militer
yang menggunakan penyakit untuk membunuh. Mereke menggunakan mayat
hewan atau manusia untuk membahayakan musuh.
Tabel …….. berikut memberikan perjalanan waktu penggunaan agen
biologi pada tahun 1100-1600-an masehi.
Tabel ……… Perjalanan Waktu Penggunaan Agen Biologi sebagai Senjata
Perang pada tahun 1100-1600-an Masehi
Tahun 1100-1600-an Masehi1155Italia 1340
Perancis1346Rusia
1422Bohemia
1495Italia
1528Peru
1672Groningen
Sumber: Texas Department of State Health Services (2014) dalam History of Bioterrrorism
(www.dshs.state.tx.us).
a. Tahun 1155 (Italia)
Kaisar Romawi Frederick Barbarossa menggunakan mayat prajurit
musuh untuk mengontaminasi sumur-sumur musuh selama perang
Tortona.
b. Tahun 1340 (Perancis)
Selama Perang Seratus Tahun, mesin-mesin yang digunakan untuk
pengepungan melemparkan bangkai hewan yang membusuk ke dalam
benteng di Thun l’Eveque, Perancis utara. Tidak ada penyakit yang
terjadi, tetapi orang-orang yang bertahan dalam benteng begitu
terpengaruh oleh bau bangkai yang tidak dapat ditolerir sehingga gencatan
senjata diajukan.
c. Tahun 1346 (Rusia)
Di semenanjung Krimea Rusia di Laut Hitam, Khan Janibeg,
komandan Tartar, dalam pengepungan Kaffa, melemparkan beberapa
prajuritnya yang telah meninggal akibat wabah pes ke dalam kota untuk
menciptakan epidemi. Setelah kota tersebut menyerah, para pengungsi
tanpa disadari membawa kuman pes ke Genoa, Italia, dimana para
sejarawan berspekulasi sebagai penyebab epidemic Black Death di Eropa.
d. Tahun 1422 (Bohemia)
Selama Kekaisaran Romawi Suci di Karlstein, Bohemia, para
penyerang melemparkan mayat-mayat prajurit yang terbunuh dalam
perang ke dinding kota. Selain itu, sekitar 2000 gerobak kotoran ditumpuk
di dekat dinding dalam upaya menyebarkan penyakit. Akan tetapi, tidak
ada penyakit yang terjadi dan kota dapat dipertahankan. Pengepungan
dihentikan setelah lima bulan.
e. Tahun 1495 (Italia)
Spanyol menyajikan anggur yang tercemar dengan darah penderita
kusta kepada Perancis. Kejadian tersebutterjadi di Italia, dekat Naples.
f. Tahun 1528 (Peru)
Selama penaklukan Kekaisaran Inca di Peru, Pizarro disebut
memberikan pakaian yang terkontaminasicacar kepada orang asli Amerika
Selatan.
g. Tahun 1672 (Groningen)
Selama pengepungan kota Gronigen, Uskup Munster, Christoph
Bernhard van Galen, memperoleh julukan “Bommen Berend” atau Bom
Berrend karena penggunaannya yang berlebihan dalam artileri. Beberapa
bahan peledak diisi dengan belladonna untuk menghasilkan asap beracun.
Akan tetapi, upaya ini gagal karena gagal memperhitungkan arah angin.
Pasukan Uskup akhirnya harus mundur dan menghentikan pengepungan
pada tanggal 28 Agustus. Kejadian ini masih dirayakan di Gronigen.
3. Abad XVIII (Tahun 1700-an)
Pada abad XVIII proses penyakit telah dipahami. Eksperimen-
eksperimen dilakukan untuk mencegah penyakit. Beberapa ahli strategi
militer berupaya untuk melindungi pasukan mereka dari penyakit sementara
menggunakan organisme penyebab penyakit untuk membahayakan musuh.
Tabel …….memberikan perjalanan waktu penggunaan agen biologi
sebagai senjata.
Tabel …..Perjalanan Waktu Penggunaan Agen Biologi sebagai Senjata Perang
pada Abad XVIII (Tahun 1700-an)
Abad XVIII (Tahun 1700-an)1710-1797Penggunaan sederhana
1718Inokulasi cacar
Inokulasi dalam strategi militer
1763Perang antara Inggris dan suku Indian
1775Revolusi Amerika
Sumber: Texas Department of State Health Services (2014) dalam History of Bioterrrorism
(www.dshs.state.tx.us).
a. Tahun 1700-an: penggunaan sederhana agen biologi
Pada abad kedelapan belas, para pejuang melanjutkan penggunakan
agen biologi secara sederhana. Contohnya adalah pada tahun 1710 Rusia
melemparkan wabah mayat ke kota Reval, Estonia, yang dipertahankan
oleh prajurit raja Swedia, Charles XII.
b. Tahun 1718: inokulasi cacar di Inggris
Pada tahun 1714 sebuah artikel yang memuat pandangan yang
berbeda tentang kemungkinnan perang senjata biologi dipublikasikan di
Royal Society'sPhilosophical Transactions. Artikel tersebut
mendeskripsikan teknik yang digunakan oleh dokter di Smirna (sekarang
Izmir), Turki, untuk melindungi diri dari cacar, yaitu dengan
menggunakan cairan dari orang yang terkena cacar ringan dan
mengoleskannya ke luka kecil untuk membuat orang terlindungi dari
cacar.
Inokulasi menjadi popular di Inggris berkat jasa Lady Mary Wortley
Montague, seorang istri diplomat Inggris yang ditempatkan di Kesultanan
Ottoman. Lady Montague meminta dr. Charles Maitland untuk
menginokulasi putrinya yang berumur empat tahun di hadapan para dokter
Inggris dan raja. Upaya ini berhasil dan menjadikan inokulasi menyebar
dengan cepat.
c. Inokulasi dalam strategi militer
Para komandan militer memanfaatkan inokulasi untuk menyerang
lawan sehingga lawan akan menderita penyakit cacar.
d. Tahun 1763: perang antara Inggris dan suku Indian
Pada perang antara Inggris dan suku Indian di Amerika, suku Indian
menerima selimut dan sapu tangan yang tercemar virus cacar. Hal ini
mengakibatkan epidemi cacar di kalangan suku Indian.
e. Tahun 1775: revolusi Amerika
Pasukan Inggris yang berperang di daerah koloni melakukan
inokulasi cacar untuk pasukannya dan masyarakat koloni pada tahun 1775.
Jenderal George Wahington percaya bahwa upaya ini adalah taktik Inggris
untuk menyerbarkan cacar di pasukan yang dipimpinnya sehingga
serangannya ke Boston ditangguhkan sampai keadaan aman.
Selanjutnya, pada tahun 1776 serangan Washington ke Quebec gagal
karena sebagian besar prajuritnya terkena cacar. Oleh karena itu,
Washington menyatakan bahwa cacar adalah musuh terbesar pasukannya.
Pada Januari 1777, Washington memerintahkan dr. William Shippen, Jr
untuk menginokulasi semua pasukannya.
4. Abad XIX (Tahun 1800-an)
Pada tahun 1800-an, penggunaan bahan-bahan biologi berbahaya
sebagai senjata perang kurang mendapat perhatian dibandingkan dengan
pengembangan, perbaikan, dan penggunaan artileri berat. Akan tetapi, masih
terdapat laporan penggunaan agen biologi selama Perang Saudara Amerika.
Tabel……. Perjalanan Waktu Penggunaan Agen Biologi sebagai Senjata
Perang pada Abad XIX (tahun 1800-an)
Abad XIX (Tahun 1800-an)1860-1863
Perang Saudara Amerika
Sumber: Texas Department of State Health Services (2014) dalam History of Bioterrrorism
(www.dshs.state.tx.us).
Beberapa catatan sejarah penggunaan agen biologi sebagai senjata
perang pada masa Perang Saudara Amerika adalah sebagai berikut:
a. Tahun 1860-1863
Memoar W.T. Sherman mendeskripsikan pemberian bangkai hewan
ke dalam kolam.
b. Tahun 1863
Pada tahun 1863 pasukan Konfederasi di bawah pimpinan Jenderal
Johnson mundur di Mississippi dengan menempatkan bangkai hewan di
sumur-sumur pasukan Uni. Pada tahun yang sama, dr. Luke Blackburn
berusaha menggunakan virus cacar untuk melawan pasukan Uni dengan
mengatur penjualan pakaian yang terkontaminasi virus cacar. Dr.
Blackburn juga berusaha menggunakan strategi pakaian yang
terkontaminasi untuk menyebarkan penyakit demam kuning, tetapi tidak
berhasil. Tidak ada yang mengetahui bahwa penyakit demam kuning
hanya dapat disebarkan melalui gigitan nyamuk.
Pada tahun yang sama, pihak tentara Uni secara resmi melarang
tindakan menggunakan agen biologi dalam perang. Penggunaan racun,
baik itu untuk sumur, makanan, atau lengan dikeluarkan dari perang
modern.
5. Abad XX (Tahun 1900-an)
Beberapa kejadian penggunaan agen biologi pada abad ke-20 ditandai
sesuai dengan Tabel ……
Tabel …..Perjalanan Waktu Penggunaan Agen Biologi sebagai Senjata Perang
pada Abad XX (tahun 1900-an)
Abad XX (Tahun 1900-an)1914-1918Perang Dunia I
1939-1945Perang Dunia II
1950-1970-anCrude terrorism
1950-1980-anPerang Dingin
1980-1990-anCrude terrorism
Sumber: Texas Department of State Health Services (2014) dalam History of Bioterrrorism
(www.dshs.state.tx.us).
a. Tahun 1914-1918: Perang Dunia I
Senjata biologi dikembangkan dan digunakan selama Perang Dunia I
walaupun target utama adalah hewan, seperti kuda dan bagal yang
digunakan untuk memindahkan bagian-bagian artileri berat. Antraks dan
glanders digunakan untuk menyerang kuda, bagal, dan hewan ternak di
Baltimore, Maryland. Akan tetapi, skema ini memberikan dampak yang
kecil dalam perang.
b. Tahun 1939-1945: Perang Dunia II
Beberapa catatan penggunaan senjata biologis pada tahun 1939-1945
adalah:
i) Jepang
Pada tahun-tahun sebelum meletusnya Perang Dunia II (PD II)
Jepang mempraktikkan senjata biologi melawan Cina. Jepang
menarget manusia untuk mengetes letalitas berbagai agen penyakit,
termasuk antraks, kolera, tifoid, dan pes. Serangan Jepang
menggunakan senjata biologi antara lain mengontaminasi sumur-
sumur dan mendistribusikan makanan beracun.
ii) Inggris
Para ilmuwan sekutu juga melakukan eksperimen dengan agen
biologis. Sebagai contoh, pada tahun 1941 Inggris bereksperimen
dengan antraks di lepas pantai Skotlandia.
iii) Amerika Serikat
Amerika Serikat meluncurkan studinya ke dalam penggunaan
dan pertahanan dari agen biologi. The US Army mengembangkan
Camp Dietrick (sekarang Ft. Dietrick), Maryland, menjadi sebuah
lokasi untuk penelitian dan pengembangan biologi.
c. Tahun 1950-1970-an: Crude terrorism
Crude terrorism ditandai dengan penggunaan agen fisik. Beberapa
kejadian crude terrorism adalah:
i) Tahun 1950: kelompok Mau Mau di Afrika menggunakan tanaman
beracun untuk membunuh hewan ternak.
ii) Tahun 1960-an: organisasi Viet Cong menggunakan perangkap yang
terkontaminasi dengan feses selama Perang Vietnam.
iii) Tahun 1970: The Weathermen, sebuah kelompok oposisi yang
menentang imperialisme Amerika dan Perang Vietnam, diduga
berusaha mendapatkan senjata biologi dari Fort Detrick, Maryland,
untuk mengontaminasi sistem pasokan air di kota-kota Amerika
Serikat.
iv) Tahun 1972: anggota kelompok kanan, Order of the Rising Sun,
ditangkap di Chicago. Kelompok tersebut mempunyai 30-40 kg
kultur tifoid yang direncakanan untuk meracuni pasokan air di
Chicago, St. Louis, dan kota-kota sebelah barat lainnya.
v) Tahun 1972: polisi menangkap dua remaja yang memulai kelompok
kecil militan yang memiliki visi mengeliminasi kemanusian sehingga
mereka dapat menciptakan ras baru. Kelompok ini ternyata memiliki
agen-agen biologi, termasuk Typhus bacillus.
d. Tahun 1950-1980-an: Perang Dingin
Pada akhir PD II, Amerika Serikat dan Uni Soviet jauh
meninggalkan negara lain dalam pengembangan senjata biologi. Selama
Perang Dingin program senjata biologi di Amerika Serikat dan Uni Soviet
mengeksplorasi penggunaan ratusan bakteri, virus, dan racun biologi.
Masing-masing negara menciptakan alat untuk menyebarkan agen-agen
biologi tersebut, misalnya aerosol, paket dalam bentuk bom, dan dalam
misil.
Pada tahun 1969 WHO mengeluarkan laporan terkait senjata biologi
dan risikonya karena ketidakmungkinan kontrol penuh. Pada akhir tahun
1969 presiden Richard Nixon mengakhiri program senjata biologi
mungkin dikarenakan protes atas Perang Vietnam dan memerintahkan
semua senjata dihancurkan. Sejak saat itu, para peneliti Amerika Serikat
fokus pada upaya defensif, seperti pengembangan detektor. Pada tahun
1972 semua agen dan suplai senjata biologi Amerika Serikat dihancurkan.
Pada bulan April 1979 di kota Sverdlovsk, Uni Soviet, sebuah
ledakan dari Military Compound 19 mengakibatkan lepasnya racun.
Selama beberapa hari berikutnya warga yang tinggal searah mata angin
menderita demam tinggi, sesak nafas, dan kematian. Dokter setempat
mengumumkan wabah antraks inhalasi, tetapi pemerintah menyalahkan
daging sapi yang terkontaminasi antraks. Militer mengambil alih rumah
sakit untuk mengurus korban secara eksklusif. Pernyataan resmi oleh
mengenai penyebab wabah tersebut dinyatakan oleh presiden Boris Yeltsin
pada tahun 1992 bahwa wabah tersebut merupakan kecelakaan yang
mengakibatkan terlepasnya spora antraks dalam program senjata biologi.
Pada tahun 1985 Irak meluncurkan program senjata biologi.
Program ini mungkin dibantu oleh para ahli senjata biologi dari Uni Soviet
yang datang ke Irak sejak program pengembangan senjata biologi di Uni
Soviet runtuh. Pada saat gencatan senjata Perang Teluk tahun 1991, Irak
telah memiliki agen-agen senjata biologis, seperti antraks, toksin
botulinum, dan beberapa agen mematikan lainnya. Inspektur dari Komisi
Khusus PBB (UN Special Commission/UNSCOM)menghabiskan waktu
bertahun-tahun untuk membuktikan keberadaan senjata biologis ini,
sementara Irak berulang kali membantah kepemilikan senjata biologis.
UNSCOM menemukan bahwa misil Irak dimuat untuk menyebarkan
penyakit.
Pada tahun 1989 Direktur CIA, William Webster, mengumumkan
bahwa sedikitnya terdapat 10 negara yang mengembangkan senjata
biologis.
e. Tahun 1980-1990-an: Crude terrorism
Beberapa agen biologis yang digunakan pada periode waktu ini
adalah:
i) Tahun 1980: sebuah laboratorium sederhana dilaporkan telah mengisi
bak mandi penuh dengan termos Clostridium botulinum di Red Army
Faction “safe house” di Paris. Pemerintah Jerman kemudian menolak
laporan tersebut.
ii) Tahun 1984: kelompok kultus Rajneeshee di Oregon mengontaminasi
restoran salad dengan Salmonella typhimurium untuk mencegah orang-
orang berpartisipasi dalam pemilihan daerah. Lebih dari 750 orang
diracuni dan 40 orang masuk rumah sakit walaupun tidak ada yang
meninggal. Dua pemuja akhirnya ditangkap.
iii) Bulan April 1990: anggota kultus dilengkapi mobil untuk
menyebarkan toksin botulinum melalui sebuah sistem pembuangan
dan mengendarai mobil tersebut di sekitar gedung parlemen Jepang.
iv) Bulan Maret 1995: anggota kultus menanamkan tiga koper yang
didesain untuk melepaskan toksin botulinum di kereta bawah tanah
Tokyo. Serangan tersebut gagal ketika anggota kultus tersebut
mengganti agen non-toksik.
6. Abad XXI
Pada musim gugur tahun 2001surat yang terkontaminasi antraks dikirim
melalui layanan pos Amerika Serikat. Kasus serangan antraks pertama ini
dilaporkan pada tanggal 4 Oktober oleh Departemen Kesehatan Palm Beach.
Pada tanggal 5 Desember sejumlah 22 kasus antraks diidentifikasi, 11 kasus
terkonfirmasi inhalasi antraks dan 11 kasus (tujuh kasus terkonfirmasi dan
empat kasus dicurigai) adalah antraks kulit.
Kasus antraks tahun 2001 membuat para ahli di bidang kesehatan
meninjau ulang paparan risiko dan sejarah penggunaan senjata biologi.
Profesional kesehatan harus mengenal sejarah dan tipe serangan yang terjadi.
Para profesional kesehatan harus dipersiapkan untuk mengenali, mengobati,
dan melaporkan kemungkinan efek senjata biologi kepada otoritas berwenang
dengan cepat untuk mencegah bahaya berskala besar.
2.2.4 Upaya Menghadapi Bioterorisme, Mekanisme, dan Landasan Hukum
Melihat parahnya dampak bioterorisme, beberapa upaya pencegahan dan
pemberantasan bioterorisme dilakukan. Biokeamanan atau yang disebut
biodefense mencakup perlindungan terhadap konsekuensi penelitian biologis yang
merugikan. Dari perspektif pertahanan nasional, biokeamanan mengacu pada
upaya-upaya untuk mengurangi dan menangani potensi penggunaan biologi yang
merusak khususnya melalui penerapan bioteknologi (www.nlm.nih.gov).
Aspek-aspek biokeamanan lainnya yang terkait meliputi tanggung jawab
atas larangan penyimpanan atau pemindahan dari satu alat pengangkut ke alat
pengangkut lain senjata biologis pendahulunya dan gangguan pembiayaan
bioteroris yang mendukung pengembangan dan distribusi senjata biologis.
Pembiayaan bioteroris yang berbeda dengan pencucian uang, khususnya
berhubungan dengan kegiatan-kegiatan kejahatan antarbangsa, seperti
perdagangan narkoba adalah sebuah mekanisme dimana dana diproses dari
sumber-sumber sah atau tidak sah untuk membiayai kegiatan-kegiatan bioteroris
atau mereka yang mendorong, merencanakan, atau terlibat dalam bioterorisme.
(Spidler, 2002).
Untuk mencapai tujuan ini, hubungan erat dan kerjasama harus dibangun di
antara para pemimpin negara. Pengakuan dan penerimaan bahwa sektor
keamanan negara lebih dari sekedar militer dan polisi, serta mencakup banyak
departemen pemerintah ditambah masyarakat sipil dan akademisi, akan
memudahkan kerja sama seluruh masyarakat yang lebih besar dalam
mengembangkan strategi-strategi efektif untuk menghadapi dampak-dampak
bioterorisme yang multisektor (www.apdforum.com).
1. Skala Internasional
Dalam skala internasional beberapa upaya nyata sudah dilakukan dan dapat
dijadikan landasan hukum untuk menghadapi bioterorisme. Sesuai yang tercatat
dalam dokumen United Nations Association of Minnesota (2014) mengenai
United Nations: Bioterrorism (WHO Committee) upaya tersebut antara lain:
a. Protokol Jenewa (Geneva Protocol)
Upaya pertama yang dilakukan untuk menghadapi bioterorisme adalah
pengesahan Protokol Jenewa pada tahun 1925 yang melarang penggunaan
dalam peperangan gas-gas yang mengakibatkan sesak napas dan beracun,
cairan, benda atau peralatan sejenis, serta melarang juga penggunaan bakteri
dalam metode peperangan.
b. Biological Weapons Convention (BWC) atau Biological and Toxin Weapons
Convention (BTWC)
Pada tahun 1972 BWC/BTWC melarang pengembangan, produksi,
akumulasi, akuisisi, dan penyimpanan agen biologi dan toksin; melarang
senjata-senjata yang memiliki potensi untuk mengelola organism tersebut; dan
juga menutut semua pihak yang menandatangani Konvensi tersebut
menghancurkan agen biologi dan toksin yang berada di bawah kendali
mereka. Pada tahun 2001 sebanyak 162 negara telah menandatangani BTWC.
Sejak saat itu, Review Conferences telah dilakukan untuk menegakkan dan
memperkuat BTWC.
Pada tahun 2006 Majelis Umum PBB (The U.N.General Assembly)
menyerukan banyak inisiatif biodefensif baru, termasuk inisiasi program
dengan pemangku bioteknologi dalam mencegah penggunaan perkembangan
biologi untuk tujuan teroris dan menciptakan database global untuk
melaporkan semua kejadian teroris.
c. Tindakan Proteksi Global
1) Rencana Respon Biosurveilans dan Bioterorisme (Biosurveillance and
Bioterrorism Response Plans)
Upaya ini dilakukan untuk melindungi kesehatan masyarakat dari
wabah penyakit dan dalam prosesnya menjaga dari ancaman bioterorisme.
Biosurveilans adalah proses mengumpulkan, menganalisis,
meninterpretasi, dan melaporkan informasi yang berhubungan dengan
aktifitas penyakit dan ancaman potensial terhadap kesehatan masyarakat.
Kegiatan ini dilakukan mulai dari praktik epidemiologi dasar sampai
dengan penggunaan sistem teknologi yang sangat canggih.
Akan tetapi, permasalahan yang ada pada upaya ini adalah sebagian
besar informasi terlambat, tidak cukup, atau tidak ada. Hal tersebut
disebabkan oleh kondisi geografis dan ekonomi yang berbeda di tiap
negara, seperti kekurangan dalam infrastruktur, fasilitas, dan staf
kesehatan; kemampuan diagnosis dan mekanisme pelaporan rendah; bisa
juga karena pemerintah tidak ingin reputasi pemerintahannya jatuh di mata
internasional.
2) Global Alert and Response
WHO melalui Global Alert and Response (GAR) mengoordinasi
sistem kesehatan masyarakat nasional dan internasional untuk memerangi
dan mengontrol epidemi dan masalah kesehatan lainnya. Upaya tersebut
dilakukan dengan memonitor penyebaran infeksi, menginformasikan ke
publik jika perlu, dan melindungi masyarakat dari dampak wabah. WHO
juga melakukan jaringan surveilans internasional yang disebut Global
Outbreak Alert and Response Network (GOARN) yang memfasilitasi
pertukaran sumber daya dalam mengidentifikasi, mengonfirmasi, dan
merespon secara cepat wabah penyakit. Institusi yang tergabung dalam
GOARN meliputi sektor pemerintah dan swasta, termasuk jaringan
laboratorium, program keilmiahan, organisasi-organisasi PBB, palang
merah, dan LSM.
2. Indonesia
Pemerintah Indonesia hingga saat ini turut aktif didalam upaya pencegahan
dan pemberantasan bioterorisme. Sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dimana Pemerintah Indonesia
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial.
Hal tersebut terbukti dengan disahkannya Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention on The
Prohibition of The Development, Production, Stockpiling and Use of Chemical
Weapons and on Their Destruction. Secara eksplisit disebutkan bahwa
pemerintah Indonesia senantiasa turut aktif dalam memberikan sumbangan bagi
terwujudnya tujuan dan prinsip-prinsip Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta
untuk menegaskan kembali komitmen Indonesia terhadap Protokol Jenewa Tahun
1925.
2.3 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019
2.3.1 Definisi
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025, yang
selanjutnya disebut sebagai RPJPN 2005-2025, adalah Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang RI
Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
Tahun 2005-2025. Sedangkan yang dimaksud dengan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional Tahun 2015-2019, yang selanjutnya disingkat
RPJMN 2015-2019 adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional untuk
periode 5 (lima) tahun terhitung sejak tahun 2015 sampai dengan tahun 2019.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) merupakan tahapan pencapaian visi Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJPN) 2005-2025. RPJPN 2005-2025 secara garis besar memberikan pedoman dan arah pembangunan dalam visi dan misi untuk periode 20 tahun ke depan, untuk mencapai tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara RI Tahun1945, dan merupakan acuan dari setiap tahap RPJMN yang berkesinambungan dan berkelanjutan. RPJMN merumuskan permasalahan, sasaran serta arah kebijakan pembangunan yang akan diambil oleh bangsa ini dalam kurun waktu 5 tahun ke depan.
2.3.2 Landasan Hukum
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) adalah
dokumen perencanaan pembangunan nasional lima tahunan yang merupakan
bagian dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dua puluh tahunan
(Undang-Undang RI Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional). Pemerintah dan DPR RI telah menerbitkan Undang-
Undang RI nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
(RPJP) 2005-2025. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Bidang Kesehatan
(RPJPK) merupakan bagian rencana pembangunan nasional di bidang kesehatan
sebagai jabaran RPJPN 2005-2025 (Departemen Kesehatan RI, 2009).
1. Landasan Idiil yaitu Pancasila
2. Landasan Konstitusional yaitu Undang-Undang Dasar 1945
3. Landasan Operasional
a. Undang-Undang RI Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4421);
b. Undang-Undang RI Nomor 40Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional
c. Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025(Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4700); Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4924);
d. Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
e. Undang-Undang RI Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
f. Peraturan Presiden RI Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan
Organisasi Kementerian Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah,
terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2011;
g. Peraturan Presiden RI Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan
Nasional
2.3.3 Mekanisme Kerja
Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 40 Tahun 2006 tentang Tata
Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional, koordinasi penyusunan RPJM Nasional dilakukan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. Merujuk pada peraturan tersebut di atas, tahapan penyusunan dan penetapan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJMN) adalah sebagaimana digambarkan pada gambar …………..
1. Penyiapan Rancangan Awal RPJMNPenyiapan Rancangan Awal RPJM Nasional dimulai pada
tahun terakhir RPJM Nasional yang berjalandengan mengacu pada RPJP Nasional, visi/misi dan program prioritas presiden terpilih, dan berdasarkan pada rancangan rencana pembangunan teknokratik yang telah mempertimbangkan hasil evaluasi pelaksanaan RPJMN berjalan serta aspirasi
Gambar …. Tahapan Penyusunan dan Penetapan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJMN).
Sumber: Peraturan Pemerintah RI Nomor 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional.
masyarakat.Rancangan Awal RPJMN disampaikan kepada Presiden untuk disepakati dalam sidang Kabinet dan menjadi pedoman atau acuan bagi penyusunan Rancangan Renstra K-L.
2. Penyiapan Rancangan Renstra K-LPimpinan Kementerian/Lembaga menyusun Rancangan
Renstra K-L yang diawali dengan penyusunan rancangan rencana pembangunan secara teknokratik di sektornya. Rancangan Renstra K-L memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, serta program dan kegiatan pokok sesuai dengan tugas dan fungsi kementerian/lembaga dengan berpedoman pada Rancangan Awal RPJM Nasional. Pimpinan Kementerian/Lembaga berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah untuk mengidentifikasikan pembagian tugas dalam pencapaian sasaran nasional di sektornya.
3. Penyusunan Rancangan RPJM Nasional dengan menggunakanRancangan Renstra KL
Setelah proses konsultasi Sidang Kabinet dari Pemerintahan Presiden terpilih yang baru, dihasilkan Rancangan RPJMNasional. Rancangan RPJMNasional memasukkan pertimbangan Rancangan Awal dan Rancangan Renstra K-L. Rancangan Renstra K-L ditelaah oleh Menteri PPN/Bappenas agar konsisten sebagai penjabaran dari Rancangan Awal RPJM Nasional, dan sasaran program prioritas Presiden sesuai dengan sasaran tujuan KL serta tugas yang dilaksanakan oleh pusat-daerah sesuai dengan kewenangannya.
4. Pelaksanaan Musrenbang Jangka Menengah NasionalProses konsultasi publik dan sosialisasi dilakukan melalui
Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional
(Musrenbangnas) Jangka Menengahyang mengikutsertakan unsur-unsur penyelenggara negara dan masyarakat.Musrenbangnas Jangka Menengah diselenggarakan paling lambat 2 bulansetelah Presiden dilantik.
5. Penyusunan Rancangan Akhir RPJM NasionalRancangan Akhir RPJM Nasional yang disusun
berdasarkan hasil Musrenbangnas, kemudian dikonsultasikan pada DPR dan Sidang Kabinet untuk penyempurnaan.
6. Penetapan RPJM NasionalRancangan Akhir RPJM Nasional yang telah
disempurnakan kemudian diproses untuk ditetapkan menjadi RPJM Nasional dengan Peraturan Presiden paling lambat 3 (tiga) bulan setelah Presiden dilantik.
Perumusan arah kebijakan pembangunan nasional dimulai dengan identifikasi prakiraan permasalahan utama, serta penyebabnya untuk diselesaikan dalam periode 5 (lima) tahun ke depan. Permasalahan utama merupakan perkiraan permasalahan yang akan dihadapi lima tahun kedepan berdasarkan perkembangan sampai saat ini. Permasalahan utama termasuk tantangan, yang merupakan permasalahan yang menonjol dalam lima tahun ke depan. Selanjutnya, ditetapkan sasaran pembangunan nasional jangka menengah 2015-2019, yang akan menjadi dasar penetapan Prioritas Pembangunan Nasional. Untuk setiap Prioritas Pembangunan, dibangun skenario isu strategis bersifat lintas Bidang/K-L dan kegiatan pembangunan yang akan mendukung pada pencapaian prioritas pembangunan nasional tersebut, yaitu melalui Fokus Prioritas Nasional (program-program pembangunan Prioritas yang bersifat lintas Bidang/K-L
atau lintas wilayah) dan kegiatan-kegiatan prioritas nasional pendukungnya.
Berbagai acuan yang dapat digunakan dalam identifikasi prakiraan permasalahan utama bangsa dalam periode lima tahun ke depan adalah (1) hasil evaluasi RPJMN periode sebelumnya, (2) misi pembangunan yang belum terselesaikan dalam periode 5 tahun sebelumnya, dan (3) masukan aspirasi dari masyarakat/stakeholder luas lainnya. Selanjutnya permasalahan dan sasaran akan mengarahkan pada perumusan arah kebijakan pembangunan nasional yang perlu ditetapkan untuk periode 2015-2019 dengan mempertimbangkan dan menyinergikan hal-hal sebagai berikut:1. Skala Prioritas dalam RPJPN 2025.2. Visi, misi, dan Program Prioritas Presiden Terpilih.3. Komitmen internasional/global terkini.
Dokumen RPJMN 2015-2019 sampai dengan Desember 2014 masih dibahas
dalam Musrembangnas di Jakarta.
2.3.4 Isi Pokok
Sebagaimana tertera dalam pentahapan pembangunan RPJPN 2005–2025,
Dalam RPJMN 2015-2019 dimana tertera dalam pentahapan pembangunan
RPJPN 2005–2025, dimana RPJMN 2015-2019 masuk dalam pentahapan 3
(gambar 2) yang memfokuskan kepada pemantapan pembangunan secara
menyeluruh dengan menekankan pembangunan keunggulan kompetitif
perekonomian yang berbasis sumber daya alam yang tersedia, sumber daya
manusia yang berkualitas serta kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kementerian Kesehatan menyikapi RPJMN 2015-2019 di bidang Kesehatan
dengan mempersiapkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang
berkualitas dengan mulai mantap dengan mengedepankan arah pengembangan
upaya kesehatan dari pelayanan kuratif bergerak kearah pelayanan promotif, dan
preventif sesuai kondisi dan kebutuhan ( gambar 2).
BAB III
METODOLOGI
3.1 Pendekatan Penulisan
Sesuai dengan tujuan penulisan makalah telaah kritis Peran Ahli Kesehatan
Masyarakat, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif.
Patton dan Cochran (2002) dalam A Guide to Using Qualitative Research
Methodology menyatakan bahwa penelitian kualitatif dicirikan berdasarkan atas
Gambar …. Arah Pembangunan KesehatanSumber: …………………………………..
tujuannya, berhubungan dengan beberapa aspek kehidupan sosial, dan metodenya
secara umum menghasilkan kata-kata sebagai data yang dianalisis.
3.2 Jenis
New York University (tanpa tahun) menyebutkan bahwa studi sosial
menanyakan dua pertanyaan studi fundamental, yaitu apa yang sedang terjadi
(deskriptif) dan mengapa hal tersebut terjadi (eksplanasi). Studi deskriptif
memberikan gambaran atau deskripsi yang bagus atas suatu fenomena di
masyarakat dan memprovokasi pertanyaan “mengapa” dalam studi eksplanasi
(www.nyu.edu).
Makalah telaah kritis Peran Ahli Kesehatan Masyarakat tergolong dalam
studi deskriptif dan eksplanasi. Makalah ini memberikan deksripsi mengenai
peran dan mekanisme kerja ahli kesehatan masyarakat dalam penyelidikan dan
pencegahan wabah penyakit menular, pencegahan dan penanganan bioterorisme,
dan RPJMN 2015-2019. Selanjutnya, makalah ini juga memberikan penjelasan
(eksplanasi) mengenai kelebihan dan kekurangan peran ahli kesehatan masyarakat
dan mengapa terjadi dua fenomena tersebut.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Menurut sumber datanya, makalah telaah kritis Peran Ahli Kesehatan
Masyarakat menggunakan data sekunder. Data sekunder yang diperoleh dalam
makalah ini adalah melalui studi pustaka. Cara pengumpulan data adalah dengan
mengumpulkan berbagai literatur buku, jurnal, peraturan perundangan,artikel, dan
dokumen terkait tujuan penulisan makalah.
3.4 Teknik Analisis Data
Terdapat beberapa teknik dalam melakukan analisisdata yang dikumpulkan
dalam tulisan ini. Patton dan Cochran (2002) menyatakan bahwa terdapat
beberapa pendekatan dalam menganalisis data kualititatif, yaitu pendekatan
tematik, deskriptif, dan in-depth. Analisis tulisan telaah kritis Peran Ahli
Kesehatan Masyarakat adalah melalui pendekatan tematik dan deskriptif.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Peran Ahli Kesehatan Masyarakat dalam Penyelidikan dan Pencegahan
Wabah Penyakit Menular
4.1.1 Gambaran Penyakit Menular di Indonesia
Penyakit menular merupakan masalah utama kesehatan masyarakat
Indonesia, disamping mulai meningkatnya masalah penyakit tidak menular
(PTM). Pemberantasan penyakit menular juga merupakan salah satu pencapaian
tujuan pembangunan milenium (MDGs) Indonesia. Walaupun penyakit menular
yang menjadi proritas target pencegahan dan pemberantasan dalam tujuan MDGa
adalah HIV/AIDS, Malaria dan tuberkulosis, tetapi di Indonesia penyakit menular
lain masih banyak yang tinggi angka insiden dan prevalensinya.
Berikut gambaran kondisi penyakit menular di Indonesia berdasarkan hasil
Riskesdas 2013:
1. Tuberkulosis Paru
Prevalensi TB berdasarkan diagnosis sebesar 0,4% dari jumlah
penduduk, artinya dari rata-rata 100.000 penduduk Indonesia terdapat 400
orang yang menderita TB, hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan pervalensi
TB dari hasil Riskesdas tahun 2007, yaitu kurang lebih 0,4%.
2. HIV/AIDS
Setelah tiga tahun berturut-turut jumlah kasus HIV/AIDS stabil, pada
tahun 2013 kembali mengalami peningkatan signifikan sebesar 35% dibanding
tahun 2012. Grafik tersaji dalam grafik … berikut.
Grafik … Jumlah Kasus Baru TB di Indonesia
Sumber: Profil Kesehatan Indonesia (2013)
3. Kusta
Selama periode 2008-2013, angka penemuan kassus baru kusta pada
tahun 2013 merupakan yang terendah, yaitu sebesar 6,69 per 100.000
penduduk, sedangkan angka prevalensi berkisar antara 0,79 hingga 0,96 per
10.000 dan telah mencapai target <1 per 10.000 penduduk.
Grafik --- Prevalensi dan Insiden Kusta di Indonesia
Sumber: Profil Kesehatan Indonesia (2013)
4. Diare
Penyakit diare merupakan penyakit endemis di Indonesia dan juga
merupakan penyakit potensi KLB yang sering menyebabkan kematian.
Menurut Riskesdas 2007 dalam Profil Kesehatan Indonesia 2013, diare
merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi dan balita.
Secara nasional angka kematian (CFR) pada KLB diare tahun 2013
sebesar 1,08% sedangkan target CFR pada KLB diare diharapkan <1%.
Dengan demikian secara nasional, CFR KLB diare hampir memenuhi target
program.
5. Demam Berdarah Dengue (DBD)
Pada tahun 2013, jumlah penderita DBD yang dilaporkan sebanyak
112.511 kasus dengan jumlah kematian 871 orang. Terjadi peningkatan
jumlah kasus pada tahun 2013 dibandingkan 2012 yang sebesar 90.245 kasus
dengan angka kessakitan sebesar 37,27.
Grafik … Angka Kesakitan (IR) DBD per 100.000 penduduk tahun
2008-2013
Sumber: Profil Kesehatan Indonesia (2013)
6. Filariasis
Terjadi peningkatan jumlah kasus filariasis pada tahun 2013 dari tahun
2012 sebanyak 812 kasus. Gambaran peningkatan tersebut dapat dilihat pada
grafik ..
Grafik …. Jumlah Kasus Filariasis di Indonesia Tahun 2010-2013
Sumber: Profil Kesehatan Indonesia (2013)
4.1.2 Pencapaian MDGs di Indonesia Tahun 2013 (Tujuan 6: Memerangi
HIV/AIDS, Malaria, dan Penyakit Menular lainnya) dan Tantangan
1. HIV/AIDS
Gambar….. memperlihatkan bahwa target MDGs dalam prevalensi HIV
pada populasi umur 15-24 tahun adalah < 0,5, hasil capaian MDGs prevalensi
HIV di Indonesia tahun 2013 adalah sebesar 0,43. Prevalensi dari tahun ke
tahun mengalami peningkatan meskipun <0,5.
Grafik… Prevalensi HIV pada Populasi Umur 15-24 Tahun
Sumber: Kemenkes RI (2012) dalam Laporan Pencapaian MDGs 2013, tahun 2014
Sardjunani (2014) menyatakan beberapa tantangan yang dihadapi dalam
mencapai target MDGs untuk memerangi HIV/AIDS adalah:
a. Masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk mengetahui status HIV-nya,
baik ditawarkan ataupun secara sukarela pada kelompok.
b. Tingginya stigma dan diskriminasi terhadap ODHA, baik di masyarakat
maupun petugas kesehatan, menyebabkan penyakit ini semakin sulit untuk
dikendalikan.
2. Malaria
Grafik Jumlah Kasus Positif Malaria menurut Provinsi di Indonesia
Tahun 2013 menunjukkan bahwa kawasan Timur Indonesia memiliki angka
yang lebih tinggi.
Grafik …..Jumlah Kasus Positif Malaria menurut Provinsi di Indonesia Tahun2013
Sumber: Kemenkes RI(2013) dalam Laporan Pencapaian MDGs 2013, tahun 2014
Sardjunani (2014) menyatakan tantangan yang dihadapi dalam mencapai
target MDGs untuk memerangi malaria adalah disparitas yang cukup tinggi
antara kejadian malaria di kawasan timur Indonesia dengan daerah lain.
3. Tuberkulosis (TB)
WHO (2013) dalam Global Tuberculosis Reportmenyatakan bahwa
Indonesia masuk kedalam kategori high-burden countriesdengan prevalensi
TB tertinggi, yaitu sebesar 1200 dan insiden tertinggi, yaitu sebesar 540.
Tabel ….. Estimated Epidemiological Burden of TB Tahun 2012
Sumber: WHO (2013) dalam Global Tuberculosis Report
Sardjunani (2014) menyatakan beberapa tantangan yang dihadapi dalam
mencapai target MDGs untuk memerangi tuberkulosis adalah:
1. Ko-infeksi TB/HIV, TB yang resisten obat, dan tantangan lainnya dengan
tingkat kompleksitas yang semakin tinggi.
2. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti jumlah pasien yang
ditatalaksana difasilitas pelayanan kesehatan non-pemerintah (swasta).
3. Masih rendahnya kasus TB resisten obat yang berhasil ditemukan dan
mendapatkan pengobatan.
4. Komitmen dari pemerintah masih kurang untuk pendanaan program TB.
5. Masih kurangnya perhatian untuk tatalaksana kasus TB BTA negatif dan
TB anak.
6. Masih rendahnya sumberdaya manusia untuk mendukung ekspansi
program dan penerapan inovasi baru.
Tidak hanya selesai sampai mengetahui pencapaian angka statistik seperti di
atas, statistik juga perlu digunakan untuk menyajikan data lebih mudah dipahami.
Laporan pencapaian MDGs penting dilakukan, kritisi, dan membacanya juga perlu
diperhatikan karena secara keseluruhan data-data MDGs memiliki keterbatasan.
Setidaknya MDGs bukan sekedar sajian angka-angka, tetapi lebih mendorong
semua pihak untuk penduli dan merealisasikan tujuan pembangunan dalam wujud
nyata. Penyajian secara statistik dalam pencapaian MDGs pada dasarnya
bermanfaat untuk mengedukasi masyarakat akan masalah yang ada sehingga dapat
dicarikan penyelesaiannya secara bersama-sama (Fatimah, tanpa tahun).
4.1.3 Penyelidikan, Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyelidikan dan pengendalian
penyakit menular, seperti yang diuraikan oleh Wibowo dan tim (2014) dalam
buku Kesehatan Masyarakat di Indonesia:Konsep Aplikasi dan
TantanganKesehatan Masyarakat Indonesia, yang merupakan bagian fungsi-fungsi
kesehatan masyarakat adalah sebagai berikut:
a. Rantai penyakit infeksi
Seperti yang sudah dijelaskan dalam bab 2.1.1 definisi penyakit
menular, rantai infeksi adalah sebuah model yang digunakan untuk
memahami proses infeksi. Lingkaran hubunganmasing-masing mewakili
komponen dalam siklus. Setiap point dari mata rantai harus ada dan berada
dalam posisi yang benar (Pratama, Tanpa tahun).
Gambar….. Rantai Infeksi Epidemiologi.
Sumber: Pratama (tanpa tahun) dalam Rantai Infeksi epidemiologi
(www.scribd.com)
Tujuan utama dari epidemiologi penyakit menular adalah untuk
menjelaskan proses-proses infeksi dengan maksud untuk mengembangkan
dan mengimplementasikan dan mengevaluasi alat-alat pengendalian yang
tepat. Pengetahuan tentang masing-masing yang ada di dalam sebuah rantai
infeksi diperlukan sebelum intervensi yang efektif dapat dilakukan
(Beaglehole, Bonita, dan Kjellstrom dalam terjemahan Sutomo 1997, h.168).
Namun, hal ini tidak selalu diperlukan, contohnya adalah pencegahan
terjadinya epidemi penyakit kolera dengan perbaikan penyediaan air.
Hal tersebut didukung oleh Achmadi (2012) dalam buku yang berjudul
Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah dimana Beliau mengungkapkan teori
simpul yang pada dasarnya adalah tata laksana kasus penyakit dengan
pengendalian faktor risiko penyakit yang dilaksanakan secara simultan,
paripurna, terencana, dan terintegrasi dalam suatu wilayah tertentu.
Pengendalian dapat secara prospektif dan retrospektif.
b. Agen Penyebab Infeksi
Agen penyebab infeksi dapat dibedakan berdasarkan kemampuannya
untuk menghasilkan penyakit (patogenitas) dan ukuran tentang tingkat
keganasan penyakit (virulensi) (Beaglehole, Bonita dan Kjellstrom dalam
terjemahan Sutomo 1997, h.168). Patogenitas dapat ditentukan dengan
membandingkan jumlah penderita yang mempunyai manifestasi klinis
dengan jumlah penderita yang mengalami infeksi,sedangkan virulensi dapat
ditentukan dengan membandingkan jumlah penderita yang mempunyai efek
serius dengan jumlah penderita yang sakit (Detels 2002 dalam Wibowo dan
tim 2014).
c. Jalur transmisi
Aspek sentral penyebaran penyakit menular dalam masyarakat adalah
mekanisme penularan (mode of transmissions),yakni berbagai mekanisme
dimana unsur penyebab penyakit dapat mencapai manusia pejamu yang
potensial (Noor, 2006).
d. Host
Unsur pejamu (host),terutama pejamu manusia dapat dibagi dalam dua
kelompok sifat utama, yakni pertama, sifat yang erat hubungannya dengan
manusia sebagai mahluk biologis dan kedua, sifat manusia sebagai mahluk
sosial (Noor, 2008).
e. Perangkat Pengendalian Penyakit infeksi
Perangkat yang digunakan untuk pengendalian sebuah penyakit
meliputi identifikasi, evaluasi pola penyakit, dan intervensi untuk mengontrol
penyakit. Perangkat yang digunakan dalam hal ini ada surveilans. Surveilans
adalah observasi kejadian yang sedang berlangsung, aktif dan sistematik
terhadap kejadian dan distribusi penyakit dalam suatu populasi, dan kejadian
atau kondisi yang dapat meningkatkan atau menurunkan risiko kejadian suatu
penyakit. Sistem surveilans dapat digunakan untuk untuk mengumpulkan
informasi tentang berbagai macam peristiwa (Arias, 2010).
Selain dengan surveilans, strategi pengendalian penyakit menular
dapat menggunakan “paket” pendekatan strategik (Achmadi, 2012), yaitu
intensifikasi pencarian dan pengobatan kasus, memberikan perlindungan
spesifik dan imunisasi, pemberantasan penyakit berbasis lingkungan, dan
penggalangan upaya kemitraan (building linkages).
f. Tantangan dalam penyelidikan dan pencegahan penyakit menular
Beberapa tantangan dalan penyelidikan dan pencegahan penyakit
menular adalah sebagai berikut :
Menurut Alemayehu dalam tulisannya mengenai Communicable Disease
Controlmetode pengendalian penyakit menular adalah sebagai berikut
(Alemayehu, 2014):
a. Eliminasi reservoir
1. Manusia sebagai reservoir: ketika seorang manusia menjadi penyebab
terjadinya penyakit, “pemberantasan manusia” tentu bukan penyelesaian
masalahnya. Oleh karena itu upaya yang dilakukan adalah:
Pengobatan dan pendeteksian kasus penyakit menular (misalnya
perobatan TB paru aktif).
Isolasi: pemisahan orang yang terinfeksi suatu penyakit menular.
Tindakan isolasi dilakukan atas dasar, yaitu morbiditas dan mortilitas
tinggi, serta infektivitas tinggi.
Karantina: pembatasan pergerakan manusia yang terinfeksi untuk
jangka waktu masa inkubasi maksimum penyakit.
2. Hewan sebagai reservoir: program eliminasi yang dilakukan berdasarkan
kegunaan hewan, bagaimana hubungannya dengan manusia, dan
melindungi hewan yang rentan.
Wabah tikus dianggap sebagai hama dan dengan memberantas tikus
dianggap pilihan yang tepat.
Rabies: anjing peliharaan dapat dilindungi dengan vaksinasi, tetapi
anjing liar diberantas.
Hewan-hewan terinfeksi yang digunakan untuk menjadi bahan
makanan (misalnya unggas atau sapi) akan dilakukan pemeriksaan.
3. Reservoir non-hidup: kemungkinan program yang dilakukan adalah
membatasi manusia ke daerah paparan yang terkena.
b. Gangguan transmisi
Melibatkan kontrol dari cara penularan, reservoir, dan potensi host baru
melalui:
Peningkatan sanitasi lingkungan dan kebersihan pribadi
Pengendalian vektor
Desinfektan dan sterilisasi
c. Perlindungan host yang rentan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara:
Imunisasi aktif atau pasif
Chemo-prophylaxis ( malaria dan meningoococcal meningitis)
Perbaikan gizi
Perlindungan pribadi ( menggunakan APD)
4.1.4 Peran Ahli Kesehatan Masyarakat
Peran ahli kesehatan masyarakat dalam pengendalian penyakit menular
sangat jelas. Penyakit menular akan terus mempengaruhi kesehatan manusia dan
sifatnya berubah dalam cara yang rumit dan menantang. HIV/AIDS selain sangat
mematikan merupakan salah satu contoh kompleksitas dari penyakit menular.
Kemampuan kesehatan masyarakat untuk mengidentifikasi masalah,
menganalsisinya, menentukan riwayat alaminya, dan berfokus pada kebutuhan
akan pengajuan dan pembentukan kebijakan menjadi sangat penting bagi
kesehatan masyarakat.
Pickett dan Hanlon (1990 dalam terjemahan Mukti 2009) menguraikan
bahwa ahli kesehatan masyarakat juga harus terlibat dalam organisasi dan
manajemen jasa layanan medis. Masalah akses, biaya, mutu, dan gabungan
layanan tidak dapat diselesaikan begitu saja dengan mengandalkan sektor swasta
dan kekuatan pasar. Menggunakan cara dengan membayar jaminan untuk
penduduk berpenghasilan rendah tidak cukup untuk mengatasi masalah akses atau
mutu atau gabungan layanan yang tepat. Kesehatan masyarakat harus dapat
membantu mendesain pendekatan organisasional terhadap masalah tersebut.
Kesehatan masyarakat memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk menyusun
lebih banyak kebijakan yang komprehensif. Sebagai perwakilan pemerintah dalam
kesehatan, kesehatan masyarakat harus berupaya memastikan bahwa kekuatan
pendorong, penguat, dan kekuatan yang memungkinkan terwujudnya kesehatan.
Tantangan pertumbuhan penduduk, urbanisasi, perubahan iklim global, dan
polusi menyebabkan difusi patogen lama dan baru, serta peningkatan jumlah
outbreaks. Optimis dan tidak mudah puas, kemudian ada dukungan dari politik
dan finansial diperlukan untuk mempertahankan kinerja (Schlipkoter dan Flahault,
tanpa tahun).
4.2 Peran Ahli Kesehatan Masyarakat dalam Pencegahan dan Penanganan
Bioterorisme
4.2.1 Protokol Jenewa (Geneva Protocol)
Sebagaimana telah disebutkan pada subbab 2.2.4 mengenai Upaya
Menghadapi Bioterorisme, Mekanisme, dan Landasan Hukum bahwa upaya
pertama yang dilakukan untuk menghadapi bioterorisme adalah pengesahan
Protokol Jenewa pada tahun 1925 yang melarang penggunaan dalam peperangan
gas-gas yang mengakibatkan sesak napas dan beracun, cairan, benda atau
peralatan sejenis, serta melarang juga penggunaan bakteri dalam metode
peperangan (www.unamn.org).
Akan tetapi, kelemahan Protokol Jenewa 1925 terletak pada tidak
dilarangnya pengembangan, produksi, penimbunan atau penyebarannya, demikian
juga tidak mengatur mekanisme dan prosedur penanganan dalam hal terjadi
pelanggaran (Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pengesahan
Convention on The Prohibition of The Development, Production, Stockpiling and
Use of Chemical Weapons and on Their Destruction).
4.2.2 Biological Weapons Convention (BWC) atau Biological and Toxin
Weapons Convention (BTWC)
Pada tahun 1972 BWC/BTWC melarang pengembangan, produksi,
akumulasi, akuisisi, dan penyimpanan agen biologi dan toksin; melarang senjata-
senjata yang memiliki potensi untuk mengelola organism tersebut; dan juga
menutut semua pihak yang menandatangani Konvensi tersebut menghancurkan
agen biologi dan toksin yang berada di bawah kendali mereka. Pada tahun 2001
sebanyak 162 negara telah menandatangani BTWC (www.unamn.org).
Akan tetapi, BWC/BTWC juga tidak dapat terlaksana secara maksimal
dimana masih terdapat beberapa negara yang tidak meratifikasi konvensi ini dan
juga tidak ada lembaga hukum yang mengawasi pelaksanaan BWC/BTWC
(www.scribd.com).
4.2.3 Ahli Kesehatan Masyarakat Dalam Biokeamanan
Selain mengacu pada bagaimana upaya-upaya pemerintah suatu negara
untuk mengurangi dan menangani potensi penggunaan zat biologis yang merusak
khususnya melalui penerapan bioteknologi, biokeamanan juga mengacu pada
penanganan konsekuensi masalah kesehatan yang akan timbul dan dapat menjadi
epidemik. Penanganan secara promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif akan
melibatkan beberapa praktisi ilmu kesehatan khususnya yang merupakan first
responder dari berbagai konsekuensi atas kejadian bioterorisme yang dapat
menjadi sebuah epidemi. First responder tersebut antara lain adalah dokter,
perawat, bidan, ahli kesehatan masyarakat, dan praktisi kesehatan lainnya.
Kecepatan dan akurasi dokter dan laboratorium untuk menetapkan
diagnosis yang benar dan melaporkan temuan mereka kepada ahli kesehatan
masyarakat, akan secara langsung mempengaruhi jumlah angka kematian. Jika
senjata biologis yang digunakan adalah penyakit menular dimana penyakit
mampu ditularkan dari satu orang ke orang lain maka kemampuan untuk
membatasi penyakit dan kematian akan sangat bergantung pada keputusan dan
tindakan yang diambil dalam jam/hari segera setelah penemuan serangan.
(Spidler, 2002)
Kapasitas ahli kesehatan masyarakat di dalam melacak epidemi penyakit
yang timbul akan menjadi pondasi yang penting bagi pemerintah di dalam
mengkoordinasikan respon yang efektif dan efesien. Pemerintah sebagai
pengambil keputusan sangat bergantung pada data kesehatan masyarakat, seperti
berapa banyak yang sakit, di mana mereka berada, apakah kejadiannya terjadi
secara bersamaan atau memiliki pola penyebaran tertentu, apakah jumlah
penderita meningkat, apakah ada lebih dari satu serangan, proyeksi jumlah
kematian, dll. Semua pertanyaan ini tergantung pada kemampuan lembaga
kesehatan masyarakat untuk mengumpulkan dan menganalisa informasi penting.
Kesiapan lembaga kesehatan negara di dalam pelaksanaan biokeamanan sangatlah
penting dan harus diperhatikan, seperti dalam hal pendanaan dan sumber daya
manusia. (sumber:
http://www.upmchealthsecurity.org/our-work/testimony/femas-role-in-managing-
bioterrorist-attacks-and-the-impact-of-public-health-concerns-on-bioterrorism-
preparedness, 27 desember 2014)
4.2.4 Ahli Kesehatan Masyarakat Dalam Penyelidikan dan Pencegahan Wabah
Penyakit Menular
4.2.4.1 Mekanisme kerja (on the way)
Kejadian-kejadian KLB ataupun wabah perlu dilakukan pendeteksian
secara dini. Dengan pendeteksian secara dini maka diharapkan penyakit yang
berpotensi untuk dapat menajadi KLB ataupun wabah daapt ditanggulangi secepat
mungkin. Sistem kewaspadaan dini sudah mulai dikembangkan oleh pemerintah
sejak 2007, sistem ini merupakan suatu pengembangan dari sistem kewaspadaan
dini yang dimiliki oleh WHO. (Chandra, 2011)
Menurut Kristina (2014) Secara umum kegitantan penanggulangan KLB
ataupun wabah ada beberpa antra lain :
a. Kajian epidemiologi
Untuk mencegah terjadinya suatu KLB atau wabah maka diperlukan suatu
kajian epidemiologi yang dilakukan secara terus menerus yang dilakukan
oleh ahli kesehatan masyarakat. Kajian epidemiologi yang dilakukan
meliputi antra lain : melakukan penggalian data survailens secara berkala
penyakit yang berpotensi terjadi KLB ataupun wabah, kajian terhadap
lingkungan sanitasi penduduk, kajian analisa status gizi masyarakat, cakupan
imunisasi, hingga sarana prasarana. Sumber-sumber data yang menjadi alat
untuk dilakukan pengkajian epidemiologi adalah data KLB/Wabah, data
survailens terpadu, cakupan program, data pemukiman, data prilaku
dimasyarakat, data pertanian dan peternakan, data meteriologi dan geofisika
dan lain sebagainay yang mendukung.
b. Peringatan kewaspadaan
Peringatan kewaspadaan dini KLB atau terjadinya peningkatan KLB pada
daerah tertentu dapat dilaporkan dalam jangka pendek, priode 3 – 6 bulan
yang akan datang, ataupun jangka panjang 5 tahun yang akan datang untuk
penyakit yang berpotensi terjadi KLB dalam jangka panjang. Hal ini
dilakukan oleh tenaga kesehatan masyarakat kepada unitkerja terkait,
Dinkes, Kab/Kota, Provinsi dan Kemenkes RI. Dengan kegiatan ini maka
dapat dilakukan kesiapsiagaan yang lebih baik serta dapat dilakukan acuan
perumusan perencanaan strategis program penanggulangan KLB.
c. Peningkatan Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan terhadap KLB
Kewaspadaaan dan peningkatan kesiapsiagaan terhadap KLB meliputi
peningkatan kegiatan survailens untuk dilakukan sutu deteksin dini terhadap
KLB. Kesiapsiagaan menghadapi KLB/wabah dilakukan juga peninggkatan
terhadap SDM tenaga kesehatan dan khususnya kesehatan masyarakat.
Indonesia dan semua negara di dunia masih menghadapi permasalahan
penyakit hewan yang secara alami dapat menular ke manusia atau sebaliknya yang
disebut zoonosis.
Masalah zoonosis perlu dikendalikan karena dalam kondisi tertentu dapat
berpotensi menjadi wabah atau pandemi. Ecohealth mengkaji perubahan-
perubahanlingkungan biologik, fisik, sosial dan ekonomi dan menghubungkan
perubahan-perubaha ini dengan terhadap kesehatan manusia dimana bila
ekosistem berubah maka akan terjadi perubahan dalam kondisil lingkungan
manusia dan heawan. (Nurhayati, 2014).
Penyakit zoonosismemiliki dampak ekonomi secara global, sehingga
kerugian ekonomi dirasakan secara nyata hampir diseluruh negara yang terkena
dampaknya, misalnya avian influenza yang melumpuhkan sektor peternakan
hampir di seluruh negara. Strategi pengendalian zoonosis di Indonesia, sesuai
dengan PP RI nomor 30 tahun 2011Tentang Pengendalian Zoonosis, dapat
dilakukan dengan :
1. Mengutamakan prinsip pencegahan penularan kepada manusia dengan
meningkatkan upaya pengandalian zoonosis pada sumber penularan,
2. Koordinasi lintas sektoral, sinkronisasi, pembinaan, pengawasan, pemantauan
dan evaluasi pelaksanaan kebijakan, strategi dan program.
3. Perencanaan terpadu dan percepatan pengendalian melalui surveilans,
pengidentifikasian, pencegahan, tata laksana kasus dan pembatasan
penularan, penanggulangan wabah atau kejadian luar biasa (KLB) dan
pandemi serta pemusnahan sumber zoonosis pada hewan apabila diperlukan,
4. Penguatan perlindungan wilayah yang masih bebas terhadap penularan
zoonosis baru,
5. Peningkatan upaya perlindungan masyarakat dari ancaman penularan
zoonosis,
6. Penguatan kapasitas sumber daya manusia, logistik, pedoman pelaksanaan,
prosedur teknis pengendalian, kelembagaan dan anggaran pengandalian
zoonosis,
7. Penguatan penelitian dan pengembangan zoonosis, dan
8. Pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan dunia usaha, perguruan tinggi,
LSM dan organisasi profesi, serta pihak-pihak lain.
4.3 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-
2019
Kelanjutan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
Bidang Kesehatan 2015-2019 sangat bergantung sekali dengan pencapaian RPJM
sebelumnya, berdasarkan hasil Midterm Review Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJMN) 2010-2014 didapat data sesuai pada gambar …….
Gambar …. Hasil Midterm Review RPJMN 2010-2014
Sumber: …………………………………..
Melihat dari hasil Midterm Review RPJMN 2010-2014, Kementerian
Kesehatan kemudian memetakan prioritas tantangan apa yang harus dihadapi
dalam pembangunan kesehatan tahun 2015-2019. Adapun tantangan
pembangunan kesehatan 2015-2019 yang berhasil diidentifikasi dan dijadikan
program bersama di bidang kesehatan menyongsong RPJMN 2015-2019 adalah:
1. Kesenjangan status kesehatan masyarakat dan akses terhadap pelayanan
kesehatan antar wilayah, termasuk DTPK, tingkat sosial ekonomi, dan
gender.
2. Continuum of care (AKI, AKB, dan AKBA).
3. Masih ada masalah gizi –stunting di wilayah timur.
4. Beban ganda penyakit, yaitu pergeseran pola penyakit dari penyakit menular
ke penyakit tidak menular, serta meningkatnya penyalahgunaan narkoba dan
masih ada masalah imunisasi–rantai dingin (cold chain).
5. Kualitas lingkungan (climate change) dan sanitasi dasar.
6. Masalah SDM kesehatan (penyebaran, kualitas layanan, dan kompetensi
nakes).
7. Belum optimalnya pemberdayaan masyarakat –UKBM –PHBS.
8. Belum optimalnya Sistem Informasi Kesehatan.
9. Masalah pergeseran demografi–lanjut usia.
10. Masalah bias desentralisasi (pusat-daerah) termasuk lintas sektor.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Umar Fachmi. 2012. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah: Edisi
Revisi. Jakarta: Rajawali Press.
Alemayehu,Mulugeta. 2004. Communicable Disease Control.Diakses pada 21
Desember 2014 dari
http://www.cartercenter.org/resources/pdfs/health/ephti/library/lecture_notes
/nursing_students/ln_comm_disease_final.pdf.
Anies. 2006. Waspada Ancaman Penyakit Tidak Menular Solusi Pencegahan
Aspek Perilaku dan Lingkungan. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Anonim. 2008. Epidemiologi. Jakarta : Rineka Cipta
Anonim. 2013. Global Tuberculosis Report 2013. Diakses pada 24 Desember
2014 dari
Arias, Kathleen Meehan. 2010. Investigasi dan Pengendalian Wabah di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan.Jakarta : EGC
BalitbangKes Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI
Basuno, Edi. Tanpa tahun. Assesment Terhadap Kekhawatiran Flu Burung
sebagai Salah Satu Propaganda Bioterorisme. Pusat Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Diakses pada 21
Desember 2014 dari
http://pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2012_04.pdf
Beaglehole, Bonita, dan Kjellstrom.1993. Dasar Dasar Epidemiologi, terjemahan
oleh Sutomo, 1997.Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
CDC. 2007. Bioterrorism Overview. Diakes pada 17 Desember 2014 dari
www.emergency.cdc.gov/bioterrorism/overview.asp
Chandra, Dr. Budiman. 2006. Ilmu Kedokteran Pencegahan dan Komunitas.
Jakarta: EGC
Departemen Kesehatan RI. 2009. Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Bidang Kesehatan 2005-2025. Jakarta: Pusat Kajian Pembangunan
Kesehatan Departemen Kesehatan.
Fatimah, Fatia. Tanpa Tahun. Mewaspadai Data Statistik pada Pencapaian
SasaranMDGs.Diakses pada 24 Desember 2014 dari
http://www.pustaka.ut.ac.id/dev25/pdfprosiding2/fisip201225.pdf
Gray, Jerry D. 2009. Deadly Mist: Upaya Amerika Merusak Kesehatan Manusia,
alih bahasa Tetra Suari. Jakarta: Sinergi Publishing.
Kementerian Kesehatan RI. 2014. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2013.
Diakses pada 21 desember 2014 dari
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-
indonesia/profil-kesehatan-indonesia-2013.pdf (tersedia dalam bentuk pdf)
Kunoli, Firdaus J. 2013. Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular: untuk
Mahasiswa Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Trans Info Media
New York University. Tanpa Tahun. What is Research Design?. Diakses pada
17 Desember 2014 dari
https://www.nyu.edu/classes/bkg/methods/005847ch1.pdf
Noor, Nasry Nur. 2006. Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta :
Rineka Cipta
Patton, M.Q. dan Cochran, M. 2002. A Guide to Using Qualitative Research
Methodology. Diakses pada 17 Desember 2014 dari
http://fieldresearch.msf.org/msf/bitstream/10144/84230/1/Qualitative
%20research%20methodology.pdf
Peraturan Pemerintah RI No. 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional
Pickett, George & John J. Hanlon. 1990. Public Health: Administration and
Practice, 9thEdition. Alih bahasa oleh Ali Ghufron Mukti .2009. Kesehatan
Masyarakat: Administrasi dan Praktik Edisi 9. Jakarta: EGC
Pikiran Rakyat Online. 2011. Kasus Penyakit Tak Menular Terus Meningkat.
Diakses pada 21 Desember 2014 dari www.pikiran-rakyat.com/node/168577
Pratama, Nikko. Tanpa tahun. Rantai Infeksi Epidemiologi. Diakses pada 24
Desember 2014dari http://www.scribd.com/doc/171838150/Rantai-Infeksi-
Epidemiologi#scribd
Republik Indonesia. 2007. Undang Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional . Jakarta: Sekretariat Negara
Sardjunani, Nina MA. 2014. Draft Final leporan Pencapaian tujuan Pembanguan
Milenium di Indonesia 2013. Diakses pada 24 Desember 2014
dariftp://ftp1.perbendaharaan.go.id/pengumuman/2014/Paparan%20Deputi
%20SDMK%20-%20Draft%20Final%20Laporan%20MDGs%202013/
Paparan%20Deputi%20SDMK%20-%20Draft%20Final%20Laporan
%20MDGs%202013.pdf
Schlipkoter, Ursula dan Antoine Flahault. Tanpa tahun. Public Health Reviews,
ol. 32 No. 1. Hal 90-119.Diakses pada tanggal 25 Desember 2014 dari
http://www.publichealthreviews.eu/upload/pdf_files/7/7_Comm_diseases.pd
f
Sudibya, Akhmad. Tanpa tahun. Sekilas tentang Bioterorisme. Diakses pada 17
Desember 2014 dari http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/jurnal/Vol
%20Edisi%20Khusus%20Desember%202011/SEKILAS%20TENTANG
%20%20BIOTERORISME.docx
Texas Department of State Health Services. 2014. History of Bioterrrorism.
Diakses pada 17 Desember 2014 dari
www .dshs.state.tx.us/preparedness/bt_public_history.shtm
Undang-Undang RI No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
United Nations Association of Minnesota. 2014. United Nations: Bioterrorism
(WHO Committee). Diakses pada 17 Desember 2014 dari
www.unamn.org/uploads/2/8/2/8/28287267/high_school_reference_guide_b
ioterrorism_who_committee.pdf
Wibowo, Adik dan Tim. 2014. Kesehatan Masyarakat di Indonesia:Konsep
Aplikasi danTantangan. Jakarta: Rajagrafindo Persada
World Health Organization. 2014. Global Health Observatory: Noncommunicable
Disease. Diakses pada 21 Desember 2014 dari
http://www.who.int/gho/ncd/mortality_morbidity/ncd_total/en/
World Health Organization. 2004. Public Health Response to Biological and
Chemical Weapons: WHO Guidance. Diakses pada 21 Desember 2014 dari
http://whqlibdoc.who.int/publications/2004/9241546158.pdf