tutorial tuberkuloma
DESCRIPTION
Tutorial TuberkulomaTRANSCRIPT
TUBERCULOMA
Definisi
Tuberculoma intrakranial adalah suatu massa seperti tumor yang berasal dari
penyebaran secara hematogen lesi tuberkulosa pada bagian tubuh yang lain terutama
dari paru. Tuberkuloma sering multiple dan paling banyak berlokasi pada fosa
posterior pada anak dan orang dewasa tetapi dapat juga pada hemisfer serebri (Shams,
2011)
Pada CT Scan terlihat gambaran granuloma tuberkulosa merupakan low
attenuation dengan kontras yang meningkat pada kapsulnya. Biasanya dikelilingi
oedema dan lesi dapat multiple. Pada tuberkuloma kadang terdapat kalsifikasi.
Diagnosa preoperative biasanya diapresiasikan hanya setelah pengenalan focus
tuberkulosa pada tempat lain ditubuh.
Parameter 0 1 2 3Kontak TB Tidak jelas - Laporan
keluarga, (BTA
negatif/ tidak tahu)
BTA(+)
Uji tuberkulin Negatif - - Positif (>10 mm atau >5
mm pd keadaan
imunosupresi)Berat badan/ gizi
- BB/TB <90% atau
BB/U <80%
Klinis gizi buruk atau
BB/TB <70%BB/U <60%
-
1
Demam yg tidak diketahui penyebabnya
- >2 minggu - -
Batuk kronik - >3 minggu - -Pembesaran KGB kolli, aksila, inguinal.
- >1 cm, junlah >1, tidak nyeri
- -
Pembengkakan sendi/ tulang, panggul, lutut, falang.
- Ada pembengkakan
- -
Foto toraks Normal/ kelainan
tidak jelas
Gambaran sugestif TB
- -
Etiologi
Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman
yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1 – 4 µm dan tebal 0,3 – 0,6 µm dan
digolongkan dalam basil tahan asam (BTA).
Epidemiologi
Pada awal abad 20, tuberculoma pada Central Nervus System (CNS)
merupakan 34 % dari semua lesi massa intrakranial diidentifikasi pada otopsi. Rasio
ini ditemukan sekitar 0,2 % di semua tumor otak yang dibiopsi antara tahun 1955 dan
1980 pada lembaga neurologis pada negara maju. Frekuensi keterlibatan CNS
berdasarkan literature berkisar dari 0,5 % sampai 5,0 %, dan banyak ditemukan pada
2
Negara berkembang. Manifestasi yang sering dari tuberculosis CNS adalah
tuberculosis meningitis, diikuti oleh tuberkuloma dan abses tuberculosis.
Tuberkuloma ditemukan hanya 15% sampai 30% dari kasus tuberkulosis CNS
dan kebanyakan terjadi pada hemisfer. Sejauh ini berdasarkan literatur hanya empat
kasus yang dilaporkan terjadi pada sinus kavernosus. Lokasi yang jarang lainnya
adalah pada area sellar, sudut cerebellopontin, Merckel’s cave, sisterna suprasellar,
region hypothalamus. Tuberkuloma yang berlokasi pada sisterna prepontin belum ada
laporan berdasarkan literatur. Walaupun tuberculoma biasanya lebih banyak pada
negara berkembang dapat juga meningkat pada negara maju dalam kaitan dengan
efek infeksi HIV dari tampakan klinis TBC (Yanardag et al, 2005).
Tuberkuloma central nervous system (CNS) berhubungan dengan morbiditas
dan mortlitas, meskipun terdapat metode dan deteksi serta pengobatan modern (Lee,
2002).
Patogenesis
Ketika M. tuberculosis mencapai paru-paru, kuman tersebut di makan oleh
makrofag di dalam alveolus dan sebagian dari kuman akan mati atau tetap hidup dan
bermultiplikasi. Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga
terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Masa
inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4 – 8 minggu. Pada masa inkubasi
tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103 – 104, yaitu jumlah yang cukup
untuk merangsang respon imunitas seluler.
3
Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang-biak, akhirnya akan
menyebabkan makrofag mengalami lisis, dan kuman TB membentuk koloni di tempat
tersebut. Koloni kuman di jaringan paru ini disebut fokus primer Ghon. Pada
stadium ini belum ada gejala klinis yang muncul.
Kemudian kuman TB menyebar melalui saluran kelenjar getah bening terdekat
menuju ke kelenjar getah bening regional secara limfogen. Penyebaran ini
menyebabkan terjadinya limfangitis dan limfadenitis. Sehingga terbentuklah
kompleks primer yang terdiri dari fokus primer Ghon, limfangitis, dan limfadenitis.
Pada saat terbentuk kompleks primer ini ditandai oleh hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, sehingga timbul respon positif terhadap uji tuberkulin.
Di daerah ini reaksi jaringan parenkim paru dan kelenjar getah bening sekitar akan
menjadi semakin hebat dalam waktu kira-kira 2 – 12 minggu, selama kuman-kuman
tersebut tumbuh semakin banyak dan hipersensitivitas jaringan terbentuk. Setelah
kekebalan tubuh terbentuk, fokus primer akan sembuh dalam bentuk fibrosis atau
kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi.
Kelenjar getah bening regional juga mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tapi tidak
akan sembuh sempurna. Kuman TB dapat hidup dan menetap selama bertahun-tahun
dalam kelenjar ini.
Pada anak 70% lesi dalam paru terdapat di subpleura, walaupun juga bisa terdapat di
seluruh lapang kedua paru. Pembesaran kelenjar getah bening regional lebih banyak
4
terjadi pada anak dibanding orang dewasa. Dan pada anak, biasanya penyembuhan
lebih banyak ke arah kalsifikasi, sedangkan pada orang dewasa ke arah fibrosis.
Selanjutnya kuman menyebar melalui saluran limfe dan pembuluh darah dan
tersangkut di berbagai organ tubuh. Jadi TB primer merupakan suatu infeksi sistemik.
Pada saat terjadinya bakteremia yang berasal dari focus infeksi, TB primer terbentuk
beberapa tuberkel kecil pada meningen atau medula spinalis. Tuberkel dapat pecah
dan memasuki cairan otak dalam ruang subarachnoid dan sistim ventrikel,
menimbulkan meningitis dengan proses patologi berupa
1) Keradangan cairan serebrospinal. meningen yang berlanjut menjadi
araknoiditis, hidrosefalus dan gangguan saraf pusat
2) Vaskulitis dengan berbagai kelainan serebral, antara lain infark dan edema
vasogenik.
3) Ensefalopati atau mielopati akibat proses alergi.
Gambaran klinis penderita dibagi menjadi 3 fase. Pada fase permulaan
gejalanya tidak khas, berupa malaise, apati, anoreksia, demam, nyeri kepala. Setelah
minggu kedua, fase meningitis dengan nyeri kepala, mual, muntah dan mengantuk
(drowsiness). Kelumpuhan saraf knanial dan hidrosefalus terjadi karena eksudat yang
mengalami organisasi, dan vaskulitis yang menyebabkan hemiparesis atau kejang-
kejang yang juga dapat disebabkan oleh proses tuberkuloma intrakranial. Pada fase ke
tiga ditandai dengan mengantuk yang progresif sampai koma dan kerusakan fokal
yang makin berat (Mulyono & santoso, 1997).
5
Tuberkulosis adalah penyakit airbone disebabkan oleh bakteri
“Mycobacterium tuberculosis” dua proses patogenik TB pada CNS adalah
meningoencephalitis dan formasi granuloma (tuberkel). Proses patologi dimulai
dengan formasi pada basil, berisi tuberkel kaseosa (focus kaya) dalam parenkim otak
(Lee, 2002).
Tuberkel bisa tumbuh, mendesak atau menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan
menimbulkan gejala yang tergantung pada lokasi, kecepatan tumbuh serta reaksi
radang di sekitarnya, Lesi ini bila bersifat lokal, tuberkel dapat membesar sampai ke
bentuk ukuran tuberkuloma, khususnya jika tersebut kaya focus didalamnya dan
kekuatan regangnya lebih baik daripada jaringan sekitarnya. Tuberkel juga dapat
tersebar, infiltrasi sebagai granulomata. Sebagai alternative fokus kaya tersebut dapat
rupture dan menyebabkan perkembangan meningioencephalitis (Mulyono & santoso
1997, Lee, 200).
6
Gejala Klinis
Gejala umum TBC pada anak:
Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas, dan tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah mendapatkan penanganan gizi yang baik (failure to thrive).
Nafsu makan tidak ada (anorexia) dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik (failure to thrive) dengan adekuat.
Demam lama/berulang tanpa sebab yang jelas (bukan tifus, malaria atau infeksi saluran nafas akut), dapat disertai keringat malam.
Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit. Biasanya multipel, paling sering didaerah leher, ketiak dan lipatan paha (inguinal).
Gejala-gejala dari saluran nafas, misalnya batuk lama lebih dari 30 hari (setelah disingkirkan sebab lain dari batuk), tanda cairan di dada dan nyeri dada.
Gejala-gejala dari saluran cerna, misalnya diare berulang yang tidak sembuh dengan pengobatan diare, benjolan (massa) di abdomen, dan tanda-tanda cairan dalam abdomen.
Gejala klinisnya serupa dengan tumor intrakranial, dengan adanya
peningkatan tekanan intracranial, tanda neurologic fokal, dan kejang epileptic,
symptom sistemik dari tuberculosis seperti demam, lesu dan keringat berlebihan,
terjadi kurang dari 50% dari kasus (Shams, 2011).
7
Pada tuberkuloma intrakranial, selain terdapat gejala kenaikan tekanan
intrakranial akibat proses desak ruang juga menimbulkan gejala meningitis, sering
disertai TB pada organ lain. Manifestasi klinis dari tuberkuloma intrakranial adalah
proses desak ruang (20% dari proses desak ruang disebabkan oleh tuberkuloma
intrakranial). Gejala yang terjadi akibat dan edema otak, dan ini merupakan indikasi
untuk pemberian kortikosteroid.
Kemoterapi anti tuberkulosis harus segera diberikan pada penderita yang
diduga TB milier tanpa harus menunggu ditemukannya kuman (BTA). Penggunaan
kortikosteroid pada TB miller dapat menyebabkan tuberkel menjadi kecil dan sangat
efektif untuk mengurangi sesak napas yang kadang-kadang dijumpai padaTB milier,
serta untuk mengontrol edema otak (Djoko Mulyono, Djoko Iman Santoso, 1997).
Diagnosis
Penemuan infeksi sistemik dan laboratorium umum yang berhubungan dengan
infeksi dapat tidak ditemukan, karena basil tuberculosis tidak selalu jelas pada CSF
dan bahkan pada massa yang diambil, maka dari itu hasil yang negative dari
pemeriksaan bekteri tidak menyingkirkan kemungkinan infeksi tuberculosis.
Neuroradiological imaging dengan CT and MRI mempunyai sensitifitas yang
tinggi untuk tuberkuloma, tetapi spesifitas untuk diagnose defenifnya rendah
(Yanardag et al, 2005).
Pada CT Scan sesudah pemberian kontras, tuberkuloma memberi gambaran
sebagai:
8
A B
1) Lesi berbentuk cincin dengan area hipodens/isodens di tengah dan dinding
yang menyerap kontras.
2) Lesi berbentuk nodul/plaque yang menyerap kontras.
Tanpa kontras, lesi pada umumnya hipodens/isodens, pada beberapa kasus
didapatkan kalsifikasi. Gambaran tuberkuloma pada CT Scan sukar
dibedakan dengan tumor, abses atau granuloma kronik (Mulyono &
Santoso, 1997).
Gambar 1. CT Scan Otak; Gambar A, tanpa kontras menunjukan pergeseran
dari ventrikel, Gambar B, dengan kontras tampak sebagai lesi space-occupying
lesions,dari cerebellum kiri
Fig 3. Case 3. A, T1-weighted sagittal image (500/30/2) shows an illdefined
9
A
DC
B
isointense mass (arrows) with surrounding edema of slight hypointensity
in the right frontal lobe.
B, T2-weighted axial image (3000/80/1) shows a slightly heterogeneous
hyperintense mass containing hypointense foci (arrows).
C, Gadolinium-enhanced T1-weighted coronal image (500/30/2) shows a
round enhancing mass containing unenhancing foci (arrows) corresponding to
areas of caseation necrosis of conglomerate tubercles.
MRI mempunyai peranan penting dalam diagnose tuberkuloma intracranial.
Pada MRI, gambar T1-weighted MR dapat menunjukan area hypo- or isointensity dan
T2-weighted images dapat menunjukan hypointense, isointense atau central
hyperintense zone dikelilingi hypointense rim. Maka biasanya misdiagnosis dengan
meningioma, neurinoma, even with metastasis. Saat ini dilaporkan bahwa proton
magnetic resonance spectroscopy membedakan tuberculomas dari kelainan intra
cranial lainnya intracranial (Yanardag et al, 2005).
10
Gambar 2. Magnetic resonance imaging pada otak; (a ,b) T2-weighted images;
and (c,d) post-gadolinium T1-weighted Gambar menunjukan 3 lapis dari
tuberkuloma otak.meliputi central, isodense, caseous, necrotic core
Meskipun demikian tumor metastase seperti malignant gliomas,
meningiomas, dan neurocysticercosis dapat menunjukan gambaran yang mirip pada
CT maupun MRI (Lee, 2002).
Beberapa penulis berpendapat bahwa tuberkuloma dapat dipastikan bila pada
serial CT Scan atau serial Magnetic Resonance Imaging (MRI) lesi menghilang
sesudah mendapat terapi obat antituberkulosis (OAT). (Mulyono & Santoso, 1997).
CNS tuberculosis umumnya adalah aktivasi inisial infeksi setelah beberapa
tahun. Maka lesi yang terlihat pada radiografi dada ditujukan untuk gejala sisa
tuberculosis dan hasil serologis diperlukan pada kecurigaan tuberkuloma dalam
periode preoperative. Jika kecurigaan kuat diagnosanya adalah tuberkuloma
pengobatan dengan agen tuberculosis dapat lebih dipakai untuk intervensi
pembedahan dan regresi pada lesi diikuti secara teratur dapat mengkonfirmasi hasil
diagnosis. Tetapi dalam beberapa kasus khusus, biopsy dapat mencegah kesalahan
diagnosis pada lesi (contoh: meningioma) dan mencegah pasien dari efek berbahaya
yang tidak diperlukan dari pengobatan (misalnya radioterapi), sebagai akibat dari
lokasi yang tidak biasa dari tuberkuloma dan kemampuan untuk meniru lesi yang
11
sering pada CNS, menyebabkan kesalahan diagnosis preoperatif (Yanardag et al,
2005).
Diagnosis pasti tuberkuloma ditegakkan dengan operasi (Mulyono & Santoso,
1997). Pemeriksaan histologi akan mengungkapkan suatu tuberkuloma (Suslu, 2011).
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan terhadap penderita secara umum dibagi menjadi dua,
yaitu:8
1. Perawatan umum, penderita meningitis tuberkulosa harus dirawat di rumah sakit,
di bagian perawatan intensif, dan dengan menentukan diagnosis secepat dan
setepat mungkin, pengobatan dapat segera dimulai. Perawatan penderita meliputi
berbagai aspek yang harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh, antara lain
kebutuhan cairan dan elektrolit, kebutuhan gizi pada umumnya, posisi penderita
dan pencegahan dekubitus, serta perawatan kandung kemih dan defekasi, serta
perawatan umum lainnya sesuai kondisi penderita. Kebutuhan cairan, elektrolit ,
serta gizi dapat diberikan melalui infus maupun saluran pipa hidung.8
2. Pengobatan, Terapi segera diberikan tanpa ditunda bila ada kecurigaan klinis ke
arah meningitis tuberkulosa.11 Saat ini telah tersedia berbagai macam
tuberkulostatika. Tiap jenis tuberkulostatika mempunyai spesifikasi farmakologik
tersendiri, untuk itu perlu pemahaman yang sebaik-baiknya. Beberapa contoh
tuberkulostatika yang dapat diperoleh di Indonesia antara lain:8
12
a. Isoniazida atau INH adalah obat antituberkulosis yang sangat efektif saat
ini, bersifat bakterisid dan sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan
metabolik aktif (kuman yang sedang berkembang), dan bersifat
bakteriostatik terhadap kuman yang diam. INH diberikan secara oral dengan
dosis harian biasa 5-15 mg/kgBB/hari maksimal 300 mg/hari pada anak, dan
diberikan dalam satu kali pemberian. INH mempunyai dua efek toksik
utama, yaitu hepatotoksik dan neuritis perifer.11
b. Rifampisin, bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki
semua jaringan, dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat
dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem
gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum makan) dan kadar
serum puncak tercapai dalam 2 jam. Rifampisin diberikan dalam bentuk oral
dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari, dengan
dosis satu kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan
isoniazid, dosis rifampisin tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dan dosis
isoniazid 10 mg/kgBB/hari.11 Pada anak-anak dibawah 5 tahun harus
bersikap hati-hati karena dapat menyebabkan neuritis optika.8 Efek samping
rifampisin lebih sering daripada isoniazid berupa perubahan warna urin,
ludah, keringat, sputum, dan air mata menjadi warna oranye kemerahan,
selain itu juga terjadi gangguan gastrointestinal dan hepatotoksisitas.11
c. Pirazinamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan cairan tubuh terutama
cairan serebrospinalis, bakterisid hanya pada intrasel suasana asam, dan
diresorbsi baik pada saluran cerna. Pemberian pirazinamid secara oral sesuai
13
dosis 15-30 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 2 gram/hari. Efek
samping pirazinamid adalah hepatotoksisitas, anoreksia, iritasi saluran
cerna.11
d. Etambutol, jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada
mata. Obat ini memiliki aktivitas bakterostatik, tetapi dapat bersifat
bakterisid jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten.
Etambutol diberikan dengan dosis 15-20 mg/kgBB/hari maksimal 1,25
gram/hari dengan dosis tunggal. Etambutol tidak berpenetrasi dengan baik
pada susunan saraf pusat, demikian juga pada keadaan meningitis.11
Kemungkinan toksisitas utama adalah neuritis optika dan buta warna merah-
hijau, sehingga penggunaannya seringkali dihindari pada anak yang belum
dapat diperiksa tajam penglihatanya.8,11
e. Streptomisin, bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman
ekstraseluler pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk
membunuh kuman intraseluler. Saat ini, streptomisin jarang digunakan
dalam pengobatan tuberkulosis, tetapi penggunannya penting pada
pengobatan fase intensif meningitis tuberkulosa dan multidrug resisten
tuberkulosis. Streptomisin diberikan secara intramuskular dengan dosis 15-
40 mg/kgBB/hari, maksimal 1 gram/hari.11 Oleh karena bersifat autotoksik
maka harus diberikan dengan hati-hati, bila perlu dilakukan pemeriksaan
audiogram.8
Pada umumnya, tuberkulostatika diberikan dalam bentuk kombinasi, ialah
kombinasi antara INH dengan jenis tuberkulostatika yang lain.8 Terapi
14
tuberkulosis sesuai dengan konsep baku, yaitu 2 bulan fase intensif dengan 4-5
obat antituberkulosis (isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan
etambutol), dilanjutkan dengan 2 obat antituberkulosis (isoniazid dan rifampisin)
hingga 12 bulan.11
Kortikosteroid, biasanya dipergunakan prednison dengan dosis 1-2
mg/kgBB/hari (dosis normal 20 mg/hari dibagi dalam 3 dosis) selama 4-6
minggu, setelah itu dilakukan penurunan dosis secara bertahap (tappering off)
selama 4-6 minggu sesuai dengan lamanya pemberian regimen.11 Pemberian
kortikosteroid seluruhnya adalah lebih kurang 3 bulan.8 Indikasi kortikosteroid
antara lain tekanan intrakranial yang meningkat, adanya defisit neurologis,
mencegah perlekatan araknoidea pada jaringan otak.9
15
16
17