tugas metodologi penelitian ((m. mubin, dkk (biologi 2))

17
TUGAS METODOLOGI PENELITIAN BIODIVERSITAS SERANGGA HAMA TANAMAN SAWIT (RAYAP) Oleh Kelompok 1 : 1. Inne Tiara Anggita (12222049) 2. Istiroha (12222052) 3. Karta Dikarya (12222053) 4. Liskawina (12222061) 5. Lola Hardede (12222062) 6. M. Mubin Ardiansyah (12222064) 7. Mega Destriani (12222067) Dosen Pembimbing Drs. Irham Falahudin, M.Si

Upload: mubin-viwiiardians

Post on 02-Aug-2015

103 views

Category:

Education


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tugas metodologi penelitian ((m. mubin, dkk (biologi 2))

TUGAS METODOLOGI PENELITIAN

BIODIVERSITAS SERANGGA HAMA TANAMAN SAWIT (RAYAP)

Oleh

Kelompok 1 :

1. Inne Tiara Anggita (12222049)

2. Istiroha (12222052)

3. Karta Dikarya (12222053)

4. Liskawina (12222061)

5. Lola Hardede (12222062)

6. M. Mubin Ardiansyah (12222064)

7. Mega Destriani (12222067)

Dosen Pembimbing

Drs. Irham Falahudin, M.Si

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) RADEN FATAH

PALEMBANG

2015

Page 2: Tugas metodologi penelitian ((m. mubin, dkk (biologi 2))

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak tahun 1990, di ketahui adanya tanaman kelapa sawit terserang rayap, rayap

ini di kenal dengan nama Captotermes curvignathus. Rayap ini memang banyak di

temukan di Indonesia dan merupakan serangga perusak kayu bangunan (Kalshoven,

1981). Serangan rayap ini terjadi karena pembukaan areal dengan sistem bakar ringan

(light burning), yang meninggalkan banyak kayu yang tidak habis terbakar

(Prawirosoekarto, 1991). Sisa pembakaran dan tunggul kayu tersebut merupakan bahan

pakan dan sarang yang cocok untuk rayap.

Berbagai upaya oleh pihak perkebunan telah di lakukan untuk mengendalikan

rayap seperti cara kimiawi dan mekanis. Aplikasi insektisida dengan penyemprotan dan

fumigasi ke dalam sarang sudah sejak lama dikenal untuk mengendalikan rayap tanah.

Kedua teknik ini merupakan cara termudah dan efektif untuk mengendalikan rayap yang

bersarang di dalam tanah. Berbeda dengan rayap yang menyerang tanaman dan bersarang

di dalamnya, maka teknik penggunaan insektisida perlu pertimbangan khusus.

Pengendalian dengan cara mekanis, seperti merusak dan menggali timbunan sarang dan

mengambil ratu dari sarang merupakan salah satu upaya yang baik, namun sulit di

lakukan karena untuk menemukan ratu Captotermes curvignathus dalam tanaman kelapa

sawit atau tunggul kayu merupakan pekerjaan yang tidak mudah.

Rayap dari jenis Coptotermes curvignathus merupakan masalah hama yang serius

terutama pada perkebunan kelapa sawit di tanah gambut. Pengolahan lahan sebelum

penanaman yang tidak sempurna dan kandungan bahan organik yang tersedia cukup

banyak akan menyebabkan rayap berkembang secara cepat.

Pada tanaman muda, rayap akan mulai menyerang mulai dari pangkal pelepah dan

naik sampai daun tombak. Serangan rayap dapat terdeteksi dengan adanya alur-alur

tanah berwarna hitam basah pada bagian pangkal pelepah sampai daun tombak.

Apabila alu-alur itu dirusak makan akan dijumpai rayap yang masih aktif.

Selanjutnya rayap akan menyerang jaringan tanaman yang masih muda yaitu bagian

pangkal daun tombak, akibatnya daun muda akan mati. Serangan rayap pada jaringan

Page 3: Tugas metodologi penelitian ((m. mubin, dkk (biologi 2))

muda dapat menyebabkan infeksi sekunder oleh jamur atau bakteri sehingga titik

tumbuh busuk dan mati.

Page 4: Tugas metodologi penelitian ((m. mubin, dkk (biologi 2))

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bahan dan Metode

Penelitian ini dilakukan dari bulan Nopember 1998 Pebruari 1999. Penelitian menggunak

an Rancangan Acak Lengkap Faktorial (4x4) dengan 5 ulangan. Faktor yang diteliti

adalah jumlah nematode muda fase infektif atau disebut juga dengan  dauer yang terdiri

atas 1) faktor pertama adalah jumlah dauer S. carpocapsae : N0 = pembanding, N1= >

100 - < 150, N2 = >151 – < 200, N3 = > 201 - < 250, dan N4 = > 251 - < 300; 2) faktor

kedua adalah kepadatan rayap : R1 = 20, R2 = 40, R3 = 60, dan R4 = 80 ekor yang terdiri

dari kasta prajurit dan pekerja dengan perbandingan yang sama. Nematoda S.

carpocapsae ini pada awalnya diperoleh dari Research Center of Antibes, National

Institute of Agronomic Research, France (INRA) dan diperbanyak di laboratorium Hama

Fakultas Pertanian USU dengan menggunakan ulat Thirataba rufivena. 

Bahan yang digunakan adalah nematoda S. carpocapsae, rayap C.curvignathus

yang terdiri dari kasta pekerja dan prajurit, ulat Thirataba rufivena (ulat buah sawit),

aquadest, dan kain kassa. Alat yang digunakan adalah petridish ukuran diameter 9 cm

dengan tinggi 1,5 cm, hand counter, pipet, kotak plastik ukuran 15 cm x 10 cm x 8 cm.

Nematoda diperbanyak terlebih dahulu dengan menggunakan ulat bambu T. rufivena.

Ulat ini mudah diperoleh dan banyak diperjualbelikan di pasar sebagai pakan burung.

Ulat diletakkan sebanyak 3–5 ekor ke dalam petridish kemudian ditetesi 1 ml cairan yang

berisi nematoda muda fase infektif, dibiarkan 10 sampai 20 menit. Petridish tersebut

ditutup dengan penutup petridish yang telah dilapisi dengan kertas filter yang dibasahi

dengan aquadest untuk menjaga kestabilan kelembaban dalam petridish tersebut.

Petridish ini ditempatkan pada tempat penyimpanan selama 2–3 hari. Ulat-ulat tersebut

diletakkan di atas tutup botol plastik yang telah dialasi dengan kain kassa yang diletakkan

dalam petridish tempat biakan nematoda. Ujung kain kassa tersebut menyentuh

permukaan air aquadest yang terdapat dalam petridish. S. carpocapsae fase 3 akan keluar

dari host nya untuk mencari host yang baru, sedangkan fase sebelumnya berada di dalam

tubuh host yang lama. Untuk mendorong agar nematoda lebih cepat keluar dari hostnya,

maka ditambahkan air aquadest sehingga air dalam petridish benar-benar menyentuh

Page 5: Tugas metodologi penelitian ((m. mubin, dkk (biologi 2))

ujung kain kassa. Cara ini digunakan untuk memudahkan nematoda keluar dari ulat

dan masuk ke dalam air. Massa dauer dalam air diambil dengan pipet dengan menghitung

jumlah nematoda yang diinginkan sesuai dengan perlakuan. Rayap diambil dari

pertanaman kelapa sawit Kebun Manduamas, Tapanuli Tengah. Untuk infestasi nematoda

digunakan toples ukuran diameter 15 cm, tinggi 20 cm yang telah dilapisi dengan kertas

filter. Kertas filter ini terlebih dahulu dibasahi dengan aquadest sampai lembab. Ke dalam

toples ini dimasukkan nematoda muda fase infektif sesuai dengan perlakuan. Setelah 10

menit kemudian, dimasukkan pula rayap sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan.

Pengamatan mortalitas dilakukan setelah 1, 2, 3, 4 hari setelah infestasi (HSI)

sesuai dengan metode Hatsukade (1994). Mortalitas dihitung dengan menggunakan

rumus Mortalitas = (jumlah rayap sesuai dengan perlakuan – jumlah rayap yang masih

hidup) x 100%. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam dan perlakuan yang

berbeda nyata dilanjutkan dengan uji jarak Duncan dengan tingkat kepercayaan 95%.

2.2 Potensi Kerusakan

Serangan rayap pada kelapa sawit dapat terjadi sejak penanaman sampai umur 11

tahun dengan tingkat serangan dapat mencapai 5% atau 7-8 pohon/Ha. Serangan yang

tidak dilakukan pengendalian secara dini dapat menyebabkan kematian kelapa sawit.

Tanaman muda pada umumnya lebih peka dari pada tanaman tua. Selain dapat

menyebabkan kematian pohon, serangan yang tidak dikendalikan dapat menyebar ke

pohon-pohon disekelilingnya.

2.3 Habitat

Pada umumnya rayap hidup di hutan terutama di daerah rendahan dan daerah

yang mempunyai curah hujan dengan distribusi merata. Sarang-sarang dapat dijumpai

pada kayu-kayu mati yang berada diatas atau dibawah permukaan tanah. Sarang-sarang

rayap tersebut saling berhubungan satu dengan yang lain hingga mencapai panjang 90 m

pada kedalaman 30-60 cm dibawah tanah.

Page 6: Tugas metodologi penelitian ((m. mubin, dkk (biologi 2))

Rayap merupakan serangga sosial dan dalam kelompoknya dibagi kedalam 3 kasta yaitu :

a. Pekerja : Berwarna putih kekuningan dengan ukuran panjang 5 mm

b. Prajurit : Berukuran lebih besar yaitu panjang 6-8 mm dan mempunyai mandibula

yang kuat. Apabila menggigit akan mengeluarkan cairan putih dari

bagian kepala.

c. Ratu : Panjang dapat mencapai 50 mm. Ratu mempunyai tugas utama untuk

reproduksi anggota koloni.

Rayap dapat menyebar dengan perantaraan laron dan terutama terjadi pada awal

musim penghujan, laron tersebut akan berpasangan dan akan membentuk koloni baru

ditempat lain.

2.4 Identifikasi

Pengumpulan sampel rayap dilakukan dengan teknik pengambilan secara

langsung rayap

yang ditemukan dari masing-masing sarang besar, sedang dan kecil sebanyak 25 ekor

pada kasta prajurit mayor dan prajurit minor, kemudian dilakukan pengukuran morfologi

terhadap rayap menurut Tho (1992) meliputi panjang mandibel, panjang kepala, lebar

kepala, jumlah antena.

Rayap dan jenis Coptotermes curvignathus sangat mudah dibedakan dengan rayap

dari jenis lainnya. Pada tanah gambut ataupun mineral banyak dijumpai berbagai jenis

rayap yang berasosiasi dengan kelapa sawit tetapi tidak menyebabkan kerusakan atau

kematian, sehingga tidak perlu pengendalian. Untuk membedakan rayap C. curvignathus

dengan jenis lainnya serta gejala serangannya disajikan pada tabel berikut :

Kriteria C. curvignathus Rayap Jenis Lain

1. Status Hama Merusak jaringan hidup dan

menyebabkankematian kelapa

sawit.

Tidak berbahaya, hanya merusa

k melapukkan jaringan yang

sudah mati.

Page 7: Tugas metodologi penelitian ((m. mubin, dkk (biologi 2))

2. Morfologi Raya

p

3. Habitat

4. Pengendalian

Pekerja: berwarna kekuningan

panjang 5 mm.

Prajurit: ukuran 68 mm denga

n mandibula yang kuat dan

akan mengeluarkan cairan

warna putih dari bagian kepala

saat menggigit.

Hidup dengan membuat alur-

alur dari tanah pada pangkal

pelepah sampai daun tombak,

alur-alur ini terlihat basah

apabila rayap masih aktif.

Harus dikendalikan apabila

pohon terserang jenis rayap

ini.

Pekerja : ukuran lebih kecil dan

berwarna coklat kekuningan

Prajurit : ukuran kurang dari 6

mm dan tidak mengeluarkan

cairan putih saat menggigit.

Membuat satu jalur atau lebih

dan jalur tersebut terdiri dari

bahan-bahan organik yang

sudah lapuk.

Alur-alur tersebut hanya

terdapat pada pangkal pelepah

yang sudah tua dan tidak sampai

ke daun tombak. Walaupun

rayap masih aktif, alur-alur

tersebut tetap kering.

Tidak perlu dikendalikan pohon

yang terdapat gejala serangan

seperti point 3.

Page 8: Tugas metodologi penelitian ((m. mubin, dkk (biologi 2))

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa S.carpocapsae memiliki efektifitas cukup baik

untuk mengendalikan rayap. Umumnya nematoda termasuk S. carpocapsae banyak ditemukan di

dalam tanah, sehingga diharapkan rayap  C. curvignathus yang selalu berhubungan dengan tanah

akan dapat dimanfaatkan sebagai agen hayati. Pemberian nematoda dengan jumlah terkecil meni-

mbulkan mortalitas 38,16% dan dengan jumlah tertinggi menimbulkan mortalitas 60,80%. Seda-

ngkan percobaan tanpa perlakuan tidak ditemukan adaMortalitas rayap (%) Jumlah dauer S.

carpocapsae

2 HSI 4 HSI 6 HSI

NO = 0 0,00 c 0,00 d 0,00 c

N1= >100 - < 150 38,16 b 71,00 c 93,84 b

N2 = > 150 - < 200 43,50 b 82,66 b 98,00 a

N3 = > 200 - < 250 52,66 a 91,16 a 99,34 a

N4 = > 250 - < 300 60,80 a 92,50 a 99,66 a

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidakberbeda nyata

pada tingkat kepercayaan 95%. Tabel 1. Pengaruh jumlah dauer S. carpocapsae terhadap

mortalitas C. curvignathus. Pengendalian rayap dengan Steinernema carpocapsae Weiser

83 rayap yang mati. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 tersebut

menunjukkan bahwa peningkatan tingkat mortalitas dari 2 sampai 4 HIS ternyata cukup tinggi,

tetapi setelah 6 HSI peningkatan semakin kecil dan menurun dari sebelumnya. Mortalitas yang

terjadi hampir mencapai 100% setelah 6 HSI. Kepadatan populasi rayap pada

awalnya berpengaruh terhadap jumlah rayap yang terinfeksi nematoda. Namun, kecenderungan

itu berubah setelah 4 dan 6 HSI (Tabel 2). Hal ini disebabkan S. carpocapsae lebih banyak

menunggu dan hanya sedikit bergerak sehingga mobilitas rayap sangat menentukan terparasitnya

rayap. Jumlah rayap yang memungkinkan bagi individu yang terinfeksi nematoda dapat tertular

pada individu yang sehat sehingga kepadatan populasi rayap tidak berpengaruh nyata terhadap

jumlah nematoda S. carpocapsae yang diinfestasikan. Penggunaan S. carpocapsae sebagai agen

hayati rayap memiliki prospek yang cerah di masa depan, karena nematoda ini juga banyak

terdapat di daerah tropik dan juga dapat hidup di dalam tanah (Poinar & Thomas 1982).

Page 9: Tugas metodologi penelitian ((m. mubin, dkk (biologi 2))

Bila keadaan lingkungan cukup baik, terutama bila suhu tidak terlalu panas dan didukung

pula oleh sifat fisik tanah yang sesuai, maka S. carpocapsae dapat hidup dan berkembang dengan

baik dan bisa diandalkan sebagai agen pengendali hayati rayap. Mortalitas Rayap (%)

Kepadatan Rayap 2 HSI 4 HSI 6 HSI

R 1 = 20 ekor 13,75 d 95,83 d 100,00 a

R 2 = 40 ekor 21,08 c 36,50 c 100,00 a

R 3 = 60 ekor 27,33 b 49,25 b 95,56 b

R 4 = 80 ekor 35,42 a 63,00 a 97,60 ab

Tabel 2. Pengaruh kepadatan rayap terhadap serangan nematoda

S. carpocapsae. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda

nyata pada tingkat kepercayaan 95%.tinggi menyebabkan habitatnya semakin padatsehingga

nematoda mudah mendapatkan inangnya. Tabel 2 juga menunjukkan bahwa semakin lama waktu

infestasi nematoda, maka akan semakin banyak rayap yang mati. Kepadatan populasi rayap 20

dan 40 ekor menghasilkan mortalitas hampir mencapai 100%, sedangkan kepadatan yang lebih

tinggi masing-masing 60 dan 80 ekor mencapai mortalitas masing–masing 95,56% dan 97,60%.

Penyebab kematian rayap bukan saja disebabkan sifat nematoda yang patogenik tetapi juga

karena sifat parasitik. Dalam tubuh nematoda terdapat bakteri yang hidup bersimbiosis dengan

S. carpocapsae (Kaya 1996).

Di samping sifat parasitic S. carpocapsae dengan menumpangkan hidupnya

dan mengambil makanan dari tubuh rayap juga sifat patogenik dari bakteri Xenorhabdus

nematophilus yang hidup bersimbiosis dan berada di dalam usus nematoda. Bakteri ini

melepaskan toksin yang sangat beracun. Bila toksin ini dilepas ke dalam tubuh rayap, maka

terjadil kematian pada rayap tersebut. Hidup rayap yang berkelompok dan membentuk koloni

Page 10: Tugas metodologi penelitian ((m. mubin, dkk (biologi 2))

BAB V

KESIMPULAN

Jumlah dauer S. carpocapsae selama 2 HIS menimbulkan pengaruh nyata terhadap mortalitas

rayap di laboratorium, sedangkan setelah 6 HSI tidak berbeda nyata secara statistik pada tingkat

kepercayaan 95%. Kepadatan invidivu rayap tidak berpengaruh nyata terhadap mortalitas rayap

akibat serangan S. carpocapsae dalam ruang terbatas dilaboratorium.

Page 11: Tugas metodologi penelitian ((m. mubin, dkk (biologi 2))

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1992. Undang-Undang Republik Indonesia No 12 Tahun 1992 tentang Budidaya

Tanaman.

Epsky, N.D. & Capinera, J.L. 1988. Efficacy of the nematode steinernema feltiae against a

subterranean termites, Reticulitermes tibialis (Isoptera: Rhinotermtidae). J. Economic

Entomology. 

Hatsukade, M. 1994. Control of insect pests with entomophatogenic nematodes. FFTC.

Technical Bulletin 139.

Kaya, H.K.  1996. Contempory issues in biological control with entomophatogenic nematodes.

Di dalam Biological Pest Control in Systems of Integrated Pests Management. FTC Book

Series No 47.

Kondo, E. 1996. Infection mechanism and growth regulation inentomopathogenic nematodes. Di

dalam Biological Pest Control in Systems of Integrated Pest Management. FFTC Book

Series No 47: 28-39.

Mauldin, J.K. & Beal, J.H. 1989. Entomogenous nematodes for control of suterranean termites,

Reticulitermes spp. (Isoptera: Rhinotermitidae).  J. Economic Entomology 82: 1638-

1642. 

Mariau, D., Renoux, J. & Desmier de chenon, R. 1992. Coptotermes curvignathus  olmgren,

Rhinotermitidae, mainpest of coconut planted on peat in Sumatera. Oleagineux 47: 562-

568.

Nandika, D.1992. Rayap di Jakarta, Bandung, dan Batam. Pest control. Bulletin IPPHAMMI:

675-676.

Poinar, G.O. & Thomas, G,M. 1982. Diagnostic Manual for the Identification of Insect

Pathogens. University of California at Berkeley: Plenum Press.

Prawirosoekarto, S., Sipayung, A. & Desmier de Chenon, R. 1991. Serangga Rayap pada

Tanaman Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Perkebunan Marihat.