tugas hukum dan kebudayaan

18
BAB II PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG Pengertian Perkawinan Menurut pasal 1 UU Perkawinan dikatakan bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal bardasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ikatan lahir adalah hubungan formal yang dapat dilihat karena dibentuk menurut undang-undang dimana mengikat kedua pihak dan pihak lain dalam masyarakat. Ikatan batin adalah hubungan tidak formal yang dibentuk dengan kemauan barsama yang sungguh-sungguh yang mengikat kedua belah pihak saja. Antara seorang pria dan wanita artinya dalam suatu masa ikatan lahir batin itu hanya terjadi antara seorang pria dan seorang wanita saja. Suami Istri adalah fungsi masing-masing pihak sebagai akibat dari adanya ikatan lahit batin. Tidak adanya ikatan lahir batin berarti tidak pula ada fungsi sebagai suami istri. Sahnya perkawinan menurut pasal 2 ayat 1 UU No1 Th 1974 adalah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya 1

Upload: aswinemo

Post on 13-Jun-2015

1.592 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tugas Hukum Dan Kebudayaan

BAB II

PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG

Pengertian Perkawinan

Menurut pasal 1 UU Perkawinan dikatakan bahwa Perkawinan ialah ikatan

lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan

tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal bardasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa.

Ikatan lahir adalah hubungan formal yang dapat dilihat karena dibentuk

menurut undang-undang dimana mengikat kedua pihak dan pihak lain dalam

masyarakat. Ikatan batin adalah hubungan tidak formal yang dibentuk dengan

kemauan barsama yang sungguh-sungguh yang mengikat kedua belah pihak saja.

Antara seorang pria dan wanita artinya dalam suatu masa ikatan lahir batin itu

hanya terjadi antara seorang pria dan seorang wanita saja. Suami Istri adalah fungsi

masing-masing pihak sebagai akibat dari adanya ikatan lahit batin. Tidak adanya

ikatan lahir batin berarti tidak pula ada fungsi sebagai suami istri. Sahnya perkawinan

menurut pasal 2 ayat 1 UU No1 Th 1974 adalah apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Pasal 2 ayat 2 menyatakan bahwa

Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku

UU No 1 Th 1974 adalah undang-undang yang mengatur tentang perkawinan

dimana setelah adanya undang-undang ini tidak menjamin bahwa masalah

perkawinan khususnya masalah perceraian mudah tarselesaikan apalagi disangkut-

pautkan dengan unifikasi hukum yang unik bangsa Indonesia, Unifikasi artinya suatu

kesatuan hukum yang berlaku di wilayah tertentu yang dijalankan oleh sutu Negara

dimana masyarakatnya mematuhi. Di Indonesia mengapa unifikasi bangsa Indonesia

dikatakan unik disebabkan oleh masih dihargainya hukum dari masing-masing agama

dan kepercayaan dari masing-masing daerah di Indonesia. Bangsa Indonesia masih

1

Page 2: Tugas Hukum Dan Kebudayaan

mengenal adatnya di setiap daerah yang berbeda-beda. Setiap masalah bisa saja

diselesaikan dengan hukum adat maupun hukum negara.

Masalah-masalah perkawinan khususnya masalah putusnya perkawinan

(Perceraian) harus diputuskan melalui PENGADILAN. Kebanyakan proses

pengadilan barjalan cukup memakan waktu yang lama, maka tidak jarang masyarakat

terutama masyarakat bali mengambil jalan menyalesaikannya dengan jalan memakai

hukum adat, tetapi sangat disayangkan jika masyrakat bali memilih hal tersebut karna

barkaitan dengan akta perceraian dan hak asuh anak sangat sulit untuk diwujudkan.

I.2 Rumusan Masalah

Wanita Bali banyak yang belum mengetahui prosedur barcerai, yang biasanya

diawali dengan pertengkaran, tidak saling menyapa dan pada akhirnya akan kembali

ke rumah orang tua masing-masing. Statusnya mengambang bertahun-tahun pisah

ranjang, statusnya sebagai janda tidaklah sah. Sering dirugikan haknya dalam

pembagian harta dan hak asuh anak. Benarkah barcerai lewat pengadilan lebih

manjamin haknya, walau lebih mahal dan labih lama?

2

Page 3: Tugas Hukum Dan Kebudayaan

BAB II

PEMBAHASAN

Perkawinan dan perceraian orang Bali sebelum tahun 1974 dilaksanakan

sesuai dengan hukum adat Bali dan agama Hindu. Sejak tahun 1974 hingga sekarang

menggunakan UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun, tidak dengan

sendirinya menghilangkan sama sekali aturan adat dan agama yang sebelumnya

berlaku saat melangsungkan perkawinan.

UU Perkawinan memberi peluang bagi berlakunya hukum agama dan

kepercayaannya yang dianut sesuai dengan pasal 2 UU No 1 Th 1974, yang bunyinya

‘Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya

dan kepercayaannya.’’ UU No.1 Thn 1974 termasuk unifikasi yang unik. Artinya

unifikasi hukum yang masih memberikan peluang untuk tetap berlakunya hukum

yang lain dalam hal ini hukum adat.

Proses perceraian menurut adat Bali lebih singkat dan lebih sederhana

dibandingkan proses perceraian menurut UU Perkawinan. Jika pasangan suami istri

tidak cocok, proses perceraian biasanya dimulai dengan menyampaikan ketidak

cocokan tersebut kepada keluarga masing-masing dan sekalian menyampaikan niat

untuk bercerai. Setelah itu biasanya pihak wanita tidak mau kembali ke rumah

suaminya. Ia menetap di rumah orangtuanya atau keluarga dekatnya, dikenal dengan

istilah nyala atau ngambul dan dalam ungkapan sekarang lebih dikenal dengan pisah

ranjang. Jika sudah didamaikan mereka masih bersikukuh tidak mau rukun,maka

masalah ini dibawa ke prajuru (perangkat pimpinan) desa untuk memohon perceraian.

Maka perceraian menjadi sah.

Menurut hukum adat Bali setelah prajuru mengumumkan perceraian itu dalam

rapat desa atau banjar, masing-masing akan berstatus daha atau bajang bagi

wanitanya dan yang laki-laki teruna seperti anak muda umumnya. Selama menjanda

3

Page 4: Tugas Hukum Dan Kebudayaan

atau menduda mereka dapat melekukan perkawinan pada pasangan mereka

selanjutnya.

Dalam perceraian masyarakat Bali, biasanya mereka memilih bercerai dengan

hukum adat Bali, agar lebih sederhana, murah dan cepat selesainya. Jika mereka

bercerai dan akan mempersoalkan hak asuh atas anak, adanya keinginan

mendapatkan bagian dari harta bersama, maka perceraian menurut hukum adat Bali

agak sulit untuk memenuhi keinginan tersebut.

II.1 Sosialisasi Prosedur Perceraian

Sosialisasi prosedur perceraian memang masih sangat kurang. Umumnya

masyarakat awam mengetahui proses bercerai lewat hukum adat Bali, pihak wanita

dirugikan. Mereka berpikir kalaupun pulang belum tentu banjar menerima dan

sebagainya yang memberatkan kaum wanita.

Selain masalah guna kaya, mengenai hak asuh anak juga semua tahu di Bali

sistemnya purusa. Anak ikut keluarga bapak. Jika perceraian melalui pengadilan

dengan hukum nasional masih ada plusnya.

Secara administratif wanita mendapatkan pengakuan dan masih punya hak

atas harta benda selama perkawinan apalagi kalau istri juga bekerja. Kenyataannya

wanita Bali yang bercerai tidak memperoleh apa-apa, tidak juga mendapat hak asuh.

Hal ini menjadi dasar pertimbangan kaum wanita.

Mereka berpikir, bahwa menjadi janda tidak lebih baik sehingga mereka tetap

bertahan di keluarga suami. Sampai di mana pakar-pakar hukum wanita Bali,

mensosialisasikan hal yang menjadi hak-hak kaum wanita itu, agar harkat dan

martabat wanita Bali terangkat.

4

Page 5: Tugas Hukum Dan Kebudayaan

II.2 Ditinggalkannya Hukum Adat

Perkawinan menurut Hindu sesuatu yang sakral. Perkawinan, ikatan lahir

batin antara pria dan wanita, sebagai suami istri untuk membentuk keluarga bahagia

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan memahami perkawinan seperti itu,

maka perkawinan itu harus dijaga, dipelihara agar langgeng. Dengan adanya UU

Perkawinan ini, praktis hukum adat tentang perceraian ditinggalkan. Bahkan prajuru

desa dianggap tidak berhak untuk mengesahkan perceraian karena sudah ada UU

Perkawinan.

II.3 Menggunakan Jalur Pengadilan

Jika ingin menyelesaiakan pereraian lebih baik dengan UU Perkawinan,

melalui putusan pengadilan. Banyak suami-istri yang ingin becerai memilih

mengurus perceraian lewat pengadilan dan sesuai dengan ketentuan UU N0 1 Th

1974. Terdapat keuntungan- keuntungan memilih perceraian melalui pengadilan.

Utamanya, sangat mudah membuktikan bahwa mereka telah ada perceraian,

dan status mereka jelas. Jika ingin kawin lagi tinggal menunjukkan akte perceraian

atau fotocopinya. Sesudah demikian mau kawin dengan siapa pun tidak menjadi soal.

Selain itu juga terbuka peluang untuk membahas masalah pengasuhan anak dan

pembagian harta bersama. Kalau hal ini dilakukan tentu akan mendekati keadilan.

II.4 Belum Sah Sebagai Janda

Jika seorang wanita yang dikembalikan begitu saja oleh suaminya tanpa

dilanjutkan dengan proses hukum, statusnya belum sah sebagai janda. Perceraian sah

menurut hukum adat Bali setelah diumumkan dalam rapat banjar atau desa. Jika

belum diumumkan, status wanita ini masih jadi tanggung jawab suaminya atau

keluarga suami.

Bagi pasangan yang bercerai dan memilih penyelesaiannya dengan hukum

adat Bali untuk kepentingan satu warga atau desa pekraman tidak masalah. Perceraian

5

Page 6: Tugas Hukum Dan Kebudayaan

menu rut hukum adat Bali memang sudah bergeser atau ditinggalkan sesudah

berlakunya UU No 1 Th 1974. Dalam buku pengantar hukum Adat Bali karangan

Windya P, UU No 1 Th 1974 juga mengatur tentang perceraian yang pada prinsipnya

mempersulit perceraian.

II.5 Harta Kekayaan

Harta dalam perkawinan ada tiga kelompok, harta bawaan, harta warisan dan

harta bersama. Harta bersama di Bali disebut guna kaya, di Jawa namanya gono gini.

Harta bawaan adalah harta yang dibawa masing-masing oleh pihak suami maupun

istri. Harta warisan adalah harta yang dibawa oleh masing-masing pihak baik suami

maupun istri, harta ini diperoleh dengan cara adanya hak waris dalam keluarga

masing-masing istri maupun suami. Harta bersama diperoleh selama perkawinan

berlangsung dengan tidak mempersoalkan jerih payah masing-masing pihak.

Untuk harta bawaan dan harta perolehan tidak menimbulkan masalah, karena

harta tersebut tetap dikuasai masing-masing pihak. Apabila terjadi penyatuan harta

karena perjanjian, penyelesaiannya juga disesuaikan dengan ketentuan perjanjian dan

kepatutan.

Tetapi mengenai harta bersama, mungkin akan menuai masalah. Menurut

ketentuan pasal 37 UUP, bila perkawinan putus karena perceraian, harta diatur dalam

hukumnya masing-masing. Dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa yang

dimaksud dengan “hukumnya” masing-masing adalah hukum agama, hukum adapt,

dan hukum-hukum lain.

Dalam UU No 1 Th 1974, pembagian harta bersama tidak begitu jelas, hanya

disebutkan pembagian harta bersama, sama rata menurut hukumnya masing-masing.

Dalam konteks ini, hukum agama, hukum adat dan hukum atau peraturan lain yang

berlaku bagi mantan pasangan suami-istri, terkait perjanjian perkawinan tentang harta

bersama. Dalam hukum adat Bali dikenal ategen atau asuunan, berarti pembagian

harta suami dan istri, dua berbanding satu.

6

Page 7: Tugas Hukum Dan Kebudayaan

II.6 Hak asuh anak

Hak asuh anak seringkali menjadi permasalahan pasca perceraian. Bahkan

tidak jarang antar mantan suami dan mantan istri saling berebut mendapat hak asuh

anak tersebut. Sesuai hukum adat Bali, anak-anak biasanya mengikuti garis

keturunan ayahnya. Mengenai harta agak sulit dijelaskan karena biasanya perceraian

menurut hukum adat Bali dilandasi semangat pada lasia (mereka ikhlas tidak

mempersoalkan anak-anak dan kekayaan). Di sinilah sebenarnya titik permasalahan.

Dalam konteks ini hukum adat tidak berpihak pada wanita Bali.

Sedangkan menurut Undang undang No1 tahun 1974 tentang Perkawinan hak

asuh anak dapat diselesaikan melalui Putusan dari Pengadilan dimana semua pihak

dapat mempunyai kesempatan untuk mengasuh anak ( hak asuh anak ) berada

ditangan masing masing Pihak ( bapak atau ibu ).

1. Bapak dan Ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anak

mereka samata-mata untuk kepentingan anak. Apabila ada perselisihan

tentang penguasaan anak, Pengadilan memberi keputusannya.

2. Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan

yang diperlukan anak itu. Apabila bapak dalam kenyataannya tidak dapat

memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menetapkan Ibu ikut

memikul biaya tersebut.

3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya

penghidupan kepada bekas istri, dan atau menentukan suatu kewajiban bagi

bekas Istri (pasal 41 UUP)

7

Page 8: Tugas Hukum Dan Kebudayaan

BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan dari pembahasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa :

Karena disebabkan oleh unifikasi hukum Bangsa Indonesia yang baragam, maka

perceraian dilakukan berdasarkan aturan-aturan adat, sehingga tidak menjamin status

perkawinan, karena di Indonesia sudah ada UU yang mengatur yaitu UU No 1/1974.

Melakukan perceraian dengan cara hukum adat bali tidak menjamin bahwa

status hukum dari wanita sebagai janda sangatlah tidak jelas karena tidak ada akta

yang menjelaskan status tarsebut, sehingga wanita tidak bebas untuk melakukan

perkawinan dengan pihak lain.

Karena dengan perceraian menggunakan aturan adat sehinnga tidak

menjamin status, maka perlahan-lahan perceraian menggunakan aturan adat ini mulai

ditinggalkan, masyarakat baralih pada pengadilan, walaupun lewat jalan pengadilan

adalah prosesnya lama, tetapi menjamin status janda bagi pihak perempuan dan

keadilan bagi pembagian harta gono-gini dan hak asuh anak..

Mengenai hak asuh anak dalam hal adat bali terang saja tidak menguntungkan

pihak wanita bali karena di bali menggunakan system purusa atau menarik garis

keturunan dari ayah, sehingga wanita bali jika bercerai tidak membawa harta maupun

hak asuh anak. Sedangkan jika perceraian lewat pengadilan sudah dapat sedikit

tidaknya mendekati keadilan, karena putusan pengadilan sudah ada dan sudah pasti

pengadilan mempertimbangkan dan terdapat jaminan keadilan sehingga tidak

memberatkan salah satu pihak.

8

Page 9: Tugas Hukum Dan Kebudayaan

DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata, Penerbit Alumni, Bandung,1986

Mr.Gde Panetje Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali, CV Kayumas Agung,

Bali, 2004

9

Page 10: Tugas Hukum Dan Kebudayaan

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR............................................................................. i

DAFTAR ISI............................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................... 1

II.1 Latar Belakang .................................................................... 1

II.2Rumusan Masalah ............................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN....................................................................... 2

II.1. Sosialisasi Prosedur Perceraian.......................................... 3

II.2. Ditinggalkannya Hukum Adat........................................... 4

II.3. Menggunakan Jalur Pengadilan ….................................... 4

II.4. Belum Sah Sebagai Janda.................................................. 4

II.5. Harta Kekayaan.................................................................. 5

II.6 Status Anak………………………………………………. 5

BAB III KESIMPULAN........................................................................ 6

DAFTAR PUSTAKA

10ii

Page 11: Tugas Hukum Dan Kebudayaan

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat

anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan paper ini tepat waktu.

Banyak hal yang penulis dapatkan dari penulisan paper ini, termasuk juga

pengetahuan serta masukan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan yang

baik ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak/ Ibu selaku Dosen

Mata Kuliah Hukum Perdata di Fakultas Hukum Universitas Udayana, yang telah

memberikan pengetahuan tentang Hukum Perdata khususnya mengenai Hukum

Keluarga. Serta kepada semua pihak yang telah membantu hingga selesainya

penyusunan paper ini.

Penulis sadar paper ini belum sempurna, untuk itu guna mencapai

kesempurnaannya, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun

dari pembaca agar dapat meningkatkan paper ini dikemudian hari.

Denpasar, Januari 2007

Penulis

JAMINAN HAK WANITA BALI

11i

Page 12: Tugas Hukum Dan Kebudayaan

DALAM KONTEKS PERCERAIAN

Oleh:

RANNY INDRA MEGA SAPUTRI

050 300 5160

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

BALI

2007

12