tugas hukum perdata

41
STATUS HUKUM ANAK HASIL PERKAWINAN CAMPURAN BERDASARKAN HUKUM INDONESIA BAB I PENDAHULUAN 1. A. Latar belakang Perkawinan campuran telah merambah seluruh pelosok Tanah Air dan kelas masyarakat. Globalisasi informasi, ekonomi, pendidikan, dan transportasi telah menggugurkan stigma bahwa kawin campur adalah perkawinan antara ekspatriat kaya dan orang Indonesia. Menurut survey yang dilakukan oleh Mixed Couple Club, jalur perkenalan yang membawa pasangan berbeda kewarganegaraan menikah antara lain adalah perkenalan melalui internet, kemudian bekas teman kerja/bisnis, berkenalan saat berlibur, bekas teman sekolah/kuliah, dan sahabat pena. Perkawinan campur juga terjadi pada tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja dari negara lain. Dengan banyak terjadinya perkawinan campur di Indonesia sudah seharusnya perlindungan hukum dalam perkawinan campuran ini diakomodir dengan baik dalam perundang-undangan di indonesia. 1

Upload: fitri-yanti-slamet

Post on 04-Jan-2016

84 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

pengertian hukum perdata

TRANSCRIPT

Page 1: Tugas Hukum Perdata

STATUS HUKUM ANAK HASIL PERKAWINAN CAMPURAN

BERDASARKAN HUKUM INDONESIA

BAB I

PENDAHULUAN

1. A. Latar belakang

Perkawinan campuran telah merambah seluruh pelosok Tanah Air dan

kelas masyarakat. Globalisasi informasi, ekonomi, pendidikan, dan transportasi

telah menggugurkan stigma bahwa kawin campur adalah perkawinan antara

ekspatriat kaya dan orang Indonesia. Menurut survey yang dilakukan oleh Mixed

Couple Club, jalur perkenalan yang membawa pasangan berbeda

kewarganegaraan menikah antara lain adalah perkenalan melalui internet,

kemudian bekas teman kerja/bisnis, berkenalan saat berlibur, bekas teman

sekolah/kuliah, dan sahabat pena. Perkawinan campur juga terjadi pada tenaga

kerja Indonesia dengan tenaga kerja dari negara lain. Dengan banyak terjadinya

perkawinan campur di Indonesia sudah seharusnya perlindungan hukum dalam

perkawinan campuran ini diakomodir dengan baik dalam perundang-undangan di

indonesia.

Dalam perundang-undangan di Indonesia, perkawinan campuran didefinisikan

dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 57 :

”Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah

perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang

berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak

berkewarganegaraan Indonesia.”

Selama hampir setengah abad pengaturan kewarganegaraan dalam

perkawinan campuran antara warga negara indonesia dengan warga negara asing,

mengacu pada UU Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958. Seiring berjalannya

1

Page 2: Tugas Hukum Perdata

waktu UU ini dinilai tidak sanggup lagi mengakomodir kepentingan para pihak

dalam perkawinan campuran, terutama perlindungan untuk istri dan anak.

Barulah pada 11 Juli 2006, DPR mengesahkan Undang-Undang

Kewarganegaraan yang baru. Lahirnya undang-undang ini disambut gembira oleh

sekelompok kaum ibu yang menikah dengan warga negara asing, walaupun pro

dan kontra masih saja timbul, namun secara garis besar Undang-undang baru yang

memperbolehkan dwi kewarganegaraan terbatas ini sudah memberikan

pencerahan baru dalam mengatasi persoalan-persoalan yang lahir dari perkawinan

campuran.

Persoalan yang rentan dan sering timbul dalam perkawinan campuran

adalah masalah kewarganegaraan anak. UU kewarganegaraan yang lama

menganut prinsip kewarganegaraan tunggal, sehingga anak yang lahir dari

perkawinan campuran hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan, yang dalam

UU tersebut ditentukan bahwa yang harus diikuti adalah kewarganegaraan

ayahnya. Pengaturan ini menimbulkan persoalan apabila di kemudian hari

perkawinan orang tua pecah, tentu ibu akan kesulitan mendapat pengasuhan

anaknya yang warga negara asing.

1. B.Perumusan Masalah

1. Bagaimana pengaturan status hukum anak yang lahir dari perkawinan

campuran sebelum dan sesudah lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru?

2. Apakah kewarganegaraan ganda ini akan menimbulkan masalah bagi

anak?

1. C. Identifikasi Masalah

Dengan lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru, sangat menarik untuk

dikaji bagaimana pengaruh lahirnya UU ini terhadap status hukum anak dari

perkawinan campuran, berikut komparasinya terhadap UU Kewarganegaraan

yang lama. Secara garis besar perumusan masalah adalah sebagai berikut :

2

Page 3: Tugas Hukum Perdata

1. Bagaimana pengaturan status hukum anak yang lahir dari perkawinan

campuran sebelum dan sesudah lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru?

2. Apakah kewarganegaraan ganda ini akan menimbulkan masalah bagi

anak?

3

Page 4: Tugas Hukum Perdata

BAB II

2.1 ANAK SEBAGAI SUBJEK HUKUM

Definisi anak dalam pasal 1 angka 1 UU No.23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak adalah :

“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk

anak yang masih dalam kandungan.”

Dalam hukum perdata, diketahui bahwa manusia memiliki status sebagai

subjek hukum sejak ia dilahirkan. Pasal 2 KUHP memberi pengecualian bahwa

anak yang masih dalam kandungan dapat menjadi subjek hukum apabila ada

kepentingan yang menghendaki dan dilahirkan dalam keadaan hidup. Manusia

sebagai subjek hukum berarti manusia memiliki hak dan kewajiban dalam lalu

lintas hukum. Namun tidak berarti semua manusia cakap bertindak dalam lalu

lintas hukum. Orang-orang yang tidak memiliki kewenangan atau kecakapan

untuk melakukan perbuatan hukum diwakili oleh orang lain. Berdasarkan pasal

1330 KUHP, mereka yang digolongkan tidak cakap adalah mereka yang belum

dewasa, wanita bersuami, dan mereka yang dibawah pengampuan. Dengan

demikian anak dapat dikategorikan sebagai subjek hukum yang tidak cakap

melakukan perbuatan hukum. Seseorang yang tidak cakap karena belum dewasa

diwakili oleh orang tua atau walinya dalam melakukan perbuatan hukum. Anak

yang lahir dari perkawinan campuran memiliki kemungkinan bahwa ayah ibunya

memiliki kewarganegaraan yang berbeda sehingga tunduk pada dua yurisdiksi

hukum yang berbeda. Berdasarkan UU Kewarganegaraan yang lama, anak hanya

mengikuti kewarganegaraan ayahnya, namun berdasarkan UU Kewarganegaraan

yang baru anak akan memiliki dua kewarganegaraan. Menarik untuk dikaji karena

dengan kewarganegaraan ganda tersebut, maka anak akan tunduk pada dua

yurisdiksi hukum.

4

Page 5: Tugas Hukum Perdata

2.2 PENGATURAN MENGENAI ANAK DALAM PERKAWINAN

CAMPURAN

Menurut Teori Hukum Perdata Internasional

Menurut teori hukum perdata internasional, untuk menentukan status anak

dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang

tuanya sebagai persoalan pendahuluan, apakah perkawinan orang tuanya sah

sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau perkawinan

tersebut tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya

memiliki hubungan hukum dengan ibunya.

Sejak dahulu diakui bahwa soal keturunan termasuk status personal.

Negara-negara common law berpegang pada prinsip domisili (ius soli) sedangkan

negara-negara civil law berpegang pada prinsip nasionalitas (ius sanguinis).

Umumnya yang dipakai ialah hukum personal dari sang ayah sebagai kepala

keluarga (pater familias) pada masalah-masalah keturunan secara sah. Hal ini

adalah demi kesatuan hukum dalam keluarga dan demi kepentingan kekeluargaan,

demi stabilitas dan kehormatan dari seorang istri dan hak-hak maritalnya. Sistem

kewarganegaraan dari ayah adalah yang terbanyak dipergunakan di negara-negara

lain, seperti misalnya Jerman, Yunani, Italia, Swiss dan kelompok negara-negara

sosialis.

Dalam sistem hukum Indonesia, Prof.Sudargo Gautama menyatakan

kecondongannya pada sistem hukum dari ayah demi kesatuan hukum dalam

keluarga, bahwa semua anak–anak dalam keluarga itu sepanjang mengenai

kekuasaan tertentu orang tua terhadap anak mereka (ouderlijke macht) tunduk

pada hukum yang sama. Kecondongan ini sesuai dengan prinsip dalam UU

Kewarganegaraan No.62 tahun 1958.

Kecondongan pada sistem hukum ayah demi kesatuan hukum, memiliki

tujuan yang baik yaitu kesatuan dalam keluarga, namun dalam hal

kewarganegaraan ibu berbeda dari ayah, lalu terjadi perpecahan dalam

5

Page 6: Tugas Hukum Perdata

perkawinan tersebut maka akan sulit bagi ibu untuk mengasuh dan membesarkan

anak-anaknya yang berbeda kewarganegaraan, terutama bila anak-anak tersebut

masih dibawah umur.

Menurut UU Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958

Permasalahan dalam perkawinan campuran

Ada dua bentuk perkawinan campuran dan permasalahannya:

a) Pria Warga Negara Asing (WNA) menikah dengan Wanita Warga Negara

Indonesia (WNI)

Berdasarkan pasal 8 UU No.62 tahun 1958, seorang perempuan warga

negara Indonesia yang kawin dengan seorang asing bisa kehilangan

kewarganegaraannya, apabila selama waktu satu tahun ia menyatakan

keterangan untuk itu, kecuali apabila dengan kehilangan kewarganegaraan

tersebut, ia menjadi tanpa kewarganegaraan. Apabila suami WNA bila ingin

memperoleh kewarganegaraan Indonesia maka harus memenuhi persyaratan

yang ditentukan bagi WNA biasa. Karena sulitnya mendapat ijin tinggal di

Indonesia bagi laki laki WNA sementara istri WNI tidak bisa meninggalkan

Indonesia karena satu dan lain hal( faktor bahasa, budaya, keluarga besar,

pekerjaan pendidikan,dll) maka banyak pasangan seperti terpaksa hidup dalam

keterpisahan.

b) Wanita Warga Negara Asing (WNA) yang menikah dengan Pria Warga Negara

Indonesia (WNI)

Indonesia menganut azas kewarganegaraan tunggal sehingga berdasarkan

pasal 7 UU No.62 Tahun 1958 apabila seorang perempuan WNA menikah

dengan pria WNI, ia dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia tapi pada

saat yang sama ia juga harus kehilangan kewarganegaraan asalnya.

Permohonan untuk menjadi WNI pun harus dilakukan maksimal dalam waktu

satu tahun setelah pernikahan, bila masa itu terlewati , maka pemohonan untuk

6

Page 7: Tugas Hukum Perdata

menjadi WNI harus mengikuti persyaratan yang berlaku bagi WNA biasa.

Untuk dapat tinggal di Indonesia perempuan WNA ini mendapat sponsor suami

dan dapat memperoleh izin tinggal yang harus diperpanjang setiap tahun dan

memerlukan biaya serta waktu untuk pengurusannya. Bila suami meninggal

maka ia akan kehilangan sponsor dan otomatis keberadaannya di Indonesia

menjadi tidak jelas Setiap kali melakukan perjalanan keluar negri memerlukan

reentry permit yang permohonannya harus disetujui suami sebagai sponsor.

Bila suami meninggal tanah hak milik yang diwariskan suami harus segera

dialihkan dalam waktu satu tahun. Seorang wanita WNA tidak dapat bekerja

kecuali dengan sponsor perusahaan. Bila dengan sponsor suami hanya dapat

bekerja sebagai tenaga sukarela. Artinya sebagai istri/ibu dari WNI, perempuan

ini kehilangan hak berkontribusi pada pendapatan rumah tangga.

Anak hasil perkawinan campuran

Indonesia menganut asas kewarganegaraan tunggal, dimana

kewarganegaraan anak mengikuti ayah, sesuai pasal 13 ayat (1) UU No.62

Tahun 1958 :

“Anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin yang mempunyai

hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya sebelum ayah itu memperoleh

kewarga-negaraan Republik Indonesia, turut memperoleh kewarga-negaraan

Republik Indonesia setelah ia bertempat tinggal dan berada di Indonesia.

Keterangan tentang bertempat tinggal dan berada di Indonesia itu tidak berlaku

terhadap anak-anak yang karena ayahnya memperoleh kewarga-negaraan

Republik Indonesia menjadi tanpa kewarga-negaraan.”

Dalam ketentuan UU kewarganegaraan ini, anak yang lahir dari

perkawinan campuran bisa menjadi warganegara Indonesia dan bisa menjadi

warganegara asing :

a. Menjadi warganegara Indonesia.

Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita warga

negara asing dengan pria warganegara Indonesia (pasal 1 huruf b UU No.62

Tahun 1958), maka kewarganegaraan anak mengikuti ayahnya, kalaupun Ibu

7

Page 8: Tugas Hukum Perdata

dapat memberikan kewarganegaraannya, si anak terpaksa harus kehilangan

kewarganegaraan Indonesianya. Bila suami meninggal dunia dan anak anak

masih dibawah umur tidak jelas apakah istri dapat menjadi wali bagi anak

anak nya yang menjadi WNI di Indonesia. Bila suami (yang berstatus

pegawai negeri)meningggal tidak jelas apakah istri (WNA) dapat

memperoleh pensiun suami.

b. Menjadi warganegara asing.

Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita

warganegara Indonesia dengan warganegara asing. Anak tersebut sejak

lahirnya dianggap sebagai warga negara asing sehingga harus dibuatkan

Paspor di Kedutaan Besar Ayahnya, dan dibuatkan kartu Izin Tinggal

Sementara (KITAS) yang harus terus diperpanjang dan biaya pengurusannya

tidak murah. Dalam hal terjadi perceraian, akan sulit bagi ibu untuk

mengasuh anaknya, walaupun pada pasal 3 UU No.62 tahun 1958

dimungkinkan bagi seorang ibu WNI yang bercerai untuk memohon

kewarganegaraan Indonesia bagi anaknya yang masih di bawah umur dan

berada dibawah pengasuhannya, namun dalam praktek hal ini sulit dilakukan.

Masih terkait dengan kewarganegaraan anak, dalam UU No.62 Tahun 1958,

hilangnya kewarganegaraan ayah juga mengakibatkan hilangnya

kewarganegaraan anak-anaknya yang memiliki hubungan hukum dengannya

dan belum dewasa (belum berusia 18 tahun atau belum menikah). Hilangnya

kewarganegaraan ibu, juga mengakibatkan kewarganegaraan anak yang

belum dewasa (belum berusia 18 tahun/ belum menikah) menjadi hilang

(apabila anak tersebut tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya).

Menurut UU Kewarganegaraan Baru

1. Pengaturan Mengenai Anak Hasil Perkawinan Campuran

Undang-Undang kewarganegaraan yang baru memuat asas-asas

kewarganegaraan umum atau universal. Adapun asas-asas yang dianut dalam

Undang-Undang ini sebagai berikut:

8

Page 9: Tugas Hukum Perdata

- Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan

kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara

tempat kelahiran.

- Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan

kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang

diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam

Undang-Undang ini.

- Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu

kewarganegaraan bagi setiap orang.

- Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan

kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur

dalam Undang-Undang ini.

Undang-Undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan

ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan

ganda yang diberikan kepada anak dalam Undang-Undang ini merupakan suatu

pengecualian.

Mengenai hilangnya kewarganegaraan anak, maka hilangnya

kewarganegaraan ayah atau ibu (apabila anak tersebut tidak punya hubungan

hukum dengan ayahnya) tidak secara otomatis menyebabkan kewarganegaraan

anak menjadi hilang.

2. Kewarganegaraan Ganda Pada Anak Hasil Perkawinan Campuran

Berdasarkan UU ini anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI

dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita

WNA dengan pria WNI, sama-sama diakui sebagai warga negara Indonesia.

Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda , dan setelah anak berusia 18

tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk

9

Page 10: Tugas Hukum Perdata

memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak

berusia 18 tahun atau setelah kawin.

Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang

positif bagi anak-anak hasil dari perkawinan campuran. Namun perlu ditelaah,

apakah pemberian kewaranegaraan ini akan menimbulkan permasalahan baru di

kemudian hari atau tidak. Memiliki kewarganegaraan ganda berarti tunduk pada

dua yurisdiksi.

Indonesia memiliki sistem hukum perdata internasional peninggalan

Hindia Belanda. Dalam hal status personal indonesia menganut asas konkordasi,

yang antaranya tercantum dalam Pasal 16 A.B. (mengikuti pasal 6 AB Belanda,

yang disalin lagi dari pasal 3 Code Civil Perancis). Berdasarkan pasal 16 AB

tersebut dianut prinsip nasionalitas untuk status personal. Hal ini berati warga

negara indonesia yang berada di luar negeri, sepanjang mengenai hal-hal yang

terkait dengan status personalnya , tetap berada di bawah lingkungan kekuasaan

hukum nasional indonesia, sebaliknya, menurut jurisprudensi, maka orang-orang

asing yang berada dalam wilayah Republik indonesia dipergunakan juga hukum

nasional mereka sepanjang hal tersebut masuk dalam bidang status personal

mereka. Dalam jurisprudensi indonesia yang termasuk status personal antara lain

perceraian, pembatalan perkawinan, perwalian anak-anak, wewenang hukum, dan

kewenangan melakukan perbuatan hukum, soal nama, soal status anak-anak yang

dibawah umur.

Bila dikaji dari segi hukum perdata internasional, kewarganegaraan ganda

juga memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal

yang didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk

pada ketentuan negara nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara yang satu

dengan yang lain tidak bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana

bila ada pertentangan antara hukum negara yang satu dengan yang lain, lalu

pengaturan status personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana.

10

Page 11: Tugas Hukum Perdata

Lalu bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum pada

ketentuan negara yang lain.

Sebagai contoh adalah dalam hal perkawinan, menurut hukum Indonesia,

terdapat syarat materil dan formil yang perlu dipenuhi. Ketika seorang anak yang

belum berusia 18 tahun hendak menikah maka harus memuhi kedua syarat

tersebut. Syarat materil harus mengikuti hukum Indonesia sedangkan syarat formil

mengikuti hukum tempat perkawinan dilangsungkan. Misalkan anak tersebut

hendak menikahi pamannya sendiri (hubungan darah garis lurus ke atas),

berdasarkan syarat materiil hukum Indonesia hal tersebut dilarang (pasal 8 UU

No.1 tahun 1974), namun berdasarkan hukum dari negara pemberi

kewarganegaraan yang lain, hal tersebut diizinkan, lalu ketentuan mana yang

harus diikutinya.

Hal tersebut yang tampaknya perlu dipikirkan dan dikaji oleh para ahli

hukum perdata internasional sehubungan dengan kewarganegaraan ganda ini.

Penulis berpendapat karena undang-undang kewarganegaraan ini masih baru

maka potensi masalah yang bisa timbul dari masalah kewarganegaraan ganda ini

belum menjadi kajian para ahli hukum perdata internasional.

3. Kritisi terhadap UU Kewarganegaraan yang baru

Walaupun banyak menuai pujian, lahirnya UU baru ini juga masih menuai

kritik dari berbagai pihak. Salah satu pujian sekaligus kritik yang terkait dengan

status kewarganegaraan anak perkawinan campuran datang dari KPC Melati

(organisasi para istri warga negara asing).

“Ketua KPC Melati Enggi Holt mengatakan, Undang-Undang

Kewarganegaraan menjamin kewarganegaraan anak hasil perkawinan antar

bangsa. Enggi memuji kerja DPR yang mengakomodasi prinsip dwi

kewarganegaraan, seperti mereka usulkan, dan menilai masuknya prinsip ini ke

UU yang baru merupakan langkah maju. Sebab selama ini, anak hasil perkawinan

campur selalu mengikuti kewarganegaraan bapak mereka. Hanya saja KPC Melati

11

Page 12: Tugas Hukum Perdata

menyayangkan aturan warga negara ganda bagi anak hasil perkawinan campur

hanya terbatas hingga si anak berusia 18 tahun. Padahal KPC Melati berharap

aturan tersebut bisa berlaku sepanjang hayat si anak.

Penulis kurang setuju dengan kritik yang disampaikan oleh KPC Melati

tersebut. Menurut hemat penulis, kewarganegaraan ganda sepanjang hayat akan

menimbulkan kerancuan dalam menentukan hukum yang mengatur status

personal seseorang. Karena begitu seseorang mencapat taraf dewasa, ia akan

banyak melakukan perbuatan hukum, dimana dalam setiap perbuatan hukum

tersebut, untuk hal-hal yang terkait dengan status personalnya akan diatur dengan

hukum nasionalnya, maka akan membingungkan bila hukum nasional nya ada

dua, apalagi bila hukum yang satu bertentangan dengan hukum yang lain. Sebagai

contoh dapat dianalogikan sebagai berikut :

“Joko, pemegang kewarganegaraan ganda, Indonesia dan Belanda, ia

hendak melakukan pernikahan sesama jenis. Menurut hukum Indonesia hal

tersebut dilarang dan melanggar ketertiban hukum, sedangkan menurut hukum

Belanda hal tersebut diperbolehkan. Maka akan timbul kerancuan hukum mana

yang harus diikutinya dalam hal pemenuhan syarat materiil perkawinan

khususnya.”

Terkait dengan persoalan status anak, penulis cenderung mengkritisi pasal

6 UU Kewarganegaraan yang baru, dimana anak diizinkan memilih

kewarganegaraan setelah berusia 18 tahun atau sudah menikah. Bagaimana bila

anak tersebut perlu sekali melakukan pemilihan kewarganegaraan sebelum

menikah, karena sangat terkait dengan penentuan hukum untuk status

personalnya, karena pengaturan perkawinan menurut ketentuan negara yang satu

ternyata bertentangan dengan ketentuan negara yang lain. Seharusnya bila

memang pernikahan itu membutuhkan suatu penentuan status personal yang jelas,

maka anak diperbolehkan untuk memilih kewarganegaraannya sebelum

pernikahan itu dilangsungkan. Hal ini penting untuk mengindari penyelundupan

12

Page 13: Tugas Hukum Perdata

hukum, dan menghindari terjadinya pelanggaran ketertiban umum yang berlaku di

suatu negara.

13

Page 14: Tugas Hukum Perdata

BAB III

CONTOH KASUS PERKAWINAN CAMPURAN DALAM HUKUM

ACARA PERDATA

“Pencatatan Kelahiran Anak Hasil Perkawinan Campuran Pasca

Berlakunya UU No. 12/2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia”

T o p i k:

“Dampak dan pengaruh pemberlakuan ketentuan UU No. 12 Tahun 2006

terhadap anak hasil perkawinan campuran terhadap masyarakat”

Makalah ini disampaikan pada acara Seminar yang diselenggarakan oleh

Lembaga Kajian Hukum Perdata (LKHP) Fakultas Hukum Universitas

Indonesia pada tanggal 21 Desember 2006

RISET DAN USULAN DARI KPC MELATI DARI PENGALAMAN TIM

RISET KPC MELATI DI LAPANGAN INSTANSI PEMERINTAH

TERKAIT

Menyoalkan:

Tatacara Pelaksanaan

PERATURAN MENTERI No. M.01-HL.03.01 Tahun 2006

berkaitan dengan PASAL 41 UU No. 12 Tahun 2006

tentang KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

I. PERJUANGAN KPC MELATI

Kami, Keluarga Perkawinan Campuran Melalui Tangan Ibu (KPC MELATI),

adalah perkumpulan yang mewadahi kepentingan perempuan Warga Negara

14

Page 15: Tugas Hukum Perdata

Indonesia (WNI) yang menikah dengan pria Warga Negara Asing (WNA) dalam

sebuah perkawinan campuran yang sah menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan.

* Visi KPC Melati adalah untuk meningkatkan kesejahteraan, keutuhan dan

perlindungan hukum bagi keluarga perkawinan campuran, terutama bagi

perempuan Indonesia serta anak yang dilahirkan dalam perkawinan campuran.

*Misi KPC Melati bertujuan untuk membantu pelaksanaan penghapusan segala

bentuk perlakuan diskriminasi baik dalam bidang hukum maupun dalam

masyarakat sebagai akibat dari Undang-Undang yang berlaku serta stigma sosial

yang saat ini masih melekat pada perkawinan campuran.

Program Kerja KPC MELATI Tahun 2006 – 2007 meliputi:

* Mensosialisasikan Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan

Pelaksana yang berlaku dan berkaitan langsung dengan Keluarga Perkawinan

Campuran kepada masyarakat umum dengan cara talkshow, roadshow, diskusi

ilmiah, dialog interaktif, dll.

* Melibatkan diri secara aktif dan secara konsisten memberikan usulan dan

masukan bagi perubahan Undang-undang yang berkaitan langsung dengan UU

Kewarganegaraan, UU Administrasi dan Kependudukan, RUU

Keimigrasian, RUU Pokok Agraria, RUU Perkawinan yang bertujuan untuk

meningkatkan kesejahteraan dan keluarga perkawinan campuran khususnya hak-

hak perempuan warga Negara Indonesia yang menikah dengan pria asing.

* Mengumpulkan data yang berkaitan dengan visi dan misi perkumpulan dan

mengadakan serta mengupayakan advokasi dan sosialisasi perubahan UU.

* Bekerjasama dengan Instansi Pemerintah yang terkait dalam membangun

sarana dan prasarana pelayanan terpadu satu atap bagi kepentingan keluarga

perkawinan campuran, khususnya perempuan WNI dalam perkawinan campuran.

15

Page 16: Tugas Hukum Perdata

II. LANDASAN HUKUM

Disahkannya Undang-undang No. 12 Tahun 2006 tentang

Kewarganegaraan Republik Indonesia (UU Kewarganegaraan) pada tanggal 1

Agustus 2006 oleh Bapak Presiden Republik Indonesia, memberikan semangat

dan harapan baru bahwa Negara benar-benar menjamin dan melindungi

kepentingan dan hak dasar bagi perempuan WNI yang menikah dengan pria WNA

untuk bersama menurunkan kewarganegaraan kepada keturunan mereka.

Prinsip yang termasuk dalam UU Kewarganegaraan tersebut sangat jelas yaitu:

1. Prinsip persamaan di dalam hukum dan pemerintahan;

2. Prinsip perlindungan terbaik bagi kepentingan anak;

3. Prinsip kewarganegaraan ganda terbatas;

4. Prinsip perlindungan maksimum;

5. Prinsip non diskriminatif.

Dalam Pasal 4 dan Pasal 5 dari UU Kewarganegaraan, titik taut agar

anak memperoleh Kewarganegaraan Indonesia adalah bila salah satu dari kedua

orang tuanya adalah WNI, dan dengan prinsip perlindungan terbaik bagi

kepentingan terbaik anak maka dalam Bab VII Ketentuan Peralihan Pasal 41

dari UU Kewarganegaraan anak-anak yang telah dilahirkan sebelum UU

Kewarganegaraan disahkan dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia

melalui pendaftaran.

UU Kewarganegaraan No. 12 Tahun 2006 BAB VII Ketentuan

Peralihan Pasal 41:

Anak yang lahir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d,

huruf h, huruf I dan anak yang diakui atau diangkat secara sah sebagaimana

16

Page 17: Tugas Hukum Perdata

dimaksud dalam Pasal 5 sebelum Undang-Undang ini diundangkan dan belum

berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin memperoleh Kewarganegaraan

Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang ini dengan mendaftarkan diri

kepada Menteri melalui Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia paling

lambat 4 (empat) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan.

Ketentuan dari Bab VII Ketentuan Peralihan Pasal 41 dari UU

Kewarganegaraan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri No. M.01-

HL.03.01 Tahun 2006 (Permen). Persyaratan terhadap permohonan tersebut

diatur dalam Pasal 4 Permen.

Namun dalam kenyataannya dalam Pasal 4 ayat 2 terdapat perbedaan

interpretasi yang sangat mendasar yang dapat mengakibatkan tidak dapat

dinikmatinya hak perempuan WNI dalam menurunkan

kewarganegaraannya kepada keturunannya, yang telah sekian puluh tahun

diabaikan dan dirugikan oleh negara. Hal ini menurut KPC MELATI merupakan

bentuk kemunduran dengan tetap dipeluknya paradigma lama.

Permen No. M.01-HL.03.01 Tahun 2006 Pasal 4 Ayat 2:

Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus

dilampiri dengan:

1. Fotokopi kutipan akte kelahiran anak yang disahkan oleh pejabat yang

berwenang atau Perwakilan Republik Indonesia;

2. Surat pernyataan dari orang tua atau wali bahwa anak belum kawin;

3. Fotokopi kartu tanda penduduk atau paspor orang tua yang masih berlaku yang

disahkan oleh pejabat yang berwenang atau Perwakilan Republik Indonesia; dan

4. Pas foto anak terbaru berwarna ukuran 4x6 sebanyak 6 (enam) lembar.

17

Page 18: Tugas Hukum Perdata

Seharusnya persyaratan dalam Pasal 4 dari Permen ditujukan bagi orang

tua yang berwarganegara Indonesia saja, hal ini sesuai dengan alur jiwa dari

UU Kewarganegaraan Indonesia berdasarkan Pasal 4 dan Pasal 5 yakni seorang

memperoleh kewarganegaraan Indonesia karena salah satu orang tuanya

adalah WNI.

III. INDEX MASALAH DI LAPANGAN

Penelitian dan hasil temuan KPC MELATI setelah Peraturan Menteri

terbit pada tanggal 26 September 2006.

Pendaftaran kewarganegaraan langsung ke Kantor Wilayah.

Tim Riset KPC MELATI langsung terjun lapangan yaitu ke Kantor

Wilayah Dephukham DKI Jakarta sebagai pintu gerbang pertama yang menangani

proses permohonan pendaftaran anak menjadi WNI.

Tim Riset secara proaktif dan berkala melakukan pengawalan terhadap

aplikasi tata cara memperoleh kewarganegaraan Indonesia yang diatur oleh

Permen yang sekarang berjalan bagi pelaku perkawinan campuran terutama oleh

ibu-ibu WNI yang ingin segera mendaftarkan anaknya menjadi WNI.

Masalah-Masalah masih ada saja kendala dalam praktek lapangan

Teori dan praktek beda di lapangan

Index Permasalahan dari Permen ini terbagi dalam kategori:

1. Dokumen Keluarga Perkawinan Campuran

Dilemma: Kurangnya pengetahuan hukum ibu WNI alias buta hukum. Ini

juga karena kurangnya sosialisasi dari bagian penerangan pemerintah kepada

masyarakat dan kadang kesimpang-siuran informasi yang diberikan oleh pejabat.

18

Page 19: Tugas Hukum Perdata

Akibatnya membingungkan dan meresahkan masyarakat yang membutuhkan

kejelasan dan kepastian hukum yang berlaku.

2. Dokumen Anak WNA

Inti permasalahan yang dilakukan oleh ibu-ibu WNI terhadap anaknya

yang mestinya berstatuskan WNA pada versi UU Kewarganegaraan No. 62 th.

1958 yang masih diskriminasi gender terhadap Akte Lahir Anak Ius Sanguinis

Patriarki. Dampak psikologisnya, bahwa ibu WNI tidak dapat memberikan

jaminan perlindungan status hukum dari pemerintah kepada anaknya karena

mereka adalah WNA. Dampak ekonomi rumah tangganya, bahwa belum tentu

kemampuan finansial ibu WNI ini mapan untuk membiayai pengurusan dokumen

asing dan soal perizinan tinggal bagi penduduk asing.

Dampak UU Kewarganegaraan versi lama yang terkait dengan UU

Perkawinan dan UU Keimigrasian membuat sebagian ibu-ibu WNI melakukan

penyimpangan hukum dengan mendaftarkan anaknya sebagai “Anak Diluar

Nikah” dalam Akte Lahir sehingga anaknya otomatis menjadi WNI, tetapi

terpisahkan statusnya dari ayah WNA. Padahal kedua orang tua ini menikah

secara resmi di Catatan Sipil/KUA/Menikah di Luar Negeri.

Ibu WNI belum tentu pernah mengurus-memiliki paspor asing untuk Anak

yang dilahirkan oleh pasangan perkawinan campuran, karena mungkin tidak

pernah mengurus ke Kedutaan atau adanya peraturan Negara tersebut yang

mensyaratkan kedua orang tuanya harus hadir bersama dengan membawa anaknya

yang baru lahir untuk pembuatan paspor. Kendala hukumnya adalah ibu WNI

tidak berhak secara sepihak melakukan pembuatan paspor untuk bayinya. Atau

ketentuan perpanjangan paspor yang memerlukan tanda tangan ayah WNA.

Keretakan atau ketidakharmonisan rumah tangga suami istri. Pada

kenyataannya, seringkali suami WNA membawa pergi dokumen anak-anak (Akte

Lahir, Paspor Asing) terutama bila dokumen tersebut dikeluarkan oleh Perwakilan

Negara Asing. Untuk meminta dokumen yang baru belum tentu bisa dilakukan

19

Page 20: Tugas Hukum Perdata

secara sepihak oleh ibu WNI saja, sementara anak tersebut masih tinggal bersama

ibu WNI di Indonesia.

Tidak banyak ibu WNI yang memilih untuk mengurus KITAS (Kartu Izin

Tinggal Terbatas) sendiri untuk anaknya yang WNA, sebagian karena

ketidakpahaman dan sebagian karena ketidaktransparanan akan peraturan imigrasi

yang menyebabkan perbedaan interpretasi di lapangan dan di berbagai daerah di

Indonesia. Dalam kasus dimana satu keluarga perkawinan campuran mempunyai

lebih dari 3 anak ditambah dengan kontrak kerja suami WNA yang sudah

berakhir, suami yang mendadak tidak mampu bekerja karena alas an kesehatan

atau pekerjaan suami WNA belum tentu memberikan tunjangan izin tinggal untuk

anak-anak WNAnya, keadaan ini menjadi beban tambahan ekonomi rumah tangga

perkawinan campuran, belum lagi kalau ternyata suami WNA tiba-tiba

menghilang entah kemana? Sementara anak harus tetap menjadi tanggungan ibu

WNI.

Dalam kasus dimana KITAS anak sudah hampir habis masa berlakunya,

tetapi SK Menteri Hukum dan HAM untuk Kewarganegaraan Anak WNI belum

terbit. Anak harus menunggu di Indonesia sampai semua dokumen

keimigrasiannya siap dan lengkap. Sedangkan ada kemungkinan ketentuan

mendadak harus meninggalkan Indonesia karena urusan keluarga yang sangat

mendesak dan mengharuskan kehadiran si anak di Negara asing.

3. Dokumen Suami WNA (Paspor Asing)

Kebanyakan para istri WNI mengalami kendala untuk membawa buku

paspor asing suami WNA, sebagai salah satu persyaratan yang diminta oleh

Permen untuk Pendaftaran Anak WNI, karena factor-faktor:

Dalam perkawinan yang bermasalah, khususnya pada perkawinan beda

bangsa yang jelas beda budaya, bahasa, agama, dan hukum, persyaratan ini

menimbulkan permasalahan tambahan yang pelik sehingga menjadi kendala

dalam memenuhi persyaratan ini. Tentunya pada awal perkawinan setiap orang

20

Page 21: Tugas Hukum Perdata

mengharapkan rumah tangganya berjalan mulus, tapi belum tentu impian menjadi

kenyataan hidup. Misalnya: Terjadi KDRT tapi masih mempertahankan

perkawinannya demi status perlindungan anak yang masih dinyatakan sebagai

WNA/penduduk asing di Indonesia.

Hubungan suami istri yang long distance, beda domisili dikarenakan tugas

suami WNA dipindahkan ke Negara yang berbeda-beda sehingga paspor asing

suami harus tetap melekat selama bepergian.

Belum tentu mendapat “Green Light” dari suami WNA untuk

mendaftarkan anak menjadi WNI, walaupun dengan kondisi perkawinan yang

masih baik-baik saja. Peran suami WNA selain sebagai Kepala Keluarga juga

berpeluang untuk mendominasi terhadap payung hukum yang berlaku. Ini berarti

perempuan WNI tidak mempunyai kapasitas sepenuhnya untuk melakukan

keputusan hukum bagi kepentingan dan kebaikan anaknya.

4. Persyaratan Surat Pernyataan Anak Belum Menikah

Permen meminta surat ini dibuat dan ditandatangani di atas meterai.

Apakah hal ini lazim diberlakukan kepada anak yang masih dibawah umur,

misalnya anak masih umur 3 tahun harus menyatakan belum menikah? Dalam UU

Perkawinan yang membolehkan anak menikah umur 17 tahun. Oleh karenanya

usulan KPC MELATI sebaiknya diberlakukan hanya bagi anak yang umur jatuh

tempo 17 tahun pada saat mendaftarkan menjadi WNI.

5. Legalisasi KTP dan KK di Indonesia

Bahwa peraturan dalam Kartu Keluarga hanya bisa mencantumkan

individu yang berstatuskan WNI atau orang asing yang telah mempunyai KTP

bagi Penduduk Asing. Akibatnya alamat KTP dan KK belum tentu sama dengan

alamat tinggal keluarga perkawinan campuran ini. Ditambah lagi bahwa UU

Pokok Agraria menyatakan bahwa WNA tidak dapat memiliki properti dengan

Status Hak Milik (SHM).

21

Page 22: Tugas Hukum Perdata

Intinya, ketidakpraktisan dan dapat memakan waktu lama bila istri WNI harus

mondar-mandir ke Kantor Kelurahan di tempat yang belum tentu dekat dengan

rumah tinggalnya, atau dalam kota yang sama, atau dalam wilayah propinsi yang

sama.

6. Legalisasi Dokumen Yang Diterbitkan oleh Negara Lain / Kantor

Perwakilan Asing

Dalam hal ini Akte Nikah dan Akte Lahir Anak.

Tidak semua Kantor Perwakilan Negara Asing di Indonesia mengenal

sistem legalisasi dokumen sesuai dengan aslinya. Seperti cara yang lazim

dilakukan di Kantor Pemerintah Indonesia adalah pencocokan dokumen asli

dengan hasil fotokopinya dan diperlihatkan kepada pejabat yang berwenang dari

Kantor yang mengeluarkan surat tersebut untuk menerakan cap dan tanda tangan

sesuai dengan aslinya.

Contohnya negara-negara:

* Hong Kong: tidak ada legalisasi bagi dokumen asli.

* Amerika: Tidak ada model True Copy, yang ada penerbitan salinan asli. Untuk

memperoleh salinan asli tersebut harus pergi sendiri ke Kantor “Birth and Death

Statistic Office” dimana setiap Negara bagian di Amerika mempunyai ketentuan

yang berbeda-beda. Untuk memperoleh salinan asli ini tidak bisa diwakilkan oleh

Kantor Perwakilan Amerika di Indonesia. Misalnya, anak pertama lahir di Negara

Bagian New York, harus ke New York. Anak kedua lahir di Negara bagian

California, harus ke California.

* Belgia: Tidak bisa melegalisasi surat di Kantor Perwakilan Belgia di Negara

lain. Legalisasi surat harus dilakukan di Negara Belgia dimana dokumen tersebut

dikeluarkan.

22

Page 23: Tugas Hukum Perdata

Anak-anak dalam satu keluarga perkawinan campuran bisa saja dilahirkan

di Negara yang berbeda-beda dikarenakan pekerjaan orangtuanya yang

mengharuskan perpindahan domisili. Negara-negara tempat anak-anak tersebut

dilahirkan mungkin memberlakukan azas ius soli atau ius sanguinis, sehingga

menimbulkan kerumitan dalam pengurusan legalisasi dokumen yang diperlukan.

Intinya, tidak semua urusan legalisasi dokumen bisa ditangani oleh Kantor

Perwakilan Asing di Indonesia. Karena harus dikembalikan kepada Negara

masing-masing yang berwenang melakukan legalisasi dokumen sebagai True

Copy/Salinan Asli/Kutipan. Kemudian tidak semua pasangan perkawinan

campuran berdomisili di negara dimana mereka pernah menikah atau di tempat

setiap kelahiran anak-anaknya.

IV. USULAN KPC MELATI

Motto: Hargailah harkat dan martabat perempuan Indonesia

Kendala pada Permen Pasal 4 ayat 2 huruf c, adalah:

“fotokopi kartu tanda penduduk atau paspor orang tua anak yang masih

berlaku yang disahkan oleh pejabat yang berwenang atau Perwakilan Republik

Indonesia”

Di lapangan hal ini dikondisikan menjadi:

1. Paspor orang tua adalah termasuk pula sebagai paspor ayah anak yang WNA;

2. Alasannya adalah agar mengetahui bahwa anak tersebut benar lahir dari

perkawinan campuran;

3. Berkembang pula wacana membuat surat pernyataan dari istri bila tidak dapat

memperoleh paspor suami. Hal ini secara hukum sangat rentan, karena selain

perempuan WNI tidak diakui sebagai subjek hukum yang penuh untuk melalukan

tindakan di muka hukum, merupakan pernyataan sepihak.

23

Page 24: Tugas Hukum Perdata

Di Akte Lahir Anak sudah dinyatakan nama resmi kedua orang tuanya

serta menyatakan kewarganegaraan yang menganut asas ius sanguinis atau asas

ius soli. Di Akte Nikah sudah dinyatakan kedua orang tuanya menikah secara sah

dan diakui secara universal. Ketika orang tua hendak menikah pada awalnya telah

mempersyaratkan keterangan identitas pribadi untuk pendaftaran ke Catatan Sipil

baik menikah di Indonesia atau menikah di luar negeri.

Sementara sebagai petunjuk pelaksana tidak seharusnya Permen tersebut

diinterpretasikan sedemikian jauh karena pada akhirnya tidak dapat menjalankan

prinsip-prinsip yang diamanatkan dalam UU Kewarganegraan sebab:

1. Anak yang termasuk dalam Pasal Bab VII Peraturan Peralihan Pasal 41 UU

Kewarganegaraan adalah anak-anak yang berasal dari perkawinan campuran;

2. Bagaimana mengetahuinya? Dapat dilihat dari UU Perkawinan No. 1 Tahun

1974 Pasal 59 Juncto UU Kewarganegaraan No. 62 Tahun 1958, dimana mereka

yang dilahirkan dari sebuah perkawinan campuran yang sah otomatis mengikuti

kewarganegaraan ayahnya;

3. Bagaimana membuktikannya? Dapat dilihat dari akta kelahiran anak yang jelas-

jelas menyebutkan asal-usul anak tersebut.

4. Gramatikal “atau” adalah pilihan, dan sebenarnya ini ditujukan untuk WNI

yang tinggal di luar negeri untuk melakukan pendaftaran anak mereka melalui

perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.

Usulan dari KPC MELATI

1. Tinjau ketentuan Fotokopi KTP atau paspor kedua orang tuanya. Diubah

menjadi KTP (bagi yang tinggal di dalam negeri) atau paspor ibu WNI (bagi

yang tinggal di luar negeri).

2. Pencocokan dokumen asli dengan fotokopi cukup dilakukan di Kantor

Wilayah Dephukham sebagai pelayanan satu atap.

24

Page 25: Tugas Hukum Perdata

3. Surat Pernyataan Anak Belum Menikah hanya perlu dibuat oleh pemohon

yang berusia 17 tahun ke atas.

Persyaratan yang diperlukan hanya:

* Akte Lahir Anak

* Buku Nikah/Akta Perkawinan/ Akta Cerai

* KTP Ibu WNI / Paspor Ibu WNI

* KK Ibu WNI

* Formulir Surat Permohonan Kewarganegaraan Anak Menjadi WNI

* Surat Pernyataan Anak Belum Menikah Bagi Pemohon yang berusia 17

tahun

Biaya pengurusan pendaftaran WNI dan Lainnya

Keterangan dan kejelasan soal biaya pengurusan pendaftaran anak menjadi

WNI berkaitan dengan kebijakan dari Dept. Keuangan soal Pendapatan Negara

Bukan Pajak (PNBP). KPC MELATI sangat mengharapkan transparansi soal

biaya dari pihak pemerintah.

V. SURAT EDARAN tentang KEIMIGRASIAN

Kondisi peraturan pelaksanaan pada tahap berikutnya berupa Surat Edaran

dari Menteri Hukum dan HAM tentang:

Fasilitas Keimigrasian bagi Anak Subyek Kewarganegaraan Ganda Terbatas

yang lahir sebelum UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI.

Yang intinya soal pengaturan keimigrasian, yaitu:

25

Page 26: Tugas Hukum Perdata

Kepala Kantor Imigrasi atau Kepala Perwakilan Republik Indonesia yang

wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal anak, setelah menerima laporan

tertulis sebagaimana dimaksud pada angka 3 melakukan:

1. Pembatalan/pencabutan izin keimigrasian atas nama anak yang

bersangkutan;

2. Penerbitan Paspor Republik Indonesia atas permohonan anak yang

bersangkutan dan/atau orang tua atau walinya serta mencatatnya dalam buku

register dengan menerakan cap pada Paspor Republik Indonesia di halaman

endorsement/pengesahan yang berbunyi: “Pemegang Paspor ini adalah subyek

Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf l, dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor

12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia” (bentuk dan

ukuran cap sebagaimana tercantum dalam Lampiran I);

3. Pemberian keterangan yang dilekatkan (affidavit) pada paspor kebangsaan

lain bahwa “Yang bersangkutan adalah subyek Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf

h, huruf l, dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang

Kewarganegaraan Republik Indonesia” (bentuk affidavit sebagaimana

tercantum dalam Lampiran II).

Akan tetapi surat edaran ini belum mempunyai Juklak atau Juknisnya di

lapangan sehingga petugas keimigrasian belum siap mengurus sampai penerbitan

paspor WNI bagi anak subjek kewarganegaraan ganda terbatas.

-------------------------------

26

Page 27: Tugas Hukum Perdata

PROGRAM KERJA KPC MELATI 2007

Sejalan dengan turunan UU Kewarganegaraan No. 12 Tahun 2006, KPC

MELATI akan melakukan kegiatan kemitraan dengan DPR dan Dephukham serta

Instansi Pemerintah yang terkait dalam mengusung Rancangan Undang-Undang

Keimigrasian yang akan dibahas di DPR mulai bulan Januari 2007.

Dukungan dari Bapak dan Ibu sangat diharapkan agar RUU Keimigrasian

ini dapat menjadi langkah reformasi hukum pemerintah Indonesia.

Dirangkum oleh : Tim Substansi KPC MELATI

27

Page 28: Tugas Hukum Perdata

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

Anak adalah subjek hukum yang belum cakap melakukan perbuatan

hukum sendiri sehingga harus dibantu oleh orang tua atau walinya yang memiliki

kecakapan. Pengaturan status hukum anak hasil perkawinan campuran dalam UU

Kewarganegaraan yang baru, memberi pencerahan yang positif, terutama dalam

hubungan anak dengan ibunya, karena UU baru ini mengizinkan kewarganegaraan

ganda terbatas untuk anak hasil perkawinan campuran.

SARAN

UU Kewarganegaraan yang baru ini menuai pujian dan juga kritik,

termasuk terkait dengan status anak. Seiring berkembangnya zaman dan sistem

hukum, UU Kewarganegaraan yang baru ini penerapannya semoga dapat terus

dikritisi oleh para ahli hukum perdata internasional, terutama untuk

mengantisipasi potensi masalah.

28