tugas hukum perdata
DESCRIPTION
pengertian hukum perdataTRANSCRIPT
STATUS HUKUM ANAK HASIL PERKAWINAN CAMPURAN
BERDASARKAN HUKUM INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
1. A. Latar belakang
Perkawinan campuran telah merambah seluruh pelosok Tanah Air dan
kelas masyarakat. Globalisasi informasi, ekonomi, pendidikan, dan transportasi
telah menggugurkan stigma bahwa kawin campur adalah perkawinan antara
ekspatriat kaya dan orang Indonesia. Menurut survey yang dilakukan oleh Mixed
Couple Club, jalur perkenalan yang membawa pasangan berbeda
kewarganegaraan menikah antara lain adalah perkenalan melalui internet,
kemudian bekas teman kerja/bisnis, berkenalan saat berlibur, bekas teman
sekolah/kuliah, dan sahabat pena. Perkawinan campur juga terjadi pada tenaga
kerja Indonesia dengan tenaga kerja dari negara lain. Dengan banyak terjadinya
perkawinan campur di Indonesia sudah seharusnya perlindungan hukum dalam
perkawinan campuran ini diakomodir dengan baik dalam perundang-undangan di
indonesia.
Dalam perundang-undangan di Indonesia, perkawinan campuran didefinisikan
dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 57 :
”Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah
perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia.”
Selama hampir setengah abad pengaturan kewarganegaraan dalam
perkawinan campuran antara warga negara indonesia dengan warga negara asing,
mengacu pada UU Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958. Seiring berjalannya
1
waktu UU ini dinilai tidak sanggup lagi mengakomodir kepentingan para pihak
dalam perkawinan campuran, terutama perlindungan untuk istri dan anak.
Barulah pada 11 Juli 2006, DPR mengesahkan Undang-Undang
Kewarganegaraan yang baru. Lahirnya undang-undang ini disambut gembira oleh
sekelompok kaum ibu yang menikah dengan warga negara asing, walaupun pro
dan kontra masih saja timbul, namun secara garis besar Undang-undang baru yang
memperbolehkan dwi kewarganegaraan terbatas ini sudah memberikan
pencerahan baru dalam mengatasi persoalan-persoalan yang lahir dari perkawinan
campuran.
Persoalan yang rentan dan sering timbul dalam perkawinan campuran
adalah masalah kewarganegaraan anak. UU kewarganegaraan yang lama
menganut prinsip kewarganegaraan tunggal, sehingga anak yang lahir dari
perkawinan campuran hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan, yang dalam
UU tersebut ditentukan bahwa yang harus diikuti adalah kewarganegaraan
ayahnya. Pengaturan ini menimbulkan persoalan apabila di kemudian hari
perkawinan orang tua pecah, tentu ibu akan kesulitan mendapat pengasuhan
anaknya yang warga negara asing.
1. B.Perumusan Masalah
1. Bagaimana pengaturan status hukum anak yang lahir dari perkawinan
campuran sebelum dan sesudah lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru?
2. Apakah kewarganegaraan ganda ini akan menimbulkan masalah bagi
anak?
1. C. Identifikasi Masalah
Dengan lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru, sangat menarik untuk
dikaji bagaimana pengaruh lahirnya UU ini terhadap status hukum anak dari
perkawinan campuran, berikut komparasinya terhadap UU Kewarganegaraan
yang lama. Secara garis besar perumusan masalah adalah sebagai berikut :
2
1. Bagaimana pengaturan status hukum anak yang lahir dari perkawinan
campuran sebelum dan sesudah lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru?
2. Apakah kewarganegaraan ganda ini akan menimbulkan masalah bagi
anak?
3
BAB II
2.1 ANAK SEBAGAI SUBJEK HUKUM
Definisi anak dalam pasal 1 angka 1 UU No.23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak adalah :
“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan.”
Dalam hukum perdata, diketahui bahwa manusia memiliki status sebagai
subjek hukum sejak ia dilahirkan. Pasal 2 KUHP memberi pengecualian bahwa
anak yang masih dalam kandungan dapat menjadi subjek hukum apabila ada
kepentingan yang menghendaki dan dilahirkan dalam keadaan hidup. Manusia
sebagai subjek hukum berarti manusia memiliki hak dan kewajiban dalam lalu
lintas hukum. Namun tidak berarti semua manusia cakap bertindak dalam lalu
lintas hukum. Orang-orang yang tidak memiliki kewenangan atau kecakapan
untuk melakukan perbuatan hukum diwakili oleh orang lain. Berdasarkan pasal
1330 KUHP, mereka yang digolongkan tidak cakap adalah mereka yang belum
dewasa, wanita bersuami, dan mereka yang dibawah pengampuan. Dengan
demikian anak dapat dikategorikan sebagai subjek hukum yang tidak cakap
melakukan perbuatan hukum. Seseorang yang tidak cakap karena belum dewasa
diwakili oleh orang tua atau walinya dalam melakukan perbuatan hukum. Anak
yang lahir dari perkawinan campuran memiliki kemungkinan bahwa ayah ibunya
memiliki kewarganegaraan yang berbeda sehingga tunduk pada dua yurisdiksi
hukum yang berbeda. Berdasarkan UU Kewarganegaraan yang lama, anak hanya
mengikuti kewarganegaraan ayahnya, namun berdasarkan UU Kewarganegaraan
yang baru anak akan memiliki dua kewarganegaraan. Menarik untuk dikaji karena
dengan kewarganegaraan ganda tersebut, maka anak akan tunduk pada dua
yurisdiksi hukum.
4
2.2 PENGATURAN MENGENAI ANAK DALAM PERKAWINAN
CAMPURAN
Menurut Teori Hukum Perdata Internasional
Menurut teori hukum perdata internasional, untuk menentukan status anak
dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang
tuanya sebagai persoalan pendahuluan, apakah perkawinan orang tuanya sah
sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau perkawinan
tersebut tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya
memiliki hubungan hukum dengan ibunya.
Sejak dahulu diakui bahwa soal keturunan termasuk status personal.
Negara-negara common law berpegang pada prinsip domisili (ius soli) sedangkan
negara-negara civil law berpegang pada prinsip nasionalitas (ius sanguinis).
Umumnya yang dipakai ialah hukum personal dari sang ayah sebagai kepala
keluarga (pater familias) pada masalah-masalah keturunan secara sah. Hal ini
adalah demi kesatuan hukum dalam keluarga dan demi kepentingan kekeluargaan,
demi stabilitas dan kehormatan dari seorang istri dan hak-hak maritalnya. Sistem
kewarganegaraan dari ayah adalah yang terbanyak dipergunakan di negara-negara
lain, seperti misalnya Jerman, Yunani, Italia, Swiss dan kelompok negara-negara
sosialis.
Dalam sistem hukum Indonesia, Prof.Sudargo Gautama menyatakan
kecondongannya pada sistem hukum dari ayah demi kesatuan hukum dalam
keluarga, bahwa semua anak–anak dalam keluarga itu sepanjang mengenai
kekuasaan tertentu orang tua terhadap anak mereka (ouderlijke macht) tunduk
pada hukum yang sama. Kecondongan ini sesuai dengan prinsip dalam UU
Kewarganegaraan No.62 tahun 1958.
Kecondongan pada sistem hukum ayah demi kesatuan hukum, memiliki
tujuan yang baik yaitu kesatuan dalam keluarga, namun dalam hal
kewarganegaraan ibu berbeda dari ayah, lalu terjadi perpecahan dalam
5
perkawinan tersebut maka akan sulit bagi ibu untuk mengasuh dan membesarkan
anak-anaknya yang berbeda kewarganegaraan, terutama bila anak-anak tersebut
masih dibawah umur.
Menurut UU Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958
Permasalahan dalam perkawinan campuran
Ada dua bentuk perkawinan campuran dan permasalahannya:
a) Pria Warga Negara Asing (WNA) menikah dengan Wanita Warga Negara
Indonesia (WNI)
Berdasarkan pasal 8 UU No.62 tahun 1958, seorang perempuan warga
negara Indonesia yang kawin dengan seorang asing bisa kehilangan
kewarganegaraannya, apabila selama waktu satu tahun ia menyatakan
keterangan untuk itu, kecuali apabila dengan kehilangan kewarganegaraan
tersebut, ia menjadi tanpa kewarganegaraan. Apabila suami WNA bila ingin
memperoleh kewarganegaraan Indonesia maka harus memenuhi persyaratan
yang ditentukan bagi WNA biasa. Karena sulitnya mendapat ijin tinggal di
Indonesia bagi laki laki WNA sementara istri WNI tidak bisa meninggalkan
Indonesia karena satu dan lain hal( faktor bahasa, budaya, keluarga besar,
pekerjaan pendidikan,dll) maka banyak pasangan seperti terpaksa hidup dalam
keterpisahan.
b) Wanita Warga Negara Asing (WNA) yang menikah dengan Pria Warga Negara
Indonesia (WNI)
Indonesia menganut azas kewarganegaraan tunggal sehingga berdasarkan
pasal 7 UU No.62 Tahun 1958 apabila seorang perempuan WNA menikah
dengan pria WNI, ia dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia tapi pada
saat yang sama ia juga harus kehilangan kewarganegaraan asalnya.
Permohonan untuk menjadi WNI pun harus dilakukan maksimal dalam waktu
satu tahun setelah pernikahan, bila masa itu terlewati , maka pemohonan untuk
6
menjadi WNI harus mengikuti persyaratan yang berlaku bagi WNA biasa.
Untuk dapat tinggal di Indonesia perempuan WNA ini mendapat sponsor suami
dan dapat memperoleh izin tinggal yang harus diperpanjang setiap tahun dan
memerlukan biaya serta waktu untuk pengurusannya. Bila suami meninggal
maka ia akan kehilangan sponsor dan otomatis keberadaannya di Indonesia
menjadi tidak jelas Setiap kali melakukan perjalanan keluar negri memerlukan
reentry permit yang permohonannya harus disetujui suami sebagai sponsor.
Bila suami meninggal tanah hak milik yang diwariskan suami harus segera
dialihkan dalam waktu satu tahun. Seorang wanita WNA tidak dapat bekerja
kecuali dengan sponsor perusahaan. Bila dengan sponsor suami hanya dapat
bekerja sebagai tenaga sukarela. Artinya sebagai istri/ibu dari WNI, perempuan
ini kehilangan hak berkontribusi pada pendapatan rumah tangga.
Anak hasil perkawinan campuran
Indonesia menganut asas kewarganegaraan tunggal, dimana
kewarganegaraan anak mengikuti ayah, sesuai pasal 13 ayat (1) UU No.62
Tahun 1958 :
“Anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin yang mempunyai
hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya sebelum ayah itu memperoleh
kewarga-negaraan Republik Indonesia, turut memperoleh kewarga-negaraan
Republik Indonesia setelah ia bertempat tinggal dan berada di Indonesia.
Keterangan tentang bertempat tinggal dan berada di Indonesia itu tidak berlaku
terhadap anak-anak yang karena ayahnya memperoleh kewarga-negaraan
Republik Indonesia menjadi tanpa kewarga-negaraan.”
Dalam ketentuan UU kewarganegaraan ini, anak yang lahir dari
perkawinan campuran bisa menjadi warganegara Indonesia dan bisa menjadi
warganegara asing :
a. Menjadi warganegara Indonesia.
Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita warga
negara asing dengan pria warganegara Indonesia (pasal 1 huruf b UU No.62
Tahun 1958), maka kewarganegaraan anak mengikuti ayahnya, kalaupun Ibu
7
dapat memberikan kewarganegaraannya, si anak terpaksa harus kehilangan
kewarganegaraan Indonesianya. Bila suami meninggal dunia dan anak anak
masih dibawah umur tidak jelas apakah istri dapat menjadi wali bagi anak
anak nya yang menjadi WNI di Indonesia. Bila suami (yang berstatus
pegawai negeri)meningggal tidak jelas apakah istri (WNA) dapat
memperoleh pensiun suami.
b. Menjadi warganegara asing.
Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita
warganegara Indonesia dengan warganegara asing. Anak tersebut sejak
lahirnya dianggap sebagai warga negara asing sehingga harus dibuatkan
Paspor di Kedutaan Besar Ayahnya, dan dibuatkan kartu Izin Tinggal
Sementara (KITAS) yang harus terus diperpanjang dan biaya pengurusannya
tidak murah. Dalam hal terjadi perceraian, akan sulit bagi ibu untuk
mengasuh anaknya, walaupun pada pasal 3 UU No.62 tahun 1958
dimungkinkan bagi seorang ibu WNI yang bercerai untuk memohon
kewarganegaraan Indonesia bagi anaknya yang masih di bawah umur dan
berada dibawah pengasuhannya, namun dalam praktek hal ini sulit dilakukan.
Masih terkait dengan kewarganegaraan anak, dalam UU No.62 Tahun 1958,
hilangnya kewarganegaraan ayah juga mengakibatkan hilangnya
kewarganegaraan anak-anaknya yang memiliki hubungan hukum dengannya
dan belum dewasa (belum berusia 18 tahun atau belum menikah). Hilangnya
kewarganegaraan ibu, juga mengakibatkan kewarganegaraan anak yang
belum dewasa (belum berusia 18 tahun/ belum menikah) menjadi hilang
(apabila anak tersebut tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya).
Menurut UU Kewarganegaraan Baru
1. Pengaturan Mengenai Anak Hasil Perkawinan Campuran
Undang-Undang kewarganegaraan yang baru memuat asas-asas
kewarganegaraan umum atau universal. Adapun asas-asas yang dianut dalam
Undang-Undang ini sebagai berikut:
8
- Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan
kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara
tempat kelahiran.
- Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan
kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang
diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang ini.
- Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu
kewarganegaraan bagi setiap orang.
- Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan
kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam Undang-Undang ini.
Undang-Undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan
ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan
ganda yang diberikan kepada anak dalam Undang-Undang ini merupakan suatu
pengecualian.
Mengenai hilangnya kewarganegaraan anak, maka hilangnya
kewarganegaraan ayah atau ibu (apabila anak tersebut tidak punya hubungan
hukum dengan ayahnya) tidak secara otomatis menyebabkan kewarganegaraan
anak menjadi hilang.
2. Kewarganegaraan Ganda Pada Anak Hasil Perkawinan Campuran
Berdasarkan UU ini anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI
dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita
WNA dengan pria WNI, sama-sama diakui sebagai warga negara Indonesia.
Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda , dan setelah anak berusia 18
tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk
9
memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak
berusia 18 tahun atau setelah kawin.
Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang
positif bagi anak-anak hasil dari perkawinan campuran. Namun perlu ditelaah,
apakah pemberian kewaranegaraan ini akan menimbulkan permasalahan baru di
kemudian hari atau tidak. Memiliki kewarganegaraan ganda berarti tunduk pada
dua yurisdiksi.
Indonesia memiliki sistem hukum perdata internasional peninggalan
Hindia Belanda. Dalam hal status personal indonesia menganut asas konkordasi,
yang antaranya tercantum dalam Pasal 16 A.B. (mengikuti pasal 6 AB Belanda,
yang disalin lagi dari pasal 3 Code Civil Perancis). Berdasarkan pasal 16 AB
tersebut dianut prinsip nasionalitas untuk status personal. Hal ini berati warga
negara indonesia yang berada di luar negeri, sepanjang mengenai hal-hal yang
terkait dengan status personalnya , tetap berada di bawah lingkungan kekuasaan
hukum nasional indonesia, sebaliknya, menurut jurisprudensi, maka orang-orang
asing yang berada dalam wilayah Republik indonesia dipergunakan juga hukum
nasional mereka sepanjang hal tersebut masuk dalam bidang status personal
mereka. Dalam jurisprudensi indonesia yang termasuk status personal antara lain
perceraian, pembatalan perkawinan, perwalian anak-anak, wewenang hukum, dan
kewenangan melakukan perbuatan hukum, soal nama, soal status anak-anak yang
dibawah umur.
Bila dikaji dari segi hukum perdata internasional, kewarganegaraan ganda
juga memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal
yang didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk
pada ketentuan negara nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara yang satu
dengan yang lain tidak bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana
bila ada pertentangan antara hukum negara yang satu dengan yang lain, lalu
pengaturan status personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana.
10
Lalu bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum pada
ketentuan negara yang lain.
Sebagai contoh adalah dalam hal perkawinan, menurut hukum Indonesia,
terdapat syarat materil dan formil yang perlu dipenuhi. Ketika seorang anak yang
belum berusia 18 tahun hendak menikah maka harus memuhi kedua syarat
tersebut. Syarat materil harus mengikuti hukum Indonesia sedangkan syarat formil
mengikuti hukum tempat perkawinan dilangsungkan. Misalkan anak tersebut
hendak menikahi pamannya sendiri (hubungan darah garis lurus ke atas),
berdasarkan syarat materiil hukum Indonesia hal tersebut dilarang (pasal 8 UU
No.1 tahun 1974), namun berdasarkan hukum dari negara pemberi
kewarganegaraan yang lain, hal tersebut diizinkan, lalu ketentuan mana yang
harus diikutinya.
Hal tersebut yang tampaknya perlu dipikirkan dan dikaji oleh para ahli
hukum perdata internasional sehubungan dengan kewarganegaraan ganda ini.
Penulis berpendapat karena undang-undang kewarganegaraan ini masih baru
maka potensi masalah yang bisa timbul dari masalah kewarganegaraan ganda ini
belum menjadi kajian para ahli hukum perdata internasional.
3. Kritisi terhadap UU Kewarganegaraan yang baru
Walaupun banyak menuai pujian, lahirnya UU baru ini juga masih menuai
kritik dari berbagai pihak. Salah satu pujian sekaligus kritik yang terkait dengan
status kewarganegaraan anak perkawinan campuran datang dari KPC Melati
(organisasi para istri warga negara asing).
“Ketua KPC Melati Enggi Holt mengatakan, Undang-Undang
Kewarganegaraan menjamin kewarganegaraan anak hasil perkawinan antar
bangsa. Enggi memuji kerja DPR yang mengakomodasi prinsip dwi
kewarganegaraan, seperti mereka usulkan, dan menilai masuknya prinsip ini ke
UU yang baru merupakan langkah maju. Sebab selama ini, anak hasil perkawinan
campur selalu mengikuti kewarganegaraan bapak mereka. Hanya saja KPC Melati
11
menyayangkan aturan warga negara ganda bagi anak hasil perkawinan campur
hanya terbatas hingga si anak berusia 18 tahun. Padahal KPC Melati berharap
aturan tersebut bisa berlaku sepanjang hayat si anak.
Penulis kurang setuju dengan kritik yang disampaikan oleh KPC Melati
tersebut. Menurut hemat penulis, kewarganegaraan ganda sepanjang hayat akan
menimbulkan kerancuan dalam menentukan hukum yang mengatur status
personal seseorang. Karena begitu seseorang mencapat taraf dewasa, ia akan
banyak melakukan perbuatan hukum, dimana dalam setiap perbuatan hukum
tersebut, untuk hal-hal yang terkait dengan status personalnya akan diatur dengan
hukum nasionalnya, maka akan membingungkan bila hukum nasional nya ada
dua, apalagi bila hukum yang satu bertentangan dengan hukum yang lain. Sebagai
contoh dapat dianalogikan sebagai berikut :
“Joko, pemegang kewarganegaraan ganda, Indonesia dan Belanda, ia
hendak melakukan pernikahan sesama jenis. Menurut hukum Indonesia hal
tersebut dilarang dan melanggar ketertiban hukum, sedangkan menurut hukum
Belanda hal tersebut diperbolehkan. Maka akan timbul kerancuan hukum mana
yang harus diikutinya dalam hal pemenuhan syarat materiil perkawinan
khususnya.”
Terkait dengan persoalan status anak, penulis cenderung mengkritisi pasal
6 UU Kewarganegaraan yang baru, dimana anak diizinkan memilih
kewarganegaraan setelah berusia 18 tahun atau sudah menikah. Bagaimana bila
anak tersebut perlu sekali melakukan pemilihan kewarganegaraan sebelum
menikah, karena sangat terkait dengan penentuan hukum untuk status
personalnya, karena pengaturan perkawinan menurut ketentuan negara yang satu
ternyata bertentangan dengan ketentuan negara yang lain. Seharusnya bila
memang pernikahan itu membutuhkan suatu penentuan status personal yang jelas,
maka anak diperbolehkan untuk memilih kewarganegaraannya sebelum
pernikahan itu dilangsungkan. Hal ini penting untuk mengindari penyelundupan
12
hukum, dan menghindari terjadinya pelanggaran ketertiban umum yang berlaku di
suatu negara.
13
BAB III
CONTOH KASUS PERKAWINAN CAMPURAN DALAM HUKUM
ACARA PERDATA
“Pencatatan Kelahiran Anak Hasil Perkawinan Campuran Pasca
Berlakunya UU No. 12/2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia”
T o p i k:
“Dampak dan pengaruh pemberlakuan ketentuan UU No. 12 Tahun 2006
terhadap anak hasil perkawinan campuran terhadap masyarakat”
Makalah ini disampaikan pada acara Seminar yang diselenggarakan oleh
Lembaga Kajian Hukum Perdata (LKHP) Fakultas Hukum Universitas
Indonesia pada tanggal 21 Desember 2006
RISET DAN USULAN DARI KPC MELATI DARI PENGALAMAN TIM
RISET KPC MELATI DI LAPANGAN INSTANSI PEMERINTAH
TERKAIT
Menyoalkan:
Tatacara Pelaksanaan
PERATURAN MENTERI No. M.01-HL.03.01 Tahun 2006
berkaitan dengan PASAL 41 UU No. 12 Tahun 2006
tentang KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA
I. PERJUANGAN KPC MELATI
Kami, Keluarga Perkawinan Campuran Melalui Tangan Ibu (KPC MELATI),
adalah perkumpulan yang mewadahi kepentingan perempuan Warga Negara
14
Indonesia (WNI) yang menikah dengan pria Warga Negara Asing (WNA) dalam
sebuah perkawinan campuran yang sah menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
* Visi KPC Melati adalah untuk meningkatkan kesejahteraan, keutuhan dan
perlindungan hukum bagi keluarga perkawinan campuran, terutama bagi
perempuan Indonesia serta anak yang dilahirkan dalam perkawinan campuran.
*Misi KPC Melati bertujuan untuk membantu pelaksanaan penghapusan segala
bentuk perlakuan diskriminasi baik dalam bidang hukum maupun dalam
masyarakat sebagai akibat dari Undang-Undang yang berlaku serta stigma sosial
yang saat ini masih melekat pada perkawinan campuran.
Program Kerja KPC MELATI Tahun 2006 – 2007 meliputi:
* Mensosialisasikan Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan
Pelaksana yang berlaku dan berkaitan langsung dengan Keluarga Perkawinan
Campuran kepada masyarakat umum dengan cara talkshow, roadshow, diskusi
ilmiah, dialog interaktif, dll.
* Melibatkan diri secara aktif dan secara konsisten memberikan usulan dan
masukan bagi perubahan Undang-undang yang berkaitan langsung dengan UU
Kewarganegaraan, UU Administrasi dan Kependudukan, RUU
Keimigrasian, RUU Pokok Agraria, RUU Perkawinan yang bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan dan keluarga perkawinan campuran khususnya hak-
hak perempuan warga Negara Indonesia yang menikah dengan pria asing.
* Mengumpulkan data yang berkaitan dengan visi dan misi perkumpulan dan
mengadakan serta mengupayakan advokasi dan sosialisasi perubahan UU.
* Bekerjasama dengan Instansi Pemerintah yang terkait dalam membangun
sarana dan prasarana pelayanan terpadu satu atap bagi kepentingan keluarga
perkawinan campuran, khususnya perempuan WNI dalam perkawinan campuran.
15
II. LANDASAN HUKUM
Disahkannya Undang-undang No. 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia (UU Kewarganegaraan) pada tanggal 1
Agustus 2006 oleh Bapak Presiden Republik Indonesia, memberikan semangat
dan harapan baru bahwa Negara benar-benar menjamin dan melindungi
kepentingan dan hak dasar bagi perempuan WNI yang menikah dengan pria WNA
untuk bersama menurunkan kewarganegaraan kepada keturunan mereka.
Prinsip yang termasuk dalam UU Kewarganegaraan tersebut sangat jelas yaitu:
1. Prinsip persamaan di dalam hukum dan pemerintahan;
2. Prinsip perlindungan terbaik bagi kepentingan anak;
3. Prinsip kewarganegaraan ganda terbatas;
4. Prinsip perlindungan maksimum;
5. Prinsip non diskriminatif.
Dalam Pasal 4 dan Pasal 5 dari UU Kewarganegaraan, titik taut agar
anak memperoleh Kewarganegaraan Indonesia adalah bila salah satu dari kedua
orang tuanya adalah WNI, dan dengan prinsip perlindungan terbaik bagi
kepentingan terbaik anak maka dalam Bab VII Ketentuan Peralihan Pasal 41
dari UU Kewarganegaraan anak-anak yang telah dilahirkan sebelum UU
Kewarganegaraan disahkan dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia
melalui pendaftaran.
UU Kewarganegaraan No. 12 Tahun 2006 BAB VII Ketentuan
Peralihan Pasal 41:
Anak yang lahir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d,
huruf h, huruf I dan anak yang diakui atau diangkat secara sah sebagaimana
16
dimaksud dalam Pasal 5 sebelum Undang-Undang ini diundangkan dan belum
berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin memperoleh Kewarganegaraan
Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang ini dengan mendaftarkan diri
kepada Menteri melalui Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia paling
lambat 4 (empat) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan.
Ketentuan dari Bab VII Ketentuan Peralihan Pasal 41 dari UU
Kewarganegaraan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri No. M.01-
HL.03.01 Tahun 2006 (Permen). Persyaratan terhadap permohonan tersebut
diatur dalam Pasal 4 Permen.
Namun dalam kenyataannya dalam Pasal 4 ayat 2 terdapat perbedaan
interpretasi yang sangat mendasar yang dapat mengakibatkan tidak dapat
dinikmatinya hak perempuan WNI dalam menurunkan
kewarganegaraannya kepada keturunannya, yang telah sekian puluh tahun
diabaikan dan dirugikan oleh negara. Hal ini menurut KPC MELATI merupakan
bentuk kemunduran dengan tetap dipeluknya paradigma lama.
Permen No. M.01-HL.03.01 Tahun 2006 Pasal 4 Ayat 2:
Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilampiri dengan:
1. Fotokopi kutipan akte kelahiran anak yang disahkan oleh pejabat yang
berwenang atau Perwakilan Republik Indonesia;
2. Surat pernyataan dari orang tua atau wali bahwa anak belum kawin;
3. Fotokopi kartu tanda penduduk atau paspor orang tua yang masih berlaku yang
disahkan oleh pejabat yang berwenang atau Perwakilan Republik Indonesia; dan
4. Pas foto anak terbaru berwarna ukuran 4x6 sebanyak 6 (enam) lembar.
17
Seharusnya persyaratan dalam Pasal 4 dari Permen ditujukan bagi orang
tua yang berwarganegara Indonesia saja, hal ini sesuai dengan alur jiwa dari
UU Kewarganegaraan Indonesia berdasarkan Pasal 4 dan Pasal 5 yakni seorang
memperoleh kewarganegaraan Indonesia karena salah satu orang tuanya
adalah WNI.
III. INDEX MASALAH DI LAPANGAN
Penelitian dan hasil temuan KPC MELATI setelah Peraturan Menteri
terbit pada tanggal 26 September 2006.
Pendaftaran kewarganegaraan langsung ke Kantor Wilayah.
Tim Riset KPC MELATI langsung terjun lapangan yaitu ke Kantor
Wilayah Dephukham DKI Jakarta sebagai pintu gerbang pertama yang menangani
proses permohonan pendaftaran anak menjadi WNI.
Tim Riset secara proaktif dan berkala melakukan pengawalan terhadap
aplikasi tata cara memperoleh kewarganegaraan Indonesia yang diatur oleh
Permen yang sekarang berjalan bagi pelaku perkawinan campuran terutama oleh
ibu-ibu WNI yang ingin segera mendaftarkan anaknya menjadi WNI.
Masalah-Masalah masih ada saja kendala dalam praktek lapangan
Teori dan praktek beda di lapangan
Index Permasalahan dari Permen ini terbagi dalam kategori:
1. Dokumen Keluarga Perkawinan Campuran
Dilemma: Kurangnya pengetahuan hukum ibu WNI alias buta hukum. Ini
juga karena kurangnya sosialisasi dari bagian penerangan pemerintah kepada
masyarakat dan kadang kesimpang-siuran informasi yang diberikan oleh pejabat.
18
Akibatnya membingungkan dan meresahkan masyarakat yang membutuhkan
kejelasan dan kepastian hukum yang berlaku.
2. Dokumen Anak WNA
Inti permasalahan yang dilakukan oleh ibu-ibu WNI terhadap anaknya
yang mestinya berstatuskan WNA pada versi UU Kewarganegaraan No. 62 th.
1958 yang masih diskriminasi gender terhadap Akte Lahir Anak Ius Sanguinis
Patriarki. Dampak psikologisnya, bahwa ibu WNI tidak dapat memberikan
jaminan perlindungan status hukum dari pemerintah kepada anaknya karena
mereka adalah WNA. Dampak ekonomi rumah tangganya, bahwa belum tentu
kemampuan finansial ibu WNI ini mapan untuk membiayai pengurusan dokumen
asing dan soal perizinan tinggal bagi penduduk asing.
Dampak UU Kewarganegaraan versi lama yang terkait dengan UU
Perkawinan dan UU Keimigrasian membuat sebagian ibu-ibu WNI melakukan
penyimpangan hukum dengan mendaftarkan anaknya sebagai “Anak Diluar
Nikah” dalam Akte Lahir sehingga anaknya otomatis menjadi WNI, tetapi
terpisahkan statusnya dari ayah WNA. Padahal kedua orang tua ini menikah
secara resmi di Catatan Sipil/KUA/Menikah di Luar Negeri.
Ibu WNI belum tentu pernah mengurus-memiliki paspor asing untuk Anak
yang dilahirkan oleh pasangan perkawinan campuran, karena mungkin tidak
pernah mengurus ke Kedutaan atau adanya peraturan Negara tersebut yang
mensyaratkan kedua orang tuanya harus hadir bersama dengan membawa anaknya
yang baru lahir untuk pembuatan paspor. Kendala hukumnya adalah ibu WNI
tidak berhak secara sepihak melakukan pembuatan paspor untuk bayinya. Atau
ketentuan perpanjangan paspor yang memerlukan tanda tangan ayah WNA.
Keretakan atau ketidakharmonisan rumah tangga suami istri. Pada
kenyataannya, seringkali suami WNA membawa pergi dokumen anak-anak (Akte
Lahir, Paspor Asing) terutama bila dokumen tersebut dikeluarkan oleh Perwakilan
Negara Asing. Untuk meminta dokumen yang baru belum tentu bisa dilakukan
19
secara sepihak oleh ibu WNI saja, sementara anak tersebut masih tinggal bersama
ibu WNI di Indonesia.
Tidak banyak ibu WNI yang memilih untuk mengurus KITAS (Kartu Izin
Tinggal Terbatas) sendiri untuk anaknya yang WNA, sebagian karena
ketidakpahaman dan sebagian karena ketidaktransparanan akan peraturan imigrasi
yang menyebabkan perbedaan interpretasi di lapangan dan di berbagai daerah di
Indonesia. Dalam kasus dimana satu keluarga perkawinan campuran mempunyai
lebih dari 3 anak ditambah dengan kontrak kerja suami WNA yang sudah
berakhir, suami yang mendadak tidak mampu bekerja karena alas an kesehatan
atau pekerjaan suami WNA belum tentu memberikan tunjangan izin tinggal untuk
anak-anak WNAnya, keadaan ini menjadi beban tambahan ekonomi rumah tangga
perkawinan campuran, belum lagi kalau ternyata suami WNA tiba-tiba
menghilang entah kemana? Sementara anak harus tetap menjadi tanggungan ibu
WNI.
Dalam kasus dimana KITAS anak sudah hampir habis masa berlakunya,
tetapi SK Menteri Hukum dan HAM untuk Kewarganegaraan Anak WNI belum
terbit. Anak harus menunggu di Indonesia sampai semua dokumen
keimigrasiannya siap dan lengkap. Sedangkan ada kemungkinan ketentuan
mendadak harus meninggalkan Indonesia karena urusan keluarga yang sangat
mendesak dan mengharuskan kehadiran si anak di Negara asing.
3. Dokumen Suami WNA (Paspor Asing)
Kebanyakan para istri WNI mengalami kendala untuk membawa buku
paspor asing suami WNA, sebagai salah satu persyaratan yang diminta oleh
Permen untuk Pendaftaran Anak WNI, karena factor-faktor:
Dalam perkawinan yang bermasalah, khususnya pada perkawinan beda
bangsa yang jelas beda budaya, bahasa, agama, dan hukum, persyaratan ini
menimbulkan permasalahan tambahan yang pelik sehingga menjadi kendala
dalam memenuhi persyaratan ini. Tentunya pada awal perkawinan setiap orang
20
mengharapkan rumah tangganya berjalan mulus, tapi belum tentu impian menjadi
kenyataan hidup. Misalnya: Terjadi KDRT tapi masih mempertahankan
perkawinannya demi status perlindungan anak yang masih dinyatakan sebagai
WNA/penduduk asing di Indonesia.
Hubungan suami istri yang long distance, beda domisili dikarenakan tugas
suami WNA dipindahkan ke Negara yang berbeda-beda sehingga paspor asing
suami harus tetap melekat selama bepergian.
Belum tentu mendapat “Green Light” dari suami WNA untuk
mendaftarkan anak menjadi WNI, walaupun dengan kondisi perkawinan yang
masih baik-baik saja. Peran suami WNA selain sebagai Kepala Keluarga juga
berpeluang untuk mendominasi terhadap payung hukum yang berlaku. Ini berarti
perempuan WNI tidak mempunyai kapasitas sepenuhnya untuk melakukan
keputusan hukum bagi kepentingan dan kebaikan anaknya.
4. Persyaratan Surat Pernyataan Anak Belum Menikah
Permen meminta surat ini dibuat dan ditandatangani di atas meterai.
Apakah hal ini lazim diberlakukan kepada anak yang masih dibawah umur,
misalnya anak masih umur 3 tahun harus menyatakan belum menikah? Dalam UU
Perkawinan yang membolehkan anak menikah umur 17 tahun. Oleh karenanya
usulan KPC MELATI sebaiknya diberlakukan hanya bagi anak yang umur jatuh
tempo 17 tahun pada saat mendaftarkan menjadi WNI.
5. Legalisasi KTP dan KK di Indonesia
Bahwa peraturan dalam Kartu Keluarga hanya bisa mencantumkan
individu yang berstatuskan WNI atau orang asing yang telah mempunyai KTP
bagi Penduduk Asing. Akibatnya alamat KTP dan KK belum tentu sama dengan
alamat tinggal keluarga perkawinan campuran ini. Ditambah lagi bahwa UU
Pokok Agraria menyatakan bahwa WNA tidak dapat memiliki properti dengan
Status Hak Milik (SHM).
21
Intinya, ketidakpraktisan dan dapat memakan waktu lama bila istri WNI harus
mondar-mandir ke Kantor Kelurahan di tempat yang belum tentu dekat dengan
rumah tinggalnya, atau dalam kota yang sama, atau dalam wilayah propinsi yang
sama.
6. Legalisasi Dokumen Yang Diterbitkan oleh Negara Lain / Kantor
Perwakilan Asing
Dalam hal ini Akte Nikah dan Akte Lahir Anak.
Tidak semua Kantor Perwakilan Negara Asing di Indonesia mengenal
sistem legalisasi dokumen sesuai dengan aslinya. Seperti cara yang lazim
dilakukan di Kantor Pemerintah Indonesia adalah pencocokan dokumen asli
dengan hasil fotokopinya dan diperlihatkan kepada pejabat yang berwenang dari
Kantor yang mengeluarkan surat tersebut untuk menerakan cap dan tanda tangan
sesuai dengan aslinya.
Contohnya negara-negara:
* Hong Kong: tidak ada legalisasi bagi dokumen asli.
* Amerika: Tidak ada model True Copy, yang ada penerbitan salinan asli. Untuk
memperoleh salinan asli tersebut harus pergi sendiri ke Kantor “Birth and Death
Statistic Office” dimana setiap Negara bagian di Amerika mempunyai ketentuan
yang berbeda-beda. Untuk memperoleh salinan asli ini tidak bisa diwakilkan oleh
Kantor Perwakilan Amerika di Indonesia. Misalnya, anak pertama lahir di Negara
Bagian New York, harus ke New York. Anak kedua lahir di Negara bagian
California, harus ke California.
* Belgia: Tidak bisa melegalisasi surat di Kantor Perwakilan Belgia di Negara
lain. Legalisasi surat harus dilakukan di Negara Belgia dimana dokumen tersebut
dikeluarkan.
22
Anak-anak dalam satu keluarga perkawinan campuran bisa saja dilahirkan
di Negara yang berbeda-beda dikarenakan pekerjaan orangtuanya yang
mengharuskan perpindahan domisili. Negara-negara tempat anak-anak tersebut
dilahirkan mungkin memberlakukan azas ius soli atau ius sanguinis, sehingga
menimbulkan kerumitan dalam pengurusan legalisasi dokumen yang diperlukan.
Intinya, tidak semua urusan legalisasi dokumen bisa ditangani oleh Kantor
Perwakilan Asing di Indonesia. Karena harus dikembalikan kepada Negara
masing-masing yang berwenang melakukan legalisasi dokumen sebagai True
Copy/Salinan Asli/Kutipan. Kemudian tidak semua pasangan perkawinan
campuran berdomisili di negara dimana mereka pernah menikah atau di tempat
setiap kelahiran anak-anaknya.
IV. USULAN KPC MELATI
Motto: Hargailah harkat dan martabat perempuan Indonesia
Kendala pada Permen Pasal 4 ayat 2 huruf c, adalah:
“fotokopi kartu tanda penduduk atau paspor orang tua anak yang masih
berlaku yang disahkan oleh pejabat yang berwenang atau Perwakilan Republik
Indonesia”
Di lapangan hal ini dikondisikan menjadi:
1. Paspor orang tua adalah termasuk pula sebagai paspor ayah anak yang WNA;
2. Alasannya adalah agar mengetahui bahwa anak tersebut benar lahir dari
perkawinan campuran;
3. Berkembang pula wacana membuat surat pernyataan dari istri bila tidak dapat
memperoleh paspor suami. Hal ini secara hukum sangat rentan, karena selain
perempuan WNI tidak diakui sebagai subjek hukum yang penuh untuk melalukan
tindakan di muka hukum, merupakan pernyataan sepihak.
23
Di Akte Lahir Anak sudah dinyatakan nama resmi kedua orang tuanya
serta menyatakan kewarganegaraan yang menganut asas ius sanguinis atau asas
ius soli. Di Akte Nikah sudah dinyatakan kedua orang tuanya menikah secara sah
dan diakui secara universal. Ketika orang tua hendak menikah pada awalnya telah
mempersyaratkan keterangan identitas pribadi untuk pendaftaran ke Catatan Sipil
baik menikah di Indonesia atau menikah di luar negeri.
Sementara sebagai petunjuk pelaksana tidak seharusnya Permen tersebut
diinterpretasikan sedemikian jauh karena pada akhirnya tidak dapat menjalankan
prinsip-prinsip yang diamanatkan dalam UU Kewarganegraan sebab:
1. Anak yang termasuk dalam Pasal Bab VII Peraturan Peralihan Pasal 41 UU
Kewarganegaraan adalah anak-anak yang berasal dari perkawinan campuran;
2. Bagaimana mengetahuinya? Dapat dilihat dari UU Perkawinan No. 1 Tahun
1974 Pasal 59 Juncto UU Kewarganegaraan No. 62 Tahun 1958, dimana mereka
yang dilahirkan dari sebuah perkawinan campuran yang sah otomatis mengikuti
kewarganegaraan ayahnya;
3. Bagaimana membuktikannya? Dapat dilihat dari akta kelahiran anak yang jelas-
jelas menyebutkan asal-usul anak tersebut.
4. Gramatikal “atau” adalah pilihan, dan sebenarnya ini ditujukan untuk WNI
yang tinggal di luar negeri untuk melakukan pendaftaran anak mereka melalui
perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.
Usulan dari KPC MELATI
1. Tinjau ketentuan Fotokopi KTP atau paspor kedua orang tuanya. Diubah
menjadi KTP (bagi yang tinggal di dalam negeri) atau paspor ibu WNI (bagi
yang tinggal di luar negeri).
2. Pencocokan dokumen asli dengan fotokopi cukup dilakukan di Kantor
Wilayah Dephukham sebagai pelayanan satu atap.
24
3. Surat Pernyataan Anak Belum Menikah hanya perlu dibuat oleh pemohon
yang berusia 17 tahun ke atas.
Persyaratan yang diperlukan hanya:
* Akte Lahir Anak
* Buku Nikah/Akta Perkawinan/ Akta Cerai
* KTP Ibu WNI / Paspor Ibu WNI
* KK Ibu WNI
* Formulir Surat Permohonan Kewarganegaraan Anak Menjadi WNI
* Surat Pernyataan Anak Belum Menikah Bagi Pemohon yang berusia 17
tahun
Biaya pengurusan pendaftaran WNI dan Lainnya
Keterangan dan kejelasan soal biaya pengurusan pendaftaran anak menjadi
WNI berkaitan dengan kebijakan dari Dept. Keuangan soal Pendapatan Negara
Bukan Pajak (PNBP). KPC MELATI sangat mengharapkan transparansi soal
biaya dari pihak pemerintah.
V. SURAT EDARAN tentang KEIMIGRASIAN
Kondisi peraturan pelaksanaan pada tahap berikutnya berupa Surat Edaran
dari Menteri Hukum dan HAM tentang:
Fasilitas Keimigrasian bagi Anak Subyek Kewarganegaraan Ganda Terbatas
yang lahir sebelum UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI.
Yang intinya soal pengaturan keimigrasian, yaitu:
25
Kepala Kantor Imigrasi atau Kepala Perwakilan Republik Indonesia yang
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal anak, setelah menerima laporan
tertulis sebagaimana dimaksud pada angka 3 melakukan:
1. Pembatalan/pencabutan izin keimigrasian atas nama anak yang
bersangkutan;
2. Penerbitan Paspor Republik Indonesia atas permohonan anak yang
bersangkutan dan/atau orang tua atau walinya serta mencatatnya dalam buku
register dengan menerakan cap pada Paspor Republik Indonesia di halaman
endorsement/pengesahan yang berbunyi: “Pemegang Paspor ini adalah subyek
Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf l, dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia” (bentuk dan
ukuran cap sebagaimana tercantum dalam Lampiran I);
3. Pemberian keterangan yang dilekatkan (affidavit) pada paspor kebangsaan
lain bahwa “Yang bersangkutan adalah subyek Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf
h, huruf l, dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia” (bentuk affidavit sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II).
Akan tetapi surat edaran ini belum mempunyai Juklak atau Juknisnya di
lapangan sehingga petugas keimigrasian belum siap mengurus sampai penerbitan
paspor WNI bagi anak subjek kewarganegaraan ganda terbatas.
-------------------------------
26
PROGRAM KERJA KPC MELATI 2007
Sejalan dengan turunan UU Kewarganegaraan No. 12 Tahun 2006, KPC
MELATI akan melakukan kegiatan kemitraan dengan DPR dan Dephukham serta
Instansi Pemerintah yang terkait dalam mengusung Rancangan Undang-Undang
Keimigrasian yang akan dibahas di DPR mulai bulan Januari 2007.
Dukungan dari Bapak dan Ibu sangat diharapkan agar RUU Keimigrasian
ini dapat menjadi langkah reformasi hukum pemerintah Indonesia.
Dirangkum oleh : Tim Substansi KPC MELATI
27
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Anak adalah subjek hukum yang belum cakap melakukan perbuatan
hukum sendiri sehingga harus dibantu oleh orang tua atau walinya yang memiliki
kecakapan. Pengaturan status hukum anak hasil perkawinan campuran dalam UU
Kewarganegaraan yang baru, memberi pencerahan yang positif, terutama dalam
hubungan anak dengan ibunya, karena UU baru ini mengizinkan kewarganegaraan
ganda terbatas untuk anak hasil perkawinan campuran.
SARAN
UU Kewarganegaraan yang baru ini menuai pujian dan juga kritik,
termasuk terkait dengan status anak. Seiring berkembangnya zaman dan sistem
hukum, UU Kewarganegaraan yang baru ini penerapannya semoga dapat terus
dikritisi oleh para ahli hukum perdata internasional, terutama untuk
mengantisipasi potensi masalah.
28
DAFTAR PUSTAKA
Buku undang-undang kewarganegaraan
http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum-islam/status-hukum-
anak-hasil-perkawinan-campuran/
http://www.kpcmelaticenter.com/id/rangkuman-dialog-interaktif-dan-seminar/
pencatatan-kelahiran-anak-hasil-perkawinan-campuran-pasca-berlakunya-uu-no-
122006-tentang-kewarganegaraan-indonesia.html
29