tugas penafsiran hukum

18
“ PENAFSIRAN HUKUM” Penafsiran Sistematis Pasal 51 ayat (1) dan Pasal 55 KUHP Terhadap Putusan Bebas Akbar Tandjung di MA Diajukan sebagai salah satu syarat tugas mata kuliah Hukum Penafsiran Disusun Oleh : Rheina Ardya Putra A10.040.530 Ugi Julian A10.040.523

Upload: rheina-ardya-putra

Post on 22-Oct-2015

41 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tugas Penafsiran Hukum

“ PENAFSIRAN HUKUM”

Penafsiran Sistematis Pasal 51 ayat (1) dan Pasal 55 KUHP Terhadap Putusan Bebas Akbar Tandjung di MA

Diajukan sebagai salah satu syarat tugas mata kuliah Hukum Penafsiran

Disusun Oleh :

Rheina Ardya Putra A10.040.530Ugi Julian A10.040.523

FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG2008

Page 2: Tugas Penafsiran Hukum

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkara tindak pidana korupsi dengan Terdakwa Akbar Tandjung

Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang, merupakan satu dari sekian

banyak perkara tindak pidana korupsi yang sangat kontroversial dan oleh

sementara kalangan masyarakat dipandang sarat dengan permainan

berkedok program Jaringan Pengamanan Sosial (JPS).

Kasus ini bermula pada tanggal 15 Februari 1999, ketika krisis sembako

melanda Indonesia. Hal ini kemudian membuat pemerintah meluncurkan

program JPS, yang aktivitasnya ialah membagikan Sembako. Kurang dari

waktu lima hari setelah diputuskan akan ada penyaluran program dengan

dana sebesar Rp. 40 miliar, Yayasan Raudatul Jannah kemudianh

mengajukan permohonan untuk menyalurkan sembako dengan disposisi

dari Menko Kesra dan Taskin Haryono Suyono. Dan Menko Taskinlah

yang mendisposisikannya pada Akbar. Tanggal 18 Februari 1999 Dadang

dan Winfried melakukan pemaparan terhadap rencana penyebaran

sembako itu dihadapan Akbar di Sekretariat Negara, Akbar langsung

menyetujui dan menunjuk Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang

sebagai rekanan untuk melaksanakan pembelian dan pembagian

sembako kepada masyarakat miskin. Selanjutnya pada tanggal 20 April

1999, Akbar telah menerima cek-cek yang seluruhnya senilai Rp. 40 miliar

dan pada hari itu juga diserahkan olehnya kepada Dadang. Kemudian

cek-cek tersebut dicairkan. Dari beberapa cek tertanggal 20 April 1999

yang dicairkan pada 21 April 1999 terdapat fotokopi KTP orang yang

Page 3: Tugas Penafsiran Hukum

mencairkan yaitu Suyanto dan Imam Kuncoro. Suyanto yang tiga kali

mencairkan cek masing-masing senilai Rp. 2 miliar beralamat di Mampang

Jakarta Selatan sementara Imam Kuncoro yang tiga kali menarik cek

senilai masing-masing Rp 3 miliar beralamat di Bekasi. Ternyata dalam

persidangan kasus Akbar Tandjung di Pengadilan Negeri, terungkap

bahwa nama-nama yang ada dalam fotocopy KTP adalah fiktif dan KTP

yang bersangkutan adalah palsu. Berarti terdapat proses yang begitu

cepat dan agak mudah di dalam menyetujui dan menyalurkan dana sejak

pertemuan terbatas tanggal 10 Februari 1999 hingga 20 April 1999.

Begitupun dengan pemilihan rekanan yang akan menyalurkan sembako

dan juga Akbar tidak pernah memberikan tanda terima uang sebesar 40

miliar yang diberikan di dalam beberapa termin dan beberapa cek.

Padahal dialah yang mendapatkan perintah dari Habibie untuk melakukan

kebijakan itu bukan dalam kapasitas pribadi, secara hukum mempunyai

kewajiban mengadminstratifkan transaksi tersebut.1

Pada proses peradilannya, Akbar Tandjung diputus bebas pada tingkat

kasasi dengan alasan pembenar, yakni karena perintah jabatan Pasal 51

ayat (1) KUHP. Namun terdapat beragam kontroversi mengenai putusan

ini. Oleh karenanya kelompok kami mengangkat kasus ini untuk dikaji

lebih lanjut.

B. Identifikasi Masalah

Dari paparan Latar Belakang diatas terdapat dua permasalahan

penting yang akan menjadi pokok bahasan kami, yaitu :

1. Unsur-unsur apakah yang terdapat dalam Pasal 51 ayat (1) ?;

1 www.maPPI.or.id, hasil eksaminasi publik oleh maPPI terhdap perkara tindak pidana korupsi oleh Akbar Tanjung

Page 4: Tugas Penafsiran Hukum

2. Tepatkah putusan Mahkamah Agung yang memutus Akbar

Tandjung bebas ?.

BAB II

Page 5: Tugas Penafsiran Hukum

TINJAUAN PUSTAKA

Alasan-alasan Penghapus Pidana

Alasan-alasan peniadaan pidana dapat didefinisikan sebagai hapusnya

pertanggung jawaban pelaku tindak pidana dikarenakan

Undang-undang/peraturan perundang-undangan lainnya. Mengenai alasan

penghapusan pidana ini dapat dilihat dari beberapa segi,sebagai berikut :

1. Dari segi subjek, alasan eksternal dan internal. Alasan eksternal

adalah alasan-alasan yang mendorong seseorang untuk melakukan

tindak pidana semisal overmacht Pasal 48 KUHP. Alasan-alasan

internal adalah alasan-alasan yang mana seseorang melakukan tindak

pidana dikarenakan kondisi mentalnya tidak mampu membedakan

mana yang benar dan mana yang salah seperti dalam Pasal 44 ayat

(1) ;

2. Alasan penghapus pidana umum dan khusus, alasan penghapus

umum yaitu alasan penghapus pidana yang berlaku umum untuk

setiap tindak pidana dan disebut dalam Pasal 44, 48-51 KUHP, alasan

penghapus pidana khusus yaitu alasan penghapus pidana yang

berlaku hanya untuk tindak pidana tertentu saja, misalnya Pasal

122,211 ayat (2), 310 dan 367 ayat (1) KUHP.

3. Alasan pemaaf dan pembenar, alasan pemaaf adalah alasan yang

menghapuskan kesalahan pelaku tindak pidana berkaitan dengan

culpabilitas di common law system berkaitan dengan mens rea,

sedangkan alasan pembenar adalah alasan yang menghapuskan sifat

melawan hukumnya perbuatan berkaitan dengan tindak pidana.

Page 6: Tugas Penafsiran Hukum

Berdasarkan alasan-alasan tersebut, setidaknya terdapat beberapa Pasal

yang menghapus pidana. Adapun pasal-pasal tersebut yang

dikategorisasikan berdasakan alasan pemaaf dan alasan pembenar dan

alasan hapusnya penuntutan. Adalah sebagai berikut :

1. Alasan Pembenar :

a. keadaan darurat (Noodtoestand), Keadaan darurat menurut

sebagian pakar hukum pidana merupakan alasan pembenar

dan menurut sebagaian lagi merupakan alasan pemaaf

keadaan darurat merupakan bagian dari daya paksa relatif

Pasal 48 KUHP. Dalam keadaan darurat pelaku melakukan

suatu tindak pidana karena terdorong oleh suatu paksaan

dari luar

Bentuk keadaan darurat :

Perbenturan antara dua kepentingan hukum

Perbenturan antara kepentingan hukum dan

kewajiban

Perbenturan antara kewajiban hukum dengan

kewajiban

b. Pembelaan terpaksa, Pasal 49 ayat 1 KUHP dalam

pembelaan terpaksa ada dua hal pokok :

Ada serangan

Ada pembelaan yang perlu dilakukan terhadap

serangan itu

c. Melaksanakan Ketentuan UU, Pasal 50 KUHP

Page 7: Tugas Penafsiran Hukum

d. Menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa

yang berwenang, Pasal 51 ayat (1) KUHP

2. Alasan Pemaaf :

a. Tidak mampu bertanggung jawab, Pasal 44 KUHP

Tidak mampu bertanggung jawab adalah :

Dalam hal Ia tidak ada kebebasan untuk memilih

antara berbuat dan tidak berbuat mengenai apa yang

dilarah atau diperintahkan oleh UU

Dalam hal Ia ada dalam suatu keadaan yang

sedemikian rupa sehingga tidak dapat menginsayafi

bahwa perbuatannya beretentangan dengan hukum

dan tidak dapat meentukan akibat dari perbuatannya

3. Alasan hapusnya penututan :

a. Ne bis in idem, tidak boleh dituntut dua kali dengan

kasus yang terhadap dirinya telah dijatuhi putusan yang

berkekuatan hukum tetap, Pasal 76 ayat (1) KUHP

b. Kewenangan menuntut pidana hapus jika terdakwa

meninggal dunia, Pasal 77 KUHP

c. Kewenangan menuntut pidana hapu karena daluwarsa,

Pasal 78 KUHP

Page 8: Tugas Penafsiran Hukum

BAB III

PEMBAHASAN

A. Unsur-Usur yang terdapat dalam Pasal 51 Ayat (1) KUHP

Dalam Pasal 51 ayat (1) KUHP berbunyi : “ barangsiapa melakukan

perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh

penguasa yang berwenang, tidak dipidana.”

Dari penjabaran Pasal 51 ayat (1) KUHP tersebut kita dapat menarik pada

dua syarat penting yaitu: kesatu, perbuatan dilakukan atas suatu perintah

jabatan; dan kedua, diberikan oleh pihak yang mempunyai kewenangan

memberikan perintah

Suatu perintah jabatan adalah kewajiban untuk bertindak dengan cara

tertentu muncul bukan karena suatu aturan hukum umum,melainkan dari

suatu perintah yang berlandaskan aturan tersebut. Selanjutnya, aturan yang

menetapkan kewenangan untuk memberi suatu perintah tidakk mesti tertulis,

karena ada juga yang tidak tertulis. Beranjak dari asas keselarasan tertib

hukum, untuk keduanya berlaku ketentuan bahwa bilamana perintah tersebut

dilaksanakan dan sekaligus suatu tindak pidana terjadi, maka sifat dapat

dipidana tindakan tersebut akan hilang karena didalam tindakan tersebut tidak

terkandung unsur melawan hukum.2

2 Jan Remmelink, HUKUM PIDANA, halaman 253.

Page 9: Tugas Penafsiran Hukum

Kata “berwenang” disini mengandung pengertian yang luas,karena tidak

hanya mencangkup kompetensi orang yang memberi perintah, namun juga

sekaligus keabsahan dari perintah tersebut.

Menurut Profesor van HAMEL, kewenangan seperti dimaksud dalam Pasal

51 KUHP itu ditentukan oleh segi formal dan segi material kewenangan

tersebut, yakni oelh pengangkatan dalam jabatan dari orang yang

memberikan perintah dan hubungannya dengan orang yang diperintah, oleh

wilayah diatas wilayah mana ia mempunyai kekuasaan dan oleh bentuk dan

isi dari perintah itu sendiri.3

Oleh Profesor van Hamel, bahwa segala sesuatu seperti yang dimaksud

diatas itu hanya dapat diuji keabsahannya berdasarkan peraturan perundang-

undangan.Hal tersebut sudah sewajarnya sebab hak untuk memerintahkan

agar orang lain melakukan sesuatu juga bergantung pada hak untuk

melakukan sesuatu itu sendiri.

Profesor POMPE mengatakan, bahwa kewenangan seperti yang

dimaksud dalam Pasal 51 KUHP itu haruslah dinilai menurut hukum yang

berlaku, baik itu merupakan hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak

tertulis. Beliau berpendapat bahwa rumusan dalam Pasal 51 KUHP itu tidak

memungkinkan orang membuat suatu penafsiran secara keliru, yaitu dengan

disebutkannya perkataan “perintah jabatan”didalamnya.4

HAZEWINKEL-SURINGA berpendapat bahwa ketentuan pidaan dalam

Pasal 51 KUHP itu harus juga ditafsirkan demikian rupa, yaitu bahwa hal tidak

dapat dihukumnya orang yang melaksanakan suatu perintah jabatan juga

3 van HAMEL,Inleiding,halam 252.

4 POMPE, Handboek, halaman 116.

Page 10: Tugas Penafsiran Hukum

digantungkan pada sarana-sarana atau alat-alat yang sesuai atau yang

pantas yang telah dipergunakan oleh orang tersebut.5

Penggunaan Pasal 51 KUHP sebagai dasar pembenar,pada hakikatnya

tidak serta merta suatu perintah jabatan yang sah sekalipun menghapuskan

pidana seperti kutipan berikut : “dalam pelaksanaan perintah jabatan, seperti

halnya yang diutarakan pada ketentuan unang-undang, maka alat dan cara

pelaksanaan itu harus layak dan seimbang,layak dan patut6

Dalam kasus ini tidak pernah dipertimbangkan apakah niat terdakwa

(Akbar Tandjung) melanggar ketentuan perundang-undangan dalam

melaksanakan perintah jabatan adalah dalam rangka melaksanakan perintah

jabatan ataukah ada kepentingan lain di luar kepentingan tercapainya

perintah jabatan itu.

Jika perintah jabatan membagi-bagi sembako tidak terlaksana tetapi

terdakwa sudah menjalankan perintah jabatan itu sesuai peraturan yang ada,

maka terdakwa mendapat perlindungan pasal 51 ayat 1 KUHP. Tapi jika

perintah jabatan itu tidak terlaksana sedangkan terdakwa dalam

menjalankannya banyak melanggar peraturan yang harus dipatuhi, maka

perbuatan terdakwa tidak mendapat alasan pembenar.

B. Tepatkah Putusan Mahkamah Agung yang Memutus Akbar Tandjung -

Bebas

Dalam pengambilan putusan terhadap kasus Akbar Tandjung Mahkamah

Agung tidak pernah mempertimbangkan secara mendalam dilepaskannya

terdakwa dari pasal 55 KUHP hanya karena menjalankan perintah jabatan,

5 HAZEWINKEL-SURINGA, Inleiding, halaman 189. 6 Sianturi, op.cit, hal 297.

Page 11: Tugas Penafsiran Hukum

sehingga perbuatannya menjadi patut dan benar berdasarkan pasal 51 ayat 1

KUHP.

Mahkamah Agung juga melakukan kesalahan yang sangat fatal dalam

menerapkan pasal 51 ayat 1 KUHP untuk diambil sebagai konklusi. Sesuai

pasal 51 ayat 1 KUHP, jika dalam menjalankan perintah jabatan terjadi

pelanggaran hukum maka alasan pembenar menghapuskan sifat melawan

hukum perbuatan itu sehingga perbuatan terdakwa menjadi perbuatan yang

patut dan benar. Tapi, dengan begitu, petitum putusan MA haruslah berupa

pelepasan dari segala tuntutan hukum, bukan pembebasan karena tidak

terbukti bersalah.

Mahkamah Agung berpendapat bahwa tindakan Terdakwa bukan

penyalahgunaan wewenang karena dilakukan dalam keadaan darurat, dalam

kata lain Mahkamah Agung mengakui tindakan Terdakwa merupakan

tindakan penyalahgunaan wewenang akan tetapi pertanggungjawabannya

dihapuskan oleh karena adanya keadaan darurat.

Putusan bebas berarti Perbuatan tersangka tidak melanggar peraturan,

sedangkan dalam posisi kasus ini Mahkamah Agung sendiri menyadari

adanya penyalahgunaan wewenang,sehingga putusan Mahkamah Agung itu

sendiri terlihat tidak konsisten

.

Page 12: Tugas Penafsiran Hukum

BAB IV

KESIMPULAN

1. MA tidak pernah mempertimbangkan secara mendalam dilepaskannya

Terdakwa dari Pasal 55 KUHP, hanya karena menjalankan perintah jabatan,

maka perbuatannya menjadi patut dan benar berdasarkan Pasal 51 ayat (1)

KUHP. Putusan MA tidak pernah mempertimbangkan secara mendalam niat /

sikap batin Terdakwa melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan

dalam menjalanan perintah jabatan tersebut, apakah dalam kaitannya demi

terlaksananya perintah jabatan atau ada kepentingan lain diluar kepentingan

tercapainya perintah jabatan tersebut. Jika perintah jabatan membagi-bagi

sembako tidak terlaksana tetapi Terdakwa sudah menjalankan perintah

jabatan tersebut sesuai dengan peraturan yang ada, maka Terdakwa I dapat

perlindungan pasal 51 KUHP, tetapi jika perintah

jabatan tersebut tidak terlaksana sedangkan Terdakwa dalam

menjalankannya banyak melanggar peraturan yang harus dipatuhi ,maka

perbuatan Terdakwa tidak dapat alasan pembenar.

2. MA melakukan kesalahan yang sangat fatal di dalam penjabaran pasal 51

ayat (1) KUHP untuk diambil konklusi.Memang Pasal 51 ayat (1) KUHP

dimaksud harus didasarkan pada dua syarat penting yaitu: kesatu,

Page 13: Tugas Penafsiran Hukum

perbuatan dilakukan atas suatu perintah jabatan; dan kedua, diberikan oleh

pihak yang mempunyaikewenangan memberikan perintah. Namun, jika dalam

menjalankan perintah tersebut terjadi pelanggaran hukum maka alasan

pembenar menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan,sehingga apa

yang dilakukan Terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar.

3. MA tidak mempertimbangkan pasal 55 KUHP. Mengingat dua terdakwa

lainnya Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang divonis penjara.

Mengigat jeals dalam dakwaan jpu menggunakan juga pasal 55 KUHP,

dengan begitu berarti apabila ini kejahatn korporasi maka Akbar Tandjung

pun harusnya tidak mendapat putusan bebas.