tugas hadi

Upload: arif-wibisono

Post on 09-Jul-2015

93 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Standar Filter untuk Kalibrasi Micro plate Reader (Boedi Soesatyo dan Mego Pinandito) 43 STANDAR FILTER UNTUK KALIBRASI MICRO PLATE READER Boedi Soesatyo dan Mego Pinandito Abstract Micro plate reader is an instrument that is used in plant virus or bacteria analysis based on optical density. Testing laboratories that use this instrument as analytical instrument should consider that this instrument must be well calibrated. The calibration of this instrument can be carry out by the accredited calibration laboratory, but in fact, now the calibration of micro plate reader still could not be realized. As a metrology research laboratory, regarding to the main scope of activities and research on the field of radiometry photometry, it would be possible to carry out a research on filter standard measurement in order to support the calibration of micro plate reader based on optical density. The filter standard used in this research is the Neutral Density Filter (NDF) that its the transmission factor on wavelength of 405 nm had been measured by using monochromator, and photomultiplier (PMT) as a sensor with electric current output ,so that the optical density can be determined. As the result of this research, it shows that in the calibration of micro plate reader, there was a correction of positive (+) 0.047 OD with the measurement uncertainty of 0.013 OD. Keywords: filter standard, calibration, micro plate reader 1. PENDAHULUAN Microplate reader adalah alat untuk menganalisa virus atau bakteri tanaman berdasarkan densitas optik dimana antara referensi, buffer dan bahan yang diuji ditempatkan pada plate. Laboratorium uji yang menggunakan microplate reader untuk alat ukur harus terkalibrasi, karena itu merupakan persyaratan disamping juga dalam pengajuan akreditasi. Kalibrasi alat ukur dapat dilakukan pada laboratorium kalibrasi yang terakreditasi[1], tapi pada kenyataannya untuk kalibrasi microplate reader belum dapat dilakukan. Sebagai laboratorium metrologi bidang radio fotometri dan sesuai dengan ruang lingkup kegiatannya dimungkinkan untuk melakukan penelitian sistem pengukuran standar filter untuk kalibrasi microplate reader berdasarkan densitas optik. Lampu halogen sebagai sumber cahaya tipe

A rencananya akan digunakan sebagai sumber cahaya pada monokromator dan photomultiplier sebagai sensor pada sistem pengukurannya. Standar filter yang digunakan adalah Neutral Density Filter yang mempunyai attenuasi dari daerah tampak sampai dekat dengan infra merah. Neutral Density Filter (NDF) diukur transmisinya pada panjang gelombang 405 nm menggunakan monokromator dan photomultiplier (PMT) dengan keluaran arus sebagai sensor serta lampu halogen sebagai sumber. Dari hasil transmisi Neutral Density Filter pada panjang gelombang 405 nm dapat ditentukan densitas optiknya, kemudian dilakukan percobaan kalibrasi terhadap alat microplate reader yang hasilnya merupakan Optical Density (Densitas Optik). Dari hasil kalibrasi microplate reader ada koreksi sebesar 0.047 OD. 2. TEORI DASAR Monokromator adalah elemen optik pemisah panjang gelombang yang berupa kisi (grating). Kisi terdiri dari sejumlah besar alur-alur yang sejajar yang berada di atas permukaan mengkilap, sehingga memantulkan semua sinar yang datang. Cahaya yang jatuh ke permukaan kisi akan didifraksikan oleh setiap alur pada daerah sudut tertentu dan ke arah tertentu, akan terjadi interferensi kontruktif pada setiap pantulan yang dinyatakan dengan rumus kisi [ 2,3 ] : b ( sin I + sin r) = m (1) dimana: b = jarak antara alur i = sudut cahaya jatuh r = sudut difraksi m = orde dari kisi yang terjadi ( 0, 1, 2..n) = panjang gelombang Makin banyak alur persatuan panjang (millimeter) makin besar sudut difraksinya. Konstruksi sistem monokromator ditunjukan pada Gambar 2. Jurnal Standardisasi Vol. 9 No. 2 Tahun 2007: 43 48 44 Normal

Cahaya Normal Cahaya difraksi b Bahan gelas r Lapisan Aluminum Gambar 1 Potongan Melintang dari Kisi/Grating Difraksi cermi cermi slit slit keluar Gambar 2 Konstruksi Czerny Turner Untuk mendapatkan panjang gelombang yang diinginkan maka posisi kisi diputar pada sumbunya. Karena spektrum yang terjadi mempunyai yang sama, maka skala dari panjang gelombang akan linier. Kegunaan dari slit masuk adalah untuk mempersempit berkas cahaya sehingga setelah terjadi dispersi, dapat dicegah terjadinya tumpah tindih (overlaping) dari citra monokromatis. Sedangkan kegunaan dari slit keluar adalah untuk mengisolasi satu daerah panjang gelombang. Transmisi dari filter pada panjang gelombang tertentu ditentukan dengan persamaan [ 3,4,5 ]. Transmisi dari filter T= Keluaran PMT tan pa filter pada Keluaran PMT dgn filter pada (2) = 405 nm Densitas Optik dari filter ditentukan dengan persamaan [ 3,4,5]. Densitas Optik = log (1/T) (3) Standar Filter untuk Kalibrasi Micro plate Reader (Boedi Soesatyo dan Mego Pinandito) 45 C1 H NDF C2 PMT = photomultiplier P = penunjukkan C1 = cemin datar C2 = cermin cekung NDF = neutral Dernsity Filter H = lampu halogen

Gambar 3 Susunan pengukuran densitas optik standar filter dengan monokromator 3. PERCOBAAN DAN HASIL Sistem pengukuran densitas optik standar filter untuk keperluan kalibrasi microplate reader dengan susunan seperti pada Gambar 3. Monokromator diset pada panjang gelombang 405 nm, lampu halogen sebagai sumber cahaya tipe A (2856 K) dinyalakan pada arus tertentu. Keluaran monokromator pada panjang gelombang 405 nm tanpa filter diukur dengan photomultiplier (PMT) yang berupa arus hasilnya diset sama dengan 0.0100x10-5A menggunakan attenuator, kemudian Neutral Density Filter (NDF) 1 = F1 ditempatkan sesuai dengan susunan Gambar 3 maka keluaran monokromator pada panjang gelombang 405 nm dengan filter diukur dengan photomultiplier (PMT) yang berupa arus (nilai transmisi filter) ditunjukkan langsung. Kemudian dengan cara yang sama dilakukan terhadap NDF 2 = F2 dan NDF 3 = F3 dan jika dibuat tabel seperti pada Tabel 1. Tabel 1 Hasil Keluaran Rata-Rata Arus Photomultiplier _ (nm) PMT Tanpa Filter ( x 10 5A) Keluaran PMT dengan filter ( x 10 5 A) Blank F1 F2 F3 405 0.100 0.070 0.0476 0.708 4. PEMBAHASAN Dilihat dari hasil keluaran arus photomultiplier pada Tabel 1 nilai transmisi dan densitas dari filter ditentukan dengan menggunakan persamaan (1) dan (2). Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 2. Kemudian standar filter tersebut digunakan untuk kalibrasi microplate reader pada panjang gelombang 405 nm [5], filter ditempatkan pada plate yang kosong, dengan mengikuti perintah pada alat sampai pada perintah ukur maka filter dan plate akan di scan dan hasilnya seperti pada Tabel 3. P PMT

MONOKROMATOR GANDA Jurnal Standardisasi Vol. 9 No. 2 Tahun 2007: 43 48 46 Tabel 2 Transmisi dan Densitas Optik dari Standar Filter (nm) PMT Tanpa Filter x 10-5A Keluaran PMT dengan Filter x 10- 5 A Transmisi Densitas Optik Blank F1 F2 F3 F1 F2 F3 F1 F2 F3 405 0.100 0.070 0.0476 0.708 0.070 0.0476 0.708 1.155 0.322 0.150 Tabel 3 Data Hasil Kalibrasi Microplate Reader dengan Standar Filter F1,F2,F3 Filter 1 = 1.155 OD I II III IV V Rata-Rata 1.22 1.218 1.215 1.212 1.208 1.2146 1.213 1.21 1.209 1.205 1.2 1.2074 1.205 1.203 1.2 1.196 1.193 1.1994 1.197 1.195 1.192 1.189 1.184 1.1914 1.189 1.187 1.184 1.18 1.177 1.1834 1.19924 stdev 0.012399 u2 0.005545 Filter 2 = 0.322 OD I II III IV V Rata-Rata 0.376 0.374 0.37 0.366 0.364 0.370 0.378 0.372 0.37 0.366 0.362 0.370 0.376 0.372 0.369 0.366 0.362 0.369 0.375 0.371 0.368 0.365 0.362 0.368 0.375 0.371 0.369 0.364 0.362 0.368 0.369 stdev 0.001 u2 0.000363 Filter 3 = 0.150 OD I II III IV V Rata-Rata 0.2 0.2 0.201 0.2 0.2 0.2002 0.201 0.199 0.199 0.199 0.199 0.1994 0.199 0.199 0.198 0.198 0.199 0.1986 0.198 0.198 0.198 0.199 0.198 0.1982 0.197 0.198 0.199 0.198 0.198 0.198 0.199 0.1988 0.199 0.1988 0.1988 0.19888 0.19888 stdev 0.000816 u2 0.000365 Dilihat dari hasil kalibrasi Tabel 3 bahwa dari penunjukkan alat setiap angka I sampai dengan

angka V itu mempunyai 5 (lima) data, maka setiap filter dari F1 (filter 1) sampai dengan F3 (filter3) mempunyai data sebanyak 25 data dengan penunjukan densitas optik adalah 3 angka dibelakang koma. Untuk perhitungan ketidakpastian pengukuran dari kalibrasi microplate reader diperlukan data ketidakpastian Standar Filter untuk Kalibrasi Micro plate Reader (Boedi Soesatyo dan Mego Pinandito) 47 pengukuran dari standar filter yang digunakan dan spesifikasi dari alat yaitu sebagai berikut: Ketidakpastian pengukuran standar filter us: 0.005 OD Spesifikasi dari alat yang dikalibrasi, mempunyai ketelitian u1 : 0.010 OD Perhitungan ketidakpastian pengukuran: Tabel 4 Perhitungan Ketidakpastian Pengukuran Artefact: Microplate Reader Method: Optical Density Ref.Stan: Neutral Density Filter Uncert.Eq.: OD = Ods + correction Filter 1 Uncert source/ Unit/ Distribusi Symbol Expanded Cov. Deg.of Std. Sens. ci.ui Komponen Satuan Uncert/ Factor/ freedom/ Uncert/ Coeff/ U Pembagi _i ui ci Accuracy OD Rect u1 0.01 1.732051 ~ 0.0057735 Repeatability of A Normal u2 0.0055449 2.236068 4 0.00247974 measurement u 0.00628351 1 0.006284 OD Filter OD Normal us 0.005 2 30 0.0025 1 0.0025 Com.uncert,uc 0.006763 Eff.Deg.of freedom,neff 1.42E+27 Cov.Fac.for 95% CL 1.96 Expanded uncert.,U95 0.0123355 Filter 2 Uncert source/ Unit/ Distribusi Symbol Expanded Cov. Deg.of Std. Sens. ci.ui Komponen Satuan Uncert/ Factor/ freedom/ Uncert/ Coeff/ U Pembagi _i ui ci Accuracy OD Rect u1 0.01 1.732051 ~ 0.0057735 Repeatability of A Normal u2 0.0003633 2.236068 4 0.00016248 measurement U 0.00577579 1 0.0057758 OD Filter OD Normal Us 0.005 2 30 0.0025 1 0.0025 Com.uncert,uc 0.0062936 Eff.Deg.of freedom,neff 4.09E+27 Cov.Fac.for 95% CL 1.96 Expanded uncert.,U95 0.0123355 Filter 3

Uncert source/ Unit/ Distribusi Symbol Expanded Cov. Deg.of Std. Sens. ci.ui Komponen Satuan Uncert/ Factor/ freedom/ Uncert/ Coeff/ U Pembagi _i ui ci Accuracy OD Rect u1 0.01 1.732051 0.0057735 Repeatability of A Normal u2 0.0008158 2.236068 4 0.00036486 measurement u 0.00578502 1 0.005785 OD Filter OD Normal us 0.005 2 30 0.0025 1 0.0025 Com.uncert,uc 0.006302 Eff.Deg.of freedom,neff 4.01E+27 Cov.Fac.for 95% CL 1.96 Expanded uncert.,U95 0.0123355 Jurnal Standardisasi Vol. 9 No. 2 Tahun 2007: 43 48 48 Ketidakpastian pengukuran dari standar filter : F1 0.013255 F2 0.012336 F3 0.012352 Rata-Rata 0.012647 Tabel 5 Hasil Kalibrasi Microplate Reader pada =405 nm Menggunakan Standar Filter F1, F2 dan F3 No Filter Standar (OD) Penunjukkan Alat (OD) Koreksi (OD) F1 1.155 1.199 0.044 F2 0.322 0.369 0.047 F3 0.150 0.199 0.049 Rata-Rata 0.047 Ketidakpastian pengukuran dari kalibrasi microplate reader menggunakan standar filter F1, F2 dan F3 adalah sebesar: 0.013 OD, dengan koreksi sebesar + 0.047 OD. Microplate reader yang dikalibrasi tersebut di atas adalah microplate reader yang digunakan menganalisa virus atau bakteri tanaman berdasarkan densitas optik. Microplate reader tersebut bekerja pada panjang gelombang 405 nm, dimana antara referensi, buffer dan bahan yang diuji ditempatkan pada plate, kemudian dianalisa reader didapat OD (Optical Density = densitas optik) pada setiap plate yang diberi bahan. Dengan metoda elisa [6] densitas optik tersebut dihitung dan hasilnya tanaman tersebut ada virus atau tidak. Dilihat dari keluaran/penunjukan alat adalah OD (Optical Density) maka sistem

pengukurannya adalah transmisi, bahwa plate akan mengurangi sumber cahaya yang melewati, jadi dalam melakukan kalibrasi plate harus disertakan, sedangkan bahan diganti dengan filter dan merupakan satu kesatuan. 5. KESIMPULAN DAN SARAN Kalibrasi microplate reader pada panjang gelombang 405 nm dapat dilakukan menggunakan standar filter F1, F2 dan F3 dengan koreksi sebesar + 0.047 OD, ketidakpastian pengukuran 0.013. Perlu dilakukan penelitian selanjutnya untuk kalibrasi microplate reader pada panjang gelombang di atas 405 nm. DAFTAR PUSTAKA 1. Ewing,G.W, Instrumental Methods of Chemical Analysis, Mc Graw-Hill 4th, Edition, 1975. 2. IES Lihgting Hand Book, Illuminating Engineering Society. New York 1978. 3. Manual Microplate Reader 4. Metrologi: Sebuah Pengantar, Puslit KIM LIPI, 2005. 5. Prosiding Pertemuan Ilmiah XIX HFI Jateng & DIY, Yogyakarta 24 April 1999. 6. Sunartoto Gunadi, Boedi Soesatyo, Sugiono, Sistem Kalibrasi Densitometer Menggunakan Sumber Cahaya Tipe A. 7. Willard, Merrit, Dean, Instrumental Methods of Analysis, D Van Nostrand Company 1974. BIODATA Boedi Soesatyo, saat ini bekerja di Pusat Penelitian Kalibrasi Instrumentasi dan Metrologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Penulis menamatkan Pasca Sarjana Bidang Optoelektroteknika dan Aplikasi Laser Universitas Indonesia pada tahun 1992. Sejak tahun 2003 penulis menjabat sebagai Peneliti Utama bidang Teknik Interdisiplin di Laboratorium Metrologi Radiometri Fotometri. Mego Pinandito, saat ini bekerja di Pusat Penelitian Kalibrasi Instrumentasi dan Metrologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Penulis menamatkan pendidikan S1 dan S2 bidang Elektronika Ehime University tahun 1992 dan 1994 dan S3 dari Shinshu University, Jepang

tahun 2001. Saat ini penulis menjabat sebagai Peneliti bidang Instrumentasi Optik di Laboratorium Metrologi Radiometeri Fotometri. Kajian Mutu Baja Tulangan Sirip yang telah Terkorosi Sepuluh Tahun (Kirman M dan Supriadi) 49 KAJIAN MUTU BAJA TULANGAN SIRIP YANG TELAH TERKOROSI SEPULUH TAHUN Kirman M. dan Supriadi Abstract Deformed bars steel is used on the structures as reinforcement for increasing strength and safety of structures and human in surrounding. Construction processes of a concrete structure are usually delayed for several years due to some reasons. Deformed bars steel that are not completed be covered by concrete it will become corroded by natural environment. Effect of corrosion to the quality of bars steel are need to assess base on the quality requirement of Indonesia national standard (SNI 07-2052-2002). The Quality requirement items on the standard that are possible affected by corrosion are tensile, bending, and dimension. Furthermore, performance of deformed bars steel after ten years corrosion are need to be evaluated. Assessment results presented that the deformed bars steel are corroded by general corrosion that caused an increasing of surface roughness of bars steel. The increasing of roughness will increase the bond strength. And the corroded deformed bars steel are still comply to the SNI standard with BJTS-40 class. Keywords: quality, deformed, bars, steel, BJTS, corrosion, SNI 1. PENDAHULUAN Wilayah Indonesia adalah salah satu wilayah di dunia yang rawan terjadi gempa bumi sehingga bangunan konstruksi harus didisain tahan terhadap terjadinya goyangan akibat gempa bumi. Salah satu cara memperkuat bangunan terutama bangunan kontruksi beton yang dikenal luas adalah dengan menggunakan baja tulangan sebagai penguat. Karena penggunaan baja tulangan sangat terkait erat dengan keamanan dan keselamatan bangunan dan terutama orangorang disekitarnya maka pemerintah telah menetapkan bahwa baja tulangan yang diproduksi dan digunakan di Indonesia wajib memenuhi standar mutu baja tulangan beton berdasarkan standar Nasional Indonesia, SNI 07-2052-2002.

Pembuatan baja tulangan adalah dengan proses canai panas. Pembuatan dilakukan dengan memanaskan bilet dalam pemanas sampai temperatur 1300oC untuk memperoleh sifat plastisitas yang baik sehingga mempermudah proses pencanaian. Bilet yang telah dipanaskan dimasukkan dalam pasangan mesin roll, setiap pasangan roll mereduksi luas penampang dan memperpanjang batang baja. Untuk produksi baja tulangan sirip pada roll terakhir umumnya diberi profil untuk memberi bentuk standar baja tulangan sirip. Baja yang keluar dari roll terakhir memiliki temperatur 700oC - 900oC yang kemudian mengalami proses pendinginan udara sampai temperatur ruang [1]. Baja tulangan terdiri atas baja tulangan polos dan baja tulangan sirip. Baja tulangan polos khususnya digunakan untuk dowels spiral, dan pendukung struktur. Baja tulangan deform digunakan untuk struktur yang memerlukan kekuatan yang lebih tinggi sehingga permukaan batang terdapat sirip-sirip yang berfungsi menghalangi terjadinya pergerakan baja tulangan pada arah longitudinal terhadap beton. Produksi baja tulangan telah dilakukan oleh produsen yang berlokasi di Cilegon, Surabaya, serta di Jakarta dan sekitarnya. Baja tulangan yang akan dipasarkan harus memenuhi standar yang telah ditetapkan melalui pengujian dengan menggunakan mesin yang telah dikalibrasi. Penyimpangan dari ketentuan tersebut selain merugikan konsumen juga dapat membahayakan keselamatan bangunan. Bentuk dan ukuran dari baja tulangan ditentukan oleh standar yang berlaku. Untuk industri baja di Indonesia secara garis besar standar yang dipergunakan adalah SII.136-1980[2] dan setelah diperbaharui beberapa kali dan terakhir menjadi SNI 07-2052-2002[3]. Ketentuan keamanan dan keselamatan, regulasi serta serta kesadaran konsumen terhadap mutu produksi menuntut dilaksanakannya pengujian mutu dari baja tulangan sebelum digunakan dalam konstruksi atau penggunaan lainnya. Oleh karena itu

kehadiran lembaga penelitian dan pengujian sangat membantu industri dan konsumen dalam hal pengujian dan pengontrolan mutu baja tersebut Pengontrolan mutu dan pengujian baja tulangan dilakukan untuk mengetahui karakteristik mekanis baja dan dimensi yang dibutuhkan. Hasil-hasil yang didapat dievaluasi untuk mengklasifikasikan mutu baja tulangan beton tersebut dengan mengacu pada standar yang berlaku. Jurnal Standardisasi Vol. 9 No. 2 Tahun 2007: 49 - 55 50 Beberapa pihak memiliki keterkaitan dalam pengawasan mutu baja tulangan beton ini yaitu, pihak produsen yang menghasilkan baja tulangan, pihak konsumen yang ingin memastikan mutu produk yang akan digunakan pada bangunannya, pihak laboratorium uji sebagai lembaga yang menguji baja tulangan tersebut, serta ketentuan pemerintah berupa standar yang telah ditetapkan. Kasus yang berkaitan dengan baja tulangan yang sering terjadi dan banyak ditemukan di masyarakat adalah terhentinya suatu proses pembangunan konstruksi beton dengan menggunakan baja tulangan, dimana pada saat itu baja tulangan belum seluruhnya terbungkus oleh beton sehingga sangat mudah terjadi korosi oleh lingkungan yang korosif. Salah satu kasus seperti yang disebutkan di atas yang menjadi bahan penelitian ini adalah baja tulangan sirip (BJTS) yang digunakan sebagai tulangan penguat (reinforcement) pada bangunan kontruksi beton pondasi silo pada PT. Sriboga Ratu Raya - Semarang yang telah mengalami korosi selama sepuluh tahun karena pembangunan mengalami kemacetan atau berhenti karena sesuatu alasan. Akibatnya baja tulangan yang belum sempat terbungkus oleh beton terdegradasi oleh lingkungan seperti air hujan selama sepuluh tahun. Untuk mengetahui pengaruh korosi selama 10 tahun tersebut terhadap mutu baja tulangan berdasarkan syarat mutu SNI 07-2052-2002 maka perlu dilakukan serangkaian pengujian secara makro dan mikro

dan analisa hasil pengujian. 2. BAHAN DAN METODE PENELITIAN Bahan yang menjadi bahan penelitian adalah baja tulangan terkorosi selama sepuluh tahun. Sampel yang dipilih adalah 3 macam dengan diameter nominal dan bentuk sirip yang berbeda yaitu: ??? Diameter 19 mm, sirip miring ??? Diameter 19 mm, sirip bambu ??? Diameter 25 mm, sirip bambu Metoda penelitian yang digunakan dalam mengkaji mutu baja tulangan yang telah terkorosi adalah dengan melakukan pengkajian sifat mekanik, pemeriksaan dimensi, pengkajian secara maro dan mikro terhadap baja tulangan. Lingkup dan tahapan pekerjaan yang dilakukan adalah sebagai berikut: ??? Seleksi dan preparasi benda uji ??? Karakterisasi sifat tarik ??? Karakterisasi sifat lengkung ??? Pengukuran dimensi ??? Analisa makro dan mikrostruktur ??? Menarik kesimpulan dan saran 2.1 Kajian Sifat Tarik Kajian tarik baja tulangan beton yang telah terkorosi dilakukan untuk mengetahui sifat mekanik baja tulangan yaitu tegangan yield, kuat tarik, dan elongasi. Sifat mekanik tersebut menjadi salah satu dasar penentuan apakah material dasar tersebut masih cukup bermutu berdasarkan standar mutu SNI. Cara uji tarik berdasarkan standar SNI 07-0408-1989[4] 2.2 Kajian Sifat Lengkung Untuk mengetahui sifat lengkung baja tulangan, apakah dengan korosi sepuluh tahun maka baja tulangan menjadi mudah patah jika dilakukan proses bending. Korosi lubang yang parah dapat mengakibatkan baja tulangan menjadi mudah patah sebab dengan terbentuknya lubang yang dalam pada permukaan dapat mengakibatkan terjadinya konsentrasi tegangan pada lubang. Cara uji lengkung berdasarkan SNI 0410-1989[5]. 2.3 Kajian Dimensi Pengujian ini ditujukan untuk mengetahui diameter efektif dan diameter dalam baja tulangan. Metode pengukuran diameter efektif

adalah proses penimbangan baja tulangan. Untuk menghilangkan pengaruh berat karat terhadap hasil penimbangan maka karat yang menempel pada baja tulangan dibersihkan terlebih dahulu sebelum ditimbang. Dari hasil pengujian ini akan diketahui apakah korosi yang terjadi selama sepuluh tahun mengakibatkan pengurangan diameter secara signifikan. Pengkajian dimensi sirip juga perlu dilakukan sebab dimensi sirip adalah merupakan salah satu syarat mutu baja tulangan sirip berdasarkan SNI. Sedangkan serangan korosi pada baja tulangan sirip berpotensi mengurangi ukuran tinggi sirip. 2.4 Kajian Metalography Pemeriksaan metalography dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui struktur material secara mikro dan mikro, bentuk dan ukuran butiran material dasar serta ketebalan produk korosi pada permukaan. Disamping itu pengujian ini juga bertujuan untuk mengetahui terjadinya korosi lubang dan korosi antar butir (intergranular corrosion). Cacat material dasar Kajian Mutu Baja Tulangan Sirip yang telah Terkorosi Sepuluh Tahun (Kirman M dan Supriadi) 51 seperti inklusi selama proses pembuatan baja tulangan dan Kehadiran retak mikro yang berpotensi sebagai awal perambatan retak juga dapat tampak dengan jelas. Bentuk permukaan baja dapat dilihat secara makro untuk melihat kekesaran permukaan. Urutan prosedur pelaksanaan pengujian adalah mounting sample, polishing sampai tingkat kehalusan yang cukup, etching, dan selanjutnya gambar struktur mikro dilihat dan diphoto pada mikroskop sesuai dengan pembesaran yang diinginkan. 2.5 Kajian Topography Permukaan Analisa makro dilakukan pada permukaan baja tulangan dengan menggunakan sterio mikroskop. Tujuan analisa adalah mempelajari topography permukaan baja tulangan yang terdegradasi oleh korosi selama sepuluh tahun sebagai informasi tambahan yang berguna dalam menentukan mutu baja tulangan. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil uji tarik dapat dilihat pada Tabel 1 yang mana data hasil pengujian kemudian dibandingkan dengan nilai syarat mutu standar SNI 07-2052-2002 yang ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 1 Hasil Uji Tarik Baja Tulangan yang Telah Terkorosi Tabel 2 Klasifikasi baja tulangan menurut SNI 07-20522002[3] SIFAT MEKANIS No. Kelas Baja Tulangan Batas Ulur Min. N/mm2 Kuat Tarik Min. N/mm2 Nomor batang uji Regang Min. % Sudut Lengkung Diameter Lengkung 1 BJTP 24 235 382 NNoo.. 23 2204 180o 3 x d No. 2 18 Polos 2 BJTP 30 294 440 No. 3 20 180o d 16 = 3 x d d > 16 = 4 x d 1 BJTS 30 294 440 NNoo.. 23 1168 180o d 16 = 3 x d d > 16 = 4 x d No. 2 18 2 BJTS 35 343 490 No. 3 20 180o d 16 = 3 x d 1640 = 5 x d 3 BJTS 40 390 560 NNoo.. 23 1168 180o 5 x d No. 2 12 Sirip 4 BJTS 50 490 620 No. 3 14 90o d 25 = 5 x d

d > 25 = 6 x d Jurnal Standardisasi Vol. 9 No. 2 Tahun 2007: 49 - 55 52 Perbandingan tabel hasil uji dan tabel standar tersebut tabel menunjukkan bahwa ketiga sampel yang diuji semuanya menunjukkan hasil yang cukup baik sebab kuat luluh rata-rata 432 N/mm2 dan kuat tarik rata-rata 602 N/mm2, serta elongasi rata-rata 21%. Nilai-nilai tersebut memenuhi nilai minimal standar BJTS 40 yaitu kuat luluh 390N/mm2, kuat tarik 560 N/mm2, dan elongasi 18%. Sedangkan hasil uji lengkung menunjukkan bahwa ketiga benda uji setelah dilengkung 180 berdasarkan standar SNI dan kemudian dievaluasi secara visual tidak terdeteksi adanya retak dipermukaan baja tulangan, baik pada sisi tarik maupun sisi tekan. Kondisi permukaan setelah uji lengkung ditunjukkan pada Gambar 1. Gambar 1 Kondisi Permukaan pada Sisi Tarik Setelah Uji Lengkung Menurut standar SNI 07-2052-2002 bahwa pembagian kelas baja tulangan terdiri atas empat kelas yaitu BJTS 30, BJTS 35, BJTS 40, dan BJTS 50. Sedangkan hasil pengujian menunjukkan bahwa kelas baja tulangan yang terkorosi adalah BJTS 40. Kelas BJTS 40 adalah kelas cukup baik dan umum terjadi pada baja tulangan yang masih baru atau tidak terkorosi. Pengaruh serangan korosi pada baja tulangan sangat berpotensi mengurangi ukuran diameter dan tinggi sirip. Keduanya menjadi syarat mutu baja tulangan. Oleh karena itu pengukuran kedua parameter tersebut perlu dilakukan. Persamaan 1 adalah rumus yang digunakan untuk perhitungan diameter efektif baja tulangan sirip[5]. Walaupun diameter efektif tidak menjadi syarat mutu pada SNI 07-20522002 tetapi untuk mengetahui pengaruh korosi terhadap perubahan diameter efektif maka pengkajian masalah ini perlu dilakukan: def (mm)= ( ) 12.74 panjan( g mm) berat gram (1) Dengan mensubtitusi berat dan panjang benda uji pada persamaan 1 maka diameter

efektif dapat diketahui. Hasil uji yang diperoleh adalah bahwa untuk BJTS dengan diameter nominal 19 mm memiliki diameter efektif 18,55 mm untuk sirip mirip dan 18,60 mm untuk sirip bambu sedangkan untuk BJTS diameter nominal 25 memiliki diameter efektif 24,54 mm. Sedangkan menurut standar SNI 07-2052-1990 toleransi diameter BJTS untuk diameter nominal 16 d 28 adalah 5%. Atau julat diameter efektif untuk diameter nominal 19mm adalah 18,54-19,50mm dan untuk diameter nominal 25mm julat diameter efektif adalah 24,3725,63mm. Dengan demikian, diameter efektif sampel baja tulangan yang telah terkorosi selama sepuluh tahun masih memenuhi batasan diameter yang dipersyaratkan pada standar SII.0136-80. Berdasarkan SNI 07-2052-2002, diameter yang dipersyaratkan untuk BJTS adalah diameter dalam. Untuk diameter nominal 19 mm, diameter dalam nominal adalah 17,8 mm dengan toleransi 0,5 mm. Sedangkan untuk diameter nominal 25 mm, diameter dalam nominal adalah 23,6 mm dengan toleransi 0,6 mm. Hasil pengukuran diameter dalam pada ketiga sampel adalah ditunjukkan pada Tabel 3, yang mana ketiga nilai tersebut memenuhi diameter dalam yang dipersyaratkan oleh SNI 07-2052-2002. Hasil pengukuran tinggi sirip pada baja tulangan terkorosi setelah produk korosi dibersihkan pada permukaan ditunjukkan pada Tabel 3. Hasil ini menunjukkan bahwa ketiga sampel yang diuji memiliki tinggi sirip yang masih berada dalam julat tinggi sirip yang dipersyaratkan oleh SNI. sisi tarik sisi tekan Kajian Mutu Baja Tulangan Sirip yang telah Terkorosi Sepuluh Tahun (Kirman M dan Supriadi) 53 Tabel 3 Hasil Pengukuran Tinggi Sirip Melintang dan Diameter Dalam Tinggi sirip melintang menurut SNI 07- 20522002[3] (mm) No. Diameter

nominal (mm) Minimum Maksimum Hasil pengukuran tinggi sirip (mm) Hasil pengukuran diameter dalam (mm) Keterangan bentuk sirip 1 19 1,0 1,9 1,1 17,90 Sirip miring 2 19 1,0 1,9 1,2 18,15 Sirip bambu 3 25 1,3 2,5 1,7 23,85 Sirip bambu Dimensi sirip adalah merupakan salah satu syarat mutu baja tulangan berdasarkan SNI. Ukuran tinggi sirip akan berkurang dengan adanya serangan korosi. Sejaumana pengaruh korosi terhadap sirip perlu dilakukan pengkajian. Gambar 2 Produk Korosi pada Permukaan Baja Tulangan yang Terkorosi Selama Sepuluh Tahun Gambar 3 Kondisi Permuaaan Baja Tulangan Setelah Produk Korosi Dibersihkan dengan Sikat Kawat Gambar 4 Permukaan Baja Tulangan yang Sangat Kasar Akibat Serangan Korosi Umum produk korosi Permukaan BJTD Jurnal Standardisasi Vol. 9 No. 2 Tahun 2007: 49 - 55 54 Hasil pengujian struktur dengan skala makro menunjukkan bahwa pada permukaan sampel baja tulangan sirip yang telah terkorosi seperti ditunjukkan pada gambar 2 sedangkan kondisi permukaan setelah produk korosi dihilangkan dari permukaan baja tulangan dengan menggunakan sikat kawat, diperlihatkan pada gambar 3. Kekuatan ikat baja tulangan pada beton dapat dianggap sebagai tegangan atau gaya geser antara baja tulangan dan beton yang ada di sekelilingnya. Gaya pada baja tulangan ditransfer ke beton melewati suatu ikatan, atau sebaliknya. Ikatan tersebut terdiri atas tiga komponen[6]: (a) adhesi kimia (b) Friksi

(c) Interaksi mekanik antara baja dan beton Kehadiran sirip pada baja tulangan sirip, menjadikan komponen ketiga merupakan komponen primer yang sangat penting untuk mendapatkan sifat ikatan yang superior, sedangkan komponen adhesi kimia dan friksi hanya merupakan komponen sekunder. Hasil uji makrography memperlihatkan bahwa produk korosi pada permukaan baja tulangan tidak menempel secara kuat dan ketebalan produk korosi tidak signifikan. Kehadiran produk korosi tersebut pada permukaan baja tulangan akan memperlemah kekuatan ikatan karena antara baja tulangan dan beton terdapat penghalang sehingga komponen sekunder dalam ikatan baja-beton yaitu adhesi kimia dan friksi tidak bekerja maksimal. Tetapi setelah produk korosi dihilangkan dari permukaan ternyata permukaan baja tulangan menjadi sangat kasar. Peningkatan kekasaran permukaan identik dengan peningkatan gaya gesek (friksi) baja tulangan terhadap bidang slipnya yaitu beton. Dengan demikian peningkatan kekasaran permukan akibat korosi menjadikan sifat ikatan baja beton akan menjadi lebih superior. Hasil uji metalography pada potongan melintang baja tulangan di sekitar permukaan ditunjukkan pada gambar 4. Hasil ini memperlihatkan bahwa permukaan baja tulangan sangat kasar akibat terjadinya korosi umum (general corrosion). Korosi umum adalah salah satu jenis korosi yang paling sering terjadi pada baja yang menyerang material secara seragam tanpa terjadi serangan secara lokal pada bidang tertentu[7]. Serangan korosi akan menyebabkan pengurangan diameter baja tulangan pada laju yang relatif konstan dan merata pada seluruh permukaan yang kontak dengan lingkungan korosif. Oleh karena, ukuran diameter setelah terjadi korosi akan sama disepanjang baja tulangan Akibat lain dari korosi umum adalah terjadi permukaan yang menjadi kasar karena timbulnya lubang-lubang dangkal. Pada gambar 4 dapat dilihat bahwa permukaan baja tulangan tidak ditemukan adanya lubang

dalam yang bisa terjadi akibat serangan korosi sumuran (pitting corrosion). Jenis korosi ini cukup berbahaya sebab dapat menurunkan nilai kekuatan tarik serta elongasi sebab lubang dalam yang terjadi akan menjadi tempat terjadinya konsentrasi tegangan yang cukup tinggi sehingga dapat menjadi posisi awal terjadi retak. Jenis korosi lain yang mungkin terjadi tetapi tidak ditemukan adalah jenis korosi antar butir. Korosi jenis ini sangat berbahaya sebab serangan korosi terjadi pada batas butir sehingga kekuatan ikatan antar butir menjadi lemah sehingga dapat menjadi awal dan menjadi jalur pertumbuhan retak. Gambar 5 Mikrostruktur Baja Tulangan, Fasa Ferit-Pearlit yang Terdistribusi Merata, Etsa: 2% Nital 500X ferit pearlit 100X Kajian Mutu Baja Tulangan Sirip yang telah Terkorosi Sepuluh Tahun (Kirman M dan Supriadi) 55 Informasi lain yang dapat diperoleh dari uji ini adalah bahwa ketebalan produk korosi pada permukaan tidak signifikan sehingga mudah dihilangkan dengan cara mekanis. Pada permukaan baja tulangan tidak terjadi dekarburisasi yang dapat menurunkan sifat mekanis. Mikrostruktur baja tulangan adalah normal yang terdiri atas fasa ferit-pearlit[8] yang terdistribusi secara merata dengan ukuran butir yang cukup halus seperti yang ditunjukkan pada gambar 5. Mikrostruktur seperti itu menunjukkan bukti bahwa material baja tulangan tidak pernah mengalami pemanasan berlebih oleh lingkungannya. 4. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan hasil kajian trehadap pemenuhan syarat mutu SNI dan tinjauan pustaka maka dapat disimpulkan dan disarankan sebagai berikut: a. Baja tulangan yang telah terkorosi selama sepuluh tahun pada lingkungan udara luar masih sesuai dengan standar mutu baja

tulangan SNI 07-2052-2002. b. Korosi yang terjadi adalah korosi umum (general corrosion) dengan tingkat ketebalan produk korosi atau karat tidak signifikan dan mudah dihilangkan dengan sikat kawat. c. Korosi umum menyebabkan permukaan baja tulangan menjadi kasar sehingga dapat meningkatkan daya ikat baja tulangan terhadap beton d. Untuk melanjutkan pembangunan, kontruksi beton yang terhenti sehingga terdapat baja tulangan terkorosi maka disarankan produk korosi yang menempel pada permukaan baja tulangan dibersihkan terlebih dahulu dengan menggunakan sikat kawat untuk mendapatkan daya ikat (bond strength) yang maksimal. DAFTAR PUSTAKA 1. Lutz, L.A. dan Gergely, P., Mechanics of Bond and Slip Deformed Bars in Concrete, ACI Journal, 1967. 2. Mars G. Fontana, Corrosion Engineering, third Edition, McGraw-Hill Book Co. (1986). 3. McGannon, Harold., The Making Shaping and Treating Of Steel, United State Steel, 1970. 4. Metallography and Microstrucrure, Metals Handbook Ninth Edition, vol. 9, American Society for Metals, Metals Park, Ohio (1986). 5. SII 0136 - 84, Mutu dan Cara Uji Baja Tulangan Beton, Departemen Perindustrian, Jakarta, 1984. 6. SNI 07-2025-2002, Baja Tulangan Beton, Badan Standardisasi Nasional, Jakarta, 2002. 7. SNI 07-0408-2002, Cara uji tarik untuk logam, Badan Standardisasi Nasional, Jakarta, 1989. 8. SNI 07-0410-1989, Cara uji Lengkung Tekan, Badan Standardisasi Nasional, Jakarta, 1989. BIODATA Kirman M., menamatkan pendidikan S1 di Universitas Hasanuddin dalam bidang Teknik Mesin tahun 1990, dan pendidikan S2 di program kerjasama master antara Queensland

University of Technology (QUT) dan Universitas Indonesia dalam bidang Metalurgi Material tahun 2001. Saat ini bekerja sebagai staf peneliti material konstruksi pada bidang material konstruksi B2TKS BPPT, Puspiptek Serpong. Supriadi, menamatkan pendidikan S1 di Sekolah Tinggi Teknologi Mutu Muhamadiyah dalam bidang Teknik Fisika Instrumentasi padat tahun 2002. Saat ini bekerja sebagai staf peneliti material konstruksi pada bidang pengujian material B2TKS BPPT, Puspiptek Serpong. Jurnal Standardisasi Vol. 9 No. 2 Tahun 2007: 56 - 63 56 PENERAPAN NSPM BIDANG KESELAMATAN TERHADAP BAHAYA KEBAKARAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN Achmad Hidajat Effendi dan Suprapto Abstract Basically Ministry of Public Works has issued a number of norms, standard, guidelines and manuals (hereinafter named as NSPM). The questions arises on how far such issued NSPMs particularly related to buildings and housings have fulfilled the need of the users. This is the intention of this research. The methods used comprises survey and interview, gathering field data and proceeded through statistical analysis. The results of research which are focused on SNI 03-1746-2000 concerning means of escape, SNI 03-3989-2000 on sprinkler systems and SNI 03-1745-2000 pertaining standpipe and hose showed a significant data. About 76.5 % of the respondent know these standards, however 42.2 % of the respondent suggested to increase dissemination. 41.9 % of the respondent do not clearly understand the substances. 44.1 % of the respondent suggested to revise the standards, while a more detailed technical guidelines were suggested to be made by 71.4 % of the respondent. Keywords: NSPM, buildings and housings, Indonesia National Standard (SNI), fire protection, revision and dissemination. 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan sektor industri dewasa ini, tidak terkecuali di lingkungan industri konstruksi menuntut penerapan standarisasi secara konsisten. Meningkatnya tuntutan akan kwalitas konstruksi yang dikaitkan dengan kehandalan, efisiensi biaya operasi, energi serta

sustainability, tidak terlepas dari penerapan standarisasi dan perangkat assessment-nya, seperti sertifikasi, akreditasi sarana uji, penandaan dan labelisasi. Di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum, standarisasi merupakan salah satu unsur pengaturan dalam rangka pencapaian kwalitas pekerjaan konstruksi, yang dikenal dengan istilah NSPM yakni norma, standar, pedoman dan manual. Perkembangan ke arah perpacuan pertumbuhan ekonomi nasional termasuk percaturan globalisasi berdampak kepada meningkatnya tuntutan akan kontrol kwalitas dengan berbagai aspeknya, termasuk tuntutan akan harmonisasi standar (standard alignment), pengakuan atas hak-hak intelektual dan peniadaan hambatan tarif perdagangan (free trade barrier) menuju perdagangan bebas dunia, yang kesemuanya itu bermuara pada pemberlakuan standar dan regulasi teknis yang mendukung. Dalam kaitan ini, semakin dituntut dan dibutuhkannya NSPM yang berkwalitas, teruji dan mantap, bukan semata-mata pada jumlah NSPM yang disusun. NSPM merupakan tolok ukur dalam menjamin mutu suatu produk pembangunan infrastruktur termasuk dalam hal ini, infrastruktur perumahan dan permukiman. NSPM diperlukan sebagai acuan dalam menjamin mutu konstruksi. Tanpa itu mutu produk konstruksi tidak dapat diandalkan, dan tidak memiliki daya saing. NSPM atau khususnya SNI memuat persyaratan minimal yang harus dipenuhi guna menjamin kwalitas produk yang prima. Di negara-negara maju persyaratan teknis tersebut kini sudah beranjak ke bentuk persyaratan kinerja (performance-based), menunjukkan bahwa tolok ukur kwalitas produk merupakan hal yang sangat esensial. Tidak heran banyak produk negara maju termasuk produk konstruksi memiliki kehandalan yang tinggi. Kondisi di Indonesia masih cukup memprihatinkan dengan meningkatnya berbagai kegagalan struktur dan konstruksi baik yang terjadi pada bangunan gedung, bangunan

tranportasi dan juga pada bangunan air. Kejadian seperti kebakaran, keretakan bangunan, keruntuhan jembatan dan kerusakan bangunan jalan serta kejadian banjir dan genangan air, mendorong ke arah pemikiran sejauh mana kehandalan bangunan atau konstruksi yang telah dibangun tersebut. Menjadi pertanyaan pula sejauh mana NSPM sebagai tolok ukur kwalitas konstruksi telah digunakan dan masih sesuaikah dengan kondisi dan tuntutan pembangunan saat ini. Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan suatu evaluasi dalam rangka mengkaji hal-hal seperti sejauh mana NSPM yang selama ini disusun konsisten satu sama lainnya menyangkut peristilahan, definisi dan substansinya serta bagaimana pula pemberlakuan NSPM tersebut, sehingga menjadi Penerapan NSPM Bidang Keselamatan (Achmad Hidajat Effendi dan Suprapto) 57 acuan dalam setiap tahapan proses pembangunan. 2. PERMASALAHAN Sesuai hasil survey awal yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan PU, Departemen Pekerjaan Umum dalam program sosialisasi dan advis teknis (2003-2004) memperlihatkan adanya indikasi masih belum efektifnya penerapan NSPM terkait dengan programprogram pembangunan infrastruktur perumahan dan permukiman yang berkembang. Hal-hal yang menyangkut substansi, kemudahan dalam penerapan, tuntutan kekinian, dan updating referensi nampaknya masih perlu diperbaiki. Berdasarkan hasil survey diatas, maka permasalahan dalam penerapan NSPM dalam pembangunan infrastruktur perumahan dan permukiman, adalah sebagai berikut: a. Sejauh mana NSPM yang selama ini disusun telah diketahui eksistensinya oleh masyarakat pengguna (users)?; b. Sejauh mana NSPM yang selama ini disusun telah dipahami dan diterapkan di lapangan?; c. Sejauh mana NSPM yang selama ini disusun telah mampu menjawab permasalahan yang

terjadi atau timbul dalam praktek lapangan?; d. Apa kendala-kendala yang dijumpai dalam penerapan NSPM sebagai pemandu mutu pembangunan infrastruktur perumahan dan permukiman?; e. Pokok-pokok substansi apa yang perlu diperbaiki atau direvisi dalam rangka peningkatan kwalitas NSPM dan penerapannya di lapangan?; f. Sejauh mana NSPM-NSPM yang selama ini disusun konsisten satu sama lainnya menyangkut peristilahan, definisi dan substansinya?; g. Bagaimana pola pemberlakuan NSPM tersebut, sehingga menjadi acuan dalam setiap tahapan proses pembangunan?. Ketujuh pertanyaan tersebut, merupakan landasan dalam melakukan penelitian menyangkut NSPM yang saat ini dilakukan oleh Pusat Litbang Permukiman, Badan Litbang PU, Departemen Pekerjaan Umum. Untuk itu maka NSPM yang telah disusun dan keberadaannya diperlukan untuk meningkatkan kwalitas pelayanan prasarana dan sarana ke-PU-an, terutama di bidang perumahan dan permukiman akan dievaluasi guna menjawab pertanyaan tersebut diatas. 2.1 Tujuan Penelitian Melakukan penelitian atau evaluasi menyangkut penerapan NSPM yang telah disusun selama ini, sejauh mana kesesuaiannya dengan kebutuhan di lapangan, bahan-bahan masukan umum apakah yang perlu dicantumkan dalam memperbaiki kwalitas substansi atau materi NSPM, dan bagaimana upaya untuk meningkatkan penerapan NSPM tersebut kepada pihak-pihak yang terlibat dalam pembangunan infrastruktur, khususnya dalam perumahan dan permukiman. 2.2 Lingkup Penelitian Pada penelitian penerapan NSPM ini, ruang lingkup bahasan dibatasi sesuai bidang keakhlian yaitu keselamatan terhadap bahaya kebakaran, meliputi tiga jenis standar sebagai berikut: a. SNI No. 03-1746-2000 tentang Tata Cara

Perencanaan dan Pemasangan Sarana Jalan Keluar; b. SNI No. 03-3989-2000 tentang Tata Cara Perencanaan dan Pemasangan Sistem Sprinkler Otomatik untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung. c. SNI No. 03-1745-2000 tentang Tata Cara Perencanaan dan Pemasangan Sistem Pipa Tegak dan Slang untuk Pencegahan bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung. 3. TINJAUAN TEORITIS 3.1 Posisi NSPM dalam Hierarki Instrumen Pengaturan Sistem pengaturan di Indonesia mengacu kepada model STPI (Science Technology and Policy Implementation) terdiri atas 5 elemen yakni policy atau kebijakan, peraturan perundang-undangan (legel devices), kelembagaan, mekanisme operasional dan pranata sebagaimana diperlihatkan pada gambar berikut. Jurnal Standardisasi Vol. 9 No. 2 Tahun 2007: 56 - 63 58 Gambar Hierarki Elemen Pengaturan (STPI). Kebijakan dalam hal ini contohnya pada masa orde baru adalah GBHN, sekarang Propenas atau RPJM yang ditetapkan oleh MPR dan DPR yang menjadi landasan kebijakan nasional atau sebagai payung dari disusunnya peraturan - peraturan dibawahnya. Peraturan perundang-undangan adalah setingkat dibawah kebijakan, merupakan peraturan untuk mengatur sesuatu, misalnya Undang-Undang yang mengatur Bangunan Gedung yakni UndangUndang Bangunan Gedung No. 28/2002. Peraturan lainnya yang dikeluarkan oleh Daerah misalnya Perda masuk dalam level ini. Selanjutnya kelembagaan atau institusi adalah lembaga Pemerintah Pusat maupun Daerah yang melaksanakan dan mengawasi serta memonitor diberlakukannya peraturan-peraturan tersebut. Dalam mengimplementasikan hal-hal yang diatur dalam peraturan, maka lembaga atau institusi menyusun mekanisme operasional yang memberikan acuan tindakan bagi institusi

tersebut baik secara sendiri-sendiri maupun dengan kerjasama dengan instansi lainnya, melaksanakan apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Inilah yang disebut mekanisme operasional yang memiliki strata lebih rendah dari institusi atau strata keempat. Agar mekanisme operasional berjalan baik sesuai dengan tertib pembangunan dan memenuhi persyaratan teknis keamanan, keselamatan, kesehatan dan kenyamanan dan sebagainya, maka diperlukan seperangkat instrumen operasi atau pranata. Ini mencakup standar, pedoman dan manual atau NSPM. Jadi NSPM merupakan alat pengaturan yang posisinya ada pada strata kelima dibawah mekanisme operasional. 3.2 Urgensi Evaluasi NSPM NSPM merupakan instrumen pengaturan yang bersifat dinamis. Sifat dinamis tersebut diartikan bahwa NSPM mengikuti perkembangan Iptek, namun tetap berpijak pada landasan nasional dan memperhatikan taraf kemajuan masyarakat pengguna. Pada saat ini penyusunan NSPM mengacu kepada standar-standar internasional. Muncul berbagai istilah seperti adopsi, adaptasi dan modifikasi. Sifat mengacu ini didasarkan pada tuntutan keterujian dari suatu standar. Standar-standar internasional yang dikeluarkan oleh berbagai Badan seperti ANSI, NFPA, ASTM dan ISO misalnya merupakan karya yang di-backup oleh sekian ratus kali pengujian sehingga tidak diragukan lagi dan diterima oleh konvensi internasional sebagai standar. Keterujian ini didukung pula oleh kelembagaan dan sistem yang mendukung dengan diaturnya berbagai elemen standarisasi seperti akreditasi laboratorium uji, sertifikasi, labelisasi dan penandaan. Siapa yang meragukan label FM atau UL misalnya yang telah mendunia dalam masalah standard assessment. Namun sementara itu ada dukungan kuat terhadap pemunculan standarstandar nasional hasil dari berbagai inovasi dan telah dilakukan percobaannya berulang kali. Mana yang akan dianut dan diterapkan,

kemungkinan perlu diklarifikasi oleh BSN. 3.3 NSPM yang Dievaluasi Hal-hal penting dalam evaluasi NSPM adalah sejauh mana pemberlakuan standar-standar wajib menyangkut kehandalan bangunan ditinjau dari aspek ketahanan gempa, keselamatan terhadap bahaya kebakaran, duralibilitas bahan dan pengendalian pencemaran lingkungan, telah sesuai dengan kebutuhan yang ada. Dalam kaitan inilah, penelitian ini dilakukan khususnya dalam mengantisipasi dampak bencana (natural maupun man made) yang cenderung meningkat, tuntutan pembangunan infrastruktur, serta dalam mendukung pemberlakuan dan penerapan Undang-undang Bangunan Gedung No. 28/2000 beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya. Dengan akan diterbitkannya Undang-undang tentang Standarisasi Nasional, maka kegiatan penelitian ini memiliki nilai strategis. Jurnal Standardisasi Vol. 9 No. 2 Tahun 2007: 56 - 63 59 4. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini lebih menekankan kepada pencarian data dan informasi menyangkut penerapan NSPM selama ini. Oleh karena itu kegiatan yang dilakukan meliputi survey lapangan yang dilaksanakan pada beberapa kota terpilih (Jakarta, Semarang, Surabaya, Denpasar, Mataram, Makasar, Manado, Banjarmasin, Medan, Padang, Palembang, dan Batam), diskusi teknis dan wawancara-wawancara, pengamatan praktek lapangan, komunikasi dengan tenaga akhli dari kalangan konsultan, perguruan tinggi, pejabat dilingkungan Departemen PU, Pemerintah Daerah, Dinasdinas Teknis di daerah, kontraktor, para praktisi dan individual maupun badan yang terlibat dalam penerapan NSPM. Secara garis besar kegiatan penelitian meliputi: a. Inventarisasi NSPM wajib (menyangkut antara lain keselamatan terhadap bahaya kebakaran); b. Penetapan NSPM/SNI yang akan dievaluasi

melalui kesepakatan dalam rapat teknis dan diskusi dengan nara sumber; c. Evaluasi penerapan NSPM terpilih tersebut dilaksanakan melalui survey dan wawancara di lapangan dikaitkan dengan proses membangun; d. Identifikasi pokok-pokok substansi yang perlu di-revisi dalam NSPM/SNI yang dibahas dengan nara sumber dan stakeholder terkait lewat rapat teknis; e. Pengecekan terhadap metode penerapan NSPM/SNI termasuk ketersediaan pedoman teknis yang mendukung penerapan. Untuk membantu dalam rangka pencarian data, maka disusun suatu kuesioner yang mencakup pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut : 1) Sejauh mana responden mengenal SNI tersebut?; 2) Penyebab mengapa SNI kurang dikenal/diketahui?; 3) Apabila responden mengetahui SNI, apakah digunakan dalam pelaksanaan pembangunan bangunan gedung?; 4) Sebab-sebab SNI tidak digunakan dalam pelaksanaan pembangunan?; 5) Apakah responden memahami/mengerti akan substansi yang diatur atau yang dipersyaratkan dalam standar tersebut?; 6) Apakah responden menjumpai beberapa pasal atau bagian dari standar tersebut yang kurang jelas atau rancu dan sebutkan di bagian mana?; 7) Menurut responden apakah substansi standar tersebut mampu menjawab permasalahan yang terjadi di lapangan?; 8) Apakah responden menggunakan pula peraturan atau standar lainnya disamping SNI tersebut?; 9) Menurut responden apakah standar-standar yang dikemukakan tersebut harus sudah diperbaiki atau direvisi?; 10) Kaitan dengan penerapan standar, apakah perlu disusun suatu petunjuk atau pedoman teknis untuk membantu memberikan penjelasan terhadap substansi standar

tersebut ?. Sebagaimana telah disebutkan diatas, bahwa teknik pengumpulan data dari kegiatan penelitian ini adalah menggunakan instrumen kwesioner disebarkan kepada 105 responden, dengan analisis data menggunakan skala Guttman dengan perhitungan dilakukan seperti pada Skala Likert. Skor 3 untuk jawaban ya/tidak ada sosialisasi/substansi kurang jelas, skor 2 untuk jawaban tidak/tidak ada instruksi/substansi kurang sesuai, dan skor 1 untuk jawaban tidak tahu/belum tahu/tidak terkait dengan pekerjaan/ tidak seluruhnya/belum mempelajari. Dari pengumpulan data tersebut, jawaban responden dikompilasi pada tabel, sebagai berikut: Jurnal Standardisasi Vol. 9 No. 2 Tahun 2007: 56 - 63 60 Tabel Rekapitulasi Jawaban Kuesioner Keselamatan terhadap Bahaya Kebakaran No. Pertanyaan/Pernyataan Alternatif Jawaban 321 1. Apakah Bpk/Ibu mengenal atau mengetahui adanya standar SNI No. 03-17462000; No. 03-3989-2000 dan No. 03-1745-2000? 56 35 3 3. Apabila mengenal atau mengetahui standar SNI No. 03-1746-2000; No. 03-3989-2000 dan No. 03-1745-2000, apakah Bpk/ibu menggunakan sebagai acuan dalam perencanaan atau pelaksanaan pembangunan bangunan gedung? 51 15 16 4. Apabila Bpk/Ibu tidak menggunakan standar SNI No. 03-1746-2000; No. 03-3989-2000 dan No. 03-1745-2000, maka hal ini disebabkan ? 5 14 33 5. Apakah Bpk/Ibu memahami substansi yang diatur atau yang dipersyaratkan dalam standar SNI No. 03-1746-2000, No. 03-39892000 dan No. 03-1745-2000? 19 19 37 6. Apakah Bpk/Ibu menjumpai ada beberapa pasal atau bagian dari standar SNI No. 03-1746-2000; No. 03-3989-2000 dan No. 03-17452000, yang kurang jelas atau rancu ? 4 18 46 7. Apakah substansi ketiga standar tersebut mampu menjawab permasalahan yang terjadi di lapangan? 38 5 35 8. Apakah Bpk/Ibu menggunakan pula peraturan atau standar lainnya, disamping ketiga SNI tersebut? 35 42 3 9. Menurut Bpk/Ibu apakah standar SNI No. 03-1746-2000; No. 03-3989-

2000 dan No. 03-1745-2000, harus sudah direvisi atau diperbaiki substansinya? 28 14 27 10 . Terkait dengan standar SNI No. 03-1746-2000; No. 03-3989-2000 dan No. 03-1745-2000, apakah perlu disusun suatu petunjuk/pedoman teknis untuk membantu memberikan penjelasan terhadap substansi ketiga standar tersebut? 71 2 8 Sumber : Hasil Penelitian Pusat Litbang Permukiman 2006. 1= Tidak Tahu; Tidak terkait dengan pekerjaan; Belum tahu, Tidak seluruhnya; Belum mempelajari 2= Tidak; Tidak ada instruksi; Substansi kurang Sesuai 3= Ya; Tidak ada sosialisasi; Substansi kurang jelas No. 1 Skor 3 = 56; skor 2 = 35 dan skor 1 = 3. Jumlah skor untuk jawaban 3: 56 x 3 = 168 Jumlah skor untuk jawaban 2: 35 x 2 = 70 Jumlah skor untuk jawaban 1: 3 x 1 = 3 Jumlah skor = 241 Jumlah skor tertinggi (ideal): 3 x 105 = 315 (Ya) Jumlah skor terendah: 1 x 105 = 105 (Tidak tahu) Perhitungan: 241/315 x 100 % = 76,51 % Jawaban kuesioner No. 1 dengan jumlah responden 105, SNI No. 03-1746-2000; No.033989-2000 dan No. 03-1745-2000, telah dikenal, di kalangan pemerintah, perguruan tinggi, konsultan dan sebagainya, hal tersebut terbukti dari perhitungan dan kriteria interpretasi skor, sebagai berikut: Kriteria interpretasi skor: 76,51 % 0--------20--------40--------60----70--*--80--------100 No. 2 Skor 3 = 38; skor 2 = 5 dan skor 1 = 9. Jumlah skor untuk jawaban 3: 38 x 3 = 114 Jumlah skor untuk jawaban 2: 5 x 2 = 10 Jumlah skor untuk jawaban 1: 9 x 1 = 9 Jumlah skor = 133 Jumlah skor tertinggi (ideal): 3 x 105 = 315 (Tidak ada sosialisasi) Jumlah skor terendah: 1 x 105 = 105 (Tidak terkait dengan pekerjaan) Perhitungan: 133/315 x 100 % = 42,22 % Jawaban kuesioner No. 2 dengan jumlah

responden 105, tidak mengenal atau mengetahui SNI No. 03-1746-2000; No.03-3989-2000 dan No. 03-1745-2000, karena kurang sekali Penerapan NSPM Bidang Keselamatan (Achmad Hidajat Effendi dan Suprapto) 61 sosialisasi, hal tersebut terbukti dari perhitungan dan kriteria interpretasi skor, sebagai berikut: Kriteria interpretasi skor: 42,22 % 0--------20--------40-*-45------60--------80--------100 No. 3 Skor 3 = 51; skor 2 = 15 dan skor 1 = 16. Jumlah skor untuk jawaban 3: 51 x 3 = 153 Jumlah skor untuk jawaban 2: 15 x 2 = 30 Jumlah skor untuk jawaban 1: 16 x 1 = 16 Jumlah skor = 199 Jumlah skor tertinggi (ideal): 3 x 105 = 315 (Ya) Jumlah skor terendah: 1 x 105 = 105 (Tidak tahu) Perhitungan: 199/315 x 100 % = 63,17 % Jawaban kuesioner No. 3 dengan jumlah responden 105, SNI No. 03-1746-2000; No.033989-2000 dan No. 03-1745-2000, telah digunakan sebagai acuan dalam perencanaan atau pelaksanaan pembangunan gedung, hal tersebut terbukti dari perhitungan dan kriteria interpretasi skor, sebagai berikut: Kriteria interpretasi skor: 63,17 % 0--------20--------40--------60-*-65------80--------100 No. 4 Skor 3 = 5; skor 2 = 14 dan skor 1 = 33. Jumlah skor untuk jawaban 3: 5 x 3 = 15 Jumlah skor untuk jawaban 2: 14 x 2 = 28 Jumlah skor untuk jawaban 1: 33 x 1 = 33 Jumlah skor = 76 Jumlah skor tertinggi (ideal): 3 x 105 = 315 (Substansi kurang jelas) Jumlah skor terendah: 1 x 105 = 105 (Belum tahu) Perhitungan: 76/315 x 100 % = 24,13 % Jawaban kuesioner No. 4 dengan jumlah responden 105, tidak menggunakan SNI No. 031746-2000; No.03-3989-2000 dan No. 03-17452000, disebabkan substansi tidak jelas, hal tersebut terbukti dari perhitungan dan kriteria interpretasi skor, sebagai berikut: Kriteria interpretasi skor: 24,13 %

0--------20-*--30----40--------60--------80--------100 No. 5 Skor 3 = 19; skor 2 = 19 dan skor 1 = 37. Jumlah skor untuk jawaban 3: 19 x 3 = 57 Jumlah skor untuk jawaban 2: 19 x 2 = 38 Jumlah skor untuk jawaban 1: 37 x 1 = 37 Jumlah skor = 132 Jumlah skor tertinggi (ideal): 3 x 105 = 315 (Ya) Jumlah skor terendah: 1 x 105 = 105 (Tidak seluruhnya) Perhitungan: 132/315 x 100 % = 41,90 % Jawaban kwesioner No. 5 dengan jumlah responden 105, substansi yang diatur atau yang dipersyaratkan dalam SNI No. 03-1746-2000; No.03-3989-2000 dan No. 03-1745-2000, disebabkan kurang memahami, hal tersebut terbukti dari perhitungan dan kriteria interpretasi skor, sebagai berikut: Kriteria interpretasi skor: 41,90 % 0--------20--------40*---50----60--------80--------100 No. 6 Skor 3 = 4; skor 2 = 18 dan skor 1 = 46. Jumlah skor untuk jawaban 3: 4 x 3 = 12 Jumlah skor untuk jawaban 2: 18 x 2 = 36 Jumlah skor untuk jawaban 1: 46 x 1 = 46 Jumlah skor = 94 Jumlah skor tertinggi (ideal): 3 x 105 = 315 (Ya) Jumlah skor terendah: 1 x 105 = 105 (Belum mempelajari) Perhitungan: 94/315 x 100 % = 29,84 % Jawaban kuesioner No. 6 dengan jumlah responden 105, tentang adanya beberapa pasal atau bagian dari SNI No. 03-1746-2000; No.033989-2000 dan No. 03-1745-2000 yang kurang jelas atau rancu, responden menjawab kurang mempelajari, hal tersebut terbukti dari perhitungan dan kriteria interpretasi skor, sebagai berikut: Kriteria interpretasi skor: 29,84 % 0--------20---*30----40--------60--------80--------100 No. 7 Skor 3 = 38; skor 2 = 5 dan skor 1 = 35. Jumlah skor untuk jawaban 3: 38 x 3 = 114 Jumlah skor untuk jawaban 2: 5 x 2 = 10 Jumlah skor untuk jawaban 1: 35 x 1 = 35 Jumlah skor = 159

Jumlah skor tertinggi (ideal): 3 x 105 = 315 (Ya) Jumlah skor terendah: 1 x 105 = 105 (Tidak tahu) Perhitungan: 159/315 x 100 % = 50,48 % Jawaban kuesioner No. 7 dengan jumlah responden 105, responden menjawab substansi ketiga SNI No. 03-1746-2000; No.03-3989-2000 dan No. 03-1745-2000, mampu menjawab permasalahan yang terjadi di lapangan hal tersebut terbukti dari perhitungan dan kriteria interpretasi skor, sebagai berikut: Jurnal Standardisasi Vol. 9 No. 2 Tahun 2007: 56 - 63 62 Kriteria interpretasi skor: 50,48 % 0--------20--------40----50*---60--------80--------100 No. 8 Skor 3 = 35, skor 2 = 42 dan skor 1 = 3. Jumlah skor untuk jawaban 3: 35 x 3 = 105 Jumlah skor untuk jawaban 2: 42 x 2 = 84 Jumlah skor untuk jawaban 1: 3 x 1 = 3 Jumlah skor = 192 Jumlah skor tertinggi (ideal): 3 x 105 = 315 (Ya) Jumlah skor terendah: 1 x 105 = 105 (Tidak tahu) Perhitungan: 192/315 x 100 % = 60,95 % Jawaban kuesioner No. 8 dengan jumlah responden 105, responden menjawab bahwa selain ketiga SNI No. 03-1746-2000; No.033989-2000 dan No. 03-1745-2000, menggunakan pula peraturan atau standar lain, hal tersebut terbukti dari perhitungan dan kriteria interpretasi skor, sebagai berikut: Kriteria interpretasi skor: 60,95 % 0---------20--------40--------60*---70----80--------100 No. 9 Skor 3 = 28, skor 2 = 14 dan skor 1 = 27. Jumlah skor untuk jawaban 3: 28 x 3 = 84 Jumlah skor untuk jawaban 2: 14 x 2 = 28 Jumlah skor untuk jawaban 1: 27 x 1 = 27 Jumlah skor = 139 Jumlah skor tertinggi (ideal): 3 x 105 = 315 (Ya) Jumlah skor terendah: 1 x 105 = 105 (Tidak tahu) Perhitungan: 139/315 x 100 % = 44,13 % Jawaban kuesioner No. 9 dengan jumlah responden 105, responden menjawab ketiga SNI

No. 03-1746-2000; No.03-3989-2000 dan No. 03-1745-2000, perlu direvisi atau diperbaiki substansinya, hal tersebut terbukti dari perhitungan dan kriteria interpretasi skor, sebagai berikut: Kriteria interpretasi skor: 44,13 % 0--------20--------40-*--50----60--------80--------100 No. 10 Skor 3 = 71, skor 2 = 2 dan skor 1 = 8. Jumlah skor untuk jawaban 3: 71 x 3 = 213 Jumlah skor untuk jawaban 2: 2 x 2 = 4 Jumlah skor untuk jawaban 1: 8 x 1 = 8 Jumlah skor = 225 Jumlah skor tertinggi (ideal): 3 x 105 = 315 (Ya) Jumlah skor terendah: 1 x 105 = 105 (Tidak tahu) Perhitungan: 225/315 x 100 % = 71,43 % Jawaban kusioner No. 10 dengan jumlah responden 105, responden menjawab ketiga SNI No. 03-1746-2000; No.03-3989-2000 dan No. 03-1745-2000, perlu sekali disusun suatu petunjuk/pedoman teknis untuk membantu memberikan penjelasan terhadap substansi dari ketiga standar tersebut, hal ini terbukti dari perhitungan dan kriteria interpretasi skor, sebagai berikut: Kriteria interpretasi skor: 71,43 % 0--------20--------40--------60----70*---80--------100 5. BAHASAN Hasil survey lapangan dan hasil analisis dalam penelitian penerapan NSPM bidang keselamatan terhadap bahaya kebakaran diperoleh hal-hal berikut, yang terkait dengan masalah kesesuaian NSPM/SNI bidang keselamatan terhadap bahaya kebakaran dengan kebutuhan lapangan, maka diperoleh informasi, sebagai berikut: a. Standar-standar tentang keselamatan terhadap bahaya kebakaran telah cukup dikenal di masyarakat pengguna (76,51% responden); b. Sebanyak 42,22% responden mengatakan penyebab kurang dikenalnya SNI tentang keselamatan terhadap bahaya kebakaran adalah kurang sekali sosialisasi khususnya terhadap instansi atau pihak-pihak terkait dengan masalah kebakaran;

c. 63,17% responden mengatakan bahwa ketiga SNI tentang keselamatan terhadap bahaya kebakaran digunakan sebagai acuan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan bangunan gedung; d. Sejumlah 24,13% responden kurang diterapkannya SNI tentang keselamatan terhadap bahaya kebakaran disebabkan ketidak jelasan materi (substansi); e. 41,90% responden mengatakan kurang memahami substansi kertiga SNI tentang keselamatan terhadap bahaya kebakaran; f. Sejumlah 29,84% responden menyatakan kurang mempelajari terdapatnya beberapa pasal yang kurang jelas atau rancu pada ketiga SNI tersebut; g. Sejumlah 50,48% responden mengatakan ketiga SNI tentang keselamatan terhadap bahaya kebakaran mampu menjawab permasalahan di lapangan; Penerapan NSPM Bidang Keselamatan (Achmad Hidajat Effendi dan Suprapto) 63 h. 60,95% responden menggunakan pula standar atau SNI lain, selain SNI tentang keselamatan terhadap bahaya kebakaran; i. 44,13% responden menyatakan ketiga SNI tentang keselamatan terhadap bahaya kebakaran perlu dan mengusulkan untuk dilakukan perbaikan (revisi); j. 71,43% responden menyatakan perlu sekali, dan mengusulkan untuk dibuatkan pedoman teknis, untuk membantu memberikan penjelasan terhadap substansi dari ketiga SNI tersebut yang tidak jelas. 6. KESIMPULAN a. Secara keseluruhan NSPM atau SNI bidang keselamatan terhadap bahaya kebakaran telah dikenal masyarakat pengguna, namun masih perlu sosialisai dilakukan di seluruh daerah; b. Dalam rangka peningkatan penerapan NSPM/SNI bidang keselamatan terhadap bahaya kebakaran masih perlu dilakukan penyempurnaan/perbaikan dan revisi disamping perlunya disusun pedoman / petunjuk teknis yang lebih sederhana dan

praktis; c. Perlunya peningkatan akses dan kemudahan dalam memperoleh buku-buku NSPM/SNI; d. Perlunya suatu standing committee pada setiap aspek dalam rangka terus memantau dan mengkaji kwalitas penerapan NSPM sebagai pemandu mutu pembangunan; e. Masih diperlukannya kebijakan dan strategi yang mantap dalam rangka penerapan NSPM di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum; f. Surat Keputusan Menteri menyangkut SNI Wajib perlu diralat istilah pengesahan menjadi pemberlakuan; g. Perlu ditindak lanjuti usulan Kepala Badan Litbang PU agar setiap proyek infrastruktur ke-PU-an menggunakan NSPM/SNI yang dikukuhkan lewat Peraturan Menteri PU dan setiap pedoman/petunjuk teknis diberlakukan dengan Surat Keputusan Kepala Badan Litbang PU. DAFTAR PUSTAKA 1. Departemen Pekerjaan Umum, 1998, Keputusan Menteri PU No. 44/KPTS/1998, tentang Persyaratan Teknis Bangunan Gedung, Jakarta. 2. Kantor Menteri Negara PU, 2000, Keputusan Menteri Negara PU No. 10/KPTS/2000, tentang Ketentuan Teknis Pengamanan Terhadap Bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan, Jakarta. 3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, 2005, No. 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, Jakarta. 4. Pusat Litbang Permukiman, 2006, Laporan Akhir Aplikasi NSPM Dalam Pembangunan Infrastruktur Perumahan dan Permukiman, Pusat Litbang Permukiman, Badan Litbang PU, Departemen Pekerjaan Umum, Bandung. 5. Riduwan, Drs., M.B.A., 2002, Skala Pengukuran Variabel-Variabel Penelitian, Alfabeta, Bandung.

6. SNI No. 03-1746-2000 tentang Tata Cara Perencanaan dan Pemasangan Sarana Jalan Ke luar, BSN, Jakarta. 7. SNI No. 03-3989-2000 tentang Tata Cara Perencanaan dan Pemasangan Sistem Sprinkler Otomatik untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung, BSN, Jakarta. 8. SNI No. 03-1745-2000 tentang Tata Cara Perencanaan dan Pemasangan Sistem Pipa Tegak dan Slang untuk Pencegahan bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung, BSN, Jakarta. 9. Suprapto, 2005, Building Regulatory System in Indonesia, Seminar on Fire safe use of Timber in Construction, held in Wellington on 24-26th may 2005. 10. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002, tentang Bangunan Gedung, Jakarta. BIODATA Achmad Hidajat Effendi, lahir di Bandung, 3 Mei 1953, saat ini bekerja di Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemukiman, Badan Litbang, Departemen Pekerjaan Umum. Saat ini peneliti menjabat sebagai Peneliti Madya bidang Sains Bangunan. Suprapto, saat ini bekerja di Pusat Penelitian Kalibrasi Instrumentasi dan Metrologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Penulis menamatkan pendidikan S1 dan S2 bidang Elektronika Ehime University tahun 1992 dan 1994 dan S3 dari Shinshu University, Jepang tahun 2001. Saat ini penulis menjabat sebagai Peneliti bidang Instrumentasi Optik di Laboratorium Metrologi Radiometeri Fotometri. Jurnal Standardisasi Vol. 9 No. 2 Tahun 2007: 64 - 68 64 STUDI PENERAPAN SNI OLEH LEMBAGA PENILAIAN KESESUAIAN Muti Sophira Hilman dan Ellia Kristiningrum Abstract Conformity assessment body (CAB) such as Certification body, inspection and laboratorium has role in quality assurance of goods or services. Application of SNI by CAB may describe development of standard application. At

this time, data of SNI application and its constraint by CAB is not known for sure yet. The objective of the research is to know how many SNI has implemented by CAB and reasons and problems that faced CAB in order to implement SNI. Method of the study is a survey method. Discussion in this study using decriptive method, it describes about situation or factual condition. Data collecting tools is by quetioner. Questioner was distributed to CAB that was accredited by KAN, such as testing laboratory, quality system certification body, environmental quality system certification body, product certification body, calibration laboratory and inspection body. Applying of SNI by LPK is equal to 14.46% SNI applied to amount of total SNI. Amount of SNI applied by testing laboratory is 873 SNI, by calibration laboratory is 210 SNI, 31 SNI applied by inspection body, 134 SNI applied by product certification body, 52 SNI applied by quality management system certification body, 4 SNI applied by HACCP certification body and 5 SNI applied by EMS certification body. The first reason that CAB is not apply SNI that is SNI inappropriate with customer or market need. Cost of treatment and equipments and difficulty of the process accreditation is a major problem of CAB to apply SNI. Keywords: Conformity assessment body, Application, SNI 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Standar Nasional Indonesia (SNI) dibuat oleh stakeholder Indonesia sebagai standar nasional hasil konsensus para pemangku kepentingan dan ditujukan untuk menjadi faktor penguat daya saing, pelancar transaksi perdagangan, dan pelindung kepentingan umum. Sejak pertama kali diterbitkan, SNI sudah digunakan dalam lingkungan industri dan perdagangan dan telah mencakup semua sektor, seperti kelautan, pertanian, pertambangan, teknologi informasi, nuklir, dan lain-lain. Kegiatan perumusan SNI tersebut diikuti oleh berbagai pihak yang mencerminkan unsur-unsur stakeholder, yaitu pemerintah, produsen, konsumen, cendekiawan, lembaga riset. Sampai pada akhir tahun 2005, jumlah SNI yang telah ditetapkan mencapai 6.633 judul. Penerapan SNI adalah kegiatan menggunakan SNI oleh pelaku usaha di seluruh wilayah Indonesia. Kegiatan penggunaan SNI ini

sangat erat kaitannya dengan kegiatan pemberlakuan standar, akreditasi, sertifikasi, dan metrologi. Penerapan SNI dimaksudkan untuk mendukung terwujudnya jaminan mutu barang, jasa, proses, sistem atau personel sehingga dapat memberikan kepercayaan kepada pelanggan dan pihak terkait bahwa suatu organisasi, barang, jasa yang diberikan telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Selain itu penerapan standar juga dimaksudkan untuk menjamin peningkatan produktivitas, daya guna dan hasil guna serta perlidungan kepada konsumen, tenaga kerja dan masyarakat dalam hal keselamatan, keamanan, kesehatan dan kelestarian lingkungan hidup. Penarapan SNI pada dasarnya bersifat sukarela, namun untuk standar yang berkaitan dengan keselamatan, keamanan, kesehatan dan kelestarian lingkungan hidup dapat dipertimbangkan untuk diberlakukan standar wajib. (SSN, 2001) Penerapan SNI akan dapat lebih berdaya guna dan berhasil guna jika didukung dengan sistem sertifikasi, kalibrasi dan inspeksi yang handal dan dapat dipercaya serta dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku secara internasional. Dengan demikian lembaga penilaian kesesuaian (LPK) seperti lembaga sertifikasi, lembaga inspeksi dan laboratorium mempunyai peranan yang besar dalam memberikan jaminan mutu terhadap barang dan atau jasa. Penilaian kesesuaian dapat digunakan untuk memeriksa bahwa produk tertentu bisa memenuhi tingkat mutu dan pengamanan, serta mempermudah konsumen untuk mengetahui keterangan secara tegas dan lengkap mengenai sifat khusus, konsistensi sifat khusus tersebut, dan atau penampilan produk tersebut. Penilaian kesesuaian adalah setiap kegiatan yang berhubungan dengan penilaian baik langsung maupun tidak langsung terhadap produk, jasa atau proses yang menyatakan bahwa persyaratan terhadap standar atau spesifikasi terkait telah terpenuhi. Kegiatan penilaian kesesuaian terkait dengan pengambilan contoh, pengujian, kalibrasi, inspeksi, evaluasi, verifikasi,

dan jaminan kesesuaian serta registrasi dan akreditasi. Tujuan penilaian kesesuaian adalah menjamin mutu produk, perlindungan terhadap Studi Penerapan SNI oleh LPK (Muti Sophira H dan Ellia K) 65 kesehatan dan keselamatan manusia, perlindungan terhadap kehidupan dan kesehatan,perlindungan terhadap lingkungan, perlindungan terhadap praktek penipuan, dan perlindungan terhadap kepentingan keamanan yang dianggap sebagai tujuan yang sah. Lembaga Penilaian Kesesuaian diantaranya yaitu: a. Lembaga Sertifikasi Lembaga ini mempunyai kompetensi untuk melakukan penilaian kesesuaian sistem atau produk terhadap persyaratan tertentu, dimana hasil penilaiannya dinyatakan dengan sertifikat (misal: sistem manajemen mutu, sistem manajemen lingkungan, produk, sistem keamanan pangan (HACCP Hazard Analysis and Critical Control Point) b. Laboratorium Untuk laboratorium meliputi laboratorium penguji dan atau laboratorium kalibrasi yang melakukan kegiatan pengujian dan atau kalibrasi, dimana hasil pengujian dan/atau kalibrasi dinyatakan dengan sertifikat/laporan hasil uji atau sertifikat kalibrasi. c. Lembaga inspeksi Lembaga ini mempunyai kompetensi untuk melakukan pemeriksaan kesesuaian barang dan atau jasa terhadap persyaratan tertentu, dimana hasil pemerikasaan dinyatakan dengan sertifikat hasil inspeksi Penerapan SNI oleh LPK merupakan salah satu gambaran mengenai perkembangan penerapan standar. Permasalahan saat ini adalah bahwa sampai saat ini belum diketahui data yang pasti seberapa jauh SNI yang diterapkan dan bagaimana permasalahan yang dihadapi LPK dalam menerapkan SNI. 1.2 Tujuan Studi ini bertujuan untuk mengetahui seberapa

jauh SNI diterapkan oleh LPK dan mengetahui alasan serta permasalahan dalam penerapan SNI oleh LPK. 1.3 Metodologi Studi dilakukan dengan metode survey. Pembahasan dalam studi ini dilakukan secara deskriptif yaitu membuat gambaran mengenai situasi atau kejadian berdasarkan data-data atau keterangan yang faktual. Pengumpulan data dilakukan menggunakan kuesioner. Pengiriman kuesioner ditujukan kepada lembaga-lembaga penilaian kesesuaian (LPK) yang telah diakreditasi oleh KAN yaitu laboratorium penguji, lembaga sertifikasi sistem mutu, lembaga sertifikasi sistem mutu lingkungan, lembaga sertifikasi produk, HACCP, laboratorium kalibrasi dan lembaga inspeksi. Kuesioner dikirimkan kepada 412 Lembaga Penilaian Kesesuaian. 2. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada studi ini 412 kuesioner disebarkan, dan yang memberikan jawaban sebanyak 339 LPK, yaitu 229 Laboratorium Uji, 61 Laboratorium Kalibrasi, 18 Lembaga sertifikasi produk, 13 lembaga sertifikasi sistem mutu, 2 Lembaga sertifikasi HACCP, 2 Lembaga sertifikasi sistem manajemen lingkungan dan 14 Lembaga inspeksi. Dari data yang ditampilkan dalam Tabel 1, menunjukkan bahwa dari 339 LPK dapat diketahui sebanyak 255 LPK (75%) menerapkan SNI, dan yang tidak menerapkan SNI sebanyak 84 LPK (25%). LPK yang menerapkan SNI diantaranya adalah 182 Laboratorium uji, 36 laboratorium kalibrasi, 17 Lembaga sertifikasi produk, 12 lembaga sertifikasi sistem mutu, 2 lembaga sertifikasi HACCP, 2 lembaga sertifikasi sistem manajemen lingkungan dan 4 lembaga inspeksi. Berdasarkan hasil survey sebagian besar LPK menjawab alasan tidak menerapkan SNI yaitu bahwa SNI tidak diperlukan oleh pelanggan atau pasar (61%). Hal yan perlu juga diperhatikan yaitu dengan alasan LPK menggunakan standar selain SNI yaitu tidak adanya SNI yang sesuai pada lingkup yang dibutuhkan (34%), sesuai dengan permintaan

pelanggan (33%) dan persyaratan teknis standar lain lebih sesuai (24%). Data selengkapnya dapat dilihat dalam Gambar 2 dan 3. Dari gambar 3 terlihat bahwa ada SNI yang persyaratan teknisnya tidak sesuai (24%) perlu mendapatkan perhatian untuk ditinjau kembali. Disamping itu beberapa lingkup LPK belum ada SNI nya (34%) juga perlu ditinjau dan dipertimbangkan untuk dibuat SNI nya. Standar lain yang banyak digunakan LPK yaitu ASTM, JIS, ISO, APHA, BS, AOAC, IEC dengan jumlah standar yang berbeda, seperti disajikan dalam Tabel 2. Jurnal Standardisasi Vol. 9 No. 2 Tahun 2007: 64 - 68 66 Tabel 1 Lembaga Penilaian Kesesuaian yang Menerapkan SNI No. LPK Menerapkan Tidak Menerapkan Jumlah 1 Lab.Uji 182 47 229 2 Lab.Kalibrasi 36 25 61 3 Lem.Sert.Produk 17 1 18 4 Lem.Ser.Sis.Mutu 12 1 13 5 Lem.Sert.HACCP 2 0 2 6 Lem.Sert.Sis.Manj.Lingk 2 0 2 7 Lem.Inspeksi 4 10 14 Jumlah 255 84 339 Tabel 2 Standar Lain Selain SNI yang Diterapkan No. Standar Asing Jumlah Standar 1 JIS 100 2 JAS 2 3 EN 15 4 BS 47 5 APHA 48 6 ASTM 251 7 ANSI 3 8 DIN 12 9 ISO 58 10 IEC 18 11 ALS 1 12 ASME 5 13 AWS 1 14 API 6 15 BAM 1 Kemampuan SDM atau instrumen/alat

uji belum memadai 0% Lain-lain 35% Spesifikasi SNI terlalu berat untuk dipenuhi 4% Biaya peralatan dan perawatan yang mahal 0% Tidak diperlukan oleh pelanggan atau pasar 61% Gambar 2 Alasan LPK tidak Menerapkan SNI Studi Penerapan SNI oleh LPK (Muti Sophira H dan Ellia K) 67 Gambar 3 Alasan LPK Mengunakan Standar Lain lain-lain 7% Lokasi badan akreditasi jauh dari lokasi 11% Biaya Akreditasi mahal 15% Lingkup akreditasi tidak tersedia 16% Proses akreditasi tidak mudah 21% Biaya peralatan dan perawatan mahal 30%

Gambar 4 Kendala LPK dalam Menerapkan SNI Tabel 3 Penerapan SNI oleh Lembaga Penilaian Kesesuaian No. Responden Sertifikat Penerapan SNNIo n sertifikat 1. Laboratorium uji 701 172 2. Laboratorium kalibrasi 205 5 3. Lembaga inspeksi 27 4 4. Lembaga sertifikasi produk 130 4 5. Lembaga sertifikasi SMM 50 2 6. Lembaga sertifikasi HACCP 4 0 7. Lembaga sertifikasi SML 5 0 Gabungan 802 157 % terhadap total 12,09% 2,36% Gambar 4 menunjukkan bahwa biaya peralatan dan perawatan yang mahal (30%), proses akreditasi tidak mudah (21%), lingkup akreditasi tidak tersedia (16%), serta biaya akreditasi mahal (15%) menjadi permasalahan dalam penerapan SNI. Hal ini dapat menjadi masukan bagi Komite Akresitasi Nasional (KAN) bahwa kemudahan dalam proses akreditasi, perluasan ruang lingkup dan reakreditasi oleh KAN dapat mendorong percepatan kinerja LPK dalam penilaian kesesuaian. Namun semuanya itu kembali pada kemampuan LPK dalam memenuhi persyaratan akreditasi yang meliputi: manajemen, SDM, dan alat-alat laboratorium yang dimilikinya sesuai dengan standar yang digunakan. LPK merupakan lembaga yang kegiatannya tidak terlepas dari standar dikarenakan lembaga sertifikasi, lembaga inspeksi dan laboratorium mempunyai peranan yang besar dalam Sesuai dengan permintaan pelanggan 33% Tidak ada SNI pada lingkup yang dibutuhkan 34% Lain - lain 9% Persyaratan teknis lebih

sesuai 24% Jurnal Standardisasi Vol. 9 No. 2 Tahun 2007: 64 - 68 68 memberikan jaminan mutu terhadap barang dan atau jasa. Dalam studi ini ditetapkan dua kategori penerapan SNI oleh LPK, yaitu LPK yang menerapkan SNI secara utuh serta memberikan/mengeluarkan sertifikat, dan LPK yang mengunakan SNI untuk kepentingan internal/tidak mengeluarkan sertifikat. Data dalam Tabel 3 menunjukkan bahwa SNI yang diterapkan oleh laboratorium penguji dengan mengeluarkan sertifikat yaitu sebanyak 701 SNI dan yang tidak mengeluarkan sertifikat sebanyak 172 SNI. Sedangkan pada laboratorium kalibrasi sebanyak 205 SNI dengan sertifikat dan 5 tanpa sertifikat. Data selanjutnya penerapan SNI oleh lembaga sertifikasi produk, lembaga sertifikasi manajemen mutu (LSSM), lembaga inspeksi, lembaga sertifikasi sistem manajemen lingkungan (LSML), dan paling rendah ialah lembaga sertifikasi HACCP. Hasil ini tidak bisa dikatakan bahwa LSML dan LSHACCP tidak aktif dalam penerapan SNI, melainkan karena memang jumlah SNI terkait yang relatif sedikit. Tabel 3 juga menunjukkan jumlah gabungan dari penerapan SNI bersertifikat sebanyak 802 SNI atau sekitar 12,09% dari jumlah total SNI (6633). Sedangkan untuk penerapan SNI non sertifikat sebanyak 157 buah SNI atau sekitar 2,36%. Banyaknya SNI yang diterapkan sudah diperhitungkan dimana tidak terjadi dua kali (duplikasi) perhitungan untuk SNI yang sama yang diterapkan oleh LPK. Berdasarkan hasil kuesioner diatas penerapan SNI oleh LPK tanpa sertifikasi ini mengindikasikan bahwa permintaan oleh industri hanya dilakukan pada sebagian dari persyaratan mutu SNI, belum terdapatnya ruang lingkup SNI produk yang diminta oleh pihak konsumen (industri), dan industri mengacu pada standar lain dikarenakan pertimbangan tertentu. 3. KESIMPULAN Berdasarkan studi yang dilakukan dapat

disimpulkan bahwa perkembangan penerapan standar oleh lembaga penilaian kesesuaian adalah sebagai berikut: 1) Penerapan jumlah SNI oleh LPK sebesar 14,46% SNI yang diterapkan terhadap jumlah SNI total. 2) Alasan utama LPK tidak menerapkan SNI adalah bahwa beberapa SNI tidak diperlukan dan tidak sesuai perminataan pelanggan atau pasar. 3) Kendala/permasalahan utama LPK dalam penerapan SNI adalah biaya peralatan dan perawatan yang mahal dan proses akreditasi tidak mudah DAFTAR PUSTAKA 1. Nazir, M. Metode Penelitian. 1999. Metode Penelitian, Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia. 2. Badan Standardisasi Nasional. 2000. Standardisasi dalam Perspektif Ilmu, Industri dan Perdagangan. 3. Badan Standardisasi Nasional. 2001. Sistem Standardisasi Nasional 4. Herjanto, E dan Bendjamin BL. 2006. Penerapan SNI oleh Pemangku Kepentingan. Proceeding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Standardisasi. Jakarta. Badan Standardisasi Nasional. hlm 209-120. 5. Komite Akreditasi Nasional. 2006. Katalog KAN 2005. BIODATA Muti Sophira Hilman, dilahirkan di Bandung tahun 1974. Penulis adalah Peneliti Pertama yang menamatkan pendidikan di Universitas Padjajaran, jurusan Biologi. Saat ini penulis bekerja di Badan Standardisasi Nasional sebagai staf pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Standardisasi BSN Ellia Kristiningrum, dilahirkan di Sukoharjo, 20 Februari 1981. Penulis menamatkan S1 jurusan Teknik Kimia di Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta. Saat ini penulis bekerja sebagai staf di Pusat Penelitian dan pengembangan Standardisasi, Badan Standardisasi Nasional. Tinjauan Sosio Teknologi (Agus Fanar Sukri)

69 TINJAUAN SOSIO TEKNOLOGI ATAS PENERAPAN STANDAR PELAYANAN PUBLIK DI KABUPATEN JEMBRANA BALI Agus Fanar Syukri Abstract Public Services are central theme in Indonesia bureaucratic reformation, especially for local government. One of the local government is Jembrana district in Bali, that has successfully implemented the IWA 4:2005 (International Workshop Agreement 4) in the upgrading the public services, such as in public education, health and welfare, through the Information and Communication Technologies (ICT), so that it becomes one of the pilot projects in bureaucratic reformation in Indonesia. This paper describes and analyses the socio technology and quality management system review of the reformation successfully of public services in Jembrana district. It is hope that the other government institutions will follow to implement the IWA 4:2005. Keywords: public services, IWA 4:2005 , socio-technology 1. PENDAHULUAN Pelayanan publik pada dasarnya mencakup aspek kehidupan masyarakat luas. Dalam kehidupan bernegara, pemerintah memiliki fungsi melayanani publik, dalam bentuk mengatur maupun menerbitkan perizinan dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang pendidikan, kesehatan, usaha, kesejahteraan dan sebagainya. Sejak tahun 1990-an, reformasi pelayanan publik telah dimulai di negara-negara maju, karena masyarakat menginginkan peningkatan kualitas pelayanan publik yang mereka terima. Di Indonesia sendiri, upaya perbaikan pelayanan pemerintah kepada masyarakat sebenarnya telah dilaksanakan sejak tahun 1980-an, antara lain melalui Inpres nomor 5 tahun 1984 tentang Pedoman Penyederhanaan dan Pengendalian Perijinan di Bidang Usaha. Upaya tersebut dilanjutkan dengan Surat Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara nomor 81 tahun 1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum. Kemudian, untuk lebih mendorong komitmen aparatur pemerintah terhadap peningkatan mutu pelayanan, maka telah diterbitkan pula Inpres No. 1 Tahun 1995

tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat. Tuntutan reformasi di Indonesia yang bergulir sejak tahun 1997 yang diawali oleh krisis ekonomi, kemudian berimbas ke krisis politik, dan akhirnya mengakibatkan krisis sosial telah mendorong pemerintah melihat kembali arti pentingnya mutu pelayanan publik serta pentingnya melakukan perbaikannya. Sehingga pada tahun 2003, telah diterbitkan Keputusan Menpan nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik[1]. Upaya meningkatkan kualitas pelayanan tidak hanya ditempuh melalui aturan-aturan pemerintah sebagaimana tersebut di atas, tetapi juga melalui peningkatan kemampuan aparat (SDM birokrat) dalam memberikan pelayanan. Upaya ini dilakukan dengan cara memberikan berbagai materi manajemen pelayanan dalam diklat-diklat struktural pada berbagai tingkatan [2]. Tuntutan perbaikan mutu pelayanan pemerintah, tidak saja ditujukan untuk melayani kebutuhan masyarakat semata, tetapi juga dapat memberikan iklim kondusif bagi dunia usaha nasional dan dapat meningkatkan daya tarik arus investasi dari luar negeri, karena faktor kemudahan birokrasi. 2. PELAYANAN PUBLIK DAN DESENTRALISASI Undang Undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (pemda) yang diberlakukan sejak 1 Januari 2001, menjadi titik tolak pemberian dan perluasan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemda, sebagai salah satu upaya untuk memotong jalur birokratis dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat, yang selama ini memakan waktu yang lama dan berbiaya tinggi. UU 22/1999 tersebut kemudian direvisi menjadi UU 32/2004. Saat ini, UU 32/2004 sedang direvisi lagi, karena ada perbaikan dalam sistem pemilihan kepala daerah, dalam bentuk diadopsinya calon independen. Dengan desentralisasi, pemerintah pusat

telah mengalihkan beberapa kewenangannya kepada kabupaten/kota untuk mengelola kegiatan pemerintahannya secara otonom, Jurnal Standardisasi Vol. 9 No. 2 Tahun 2007: 69 - 75 70 kecuali dalam urusan 6 bidang: pertahanan dan keamanan, moneter, agama, kehakiman, dan hubungan luar negeri, dan lintas kabupaten/kota. Dengan desentralisasi kewenangan tersebut, pemda mau tidak mau harus mampu melaksanakan berbagai kewenangan yang selama ini dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Untuk itu, pemda dituntut mampu memberikan pelayanan yang lebih berkualitas, lebih efisien, efektif dan bertanggung jawab (accountable). Jadi, tujuan utama otonomi daerah (otda) adalah untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Dalam konteks desentralisasi kewenangan ini, pelayanan publik pemda seharusnya menjadi lebih responsif terhadap kepentingan publik dengan fokus kepuasan penerima layanan/pelanggan (customer-driven government). Dari hasil survei yang dilakukan UGM pada tahun 2002 tentang kualitas pelayanan publik setelah diberlakukannya otda, diketahui bahwa walaupun dari sisi efisiensi dan efektivitas, responsivitas, kesamaan perlakuan dan besar kecilnya rente birokrasi masih jauh dari yang diharapkan, namun secara umum mengalami perbaikan[3]. Oleh karena itu, dengan membandingkan upaya-upaya yang telah ditempuh oleh pemerintah dengan kondisi pelayanan publik yang dituntut dalam era otda, tampaknya apa yang telah dilakukan pemerintah masih belum banyak memberikan kontribusi bagi perbaikan kualitas pelayanan publik di negeri ini; bahkan aparat birokrasi pelayanan publik masih belum mampu menyelenggarakan pelayanan yang diharapkan oleh masyarakat, kecuali hanya 3% daerah yang telah berhasil memperbaikinya, yaitu 360 unit penyelenggara pelayanan publik dari sekitar 12.000 unit, yaitu antara lain kabupaten Solok, Sragen, Jembrana dan Kota

Parepare[4]. 3. PERMASALAHAN PELAYANAN PUBLIK Pelayanan yang berkualitas sangat tergantung pada 3 aspek, yaitu bagaimana pola penyelenggaraannya, dukungan sumber daya manusia dan kelembagaan/institusi/ organisasi [5, 6]. 3.1 Pola Penyelenggaraan Dilihat dari sisi pola penyelenggaraannya, pelayanan publik di Indonesia masih memiliki beberapa kelemahan, antara lain: a. Kurang responsif. Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur pelayanan, mulai pada tingkatan petugas pelayanan (front line staff) sampai dengan tingkatan penanggungjawab instansi. Respon terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau bahkan diabaikan sama sekali. b. Kurang informatif. Berbagai informasi yang seharusnya disampaikan kepada masyarakat, lambat penyampaiannya, atau bahkan tidak sampai sama sekali kepada masyarakat. c. Kurang accessible. Berbagai unit pelaksana pelayanan terletak jauh dari jangkauan masyarakat, sehingga menyulitkan bagi mereka yang memerlukan pelayanan. d. Kurang koordinasi. Berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan lainnya kurang berkoordinasi. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan instansi pelayanan lain yang terkait. e. Terlalu Birokratis. Pelayanan, khususnya pelayanan perijinan, pada umumnya dilakukan dengan melalui proses yang terdiri dari beberapa meja yang harus dilalui, sehingga menyebabkan penyelesaian pelayanan yang terlalu lama. Dalam hal penyelesaian masalah dalam proses pelayanan, staf pelayanan tidak mempunyai kewenangan menyelesaikan masalah, dan di lain pihak masyarakat sulit bertemu dengan penanggungjawab pelayanan. Akibatnya, berbagai masalah

pelayanan memerlukan waktu yang lama untuk diselesaikan. Bukan rahasia lagi bahwa panjangnya meja birokrasi dalam pengurusan perijinan/untuk mendapatkan pelayanan, dimanfaatkan oleh oknum aparat untuk mengambil pungutan liar (pungli), sehingga mengakibatkan tingginya harga pelayanan, menjamurnya korupsi di tubuh birokrasi dan ketidakpuasan masyarakat penerima layanan. f. Kurang mau mendengar keluhan/saran/ aspirasi masyarakat. Pada umumnya aparat pelayanan kurang peduli terhadap keluhan/saran/aspirasi dari masyarakat. Akibatnya, pelayanan diberikan apa adanya, tanpa ada perbaikan dari waktu ke waktu. g. Inefisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan, khususnya dalam pelayanan perijinan, seringkali tidak relevan dengan pelayanan yang diberikan. Tinjauan Sosio Teknologi (Agus Fanar Sukri) 71 3.2 SDM Dilihat dari sisi sumber daya manusianya, kelemahan utama pelayanan publik pemda adalah tentang kurangnya profesionalisme, kompetensi, empati dan etika. Dan salah satu unsur utama yang sangat perlu dipertimbangkan untuk perbaikan/peningkatan mutu pelayanan publik adalah masalah sistem remunerasi (penggajian) yang sesuai bagi birokrat, sehingga pungli dan korupsi di tubuh birokrasi dapat dikurangi, atau dibersihkan. 3.3 Kelembagaan Kelemahan utama kelembagaan birokrasi pemda terletak pada disain organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat yang efisien dan optimal; tetapi justru hirarkis, sehingga membuat pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis) dan tidak terkoordinasi dengan baik. Kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus, yaitu fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat dominan dilakukan oleh pemerintah, sehingga pelayanan publik menjadi

tidak efisien. Sebaiknya, kedua fungsi tersebut dibagi secara seimbang antara pemerintah dan masyarakatat, yaitu pemerintah sebagai pemegang fungsi pengaturan, sedangkan dalam hal-hal tertentu yang memungkinkan, masyarakat dilibatkan dalam fungsi penyelenggaraan, misalnya perencanaan dan pembangunan. 4. PEMECAHAN MASALAH Tuntutan masyarakat pada era desentralisasi terhadap pelayanan publik yang berkualitas telah semakin menguat. Oleh karena itu, kredibilitas pemerintah sangat ditentukan oleh kemampuannya mengatasi berbagai permasalahan pelayanan publik seperti telah disebutkan di poin 3. tersebut di atas, sehingga pemerintah yang mampu menyediakan pelayanan publik yang memuaskan masyarakat, akan terus mendapatkan dukungan dari masyarakat. 4.1 Penyelesaian Secara Mikro Masalah-masalah pelayanan publik, secara mikro dapat diatasi dengan: 4.1.1 Penetapan Standar Pelayanan Standar pelayanan memiliki arti yang sangat penting, karena merupakan suatu komitmen penyelenggara pelayanan untuk menyediakan pelayanan dengan suatu kualitas tertentu, sesuai dengan harapan-harapan masyarakat dan kemampuan penyelenggara pelayanan. Penetapan standar pelayanan yang dilakukan melalui proses identifikasi jenis pelayanan, identifikasi penerima layanan , identifikasi harapan penerima layanan , perumusan visi dan misi pelayanan, analisis proses dan prosedur, sarana dan prasarana, waktu dan biaya pelayanan. Proses ini tidak hanya akan memberikan informasi mengenai standar pelayanan yang harus ditetapkan, tetapi juga informasi mengenai kelembagaan yang mampu mendukung terselenggaranya proses manajemen yang menghasilkan pelayanan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Informasi lain yang juga dihasilkan adalah informasi mengenai kuantitas dan kompetensikompetensi sumber daya manusia yang

dibutuhkan serta distribusinya beban tugas pelayanan yang akan ditanganinya. Sebagai salah satu standar pelayanan mutu untuk pemda (pemda) adalah IWA 4:2005 (International Workshop Agreement 4), yang mengadopsi sistem manajemen mutu ISO9001:2005 untuk dapat diterapkan secara spesifik di pelayanan publik pemda. 4.1.2 Pengembangan Standard Operating Procedures (SOP) Untuk memastikan bahwa proses pelayanan dapat berjalan secara konsisten diperlukan adanya Standard Operating Procedures (SOP). Dengan adanya SOP, maka proses pengolahan yang dilakukan secara internal dalam unit pelayanan dapat berjalan sesuai dengan acuan yang jelas, sehingga dapat berjalan secara konsisten. Di samping itu SOP juga bermanfaat untuk: Memastikan bahwa proses dapat berjalan uninterupted. Jika terjadi hal-hal tertentu, misalkan petugas yang diberi tugas menangani satu proses tertentu berhalangan hadir, maka petugas lain dapat menggantikannya.Oleh karena itu proses pelayanan dapat terus berjalan; Memastikan bahwa pelayanan perijinan dapat berjalan sesuai dengan peraturan yang berlaku; Memberikan informasi yang akurat ketika dilakukan penelusuran terhadap kesalahan prosedur jika terjadi penyimpangan dalam pelayanan; Memberikan informasi yang akurat ketika akan dilakukan perubahan-perubahan tertentu dalam prosedur pelayanan; Memberikan informasi yang akurat dalam Jurnal Standardisasi Vol. 9 No. 2 Tahun 2007: 69 - 75 72 rangka pengendalian pelayanan; dan Memberikan informasi yang jelas mengenai tugas dan kewenangan yang akan diserahkan kepada petugas tertentu yang akan menangani satu proses pelayanan tertentu. Atau dengan kata lai