trilogi nalar menurut muhammad abed al...
TRANSCRIPT
56
BAB III
TRILOGI NALAR MENURUT MUHAMMAD ABED AL
JABIRI
A. Autobiografi dan Pemikiran Muhammad Abed Al Jabiri
1. Biografi Muhammad Abed al Jabiri
Dalam kancah intelektual muslim kontemporer nama al Jabiri-
sebutan Muhammad Abed al Jabiri-bukanlah nama yang asing. Al Jabiri
lahir di Figuig atau Fejij (Pekik) bagian tenggara Maroko tahun 1936.
Masa pendidikannya ia tempuh di kotanya sendiri, mulanya ia dikirim ke
sekolah agama, lalu ke sekolah swasta nasionalis (Madrasah hurrah
wathaniyah) yang didirikan oleh gerakan kemerdekaan. Sejak tahun 1951–
1963 ia menghabiskan waktu dua tahun di sekolah lanjutan negeri
(setingkat SMA) di Casablanca. Setelah Maroko merdeka, al Jabiri
mendapatkan gelar diploma dari sekolah tinggi Arab dalam bidang
science (ilmu pengetahuan).1
Kebesaran nama al Jabiri memang tidak lepas dari lingkungan dan
dunia politik yang melingkarinya sebagaimana keluarganya yang juga
aktivis partai. Salah satu pemimpin sayap kiri pecahan partai Istiqlal2
yakni Mehdi ben Barka, yang dalam perkembangannya partai ini
kemudian memisahkan diri dan mendirikan The Union Nationale De
1 Muhammad Abed al Jabiri, Kritik Kontemporer Atas Filsafat Arab-Islam. Terj Moch
Nur Ikhwan,Yogyakarta: Islamika, 2003, cet I, hlm xviii 2 Muhammad Abed al JAbiri Formasi Nalar Arab;Kritik Tradisi menuju pembebasan dan
PluralismeWacana Intereligius, terj Imam Khoiri, Yogyakarta: IRCISOD, 2003, cet I hlm 591
57
Forces Populaires (UNFP) kemudian berganti nama menjadi Union
Socilieste Des Forces Populaires (USFP), adalah orang dekat al Jabiri
yang mendampingi dan membimbing al Jabiri semasa muda. Ia juga yang
menyalurkan al Jabiri untuk bisa bekerja disalah satu lembaga penerbitan
resmi partai Istiqlal yakni Jurnal al ‘Alam yang saat itu menjadi tulang
punggung dan pusat informasi bagi partai Istiqlal.
Tahun 1958 al Jabiri melanjutkan studinya dan berniat untuk
memperdalam filsafat di Universitas Damaskus di Syiria. Akan tetapi ia
tidak bertahan lama di Syiria, satu tahun kemudian ia pindah ke
Universitas Rabat yang saat itu baru didirikan. Selama masa
pendidikannya, ternyata ia terus menggeluti aktivitas politiknya, sampai
kemudian tahun 1963 ia masuk penjara dengan tuduhan makar terhadap
negara yang saat itu memang banyak disematkan kepada anggota partai
UNFP lainnya.3
Setelah ia keluar dari penjara, tahun 1964 al Jabiri kembali ke
lingkungan akaademiknya dengan mulai mengajar filsafat ditingkat sarjana
muda, selain itu juga ia tergabung dalam beberapa forum. Tahun 1966 ia
bersama Ahmad as Sattati dan Mustofa al Qamari bekerjasama untuk
menerbitkan teks book tentang pemikiran Islam dan filsafat yang
diperuntukkan bagi sarjana muda ditahun akhir sebelum mereka
menyelesaikan pendidikan. Selama kurang lebih satu periode beberapa
3 Berkaitan dengan aktifitas al Jabiri dalam bidang politik, khususnya prototife tentang
penegakan HAM dan Demokrasi lihat Muhammad Abed al Jabiri, Syuro, Tradisi, Partikularitas, Universalitas Yogyakarta: LKiS, 2003, cet I, hlm 18. Muhammad Abed al Jabiri, Kritik Kontemporer…op.cit hlm 4
58
aktifitas al Jabiri baik dalam ranah intelektualitas maupun beberapa forum
lain telah membentuk dia menjadi intelektual yang sangat penting era itu.
Beberapa artikel dengan beragam isu yang dihembuskan berhasil
dipublikasikan di Maroko.
Ia kemudian melanjutkan studinya untuk memperoleh gelar
magister sampai tahun 1967, dengan judul tesis Falsafah al Tarikh ‘inda
Ibnu Kholdun, dibawah bimbingan M. Aziz Lahbabi. Dan saat itu dia
sudah mulai mengajar filsafat di Universitas V Rabat Maroko. Tahun
berikutnya sampai 1970 al Jabiri menyelesaikan studi untuk memperoleh
gelar Ph.D dengan disertasi tentang pemikiran Ibn Kholdun, dibawah
bimbingan Najib Baladi. Nah, selama dekade 1970 an nama al Jabiri terus
berkibar lewat beberapa tulisannya yang diterbitkan secara berkala baik
khususnya yang berkenaan dengan Pemikiran Islam, sehingga cepat
mendapat respon dari berbagai kalangan baik intelektual maupun
akademisi dunia Arab.
Tahun 1976 ia mulai mengenalkan dua buah karyanya tentang
epistemologi (satu tentang matematika dan rasionalisme modern dan yang
lain tentang metode empiris dan perkembangan pemikiran ilmiah),
sekalipun sampai saat itu ia tidak bisa meninggalkan aktifitas politiknya
yang telah ia geluti semenjak awal. Hal itu terbukti dengan ia menjadi
anggota biro politik USFP sejak tahun 1975, sekaligus sebagai salah satu
pendirinya. Tapi bagaimanapun, ia akhirnya harus memilih antara di dunia
59
akademis intelektual atau terus menggeluti politik.4 Tahun 1980–1981
setelah melalui beberapa pertimbangan akhirnya ia memilih untuk untuk
mencurahkan energi dan pikirannya untuk intelektualitas dan menggeluti
bidang keilmuan, sekaligus mengundurkan diri dari biro politik yang telah
dijabatnya. Semenjak itu ia terus berkonsentrasi untuk dunia ilmiah
beberapa tulisan dan artikelnya ia kumpulkan dan ia terbitkan termasuk
beberapa artikel yang pernah ia presentasikan dalam beberapa forum
seminar ataupun konferensi. Beberapa judul buku yang telah berhasil ia
himpun adalah Nahnu wa al turats, dua tahun kemudian ia menerbitkan
sebah buku lagi dengan judul Al Khittab Al Arabi Al Muassir Dirasah
Taqliliyah Naqdiyyah (Wacana Arab Kontemporer; Studi Kritis Dan
Analitis) karya-karyanya terus bertebaran dengan terbitnya magnum opus
yakni Naqd al ‘Aql al ‘Arabi yang dipublikasikan tahun 1984,1986 dan
tahun 1990.
Kalau dirunut perjalanan intelektual al Jabiri cukup mendulang
hasil setelah menerbitkan kurang lebih 17 karya5 dan beberapa tulisan
yang tersebar di berbagai terbitan, sungguh menakjubkan. Kredibilitas al
Jabiri sebagai pemikir Islam garda depan sedemikian diakui dikalangan
4 Muhammad Abed al Jabiri, Syuro, Tradisi,….Ibid. hlm 85 5 Ahmad Baso secara panjang lebar menulis beberapa kumpulan karya dan tulisan al Jabiri yang tersebar secara acak. Perjalanan intelektual dan epistemologinya juga dikupas habis oleh Baso dalam buku yang akhirnya diberi judul “Post Tradisonalisme Islam” yang diterbitkan oleh LKiS Yogyakarta tahun 2000. Tema ini sempat mengemuka dalam belantika wacana keislaman di Indonesia. Post Tradisionalisme Islam adalah istilah populer dikalangan muda Nahdlatul ulama. Secara panjang lebar konsep dan metodologi Past Tradisionalisme Islam dikupas dalam Jurnal Taswirul Afkar edisi 10 tahun 2000, dengan judul “Post tradisionalisme Islam, Konsepsi, Metode dan Sejarahnya” atau Jurnal Justisia edisi 21 tahun 2002.
60
pemikir Islam kontemporer, sebut saja Mohammad Arkoun dan Fetimma
Mernisi yang keduanya sama-sama berasal dari Maghribi.
Secara geografis, lingkungan di Maroko sangat mendukung bagi
perkembangan intelektual al Jabiri. Selain Aljazair dan Tunisia, Maroko
sebagai bagian dari wilayah Maghribi merupakan negeri yang pernah
menjadi wilayah protektoriat Prancis. Secara tidak langsung, tradisi dan
bahasa Prancis menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat
Maroko, efeknya sarjana dan intelektual Maroko lebih mudah mengenal
warisan pemikiran yang menggunakan bahasa Prancis. Nama-nama seperti
Hichem Djait, Abd al Razaq al Daway, Abdullah Laroui, Muhammad
Arkoun dan Fetimma Mernisi adalah sederet nama yang menggandrungi
filsafat Prancis, mulai dari strukturalis, post strukturalis sampai post
modernis.
Bisa kita amati karya-karya post strukturalis dan post modernis
mulai bermunculan dengan terjemahan Arabnya. Misalnya The Arkeologi
of knowledgenya Michael Foucault yang diterbitkan oleh Markaz al
Tsaqafi al Arabi (Pusat Kebudayaan Arab) di Casablanca Maroko.6
Beberapa pemikiran Levi-Straus dan Foucault juga tersebar di dua jurnal
berbahasa Arab, Baita al Hikmah edisi pertama-April 1986 dan edisi ke
empat-Januari 1987.
6 Muhammad Abed al Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, Alih bahasa Ahmad Baso,
Yogyakarta: LKiS, 2000, xiv.
61
2. Karya-karya Muhammad Abed al Jabiri
Ada hal yang berbeda dari pemikir-pemikir Islam lainnya,
Muhammad Abed al Jabiri selama kurang lebih 20 tahun membangun
tradisi kritik dalam pemikiran Islam, sejak tahun 1970-an ia menghabiskan
waktunya untuk menghasilkan beberapa karya yang cukup brilian.
Diantara karyanya yang terkenal adalah trilogi Naqd al ‘Aql al ‘Arabi.
Buku ini berisi 1200 halaman lebih. Konsep triloginya ini juga tersebar di
tiga buku beliau, pertama, Taqwin al ‘Aql al ‘Arabi (Formasi Nalar Arab,
1982), Bunyah al ‘Aql al ‘Arabi (Struktur Nalar Arab, 1986), al ‘Aql al
Siyasi al ‘Arabi (Nalar Politik Arab, 1990) semuanya diterbitkan oleh
Markaz Dirasah al Wihdah al Arabiyah, Beirut, Libanon.
Sejak awal memang al Jabiri dikenal sebagai pemikir Islam yang
sangat produktif, itu terlihat dari beberapa karya yang lebih dahulu
diterbitkan semisal Fikr ibn Khaldun al Ashabiyah wa al Daulah terbit
tahun 1971, awalnya tulisan ini adalah disertasinya di Universitas
Muhammad al Khamis Maroko tahun 1970, secara tuntas al Jabiri
mengupas pemikiran Ibnu Khaldun tentang kekuasaan, Negara dan
Primordialisme di Arab. Tahun 1973 ia kembali menulis sebuah buku
tentang pendidikan dan tradisi pengajaran di kota kelahirannya, Maroko
yang kemudian ia beri judul Adlwa ala Musykil al Ta’lim.
Tahun 1976 ia kembali melanjutkan karyanya dengan menulis
tentang epistemologi pengetahuan, dengan judul Madkhal ila Falsafah al-
Ulum (pengantar Filsafat Ilmu). Buku ini merupakan hasil pergulatannya
62
dengan beberapa referensi filsafat Prancis dan Barat. Tahun 1980 al Jabiri
juga menerbitkan karya berikutnya Nahnu wa-I Turats: Qira’ah
Muasyiroh fi Turatsina al Falsafi yang kemudian diterjemahkan menjadi
Kita dan Tradisi: Pembacaan kontemporer atas Tradisi Filsafat Kita.
Dalam buku ini, al Jabiri menulis beberapa sebab kemunduran peradaban
Islam diantaranya menyebut beberapa pemikiran filosuf muslim seperti
Ibnu Sina sebagai penyebabnya, karena bagi al Jabiri Ibnu Sina telah
menelorkan konsep irasionalitas dengan astrologi dan ‘ilmu-ilmu
saihirnya’ yang kemudian dikonsumsi oleh bangsa Arab dan ini salah satu
faktor bangsa peradaban Arab tidak maju. Ia juga menulis al Khitab al
Arabi al Muashir: Dirasah Tahliliyah Naqdiyah dalam edisi Indonesia
menjadi Wacana Arab Kontemporer; Studi Kritik – Analitik). Untuk
pertama kali buku ini terbit tahun 1982 dan cukup menjadi perhatian
publik kala itu karena dengan keberaniannya ia memakai metode Analisis
Wacana untuk memetakan pemikiran arab Modern-Kontemporer. Tahun
1989 ia menulis Isykaliyat al Fikr al Arabi (judul terjemahan Beberapa
Problematika Pemikiran Arab Kontemporer) dan secara kontinyu ia
meneliti tradisi Arab dan selalau menulisnya dalam sebuah karya tahun
berikutnya yakni 1990, ia menulis Hiwal al Masyriq wa al Maghrib:Talihi
Silsilah al Rudud wa al Munaqasat (Meleburkan Timur Dan Barat Dalam
Cakrawala Kritik Dan Dialog), kemudian tahun 1991 ia kembali
menerbitkan sebuah karya al Turats wa al Hadasah:Dirasah wa
Munaqasah yang kemudian diterjemahkan menjadi Tradisi dan
63
Modernitas: Studi Kajian dan Perdebatan). Tahun 1992 buku berikutnya
terbit dengan Judul Wijhah Nazhr Nahw I’adah Bina Qadlaya al Fikr al
Arabi al Muashir (judul terjemahan Satu Sudut Pandang Menuju
Rekonstruksi Persoalan pemikiran Arab Kontemporer).
Dengan tidak mengenal lelah, al Jabiri terus menorehkan buah
karyanya lewat tulisan yang terus-menerus ia hasilkan tahun 1994 ia
menulis al Mas’alah al Tsaqafiyah (terjemahan ; Problem kultural), di
tahun yang sama ia juga menulis Masalah al Hawiyah (Problem Identitas),
tahun berikutnya 1995 buku yang lain terbit yakni al Mutsaqqafun al Arab
fi –I Hadlarah al Islamiyah. Tahun 1998 al Jabiri terlibat dalam penerbitan
buku karya filosuf besar Islam, Ibnu Rusyd. Buku itu diberi judul al
Dharuri fi al Siyasah: Mukhtasar kitab al Siyasah li aflathun, dalam buku
ini al Jabiri hanya sebagai editor dan memeberikan pengantar tentang atas
pemikiran Plato dan Aristoteles yang ditulis oleh Ibnu Rusyd tersebut.
3. Pemikiran-pemikiran Muhammad Abed al Jabiri
a. Islam, Agama dan Negara
Langkah awal yang ditempuh al Jabiri sebenarnya ingin
mengetahui bagaimana memahami problem yang seringkali menjadi
perdebatan dikalangan Islamis dalam politik, yaitu Islam sebagai dien
(Agama), dan daulah (Negara). Pertama kali al Jabiri mencoba
memetakan perdebatan-perdebatan dengan aliran masing-masing
dalam memandang Islam. Ada kalangan liberal dan sekuleris yang
64
menganggap bahwa Islam adalah dien bukan daulah atau yang
difahami oleh kalangan Islamis bahwa Islam adalah dien dan daulah.
Pada posisi ini, ia mencoba untuk tidak terjebak dalam mainstream
tersebut. Justru ia ingin mempertanyakan makna dualisme dien/daulah
ini; benarkan Islam dalam sejarahnya mengenal dualisme tersebut?
ataukah dualisme tersebut sebenarnya hasil dari konstruksi yang keliru
dari cara pandang umat saat ini dalam melihat kaitan Islam dan politik?
Bila konstruksi tersebut keliru, lalu bagaimana kita memahami doktrin
“Islam dien wa al daulah tersebut?
Dari sini baru kemudian al Jabiri memulai menganalisa sejarah
politik Islam sejak masa Rosulullah SAW, secara panjang lebar ia
tuangkan dalam karyanya al Aql al Siyasi al Araby. Namun, ada satu
hal yang ingin diangkatnya dalam konteks dualisme din/daulah, yaitu
faktor penting antara kaum muhajirin dan anshar dalam Tsaqifah bani
Saidah setelah wafatnya Nabi untuk menentukan Khalifah. Menurut al
Jabiri pertemuan tersebut merupakan kerangka rujukan utama (ithar
marji’iy ra’isiy) bagi kaum Sunni dalam membangun sistem Khalifah
dan perilaku politik mayoritas kaum muslim hingga kini. Ada tiga poin
yang dicatat al Jabiri sebagai ‘fondasi teoritis’ atau al Ashl dari
pertemuan Tsaqifah itu bagi nalar politik Arab. Pertama, persoalan
politik umat Islam saat itu dibatasi soal figur yang akan menjadi
penguasa bagi kaum muslimin dan bukan pada negara sebagai sebuah
institusi dan sistem. Figur ini diangkat berdasarkan bai’ah, mengikuti
65
aturan Qur’an dan hadis dan memangku jabatan dalam tempo yang
tidak terbatas. Serta tidak pula terikat dengan syarat-syarat yang
berkaitan dengan kelembagaan, sarana dan sistem sehingga
memungkinkannya mengendalikan kekuasaan mutlak yang ada
padanya. Soalnya kaum muslimin menyerahkan sepenuhnya kepada
kewenangan melaksanakan administrasi pemerintahan mulai dari soal
pengangkatan pejabat pembantu, menteri dan gubernur, serta tidak
pula mengharuskan adanya pengawasan kepada penguasa tersebut.
Karena setelah berlangsunya sumpah setia dan baiat tersebut, ia
sepenuhnya bertanggung jawab kepada Tuhan dan bukan kepada yang
membaiatnya. Kewajiban mereka hanyalah menaati khalifah selama
tidak memerintahkan hal-hal yang bersifat kedurhakaan kepada Tuhan
(la tha’ata limakhluq fi ma’shiyatil khaliq)
Kedua, teori politik Sunni mengharuskan adanya Khalifah atau
pemimpin yang tunggal. Artinya hanya satu khalifah yang dibenarkan
berkuasa di Dunia Islam. Bisa saja ada menteri atau gubernur yang
berfungsi menggantikan fungsi khalifah dalam fungsi-fungsi tertentu.
Tapi, secara teoritis fiqhiyyah, khalifah tetap harus satu. Kendati dalam
kenyataannya umat Islam juga mengenal sejumlah khalifah dalam
waktu yang sama seperti kekhalifahan Umayah diandalusia, fatimiyah
di Kairo dan Abasiyah di Bagdad.
Ketiga, menurut kaum Sunni Khalifah ditentukan berdasarkan
pemilihan atau ikhtiyar dan bukan dengan wasiat atau nash seperti
66
yang diyakini kaum Syiah. Soalnya menurut mereka selama para
sahabat berselisih dalam menentukan pengganti Nabi dan lalu
bersepakat pada Abu Bakar selaku pemimpin mereka, maka itu berarti
nabi tidak memberi pesan atau menentukan apapun soal penggantinya
setelah wafat. Implikasinya untuk menentukan siapa yang berhak jadi
khalifah, yang jadi pertimbangan adalah kemampuan dan kekuatan.
Maka berlakulah doktrin berikut: barang siapa yang menghendaki
jabatan khilafah mempunyai kekuatan yang riil serta punya masa yang
menghendakinya ikhlas atau terpaksa, maka ia berhak menjadi
Khalifah. Mayoritas umat di Abad-abad pertama menghendaki
khalifah dari suku Quraisy akan tetapi di kritik oleh kelompok lain
yang tidak berasal dari Qurasiy. Namun demikian seperti apa yang
dikatakan al Jabiri yang jadi faktor penentu pada akhirnya adalah
kekuatan dan bukan keturunan. Sebagaimana halnya dengan baiah
yang sebenarnya baru berlaku setelah orang yang menuntut kursi
khalifah berhasil merebut kekuasaan. Singkatnya secara praktis baiah
hanya merupakan ungkapan lain dari sikap pasrah atas status quo.
Dari beberapa poin di atas, sebagai kesimpulan al Jabiri
menyebutkan bahwa teori khilafah Sunni secara umum merupakan
upaya untuk melegalisir status quo, dan bukan berorientasi
transformasi yang ditujukan untuk merubahnya. Sehingga praktis tidak
ada perubahan antara teori-teori kaum fuqaha tentang khilafah dan
kenyataan politik umat Islam.
67
Bila ini yang tergambar dalam tradisi politik Islam klasik, lalu
darimana problem kaitan dien wa daulah yang hingga kini
mempengaruhi nalar politik atau pandangan dan prilaku politik bangsa
Arab dan umat Islam pada umumnya? Dari sini al Jabiri melihat bahwa
akar-akar tumbuhnya problem tersebut muncul sejak perkenalan umat
Islam, khususnya masyarakat Arab dengan kemajuan peradaban barat
di satu pihak dan kemunduran dunia Islam di dunia lain.
Dalam konteks keindonesiaan, kajian ini juga akan menemukan
titik buntu. Bagaimana tidak? Studi kasus, beredarnya tuntutan untuk
penetapan syari’at Islam pasca rezim Soeharto.
Tuntutan adanya penetapan syari’at (tatbiq al syari’ah) oleh
sebagian kalangan, khususnya kalangan Islam kanan yang meyakini
bahwa Islam itu kaffah, sumber dari segala sumber kehidupan,
sehingga seluruh aspek kehidupan sudah tercakup didalamnya
(complicated). Hal ini sejalan dengan pemikiran kaum syiah yang
mengakui adanya pemositifan nilai-nilai dasar Islam secara
keseluruhan (in-toto), atau dalam paradigma pemikiran Islam kaum
syiah masuk dalam unified paradigm (paradigma integralistik), dimana
paradigma ini menjelaskan bahwa agama dan negara menyatu
(intregated), wilayah agama meliputi politik atau negara. Negara
merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Karenanya,
menurut paradigma ini kepala negara adalah pemegang kekuasaan
agama dan kekuasaan politik. Pemerintahannya dilaksanakan atas
68
dasar kedaulatan Ilahi (divine sovereignty). Sekalipun ada beberapa
istilah yang diganti misal negara (ad daulah) diganti dengan Imamah
(kepemimpinan) .
Kalau melihat penjelasan diatas, tidak berlebihan memang
adanya asumsi agama dan negara adalah menyatu. Lihat saja misalnya
masa pemerintahan Nabi SAW di Madinah, selain sebagai pemimpin
negara Nabi SAW juga sekaligus pemimpin Ummat. terbitnya
‘madinah carter’ adalah bukti peran aktif Nabi dalam penataan
masyarakat baik dari segi agama maupun politik. Karena sebetulnya
masyarakat Madinah adalah masyarakat pluralistik baik dari segi ras
maupun agama. Di sana terdapat campuran ras Yahudi, Arab
pengelana, terutama yang termasuk ke dalam dua suku Aus dan
Khazraj, serta kaum Muslimin emigran dari Makkah, sehingga tidak
mudah bagi seorang pemimpin untuk mempersatukan ummat Madinah
yang cukup heterogen dengan latar belakang sukunya masing-masing
dan dengan budaya masing-masing selain seorang agamawan dan
negarawan seperti Nabi SAW.
Di Madinah Nabi mulai memberikan perhatian yang cukup
serius untuk menciptakan suatu organ yang dapat diterima semua pihak
untuk menangani semua urusan yang ada di kota itu.
Kalau diselidiki lebih cermat, beberapa strategi
pencampuradukan politik dengan agama yang merupakan strategi nabi
Muhammad SAW adalah penyisipan istilah ummah. Memang,
69
sebagian sarjana Muslim berpendapat bahwa istilah ummah hanya
sebutan untuk masyarakat Islam atau menggambarkan masyarakat
Muslim, tapi ini tidak seluruhnya benar. Istilah ini menggambarkan
kedudukan secara de facto. Dalam tulisannya, Muhammad and the
Jews, A Re-Examination, Barakat Ahmad, menyimpulkan bahwa
secara teoritik, pemakaian istilah ummah selama risalah kerasulan
tidak terbatas pada komunitas Muslim saja akan tetapi untuk seluruh
masyarakat Madinah yang plural dan berasal dari etnis, ras dan agama
yang berbeda.
Merupakan hal yang luar biasa bagi bangsa Arab bisa
merasakan suatu kesepakatan yang diputuskan dan dilaksanakan secara
bersama, sehingga mereka bisa berhubungan satu suku dengan suku
lain secara bebas dan bersahabat. Bagi mereka (masyarakat Arab),
Piagam Madinah (sahifah) adalah dokumen yang dianggap sangat
progresif dan revolusioner yang sebelumnya belum pernah ada. Sangat
langka bagi mereka untuk hidup sebagai komunitas antar-suku dengan
kesepakatan bersama, sehingga mereka sangat mendukung inisiatif
Nabi untuk membangun basis bagi berlakunya prinsip hidup
berdampingan secara damai, co-existence. Yang tersirat dari dokumen
ini adalah bahwa Nabi sebagai peletak dasar (muassis) bagi komunitas
politik di Madinah dengan segala perbedaan yang ada, suku,
kelompok-kelompok dan agama - dengan menghormati kebebasan
untuk mengamalkan agama mereka masing-masing. Menjadi tidak
70
benar adanya asumsi bahwa nabi SAW bermaksud mendirikan sebuah
negara teologis. Akan tetapi, Nabi SAW hanya menyusun suatu
persetujuan yang menetapkan ketentuan-ketentuan yang disepakati
bersama.
Muhammad Syaid al Asmawy, dalam al Islam al Siyasi
mengatakan bahwa mencuatnya statemen ad dien wa al daulah (agama
dan negara) menjadikan polemik tersendiri bagi umat Islam,
pernyataan tersebut banyak mengundang penafsiran yang tidak jelas
arahnya. Wajar memang, karena al Qur’anpun tidak banyak berbicara
tentang urusan politik secara khusus dan komprehensif, yang ada
hanya prinsip-prinsip dan perintah untuk menegakkan keadilan,
menolong kaum dhuafa, kebajikan, musyawarah, melarang perbuatan
yang tercela. Qur’an tidak mengatur kaum muslimin secara spesifik
kecuali hanya meletakan garis besarnya saja dan hanya memberikan
kebebasan (al hurriyah) tanpa melanggar batas yang diinginkan.
Harus kita sadari politik bukanlah ‘ratu adil’ gerakan Islam
yang punya relasi dengan kekuasaan, terlebih Islam lebih menjurus
kepada fungsi yang lebih sosial seperti menolong orang lemah dan
fakir miskin, tidak memperhatikan secara fokus bentuk negara dan
pemerintahan. Ditambah Rosulullah juga tidak pernah menentukan
sistem politik dan kekuasaan tertentu melalui sunnahnya.
Al hasil, kalau yang dimaksud dengan Islam adalah ad dien wa
al daulah maka semua peraturan-peraturan negara haruslah berasal
71
dari Islam secara murni (aplikasi syari’ah, tatbiq al syari’ah).
Persoalannya, tidak ditemukan batasan-batasan secara definitif baik
dari Qur’an maupun hadis tentang hal-hal yang berhubungan dengan
hukum. Patut dipertimbangkan apa yang ditulis Ali Abdul Raziq
(1888-1966)7 dalam ‘al Islam wa al Ushul al ahkam, Bahs wa al
khilafah wa al hukumah fi al Islam. Ia menyatakan dengan tegas, tidak
ada negara Islam! Karena, bagi Ali abdul Raziq Islam yang dibawa
Muhammad adalah bervisi moral (etic vision)
Agak sulit membedakan istilah Islam dan politik ini.
Banyaknya peristiwa-peristiwa yang menggambarkan perselingkuhan
agama-negara menjadikan para ilmuwan menghela nafas, lihat
misalnya peristiwa pembangkangan yang dilakukan oleh kaum
quraisy masa awal Islam, kaum Quraisy melihat pengaruh dan
kekuasaan mereka hilang setelah berkembangnya agama baru-Islam-
tersebut. Josep Hall dalam tulisannya menyebutkan “Alasan
penentangan kaum Quraisy bukan terutama ajaran-ajaran Islam yang
baru, melainkan revolusi-revolusi sosial dan politik yang
diperjuangkan oleh Islam”.
Puncak dari pertentangan itu meletusnya perang Badar (Maret,
624 M) yang terjadi di Lembah badar, beberapa mil dari madinah.
Peristiwa pasca perang badar yang dimenangkan oleh kaum muslimin
7 Merupakan adik kandung filosof masyhur Islam, Musthofa Abdu Raziq, lahir di provinsi
Miya, Mesir, tahun 1988. Abdul Raziq adalah salah satu murid M. Abduh, tidak heran pemikiran-pemikirannya banyak dipengaruhi oleh beliau. Tahun 1911 ia masuk al azhar dan mendapat ijazah dari universitas tersebut pada tahun 1911, dan 2 tahun kemudian mendapat beasiswa ke Oxford, Inggris untuk menekuni studi ekonomi dan politik.
72
begitu besar dampaknya bagi konfigursi politik Islam. Prof. Piliph Hitti
menulis “meskipun peperangannya sendiri sama sekali tidak penting
sebagai sebuah gerakan militer, Gazwad-e badar meletakan dasar
bagi kekuasaan politik Muhammad (Islam). Islam memperoleh
kemenangan politiknya yang pertama, sampai saat itu Islam
merupakan suatu agama, setelah perang badar, ia disahkan menjadi
sesuatu yang lebih dari suatu agama negara dan ia sendiri menjadi
negara. ”8 Bahkan analisis Josep Hell menggambarkan bahwa
kemenangan perang Badar adalah menghasilkan konsolidasi kekuatan
nabi (dalam politik dan keimanan) di Yastrib. Disusul dengan perang
Uhud (Maret, 625 M) yang dimenangkan oleh orang-orang quraisy
karena pesekongkolan mereka dengan kaum Yahudi Madinah.
Konstalasi politik Islam-kafir Quraisy Makkah memuncak dengan
pecahnya perang parit, selama durasi 15 hari mereka mengepung
Madinah, akan tetapi strategi Muhammad untuk menghadang orang-
orang kafir Makkah cukup jitu, yakni dengan dibuatkannya parit
(khandaq), sehingga kafir quraisy meninggalkan Makkah tanpa hasil
apapun.
Telikungan orang-oarng kafir lewat tekanan-tekanan politik
untuk menghentikan da’wah Islam tidak berhenti disitu, sehingga
Muhammad cukup berhati-hati untuk mengambil sikap. Misal strategi
perjanjian hudaibiyyah, sebagai upaya rekonsiliasi umat Islam
8 Untuk lebih jelas lihat Syedd Mahmuddin Nasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya terj,
Bandung: Rosda, 1988 hlm.135
73
(Muhammad dengan kaum qurasiy), dengan tujuan agar umat islam
bisa melakuakan ibadah haji di Makkah, terjadi kira-kira 6 H. pasca
perjanjian hudaibiyyah, perlawanan kaum yahudi terus berlanjut hal itu
terbukti dengan beberapa peristiwa seperti Perang khaibar (628 M),
Ekspedisi Mut’ah (629 M)9, Penaklukan Makkah (630 M), Perang
Hunain (630 M), Ekspedisi tabuk (361) setidaknya beberapa
peperangan tersebut berawal dari perebutan kekuatan agama, akibat
penyebaran agama baru yang dilakuan oleh nabi SAW, mau tidak mau
persoalan politik dan strategi utnuk pengembangan dakwah Islam
menjadi ‘makanan’sehari-hari umat Islam saat itu.
Sekadar mengingat sejarah, pada permulaan abad 7 wilayah
timur tengah terbagi menjadi 2 kerajaan besar yang sangat
berseberangan, bermusuhan satu sama lain, yakni Persia dan
Bizantium. Kekaisaran Bizantium beribukota di Konstantinopel,
penduduknya beragama kristen dan berkebudayaan Yunani.
Sering kali terjadi chaos antara kedua imperium besar tersebut.
Tahun 602 Masehi dan 628 M misalnya, mereka berperang dengan
sengit, sayangnya acapkali melakukan peperangan, selalu
dimenangkan oleh kerajaan Bizantium.
Adalah Abu bakar yang saat itu berkuasa memandang perlu
adanya pertahanan didaerah yang berbatasan dengan Persia dan Syiria.
Memang saat itu posisi Islam adalah agama yang sedang berkembang
9 Terjadi karena terbunuhnya duta muslim Syurahbil Ibnu Amr dari banu Gassan di Syiria yang dikirim kepada pangeran Kristen dengan alasan melanggar adat istiadat dan hubungan antar suku di negara mereka.
74
dan mempunyai kekuatan penuh, disamping memang Islam adalah
agama yang misioner. Secara strategis sangat penting bagi umat Islam
untuk melanjutkan penyebarannya ke utara dan ke timur. Tidak heran
kalau strategi perang kerap kali dilakukan oleh pemerintahan Abu
Bakar untuk memperluas wilayah, termsuk memerangi wilayah
imperium Bizantium dan Persia.
Warna masa kepemimpinan Abu Bakar tidak jauh dari politik
memerangi kaum riddah dan perluasan wilayah. Tahun 13–25 H/634-
644 dimana khalifah umar berkuasa, beliau tinggal menjamin
perkembangan dan situasi politik pasca Abu Bakar yang telah berhasil
mengonsolidasikan dan menyelamatkan Islam dari kehancuran. Umar
pun dalam dakwahnya banyak mengarah kepada perluasan wilayah,
diantara yang berhasil ditaklukan adalah kota Damaskus. Masa
pemerintahan Umar adalah dimana ummatnya menjadi masyarakat
militer. Kenapa demikian? Karena hampir semua masyarakat Arab
pada masa itu adalah tentara.
Usaha ini di follow up-i oleh Usman (24-36 H/644-656 M),
dengan mengadakan perluasan imperium selama kurang lebih 12
tahun, sampai imperium arab meluas sampai asia dan afrika,
penaklukan Tipoli adalah salah satu keberhasilan Usman ditambah
dengan penyusunan kitab suci al Qur’an. Pasca Usman, Ali berkuasa
(36-41 H/656-661 M), hanya saja pergulatan politik saat itu sangat
sebegitu menyeramkan. Tidak heran banyak sekali persekongkolan dan
75
pemberontakan selama pemerintahan Ali. Misal pemberontakan yang
dilakukan oleh Zubair dan Tholhah, pemberontakan Muawiyah, perang
unta, perang siffin.
Kurang lebih berlangsung 30 tahun “republik Islam”
merupakan masa yang tidak bisa dilupakan oleh sejarah Islam, hanya
saja, tak terasa republik ini (Islam-pen) berakhir pada 661 M dengan
wafatnya khalifah Ali.
Kalau mau jujur, diakui apa tidak, politik sangat punya andil
dalam teologi Islam, lihat saja misalnya timbulnya aliran-aliran teologi
Islam juga berasal dari politic problem, persoalan-persoalan yang
berawal dari politik ‘naik pangkat’ menjadi persoalan teologi, betulkah
demikian? Ambil contoh, Khawarij.10
Khawarij adalah firqoh yang ‘kecewa’ atas ‘ulah’ Ali bin Abi
thalib yang mau tahkim dengan pihak Muawiyyah. Kemudian
‘sempalan’ kelompok ini berhimpun dan menyatakan ‘netral’ dari Ali
dan Muawiyyah. Sayang, lama-kelamaan akhirnya kelompok ini
membikin ‘dustur’ tersendiri, memiliki aturan yang dibuat sendiri
bahkan memiliki keyakinan dan akidah versi mereka sendiri dengan
mengangkat Abdullah bin Wahab sebagai imam mereka. Salah satu
inti ajarannya menyebutkan “Khalifah Usman bin Affan dianggap
menyeleweng mulai dari tahun ketujuh khilafahnya, sedang Ali bin Abi
10 Satu riwayat mengatakan kata khawarij diambil dari kata kharaja dan kata kawarij
merupakan bentuk jama dari kata kharijah maknanya dipakai untuk menyebut seorang Imam yang benar dan disepakati oleh umat. Golongan ini berasal dari sempalan kelompok Ali dan Muawiyyah pasca perang siffin.
76
Thalib dianggap menyeleweng dari setelah peristiwa perdamaian
dengan Muawiyyah. Dan sejak itu Usman dan Ali dihukumi kafir,
demikian pula Muawiyyah, Amr bin Ash, Abu Musa al Asy’ari serta
semua orang yang telah mereka anggap telah melanggar ajaran-
ajaran Islam”.11 Parahnya, Khawarij 12setelah ‘resmi’ menjadi aliran
kepercayaan menganggap alirannya paling benar (claim of truth)
bahkan mengangap halal hukumnya membunuh orang diluar aliran
mereka. Amtsilah yang lain, Murjiah. Aliran ini juga lahir tidak lepas
dari konstalasi politik saat itu. Adalah Abi Bakrah, Said bin Abi
Waqas, Abdullah bin Umar, Arm bin Abi Hushain yang menarik diri
dari suhu perpolitikan masa itu, mereka tidak mau melibatkan diri
dalam perselisihan yang terjadi antara Ali dan Muawiyyah, maupuan
Ali dengan Aisyah. Faham ini berkembang menjadi aliran politik yang
netral dan pada akhirnya membentuk golongan kepercayaan tersendiri.
Begitupun dengan Syi’ah.13
Tidak dipungkiri chauvinisme (ashobiyyah, rasa kesukuan)
yang dimiliki orang-orang Arab begitu kental dan hal ini juga yang
terlintas dibenak keluarga nabi SAW, sehingga mereka menganggap
yang paling berhak mengganti kekuasaan pasca Nabi harus dari
11 Periksa H.M.Muhaimin dalam Ilmu Kalam, Sejarah dan Aliran-aliran,
Yogyakarta:Pustaka Pelajar dan IAIN Ws, 1999, hlm 24 12 Dalam perkembangannya Khawarij terpecah menjadi beberapa sempalan, yakni 1) al-
Azaziqoh (w 686 M) dengan imamnya Nafi bin al Azaq. 2) An Najadat, imamnya adalah Nazdah bin Amir.3) Al Ibadiyyah dengan Tokohnya Abdullah bin ibadat Tamimy. 4) Sufriyah, Imamnya Ziad bin al Asfar (periksa HM Muhaimin, ibid, hlm.25-28
13 Ibnu Khaldun menulis kata syiah berarti ‘As shahbu wal ittibaa’u’ secara etimologi bermakna partai atau pengikut. (HM.Muhaimin, ibid.hlm 41)
77
keluarga Nabi juga dalam hal ini Ali bin abi thalib ‘dipolitisir’ sebagai
yang paling berhak menjadi khalifah. Inilah keberangkatan awal dari
aliran syiah. Jelas sudah proses politik prosentasenya lebih besar
dibanding nilai agama murni. Dan ini sangat ironis!bagaimana tidak?
Hampir seluruh aliran teologi Islam yang bermunculan adalah sebab
akibat dari percaturan politik semata, termasuk didalamnya aliran ahl
sunnah wa al jamaah.
"Tidak ada seorang peneliti pun yang tidak terkesan pada
kejeniusan politik penyusunnya. Nyatalah bahwa memperbaharui
dengan hati-hati dan bijaksana, adalah realitas suatu revolusi.
Muhammad tidak menyerang secara terbuka indenpedensi suku-suku
tersebut, tetapi memusnahkan pengaruhnya dengan mengubah pusat
kekuatan dari suku ke masyarakat ..."6
Kiranya pada tempatnya, jika kita perhatikan beberapa
ketentuan dari Sahifah itu. Ibnu Hisyam menyampaikan kepada kita:
"Ibnu Ishaq berkata, bahwa Rasulullah menyusun suatu persetujuan
antara Muhajirin dan Anshar, di dalamnya termasuk orang-orang
Yahudi. Orang-orang Yahudi diizinkan untuk tetap memeluk
agamanya dan menjaga harta kekayaan mereka. Dokumen itu dimulai
dengan nama Tuhan Maha Pengasih Maha Penyayang. Ini perjanjian
antara Muhammad dan orang-orang mukmin dan Muslim Quraisy dan
Yastrib (Medinah) dan orang-orang yang mengikuti mereka dan orang-
orang yang terikat padanya dan orang-orang yang mendukung mereka.
78
Mereka adalah umat yang satu yang berbeda dengan umat yang
lainnya. Orang-orang Yahudi akan berbagi tanggungjawab dengan
orang-orang Muslim selama mereka berjuang. Orang-orang Yahudi
dari Bani Auf akan menjadi satu Ummah dengan orang-orang Muslim.
Bagi orang Yahudi agama mereka dan bagi Muslim agama mereka
pula..."7
Dokumen ini meletakan dasar bagi komunitas politik di
Madinah dengan segala perbedaan yang ada: suku, kelompok-
kelompok dan agama -- dengan menghormati kebebasan untuk
mengamalkan agama mereka masing-masing. Dengan demikian dapat
dilihat, bahwa Nabi menyusun suatu persetujuan yang menetapkan
ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama, bukan mendirikan
sebuah "negara teologis."8 Semua kelompok agama dan kelompok
suku diberikan otonomi penuh untuk memelihara tradisi dan kebiasaan
mereka masing-masing. Dengan demikian, persetujuan tersebut, lebih
didasarkan pada konsensus daripada berdasarkan pada paksaan dan ini
mirip dengan perkembangan politik negara modern. Berbicara secara
historis, suatu kontrak yang berakar dari tradisi kesukuan, toh sangat
demokratis, baik dari segi semangat maupun prakteknya. Selain itu,
aparat negara yang memaksa, belum berkembang di bagian negeri
Arab itu. Meskipun begitu, tekanan-tekanan sosial sudah berfungsi.
Pendukung "negara teokratik" sering berdalih bahwa dokumen
Piagam Madinah itu dibuat ketika Muslim masih menjadi minoritas
79
dan hukum Islam memang belum seluruhnya diwahyukan, dan oleh
karena itu terhapus oleh perkembangan-perkembangan kemudian.
Namun dalih ini tidak dapat dipertahankan, terutama jika kita cermati
ayat-ayat Al-Qur'an yang diturunkan kemudian secara terbuka.
Pertama, dalam hal lain, sunnah Rasulullah tidak dibatalkan, lebih-
lebih lagi dalam persoalan ini, yang merupakan persoalan yang paling
vital dalam kebijakan Islam. Kedua, ayat-ayat terakhir Al-Qur'an tidak
membatalkan apa yang disepakati di dalam Sahifah. Kalaulah orang-
orang Yahudi dihukum, seperti diperintahkan wahyu terakhir, itu
karena mereka mengingkari kesepakatan. Sahifah tidak pernah
dibatalkan. Semangatnya mempunyai validitas hingga sekarang.
Dokumen itu memberikan landasan, pertama, yang menjamin
otonomi bagi kelompok yang beragama, kebebasan untuk memeluk
dan melaksanakan suatu agama, adat dan tradisi, serta persamaan hak
bagi semua orang. Kedua, dokumen itu jelas menekankan pada sisi
demokrasi dan konsensus, bukan pada tekanan dan paksaan. Dari sini,
juga penting untuk dicatat, bahwa dalam masalah politik pemerintahan,
Nabi tidak menggunakan otoritas teologis. Dokumen itu, setelah kita
kaji, sama dengan teori kontrak sosialnya J.J Rousseau. Bagi
Rousseau, kebebasan bukanlah kebebasan liberal atau kebebasan
individu 'dari' masyarakat, tapi kebebasan yang dilaksanakan di dalam
dan untuk seluruh masyarakat. Artinya, manusia dibebaskan oleh
masyarakat yang membebaskan. Kebebasan tidak dicapai dengan cara
80
menyingkirkan orang lain, tapi merupakan implikasi positif dari
kebebasan untuk semua.
2. Trilogi Nalar al Jabiri
Tidak mudah memang untuk membaca pemikiran al Jabiri yang
hampir tersebar di 17 buah buku yang telah diterbitkan belum
termasuk tulisan-tulisan lepasnya yang tersebar diberbagai media.
Tidak heran, kalau al Jabiri telah menjadi garda depan dalam peta
pemikiran Islam kontemporer.
Kalau ditelisik, pemikiran-pemikiran al Jabiri tidak berkisar
jauh dari model berfikir ilmuwan-ilmuwan Prancis. Wajar memang,
perkenalan al Jabiri dengan tradisi pemikiran prancis sudah
berlangsung lama, semenjak ia kuliah di al Khamis, rabat , Maroko.
Tahun-tahun terakhir dekade 1950-an pemikiran-pemikiran Marxisme
sedang gencar-gencarnya berkembang didunia Arab. Dan, al Jabiri
sendiri mengakui kekagumannya terhadap Marx, jangan heran
beberapa literature Karl Marx telah ia lahap baik terjemah termasuk
yang berbahasa Prancis. Karena, beberapa karya filosuf kaum post-
strukturalis dan post modernis memang sudah banyak diterjemahkan
kedalam bahasa Arab di Maroko. Michael Foucault dengan the
Archeology of Knowledge, termasuk beberapa karya Heidegger, Levi-
Strauss dll.
Sejak tahun 1967 setelah Arab kalah dalam perang melawan
Israel, slogan ihya al turats (menghidupkan kembali tradisi) bergema
81
di seantero dan belahan dunia Arab saat itu. Yang kemudian jadi
problem adalah “kebangkitan Islam”. Dan sikap al Jabiri saat itu?
Al Jabiri adalah seorang “pembaca teks” dan “tradisi Islam”
yang terkungkung oleh otoritas teks. Al Jabiri melihat nalar Arab
sangat terkungkung oleh hegemoni teks yang disinyalir sebagai salah
satu penyebab kemunduran dunia Islam (Arab), disamping otoritas
masa lalu, dan ‘virus’ irasionalisme. Hegemoni dan otoritas semacam
inilah yang kemudian secara tidak sadar mengintervensi terhadap nalar
keberagamaan Islam. Dominasi nalar ‘irfani’ sebagaimana yang al
Ghazali gemborkan sangat menjadikan ‘nalar berfikir yang jumud’
apalagi episteme yang berkembang sangat tidak produktif dan
cenderung konsumtif. Pergulatan tiga episteme, bayani, irfani dan
burhani tidak selesai dan hanya melahirkan sisa kesejarahan yang
belum kelar.
Nah, ‘sisa kesejarahan’ itu yang berupa otoritas teks atau
lafadz, otoritas al ashl, ataupun otoritas imam dan wali yang kemudian
tetap menentukan dan mempengaruhi pemikiran kebudayaan dan nalar
Arab.
Al Jabiri dalam bunyah al aql al Araby mengatakan “Nalar
Arab adalah nalar yang lebih banyak bertinteraksi dengan lafad-lafad
atau teks daripada dengan konsep;nalar ini tidak bisa berfikir kecuali
dengan bertitik dan merujuk kepada sebuah asal yang dibawa oleh
otoritas masa lalu dalam lafad atau maknanya”
82
3. Konsep Trilogi nalar al Jabiri
Disamping seorang filosof Arab, al Jabiri dikenal juga sebagai
pakar Hermetisme lebih dari itu, ia adalah kelompok elit cendekiawan
yang mengamati dengan seksama tradisi filsafat dalam legasi klasik,
hingga dapat menyarikan pemikiran dan menyelami secara hidup
legasi klasik itu dengan pemikirannya.
Apa yang melatarbelakangi al Jabiri mendasari pemikirannya
pada trilogi nalar? Awalnya al Jabiri melihat dalam diskursus
pemikiran Arab kontemporer, al Jabiri menghadapi sebuah fakta yang
mengenaskan. Ternyata diskursus pemikiran Arab dalam masa seratus
tahun yang lampau tidak mampu memberikan kontentum yang jelas
dan definitif, walaupun untuk sementara terhadap proyek kebangkitan
yang selama ini mereka gembar gemborkan.
Kesadaran mereka terhadap urgensi kebangkitan tersebut tidak
bersumberkan dari realitas dan pergerakannya, alternatif perubahannya
ataupun juga orientasi perkembangannya. Mereka mendapatkan
semangat kebangkitan itu dari sense of difference, yaitu jurang nan
sangat dalam memisahkan realitas Arab kontemporer yang terbelakang
dan kemajuan “orang lain” yakni bangsa barat modern. Oleh
karenanya menurut al Jabiri, sampai saat ini, diskursus kebangkitan
Arab tidak berhasil meraih kemajuan, dalam merumuskan blue print,
83
proyek kebangkitan peradaban. Baik dalam dataran utopia yang
proporsional maupun dalam dataran perencanaan ilmiah.
Oleh karenanya, tidak ada jalan lain kecuali melakukan kritik
akal Arab.14Bagimanapun, untuk melangkah menuju masa depan
kebangkitan, maka pemecahan problem yang ditinggalkan masa lalu
menjadi niscaya adanya, dan kritik menjadi salah satu alternatif
penyelesaian.
Nah, untuk melakukan kajian kritik dengan benar, harus
bertolak dari kesadaran sang ego (al-Ana), yang substansial, sebelum
melakukan eliminasi terhadap sang Id (baik yang dinisbahkan kepada
masa lampau, maupun yang berasal dari barat-“kenalilah dirimu”-
Know they self-Socrates menganggapnya sebagai tujuan puncak
pengetahuan-dari segi bahwa dirimu adalah resultan dari sebuah proses
sejarah yang terus berlangsung hingga sekarang. Sebuah perjalanan
yang meninggalkan jejak nan tak terhitung banyaknya. Sayangnya tak
terdokumentasikan dengan baik. Oleh sebab itu, adalah sangat urgen
untuk memulainya dengan mensistematisasi dokumen tersebut.
Sadar atau tidak, sejak diproklamasikannya masa seratus tahun
yang lampau sebagai ‘era kodifikasi baru’ (‘ashr al Tadwin al Jadid) –
dalam bahasa al Jabiri – terhadap masa lampau dan kekinian, kita
sampai kepada esensi Ego-nya (‘ Aql ghayr wa in bi dzatihi‘). Sebuah
14 Ketika al Jabiri melontarkan ide ini banyak menuai kritik dari berbagai pihak karena
terkesan tendensius dan sangat berbau klise. Lihat tulisan Muhammad Aunul Abid Shad an Sulaiman Mapiase dalam buku Islam Garda depan, Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, Bandung : Mizan, 2001, hlm 305
84
akal yang efektif (munfa’il), bukan akal yang aktif (fa’il). Selama
ini akal efektif kita mendapatkan ruh kehidupannya dari salah satu
sumber berikut: (a) kesadaran akan tantangan peradaban Barat yang
membangunkan kita dari tidur panjang dan dengan serta merta
memosisikan kita berada di pinggiran lingkaran dengan barat sebagai
pusat rotasinya; atau (b) reaksi balik yang berusaha menggapai
legitimasinya dari masa lampau, menjadikan masa lalu sebagai pusat
rotasi dan yang lain berputar di pinggiran lingkarannya. Tren terakhir
inilah yang menguasai secara dominan dataran diskursus pemikiran
Arab kontemporer. Sebuah tren yang berlindung dibalik legitimasi para
pendahulu (salaf), bersenjatakan analogi deduktif fiqih dan
fungsionalisasi ideologis dalam menutupi borok-borok epistemologis
serta berinteraksi dengan kemungkinan (contingents bukan possibles )
rekaan yang dikira sebagai realitas faktual. Padahal yang tersebut
diatas tak lebih dari salah satu jejak yang ditinggalkan oleh sejarah kita
sejak timbulnya akal Arab, pada masa kodifikasi di pertengahan abad
kedua Hijriah.
Berbeda halnya dengan tradisi Arab yang mempunyai kutub
ketiga, yaitu kutub Tuhan (Allah). Dan kalau kita harus menjadikannya
dalam dua kutub saja, maka harus kita letakan posisi Tuhan sebagai
pengganti kutub alam natural. Karena alam natural dalam tradisi Arab
hanya difungsikan sebagai pembantu untuk menyingkap hakikat Allah.
Orang Arab melakukan kontemplasi terhadap fenomena-fenomena
85
alam untuk sampai kepada sebuah kesimpulan akhir akan adanya sang
pencipta dan keagungan-Nya.
Aspek metafisika dari ketiga akal yang dipaparkan diatas
merupakan sisi ontologis yang akan mengantarkan kita kedataran
epistemologinya.
Selanjutnya kita tidak akan mendapatkan bahwa kepercayaan
mereka terhadap kemampuan akal yang mutlak dalam menyingkap
rahasia alam telah memfungsikannya sebagai alat untuk mempersepsi
sebab-sebab pengetahuan. Akal itu menemukan dirinya dalam alam
natural yang dengan sendirinya merupakan akal juga… dalam arti
(berisikan) kumpulan-kumpulan hukum dan kaidah. Lagi-lagi berbeda
dengan akal Arab yang pada dasarnya banyak berkaitan dengan moral
dan perilaku ideal, yakni apa yang dilakukan dan apa yang tidak boleh
dilakukan oleh seseorang. Dengan demikian orientasi akal Arab adalah
esensi dirinya, perbuatannya dan hukum-hukum nilainya, bukan
kepada alam natural. Itulah yang membuat Abed al Jabiri menegaskan
bahwa akal Arab itu dikontrol oleh pola pandang normatif-subjektif
kepada alam natural, sebagai kebalikan dari pola pandang objektif.
Sampai disini, bisakah kita mengatakan bahwa secara
epistemologi, akal Arab yang berangkat dari moral dalam upayanya
untuk mencapai ilmu pengetahuan, sedangkan akal Yunani- Eropa
berangkat dari ilmu pengetahuan untuk menentukan hukum moral?
86
Yang sering jadi bahan diskusi adalah menentukan titik pijak
dalam sebagai permulaan dalam penulisan sejarah Arab. Pada posisi
ini al Jabiri memulainya dari era kodifikasi (Ashr al Tadwin) tepatnya
pertengahan abad Hijriah. Tanpa menafikan keberadaan masa jahiliyah
dan produk-produknya, begitu juga pengaruh masa Islam awal dalam
peradaban Arab, al Jabiri berpendapat bahwa struktur akal Arab telah
dibakukan disistematisasikan pada era kodifikasi tersebut. Sehingga
sebagai konsekuensinya, dunia berfikir yang dominan pada masa itu
mempunyai kontribusi terbesar dalam menentukan orientasi pemikiran
yang bekembang kemudian, di satu pihak dan dipihak lain,
mempengaruhi persepsi kita terhadap khazanah pemikiran yang
berkembang pada masa sebelumnya.
Dengan demikian, al Jabiri telah keluar dari metode penulisan
sejarah Arab yang lazim dan menawarkan metode baru bagi
sejarahwan Arab. Akan tetapi, tentunya, terobosan epistemologis ini
perlu mendapatkan landasan ontologis. Menurut al Jabiri, akal Arab
dari segi kontentumnya sepadan dengan fase budaya Arab. Sebab
sebuah kebudayaan merupakan hasil kerja akal bawah sadar yang satu
tempat ketempat lain, akan tetapi ia tidak mampu berpindah dari suatu
masa ke masa lain. Inilah yang dimaksud dengan ukuran budaya atau
akal yang tidak tunduk kepada perubahan sosio-politik-ideologis.
87
Dalam triloginya, al Jabiri mengaku tidak bisa dilepaskan dari
dikotomi klasik filsafat Islam antara Timur15 (al masyrik) dan Barat (al
maghrib). Hal ini bisa difahami, karena dikotomi ini memang
dipaksakan oleh realitas yang ada. Al Jabiri memulai kajian ini dari era
kodifikasi (pertengahan abad II H), di awal ia memaparkan terlebih
dahulu pergolakan pemikiran yang berlangsung di Timur dan
membuatnya mengesampingkan terlebih dahulu (pemaparan) bagian
Barat. Bukankah sejarah Islam dimulai dari Timur? Akan tetap bagi al
Jabiri, ini adalah kelemahan bahasa yang tidak mampu menyampaikan
semua pikiran sekaligus.
Disini al Jabiri mengkaji pertumbuhan akal orisinal Arab yang
disebutnya akal retoris (al aql al bayani). Akal ini yang
direpresentasikan oleh ilmu bahasa Arab, ushul fiqih, dan ilmu kalam-
adalah produk kejeniusan orang Arab yang sayangnya tidak bisa
berkembang lagi, karena sudah mencapai titik klimaks kematangannya
pada masa kelahirannya, era kodifikasi.16 Baru setelah itu, al Jabiri
melangkah kepada masuknya dua akal yang lain dalam dunia
Pemikiran Arab yaitu akal gnostis (al irfani) dan akal demonstratife (al
burhani). Al Jabiri sendiri lebih suka menyebut yang pertama sebagai
al Aql al Mustaqil (resigning reason, “akal yang menikam”). Karena
15 Kawasan Timur dimulai dari daerah Mesir hingga ke Asia Tengah. Sedangkan kawasan Barat adalah daerah al Maghrib al Arabi (Tunisia dan Maroko) di tambah dengan Semenanjung Andaluisa. 16 Muhammad Abed al Jabiri, Taqwin al aql al Araby judul terj. Formasi Nalar Arab, ibid, halaman 61
88
akal ini justru dipergunakan untuk memberikan pembuktian rasional
terhadap impotensitas akal.
Akal gnostis merupakan hasil pengadopsian ajaran-ajaran
hermetisme dan platonisme. Dalam sejarah filsafat Islam, akal ini
mencapai puncak kematangannya di tangan Ibnu Sina dan meraih
mahkota kejayaannya di tangan al Ghazali. Sedangkan akal
‘ifiltran’yang kedua adalah akal Demonstratif yang bersumberkan dari
teks-teks filsafat Aristoteles. Akal ini mulai dipopulerkan oleh al
Ma’mun, tetapi baru bisa berkembang secara normal disemenanjung
Andalusia, khususnya ditangan filosof besar Arab, Abu al Walid ibn
Rusyd.
Karena kelemahan bahasa yang disinggung, sekarang kita baru
bisa mencuatkan pendekatan politis-idelogis yang dilakukan oleh al
Jabiri. Intinya dalam kemunculan setiap tren akal yang tersebut diatas
selalu terdapat kepentingan politis idelogis yang melatarinya, lebih dari
itu menyebarluaskannya ke seluruh penjuru populasi kekuasaan sosial
militernya.
Pada era kodifikasi pertengahan abad-2 H diatas, terdapat tiga
kekuatan ideologis—politis-populis yang saling bertarung. Yang
pertama adalah kekhalifahan dinasiti bani Abbasiyah dengan Bagdad
sebagai ibukotanya yang kedua kekuatan syiah yang direpresentasikan
secara politis oleh dinasiti bani Ubayd (Fatimid) di Mesir dan diwakili
secara sosial oleh para propogandis syiah Ismailiyyah di Asia Tengah.
89
Di mulai dari kaum syiah yang mengadopsi ajaran-ajaran
Hermetisme/Neoplatonisme untuk mendukung tesis-tesis politis
mereka tentang kemaksuman imam, kekuatan Abbasiyyah pun
melawannya dengan senjata akal retoris dan selanjutnya-pada masa al
Ma’mun-menggunakan juga akal Demonstratif sebagai “pasukan
cadangan komando strategis” untuk mendukung akal retoris yang
mulai kewalahan. Itulah penakwilan yang paling tepat terhadap
“mimpi politik” perjumpaan al Makmun dengan Grand Master
pertama, yakni Aristoteles.
Sementara itu di kawasan Barat, diskursus yang berkembang
mengambil jalam yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh “higinisitas”
daerah-daearahnya dari ‘virus’ al Aql al Mustaqil, baik yang awam (al
‘amiyah), dengan representasinya praktik penyembahan berhala dan
kepercayaan terhadap sihir/khurafat, maupun yang terpelajar (al
‘alimah) yang direpresentasikan oleh hermetisme dan neoplatonisme
berbaju agama (baca: tasawuf). Yang berkembang disana hanyalah
akal retoris yang diwariskan oleh para penyebar Islam pertama.
Kemudian dari sisi politis, kita perlu mencatat adanya dua kerajaan
besar yang berkuasa di kawasan itu. Pertama, dinasti Adarisah
(keturunan Muhammad ibn Idris al –Alawi) di Maroko dan Tunisia.
Sebagaimana yang terlihat dari namanya, Muhammad ibn Idris adalah
keturunan Ali bin Abi Thalib yang melarikan diri ke Barat. Disana ia
mendapat sambutan luas sebagai wujud kecintaaan kepada keturunan
90
Nabi Saw. Karenanya dinasti ini bisa dianggap sebagai sayap syiah
secara politis. Sebuah keuntungan tersendiri, mengingat daerah
kekuasaannya berbatasan langsung dengan kaum Fetimid Mesir yang
secara militer sangat kuat. Meskipun demikian secara ideologis, Ibn
Idris tidak dengan serta merta membawa dan menyebarkan trend akal
Gnostis. Dia lebih memilih melebur dalam ajaran yang terlanjur
merasuk dalam masyarakatnya. Itulah yang mendorong tetap kokohnya
akal retoris di bumi barat dengan representasinya, Madzhab fiqih
Maliki, hingga sekarang.
Ada juga pelarian yang lain membangun kerajaan di Barat,
Abdurrahman ad Dakhil. Pelanjut dinasti bani Umayah di semenanjung
Andalusia. Sebagai kekuatan ketiga, logis saja kalau dinasti ini harus
menghadapi musuh dari dua arah kaum Abbasiyyah sunni di satu pihak
dan kaum syiah di pihak lain. Dan latar belakang politik inilah yang
belakangan mendorong kelahiran sebuah ideologi yang “berbeda“ di
tangan Ibn Hazm al Dhahiri. Sebagai pemikir yang berhasil dari klan
penguasa Andalusia. Dia merasa terpanggil untuk merumuskan sebuah
kontra ideologi yang bisa mencegah keruntuhan kerajaan yang
digerogoti oleh ideologi infiltran dan tradisi Gnostis disatu pihak dan
kampanye militer-intelektual akal retoris yang diadopsi secara totaliter
oleh dinasti Abasiyah pasca al Ma’mun. Maka tiada pilihan lain
kecuali merevitalisasikan tren akal demonstratif. Dengan redaksi yang
lebih pas, ideologi dinasti Umayyah di Andalusia ini berkeinginan
91
untuk membangun retorika agama diatas fondasi perifatetisme, bukan
sekadar analogi deduktif berdasarkan contoh yang sudah ada (al qiyas
ala mitsqal sabiq) yang notabene adalah senjata utama akal retoris dan
apalagi kepercayaan akan ilham melalui perantaraan ‘guru’
sebagaimana terdapat dalam tren akal gnostis.
Jadi tidaklah pas untuk menyamakan literalisme Ibn Hazm
dengan tren literalismeskriptual yang dikembangkan oleh Dawud al
Dhahiri meskipun sama-sama menolak konsep analogi deduktif al
Syafi’i paling tidak, karena dua sebab berikut (1) dari pihak Dawud
tersebut yang tetap berjalan dibawah koridor akal retoris murni dalam
bentuknya yang paling ortodoks dan (2) dari pihak yang kedua:
penyama-nyamaan itu tidak mampu memberikan interpretasi yang
memuaskan terhadap kecenderungan rasionalisme kritis ala Ibn Hazm.
Meskipun sejarah sendiri berbicara bahwa ideologi yang
dibangun oleh Ibn Hazm tidak mampu mencegah kehancuran kerajaan
Umayyah di Andalusia, yang menurut al Jabiri terlanjur meluasnya
penyakit yang disebabkan oleh virus gnostis. Meskipun demikian,
ideologi itu tidak langsung mati begitu saja. melainkan terus
berkembang ditangan para cendekiawan kritis semacam ibn Bajah, al
Syatibi, Ibn Rusyd dan ibn Khaldun
Akhirnya, keberpihakan al Jabiri mencuat kembali.
Keberpihakan yang menurut penulis membawanya kepada generalisasi
yang harus diakui telah digunakan untuk menutupi celah-celah
92
epistemologis yang ada. Sebuah titik kelebihan al Jabiri sekaligus titik
kelemahannya. Bagaimana tidak? Kalau dibayangkan sejarah akal (ala
al Jabiri) ini sebagai sebentuk perang sipil abadi, maka telah terjadi
praktik pemenangan salah satu pihak atas pihak yang lain.yaitu dari
segi epistemologis, kemenangan akal demonstratif atas akal retoris,
juga kemenangan akal retoris atas akal gnostis. Begitu juga dari segi
ideologis, kemenangan akal sunni atas akal syi’i. Dan dari segi
geografis kemenangan akal Barat atas akal-atau dengan redaksi yang
lebih tepat: anti akal Timur.
Dalam beberapa karyanya al Jabiri menyebut tentang struktur
akal yang dibagi dalam tig perspektif; aktifitas kognitif (al fi’l al
ma’rifi), lapangan kognitif (al haql al ma’rifi) dan epistemologi (al
nidzham al ma’rifi).17
4. Pengertian Bayani, Burhani, ‘Irfani
a. Epistemologi Bayani
Secara etimologi bayani adalah perbedaan, berbeda, jelas,
penjelasan (ekspalansi). Muhammad18 Ibn Zahrah dalam ushul al
fiqihnya menyebut ada dua arti bayani. Pertama arti bayani sebagai
metode adalah perbedaan dalam penjelasan. Sedangkan yang kedua
arti bayani sebagai visi adalah berbeda dan jelas.19
17 Lihat tulisan Muhammad Aunul Abid Syah dan Sulaiman Mappiase tentang Kritik Nalar Arab; Pendekatan Epistemologis terhadap trilogi kritik al Jabiri dalam buku Islam Garda Depan; Mozaik Pemikiran Islam Timur Tengah, Bandung: Penerbit Mizan, 2001
18 Secara detail al Jabiri memberi arti bayan dalam Bunyah al aql al Araby, Markaz Dirasah Wihdah al Arabiyah Beirut, Libanon, 1990
19 Lihat, Muhammad Abu Zahrah, Ushul al fiqh, 1956 hal. 56
93
Ibnu Manzur juga menulis dalam Lisan al Arab,
sebagaimana dikutip al Jabiri bahwasanya ada lima arti pokok al
bayan20 yakni
a. Menghubungkan satu dengan yang lain
b. Memutuskan satu dengan yang lain.
c. Mengungkap satu pengertian dengan jelas.
d. Mengemukakan pengertian dengan kemampuan menyampaikan
sesuatu dengan jelas.
e. Kemampuan manusia menyampaikan penjelasan.
Bayani juga sering disebut sebagai al fashl wa infishal
(memisahkan dan terpisah) dan al dhuhur wa al idhar (jelas dan
penjelasan). Makna al fashl wa al idhhar dalam kaitannya dengan
metodologi, sebagai infishal wa dhuhur berkaitan dengan visi
(ru’y) dari metode bayani.21
Secara terminologi, bayani dimaknai sebagai (1) aturan-
aturan penafsiran wacana (qawanin tafsir al khithabi) (2) syarat-
syarat memproduksi wacana (syurut al intaj al khitab). 22
Pengertian bayani mengalami perkembangan sesuai perkembangan
pemikiran Islam. Pada masa Syafi’i (767-820 M) yang pernah
20 Muhammad Abed al Jabiri, Bunyah al Aql al Arabi; Dirasah tahliliyah Naqdiyyah li al Nuzumi al Ma’rifah fi Tsaqafah al Arabiyah, Beirut: Markaz Dirasah al Wihdah al Arabiyah, 1990, hlm 20 21 Muhammad Abed al Jabiri, Bunyah al Aql al Arabi, Beirut, al Markaz al Tsaqafi al Arabi, 1991) hal 20 22 Pemaknaan bayani ini sudah ada sejak masa tadwin (kodifikasi). Paling tidak ditandai dengan lahirnya al Asbah wa al Nadzair fi al Qur’an al Karim karya Muqatil Ibn Sulaiman (w. 767 M) dan Maani al Qur’an karya Ibnu Ziad al Farra (w.823).
94
dianggap sebagai bapak Yurisprudensi Islam bayani berarti nama
yang mencakup makna-makna yang mengandung persoalan ushul
(pokok) dan yang berkembang hingga ke furu’ (cabang).
Dari segi metodologi Syafi’i membagi bayan dalam lima
bagian.(a) bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut;berkaitan
dengan sesuatu yang telah dijelaskan Tuhan dalam al Qur’an
sebagai ketentuan bagi makhluk-Nya. (b) bayan yang beberapa
bagiannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah (c)
bayan yang keseluruhannya masih global sehingga butuh
penjelasan sunnah (d) bayan sunnah sebagai uraian atas sesuatu
yang tidak terdapat dalam al Qur’an (e) bayan ijtihad, yang
dilakukan dengan qiyas atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al
Qur’an maupun Sunnah. Dari kelima bayan tersebut, as Syafi’i
kemudian menyatakan bahwa yang pokok ada tiga, yakni al
Qur’an, sunnah dan Qiyas kemudian ditambah ijma.
Adalah al Jahizh (w 868) yang secara terang-terangan
berani mengkritik as Syafi’i. Menurutnya apa yang dilakukan oleh
as Syafi’i baru pada tahap bagaimana memahami teks, belum pada
tahap memberkan pemahaman pada pendengar atas pemahaman
yang diperoleh. Epistemologi ini mencakup disiplin ilmu-ilmu
yang menjadikan bahasa Arab sebagai tema sentralnya seperti
95
nahwu, (gramatika bahasa Arab), fiqih dan ushul fiqih, kalam
(teologi), dan balaghah (ilmu keindahan bahasa)23
Masing-masing disiplin keilmuan ini terbentuk dari satu
sistem kesatuan yang mengikat basis-basis penalarannya yaitu
bahasa. Menurut al Jabiri, bahasa bukan sekadar berfungsi sebagai
alat komunikasi atau sarana berfikir tetapi lebih dari itu adalah
suatu wadah yang membatasi ruang lingkup pemikiran.24
Pemikiran ini adalah kemampuan dan usaha akal dalam
menanggapi dan menangkap dalil dalil atau petunjuk yang disebut
amarat.
Dalam tradisi bayani ini, dikenal dua cara mendapatkan
pengetahuan yaitu:
1. Berpegang pada zhahir teks
Kecenderungan tekstualisme ini dimulai oleh as Syafi’i pendiri
ilmu ushul fiqih. Bahkan as Syafi’i sesungguhnya adalah
peletak dasar epistemologi bayani. Sebab ditangan Syafi’ilah
aturan-aturan bahasa Arab dijadikan acuan untuk menafsirkan
teks-teks suci terutama qiyas. 25Dan yang terakhir ini dijadikan
salah satu sumber dari empat sumber penalaran yang absah (al
23 Ibid, hlm 16-19 24 Ibid, hlm 13
25 Nasr Hamid Abu Zaid menyebut as Syafi’i sebagai peletak hegemoni Quraisy lewat pembakuan (tadwin) ushul fiqh dan qiyasnya. Karena bagi Nasr Hamid usaha as Syafi’i tersebut menumbuhkan generasi yang super tekstualis dan Arab sentris. Lihat Nasr Hamid Abu Zaid dalam Imam Syafi’i moderatisme, eklektiisme dan Arabisme (terj) Khoiron Nadliyin, Yogyakarta: LKiS, 2001
96
Qur’an, Hadits, ijma dan qiyas) untuk menyelesaikan problem
agama dan masyarakat.
2. Berpegang pada maksud teks bukan zahir teks.
Kecenderungan ini berakar pada tradisi setelah Ibnu Rusyd
terutama pada prakarsa as Syatibi26 berpegang pada maksud
(maqasid al Syar’i). Teks ini baru digunakan apabila teks zahir
ternyata tidak mampu menjawab persoalan yang relatif baru
tradisi bayani yang bercorak induktif rasional dalam arti
berpijak pada maksud teks ini menjadi trend setelah Ibnu
Rusyd.
Sebagian pakar menganggap bahwa cara kedua ini telah
memasukan penalaran kedalam wacana epistemologi bayani
walaupun baru penalaran yang berangkat dari teks bukan
penalaran liberal artinya penalaran dipakai untuk menangkap
maksud teks atau memperluas jangkauan teks saja.
Dengan cara yang kedua ini bahwa makna yang
dikehendaki teks dapat diketahui dengan
a. Berpegang pada makna primer
b. Berpegang pada ‘illah
c. Berpegang pada makna sekunder
d. Berpegang pada diamnya syar’ Allah 26 As Syatibi wafat di Granada Spanyol, 8 Syakban 790 H/1388 M, nama lengkapnya adalah Abu Ishaq Ibrohim bin Musa al Garnati. Ia berasal dari keluarga Arab suku Lukhmi. Nama as Syatibi di ambil dari negeri asal keluarganya, yaitu Syatibah (Xativa atau Jativa di Spanyol timur), ia menjadi ahli ushul fiqih, ahli bahasa Arab dan ulama terkemuka madzhab Maliki.Lihat Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5 hlm 1699.
97
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, pendekatan bayani
pada dasarnya sudah lama dipergunakan oleh para fuqaha',
mutakallimun dan ushulliyun. Bayani difahami sebagai
pendekatan untuk :
a. Memahami atau menganalisis teks guna menemukan atau
mendapatkan makna yang dikandung dalam (atau diendaki)
lafadz, dengan kata lain pendekatan ini dipergunakan untuk
mengeluarkan makna zahir dari lafz dan 'ibarah yang zahir
pula;
b. Istinbat hukum-hukum dari al-nusus al-diniyah dan al-
Qur’an khususnya.
Makna yang dikandung dalam, dikehendaki oleh, dan
diekspresikan melalui teks dapat diketahui dengan mencermati
hubungan antara makna dan lafadz. Hubungan antara makna
dan lafadz dapat dilihat dari segi : a) Makna wad'i, untuk apa
makna teks itu dirumuskan, meliputi makna khas, 'am dan
musytarak; b) Makna isti'mali, makna apa yang digunakan
oleh teks, meliputi makna haqiqah (sarihah dan mukniyah) dan
makna majaz (sarih dan kinayah); c) Darajat al-wudhuh, sifat
dan kualitas lafz, meliputi muhkam, mufassar, nas, zahir, khafi,
mushkil, mujmal, dan mutasabih; dan d) Turuqu al-dalalah,
penunjukan lafz terhadap makna, meliputi dalalah al-ibarah,
dalalah al-isyarah, dalalah al-nass dan dalalah al-iqtida'
98
(menurut khanafiyah), atau dalalah al-manzum dan dalalah al-
mafhum baik mafhum al-muwafaqah maupun mafhum al-
mukhalafah (menurut syafi'iyyah).
Untuk itu pendekatan bayani menggunakan alat bantu
(instrumen) berupa ilmu-ilmu kebahasaan dan uslub-uslubnya
serta asbab al-nuzul, dan istinbat atau istidlal sebagai
metodenya. Sementara itu, kata-kata kunci (keywords) yang
sering dijumpai dalam pendekatan ini meliputi asl - far' - lafz
ma'na (mantuq al-fughah dan mushkilah al-dalalah; dan nizam
al-kitab dan nizal al-aql), khabar qiyas, dan otoritas salaf
(sultah al-salaf). Dalam al-qiyas al-bayani, kita dapat
membedakannya menjadi tiga macam : 1) al-qiyas berdasarkan
ukuran kepantasan antara asl dan far' bagi hukum tertentu;
yang meliputi a) al-qiyas al-jali; b) al-qiyas fi ma'na al-nass;
dan c) al-qiyas al-khafi; 2) al-qiyas berdasarkan 'illat terbagi
menajdi : a) qiyas al-'illat dan b) qiyas al-dalalah; dan 3) al-
qiyas al-jama'i terhadap asl dan far'.
Dalam pendekatan bayani dikenal ada 4 macam bayan :
1) Bayan al-i'tibar, yaitu penjelasan mengenai keadaan,
keadaan segala sesuatu, yang meliputi : a) al-qiyas al-
bayani baik al-fiqihy, al-nahwy dan al-kalamy; dan b) al-
khabar yang bersifat yaqin maupun tasdiq;
99
2) Bayan al-i'tiqad, yaitu penjelasan mengenai segala
sesuatu yang meliputi makna haq, makna muasyabbih fih,
dan makna bathil;
3) Bayan al-ibarah yang terdiri dari : a) al-bayan al-zahir
yang tidak membutuhkan tafsir; dan b) al-bayan al-batin
yang membutuhkan tafsir, qiyas, istidlal dan khabar; dan
4) bayan al-kitab, maksudnya media untuk menukil
pendapat-pendapat dan pemikiran dari katib khat, katib
lafz, katib 'aqd, katib hukm, dan katib tadbir.
Dalam pendekatan bayani, oleh karena dominasi teks
sedemikian kuat, maka peran akal hanya sebatas sebagai alat
pembenaran atau justifikasi atas teks yang dipahami atau
diinterpretasi.
Kalau ditelusuri lebih dalam, lafad al Bayan
(retoris)27 adalah nama Aphoris dari proses penampakan dan
menampakan (al zhuhur dan al izhar). Serta aktifitas
memahami dan memahamkan (al fahm dan al ifham). Dengan
demikian kata ini sulit dicari padanan katanya dalam bahasa
lain. Penggunaan istilah retorika hanya pengaliha bahasa
dengan menggunakan padanan yang terdekat.
Sebagai sebuah lapangan keilmuan, retorika dalam
kapasitasnya sebagai hasil sebuah pandangan budaya secara 27 Secara mendalam ide dan gagasan al Jabiri tentang akal retoris ditulis dalam Islam Garda Depan; Mosaik Pemikiran Timur Tengah oleh Muhammad Aunul Abid Syah dan Sulaiman Mapiasse, Bandung: Mizan, 2001.
100
ontologis merupakan ilmu pengetahuan yang diadopsi oleh
ilmu-ilmu bahasa dan ilmu-ilmu agama.
Kemudian, sebagai epistemologi, retorika adalah
kumpulan prinsip dasar ketentuan dan kekuatan yang
menentukan orientasi orang yang mencari pengetahuan dalam
medan kognitif retoris tanpa didasarinya dan tanpa bisa
mengambil pilihan lain.
Kumpulan prinsip dasar dan prosedur ini bisa kita
reduksikan dalam tiga pasangan epistemologis dominan.
Kata/makna, prinsipum/cabang dan substantia/accidens.
Pasangan yang pertama dan kedua menentukan titik tolak
pemikiran dan metodologinya, sedangkan yang ketiga
membangun persepktif berpikir dan mempengaruhinya.
Perspektif pemikiran ilmu-ilmu agama (ilmu kalam dan
ushul fiqih) tidak mampu melepaskan diri dari prinsip-prinsip
dasar bahasa Arab yang merupakan warisan akal Arab badui
yang tidak melihat adanya hubungan kausalitas antara kata dan
makna. Akan tetapi hubungan diantara keduanya sekadar
hubungan kedekatan terpisah. Prinsip seperti ini yang
mengilhami ulama kalam dan ushul sehingga mereka
berpandangan bahwa keterkaitan antara prinsip dan cabang
dalam analogi hukum serta hubungan antara substansi dan
101
bentuknya sebatas hubungan biasa, tidak mengandung sifat
kemestian-aksiomatis.
Prinsip retoris secara simbolis telah
difungsionalisasikan dalam memahami pesan-pesan
kosmologis, keilmuan dan teologis al Qur’an dan akibatnya
pesan-pesan tersebut tidak mampu keluar dari kungkungn
kekuasaan akal jahiliyah dalam upaya untuk melebarkan
jangkauan misi pembebasan manusia dari alam kegelapan
menuju ketentraman.
Secara sederhana, bayan dimaknai sebagai metode
pemikiran khas Arab yang menekankan pada otoritas (nash),
secara langsung atau tidak langsung dan dijustifikasi oleh akal
kebahasaan yang digali lewat inferensi (istidlal). Dengan kata
lain memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga
perlu tafsir dan penalaran. Pada posisi ini rasio atau akal bisa
bebas menentukan makna dan maksudnya, tapi tetap harus
tetap bersandar pada teks. Dalam bayani rasio dianggap tidak
mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada
teks.
Kalau kita menelusuri nalar Arab klasik maka kita
tidak akan kesulitan untuk menelusuri tradisi bayan, kenapa
demikian?karena tradisi ini, tidak akan jauh berkisar dari
bahasa Arab itu sendiri. Orang Arab menganggap bahwa
102
bahasa merekalah yang paling mudah difahami bahkan sampai
tingkat pensakralan. Kita juga bisa melihat bagaimana mereka
menganggap orang selain Arab adalah ‘Ajam (orang yang tidak
jelas bicaranya), sehingga untuk menentukan identity orang
Arab tidak sekadar al aql, akan tetapi kefasihan bahasa. Dan,
tampaknya justifiksi terhadap bahasa Arab sebagai lemen
pembentuk nalar Arab tidaklah berlebihan. Apalagi qur’an juga
ikut melegitimasi lewat ayatnya “kitaabun arabiyun mubin”.
Jadi lengkaplah argumentasi bahwa nalar Arab ‘tidak
jauh-jauh amat’ dari struktur dan bahasa mereka. Kita bisa lihat
misalnya bagaimana ulama klasik (termasuk Imam Syafi’i
sebagai otoritas Quraisy) lewat aktifitas akademiknya
mengumpulkan bahasa Arab dan menetapkan kaidah-kaidah
kebahasaan,28 baik itu nahwu (ilmu gramatika), kaidah ushul
fiqih dan lain-lain. Dan, yang terjadi adalah para pakar
gramatika menggunakan konsep-konsep dasar sebagai pijakan
dasar untuk ilmu-ilmu keislaman dan sekadar transfer tanpa
produksi.
Hal ini yang kemudian corak pemikiran saat itu sangat
bayaniyah sekali (nizham ma’rifi bayani) atau aql bayani.
Yakni bahasa Arab sebagai titik tolak dan pijakan untuk
menentukan berbagai disiplin ilmu kebahasaan, yang meliputi
28 Nasr Hamid Abu Zaid, Imam Syafi’i Moderatisme, Eklektisisme, Arabisme, Yogyakarta: 1995, hlm 7 - 9
103
Balaghah (ilmu keindahan bahasa), nahwu (gramatika bahasa
Arab), fiqih dan ushul fiqih dan kalam.
Bagi Muhammad Abed al Jabiri munculnya nalar
bayani tidak sekadar sebab kebahasaan semata, akan tetapi ada
‘pertarungan ideologi’ antara kalangan bayani (yang
menganggap sesuatu harus didasarkan pada teks-teks
keagamaan klasik, ulum al awa’il) dengan “the other” yakni
kalangan yang menganut pemikiran Islam klasik (al ulum al
naqliyah).Yang menarik bagi al Jabiri adalah konfigurasi
episteme seperti apakah yang akan terjadi ketika dua kubu
berhadapan antara ulum al awa’il dengan al ulum al naqliyah
(transmitted science).
Begitu juga tentang hubungan kata – makna dalam
tataran praktis, ia berkaitan dengan penafsiran atas wacana
(khithab) syara’. Ulama fiqih banyak mengembangkan masalah
ini,baik dari aspek kedudukan sebuah kata, penggunaan, tingkat
kejelasan maupun metodenya. 29
Dalam ushul –furu, bagi al Jabiri, ushul disini tidak
menunjuk pada dasar-dasar hukum fiqih.30 Seperti al Qur’an,
sunnah, ijma, qiyas, tetapi pada pengertian umum bahwa ia
adalah pangkal (asas) dari proses penggalian pengetahuan.ushul
adalah ujung rantai dri hubungan simbal balik dengan furu.
29 Al Jabiri, Bunyah, …hlm 58 30 Al Jabiri, hlm….113
104
Dari sini, al Jabiri kemudian melihat tiga macam posisi dan
ushul dalam hubungannya dengan furu?. Pertama, ushul
sebagai sumber pengetahuan yang cara mendapatkannya
dengan istimbat. Kedua, ushul sebagai sandaran bagi
pengetahuan yang lain, yang cara penggunaannya dengan
qiyas, baik dengan qiyas illat, seperti yang dipakai ahli fiqih
atau qiyas dalalah seperti yang digunakan kaum teolog. Ketiga,
ushul sebagai pangkal dari proses pembentukan pengetahuan
yang caranya menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqih.
Kalau disistematisasikan hubungan lafad – makna
seperti pada skema dibawah ini
(1) Aspek posisi (wad’i)
Khusus (khas) Musytarak
Umum (‘am)
(2) Aspek penggunaan (Isti’mal)
Hakiki Majazi
Jelas (sharih) Kinayah Jelas (sharih) Kinyah
(3) Derajat kejelasan
Muhkam Mufasir Nash Zhahir Khafi Musykil Mujmal Mutasyabih
105
(4) Pertunjukan (thariq dilalah) (mazhab Syafi’i)
Pemahaman (mafhum) Susunan (manzhum)
Ketidaksamaan (mukhalafah) kesesuaian (muwafaqah) Sifat Syarat Pembatasan (Hashr) Hitungan (‘Adad)
b. Epistemologi Burhani
Dalam bahasa Arab burhan berarti al Hujjah Fasilah al
Bayinah (bukti pemutus yang jelas) yang dalam bahasa Inggris
disebut demonstration yang berasal dari bahasa latin demonstratio
yang artinya isyarat, sifat dan keterangan dan sesuatu yang
menampakkan.
Dalam perspektif logika, al burhan adalah aktifis pikir yang
menetapkan kebenaran sesuatu melalui metode penalaran yang
mengaitkan pengetahuan yang bukti-buktinya mendahului
kebenaran, sedangkan dalam pengertian umum, al burhan berarti
aktifitas berfikir untuk menentukan kebenaran sesuatu.
Al burhan sebetulnya merupakan hasil pemikiran dan
pemikiran ilmiah Yunani sejak 3 Abad sebelum Aristoteles.
Memang penelitian kesejarahan bahwa al Burhan dalam budaya
Arab Islam berasal dari Yunani yang sebetulnya sangatlah
berhubungan dengan Aristoteles.
106
Al burhan merupakan metode yang disebut munfiq (logika)
yang didalamnya ada pengertian al Burhan yang merupakan bagian
dari silogisme yang disebut qiyasul jami’, (qiyas yang mencakup)
sedang silogisme yang luas terdiri dari unsur-unsur yang terususun
dari subyek atau predikat yang dalam bahasa Arab disebut mubtada
dan khabar atau fiil dan fail. Atau jumlah khabariyah dan jumlah
fi’liyah.
Inilah unsur-unsur faham (idea) dan informasi yang
disampaikan oleh pemikiran yang diucapkan, sehingga ucapan
hasil pemikiran bukan sekedar lafad tertentu yang terjadi atau
kedudukan sesuatu atau faham itu ada sebelum tertuang dalam
pemikiran.
Oleh al Jabiri dikemukakan ilmu itu ungkapan dari fikiran
yang umum yang mencakup keseluruhan (la ilma illa bil kulliyi)
dengan qiyas jami’ (silogisme) yang benar dengan al burhan akan
sampai pada pengertian yang dapat difahami atau dinilai benar atau
salah.
Aristoteles menyatakan bahwa burhan itu dapat saja dicapai
sebagai hasil qiyas tetapi tidak semua (hasil) qiyas itu burhan.
Burhan mengandung kebenaran adalah hasil qiyas ‘ilmi.
Qiyas ilmi itulah Burhan yang harus memenuhi tiga syarat.
a. Diketahui benar bahwa medium (haddul ausat) yang menjadi
illah (sebab) pada natijah (konklusi). Dengan kata lain yaitu
107
mengetahui sebab yang menjadi alasan dalam menyusun
premis.
b. Relasi antara illah dan natijah (kesimpulan)
c. Kesimpulan akhir harus bersifat pasti dan tidak dapat diartikan
lain dari itu.
Kesimpulan inilah sebetulnya yang membedakan antara
burhan dan qiyas ilmi dari metode yang lain.
Burhan juga bisa dimaknai sebagai pengetahuan yang
diperoleh dari indera, percobaan dan hukum-hukum logika.
Burhani atau pendekatan rasional argumentatif adalah
pendekatan yang mendasarkan diri pada kekuatan rasio melalui
instrumen logika (induksi, deduksi, abduksi, simbolik, proses, dll.)
dan metode diskursif (bathiniyyah). Pendekatan ini menjadikan
realitas maupun teks dan hubungan antara keduanya sebagai
sumber kajian. Realitas yang dimaksud mencakup realitas alam
(kawniyyah), realitas sejarah (tarikhiyyah), realitas sosial
(ijtimaiyyah) dan realitas budaya (thaqafiyyah). Dalam pendekatan
ini teks dan realitas (konteks) berada dalam satu wilayah yang
saling mempengaruhi. Teks tidak berdiri sendiri, ia selalu terikat
dengan konteks yang mengelilingi dan mengadakannya sekaligus
darimana teks itu dibaca dan ditafsirkan. Didalamnya ada ma’qulat
(kategori-kategori) meliputi kully-juz'iy, jauhar-'arad, ma'qulat-
alfaz sebagai kata kunci untuk dianalisis.
108
Karena burhani menjadikan realitas dan teks sebagai
sumber kajian, maka dalam pendekatan ini ada dua ilmu penting,
yaitu ilmu al-lisan dan ilmu al-mantiq. Yang pertama
membicarakan lafz-lafz, kaifiyyah, susunan, dan rangkaiannya
dalam ibarat-ibarat yang dapat digunakan untuk menyampaikan
makna, serta cara merangkainya dalam diri manusia. Tujuannya
adalah untuk menjaga lafz al-dalalah yang dipahami dan
menetapkan aturan-aturan mengenai lafz tersebut. Sedangkan yang
terakhir membahas masalah mufradat dan susunan yang dengannya
kita dapat menyampaikan segala sesuatu yang bersifat inderawi
dan hubungan yang tetap diantara segala sesuatu tersebut, atau apa
yang mungkin untuk mengeluarkan gambaran-gambaran dan
hukum-hukum darinya. Tujuannya adalah untuk menetapkan
aturan-aturan yang digunakan untuk menentukan cara kerja akal,
atau cara mencapai kebenaran yang mungkin diperoleh darinya.
'Ilmu al-mantiq juga merupakan alat (manahij al-adillah) yang
menyamaikan kita pada pengetahuan tentang maujud baik yang
wajib atau mumkin, dan maujud fi al-adhhan (rasionalisme) atau
maujud fi al-a'yan (empirisme). Ilmu ini terbagi menjadi tiga;
mantiq mafhum (mabhath al-tasawwur), mantiq al-hukm (mabhath
al-qadaya), dan mantiq al-istidlal (mabhath al-qiyas). Dalam
perkembangan modern, ilmu mantiq biasanya hanya terbagi dua,
yaitu nazariyah al-hukm dan azariyah al-istidlal.
109
Dalam tradisi burhani juga kita mengenal ada sebutan
falsafat al-ula (metafisika) dan falsafat al-tsani. Falsafat al-ula
membahas hal-hal yang berkaitan dengan wujud al-'arady, wujud
al-jawahir (jawahir ula atau ashkhas dan jawahir thaniyah atau al-
naw'), maddah dan surah, dan asbab yang terjadi pada) maddah,
surah, fa'il dan ghayah; dan b) ittifaq (sebab-sebab yang berlaku
pada allam semesta) dan hazz (sebab-sebab yang berlaku pada
manusia). Sedangkan falsafat al-thaniyah atau disebut juga ilmu al-
tabi'ah, mengkaji masalah :
1. Hukum-hukum yang berlaku secara alami baik pada lam
semesta (al-sunnah al-alamiyah) maupun manusia (al-sunnah
al-insaniyah);
2. Taghayyur, yaitu gerak baik azali (harakah qadimah) maupun
gerak maujud (harakah haditsah yang bersifat plural
(mutanawwi'ah). Gerak itu dapat terjadi pada jauhar (substansi:
kawn dan fasad), jumlah (berkembang atau berkurang),
perubahan (istihalah), dan tempat (sebelum dan sesudah).
Dalam perkembangan keilmuan modern, falsafat al-ula
(metafisika) dimaknai sebagai pemikiran atau penalaran yang
bersifat abstrak dan mendalam (abstract and profound reasoning).
Sementara itu, pembahasan mengenai hukum-hukum yang berlaku
pad manusia berkembang menjadi ilmu-ilmu sosial (social science,
al-'ulum al-ijtima'iyyah) dan humaniora (humanities, al-'ulum al-
110
insaniyyah). Dua ilmu terakhir ini mengkaji interaksi pemikiran,
kebudayaan, peradaban, nilai-nilai, kejiwaan, dan sebagainya.
Oleh karena itu, untuk memahami realitas kehidupan sosial-
keagamaan dan sosial-keislaman, menjadi lebih memadai apabila
dipergunakan pendekatan-pendekatan sosiologi (sosiulujiyyah),
antropologi (antrufulujiyyah), kebudayaan (thaqafiyyah) dan
sejarah (tarikhiyyah), seperti yang menjadi ketetapan Munas Tarjih
dan Pengembangan Pemikiran Islam XXIV di Malang.
Pendekatan sosiologis digunakan dalam pemikiran Islam
untuk memahami realitas sosial-keagamaan dari sudut pandang
interaksi antara anggota masyarakat. Dengan metode ini, konteks
sosial suatu prilaku keberagaan dapat didekati secara lebih tepat,
dan dengan metode ini pula kita bisa melakukan reka cipta
masyarakat utama. Pendekatan antropologi bermanfaat untuk
mendekati maslah-masalah kemanusiaan dalam rangka melakukan
reka cipta budaya Islam.
Tentu saja untuk melakukan reka cipta budaya Islam juga
dibutuhkan pendekatan kebudayaan (thaqafiyyah) yang erat
kaitannya dengan dimensi pemikiran, ajaran-ajaran, dan konsep-
konsep, nilai-nilai dan pandangan dunia Islam yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat muslim. Agar upaya reka cipta
masyarakat muslim dapat mendekati ideal masyarakat utama dalam
Muhammadiyah, strategi ini pula menghendaki kesinambungan
111
historis. Untuk itu, dibutuhkan juga pendekatan sejarah
(tarikhiyyah). Hal ini agar konteks sejarah masa lalu, kini dan kan
datang berada dalam satu kaitan yang kuat dan kesatuan yang utuh
(kontinuitas dan perubahan). Ini bermanfaat agar pembahuruan
pemikiran Islam Muhammadiyah tidak kehilangan jejak historis.
Ada kesinambungan historis antara bangunan pemikiran lama yang
baik dengan lahirnya pemikiran keislaman baru yang lebih
memadai dan up to date.
Oleh karena itu, dalam burhani, keempat pendekatan -
tarikhiyyah, sosiulujiyyah, thaqafiyyah dan antrufulujiyyah -
berada dalam posisi yang saling berhubungan secara dialektik dan
saling membentuk jaringan keilmuan.
c. Epistemologi ‘irfani.
Irfani diambil dari kata irfan yang menurut bahasa berasal
dari kata ‘arafa (mengetahui, mengerti). Kata irfan searti dengan
kata ma’rifah yang terkenal dikalangan ahli tasawauf yakni
pengertian yang mendalam pada hati dalam bentuk ilham atau
sesuatu yang dapat membuka tabir yang menutup hati.
Kalau ditelusuri ‘Irfan mengandung beberapa pengertian
antara lain : 'ilmu atau ma'rifah; metode ilham dan kashf yang telah
dikenal jauh sebelum Islam; dan al-ghanus atau gnosis. Ketika
irfan diadopsi ke dalam Islam, para ahl al-'irfan mempermudahnya
menjadi pembicaraannya mengenai
112
1) al-naql dan al-tawzif; dan upaya menyingkap wacana
qur'ani dan memperluas 'ibarahnya untuk memperbanyak makna.
Jadi pendekatan irfani adalah suatu pendekatan yang dipergunakan
dalam kajian pemikiran Islam oleh para mutasawwifun dan 'arifun
untuk mengeluarkan makna batin dari batin lafz dan 'ibarah; ia juga
merupakan istinbat al-ma'rifah al-qalbiyyah dari Al-Qur’an.
Pendekatan irfani adalah pendekatan pemahaman yang
bertumpu pada instrumen pengalam batin, dhawq, qalb, wijdan,
basirah dan intuisi. Sedangkan metode yang dipergunakan meliputi
manhaj kashfi dan manhaj iktishafi. Manhaj kashfi disebut juga
manhaj ma'rifah 'irfani yang tidak menggunakan indera atau akal,
tetapi kashf dengan riyadah dan mujahadah.
Manhaj iktishafi disebut juga al-mumathilah (analogi),
yaitu metode untuk menyingkap dan mmenemukan rahasia
pengetahuan melalui analogi-analogi. Analogi dalam manhaj ini
mencakup : a) analogi berdasarkan angka atau jumlah seperti 1/2 =
2/4 = 4/8, dst; b) tamthil yang meliputi silogisme dan induksi; dan
c) surah dan ashkal. Dengan demikian, al-mumathilah adalah
manhaj iktishafi dan bukan manhaj kashfi. Pendekatan 'irfani juga
menolak atau menghindari mitologi. Kaum 'irfaniyyun tidak
berurusan dengan mitologi, bahkan justru membersihkannya dari
persoalan-persoalan agama dan dengan irfani pula mereka lebih
mengupayakan menangkap haqiqah yang terletak di balik shari'ah,
113
dan yang batin (al-dalalah al-isharah wa al-ramziyah) di balik yang
zahir (al-dalalah al-lughawiyyah). Dengan memperhatikan dua
metode di atas, kita mengetahui bahwa sumber pengetahuan dalam
irfani mencakup ilham/intuisi dan teks (yang dicari makna batinnya
melalui ta'wil).
Kata-kata kunci yang terdapat dalam pendekatan 'irfani
meliputi tanzil-ta'wil, haqiqi-majazi, mumathilah dan zahir-batin.
Hubungan zahir-batin terbagi menjadi 3 segi : 1)siyasi mubashar,
yaitu memalingkan makna-makna ibarat pada sebagian ayat dan
lafz kepada pribadi tertentu; 2) ideologi mazhab, yaitu
memalingkan makna-makna yang disandarkan pada mazhab atau
ideologi tertentu; dan 3) metafisika, yakni memalingkan makna-
makna kepada gambaran metafisik yang berkaitan dengan al-ilah
al-mut'aliyah dan aql kully dan nafs al-kulliyah.
Perkembangan irfan secara umum dapat dibagi dalam enam
fase, pertama, fase pembibitan, terjadi pada abad pertama hijriah.
Pada masa ini, apa yang disebut irfan baru ada dalam bentuk laku
zuhud31 (askestisme). Sejak awal, tokoh sufisme yang dikenal
sebagai orang-orang suci tidak banyak berbicara tentang irfan
secara terbuka, meski mengakui bahwa mereka dididik dalam
spioritualisme oleh rosul atau para sahabat.32
31 Khudori Soleh, .M.Ag, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm 199. 32 Ibid, Al Jabiri, Bunyah,…. 421
114
Karakter asketisme periode ini adalah (1) berdasarkan al
Qur’an dan sunnah, yakni menjauhi hal-hal duniawi demi meraih
pahala dan menjada diri dari neraka. (2) bersifat praktis, tanpa ada
perhatian untuk menyusun teori atas praktek yang dilakukan (3)
motivasi zuhudnya adalah rasa takut yakni rasa takut yang muncul
dari landasan amal keagamaan secara sungguh-sungguh.
Kedua, fase kelahiran, terjadi pada abad kedua hijriah.
Pada masa ini, beberapa tokoh sufisme mulai berbicara terbuka
tentang irfan. Karya-karya tentang irfan juga mulai ditulis, diawali
dengan tulisan Riayah huquq Allah karya Hasan Basri (642 – 728)
yang dianggap sebagai tulisan pertama tentang irfan.
Ketiga, fase pertumbuhan, terjadi abad 3 – 4 hijriah. Sejak
awal abad ke 3 H, para tokoh sufisme mulai menaruh perhatian
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku,
sehingga sufisme menjadi ilmu moral keagamaan (akhlaq).
Keempat, fase puncak, terjadi abad ke 5 H, pada periode ini
irfan mencapai masa gemilang.33 Kelima, fase spesifikasi, terjadi
abad ke 6 dan 7 H. berkat pengaruh al Ghazali, lewat magnup
opusnya Ihya Ulum al Dien, irfan menjadi semakin di kenal dan
berkembang dalam masyarakat Islam.
33 Disebut gemilang karena pada periode ini banyak tokoh yang lahir dan menulis tentang irfan antara lain, Said Abu Khair (w.1048 M) yang menulis Rubaiyyat, Ibnu Usman al Hujwiri (w.1077 M) menulis Kasf al Mahjub, dan Abdullah al Anshori (w.1088 M) yang menulis Manazil al Sa’irin salah satu buku terpenting dari irfan. Secara detail lihat, A Khudori Sholeh…op.cit. hal 2001
115
Keenam, fase kemunduran, terjadi sejak abad ke – 8 H.
Sejak abad itu, irfan tidak mengalami perkembangan berarti,
bahkan justru mengalami kemunduran, para tokoh lebih
menekankan pada ritus dan formalisme yang terkadang mendorong
mereka menyimpang dari substansi ajarannya sendiri.
Lepas dari rentetan sejarah diatas, dalam prakteknya,
pendekatan 'irfani banyak dimanfaatkan dalam ta'wil. Ta'wil 'irfani
terhadap Al-Qur’an bukan merupakan istinbat, bukan ilham, bukan
pula kashf. tetapi ia merupakan upaya mendekati lafz-lafz Al-
Qur’an lewat pemikiran yang berasal dari dan berkaitan dengan
warisan 'irfani yang sudah ada sebelum Islam, dengan tujuan untuk
menangkap makna batinnya.
Contoh konkrit dari pendekatan 'irfani lainnya adalah
falsafah ishraqi yang memandang pengetahuan diskursif (al-
hikmah al-batiniyyah) harus dipadu secara kreatif harmonis dengan
pengetahuan intuitif (al-hikmah al-dhawqiyah). Dengan pemaduan
tersebut pengetahuan yang diperoleh menjadi pengetahuan yang
mencerahkan, bahkan akan mencapai al-hikmah al-haqiqah.
Pengalaman batin Rasulullah saw. dalam menerima wahyu
al-Qur’an merupakan contoh konkret dari pengetahuan 'irfani.
Namun dengan keyakinan yang kita pegangi salama ini, mungkin
pengetahuan 'irfani yang akan dikembangkan dalam kerangka
ittiba' al-Rasul.
116
Dapat dikatakan, meski pengetahuan 'irfani bersifat
subyektif, namun semua orang dapat merasakan kebenarannya.
Artinya, setiap orang dapat melakukan dengan tingkatan dan
kadarnya sendiri-sendiri, maka validitas kebenarannya bersifat
intersubyektif dan peran akal bersifat partisipatif. Sifat
intersubyektif tersebut dapat diformulasikan dalam tahap-tahap
sebagai berikut. Pertama-tama, tahapan persiapan diri untuk
memperoleh pengetahuan melalui jalan hidup tertentu yang harus
ia ikuti untuk sampai kepada kesiapan menerima "pengalaman".
Selanjutnya tahapan pencerahan dan terakhir tahap konstruksi.
tahap terakhir ini merupakan upaya pemaparan secara simbolik di
mana perlu, dalam bentuk uraian, tulisan dan struktur yang
dibangun, sehingga kebenaran yang diperolehnya dapat diakses
oleh orang lain.
Implikasi dari pengetahuan 'irfani dalam konteks pemikiran
keislaman, adalah mengahmpiri agama-agama pada tataran
substantif dan esensi spiritualitasnya, dan mengembangkannya
dengan penuh kesadaran akan adanya pengalaman keagamaan
orang lain (the otherness) yang berbeda aksidensi dan ekspresinya,
namun memiliki substansi dan esensi yang kurang lebih sama.
Kedekatan kepada Tuhan yang transhistoris, transkultural, dan dan
transreligius diimbangi rasa empati dan simpati kepada orang lain
secara elegan dan setara. Termasuk di dalamnya kepekaan terhadap
117
problem-problem kemanusiaan, pengembanagan budaya dan
peradaban yang disinari oleh pancaran fitrah ilahiyah.
Metode irfani
IRFAN ETIKA
PRAKTIS TEORITIS
FILSAFAT
Membahas hubungan antar manusia saja
Membahas hubungan antar manusia dan hubungan manusia dengan Tuhan
Berdasarkan visi dan intuisi kemudian dikemukakan teori secara logis
Berpijak pada postulat-postulat
Tidak ada tahapan tertentu. Seseorang bisa memilih mana yang harus dilakukan
Ada tahapan-tahapan yang harus dilalui lebih dulu untuk menuju tujuan akhir
Eksistensi Tuhan meliputi semuanya dan segala sesuatu adalah manifestasi sifat-Nya.
Eksistensi non Tuhan sama rielnya dengan eksistensi Tuhan sendiri
Unsur spiritual sangat terbatas
Unsur spiritual yang sangat terbatas
Capaian tertinggi manusia adalah kembali kepada asal-usulny (Tuhan). Sarana yang dipakai adalah qalbu (hati) dan kesucian jiwa
Capaian tertinggi manusia adalah memahami semesta. Sarana yang dipakai adalah akal dan intelek
118
Skema perbandingan antara Epistemologi bayani, burhani
dan irfani
a. Epistemologi nalar bayani
1 Origin (sumber) • Nash/teks/wahyu (otoritas teks)-Al Khabar, al ijma (otoritas salaf)
• Al Ilm al Tauqi 2 Metode (proses dan prosedur) • Ijtihadiyah-
Istinbatiyah/istinjatiyah/istidaliyyah/qiyas• Qiyas (qiyas al ghaib ala al syahid)
3 Approach (Epistemologi) • Lughawiyah (bahasa) –Dalalah lughawiyah
4 Theoritical Framework (kerangka teori)
• Al asl al far’-Istinbatiyyah (pola pikir deduktif yang berpangkal pada teks)-Qiyas al illah (fiqih)-Qiyas al dalalah (kalam)
• Al lafd al ma’na-am, khas, musytarak, haqiqat, majaz, muhkam, mufasar, zahir, musykil, mujmal, mutasyabih
5 Fungsi dan peran akal • Akal sebagai pengekang/pengatur hawa nafsu (bandingkan lisan al arab ibn Manzur
• Justifikatif refetitif taqlidi (pengukuh kebenaran/otoritas teks)
• Al aql al dini 6 Types of Argument • Dialektik (jadaliyah), al uqul al
mutanafisah-defensif-apoloetik-polemik-dogmatik
7 Tolak ukur validitas keilmuan
• Keserupaan/kedekatan antara teks/nash dan realitas
8 Prinsip-prinsip dasar • Infisal (discontinue)=atomistic • Tajwiz (keserbabolehan)=tidak ada
hukum kausalitas • Muqarabah (kedekatan, keserupaan),
analogi deduktif; qiyas 9 Kelompok ilmu-ilmu
pendukung • Kalam (teologi) • Fiqih (jurisprudensi) fuqaha, ishuliyun • Nahwu (grammar), balaghah
10 Hubungan subyek dan objek • Subjective (theistic atau fideistic subjectivism)
b. Epistemologi nalar Burhani
119
1 Origin (sumber) • Realitas / al Waqie (alam, sosial, humanitas)
• Ilm al ushuli 2 Metode (proses dan prosedur) • Abstraksi (al maujudah al bariah
min al madah) • Bahtiyyah, tahliliyah, tarkhiyah,
naqdiyah (al muhakamah al aqliyah)3 Approach (Epistemologi) • Filosofis (scientific) 4 Teoritical framework
(kerangka teori) • At Thasawurat al tasdiqat; al had al
burhan • Premis-premis logika (al mantiq) -silogisme (2 premis + konklusi A = B B = C A = C -tahlilu al anasir al asasiyah li tu ‘ida bina’ahu bisyaklin yubarrizu ma huwa jauhariyyun fihi • Kulliy, juziy; jauha- ‘arad
5 Fungsi dan peran akal • Heuristic-analitik-kritis (al mu’anah wa al mukabadah wa ijalah al nazr) • Idraku al sabab wa al musabab • Al aql al kauni
6 Types of Argument • Demonstratif (eksploratif, verifikatif, explanative
-pengaruh pola logika aristoteles dan logika keilmuan pada umumnya
7 Tolak ukur validitas keilmuan
• Korespondensi (hubungan antar akal dan alam)
• Koherensi (konsistensi logik) • Pragmatic (fallibility of knowledge)
8 Prinsip-prinsip dasar • Idrak al asbab (nidzam al sababiyah at-tabit); prinsip kausalitas
• Al hatmiyyah (kepastian; certainty • Al mutabaqah baina al aql wa
nizam al tabi’ah 9 Kelompok ilmu-ilmu
pendukung • Falasifah (fakkar/scholars) • Ilmuan (alam, sosial, humanitas)
10 Hubungan subjek dan objek • Ibjective (al nazrah al mauduiyyah) • Objective Rationalism (terpisah
antara subjek dan objek)
120
c. Epistemologi nalar irfani
1 Origin (sunber) • experience - al Ru’yah al mubasyiroh - direct experience; al ilm al huduri - preverbal; prelogikal knowledge
2 Metode (proses dan prosedur) • az Zauqiyyah (at tajribah al batiniyah)
• ar Riyadah; al Mujahadah al Kasyfiyyah; al Isyraqiyah; al laduniyyah; Penghayatan batin/tasawuf
3 Approach (epistemologi) • Psiko-gnosis intuitif; zauq (qalb) • Al-la Aqlaniyyah
4 Teoritical Framework (kerangka Teori)
• Zahir – batin • Tanzil-ta’wil (Nubuwah-wilayah) • Haqiqi-majazi
5 Fungsi dan peran akal • Partisipatif Al hads wa wijdan Bila wasilah bila hijab
6 Types of Argument • Afifiyah wijdaniyah • Spirituality (esoterik)
7 Tolak ukur validitas keilmuan • Universal reciprocity • Empati • Simpati • Understanding others
8 Prinsip-prinsip dasar • Al ma’rifah • Al ittihad au al fana (al insan
yazuhu fi an Nas (universal) • Al hulul (Allah an nafsuhu yagu
an nafs al insaniyyah fa yahaila fiha wayatahawalu al insanu hina idzin ila kainin jadidin
9 Kelompok ilmuwan pendukung • Al mutasawifah • Ashab al irfan/ma’rifah (esoterik) • Hermes (arifun)
10 Hubungan subjek objek • Intersubjective • Wihdatulwujud (unity in
difference;unity in multiplicity -ittihad al ‘arif wa al ma’ruf (lintas ruang dan waktu); ittihad al aql, al aqil, wa al ma’qul.
121
Peta perkembangan epistemologi Islam
Bayani
Burhani
Isyraqi Muta’aliyah
Irfani
Keterangan:
Sumber pengaruh
Kelanjutan dengan perubahan