teori batas hukum islam studi terhadap pemikiran...

76
TEORI BATAS HUKUM ISLAM: STUDI TERHADAP PEMIKIRAN MUHAMMAD SHAHRUR DALAM WARIS Disusun Oleh : SUNARDI PANJAITAN NIM: 103044128050 JURUSAN AHWALUSYAKHSHIYAH (PERADILAN AGAMA) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H/ 2008 M

Upload: lamtuyen

Post on 04-Feb-2018

234 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

TEORI BATAS HUKUM ISLAM:

STUDI TERHADAP PEMIKIRAN MUHAMMAD

SHAHRUR DALAM WARIS

Disusun Oleh :

SUNARDI PANJAITAN

NIM: 103044128050

JURUSAN AHWALUSYAKHSHIYAH (PERADILAN AGAMA)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1429 H/ 2008 M

Page 2: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

TEORI BATAS HUKUM ISLAM: STUDI TERHADAP

PEMIKIRAN MUHAMMAD SHAHRUR DALAM WARIS

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum

untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai

Gelar Sarjana Hukum Islam

Disusun Oleh :

SUNARDI PANJAITAN

NIM: 103044128050

Dibawah Bimbingan

(DR. H. A. Djuaini Syukri, Lc, MA) (Drs. Umar Al Hadad, MA.g)

JURUSAN AHWALUSYAKHSHIYAH( PERADILAN AGAMA)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1429 H/2008 M

Page 3: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillahirabbi ‘alamin, segala puja hanya bagi Allah. Dia-lah sangkan

paran segala kehidupan. Shalawat serta salam hanya bagi Nabi Muhammad Saw, sang

pelita alam semesta.. Selanjutnya kami menghaturkan banyak terimakasih kepada

seluruh pihak yang turut serta dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul “TEORI

BATAS HUKUM ISLAM: STUDI TERHADAP PEMIKIRAN MUHAMMAD

SHAHRUR DALAM WARIS”. Terimakasih ini kami persembahkan bagi :

1. Prof. Dr. HM. Amin Summa, SH., MA.,MM., selaku dekan Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang kepadanya segala prestasi fakulas

ditambatkan

2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., selaku ketua jurusan al-Akhwal al-Syakhsiyah,

yang memberikan bimbingan dan arahan kepada kami.

3. Kamarusdiana, SH., MH., selaku sekretaris jurusan al-Akhwal al-Syakhsiyah

yang kami anggap sebagai bapak dan sekaligus sahabat bagi kami.

4. Dr. H. A. Juaini Syukri, Lc., M.A dan Drs. Umar al Haddad, M.Ag., selaku

pembimbing skripsi ini, yang telah memberikan waktu untuk mengoreksi serta

memberikan bimbingan kepada kami.

5. Kepada seluruh dosen, di Fakultas Syariah yang selalu menyalakan bara api

pengetahuan yang begitu mulia.

6. Kepada Ayahanda dan bunda yang kasih sayangnya tak pernah sirna dalam

hidupku. Doa dan ridho mereka berdualah yang selalu menjadi obat penawar dan

pelipur lara dalam segala gerak kehidupanku.

Page 4: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

7. Kepada adik-adikku yang selalu memberikanku dorongan dan motivasi untuk bisa

menyelesaikan studi ini secepatnya. Berkat Doa dan dorongannya saya bisa

menyelesaikan skripsi ini.

8. Kepada seluruh keluarga besarku, Pamanku, Kakek dan Nenek, Bibi dan

seluruhnya yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu yang selalu memberikan

dorongan bimbingan selama saya menempuh studi di UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

9. Kepada semua sahabatku yang tidak mungkin saya sebutkan satu persatu. Dari

mereka saya belajar banyak dalam mengarungi kehidupan yang tiada terduga ini.

Akhirnya penulis berharap kepada Allah Swt. Semoga skripsi ini

bermamfaat bagi semua pihak.

Jakarta, Medio Januari 2008

Penulis

Page 5: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

DAFTARA ISI

Lembar Pengesahan Skripsi

KATA PENGANTAR………………………………………………………………..i

DAFTAR ISI………………………………………………………………………….iii

BAB I PENDAHULUAN…..…..……………………………………………

1

A. Latar Belakang Masalah………………………………………2

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…………………………7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………..8

D. Metode Penelitian……………………………………………..9

E. Sistematika Penulisan……………….………………………..10

II BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN MUHAMMAD SHAHRUR…...12

A. Biografi Muhammad Shahrur dan Latar Belakang Sosialnya..12

B. Dasar Pemikiran Muhammad Shahrur……………………….17

C. Karir dan Karya Muhammad Shahrur………………………..19

III TEORI BATAS HUKUM ISLAM…………………………………23

A. Pengertian dan Latar Belakang Lahirnya Teori Batas Hukum

Islam………………………………………………………….23

B. Sumber-sumber Teori Batas…………………………………28

Page 6: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

C. Al-Istiqamah dan al-Hanifiyah……………………...………..32

IV IMPLEMENTASI TEOR BATAS DALAM HUKUM WARIS….44

A. Ketentuan Umum Hukum Waris Dalam al-Qur’an…………..44

B. Pemikiran Shahrur Dalam Waris………….………………….48

C. Analisis……………………………………………………….55

V PENUTUP…………………………………………………………...64

A. Kesimpulan…………………………………………………...64

B. Saran-saran...……………………………….…………………67

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………….69

Page 7: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Diantara sekian banyak ayat-ayat tentang hukum (ayat ahkam) dalam al-Qur’an

yang menurut Abdul Wahhab Khallaf berjumlah 2281, hanya ayat tentang warislah yang

secara riqid dan detail diterangkan oleh al-Qur’an dengan ad nauseum (secara panjang

lebar). Beberapa ahli hukum meengakui bahwa tidak ada satu aspek hukumpun yang

secara teknis menunjukkan keistimewaan hukum Islam selain dari pada hukum waris2,

yang diyakini sebagai model hukum yang canggih dan lengkap. Karena hukum waris di

dalam al-Qur’an telah dipresentasikan dalam teks-teks yang rinci, sistematis, konkret dan

realistis sehingga menutup kemungkinan adanya multiinterpretasi3.

Pembagian warisan yang telah ditentukan oleh al-Qur’an diatas, oleh para ulama

dipahami sebagai sesuatu yang taken for granted sehingga memiliki signifikasi yang

aksiomatik4 meminjam istilah Nasr Hamid Abu Zayd yaitu merupakan harga mati yang

tidak bisa ditawar-tawar lagi. Konsepsi ini terbentuk karena teks (nash) yang

mendasarinya dipandang sebagai qat’iyy as-subut dan qat’iyy ad-dalalah yang dalam

1 Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam; (Ilmu Ushul Fiqih), (Jakarta: Rajawali

pres, 1996),,Cet.ke-6 hal, 41-42 2 J.N.D Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, terj, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994) hal.72 3 A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, (Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 1997) hal 1 4 Nasr Hamid Abu Zayd, Imam Syafi’i Modernitas Ekletisisme Arabisme, terj. (Yogyakarta:

LKiS, 1997) hal.42

Page 8: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

agama dianggap sebagai sesuatu yang wajib diterima sebagaimana adanya, yang berlaku

secara mutlak (compulsory law).

Secara spesifik, masalah waris adalah yang paling kontroversi. Adalah Munawir

Sadjali yang telah menabuh genderang penggugatan terhadap hukum waris Islam. Ia

pertama kali yang menggelindingkan “bola salju pemikiran” yang ia istilahkan dengan

“Reaktualisasi Ajaran Islam”. Ia menawarkan peninjauan kembali mengenai ta’lil al-

ahkam atau ratio legis meminjam istilah Fazlurrahman, terhadap formulasi 2:1 bagi anak

laki-laki dan anak perempuan. Menurutnya, legislasi ini mempunyai latar belakang sosio-

kultural dimana ketentuan ini disyari’atkan, sehingga dengan demikian dimungkinkan

adanya modifikasi yang dirasa lebih adil5.

Munculnya gagasan diatas, karena secara faktual Munawir Sadjali melihat

ketentuan formulasi 2:1 sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat Indonesia, baik

secara langsung maupun tidak langsung. Menurut beliau banyak di berbagai daerah

termasuk daerah-daerah yang Islamnya kuat seperti Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan

dan bahkan Aceh yang menghendaki pembagian yang tidak sesuai dengan faraid dengan

pergi ke Pengadilan Agama. Sedangkan dipihak lain, semakin membudayanya kebijakan

mendahului (pre-empetive) seperti hibah yang dianggap Munawir sebagai

“penyimpangan” secara tidak langsung atau meminjam istilah beliau menghindar secara

tidak jantan dari hukum waris Islam6. Dan fenomena ini menurut beliau termasuk

kategori helah atau bermain-main dengan agama.

5 M. Wahyu Nafis dkk. (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam; 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir

Sadjali, MA,. (Jakarta: paramadina, 1995), hal.89

6 Munawir Sadjali, Ijtihad Kemanusiaan, (Jakarta: Paramadina, 1997) hal. 62

Page 9: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

Bak gayung bersambut, Komaruddin Hidayat justru melontarkan pendapat yang

kelihatan lebih ekstrim dari tawaran formulasi 1:1. ia berpendapat lebih Qur’ani jika kita

sekarang mengikuti tadisi orang Minang yang memberikan harta waris lebih banyak bagi

wanita daripada kaum laki-laki7. Argumentasi yang dibangun adalah berangkat dari

konsepsi bahwa secara historis-sosiologis semangat al-Qur’an adalah membela hak-hak

martabat kaum wanita dari penindasan kaum laki-laki. Dengan demikian Komaruddin

Hidayat menawarkan formulasi berbanding terbalik dengan formulasi 1:2. karena

formulasi 2:1 yang ada dalam al-Qur’an menurut Komaruddin adalah merupakan respon

sosiologis terhadap situasi sosial masyarakat Arab pada waktu itu yang menganggap

wanita sebagai “something” bukan “someone”.

Komaruddin Hidayat ternyata punya alasan tersendiri. Ia bahkan memandang

sangat penting untuk segera melakukan dekontruksi pemahaman terhadap bahasan

agama. Ada beberapa alasan yang dikemukakannya, Pertama, al-Qur’an sebagai firman

Allah turun dalam konstrain sejarah, sehingga mau tidak mau ia terkurung oleh

penggalan ruang dan waktu. Kedua, bahasa yang digunakan al-Qur’an memiliki

keterbatasan yang bersifat lokal, karena bahasa merupakan cerminan realitas budaya yang

menggunakan budaya tersebut. Ketiga, al-Qur’an merupakan rekaman dialog Allah

dengan sejarah dimana kehadiran-Nya diwakili oleh rasul-Nya. Dan ketika dialog

tersebut dikodifikasi, sangat mungkin terjadi reduksi dan kehilangan ruh setelah ratusan

tahun kemudian hanya berupa teks8.

7 Komaruddin Hidayat , Tragedi Raja Midas; Moralitas Agama dan Krisis Modernisme, (Jakarta:

Paramadina, 1999), hal. 121

8 Ibid, hal 97-98

Page 10: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

Namun lain halnya lagi di wilayah Maghribi (Afrika Utara), sebahagian fuqaha

justru pernah memfatwakan bahwa apabila seorang istri telah mampu memenuhi

kebutuhannya sendiri terlepas dari suaminya, maka ia dinyatakan tidak berhak lagi

memperoleh bagian warisan ayahnya. Pendapat ini justru dikomentari oleh Muhammad

Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai suatu penafsiran yang

kontekstual yang didesakkan oleh lingkungan sosialnya, walaupun secara lahiriah

bertentangan dengan teks al-Qur’an itu sendiri.9

Argumentasi al-Jabiri dibangun di atas konsepsi bahwa kemaslahatan adalah

prioritas utama, karena tujuan teks agama tiada lain untuk menjaga kemaslahatan umat

manusia. Dan ketentuan fuqaha untuk tidak memberikan warisan kepada perempuan yang

sudah bisa memenuhi kebutuhannya sendiri adalah untuk menghindari timbulnya

kekacauan dan disequilibrium. Karena pada esensinya yang diinginkan oleh nash al-

Qur’an pada saat diturunkannya ketentuan tentang warisan menurut al-Jabiri adalah demi

harmonisasi dan keseimbangan, dimana tanpa keharmonisan tersebut kehidupan

masyarakat tribal tidak akan berlangsung lama10

.

Disamping itu, dalam masayarakat modern kesadaran akan kesetaraan jender

semakin memperkuat posisi tawar perempuan untuk berdiri sejajar dengan laki-laki. Hak

dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan adalah seimbang termasuk didalamnya

adalah masalah hak dalam warisan.

Sampai disini timbul banyak permasalahan. Pertanyaan mendasar sehubungan

dengan permasalahan teks al-Qur’an adalah bagaimana memahamai teks, terutama teks

ayat hukum yang sarih dan dinilai qath’i sehingga tidak bertentangan dengan tuntutan

9 Muhammad Abed al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, terj. (Yogyakarta: LkiS 2000) hal. 46 10 Ibid, hal. 44

Page 11: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

kondisi obyektif yang dihadapi masyarakat. Bukankah al-Qur’an sebagai sumber ajaran

Islam diturunkan untuk kepentingan manusia? Jika asumsi dasar ini diterima, maka perlu

dicari sebuah model pendekatan dalam memahami teks tersebut sehingga tidak terjadi

kontradiksi antara teks dan realitas. Pada dataran inilah perlu dieksplorasi lebih lanjut

konsep-konsep radikal filosofis yang mendasari teks, yaitu bagaimana menjembatani

antara teks dan konteks agar tidak terjadi paradoks dan kontradiktif, sehingga terbukti

bahwa ajaran Islam adalah shallih li kulli zaman wa makan.

Dalam kasus waris, ketika teks secara sarih menyebutkan perbandingan

pembagian 2:1 antara anak laki-laki dan anak perempuan, sementara kondisi obyektif

masyarakat menginginkan pembagian yang lebih adil, apakah teks tersebut bisa dipahami

dengan konteks yang sesuai dengan kondisi tersebut? Dari sinilah tawaran Munawir

Sadzali untuk membagi samaratakan antara laki-laki dan perempuan sebagai salah satu

bentuk reaktualisasi hukum Islam di Indonesia perlu di eksplorasi lebih lanjut.

Pada dataran metodologis, pendekatan yang digunakan para pembaharu hukum di

Indonesia, seperti Hasbi as-Siddiqi, Munawir Sadzali dan Komaruddin Hidayat

cenderung pada pendekatan kontekstual, dimana lebih mengedepankan rasa keadilan dan

pembagian rasional. Baik Munawir maupun Komaruddin, menolak pendekatan tekstual

untuk memahami nash yang berhubungan dengan fiqih atau hukum. Bagi mereka, tingkat

peradaban manusia yang tercermin dalam kondisi sosio-kultural suatu masyarakat

(masalih murshalah) yang merupakan alasan utama untuk memahami nas tersebut.

Lantas seberapa kuat otoritas kondisi sosio-kultural masyarakat dalam menafsirkan teks?

Bukankah kondisi sosio-kultural masyarakat cenderung berubah serta bersifat lokal dan

temporal?

Page 12: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

Jika pendekatan tekstual diangap selalu tidak relevan, sementara pendekatan

kontekstual cenderung larut bersama relativitas dan kenisbian dinamika sosio-kultural

masyarakat, lantas pendekatan apalagi yang dapat digunakan dalam menyelesaikan

permasalahan warisan yang dianggap kurang memenuhi rasa keadilan?

Berangkat dari pertanyaan inilah, Muhammad Shahrur menawarkan teori

hukumnya, yang ia sebut dengan istilah Teori Batas (nazariyah al-hudud). Menurutnya,

para ahli hukum perlu selalu berusaha mengembangkan teori-teori hukum baru sesuai

dengan latar belakang sosio-kultural dan pengetahuan obyektif masyarakat kontemporer.

Shahrur menganggap, kemandekan pemikiran Islam saat ini, lebih disebabkan tidak

adanya gaya penafsiran baru yang bersifat rasional, tetapi juga tidak menentang teks.

Shahrur berpendapat, bahwa dalam memahami al-Qur’an, ummat Islam hendaknya

bersifat sebagai generasi awal Islam. Selanjutnya Shahrur menjelaskan bahwa dalam

memahami ayat waris, tidak memahami teks (nash) sebagai pembuktian hukum yang

hendak membatalkan atau menetapkan hukum syari’at, akan tetapi memahami ayat

sebagai salah satu bentuk aturan yang mengatur proses perpindahan harta kepemilikan

dari seorang kepada pihak lain11

.

Berlatar belakang pendidikan tehnik, Shahrur menawarkan suatu pendekatan

metode dalam menafsirkan teks yang lebih rasional. Selain seorang Doktor Teknik

Shahrur juga merupakan ahli bahasa, sehingga kajian-kajian keislaman yang

dilakukannya berawal dari kajian kebahasaan yang kemudian dipadukan dengan ilmu

eksakta yang dimilikinya. Sehingga munculnya gagasan teori batas (teori

limit/nazariyyah al-hudud) adalah perpaduan antara ilmu tafsir dengan ilmu eksakta yang

11 Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, terj. (Yogyakarta: eLSAQ Press,

2004) Cet. Ke-2 hal. 318

Page 13: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

dilakukan oleh Shahrur. Dan inilah alasan kuat penulis untuk mencoba mendalami

pemikiran Shahrur yang penulis angkat dalam sebuah skripsi.

Berangkat dari latar belakang inilah, penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh

lagi pemikiran-pemikiran Muhammad Shahrur terutama dalam masalah waris. Untuk

itulah, judul skripsi ini adalah : TEORI BATAS HUKUM ISLAM: STUDI

TERHADAP PEMIKIRAN MUHANMMAD SHAHRUR DALAM HUKUM

WARIS.

Pembatasan dan Perumusan Masalah

Mengingat sangat luasnya cakupan teori batas yang digagas oleh Muhammad

Shahrur, yakni mencakup hampir seluruh masalah hukum Islam, maka pembahasan

skripsi ini, penulis akan membatasi pada permasalahan di sekitar bagian waris saja,

namun tidak menutup kemungkinan, untuk memperjelas pembahasan ini, penulis akan

menambahkan dengan permasalahan tersebut.

Sebagai pembatas masalah, penulis akan mengarahkan pembahasan pada bagaimana teori

batas ini dipergunakan menyelesaikan permasalahan waris yang selama ini menjadi

polemik antara penganut tekstual dan kontekstual.

Adapun masalah dalam pembahasan ini yang penulis jadikan acuan dalam penjabaran

dan penguraian agar tidak keluar dari permasalahan dan pembahasan dari skripsi ini

adalah Apa dan bagaimana sebenarnya konsep teori yang ditawarkan oleh Muhammad

Shahrur serta mplemetasinya dalam permasalahan waris?.

Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

a. Tujuan Penelitian

Page 14: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari

penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui alasan dan latar belakang pemikiran Muhammad Shahrur

sehingga memunculkan teori batas tersebut.

2. Mengetahui pemikiran Muhammad Shahrur dalam hukum waris secara

keseluruhan.

3. Untuk mengetahui apakah tawaran yang diberikan Muhammad Shahrur

mampu mengetengahkan problematika antara tekstual dan kotekstual dalam

permasalahan warisan.

b. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Bagi para akademisi dapat memberikan sumbangan pemikiran, ide atau

gagasan untuk menambah literatur atau bahan, referensi pada Perpustakaan

Fakultas Syari’ah UIN Syarif Hidayatullah dan tentunya sumbangsih dalam

bidang pendidikan.

2. Bagi para desition maker dalam merumuskan hukum waris di Indonesia, dapat

menambah referensi dalam menetapkan hukum. Bahwa dalam menetapkan

hukum tidak hanya berpatokan pada teks (nash) semata, akan tetapi juga

melihat sosio-kultural yang berkembang di masyarakat.

3. Manfaat bagi penulis adalah dapat menambah wawasan mengenai hukum

waris serta teori-teoti yang dikembangkan oleh pemikir Islam.

Page 15: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

Metode Penelitian

Metodologi penelitian

Dari jenis data penelitian yang digunakan bersifat kualitatif. Secara metodologis,

metode yang digunakan dalam mengkaji masalah ini adalah metode penelitian

kepustakaan (library research), dengan menggali sumber-sumber primer.

Dan untuk lebih mempertajam yang dibahas, penulis menggunakan metode

deskriptif-analaitis. Deskriptif disini dimaksudkan sebagai upaya untuk mendiskripsikan

pemikiran-pemikiran Muhammad Shahrur tentang tema yang diangkat. Analitis berarti

menganalisa pemikiran-pemikiran Shahrur apakah bisa dijadikan sebagai tawaran

alternatif baru dalam menafsirkan teks waris.

Teknik Pengumpulan data

Pengumpulan data menggunakan studi dokumenter, yakni dengan memamfaatkan

bahan-bahan primer dan sekunder. Adapun sumber primer dalam masalah ini adalah buku

al-Kitab wa al-Qurán: Qiraáh Muashirah, Nahw Usul Jadidah Lil al-Fiqih al-Islami,

Metodologi Fiqh Islam Kontemporer dan Hermeneutika al-Qur’an Kontemporer yang

dikarang oleh Muhammad Shahrur. Adapun sumber sekundernya adalah data-data yang

berhubungan dengan masalah yang dibahas.

Teknik analisis data

Analisis data menggunakan teknik analisis isi secara kualitatif (Qualitative

Content Analysis). Dalam analisis ini semua data yang dianalisis berupa teks. Dalam hal

ini berupa teks-teks pemikiran Muhammad Shahrur. Analisis isi kualitatif digunakan

untuk menemukan, mengindetifikasi dan menganalisis teks atau dokumen untuk

memahami makna, signifikansi dan relevansi teks atau dokumen tersebut.

Page 16: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

Sistematika Penulisan

Pembahasan dalam skripsi ini dituangkan dalam lima bab. Adapun rincian sistematika

penulisan yang penulis susun adalah:

BAB I adalah pendahuluan meliputi dari latarbelakang masalah, pembatasan dan

perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian dan ditutup

dengan sistematika penulisan.

BAB II akan mengulas profil dari Muhammad Shahrur. Dalam bab ini akan dijelaskan

latar belakang kehidupan, pendidikan, karir akademik dan birokrasi serta karya-karya

Muhammad Shahrur.

BAB III akan membahas tentang teori batas, meliputi pengertian, konsep dan cakupan

teori tersebut dalam hukum Islam. Serta bagaimana sebenarnya konsep teori batas yang

digagas oleh Muhammad Shahrur.

BAB IV akan mempertajam pembahasan ini, dengan mengolaborasikan

pemikiran Shahrur dalam waris. Kemudian mencoba menggali tawaran Shahrur dalam

masalah waris dengan menggunakan teori batas. Kemudian ditutup dengan sebuah

analisis penulis.

BAB V sebagai penutup. Seluruh pembahasan diatas kemudian diikat dalam

beberapa kesimpulan dan “dibubuhi” beberapa saran yang penulis ajukan dalam bagian

ini.

Page 17: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

BAB II

BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN MUHAMMAD SHAHRUR

A. Biografi Muhammad Shahrur dan Latar Belakang Sosialnya

Syria dengan ibukota Damaskus, tercatat sebagai negara yang memiliki pengaruh

luar biasa di blantika pemikiran dunia Islam, baik sosial, politik, budaya dan intelektual.

Seperti umumnya yang dialami negara-negara Timur Tengah. Syria pernah mengalami

problematika modernitas, khususnya benturan keagamaan dengan gerakan modernisasi

Barat. Problema ini muncul disebabkan dampak dari invansi Prancis dan gerakan

modernisasi Turki. Selain itu, Syria pernah menjadi region dari dinasti Utsmaniyyah.

Problema ini pada gilirannya, memunculkan tokoh-tokoh semisal Jamal al-Din al-Qasimi

dan Thahir al-Jaza’ri yang berusaha menggalakkan reformasi keagamaan di Syria12

.

Reformasi al-Qasimi berorientasi pada pembentangan umat Islam dari

kecendrungan Tanzimat yang sekular dan penggugahan intelektual Islam dari ortodoksi.

Untuk itu, umat Islam harus mampu meramu rasionalitas, kemajuan, dan modernitas

dalam bingkai agama. Dalam hal ini, al-Qasimi mencanangkan untuk menemukan

kembali makna Islam yang orisinil dalam al-Qur’an dan Al-Sunah dengan menekankan

ijtihat13

. Ide al-Qasimi kemudian dilanjutkan oleh Thaha al-Jaza’iri. Kali ini gagasannya

lebih mengarah kepada upaya pemajuan di bidang pendidikan. Dari sinilah kemudian

terlihat iklim intelektual Syria, setingkat lebih “maju” ketimbang negara-negara muslim

Arab lainnya yang masih memberlakukan hukum Islam secara kaku, terutama dalam hal

kebebasan berekspresi. Angin segar bagi tumbuhnya suatu imperium pemikiran di Syria

12 Lihat. http://www.islamensipatoris.com. 13 Ibid

Page 18: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

lebih nyata dan menjanjikan dibanding negara-negara Arab lainnya, karena tidak semua

negara Arab menerima ide mengenai pembaharuan dalam Islam, misalnya yang harus

diterima Fazlur Rahman14

dan Nasr Hamid Abu Zayd15

yang harus hengkang dari

negaranya masing-masing. Kehadiran Muhammad Shahrur menjadi bukti bahwa Syria

merupakan negara yang menerima ide-ide segar yang muncul dalam pemikiran Islam.

Muhammad Shahrur yang bernama lengkap Muhammad Shahrur bin Daib Tahir

dilahirkan di Damaskus, Syria, pada 11 April 1938 M16

. Ayahnya bernama Deyb bin

Deyb Shahrur dan Ibunya adalah Siddiqah binti Salih Filyun17

. Dalam kehidupan

pribadinya, Shahrur dinilai telah berhasil membentuk sebuah keluarga yang bahagia. Dari

Istri tercintanya, Azizah, ia memperoleh lima anak dan dua cucu. Tiga anaknya yang

sudah menikah adalah Tariq (beristrikan Rihab), Lays (beristrikan Olga), dan Rima

(bersuamikan Luis). Sedangkan dua lainnya adalah Basil dan Mas’un dan dua cucunya

bernama Muhammad dan Kinan. Kasih sayang Shahrur terhadap keluarganya, paling

tidak, diindikasikan dengan selalu melibatkan mereka dalam lembaran persembahan

karya-karyanya.

Pendidikannnya diawali di sekolah dasar yakni Ibtida’iyah, I’dadiyah dan

Tsanawiyah ditempuh di kota kelahirannya pada lembaga pendidikan ‘Abdurrahman al-

Kawakibi. Ijazah Tsanawiyahnya ia peroleh dari sekolah itu pada tahun 1957. Pada bulan

14 Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad (Bandung: Pustaka, 2003) hal. vii 15 Nasr Hamid Abu Zayd, karena pemikiran kontroversialnya, harus hengkang dari negerinya ke

Universitas Laiden, Belanda, Lihat. Hamid Abu Zayd al-Qur’an, Hermeutika dan Kekuasaan, terj. Dedi Iswandi, dkk ( Bandung, RqiS, 2003) hal. 18

16 Muhammad Shahrur, Al-Kitab wa AlQur’an; Qira’ah Mu’asirah. (Damaskus: al-Ahali li al-

Tiba’ah wa al-Nasyr, 1999), hal.823 17 Ahmad Syarqawi Ismail, Rekontruksi Konsep Wahyu Muhammad Shahrur, (Yogyakarta:

eLSAQ Press, 2003), hal.43.

Page 19: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

Maret 1958 dengan beasiswa dari pemerintah ia pergi ke Uni Soviet untuk mempelajari

Teknik Sipil (Hadanah Madaniyah) di Moskow.

Pada tahun 1959 dan tahun 1964, Shahrur menyelesaikan diplomanya di bidang teknik

tersebut dan kembali ke Syria pada tahun 1965 serta mulai mengabdi di Universitas

Damaskus. Pada tahun yang bersamaan, Shahrur melanjutkan studi ke Irlandia tepatnya

di Universitas College, Dublin dalam bidang studi yang sama. Pada tahun 1967, Shahrur

berhak melakukan penelitian pada Imparsial College, London, Inggris. Karena pada

tahun itu, terjadi konflik politik antara Syria-Inggris, lalu ia keluar dari Inggris18

.

Selanjutnya Universitas Damaskus mengirimkannya ke Irlandia untuk melanjutkan

program Megister dan Doktoralnya di bidang teknik sipil konsentrasi Mekanika

Pertanahan (Soil mechanich) dan teknik pembangunan ( Fondation Engineering) di

Universitas Nasional Irlandia. Gelar Magisternya ia dapat pada tahun 1969 dan gelar

Doktoralnya pada tahun 1972 dan sejak itulah Shahrur kembali ke Damaskus , kota

kelahirannya.

Setelah tercapainya gelar Doktor, Shahrur diangkat menjai dosen di fakultas Teknik Sipil

Universitas Damaskus di Bidang Mekanika Tanah dan dasar bumi sejak tahun 1972

sampai sekarang. Dari hasil belajarnya diluar negeri, ia tidak hanya belajat teknik sipil,

akan tetapi ia juga belajar ilmu Filsafat, Fiqih Lughah, dan ilmu Linguistik. Ia menguasai

dua macam bahasa selain bahasa Ibunya sendiri (bahasa Arab) yaitu bahasa Rusia dan

bahasa Inggris.

18 Data ini diperoleh dari makalah yang ditulis oleh Yusron Wahab, Reading al-Kitab Versi

Shahrur, Makalah tidak diterbitkan.

Page 20: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

Kemudian pada tahun 1995, Shahrur juga pernah di undang menjadi peserta kehormatan

dan terlibat dalam debat publik mengenai pemikiran keislaman di Libanon dan Maroko.

Meskipun dasar pendidikan Muhammad Shahrur adalah teknik, namun ia tidak berarti ia

sama sekali kosong mengenai wawasan keislaman. Sebab akhirnya ia tertarik untuk

mengkaji al-Qur’an dan Hadits secara lebih serius dengan pendekatan filsafat bahasa dan

dibingkai dengan teori ilmu eksaktanya, bahkan ia juga menulis dan artikel tentang

pemikiran keislaman19

. Konsen Shahrur terhadap kajian ilmu keislaman sebenarnya

dimulai sejak ia berada di Dublin, Irlandia pada tahun 1970-1980 ketika mengambil

program Magister dan Doktoralnya. Di samping itu, peranan temannya DR. Ja’far Dik al-

Bab juga sangat besar. Sebagaimana diakuinya, berkat pertemuannya dengan Ja’far pada

tahun 1958 dan 1964, Shahrur dapat belajar banyak tentang ilmu-ilmu bahasa20

.

Dalam masa mengenyam studi di Moskow, antara tahun 1957-1964, Shahrur mulai

merasakan “benturan peradaban” antara latar belakang ideologisnya sebagai seorang

muslim dan fenomena sosial-intelektual di Moskow yang komunis. Di negara inilah,

Shahrur mulai berkenalan dan kemudian mengagumi pemikiran Marxisme. Sungguhpun

ia tidak mengklaim sebagai penganut aliran tersebut21

. Namun demikian ia mengakui

banyak berhutang budi pada sosok Hegel22

–terutama dialektikanya- dan Alfred North

White Head23

.

19 Abdul Mustaqim, Mempertimbangkan Metodologi Muhammad Shahrur, Dalam Shohiron

Syamsuddin,dkk, (ed), Hermeneutika al-Qur’an Mazhab Yogya, (Yogyakarta: Islamika, 2003), hal. 124. 20 Ibid. hal. 129.

21 Muhammad Shahrur, Islam dan Konferensi Dunia Untuk Perempuan” Dalam Charles Kurzman

(ed), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam kontemporerTentang Isu-isu Global, terj. Bahrul Ulum

(Jakarta: Paramadina, 2001), hal. 210. 22 Hegel adalah filsuf yang berasal dari Jerman, nama lengkapnya George Wilhelm Friedrich

Hegel, dilahirkan pada tanggal 27 Agustus di Stuttgart dan meninggal pada tanggal 14 November 1831.

Page 21: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

Sebuah proses yang wajar yang dialami seseorang ketika mengalami

perbenturan kultural sebagaimana dialami oleh Shahrur adalah munculnya berbagai

pandangan baru yang cenderung berbeda dan kontradiktif. Hal ini kemudian melahirkan

berbagai pertanyaan yang berusaha mendobrak kemapanan prespektif dan keyakinan,

baik terkait dengan moralitas maupun doktrin teologis. Kegelisahan ini juga dialami oleh

Shahrur.

Kegelisahan ini belanjut hingga ia menempuh program magister dan doktoralnya di

Universitas Dublin Irlandia. Berdasarkan pengakuannya, sejak tahun 1970, Shahrur

mencoba melakukan kajian ulang terhadap berbagai konsep yang selama ini sudah

dianggap baku dalam doktrin teologi Islam. Ia mulai tertarik untuk mengkaji tema-tema

terkait dengan al-Qur’an, antara lain konsep al-Zikr, ar-Risalah dan an-Nubuwah.

Sepuluh tahun berlalu, Shahrur masih bergelut dengan berbagai pertanyaan yang belum

terjawab secara memuaskan. Shahrur merasakan bahwa kajiannya sejak tahun 1970-1980

tersebut tidak membuahkan hasil.

Pada tahun 1980 Shahrur bertemu dengan Ja’far Dikki al-Bab seorang Doktor ilmu

bahasa lulusan Unversitas Moskow tahun 1973 sekaligus teman sejawatnya sebagai

tenaga pengajar di Universitas Damaskus. Pertemuan yang dilanjutkan dengan rangkaian

diskusi serius dan intensif hingga tahun 1986 ini, merupakan “fase pencerahan” dalam

diri Shahrur yang secara konsekuen membentuk pola pikir Shahrur dan

kecenderungannya untuk mendalami filsafat bahasa dan humanisme. Fase tersebut

Pendidikan filsafat dan teologi di peroleh Hegel dari Universitas Tubingen, Jerman. Dari Tubingen, Hegel

lalu pindah ke Switzerland dan memperdalam filsafat pengetahuan di Frankfurt. Karir akademisnya menanjak ketika ia mengajar di Universitas Jena dan pada tahun 1805 Hegel diangkat menjadi Profesor

Filsafat. Lih. Donny Gahral Adian, Pilar-pilar Filsafat Kontemporer, (Yogyakarta: Jalasutra, 2002), hal.

26. 23 Ahmad Fawaid Sjadzali, M. Shahrur: Figur Fenomena Dari Syiria, Makalah dikuitp dari

http://www.islamlib.com.

Page 22: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

menunjukkan pengaruh besar yang diperoleh Shahrur dari pemikiran Ja’far tentang

rahasia bahasa Arab.

B. Dasar Pemikiran Muhammad Shahrur

Mengetahui dasar pemikiran seorang tokoh merupakan hal yang mutlak untuk diketahui

sebelum kita masuk untuk mengetahui pemikirannya. Karena dasar pemikiran merupakan

pijakan yang dijadikan titik tolak yang sudah barang tentu sangat mempengaruhi seluruh

kontruksi dan bangunan pemikiran seseorang. Shahrur dalam pola pemikirannya bertolak

dari pada Landasan Metodologis.

Dalam melakukan pembacaan terhadap al-Qur’an, Shahrur menjadikan linguistik sebagai

dasar pandangan dalam membaca al-Qur’an (majhad lughawi), karena ia disamping

sebagai eksak (teknik sipil), ia juga seorang ahli filsafat bahasa24

.

Memang pada dasarnya secara akademis Shahrur tidak memahami dan mendalami bahasa

Arab, akan tetapi pengetahuannya tentang bahasa Arab tidak bisa diremehkan, terutama

sejak pertemuannya dengan temannya yaitu Ja’far Dikki al-Bab. Shahrur dalam

menyampaikan pemikirannya dalam al-Kitab al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah

menggunakan suatu metode kebahasaan yang terilhami oleh ilmu linguistik modern.

Metode tersebut dinamakan dengan al-manhaj at-tarikh al-ilmi (metode histories

ilmiah)25

. Akan tetapi Shahrur sendiri tidak membahas secara detail tentang manhaj yang

dipergunakannya. Dan Ja’far Dikki al-Bab merupakan orang yang paling berperan dalam

pemahaman metode yang dibawakan Shahrur.

24 Abdul Mustaqim, Op Cit. hal. 129 25 Muhammad Shahrur, Al-Kitab wa AlQur’an; Qira’ah Mu’asirah. (Damaskus: al-Ahali li al-

Tiba’ah wa al-Nasyr, 1999), hal 741.

Page 23: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

Metode Shahrur yang disebut sebagai al-manhaj at-tarikh al-ilmi merupakan sebuah

metode yang digali dari teori linguistik Ibn Jinni dan a-Jurjani. Kristalisasi dari kedua

tokoh tersebut meyatu menjadi teori Farisian yang dikembangkan oleh Abu al-Farisi26

.

Sintesa tersebut secara garis besar memberikan ketentuan-ketentuan bahwa bahasa adalah

suatu tatanan, bahasa merupakan bentuk realitas sosial, dan struktur bahasa selalu

berkaitan dengan fungsi iblaqh (fungsi penyampai), serta adanya korelasi antara bahasa

dan pemikiran.

Dari Abu al-Farisi, Shahrur menganut prinsip sebagai berikut :

1. Bahwa bahasa merupakan sebuah sistem (anna al-lughah nizam)

2. Bahasa merupakan fenomena sosiologis dan kontruksi bahasanya sangat terkait

dengan kontek dimana bahasa itu disampaikan.

3. Ada keterkaitan (at-talazum) antara bahasa dan pemikiran27

.

Metode linguistik Shahrur secara utuh sebagai bahan pembacaan terhadap al-

Qur’an secara keseluruhan memberikan aturan-aturan sebagai berikut: Bahasa sebagai

medium komunikasi antara manusia sehingga menimbulkan adanya keterkaitan antara

ucapan dan pikiran manusia. Maksudnya manusia sejak awal telah berbicara yaitu

melalui suara untuk mengkomunikasikan tujuan-tujuan (pikirannya) kepada orang lain.

Sementara proses pemikiran manusia tidaklah terbentuk sekali waktu, akan tetapi

terbentuk secara bertahap dari ilmu pengetahuan inderawi kemudian meningkat menjadi

pengatahuan abstrak.

26 Muhammad Shahrur, Dasar-dasar Hermeneutika Al-Qur’an Kontemporer, terj. Sohiron

Syamsuddin, dkk. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004), hal. 26.

27 Abdul Mustaqim, Op Cit hal. 126

Page 24: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

Begitu pula tatanan bahasa, ia tidak langsung terbentuk secara sempurna tetapi melalui

proses benturan dengan peradaban yang sejalan dan sesuai dengan perkembangan

pengetahuan manusia.

Dengan menggunakan metode linguistiknya, Shahrur kemudian membangun teori batas

(teori hudud), yang di dasarkan atas pemahaman terhadap dualitas yakni al-hanif dan al-

istiqamah.

C. Karir dan Karya Muhammad Shahrur

a. Karir Akademis dan Pemeritahan Muhammad Shahrur

Setelah menyelesaikan program doktoralnya di Dublin, Shahrur menjadi salah satu staf

pengajar di Universitas Damaskus di Syria. Di universitas inilah Shahrur memulai karir

akademiknya.

Disamping menjadi dosen, Shahrur juga menjadi konsultan teknik. Pada tahun

1982-1983, Shahrur dikirim pihak Universitas untuk menjadi staf ahli pada al-Saud

Consult, Saudi Arabia. Selain itu, bersama beberapa rekannya di fakultas, Shahrur

membuka biro konsultan teknik (an engineering consultancy/ dar al-istisyarat al-

handasiyah) di Damaskus28

.

Tidak ada data dan penjelasan yang penulis dapatkan dari karir Shahrur dalam

bidang pemerintahan. Karir Shahrur hanya berada dalam lingkup akademis, yakni sebagai

dosen di Universitasnya.

b. Karya-karyanya

28 Ahmad Fawaid Sjadzali, Op Cit.

Page 25: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

Syria merupakan negara yang sangat kondusif dalam menyokong aktualisasi ide-

ide dan pemikiran Shahrur sehingga ia menjadi muslim moderen yang cukup produktif.

Produktifitasnya terlihat ketika Shahrur menghasilkan berbagai karya tulis yang

dibukukannya. Buku pertama yang ia terbitkan adalah al-Kitab wa al-Qur’an: al-Qira’ah

al-Mu’asirah pada tahun 1990. Buku tersebut merupakan hasil pengendapan pemikiran

yang cukup panjang, sekitar 20 tahun. Pada fase pertama, yaitu tahun 1970-1980, Shahrur

merasa kajian keislaman yang selama ini dilakukan kurang membuahkan hasil dan tidak

ada teori baru yang diperoleh. Karena dirinya merasa terkungkung dalam kerangkeng

literatur-literatur keislaman klasik yang cenderung memandang Islam sebagai ideologi,

baik dalam bentuk pemikiran kalam atau fiqih. Sebagai implikasinya, pemikiran

keislaman mengalami kejumudan dan tidak bergerak sama sekali, karena selama ini

pemikiran keislaman dianggap final29

. Menurut Eickelman-Piscatori, sebagaimana

dikutif Bisri Efendi, buku tersebut secara umum mencoba melancarkan kritik terhadap

kebijakan agama konvensional maupun kepastian radikal keagamaan yang tidak toleran30

.

Pada tahun 1994, Shahrur merampungkan buku keduanya dengan judul Dirasat

Islamiyah Mua’sirah fi al-Daulah wa al-Mujtama. Dalam buku ini Shahrur secara

spesifik menguraikan dan membahas tema-tema sosial-politik yang berkait erat dengan

permasalahan masyarakat (al-mujtama’) dengan negara (al-Daulah), tetapi tetap pada

tawaran metodologisnya dalam memahami al-Qur’an sebagaimana tertuang dalam buku

pertamanya. Secara tegas dan konsisten Shahrur membangun konsep keluarga,

masyarakat, negara, dan tindakan kesewenang-wanangan (al-Istibdad) dalam prespektif

29 Abdul Mustaqim Loc It hal 124 30 Bisri Efendi, Tak Membela Tuhan Yang Membela Tuhan, Dalam Abdurrahman Wahid, Tuhan

Tidak Perlu Dibela, (Yogyakarta: LKIS, 1999), hal.xviii.

Page 26: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

al-Qur’an . Dalam buku inipun Shahrur menjelaskan dan menguraikan berbagai

tanggapan terhadap buku pertamanya di samping menegaskan bahwa ia berbeda dengan

mereka dalam metodologi.

Di tahun 1996 Shahrur meluncurkan buku ketiganya yang berjudul al-Islam wa

al-Iman: Manzumah al-Qiyam. Buku ini dicetak dan diterbitkan oleh al-Ahali Publishing

House. Dalam buku ini Shahrur mencoba untuk mengkaji konsep-konsep klasik

mengenai rukun Islam dan rukum iman, suatu yang penting dalam Islam. Setelah

mengkaji cukup lama terhadap ayat-ayat al-Qur’an, yang berkaitan dengan kedua konsep

diatas, Shahrur menemukan pemahaman yang berbeda dengan ulama terdahulu31

. Selain

kedua konsep di atas, buku ini berbicara tentang kebebasan manusia, perbudakan dan

tentang ritual ibadah yang terangkum dalam konsep al-Ibad wa al-‘Abid. Hal lain yang

menjadi kajian buku ini tentang hubungan anak dan orang tua dan terakhir tentang

sejarah monoteisme dalam al-Qur’an32

.

Buku terakhir Shahrur adalah, Nahw Usul Jadidah LiI al-Fiqh al-Islami, ditulis

pada tahun 2000. Khusus dalam buku ini, melalui refleksi yang sangat mendasar, ia

menyuguhkan satu model pembacaan, khususnya yang terkait dengan isu-isu perempuan,

soal waris, wasiat, poligami, dan kepemimpinan, yang masih aktual dan belum

terpecahkan secara komprehensif hingga dewasa ini33

.

31 Lima rukun Islam yang selama ini diyakini oleh umat Islam, seperti : membaca dua kalimat

syahadat, mengerjakan sholat, membayar zakat, puasa di bulan ramadhan dan pergi haji bagi yang mampu

ternyata dipahami Shahrur sebagai rukun iman bukan rukun Islam. Sedangkan rukun Islam oleh Shahrur adalah percaya kepada Allah, Percaya kepada hari akhir dan beramal soleh. Lih. Dr. Muhammad Shahrur,

Islam dan Iman: Aturan-aturan pokok, terj. M. Zaid Su’di, hal. 22., 32 Ibid, hal. 23-24 33 Dr. Ir. Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin

dan Burhanuddin, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004), hal. Xv.

Page 27: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

Dalam bidang teknik sipil sebagai latar belakan pendidikannya, Shahrur menerbitkan

beberapa buku antara lain: Handasah al-Asasiyah (tiga Juz), Handasah al-Turabiyah.

Selain dalam bentuk buku Shahrur juga menulis di majalah dan jurnal antara lain dapat

dijumpai Muslim Politic Report (14 Agustus 1997) dengan judul : “The Devine Text and

Pluralism in Moslem Socities” dan “Islam in The 1995 Beijing World Conference On

Women” dalam Kuwait Newspaper. Artikel terakhir telah dimuat dalam buku Islam

Liberal yang diedit oleh Charles Khuzman.

Page 28: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

BAB III

TEORI BATAS HUKUM ISLAM

A. Pengertian dan Latar Belakang Lahirnya Teori Batas Hukum

Islam

Salah satu kontribusi baru dalam kajian fiqih kontemporer yang diusung Shahrur

dalam karyanya yang monumental sekaligus kontroversial, al-Kitab wa al-Qur’an: al-

Qira’ah al-Mu’asirah adalah teori limit (Teori Batas/ Nazariyyat al-Hudud). Shahrur

menegaskan bahwa teori batas merupakan salah satu pendekatan dalam berijtihat, yang

digunakan dalam mengkaji ayat-ayat muhkamat (ayat-ayat yang berisi pesan hukum)

dalam al-Qur’an.

Abdullah Ahmed an-Naim menerangkan bahwa konsep hudud meskipun diambil

dari al-Qur’an, tetapi masih memunculkan masalah definisi yang serius34

. Al-Qur’an

sebagai teks keagamaan hanya memberikan sedikit tuntunan dalam ayat-ayat yang

relevan mengenai definisi yang sah dan unsur-unsur yang spesifik. Dalam persoalan

hudud al-Qur’an telah menyebutkan terutama perilaku zina, pencurian dan tuduhan zina.

Bagi pezina, hukuman itu berupa cambuk 100 kali, untuk pencuri hukumannya potong

tangan, dan tuduhan zina hukumannya cambuk 800 kali35

. Dalam “yuresprudensi” Islam,

istilah hukuman tersebut adalah hadd yang secara literal berarti “batas, batasan, atau

34 Abdullah Ahmed an-Naim, ” Dekonstruksi Syariah” terj. Ahmad Suhaedy dan Nuruddin Arrani

(Yogyakarta: LKiS, 1997) hal. 28 35 Asghar Ali Engineer, “Islam dan Teologi Pembebasan” terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 1999) hal. 255

Page 29: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

faktor-faktor yang membatasi”. Hukuman ini membatasi tindakan kejahatan, karenanya

hukuman itu disebut hudud.

Teori limit (hudud) yang digunakan Shahrur mengacu pada pengertian batas-batas

ketentuan Allah yang tidak boleh dilanggar, tapi didalamnya terdapat wilayah ijtihat yang

bersifat dinamis, fleksibel, dan elastis.

Shahrur membangun teorinya berdasarkan pengalaman dalam dunia teknik. Latar

belakang bagaimana ia menyusun teori batasnya berawal dari kuliah yang ia berikan

kepada mahasiswanya. Ia menuturkan:

“Suatu hari sebuah ide muncul dalam kepala saya ketika saya menyampaikan mata kuliah

teknik jurusan di Teknik Sipil tentang bagaimana membuat jalan padat. Kami sedang

melakukan apa yang disebut sebagai ‘uji keamanan’, yang kami gunakan sebagai contoh

dan cara menguji tanah yang digunakan untuk mengisi tanggul. Dalam ujian ini kami

mengeluarkan dan menambahkan (tanah). Kami mendapatkan sumbu x dan sumbu y,

sebuah hiperbola. Kami menemui resiko yang mendasar. Lalu kami menggambarkan

sebuah kurva dan meletakkan garis di atasnya. Garis ini adalah batas maksimum.

Kemudian timbul ide dalam pikiran saya tentang ‘batas Tuhan’ (hududullah). Sampai

disini, saya kembali kerumah dan membuka al-Qur’an. Dalam matematika kita hanya

mendapatkan lima cara menyuguhkan batas (limit). Saya menemukan lima kasus dalam

menampung ide tentang batas hukum Tuhan. Pemahaman yang sudah umum adalah

bahwa Allah tidak menentukan aturan tingkah laku secara tepat, tetapi hanya

menciptakan batas-batas yang di dalamnya masyarakat dapat menyusun aturan-aturan

dan hukum mereka sendiri. Saya telah menulis ide tentang integritas/keutuhan (al-

istiqamah) dan aturan moral atau etika yang universal. Pada awalnya ide ini hanya

Page 30: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

menjadi catatan saya dalam pembahasan terakhir dalam buku saya, tetapi saya melihat

bahwa teori ini merupakan perwujudan ide utama saya, maka saya mengoreksi semua

yang telah saya tulis tentang hududullah di buku agar pembahasan menjadi konsiten.

Hingga saya menilai bahwa pendapat saya telah benar36

.

Berawal dari pengalaman inilah kemudian Shahrur kemudian merumuskan teori

batasnya. Shahrur menandaskan bahwa jalan lurus yang telah disediakan Tuhan bagi

manusia agar mereka dapat bergerak sepanjang jalan lengkung di dalam teori batas

Tuhan, sesuai dengan hukum manusia yang diperkenankan di antara batas-batas (hudud)

bahwa al-kitab telah menetapkan seluruh tindakan manusia dan fenomena alam. Karena

itu, dia menegaskan bahwa variasi hukuman yang secara rinci disebut dalam al-Qur’an

menandaskan batas tertinggi, bukan menggambarkan hukuman yang mutlak. Demikian

pula al-Kitab telah menetapkan sejumlah hukuman minimum bagi berbagai kejahatan.

Shahrur merumuskan teori hududnya berangkat dari Q.S. an-Nisa: 13-14 yang terkait

dengan pembagian waris. Pada ayat 13, terdapat kalimat tilka hududullah dan pada ayat

14 terdapat kalimat wa yata’adda hududahu. Kata “hudud” disini berbentuk jamak

(plural) bentuk mufrodnya hadd artinya batas (limit). Pemakian bentuk plural di sini

menandakan bahwa hadd yang ditentukan oleh Allah berjumlah banyak, dan manusia

memiliki keleluasaan untuk memilih batasan-batasan tersebut sesuai dengan tuntutan dan

situasi dan kondisi yang melingkupinya. Selama ini masih berada dalam koridor batasan

36 Muhammad Shahrur, Dasar-dasar Hermeneutika Al-Qur’an Kontemporer, terj. Sohiron

Syamsuddin, dkk. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004), hal. 17-18

Page 31: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

tersebut, manusia tidak menanggung beban dosa. Pelanggaran hukum Tuhan terjadi jika

manusia melampaui batasan-batasan tersebut37

.

Menurut Shahrur, ayat ini secara eksplisit menyebutkan bahwa masalah

pembagian waris merupakan salah satu batasan dari sekian batasan (hudud) hukum

syariat yang ditentukan oleh Allah. Redaksi tilka hududallah merujuk pada penjelasan

ayat 11-12, dan pada saat yang sama juga menegaskan bahwa batasan hukum yang

dimaksud berasal dari Allah.

Pada ayat 14, kalimat wa yata’adda hududahu berarti melanggar batas-batas (hukum)

Tuhan. Penggunaan terma “hudud” di sini dinisbatkan kepada damir mufrat (kata ganti

tunggal) “hu” (dia) yang merujuk kepada Tuhan (Allah) saja. Sedangkan penggalan ayat

sebelumnya yang berbunyi wa man ya’sillaha wa rasulahu wa ya ta’adda hududahu

menegaskan bahwa perbuatan maksiat (menolak untuk melaksanakan) dapat dilakukan

terhadap Allah dan Rasul-Nya, tetapi pelanggaran hukum hanya terjadi pada Tuhan saja,

karena otoritas penentuan hukum syariat yang terus berlaku hingga hari kiamat itu hanya

milik Allah. Dia tidak pernah memberikan otoritas ini kepada yang lain, bahkan kepada

nabi Muhammad sekalipun. Karena jika Muhammad mempunyai otoritas penentuan

hukum ini, niscaya ayat tersebut akan berbunyi wa man ya’sillaha wa rasulahu wa ya

ta’adda hududahuma dengan menggunakan kata ganti huma, tetapi ternyata tidak

demikian38

.

37 Buranuddin, “Artikulasi Teori Batas (Nazariyyah al-Hudud) Muhammad Shahrur Dalam

Pengembangan Epistemologi Islam Di Indonesia”, Editor, Sohiron Syamsuddin, dkk, Hermeneutika al-

Qur’an Mazhab Yogya, (Yogyakarta: Islamika, 2003) hal. 152.

38 Ibid, hal. 152-153

Page 32: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

Dengan demikian dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa semua syariat (ketentuan

hukum) yang berasal dari nabi Muhammad bersifat temporal (marhali) dan tidak ada

keharusan untuk memberlakukannya hingga akhir zaman. Pada tataran ini tersembunyi

rahasia dan hikmah bahwa adanya Sunnah untuk diakui pada satu sisi, sedangkan pada

sisi lain adanya posisi Nabi sebagai suri tauladan untuk berijtihat dalam lingkup batasan

ketentuan Allah dan disesuaikan dengan kondisi obyektif sejarah manusia.

Sebagaimana disebut di atas bahwa otoritas penentuan hukum (syariat) hanya dimiliki

Allah saja, karena itu Allah adalah satu-satunya penentu hukum yang berlaku hingga

akhir zaman. Asumsi ini meniscayakan bahwa hukum yang bersumber dari Tuhan

memiliki sifat universal, berlaku untuk segala situasi dan kondisi, sesuai di setiap waktu

dan tempat (shallih li kulli zaman wa makan).

Konsekuensinya, hukum tidak boleh bersifat “tunggal” dengan satu pemahaman dan

prespektif. Hukum Tuhan harus sesuai dengan kecenderungan manusia yang selalu

berubah, maju, dan berkembang. Maka dalam al-Qur’an akan selalu dijumpai bahwa

syari’at hanya menentukan batasan-batasan (hudud) saja, ada yang berupa batasan

maksimal (al-had al-a’la) atau batasan minimal (al-had al adna) maupun variasi

keduanya. Ajaran syariat yang disampaikan kepada Rasullah bersifat hududiyah, berbeda

dengan syariat para rasul yang disampaikan sebelumnya yang a’iniyyah. Periode

kerasulan Muhammad SAW merupakan babak baru syariat moderen bagi generasi

kontemporer39

.

39 Ibid, hal. 153

Page 33: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

Berdasarkan presfektif diatas, Shahrur kemudian mengenalkan apa yang disebut dengan

teori batas. Ia menyatakan bahwa Allah Swt. telah menetapkan konsep-konsep hukum

yang maksimum dan yang minimum, al-istiqamah (straightness) dan al-hanifiyyah

(curvature), sedangkan ijtihat manusia bergerak dalam dua batasan tersebut.

Dalam batas-batas hukum ini, masyarakat manusia tidak hanya bebas, tetapi diwajibkan

untuk mengembangkan dan mengadopsi hukum mereka menurut kesepakatan dan

keadaan sosial politik masyarakat mereka. Shahrur melihat teori batasnya menampakkan

sisi moderen dari apa yang dia pandang sebagai prinsip inti al-Qur’an: Syura

(Musyawarah/konsultasi) sebagai contoh, adalah tuntutan untuk menjawab persoalan

hukum bagi kebijakan moderen dalam batas yang ditentukan Allah. Hasil yang didapat

dari proses musyawarah ini hendaknya bersifat relatif terhadap lingkup khusus –keadaan

khusus secara sosial, ekonomi dan politik- pada masing-masing komunitas politik.

Pendirian politik Shahrur secara jelas juga tampak sebagaimana yang dia simpulkan

bahwa “pada masa kita, musyawarah yang asli berari dengan pluralisme dan

demokrasi”40

.

B. Sumber-sumber Teori Batas

Dalam merumuskan teori batas yang digagas oleh Shahrur, beliau mendasarkan

teorinya pada dua hal, yaitu :

a. Dalil ayat-ayat al-Qura’an

40 Muhammad Shahrur, al-Kitab Op Cit, hal. 18

Page 34: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

Shahrur mendasarkan konsepnya dalam menyusun teori batas pada al-Qur’an surat an-

Nisa ayat 13-14 yaitu:

����� ����� � �� � ����� ����� � �� ��� ������� ���� !� "#$%&'( )*+!,�� -�� �'.�/��� +$'.12/3�� 456��7�$' �'.��� � 4��89�:�� ;<�⌧>?8�� @A��B'C?8�� DE*F ����� F1C�� � �� ��� ������� H'C�I���� �K'���K ���� !� �L���2 �M�7�$' �'.N�� ��� �� OP�⌧N� O5Q7.R� DEF Artinya: (Hukum-hukum tersebut) adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang siapa

taat kepada Allah dan rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang

mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya, dan itulah

kemenangan yang besar. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya

serta melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah akan memasukkannaya ke

dalam api neraka, sedang ia kekal di dalamnya, dan bagiannya siksa yang menghinakan

(QS. An-Nisa: 13-14)

Shahrur mencermati penggalan ayat tilka hududallah yang menegaskan bahwa pihak

yang memiliki otoritas untuk menetapkan batasan-batasan hukum adalah hanya Allah

semata. Dia berpendapat bahwa otoritas penetapan hukum (haq at-tasyri’) hanya milik

Allah, sedangkan Muhammad walau beridentitas sebagai nabi dan rasul, pada hakikatnya

bukanlah seorang penentu hukum yang memiliki otoritas penuh (as-syari’). Dalam

pandangan Shahrur, Muhammad adalah pelopor ijtihat dalam Islam. Pendapat ini

didasarkan pada pemahaman penggalan ayat setelahnya wa ya ta’adda hududahu yang

Page 35: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

berarti “dan melanggar batas ketetapan hukum-Nya”. Kata ganti (dhamir) “hu” pada

penggalan ayat diatas menunjuk kepada Allah saja, dan penggalan ayat secara lengkap

akan lebih menegaskan pemahaman ini “dan barang siapa yang bermaksiat kepada Allah

dan rasul-Nya serta melanggar ketetapan hukum-Nya”41

.

Ayat ini harus dipahami bahwa otoritas penetapan hukum ada pada Allah saja.

Seandainya nabi Muhammad berhak dan mempunyai otoritas tasyri’ tentulah ayat

tersebut akan berbunyi “wa ya ta’adda hududahuma” yang artinya “ dan melanggar

batas-batas hukum keduanya (Allah dan rasul-Nya).

Dengan demikian haruslah dipahami bahwa ketetapan hukum yang bersumber dari nabi

tidak semuanya identik dengan penetapan hukum dari Allah. Hukum yang ditetapkan

nabi lebih bersifat temporal-kondisional sesuai dengan derajat pemahaman, nalar zaman,

dan peradaban masyarakat waktu itu, maka ketetapan hukum tersebut tidak mengikat

hingga akhir zaman.

Dari sinilah menurut Shahrur, letak keutamaan Muhammad sebagai nabi, beliau adalah

uswatun hasanah dengan pengertian teladan dalam berijtihat dan penerapannya. Shahrur

mengajukan motivasi kepada para cendikiawan muslim untuk tidak ragu berijtihat

meskipun masalah-masalah hukum tersebut telah diklaim memiliki justifikasi nash hadits

nabi. Bagi Shahrur kondisi masyarakat yang dinamis dan selalu berubah sesuai ketentuan

situasi dan kondisi yang di latarbelakangi kemajuan ilmu pengtahuan, merupakan alasan

utama pemberlakuan ijtihat.

41 Buranuddin, “Artikulasi Teori Batas (Nazariyyah al-Hudud) Muhammad Shahrur Dalam

Pengembangan Epistemologi Islam Di Indonesia”, Editor, Sohiron Syamsuddin, dkk, Hermeneutika al-

Qur’an Mazhab Yogya, (Yogyakarta: Islamika, 2003) hal. 157

Page 36: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

b. Analisis Matematis (Mathematic Analisys)

Shahrur juga merumuskan teori-teorinya dengan analisis matematis (at-tahlili ar-

riyadi)42

. Ia menggambarkan hubungan antara al-hanifiyyah dan al-istiqamah, bagai

kurva lurus yang bergerak pad sebuah matriks.

Y

Kurva (al-Hanifiyah=Ruang Ijtihat

X

Sumbu X menggambarkan zaman atau konteks waktu, sejarah. Sumbu Y sebagai undang-

undang yang ditetapkan oleh Allah Swt. Kurva (al-hanifiyyah) menggambarkan dinamika

ijtihat manusia, bergerak sejalan dengan sumbu X. Namun gerakan itu dibatasi dengan

batasan hukum yang telah ditentukan oleh Allah Swt (sumbu Y). Dengan demikian,

hubungan antara kurva dengan garis lurus secara keseluruhan bersifa dialektik, yang tetap

dan akan berubah senantiasa saling terkait (intertwinet). Dialektika adalah kemestian

untuk menunjukkan bahwa hukum itu adaptabel terhadap konteks ruang dan waktu.

42 Muhammad Shahrur, Al-Kitab wa AlQur’an; Qira’ah Mu’asirah. (Damaskus: al-Ahali

li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1999), hal.579

Page 37: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

Secara teoritis, Shahrur menggunakan analisis matematis sebagai landasan bangunan

teorinya, yaitu rumusan-rumusan matematika yang dikembangkan oleh Isac Newton

khususnya yang berkaitan dengan persamaan fungsi. Persamaan fungsi dirumuskan

dengan Y=f(x) jika mempunyai satu variabel atau Y=f(x,2)43

jika mempunyai dua

variabel atau lebih. Rumusan ini berbentuk suatu garis yang memanjang keatas yang

disimbolkan dengan Y dan garis memanjang ke samping yang ditimbulkan X.

Bagi Shahrur, persamaan fungsi ini dapat dijadikan basis teori pengembangan hukum

Islam44

, karena teori ini mencakup dua karakter dari hukum Islam. Pertama, karakter

permanen (sabit) dalam arti tetap dan tidak berubah dan universal. Karakter ini disebut

sebagai al-istiqamah, dalam arti berlaku secara umum dan terus menerus. Kedua, karakter

dinamis dan cenderung pada perubahan (al-hanifiyyah).

C. al-Istiqamah dan Al-hanifiyah

Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa, teori batas dibangun atas dua

pemahaman yakni al-istiqamah dan al-hanifiyah. Melalui analisis linguistik, Shahrur

menjelaskan bahwa kata hanif berasal dari kata hanafa, yang dalam bahasa Arab berarti

bengkok, melengkung, (hanafa) atau juga bisa dikatakan orang yang berjalan diatas dua

kakinya (ahnafa). Kata ini juga dibandingkan dengan kata janafa, yang berarti condong

kepada kebagusan.

Adapun kata al-Istiqamah, derivasi dari kata qawm yang memiliki dua arti, yaitu

kumpulan laki-laki dan berdiri tegak (al-istisab) atau kuat (al-‘azm). Dari kata al-intisab

43 Ibid hal. 450 44 Ibid hal. 449

Page 38: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

muncul kata al-mustaqim dan al-istiqama, lawan dari melengkung (al-inhiraf).

Sedangkan kata al-azm, muncul kata ad-din al-qayyim (agama yang kuat dalam

kekuasaannya).

• Berbagai analisi linguistik terhadap term al-hanifiyyah dan al-istiqamah

inilah yang kemudian membuat Shahrur sampai pada surat al-An’am :161. Terdapat tiga

terma pokok dalam ayat tersebut, yaitu: ad-din al-qayyim, al-mustaqim dan al-hanif yang

kemudian menggelisahkannya. Bagaimana mungkin Islam menjadi kuat jika harus

disusun dari dua hal yang kontradiktif? Setelah menganalisa surah al-an’am , Shahrur

memperoleh pemahaman bahwa al-hunafa adalah sifat alami dari seluruh alam. Langit

dan bumi yang nota bene sebagai susunan kosmos adalah bergerak dalam garis lengkung.

Sifat inilah yang membuat tata kosmos menjadi teratur dan dinamis. Dengan demikian,

ad-din al-hanif adalah agama yang selaras dengan kondisi ini, karena al-hanif merupakan

pembawaan yang bersifat fitrah. Manusia sebagai bagian dari alam materi juga memiliki

sifat pembawaan fitrah ini.

Sejalan dengan fitrah alam tersebut, dalam aspek hukum juga terjadi. Realitas

masyarakat senantiasa bergerak secara harmonis dalam wilayah tardisi sosial serta

kebiasaan atau adat. Oleh karena itu, sebuah as-sirat al-mustaqim adalah keniscayaan

untuk mengontrol dan mengarahkan perubahan tersebut. Itulah sebabnya, mengapa al-

Qur’an tidak pernah ditemui ayat “ihdina ila al-hanifiyah” melainkan “ihdina as-sirat

al-mustaqim”, karena memang al-hanifiyah adalah fitrah. Dengan demikian, as-sirat al-

mustaqim menjadi batasan ruang gerak dinamika manusia dalam menentukan hukum.

Dari hal inilah kemudian muncullah teori batas hukum.

Page 39: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

Selanjutnya Shahrur menetapkan enam prinsip batas (hudud) yang dibentuk oleh daerah

hasil (range) dari perpaduan kurva terbuka dan tertutup pada sumbu X dan sumbu Y.

Perincian prinsip-prinsip tersebut sebagai berikut :

Pertama, daerah hasil (range) yang berbentuk kurva tertutup yang memiliki satu titik

balik maksimum berhimpit garis lurus yang sejajar dengan sumbu X. Posisi ini

diistilahkan oleh Shahrur dengan halal al-had al-a’la ( posisi batas maksimum)45

.

Pada posisi ayat-ayat hudud dalam umm al-Kitab hanya mempunyai batas maksimal saja

sehingga penetapan hukum diperbolehkan bergerak tepat digaris batas atau dibawah garis

batas maksimal dan tidak diperbolehkan melampauinya. Ayat-ayat hudud yang termasuk

dalam kategori ini adalah ayat-ayat yang menjelaskan hukum-hukum bagi kasus

pencurian dan pembunuhan. Q.S. al-Maidah: 38, Q.S. al-Isra’: 33, dan Q.S. al-Baqarah:

17846

, Contoh:

TU��VV8���� CW�X��VV8���� Y�Z�C��?X���� �'☺�.���1��� \T ��]'( �'☺7^ ��_`V⌧a b⌧$�c�2 -�d� � �� c e ���� f]�R� gA��c'� D*OF

Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah

tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai

siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (al-Maidah: 38)

45 Ibid hal.450

46 Ibid hal 455-457

Page 40: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

Ayat diatas menegaskan bahwa hukuman bagi pencuri adalah potong tangan. Namun

perlu diperhatikan potong tangan merupakan hukuman maksimal menurut Shahrur bagi

pelaku pencurian. Tentunya alternatif hukuman disesuaikan oleh hukum yang berlaku

disuatu negara yang melaksanakan hukuman itu.

Kedua, range yang berbentuk kurva terbuka yang memiliki satu titik balik minimum

yang berhimpit dengan garis lurus sejajar dengan sumbu X. Posisi ini diistilahkan dengan

al-halah al-adna (posisi batas minimal)47

.

Pada posisi ini ayat-ayat hudud dalam umm al-Kitab hanya mempunyai batas minimal

saja, sehingga penetapan hukum hanya diperbolehkan bergerak tepat digaris dan diatas

minimal dan tidak boleh melampauinya. Ayat-ayat hudud yang termasuk kategori ini

adalah ayat-ayat tentang pakaian wanita Q.S. An-nur: 31, ayat-ayat tentang muharramat

(orang-orang yang haram dinikahi) Q.S. an-Nisa: 22-23, ayat tentang jenis-jenis makanan

yang haram dimakan Q.S. al-Maidah: 3, ayat tentang utang piutang Q.S. al-Baqarah:

283-28448

, Contoh:

hi�� Y�����c&�� ��� '⌧�c�2 jBkT� ��^��T 4��d� �T �`V�dl8��

47 Ibid hal 450

48 Ibid hal 453-455

Page 41: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

mi7n ��� !�X '�K�'� � ��o27n �p�hk &W�q��$�� �r/?n���� �T �'��� s⌧N7t'� DuuF !#��*v+� <jBt?NK�� <jTcI$'.%�w� <jTcC��xl�^�� <jBtC�9��' ���� <jTcI$H☺��� <jTcI$K�$' �� �j�xl�^�� uy/3�� �j�xl�^�� �#1 b3�� jBt/$'.%�w��� z{|\$�8�� <jTcxl1C`E<��� jBtC�9��' ���� 4��d� �W'C$`E}+8�� B#$'.%�w��� <jTc~ �`V7� jBtt�o$�^���� {|\$�8�� �7z jBk��B,� -�d� jTc~ �`V7W� {|\$�8�� A/��' '� H-7.7^ p7��� <j�8 Y��2�Tc�� A/��' '� ��7.7^ h⌧�� ''�xl( <jBt?NK��� ��o$K�'��� jBt~ �xl<^�� �z6|N�8�� !-�� <jBt7_$K�!��� p���� Y��C'☺!,�� 451Q�^ Fz1Q�I1 b3�� mi7n ��� !�X '�K�'� c m�7n � �� �pX⌧a �l��B>⌧f �M☺���}� Du*F Artinya: ”Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu,

terkecuali pada masa yang telah lampau. Seseungguhnya perbuatan itu amat keji dan

dibenci Allah dan seburuk-buruknya jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu

(mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudara yang

perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-sauadara ibumu yang

perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak

perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu,

saudara-saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak isterimu

yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum

bercampur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu

mengawininya, (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu), dan

Page 42: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang

telah terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha

Penyayang, (al-Nisa’: 22-23).

Ayat diatas menjelaskan haramnya menikahi al-aqarib yang tertera dalam dua ayat di

atas. Dalam kondisi apapun, dan dengan alasan apapun kita dilarang mengawini

kelompok-kelompok al-aqarib tersebut. Karena hal tersebut merupakan batas legis

minimal yang tidak bisa ditolerir lagi.

Ketiga, range-nya berupa gelombang (gabungan antara kurva terbuka dan kurva tertutup)

yang memiliki sebuah titik balik maksimum dan sebuah titik balik minimum, keduanya

terhimpit pada garis lurus sejajar dengan sumbu X. Posisi ini diistilahkan dengan halah

al-haddain al-a’la wa al-adna ma’an (posisi batas maksimal dan minimal bersamaan)49

Ayat-ayat hudud pada posisi ini mempunyai batas maksimal sekaligus batas minimalnya,

sehingga penetapan hukumnya berkisar antara dua batas tersebut, atau mungkin saja bisa

jadi produk hukum yang dihasilkan berada tepat pada garis dua batas tersebut. Ayat-ayat

49 Ibid hal 450

Page 43: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

hudud yang termasuk dalam kategori ini adalah ayat tentang waris Q.S. an-Nisa’: 11-14

dan ayat tentang poligami Q.S. an-Nisa’: 350

. Contoh :

@ATc����� e �� Z�7z <jBk�$�81��� Y *+⌧a�X��8 �1M�� ���'� Fz1Q�N�M2b3�� � p7��� H-Ta ☯T �`V7� �U<��� Fz1Q�I��?A�� H-�.K��� ��MC�CA ��� ⌧��+�� Y p7n�� !#�2X⌧a &x'��9�� �'.K��� ����d&8�� � ��1����^\3�� F��Tc�8 _�K9�� �'☺�1��d� �%��V8�� �H☺�� ⌧��+�� p7n �pX⌧a ���8 {�� �� � p7��� A�8 -Tc�� ��� {�� �� >���A����� K����^�� ���d��`�� ��C��b8�� � p7��� �pX⌧a >��� �x��1 7n ���d��`�� �%��V8�� � a-�� �1C�^ _W}N���� {�$�� �W�� 1��� �z?6'� c <jTaT� ��^��T <jTaT� �xl<^���� hi �p���!�� <j�.R��� ���+?X�� <^Tc�8 �lC?>�2 � &Whg�*+�� 4��d� � �� c %p7n � �� �pX⌧a �s☺�7�� �M☺��c'� DEEF � <jBt�8�� ����2 ��� ⌧��+�� <jBt(9��?;�� p7n A�8 -Tc�� H-�.�8 {�� �� � p7��� �p�hk ���.�8 {�� �� jBtK��� ��^)+8�� �H☺�� -�k�+�� � a-�� �1C�^ _W}N���� 45Q���� �'.7^ 1��� �5?6'� � ���.�8�� ��^)+8�� �H☺�� A/?a�+�� p7n <j�8 -Bt�� <jTc�8 {�8�� � p7��� �p�hk <jBt�8 {�� �� H-�.K��� �-�☺�M8�� �H☺�� \T��k�+�� � a-�d� �1C�^ _W}N���� 4�����C� �'.7^ 1��� �z?6'� c p7n�� 4�X⌧a ��(�� ������ $���$K�hk ��� �x���+?��� >��� �� fy�� 1��� �#1 w� F��Tc7��� _�K9�� �'☺�.1l�d� �%��V8�� � p7��� Y�Z�2Xhk ���l�k�� -�� '_�89�: !#�.�� �T Xhk��B� �7z ��C��b8�� � a-��

50 Ibid hal 457-463

Page 44: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

�1C�^ _W}N���� �{`$�� �W�� 1��� �z?6'� ��<+⌧f 8v� �hg� � &W}N���� -�d� � �� c e ���� A�7��� gA�7�'� DEuF 4����� ����� � �� � ����� ����� � �� ��� ������� ���� !� "#$%&'( )*+!,�� -�� �'.�/��� +$'.12/3�� 456��7�$' �'.��� � 4��89�:�� ;<�⌧>?8�� @A��B'C?8�� DE*F ����� F1C�� � �� ��� ������� H'C�I���� �K'���K ���� !� �L���2 �M�7�$' �'.N�� ��� �� OP�⌧N� O5Q7.R� DEF

Artinya: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-

anakmu. Yaitu: bahagian anak laki-laki sama dengan bahagian dua anak perempuan,

dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga

dari harta yang ditinggalkan, jika anak perempuan itu seorang saja, maka anak itu

memperoleh separoh harta. Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya

seperenam dari harta peninggalan, jika yang meninggal itu mempunyai anak, jika orang

yang meninggal itu tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja)

maka ibunya mendapat sepertiga, jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara

maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah

dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang

tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat

dan lebih banyak mamfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya

Allah lagi Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari

harta yang ditinggalkan oleh isterimu-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika

isteri-isterimu mempunyai anak maka kamu mendapat seperempat dari harta yang

ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar

hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu

tidak mempunyai anak. Dan jika kamu mempunyai anak maka para isterimu memperoleh

seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat

atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati baik laki-laki atau

perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak tetapi

mempunyai saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja),

maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tapi jika

saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka bersekutu dalam yang sepertiga itu,

sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan

tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu

sebagai)syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha

Penyantun. (Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan dari Allah. Barang siapa taat

kepada Allah dan Rasulnya, niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang

mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah

kemenangan yang besar. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan

melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkan-Nyake dalam api

Page 45: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan (QS. An-

Nisa: 11-14)

Ayat di atas menjelaskan bahwa bagian laki-laki dua kali lipat perempuan. Dalam

konteks ini Syahrur menjelaskan bahwa bagian laki-laki adalah batasan maksimal dan

tidak bisa ditambah lagi, sementara perempuan adalah batas minimal, jadi dalam kondisi

tertentu seorang perempuan berpotensi mempunyai bagian lebih.

Keempat, range yang dihasilkan berupa garis lurus sejajar dengan sumbu X. Karena

berbentuk garis lurus posisi ini tidak memiliki titik balik mimimum, dengan aman, kedua

titik tersebut berada pada satu titik secara bersamaan sehingga titik balik maksimum

identik dengan titik balik minimum. Posisi ini diistilahkan dengan halat al-hadd al-adna

wa halat a-hadd al-a’la ma’an fi nuqthatin wahidah (Posisi batas minimal dan maksimal

berada pada titik secara bersamaan) atau diistilahkan dengan halat al-musthaqim (posisi

lurus tanpa ada alternatif lain)

Maksud dari tipe ini adalah dalam ayat-ayat hudud terdapat ayat-ayat yang tidak

mempunyai batas maksimal atau minimal, ayat tersebut berada pada posisi lurus dan

harus berada pada batas itu sendiri, sehingga ia tidak mempunyai alternatif lain dalam

penetapan hukumnya. Dengan demikian apa yang ada dalam ayat hudud itu sendirilah

Page 46: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

yang nantinya akan menjadi penetapan hukum. Ayat-ayat hudud yang termasuk kategori

ini adalah ayat yang menerangkan tentang hukuman bagi pelaku zina. Lihat an-Nur :251

CW�N�2�%]8�� �7��%]8���� Y��B�7�!(���� %�Ta _�K9�� �'☺�1��d� �W��Y��� "x����'( Y hi�� ^TaNC3���� �'☺�� �W������ �7z Fz6�� � �� p7n 1\T�&Ta �p�&��1�C� � ��7^ �¡<��N?8���� *+� /'�� Y !W�!¢��?8�� �'☺����⌧N� �W⌧>~ �� -�d� �zQ�&��1��☺?8�� DuF

Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah

tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada

keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada

Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh

sekumpulan dari orang-orang yang beriman” (QS. An-Nur: 2)

Artinya dalam ayat diatas para pelaku zina wajib di cambuk sebanyak seratus kali

tidak boleh kurang dan lebih karena hukuman tersebut dalam batas maksismal dan

minimal.

Kelima, rangenya berupa kurva terbuka dengan titik final yang cenderung

mendekati sumbu Y, sehingga bertemu pada daerah tak terhingga (‘ala al-aibayah).

Demikian pula pada titik pangkalnya yang terletak pada daerah tak terhingga terhimpit

dengan sumbu X. Posisi ini di istilahkan dengan halat al-hadd al-‘ala li hadd al-muqarib

duna al-mamas bi hadd abadan (Posisi batas maksimal cenderung mendekat tanpa ada

persentuhan sama sekali kecuali di daerah tak terhingga)52

.

51 Ibid hal 463

52 Ibid hal 450-451

Page 47: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

Daerah hasilnya berupa kurva terbuka yang terbentuk dari titik pangkal yang

hampir berhimpit dengan sumbu X dan titik final yang berhimpit dengan sumbu Y.

Secara matematis, titik final hanya benar-benar berhimpit dengan sumbu Y pada daerah

tak terhingga (‘ala la nihayah)

Ayat-ayat hudud yang termasuk tipe ini adalah ayat tentang larangan mendekati

zina. Q.S Al-Isra’:32. Tipe ini sangat terkait dengan kasus yang terjadi pada tipe

keempat. Pada ayat tersebut menjelaskan larangan “mendekati” hal yang membuka

peluang terjadinya zina. Mendekati “hal” tersebut merupakan batas legis minimal yang

tidak boleh dilampaui.

hi�� Y��^�+?n�� ��x�*v]8�� Y ��o27n �pX⌧a &W�q��$�� �T �'��� b⌧N7t'� D*uF

Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah

sesuatu yang keji dan sesuatu yang buruk. (QS. Al-Isra’ :32)

Ayat diatas menjelaskan larangan mendekati hal yang berpeluang berbuat zina,

mendekati merupakan batas legis minimal yang tidak boleh dilampaui.

Keenam, rangenya berupa kurva gelombang dengan titik balik maksimal yang

berada di daerah positif, berhimpit dengan garis lurus yang sejajar dengan sumbu X dan

titik balik minimum berada di daerah negatif berhimpit dengan garis lurus yang sejajar

sumbu X. Posisi ini disebut halah al-hadd al-‘ala mujaban muqhallaqun la yajuzu

tazawujuhu wa al-hadd al-adna saliban yajuzu tajawuzuhu (posisi batas maksimal positif

Page 48: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

dan tidak boleh melampaui batas terendah negatif yang diperlukan untuk

melampauinya53

.

Pada posisi ini tergambarkan pada hubungan kebendaan dan kasus moneter. Dua

batas akhir termuat dalam riba sebagai batas maksimal positif dan zakat sebagai batas

negatif, batas tertinggi (riba) tidak boleh dilanggar, namun batas terendahnya bisa

dilanggar yaitu dengan adanya shadaqah. Karena pada posisi ini memilih dua batas, yaitu

batas maksimal pada daerah positif dan batas minimal pada daerah negatif, sebagai

konsekuensi logisnya posisi ini pastilah mempunyai batas tengah (munqatul in’itaf) yang

berada diantara keduanya. Batas tengah ini disimbolkan dengan titik nol pada pertemuan

kurva terbuka dan tertutup. Hal yang dijadikan patokan Shahrur dalam membahas

masalah adalah ayat tentang zakat dalam surat al-Tawbah:60

� �'☺o27n B#$�X'¤�8�� �T ��+�nB>���8 FzQ�c$`V'☺?8���� �z¥7��☺$'C?8���� �W�<�K��� �W⌧>�8⌧��☺?8���� <j����C�CX ¦7z�� |���X*v+8�� �zQ��*+$�?8���� ¦7z�� F�N7t'� � �� Fz?���� F�N7tVV8�� Y &Whg�*+�� 4��d� � �� c e ���� A�7��� gAN�t'� D�|F

53 Ibid hal 451

0

Page 49: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

Artinya: “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, miskin,

pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan

budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang

dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; Allah Maha

Mengetahui lagi Maha Bijakasana.” (Q.S. al-Tawbah:60)

Ayat diatas menerangkan tentang konsep zakat, yang harus disalurkan kepada mereka

yang disebutkan oleh Allah dalam ayat tersebut. Namun, bagi Shahrur, zakat merupakan

batas minimum dari harta yang wajib dikeluarkan. Bentuk harta yang dapat melampaui

batas zakat disebut dengan sedekah.

Page 50: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

BAB IV

IMPLEMENTASI TEORI BATAS DALAM HUKUM WARIS

A. Ketentuan Umum Hukum Waris Dalam Al-Qur’an

Waris adalah apa-apa yang ditinggalkan oleh orang-orang yang meninggal dunia

yang dibenarkan oleh syariat untuk dipusakai oleh para hali waris54

.

Dalam Kompilasi Hukum Islam, menjelaskan bahwa kewarisan adalah hukum

yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris

yang menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan beberapa bagian

masing.

Dalam al-Qur’an, menurut bahasa kata waris berasal dari kata “warasa”yang

memiliki beberapa arti:

1. Berarti pengganti (QS. Al-Naml:16)

ææÑË Óáíãä ÏÇæÏæÞÇá íÇíåÇÇáäÇÓ ÚáãäÇ ãäØÞ ÇáØíÑ æÇæÊíäÇ ãä ßá ÔíÁ Çä åÐÇáåæÇáÝÖá ÇáãÈíä Artinya: “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud dan dia berkata: “Hai manusia,

kami telah diberi pengertian tentang sesuatu burung dan kami diberi segala sesuatu,

sesungguhnya ini benar-benar suatu karunia yang nyata”(QS. Al-Naml: 16)

2. Berarti memberi (QS. Az-Zumar :74)

æÞÇáæÇÇáÍãÏááå ÇáÐí ÕÏÞäÇ æÚÏå æÇæÑËäÇ ÇáÇÑÖ äÊæÇãä ÇáÌäÉ ÍíË äÔÇÁ ÝäÚã ÇÌÑÇáÚáãíä

54 Faturrahman, Ilmu Waris, (Bandung, Al-ma’arif, 1971) hal 36

Page 51: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

Artinya: “Mereka berkata: Puji-pjian bagi Allah yang telah menepati janji-

Nya dan telah mewariskan (memberikan) bumi kepada kami, kami tetap tinggal dalam

surga, menurut kehendak kami, maka inlah sebaik-baik pahala bagi orang-orang yang

beramal”(QS. Az-Zumar: 74

3. Berarti mewarisi (QS. Maryam :6)

íÑ Ëäí æíÑË ãä Çá íÚÞæÈ æÇÌÚáå ÑÈ ÑÖíÇ

Artinya : “Yang akan mewarisi dan diwarisi keluarga Ya’kub, dan jadikanlah

dia, ya Tuhanku, seorang yang disukai. (QS. Maryam, 19:16)

Sedangkan M. Idris Ramulyo mendefinisikan, warisan

adalah harta kekayaan dari seseorang yang telah meninggal

dunia, dapat berupa : 1. Harta kekayaan yang berwujud dan dapat dinilai dengan uang serta piutang atau

aktiva

2. Harta kekayaan yang merupakan hutang-hutang yang belum dibayar saat

meninggal dunia atau pasiva55

Sedangkan dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) didefinisikan, harta warisan

adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk

keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah,

pembayaran utang dan pemberian untuk kerabat.

Sedangkan ahli waris adalah orang yang mewarisi harta peniggalan muwarris

lantaran mempunyai sebab-sebab untuk mempusakai, seperti adanya ikatan perkawinan,

hubungan darah (keturunan) dan hubungan hak perwalian dengan si muwaris56

.

55 M. Idris Ramulyo, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta, Ind. Hill Co, 1987), hal 48-49

56 Faturrahman, Loc. It

Page 52: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

Hukum kewarisan, sering dikenal dengan istilah faraid, bentuk jama’ dari kata

tunggal faridah, artinya ketentuan. Hal ini karena dalam Islam, bagian-bagian warisan

yang menjadi hak ahli waris telah di bakukan dalam al-Qur’an.

Dalam surat An-Nisa’ ayat 11-12, Allah dengan jelas mengatur tentang ketentuan-

ketentuan warisan yang menjadi hal ahli waris. Adapun sebab turunnya ayat ini adalah

untuk menjawab kesewenang-wenangan saudara Sa’ad ibn al-Rabi yang ingin menguasai

kekeyaan peninggalannya ketika Sa’ad tewas di medan peperangan. ”Ata” meriwayatkan:

”Sa’ad Ibn Abi al-Rabi tewas (di medan peperangan sebagai syuhid)

meninggalkan dua anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Kemudian saudara laki-

lakinya mengambil harta (peninggalannya) seluruhnya. Maka datanglah istri Sa’ad, dan

berkata kepada Rasulullah SAW: “Wahai Rasulullah SAW, ini adalah dua anak Sa’ad

dan Sa’ad telah meninggal di medan peperangan, pamannya telah mengambil harta

kedua anak tersebut seluruhnya”. Maka bersabda Rasulullah SAW : “Kembalilah kamu,

barangkali Allah memberi keputusan dalam masalah ini”. Maka kembalilah istri Sa’ad

tersebut setelah itu dan menangis. Maka turunlah ayat ini (QS. An-Nisa, 4: 11-12) maka

Rasulullah SAW memanggil pamannya dan bersabda : “berilah kedua anak perempuan

Sa’ad dua pertiga (al-sulusain), ibunya seperdelapan (al-sumua) dan sisanya untuk

kamu”57

.

57 Al-Nawawi, al-Tfasir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil, Juz I, (Semarang, Usaha Keluarga, terj)

hal. 141-142

Page 53: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

Turunnya ayat tersebut, merupakan awal penentuan bagian waris dalam Islam58

.

Memang jika melihat sejarah pada zaman jahiliyah sebab-sebab mempusakai ada tiga

yaitu:

1. Adanya pertalian kerabat (Qarabah)

2. Adanya janji pra setia (Muhallafah), dan

3. Adanya pengangkatan anak (tabanny atau adopsi)59

Adapun tentang ketentuan dalam hukum waris Islam, sebagaimana yang

tercantum dalam al-Qur’an, bahwa laki-laki mendapat dua kali lipat bagian dari anak

perempuan, Ash-Shabuni memberikan alasan yang berdasarkan banyak hikmah,

diantaranya :

a. Kebutuhan wanita sudah tercukupi, nafkahnya merupakan kewajiban kaum

kerabatnya, ayah-ibunya, anak-anaknya dan lain sebagainya dari kerabat

yang paling dekat dengannya, yang demikian ini di dasarkan pada banyak

hikmah syariat yang agung, agar orang yang memiliki kelapangan

mengeluarkan infaq dari kelapangan itu

b. Wanita tidak dibebani memberikan infaq kepada seseorang. Hal ini berbeda

dengan laki-laki yang berkewajiban memberikan nafkah kepada keluarga

yang ada dalam tanggungannya, seperti anak, keluarga dan siapapun yang

memang haru diberi nafkah

c. Laki-laki harus menyerahkan mahar kepada istri dan berkewajiban

memberikan makanan dan pakaian bagi istri dan anak-anaknya

58 Ibid 59 Faturrahman, Op. Cit

Page 54: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

d. Laki-laki harus menjamin biaya sekolah anak-anaknya, pengobatan istri dan

anak-anaknya jika mereka sakit, yang berkewajiban semacam ini tidak

dibebankan kepada istri60

.

B. PEMIKIRAN SHAHRUR TENTANG WARIS

Pewarisan adalah proses pemindahan harta yang dimiliki seseorang yang sudah

meninggal dunia kepada pihak penerima (waratha) yang jumlah dan ukuran bagian yang

diterimanya telah ditentukan dalam mekanisme wasiat, atau jika tidak ada wasiat maka

penentuan pihak penerima, jumlah dan ukuran bagiannya (hazz) ditentukan dalam

mekanisme pembagian waris61

.

Dari defenisi diatas, Shahrur menjelaskan bahwa, prioritas utama dalam

masalah waris terletak pada wasiat62

, yaitu adakalanya pewaris sudah menentukan

wasiat sebelum ia meningal dunia dengan menyerahkan seluruh hartanya kepada karib

kerabatnya setelah meninggal dunia, berdasarkan bahwa Allah mensyaratkan bahwa

pemberlakuan hukum-hukum waris terjadi setelah dilaksanakan wasiat dan dibayar

hutang-hutangnya.

Ayat pertama dari ayat-ayat waris dalam Al-Qur’an di mulai dengan kalimat :

yusikumullahu fi auladikum (Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka

untuk ) anak-anakmu)(Qs. An-Nisa (4):11). Dan ditutup dengan firman Allah :

60 Muh. Ash-Shabuni, Cahaya Al-Qur’an, terj. (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2000) Cet. Ke-I, hal

191-192 61 Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontempore, terj, (Yogyakarta, ElsaQ Press Cet :

II, 2004) hal 334 62 Wasiat adalah penyerahan hak atas harta tertentu dari seseorang kepada orang lain secara

sukarela yang pelaksanaanya di tangguhkan hingga pemilik harta meninggal dunia. Dasar hukum wasiat

adalah surat Al-Baqarah (2) : 18. Dalam surat tersebut dinyatakan bahwa wasiat merupakan sebuah

kewajiban yang harus ditunaikan setelah mayit meninggal meninggal dunia. Lihat: Zainuddin, Hukum

Perdata Islam Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika, 2006) hal 141-142)

Page 55: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

Wasiyyatan min Allahi wa Allahu ‘Alimun hakim (Allah menetapkan yang demikian itu

sebagai) syarat yang benar-benar dari Allah ( Allah adalah Maha Mengetahui labi Maha

Teliti (QS. An-Nisa (4):12) 63

.

Dari sini memahami satu hal yang sangat mengandung petunjuk yang dianggap

sangat penting baginya, yaitu wasiat merupakan sebuah beban wajib (taklif) dari Allah

kepada manusia seperti halnya sholat dan puasa. Bagi Shahrur wasiat merupakan

sebuah kewajiban mutlak bagi setiap muslim. Belum bisa dilaksanakan proses

pembagian harta waris jika wasiat belum dilaksanakan. Andaikan si pewaris tidak

meninggalkan wasiat apapun, tetapi wasiat tetap diwajibkan, yang dalam hal ini wasiat

diambil alih oleh Allah dan dimasukkan dan dimasukkan dalam mekanisme waris64

.

Shahrur menolak pandangan sebagaian ulama yang beranggapan bahwa wasiat

dalam surat al-Baqarah ataupun dalam surat-surat lainnya telah dihapus oleh ayat-ayat

waris dalam surat an-Nisa’. Dalam artian bahwa Shahrur menolak ilmu nasikh

mansukh65

yang dimunculkan oleh para ulama-ulama fiqih. Bagi Shahrur, adanya ayat-

63 Dalam kondisi manusia tidak melakukan wasiat tersebut, maka Allah telah menetapkan wasiat

umum demi terlaksananya maksud ini (kewajiban wasiat) yang mengungkapkan hukum universal demi

tercapainya keadilan umum, bukan keadilan yang khusus dan individual. Wasiat ini memliki bentuk

penyeimbangnya yang dapat kita saksikan dalam realitas sosial saat ini, yang tidak terkait dengan ideologi

politik tertentu, dalam arti bahwa wasiat tersebut bukan merupakan produk hokum dari kekuasaan

pemerintahan tertentu, namun ia semata-mata adalah hokum universal yang berlaku bagi pembagian harta

kekayaan setiap orang-orang yang meninggal dimuka bumi. Wasiat ini diberlakukan bukan dengan tujuan

atas dasar hubungan kekerabatan atau kewajiban keluarga dari seseorang, namun lebih berupa hokum yang

ditetapkan oleh Allah bagi masyarakat manusia secara keseluruhan, bukan bagi keluarga atau pribadi

individu. 64 Disinilah letak perbedaan pemahaman Shahrur dengan ulama fiqih lainnya, dimana menurut

para ahli fiqih, waris adalah kewajiban, namun jika tidak ada wasiat yang ditinggalkan oleh pewaris maka

waris bias langsung di bagikan tanpa diambil alih alih oleh Allah. 65 Nasikh Mansukh secara etimologi terbagi dalam dua pengertian yaitu pertama berarti

pembatalan dan penghapus (peniadaan). Sesuatu yang membatalkan, membatalkan, dan menghapuskan

atau memindahkan disebut dengan nasikh, sedangkan sesuatu yang dibatalkan, dihapuskan atau

dipindahkan disebut dengan mansukh. Secara terminologi nasikh adalah pembatalan hokum syara’ yang

Page 56: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

ayat dan hukum-hukum dalam al-Qur’an yang dihapus oleh ayat-ayat lain dan bahwa

mereka menjadikan kitab Allah sebagai kitab yang temporal yang terikat dengan sebab

dan peristiwa yang telah terjadi puluhan abad lalu, mereka bahkan beranggapan bahwa

sunnah qawliyyah (sabda nabi) yang berwujud hadits Nabi –sebagaiman yang tercantum

dalam kitab-kitab hadits ditangan umat Islam- memiliki otoritas untuk menghapus ayat

dan hukum dalam kitab Allah. Bagi Shahrur, Mereka mengasumsikan bahwa Al-Qur’an

lebih membutuhkan sunnah dari pada sunnah yang membutuhkan Al-Quran.

Pada bagian lain, Shahrur memandang bahwa patokan utama dalam penentuan

hak waris ada pada pihak perempuan, sementara laki-laki senantiasa mengikuti dan

menyesuaikan dengannya. Lebih dari itu, kekerabatan adalah dasar bagi pembagian

harta warisan66

. Shahrur beralasan bahwa kehidupan aktual saat ini dimana kebutuhan

seorang perempuan kepada seorang laki-laki yang diikutinya dalam seluruh aktivitas dan

tempat tinggalnya (ayah/saudara laki-laki/paman/anak laki-laki paman) telah berkurang

dan menyusut pulalah spirit patriarkhis dan hubungan-hubungan famili kekeluargaan

yang telah menetapkan kedudukan perempuan dalam masyarakat dan tunduk pada

pemahaman para ahli fiqih dan para penafsir terhadap ayat-ayat waris dan kesetaraan.

Selain itu menurut Shahrur, bahwa saat ini perempuan bisa membuahi dirinya sendiri

tanpa laki-laki dengan menggunakan kloning, dan sebaliknya laki-laki tidak bisa

membuahi dirinya sendiri tanpa seorang perempuan. Serta perempuan di abad 21 ini,

mempunyai posisi yang sama dengan laki-laki baik dalam propesi maupun dalam

tingkatan intelektual. Hal ini bisa dibuktikan dengan hampir diseluruh tingkatan

ditetapkan terdahulu dari orang mukallaf dengan hokum syara’ yang sama yang datang kemudian. Lihat,

Nasrun Haroen, Ushul Fiqih I, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997) hal 181-182 66 Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontempore, terj, (Yogyakarta, ElsaQ Press Cet :

II, 2004) hal 442

Page 57: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

perempuan mengambil peran, baik sebagai seorang dokter, pendidik, politisi, buruh dan

lain-lain67

.

Dengan demikian, menurut Shahrur, sudah semestinya, setelah menyadari

semuanya, umat Islam mengkaji ulang pembacaan ayat-ayat waris sesuai dengan

pergeseran sejarah dan perubahan kebudayaan manusia, dan berangkat dari

keuniversalan risalah Muhammad dan dari fakta bahwa kenyataan aktual (objektif) yang

senantiasa tunduk kepada perubahan dalam pergeseran sejarah, yang merupakan satu-

satunya cara untuk membuktikan kebenaran Kalam Allah.

Li adh-dhakari mithlu hazzi al-unthayayni (bagian seorang anak laki-laki sama

dengan bagian dua orang anak perempuan). Ini adalah prinsip pertama dalam

pembagian waris. Dalam prinsip ini, menurut Shahrur perempuan adalah dasar atau

titik tolak dalam penentuan bagian masing-masing pihak. Bagi Shahrur, dalam ayat

tersebut, Allah seakan-akan menyatakan: “ Perhatikan bagian (hazz) yang telah kalian

tentukan untuk dua orang perempuan, lalu berikanlah semisal itu kepada pihak laki-

laki”. Sangat tidak masuk akal mengetahui dan menentukan batasan sesuatu sebelum

mengetahui dan menentukan batasan sesuatu yang dimisalkan tersebut68

.

Selanjutnya, lanjutan ayat diatas yakni : fa in kunna nisa’an fawqa ithnatayni fa

lahunna thulusa ma taraka; wa in kanat wahidatan fa laha an-nisfu (...dan jika anak itu

semuany perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang

67 Alasan serupa juga disampaikan oleh Munawir Sjadzali ketika menggulirkan pemikirannya

tentang reaktualisasi ajaran Islam, dimana dia melihat perempuan sudah mempunyai posisi yang sama

dengan laki-laki. Lihat, Munawir Sadjali, Ijtihad Kemanusiaan, (Jakarta: Paramadina, 1997) hal. 62,

68 Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontempore, terj, (Yogyakarta, ElsaQ Press Cet :

II, 2004) hal 340

Page 58: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh setengah

harta) (QS. An-Nisa (4):11). Ayat ini merupakan nass wasiat yang mencakup seluruh

prinsip-prinsip waris secara terperinci. Shahrur berpendapat bahwa ayat ini merupakan

penjelasan dari kasus-kasus spesifik dari ketiga kasus waris yang menggambarkan hudud

Allah (batas-batas hukum Allah)69

. Kasus-kasus warisan ini mencakup pihak-pihak

berikut yaitu : keluarga menurut garis asal (al-usul), keluarga menurut garis cabang (al-

furu’) pasangan suami-istri (az-azawaj) dan saudara (al-ikhwah). Dengan demikian,

dalam pandangan Shahrur, pihak paman dari bapak (al-a’mam), pihak paman dari ibu

(al-akhwat), anak laki-laki paman, dan seterusnya yang tidak disebutkan secara eksplisit

dalam ayat waris adalah pihak-pihak yang tidak berhak memperoleh bagian (hazz)

apapun dari harta waris70

.

Ketiga kasus warisan yang menggambarkan hudud Allah (batas-batas hukum

Allah) yakni :

1. Batas pertama hukum waris: li ad-dhakari mithlu hazzi al-unthayayi

Batasan ini adalah batas hukum yang membatasi jatah-jatah atau bagian-bagian

(huzuz) bagi anak-anak si mayit jika mereka terdiri dari seorang laki-laki dan seorang

dua orang anak perempauan. Pada saat yang bersamaan ini merupakan kriteria yang

dapat diterapkan pada segala kasus, dimana jumlah perempuan dua kali lipat dari anak

laki-laki.

Jumlah Pewaris Jatah bagi laki-laki Jatah bagi perempuan

69 Ibid

70 Ibid

Page 59: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

1 laki-laki + 2

perempuan

Setengah (1/2) bagi satu

laki-laki

Setengah (1/2) bagi

dua perempuan

2 laki-laki + 4

perempuan

Setengah (1/2) bagi dua

laki-laki

Setengah (1/2) bagi

empat perempuan

3 laki-laki + 6

perempuan

Setengah (1/2) bagi tiga

laki-laki

Setengah (1/2) bagi

enam perempuan

Pembagian pada kasus ini dapat dirumuskan dengan persamaan :

F/M=2

F : jumlah perempuan (female)

M : jumlah laki-laki (male)

2. Batas kedua hukum waris: fa in kunna nisa’an fawqa inthnatayni

Batasan hukum ini membatasai jatah warisan anak-anak jika mereka terdiri dari

seorang anak laki-laki dan tiga perempuan dan selebihnya (3,4,5…dst). Satu laki-laki

ditambah perempuan lebih dari dua, maka bagi anak laki-laki adalah 1/3 dan bagaian

anak perempuan adalah 2/3 berapa pun jumlah mereka. Batasan ini berlaku untuk

kondisi ketika jumlah perempuan lebih dari dua kali jumlah perempuan.

Jumlah Pewaris Jatah bagi laki-laki Jatah bagi perempuan

1 laki-laki + 3 1/3 bagi satu laki-laki 2/3 bagi 3 perempuan

Page 60: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

perempuan

2 laki-laki + 5

perempuan

1/3 bagi dua laki-laki 2/3 bagi 5 perempuan

1 laki-laki + 7

perempuan

1/3 bagi satu laki-laki 2/3 bagi 7 perempuan

Pembagian pada kasus ini dapat dirumuskan dengan persamaan :

F/M>2

F : jumlah perempuan (female)

M : jumlah laki-laki (male)

Pihak laki-laki pada kasus-kasus yang termasuk kategori rumusan ini tidak

mengambil bagiannya berdasarkan ketentuan “satu bagian laki-laki sebanding dengan

dua bagian perempuan”. Pada dasarnya pembagian sama rata ini sangat alami, karena

hukum batasan pertama hanya dapat diberlakukan pada satu kasus saja yang telah

ditetapkan oleh Allah dan tidak dapat diterapkan pada kasus lainnya.

3. Batas ketiga hukum waris: wa in kanat wahidatan fa laha an-nisfu

Batas hukum ketiga ini membatasi jatah warisan anak-anak dalam kondisi ketika

jumlah anak laki-laki sama dengan anak perempuan, dengan rumusan persamaannya

adalah :

F/M=2

F : Jumlah anak perempuan

Page 61: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

M : Jumlah anak laki-laki

Jumlah Pewaris Jatah bagi laki-laki Jatah bagi perempuan

1 laki-laki + 1

perempuan

Setengah (1/2) bagi satu

laki-laki

Setengah (1/2) bagi

satu perempuan

2 laki-laki + 2

perempuan

Setengah (1/2) bagi dua

laki-laki

Setengah (1/2) bagi

dua perempuan

3laki-laki + 3 perempuan Setengah (1/2) bagi tiga

laki-laki

Setengah (1/2) bagi

tiga perempuan

C. ANALISIS

Istilah yang tepat untuk menggambarkan pendekatan

Shahrur terhadap studi Islam adalah penidakbiasaan

(defamiliarisasi; defamiliaritation)71

. Istilah ini

menggambarkan sebuah proses yang di dalamnya bahasa

digunakan dengan satu cara yang menarik perhatian dan

secara langsung dipandang sebagai sesuatu yang tidak umum,

sesuatu yang mengesampingkan proses otomisasi

(automization). Defamiliarisasi adalah sebuah gerakan bawah

tanah untuk menggambarkan sebuah objek seni sastra

“seakan-akan seorang melihatnya untuk pertama kali”,

tujuannya untuk melawan pembiasaan (habitualization) cara

71 Andreas Christmann, Modern Muslim Intellectual and the Al-Qur’an, (London, the Institute for

Ismaili Studies: 2003) hal. 143

Page 62: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

baca konvensional terhadap sebuah sistem sastra (art)

sehingga objek yang sebelumnya sudah sangat dikenal menjadi

objek yang tidak dikenal dan berada diluar dugaan pembaca. Pendekatan yang dilakukan oleh Shahrur mencitrakan kehendak nyata untuk

meruntuhkan norma penafsiran yang sudah baku dan menawarkan jalan alternatif untuk

membaca sebuah teks. Shahrur menginginkan pembacanya memahami “seakan-akan

Rasulullah baru saja wafat dan menyampaikan kitab ini kepada kita”72

, maksudnya

seakan-akan para pembaca melihat teks atau menyaksikannya baru pertama kali. Hal ini

merupakan program komprehensif untuk mengubah prespektif tradisional terhadap apa

yang dinilai Shahrur telah ternodai oleh warisan aksioma yang menyesatkan yang

terdapat dalam wacana keislaman. Dengan penafsiran baru ini, Shahrur ingin

menunjukkan bahwa kebalikan dari penafsiran yang “telah diresmikan” atau telah

diterima dengan penuh kewajaran adalah justru yang benar73

.

Lahir dari kondisi keluarga miskin di pinggiran Damaskus, Shahrur tidak pernah

menempuh pendidikan formal yang berbasis agama Islam, bahkan sampai menperoleh

gelar Doktor Teknik. Hal ini menunjukkan Shahrur belajar otodidak dalam mempelajari

disiplin keilmuan keislaman. Sebagaimana dalam biografinya, Shahrur baru konsen

dalam bidang keislaman setelah dia berada di Dublin dan bertemu dengan sahabatnya

yakni Dr. Ja’far Dikk al-Bab. Namun, walau demikian, Shahrur sebagaimana di akui oleh

Ja’far Dikk al-Bab adalah seorang ahli bahasa sehingga proyek besar Shahrur tentang

kajian keislaman berawal dari kajian bahasa linguistik74

.

72 Muhammad Shahrur, al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Muashirah, (Damaskus: al-Ahali li al-

Tiba’ah wa al-Nasyr, 1999), hal 44 73 Ibid. hal. 47 74 Ja’far Dikk al-Bab, Metode Linguistik Buku al-Kitab wa al-Qur’an, Pengantar dalam buku

Hermeneutika al_Qur’an Kontemporer karya Muhammad Shahrur.

Page 63: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

Kunci untuk memahami usaha Shahur dalam melakukan defamiliarisasi

demi membuka sebuah pemahaman yang baru dan kontemporer adalah metode Shahrur

terhadap istilah yang terkait dengan al-Qur’an. Pertama-tama dia mendekontruksi definisi

umum dari terma tradisional dan mengungkapkannya sebagai definisi yang naif, tidak

logis, bias dan rancu, dan akhirnya ia mengenalkan sebuah redefenisi terhadap istilah

tersebut. Dalam karya-karyanya tidak ada satu pengertianpun yang dibiarkan tetap

sebagaimana adanya. Dalam pembacaan Shahrur akan memporakporandakan paradigma

kesarjanaan Islam yang selama ini tidak dipertanyakan lagi. Bahkan hadits yang dianggap

sudah mapanpun. Contoh dari penolakan Shahrur terhadap hadits adalah penolakannya

terhadap hadits yang diriwayatkan Ata bahwa Sa’ad ibn Ar-Rabi telah mati syahid. Dia

meninggalkan dua anak perempuan, istri dan seorang saudara. Ketika saudaranya

mengambil seluruh harta peniggalannya, maka pergilah istrinya mengadu kepada

rasulullah: “wahai Rasulullah, kedua anak perempuan ini adalah anak Sa’d ibn ar-Rabi

yang telah terbunuh. Paman kedua anak ini mengambil seluruh hartanya. “Rasulullah

berkata: “Pulangla, semoga Allah menetapakan hukum dalam masalah ini.” Kemudian ia

pulang dengan menangis, dan tak lama kemudian turunlah ayat tentang waris.

Selanjutnya Rasulullah memanggil paman kedua anak tersebut dan bersabda: “Berikanlah

pada dua anak perempuan Sa’ad ini 2/3 harta, bagi ibunya 1/8 dan sisanya untuk kamu”.

Peristiwa ini menjadi awal pembagian hukum waris dalam Islam. Setelah melakukan

analisis terhadap hadits tersebut, Shahrur menyimpulkan bahwa dalam hadits tersebut

terdapat banyak hal yang meragukan dan hadits tersebut tuidak layak dijadikan pegangan

dalam pembagian harta warisan.

Page 64: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

Bagi Shahrur, Hadits akan ditolak jika bertentangan dengan makna teks al-Quran.

Sehingga tidak mengherankan dimana istilah-istilah dan konsep-konsep barunya sulit

dicerna bagi para sarjana tradisioal75

.

Salah satu kontribusi baru dalam kajian fiqih kontemporer yang disumbangkan

oleh Shahrur adalah gagasannya tentang teori batas hukum (teori limit/nadzariyyat al-

hudud). Dalam karyanya yang sangat kontroversial, al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah

Muashirah, Shahrur menegaskan bahwa teori limit merupakan salah satu pendekatan

dalam berjihat, yang digunakan untuk mengkaji ayat-ayat muhkamat (ayat-ayat yang

berisi pesan hukum) dalam al-Qur’an. Menurut Wael B Hallaq, teori limit Shahrur telah

mengatasi kebuntuan epistimologis yang menimpa karya-karya sebelumnya76

.

Namun paling tidak teori batas yang digagas oleh Shahrur memberikan empat

kontribusi dalam pengayaan fiqih77

. Pertama, dengan teori limit, Shahrur telah berhasil

melakukan pergeseran paradigma (paradigm shift) yang sangat fundamental di bidang

fiqih. Selama ini pengertian hudud dipahami para ahli fiqih secara rigid sebagai ayat-ayat

dan hadits-hadits yang berisi ketentuan sanksi hukum (al-uqubad) yang tidak boleh

ditambah atau dikurangi dari ketentuan termaktub, seperti hukum potong tangan bagi

pencuri, cambuk 100 kali bagi pelaku zina belum berkeluarga, dan lain sebagainya.

Berbeda dengan itu, teori limit yang ditawarkan Shahrur cenderung bersifat dinamis-

kontektual, dan tidak hanya menyangkut masalah sanksi hukum (al-uqubat). Teori limit

Shahrur juga menyangkut aturan-aturan hukum lainnya, seperti soal libasul mar’ah

75 Andreas Cristmann, Ibid, hal 172 76 Ja’far Dikk al-Bab, Metode Linguistik Buku al-Kitab wa al-Qur’an, Pengantar dalam buku

Shahrur, Dasar-dasar Hermenuitika al-Qur’an Kontomporer, hal 24 77 Abdul Mustaqim, Shahrur dan Teori Limit, makalah diambil dari website//www.islamlib.com

Page 65: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

(pakaian perempuan), ta’addud al-zawj (poligami), pembagian warisan, soal riba dan lain

sebagainya.

Kedua, teori limit Shahrur menawarkan ketentuan batas maksimum (al-hadd al-

adna) dan batas minimun (al-hadd al-a’la) dalam menjalankan hukum-hukum Allah.

Artinya, hukum-hukum Allah diposisikan bersifat elastis, sepanjang berada diantara batas

maksimum dan batas minimum yang telah ditentukan. Wilayah ijtihad manusia, menurut

Shahrur berada diantara batas minimum dan maksimum tadi. Elastisitas dan fleksibilitas

hukum Allah dapat digambarkan seperti posisi seorang pemain bola yang bebas bermain

bola, asalkan tetap berada pada garis-garis lapangan yang telah ada. Pendek kata, selagi

ijtihat masih berada dalam wilayah hududullah (batas-batas hukum Allah), maka dia

tidak dapat dianggap keluar dari hukum Allah. Contoh, ketentuan hukum potong tangan

bagi pencuri sebagaimana telah di firmankan Allah dalam surat al-Maidah ayat 38.

Menurut Shahrur, potong tangan merupakan sanksi maksimum (al-hadd al-a’la) bagi

seorang pencuri. Batas minimumnya adalah dimaafkan. Dari sini menurut Shahrur, hakim

dapat berijtihad dengan memperhatikan kondisi si pencuri. Atau dalam waris, ketentuan

pembagian 2:1 antara laki-laki dan perempuan, dimana dua bagian merupakan batas

maksimum bagi laki-laki dan satu adalah batas minimum bagi anak perempuan.

Ketiga, dengan teori limitnya, Shahrur telah melakukan dekontruksi dan

rekontruksi terhadap metodologi ijtihad hukum, utamanya terhadap ayat-ayat hudud yang

selama ini diklaim sebagai ayat-ayat muhkamat yang bersifat pasti dan hanya

mengandung penafsiran tunggal. Bagi Shahrur, ayat-ayat muhkamat juga dapat dipahami,

bahkan bagi Shahrur dipahami secara pluralistik, sebab makna suatu ayat itu dapat

berkembang, tidak harus sesuai dengan makna (pengertian) ketika ayat itu turun.

Page 66: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

Walhasil, penafsiran suatu ayat sesungguhnya bersifat relatif dan nisbi, sesuai dengan

perkembangan zaman. Dengan kata lain, melalui teori limit, Shahrur ingin melakukan

pembacaan ayat-ayat muhkamat secara produktif dan prospektif (qira’ah muntijah)

bukan pembacaan repetitive dan restrospektif (qira’ah mutakarrirah).

Keempat, dengan teori limit, Shahrur ingin membuktikan bahwa ajaran Islam

benar-benar ajaran yang relevan untuk tiap ruang dan waktu. Shahrur berasumsi,

kelebihan risalah Islam adalah bahwa di dalamnya terkandung dua aspek gerak, yaitu

gerak konstan (istiqamah) serta gerak dinamis dan lentur (hanifiyyah). Nah, sifat

kelenturan Islam ini berada dalam bingkai teori limit yang oleh Shahrur dipahami sebagai

the bounds or restriction that God has placed on men freedom of action (batasan yang

telah ditempatkan oleh Tuhan pada wilayah kebebasan manusia). Kerangka analisis teori

limit yang berbasis dua karakter utama ajaran Islam ini (aspek yang konstan dan lentur)

akan membuat Islam tetap survive sepanjang zaman.

Berkenaan dengan pembacaan al-Qur’an secara tekstual dan kontekstual, Shahrur

adalah tokoh pemikiran Islam yang memadukan kedua kategori tersebut. Perpaduan itu,

salah satunya di lakukan Shahrur melalui teori hududnya. Teori hudud yang di gagas

Shahrur selalu merujuk kepada teks al-Kitab, untuk dikontektualisasikan dalam kontek

kekinian atau modern.

Pendekatan tekstual yang dilakukan oleh Shahrur melalui teori hududnya, sangat

berbeda dengan logikan maenstream yang selama ini berkembang di kalangan kaum

tekstualis, khususnya dengan nash al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah-masalah

hukum. Bagi Shahrur, ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an bersifat hududiyyah, dengan

pengertian Allah satu-satunya hakim yang berhak menentukan batas-batas hukum, tetapi

Page 67: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

manusia diberikan kebebasan berijtihad dalam menentukan batas-batas hukum Allah

sesuai dengan kondisi tertentu, misalnya ketika Allah mengharamkan untuk makan

daging babi bagi umat Islam, namun pada kondisi darurat mereka diperbolehkan

memakannya.

Akan tetapi teori ini harus dianalisis secara mendalam terutama dalam

implementasinya dalam hukum waris yang sudah di tentukan pembagiannya oleh Allah

SWT. Apakah teori ini mampu menyelesaikan permasalahan yang ada dalam persoalan

pembagian waris atau bahkan menambah masalah dalam hukum waris itu sendiri.

Secara umum teori batas memang perlu diapresiasi dalam perkembangan kajian

fiqih kontemporer, namun pada sisi tertentu, teori ini haruslah dikaji lebih mendalam

apakah layak untuk dijadikan alternatif penyelesaian dalam permasalahan-permasalahan

hukum Islam terutama dalam permasalahan waris.

Pertama, teori batas lahir dari metode linguistik yang digunakan oleh Shahrur

dalam mengkaji ayat-ayat Tanzil al-Hakim (al-Qur’an), terutama dalam kajian dua istilah

yaitu al-hanif dan al-istiqamah. Sebagaimana disebutkan oleh Dr. Ja’far Dikk al-Bab

dalam pengantar bukunya Muhammad Shahrur, bahwa Muhammad Shahrur adalah

seorang ahli bahasa disamping beliau juga seorang insinyur teknik. Metode linguistik

Muhammad Shahrur bersumber dari teori linguistik Ibn Jinni dan Imam al-Jurjani.

Shahrur merupakan tokoh intelektual yang menjadikan linguistik sebagai dasar

kajiannya. Sehingga teks menjadi lebih hidup dalam kajian Shahrur. Pada tataran ini, teks

bisa berjalan berkelindan dengan kondisi sosio-historis masyarakat dalam artian yang

menjadi patokan utama adalah kondisi sosio-historis masyarakat yang cenderung berubah

seiap saat dan teks harus ditafsirkan sesuai perubahan sosio-historis masyarakat tersebut.

Page 68: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

Shahrur terlalu menjadikan teks sebagai pijakannya sehingga yang terjadi adalah teks

menjadi relatif tergantung penafsiran teks serta tergantung kepada para penafsir. Akibat

hukumnya adalah tidak adanya kejelasan dalam suatu masalah hukum. Disinilah

problematika hermeneutika yang dibangun oleh Shahrur atau mungkin para hermeneut-

hermeneut lainnya yang menjadikan hermeneutika (kajian teks) dalam menafsirkan ayat-

ayat al-Qur’an.

Kedua, Shahrur dalam beberapa hal tidak menerima hal-hal yang menjadi

pemahaman umum masyarakat Islam, misalnya tentang pandangannya tentang posisi nabi

yang dianggap bukan sebagai sumber hukum, tetapi Shahrur memposisikan nabi sebagai

mufassir awal yang menafsirkan al-qur’an yang sesuai dengan kondisi sosio-historis

masyarakat Madinah pada waktu itu. Hukum yang di tetapkan oleh Nabi, bagi Shahrur

hanya bisa di praktekkan pada masa itu, dan bisa diterapkan pada kondisi saat ini, apabila

ketentuan itu sesuai dengan kondisi saat ini. Artinya, kondisi sosio-historis masyarakat

harus menjadi patokan dasar dalam penetapan hukum. Maka, baginya teks harus di tafsir

ulang sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini. Redaksi teks memang tidak berubah,

tapi tafsirannya harus di sesuaikan dengan kondisi saat ini. Yang menjadi dasar atau

pedoman pada umat Islam dari nabi dalam pandangan Shahrur hanyalah hal-hal yang

bersifat ritualitas agama, seperti praktek sholat, puasa dan ibadah haji. Sedangkan ayat-

ayat muhkamat yang dalam pandangan para ulama tidak bisa di tafsir ulang, bagi Shahrur

bukanlah tafsir tunggal yang harus dituruti. Baginya, ayat-ayat muhkamat yang bagi umat

Islam sudah jelas maksudnya, seperti masalah waris perlu ditinjau ulang bila tidak sesuai

dengan kondisi masyarakat.

Page 69: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

Ketiga, dalam permasalahan waris, teori limit yang digagas Shahrur tidak

sempurna, hanya menyentuh permasalahan-permasalahan yang muncul antara anak laki-

laki dan anak perempuan. Sedangkan masalah-masalah turunannya yang menyangkut

paman, ibu, kakek, nenek, ayah dan lain sebagainya tidak mendapat bagian. Paradigma

yang timbul adalah ahli waris yang ada hanyalah anak laki-laki dan anak perempuan

semata.

Sampai disini, penulis sampai pada sebuah kesimpulan bahwa proyek teori limit

Shahrur terutama dalam persoalan waris tidak ada perbedaan mendasar dengan hukum

waris sebagaimana adanya. Karena yang di lakukan Shahrur hanyalah defamiliarisasi,

dimana sebenarnya Shahrur hanya menampilkan hal sebenarnya sudah mapan tapi

dengan penampilan yang baru.

Page 70: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

BAB V

PENUTUP

Kesimpulan

Secara keseluruhan tulisan ini mencoba memahami

pemikiran Shahrur tentang waris dengan menggunakan teori

limit sebagai pijakannya. Pertama, teori batas (teori

limit/nazariyyah al-hudud) adalah batas-batas ketentuan Allah

yang tidak bisa dilanggar, tetapi didalamnya terdapat wilayah

ijtihat yang bersifat dinamis, fleksibel, dan elastis. Manusia

diperbolehkan melakukan ijtihat dalam menghadapi

persoalan-persoalan agama baik itu yang bersifat ketetapan

yang sudah mutlak, yang tidak bisa di ganggu gugat lagi

maupun yang masih dalam perdebatan iktilafiyah. Asalkan

tidak melewat batas-batas hukum yang sudah di tetapkan oleh

Tuhan. Tuhan hanya menetapkan batasan-batasan dalam

hukum dan oleh sebab itu manusia di haruskan untuk

membuat aturan-aturan hukum sesuai dengan kondisi dan

situasi masyarakat pada waktu itu. Dan pada konteks inilah

hukum Tuhan bersifat universal.

Kedua, Patokan utama dalam masalah waris dalam

pandangan Shahrur adalah terletak pada wasiat. Artinya

belum bisa dilaksanakan pembagian warisan jika mekanisme

wasiat belum dilaksanakan oleh ahli waris. Kedudukan wasiat

adalah wajib sama seperti sholat dan puasa. Walaupun si

pewaris tidak meninggalkan wasiat kepada ahli waris, wasiat

tetap dijalankan sebagai sebuah kewajiban. Shahrur menolak

pandangan sebahagian ulama yang menyatakan bahwa

kewajiban wasiat dalam surat al-Baqarah atau surat-surat

lainnya telah dihapus oleh surat an-Nisa ayat 11-12, karena

bagi Shahrur tidak ada nasikh mansukh dalam al-Qur’an.

Jika di telurusi lebih mendalam sebenarnya pendapat Shahrur

tidak bertentangan dengan pandangan ulama lainnya yakni

wajib melaksanakan wasiat dalam hal menyelesaikan fardu

Page 71: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

kifayah dan membayar seluruh hutang-piutang si mayit,

setelah itu baru pembagian waris bisa dilaksanakan. Selain itu,

patokan lain dalam pembagian waris dalam pandangan

Shahrur adalah perempuan. Laki-laki hanya menyesuaikan

dengan kondisi yang ada. Artinya perempuan menjadi dasar

dalam mekanisme pembagian waris.

Ketiga, implementasi teori batas dalam permasalahan

waris sebagaimana di gagas oleh Shahrur pada satu sisi

merupakan tawaran baru dalam mekanisme pembaian

warisan. Artinya Shahrur mencoba memberikan alternatif

baru dalam pembagian waris dengan perempuan sebagai tolak

ukurnya. Pembagian 2:1 antara anak laki-laki dan anak

perempuan bagi Shahrur hanyalah batasan semata dari Allah

bukan sebagai keputusan yang bersifat mutlak. Oleh karena

itu, bagian masing-masing bisa berubah tergantung situasi

yang ada. Jadi, bagian laki-laki bisa lebih kecil dari bagian

perempuan dan bahkan sebaliknya.

Keempat, Gagasan Shahrur tentang teori batas pada satu

sisi harus di pandang sebagai bagaian dari usaha untuk

melakukan pergeseran paradigma (paradigm shift) dimana

difenisi hudud yang selama ini dipahami oleh ahli fiqih

merupakan terma sanksi hukum yang tidak bisa di ganggu

gugat lagi, seperti hukum potong tangan, razam bagi pezina

dan lain-lain. Tapi hudud yang di gagas oleh Shahrur tidak

semata-mata hanya sangsi hukum tapi hudud yang bersifat

elastis dan dinamis. Namun pada sisi yang lain, usaha yang

dilakukan Shahrur hanya defamiliarisasi (penidakbiasaan),

dimana ia hanya mencoba menampilkan sesuatu dengan

prespektif baru yang tidak ada perbedaan dengan pendapat

yang sudah ada sebelumnya. Dengan tujuan bahwa seakan-

akan orang akan melihat hal itu untuk pertama kali.

Page 72: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

Saran-Saran

Dari penelitin ini serta mengingat kajian tentang

pemikiran Shahrur di Indonesia masih sedikit, disini penulis

memberikan saran-saran, yaitu:

Pembaharuan dalam keberagaman Islam hendaknya

berangkat dari konsepsi yang terdapat dalam al-Qur’an.

Namun perangkat ilmiah moderen tetap juga dibutuhkan

untuk memberikan kontribusi bagi penafsiran

keagamaan

Pendekatan Shahrur dalam pembacaan teks al-Qur’an

dapat dijadikan rujukan untuk pembaharuan hukum

Islam, khususnya eksplorasi mengenai teori hudud,

bagaimanapun teori hudud yang di gagas Shahrur

merupakan pijakan terhadap proses pembaharuan

hukum Islam, karena proses pembaharuan merupakan

keniscayaan.

Untuk para pembuat hukum agar dalam menentukan satu

hukum tidak hanya melihat dalam satu prespektif

semata. Alangkah lebih baik bila prespektif lain di

Page 73: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

gunakan agar hasilnya tidak hanya menyelesaikan satu

aspek semata, tapi mampu menyelesaikan segala aspek

yang mencakup hukum tersebut. Merujuk apa yang

dilakukan oleh Shahrur dalam mengeksplorasi

pemahaman keagamaan sehingga mampu menghasilkan

tawaran baru dalam perkembangan hukum Islam secara

keseluruhan

Pada tataran mahasiswa dan Universitas Islam Negeri

(UIN) secara keseluruhan, menjadikan kajian-kajian

yang bersifat linguistik dan filosofis dalam hukum Islam

menjadi sebuah keharusan proses pemelajaran

mahasiswa agar mampu menjawab persoalan yang di

hadapi oleh hukum Islam dengan menggunakan logika

dan tidak terlalu dogmatis dalam pnyelesaian hukum

Islam.

Page 74: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’anul al- Karim

Abed al-Jabiri, Muhammad, Post Tradisionalisme Islam, terj. Ahmad Baso dan Imam

Baihaqi (Yogyakarta: LkiS 2000)

Abu Zayd, Nasr Hamid, Imam Syafi’i Modernitas Ekletisisme Arabisme, terj.

(Yogyakarta: LKiS, 1997)

--------, al-Qur’an, Hermeutika dan Kekuasaan, terj. Dedi Iswandi, dkk (

Bandung, RqiS, 2003)

Ahmed an-Naim, Abdullah, ” Dekontruksi Syariah” terj. Ahmad Suhaedy dan Nuruddin

Arrani (Yogyakarta: LKiS, 1997)

Ali Engineer, Asghar, “Islam dan Teologi Pembebasan” terj. Agung Prihantoro

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999)

al-Bab, Ja’far Dikk, Metode Linguistik Buku al-Kitab wa al-Qur’an, (Syiria: 1999)

Al-Nawawi, al-Tafsir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil, Juz I, , terj (Semarang, Usaha

Keluarga)

Anderson, J.N.D, Hukum Islam di Dunia Modern, terj, (Yogyakarta: Tiara Wacana,

1994)

Ash-Shabuni, Muh., Qabas min Nurul-Qur’an, terj. Kathur Suhardi (Jakarta, Pustaka Al-

Kautsar, 2000) Cet. Ke-I

Burhanuddin, Artikulasi Teori Batas (Nazariyyah al-Hudud) Muhammad Shahrur Dalam

Pengembangan Epistemologi Islam Di Indonesia, (ed). Shohiron Syamsuddin,

Hermeneutika al-Qur’an Mazhab Yogya, (Yogyakarta: Islamika, 2003)

Christmann, Andreas, Modern Muslim Intellectual and the Al-Qur’an, (London, the

Institute for Ismaili Studies: 2003)

Efendi, Bisri, Tak Membela Tuhan Yang Membela Tuhan, (Yogyakarta: LKIS 1999)

Faturrahman, Ilmu Waris, (Bandung, Al-ma’arif, 1971)

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, Pedoman Penulisan Skripsi, 2005

Fawaid Sjadzali, Ahmad, M. Shahrur: Figur Fenomena Dari Syiria, Makalah

Page 75: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

Gahral Adian, Donny, Pilar-pilar Filsafat Kontemporer, (Yogyakarta: Jalasutra, 2002)

Haroen, Nasrun, Ushul Fiqih I, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997)

Hidayat, Komaruddin, Tragedi Raja Midas; Moralitas Agama dan Krisis Modernisme,

(Jakarta: Paramadina, 1999)

Ismail, Syarqawi, Rekontruksi Konsep Wahyu Muhammad Shahrur, (Yogyakarta:

eLSAQ Press, 2003)

Kurzman (ed), Charles, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam kontemporerTentang

Isu-isu Global, terj. Bahrul Ulum (Jakarta: Paramadina, 2001)

Mustaqim Abdul, Mempertimbangkan Metodologi Muhammad Shahrur, (Yogyakarta:

eLSAQ Press, 2003)

________, Shahrur dan Teori Limit, (Jakarta: 2003)

Nafis dkk, M. Wahyu, (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam; 70 Tahun Prof. Dr. H.

Munawir Sadjali, MA,. (Jakarta: paramadina, 1995)

Rahman, Fazlur, Islam, terj. Ahsin Mohammad (Bandung: Pustaka, 2003)

Ramulyo, M. Idris, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta, Ind. Hill Co, 1987)

Sarmadi, A. Sukris, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif,

(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997)

Sadjali, Munawir, Ijtihad Kemanusiaan, (Jakarta: Paramadina, 1997)

Shahrur, Muhammad, Al-Kitab wa AlQur’an; Qira’ah Mu’asirah. (Damaskus: al- Ahali

li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1999)

--------, Nahw Usul Jadidah Lil al-Fiqih al-Islami, terj. Sohiron Syamsuddin

(Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004) Cet. Ke-2

--------, Al-Kitab wa AlQur’an; Qira’ah Mu’asirah Juz I, terj. Sohiron Syamsuddin, dkk.

(Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004)

--------, al-Islam wa al-Iman: Manzumah al-Qiyam , terj. M. Zaid Su’di (Bandung:

2003(

Syamsuddin,dkk, Shohiron, (ed), Hermeneutika al-Qur’an Mazhab Yogya,

(Yogyakarta: Islamika, 2003)

Wahab, Yusron, Reading al-Kitab Versi Shahrur, Makalah

Page 76: TEORI BATAS HUKUM ISLAM STUDI TERHADAP PEMIKIRAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7251/1/Sunardi... · Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai

Wahhab Khallaf, Abdul, Kaidah-kaidah Hukum Islam; (Ilmu Ushul Fiqih),

(Jakarta: Rajawali pres, 1996) Cet.ke-6

Wahid, Abdurrahman, Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Yogyakarta: LKIS, 1999)

Zainuddin, Hukum Perdata Islam Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika, 2006)

http://www.islamensipatoris.com.

http://www.islamlib.com.