hermeneutika kritis: pembacaan al-quran abed al …

18
ISTIQRO’ Volume 15, Nomor 02, 2017 383 5 HERMENEUTIKA KRITIS: PEMBACAAN AL-QURAN ABED AL-JABIRI M. Faisol Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang Artikel ini mendiskusikan tentang tawaran Muhammad Abid al-Jabiri mengenai pembacaan al-Qur'an. Menurutnya, al-Qur'an harus dipahami dalam realitas ontologis dan formatif (masar al-kaun wa al-takwin). Sebagai realitas ontologis, al-Qur'an merupakan wahyu Allah yang memiliki ketersambungan dengan risalah yang dibawa oleh para rasul sebelumnya. Ini sulit untuk bisa ditentukan batas waktunya, berada dalam dimensi non waktu (bu'd lazamani). Sementara sebagai realitas formatif, al-Qur'an diturunkan dalam kurun waktu tertentu secara munajjaman kepada nabi Muhammad Saw, lalu disampaikan kepada umatnya dan mendapatkan respon atau reaksi dari mereka. Dalam konteks yang terakhir ini, al-Qur'an memiliki dimensi waktu (bu'd zamani) yang bersifat historis. Membaca al- Qur'an berarti bagaimana menjadikannya kontemporer dalam dirinya (mu'ashiran li nafsihi) dan sekaligus kontemporer untuk kita (mu'ashiran lana). Pandangan obyektif dibutuhkan untuk mewujudkan al-Qur'an agar bisa kontemporer dengan dirinya, sementara prinsip reasonableness dipakai untuk menjadikan agar pesan al- Qur'an bisa relevan dengan konteks kekinian. Untuk mewujudkan pembacaan terhadap al-Qur'an seperti itu, maka pendekatan struktural, historis dan kritik ideologi

Upload: others

Post on 24-Nov-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: HERMENEUTIKA KRITIS: PEMBACAAN AL-QURAN ABED AL …

M. Faisol

ISTIQRO’ Volume 15, Nomor 02, 2017 383

5

HERMENEUTIKA KRITIS:

PEMBACAAN AL-QURAN ABED AL-JABIRI

M. Faisol

Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Artikel ini mendiskusikan tentang tawaran Muhammad

Abid al-Jabiri mengenai pembacaan al-Qur'an.

Menurutnya, al-Qur'an harus dipahami dalam realitas

ontologis dan formatif (masar al-kaun wa al-takwin).

Sebagai realitas ontologis, al-Qur'an merupakan wahyu

Allah yang memiliki ketersambungan dengan risalah

yang dibawa oleh para rasul sebelumnya. Ini sulit untuk

bisa ditentukan batas waktunya, berada dalam dimensi

non waktu (bu'd lazamani). Sementara sebagai realitas

formatif, al-Qur'an diturunkan dalam kurun waktu

tertentu secara munajjaman kepada nabi Muhammad

Saw, lalu disampaikan kepada umatnya dan

mendapatkan respon atau reaksi dari mereka. Dalam

konteks yang terakhir ini, al-Qur'an memiliki dimensi

waktu (bu'd zamani) yang bersifat historis. Membaca al-

Qur'an berarti bagaimana menjadikannya kontemporer

dalam dirinya (mu'ashiran li nafsihi) dan sekaligus

kontemporer untuk kita (mu'ashiran lana). Pandangan

obyektif dibutuhkan untuk mewujudkan al-Qur'an agar

bisa kontemporer dengan dirinya, sementara prinsip

reasonableness dipakai untuk menjadikan agar pesan al-

Qur'an bisa relevan dengan konteks kekinian. Untuk

mewujudkan pembacaan terhadap al-Qur'an seperti itu,

maka pendekatan struktural, historis dan kritik ideologi

Page 2: HERMENEUTIKA KRITIS: PEMBACAAN AL-QURAN ABED AL …

Hermeneutika Kritis: Pembacaan Al-Quran Abed al-Jabiri

384 ISTIQRO’ Volume 15, Nomor 02, 2017 I

menjadi pisau bedah yang efektif untuk mengungkao

makna teks.

Al-Quran merupakan kitab suci yang berisi tuntunan dan

ajaran bagi umat manusia untuk mencapai kebahagiaan di

dunia dan akhirat. Di tengah masyarakat Arab Jahiliyah, al-

Quran hadir untuk memperbarui kesadaran keagamaan

mereka, dari paganisme (zulumat) menuju Islam (an-nur). Al-

Quran—dengan meminjam istilah Amin al-Khuliy—berfungsi

sebagai kitab hidayah bagi umat.1 Ia menjadi kitab ilahi paling

sempurna yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.

sebagai hidayah ke hadapan umat manusia. Oleh karena itu,

Hidayah menjadi wujud istimewa yang mencerminkan hakikat

segala bentuk kemukjizatan kitab-kitab Allah.2

Sebagai kitab hidayah yang dijadikan oleh umat Islam

sebagai pedoman hidup, al-Quran selalu menjadi pusat rujukan

dalam setiap waktu. Dalam Islam, al-Quran telah menjadi core

text yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan umat dalam

menghadapi dan menjawab tantangan zaman. Menjadi

pedoman yang setiap saat dijadikan landasan hidup bagi setiap

muslim; selalu mengiringi setiap gerak kebudayaan umat

Islam.

Mengingat posisi sentral al-Quran yang tidak dapat

dilepaskan dari kehidupan umat Islam, maka tak heran jika

Nasr Hamid Abu Zaid menyebut bahwa peradaban Islam

1 Amin al-Khuli, Manahij Tadjij fi al-Nahw wa al-Balaghah wa al-Tafsir

wa al-Adab (Mesir: al-Haiah al-Mishriyah al-Ammah li al-Kitab, 1995), hal.

229.

2 Shalahuddin Muhammad Abdut Tawwab, al-Naqd al-Adabi:

Dirasat Naqdiyah wa Adabiyah Haula Ijaz al-Quran (Kairo: Dar al-Kitab al-

Hadits, 2003), hal. 14.

Page 3: HERMENEUTIKA KRITIS: PEMBACAAN AL-QURAN ABED AL …

M. Faisol

ISTIQRO’ Volume 15, Nomor 02, 2017 385

merupakan “peradaban teks” (hadlarah al-nash). Artinya, al-

Quran di tengah umat Islam dijadikan landasan untuk mencari

kebenaran atas realitas yang dihadapi. Ini terjadi melalui

dialektika antara seorang muslim dengan al-Quran sebagai teks

rujukan di satu sisi, dan di sisi lain dialektia antara dirinya

dengan dunia nyata. Al-Quran menjadi poros utama dalam

kehidupan. Di sini, al-Quran sebagai pedoman hidup memiliki

peran budaya yang tidak bisa diabaikan.3

Di tengah realitas dan tantangan kehidupan yang terus

bermunculan, kebutuhan untuk memahami al-Quran sebagai

rujukan utama menjadi sebuah keniscayaan. Hal itu terlihat

semakin nyata sejak Nabi Muhammad SAW. wafat.

Sepeninggal beliau, tidak ada seorangpun yang dapat

menggantikan posisi beliau sebagai rujukan yang dapat

menjawab setiap persoalan yang dihadapi umat Islam. Wahyu

sudah berhenti seiring dengan akhir kehidupan Rasulullah

SAW. Ini menjadi babak baru bagi umat Islam dalam mencari

jawaban dalam menghadapi masalah yang muncul belakangan.

Pembacaan terhadap al-Quran untuk mendapatkan

pemahaman yang lebih mendekati teks, menjadi kebutuhan

yang niscaya dan sekaligus problem yang samar tetapi pasti.

Dalam perkembangan khazanah intelektual muslim abad

pertengahan, problem untuk memahami al-Quran nampak

menjadi diskursus pembacaan yang diperdebatkan atau bahkan

terkadang dipertentangkan. Konsep tawil dan tafsir merupakan

wujud nyata dari diskursus model pembacaan terhadap al-

Quran (sebagai teks keagamaan) itu. Belakangan ini, model

pembacaan terhadap al-Quran untuk memahami pesan yang

terdapat dalam teks menjadi metode yang sangat penting

3 Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nash: Dirasat fi Ulum al-Quran

(Mesir: al-Haiah al-Mishriyah al-Amah li al-Kitab, 1993), hal. 88.

Page 4: HERMENEUTIKA KRITIS: PEMBACAAN AL-QURAN ABED AL …

Hermeneutika Kritis: Pembacaan Al-Quran Abed al-Jabiri

386 ISTIQRO’ Volume 15, Nomor 02, 2017 I

sebagai pintu masuk dalam rangka mencari jawaban atas

kemandegan peradaban Islam di tengah modernitas.

Muhammad Abid al-Jabiri adalah salah satu intelektual

muslim modern berkebangsaan Maroko yang menyuarakan

pembaharuan Islam melalui model pembacaan terhadap al-

Quran. Pemikir muslim yang dilahirkan pada tahun 1953 di

Firguig ini memiliki corak kritis, yaitu mendialogkan antara

warisan intelektual (al-turats) dengan modernitas secara

obyektif. Model pembacaan al-Quran Muhammad Abid al-

Jabiri tidak keluar dari paradigma kritisisme sebagaimana yang

diusung dalam cakrawala pemikiran pembaharuannya.

Al-Quran: antara Dimensi Zamani dan al-Lazamani

Untuk mengawali perbincangan tentang pembacaan

terhadap al-Quran, Abid al-Jabiri membahas definisi al-Quran.

Banyak ragam definisi al-Quran yang dipaparkan oleh para

ulama muslim terdahulu. Namun menurut Abid al-Jabiri

definisi tentang al-Quran yang sudah ada terjebak pada sekat

ideologis-teologis aliran.

Abid al-Jabiri memberikan contoh mengenai definisi al-

Quran yang disampaikan oleh sebagian aliran yang

mengatakan bahwa al-Quran merupakan “kalam dan wahyu

Allah yang diturunkan kepada nabi terakhir Muhammad

SAW., yang tertulis dalam mushaf, sampai kepada kita secara

mutawatir, mendapat pahala bagi yang membacanya, dan

menjadi mukjizat”. Sebagian yang lain ada yang

mendefinisikan al-Quran dengan “kalam Allah dan bukan

makhluk, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Dengan bahasa Arab, menjadi mukjizat bagi beliau, yang

ditantangkan kepada masyarakat Arab, mendapat pahala bagi

yang membacanya, dan yang sampai kepada kita secara

mutawatir”.

Page 5: HERMENEUTIKA KRITIS: PEMBACAAN AL-QURAN ABED AL …

M. Faisol

ISTIQRO’ Volume 15, Nomor 02, 2017 387

Mencermati definisi tentang al-Quran tersebut, Abid al-

Jabiri memberikan catatan, pertama bahwa masalah

kemakhlukan al-Quran menjadi topik perdebatan antar aliran

teologi dalam Islam; kedua masalah mutawatir dan

kemukjizatan juga menjadi topik yang diperdebatkan. Artinya,

dalam dua hal ini tidak semua aliran teologi dalam Islam

memiliki konsep yang sama. Bahkan yang terjadi seringkali

perbedaan dan perdebatan konsep itu berujung pada

pengkafiran (takfir). Peristiwa mihnah yang terjadi pada diri

Imam Ahmad bin Hambal dapat dijadikan contoh kecil dari

praktik pengkafiran itu.4

Dalam sejarahnya, perbedaan pemikiran dalam Islam

telah menjadi fakta yang tidak dapat dibantah. Sejarah

pemikiran Islam hampir dapat dipastikan tidak bisa dilepaskan

dari realitas konflik sosial-politik-ideologis. Bahasa wacana

keagamaan Islam yang mengungkapkan kepentingan-

kepentingan kelompok (aliran) masuk kedalam perdebatan

terkait dengan esensi teks keagamaan. Perdebatan antar aliran,

seperti suni, syiah, muktazilah dan aliran-aliran teologi lainnya,

tidak dapat dijauhkan dari latar sosio-politik. Oleh karena itu,

pengkafiran akidah terhadap musuh yang berseberangan

menjadi senjata yang tidak bisa dihindarkan.5

Sejatinya definisi yang berujung pada perdebatan

ideologis seperti itu harus dihindari. Definisi al-Quran harus

dikembalikan kepada sifat, keistimewaan dan esensi al-Quran

itu sendiri sehingga tidak terjadi pemahaman yang cenderung

parsial dan harus obyektif. Karena itu, Abid al-Jabiri sejak awal

4 Muhammad Abid al-Jabiri secara lebih detil membahasa

peristiwa mihnah yang terjadi pada Imam Ahmad bin Hambal dalam al-

Mutsaqqifun fi al-hadlarah al-Arabiyah: Mihnah Ibn Hambal wa Nakbah Ibn

Rusydi (Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-Arabiyah, 2000), cet. II.

5 Mahmud Ismail, Susiyulujiya al-Fikr al-Islami (Beirut: Sina li al-

Nasyr, 2000), vol. III, cet.I, hal. 41-43.

Page 6: HERMENEUTIKA KRITIS: PEMBACAAN AL-QURAN ABED AL …

Hermeneutika Kritis: Pembacaan Al-Quran Abed al-Jabiri

388 ISTIQRO’ Volume 15, Nomor 02, 2017 I

menegaskan bahwa membahas tentang definisi al-Quran

memang merupakan masalah yang sudah lama, tetapi penting

untuk dilakukan dan didudukkan pada posisi yang jauh dari

perdebatan ideologis.

Bagi Abid al-Jabiri, agar dapat diperoleh pemahaman atau

definisi yang obyektif maka al-Quran harus dilihat dalam

sebuah pandangan yang disebut dengan quranic phenomenon

(al-zhahirah al-Quraniyah). Bahwa al-Quran tidak sama dengan

kitab-kitab suci agama yang lain seperti Taurat dan Injil.

Faktanya, al-Quran datang dari Allah SWT. yang diterima oleh

Nabi Muhammad SAW. secara bacaan (bi al-qiraah) dan

disampaikan secara bacaan (bi al-qiraah). Faktor yang

menjadikan al-Quran tetap terjaga sampai sekarang adalah

karena para pembacanya (qurro) yang hapal di luar kepada. Al-

Quran juga diturunkan secara bertahap (munajjaman) dalam

rentang waktu antara duapuluh sampai duapuluh tiga tahun.

Kalaupun al-Quran dibukukan dalam mushaf, itu tidak semata-

mata berdasarkan tulisan yang tercecer dalam pelepah-pelepah

kurmah atau kulit-kulit onta tetapi didasarkan pada ingatan

kuat para qurro yang hapal.6

Realitas al-Quran yang seperti itu menjadi fakta yang

tidak bisa dibantah. Fakta inilah yang disebut oleh Abid al-

Jabiri dengan realitas ontologis (masar al-kaun). Artinya,

bahwa pada hakikatnya al-Quran itu datang dari Allah, bukan

datang dari manusia yang fana. Di sini, al-Quran masuk dalam

dimensi non waktu (al-bud al-lazamani), tidak terkait oleh

dimensi ruang dan waktu karena berasal dari Allah SWT.

Sementara itu, al-Quran juga berada dalam dimensi historis (al-

bud al-zamani) karena hadir ke muka bumi dan berinteraksi

dengan dunia di sekitarnya. Dalam konteks yang terakhir ini,

6 Muhammad Abid al-Jabiri, Madkhal ila al-Quran al-Karim (Beirut:

Markaz Dirasat al-Wihdah al-Arabiyah, 2006), vol. I, hal. 21.

Page 7: HERMENEUTIKA KRITIS: PEMBACAAN AL-QURAN ABED AL …

M. Faisol

ISTIQRO’ Volume 15, Nomor 02, 2017 389

al-Quran mendapati faktanya sebagai realitas formatif (masar

al-takwin).

Untuk lebih jelasnya terkait dengan apa yang disebut

dengan quranic phenomenon (al-zhahirah al-Quraniyah), Abid

al-Jabiri menukil ayat dalam surat al-Syuara 192 — 195

sebagaimana berikut:

* *

**

Artinya: “Dan sesungguhnya al-Quran ini benar-benar diturunkan

oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh ar-Ruh al-

Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu

menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi

peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas. Dan sesungguhnya

al-Quran itu benar-benar (tersebut) dalam Kitab-kitab orang

yang dahulu.”

Menurut Abid al-Jabiri, ayat tersebut di atas

mengisyaratkan tentang dimensi waktu-historis (al-bud al-

zamani), yaitu “dengan bahasa Arab yang jelas”. Sementara ayat

“dan sesungguhnya al-Quran itu benar-benar (tersebut) dalam

kitab-kitab orang yang dahulu.” menunjukkan dimensi non

waktu (al-bud al-lazamani). Kedua dimensi ini terkait erat

dengan tiga ayat sebelumnya yang menegaskan bahwa al-

Quran itu turun dari Allah yang dibawa oleh malaikat Jibril

kedalam hati Nabi SAW dengan bahasa Arab agar memberi

peringatan.7

Berangkat dari fakta quranic phenomenon (al-zhahirah al-

Quraniyah) seperti itu, maka Abid al-Jabiri mendefinisikan al-

7 Muhammad Abid al-Jabiri, Madkhal ila al-Quran al-Karim, hal. 23-

24.

Page 8: HERMENEUTIKA KRITIS: PEMBACAAN AL-QURAN ABED AL …

Hermeneutika Kritis: Pembacaan Al-Quran Abed al-Jabiri

390 ISTIQRO’ Volume 15, Nomor 02, 2017 I

Quran dengan “wahyu dari Allah yang dibawa oleh Jibril

kepada Nabi Muhammad SAW dengan bahasa Arab, dan ia

merupakan wahyu kelanjutan dari kitab-kitab para rasul

terdahulu”.8 Pemahaman seperti ini diyakini oleh Abid al-Jabiri

lebih aman dari perdebatan teologis dan lebih netral, lebih-

lebih ia mengacu kepada pengertian yang digali dari internal

ayat al-Quran.

Dengan demikian, maka pemahaman terhadap al-Quran

itu mengisyaratkan pada tiga dimensi sekaligus. Pertama,

dimensi non waktu (bud lazamani) yang berarti al-Quran

dalam kaitannya dengan risalah agama samawi para rasul

sebelumnya. Kedua, dimensi spiritual (bud ruhy) yang

termanifestasikan pada masukknya al-Quran kedalam hati

Nabi SAW. sebagai pengalaman batin. Ketiga, dimensi sosial-

historis yang berarti fungsi sebagai utusan untuk

menyampaikan kepada umatnya, termasuk di dalamnya

bagaimana respon dan reaksi dari umatnya. Ketiga dimensi ini

masuk kedalam apa yang disebut dengan quranic phenomenon

(al-zhahirah al-Quraniyah).9 Atau dengan kata lain, al-Quran

dapat dipahami bahwa (1) ia merupakan keberlanjutan dari

risalah Allah yang disampaikan para rasul terdahulu, (2)

penyampaiannya kepada Nabi Muhammad SAW. merupakan

peristiwa spiritual (ruhy), dan (3) dengan al-Quran itu Nabi

SAW. menyampaikan risalah Allah kepada umat manusia.

Begitulah Abid al-Jabiri mengajak pembaca untuk

memahami hakikat al-Quran dalam paradigma quranic

phenomenon (al-zhahirah al-Quraniyah). Melalui paradigma

quranic phenomenon (al-zhahirah al-Quraniyah), Abid al-Jabiri

menunjukkan kepada pembaca bahwa al-Quran pada

hakikatnya memiliki dua dimensi, yaitu dimensi non waktu

8 Muhammad Abid al-Jabiri, Madkhal ila al-Quran al-Karim, hal. 24.

9 Muhammad Abid al-Jabiri, Madkhal ila al-Quran al-Karim, hal. 24.

Page 9: HERMENEUTIKA KRITIS: PEMBACAAN AL-QURAN ABED AL …

M. Faisol

ISTIQRO’ Volume 15, Nomor 02, 2017 391

(bud al-lazamani) dan dimensi waktu (zamani). Dimensi yang

pertama tidak dapat dipastikan dan dibatasi oleh waktu karena

al-Quran faktanya telah menjadi wahyu Allah yang memiliki

ketersambungan dengan risalah para rasul sebelumnya.

Sementara dimensi yang kedua terkait dengan masuknya

wahyu kedalam diri Nabi SAW. sebagai pengalaman ruhy dan

dengannya disampaikan kepada umat manusia dengan segala

respon dan reaksi dari masyarakat Jahiliyah pada saat itu.

Dimensi yang kedua ini bersifat historis-sosial.

Perjalanan al-Quran mulai dari awal diwahyukan kepada

Nabi SAW. dan kemudian disampaikan kepada umat manusia

(masyarakat Jahiliyah ketika itu) hingga mendapatkan respon

dan reaksi inilah yang dipahami oleh Abid al-Jabiri sebagai

realitas ontologis dan formatif (masar al-kaun wa al-takwin).

Secara ontologis hakikat al-Quran merupakan wahyu Allah

SWT. yang memiliki hubungan dengan risalah para rasul

terdahulu, sementara secara formatif ternyata telah terjadi

dialektika antara al-Quran melalui diri Nabi SAW. dengan

masyarakat di sekitarnya. Tanpa memahami realitas ontologis

dan formatif (masar al-kaun wa al-takwin) dari al-Quran ini

kita tidak dapat memahami quranic phenomenon (al-zhahirah

al-Quraniyah).

Pembacaan Kritis terhadap al-Quran

Problem yang selalu muncul dalam setiap pembacaan

terhadap kitab suci adalah masalah jarak waktu dan ruang

yang melingkupi antara pengarang dan pembaca. Yang

menghubungkan pengarang dan pembaca adalah teks. Seorang

pembaca berusaha memahami makna yang dikandung melalui

Page 10: HERMENEUTIKA KRITIS: PEMBACAAN AL-QURAN ABED AL …

Hermeneutika Kritis: Pembacaan Al-Quran Abed al-Jabiri

392 ISTIQRO’ Volume 15, Nomor 02, 2017 I

dialog imajinatif dengan pengarangnya melalui medium teks.10

Lalu bagaimana memahami dan membaca al-Quran?

Sejak awal Abid al-Jabiri menyadari bahwa membaca al-

Quran tidak sama dengan membaca warisan intelektual (al-

turats). Al-Quran adalah wahyu yang harus diimani, sementara

warisan intelektual (al-turats) merupakan sejumlah konsep,

pemahaman dan pemikiran di luar al-Quran yang merupakan

hasil ijtihad manusia baik berupa dokumen mati maupun

realitas yang hidup. Al-Quran bersifat mutlak, sementara

warisan intelektual (al-turats) bersifat nisbi dan masih bisa

diperdebatkan.

Oleh karena itu, membaca al-Quran menurut Abid al-

Jabiri memiliki dua hal sekaligus, yaitu bagaimana menjadikan

al-Quran kontemporer untuk dirinya sendiri (muashiran li

nafsihi) dan kontemporer untuk zaman kita (muashiran lana).

Inilah cara yang baik menurut Abid al-Jabiri dalam membaca

al-Quran dalam sekarang.11 Cara ini merupakan

pengejawentahan dari apa yang ia sebut dengan quranic

phenomenon (al-zhahirah al-Quraniyah) sebagaimana yang

sudah disinggung sebelumnya.

Dalam konteks menjadikan al-Quran kontemporer untuk

dirinya (muashiran li nafsihi), pembaca al-Quran harus mampu

menembus masuk kedalam ruang dan waktu dimana teks itu

lahir, masuk kedalam realitas sosial saat al-Quran diwahyukan.

Tentunya, hal ini mustahil untuk dilakukan oleh seorang

pembaca yang hidup di zaman sekarang. Pembaca yang hidup

di era sekarang tidak dapat kembali ke masa lampau.

Allah sebagai Pemberi wahyu (al-Quran) berada di luar

jangkauan analisa ilmiah-empiris. Oleh karena itu, variabel

10 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama (Jakarta,

Paramadina, 1996), cet. I, hal. 132-33.

11 Muhammad Abid al-Jabiri, Madkhal ila al-Quran al-Karim, hal. 28.

Page 11: HERMENEUTIKA KRITIS: PEMBACAAN AL-QURAN ABED AL …

M. Faisol

ISTIQRO’ Volume 15, Nomor 02, 2017 393

untuk memahami al-Quran digantikan oleh Nabi Muhammad

SAW. sebagai orang yang memahami wahyu-Nya. Ketika Nabi

Muhammad SAW. menerima wahyu, beliau tidak sekedar

merekam pesan-pesan ilahi begitu saja, tetapi aktif

mendengarkan, memahami dan membahasakan kedalam

bahasa (lisan) Arab. Ketika Nabi SAW. masih hidup beliau

menjadi penafsir tunggal yang menggantikan Allah.12

Namun ketika Nabi Muhammad SAW. meninggal dunia,

variabel untuk memahami al-Quran digantikan dengan hadits,

sunah dan atau qaul sahabat, tafsir-tafsir, qaul para ulama dan

seterusnya. Semakin ke belakang, semakin tambah lipatan

pemahaman, pendapat dan pemikiran terhadap warisan

intelektual sebelumnya. Maka, seringkali ditemukan tidak ada

kata sepakat dalam menyikapi riwayat atau pendapat tertentu.

Menjadikan al-Quran kontemporer untuk dirinya

(muashiran li nafsihi) berarti berupaya untuk mendapatkan

pemahaman yang mendekati al-Quran itu sendiri sesuai

dengan makna saat al-Quran itu dilahirkan. Seorang pembaca

harus mampu menemukan otentisitas (al-ashalah) teks. Di sini,

pembaca harus menempatkan diri dalam ruang dan waktu saat

teks (al-Quran) dilahirkan untuk memperpendek jarak antara

dunia pembaca dan dunia Penciptanya.

Untuk menemukan otentisitas (al-ashalah) teks, teks harus

dijaga kemandiriannnya dari segala bentuk pemahaman

terhadap dirinya baik dari aspek muatan ideoligis, kandungan

epistemologis maupun problem teoritis. Menjadikan al-Quran

kontemporer untuk dirinya (muashiran li nafsihi) berarti terkait

dengan masalah obyektifitas (al-mauduiyah). Seorang pembaca

harus menjaga jarak (al-fashl) antara dirinya dengan obyek yang

dikaji, atau dengan kata lain ia harus memisahkan dari dari

obyek (teks). Sikap obyektif ini perlu dilakukan karena

12 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, hal. 149-151.

Page 12: HERMENEUTIKA KRITIS: PEMBACAAN AL-QURAN ABED AL …

Hermeneutika Kritis: Pembacaan Al-Quran Abed al-Jabiri

394 ISTIQRO’ Volume 15, Nomor 02, 2017 I

membaca teks tidak saja terkait bagaimana memahami

semantik bahasanya tetapi melibatkan pada faktor sosial dan

psikologis. Seorang pembaca jangan sekedar mencari apa

makna sebuah kata tetapi bagaimana kata itu difungsikan.13

Menyoal otentisitas (al-ashalah) bukan berarti sekedar

menemukan kembali makna orisinil yang dipakai pada

zamannya. Atau dengan kata lain, otentisitas tidak semata-

mata terkait dengan masa lalu. Tetapi, otentisitas juga terkait

dengan zaman kekinian. Otentisitas bukanlah sesuatu yang

tercipta dari tiada. Dengan demikian, otentisitas adalah

gambaran kreatif mengenai warisan masa lalu yang mampu

memberi signifikansi masa kekinian.14 Sampai sini, sampailah

seorang pembaca teks pada sisi lain dalam memahami teks,

yaitu menjadikan al-Quran kontemporer untuk zaman

sekarang (muashiran lana).

Masalah menjadikan kontemporer untuk zaman kita

(muashiran lana) adalah terkait dengan mengaitkan kembali

antara pembaca dengan obyek dalam konteks kekinian. Hal ini

berarti tidak sekedar upaya pembaca untuk menghadirkan teks

masa lalu kedalam ruang dan waktu kekinian; bukan sekedar

mengkopi atau mengadopsi. Upaya untuk membawa teks masa

lalu kepada masa kekinian membutuhkan apa yang disebut

oleh Abid al-Jabiri dengan reasonableness (al-maquliyah). Artinya,

teks harus dibaca secara rasional tetapi pada saat yang sama

hasil pembacaan itu semestinya memiliki signifikansi dengan

konteks kekinian sehingga ada keberlanjutan (al-washl) dari

masa sebelumnya. Masalah reasonableness (al-maquliyah) terkait

dengan nilai relefansi terhadap zaman kekinian (muashiran

lana).15 Apalagi memahami sebuah teks bukan persoalan

13 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, hal.148.

14 Muhammad Abid al-Jabiri, al-Turats wa al-Hadatsah (Beirut: al-

markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991), hal. 41.

15 Muhammad Abid al-Jabiri, al-Turats wa al-Hadatsah, hal. 47.

Page 13: HERMENEUTIKA KRITIS: PEMBACAAN AL-QURAN ABED AL …

M. Faisol

ISTIQRO’ Volume 15, Nomor 02, 2017 395

memperlakukan “benda mati” tetapi juga terkait dengan

mekanisme berpikir, nilai-nilai, paradigma dan segala hal yang

membentuk angan-angan sosial masyarakat.

Abid al-Jabiri menyadari bahwa membaca al-Quran tidak

saja sekedar membaca dan memahami teks al-Quran. Al-Quran

lahir dalam situasi realitas sosial-budaya (di tengah masyarakat

jahiliyah) atau dengan kata lain al-Quran memiliki dimensi

waktu (bud a-zamani). Oleh karena itu, memahami realitas di

luar diri al-Quran juga menjadi hal yang perlu diperhatikan

dalam membaca al-Quran; dimensi sosial-budaya yang

melingkupi lahirnya al-Quran dengan demikian tidak bisa

dihindari. Lalu bagaimana cara yang tepat dalam membaca al-

Quran yang tidak terlepas dari dimensi non waktu (bud al-

lazamani) dan dimensi waktu (bud al-zamani) sehingga al-Quran

menjadi kontemporer untuk dirinya (muashiran li nafisihi) dan

kontemporer untuk kita (muashiran lana)?

Abid al-Jabiri mengajukan tiga metode yang dapat

dijadikan pisau analisis dalam membaca al-Quran. Pertama,

analisa struktural yang berarti memosisikan teks sebagai

sebuah keseluruhan yang diatur oleh kesatuan-kesatuan yang

konstan. Tujuannya adalah memaparkan dan membongkar

keterkaitan antara berbagai unsur atau aspek yang telah

membentuk makna.16

Analisa struktural didasarkan pada beberapa asumsi,

yaitu wholeness (keseluruhan), transformasi dan relasi. Sebuah

karya sastra (teks) terdiri dari unsur-unsur yang koheren.

Masing-masing unsur ini akan memiliki makna jika dilihat

sebagai satu kesatuan yang utuh. Memiliki hubungan yang tida

dapat dipisah-pisahkan antara unsur satu dengan lainnya.

Hubungannya bersifat koheren. Keberartian unsur bukan

terletak pada satu per satunya, tetapi terdapat dalam

16 Muhammad Abid al-Jabiri, al-Turats wa al-Hadatsah, hal. 32.

Page 14: HERMENEUTIKA KRITIS: PEMBACAAN AL-QURAN ABED AL …

Hermeneutika Kritis: Pembacaan Al-Quran Abed al-Jabiri

396 ISTIQRO’ Volume 15, Nomor 02, 2017 I

keseluruhan (wholeness). Masing-masing unsur bersifat dinamis

dan bukan statis. Unsur-unsur itu hidup dalam sebuah sistem

internal yang tunduk pada hukum-hukum internal teks dan

oleh karena itu untuk menggerakkannya tidak butuh pada

kekuatan eksternal.17

Jika unsur-unsur dalam teks dianggap menjadi satu

kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, maka unsur itu hanya

menjadi berarti jika diletakkan di dalam relasi asosiasi atau

relasi oposisi.18 Melalui analisa struktural keseluruhan makna

yang terpadu, yang terdapat dalam teks dikupas secara detil

sehingga didapatkan pemahaman yang valid.19 Penangkapan

terhadap sebuah makna harus dihindari terlebih dahulu

sebelum melakukan pembacaan terhadap kata sebagai bagian

dari unsur-unsur pembentuk, bukan sebagai bagian-bagian

kecil yang berdiri sendiri.20

Dalam hal yang terkait dengan pembacaan terhadap al-

Quran secara langsung sebagai data primer, Abid al-Jabiri

mengajukan cara yang tepat untuk itu yaitu dengan memahami

apa yang ada di dalam al-Quran itu sendiri atau aspek internal.

Prinsipnya adalah bahwa “al-quran yufassiru badluhu badlan”

(sebagian ayat al-Quran menjelaskan sebagian ayat lainnya).21

Prinsip ini berlaku jika pembacaan terhadap al-Quran itu

terkait dengan hal-hal yang bersifat mutlak dan dimensi non

waktu (bud al-lazamani). Tetapi jika pembacaan terhadap al-

Quran itu terkait dengan masalah-masalah yang nisbi dan

17 Bashir Taoreret, Manahij al-Naqd al-Adabi al-Muashir (Kairo: al-

Haiah al-Mishriyah al-Ammah li al-Kitab, 2008, hal. 15-18.

18 Yoseph Yapi Taum, Pengantar Teori Sastra (Flores: Penerbit Nusa

Indah, 1997), hal. 38.

19 A. Teew, Sastra dan Ilmu Sastra (Bandung: Pustaka Jaya, 2003),

hal. 113.

20 Muhammad Abid al-Jabiri, al-Turats wa al-Hadatsah, hal. 32.

21 Muhammad Abid al-Jabiri, Madkhal ila al-Quran al-Karim, hal. 28.

Page 15: HERMENEUTIKA KRITIS: PEMBACAAN AL-QURAN ABED AL …

M. Faisol

ISTIQRO’ Volume 15, Nomor 02, 2017 397

historis, maka Abid al- al-Jabiri mengembalikannya pada

urutan turunnya ayat (tartib al-nuzul).22

Masalahnya, dalam konteks sekarang ini membaca al-

Quran tidak saja terkait dengan al-Quran itu sendiri atau data-

data terkait realitas sosial-budaya yang melingkupinya. Al-

Quran telah melahirkan komunitas pembaca, dan komunitas ini

melahirkan tradisi islami, serta berdasarkan tradisi yang

diterimanya umat Islam menafsirkan al-Quran. Hubungan

antara ketiganya tidak pernah berhenti sejak Rasulullah SAW.

meninggal. Pemahaman terhadap pesan al-Quran selalu

diperbaharui dan diperluas.23 Di tengah tumpukan warisan

intelektual ini tawaran analisis kedua dan ketiga (yaitu analisis

historis dan kritik ideologi), menurut Abid al-Jabiri, menjadi

kebutuhan.

Analisis historis terkait dengan pemahaman terhadap

makna teks yang terus diulang-ulang dalam rentang sejarah

yang panjang, baik dalam tingkatan sosial budaya, ideologi

maupun politik. Di sini, keterkaitan antara realitas dengan teks

dan unsur pembentuknya harus ditemukan. Tentunya, ini tidak

semata-mata untuk mendapatkan pemahaman historis tentang

pemikiran yang dikaji, tetapi juga untuk menguji kesahihan

makna yang diperoleh dalam analisis struktural sebelumnya.

Kesahihan yang dimaksud adalah peluang kejelasan makna

yang dikandung oleh teks dan apa-apa yang tidak dikandung,

termasuk juga mengetahui kemungkinan apa-apa yang

seharusnya dikatakan namun didiamkan.24

Sementara itu, menurut Abid al-Jabiri analisis historis

menjadi kurang berarti jika tidak disertai dengan kritik

22 Muhammad Abid al-Jabiri, Madkhal ila al-Quran al-Karim, hal. 29.

23 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, hal. 157.

24 Muhammad Abid al-Jabiri, Nahnu wa al-Turats, Qiraah Muashirah

fi Turatsina al-Falsafi (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1993), hal. 24.

Page 16: HERMENEUTIKA KRITIS: PEMBACAAN AL-QURAN ABED AL …

Hermeneutika Kritis: Pembacaan Al-Quran Abed al-Jabiri

398 ISTIQRO’ Volume 15, Nomor 02, 2017 I

ideologi. Kritik ideologi digunakan untuk mengungkapkan

fungsi ideologis termasuk sosial politik yang dikandung oleh

teks. Mengungkap kandungan ideologis terhadap pemikiran

atau pemahaman tertentu menjadi satu-satunya medium untuk

menjadikannya kontemporer dengan dirinya atau menjadikan

dirinya berhubungan dengan realitas zamannya.25

Sebuah teks merupakan bagian dari sejarah yang

dikonstruk dalam ruang dan waktu yang melingkupi

pengarangnya. Pembacaan terhadap al-Quran tidak cukup

mendasarkan pada teks dan pencarian semantik saja, tetapi

juga melibatkan realitas sosiologis-historis.

Penutup

Teori pembacaan al-Quran Abid al-Jabiri nampak tidak

bisa dilepaskan dari kritik epistemologinya terhadap nalar

Arab. Jika Abid al-Jabiri menggelorakan semangat “kritisisme”

dan “rasionalisme” yang berada dalam peradaban Islam di

wilayah Barat (Maghrib) dalam mensikapi kejumudan

peradaban Arab-Islam akibat kuatnya dominasi epistemologi

Bayani di belahan wilayah Timur (Masyriq), maka semangat

yang serupa itu dapat dirasakan secara jelas dalam

pemikirannya tentang pembacaan al-Quran. Terkait dengan

pembacaan al-Quran, Abid al-Jabiri mengemas semangat itu

melalui apa yang disebut dengan quranic phenomenon (al-

zhahirah al-Quraniyah). Yaitu, bahwa al-Quran memiliki

realitas ontologis dan formatif (masar al-kaun wa al-takwin).

Bahwa al-Quran merupakan realitas risalah ilahi yang memiliki

dimensi non waktu (al-lazami) dan sekaligus dimensi waktu

(al-zamani). Pendekatan tentang pembacaan al-Quran yang

ditawarkannya pun tidak lepas dari kerangka besar ini.

25 Muhammad Abid al-Jabiri, Nahnu wa al-Turats, hal. 24

Page 17: HERMENEUTIKA KRITIS: PEMBACAAN AL-QURAN ABED AL …

M. Faisol

ISTIQRO’ Volume 15, Nomor 02, 2017 399

Daftar Pustaka

A. Teew, Sastra dan Ilmu Sastra (Bandung: Pustaka Jaya, 2003).

Amin al-Khuli, Manahij Tadjij fi al-Nahw wa al-Balaghah wa al-

Tafsir wa al-Adab (Mesir: al-Haiah al-Mishriyah al-Ammah

li al-Kitab, 1995)

Bashir Taoreret, Manahij al-Naqd al-Adabi al-Muashir (Kairo: al-

Haiah al-Mishriyah al-Ammah li al-Kitab, 2008).

Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama (Jakarta,

Paramadina, 1996), cet. I.

Mahmud Ismail, Susiyulujiya al-Fikr al-Islami (Beirut: Sina li al-

Nasyr, 2000), vol. III, cet.I.

Muhammad Abid al-Jabiri, al-Mutsaqqifun fi al-hadlarah al-

Arabiyah: Mihnah Ibn Hambal wa Nakbah Ibn Rusydi (Beirut:

Markaz Dirasat al-Wihdah al-Arabiyah, 2000), cet. II.

_____________, al-Turats wa al-Hadatsah (Beirut: al-markaz al-

Tsaqafi al-Arabi, 1991).

_____________, Madkhal ila al-Quran al-Karim (Beirut: Markaz

Dirasat al-Wihdah al-Arabiyah, 2006), vol. I.

_____________, Nahnu wa al-Turats, Qiraah Muashirah fi

Turatsina al-Falsafi (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi,

1993).

Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nash: Dirasat fi Ulum al-

Quran (Mesir: al-Haiah al-Mishriyah al-Amah li al-Kitab,

1993)

Shalahuddin Muhammad Abdut Tawwab, al-Naqd al-Adabi:

Dirasat Naqdiyah wa Adabiyah Haula Ijaz al-Quran (Kairo:

Dar al-Kitab al-Hadits, 2003)

Yoseph Yapi Taum, Pengantar Teori Sastra (Flores: Penerbit

Nusa Indah, 1997).

Page 18: HERMENEUTIKA KRITIS: PEMBACAAN AL-QURAN ABED AL …

Hermeneutika Kritis: Pembacaan Al-Quran Abed al-Jabiri

400 ISTIQRO’ Volume 15, Nomor 02, 2017 I