bab iii immanuel kant dan muhammad abed al-jabiri a...
TRANSCRIPT
BAB III
IMMANUEL KANT DAN MUHAMMAD ABED AL-JABIRI
A. Biografi dan Karya-karya Immanuel Kant
Immanuel Kant adalah seorang filsuf besar yang pernah tampil dalam
pentas pemikiran filosofis zaman Aufklarung Jerman menjelang akhir abad ke-
18. Lahir pada tanggal 22 April 1724 di Konigsberg, sebuah kota kecil di
Prussia Timur.1 Kant dilahirkan sebagai anak keempat dari seorang pembuat
pelana kuda Konigsberg yang setia dengan gerakan Pietisme. Beberapa dari
nenek moyangnya datang ke Jerman dari Skotlandia. Dia berkembang dalam
suasana kekristenan yang shaleh.2 Pada usia delapan tahun Kant memulai
pendidikan formalnya di Collegium Fredericanum sekolah yang berlandaskan
semangat Pietisme. Di sekolah ini ia mendalami bahasa Latin, bahasa yang
sering dipakai oleh kalangan terpelajar dan para ilmuwan saat itu untuk
mengungkapkan pemikiran mereka.3
Dimulai pada tahun 1740 Kant belajar hampir semua mata kuliah yang
diberikan di universitas kotanya. Karena alasan keuangan, Kant kuliah sambil
bekerja. Kant menjadi guru pribadi di beberapa keluarga kaya di Konigsberg.
Di universitasnya dia berkenalan baik dengan Martin Knutzen (1713-1751),
dosen yang mempunyai pengaruh besar terhadap Kant.
Knutzen adalah seorang murid dari Chistian Von Wolff (1679-1754),
dan seorang profesor logika dan metafisika. Meskipun demikian, ia menaruh
minat khusus pada ilmu alam, dan sanggup mengajarkan fisika, astronomi dan
matematika. Tahun 1755 Kant memperoleh gelar “Doktor” dengan disertasi
berjudul “Penggambaran Singkat dari Sejumlah Pemikiran Mengenai Api
1 Berdasarkan perjanjian Konferensi Postdam, Jerman (1945), Konigsberg masuk ke
dalam kekuasaan Russia. Dan pada tahun 1946 namanya diganti jadi Kaliningrad oleh Stalin sebagai kenangan akan seorang sahabatnya yang telah meninggal lantaran sakit paru-paru, yaitu Mikhail Ivanovich Kalinin (1875-1946), mantan Ketua Presidium Tertinggi PKUS. (S.P. Lili Tjacjadi, Hukum Moral Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif Kategoris, (yogyakarta : Kanisius, 1991), hlm. 25
2 M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghozali dan Kant – Filsafat Etika Islam, (Bandung : Mizan, 2002), hlm. 33
3 S.P. Lili Tjacjadi, loc.cit.
(Meditationum Quarundum de Igne Succinta Delineatio), sebuah karya di
bidang ilmu alam. Kemudian bekerja sebagai privatdozent di Konigsberg
dengan mengajarkan mata kuliah : metafisika, geografi, pedagogi, fisika dan
matematika, logika, filsafat, teologi, ilmu falak, dan mineralogi. Kant dijuluki
dengan “Sang Guru yang Cakap” (Der Schone Magister) karena cara
mengajarnya hidup dengan kepandaian seorang orator Kant menggerakkan
pikiran dan perasaan para pendengarnya, dan dengan ketajaman pikirannya
Kant menguraikan isi kuliahnya. Pada bulan Maret 1770 Kant memperoleh
gelar profesor logika dan metafisika dari Universitas Konigsberg dengan
disertasi “Mengenai Bentuk dan Azas-azas dari Dunia Inderawi dan Budiah”
(De Mundi Sensibilis Atgue Intelligibilis Forma et Principlis).4
Kehidupan Kant sebagai filsuf dapat dibagi menjadi dua periode yakni
zaman Pra-Kritis dan Kritis. Kehidupan Kant sebagai privatdozent dari tahun
1755-1770 di atas dikenal dengan zaman Pra-Kritis. Pada zaman Pra-Kritis
Kant menganut pendirian rasionalistisnya Wolff dan kawan-kawannya.
Kemudian setelah terpengaruh empirisnya Hume, berangsur-angsur
meninggalkan Rasionalisme. Kant mengatakan bahwa Hume-lah yang telah
membangunkan diri dari tidur dogmatisnya, yang menyusul ialah zaman
Kritis. Dalam zaman kedua ini Kant mengubah wajah filsafat secara radikal
dengan filsafat Kritisismenya dan ia mempertentangkan Kritisisme dengan
Dogmatisme.5
Kant membujang seumur hidupnya, mungkin ia berpikir seperti Nietsche yang berpandangan bahwa kawin akan merintangi pencapaian kebenaran, atau Telleyrand yang berpendapat bahwa orang yang kawin akan melakukan apa saja demi uang. Pada umur 22 tahun Kant telah menyatakan “saya sudah menetapkan jalan yang pasti, saya ingin berlajar, tidak satupun yang dapat menghalangi saya dalam mencapai tujuan itu”. Menurut salah seorang penulis biografi, kehidupan Kant berlangsung menurut aturan yang tegas, bangun, minum kopi, menulis, memberi kuliah, makan, jalan-jalan, masing-masing mempunyai waktunya sendiri. Lalu Kant muncul dari pintu
4 Ibid., hlm. 26 5 K. Berterns, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta : Kanisius, 1995), hlm. 59
rumahnya, berjalan menuju jalan kecil di bawah pepohonan yang rindang yang sering disebut Tempat Jalan-jalan Sang Filosof.6
Kemudian pada tahun 1796 M, dia berhenti memberi kuliah dengan alasan usia tua, pada tahun 1798 M kesehatannya mulai menurun. Akhirnya pada tanggal 12 Februari 1804 Kant meninggal dunia pada usia 80 tahun dalam keadaan pikun. Banyak pelayat berdatangan dari segenap penjuru Konigsberg, dan seluruh Jerman. Jenazahnya dikuburkan di perkuburan kota. Kubur itu kemudian rusak dan diperbaiki pada tahun 1881, pada tahun 1924 -peringatan 200 tahun kelahiran Kant- sisa-sisa tulang-belulangnya dipindahkan ke serambi katedral di pusat kota Konigsberg. Ketika perang dunia kedua berkecamuk hebat, serambi katedral porak poranda akibat perang melawan Jerman. Tahun 1950, beberapa orang tidak dikenal membongkar peti batunya dan membawa kabur tulang-belulangnya. Yang masih tinggal hingga sekarang adalah sebuah nisan dari perunggu yang melekat pada dinding serambi, dan memuat tulisan “langit berbintang di atas saya, hukum moral di dalam saya” (coelum stellatum supreme, lex moralis intra me). Dua hal yang dikagumi Kant selama hidupnya di dunia ini, bila ia merenungkan misteri alam semesta (fisika) dan misteri pribadi sang manusia (etika).7
Kemudian dalam hal karya-karyanya, Immanuel Kant sangat berjasa
dalam perkembangan bidang ilmu pengetahuan. Karya-karyanya penuh
dengan berbagai dilema dan paradoks yang sangat abstrak, yang mula-mula
terkesan jauh dari masalah-masalah manusia sehari-hari. Karya-karya itu
ditulis dalam gaya yang sangat akademis, yang akan sangat mengejutkan
siapapun yang membaca karya itu.8 Karya-karya yang monumental dan
sangat berharga telah tercipta dari buah pemikirannya. Karya-karyanya
memberi suatu perubahan dan bentuk baru dalam cara berfikir yang
dituangkan dalam bentuk filsafat kritis (Kritisisme).
Immanuel Kant sebagai seorang filsuf besar yang pernah tampil dalam
pentas pemikiran filosofis zaman Aufklarung Jerman menjelang akhir abad ke-
6 Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Bandung :
PT. Remaja Rosdakarya, 2003), hlm. 158-159 7 S.P. Lili Tjacjadi, op.cit., hlm. 28 8 Henry D. Aiken, Abad Ideologi, terj. The Age of Ideology, penj. Sigit Djatmiko,
(Yogyakarta : Yayasan Bintang Budaya, 2002), hlm. 20-21
18, tentu saja terpengaruh dengan suasana zamannya. Pengaruh itu khususnya
tampak dalam epistemologi, teologi dan etikanya :
Beberapa karya Kant yang telah menegakkan popularitasnya antara
lain :
1. Kritik der Reiner Vernunf/Critique of Pure Reason, 1781 M
(Kritik Atas Rasio Murni)
2. Prolegomena zu Einer Jeden Kunftigen Metaphysik/Prolegomena
to Any Future Metaphisics, 1783 (Pengantar Metafisika Masa
Depan)
3. Idea for Universal History, 1784 M
4. Grundlegung zur Metaphysik der Sitten/Groundwork of The
Metaphysic of Morals, 1785 (Pendasaran Metafisika Kesusilaan)
5. Metaphysical Faundations of Normal Science, 1786 M
(Pendasaran Metafisika Pengetahuan Alam)
6. Kritik der Praktischen Vernunft/Critique of Practical Reason,
1787 M (Kritik Atas Rasio Praktis)
7. Kritik der Urtheilskraft/Critique of Judgement, 1790 M (Kritik Atas Daya Pertimbangan)
8. Religion Innerhalb der Grenzen der Blossen Vernunft/Religion Within the Limits of Reason Alone, 1793 M (Agama di Dalam Batas-batas Budi Melulu)
9. Zum Ewigkn Frieden/Perpetual Peace, 1795 M (Menuju Perdamaian Abadi)
10. Metaphisik der Sitten, 1797 M (Metafisika Kesusilaan).9 Dalam karya ini terbagi dalam 2 bagian yakni Doctrine of Law dan Doctrine of Virtue10
11. Antropologie in Pragmatischer Hinsicht/Antropology from a
Pragmatic Point of View, 1798 M (Antropologi dalam Sudut
Pandang Pragmatis)
9 M. Amin Abdullah, op.cit., hlm. 34 10 Immanuel Kant, The Doctrine of Virtue-Part II of The Metaphisic of Morals, terj.
Mary J. Gregor, (Philadelphia : University of Pennsylvania Press, 1964), hlm. x
12. Pada tahun-tahun terakhir menjelang wafatnya, Kant masih
sempat membuat berbagai catatan mengenai sistem filsafatnya.
Semua itu kemudian dibukukan oleh Erich Adickes dengan judul
Kants Opus Postumum (Karya Anumerta Kant) pada tahun
1920.11
Di antara karya-karya Kant tersebut, tiga karya terbesar sehingga
filsafatnya disebut dengan Kritisisme antara lain Critique of Pure Reason
(1781), Critique of Practical Reason (1787 M) dan Critique of Judgement
(1790).
B. Latar Belakang Pemikiran Filosofis Immanuel Kant
Dalam sejarah filsafat, pemikiran tajam seorang filsuf kerap kali
muncul sebagai akibat atau reaksi atas suasana pemikiran filosofis zamannya.
Beberapa unsur pokok yang mempengaruhi dan melatarbelakangi pemikiran
filosofis Immanuel Kant antara lain :
1. Kant dan Aufklarung
Di abad ke-18, Eropa Barat telah mengalami zaman baru
yakni “Zaman Pencerahan”.12 Menurut Kant, “pencerahan”
dimaksudkan bahwa orang keluar dari keadaan tidak akil baliq
(unmundigkeit), yang dengannya ia sendiri bersalah. Kesalahan itu
terletak dalam keengganan/ ketidakmauan manusia untuk
memanfaatkan rasionya, orang lebih suka berpaut pada otoritas di
luar dirinya (wahyu Ilahi, nasihat orang terkenal, ajaran gereja atau
11 S.P. Lili Tjacjadi, op.cit., hlm. 29 12 “Zaman Pencerahan”, bahasa Jermannya Aufklarung sedangkan bahasa Inggrisnya
Enlightenment. Menurut Kant zaman pencerahan merupakan kebangkitan manusia dari ketidak matangan dirinya. Ketidak matangan yakni ketidakmampuan untuk menggunakan pemahaman dirinya tanpa petunjuk orang lain. Pemahaman tanpa petunjuk orang lain adalah pemahaman yang dipedomani oleh akal budi. Lihat : Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, Dialektika Pencerahan, (Yogyakarta : IRCiSoD, 2002), hlm. 139
negara). Pencerahan bersemboyan : sapere aude, yang berarti :
beranilah berpikir sendiri.13 Dengan pencerahan maka telah
membuka cakrawala pemikiran Eropa dari dominasi “kungkungan”
gereja (agama) dan pemikiran yang dogmatisme.14 Kepercayaan manusia akan akal budinya dalam abad ke-18
sangat dimajukan dengan pesatnya perkembangan ilmu
pengetahuan saat itu. Orang yang pertama kali memberi dasar pada
fisika klasik dengan karyanya “Ilmu Alam Berdasarkan Prinsip-
prinsip Matematisnya”, 1687). Sejak saat itu ilmu pengetahuan
melaju sangat cepat dan hampir setiap tahun ditemukan penemuan
baru.
2. Leibniz dan Hume
Keduanya merupakan wakil dari dua aliran pemikiran
filosofis yang kuat yang melanda Eropa pada masa pencerahan dan
sangat berpengaruh terhadap epistemologi Kant. Leibniz tampil
sebagai tokoh dari aliran Rasionalisme sedangkan Hume sebagai
wakil dari aliran Empirisme.
Secara umum Eropa pada masa pencerahan diwarnai oleh
dominasi kedua aliran tersebut. Walaupun pemikiran filsafat
Immanuel Kant terinspirasi oleh pertentangan antara kedua aliran
tersebut, tetapi Kant tidak begitu saja mengambil alih dan
mensintesakan kedua aliran tersebut menjadi satu sistem dengan
begitu saja. Sebab menurut Kant mengikuti salah satu dari
keduanya tidak akan memecahkan masalah. Dua-duanya dianggap
keliru. Kekeliruan Rasionalisme karena tidak memperhatikan
pengalaman dan lebih mementingkan rasio, pengertian dan aspek-
13 Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, (Bandung : Yayasan Plara, 1997),
hlm. 76 14 Dogmatisme adalah filsafat yang mendasarkan pandangannya pada pengertian-
pengertian yang telah ada tentang Allah atau substansi atau monade tanpa menghiraukan apakah rasio telah memiliki pemikiran tentang hakikat sendiri, luas dan batas kemampuannya. Lihat : Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta : Kanisius, 1980), hlm. 64
aspek statis. Sedangkan Empirisme lebih mementingkan
pengalaman dan aspek-aspek dinamis, tapi tidak memiliki konsep
untuk menggambarkan pengalaman.15
Filsafat Immanuel Kant berusaha untuk mensintesis kedua
aliran tersebut. Di satu sisi Kant mempertahankan objektifitas,
universalitas dan keniscayaan pengertian. Di sisi lain Kant
menerima bahwa pengertian bertitik dari fenomena dan tidak dapat
melebihi batas-batasnya. Pengetahuan dicapai melalui suatu
perpaduan konsep dengan pengalaman.16 Dengan kata lain,
revolusi filsafat Kant, mengembangkan pola pikir kritis, dengan
mencoba memikirkan unsur-unsur mana dalam pemikiran manusia
yang berasal dari pengalaman dan unsur-unsur mana yang terdapat
dalam akal manusia. Pemikiran kritis Kant berusaha untuk
mengkritisi aliran Rasionalisme dan Empirisme yang dalam
perkembangan selanjutnya pemikiran Kant dikenal dengan
“Kritisisme”.17
Gerakan pencerahan mulai berkembang di Inggris dengan
nama Enlightenment dalam suasana politik yang bebas, kemudian
dari Inggris menyeberang ke Eropa daratan. Dari Perancis gerakan
berjalan sangat radikal yang secara tidak langsung mempersiapkan
jalan bagi meletusnya revolusi Perancis dengan ditandai
penyerbuan penjara Bastille tahun 1789 kelak. Kemudian di
Jerman, gerakan berjalan dengan lebih tenang, kurang
menampakkan pertentangan antara individu dengan gereja atau
negara.18 Yang menjadi perhatian utama di Jerman adalah masalah
etika. Orang bercita-cita untuk merubah ajaran kesusilaan yang
15 Abdul Kholiq, “Pendekatan Penghayatan dalam Pendidikan Islam (Telaah Aksiologi
Model Etika Immanuel Kant)” dalam buku Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang bekerja sama dengan Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 144
16 Joko Siswanto, Sistem-sistem Metafisika Barat : Dari Aristoteles Sampai Derrida, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 61
17 K. Berterns, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta : Kanisius, 1980), hlm. 64 18 S.P. Lili Tjacjadi, op.cit., hlm. 30
berdasarkan kebaikan umum, yang dengan jelas menampakkan
perhatian kepada perasaan.19 Dalam suasana masa pencerahan
Jerman, terdapat sebuah gerakan keagamaan dalam Lutheranisme
Jerman abad ke-18 dengan nama Pietisme.20
Kant yang hidup pada puncak perkembangan pencerahan
Jerman, tentu saja terpengaruh oleh suasana zamannya khususnya
tampak dalam epistemologi, teologi dan etikanya. Sama seperti
Newton yang berusaha mencari prinsip-prinsip dalam alam
anorganik, Kant mencari prinsip-prinsip yang ada dalam tingkah
laku dan kecenderungan manusia. Sedangkan Pietisme
menampakkan pengaruhnya yang ganda dalam diri Kant. Di satu
pihak Kant tidak suka beribadah bersama di gereja dan
menganggap doa tidak perlu, sebab Tuhan telah mengetahui
kebutuhan dan isi hati manusia, bahkan doa bisa mendatangkan
penghinaan pada diri sendiri. Di lain pihak, keyakinan kaum Pietis
bahwa tingkah laku shaleh lebih penting daripada ajaran teologis.
Hal itu, tempak dalam penghayatan hidup Kant sehari-hari,
keyakinan yang tampak juga dalam pandangan Kant bahwa adanya
Allah, kehendak bebas dan kebakaan jiwa tidak bisa dibuktikan
secara teoritis, melainkan perlu diterima sebagai postulat dari budi
praktis, yakni sebagai idea yang menyangkut kewajiban manusia
mentaati hukum moral.21
C. Pokok Pemikiran Immanuel Kant tentang Epistemologi
Pada uraian di atas sudah tampak bahwa epistemologi ala Leibniz
bertentangan dengan epistemologi Hume. Leibniz berpendapat bahwa sumber
pengetahuan manusia adalah rasionya saja, bukan pengalaman. Sedangkan
19 Abdul Kholiq, op.cit., hlm. 143 20 Pietisme dipelopori oleh Spencer (1635-1705) dan Francke (1663-1727), sebagai reaksi
atas teologi akademik yang rasional dan gereja institusional yang kaku. Menurut ajaran Pietisme, gereja yang sejati tidak berada di dalam organisasi manapun atau dalam ajaran 3 teologi, melainkan di dalam hati orang yang percaya dan salah. Lihat : SP. Lili Tjacjadi, op.cit., hlm. 31
21 Ibid., lihat juga K. Berterns (1986), hlm. 63
Hume berpendapat bahwa pengalaman adalah sumber pengetahuan.22 Menurut
Hume, segala hal yang diketahui dari pengalaman adalah terdapatnya sesuatu
yang mengikuti hal lainnya. Manusia tidak dapat memasuki keadaan yang ada
di luar jangkauan pengalaman manusia dan mengungkapkan hal itu. Manusia
sama sekali tidak pernah benar-benar mengalami sesuatu yang menyebabkan
hal lainnya, yang ada hanyalah sesuatu yang mengikuti hal lainnya. Hume
meragukan segala sesuatu yang tidak bisa dikonfirmasikan olehnya dengan
pengalamannya. Skeptisisme yang ekstrim ini menghancurkan segala macam
hal yang selama berabad-abad dipercayai oleh umat manusia tanpa sekalipun
pernah dialami secara aktual misalnya Tuhan.23
Menurut Kant, terlepas dari skeptisisme Hume yang luar biasa itu,
masih ada kemungkinan untuk membangun suatu metafisika. Metafisika
tersebut akan menjadi basis bagi suatu bentuk pengetahuan yang diperlukan
secara universal maupun logis, suatu metafisika yang kebal terhadap serangan
skeptisisme Hume. Metafisika Immanuel Kant merupakan sebuah upaya untuk
membentuk semacam ilmu pengetahuan utama yang bisa memberikan jaminan
terhadap kebenaran pengetahuan. Immanuel Kant mencanangkan apa yang
disebutnya sebagai “filsafat kritis”. Dalam hal ini dibahas secara mendalam
suatu analisis tentang epistemologi, suatu studi menyangkut dasar yang
menjadi tempat berdirinya pengetahuan manusia.24
Kritisisme Kant dapat dianggap sebagai suatu usaha raksasa untuk
mendamaikan Rasionalisme dengan Empirisme. Rasionalisme mementingkan
unsur-unsur a priori dalam pengenalan, atau unsur-unsur yang terlepas dari
segala pengalaman (seperti “idea-idea bawaan” ala Descartes), sedangkan
Empirisme menekankan unsur-unsur a posteriori, atau unsur-unsur yang
berasal dari pengalaman (misalnya Locke yang menganggap rasio as a white
paper). Menurut Kant, baik Rasionalisme maupun Empirisme kedua-duanya
berat sebelah. Kendati Kant mengagumi pemikiran Hume, sebagai filsuf yang
22 S.P. Lili Tjacjadi, op.cit., hlm. 35 23 Paul Strathern, 90 Menit Bersama Nietzsche, terj. Nietzsche in 90 Minutes, penj. Frans
Kowa, (Jakarta : Erlangga, 2001), hlm. 55-56 24 S.P. Lili Tjacjadi, loc.cit.
telah membangunkan Kant dari “tidur dogmatic”-nya, namun ia tidak bisa
menerima skeptisisme Hume, yakni pandangan Hume bahwa dalam ilmu
pengetahuan tidak bisa diperoleh kepastian, hanya kementakan. Sehingga
Kant berusaha menjelaskan bahwa pengenalan manusia merupakan paduan
atau sintesis antara unsur-unsur a priori dengan unsur-unsur a posteriori.25
Pada waktu Kant hidup sudah menjadi jelas bahwa hukum-hukum
ilmu pengetahuan alam berlaku selalu dan di mana-mana (contoh : pada suhu
seratus derajat celcius air mendidih, atau benda yang jatuh pasti ke bawah
berkat Newton). Syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi agar ilmu
pengetahuan alam bisa menghasilkan pengetahuan yang mutlak perlu dan
pasti? Maka Kant menyelidiki unsur-unsur mana yang terdapat di dalam
proses pengetahuan manusia. Dan dilakukannya dalam bukunya yang terkenal,
yakni Kritik atas Rasio Murni.26
Pertanyaan Immanuel Kant yang mendasar adalah “Bagaimanakah
pernyataan-pernyataan a priori sintesis itu menjadi mungkin? Kemudian ia
menerapkan pertanyaan tersebut dalam matematika, fisika dan metafisika.
Immanuel Kant tidak bermaksud menciptakan sistem filosofis tentang
ada tetapi ia ingin mencari syarat-syarat yang kiranya memungkinkan hal
serupa itu. Ia mencurigai metafisika pada waktu itu tapi memberi kepercayaan
penuh kepada fisika dan matematika. Melalui analisa yang teliti ia
menemukan syarat-syarat yang membuat justru kedua ilmu ini menjadi ilmu
yang sejati. Syarat-syaratnya ialah bahwa bahan dari dunia luar diatur oleh
indra dalam waktu serta ruang dan hasilnya mencapai kesatuan lebih tinggi
lagi berkat kategori-kategori akal budi.27
Untuk mencapai pengetahuan yang bersifat sintesis a priori, menurut
Kant ada hirarki dalam proses pengetahuan manusia antara lain sebagai
berikut :
1. Tingkat pencerapan inderawi (tingkat pertama dan terendah)
25 K. Berterns, “Ringkasan Sejarah Filsafat”, op.cit., hlm. 60 26 S.P. Lili Tjacjadi, op.cit., hlm. 43 27 K. Berterns, dkk., Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia, (Jakarta : PT. Gramedia, 1991),
hlm. 89
Pengetahuan dimulai dengan pengamatan tapi tidak seperti
dikatakan kaum empiris berasal dari pengamatan. Pengetahuan
menurut Kant, merupakan sintesis dari unsur-unsur yang ada
sebelum pengalaman (unsur-unsur a priori) dengan unsur-unsur
yang ada setelah pengalaman (unsur-unsur a posteriori). Unsur-
unsur a priori memainkan peranan bentuk dalam pengenalan
sedangkan a posteriori memainkan peranan materi. Adapun unsur
a priori, kata Immanuel Kant sudah terdapat pada taraf pencerapan
inderawi. Di sini terdapat dua bentuk a priori, yakni ruang dan
waktu.28 Pencerapan panca indra oleh benda-benda disebut
sensation, sensasi kata Kant, hanyalah kesadaran akan suatu
stimulus manusia yang memiliki rasa pada lidah, bau pada lubang
hidung, suara pada telinga, sinar cahaya pada retina tetapi semua
itu merupakan awal pengalaman yang (masih) kasar, ia belum
merupakan ilmu pengetahuan tetapi jika sensasi-sensasi ini
mengelompok sendiri barulah disebut sebagai sebuah obyek dalam
ruang dan waktu.29
Ruang dan waktu merupakan bentuk dari pengamatan,
dengan kata lain ruang dan waktu merupakan syarat yang harus
dipenuhi supaya pengamatan menjadi mungkin.30 Adapun yang
diamati bukan bendanya sendiri, bukan benda-benda dalam dirinya
sendiri (das ding an sich), melainkan salinan dan pembentukan
benda dalam daya-daya inderawi lahiriah dan batiniah yang disebut
penampakan, gejala-gejalanya (fenomena).31 Hasil pencerapan
inderawi yang dikaitkan dengan bentuk “ruang” dan “waktu”
merupakan fenomen konkret. Namun pengetahuan yang diperoleh
28 S.P. Lili Tjacjadi, op.cit., hlm. 36 29 Moh. Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam, (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1991),
hlm. 9 30 M.A.W. Brouwer dan M. Puspa Heryadi, Sejarah Filsafat Barat Modern dan Sezaman,
(Bandung : Alumni, 1986), hlm. 70 31 Harun Hadiwijono, op.cit., hlm. 66
selalu berubah-ubah tergantung pada subjek yang mengalami dan
situasi yang melingkupinya.32
Ruang bukanlah merupakan ruang kosong di mana benda-
benda diletakkan, ruang bukan merupakan ruang dalam dirinya
(ruang an sich). Dan waktu bukan merupakan suatu arus tetap di
mana penginderaan-penginderaan bisa ditempatkan. Kedua-duanya
merupakan bentuk a priori sensibilitas. Atau dengan kata lain,
kedua-duanya berakar dalam struktur subjek sendiri. Pendirian
tentang pengenalan inderawi ini mempunyai implikasi yang lebih
penting. Memang ada suatu realitas, terlepas dari subjek. Kant
berkata : memang ada das ding an sich (benda dalam dirinya),
tetapi das ding an sich selalu tinggal x yang tidak dikenal.
Manusia hanya mengenal gejala-gejala yang selalu merupakan
sintesa antara hal-hal yang datang dari luar dengan bentuk ruang
dan waktu.33
Untuk membuktikan bahwa ruang dan waktu merupakan
bentuk a priori, Kant memiliki 2 kelompok argumen, yang pertama
metafisis, kedua epistemologi atau ia menyebutnya transendental.
Argumen pertama diambil langsung dari sifat ruang dan waktu,
sedangkan argumen kedua dari posibilitas matematika murni.
Empat argumen metafisis mengenai ruang antara lain :
1) Ruang bukanlah konsep empirik, yang diabstraksikan dari
pengalaman luar, karena ruang dimisalkan keberadaannya
dengan merujuk pada sesuatu yang eksternal dan
pengalaman eksternal hanya dimungkinkan melalui
kehadiran ruang
2) Ruang merupakan kehidupan a priori mutlak, yang
mendasari semua persepsi eksternal karena manusia tidak
dapat membayangkan tentang ketiadaan ruang, kendati
32 Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 34 33 Juhaya S. Praja, op.cit., hlm. 79
manusia dapat membayangkan bahwa dalam ruang itu tidak
ada apapun
3) Ruang tidaklah diskursif dan bukan konsep umum
mengenai hubungan benda secara umum, karena yang ada
hanyalah satu ruang, sedangkan yang biasa disebut
“ruangan” hanyalah bagian-bagiannya, bukan keutuhannya
4) Ruang tersaji sebagai ukuran besar yang tidak terhingga,
yang melingkupi seluruh bagian ruang, hubungan ini
berbeda dengan hubungan antara konsep dengan contohnya
dan karena itu ruang bukanlah konsep melainkan “intuisi”
(dalam bahasa Jermannya “An Scauung” yang secara
harfiah berarti memandang.34
Argumen transendental (epistemologis),35 mengenai ruang
berasal dari geometri. Kant berpendapat bahwa geometri dikenal a
priori, kendati bersifat sintesis yakni tidak bisa ditarik dari logika
semata. Bukti geometri menurutnya, bergantung pada angka.
Contoh, jika dua garis lurus berpotongan pada sudut kanan, maka
hanya satu garis lurus pada sudut kanan menuju keduanya, yang
bisa ditarik melalui titik perpotongannya. Pengetahuan ini
menurutnya, tidak didapat dari pengalaman. Ini menjelasan
mengapa geometri, meski sintesis bersifat a priori dan apodeiktik
(dapat dibuktikan).36
Argumen-argumen tentang waktu pada dasarnya sama,
kecuali bahwa aritmetika menggantikan geometri dengan
pernyataan bahwa perhitungan membutuhkan waktu.37
34 Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik
dari Zaman Kuno hingga Sekarang, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 930 35 Transendental menurut Kant adalah semua pengetahuan yang tidak meninjau benda-
benda melainkan mempelajari hal mengenal a priori dari benda-benda itu. (M.A.W. Brouwer dan M. Puspa Heryadi, op.cit., hlm. 69).
36 Bertrand Russel, op.cit., hlm. 931 37 Ibid.
Pengertian ruang atau keluasan berbeda dengan pengertian
ruang yang diberikan oleh Newton. Bagi Newton ruang ada di luar
manusia, tempat benda-benda ditempatkan. Bagi Kant, ruang atau
keluasan adalah sebuah “bentuk formal” penginderaan. Di dalam
penangkapan inderawi kesan-kesan atau cerapan-cerapan
pengamatan diatur dalam 2 dimensi atau 3 dimensi dalam ruang.
Bentuk pengamatan di dalam diri manusia yang disebut ruang atau
keluasan itulah yang memungkinkan adanya penginderaan sesuatu
dari manusia. Demikian juga waktu merupakan “bentuk formal”
penginderaan. Bentuk ruang mengatur atau membentuk kesan-
kesan atau cerapan-cerapan inderawi yang lahiriah, sedangkan
bentuk waktu mengatur dan membentuk kesan-kesan atau cerapan-
cerapan inderawi batiniah. Kedua bentuk kesan ini pada akhirnya
disintesakan oleh bentuk a priori waktu. Kedua pengertian ruang
dan waktu penginderaan yang bersifat a posteriori dan
mewujudkan bentuk a priori. Dilihat dari segi ini, yang termasuk
keadaan batiniah manusia adalah segala sasaran pengamatan.
Benda-bendanya tidak berada dalam ruang dan waktu. Isi
pengetahuan manusia berasal dari benda-bendanya sendiri akan
tetapi bentuk pengetahuan itu diberikan oleh pengenalan.
Dengan penginderaan manusia mengamati sesuatu dalam
ruang dan waktu sebagai bentuk-bentuk asasi pengamatan.
Sehingga dalam pengenalan inderawi ada sintesa antara unsur-
unsur a priori dan unsur-unsur a posteriori.38
2. Pada tingkal akal budi (verstand)39
Bersamaan dengan pengamatan inderawi, bekerjalah akal
budi (verstand) secara spontan. Tugas akal budi adalah menyusun
dan menghubungkan data-data inderawi sehingga menghasilkan
38 Harun Hadiwijono, op.cit., hlm. 67 39 Istilah Verstand lebih tepat diterjemahkan dengan “rasio”, “akal”, “akal budi” yakni
sebagai pemikiran logis dan diskursif manusia berhubungan dengan empiris. Lihat : S.P. Lili Tjacjadi, op.cit., hlm. 43
putusan-putusan.40 Pengenalan akal budi juga merupakan sintesa
antara bentuk dengan materi. Materi adalah data-data inderawi dan
bentuk adalah a priori, yang terdapat pada akal budi yang disebut
dengan istilah “kategori”.41 Pengetahuan akal budi, menurut Kant
baru diperoleh ketika terjadi sintesis antara data-data inderawi
dengan bentuk-bentuk a priori (kategori), yaitu ide-ide bawaan
dalam istilah Kant “konsep-konsep pokok” (stammbegriffe) yang
mempunyai fungsi epistemologis dalam diri manusia.42 Yang
dimaksud dengan kategori adalah bentuk-bentuk didalamnya “aku”
transendental berpikir. “Aku” transendental adalah “aku” sejauh ia
menjadi syarat bagi kesatuan pengetahuan, tetapi yang sendiri tidak
bersyarat. Setiap perbuatan berpikir, yaitu membuat putusan, tentu
disertai gagasan “aku”, sehingga muncullah gagasan “aku
berpikir”, yang adalah suatu kesatuan kesadaran, yang secara
fundamental menyatukan segala kategori.43
Kant memberi nama konsep-konsep pemahaman murni
(pure concept of the understanding) dan kategori-kategori
(categories), untuk prinsip-prinsip formal yang digunakan untuk
menafsirkan kesan-kesan inderawi. Tanpa prinsip-prinsip ini hanya
akan mendatangkan kebingungan sia-sia. Kant memilih istilah
“kategori-kategori” dikarenakan Aristoteles telah menggunakan
kata ini untuk bentuk-bentuk sesuatu yang paling umum. Dia
menyebut konsep-konsep ini murni dikarenakan tidak seperti
konsep-konsep seperti rumah, konsep-konsep itu tidak dibentuk
dari apa yang teramati dalam pengalaman dan dia menyebutkan
bahwa konsep-konsep itu adalah pemahaman. Dikarenakan yang
membawa keteraturan (order) ke dalam kesan-kesan inderawi
adalah intelek, dengan memikirkan kesan-kesan inderawi itu dalam
40 Ibid. 41 Juhaya S. Praja, loc.cit. 42 S.P. Lili Tjacjadi, op.cit., hlm. 37 43 Harun Hadiwijono, op.cit., hlm. 68-69
kaitannya dengan prinsip-prinsip ini.44 Kategori-kategori tersebut
mewujudkan struktur-struktur yang dipakai untuk menjadi wadah
pengamatan-pengamatan manusia. Kategori-kategori tersebut
menggolong-golongkan atau mengklasifisir pengamatan-
pengamatan seraya menyusunnya hingga menjadi suatu dunia
gagasan yang teratur.45
Dalam bidang akal budi, untuk memperoleh pengetahuan
yang bersifat objektif, universal, maka apa yang telah diperoleh
melalui bidang inderawi harus dituangkan kedalam akal budi. Di
sini terkandung empat bentuk kategori (kuantitas, kualitas, relasi,
dan modalitas) yang masing-masing terdiri atas 3 kategori untuk
dapat menampung fenomen konkret dari bidang inderawi tadi,
sehingga semuanya berjumlah 12 kategori.46
Kedua belas kategori tersebut dapat dilihat seperti pada
tabel di bawah ini.
Table of The Categories (Tabel Kategori-kategori)47
No Of Quantity
(Kuantitas)
Of Quality
(Kualitas)
Of Relation
(Relasi/Hubungan)
Of Modality
(Modalitas)
1.
2.
Unity (kesatuan)
Plurality
(kemajemukan)
1. Reality
(kenyataan)
2. Negation
1. Of inherence
and substence
(substansi dan
aksiden)
2. Of causality
and
dependence
(kausalitas dan
1. Possibility –
impossibility
(kemungkina
n–
kemustahilan
)
2. Existence-
non existence
44 H.B. Acton, Dasar-dasar Filsafat Moral : Elaborasi terhadap Pemikiran Etika
Immanuel Kant, (Surabaya : Pustaka Eureka, 2003), hlm. 11 45 Harun Hadiwijono, loc.cit. 46 Rizal Mustansyir, op.cit., hlm. 34-35 47 Immanuel Kant, The Critique of Pure Reason – Analytic of Conceptions (Section III of
The Pure Conceptions of The Understanding or Categories), Ushuluddin Digital Library, 8 Maret 2005, hlm. 83-84
3.
Totality
(universal)
3. Limitation
kebergantunga
n, sebab akibat)
3. Of community
(resiprositas
antara agen dan
pasien)
(ada-tiada)
3. Necessity-
contingency
(keniscayaan-
keniscayaan)
Kategori-kategori tersebut disebut dengan konsep-konsep
murni pada sintesis pemahaman yang bersifat a priori, dan
selanjutnya konsep-konsep tersebut disebut dengan pemahaman
murni, karena mereka hanya dapat memberikan berjenis-jenis
intuisi yang dapat dipikirkan. Dengan kata lain, pikiran sebuah
intuisi benda.48 Kedua belas kategori tersebut bersifat subjektif
dalam pengertian yang sama seperti halnya ruang dan waktu.49
Namun, dari kedua belas kategori tersebut hanya ada dua
kategori yang terpenting yakni substansi dan kausalitas. Jika
manusia membentuk putusan bahwa A menyebabkan B, maka
sahnya putusan tidak langsung berasal dari realitas, melainkan
dikarenakan sebab manusia harus memikirkan hubungan antara
data A dan data B berdasarkan kategori (sebab akibat).50
Dalam menerapkan kategori-kategori tersebut, akal budi
bekerja begitu rupa sehingga kategori-kategorinya hanya cocok
dengan data-data yang dikenainya saja. Misal, ada peristiwa bahwa
setelah air dipanaskan dengan api, ternyata air di dalam bejana
mendidih, maka akal budi akan bekerja dengan menerapkan
kausalitas (dan hanya kategori ini saja) terhadap fenomena-
fenomena itu. Dan lantas membuat pernyataan bahwa “air di dalam
bejana itu mendidih karena dipanaskan dengan api”, yakni data-
48 Ibid. 49 Bertrand Russel, op.cit., hlm. 924 50 Juhaya S. Praja, op.cit., hlm. 79
data inderawi yang berfungsi sebagai materi (api membakar bejana
berisi air, air lalu mendidih), dan unsur a priori yang berfungsi
sebagai bentuk (kategori kausalitas).51
Dengan konsep-konsep umum dan makna-makna universal,
Kant telah meneguhkan tegaknya ilmu-ilmu alam, setelah ia
meneguhkan matematika melalui dua bentuk ruang dan waktu.
Ilmu-ilmu alam sangat memperhatikan pengetahuan tentang sistem
alam dan ini tidak mudah kecuali atas dasar kategori-kategori
pengetahuan.52 Dengan demikian Kant telah menjelaskan sahnya
ilmu pengetahuan alam.
3. Pada tingkat budi atau intelek/vernunft53 (tingkat tertinggi)
Yang dimaksud Kant dengan budi atau intelek (vernunft)
adalah daya pencipta pengertian-pengertian murni atau pengertian-
pengertian yang mutlak perlu, yang tidak diperoleh dari
pengalaman melainkan mengatasi pengalaman-pengalaman itu
sendiri. Salah satu darinya adalah Idea54 mengenai Allah. Berbeda
dengan akal budi yang memuat di dalamnya kategori-kategori,
intelek dengan idea-idea ini tidak ikut menyusun pengetahuan
manusia. Idea-idea ini hanya bersifat “indikasi-indikasi kabur”,
petunjuk-petunjuk buat pemikiran (seperti kata “barat” dan “timur”
merupakan petunjuk-petunjuk, “timur” an sich tidak pernah bisa
diamati. Tugas intelek adalah menarik kesimpulan dari pernyataan-
pernyataan pada tingkat dibawahnya, yakni tingkat akal budi
51 S.P. Lili Tjacjadi, op.cit., hlm. 38 52 Fu’ad Farid Isma’il Abdul Halim Mutawalli, Cepat Menguasai Ilmu Filsafat,
(Yogyakarta : IRCiSoD, 2003), hlm. 99 53 Istilah vernunft lebih tepat diterjemahkan dengan “budi” atau “intelek”. Istilah vernunft
dalam ajaran Kant menunjuk pada daya pembentuk idea-idea yaitu bebas sama sekali dari unsur-unsur empiris, dan mengatasi baik tahap pencerapan inderawi maupun verstand. Intelek merupakan sesuatu yang berada “di belakang” dan mengatasi akal budi dan pencerapan inderawi, merupakan semacam pengertian dan wawasan yang mendalam. Lihat : SP. Lili Tjacjadi, op.cit., hlm. 43
54 Kata “Idea” sengaja dimulai dengan huruf kapital sebagai terjemahan istilah Kant idée yang artinya mengacu pada paham metafisik dan absolut yang sama sekali lepas dari unsur-unsur empiris. Arti kata “idea” ini lantas tidak boleh dipahami sebagai “gagasan” (idea), “pemikiran”, yang dalam bahasa Jerman disebut vorstellung. (Lihat : S.P. Lili Tjacjadi, op.cit., hlm. 38)
(verstand) dan tingkat pencerapan inderawi (sinneswahrnehmung).
Dengan kata lain, intelek dengan idea-idea dapat membuat
argumentasi-argumentasi.55 Kant memperlihatkan bahwa intelek
membentuk argumen-argumen dengan dipimpin oleh 3 idea
transendental56 yaitu jiwa, dunia, dan Allah.57
1) Idea psikologis (jiwa), merupakan idea yang mendasari
segala gejala batiniah
Di bidang ilmu jiwa terjadi paralogismen
(pengertian dipakai empiris dan metaempiris.58
2) Idea kosmologis (dunia) merupakan idea yang menyatukan
segala gejala lahiriah
Menurut Kant, kosmologi spekulatif berkisar pada
ide tentang dunia sebagai totalitas rentetan sebab-akibat
tentang fenomena. Fakta bahwa kosmologi spekulatif
merupakan sejumlah antinomy memperlihatkan bahwa
manusia tidak dapat menjadikan manfaat ilmiah ide
transendental tentang dunia sebagai totalitas fenomena.59
Antinomi-antinomi dari kosmologi (dibuktikan bahwa alam
mempunyai sebab, manusia makhluk bebas dan tidak
bebas.60
3) Idea teologis (Allah) merupakan idea yang mendasari
segala gejala baik yang batiniah maupun yang lahiriah,
yang terdapat dalam suatu pribadi mutlak. Dalam bidang ini
manusia mendapat pikiran-pikirn yang membuktikan
adanya Tuhan padahal kesadaran itu tidak bisa dibuktikan.
55 Ibid., hlm. 38 56 Disebut transendental karena logika menjadi syarat a priori untuk kemungkinan
pengetahuan. (Lihat : M.A.W. Brouwer dan M. Puspa Heryadi, op.cit., hlm. 72-73) 57 Joko Siswanto, op.cit., hlm. 63 58 M.A.W. Brouwer dan M. Puspa Heryadi, loc.cit. 59 M. Amin Abdullah, op.cit., hlm. 55 60 Harun Hadiwijono, op.cit., hlm. 73
Dengan adanya ketiga idea tersebut, Kant berharap
dapat mencapai suatu kesatuan dan kesempurnaan yang
dicita-citakan akal budi dalam mengatur dunia fenomenal
(dari phainomenon : “yang kelihatan”, “penampakan”,
bahasa Yunani), dunia inderawi, dunia lahiriyah-kelihatan.
Ketiga idea tersebut mengatur argumentasi-argumentasi
tentang pengalaman manusia. Karena pengalaman hanya
terjadi didalam dunia fenomenal, pada ketiga idea tersebut
berada di dunia noumenal (dari noumenon-noumenon “yang
dipikirkan”, “yang tidak tampak” bahasa Yunani), dunia
gagasan dan dunia batiniah. Ketiga idea tersebut bukanlah
pengertian-pengertian tentang kenyaan inderawi, bukan
“benda pada dirinya sendiri” (das ding an sich). Ketiganya
merupakan postulat/aksioma-aksioma epistemologis yang
berada diluar jangkauan pembuktian teoritis – empiris.61
Dan juga karena kategori-kategori akal budi yang berlaku
untuk pengalaman, dan kategori-kategori itu tidak dapat diterapkan
pada idea-idea tetapi justru itu yang diusahakan oleh metafisika.62
Namun ketiga macam idea tersebut tidak mungkin dapat dicapai
oleh budi manusia. Ketiga idea ini hanya merupakan petunjuk
untuk menciptakan kesatuan pengetahuan.63
Dari sini Kant menarik kesimpulan negatif berbeda dengan
Hume dan kaum positifis abad 19 dan 20, karena argumentasi a
priori tentang Tuhan, kebebasan, dan jiwa pada dasarnya sia-sia.
Metafisika, dalam arti keterangan yang dikemukakakn secara
rasional tentang bagaimana seharusnya dunia itu, harus ditolak.
Hanya ada satu cara untuk menemukan dunia dan cara itu adalah
dengan menginvestigasinya melalui metode-metode eksperimen
61 S.P. Lili Tjacjadi, op.cit., hlm. 39 62 K. Berterns, Ringkasan Sejarah Filsafat, op.cit., hlm. 62 63 Rizal Mustansyir, op.cit., hlm. 35
ilmu alam, manusia merupakan bagian dari alam. Namun Critique
of Pure Reason tidak sepenuhnya negatif. Kant menyatakan bahwa
dunia determenistik yang diungkapkan ilmu alam adalah dunia
sebagaimana yang nampak bagi orang yang mempersepsi dengan
indra. Manusia bisa menerima kemungkinan-kemungkinan
neumena yang dapat dipahami secara utuh tanpa harus tunduk
kepada ketentuan kausal. Baik Tuhan maupun jiwa yang tak
berwujud tidak bisa diketahui secara ilmiah, tetapi keduanya
merupakan kemungkinan-kemungkinan. Manusia tidak bisa
mempunyai pengetahuan teoritis tentang Tuhan dan jiwa tetapi
mungkin ada akal budi praktis untuk meyakini adanya Tuhan dan
jiwa.64
Kant menganggap metafisika penting juga, karena “idea-
idea rasio” sekurang-kurangnya merupakan pegangan untuk
pemikiran manusia. Dalam bukunya Kritik Atas Rasio Praktis idea-
idea ini muncul lagi dan mendapat kepastian subjektif sebagai
postulat-postulat bagi kesadaran serta kehidupan etis manusia.
Namun dalam hal ini penulis setuju seperti yang dikatakan oleh K.
Berterns dengan menyejajarkan kepastian di sekitar postulat-
postulat itu (kebebasan, imortalitas jiwa, dan adanya Allah) dengan
yang oleh Jeaspers disebut “kepercayaan filosofis” yakni suatu
kepastian yang tidak mungkin diasalkan dari pembuktian-
pembuktian ilmiah serta teoritis.65
D. Pokok Pemikiran Muhammad Abed Al-Jabiri
Dalam sub bab C tersebut, telah diuraikan tentang pokok pemikiran
epistemologi Immanuel Kant sebagai seorang tokoh filsuf Barat yang sangat
terkenal dengan filsafat kritisnya pada abad modern.
64 H.B. Actorn, op.cit., hlm. 14 65 K. Berterns, dkk., Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia, op.cit., hlm. 90
Selanjutnya dalam Islam sendiripun, terdapat tokoh filsuf muslim
kontemporer yang sangat terkenal dengan tipologi epestemik yakni episteme
bayani, irfani, dan burhani, dialah Muhammad Abed Al-Jabiri yang lahir di
kota Feiji (Maroko) 1936.
Sebagaimana Hassan Hanafi,66 diapun dikenal sangat produktif dalam
menghasilkan kritisi-kritisinya dalam bentuk makalah, artikel lepas hingga
buku utuh yang sangat serius. Dia semakin terkenal ketika meluncurkan buku
Takwin Al-Aql Al-Arabi (Formasi Nalar Arab) yang merupakan edisi pertama
dari trilogi Kritik Nalar Arabnya (Naqd Al-Aql Al-‘Arabi). Ia memberikan
perhatian yang sangat dalam kepada diskursus sejarah dan tradisi melalui
metodologi kritis khas post-strukturalisme (post-modernisme) yang sangat
dipengaruhi oleh tradisi dekonstruksi filsafat Perancis.67 Warisan dalam
bidang ilmu-ilmu rasional, metodologi, dan industri dari para pendahulu
merupakan kontribusi peradaban kepada tradisi manusia secara umum.68
Tradisi (turas) Islam menurut Al-Jabiri adalah segala yang secara asasi
berkaitan dengan aspek pemikiran dalam peradaban Islam, mulai dari ajaran
doktrinal, syari’at, bahasa, sastra, seni, teologi, filsafat, dan tasawuf.69 Artinya
tradisi adalah problem historis yang bergejolak diantara satu sama lain, saling
mengisi, saling kritik bahkan saling jegal.
Oleh karena itu, tradisi tidak bisa dikaji dengan pendekatan
“materialisme histories” seperti yang lazim digunakan kaum orientalis, tetapi
harus dikaji dengan metode-metode khusus yakni : 1) Strukturalis, bahwa
66 Hassan Hanafi adalah seorang filsuf hukum Islam, seorang pemikir Islam dan guru
besar pada Fakultas Filsafat Universitas Kairo. Ia memperoleh gelar doctor dari Sortoonne Unniversity, pada tahun 1966. Ia tergolong seorang modernis – liberal seperti Luthfi Al-Sayyid, Toha Husain dan Al-Aqqad. Ia mencetuskan gagasan Kiri Islam yang diterbitkan setelah kemenangan revolusi Islam di Iran tahun 1979. (Katuo Shimogaki, Kiri Islam Antara Modernisme dan Postmodernisme – Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi, (Yogyakarta : LKiS, 2000), hlm. 3
67 Muhammad Abed Al-Jabiri, Takwin Al-Aql Al-Arabi (Formasi Nalar Arab : Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Inter-Relegius), terj. Imam Khoiri, (Yogyakarta : IRCiSoD, 2003), hlm. 591-592
68 Hassan Hanafi dan Muhammad Abed Al-Jabiri, Membunuh Setan Dunia – Meleburkan Timur Barat dalam Cakrawala Kritik dan Dialog, terj. Umar Bukhori, (Yogyakarta : IRCiSoD, 2003), hlm. 112
69 Muhammad Abed Al-Jabiri, Post-Tradisionalisme, terj. A. Baso, (Yogyakarta : LKiS, 2003), hlm. 16
kajian harus didasarkan teks-teks sebagaimana adanya. 2) Analisis Sejarah,
untuk melihat segenap ruang lingkup budaya, politik dan sosiologisnya. 3)
Kritik Ideologis, untuk mengungkap fungsi ideologis, termasuk fungsi sosial-
politik yang dikandung dalam sebuah teks tersebut dalam satu sistem
pemikiran (episteme) tertentu yang jadi rujukannya.70
Berdasarkan hal itu, Al-Jabiri membuat proyek besar dan ambisius
yang disebut Naqd Al-Aql Al- Arabi (Kritik Nalar Arab).71 Tujuannya untuk
melihat tema-tema atau persoalan-persoalan yang banyak muncul dalam
lingkungan bahasa Arab dalam kapasitasnya sebagai wadah pemikiran yang
menentukan batas-batas pandangan dunia dan cara-cara berpikir orang yang
menggunakannya. Tegasnya, Al-Jabiri ingin mengungkap kecenderungan
epistemologis yang berlaku di kalangan bangsa Arab (Islam) dengan
pendekatan epistemologis. Hasilnya adalah terdapat tiga macam epistemologi
yakni bayani, irfani, dan burhani.72
Pendekatan epistemologis merupakan salah satu bentuk rasionalitas
modern dan cara kerja dari sekian banyak metodologinya. Ketika Al-Jabiri
menggunakan epistemologi dalam melaksanakan kritik terhadap Nalar Arab,
ia telah membuka wilayah kajian yang baru dalam peta pemikiran Arab dan
memunculkan wacana yang digali dari bahasa yang baru serta rasionalitas
yang jauh berbeda dalam memberikan usulan dan solusi. Nalar Arab yang
menjadi pusat perhatian Al-Jabiri sumbernya hanya terbatas di Maroko
(Kordova) hingga Timur (Bukhoro).73
Berdasarkan metode yang digagasnya, Al-Jabiri mulai meneliti tentang
kebudyaan dan pemikiran Islam. Namun, dalam hal ini ia membatasi diri
70 Ibid., hlm. 19-23 71 “Nalar Arab” yang dimaksud Al-Jabiri adalah nalar terbentuk (al-aql al-mukawwan)
yakni sejumlah asas dan kaidah yang dimunculkan kebudayaan Arab untuk mereka yang terkait dengannya sebagai landasan untuk memperoleh pengetahuan atau sebagai sistem epistemik yang tidak bisa mereka elakkan. (Lihat. Muhammad Abed Al-Jabiri, Takwin Al-Aql Al-Arabi (Formasi Nalar Arab : Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Inter-Relegius), op.cit., hlm. 22)
72 A. Khudori Sholeh, Moh. Abed Al-Jabiri – Model Epistemologi Islam, dalam buku Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta : Jendela, 2003), hlm. 231
73 Ali Harb, Kritik Nalar Al-Quran, terj. M. Faisol Fatawi, (Yogyakarta : LKiS, 2003), hlm. 174
hanya pada Islam-Arab, pada teks-teks yang ditulis dengan bahasa Arab, tidak
mencakup teks-teks Arab seperti teks-teks Persia, meski ditulis cendekiawan
muslim. Selain itu, ia mendominasi kebudayaan Arab dalam babak-babak
tertentu.
Dalam hal ini penulis sengaja akan menguraikan ketiga epistemologi
tersebut, yakni epistemologi bayani, irfani, dan burhani. Meskipun pada
akhirnya penulis hanya memfokuskan pada epistemologi burhani-nya.
1. Epistemologi Bayani
Adalah studi filosofis terhadap sistem bangunan
pengetahuan yang menempatkan teks (wahyu) sebagai kebenaran
mutlak.74 Metode bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang
menekankan otoritas teks (nass), secara langsung atau tidak
langsung dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat
inferensi. Secara langsung artinya memahami teks sebagai
pengetahuan dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran.
Secara tidak langsung maksudnya memahami teks sebagai
pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Dalam
bayani, rasio dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan
kecuali disandarkan pada teks.75
Dengan demikian, sumber pengetahuan bayani adalah teks
(nass) yaitu al-Quran dan hadits dalam ushul fiqh.76
Epistemologi bayani, menaruh perhatian besar dan teliti
pada proses transmisi teks dari generasi ke generasi.77 Benar
tidaknya transmisi teks menentukan benar salahnya ketentuan
hukum yang diambil. Jika transmisi teks bisa
74 Pradana Boy ZTF, Filsafat Islam : Sejarah, Aliran, dan Tokoh, (Malang : UMM Press,
2003), hlm. 45 75 Muhammad Abed Al-Jabiri, Bunyah Al-‘Aql Al-‘Arabi : Dirasah Tahliliyah Naqdiyah
li Nuzum Al-Ma’rifah fi Al-Tsaqafah Al-‘Arabiyah, (Beirut : Al-Markaz As-Saqafah Al-‘Arabi, 1991), hlm. 38
76 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Madar Helmi, (Bandung : Gema Risalah Press, 1996), hlm. 22
77 Muhammad Abed Al-Jabiri, Bunyah Al-‘Aql Al-‘Arabi : Dirasah Tahliliyah Naqdiyah li Nuzum Al-Ma’rifah fi Al-Tsaqafah Al-‘Arabiyah, op.cit., hlm. 116
dipertanggungjawabkan berarti teks tersebut benar dan bisa
dijadikan dasar hukum. Sebaliknya, jika transmisinya diragukan,
kebenaran teks tidak bisa dipertanggungjawabkan dan tidak bisa
dijadikan landasan hukum, meskipun nass al-Quran sebagai
sumber utama, tetapi ia tidak selalu memberikan ketentuan pasti.
Dari segi penunjukkan hukumnya (dalalah al-hukum), nass
al-Quran dibagi menjadi 2 yakni qat’i dan zanni. Nass yang qat’i
dilalah adalah nass-nass yang menunjukkan adanya makna yang
dapat dipahami dengan pemahaman tertentu atau nass yang tidak
mungkin menerima tafsir dan takwil atau sebuah teks yang tidak
mempunyai arti lain kecuali arti yang satu itu. Nass yang zanni
dalalah adalah nass-nass yang menunjukkan atas makna tapi masih
memungkinkan adanya takwil/diubah dari makna asalnya menjadi
makna yang lain.78
Dalam al-Quran konsep qat’i dan zanni hanya berkaitan
dengan dilalah-nya dan dalam sunnah lebih luas berlaku pada
riwayat dan dilalahnya. Dari segi riwayat berarti bahwa teks hadits
diyakini benar dari nabi/tidak, atau bahwa aspek ini akan
menentukan sah tidaknya proses transmisi teks hadits, yang dari
sana kemudian lahir berbagai macam kualitas hadits, seperti
mutawatir, ahad, sahih, hasan, garib, ma’ruf, maqtu’, dan
seterusnya, dari segi dilalah berarti bahwa makna teks hadits
tersebut telah memberikan makna yang pasti/masih bisa di-takwil.
a. Tentang usul dan furu
Soal usul-furu, menurut Muhammad Abed Al-
Jabiri, usul tidak menunjuk pada dasar-dasar hukum fiqh
seperti al-Quran, sunnah, ijma’, dan qiyas tetapi pada
pengertian umum bahwa ia adalah pangkal (asas) dari
78 Abdul Wahab Khalaf, op.cit., hlm. 62-63
proses penggalian pengetahuan. Usul adalah ujung rantai
dari hubungan timbal balik dengan furu.
Al-Jabiri melihat 3 macam posisi dan peran usul
dalam hubungannya dengan furu :
1) Usul, sebagai “sumber” pengetahuan yang cara
mendapatkannya dengan istinbath.
2) Usul, sebagai sandaran bagi pengetahuan yang lain
yang cara penggunaannya dengan qiyas baik dengan
qiyas illah seperti yang dipakai ahli fiqh atau qiyas
ad-dalalah seperti yang digunakan kaum teolog.
3) Usul, sebagai pangkal dari proses pembentukan
pengetahuan, yang caranya dengan menggunakan
kaidah-kaidah usul al-fiqh.79
b. Cara memperoleh pengetahuan
Untuk mendapatkan pengetahuan dari teks, metode
bayani menempuh 2 jalan yakni :
1) Berpegang pada redaksi (lafadz) teks, dengan
menggunakan kaidah bahasa Arab seperti nahw dan
sarf sebagai analisis kaidah bahasa Arab
2) Berpegang pada makna teks dengan menggunakan
logika, penalaran/rasio sebagai sarana analisis.80
2. Epistemologi Irfani
Tradisi irfani (dari kata ‘irfann yang berarti gnosis)
mencakup disiplin-disiplin ilmu yang terdiri dari tradisi Persia
Kuno, Hermetisisme dan Neo-Platonisme, sebagai sumber mata air
pemikirannya. Sebutan irfani itu sendiri dipakai untuk
menunjukkan satu proses bernalar yang mendasarkan diri pada
ilham dan kasyf sebagai sumber pengetahuan, dan yang menjadikan
79 A. Khudori Sholeh, op.cit., hlm. 237 80 Ibid.
tradisi-tradisi pra-Islam sebagai “hakikat”, sebagai kandungan
“esoteric” (bathin) dari yang diungkapkan oleh teks-teks agama
secara lahiri (zhahir).81 Bathin (esoteric) mempunyai status lebih
tinggi dalam hirarki pengetahuan gnostik (qiyas bayani). Menurut
Muhasibi (w. 857 M), Al-Ghazali (w. 1111 M), Ibn ‘Arabi (w.
1240 M), juga para sufi yang lain, teks keagamaan (al-Quran dan
hadits) tidak hanya mengandung apa yang tersurat (zhahir) tetapi
juga yang tersirat (bathin). Zhahir teks adalah bacaannya (tilawah)
sedangkan aspek batinnya adalah takwil-nya. Jika dianalogikan
dengan bayani, konsep zhahir-bathin tidak berbeda dengan lafadz-
makna. Bedanya, dalam epistemologi bayani, seseorang berangkat
dari lafadz menuju makna, sedangkan dalam irfani, seseorang
justru berangkat dari makna menuju lafadz, dari bathin menuju
zhahir, atau dalam bahasa Al-Ghazali, makna sebagai asl,
sedangkan lafadz mengikuti makna (sebagai furu).82
Persoalannya, bagaimana makna atau dimensi bathin yang
diperoleh kasyf tersebut diungkapkan ? Menurut Al-Jabiri, makna
bathin diungkapkan dengan cara :
1) I’tibar, atau qiyas irfani yaitu makna bathin yang ditangkap
dengan kasyf kepada makna zhahir yang ada dalam teks.
Qiyas irfani tidak sama dengan qiyas bayani atau silogisme.
Qiyas irfani berusaha menyesuaikan konsep yang telah ada
atau pengetahuan yang diperoleh lewat kasyf dengan teks,
qiyas al-ghaib ‘ala asy-syahid. Dengan kata lain, seperti
dikatakan Al-Ghozali bahwa zhahir teks dijadikan furu
(cabang) sedangkan konsep atau pengetahuan kasyf sebagai
asl (pokok). Metode analogi tersebut, menurut Al-Jabiri
juga dikenal dalam pemikiran Barat, yakni dalam aliran
filsafat esoteric yang disebut analogi intuitif.
81 Muhammad Abed Al-Jabiri, Post-Tradisionalisme, op.cit., hlm. xliv 82 A. Khudori Sholeh, op.cit., hlm. 245
2) Syatahat, lebih merupakan ungkapan lisan tentang perasaan
karena limpahan pengetahuan langsung dari sumbernya dan
disertai dengan pengakuan seperti ungkapan “Maha Besar
Aku” dari Abu Yazid Al-Busthami (w. 877). Secara umum,
syatahat sebenarnya diterima di kalangan sufisme dengan
syarat harus di-takwil-kan, yakni ungkapannya harus
terlebih dahulu dikembalikan pada makna zhahir teks.
Artinya, syatahat tidak boleh diungkapkan sedara ‘liar’ dan
berseberangan dengan ketentuan syari’at yang ada. Menurut
Al-Jabiri tidak terletak pada makna umumnya atau
universalitasnya melainkan justru pada makna temporal
atau subjektivitasnya. Sebab, takwil atau syatah tidak lain
adalah pemaknaan atau pemahaman atas realitas yang
ditangkap saat kasyf dan pasti berbeda diantara masing-
masing orang, sesuai dengan kualitas jiwa dan pengalaman
sosial budaya yang menyertainya.83
3. Epistemologi Burhani84
Dalam kitabnya Bunyah Al-‘Aql Al-‘Arabi, dijelaskan
bahwa kata “burhani” secara etimologi berarti dalil sebagai
penjelas sekaligus berfungsi sebagai bukti (hujjah). Secara
sederhana nalar burhani dapat diartikan sebagai suatu aktifitas
berpikir untuk menetapkan kebenaran proposisi melalui metode
deduktif (istintaj) dengan mengaitkan proposisi antara yang satu
83 Ibid. 84 Epistemologi burhani berbeda dengan epistemologi bayani dan irfani yang masih
berkaitan dengan teks suci, burhani sama sekali tidak mendasarkan diri pada teks, juga tidak pada pengalaman. Perbandingan katiga epistemologi tersebut adalah, bayani menghasilkan pengetahuan lewat analogi realitas non-fisik atas realitas fisik atau furu kepada yang asal, irfani menghasilkan pengetahuan lewat proses penyatuan ruhani pada Tuhan dengan penyatuan universal (kulliyat), burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya. (Lihat : Ibid., hlm. 249)
dengan proposisi yang lain untuk membuktikan kebenaran secara
aksiomatik.85
Secara terminologi, “nalar burhani” adalah paradigma
(kerangka) berpikir dengan menggunakan model metodologi
berpikir secara rasio, logika, dan silogisme pada proposisi-
proposisinya untuk mencapai kebenaran. Sistem epistemologis
demonstrasi (burhani), yang didasarkan pada pembuktian
inferensial, menurut Al-Jabiri berasal dari pemikiran Yunani
(khususnya Aristoteles).86 Bila dilihat secara historis, maka
pertama kali yang membangun prinsip burhani adalah Aristoteles
(384-322 SM) yang terkenal dengan metode silogisme atau
logikanya. Sehingga dengan metode yang diciptakannya itu pada
akhirnya membuat Aristoteles mendapat julukan “Bapak Logika”.
Namun, metode silogisme Aristoteles mengalami masa surut juga,
sebab metode ini hanya mampu meyakinkan kebenaran sesuatu
pernyataan, tetapi tidak menyusun atau menimbulkan kebenaran
baru. Metode ini hanya digunakan untuk membuktikan bahwa
sesuatu itu benar, namun tidak menetapkan bahwa pernyataan itu
benar. Metode ini hanya berlaku untuk penyimpulan deduksi dan
tidak untuk induksi.87
Mengacu pada logikanya Aristoteles, para pemikir Islam
kemudian menyerap dan mengadopsi substansi logika Aristoteles
tersebut. Proses pengadopsian dan transfer science dilakukan
melalui program penerjemahan buku-buku filsafat pada masa Al-
Makmun dan Harun Ar-Rasyid.
Sumber pengetahuan burhani adalah rasio, bukan teks atau
intuisi. Dengan dalil-dalil logika, rasio memberikan penilaian dan
85 Muhammad Abed Al-Jabiri, Bunyah Al-‘Aql Al-‘Arabi : Dirasah Tahliliyah Naqdiyah
li Nuzum Al-Ma’rifah fi Al-Tsaqafah Al-‘Arabiyah, op.cit., hlm. 383 86 Muhammad Abed Al-Jabiri, Kritik Kontemporer Atas Filsafat Arab –Islam, terj. Moch.
Nurichwan, (Yogyakarta : Islamika, 2003), hlm. xxx 87 E. Sumaryono, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta : Kanisius, 1999),
hlm. 17
keputusan terhadap informasi-informasi yang masuk lewat indra,
yang dikenal dengan istilah tasawwur dan tasdiq. Tasawwur adalah
proses pembentukan konsep berdasarkan data-data dari indra,
sedang tasdiq adalah proses pembuktian terhadap kebenaran
konsep tersebut.88
Selanjutnya, untuk mendapatkan sebuah pengetahuan,
epistemologi burhani menggunakan aturan silogisme. Secara
istilah silogisme adalah suatu bentuk argumen di mana dua
proposisi yang disebut premis, dirujukkan bersama sedemikian
rupa, sehingga sebuah keputusan (konklusi) pasti menyertai.
Namun, karena pengetahuan burhani tidak murni bersumber pada
rasio, tetapi didasarkan atas rasio objek-objek eksternal, maka
terdapat tahapan-tahapan sebelum dilakukan silogisme, yaitu : 1)
tahap pengertian, 2) tahap pernyataan, dan 3) tahap penalaran.
Tahap pengertian adalah proses abstraksi atas objek-objek
eksternal yang masuk ke dalam pikiran, dengan merujuk pada
sepuluh kategori yang diberikan Aristoteles. Tahap pernyataan
adalah proses pembentukan kalimat atau proposisi atas pengertian-
pengertian yang ada. Untuk mendapatkan satu pengertian yang
tidak diragukan, sebuah proposisi harus mempertimbangkan “lima
kriteria” yakni spesies, genus, deferensia, propium (khas) dan
aksidentia. Tahap penalaran adalah proses pengambilan
kesimpulan berdasarkan hubungan diantara premis-premis yang
ada, dan disinilah terjadi silogisme. Menurut Al-Jabiri, dengan
mengikuti Aristoteles, penarikan kesimpulan dengan silogisme
harus memenuhi beberapa syarat : 1) mengetahui latar belakang
dari penyusunan premis, 2) adanya konsistensi logis antara alasan
dan kesimpulan, 3) kesimpulan yang diambil harus bersifat pasti
88 Ibnu Rusyd, Kaitan Filsafat dengan Syari’at, terj. Shadiq Nor, (Jakarta : Pustaka
Firdaus, 1996), hlm. 56
dan benar sehingga tidak mungkin menimbulkan kebenaran atau
kepastian lain.89
Oleh karena itu, Al-Farabi sebagai tokoh filsafat dalam
Islam mensyaratkan bahwa premis-premis burhani harus
merupakan premis-premis yang benar, primer dan diperlukan.
Premis yang benar adalah premis yang memberi keyakinan
meyakinkan.90
89 Muhammad Abed Al-Jabiri, Bunyah Al-‘Aql Al-‘Arabi : Dirasah Tahliliyah Naqdiyah
li Nuzum Al-Ma’rifah fi Al-Tsaqafah Al-‘Arabiyah, op.cit., hlm. 433-436 90 Osman Bakar, Hierarki Ilmu, terj. Purwanta, (Bandung : Mizan, 1997), hlm. 106