bab iii immanuel kant dan muhammad abed al-jabiri a...

31
BAB III IMMANUEL KANT DAN MUHAMMAD ABED AL-JABIRI A. Biografi dan Karya-karya Immanuel Kant Immanuel Kant adalah seorang filsuf besar yang pernah tampil dalam pentas pemikiran filosofis zaman Aufklarung Jerman menjelang akhir abad ke- 18. Lahir pada tanggal 22 April 1724 di Konigsberg, sebuah kota kecil di Prussia Timur. 1 Kant dilahirkan sebagai anak keempat dari seorang pembuat pelana kuda Konigsberg yang setia dengan gerakan Pietisme. Beberapa dari nenek moyangnya datang ke Jerman dari Skotlandia. Dia berkembang dalam suasana kekristenan yang shaleh. 2 Pada usia delapan tahun Kant memulai pendidikan formalnya di Collegium Fredericanum sekolah yang berlandaskan semangat Pietisme. Di sekolah ini ia mendalami bahasa Latin, bahasa yang sering dipakai oleh kalangan terpelajar dan para ilmuwan saat itu untuk mengungkapkan pemikiran mereka. 3 Dimulai pada tahun 1740 Kant belajar hampir semua mata kuliah yang diberikan di universitas kotanya. Karena alasan keuangan, Kant kuliah sambil bekerja. Kant menjadi guru pribadi di beberapa keluarga kaya di Konigsberg. Di universitasnya dia berkenalan baik dengan Martin Knutzen (1713-1751), dosen yang mempunyai pengaruh besar terhadap Kant. Knutzen adalah seorang murid dari Chistian Von Wolff (1679-1754), dan seorang profesor logika dan metafisika. Meskipun demikian, ia menaruh minat khusus pada ilmu alam, dan sanggup mengajarkan fisika, astronomi dan matematika. Tahun 1755 Kant memperoleh gelar “Doktor” dengan disertasi berjudul “Penggambaran Singkat dari Sejumlah Pemikiran Mengenai Api 1 Berdasarkan perjanjian Konferensi Postdam, Jerman (1945), Konigsberg masuk ke dalam kekuasaan Russia. Dan pada tahun 1946 namanya diganti jadi Kaliningrad oleh Stalin sebagai kenangan akan seorang sahabatnya yang telah meninggal lantaran sakit paru-paru, yaitu Mikhail Ivanovich Kalinin (1875-1946), mantan Ketua Presidium Tertinggi PKUS. (S.P. Lili Tjacjadi, Hukum Moral Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif Kategoris, (yogyakarta : Kanisius, 1991), hlm. 25 2 M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghozali dan Kant – Filsafat Etika Islam, (Bandung : Mizan, 2002), hlm. 33 3 S.P. Lili Tjacjadi, loc.cit.

Upload: trinhxuyen

Post on 29-Mar-2019

233 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB III IMMANUEL KANT DAN MUHAMMAD ABED AL-JABIRI A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1...2 M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghozali dan Kant – Filsafat

BAB III

IMMANUEL KANT DAN MUHAMMAD ABED AL-JABIRI

A. Biografi dan Karya-karya Immanuel Kant

Immanuel Kant adalah seorang filsuf besar yang pernah tampil dalam

pentas pemikiran filosofis zaman Aufklarung Jerman menjelang akhir abad ke-

18. Lahir pada tanggal 22 April 1724 di Konigsberg, sebuah kota kecil di

Prussia Timur.1 Kant dilahirkan sebagai anak keempat dari seorang pembuat

pelana kuda Konigsberg yang setia dengan gerakan Pietisme. Beberapa dari

nenek moyangnya datang ke Jerman dari Skotlandia. Dia berkembang dalam

suasana kekristenan yang shaleh.2 Pada usia delapan tahun Kant memulai

pendidikan formalnya di Collegium Fredericanum sekolah yang berlandaskan

semangat Pietisme. Di sekolah ini ia mendalami bahasa Latin, bahasa yang

sering dipakai oleh kalangan terpelajar dan para ilmuwan saat itu untuk

mengungkapkan pemikiran mereka.3

Dimulai pada tahun 1740 Kant belajar hampir semua mata kuliah yang

diberikan di universitas kotanya. Karena alasan keuangan, Kant kuliah sambil

bekerja. Kant menjadi guru pribadi di beberapa keluarga kaya di Konigsberg.

Di universitasnya dia berkenalan baik dengan Martin Knutzen (1713-1751),

dosen yang mempunyai pengaruh besar terhadap Kant.

Knutzen adalah seorang murid dari Chistian Von Wolff (1679-1754),

dan seorang profesor logika dan metafisika. Meskipun demikian, ia menaruh

minat khusus pada ilmu alam, dan sanggup mengajarkan fisika, astronomi dan

matematika. Tahun 1755 Kant memperoleh gelar “Doktor” dengan disertasi

berjudul “Penggambaran Singkat dari Sejumlah Pemikiran Mengenai Api

1 Berdasarkan perjanjian Konferensi Postdam, Jerman (1945), Konigsberg masuk ke

dalam kekuasaan Russia. Dan pada tahun 1946 namanya diganti jadi Kaliningrad oleh Stalin sebagai kenangan akan seorang sahabatnya yang telah meninggal lantaran sakit paru-paru, yaitu Mikhail Ivanovich Kalinin (1875-1946), mantan Ketua Presidium Tertinggi PKUS. (S.P. Lili Tjacjadi, Hukum Moral Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif Kategoris, (yogyakarta : Kanisius, 1991), hlm. 25

2 M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghozali dan Kant – Filsafat Etika Islam, (Bandung : Mizan, 2002), hlm. 33

3 S.P. Lili Tjacjadi, loc.cit.

Page 2: BAB III IMMANUEL KANT DAN MUHAMMAD ABED AL-JABIRI A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1...2 M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghozali dan Kant – Filsafat

(Meditationum Quarundum de Igne Succinta Delineatio), sebuah karya di

bidang ilmu alam. Kemudian bekerja sebagai privatdozent di Konigsberg

dengan mengajarkan mata kuliah : metafisika, geografi, pedagogi, fisika dan

matematika, logika, filsafat, teologi, ilmu falak, dan mineralogi. Kant dijuluki

dengan “Sang Guru yang Cakap” (Der Schone Magister) karena cara

mengajarnya hidup dengan kepandaian seorang orator Kant menggerakkan

pikiran dan perasaan para pendengarnya, dan dengan ketajaman pikirannya

Kant menguraikan isi kuliahnya. Pada bulan Maret 1770 Kant memperoleh

gelar profesor logika dan metafisika dari Universitas Konigsberg dengan

disertasi “Mengenai Bentuk dan Azas-azas dari Dunia Inderawi dan Budiah”

(De Mundi Sensibilis Atgue Intelligibilis Forma et Principlis).4

Kehidupan Kant sebagai filsuf dapat dibagi menjadi dua periode yakni

zaman Pra-Kritis dan Kritis. Kehidupan Kant sebagai privatdozent dari tahun

1755-1770 di atas dikenal dengan zaman Pra-Kritis. Pada zaman Pra-Kritis

Kant menganut pendirian rasionalistisnya Wolff dan kawan-kawannya.

Kemudian setelah terpengaruh empirisnya Hume, berangsur-angsur

meninggalkan Rasionalisme. Kant mengatakan bahwa Hume-lah yang telah

membangunkan diri dari tidur dogmatisnya, yang menyusul ialah zaman

Kritis. Dalam zaman kedua ini Kant mengubah wajah filsafat secara radikal

dengan filsafat Kritisismenya dan ia mempertentangkan Kritisisme dengan

Dogmatisme.5

Kant membujang seumur hidupnya, mungkin ia berpikir seperti Nietsche yang berpandangan bahwa kawin akan merintangi pencapaian kebenaran, atau Telleyrand yang berpendapat bahwa orang yang kawin akan melakukan apa saja demi uang. Pada umur 22 tahun Kant telah menyatakan “saya sudah menetapkan jalan yang pasti, saya ingin berlajar, tidak satupun yang dapat menghalangi saya dalam mencapai tujuan itu”. Menurut salah seorang penulis biografi, kehidupan Kant berlangsung menurut aturan yang tegas, bangun, minum kopi, menulis, memberi kuliah, makan, jalan-jalan, masing-masing mempunyai waktunya sendiri. Lalu Kant muncul dari pintu

4 Ibid., hlm. 26 5 K. Berterns, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta : Kanisius, 1995), hlm. 59

Page 3: BAB III IMMANUEL KANT DAN MUHAMMAD ABED AL-JABIRI A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1...2 M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghozali dan Kant – Filsafat

rumahnya, berjalan menuju jalan kecil di bawah pepohonan yang rindang yang sering disebut Tempat Jalan-jalan Sang Filosof.6

Kemudian pada tahun 1796 M, dia berhenti memberi kuliah dengan alasan usia tua, pada tahun 1798 M kesehatannya mulai menurun. Akhirnya pada tanggal 12 Februari 1804 Kant meninggal dunia pada usia 80 tahun dalam keadaan pikun. Banyak pelayat berdatangan dari segenap penjuru Konigsberg, dan seluruh Jerman. Jenazahnya dikuburkan di perkuburan kota. Kubur itu kemudian rusak dan diperbaiki pada tahun 1881, pada tahun 1924 -peringatan 200 tahun kelahiran Kant- sisa-sisa tulang-belulangnya dipindahkan ke serambi katedral di pusat kota Konigsberg. Ketika perang dunia kedua berkecamuk hebat, serambi katedral porak poranda akibat perang melawan Jerman. Tahun 1950, beberapa orang tidak dikenal membongkar peti batunya dan membawa kabur tulang-belulangnya. Yang masih tinggal hingga sekarang adalah sebuah nisan dari perunggu yang melekat pada dinding serambi, dan memuat tulisan “langit berbintang di atas saya, hukum moral di dalam saya” (coelum stellatum supreme, lex moralis intra me). Dua hal yang dikagumi Kant selama hidupnya di dunia ini, bila ia merenungkan misteri alam semesta (fisika) dan misteri pribadi sang manusia (etika).7

Kemudian dalam hal karya-karyanya, Immanuel Kant sangat berjasa

dalam perkembangan bidang ilmu pengetahuan. Karya-karyanya penuh

dengan berbagai dilema dan paradoks yang sangat abstrak, yang mula-mula

terkesan jauh dari masalah-masalah manusia sehari-hari. Karya-karya itu

ditulis dalam gaya yang sangat akademis, yang akan sangat mengejutkan

siapapun yang membaca karya itu.8 Karya-karya yang monumental dan

sangat berharga telah tercipta dari buah pemikirannya. Karya-karyanya

memberi suatu perubahan dan bentuk baru dalam cara berfikir yang

dituangkan dalam bentuk filsafat kritis (Kritisisme).

Immanuel Kant sebagai seorang filsuf besar yang pernah tampil dalam

pentas pemikiran filosofis zaman Aufklarung Jerman menjelang akhir abad ke-

6 Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Bandung :

PT. Remaja Rosdakarya, 2003), hlm. 158-159 7 S.P. Lili Tjacjadi, op.cit., hlm. 28 8 Henry D. Aiken, Abad Ideologi, terj. The Age of Ideology, penj. Sigit Djatmiko,

(Yogyakarta : Yayasan Bintang Budaya, 2002), hlm. 20-21

Page 4: BAB III IMMANUEL KANT DAN MUHAMMAD ABED AL-JABIRI A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1...2 M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghozali dan Kant – Filsafat

18, tentu saja terpengaruh dengan suasana zamannya. Pengaruh itu khususnya

tampak dalam epistemologi, teologi dan etikanya :

Beberapa karya Kant yang telah menegakkan popularitasnya antara

lain :

1. Kritik der Reiner Vernunf/Critique of Pure Reason, 1781 M

(Kritik Atas Rasio Murni)

2. Prolegomena zu Einer Jeden Kunftigen Metaphysik/Prolegomena

to Any Future Metaphisics, 1783 (Pengantar Metafisika Masa

Depan)

3. Idea for Universal History, 1784 M

4. Grundlegung zur Metaphysik der Sitten/Groundwork of The

Metaphysic of Morals, 1785 (Pendasaran Metafisika Kesusilaan)

5. Metaphysical Faundations of Normal Science, 1786 M

(Pendasaran Metafisika Pengetahuan Alam)

6. Kritik der Praktischen Vernunft/Critique of Practical Reason,

1787 M (Kritik Atas Rasio Praktis)

7. Kritik der Urtheilskraft/Critique of Judgement, 1790 M (Kritik Atas Daya Pertimbangan)

8. Religion Innerhalb der Grenzen der Blossen Vernunft/Religion Within the Limits of Reason Alone, 1793 M (Agama di Dalam Batas-batas Budi Melulu)

9. Zum Ewigkn Frieden/Perpetual Peace, 1795 M (Menuju Perdamaian Abadi)

10. Metaphisik der Sitten, 1797 M (Metafisika Kesusilaan).9 Dalam karya ini terbagi dalam 2 bagian yakni Doctrine of Law dan Doctrine of Virtue10

11. Antropologie in Pragmatischer Hinsicht/Antropology from a

Pragmatic Point of View, 1798 M (Antropologi dalam Sudut

Pandang Pragmatis)

9 M. Amin Abdullah, op.cit., hlm. 34 10 Immanuel Kant, The Doctrine of Virtue-Part II of The Metaphisic of Morals, terj.

Mary J. Gregor, (Philadelphia : University of Pennsylvania Press, 1964), hlm. x

Page 5: BAB III IMMANUEL KANT DAN MUHAMMAD ABED AL-JABIRI A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1...2 M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghozali dan Kant – Filsafat

12. Pada tahun-tahun terakhir menjelang wafatnya, Kant masih

sempat membuat berbagai catatan mengenai sistem filsafatnya.

Semua itu kemudian dibukukan oleh Erich Adickes dengan judul

Kants Opus Postumum (Karya Anumerta Kant) pada tahun

1920.11

Di antara karya-karya Kant tersebut, tiga karya terbesar sehingga

filsafatnya disebut dengan Kritisisme antara lain Critique of Pure Reason

(1781), Critique of Practical Reason (1787 M) dan Critique of Judgement

(1790).

B. Latar Belakang Pemikiran Filosofis Immanuel Kant

Dalam sejarah filsafat, pemikiran tajam seorang filsuf kerap kali

muncul sebagai akibat atau reaksi atas suasana pemikiran filosofis zamannya.

Beberapa unsur pokok yang mempengaruhi dan melatarbelakangi pemikiran

filosofis Immanuel Kant antara lain :

1. Kant dan Aufklarung

Di abad ke-18, Eropa Barat telah mengalami zaman baru

yakni “Zaman Pencerahan”.12 Menurut Kant, “pencerahan”

dimaksudkan bahwa orang keluar dari keadaan tidak akil baliq

(unmundigkeit), yang dengannya ia sendiri bersalah. Kesalahan itu

terletak dalam keengganan/ ketidakmauan manusia untuk

memanfaatkan rasionya, orang lebih suka berpaut pada otoritas di

luar dirinya (wahyu Ilahi, nasihat orang terkenal, ajaran gereja atau

11 S.P. Lili Tjacjadi, op.cit., hlm. 29 12 “Zaman Pencerahan”, bahasa Jermannya Aufklarung sedangkan bahasa Inggrisnya

Enlightenment. Menurut Kant zaman pencerahan merupakan kebangkitan manusia dari ketidak matangan dirinya. Ketidak matangan yakni ketidakmampuan untuk menggunakan pemahaman dirinya tanpa petunjuk orang lain. Pemahaman tanpa petunjuk orang lain adalah pemahaman yang dipedomani oleh akal budi. Lihat : Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, Dialektika Pencerahan, (Yogyakarta : IRCiSoD, 2002), hlm. 139

Page 6: BAB III IMMANUEL KANT DAN MUHAMMAD ABED AL-JABIRI A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1...2 M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghozali dan Kant – Filsafat

negara). Pencerahan bersemboyan : sapere aude, yang berarti :

beranilah berpikir sendiri.13 Dengan pencerahan maka telah

membuka cakrawala pemikiran Eropa dari dominasi “kungkungan”

gereja (agama) dan pemikiran yang dogmatisme.14 Kepercayaan manusia akan akal budinya dalam abad ke-18

sangat dimajukan dengan pesatnya perkembangan ilmu

pengetahuan saat itu. Orang yang pertama kali memberi dasar pada

fisika klasik dengan karyanya “Ilmu Alam Berdasarkan Prinsip-

prinsip Matematisnya”, 1687). Sejak saat itu ilmu pengetahuan

melaju sangat cepat dan hampir setiap tahun ditemukan penemuan

baru.

2. Leibniz dan Hume

Keduanya merupakan wakil dari dua aliran pemikiran

filosofis yang kuat yang melanda Eropa pada masa pencerahan dan

sangat berpengaruh terhadap epistemologi Kant. Leibniz tampil

sebagai tokoh dari aliran Rasionalisme sedangkan Hume sebagai

wakil dari aliran Empirisme.

Secara umum Eropa pada masa pencerahan diwarnai oleh

dominasi kedua aliran tersebut. Walaupun pemikiran filsafat

Immanuel Kant terinspirasi oleh pertentangan antara kedua aliran

tersebut, tetapi Kant tidak begitu saja mengambil alih dan

mensintesakan kedua aliran tersebut menjadi satu sistem dengan

begitu saja. Sebab menurut Kant mengikuti salah satu dari

keduanya tidak akan memecahkan masalah. Dua-duanya dianggap

keliru. Kekeliruan Rasionalisme karena tidak memperhatikan

pengalaman dan lebih mementingkan rasio, pengertian dan aspek-

13 Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, (Bandung : Yayasan Plara, 1997),

hlm. 76 14 Dogmatisme adalah filsafat yang mendasarkan pandangannya pada pengertian-

pengertian yang telah ada tentang Allah atau substansi atau monade tanpa menghiraukan apakah rasio telah memiliki pemikiran tentang hakikat sendiri, luas dan batas kemampuannya. Lihat : Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta : Kanisius, 1980), hlm. 64

Page 7: BAB III IMMANUEL KANT DAN MUHAMMAD ABED AL-JABIRI A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1...2 M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghozali dan Kant – Filsafat

aspek statis. Sedangkan Empirisme lebih mementingkan

pengalaman dan aspek-aspek dinamis, tapi tidak memiliki konsep

untuk menggambarkan pengalaman.15

Filsafat Immanuel Kant berusaha untuk mensintesis kedua

aliran tersebut. Di satu sisi Kant mempertahankan objektifitas,

universalitas dan keniscayaan pengertian. Di sisi lain Kant

menerima bahwa pengertian bertitik dari fenomena dan tidak dapat

melebihi batas-batasnya. Pengetahuan dicapai melalui suatu

perpaduan konsep dengan pengalaman.16 Dengan kata lain,

revolusi filsafat Kant, mengembangkan pola pikir kritis, dengan

mencoba memikirkan unsur-unsur mana dalam pemikiran manusia

yang berasal dari pengalaman dan unsur-unsur mana yang terdapat

dalam akal manusia. Pemikiran kritis Kant berusaha untuk

mengkritisi aliran Rasionalisme dan Empirisme yang dalam

perkembangan selanjutnya pemikiran Kant dikenal dengan

“Kritisisme”.17

Gerakan pencerahan mulai berkembang di Inggris dengan

nama Enlightenment dalam suasana politik yang bebas, kemudian

dari Inggris menyeberang ke Eropa daratan. Dari Perancis gerakan

berjalan sangat radikal yang secara tidak langsung mempersiapkan

jalan bagi meletusnya revolusi Perancis dengan ditandai

penyerbuan penjara Bastille tahun 1789 kelak. Kemudian di

Jerman, gerakan berjalan dengan lebih tenang, kurang

menampakkan pertentangan antara individu dengan gereja atau

negara.18 Yang menjadi perhatian utama di Jerman adalah masalah

etika. Orang bercita-cita untuk merubah ajaran kesusilaan yang

15 Abdul Kholiq, “Pendekatan Penghayatan dalam Pendidikan Islam (Telaah Aksiologi

Model Etika Immanuel Kant)” dalam buku Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang bekerja sama dengan Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 144

16 Joko Siswanto, Sistem-sistem Metafisika Barat : Dari Aristoteles Sampai Derrida, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 61

17 K. Berterns, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta : Kanisius, 1980), hlm. 64 18 S.P. Lili Tjacjadi, op.cit., hlm. 30

Page 8: BAB III IMMANUEL KANT DAN MUHAMMAD ABED AL-JABIRI A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1...2 M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghozali dan Kant – Filsafat

berdasarkan kebaikan umum, yang dengan jelas menampakkan

perhatian kepada perasaan.19 Dalam suasana masa pencerahan

Jerman, terdapat sebuah gerakan keagamaan dalam Lutheranisme

Jerman abad ke-18 dengan nama Pietisme.20

Kant yang hidup pada puncak perkembangan pencerahan

Jerman, tentu saja terpengaruh oleh suasana zamannya khususnya

tampak dalam epistemologi, teologi dan etikanya. Sama seperti

Newton yang berusaha mencari prinsip-prinsip dalam alam

anorganik, Kant mencari prinsip-prinsip yang ada dalam tingkah

laku dan kecenderungan manusia. Sedangkan Pietisme

menampakkan pengaruhnya yang ganda dalam diri Kant. Di satu

pihak Kant tidak suka beribadah bersama di gereja dan

menganggap doa tidak perlu, sebab Tuhan telah mengetahui

kebutuhan dan isi hati manusia, bahkan doa bisa mendatangkan

penghinaan pada diri sendiri. Di lain pihak, keyakinan kaum Pietis

bahwa tingkah laku shaleh lebih penting daripada ajaran teologis.

Hal itu, tempak dalam penghayatan hidup Kant sehari-hari,

keyakinan yang tampak juga dalam pandangan Kant bahwa adanya

Allah, kehendak bebas dan kebakaan jiwa tidak bisa dibuktikan

secara teoritis, melainkan perlu diterima sebagai postulat dari budi

praktis, yakni sebagai idea yang menyangkut kewajiban manusia

mentaati hukum moral.21

C. Pokok Pemikiran Immanuel Kant tentang Epistemologi

Pada uraian di atas sudah tampak bahwa epistemologi ala Leibniz

bertentangan dengan epistemologi Hume. Leibniz berpendapat bahwa sumber

pengetahuan manusia adalah rasionya saja, bukan pengalaman. Sedangkan

19 Abdul Kholiq, op.cit., hlm. 143 20 Pietisme dipelopori oleh Spencer (1635-1705) dan Francke (1663-1727), sebagai reaksi

atas teologi akademik yang rasional dan gereja institusional yang kaku. Menurut ajaran Pietisme, gereja yang sejati tidak berada di dalam organisasi manapun atau dalam ajaran 3 teologi, melainkan di dalam hati orang yang percaya dan salah. Lihat : SP. Lili Tjacjadi, op.cit., hlm. 31

21 Ibid., lihat juga K. Berterns (1986), hlm. 63

Page 9: BAB III IMMANUEL KANT DAN MUHAMMAD ABED AL-JABIRI A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1...2 M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghozali dan Kant – Filsafat

Hume berpendapat bahwa pengalaman adalah sumber pengetahuan.22 Menurut

Hume, segala hal yang diketahui dari pengalaman adalah terdapatnya sesuatu

yang mengikuti hal lainnya. Manusia tidak dapat memasuki keadaan yang ada

di luar jangkauan pengalaman manusia dan mengungkapkan hal itu. Manusia

sama sekali tidak pernah benar-benar mengalami sesuatu yang menyebabkan

hal lainnya, yang ada hanyalah sesuatu yang mengikuti hal lainnya. Hume

meragukan segala sesuatu yang tidak bisa dikonfirmasikan olehnya dengan

pengalamannya. Skeptisisme yang ekstrim ini menghancurkan segala macam

hal yang selama berabad-abad dipercayai oleh umat manusia tanpa sekalipun

pernah dialami secara aktual misalnya Tuhan.23

Menurut Kant, terlepas dari skeptisisme Hume yang luar biasa itu,

masih ada kemungkinan untuk membangun suatu metafisika. Metafisika

tersebut akan menjadi basis bagi suatu bentuk pengetahuan yang diperlukan

secara universal maupun logis, suatu metafisika yang kebal terhadap serangan

skeptisisme Hume. Metafisika Immanuel Kant merupakan sebuah upaya untuk

membentuk semacam ilmu pengetahuan utama yang bisa memberikan jaminan

terhadap kebenaran pengetahuan. Immanuel Kant mencanangkan apa yang

disebutnya sebagai “filsafat kritis”. Dalam hal ini dibahas secara mendalam

suatu analisis tentang epistemologi, suatu studi menyangkut dasar yang

menjadi tempat berdirinya pengetahuan manusia.24

Kritisisme Kant dapat dianggap sebagai suatu usaha raksasa untuk

mendamaikan Rasionalisme dengan Empirisme. Rasionalisme mementingkan

unsur-unsur a priori dalam pengenalan, atau unsur-unsur yang terlepas dari

segala pengalaman (seperti “idea-idea bawaan” ala Descartes), sedangkan

Empirisme menekankan unsur-unsur a posteriori, atau unsur-unsur yang

berasal dari pengalaman (misalnya Locke yang menganggap rasio as a white

paper). Menurut Kant, baik Rasionalisme maupun Empirisme kedua-duanya

berat sebelah. Kendati Kant mengagumi pemikiran Hume, sebagai filsuf yang

22 S.P. Lili Tjacjadi, op.cit., hlm. 35 23 Paul Strathern, 90 Menit Bersama Nietzsche, terj. Nietzsche in 90 Minutes, penj. Frans

Kowa, (Jakarta : Erlangga, 2001), hlm. 55-56 24 S.P. Lili Tjacjadi, loc.cit.

Page 10: BAB III IMMANUEL KANT DAN MUHAMMAD ABED AL-JABIRI A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1...2 M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghozali dan Kant – Filsafat

telah membangunkan Kant dari “tidur dogmatic”-nya, namun ia tidak bisa

menerima skeptisisme Hume, yakni pandangan Hume bahwa dalam ilmu

pengetahuan tidak bisa diperoleh kepastian, hanya kementakan. Sehingga

Kant berusaha menjelaskan bahwa pengenalan manusia merupakan paduan

atau sintesis antara unsur-unsur a priori dengan unsur-unsur a posteriori.25

Pada waktu Kant hidup sudah menjadi jelas bahwa hukum-hukum

ilmu pengetahuan alam berlaku selalu dan di mana-mana (contoh : pada suhu

seratus derajat celcius air mendidih, atau benda yang jatuh pasti ke bawah

berkat Newton). Syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi agar ilmu

pengetahuan alam bisa menghasilkan pengetahuan yang mutlak perlu dan

pasti? Maka Kant menyelidiki unsur-unsur mana yang terdapat di dalam

proses pengetahuan manusia. Dan dilakukannya dalam bukunya yang terkenal,

yakni Kritik atas Rasio Murni.26

Pertanyaan Immanuel Kant yang mendasar adalah “Bagaimanakah

pernyataan-pernyataan a priori sintesis itu menjadi mungkin? Kemudian ia

menerapkan pertanyaan tersebut dalam matematika, fisika dan metafisika.

Immanuel Kant tidak bermaksud menciptakan sistem filosofis tentang

ada tetapi ia ingin mencari syarat-syarat yang kiranya memungkinkan hal

serupa itu. Ia mencurigai metafisika pada waktu itu tapi memberi kepercayaan

penuh kepada fisika dan matematika. Melalui analisa yang teliti ia

menemukan syarat-syarat yang membuat justru kedua ilmu ini menjadi ilmu

yang sejati. Syarat-syaratnya ialah bahwa bahan dari dunia luar diatur oleh

indra dalam waktu serta ruang dan hasilnya mencapai kesatuan lebih tinggi

lagi berkat kategori-kategori akal budi.27

Untuk mencapai pengetahuan yang bersifat sintesis a priori, menurut

Kant ada hirarki dalam proses pengetahuan manusia antara lain sebagai

berikut :

1. Tingkat pencerapan inderawi (tingkat pertama dan terendah)

25 K. Berterns, “Ringkasan Sejarah Filsafat”, op.cit., hlm. 60 26 S.P. Lili Tjacjadi, op.cit., hlm. 43 27 K. Berterns, dkk., Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia, (Jakarta : PT. Gramedia, 1991),

hlm. 89

Page 11: BAB III IMMANUEL KANT DAN MUHAMMAD ABED AL-JABIRI A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1...2 M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghozali dan Kant – Filsafat

Pengetahuan dimulai dengan pengamatan tapi tidak seperti

dikatakan kaum empiris berasal dari pengamatan. Pengetahuan

menurut Kant, merupakan sintesis dari unsur-unsur yang ada

sebelum pengalaman (unsur-unsur a priori) dengan unsur-unsur

yang ada setelah pengalaman (unsur-unsur a posteriori). Unsur-

unsur a priori memainkan peranan bentuk dalam pengenalan

sedangkan a posteriori memainkan peranan materi. Adapun unsur

a priori, kata Immanuel Kant sudah terdapat pada taraf pencerapan

inderawi. Di sini terdapat dua bentuk a priori, yakni ruang dan

waktu.28 Pencerapan panca indra oleh benda-benda disebut

sensation, sensasi kata Kant, hanyalah kesadaran akan suatu

stimulus manusia yang memiliki rasa pada lidah, bau pada lubang

hidung, suara pada telinga, sinar cahaya pada retina tetapi semua

itu merupakan awal pengalaman yang (masih) kasar, ia belum

merupakan ilmu pengetahuan tetapi jika sensasi-sensasi ini

mengelompok sendiri barulah disebut sebagai sebuah obyek dalam

ruang dan waktu.29

Ruang dan waktu merupakan bentuk dari pengamatan,

dengan kata lain ruang dan waktu merupakan syarat yang harus

dipenuhi supaya pengamatan menjadi mungkin.30 Adapun yang

diamati bukan bendanya sendiri, bukan benda-benda dalam dirinya

sendiri (das ding an sich), melainkan salinan dan pembentukan

benda dalam daya-daya inderawi lahiriah dan batiniah yang disebut

penampakan, gejala-gejalanya (fenomena).31 Hasil pencerapan

inderawi yang dikaitkan dengan bentuk “ruang” dan “waktu”

merupakan fenomen konkret. Namun pengetahuan yang diperoleh

28 S.P. Lili Tjacjadi, op.cit., hlm. 36 29 Moh. Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam, (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1991),

hlm. 9 30 M.A.W. Brouwer dan M. Puspa Heryadi, Sejarah Filsafat Barat Modern dan Sezaman,

(Bandung : Alumni, 1986), hlm. 70 31 Harun Hadiwijono, op.cit., hlm. 66

Page 12: BAB III IMMANUEL KANT DAN MUHAMMAD ABED AL-JABIRI A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1...2 M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghozali dan Kant – Filsafat

selalu berubah-ubah tergantung pada subjek yang mengalami dan

situasi yang melingkupinya.32

Ruang bukanlah merupakan ruang kosong di mana benda-

benda diletakkan, ruang bukan merupakan ruang dalam dirinya

(ruang an sich). Dan waktu bukan merupakan suatu arus tetap di

mana penginderaan-penginderaan bisa ditempatkan. Kedua-duanya

merupakan bentuk a priori sensibilitas. Atau dengan kata lain,

kedua-duanya berakar dalam struktur subjek sendiri. Pendirian

tentang pengenalan inderawi ini mempunyai implikasi yang lebih

penting. Memang ada suatu realitas, terlepas dari subjek. Kant

berkata : memang ada das ding an sich (benda dalam dirinya),

tetapi das ding an sich selalu tinggal x yang tidak dikenal.

Manusia hanya mengenal gejala-gejala yang selalu merupakan

sintesa antara hal-hal yang datang dari luar dengan bentuk ruang

dan waktu.33

Untuk membuktikan bahwa ruang dan waktu merupakan

bentuk a priori, Kant memiliki 2 kelompok argumen, yang pertama

metafisis, kedua epistemologi atau ia menyebutnya transendental.

Argumen pertama diambil langsung dari sifat ruang dan waktu,

sedangkan argumen kedua dari posibilitas matematika murni.

Empat argumen metafisis mengenai ruang antara lain :

1) Ruang bukanlah konsep empirik, yang diabstraksikan dari

pengalaman luar, karena ruang dimisalkan keberadaannya

dengan merujuk pada sesuatu yang eksternal dan

pengalaman eksternal hanya dimungkinkan melalui

kehadiran ruang

2) Ruang merupakan kehidupan a priori mutlak, yang

mendasari semua persepsi eksternal karena manusia tidak

dapat membayangkan tentang ketiadaan ruang, kendati

32 Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 34 33 Juhaya S. Praja, op.cit., hlm. 79

Page 13: BAB III IMMANUEL KANT DAN MUHAMMAD ABED AL-JABIRI A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1...2 M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghozali dan Kant – Filsafat

manusia dapat membayangkan bahwa dalam ruang itu tidak

ada apapun

3) Ruang tidaklah diskursif dan bukan konsep umum

mengenai hubungan benda secara umum, karena yang ada

hanyalah satu ruang, sedangkan yang biasa disebut

“ruangan” hanyalah bagian-bagiannya, bukan keutuhannya

4) Ruang tersaji sebagai ukuran besar yang tidak terhingga,

yang melingkupi seluruh bagian ruang, hubungan ini

berbeda dengan hubungan antara konsep dengan contohnya

dan karena itu ruang bukanlah konsep melainkan “intuisi”

(dalam bahasa Jermannya “An Scauung” yang secara

harfiah berarti memandang.34

Argumen transendental (epistemologis),35 mengenai ruang

berasal dari geometri. Kant berpendapat bahwa geometri dikenal a

priori, kendati bersifat sintesis yakni tidak bisa ditarik dari logika

semata. Bukti geometri menurutnya, bergantung pada angka.

Contoh, jika dua garis lurus berpotongan pada sudut kanan, maka

hanya satu garis lurus pada sudut kanan menuju keduanya, yang

bisa ditarik melalui titik perpotongannya. Pengetahuan ini

menurutnya, tidak didapat dari pengalaman. Ini menjelasan

mengapa geometri, meski sintesis bersifat a priori dan apodeiktik

(dapat dibuktikan).36

Argumen-argumen tentang waktu pada dasarnya sama,

kecuali bahwa aritmetika menggantikan geometri dengan

pernyataan bahwa perhitungan membutuhkan waktu.37

34 Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik

dari Zaman Kuno hingga Sekarang, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 930 35 Transendental menurut Kant adalah semua pengetahuan yang tidak meninjau benda-

benda melainkan mempelajari hal mengenal a priori dari benda-benda itu. (M.A.W. Brouwer dan M. Puspa Heryadi, op.cit., hlm. 69).

36 Bertrand Russel, op.cit., hlm. 931 37 Ibid.

Page 14: BAB III IMMANUEL KANT DAN MUHAMMAD ABED AL-JABIRI A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1...2 M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghozali dan Kant – Filsafat

Pengertian ruang atau keluasan berbeda dengan pengertian

ruang yang diberikan oleh Newton. Bagi Newton ruang ada di luar

manusia, tempat benda-benda ditempatkan. Bagi Kant, ruang atau

keluasan adalah sebuah “bentuk formal” penginderaan. Di dalam

penangkapan inderawi kesan-kesan atau cerapan-cerapan

pengamatan diatur dalam 2 dimensi atau 3 dimensi dalam ruang.

Bentuk pengamatan di dalam diri manusia yang disebut ruang atau

keluasan itulah yang memungkinkan adanya penginderaan sesuatu

dari manusia. Demikian juga waktu merupakan “bentuk formal”

penginderaan. Bentuk ruang mengatur atau membentuk kesan-

kesan atau cerapan-cerapan inderawi yang lahiriah, sedangkan

bentuk waktu mengatur dan membentuk kesan-kesan atau cerapan-

cerapan inderawi batiniah. Kedua bentuk kesan ini pada akhirnya

disintesakan oleh bentuk a priori waktu. Kedua pengertian ruang

dan waktu penginderaan yang bersifat a posteriori dan

mewujudkan bentuk a priori. Dilihat dari segi ini, yang termasuk

keadaan batiniah manusia adalah segala sasaran pengamatan.

Benda-bendanya tidak berada dalam ruang dan waktu. Isi

pengetahuan manusia berasal dari benda-bendanya sendiri akan

tetapi bentuk pengetahuan itu diberikan oleh pengenalan.

Dengan penginderaan manusia mengamati sesuatu dalam

ruang dan waktu sebagai bentuk-bentuk asasi pengamatan.

Sehingga dalam pengenalan inderawi ada sintesa antara unsur-

unsur a priori dan unsur-unsur a posteriori.38

2. Pada tingkal akal budi (verstand)39

Bersamaan dengan pengamatan inderawi, bekerjalah akal

budi (verstand) secara spontan. Tugas akal budi adalah menyusun

dan menghubungkan data-data inderawi sehingga menghasilkan

38 Harun Hadiwijono, op.cit., hlm. 67 39 Istilah Verstand lebih tepat diterjemahkan dengan “rasio”, “akal”, “akal budi” yakni

sebagai pemikiran logis dan diskursif manusia berhubungan dengan empiris. Lihat : S.P. Lili Tjacjadi, op.cit., hlm. 43

Page 15: BAB III IMMANUEL KANT DAN MUHAMMAD ABED AL-JABIRI A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1...2 M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghozali dan Kant – Filsafat

putusan-putusan.40 Pengenalan akal budi juga merupakan sintesa

antara bentuk dengan materi. Materi adalah data-data inderawi dan

bentuk adalah a priori, yang terdapat pada akal budi yang disebut

dengan istilah “kategori”.41 Pengetahuan akal budi, menurut Kant

baru diperoleh ketika terjadi sintesis antara data-data inderawi

dengan bentuk-bentuk a priori (kategori), yaitu ide-ide bawaan

dalam istilah Kant “konsep-konsep pokok” (stammbegriffe) yang

mempunyai fungsi epistemologis dalam diri manusia.42 Yang

dimaksud dengan kategori adalah bentuk-bentuk didalamnya “aku”

transendental berpikir. “Aku” transendental adalah “aku” sejauh ia

menjadi syarat bagi kesatuan pengetahuan, tetapi yang sendiri tidak

bersyarat. Setiap perbuatan berpikir, yaitu membuat putusan, tentu

disertai gagasan “aku”, sehingga muncullah gagasan “aku

berpikir”, yang adalah suatu kesatuan kesadaran, yang secara

fundamental menyatukan segala kategori.43

Kant memberi nama konsep-konsep pemahaman murni

(pure concept of the understanding) dan kategori-kategori

(categories), untuk prinsip-prinsip formal yang digunakan untuk

menafsirkan kesan-kesan inderawi. Tanpa prinsip-prinsip ini hanya

akan mendatangkan kebingungan sia-sia. Kant memilih istilah

“kategori-kategori” dikarenakan Aristoteles telah menggunakan

kata ini untuk bentuk-bentuk sesuatu yang paling umum. Dia

menyebut konsep-konsep ini murni dikarenakan tidak seperti

konsep-konsep seperti rumah, konsep-konsep itu tidak dibentuk

dari apa yang teramati dalam pengalaman dan dia menyebutkan

bahwa konsep-konsep itu adalah pemahaman. Dikarenakan yang

membawa keteraturan (order) ke dalam kesan-kesan inderawi

adalah intelek, dengan memikirkan kesan-kesan inderawi itu dalam

40 Ibid. 41 Juhaya S. Praja, loc.cit. 42 S.P. Lili Tjacjadi, op.cit., hlm. 37 43 Harun Hadiwijono, op.cit., hlm. 68-69

Page 16: BAB III IMMANUEL KANT DAN MUHAMMAD ABED AL-JABIRI A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1...2 M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghozali dan Kant – Filsafat

kaitannya dengan prinsip-prinsip ini.44 Kategori-kategori tersebut

mewujudkan struktur-struktur yang dipakai untuk menjadi wadah

pengamatan-pengamatan manusia. Kategori-kategori tersebut

menggolong-golongkan atau mengklasifisir pengamatan-

pengamatan seraya menyusunnya hingga menjadi suatu dunia

gagasan yang teratur.45

Dalam bidang akal budi, untuk memperoleh pengetahuan

yang bersifat objektif, universal, maka apa yang telah diperoleh

melalui bidang inderawi harus dituangkan kedalam akal budi. Di

sini terkandung empat bentuk kategori (kuantitas, kualitas, relasi,

dan modalitas) yang masing-masing terdiri atas 3 kategori untuk

dapat menampung fenomen konkret dari bidang inderawi tadi,

sehingga semuanya berjumlah 12 kategori.46

Kedua belas kategori tersebut dapat dilihat seperti pada

tabel di bawah ini.

Table of The Categories (Tabel Kategori-kategori)47

No Of Quantity

(Kuantitas)

Of Quality

(Kualitas)

Of Relation

(Relasi/Hubungan)

Of Modality

(Modalitas)

1.

2.

Unity (kesatuan)

Plurality

(kemajemukan)

1. Reality

(kenyataan)

2. Negation

1. Of inherence

and substence

(substansi dan

aksiden)

2. Of causality

and

dependence

(kausalitas dan

1. Possibility –

impossibility

(kemungkina

n–

kemustahilan

)

2. Existence-

non existence

44 H.B. Acton, Dasar-dasar Filsafat Moral : Elaborasi terhadap Pemikiran Etika

Immanuel Kant, (Surabaya : Pustaka Eureka, 2003), hlm. 11 45 Harun Hadiwijono, loc.cit. 46 Rizal Mustansyir, op.cit., hlm. 34-35 47 Immanuel Kant, The Critique of Pure Reason – Analytic of Conceptions (Section III of

The Pure Conceptions of The Understanding or Categories), Ushuluddin Digital Library, 8 Maret 2005, hlm. 83-84

Page 17: BAB III IMMANUEL KANT DAN MUHAMMAD ABED AL-JABIRI A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1...2 M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghozali dan Kant – Filsafat

3.

Totality

(universal)

3. Limitation

kebergantunga

n, sebab akibat)

3. Of community

(resiprositas

antara agen dan

pasien)

(ada-tiada)

3. Necessity-

contingency

(keniscayaan-

keniscayaan)

Kategori-kategori tersebut disebut dengan konsep-konsep

murni pada sintesis pemahaman yang bersifat a priori, dan

selanjutnya konsep-konsep tersebut disebut dengan pemahaman

murni, karena mereka hanya dapat memberikan berjenis-jenis

intuisi yang dapat dipikirkan. Dengan kata lain, pikiran sebuah

intuisi benda.48 Kedua belas kategori tersebut bersifat subjektif

dalam pengertian yang sama seperti halnya ruang dan waktu.49

Namun, dari kedua belas kategori tersebut hanya ada dua

kategori yang terpenting yakni substansi dan kausalitas. Jika

manusia membentuk putusan bahwa A menyebabkan B, maka

sahnya putusan tidak langsung berasal dari realitas, melainkan

dikarenakan sebab manusia harus memikirkan hubungan antara

data A dan data B berdasarkan kategori (sebab akibat).50

Dalam menerapkan kategori-kategori tersebut, akal budi

bekerja begitu rupa sehingga kategori-kategorinya hanya cocok

dengan data-data yang dikenainya saja. Misal, ada peristiwa bahwa

setelah air dipanaskan dengan api, ternyata air di dalam bejana

mendidih, maka akal budi akan bekerja dengan menerapkan

kausalitas (dan hanya kategori ini saja) terhadap fenomena-

fenomena itu. Dan lantas membuat pernyataan bahwa “air di dalam

bejana itu mendidih karena dipanaskan dengan api”, yakni data-

48 Ibid. 49 Bertrand Russel, op.cit., hlm. 924 50 Juhaya S. Praja, op.cit., hlm. 79

Page 18: BAB III IMMANUEL KANT DAN MUHAMMAD ABED AL-JABIRI A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1...2 M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghozali dan Kant – Filsafat

data inderawi yang berfungsi sebagai materi (api membakar bejana

berisi air, air lalu mendidih), dan unsur a priori yang berfungsi

sebagai bentuk (kategori kausalitas).51

Dengan konsep-konsep umum dan makna-makna universal,

Kant telah meneguhkan tegaknya ilmu-ilmu alam, setelah ia

meneguhkan matematika melalui dua bentuk ruang dan waktu.

Ilmu-ilmu alam sangat memperhatikan pengetahuan tentang sistem

alam dan ini tidak mudah kecuali atas dasar kategori-kategori

pengetahuan.52 Dengan demikian Kant telah menjelaskan sahnya

ilmu pengetahuan alam.

3. Pada tingkat budi atau intelek/vernunft53 (tingkat tertinggi)

Yang dimaksud Kant dengan budi atau intelek (vernunft)

adalah daya pencipta pengertian-pengertian murni atau pengertian-

pengertian yang mutlak perlu, yang tidak diperoleh dari

pengalaman melainkan mengatasi pengalaman-pengalaman itu

sendiri. Salah satu darinya adalah Idea54 mengenai Allah. Berbeda

dengan akal budi yang memuat di dalamnya kategori-kategori,

intelek dengan idea-idea ini tidak ikut menyusun pengetahuan

manusia. Idea-idea ini hanya bersifat “indikasi-indikasi kabur”,

petunjuk-petunjuk buat pemikiran (seperti kata “barat” dan “timur”

merupakan petunjuk-petunjuk, “timur” an sich tidak pernah bisa

diamati. Tugas intelek adalah menarik kesimpulan dari pernyataan-

pernyataan pada tingkat dibawahnya, yakni tingkat akal budi

51 S.P. Lili Tjacjadi, op.cit., hlm. 38 52 Fu’ad Farid Isma’il Abdul Halim Mutawalli, Cepat Menguasai Ilmu Filsafat,

(Yogyakarta : IRCiSoD, 2003), hlm. 99 53 Istilah vernunft lebih tepat diterjemahkan dengan “budi” atau “intelek”. Istilah vernunft

dalam ajaran Kant menunjuk pada daya pembentuk idea-idea yaitu bebas sama sekali dari unsur-unsur empiris, dan mengatasi baik tahap pencerapan inderawi maupun verstand. Intelek merupakan sesuatu yang berada “di belakang” dan mengatasi akal budi dan pencerapan inderawi, merupakan semacam pengertian dan wawasan yang mendalam. Lihat : SP. Lili Tjacjadi, op.cit., hlm. 43

54 Kata “Idea” sengaja dimulai dengan huruf kapital sebagai terjemahan istilah Kant idée yang artinya mengacu pada paham metafisik dan absolut yang sama sekali lepas dari unsur-unsur empiris. Arti kata “idea” ini lantas tidak boleh dipahami sebagai “gagasan” (idea), “pemikiran”, yang dalam bahasa Jerman disebut vorstellung. (Lihat : S.P. Lili Tjacjadi, op.cit., hlm. 38)

Page 19: BAB III IMMANUEL KANT DAN MUHAMMAD ABED AL-JABIRI A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1...2 M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghozali dan Kant – Filsafat

(verstand) dan tingkat pencerapan inderawi (sinneswahrnehmung).

Dengan kata lain, intelek dengan idea-idea dapat membuat

argumentasi-argumentasi.55 Kant memperlihatkan bahwa intelek

membentuk argumen-argumen dengan dipimpin oleh 3 idea

transendental56 yaitu jiwa, dunia, dan Allah.57

1) Idea psikologis (jiwa), merupakan idea yang mendasari

segala gejala batiniah

Di bidang ilmu jiwa terjadi paralogismen

(pengertian dipakai empiris dan metaempiris.58

2) Idea kosmologis (dunia) merupakan idea yang menyatukan

segala gejala lahiriah

Menurut Kant, kosmologi spekulatif berkisar pada

ide tentang dunia sebagai totalitas rentetan sebab-akibat

tentang fenomena. Fakta bahwa kosmologi spekulatif

merupakan sejumlah antinomy memperlihatkan bahwa

manusia tidak dapat menjadikan manfaat ilmiah ide

transendental tentang dunia sebagai totalitas fenomena.59

Antinomi-antinomi dari kosmologi (dibuktikan bahwa alam

mempunyai sebab, manusia makhluk bebas dan tidak

bebas.60

3) Idea teologis (Allah) merupakan idea yang mendasari

segala gejala baik yang batiniah maupun yang lahiriah,

yang terdapat dalam suatu pribadi mutlak. Dalam bidang ini

manusia mendapat pikiran-pikirn yang membuktikan

adanya Tuhan padahal kesadaran itu tidak bisa dibuktikan.

55 Ibid., hlm. 38 56 Disebut transendental karena logika menjadi syarat a priori untuk kemungkinan

pengetahuan. (Lihat : M.A.W. Brouwer dan M. Puspa Heryadi, op.cit., hlm. 72-73) 57 Joko Siswanto, op.cit., hlm. 63 58 M.A.W. Brouwer dan M. Puspa Heryadi, loc.cit. 59 M. Amin Abdullah, op.cit., hlm. 55 60 Harun Hadiwijono, op.cit., hlm. 73

Page 20: BAB III IMMANUEL KANT DAN MUHAMMAD ABED AL-JABIRI A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1...2 M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghozali dan Kant – Filsafat

Dengan adanya ketiga idea tersebut, Kant berharap

dapat mencapai suatu kesatuan dan kesempurnaan yang

dicita-citakan akal budi dalam mengatur dunia fenomenal

(dari phainomenon : “yang kelihatan”, “penampakan”,

bahasa Yunani), dunia inderawi, dunia lahiriyah-kelihatan.

Ketiga idea tersebut mengatur argumentasi-argumentasi

tentang pengalaman manusia. Karena pengalaman hanya

terjadi didalam dunia fenomenal, pada ketiga idea tersebut

berada di dunia noumenal (dari noumenon-noumenon “yang

dipikirkan”, “yang tidak tampak” bahasa Yunani), dunia

gagasan dan dunia batiniah. Ketiga idea tersebut bukanlah

pengertian-pengertian tentang kenyaan inderawi, bukan

“benda pada dirinya sendiri” (das ding an sich). Ketiganya

merupakan postulat/aksioma-aksioma epistemologis yang

berada diluar jangkauan pembuktian teoritis – empiris.61

Dan juga karena kategori-kategori akal budi yang berlaku

untuk pengalaman, dan kategori-kategori itu tidak dapat diterapkan

pada idea-idea tetapi justru itu yang diusahakan oleh metafisika.62

Namun ketiga macam idea tersebut tidak mungkin dapat dicapai

oleh budi manusia. Ketiga idea ini hanya merupakan petunjuk

untuk menciptakan kesatuan pengetahuan.63

Dari sini Kant menarik kesimpulan negatif berbeda dengan

Hume dan kaum positifis abad 19 dan 20, karena argumentasi a

priori tentang Tuhan, kebebasan, dan jiwa pada dasarnya sia-sia.

Metafisika, dalam arti keterangan yang dikemukakakn secara

rasional tentang bagaimana seharusnya dunia itu, harus ditolak.

Hanya ada satu cara untuk menemukan dunia dan cara itu adalah

dengan menginvestigasinya melalui metode-metode eksperimen

61 S.P. Lili Tjacjadi, op.cit., hlm. 39 62 K. Berterns, Ringkasan Sejarah Filsafat, op.cit., hlm. 62 63 Rizal Mustansyir, op.cit., hlm. 35

Page 21: BAB III IMMANUEL KANT DAN MUHAMMAD ABED AL-JABIRI A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1...2 M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghozali dan Kant – Filsafat

ilmu alam, manusia merupakan bagian dari alam. Namun Critique

of Pure Reason tidak sepenuhnya negatif. Kant menyatakan bahwa

dunia determenistik yang diungkapkan ilmu alam adalah dunia

sebagaimana yang nampak bagi orang yang mempersepsi dengan

indra. Manusia bisa menerima kemungkinan-kemungkinan

neumena yang dapat dipahami secara utuh tanpa harus tunduk

kepada ketentuan kausal. Baik Tuhan maupun jiwa yang tak

berwujud tidak bisa diketahui secara ilmiah, tetapi keduanya

merupakan kemungkinan-kemungkinan. Manusia tidak bisa

mempunyai pengetahuan teoritis tentang Tuhan dan jiwa tetapi

mungkin ada akal budi praktis untuk meyakini adanya Tuhan dan

jiwa.64

Kant menganggap metafisika penting juga, karena “idea-

idea rasio” sekurang-kurangnya merupakan pegangan untuk

pemikiran manusia. Dalam bukunya Kritik Atas Rasio Praktis idea-

idea ini muncul lagi dan mendapat kepastian subjektif sebagai

postulat-postulat bagi kesadaran serta kehidupan etis manusia.

Namun dalam hal ini penulis setuju seperti yang dikatakan oleh K.

Berterns dengan menyejajarkan kepastian di sekitar postulat-

postulat itu (kebebasan, imortalitas jiwa, dan adanya Allah) dengan

yang oleh Jeaspers disebut “kepercayaan filosofis” yakni suatu

kepastian yang tidak mungkin diasalkan dari pembuktian-

pembuktian ilmiah serta teoritis.65

D. Pokok Pemikiran Muhammad Abed Al-Jabiri

Dalam sub bab C tersebut, telah diuraikan tentang pokok pemikiran

epistemologi Immanuel Kant sebagai seorang tokoh filsuf Barat yang sangat

terkenal dengan filsafat kritisnya pada abad modern.

64 H.B. Actorn, op.cit., hlm. 14 65 K. Berterns, dkk., Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia, op.cit., hlm. 90

Page 22: BAB III IMMANUEL KANT DAN MUHAMMAD ABED AL-JABIRI A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1...2 M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghozali dan Kant – Filsafat

Selanjutnya dalam Islam sendiripun, terdapat tokoh filsuf muslim

kontemporer yang sangat terkenal dengan tipologi epestemik yakni episteme

bayani, irfani, dan burhani, dialah Muhammad Abed Al-Jabiri yang lahir di

kota Feiji (Maroko) 1936.

Sebagaimana Hassan Hanafi,66 diapun dikenal sangat produktif dalam

menghasilkan kritisi-kritisinya dalam bentuk makalah, artikel lepas hingga

buku utuh yang sangat serius. Dia semakin terkenal ketika meluncurkan buku

Takwin Al-Aql Al-Arabi (Formasi Nalar Arab) yang merupakan edisi pertama

dari trilogi Kritik Nalar Arabnya (Naqd Al-Aql Al-‘Arabi). Ia memberikan

perhatian yang sangat dalam kepada diskursus sejarah dan tradisi melalui

metodologi kritis khas post-strukturalisme (post-modernisme) yang sangat

dipengaruhi oleh tradisi dekonstruksi filsafat Perancis.67 Warisan dalam

bidang ilmu-ilmu rasional, metodologi, dan industri dari para pendahulu

merupakan kontribusi peradaban kepada tradisi manusia secara umum.68

Tradisi (turas) Islam menurut Al-Jabiri adalah segala yang secara asasi

berkaitan dengan aspek pemikiran dalam peradaban Islam, mulai dari ajaran

doktrinal, syari’at, bahasa, sastra, seni, teologi, filsafat, dan tasawuf.69 Artinya

tradisi adalah problem historis yang bergejolak diantara satu sama lain, saling

mengisi, saling kritik bahkan saling jegal.

Oleh karena itu, tradisi tidak bisa dikaji dengan pendekatan

“materialisme histories” seperti yang lazim digunakan kaum orientalis, tetapi

harus dikaji dengan metode-metode khusus yakni : 1) Strukturalis, bahwa

66 Hassan Hanafi adalah seorang filsuf hukum Islam, seorang pemikir Islam dan guru

besar pada Fakultas Filsafat Universitas Kairo. Ia memperoleh gelar doctor dari Sortoonne Unniversity, pada tahun 1966. Ia tergolong seorang modernis – liberal seperti Luthfi Al-Sayyid, Toha Husain dan Al-Aqqad. Ia mencetuskan gagasan Kiri Islam yang diterbitkan setelah kemenangan revolusi Islam di Iran tahun 1979. (Katuo Shimogaki, Kiri Islam Antara Modernisme dan Postmodernisme – Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi, (Yogyakarta : LKiS, 2000), hlm. 3

67 Muhammad Abed Al-Jabiri, Takwin Al-Aql Al-Arabi (Formasi Nalar Arab : Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Inter-Relegius), terj. Imam Khoiri, (Yogyakarta : IRCiSoD, 2003), hlm. 591-592

68 Hassan Hanafi dan Muhammad Abed Al-Jabiri, Membunuh Setan Dunia – Meleburkan Timur Barat dalam Cakrawala Kritik dan Dialog, terj. Umar Bukhori, (Yogyakarta : IRCiSoD, 2003), hlm. 112

69 Muhammad Abed Al-Jabiri, Post-Tradisionalisme, terj. A. Baso, (Yogyakarta : LKiS, 2003), hlm. 16

Page 23: BAB III IMMANUEL KANT DAN MUHAMMAD ABED AL-JABIRI A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1...2 M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghozali dan Kant – Filsafat

kajian harus didasarkan teks-teks sebagaimana adanya. 2) Analisis Sejarah,

untuk melihat segenap ruang lingkup budaya, politik dan sosiologisnya. 3)

Kritik Ideologis, untuk mengungkap fungsi ideologis, termasuk fungsi sosial-

politik yang dikandung dalam sebuah teks tersebut dalam satu sistem

pemikiran (episteme) tertentu yang jadi rujukannya.70

Berdasarkan hal itu, Al-Jabiri membuat proyek besar dan ambisius

yang disebut Naqd Al-Aql Al- Arabi (Kritik Nalar Arab).71 Tujuannya untuk

melihat tema-tema atau persoalan-persoalan yang banyak muncul dalam

lingkungan bahasa Arab dalam kapasitasnya sebagai wadah pemikiran yang

menentukan batas-batas pandangan dunia dan cara-cara berpikir orang yang

menggunakannya. Tegasnya, Al-Jabiri ingin mengungkap kecenderungan

epistemologis yang berlaku di kalangan bangsa Arab (Islam) dengan

pendekatan epistemologis. Hasilnya adalah terdapat tiga macam epistemologi

yakni bayani, irfani, dan burhani.72

Pendekatan epistemologis merupakan salah satu bentuk rasionalitas

modern dan cara kerja dari sekian banyak metodologinya. Ketika Al-Jabiri

menggunakan epistemologi dalam melaksanakan kritik terhadap Nalar Arab,

ia telah membuka wilayah kajian yang baru dalam peta pemikiran Arab dan

memunculkan wacana yang digali dari bahasa yang baru serta rasionalitas

yang jauh berbeda dalam memberikan usulan dan solusi. Nalar Arab yang

menjadi pusat perhatian Al-Jabiri sumbernya hanya terbatas di Maroko

(Kordova) hingga Timur (Bukhoro).73

Berdasarkan metode yang digagasnya, Al-Jabiri mulai meneliti tentang

kebudyaan dan pemikiran Islam. Namun, dalam hal ini ia membatasi diri

70 Ibid., hlm. 19-23 71 “Nalar Arab” yang dimaksud Al-Jabiri adalah nalar terbentuk (al-aql al-mukawwan)

yakni sejumlah asas dan kaidah yang dimunculkan kebudayaan Arab untuk mereka yang terkait dengannya sebagai landasan untuk memperoleh pengetahuan atau sebagai sistem epistemik yang tidak bisa mereka elakkan. (Lihat. Muhammad Abed Al-Jabiri, Takwin Al-Aql Al-Arabi (Formasi Nalar Arab : Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Inter-Relegius), op.cit., hlm. 22)

72 A. Khudori Sholeh, Moh. Abed Al-Jabiri – Model Epistemologi Islam, dalam buku Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta : Jendela, 2003), hlm. 231

73 Ali Harb, Kritik Nalar Al-Quran, terj. M. Faisol Fatawi, (Yogyakarta : LKiS, 2003), hlm. 174

Page 24: BAB III IMMANUEL KANT DAN MUHAMMAD ABED AL-JABIRI A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1...2 M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghozali dan Kant – Filsafat

hanya pada Islam-Arab, pada teks-teks yang ditulis dengan bahasa Arab, tidak

mencakup teks-teks Arab seperti teks-teks Persia, meski ditulis cendekiawan

muslim. Selain itu, ia mendominasi kebudayaan Arab dalam babak-babak

tertentu.

Dalam hal ini penulis sengaja akan menguraikan ketiga epistemologi

tersebut, yakni epistemologi bayani, irfani, dan burhani. Meskipun pada

akhirnya penulis hanya memfokuskan pada epistemologi burhani-nya.

1. Epistemologi Bayani

Adalah studi filosofis terhadap sistem bangunan

pengetahuan yang menempatkan teks (wahyu) sebagai kebenaran

mutlak.74 Metode bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang

menekankan otoritas teks (nass), secara langsung atau tidak

langsung dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat

inferensi. Secara langsung artinya memahami teks sebagai

pengetahuan dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran.

Secara tidak langsung maksudnya memahami teks sebagai

pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Dalam

bayani, rasio dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan

kecuali disandarkan pada teks.75

Dengan demikian, sumber pengetahuan bayani adalah teks

(nass) yaitu al-Quran dan hadits dalam ushul fiqh.76

Epistemologi bayani, menaruh perhatian besar dan teliti

pada proses transmisi teks dari generasi ke generasi.77 Benar

tidaknya transmisi teks menentukan benar salahnya ketentuan

hukum yang diambil. Jika transmisi teks bisa

74 Pradana Boy ZTF, Filsafat Islam : Sejarah, Aliran, dan Tokoh, (Malang : UMM Press,

2003), hlm. 45 75 Muhammad Abed Al-Jabiri, Bunyah Al-‘Aql Al-‘Arabi : Dirasah Tahliliyah Naqdiyah

li Nuzum Al-Ma’rifah fi Al-Tsaqafah Al-‘Arabiyah, (Beirut : Al-Markaz As-Saqafah Al-‘Arabi, 1991), hlm. 38

76 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Madar Helmi, (Bandung : Gema Risalah Press, 1996), hlm. 22

77 Muhammad Abed Al-Jabiri, Bunyah Al-‘Aql Al-‘Arabi : Dirasah Tahliliyah Naqdiyah li Nuzum Al-Ma’rifah fi Al-Tsaqafah Al-‘Arabiyah, op.cit., hlm. 116

Page 25: BAB III IMMANUEL KANT DAN MUHAMMAD ABED AL-JABIRI A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1...2 M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghozali dan Kant – Filsafat

dipertanggungjawabkan berarti teks tersebut benar dan bisa

dijadikan dasar hukum. Sebaliknya, jika transmisinya diragukan,

kebenaran teks tidak bisa dipertanggungjawabkan dan tidak bisa

dijadikan landasan hukum, meskipun nass al-Quran sebagai

sumber utama, tetapi ia tidak selalu memberikan ketentuan pasti.

Dari segi penunjukkan hukumnya (dalalah al-hukum), nass

al-Quran dibagi menjadi 2 yakni qat’i dan zanni. Nass yang qat’i

dilalah adalah nass-nass yang menunjukkan adanya makna yang

dapat dipahami dengan pemahaman tertentu atau nass yang tidak

mungkin menerima tafsir dan takwil atau sebuah teks yang tidak

mempunyai arti lain kecuali arti yang satu itu. Nass yang zanni

dalalah adalah nass-nass yang menunjukkan atas makna tapi masih

memungkinkan adanya takwil/diubah dari makna asalnya menjadi

makna yang lain.78

Dalam al-Quran konsep qat’i dan zanni hanya berkaitan

dengan dilalah-nya dan dalam sunnah lebih luas berlaku pada

riwayat dan dilalahnya. Dari segi riwayat berarti bahwa teks hadits

diyakini benar dari nabi/tidak, atau bahwa aspek ini akan

menentukan sah tidaknya proses transmisi teks hadits, yang dari

sana kemudian lahir berbagai macam kualitas hadits, seperti

mutawatir, ahad, sahih, hasan, garib, ma’ruf, maqtu’, dan

seterusnya, dari segi dilalah berarti bahwa makna teks hadits

tersebut telah memberikan makna yang pasti/masih bisa di-takwil.

a. Tentang usul dan furu

Soal usul-furu, menurut Muhammad Abed Al-

Jabiri, usul tidak menunjuk pada dasar-dasar hukum fiqh

seperti al-Quran, sunnah, ijma’, dan qiyas tetapi pada

pengertian umum bahwa ia adalah pangkal (asas) dari

78 Abdul Wahab Khalaf, op.cit., hlm. 62-63

Page 26: BAB III IMMANUEL KANT DAN MUHAMMAD ABED AL-JABIRI A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1...2 M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghozali dan Kant – Filsafat

proses penggalian pengetahuan. Usul adalah ujung rantai

dari hubungan timbal balik dengan furu.

Al-Jabiri melihat 3 macam posisi dan peran usul

dalam hubungannya dengan furu :

1) Usul, sebagai “sumber” pengetahuan yang cara

mendapatkannya dengan istinbath.

2) Usul, sebagai sandaran bagi pengetahuan yang lain

yang cara penggunaannya dengan qiyas baik dengan

qiyas illah seperti yang dipakai ahli fiqh atau qiyas

ad-dalalah seperti yang digunakan kaum teolog.

3) Usul, sebagai pangkal dari proses pembentukan

pengetahuan, yang caranya dengan menggunakan

kaidah-kaidah usul al-fiqh.79

b. Cara memperoleh pengetahuan

Untuk mendapatkan pengetahuan dari teks, metode

bayani menempuh 2 jalan yakni :

1) Berpegang pada redaksi (lafadz) teks, dengan

menggunakan kaidah bahasa Arab seperti nahw dan

sarf sebagai analisis kaidah bahasa Arab

2) Berpegang pada makna teks dengan menggunakan

logika, penalaran/rasio sebagai sarana analisis.80

2. Epistemologi Irfani

Tradisi irfani (dari kata ‘irfann yang berarti gnosis)

mencakup disiplin-disiplin ilmu yang terdiri dari tradisi Persia

Kuno, Hermetisisme dan Neo-Platonisme, sebagai sumber mata air

pemikirannya. Sebutan irfani itu sendiri dipakai untuk

menunjukkan satu proses bernalar yang mendasarkan diri pada

ilham dan kasyf sebagai sumber pengetahuan, dan yang menjadikan

79 A. Khudori Sholeh, op.cit., hlm. 237 80 Ibid.

Page 27: BAB III IMMANUEL KANT DAN MUHAMMAD ABED AL-JABIRI A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1...2 M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghozali dan Kant – Filsafat

tradisi-tradisi pra-Islam sebagai “hakikat”, sebagai kandungan

“esoteric” (bathin) dari yang diungkapkan oleh teks-teks agama

secara lahiri (zhahir).81 Bathin (esoteric) mempunyai status lebih

tinggi dalam hirarki pengetahuan gnostik (qiyas bayani). Menurut

Muhasibi (w. 857 M), Al-Ghazali (w. 1111 M), Ibn ‘Arabi (w.

1240 M), juga para sufi yang lain, teks keagamaan (al-Quran dan

hadits) tidak hanya mengandung apa yang tersurat (zhahir) tetapi

juga yang tersirat (bathin). Zhahir teks adalah bacaannya (tilawah)

sedangkan aspek batinnya adalah takwil-nya. Jika dianalogikan

dengan bayani, konsep zhahir-bathin tidak berbeda dengan lafadz-

makna. Bedanya, dalam epistemologi bayani, seseorang berangkat

dari lafadz menuju makna, sedangkan dalam irfani, seseorang

justru berangkat dari makna menuju lafadz, dari bathin menuju

zhahir, atau dalam bahasa Al-Ghazali, makna sebagai asl,

sedangkan lafadz mengikuti makna (sebagai furu).82

Persoalannya, bagaimana makna atau dimensi bathin yang

diperoleh kasyf tersebut diungkapkan ? Menurut Al-Jabiri, makna

bathin diungkapkan dengan cara :

1) I’tibar, atau qiyas irfani yaitu makna bathin yang ditangkap

dengan kasyf kepada makna zhahir yang ada dalam teks.

Qiyas irfani tidak sama dengan qiyas bayani atau silogisme.

Qiyas irfani berusaha menyesuaikan konsep yang telah ada

atau pengetahuan yang diperoleh lewat kasyf dengan teks,

qiyas al-ghaib ‘ala asy-syahid. Dengan kata lain, seperti

dikatakan Al-Ghozali bahwa zhahir teks dijadikan furu

(cabang) sedangkan konsep atau pengetahuan kasyf sebagai

asl (pokok). Metode analogi tersebut, menurut Al-Jabiri

juga dikenal dalam pemikiran Barat, yakni dalam aliran

filsafat esoteric yang disebut analogi intuitif.

81 Muhammad Abed Al-Jabiri, Post-Tradisionalisme, op.cit., hlm. xliv 82 A. Khudori Sholeh, op.cit., hlm. 245

Page 28: BAB III IMMANUEL KANT DAN MUHAMMAD ABED AL-JABIRI A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1...2 M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghozali dan Kant – Filsafat

2) Syatahat, lebih merupakan ungkapan lisan tentang perasaan

karena limpahan pengetahuan langsung dari sumbernya dan

disertai dengan pengakuan seperti ungkapan “Maha Besar

Aku” dari Abu Yazid Al-Busthami (w. 877). Secara umum,

syatahat sebenarnya diterima di kalangan sufisme dengan

syarat harus di-takwil-kan, yakni ungkapannya harus

terlebih dahulu dikembalikan pada makna zhahir teks.

Artinya, syatahat tidak boleh diungkapkan sedara ‘liar’ dan

berseberangan dengan ketentuan syari’at yang ada. Menurut

Al-Jabiri tidak terletak pada makna umumnya atau

universalitasnya melainkan justru pada makna temporal

atau subjektivitasnya. Sebab, takwil atau syatah tidak lain

adalah pemaknaan atau pemahaman atas realitas yang

ditangkap saat kasyf dan pasti berbeda diantara masing-

masing orang, sesuai dengan kualitas jiwa dan pengalaman

sosial budaya yang menyertainya.83

3. Epistemologi Burhani84

Dalam kitabnya Bunyah Al-‘Aql Al-‘Arabi, dijelaskan

bahwa kata “burhani” secara etimologi berarti dalil sebagai

penjelas sekaligus berfungsi sebagai bukti (hujjah). Secara

sederhana nalar burhani dapat diartikan sebagai suatu aktifitas

berpikir untuk menetapkan kebenaran proposisi melalui metode

deduktif (istintaj) dengan mengaitkan proposisi antara yang satu

83 Ibid. 84 Epistemologi burhani berbeda dengan epistemologi bayani dan irfani yang masih

berkaitan dengan teks suci, burhani sama sekali tidak mendasarkan diri pada teks, juga tidak pada pengalaman. Perbandingan katiga epistemologi tersebut adalah, bayani menghasilkan pengetahuan lewat analogi realitas non-fisik atas realitas fisik atau furu kepada yang asal, irfani menghasilkan pengetahuan lewat proses penyatuan ruhani pada Tuhan dengan penyatuan universal (kulliyat), burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya. (Lihat : Ibid., hlm. 249)

Page 29: BAB III IMMANUEL KANT DAN MUHAMMAD ABED AL-JABIRI A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1...2 M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghozali dan Kant – Filsafat

dengan proposisi yang lain untuk membuktikan kebenaran secara

aksiomatik.85

Secara terminologi, “nalar burhani” adalah paradigma

(kerangka) berpikir dengan menggunakan model metodologi

berpikir secara rasio, logika, dan silogisme pada proposisi-

proposisinya untuk mencapai kebenaran. Sistem epistemologis

demonstrasi (burhani), yang didasarkan pada pembuktian

inferensial, menurut Al-Jabiri berasal dari pemikiran Yunani

(khususnya Aristoteles).86 Bila dilihat secara historis, maka

pertama kali yang membangun prinsip burhani adalah Aristoteles

(384-322 SM) yang terkenal dengan metode silogisme atau

logikanya. Sehingga dengan metode yang diciptakannya itu pada

akhirnya membuat Aristoteles mendapat julukan “Bapak Logika”.

Namun, metode silogisme Aristoteles mengalami masa surut juga,

sebab metode ini hanya mampu meyakinkan kebenaran sesuatu

pernyataan, tetapi tidak menyusun atau menimbulkan kebenaran

baru. Metode ini hanya digunakan untuk membuktikan bahwa

sesuatu itu benar, namun tidak menetapkan bahwa pernyataan itu

benar. Metode ini hanya berlaku untuk penyimpulan deduksi dan

tidak untuk induksi.87

Mengacu pada logikanya Aristoteles, para pemikir Islam

kemudian menyerap dan mengadopsi substansi logika Aristoteles

tersebut. Proses pengadopsian dan transfer science dilakukan

melalui program penerjemahan buku-buku filsafat pada masa Al-

Makmun dan Harun Ar-Rasyid.

Sumber pengetahuan burhani adalah rasio, bukan teks atau

intuisi. Dengan dalil-dalil logika, rasio memberikan penilaian dan

85 Muhammad Abed Al-Jabiri, Bunyah Al-‘Aql Al-‘Arabi : Dirasah Tahliliyah Naqdiyah

li Nuzum Al-Ma’rifah fi Al-Tsaqafah Al-‘Arabiyah, op.cit., hlm. 383 86 Muhammad Abed Al-Jabiri, Kritik Kontemporer Atas Filsafat Arab –Islam, terj. Moch.

Nurichwan, (Yogyakarta : Islamika, 2003), hlm. xxx 87 E. Sumaryono, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta : Kanisius, 1999),

hlm. 17

Page 30: BAB III IMMANUEL KANT DAN MUHAMMAD ABED AL-JABIRI A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1...2 M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghozali dan Kant – Filsafat

keputusan terhadap informasi-informasi yang masuk lewat indra,

yang dikenal dengan istilah tasawwur dan tasdiq. Tasawwur adalah

proses pembentukan konsep berdasarkan data-data dari indra,

sedang tasdiq adalah proses pembuktian terhadap kebenaran

konsep tersebut.88

Selanjutnya, untuk mendapatkan sebuah pengetahuan,

epistemologi burhani menggunakan aturan silogisme. Secara

istilah silogisme adalah suatu bentuk argumen di mana dua

proposisi yang disebut premis, dirujukkan bersama sedemikian

rupa, sehingga sebuah keputusan (konklusi) pasti menyertai.

Namun, karena pengetahuan burhani tidak murni bersumber pada

rasio, tetapi didasarkan atas rasio objek-objek eksternal, maka

terdapat tahapan-tahapan sebelum dilakukan silogisme, yaitu : 1)

tahap pengertian, 2) tahap pernyataan, dan 3) tahap penalaran.

Tahap pengertian adalah proses abstraksi atas objek-objek

eksternal yang masuk ke dalam pikiran, dengan merujuk pada

sepuluh kategori yang diberikan Aristoteles. Tahap pernyataan

adalah proses pembentukan kalimat atau proposisi atas pengertian-

pengertian yang ada. Untuk mendapatkan satu pengertian yang

tidak diragukan, sebuah proposisi harus mempertimbangkan “lima

kriteria” yakni spesies, genus, deferensia, propium (khas) dan

aksidentia. Tahap penalaran adalah proses pengambilan

kesimpulan berdasarkan hubungan diantara premis-premis yang

ada, dan disinilah terjadi silogisme. Menurut Al-Jabiri, dengan

mengikuti Aristoteles, penarikan kesimpulan dengan silogisme

harus memenuhi beberapa syarat : 1) mengetahui latar belakang

dari penyusunan premis, 2) adanya konsistensi logis antara alasan

dan kesimpulan, 3) kesimpulan yang diambil harus bersifat pasti

88 Ibnu Rusyd, Kaitan Filsafat dengan Syari’at, terj. Shadiq Nor, (Jakarta : Pustaka

Firdaus, 1996), hlm. 56

Page 31: BAB III IMMANUEL KANT DAN MUHAMMAD ABED AL-JABIRI A ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1...2 M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghozali dan Kant – Filsafat

dan benar sehingga tidak mungkin menimbulkan kebenaran atau

kepastian lain.89

Oleh karena itu, Al-Farabi sebagai tokoh filsafat dalam

Islam mensyaratkan bahwa premis-premis burhani harus

merupakan premis-premis yang benar, primer dan diperlukan.

Premis yang benar adalah premis yang memberi keyakinan

meyakinkan.90

89 Muhammad Abed Al-Jabiri, Bunyah Al-‘Aql Al-‘Arabi : Dirasah Tahliliyah Naqdiyah

li Nuzum Al-Ma’rifah fi Al-Tsaqafah Al-‘Arabiyah, op.cit., hlm. 433-436 90 Osman Bakar, Hierarki Ilmu, terj. Purwanta, (Bandung : Mizan, 1997), hlm. 106