tonsilitis kronik edit akhir
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Masalah kesehatan dari penyakit pada tonsil termasuk penyakit yang paling banyak
ditemukan pada populasi umum. Keluhan seperti nyeri tenggorokan maupun
infeksi saluran pernapasan bagian atas adalah keluhan terbanyak dari pasien yang datang
berkunjung ke pelayanan kesehatan terutama anak-anak. Lokasi tonsil pada saluran
pernafasan dan pencernaan menyebabkan ia tidak jarang terkena infeksi atau menjadi sarang
(fokal) infeksi. Peradangan tersebut mengakibatkan gangguan dalam proses menelan atau
pernafasan karena membesarnya tonsil. Peradangan pada tonsil disebut tonsillitis dan infeksinya
yang cenderung berulang mengakibatkan sering menjadi kronis.1,3
Tonsilitis Kronis merupakan keradangan kronik pada tonsil yang biasanya merupakan
kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari tonsil. Kelainan ini merupakan
kelainan tersering pada anak di bidang THT. Untuk seluruh kasus, prevalensinya tertinggi setelah
nasofaring akut, yaitu 3,8% dengan insidensi sekitar 6,75% dari jumlah seluruh kunjungan. Pada
tonsilitis kronis, ukuran tonsil dapat membesar sedemikian sehingga disebut tonsilitis kronis
hipertrofi.6
Tonsilitis Kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi dari seluruh penyakit
tenggorok berulang. Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di 7 provinsi (Indonesia) pada
tahun 1994-1996, prevalensi Tonsilitis Kronis 4,6% tertinggi setelah Nasofaringitis Akut (3,8%)
(Suwendo, 2001). Sedangkan penelitian di RSUP Dr. Hasan Sadikin pada periode April 1997
sampai dengan Maret 1998 ditemukan 1024 pasien Tonsilitis kronik atau 6,75% dari seluruh
jumlah kunjungan. Data morbiditas pada anak menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) 1995 pola penyakit anak laki-laki dan perempuan umur 5-14 tahun yang paling sering
terjadi, Tonsilitis Kronis menempati urutan kelima (10,5 persen pada laki-laki, 13,7 persen pada
perempuan).7
Tingginya angka kasus tonsillitis kronis dan bahayanya komplikasi yang dapat terjadi,
maka sepatutnya mendapat perhatian yang berlebih dalam hal penanganan serta pencegahan
kekambuhan.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Tonsil
Tonsil merupakan suatu akumulasi dari limfonoduli permanen yang letaknya di
bawah epitel yang telah terorganisir sebagai suatu organ. Pada tonsil terdapat epitel
permukaan yang ditunjang oleh jaringan ikat retikuler dan kapsul jaringan ikat. 7
Berdasarkan lokasinya, tonsil dibagi menjadi sebagai berikut :
Tonsilla lingualis, terletak pada radix linguae.
Tonsilla palatina (tonsil), terletak pada isthmus faucium antara arcus
glossopalatinus dan arcus glossopharingicus.
Tonsilla pharingica (adenoid), terletak pada dinding dorsal dari nasofaring.
Tonsilla tubaria, terletak pada bagian lateral nasofaring di sekitar ostium tuba
auditiva.
Plaques dari peyer (tonsil perut), terletak pada ileum.
Dari kelima macam tonsil tersebut, Tonsilla lingualis, Tonsilla palatina, Tonsilla
pharingica, dan Tonsilla tubaria membentuk cincin jaringan limfe pada pintu masuk saluran
nafas dan saluran pencernaan. Cincin ini dikenal dengan nama cincin waldeyer. Kumpulan
jaringan ini melindungi anak terhadap infeksi melalui udara dan makanan. Jaringan limfe
pada cincin waldeyer menjadi hipertrofi fisiologis pada masa kanak-kanak, adenoid pada
umur 3 tahun dan tonsil pada umur 5 tahun dan kemudian menjadi atrofi pada masa pubertas. 7
2
Jaringan limfoid pada cincin waldeyer berperan penting pada awal kehidupan, yaitu
sebagai daya pertahanan local yang setiap saat berhubungan dengan agen dari luar (makan,
minum, bernafas) dan sebagai surveilens imun. Fungsi ini didukung secara anatomis dimana
didaerah faring terjadi tikungan jalannya material yang melewatinya disamping itu bentuknya
tidak datar, sehingga terjadi turbulensi khususnya udara pernafasan. Dengan demikian
kesempatan kontak berbagai agen yang ikut dalam proses fisiologis tersebut pada permukaan
penyusun cincin waldeyer itu semakin besar. 7
B. Anatomi Tonsil Palatina
Tonsil palatina dan adenoid (tonsil faringeal) merupakan bagian terpenting dari cincin
waldeyer. Tonsil palatina adalah masa jaringan limfoid yang terletak di dalam fossa tonsil
pada kedua sudut orofaring dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar
posterior (otot palatofaringeus). Palatoglosus mempunyai origo seperti kipas dipermukaan
oral palatum mole dan berakhir pada sisi lateral lidah. Palatofaringeus merupakan otot yang
tersusun vertical dan di atas melekat pada palatum mole, tuba eustachius dan dasar
tengkorak. Otot ini meluas ke bawah sampai ke dinding atas esophagus. Otot ini lebih
penting daripada palatoglosus dan harus diperhatikan pada operasi tonsil agar tidak melukai
otot ini. Kedua pilar bertemu diatas untuk bergabung dengan palatum mole. Di inferior akan
berpisah dan memasuki jaringan pada dasar lidah dan leteral dinding faring. 7
Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsila palatina adalah :
Anterior : arcus palatoglossus
Posterior : arcus palatopharyngeus
Superior : palatum mole
Inferior : 1/3 posterior lidah
Medial : ruang orofaring
Lateral : kapsul dipisahkan oleh m. constrictor pharyngis superior oleh
jaringan areolar longgar. A. carotis interna terletak 2,5 cm di belakang dan
lateral tonsila.
Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-
30 kriptus yang meluas kedalam jaringan tonsil. Tonsil tidak mengisi seluruh fosa tonsilaris,
daerah yang kosong di atasnya dikenal sebagai fossa supratonsilaris. Bagian luar tonsil
3
terikat longgar pada muskulus konstriktor faring superior, sehingga tertekan setiap kali
makan. 7
Walaupun tonsil terletak di orofaring karena perkembangan yang berlebih tonsil dapat
meluas ke arah nasofaring sehingga dapat menimbulkan insufisiensi velofaring atau obstruksi
hidung walau jarang ditemukan. Arah perkembangan tonsil tersering adalah ke arah
hipofaring, sehingga sering menyebabkan terjaganya anak saat tidur karena gangguan pada
jalan nafas.
Tonsil mendapat vaskularisasi dari cabang-cabang a. karotis eksterna yaitu: a.
maksilaris eksterna (a. fasialis) yang mempunyai cabang a. tonsilaris dan a. palatina asenden,
a. maksilaris interna dengan cabangnya yaitu a.palatina desenden, a. lingualis dengan
cabangnya yaitu a. lingualis dorsal dan a. faringeal asenden. a. tonsilaris berjalan ke atas di
bagian luar m. konstriktor superior dan memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole.
Arteri palatina asenden, mengirim cabang-cabangnya melalui m. konstriktor posterior
menuju tonsil. Arteri faringeal asenden juga memberikan cabangnya ke tonsil melalui bagian
luar m. konstriktor superior. Arteri lingualis dorsal naik ke pangkal lidah dan mengirim
cabangnya ke tonsil, plika anterior dan plika posterior. Arteri palatina desenden atau a.
palatina posterior atau lesser palatina artery member vaskularisasi tonsil dan palatum mole
dari atas dan membentuk anastomosis dengan a. palatina asenden. vena-vena dari tonsil
membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. 7,8
4
C. Tonsillitis kronis
Tonsillitis kronis adalah peradangan kronis yang mengenai seluruh jaringan tonsil
yang umumnya didahului oleh suatu keradangan di bagian tubuh lain, seperti misalnya
sinusitis, rhinitis, infeksi umum seperti morbili dan sebagainya.(Rusmarjono, 2001).
Organisme penyebab tonsillitis kronis sama dengan tonsillitis akut yaitu beta hemolitikus
streptokokus. Infeksi yang berulang-ulang bisa menyebabkan terjadinya pembesaran tonsil
melalui parenchyma atau degenerasi fibroid. Tetapi kadang-kadang kuman dapat berubah
menjadi kuman golongan gram negative.6
Terjadinya proses peradangan yang berulang sehingga selain epitel mukosa juga
jaringan limfoid mengalami pengikisan maka pada proses penyembuhan jaringan limfoid
akan diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kriptus menjadi
lebar. Secara klinis, kriptus ini tampak diisi oleh detritus. Jika proses berjalan terus yang
dapat menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan di
sekitar fossa tonsilaris. Pada anak-anak proses ini dapat disertai dengan pembesaran kelenjar
limfe submandibula.1
D. Imunologi tonsillitis kronis
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit, 0,1-0,2 % dari
keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B dan T pada tonsil adalah
50%:50%, sedangkan di darah 55-57%:15-30%. Pada tonsil terdapat system imun kompleks
yang terdiri atas sel M (sel membrane), makrofag, sel dendrite dan APCs (antigen presenting
cells) yang berperan dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis
immunoglobulin spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel
pembawa IgG.6
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan
proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1.)
menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2.) sebagai organ utama
produksi antibody dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.8
Pada tonsilitis kronis telah terjadi penurunan fungsi imunitas dari tonsil. Penurunan
fungsi tonsil ditunjukkan melalui peningkatan deposit antigen persisten pada jaringan tonsil
5
sehingga terjadi peningkatan regulasi sel-sel imunokompeten berakibat peningkatan insiden
sel yang mengekspresikan IL-1β, TNF-α, IL-6, IL- 8, IL-2, INF-γ, IL-10, dan IL-4.6
Secara sistematik proses imunologis di tonsil terbagi menjadi 3 kejadian yaitu
pertama respon imun tahap I, kedua respon imun tahap II, dan ketiga migrasi limfosit. Pada
respon imun tahap I terjadi ketika antigen memasuki orofaring mengenai epitel kripte yang
merupakan kompartemen tonsil pertama sebagai barier imunologis. Sel M tidak hanya
berperan mentranspor antigen melalui barier epitel tapi juga membentuk komparten mikro
intraepitel spesifik yang membawa bersamaan dalam konsentrasi tinggi material asing,
limfosit dan APC seperti makrofag dan sel dendritik. Respons imun tonsila palatina tahap II
terjadi setelah antigen melalui epitel kripte dan mencapai daerah ekstrafolikular atau folikel
limfoid.Adapun respon imun berikutnya berupa migrasi limfosit. Perjalanan limfosit dari
penelitian didapat bahwa migrasi limfosit berlangsung terus menerus dari darah ke tonsil
melaui HEVdan kembali ke sirkulasi melaui limfe. Tonsil berperan tidak hanya sebagai pintu
masuk tapi juga keluar limfosit, beberapa molekul adesi (ICAM-1 dan L-selectin), kemokin,
dan sitokin. Kemokin yang dihasilkan kripte akan menarik sel B untuk berperan didalam
kripte.6
E. Gejala klinis dan diagnosis
Pasien mengeluh ada penghalang/mengganjal di tenggorokan, tenggorokan terasa
kering dan pernafasan berbau. Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan
yang tidak rata, kriptus membesar, dan kriptus berisi detritus. Gejala tonsillitis kronis dibagi
menjadi : 1.) gejala local, yang bervariasi dari rasa tidak enak di tenggorok, sakit tenggorok,
sulit sampai sakit menelan, 2.) gejala sistemik, rasa tidak enak badan atau malaise, nyeri
kepala, demam subfebris, nyeri otot dan persendian.4
Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak
antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil, maka
gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :
TO : tonsil masuk di dalam fossa atau sudah diangkat
T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T2 : 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
6
T4 : > 75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk memperkuat diagnosis tonsilitis
akut adalah pemeriksaan laboratorium meliputi peningkatan leukosit, penurunan hemoglobin,
dan usap tonsil untuk pemeriksaan kultur bakteri dan tes sensitifitas.
F. Obstruksi Sleep Apnea (OSA)
Obstructive sleep apnea (OSA) merupakan gangguan tidur berulang yang ditandai
menurunnya sirkulasi udara. Salah satu tanda gangguan ini adalah snoring, disebabkan oleh
obstruksi faring yang inkomplit atau adanya perubahan konfigurasi saluran napas atas selama
tidur. Suara yang dihasilkan bersumber dari kolapsnya sebagian saluran napas atas,
bergetarnya uvula, palatum, dan tonsil. Pada tonsil yang hipertrofi, risiko terjadinya snoring
menjadi meningkat. 4, 7
Tonsilitis hipertrofi merupakan salah satu penyebab tersering obstructive sleep apnea
(OSA) pada anak. Selain tonsilitis, banyak jenis penyakit yang juga bermanifestasi sama.
Sehingga penting untuk memastikan penyebab sleep apnea. Anamnesis dan pemeriksaan
fisik cukup bermanfaat untuk menegakkan diagnosis. Apabila penyebab sleep apnea adalah
akibat hipertrofi tonsil, maka tindakan operasi tonsilektomi perlu dilakukan. 4, 7
Pada anak, perubahan fisiologi mendasar yang terjadi pada OSA adalah hipoksia dan
hiperkapnea akibat obstruksi, yang kemudian menstimulasi baroreseptor dan kemoreseptor
perifer. Terganggunya kontinuitas tidur dan penurunan rapid-eye-movement bermanifestasi
7
pada keadaan mudah mengantuk sepanjang hari.Tingginya insidensi OSA pada anak dengan
hipertrofi tonsil disebabkan volume jaringan limfoid yang meningkat pada usia 6 bulan
sampai dengan masa pubertas, dan mencapai maksimum pada usia anak sekolah. Meski
demikian, OSA tidak selalu muncul walaupun terjadi penyempitan saluran napas, karena
pada keadaan normal, tonsil yang hipertrofi tidak mengalami kolaps sewaktu tidur.1,7
G. Penatalaksanaan
Pengobatan pasti untuk tonsillitis kronis adalah pembedahan dengan pengangkatan
tonsil. Tindakan ini dilakukan pada kasus-kasus dimana penatalaksanaan medis atau yang
konservatif gagal untuk meringankan gejala-gejala. Penatalaksanaan medis termasuk
pemberian penisilin yang lama, irigasi tenggorokan sehari-hari dan usaha untuk
membersihkan kripte tonsil dengan alat irigasi gigi (oral). Ukuran jaringan tonsil tidak
mempunyai hubungan dengan infeksi kronis maupun berulang. 4,7
Indikasi tonsilektomi menurut American Academy of Otolaryngology – Head and
Neck Surgery Clinical Indicators Compendium tahun 1995 menetapkan : Indikasi
tonsilektomi menurut The American Academy of Otolaryngology,Head and Neck Surgery :
a) Indikasi absolut:
i) Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan nafas atas, disfagia menetap,
gangguan tidur atau komplokasi kardiopulmunar.
ii) Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan gangguan
pertumbuhan orofacial
iii) Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak hilang
dengan pengobatan. Otitis media efusi atau otitis media supuratif.
iv) Tonsilitis yang menimbulkan febris dan konvulsi
v) Biopsi untuk menentukan jaringan yang patologis (dicurigai keganasan)
b) Indikasi relatif :
i) Penderita dengan infeksi tonsil yang kambuh 3 kali atau lebih dalam setahun
meskipun dengan terapi yang adekuat
ii) Bau mulut atau bau nafas yang menetap yang menandakan tonsilitis kronis tidak
responsif terhadap terapi media
8
iii) Tonsilitis kronis atau rekuren yang disebabkan kuman streptococus yang resisten
terhadap antibiotik betalaktamase
iv) Pembesaran tonsil unilateral yang diperkirakan neoplasma
c) Kontra indikasi :
i) Diskrasia darah kecuali di bawah pengawasan ahli hematologi
ii) Usia di bawah 2 tahun bila tim anestesi dan ahli bedah fasilitasnya tidak mempunyai
pengalaman khusus terhadap bayi
iii) Infeksi saluran nafas atas yang berulang
iv) Perdarahan atau penderita dengan penyakit sistemik yang tidak terkontrol.
v) Celah pada palatum
H. Komplikasi
Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi bila tidak dilakukan penanganan
sebaik mungkin. Komplikasi tersebut antara lain komplikasi sekitar tonsil a) peritonsilitis
yaitu peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa adanya trismus maupun
abses, b) abses peritoneal yaitu kumpulan nanah yang terbentuk didalam ruang tonsil
bersumber dari penjalaran tonsillitis akut yang mengalami supurasi hingga menembus kapsul
tonsil, c) abses faringeal yaitu infeksi dalam ruang parafaring dimana penjalaran dapat
melalui aliran limfe maupun pembuluh darah, d) abses retrofaring yaitu pengumpulan pus
dalam ruang retrofaring, e) kista tonsil akibat terkumpulnya sisa makanan dalam kripta yang
tertutup jaringan fibrosa, f) tonsilolith yaitu terjadinya deposit kalsium fosfat dan kalsium
karbonat dalam jaringan tonsil yang membentuk bahan keras seperti kapur, g) dan dapat
berupa rhinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara perkontinuitatum. Komplikasi jauh
terjadi secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul endokarditis, arthritis, miositis,
nefritis, uveitis, iridosiklitis, dermatitis, pruritus, urtikaria, dan furunkolosis.1,7
Tindakan tonsilektomi pada penanganan tonsillitis kronis dapat menimbulkan
komplikasi antara lain a) perdarahan, b) Nyeri akibat kerusakan mukosa, serabut saraf
glosofaringeus atau vagus, serta adanya inflamasi dan spasme otot faringeus yang
menyebabkan iskemia, selanjutnya siklus nyeri ini berlanjut sampai otot diliputi kembali oleh
mukosa sekitar 14 – 21 hari, c) komplikasi lainnya berupa dehidrasi, demam, kesulitan
9
bernafas, aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal, stenosis faring,
lesi dibibir lidah maupun gigi.9
10
BAB III
LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien
Nama : An. DG
Umur : 12 tahun
Jenis Kelamin : Laki - laki
Alamat : Bima
Pekerjaan : Pelajar
II. Anamnesis
Keluhan Utama : Nyeri saat menelan
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke Poliklinik THT RSU Provinsi NTB dengan keluhan nyeri
pada saat menelan yang hilang timbul sejak 2 tahun lalu dan memberat sejak 2
bulan terakhir ini. Dalam 2 tahun itu, pasien mengaku mengalami serangan
seperti ini ± 10 kali. Nyeri pada saat menelan dirasakan oleh pasien terutama
setelah mengkonsumsi jajanan di sekolah ataupun minum minuman dingin dan
nyeri menelan tersebut akan hilang sendiri tanpa pengobatan setelah beberapa
hari. Selain itu, pasien juga mengeluhkan perasaan mengganjal dalam
tenggorokan dan ibu pasien juga mengakui saat tidur pasien sering terdengar
mengorok serta bangun dari tidur karena merasa sesak. Pasien mengeluhkan
demam, batuk yang tidak berdahak dan pilek terutama saat serangan, akan tetapi
ketika pemeriksaan tidak mengeluhkan demam, batuk maupun pilek. Keluhan
nyeri pada telinga, telinga mendengung, dan telinga terasa penuh disangkal
pasien.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien mengeluhkan gejala yang sama sejak 2 tahun yang lalu. Riwayat
asma (-).
11
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada keluarga yang mengalami hal serupa. Riwayat hipertensi (-),
riwayat DM (-), riwayat asma (-), riwayat sakit jantung (-).
Riwayat Pengobatan :
Pasien sering bolak balik ke PKM terdekat namun keluhan masih dirasakan.
Riwayat Alergi :
Riwayat alergi obat dan makanan disangkal ibu pasien.
III. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan umum : baik
Kesadaran : compos mentis
Tanda vital
TD : -
Nadi : 86 x/menit
RR : 24 x/menit
T : afebris
Status Lokalis
Pemeriksaan telinga
No. Pemeriksaan
Telinga
Telinga kanan Telinga kiri
1. Tragus Nyeri tekan (-), edema (-) Nyeri tekan (-), edema (-)
2. Daun telinga Bentuk dan ukuran dalam batas
normal, hematoma (-), nyeri
tarik aurikula (-)
Bentuk dan ukuran dalam batas
normal, hematoma (-), nyeri
tarik aurikula (-)
12
3. Liang telinga Serumen (+), hiperemis (-),
furunkel (-), edema (-), otorhea
(-)
Serumen (+), hiperemis (-),
furunkel (-), edema (-), otorhea
(-)
4. Membran timpani Intak. Retraksi (-), bulging (-),
hiperemi (-), edema (-),
perforasi (-), cone of light (+)
Intak. Retraksi (-), bulging (-),
hiperemi (-), edema (-),
perforasi (-), cone of light (+)
Pemeriksaan hidung
Pemeriksaan Hidung Hidung kanan Hidung kiri
Hidung luar Bentuk normal, hiperemi (-),
nyeri tekan (-), deformitas (-)
Bentuk normal, hiperemi (-),
nyeri tekan (-), deformitas (-)
Rinoskopi anterior
Vestibulum nasi Hiperemis (-), sekret (-) Hiperemis (-), sekret (-)
Cavum nasi Bentuk (normal), hiperemia Bentuk (normal), hiperemia
13
Tonsil kanan : hiperemis +, kripte +, detritus +, melebar -> T2Tonsil kiri : hiperemis +, kripte +, detritus +, melebar ->T3
(-) (-)
Meatus nasi media Mukosa hiperemis, sekret (-),
massa (-)
Mukosa hiperemis, sekret (-),
massa (-)
Konka nasi inferior Edema (-), mukosa hiperemi
(-)
Edema (-), mukosa hiperemi
(-)
Septum nasi Deviasi (-), perdarahan (-),
ulkus (-), abses (-)
Deviasi (-), perdarahan (-),
ulkus (-), abses (-)
Pemeriksaan tenggorokan
Bibir Mukosa bibir basah, berwarna merah muda (N)
Mulut Mukosa mulut basah berwarna merah muda
Geligi Normal
Lidah Tidak ada ulkus, pseudomembrane (-)
Uvula Bentuk normal, hiperemi (+), edema (-)
Palatum mole Ulkus (-), hiperemi (-)
Faring Mukosa hiperemi (-), reflex muntah (+), membrane (-)
Tonsila palatine kanan kiri
T2
Hiperemi (+), kripte (+),
detritus (+)
T3
Hiperemi (+), kripte (+),
detritus (+)
Fossa Tonsillaris
dan Arkus Faringeus
hiperemi (+) hiperemi (+)
Leher : simetris, pembesaran limfonodi (-)
14
IV. Diagnosis
Tonsilitis kronis eksaserbasi akut
V. Diagnosis banding
Adenotonsilitis kronis
VI. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium : Darah lengkap; cloting time; bleeding time
VII. Rencana terapi
Medikamentosa
o Antibiotika :
Amoxicilin (10-15mg/kgBB/x dalam 3 kali pemberian)
BB pasien = 30kg 300-450mg/x
Sediaan dalam bentuk sirup (125mg/5ml) maka pasien
dianjurkan minum 1 sendok makan (15ml) per 1 kali
pemberian dalam 3 kali/ hari selama 5-7 hari.
o Analgetik dan antipiretik :
Paracetamol (10mg/kgBB/x dalam 4-8jam)
BB pasien = 30kg 300mg/x
Sediaan dalam bentuk sirup (120mg/5ml) maka pasien
dianjurkan minum 1 sendok makan (15ml) per 1 kali
pemberian dalam 3-4 kali/hari.
Pembedahan
Pro – Tonsilektomi
15
VIII. KIE
a. Untuk sementara hindari makanan yang berminyak, manis, pedas, dan lainnya
yang dapat mengiritasi tenggorokan. Begitu pula dengan minuman dingin.
b. Menjaga higiene mulut.
c. Datang kembali untuk kontrol setelah 5 hari, untuk melihat perkembangan
penyembuhan.
d. Sarankan keluarga untuk menjaga kesehatan pasien dan mempertimbangkan
untuk melakukan operasi pengangkatan amandel atau tonsilektomi jelaskan
indikasi, dan komplikasinya.
o Indikasi pada pasien : Serangan tonsillitis lebih dari 3 kali pertahun
walaupun telah mendapatkan terapi yang adekuat, tonsil hipertropi,
sumbatan jalan nafas.
o Komplikasi tonsilektomi : dapat berupa perdarahan, nyeri post operasi,
dan komplikasi lainnya berupa dehidrasi, demam, kesulitan bernafas,
aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal,
stenosis faring, lesi dibibir lidah maupun gigi.
IX. Prognosis
Dubia ad Bonam
16
BAB VI
PEMBAHASAN
Tonsilitis adalah peradangan yang mengenai tonsilo palatina. Pada kasus ini, diagnosis
tonsilitis kronis eksaserbasi akut ditegakkan berdasarkan dari hasil anamnesa dan pemeriksaan
fisik yang dilakukan pada pasien. Dari keluhan pasien didapatkan bahwa pasien mengeluh nyeri
pada saat pasien menelan yang disertai rasa sakit pada tenggorokan yang timbul terutama setelah
mengkonsumsi gorengan, makanan pedas, atau minuman dingin.
Pada pemeriksaan fisik tenggorokan didapatkan gambaran perjalanan kronis pada tonsil.
Pada tonsil didapatkan pembesaran pada tonsila (tonsila palatina), dengan permukaan yang
hiperemi (kemerahan) dan tidak rata, ukuran pembesaran tonsil T2-T3 dan pada tonsila palatine
kiri tampak kripte melebar, terlihat adanya detritus, dan begitu pula pada tonsil kanan. Gambaran
perjalanan kronis juga dapat dilihat dari gejala yang berlangsung sejak 2 tahun dan baru
dirasakan memberat 2 bulan terakhir. Eksaserbasi akut ditandai dengan pada tonsil didapatkan
tanda-tanda inflamasi yaitu mukosa tonsil nampak udem dan hiperemi.
Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronis juga menjadi perhatian yang sangat penting
seperti rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan (makanan panas, pedas,
berminyak, serta minuman dingin), hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik
dan pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat. Pada kasus ini faktor yang mendukung adalah
sering mengkonsumsi makanan pedas dan berminyak serta minuman dingin yang dapat memicu
timbulnya serangan. Pada pasien didapatkan serangan berulang yang sangat sering yaitu lebih
dari 10 kali dalam setahun serta ukuran tonsil yang cukup membesar dan di khawatirkan dapat
mengganggu jalan napas maka pada pasien ini terdapat indikasi untuk dilakukannya
Tonsilektomi.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Adams GL. 1997. Penyakit – Penyakit Nasofaring dan Orofaring. Jakarta : EGC,
hal :320 -55
2. Ballenger, JJ., James B. Snow Jr. 1997. Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, dan leher.
Jakarta: Bina Rupa Aksara.
3. Brodsky, L & Poje, C. 2001. Tonsilitis. Tonsillectomy and adenoidectomy, Dalam :
Bailey, BJ.Head & Neck Surgery Otolaryngology, Vol 1 third ed, Lippincott Milliams &
Wilkins
4. Dedya, et all. 2009. Tonsilitis Kronis Hipertrofi dan Obstructive Sleep Apnea (OSA)
Pada Anak. Fk Unlam : Bagian Smf Penyakit THT.
5. Derake A, Carr MM. 2002. Tonsillectomy. Available at : www.emedicine.com. hal : 1 –
10
6. Rubin MA, Gonzales R, Sande MA. 2005. Infections of the Upper Respiratory Tract.
New York, NY: McGraw Hill.
7. Rusmarjono, Soepardi EA.2001. Penyakit dan kelainan tonsil dan Faring. Dalam :
Soepardi EA, Iskandar N. Ed. Buku Ajar Ilmu THT. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
8. Seeley, Stephens, Tate. 2004. Anatomy and Physiology, Ch 15 The Special Senses 6th Ed.
New York : The McGraw−Hill Companies
9. Hatmansyah. 1993. Tonsilektomi. Dalam : Cermin Dunia Kedokteran no 89. hal : 18-21
18
Laporan Kasus
TONSILITIS KRONIS
Oleh :
Irmawan Farindra
06.06.0025
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITRAAN KLINIK MADYA DI BAGIAN
TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN
RSU PROVINSI NTB
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR (UNIZAR)
2012
19