tinjauan buku amandemen uud 1945 - antara mitos dan pembongkaran (denny indrayana)
DESCRIPTION
Tulisan ini merupakan tinjauan buku (book study) dengan judul Amandemen UUD 1945 antara mitos dan pembongkaran, yang ditulis oleh Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D.Tulisan ini ditulis oleh Gunawan A. Tauda, S.H. dalam kapasitas sebagai mahasiswa Magister Ilmu Hukum UGM.TRANSCRIPT
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONALUNIVERSITAS GADJAH MADA
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU HUKUMFAKULTAS HUKUM
TINJAUAN BUKU
AMANDEMEN UUD 1945 Antara Mitos dan Pembongkaran
(Denny Indrayana)
Karya Tulis ini disusun guna pemenuhan tugas mata kuliah Teori dan Hukum Konstitusi
Dosen: Andi Sandi, Ant. T., S.H., LL.M.
Oleh:Nama : Gunawan Abdullah Tauda, S.H.NIM : 09/294344/PHK/6075Bagian : Hukum Kenegaraan
YOGYAKARTA2009
i
KATA PENGANTAR
Penulis melimpahkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT., yang telah
memberikan rahmat, berkah dan hidayah-Nya. Shalawat serta salam tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW., seorang insan yang membawa cahaya dalam
gulitanya dunia, seorang Rasul yang Risalahnya menembus waktu, dan menjadi
rahmat bagi semesta alam.
Tinjauan buku ini disusun untuk memenuhi penugasan pada mata kuliah
Teori dan Hukum Konstitusi, dengan judul; "Amandemen UUD 1945, Antara Mitos
dan Pembongkaran" karya, Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D.
Tinjauan buku ini diharapkan dapat memberikan sesuatu yang berguna bagi
semua pihak yang peduli terhadap perkembangan dan kemajuan ilmu Hukum Tata
Negara di Indonesia. Dalam penyusunan tinjauan buku ini, tidak dapat dilepaskan
dari kenyataan ketergantungan adanya bantuan dalam bentuk apapun yang telah
Penulis terima dari berbagai pihak.
Penulis menyadari bahwa Karya Tulis ini masih jauh dari sempurna dan
masih terdapat banyak kekurangan karena segala keterbatasan yang dimiliki. Oleh
karena itu, dengan segala kerendahan hati, saran dan kritik yang konstruktif sangat
Penulis harapkan demi kesempurnaannya. Akhir kata, semoga Karya Tulis ini dapat
berkenan dan memberikan manfaat bagi Pembaca.
Yogyakarta, November 2009.Fortune Favors The Bold,
Penulis,
Gunawan Abdullah Tauda, S.H.
ii
DAFTAR ISI
halamanHALAMAN JUDUL iKATA PENGANTAR iiDAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUANA. Resume (Ringkasan) Buku 11. Kepustakaan Buku 12. Outline dan Alur Penulisan Buku 1a. Fokus Penelitian 1b. Metodelogi Penelitian 2c. Alur Penulisan 33. Fokus Kajian Tinjauan Konstitusi Indonesia Pra Amandemen
dan Pasca Amandemen 4a. Konstitusi Indonesia Pra Amandemen 41). Indonesia di Bahwa Soeharto: Orde Otoriter Baru 42). Otoritarianisme dalam UUD 1945 8b. Pentingnya Reformasi Konstitusi 161). Alasan Teoritis 162). Alasan Historis 173). Alasan Praktis 17c. Konstitusi Indonesia Pasca Amandemen 181). Reformasi Legislatif 192). Reformasi Eksekutif 213). Reformasi Yudisial 25d. Masalah Nasionalisme versus Negara Islam 27
B. Dasar dan Pendekatan Teoritis 281. Trias Politica 282. Distribution of Power dan Separation of Power 313. Checks and Balances 33
BAB II PEMBAHASANA. Komentar 361. UUD 1945 dan Otoriterisme 362. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 38
B. Perbandingan Teoritikal 401. Urgensi Reformasi Konstitusi 402. Metode Perubahan Konstitusi 423. Prosedur Perubahan 444. Gagasan Amandemen V UUD 1945 45
iii
BAB III PENUTUPA. Kesimpulan 49B. Saran 51
DAFTAR PUSTAKA 55
iv
BAB IPENDAHULUAN
“A constitution may be defined as the organization of a polis, in respect of its offices generally, but especially in respect of that particular office which is sovereign in all issues”.
Politics, Aristoteles.
A. Resume (Ringkasan) Buku
1. Kepustakaan Buku
Judul Buku ini, secara lengkap adalah; Amandemen Undang-Undang Dasar
1945: Antara Mitos dan Pembongkaran. Diterjemahkan dari; Indonesian
Constitutional Reform 1999 – 2002: An Evaluation of Constitution-Making in
Transition. Karya; Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D. Copyright © 2007 by
Denny Indrayana. Penerjemah: E. Setiyawati A. Editor: Peri Umar Farouk dan Refly
Harun. Cetakan II, 520 halaman. Desember 2007. Diterbitkan oleh Penerbit Mizan,
Bandung. ISBN 979-433-442-1.
2. Outline dan Alur Penulisan Buku
a. Fokus Penelitian
Tahun 1999 sengaja dipilih sebagai tanggal mula kajian, karena tahun inilah
tahun di mana MPR secara formal menginisiasi sebuah reformasi konstitusi. Tahun
2002 dipilih sebagai tahun akhirnya, karena inilah tahun yang ditetapkan MPR
sebagai batas akhir untuk menyelesaikan reformasi konstitusi. Peristiwa-peristiwa
yang terjadi setelah tahun 1999 – 2002 tidak menjadi objek penelitian, kendati
beberapa perkecualian khusus diambil, dimana masalah-masalah yang muncul
setelah tahun 2002 sangat signifikan bagi argumen-argumen dalam penelitian ini.1
1 Denny Indrayana, 2007, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, cetakan kedua, Mizan, Bandung. hlm. 59.
1
b. Metodologi Penelitian
Tulisan dalam buku ini didasarkan pada kajian pustaka maupun penelitian
lapangan, dan pendekatan sosial-legal diadopsi secara luas, serupa dengan
pendekatan yang digunakan dalam karya fonomenal Nasution yang berjudul The
Aspiration for Constitutional Government: A Socio-legal Study of The Indonesian
Konstituante 1956 – 1959.
Dalam konteks kajian pustaka, penulis mengumpulkan data dari berbagai
jurnal, terbitan berkala, buku, surat kabar, peraturan perundang-undangan, situs
internet, dan berbagai macam materi sekunder pilihan, sebagaimana tercantum dalam
Kepustakaan.
Penelitian lapangan dilakukan di Indonesia, khususnya di Jakarta tempat
dilakukannya sebagian besar rapat dan sidang MPR yang bertujuan mengamandemen
UUD 1945. Penelitian lapangan mengumpulkan bahan-bahan yang teramat sulit
untuk diakses dari luar Indonesia, seperti risalah lengkap rapat-rapat MPR. Di
samping itu, penulis melakukan berbagai wawancara, terutama dengan tokoh-tokoh
penting yang terlibat dalam proses pembuatan konstitusi.
c. Alur Penulisan
Tulisan ini dipilah menjadi lima bagian besar dan delapan bab, diawali
dengan Prawacana pada Bagian Satu yang sekaligus merupakan bab pendahuluan.
2
Bagian berikutnya adalah Bagian Dua, yang berisikan Bab Dua. Titik
tekannya adalah pada pemaparan kerangka teori yang digunakan untuk memahami
hal ihwal reformasi konstitusi dalam sebuah proses transisi dari sebuah pemerintahan
otoriter. Pengalaman dari beberapa negara pilihan, khususnya Afrika Selatan dan
Thailand, dikaji untuk melihat apakah pendekatan-pendekatan mereka membantu
penulis menganalisis Indonesia serta membandingkan pengalaman-pengalaman
mereka dengan pengalaman Indonesia dalam melakukan reformasi konstitusi pada
masa transisi.
Latar belakang berupa transisi politik Indonesia digambarkan di Bagian Tiga
(Bab Tiga). Bab ini menggambarkan betapa Indonesia di bawah rezim Orde Baru,
tidaklah demokratis. Sistem yang tidak demokratis ini dimungkinkan oleh UUD
1945, dan karenanya, dokumen negara itu perlu direformasi demi mengamankan
transisi Indonesia dari kekuasaan yang otoriter.
Bab Tiga diikuti dengan sebuah kajian terperinci tentang proses pembuatan
konstitusi di Bagian Empat, yang terdiri dari Bab Empat hingga Bab Tujuh. Setiap
bab tersebut membahas satu perubahan. Format keempat bab tersebut serupa;
masing-masing menggambarkan latar belakang, proses, dan hasil dari masing-masing
perubahan konstitusi yang terjadi.
Data dari bab keempat hingga ketujuh tersebut dianalisis pada Bagian Lima
(Bab Delapan). Bab ini mengevaluasi apakah proses pembuatan konstitusi dari
keempat perubahan tersebut demokratis. Bab ini juga mengupas apakah hasil dari
keempat perubahan itu adalah sebuah konstitusi yang lebih demokratis, dan
merekomendasikan beberapa amandemen lanjutan yang diperlukan untuk
3
memperkuat sistem saling kontrol saling imbang. Sebagai penutup, bab terakhir juga
menyampaikan kesimpulan penelitian ini.
3. Fokus Kajian Tinjauan Konstitusi Indonesia Pra Amandemen dan Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar 1945.
a. Konstitusi Indonesia Pra Amandemen
1). Indonesia di Bawah Soeharto: Orde Otoriter Baru
Kendati Soekarno sudah diangkat menjadi Presiden seumur hidup, Soeharto
efektif menggantikan Soekarno pada tahun 1966, dan Orde Baru pun menggantikan
Orde Lama di waktu yang sama. Tak ayal, Demokrasi Terpimpin ramuan Soekarno
pun diganti Demokrasi Pancasila ala Soeharto, yang dikembangkan dari gagasan
Pancasila yang dibangun Soekarno dulu, dan terdapat dalam Pembukaan UUD 1945.
Pancasila, menurut Hans Antlov, adalah "kekuasaan politik melalui
permusyawaratan, dengan mempertimbangkan kepercayaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa, Kesatuan Indonesia, Perikemanusiaan, dan Keadilan."2
Karenanya, tak heran bila di dunia nyata Demokrasi Pancasila mirip dengan
Demokrasi Terpimpin. Kedua sistem ini sama-sama menggantungkan hidupnya
kepada pemimpin yang otoriter, Soeharto dan Soekarno, dan sama-sama
mengandalkan formulasi ideologi yang sama di dalam UUD 1945. Bahkan kondisi-
kondisi tak demokratis Orde Lama yang digambarkan oleh Antlov juga berlaku pada
Orde Lama.3
2 Denny Indrayana, 2007, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, cetakan kedua, Mizan, Bandung. hlm. 141.
3 ibid. hlm. 142.
4
Bagian berikut ini akan mengkaji lebih terperinci bagaimanakah rezim Orde
Baru yang otoriter itu. Huntington menyatakan bahwa bentuk-bentuk spesifik rezim
otoriter bercirikan; sistem satu partai, kediktatoran personal, dan rezim militeristik.4
Paparan berikut menunjukkan bahwa pemerintahan Soeharto memiliki semua ciri
otoritarian tersebut.
Pertama, Sistem Satu Partai. Pemerintah Orde Baru dengan ketat dengan
ketat sebenarnya menerapkan sistem satu partai. Sejak awal 1970-an hingga 1998,
formalnya hanya tiga partai yang bisa bernafas; Golongan Karya, Partai Persatuan
Pembangunan, dan Partai Demokrasi Indonesia. Dua partai yang disebut belakangan
itu adalah hasil "fusi paksa" yang disponsori pemerintah terhadap sembilan partai
yang eksis dalam Pemilu 1971, pemilihan umum pertama di bawah Orde baru.
Kendati Golkar resminya bukan partai politik, melainkan hanya sebuah 'kelompok
fungsional' semata, pada praktiknya, Golkar adalah satu-satunya 'partai sejati'
sepanjang rezim Orde Baru.5
Kedua, Sistem Partai Golkar Soeharto. Pemerintahan Soeharto jelas bersikap
pilih kasih, dengan membeda-bedakan bobot kontrolnya di antara ketiga partai yang
ada. terhadap PPP dan PDI, pemerintah bersikap jauh lebih ketat dan keras
ketimbang terhadap Golkar. Golkar dengan cepat menjadi partai politik negara yang
intim dengan militer Indonesia.6
Ketiga, Monoloyalitas Pegawai Negeri Sipil. Salah satu diantara mekanisme
yang digunakan untuk membantu Golkar, agar selalu menang dalam setiap Pemilu,
adalah kewajiban bagi para pegawai negeri sipil untuk selalu mendukung Golkar.
4 ibid.5 ibid.6 ibid.
5
Semua PNS secara otomatis menjadi anggota Korpri, sebuah lembaga yang setali tiga
uang dengan Golkar, dan sejak awal 1970-an semua anggota Korpri diwajibkan
menandatangani sebuah surat yang menyatakan 'monoloyalitas' mereka kepada
Golkar. Mereka yang melanggarnya dianggap telah melakukan tindak penghianatan
politik, dan hal demikian sudah cukup untuk menjadi alasan pemecatan.7
Keempat, Kebijakan Massa Mengambang. Konsep lain yang sangat
menguntungkan Golkar adalah "massa mengambang." Konsep ini mendepolitisasi
rakyat pedesaan dengan cara menutup cabang partai di bawah tingkat kabupaten.
Kebijakan ini banyak membatasi kapasitas dua partai lainnya, PPP dan PDI untuk
menyambangi konstituen mereka. Tetapi karena Golkar mengklaim bahwa secara
formal dirinya bukan partai politik, kebijakan massa mengambang ini sama sekali
tidak membatasi kampanye partai pemerintah. Golkar bisa memanfaatkan pejabat
lokal untuk memobilisasi suara dan melancarkan kampanye secara terang-terangan.
Kebijakan ini sangat besar artinya bagi kemenangan-kemenangan Golkar, karena
sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di wilayah pedesaan.8
Kelima, Sumber Daya Finansial. Satu variabel yang ikut urun rembuk dalam
kemenangan-kemenangan Golkar, adalah tidak adilnya distribusi finansial di antara
ketiga partai. Semua partai politik menerima dana publik untuk menyokong aktivitas
mereka. PDI dan PPP sangat tergantung pada batuan ini untuk kampanye mereka.
Tetapi tidak mudah bagi kedua partai tersebut untuk menggalang dana dan dukungan
dari kalangan bisnis, terutama mengingat bahwa kalangan pengusaha paham betul
7 ibid. hlm 143 – 144.8 ibid. hlm. 144.
6
bahwa kedua partai tersebut tidak mempunyai peluang sedikit pun peluang untuk
memenangi Pemilu, kecuali Golkar.9
Keenam, Akses ke Media. Seperti halnya dalam masalah tidak adilnya
pembagian sumber daya finansial, PPP dan PDI juga harus merasakan sikap pilih
kasih dari pemerintah dalam soal akses mereka kepada media. Contoh nyatanya
adalah soal liputan TVRI stasiun televisi milik negara yang tidak berimbang.10
Ketuju, Komisi Pemilihan Umum. Faktor lain yang menguntungkan Golkar
adalah status KPU sebagai badan yang bertanggung jawab melaksanakan Pemilu.
Fakta bahwa KPU diketuai oleh Menteri Dalam Negeri, seorang anggota Golkar,
menjelaskan mengapa Komisi ini bukanlah sebuah badan legal yang independen,
suatu syarat dasar bagi terlaksananya sebuah Pemilu yang jujur dan adil.11
Sebagai kesimpulan, ketiga partai pada zaman Orde Baru hanyalah kamuflase
bagi sistem 'satu partai' yang dijalankan oleh Soeharto, dengan kata lain struktur
kepartaian ini sebagai sebuah "sistem partai hegemonik yang dipimpin oleh
Golkar."12
2). Otoritarianisme dalam UUD 1945
9 ibid.10 ibid. hlm. 145.11 ibid. 12 ibid.
7
Hubungan antara UUD 1945 dan rezim otoriter Orde Baru Soeharto sangatlah
jelas. UUD 1945 mempunyai peran sentral bagi hadirnya konsepsi Soeharto tentang
rezim Orde baru, dengan didominasinya kekuasaan pemerintahan oleh Presiden.13
a). Konstitusi yang 'Sarat-Eksekutif'
UUD 1945 adalah sebuah konstitusi yang 'sarat-eksekutif.' Ini berati bahwa
Konstitusi ini memberikan begitu banyak kekuasaan kepada eksekutif, tanpa
menyertakan sistem kontrol konstitusional yang memadai. Di bawah UUD 1945,
Presiden adalah Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara. Sebagai Kepala
Pemerintahan atau Kepala Eksekutif, Presiden memiliki kewenangan eksklusif atas
menteri-menteri dan pembentukan kabinet (Pasal 17 ayat (1) dan (2)). Sebagai
Kepala Negara, Presiden memegang kekuasaan untuk:
1. Menjadi Palima Tertinggi Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan
Udara.
2. Menyatakan perang, membuat perdamaian, dan menandatangani perjanjian
dengan negara lain (Pasal 11).
3. Menyatakan keadaan darurat (Pasal 12).
4. Mengangkat duta besar dan konsul, dan menerima surat-surat kepercayaan
duta besar negara sahabat (Pasal 13).
5. Memberi gelar, tanda jasa, dan tanda-tanda kehormatan lainnya (Pasal 15).
Kecuali untuk kekuasaan menyatakan perang, membuat perdamaian, dan
meneken perjanjian internasional, yang kesemuanya harus dengan persetujuan DPR
13 ibid. hlm. 151.
8
(Pasal 11), tak satu pun di antara kekuasaan Presiden tersebut harus mendapat
persetujuan atau konfirmasi dari lembaga-lembaga negara lainnya. Bahkan Batang
Tubuh UUD 1945 tidak memberikan kewenangan kepada DPR untuk melakukan
pengawasan, sekalipun menurut Penjelasan UUD 1945, DPR harus "senantiasa
mengawasi tindakan-tindakan Presiden."14
Pada praktiknya, kekuasaan Presiden yang luas dan sebagian besar tak
terkontrol ini digunakan Soeharto sebagai landasan hukum untuk memilih orang
pilihannya untuk menduduki posisi-posisi strategis. Tak heran bila Soeharto berhasil
mengendalikan birokrasi, militer, lembaga legislatif, dan yudikatif. Pada dasarnya ia
adalah satu-satunya pemegang kekuasaan yang memiliki wewenang untuk
mengangkat dan memecat siapa pun sekehendaknya.15
Sistem UUD 1945 menjadi lebih 'sarat-eksekutif' karena, disamping
kekuasaan-kekuasaan eksekutifnya yang sedemikian besar, Presiden juga memiliki
kekuasaan legislatif. UUD 1945 jelas menyatakan bahwa; "Presiden memegang
kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan
rakyat. Kecuali executive power, Presiden bersama-sama dengan Dewan Perwakilan
Rakyat menjalankan legislative power dalam negara.16
b). Sistem Checks and Balances yang Tak Jelas
14 ibid. hlm. 153.15 ibid.16 ibid.
9
MPR berfungsi sebagai lembaga tertinggi negara dan merupakan penjelmaan
seluruh rakyat Indonesia, yang melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat.
Kekuasaan MPR dalam teori tak terbatas. Konsepsi ini menjadikan MPR sebagai
sebuah parlemen yang superior.17
Di satu sisi, aturan-aturan tentang MPR yang superior ini membuat sistem
Indonesia terlihat Parlementer. Tetapi di sisi lain, argumen tentang konstitusi yang
'sarat eksekutif' itu menjadi indikasi bahwa, dalam praktiknya, Indonesia menerapkan
sistem presidensial.18
Di tataran praktik, MPR yang superior itu tidak kuat untuk mengendalikan
Presiden. Bahkan sisten konstitusi yang 'sarat eksekutif' berhasil mengungguli konsep
parlemen superior. Meski berdasarkan UUD 1945, MPR lebih unggul sebagai
lembaga tertinggi negara, tetapi pada praktiknya, Presidenlah yang dominan.19
c). Terlalu Banyak Pendelegasian ke Tingkat Undang-Undang
UUD 1945 mendelegasikan 12 masalah penting lainnya untuk diatur lebih
lanjut dengan undang-undang. Kedua belas hal penting ini meliputi:
1. Syarat-syarat untuk menyatakan keadaan darurat negara.20
2. Susunan dan kedudukan Dewan Pertimbangan Agung.21
3. Pembagian pemerintahan daerah.22
4. Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat.23
17 ibid. hlm. 154.18 ibid.19 ibid.20 Pasal 12 Undang-Undang Dasar Tahun 1945.21 Pasal 16 Undang-Undang Dasar Tahun 1945.22 Pasal 18 Undang-Undang Dasar Tahun 1945.23 Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
10
5. Masalah keuangan dan pajak.24
6. Susunan dan kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan.25
7. Susunan dan kedudukan lembaga-lembaga hukum, termasuk Mahkamah
Agung.26
8. Pengangkatan dan pemberhentian hakim-hakim.27
9. Masalah kewarganegaraan.28
10. Kemerdekaan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat.29
11. Masalah pertahanan keamanan.30
12. Sistem pendidikan nasional.31
Pendelegasian kepada undang-undang ini tidak akan problematis seandainya
saja UUD 1945 menyediakan mekanisme checks and balances yang kuat dan pagar-
pagar panduan tentang apa saja yang harus diatur. Batasan demikian sangat penting,
karena DPR yang semestinya bekerja sama dengan Presiden untuk membuat berbagai
undang-undang, praktis tidak mampu mengontrol kekuasaan legislatif Presiden,
karena komposisi DPR sendiri pun bergantung kepada undang-undang yang diramu
Presiden. Pada akhirnya, begitu banyak pendelegasian yang tak jelas ke tingkat
undang-undang, menjadi satu lagi karakteristik otoritarianisme dalam UUD 1945.32
24 Pasal 23 Undang-Undang Dasar Tahun 1945.25 Pasal 23 ayat (5) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.26 Pasal 24 Undang-Undang Dasar Tahun 1945.27 Pasal 25 Undang-Undang Dasar Tahun 1945.28 Pasal 26 Undang-Undang Dasar Tahun 1945.29 Pasal 28 Undang-Undang Dasar Tahun 1945.30 Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.31 Pasal 31 Undang-Undang Dasar Tahun 1945.32 Denny Indrayana, ibid. hlm. 156.
11
d). Pasal-Pasal yang Ambigu
UUD 1945 memuat sejumlah pasal krusial yang bermakna ganda. Salah satu
pasal yang membantu membentuk karakter otoriter rezim Soeharto adalah Pasal 27
UUD 1945, yang menyebutkan; "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya
selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali."
Dari perspektif konstitusionalisme, pasal ini mestinya ditafsirkan bahwa
Presiden hanya boleh dipilih kembali untuk jabatan yang sama selama maksimum
dua periode. Tetapi Soeharto dan kaki tangannya menafsirkan, tidak ada batasan soal
berapa kali masa jabatan Presiden. Jadi Presiden bisa dipilih kembali setiap lima
tahun, berapa kali pun, dan karena Soeharto memonopoli semua kekuasaan,
penafsirannyalah yang harus diterima sebagai kebenaran. Begitulah, Soeharto dipilih
terus-menerus, sampai enam kali, masing-masing pada tahun 1973, 1978, 1983,
1988, 1993, dan 1998. persis seperti Soekarno yang pernah diangkat menjadi
Presiden Seumur Hidup, maka praktis Soeharto pun menjadi Presiden Seumur Hidup
dengan cara mengeksploitasi kelemahan Pasal 7 UUD 1945.33
Salah satu contoh lain pasal yang ambigu, adalah Pasal 28 UUD 1945, yang
menyatakan; "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan dan lain sebagainya ditetapkan dengan undang-undang." Salah satu
penafsiran pada pasal ini adalah; selama undang-undang yang dimaksud belum
diberlakukan, hak-hak tersebut tidak terlindungi. Aturan ini sama sekali bukanlah
satu jaminan atas hak-hak dasar freedom of speech, melainkan hanya sebuah pameran
kekuasaan pemerintah untuk membatasi hak-hak asasi.34
33 ibid. hlm. 157.34 ibid.
12
e). Terlalu Bergantung kepada Political Goodwill dan Integritas Politisi
UUD 1945 adalah sebuah konstitusi yang sangat bergantung pada political
goodwill dan integritas para penyelenggara negara. Soepomo, salah satu tokoh kunci
perancang UUD 1945 dan penganjur paling terkemuka konsep negara integralistik,
yaitu sebuah negara yang merangkul seluruh bangsa, menyatukan seluruh rakyat.
Gagasan ini menekankan kesatuan dalam segala hal, atau yang dalam tradisi Jawa
disebut manunggaling kawulo gusti (kesatuan antara pengabdi dan majikannya).
Jadi, rakyat tidak membutuhkan perlindungan hak-hak asasi untuk
melindungi mereka dari potensi pelanggaran oleh negara, karena negara sama dengan
rakyat dan kepentingan-kepntingan keduanya, dengan demikian identik. Karena
kepentingan-kepentingan keduanya setali tiga uang, Soepomo juga menamakan
integralistiknya ini sebagai "negara kekeluargaan" di mana kritik antar anggota
keluarga dianggap sebagai sesuatu yang tidak diinginkan. Jadi, oposisi dan kontrol
dari warga negara terhadap pemerintah tidak diperlukan, karena hal itu bertentangan
dengan prinsip percaya kepada 'iktikad baik' para pemimpin. Tak mengherankan bila
konsep negara integralistik yang naif demikian, gagal berhadapan dengan kekuasaan,
karena nyata-nyata negara dan rakyat tidak bertindak dan berpikir sama.35
f). Kekosongan Hukum
Kekosongan hukum (legal vacuum) adalah sebuah konsep tentang hukum yag
diakui dalam civil law system. Kekosongan hukum mengacu pada sebuah kondisi di
mana suatu situasi belum diatur oleh hukum tertulis. Dalam common law system,
35 ibid. hlm. 159.
13
konsep ini tidak dikenal, karena seorang hakim berhak menemukan, atau
menciptakan hukum.
Menurut Tim Kajian Amandemen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya,
UUD 1945 mengandung empat kekosongan hukum yang serius. Kekosongan-
kekosongan ini adalah:
1. Sistem ekonomi Indonesia.
2. Perlindungan terhadap hak asasi manusia.
3. Pembatasan terhadap kekuasaan Presiden yang begitu besar.
4. Sistem pemilihan umum.
Kecuali untuk dua kekosongan yang disebut pertama, Author sepakat dengan
argumen-argumen Tim Kajian ini. Dalam hal tidak adanya perlindungan terhadap
HAM, sebenarnya dalam UUD 1945 sudah ada pasal yang melindungi hak asasi
manusia; kesetaraan di depan hukum, hak untuk bekerja dan hak untuk hidup (Pasal
27), kebebasan berserikat dan menyatakan pendapat (Pasal 28), kebebasan beragama
(Pasal 29), hak untuk berpartisipasi dalam pertahanan nasional (Pasal 30), hak untuk
mendapatkan pendidikan (Pasal 31), dan kesejahteraan sosial (Pasal 34). Tetapi hak-
hak asasi yang krusial, seperti kebebasan berserikat dan berpendapat masih harus
ditetapkan dengan undang-undang. Kecacatan hukum yang telanjang ini, memberi
peluang bagi mereka yang berkuasa untuk memelintir hak kebebasan mengeluarkan
pendapat. Nyatanya, selama rezim Soeharto memerintah, undang-undang semacam
itu tak pernah direalisasikan.36
36 ibid. hlm. 160.
14
Dalam kaitannya dengan sistem pemilihan umum, bahkan tak ada kata
'pemilihan umum' pernah muncul dalam UUD 1945. ujung-ujungnya, karena tidak
ada pembatasan apapun oleh Konstitusi, kepentingan rezim Soeharto yang otoriter
bisa dengan mudah mendominasi proses Pemilu selama masa Orde baru.37
g). Penjelasan
Tidak seperti konstitusi lainnya, UUD 1945 memiliki Penjelasan sebagai
tambahan Pembukaan dan Batang Tubuhnya. Konstitusi ini adalah satu-satunya di
dunia yang punya penjelasan. Keberadaan Penjelasan dalam UUD 1945 ini
menciptakan dua masalah.38
Pertama, Penjelasan bukan produk BPUPKI atau PPKI, panitia-panitia yang
menyiapkan dan menulis draft UUD 1945. Soepomo-lah, salah satu anggota pada
kedua badan itu, yang meracik Penjelasan itu. Penjelasan itu muncul begitu saja
sebagai bagian dari UUD 1945 pada tahun 1946, dan pada tahun 1959, ketika
Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli-nya, tetapi kali ini tidak termasuk
dalam draft aslinya. Karena alasan-alasan tersebut, legitimasi Penjelasan kerap kali
dipertanyakan, dan karenanya, kekuatan mengikatnya lebih lemah ketimbang
Pembukaan dan batang Tubuh UUD 1945.39
Kedua, seperti sudah dibahas sebelumnya, penjelasan berisi banyak aturan
krusial yang semestinya ditempatkan kedalam batang Tubuh UUD 1945. Penjelasan
seharusnya tidak memuat prinsip-prinsip baru. Tapi nyatanya, banyak aturan dalam
37 ibid.38 ibid. hlm. 161.39 ibid.
15
Penjelasan yang merupakan prinsip konstitusi yang sangat penting, dan sama sekali
baru, dan karenanya, dapat digugat tidak sah.40 Misalnya:
1. Prinsip Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat).
2. Prinsip dan sistem tanggung jawab kepresidenan.
3. Prinsip independensi BPK, dan lembaga yudikatif.
b. Pentingnya Reformasi Konstitusi
Disamping kekurangan-kekurangan yang sudah dibahas sebelumnya, ada
alasan praktis, teoritis, dan historis mengapa UUD 1945 harus direformasi.
1). Alasan Teoritis
Konstitusi harus direformasi sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam
masyarakat. UUD 1945 pun seharusnya tidak boleh kebal terhadap perubahan. UUD
1945 adalah aturan buatan manusia yang tidak akan pernah sempurna.41
Di bawah pemerintahan Soeharto, mitos bahwa UUD 1945 tidak boleh
diutak-atik, salah satunya, dirumuskan kedalam kebijakan. 'konsensus nasional' yang
memberi Soeharto kewenangan untuk mengangkat orang-orang yang loyal
kepadanya untuk menduduki sepertiga keanggotaan MPR. Dengan demikian, segala
upaya untuk mengamandemen UUD 1945 tidak akan berhasil, karena salah satu
syarat untuk bisa melakukannya adalah hadirnya lebih dari dua pertiga jumlah
anggota MPR.42
40 ibid.41 ibid. hlm. 162.42 ibid.
16
2). Alasan Historis
UUD 1945 dipersiapkan dalam kurun waktu yang sangat singkat, dalam
keadaan darurat perang, dan memang pada awalnya dirancang sebagai sebuah
dokumen sementara. Jadi secara historis, konstitusi itu sendiri mengamanatkan
perubahan, dan memang disiapkan untuk mengantisipasi perubahan itu.43
3). Alasan Praktis
Pada praktiknya, selama Orde Baru, UUD 1945 secara efektif sudah
diamandemen beberapa kali. Tab MPR dan undang-undang tentang Referendum,
yang mengubah prosedur amandemen, adalah contoh 'amandemen diam-diam.'
Mohammad Fajrul Falaakh berpandangan, contoh lain amandemen diam-diam
adalah:
1. Perluasan definisi 'golongan-golongan' yang menjadi anggota MPR
mencakup pula militer.
2. Campur tangan eksekutif terhadap independensi yudikatif melalui klaim
otoritas Soeharto untuk mengangkat Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah
Agung.
3. Perluasan wilayah Indonesia hingga mencakup Timor-Timur.
Di mata Yusuf dan Basalim, diperluasnya definisi militer Indonesia, hingga
mencakup Polri, adalah amandemen diam-diam terhadap Pasal 10 UUD 1945, yang
membatasi definisi militer hanya untuk menyebut Angkatan Darat, Angkatan Laut,
dan Angkatan Udara.44
43 ibid.44 ibid. hlm. 164.
17
c. Konstitusi Indonesia Pasca Amandemen
Setelah melalui empat tahapan perubahan, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, jelas merupakan teks yang lebih demokratis
ketimbang naskah UUD 1945.45 Aturan-aturan tentang lembaga legislatif, eksekutif,
dan yudikatif serta aturan-aturan tentang hak asasi manusia, menunjukkan bahwa
Konstitusi yang telah diubah itu membakukan pemisahan kekuasaan yang lebih jelas
dan memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap hak asasi manusia, bila
dibandingkan dengan teks aslinya. Hal ini konsisten dengan pandangan bahwa
sebuah Konstitusi yang demokratis, secara khusus, mendefinisikan bagaimana
kekuasaan politik dikontrol secara efisien dan bagaimana hak-hak individu dan
masyarakat dilindungi.46
Selain Reformasi dibidang hak asasi manusia, Hasil-hasil penting yang
dicapai dari proses reformasi Konstitusi Indonesia, secara konseptual menurut
konsepsi Trias Politica, dijabarkan menjadi; reformasi legislatif, reformasi eksekutif,
dan reformasi yudisial.
1). Reformasi Legislatif
a). Reformasi Struktural
45 Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ditetapkan di Jakarta pada tanggal 19 Oktober 1999, Perubahan Kedua tanggal 18 Agustus 2000, Perubahan Ketiga tanggal 9 November 2001, dan Perubahan Keempat tanggal 10 Agustus 2002. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan nama atau penyebutan resmi untuk UUD 1945 Pasca Amandemen, baik Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga, dan Keempat.
46 Denny Indrayana, ibid. hlm. 366.
18
Keempat amandemen itu telah mengubah struktur parlemen. MPR yang
semula berisi anggota-anggota DPR dan kelompok-kelompok fungsional tambahan,
termasuk militer telah diubah, dan sekarang hanya terdiri dari DPR dan DPD.
Anggota DPR mewakili kepentingan partai-partai politik, sedangkan anggota DPD
mewakili kepentingan-kepentingan daerah yang diwakilinya. Yang terpenting, semua
anggota dari kedua kamar ini kini dipilih oleh rakyat. Ini berarti sistem 'kursi
pesanan' untuk militer dan golongan-golongan lain, sudah tidak berlaku lagi.47
b). Reformasi Fungsional
1) MPR dan Kedaulatan
Sebuah perubahan yang fundamental terjadi ketika Perubahan ketiga
mengatur bahwa; "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar." Ini berarti bahwa MPR tidak lagi menjadi satu-satunya
pemegang kedaulatan, tidak lagi menjadi lembaga tertinggi di Republik ini, dan tidak
lagi memiliki kekuasaan-kekuasaan yang tak terbatas.48
2) Reformasi DPR
Sejak Amandemen, DPR menjadi sebuah lembaga legislatif yang digdaya.
Amandemen-amandemen itu bahkan telah melahirkan DPR yang unggul, dan dengan
begitu, Konstitusi yang sarat-eksekutif menjadi Konstitusi yang sarat-DPR.49
47 ibid. hlm. 367.48 ibid.49 ibid. hlm. 369.
19
Jimly Asshiddiqie merujuk pada keterlibatan DPR dalam menerima duta
besar negara-negara asing, sebagai satu contoh betapa lebih kuat dan berkuasanya
DPR sejak amandemen. Menurutnya, Pasal ini tidak praktis dan melanggar
kelaziman dalam diplomasi internasional. Sejalan dengan ini, Fajrul Falaakh
menyatakan bahwa syarat pertimbangan DPR dalam pengangkatan duta besar
merupakan intervensi berlebihan lembaga legislatif dalam urusan eksekutif.50
Satu prestasi monumental lainnya dari proses amandemen terjadi ketika
Perubahan Pertama mencabut kekuasaan untuk membuat undang-undang dari tangan
Presiden, dan memberikannya kepada DPR. Amandemen ini mengukuhkan checks
and balances yang lebih jelas antara Presiden selaku lembaga eksekutif dan DPR
sebagai lembaga legislatif. Amandemen ini juga mengatasi situasi yang tidak
memuaskan yang ada sebelumnya, di mana Presiden memiliki kewenangan yang
lebih kuat untuk membuat undang-undang. Walaupun demikian peran legislatif DPR
masih tetap rentan. Semua rancangan undang-undang harus disetujui bersama-sama
oleh Presiden dan DPR melalui tahap pembahasan, untuk bisa menjadi sebuah
undang-undang, dan Presiden memiliki hak veto absolut untuk menolak segala
rancangan undang-undang pada tahap pembahasan demikian. Kendati, sekali
Presiden setuju, dia tidak akan bisa menggunakan hak vetonya untuk tidak
menandatangani rancangan undang-undang itu dikemudian hari. Dalam waktu tiga
puluh hari, rancangan undang-undang itu tetap akan menjadi undang-undang,
sekalipun ditolak oleh Presiden.51
50 ibid.51 ibid. hlm. 371.
20
3) Pembentukan DPD
Satu langkah reformasi legislatif lainnya adalah pembentukan Dewan
Perwakilan Daerah. Lembaga baru ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan
kepada masyarakat daerah untuk berperan lebih aktif di dalam pemerintahan, sejalan
dengan ide untuk menerapkan otonomi daerah. Tetapi DPD hanya diberi otoritas
yang terbatas, apalagi kalau dibandingkan dengan kekuasaan DPR. Tetapi,
bagaimanapun, ini adalah satu contoh lain kompromi yang dicapai dalam proses
amandemen.52
2). Reformasi Eksekutif
a). Menuju Sebuah Sistem Presidensial Konvensional
Sistem presidensial di Indonesia bulakanlah 'presidensial' yang dipahami di
Amerika Serikat dan Filipina, karena presiden-presiden Indonesia tidak dipilih secara
langsung dan dapat diberhentikan kapan saja melalui pemungutan suara di MPR.
Tetapi sejak amandemen, Indonesia sudah mengadopsi model 'sistem presidensial'
yang lebih konvensional tersebut. Ini sesuai dengan karakteristik yang disodorkan
oleh Arendt Lijpart dan Giovanni Sartori.53
Lijphrat berpendapat bahwa sebuah sistem presidensial memiliki tiga
karakteristik yang spesifik:
1. Eksekutif yang dijalankan oleh satu orang, bukan gabungan.
2. Eksekutif yang dipilih langsung oleh rakyat.
52 ibid. hlm. 372.53 ibid. hlm. 374.
21
3. Masa jabatan tertentu yang tidak bisa dicabut oleh sebuah pemungutan suara
di parlemen.
Menurut Sartori, sebuah sistem politik disebut presidensial jika Presidennya:
1. Dipilih oleh Pemilu rakyat.
2. Tidak bisa dicabut atau dihapuskan oleh pemungutan suara di parlemen,
selama dalam masa jabatannya.
3. Memimpin pemerintah yang dipilih dan diangkatnya sendiri.
b). Kekuasaan Eksekutif
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memiliki
sebuah sistem checks and balances yang lebih baik terhadap kekuasaan Presiden.
Kendati pemilihan Presiden langsung memperkuat legitimasi Presiden, ini tidak
berarti bahwa kekuasaan Presiden akan tak terbatas. Ini salah satunya, disebabkan
karena kekuasaan Presiden untuk mengangkat dan menghentikan pejabat-pejabat
tinggi negara sudah diatur dengan lebih baik.54 Sebagai misal:
1. Anggota-anggota MPR, DPR, dan DPD dipilih oleh rakyat.
2. Para anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan
dan saran-saran DPD, untuk kemudian disahkan oleh Presiden.
3. Nama-nama calon untuk diangkat menjadi Hakim Agung diserahkan oleh
Komisi Yudisial kepada DPR dan selanjutnya disahkan oleh Presiden.
c). Kekuasaan Legislatif
54 ibid. hlm. 377.
22
Kekuasaan legislatif, yang semula didominasi oleh Presiden, sekarang sudah
beralih ke tangan DPR, dengan sedikit partisipasi dari DPD. Tetapi Presiden masih
tetap memiliki kekuasaan legislatif yang signifikan. Rancangan undang-undang
dibahas dan harus disetujui oleh DPR maupun Presiden. Syarat persetujuan Presiden
ini pada dasarnya merupakan 'hak veto' bagi Presiden. Hak ini lebih kuat ketimbang
hak veto Presiden Amerika Serikat sekalipun. Di Indonesia, jika presiden menolak
sebuah rancangan undang-undang, tidak ada mekanisme yang dapat digunakan oleh
DPR dan/ atau DPD untuk mengalahkan penolakan semacam itu. Tetapi jika
Presiden sudah memberikan persetujuannya pada tahap ini, di belakang hari nanti,
dia tidak akan bisa mencabut persetujuannya itu lalu menolak menandatangani
sebuah rancangan-undang-undang agar sah menjadi undang-ndang. Tetapi demi
memperkuat sistem checks and balances, kekuasaan-kekuasaan legislatif Presiden
harus direformasi lebih lanjut dengan cara mengurangi atau membatasinya, yaitu
dengan memberi DPR dan DPD sebuah hak veto tandingan (veto over-ride) ala
Amerika Serikat, yang bisa dipakainya pada tahap pembahasan apabila Presiden
menolak.55
c). Kekuasaan Yudisial
Pada cabang yudikatif, potensi intervensi oleh Presiden sudah dikurangi oleh
amandemen konstitusi. Sebagai misal:
1. Kekuasaan Presiden untuk memberikan grasi dan rehabilitasi sekarang sudah
dibatasi dengan saran-saran Mahkamah Agung.
2. Kekuasaan Presiden untuk memberikan amnesti dan abolisi dibatasi oleh
pertimbangan-pertimbangan DPR.
55 ibid. hlm. 377 – 378.
23
3. Presiden hanya diberi kekuasaan untuk mengangkat dan memberhentikan
anggota-anggota Komisi Yudisial, dengan persetujuan DPR.
4. Presiden hanya memiliki kekuasaan terbatas dalam mengesahkan Hakim
Agung, karena nama-nama calonnya harus terlebih dahulu mendapat
persetujuan.
5. Presiden harus berbagi kekuasaan dengan DPR dan Mahkamah Agung dalam
mengangkat kesembilan hakim pada Mahkamah Konstitusi. Masing-masing
lembaga berwenang mengangkat tiga Hakim Konstitusi.
d). Impeachment
Proses impeachment atau pencopotan Presiden yang diciptakan oleh
amandemen UUD 1945 jauh lebih terperinci ketimbang sebelumnya. Prosedur yang
berlaku di Indonesia sekarang agak mirip dengan prosedur milik Amerika Serikat.
Dalam hal alasan untuk melakukan impeachment, Indonesia sudah mengadopsi
kriteria yang hampir seluruhnya sama dengan Amerika Serikat, dengan hanya
menambah 'korupsi' sebagai landasan tambahan.56
3). Reformasi Yudisial
a). Reformasi Struktural
Ada dua reformasi yudisial yang utama. Pertama, Pasal 1 ayat (3) Perubahan
Ketiga, yang terang-terangan menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara
berdasarkan hukum. Perubahan ketiga juga semakin memperkuat reformasi yudisial
dengan mamasukkan secara eksplisit prinsip 'independensi kehakiman' kedalam
56 ibid. hlm. 379.
24
UUD 1945. Prinsip ini sebelumnya hanya diatur dalam Penjelasan UUD 1945 dan
tidak pada Batang Tubuhnya.57
Kedua, bila dibandingkan dengan lembaga eksekutif maupun legislatif,
reformasi-reformasi struktural yang dilakukan terhadap lembaga yudikatif lebih
komprehensif. Perubahan Ketiga membakukan dua lembaga baru, yakni Mahkamah
Konstitusi dan Komisi Yudisial. Posisi Mahkamah Konstitusi setara dengan
Mahkamah Agung, tetapi dengan yurisdiksi yang berbeda. Keputusan untuk
membentuk sebuah mahkamah baru adalah salah satu solusi yang lebih baik
ketimbang memberikan kekuasaan yudisial yang baru kepada Mahkamah Agung,
mengingat begitu akutnya masalah korupsi di tubuh Mahkamah Agung dan di
tingkat-tingkat peradilan dibawahnya.58
b). Judicial Review
Kekuasaan-kekuasaan konstitusional yang diberikan kepada Mahkamah
Konstitusi menyumbang lebih banyak lagi terbentuknya sistem checks and balances
yang lebih baik. Salah satu kekuasaan krusial yang diberikan adalah kewenangan
untuk melakukan peninjauan atau judicial review terhadap produk-produk
perundang-undangan, sesuatu yang tidak ada sebelum Perubahan Ketiga. Bahkan
hanya dalam satu tahun sejak didirikan pada tahun 2003, Mahkamah Konstitusi
sudah berhasil "meraih reputasi dan independensinya" melalui penggunaan
kekuasaan barunya tersebut.59
57 ibid. hlm. 381.58 ibid.59 ibid. hlm. 383.
25
4). Reformasi di Bidang Hak-hak Asasi Manusia (HAM)
Reformasi di bidang HAM merupakan reformasi yang mengesankan, karena
UUD 1945 yang asli tidak memiliki aturan-aturan tentang HAM yang memadai.
Inilah salah satu kekurangan terbesar yang diatasi melalui amandemen. Setelah
Perubahan Kedua, perlindungan terhadap HAM menjadi lebih impresif, setidaknya di
atas kertas. Ross Clarke berpendapat bahwa amandemen tentang HAM adalah
"perlindungan HAM pertama yang signifikan dalam UUD 1945." Baginya,
amandemen itu mewakili "sebuah perubahan radikal dalam falsafah konstitusional
Indonesia dari model yang sangat otoriter ke yang lebih demokratis." Tim Lindsey
juga berpendapat bahwa Bab XA yang panjang dan impresif tentang Hak-Hak Asasi
Manusia itu sudah mengubah UUD 1945 asli dari sebuah dokumen yang hanya
memberi sedikit jaminan atas HAM, kesebuah dokumen yang, setidaknya dalam
pengertian formal, memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia yang lebih luas
ketimbang yang diberikan banyak negara maju.60
d. Masalah Nasionalisme versus Negara Islam
Bab XI Pasal 29 UUD 1945, tentang Agama, adalah satu-satunya bab yang
tidak diubah dalam reformasi konstitusi tahun 1999 – 2002. Penolakan terhadap
usulan untuk memasukkan 'tujuh kata' Piagam Jakarta kedalam Pasal 29 ayat (1)
lebih menegaskan bahwa perdebatan tentang nasionalisme dan negara Islam adalah
satu masalah yang sangat sensitif dan krusial dalam sejarah konstitusi Indonesia.
Perdebatan-perdebatan konstitusi tahun 1999 – 2002 tentang dimasukkannya Piagam
60 ibid. hlm. 386.
26
Jakarta, sesungguhnya mengulangi debat-debat yang sama yang pernah terjadi
sebelumnya pada tahun 1945 dan 1956 – 1959. Dari tiga periode perdebatan ini,
hasilnya selalu sama saja, yaitu mempertahankan Pembukaan (dan Pancasila) dan
menolak dimasukkannya syariah kedalam Konstitusi. Hasil yang sama ini merupakan
bukti kuat bahwa tuntutan untuk mempertahankan ideologi negara nasionalis
Pancasila dan Pasal 29 sebagaimana adanya sekarang, adalah pilihan yang paling
disukai oleh mayoritas kelompok sosial di Indonesia.61
Oleh sebab itu, kemungkinan bahwa Pembukaan (Pancasila) dan Pasal 29
harus dibakukan dalam bentuknya sekarang demi mengatasi sulitnya hubungan
antara Islam dan negara di kemudian hari, harus dipertimbangkan masak-masak. Ini
akan berarti bahwa Pembukaan dan Pasal 29 UUD 1945 harus secara eksplisit
didefinisikan sebagai aturan-aturan yang tidak dapat diubah (non-amandable
provisions). Aturan semacam ini sah-sah saja dari persepektif hukum konstitusi. Di
Perancis, misalnya, bentuk Republik "tidak boleh dijadikan objek amandemen." Di
Indonesia Perubahan Keempat mengatur bahwa bentuk negara kesatuan tidak boleh
diubah.62
B. Dasar dan Pendekatan Teoritis
1. Trias Politica
Salah satu ciri negara hukum, yang disebut the rule of law atau dalam bahasa
Belanda dan Jerman disebut rechtsstaat, adalah adanya ciri pembatasan kekuasaan
61 ibid. hlm. 387 - 388.62 ibid. hlm. 388.
27
dalam penyelenggaraan kekuasaan negara.63 Pembatasan itu dilakukan dengan
hukum yang kemudian menjadi ide dasar paham konstitusionalisme modern. Oleh
karena itu, konsep negara hukum juga disebut sebagai negara konstitusional atau
constitutional state, yaitu negara yang dibatasi oleh konstitusi. Dalam gagasan yang
sama, gagasan negara demokrasi atau kedaulatan rakyat disebut pula dengan istilah
constitutional democracy yang dihubungkan dengan pengertian negara demokrasi
yang berdasarkan atas hukum.
Upaya untuk mengadakan pembatasan terhadap kekuasaan dilakukan dengan
pola-pola pembatasan di dalam pengelolaan internal kekuasaan negara itu sendiri,
yaitu dengan mengadakan pembedaan dan pemisahan kekuasaan negara kedalam
fungsi-fungsi yang berbeda-beda. Dalam hubungan ini, yang dapat dianggap paling
berpengaruh pemikirannya dalam mengadakan pembedaan fungsi-fungsi kekuasaan
itu adalah Montesquieu dengan teori trias politica-nya.64 Yaitu cabang kekuasaan
legislatif, cabang kekuasaan eksekutif atau administratif, dan cabang kekuasaan
yudisial.65
Menurut Montesquieu, dalam bukunya "L’Espirit des Lois" (1784) atau
dalam bahasa Inggris-nya "The Spirit of The Laws", yang mengikuti jalan pikiran
John Locke, membagi kekuasaan negara kedalam tiga cabang, yaitu:
63 Jimly Asshiddiqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, edisi revisi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta. hlm. 156.
64 Nama lengkap Montesquieu yang sebenarnya adalah Charles de Secondat Baron de Labriede et de Montesquieu. Istilah trias politica, sejatinya tidak dimunculkan sendiri oleh Montesquieu. Kata trias politica yang digunakan untuk mengidentifikasi adanya pemisahan kekuasaan pada tiga poros (cabang) justru dimunculkan oleh Immanuel Kant. Lihat, SF. Marbun dan Mahfud MD, 2000, Pokok-Pokok Hukum Adminstrasi Negara, Liberty, Yogyakarta. hlm. 43.
65 Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 2, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta. hlm. 12.
28
1. Kekuasaan legislatif sebagai pembuat undang-undang.
2. Kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan.
3. Kekuasaan untuk menghakimi atau yudikatif.
Dari klasifikasi Montesquieu inilah dikenal pembagian kekuasaan negara moderen
dalam tiga fungsi, yaitu legislatif (the legislative function), eksekutif (the executive or
administrative function), dan yudisial (the judicial function).66
Sebelumnya, John Locke dalam bukunya "Two Tereatises of Government"
(1689), juga membagi kekuasaan negara dalam tiga fungsi, tetapi berbeda isinya.
Menurutnya, fungsi-fungsi kekuasaan negara meliputi:
1. Fungsi Legislatif.
2. Fungsi Eksekutif.
3. Fungsi Federatif.
Dalam bidang legislatif dan eksekutif, pendapat dua sarjana itu nampaknya
mirip. Tetapi dalam bidang yang ketiga, pendapat mereka berbeda. John Locke
mengutamakan fungsi federatif, sedangkan Baron de Montesquieu mengutamakan
fungsi kekuasaan kehakiman (yudisial). Montesquieu lebih melihat pembagian atau
pemisahan kekuasaan itu dari segi hak asasi manusia setiap warga negara, sedangkan
John Locke lebih melihatnya dari segi hubungan kedalam dan keluar negara-negara
lain. Bagi John Locke, penjelmaan fungsi defencie baru timbul apabila fungsi
diplomacie terbukti gagal. Oleh sebab itu, yang dianggap penting adalah fungsi
federatif. Sedangkan fungsi yudisial bagi Locke cukup dimasukkan kedalam kategori
fungsi legislatif, yang itu terkait dalam fungsi pelaksanaan hukum. Tetapi bagi
66 ibid . hlm. 13.
29
Montesquieu, fungsi pertahanan (defence) dan hubungan luar negerilah (diplomasi)
yang termasuk dalam fungsi eksekutif, sehingga tidak perlu dianggap tersendiri.
Justru dianggap penting oleh Montesquieu adalah fungsi yudisial atau fungsi
kekuasaan kehakiman.67
Dalam bahasa yang lebih sederhana, Miriam Budiardjo menjabarkan legislatif
sebagai kekuasan untuk membentuk undang-undang, eksekutif untuk
menyelenggarakan undang-undang, dan yudikatif adalah kekuasaan untuk mengadili
pelanggaran undang-undang. Selanjutnya, baik mengenai tugas (fungsi) maupun
mengenai alat perlengkapan (lembaga) yang menyelenggarakannya, ketiganya harus
terpisah satu sama lain.68
Sehubungan dengan itu, Montesquieu menerangkan bahwa jika kekuasaan
legislatif digabung dengan eksekutif, maka hal itu dapat mengancam kebebasan
warga negara. Sebab, jika dua kekuasaan itu diserahkan pada satu badan, hal ini
berpotensi memunculkan produk legislasi (undang-undang) yang tiranik, dan lebih
parah lagi, akan dijalankan secara tiranik pula. Selain itu, warga negara juga tidak
akan mendapati kebebasannya jika kekuasaan kehakiman tidak dipisahkan dari
kekuasaan legislatif. Sebab jika kedua kekuasaan itu disatukan, maka kewenangan
para hakim tidak hanya terbatas pada mengadili semata, tetapi juga membentuk
undang-undang. Penggabungan dua kekuasaan pada satu organ ini dipastikan akan
menghadirkan penyelenggaraan negara yang otoriter. Sama halnya, jika kekuasaan
67 ibid. hlm. 14.68 Miriam Budirdjo, 2006, Dasar-Dasar Ilmu Politik, cetakan keduapuluh delapan, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. hlm. 151.
30
yudikatif dikawinkan dengan eksekutif, maka hal ini akan berpotensi melahirkan
penguasa yang tidak kalah despotik. Sebab disaat yang sama, hakim memiliki dua
kekuasaan yang besar, yakni mengadili atas pelanggaran undang-undang dan
mengeksekusi undang-undang. Dalam kondisi inilah kebebasan warga negara
terancam hilang.69
2. Distribution of Power dan Separation of Power
Persoalan pembatasan kekuasaan (limitation of Power) berkaitan erat dengan
teori pemisahan kekuasaan (separation of power) dan teori pembagian kekuasaan
(division atau distribution of power). Pada umumnya, doktrin pemisahan kekuasaan
atau pembagian kekuasaan dianggap berasal dari Montesquieu dengan trias politica-
nya. Namun dalam perkembangannya, banyak versi yang biasa dipakai oleh para ahli
berkaitan dengan peristilahan pemisahan dan pembagian kekuasaan ini.70
Istilah "pemisahan kekuasaan" dalam bahasa Indonesia merupakan
terjemahan perkataan separation of power berdasarkan teori trias politica atau tiga
fungsi kekuasaan, yang dalam pandangan Montesquieu, harus dibedakan dan
dipisahkan secara struktural dalam organ-organ yang tidak saling mencampuri urusan
masing-masing. Kekuasaan legislatif hanya dilakukan oleh lembaga legislatif,
kekuasaan eksekutif hanya dilakukan oleh lembaga eksekutif, dan demikian pula
kekuasaan yudikatif hanya dilakukan oleh cabang kekuasaan yudisial. Sehingga pada
intinya, satu organ hanya memiliki satu fungsi, sebaliknya satu fungsi hanya
dilakukan oleh satu organ.71
69 ibid. hlm. 152 -153.70 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu... op. cit. hlm. 15.71 ibid. hlm. 15 – 16.
31
Sebagai sandingan atas konsep pemisahan kekuasaan, para ahli biasa
menggunakan pula istilah division of power atau distribution of power. Ada pula
sarjana yang menggunakan istilah division of power sebagai genus, sedangkan
separation of power merupakan bentuk species-nya. Bahkan, Arthur Mass, misalnya,
membedakan pengertian division of power tersebut kedalam dua pengertian, yaitu;
capital division of power dan territorial division of power. Pengertian pertama
bersifat fungsional, sedangkan yang kedua bersifat kewilayahan dan kedaerahan.72
Separation of power diartikan oleh O. Hood Philips dan yang lainnya sebagai
the distribution of the powers of government among different organs. Dengan kata
lain, kata separation of power diidentikkan dengan distribution of power. Oleh
karena itu, istilah-istilah separation of powers, division of powers, distribution of
powers, dan demikian pula istilah-istilah pemisahan kekuasaan dan pembagian
kekuasan, menurut Jimly Asshiddiqie, sebenarnya mempunyai arti yang sama saja,
tergantung konteks pengertian yang dianut. Jimly mencontohkan, misalnya, dalam
Konstitusi Amerika Serikat, kedua istilah separation of Power dan division of power
sama-sama digunakan. Hanya saja, istilah division of power itu digunakan dalam
konteks pembagian kekuasaan antara federal dan negara bagian (territorial division
of power), sedangkan istilah separation of power dipakai dalam konteks pembagian
kekuasaan di tingkat federal, yaitu antara legislature, the executive, dan judiciary
(capital division of power).73
72 ibid. hlm. 18.73 ibid. hlm. 19.
32
Guna membatasi pengertian separation of powers, dalam bukunya
"Constitutional Theory," G. Marshall membedakan ciri-ciri deoktrin pemisahan
kekuasaan (separation of power) itu kedalam lima aspek:
1. Differentiation.
2. Legal incompatibilty of office holding.
3. Isolation, immunity, independence.
4. Checks and balances.
5. Co-ordinate state and lack of accountability.
3. Checks and Balances
Sejalan perkembangan teori pemisahan kekuasaan, dikenal pula konsep
checks and balances. Istilah checks and balances berdasarkan kamus hukum Black’s
Law Dictionary, diartikan sebagai "arrangement of governmental powers whereby
powers of one governmental branch check or balance those of other brances ."74
Berdasarkan pengertian ini, dapat disimpulkan bahwa checks and balances
merupakan suatu prinsip saling mengimbangi dan mengawasi antar cabang
kekuasaan satu dengan yang lain. Tujuan dari konsepsi ini adalah untuk menghindari
adanya konsentrasi kekuasaan pada satu cabang kekuasaan tertentu.
Munir Fuadi, mengartikan kata "checks" dalam checks and balances sebagai
"suatu pengontrolan yang satu dengan yang lain, agar suatu pemegang kekuasaan
tidak berbuat sebebas-bebasnya yang dapat menimbulkan kesewenang-wenangan.
74 Henry Campbell Black, 1990, Black’s Law Dictionary, West Publishing, St. Paul Minn. Page 238.
33
Adapun "balance," merupakan suatu keseimbangan kekuasaan, agar masing-masing
pemegang kekuasaan tidak cenderung terlalu kuat sehingga menimbulkan tirani.75
Lebih lanjut, Munir menjabarkan operasionalisasi dari teori checks and
balances melalui cara-cara tertentu.76 Cara-cara ini adalah:
1. Pemberian kewenangan terhadap suatu tindakan kepada lebih dari satu
cabang pemerintahan.
2. Pemberian kewenangan pengangkatan pejabat tertentu kepada lebih dari satu
cabang pemerintahan.
3. Upaya hukum impeachment dari cabang pemerintahan satu terhadap cabang
pemerintahan lainnya.
4. Pengawasan langsung dari satu cabang pemerintahan yang satu terhadap yang
lainnya.
5. Pemberian wewenang kepada pengadilan sebagai pemutus kata akhir (the last
word) jika ada pertikaian antara badan eksekutif dan legislatif.
Selain dilakukan di antara lembaga-lembaga negara, checks and balances
juga dilakukan di internal lembaga negara. Di Internal Congress Amerika Serikat
sebagai misal, House of Representatives-nya berbagi kewenangan dan saling kontrol
dengan Senate untuk melaksanakan fungsi parlemen tetapi tidak saling menjegal,
meskipun keduanya mempunyai hak untuk saling memveto dalam proses legislasi.77
75 Munir Fuadi, 2009, Teori Negara Hukum Modern, PT. Refika Aditama, Bandung. hlm. 124.
76 ibid.77 Denny Indrayana, 2008, Negara Antara Ada dan Tiada, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
hlm. 16.
34
35
BAB IIPEMBAHASAN
UUD 1945 hasil amandemen yang ada sekarang ini merupakan UUD yang bukan saja isinya lebih baik jika dibandingkan dengan UUD 1945 sebelum amandemen, melainkan juga prosedur dan prosesnya sudah memadai. Ini penting dikemukaan karena sampai sekarang masih ada yang
mengatakan bahwa perubahan UUD 1945 sudah menghianati gagasan kontrak sosial oleh para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahkan ada yang mendorong-dorong Presiden agar
mengeluarkan Dekrit untuk kembali ke UUD 1945 yang asli.Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H.
Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, hlm. 169.
A. Komentar
1. UUD 1945 dan Otoriterisme
Adalah kenyataan bahwa UUD 1945 sebelum diamandemen selalu
menimbulkan otoriterisme kekuasaan.78 Ini dapat dilihat dari periodisasi berlakunya
UUD 1945 yang berlaku di tiga periode sejarah politik dan ketatanegaraan Indonesia,
yaitu pertama periode 1945 – 1949, kedua, periode 1959 – 1966, ketiga, periode
1966 – 1998.
Pertama, periode 1945 – 1949, demokrasi dapat tumbuh dan berkembang
dengan baik di bawah sistem parlementer. Pada periode ini sempat berlaku tiga
konstitusi atau UUD, yakni UUD 1945 (1945 – 1949), Konstitusi RIS 1949, dan
UUDS 1950. Pertengahan tahun 1945 dapat dianggap sebagai periode pemerintahan
fasis, karena tanpa adanya kehadiran parlemen dalam sistem pemerintahan. Jika
dilihat dari ukuran-ukuran umum berlakunya demokrasi, demokrasi tumbuh subur
ketika UUD 1945 ditinggalkan, dengan berlakunya sistem pemerintahan parlementer
78 Istilah resmi yang dipergunakan MPR RI adalah "perubahan," namun dalam praktik sehari-hari dipergunakan juga istilah amandemen dengan arti yang sama, sebab arti amandemen adalah perubahan juga.
36
yang sama sekali tidak sesuai dengan UUD 1945, melalui Maklumat No. X Tahun
1945.79
Kedua, periode 1959 – 1966, demokrasi dapat dikatakan mati sebab dengan
demokrasi terpimpin pemerintah tampil secara sangat otoriter yang ditandai dengan
pembuatan Penpres di bidang hukum, pembubaran lembaga perwakilan rakyat,
pembredelan pers secara masiv, penangkapan tokoh-tokoh politik tanpa prosedur
hukum, dan lain sebagainya. Pada periode ini berlaku UUD 1945 berdasarkan Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 yang dituangkan di dalam Keppres No. 150 dan ditempatkan di
dalam Lembaran Negara No. 75 Tahun 1959.80
Ketiga, periode 1966 – 1998, demokrasi juga tidak dapat hidup dengan wajar
karena yang dikembangkan adalah demokrasi prosedural semata-mata, yakni
demokrasi yang dibatasi dan diatur dengan undang-undang, tetapi isi undang-undang
itu melanggar substansi demokrasi. Akibatnya tidak ada kontrol yang kuat terhadap
pemerintah. Pemeran utama politik nasional adalah militer dengan sutradara
utamanya Presiden Soeharto, dan KKN merajalela sampai menjerumuskan Indonesia
ke dalam krisis multi dimensi yang sulit diatasi.81
Mengenai alasan, mengapa pada periode-periode berlakunya UUD 1945 yang
asli selalu terjadi otoriterisme, berbagai studi telah menyimpulkan bahwa UUD 1945
mengandung kelemahan sistem yang dijadikan pintu masuk untuk membangun
otoriterisme. Pertama, membangun executive heavy yang menjadikan Presiden
sebagai penentu seluruh agenda politik nasional. Kedua, memuat pasal-pasal penting
79 Moh. Mahfud MD, 2009, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Rajawali Press, Jakarta. hlm. 140.
80 ibid. hlm. 139.81 ibid. hlm. 140.
37
yang multi tafsir dan tafsir sepihak pemerintah yang harus dianggap benar. Ketiga,
memberi atribusi kewenangan yang terlalu besar kepada lembaga legislatif untuk
mengatur hal-hal penting dengan undang-undang tanpa pembatasan yang jelas,
padahal Presiden adalah pemegang kekuasaan legislatif dengan DPR yang ketika itu,
hanya diberi fungsi untuk menyetujui. Selain itu, UUD 1945 yang asli lebih
mempercayai semangat orang dari pada sistem yang kuat.82
2. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Setelah UUD 1945 diubah tampak jelas bahwa kehidupan demokrasi tumbuh
semakin baik. Dilakukannya perubahan itu sendiri sudah merupakan kemajuan yang
sudah sangat besar bagi demokrasi Indonesia, sebab pada masa terkait, jika ada
gagasan untuk mengubah UUD 1945, maka akan sangat ditabukan. Sekarang setelah
UUD 1945 diubah, siapa pun boleh mempersoalkan UUD tanpa adanya ketakutan
untuk ditangkap. Semua itu boleh dinyatakan secara bebas dan aman karena setelah
perubahan Konstitusi, kran demokrasi menjadi terbuka lebar. Akan tetapi, menurut
Mahfud MD, apapun pandangan yang kita ikuti keputusan akhirnya haruslah tetap
konstitusional atau harus bernasarkan nomokrasi, sebab demokrasi tanpa nomokrasi
dapat menimbulkan kekacauan atau anarkisme.83
Selain itu, yang saat ini tampak makin baik adalah munculnya checks and
balances secara lebih proporsional di dalam sistem ketatanegaraan. Pengujian
peraturan perundang-undangan sesuai dengan penjenjangannya sekarang sudah
berjalan baik. Pada era Orde Baru, banyak produk peraturan perundang-undangan
82 ibid. hlm. 142.83 ibid. hlm. 144.
38
yag bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, tetapi
tidak ada lembaga pengujian yang dapat dioperasionalisalkan. Padahal pada saat itu
banyak sekali undang-undang yang dinilai bertentangan dengan UUD karena
penggunaan atribusi kewenangan, dan banyak peraturan perundang-undangan di
bawah udang-undang yang bertentangan dengan undang-undang. Era Orde baru tidak
memberikan peluang pengujian undang-undang terhadap UUD (constitutional
review), karena diasumsikan bahwa undang-undang tidak dapat dibatalkan melalui
judicial review melainkan hanya dapat dibatalkan melalui legislative review.84
Sejak era reformasi, lebih-lebih sejak diubahnya UUD 1945 sampai empat
kali sudah banyak undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi sebagai
wujud "checks and balances yang mengagumkan" bagi sistem ketatanegaraan. Saat
ini lembaga legislatif tak bisa lagi membuat undang-undang dengan sembarangan
atau melalui transaksi politik tertentu, sebab produk legislasi sekarang sudah dapat
diimbangi (balancing) oleh lembaga yudisial, yakni Mahkamah Konstitusi. Terkait
pula, Mahkamah Agung sudah berkali-kali memutus permohonan judicial review
peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang. Semua ini tidak pernah
dapat terjadi ketika UUD 1945 belum diamandemen.
Kemajuan lain yang tak kalah pentingnya, adalah kinerja Dewan Perwakilan
Rakyat yang saat ini menjadi pemegang kukuasaan mebentuk undang-undang. Pra
amandemen, kekuasaan membentuk undang-undang berada di tangan Presiden,
namun sekarang berada di DPR sehingga lembaga legislatif ini menjadi lebih
berdaya.
84 ibid. hlm. 145.
39
Tak kalah penting dari semua itu, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia, memuat pengaturan yang eksplisit dan rinci tentang perlindungan terhadap
hak-hak asasi manusia. Mahfud MD, mengatakan, pelaksanaan HAM di Indonesia
pasca amandemen Konstitusi tidak lagi dijadikan residu kekuasaan, melainkan
kekuasaanlah yang menjadi residu HAM.85 Berdasarkan UUD yang asli, masalah
HAM diatur secara sumir yang pelaksanaannya diatribusikan kepada lembaga
legislatif yang kemudian berdasarkan undang-undang ternyata HAM dijadikan residu
kekuasaan dan bukan kekuasaan yang menjadi residu HAM. Inilah yang
menyebabkan baik zaman Orde Lama dan Orde Baru, selalu terjadi pelanggaran
HAM dan kekerasan-kekerasan politik yang diberi wadah undang-undang.
Sekarang, hal tersebut tidak dapat lagi dilakukan dengan mudah. Selain
memuat rincian lengkap tentang HAM yang tidak boleh diresidukan, UUD 1945
hasil perubahan sudah memuat sistem pengawasan politik dan pengawasan hukum
terhadap pemerintah, agar tidak mudah melakukan pelanggaran-pelanggaran hak
asasi manusia.86
B. Perbandingan Teoritikal
1. Urgensi Reformasi Konstitusi
Agenda paling mendasar dalam proses transisi menuju demokrasi adalah
reformasi konstitusi sebagai syarat utama dari sebuah negara demokrasi
konstitusional. Sebab, transformasi kearah pembentukan sistem demokrasi hanya
85 ibid. hlm. 147.86 ibid.
40
dimungkinkan bila didahului oleh perubahan fundamental dalam aturan konstitusi
yang memberikan dasar bagi berbagai agenda demokrasi lainnya.87
Menurut Jimly Asshiddiqie, reformasi politik dan ekonomi yang bersifat
menyeluruh tidak mungkin dilakukan tanpa diiringi oleh reformasi hukum. Namun
reformasi hukum yang menyeluruh juga tidak mungkin dilakukan tanpa didasari oleh
agenda reformasi ketatanegaraan yang mendasar, dan itu berarti diperlukan adanya
constitutional reform yang tidak setengah hati.88
Perubahan konstitusi dipengaruhi oleh seberapa besar badan yang diberikan
otoritas melakukan perubahan memahami tuntutan perubahan dan seberapa jauh
kemauan anggota badan itu melakukan perubahan. Perubahan konstitusi tidak hanya
bergantung pada norma perubahan, tetapi lebih ditentukan oleh elit politik yang
memegang suara mayoritas di lembaga yang mempunyai kewenangan melakukan
perubahan konstitusi. Lembaga yang mempunyai kewenangan melakukan perubahan
harus berhasil membaca arah perubahan yang dikehendaki masyarakat yang diatur
secara kenegaraan.89
Dalam setiap perubahan konstitusi terdapat paradigma perubahan yang harus
dipatuhi oleh pembuat perubahan. Paradigma perubahan itu menjadi "politik hukum"
perubahan konstitusi. Kesulitannya, perubahan yang diinginkan oleh masyarakat
politik tidak senantiasa sama dengan substansi perubahan yang diinginkan oleh
anggota lembaga yang meempunyai kewenangan melakukan perubahan konstitusi.90
87 Ni’matul Huda, 2008, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Rajawali Pers, Jakarta. hlm. 193.
88 ibid. Lihat pula, Jimly Asshiddiqie, "Telaah Akademis atas Perubahan UUD 1945," Jurnal demokrasi dan HAM, Vol. 1, No. 4, September – November 2001. hlm. 15.
89 Ni’matul Huda, op. cit. hlm. 194.90 ibid.
41
Perubahan konstitusi harus di dasarkan pada paradigma perubahan agar
perubahan terarah sesuai dengan kebutuhan yang berkembang dalam masyarakat.
Paradigma ini digali kelemahan sistem bangunan konstitusi lama, dan dengan
argumentasi diciptakan landasan agar dapat menghasilkan sistem yang menjamin
stabilitas pemerintahan dan memajukan kesejahteraan rakyat.91
Paradigma itu mencakup nilai-nilai dan prinsip-prinsip penting yang menjadi
dasar atau jiwa (gheist) perubahan konstitusi. Nilai dan prinsip itu dapat digunakan
untuk menyusun telaah kritis terhadap konstitusi lama dan sekaligus menjadi dasar
bagi perubahan atau penyusunan konstitusi baru. Disamping persoalan paradigma
dalam perubahan konstitusi, juga perlu diperhatikan aspek teoritik dalam perubahan
konstitusi yang akan mencakup masalah prosedur perubahan, mekanisme yang
dilakukan, sistem perubahan yang dianut, dan sunstansi yang akan diubah.92
2. Metode Perubahan Konstitusi
Berkenaan dengan prosedur perubahan konstitusi, dianut adanya tiga tradisi
yang berbeda antara satu negara dengan negara lain.
Pertama, kelompok negara-negara yang mempunyai kebiasaan mengubah
materi konstitusi dengan langsung memasukkan (insert) materi perubahan itu
kedalam naskah konstitusi. Negara-negara yang menganut sistem ini antara lain,
Republik Perancis, Jerman, dan Belanda.93 Metode ini dikenal pula dengan nama
metode renewal (pembaharuan atau perpanjangan).94 Konstitusi Perancis, misalnya,
91 ibid.92 ibid. hlm. 195.93 Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Kons... op. cit. hlm. 53.94 Sri Soemantri M., 1987, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni,
Bandung. hlm. 81.
42
terakhir kali diubah dengan cara pembaruan yang diadopsikan ke dalam naskah
aslinya pada tanggal 8 Juli 1999 lalu, yaitu mencantumkan tambahan ketentuan pada
Article 3, Article 4, dan ketentuan baru Article 53-2 naskah asli Konstitusi Perancis
yang biasa disebut sebagai Konstitusi Tahun 1958. Keseluruhan materi perubahan itu
langsung dimasukkan kedalam teks konstitusi.95
Kedua, kelompok negara-negara yang mempunyai kebiasaan mengadakan
penggantian naskah konstitusi. Metode ini dikenal pula dengan metode replace
(penggantian). Di lingkungan negara-negara ini, naskah konstitusi sama sekali
diganti dengan naskah yang baru, seperti pengalaman Indonesia dengan Konstitusi
RIS Tahun 1949 dan UUDS Tahun 1950. Menurut Jimly Asshiddiqie, pada
umumnya, negara-negara demikian ini terhitung sebagai negara yang sistem
politiknya belum mapan. Sistem demokrasi yang dibangun bersifat jatuh-bangun, dan
masih bersifat trial and error. Negara-negara miskin dan yang sedang berkembang di
Afrika dan Asia, banyak yang dikategorikan masih berada dalam kondisi demikian.
Tetapi pada umumnya, tradisi penggantian naskah konstitusi tidaklah dianggap ideal.
Praktik penggantian konstitusi itu terjadi semata-mata karena keadaan
keterpaksaan.96
Ketiga, tradisi yang dikembangkan oleh Amerika Serikat, yakni perubahan
konstitusi melalui naskah yang terpisah dari teks aslinya, yang disebut sebagai
amandemen pertama, kedua, ketiga, keempat dan seterusnya. Metode ini dikenal pula
95 Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Kons... loc. cit.96 ibid. hlm 54.
43
dengan metode amendment atau addendum (perubahan, penambahan, atau
perbaikan).97 Dengan tradisi demikian, naskah asli konstitusi tetap utuh, tetapi
kebutuhan akan perubahan hukum dasar dapat dipenuhi melalui naskah tersendiri
yang dijadikan adendum tambahan terhadap naskah asli tersebut. Menurut Jimly,
tradisi perubahan demikian memang dipelopori oleh Amerika Serikat, dan tidak ada
salahnya negara-negara demokrasi yang lain, termasuk Indonesia untuk mengikuti
prosedur yang baik seperti itu. Perubahan UUD 1945 yang telah berlangsung empat
kali berturut-turut sampai sekarang, sesungguhnya, tidak lain juga mengikuti
mekanisme perubahan gaya Amerika Serikat.98
3. Prosedur Perubahan
Mudah tidaknya prosedur perubahan dilaksanakan, mendapat perhatian yang
penting dalam studi hukum tata negara. Bahkan, telaah mengenai tipologi konstitusi
dikaitkan oleh para ahli dengan sifat rigid atau fleksibelnya suatu naskah Konstitusi
menghadapi tuntutan perubahan. Jika suatu konstitusi mudah diubah, maka konstitusi
itu bersifat fleksibel, tetapi jika sulit mengubahnya, maka konstitusi tersebut disebut
rigid atau kaku. Kadang-kadang, kekakuan suatu konstitusi dikaitkan dengan tingkat
abstraksi perumusannya ataupun dengan rinci tidaknya norma aturan dalam dalam
konstitusi itu dirumuskan. Kalau konstitusi itu hanya memuat garis besar ketentuan
yang bersifat umum, maka konstitusi itu juga kadang-kadang disebut soepel dalam
arti lentur dalam penafsirannya. Makin ringkas susunan suatu konstitusi, makin
abstrak perumusannya, maka makin soepel dan fleksibel penafsiran konstitusi itu
97 Sri Soemantri M., loc. cit.98 Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Kons... op. cit. hlm. 53 – 54.
44
sebagai hukum dasar. Namun, karena tingkat abstraksi hukum dasar dianggap
sebagai sebagai sesuatu yang niscaya, maka soal prosedur perubahanlah yang
dianggap lebih penting dan lebih menentukan kaku atau rigid tidaknya suatu
konstitusi. Makin ketat prosedur dan rumit mekanisme perubahan, makin rigid tipe
konstitusi tersebut. 99
4. Gagasan Amandemen V UUD 1945
Perbandingan UUD 1045 sebelum dan sesudah amandemen menegaskan
pandangan atau penilaian Mahfud MD, yang mengatakan bahwa UUD 1945 hasil
amandemen sudah jauh lebih baik jika dibandingkan dengan UUD 1945 yang asli,
baik dalam konsep dasarnya maupun dalam kenyataan praktiknya. Krisis-krisis yang
saat ini muncul secara beruntun, tidaklah ada kaitannya dengan perubahan konstitusi.
Menurut Mahfud, ini perlu detegaskan karena masih sering kita mendengar
pernyataan-pernyataan manipulatif bahwa bangsa ini dilanda krisis dan berbagai
bencana karena kita menghianati para pendiri negara dengan mengamandemen UUD
1945.100
Masih menurut Mahfud, pernyataan seperti itu sangatlah manipulatif dan
lucu. Jika ingin jujur sebenarnya krisis yang ada saat ini justru sebagai akibat atau
kelanjutan yang belum bisa diputus dari warisan korupsi-korupsi dalam bidang
ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan
(ipoleksosbudhankam) masa lalu ketika korupsi dibangun oleh pemerintah dengan
berlindung di bawah UUD 1945. Sementara soal bencana terjadi karena hukum alam
99 ibid. hlm. 54.100 Moh. Mahfud MD, op. cit. hlm. 152.
45
(sunnatullah) yang dapat diciptakan oleh kesalahan manajerial manusia, bukan
karena konstitusi diubah.101
Meskipun secara tegas dapat disimpulkan bahwa konstitusi hasil amandemen
kita sudah jauh lebih baik dan sah dengan segala akibat hukumnya, namun haruslah
diakui bahwa hasil amandemen tersebut masih menyisakan beberapa persoalan
sehingga usulan untuk diperbaiki kembali dengan amandemen lanjutan tetap
signifikan.
Mahfud berpendapat, masalah-masalah yang sekarang banyak dimunculkan
misalnya, mengenai DPD yang dianggap tidak mempunyai fungsi ketatanegaraan
yang berarti, masalah sistem parlemen yang dianggap tidak tegas, masalah sistem
presidensial yang menimbulkan gaya parlementer, masalah fungsi legislasi yang pada
umumnya di negara dengan sistem presidensial tidak dimiliki presiden, namun
presiden memiliki hak veto, masalah kekuasaan kehakiman yang terkait kompetensi
silang antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, eksesivitas wewenang
MK serta pengawasan hakim konstitusi oleh Komisi Yudisial, cara pengisian jabatan
presdiden dan wakil presiden jika keduanya berhalangan secara tetap dan bersamaan
sehingga terjadi kekosongan jabatan presiden dan wakil presiden, dan lain-lain.102
Gagasan penyempurnaan kembali ini tidak boleh ditabukan karena beberapa
hal.
Pertama, setiap konstitusi merupakan produk resultante atau kesepakatan
lembaga yang diberikan wewenang untuk membuat (dan mengubahnya) berdasarkan
situasi tertentu dan waktu tertentu, sehingga bila situasinya berubah, maka
101 ibid.102 ibid. hlm. 152 – 153.
46
konstitusinya juga dapat diubah kembali dengan resultante baru agar sesuai dengan
perkembangan dan kebutuhan zaman.103
Kedua, ketika perubahan dulu dilakukan, ada kemungkinan didominasi atau
dipengaruhi secara kuat oleh suasana emosi dan euphoria yang kemudian
menampung dan menuangkan berbagai gagasan untuk amandemen konstitusi tanpa
pertimbangan yang matang.104
Ketiga, dalam kenyataannya UUD 1945 hasil amandemen telah menimbulkan
beberapa masalah di lapangan baik karena ketidak jelasan konsep maupun karena
tidak antisipatif terhadap masalah konstitusional yang dapat timbul kemudian.105
Keempat, UUD 1945 hasil amandemen itu sendiri memang membuka peluang
melalui prosedur dan pembatasan tertentu yang sangat ketat untuk dilakukannya
perubahan kembali jika diperlukan sesuai dengan teori resultante sebagaimana
dikemukakan oleh K.C. Wheare.106
Akhirnya perlu ditegaskan bahwa isi konstitusi itu merupakan pilihan politik
yang disepakati oleh lembaga pembuatnya yang diberi kewenangan konstitusional.
Jadi isi konstitusi itu tidak ada kaitannya secara mutlak dengan soal benar atau salah,
dan soal baik atau jelek diantara pendapat-pendapat, dan kehendak-kehendak yang
berbeda mengenai isi konstitusi itu sendiri. Semuanya benar dan baik menurut
persepektif teori dan dalil-dalil yang dipergunakannya. Ini sama halnya dengan
putusan hakim yang belum tentu benar, sebab putusan hakim atas satu kasus bisa
103 ibid. hlm. 153.104 ibid.105 ibid. hlm. 153 – 154.106 ibid. hlm. 154
47
berbeda jika kasus itu diperiksa oleh hakim lain, baik hakim pengadilan yang lebih
tinggi maupun hakim pengadilan yang sejajar untuk kasus dan isinya sama.107
Oleh sebab itu, keberlakuan konstitusi itu bukan karena ia lebih benar atau
lebih baik daripada yang lain, melainkan karena ia disepakati untuk dipilih dan
ditetapkan sebagai konstitusi yang berlaku sehingga yang ditetapkan oleh lembaga
yang berwenang itulah yang mengikat untuk dilaksanakan sebelum diubah secara
konstitusional pula.108
107 ibid.108 ibid.
48
BAB IIIP E N U T U P
"Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely.""Kekuasaan cenderung korup. Kekuasaan mutlak akan
menghasilkan korupsi yang mutlak."(Lord Acton, A Study in Conscience and Politics, 1887)
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan-pemaparan pada bab-bab sebelumnya, Penulis
dengan ini berkesimpulan sebagai berikut:
Pertama, terkait pendapat subyektif Penulis tentang buku dengan judul;
Amandemen UUD 1945, Antara Mitos dan Pembongkaran. Reformasi konstitusi
merupakan suatu keniscayaan politik. Karenanya, upaya perubahan konstitusi tidak
boleh ditutupi dengan alasan apapun. Uraian-uraian Denny Indrayana dalam buku
ini, pada prinsipnya berusaha untuk menggambarkan mitos-mitos seputar sakralisasi
UUD 1945 yang sealu disalahgunakan oleh penguasa, dan menggambarkan pula
pembongkaran-pembongkaran seputar otoriterianisme dalam UUD 1945, sehingga
konstitusi ini tertelanjangi ketidakkonstitusionalismenya.
Disamping itu, diuraikan pula tentang Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai the highest political compact-nya Indonesia
yang sarat akan nilai-nilai demokrasi, cita negara hukum, perlindungan terhadap hak
asasi manusia, checks and balances yang "mengagumkan," dan local wisdom-nya
Bangsa Indonesia. Nilai-nilai yang sangat berharga bagi masyarakat madani (civil
society) tersebut, kecuali yang terakhir, tidak dimiliki sedikitpun oleh UUD 1945 Pra
Amandemen. Buku ini karenanya, mengingatkan kembali pembacanya akan suatu hal
yang esensial mengenai konstitusi, yang salah satunya adalah konstitusionalisme.
49
Kedua, terkait tentang UUD 1945. UUD 1945 adalah dokumen politik yang
otoriter. Baik Soekarno dan Soeharto memanfaatkan Konstitusi otoriter demikian
untuk memusatkan banyak kekuasaan negara di genggaman tangan mereka sendiri.
Karenanya, jika Republik Indonesia ingin menjadi negara yang demokratis, UUD
1945 harus direformasi. Transisi dari the dark age-nya rezim otoriter Soeharto adalah
salah satu peluang untuk mengusung reformasi ini.
Ketiga, terkait tentang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Konstitusi ini merupakan "angin segar" bagi demokrasi di Indonesia.
Kehidupan demokrasi di Indonesia tumbuh semakin baik. Perubahan konstitusi itu
sendiri, sudah merupakan suatu kemajuan besar. Mengingat, selama 32 tahun
lamanya hal ini adalah tabu, bahkan dalam wacana sekalipun. Keempat amandemen
konstitusi ini pun masih tetap lebih baik dalam menghindarkan Indonesia dari
terjerumus lagi ke dalam kegelapan. Oleh karena itu, segala upaya "irasional" untuk
kembali kepada UUD 1945 naskah asli melalui mekanisme apapun, harus dihentikan
dan dilawan. Paling tidak, Amandemen IV UUD 1945 penting untuk harus tetap
dipertahankan oleh siapapun dan dengan cara apapun.
Keempat, terkait reformasi konstitusi. Hasil reformasi konstitusi berupa UUD
1945 hasil amandemen sudah "jauh lebih baik" jika dibandingkan dengan UUD 1945
yang asli, baik dalam konsep dasarnya maupun dalam kenyataan praktiknya. Kita
hanya bisa berharap, semoga reformasi konstitusi yang dilakukan Indonesia dalam
mencari Konstitusi yang lebih efektif ini akan memandu transisi Indonesia untuk
menjadi sebuah negara yang jauh lebih demokratis kedepannya.
50
Kelima, terkait Amandemen V UUD 1945. Meskipun secara tegas dapat
disimpulkan bahwa konstitusi hasil amandemen kita sudah jauh lebih baik dan sah
dengan segala akibat hukumnya, namun harus diakui bahwa hasil amandemen
tersebut masih menyisakan beberapa persoalan sehingga usulan untuk diperbaiki
kembali dengan amandemen lanjutan tetap signifikan. Gagasan penyempurnaan
kembali ini tidak boleh ditabukan karena paling tidak setiap konstitusi merupakan
produk resultante atau kesepakatan lembaga yang diberikan wewenang untuk
membuat (dan mengubahnya) berdasarkan situasi tertentu dan waktu tertentu,
sehingga bila situasinya berubah, maka konstitusinya juga dapat diubah kembali
dengan resultante baru agar sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan zaman.
B. Saran
Berdasarkan hasil analisis dan kesimpulan-kesimpulan yang telah dicapai
sebelumnya pada Karya Tulis ini, Penulis dengan ini menggagas saran-saran sebagai
berikut:
Pertama, terkait reformasi legislatif yang telah dicapai dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penting untuk terus
mereformasi struktuk dan kekuasaan MPR, DPR, dan DPD. Oleh karena itu:
1. DPD harus diberi kekuasaan-kekuasaan yang lebih besar ketimbang apa yang
dimilikinya saat ini di bawah hasil amandemen. Seperti halnya DPR kini,
DPD harus diberi hak untuk menjalankan kekuasaan legislatif, disamping
juga hak imunitas bagi para anggotanya. Keadaan DPD saat ini
"menyedihkan" karena hanya menjadi "anak bawangnya" DPR.
51
2. MPR harus menjadi sekedar sidang bersama antara kedua kamar itu, dan
bukan lagi menjadi sebuah lembaga terpisah. Hanya dengan cara inilah ide
tentang sistem bikameral yang efektif bagi bangsa Indonesia dapat tercapai.
Cara ini akan memperkuat DPD sekaligus memperkuat internal checks and
balances, karena mampu mencegah DPR agar tidak menjadi sebuah lembaga
legislatif yang sama sekali tidak terkendali (ancaman tirani DPR).
Kedua, terkait reformasi eksekutif yang telah dicapai dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penting untuk terus mereformasi
kekuasaan dan keberadaan Presiden selaku pemegang kekuasaan eksekutif. Oleh
karena itu:
1. Perlu dilakukannya pembatasan lebih jauh terhadap kekuasaan legislatif
Presiden. Kendati Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menurut Penulis adalah local wisdom yang diciptakan
Founding Parents-nya Republik Indonesia, Aturan-aturan konstitusi ini
memungkinkan Presiden untuk menjegal rancangan undang-undang yang
tidak didukungnya. DPR dan DPD, sebagai lembaga legislatif, tidak memiliki
mekanisme untuk mengalahkan "hak veto" Presiden ini. Karenanya, demi
memperkuat sistem checks and balances, sangat penting untuk memberi DPR
dan DPD sebuah hak ala Amerika Serikat untuk memveto balik (veto over-
ride) penolakan Presiden pada tahap pembahasan.
2. Perlu dilakukannya perubahan terhadap syarat-syarat pencalonan Presiden.
Untuk menghindari adanya diskriminasi, syarat-syarat berkenaan dengan
52
kemampuan mental dan fisik "sebaiknya" dihapuskan. Indonesia perlu
mempertimbangkan untuk hanya menyebutkan syarat-syarat yang umum,
seperti kewarganegaraan dan usia minimum, seperti diatur dalam Pasal II
Bagian 1 Konstitusi Amerika Serikat.
3. Perlu diberikannya kesempatan terhadap calon-calon presiden independen
untuk mencalonkan diri sebagai Presiden. Monopoli oleh partai-partai politik
atas pengajuan seorang calon presiden "sebaiknya" diakhiri. Ini diperlukan
untuk memperkuat demokrasi yang partisipatif.
Ketiga, terkait reformasi yudisial yang telah dicapai dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penting untuk terus menyempurnakan
lembaga-lembaga penyelenggara kekuasaan kehakiman selaku pemegang kekuasaan
yudikatif. Oleh karena itu, permasalahan kekuasaan kehakiman yang terkait
kompetensi silang antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi perlu
dicarikan constitutional solution-nya. Salah satunya adalah pemisahan fungsi yang
jelas antara "Dua Menara Kembar (The Twin Tower)" ini, berupa penerapan konsepsi
Mahkamah Agung sebagai Court of Justice dan Mahkamah Konstitusi sebagai Court
of Law. Hal ini dimaksudkan agar Mahkamah Agung lebih efisien untuk mengadili
permasalahan-permasalahan penegakkan keadilan (pro justitia), juga untuk
mengurangi menumpuknya beban perkara yang sudah menumpuk di Mahkamah
Agung, dan agar terciptanya keselarasan antara Konstitusi dan segala produk
perundang-undangan di bawahnya, guna "memastikan" dan "menyelesaikan"
permasalahan-permasalahan penegakkan hukum oleh Mahkamah Konstitusi.
53
Kedepannya, kewenangan Judicial review untuk segala produk perundang-undangan
dibawah Undang-Undang Dasar, harus dilimpahkan sepenuhnya kepada Mahkamah
Konstitusi sebagai manfestasi dari Court of Law.[]
54
DAFTAR PUSTAKA
Denny Indrayana, 2007, Amandemen UUD 1945, Antara Mitos dan Pembongkaran, cetakan kedua, Mizan, Bandung.
Denny Indrayana, 2008, Negeri Antara Ada dan Tiada, Reformasi Hukum Ketatanegaraan , Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Denny Indrayana, 2008, Negeri Para Mafioso, Hukum di Sarang Koruptor, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Jimly Asshiddiqie, 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, edisi revisi, cetakan kedua, Konstitusi Press, Jakarta.
Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 1, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta.
Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 2, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta.
Jimly Asshiddiqie, 2006, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, cetakan ketiga, Konstitusi Press, Jakarta.
K. C. Wheare, 2003, Konstitusi-Konstitusi Modern, penerjemah: Muhammad Hardani, Pustaka Eureka, Surabaya.
Miriam Budiardjo, 2006, Dasar-dasar Ilmu Politik, cetakan keduapuluh delapan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Moh. Mahfud MD, 2009, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Rajawali Pres, Jakarta.
Munir Fuadi, 2009, Teori Negara Hukum Modern, PT. Refika Aditama, Bandung.
Ni’matul Huda, 2008, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Rajawali Pers, Jakarta.
SF. Marbun, dan Moh. Mahfud MD., 2000, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, cetakan kedua, Liberty, Yogyakarta.
Soehino, 2000, Ilmu Negara, cetakan ketiga, Liberty, Yogyakarta.
55
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan Undang-Undang Republik Indoenesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta.
56