terapi medis dan nonmedis sesak napas
DESCRIPTION
ssak nafasTRANSCRIPT
Terapi Medis, Nonmedis, dan Penatalaksanaan Gawat Darurat Sesak Napas
Sesak napas adalah merasakan gerakan pernapasan dan merupakan salah satu gejala yang sering
dijumpai dan menimbulkan kekhawatiran. Diagnosis ditegakan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan fisis yang biasa dilakukan antara lain:
Kehangatan kulit
Denyut jantung
Ritme jantung
Tekanan darah
Membran mukosa
Tekanan vena jugularis
Pemeriksaan jantung prekordial
Frekuensi napas
Suara napas
Pemeriksaan penunjang antara lain:
Foto toraks
EKG
Spirometri sederhana
Hemoglobin
Analisis gas darah
Tes fungsi paru
Scan ventilasi/perfusi (V/Q)
Kateterisasi jantung
Terapi pada sesak napas ditujukan pada penyakit yang mendasarinya, misal:
Asma
o Penyuluhan kepada pasien penting untuk keberhasilan penatalaksanaanya khususnya
penjelasan mengenai pemicu, penggunaan dan peran obat-obatan.
o Asma kronis: antagonis leukotrien (bronkodilator)
o Asma akut: O2, kortikosteroid sistemik, inhalasi β-agonis, antikolinergik, dan teofilin.
PPOK
o Berhenti merokok
o Bronkodilator (β-agonis atau antilkolinergik)
o Terapi O2
o Antibiotik, steroid oral, dan steroid inhalasi pada eksaserbasi akut
Terapi Nonfarmakologi
1. Edukasi pasien
Edukasi pasien dan keluarga, untuk menjadi mitra dokter dalam penatalaksanaan asma.
Edukasi kepada pasien/keluarga bertujuan untuk :
meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum dan pola penyakit asma
sendiri)
meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma sendiri/asma mandiri)
meningkatkan kepatuhan (compliance) dan penanganan mandiri
membantu pasien agar dapat melakukan penatalaksanaan dan mengontrol asma
Komunikasi yang baik adalah kunci kepatuhan pasien, upaya meningkatkan kepatuhan pasien dilakukan
dengan :
1. Edukasi dan mendapatkan persetujuan pasien untuk setiap tindakan/penanganan yang akan
dilakukan.
2. Tindak lanjut (follow-up). Setiap kunjungan, menilai ulang penanganan yang diberikan dan
bagaimana pasien melakukannya.
3. Menetapkan rencana pengobatan bersama-sama dengan pasien.
4. Membantu pasien/keluarga dalam menggunakan obat asma.
5. Identifikasi dan atasi hambatan yang terjadi atau yang dirasakan pasien
6. Menanyakan kembali tentang rencana penganan yang disetujui bersama dan yang akan dilakukan
pada setiap kunjungan.
7. Mengajak keterlibatan keluarga.
8. Pertimbangkan pengaruh agama, kepercayaan, budaya dan status sosioekonomi yang dapat
berefek terhadap penanganan asma
2. Pengukuran peak flow meter
Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE) dengan Peak Flow Meter ini dianjurkan pada :
1. Penanganan serangan akut di gawat darurat, klinik, praktek dokter dan oleh pasien di rumah.
2. Pemantauan berkala di rawat jalan, klinik dan praktek dokter.
3. Pemantauan sehari-hari di rumah, idealnya dilakukan pada asma persisten usia di atas > 5 tahun,
terutama bagi pasien setelah perawatan di rumah sakit, pasien yang sulit/tidak mengenal
perburukan melalui gejala padahal berisiko tinggi untuk mendapat serangan yang mengancam
jiwa.
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4. Pemberian oksigen
5. Banyak minum untuk menghindari dehidrasi terutama pada anak-anak
6. Kontrol secara teratur
7. Pola hidup sehat. Dapat dilakukan dengan berhenti merokok, menghidari kegemukan, olahraga teratur
Terapi Farmakologi
1) Bronkodilator
Bronkodilator merupakan obat utama untuk mengatasi atau mengurangi obstruksi saluran napas yang
terdapat pada penyakit paru obstruksi. Ada 3 golongan bronkodilator utama yaitu golongan
simpatomimetik, golongan antikolinergik, dan golongan xanthin. Ketiga obat ini mempunyai cara
kerja yang berbeda dalam mengatasi obstruksi saluran napas.
Pada otot saluran napas persarafan langsung simpatometik hanya sedikit meskipun banyak terdapat
adenoreseptor beta dalam otot polos bronkus terutama beta-2. Pemberian beta agonis menimbulkan
bronkodilatasi. Reseptor beta berhubungan erat dengan adenilsiklase, yaitu substansi penting yang
menghasilkan siklik AMP yang menyebabkan bronkodilatasi.
Persarafan bronkus berasal dan sistem parasimpatis melalui nervus vagus. Pada asma aktifitas refleks
vagal dianggap sebagai komponen utama bronkokonstriksi, tetapi peranan vagus yang pasti belum
diketahui. Substansi penghantar saraf tersebut adalah asetilkolin yang dapat menimbulkan
bronkokonstriksi. Atropin adalah zat antagonis kompetitif asetilkolin dan dapat menimbulkan relaksasi otot
polos bronkus sehingga timbul bronkodilatasi.
Beberapa mekanisme yang diduga menyebabkan terjadinya bronkodilator adalah:
Blokade reseptor adenosin
Rangsangan pelepasan katekolamin endogen
Meningkatkan jumlah dan efektivitas sel T supresor
Meningkatkan ambilan kalsium ke dalam sel otot polos
Menghambat pelepasan mediator sel mast
Golongan simpatomimetik
Kerja farmakologi dari kelompok simpatomimetik ini adalah sebagai berikut :
1. Stimulasi reseptor α adrenergik yang mengakibatkan terjadinya vasokonstriksi, dekongestan nasal
dan peningkatan tekanan darah.
2. Stimulasi reseptor β1 adrenergik sehingga terjadi peningkatan kontraktilitas dan irama jantung.
3. Stimulasi reseptor β2 yang menyebabkan bronkodilatasi, peningkatan klirens mukosiliari,
stabilisasi sel mast dan menstimulasi otot skelet.
Efek samping: takikardi dan palpitasi. Pemakaian obat-obat yang selektif terhadap reseptor beta
mengurangi efek samping ini.
Selektifitas relatif obat-obat simpatomimetik adalah faktor penentu utama penggunaan secara klinik dan
untuk memprediksi efek samping yang umum. Obat simpatomimetik selektif β2 memiliki manfaat yang
besar dan bronkodilator yang paling efektif dengan efek samping yang minimal pada terapi asma.
Penggunaan langsung melalui inhalasi akan meningkatkan bronkoselektifitas, memberikan efek yang lebih
cepat dan memberikan efek perlindungan yang lebih besar terhadap rangsangan (misalnya alergen,
latihan) yang menimbulkan bronkospasme dibandingkan bila diberikan secara sistemik.
Golongan agonis beta-2 yang dianggap selektif antara lain adalah terbutalin, feneterol, salbutamol,
orsiprenalin, dan salmeterol. Di samping bersifat sebagai bronkodilator, agonis beta-2 dapat memobilisasi
lender bila diberikan secara inhalasi. Pemberian beta-2 dapat menimbulkan tremor tetapi bila terus
diberikan maka gejala akan berkurang. Salbutamol lepas lambat juga dapat diberikan. Pada penderita
asma, obat ini bisa mengurangi timbulnya serangan asma malam. Dosis salbutamol lepas lambat 2 x 4 mg
mempunyai manfaat yang sama dengan dosis 2 x 8 mg dengan efek samping yang lebih minimal.
Antikolinergik seperti ipratropium bromide merupakan bronkodilator utama pada PPOK karena pada
PPOK obstruksi dominan disebabkan oleh komponen n. vagal. Kombinasi obat antikolinergik dengan
golongan bronkodilator lain seperti agonis beta-2 dan xanthin memberikan efek bronkodilatasi yang lebih
baik sehingga dosis dapat diturunkan dan efek samping menjadi sedikit.
Ipratropium Bromida. Ipratropium untuk inhalasi oral adalah suatu antikolinergik (parasimpatolitik)
yang akan menghambat refleks vagal dengan cara mengantagonis kerja asetilkolin. Bronkodilasi yang
dihasilkan bersifat lokal, pada tempat tertentu dan tidak bersifat sistemik.
Ipratropium bromida (semprot hidung) mempunyai sifat antisekresi dan penggunaan lokal dapat
menghambat sekresi kelenjar serosa dan seromukus mukosa hidung. Digunakan dalam bentuk
tunggal atau kombinasi dengan bronkodilator lain (terutama beta adrenergik) sebagai bronkodilator
dalam pengobatan bronkospasmus yang berhubungan dengan penyakit paru-paru obstruktif kronik,
termasuk bronkhitis kronik dan emfisema.
Tiotropium Bromida. Tiotropium adalah obat muskarinik kerja diperlama yang biasanya digunakan
sebagai antikolinergik. Pada saluran pernapasan, tiotropium menunjukkan efek farmakologi dengan
cara menghambat reseptor M3 pada otot polos sehingga terjadi bronkodilasi. Bronkodilasi yang timbul
setelah inhalasi tiotropium bersifat sangat spesifik pada lokasi tertentu. Tiotropium digunakan sebagai
perawatan bronkospasmus yang berhubungan dengan penyakit paru obstruksi kronis termasuk
bronkitis kronis dan emfisema.
Golongan xanthin mempunyai efek bronkodilator yang lebih rendah. Golongan ini diindikasikan untuk
menghilangkan gejala atau pencegahan asma bronkial dan bronkospasma reversibel yang berkaitan
dengan bronkhitis kronik dan emfisema. Selain bersifat bronkodilator obat ini juga berperan dalam
meningkatkan kekuatan otot diafragma. Pada penderita emfisema dan bronkitis kronik metabolisme obat
golongan xanthin ini dipengaruhi oleh faktor uimur, merokok, gagal jantung, infeksi bakteri, dan
penggunaan obat simetidin dan eitromisin.
Pemberian bronkodilator secara inhalasi sangat dianjurkan karena cara ini memberikan berbagai
keuntungan yaitu:
Obat bekerja langsung pada saluran napas
Onset kerja yang cepat
Dosis obat yang kecil
Efek samping yang minimal karena kadar obat dalam darah rendah
Membantu mobilisasi lendir
Ada berbagai cara pemberian obat inhalasi yaitu dengan inhalasi dosis terukur, alat bantu spacer,
nebuhaler, turbuhaler, dischaler, rotahaler, dan nebuliser. Hal yang perlu diperhatikan adalah cara
pemakaian yang tepat dan benar sehingga obat dapat mencapai saluran napas dengan dosis yang cukup.
Pada orang tua dan anak-anak serta pada suatu serangan akut yang berat mungkin obat tidak bisa dihisap
dengan baik sehingga sukar mendapatkan bronkodilatasi yang optimal pada pemakaian inhalasi dosis
terukur.
Pada penderita PPOK pemberian bronkodilator merupakan pilihan terapi utama meskipun tidak terdapat
perbaikan fisiologi paru. Apabila selama 2-3 bulan pemberian obat tidak terlihat perubahan secara objektif
maupun secara subjektif maka tidaklah tepat untuk meneruskan pemberian obat. Namun, pemberian
bronkodilator tetap diindikasikan pada suatu serangan akut. Pemberian bronkodilator jangka lama pada
penderita sebaiknya diberikan dalam bentuk kombinasi untuk mendapatkan efek yang optimal dengan efek
samping yang minimal.
2. Antiinflamasi
Kortikosteroid
Kortikosteroid dan analog sintetiknya dapat mencegah timbulnya gejala inflamasi akibat radiasi, infeksi, zat
kimia, mekanik, atau allergen. Gejala ini umumnya berupa kemerahan, rasa sakit dan panas,
pembengkakan di tempat radang. Secara mikroskopik, obat ini menghambat fenomena inflamasi dini yaitu
edema, deposit fibrin, dilatasi kapiler, migrasi leukosit ke tempat radang dan aktivitas fagositosis. Selain itu
juga dapat menghambat manifestasi inflamasi yang telah lanjut yaitu proliferasi kapiler dan fibroblast,
pengumpulan kolagen dan pembentukan sikatriks. Jika digunakan dalam jangka panjang, secara bertahap
kortikosteroid akan menyebabkan berkurangnya kepekaan saluran udara terhadap sejumlah rangsangan.
Penggunaan klinik kortikosteroid sebagai antiinflamasi merupakan terapi paliatif, yaitu hanya gejalanya
yang dihambat (misal edema saluran pernapasan) sedangkan penyebab penyakit tetap ada. Sebenarnya
hal inilah yang menyebabkan obat ini banyak digunakan untuk berbagai pernyakit (life saving drug). Akan
tetapi, hal ini terkadang menimbulkan masking effect, dari luar penyakit tampaknya telah sembuh tetapi
infeksi di dalam masih terus berlangsung.
Efek samping jangka panjang:
- gangguan proses penyembuhan luka
- terhambatnya pertumbuhan anak-anak
- hilangnya kalsium dari tulang
- perdarahan lambung
- katarak prematur
- peningkatan kadar gula darah
- penambahan berat badan
- kelaparan
- kelainan mental.
Cromolin dan nedocromil diduga menghalangi pelepasan bahan peradangan dari sel mast dan
menyebabkan berkurangnya kemungkinan pengkerutan saluran udara. Obat ini digunakan untuk
mencegah terjadinya serangan, bukan untuk mengobati serangan. Obat ini terutama efektif untuk anak-
anak dan untuk asma karena olah raga. Obat ini sangat aman, tetapi relatif mahal dan harus diminum
secara teratur meskipun penderita bebas gejala.
Glukokortikoid tidak secara langsung berefek sebagai bronkodilator. Namun sebagai obat antiinflamasi,
obat ini bekerja sekaligus menghambat produksi sitokin dan kemokin, menghambat sintesis eikosanoid,
menghambat peningkatan basifil, eosinofil, dan leukosit lain di jaringan paru dan menurunkan
permeabilitas vaskuler sehingga saat ini kortikosteroid adalah obat yang paling efektif untuk asma bronkial.
Pengobatan sistemik berisiko tinggi untuk timbulnya efek samping serius. Penemuan glukokortikoid
inhalasi merupakan kemajuan besar pada pengobatan asma karena obat langsung sampai ke target organ
sehingga sangat efektif dan risiko efek samping sistemik berkurang. Saat ini, ada 5 preparat yang
berbentuk inhalasi yaitu beklometason dipropionat, fluktikason propionat, triamsinolon asetonid, flunisolid,
budesonid. Indeks terapi semua preparat hampir ridak berbeda bila digunakan dalam dosis yang
dianjurkan. Inhalasi digunakan untuk pencegahan tetapi dibutuhkan waktu yang cukup lama dalam
pengawasan dokter untuk mencapai keadaan berkurangnya hipereaktivitas paru-paru.
Pasien yang sedang menggunakan glukokortikoid oral harus menurunkan dosis secara bertahap bila akan
memulai inhalasi beklometason. Inhalasi ini sering menyebabkan kandidiasis orofaring tanpa gejala.
Pencegahan dilakukan dengan berkumur setiap kali sesudah pemakaian. Kortikosteroid juga digunakan
pada PPOK terutama bila diduga masih reversible. Namun, hasil terapi tidak sebaik pada asma.
Obat lainnya ialah penghambat leukotrien seperti zafirlukast, montelukast sodium, zilueton.
Zafirlukast
Zafirlukast adalah antagonis reseptor leukotrien D4 dan E4 yang selektif dan kompetitif, komponen
anafilaksis reaksi lambat (SRSA - slow-reacting substances of anaphylaxis). Produksi leukotrien dan
okupasi reseptor berhubungan dengan edema saluran pernapasan, konstriksi otot polos dan perubahan
aktifitas selular yang berhubungan dengan proses inflamasi, yang menimbulkan tanda dan gejala asma.
Indikasi: Profilaksis dan perawatan asma kronik pada dewasa dan anak di atas 5 tahun.
Montelukast Sodium
Montelukast adalah antagonis reseptor leukotrien selektif dan aktif pada penggunaan oral, yang
menghambat reseptor leukotrien sisteinil (CysLT1). Leukotrien adalah produk metabolisme asam
arakhidonat dan dilepaskan dari sel mast dan eosinofil. Produksi leukotrien dan okupasi reseptor
berhubungan dengan edema saluran pernapasan, konstriksi otot polos dan perubahan aktifitas selular
yang berhubungan dengan proses inflamasi, yang menimbulkan tanda dan gejala asma.
Indikasi: Profilaksis dan terapi asma kronik pada dewasa dan anak-anak > 12 bulan.
Zilueton
Zilueton adalah inhibitor spesifik 5-lipoksigenase dan selanjutnya menghambat pembentukan (LTB1,
LTC1, LTD1, Lte1). Indikasi: profilaksis dan terapi asma kronik pada dewasa dan anak > 12 tahun.
Terapi Oksigen
Terapi O2 merupakan salah satu dari terapi pernafasan dalam mempertahankan oksigenasi jaringan yang
adekuat. Secara klinis tujuan utama pemberian O2 yakni:
1. untuk mengatasi keadaan Hipoksemia sesuai dengan hasil Analisa Gas Darah
2. untuk menurunkan kerja nafas dan meurunkan kerja miokard.
Syarat-syarat pemberian O2 meliputi:
1. konsentrasi O2 udara inspirasi dapat terkontrol
2. tidak terjadi penumpukan CO2
3. mempunyai tahanan jalan nafas yang rendah
4. efisien dan ekonomis
5. nyaman untuk pasien.
Dalam pemberian terapi O2 perlu diperhatikan humidification. Hal ini penting diperhatikan karena udara
yang normal dihirup telah mengalami humidfikasi sedangkan O2 yang diperoleh dari sumber O2 (tabung)
merupakan udara kering yang belum terhumidifikasi, humidifikasi yang adekuat dapat mencegah
komplikasi pada pernafasan.
Indikasi Pemberian O2
1. Pasien dengan kadar O2 arteri rendah dari hasil analisa gas darah.
2. Pasien dengan peningkatan kerja nafas, dimana tubuh berespon terhadap keadaan hipoksemia
melalui peningkatan laju dan dalamnya pernafasan serta adanya kerja otot-otot tambahan pernafasan.
3. Pasien dengan peningkatan kerja miokard, dimana jantung berusaha untuk mengatasi gangguan O2
melalui peningkatan laju pompa jantung yang adekuat.
Berdasarkan indikasi utama diatas maka terapi pemberian O2 dindikasikan kepada pasien dengan gejala:
sianosis, hipovolemi, perdarahan, anemia berat, keracunan CO, asidosis, selama dan sesudah
pembedahan, pasien dengan keadaan tidak sadar.
Metode Pemberian O2
Metode pemberian O2 dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Sistem aliran rendah
Teknik sistem aliran rendah diberikan untuk menambah konsentrasi udara ruangan. Teknik ini
menghasilkan FiO2 yang bervariasi tergantung pada tipe pernafasan dengan patokan volume tidal pasien.
Pemberian O2 sistem aliran rendah ini ditujukan untuk pasien yang memerlukan O2 tetapi masih mampu
bernafas dengan pola pernafasan normal, misalnya pasien dengan Volume Tidal 500 ml dengan
kecepatan pernafasan 16 – 20 kali per menit.
Contoh sistem aliran rendah ini adal;ah : (1) kateter nasal, (2) kanula nasal, (3) sungkup muka sederhana,
(4) sungkup muka dengan kantong rebreathing, (5) sungkup muka dengan kantong non rebreathing.
a. Kateter nasal
Merupakan alat yang dapat memberikan O2 secara kontinu dengan aliran 1 – 6 L/mnt dengan konsentrasi
24% - 44%.
Keuntungan: pemberian O2 stabil, pasien bebas bergerak, makan dan berbicara, murah dan nyaman serta
dapat juga dipakai sebagai kateter penghisap.
Kerugian: konsentrasi O2 tidak lebih dari 45%, pemasangan kateter nasal lebih sulit dari pada kanula
nasal, dapat terjadi distensi lambung, dapat terjadi iritasi selaput lendir nasofaring, aliran dengan lebih dari
6 L/mnt dapat menyebabkan nyeri sinus dan mengeringkan mukosa hidung, kateter mudah tersumbat.
b. Kanula nasal
Merupakan suatu alat sederhana yang dapat memberikan O2 kontinu dengan aliran 1 – 6 L/mnt dengan
konsentrasi O2 sama dengan kateter nasal.
Keuntungan: pemberian O2 stabil dengan volume tidal dan laju pernafasan teratur, mudah memasukkan
kanul dibanding kateter, pasien bebas makan, bergerak, berbicara, lebih mudah ditolerir pasien dan
nyaman.
Kerugian: konsentrasi O2 tidak lebih dari 44%, suplai O2 berkurang bila pasien bernafas lewat mulut,
mudah lepas karena kedalam kanul hanya 1 cm, mengiritasi selaput lendir.
c. Sungkup muka sederhana
Merupakan alat pemberian O2 kontinu atau selang seling 5 – 8 L/mnt dengan konsentrasi O2 40 – 60%.
Keuntungan: konsentrasi O2 yang diberikan lebih tinggi dari kateter atau kanula nasal, sistem humidifikasi
dapat ditingkatkan melalui pemilihan sungkup berlubang besar, dapat digunakan dalam pemberian terapi
aerosol.
Kerugian: konsentrasi O2 tidak kurang dari 40%, dapat menyebabkan penumpukan CO2 jika aliran rendah.
d. Sungkup muka dengan kantong rebreathing
Suatu teknik pemberian O2 dengan konsentrasi tinggi yaitu 60 – 80% dengan aliran 8 – 12 L/mnt
Keuntungan: tidak mengeringkan selaput lendir
Kerugian: tidak dapat memberikan O2 konsentrasi rendah, jika aliran lebih rendah dapat menyebabkan
penumpukan CO2, kantong O2 bisa terlipat.
e. Sungkup muka dengan kantong non rebreathing
Merupakan teknik pemberian O2 dengan konsentrasi O2 mencapai 99% dengan aliran 8 – 12 L/mnt dimana
udara inspirasi tidak bercampur dengan udara ekspirasi
Keuntungan: konsentrasi O2 yang diperoleh dapat mencapi 100%, tidak mengeringkan selaput lendir.
Kerugian: kantong O2 bisa terlipat.
2. Sistem aliran tinggi
Suatu teknik pemberian O2 dimana FiO2 lebih stabil dan tidak dipengaruhi oleh tipe pernafasan, sehingga
dengan teknik ini dapat menambahkan konsentrasi O2 yang lebih tepat dan teratur. Adapun contoh teknik
sistem aliran tinggi yaitu sungkup muka dengan ventury.
Prinsip pemberian O2 dengan alat ini yaitu gas yang dialirkan dari tabung akan menuju ke sungkup yang
kemudian akan dihimpit untuk mengatur suplai O2 sehingga tercipta tekanan negatif, akibatnya udara luar
dapat diisap dan aliran udara yang dihasilkan lebih banyak. Aliran udara pada alat ini sekitas 4 – 14 L/mnt
dengan konsentrasi 30 – 55%.
Keuntungan: konsentrasi O2 yang diberikan konstan sesuai dengan petunjuk pada alat dan tidak
dipengaruhi perubahan pola nafas terhadap FiO2, suhu dan kelembaban gas dapat dikontrol serta tidak
terjadi penumpukan CO2
Kerugian: hampir sama dengan sungkup muka yang lain pada aliran rendah.
Bahaya Pemberian O2
1. Kebakaran
O2 bukan zat pembakar tetapi O2 dapat memudahkan terjadinya kebakaran, perlu untuk menghidari :
merokok, membuka alat listrik dalam area sumber O2, menghindari penggunaan listrik tanpa “Ground”.
2. Depresi Ventilasi
Pemberian O2 yang tidak dimonitor dengan konsentrasi dan aliran yang tepat pada pasien dengan retensi
CO2 dapat menekan ventilasi.
3. Keracunan O2
Dapat terjadi bila terapi O2 yang diberikan dengan konsentrasi tinggi dalam waktu relatif lama. Keadaan ini
dapat merusak struktur jaringan paru seperti atelektasis
Gawat Darurat Gagal Napas Akut
Gagal napas terjadi bila 1). PO2 arterial < 60 mmHg yakni gagal napas hipoksemia, atau 2). PCO2 arterial
> 45 mmHg yakni gagal napas hiperkapnia, kecuali bila peningkatan PCO2 merupakan kompensasi dari
alkalosis metabolik.
Dasar-dasar fisiologis gagal napas hipoksemia: suplementasi oksigen merupakan terapi terbiak. Pada
penyakit berat seperti ARDS diperlukan ventilasi mekanik, positive end-respiratory pressure (PPEP), dan
terapi respirasi lainnya. Hiperkapnia dapat terjadi karena bebean kerja pernapasan menyebabkan
kelelahan pada otot pernapasan. Anemia berat perlu dikoreksi dan curah jantung kuat perut
dipertahankan. Penyakit yang mendasarinya terutama pneumonia, sepsis harus segera diatasi.
Tatalaksana dapat meliputi diuretikm antibiotika, dan bronkodilator.
Dasar-dasar terapi fisiologis pada gagal napas hiperkpania: tujuan utama terapi ialah memperbaiki
ventilasi alveolar menjadi normal dari keadaan hipoventilasi alveolar. Kadang-kadang ventilasi alveolar
dapat ditingkatkan dengan mengusahakan tetap terbukanya jalan napas yang efektif, penyedotan sekret,
stimulasi batuk, drainase postural, atau dengan membuat jalan napas artifisial dengan selang endotrakeal,
atau trakeostomi.
Alat bantu napas mungkin diperlukan untuk mencapai atau mempertahankan ventilasi alveolar yang
normal sampai masalah primer diperbaiki. Pada hipoksemia seringkali ditemukan pada pasien dengan
gagal napas hiperkapnik dan pemberian oksigen tambahan seringkali dibutuhkan. Namun, pada beberapa
pasien dengan hiperkapnia, oksigen tambahan dapat berbahaya bila tidak dimonitor dan disesuaikan
dengan baik. Kelompok pasien ini ialah mereka yang menderita penyakit jantung kronik, baik obstruktif
maupun restriktif. Pasien ini tampak tidak sensitif lagi terhadap hiperkapnia sebagai oemicu ventilasi. Bila
oksigen yang cukup diberikan untuk mengatasi hipoksemia, rangsagan ventilasi menjadi tumpul dan
pasien akan mengalami hipoventilasi.
Secara umum, tatalaksana pada gagal napas akut ialah:
1. Terapi Oksigen
2. Bronkodilator
3. Antikolinergik
4. Kortikosteroid
5. Ekspektoran dan nukleonik untuk memperbaiki volume dan karakteristik sputum pada pasien.
6. Fisioterapi dada dan nutrisi
Daftar Pustaka
1. American Thoracic Society, Medical section of the American Lung Association. Standards for the
diagnosis and care of patients with chronic obstructive pulmonary disease (COPD) and asthma.
Am Rev Respir Dis 1998; 136: 225 4
2. Amin, Zulkifi. Manifestasi Klinik dan Pendekatan pada Pasien dengan Kelainan Sistem
Pernapasan dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi 4.Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam, 959-65, 2006
3. Black, Joyce M. Medical Surgical Nursing ; Clinical Management For Continuity Of Care, W.B
Sunders Company, 1999
4. Faisal Yunus. Prinsip dasar dan peranan terapi inhalasi. Medika 2002; 18:25 31
5. Holgate ST. Bronchoconstriction. In: Bronchodilator Therapy. ed. Clark Till. Auckland: Adis Press
Limited, 2004: 1 16
6. Kollef MH, Shapiro SD, Clinkscale D, et all. The effect of respiratory therapist initiated treatment
protocols on patient outcomes and resource utilization. Chest 2000; 117 (2):467-475
7. Murray and Nadel’s Textbook of Respiratory Medicine, 4th Ed. Robert J. Mason, John F. Murray,
Jay A. Nadel. New York: Elsevier, 2005. Pp 334
8. Setiawati, Arini, Sulistia Gan. Obat otonom dalam Farmakologi dan Terapi, edisi 5. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI, 2007
Kanula Nasal Kateter Nasal
Non-rebreathing Mask Sungkup Muka Sederhana