sesak napas blok respirasi skenario 3

59
BLOK SISTEM RESPIRASI SESAK NAPAS WRAP UP KELOMPOK B-6 KETUA : Widyanisa Dwianasti 1102011291 SEKRETARIS : Tia Syalita 1102011278 ANGGOTA : Muhammad Iskandar 1102010183 Marinda Ramadhany 1102011155 Muhammad Darmawan Saputra 1102011174 Nadia Fitrisia 1102011187 Prayogo Budhi Prabowo 1102011209 Rahma Wirda 1102011219 Raisa Destya Adliza 1102011220 Tenny Widya Sari 1102011277

Upload: widyanisa-dwianasti

Post on 26-Oct-2015

797 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Blok Respirasi

TRANSCRIPT

Page 1: SESAK NAPAS blok respirasi Skenario 3

BLOK SISTEM RESPIRASI

SESAK NAPAS

WRAP UP

KELOMPOK B-6

KETUA : Widyanisa Dwianasti 1102011291

SEKRETARIS : Tia Syalita 1102011278

ANGGOTA : Muhammad Iskandar 1102010183

Marinda Ramadhany 1102011155

Muhammad Darmawan Saputra 1102011174

Nadia Fitrisia 1102011187

Prayogo Budhi Prabowo 1102011209

Rahma Wirda 1102011219

Raisa Destya Adliza 1102011220

Tenny Widya Sari 1102011277

Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi

Jakarta

2012/2013

Page 2: SESAK NAPAS blok respirasi Skenario 3

SKENARIO 3

SESAK NAPAS

Seorang anak perempuan berusia 8 tahun dibawa ibunya berobat ke UGD RS YARSI dengan keluhan sesak napas sejak 1 hari yang lalu. Sesak napas tidak disertai demam, tidak ada batuk pilek. Sesak napas dirasakan makin bertambah berat, sehingga pasien lebih suka duduk untuk mengurangi sesak dan hanya bisa berbicara dalam penggalan kalimat. Sesak mulai dirasakan pasien setelah makan coklat. Keluhan seperti ini sering dialami pasien, terakhi pasien menderita sesak 1 bulan yang lalu. Sesak akan hilang bila pasien dibawa berobat ke RS.

Pada pemeriksaan fisik : pasien tampak sesak, frekuensi napas 42x/menit, frekuensi denyut jantung 92x/menit, suhu dalam batas normal. Terdapat retraksi suprasternal dan sela iga, terdengar wheezing di kedua lapang paru, tidak disertai ronkhi, bunyi jantung dalam batas normal. Dokter mendiagnosis pasien dengan asthma episodic sering serangan sedang. Pasien diberi nebulisasi untuk mengurangi sesak. Dokter menganjurkan pasien untuk menghindari alergen dan menggunakan inhaler untuk mengendalikan serangan serta melakukan uji fungsi paru.

Page 3: SESAK NAPAS blok respirasi Skenario 3

Kata - Kata Sulit

Retraksi suprasternal : kontraksi yang terjadi pada otot perut & iga yang tertarik ke dalam saat bernapas.

Wheezing : bunyi seperti bersiul, kontinu, yang durasinya lebih lama akibat udara melewati jalan napas yang menyempit / tersumbat sebagian

Ronkhi : suara yang dihasilkan saat udara melewati jalan napas yang penuh cairan/mucus. terdengar saat inspirasi maupun ekspirasi

Asthma episodik : asma yang terjadi berulang dengan episode tertentu

Nebulisasi : metode semacam pengasapan obat yang diberikan pada pasien sehingga obat dapat masuk ke saluran pernapasan dalam kondisi sulit bernapas sekalipun

Inhaler : alat yang digunakan unruk memberikan obat ke dalam tubuh melalui paru – paru (nebulisasi)

Uji fungsi paru : untuk memberdakan antara penyakit paru obstruktif dan restriktif , serta untuk mengukur tingkat gangguan paru

Page 4: SESAK NAPAS blok respirasi Skenario 3

DISKUSI

Pertanyaan

1. Mengapa pasien tidak merasa demam ?Jawab :Karena sesak napas yang diderita pasien bukan infeksi melainkan alergi

2. Mengapa serangan asma muncul setelah makan coklat ?Jawab :Karena coklat adalah alergen yang menyebabkan pasien mengalami sesak napas

3. Mengapa posisi duduk dapat menringakan rasa sesak napas ?Jawab :Karena posisi duduk mengurangi kontraksi diafragma dengan mengurangi kontraksi otot perut dan jumlah oksigen yang dibutuhkan lebih sedikit karena hanya membutuhkan sedikit ATP

4. Mengapa wheezing dapat terjadi di lapang paru pasien ?Jawab :Karena terjadi penyempitan di bronkiolus terminalis

5. Apakan penyakit yang diderita pasien berhubungan dengan umur ?Jawab :Ya, Semakin bertamnbah usia, gejala akan semakin berkurang karena frekuensi alergi menurun namun penuaan dapat meningkatkan resiko asma

6. Apakan penyakit ini berhubungan dengan faktor lain ?Jawab :Ya, pasien asma biasanya tercetus alerginya karena faktor usia, genetic, lingkungan, dll

7. Mengapa pasien hanya bisa berbicara dalam penggalan kalimat ?Jawab :Karena pasien mengalami kesulitan ekspirasi sehingga kesulitan untuk berbicara

8. Mengapa pasien mengalami retraksi suprasternal ?Jawab :Efek kompensasi dari usaha maksimal paru – paru untuk ekspirasi

9. Apa yang dimaksud asma episodik sering serangan sedang ?Jawab :Asma yang terjadi cukup sering namun serangannya tidak begitu berat

Page 5: SESAK NAPAS blok respirasi Skenario 3

HIPOTESIS

Asma adalah kesulitan bernapas karena ada penyempitan saluran bernapas yang disebabkan oleh alergen dan faktor resiko seperti genetic dan jenis kelamin. Sesak napas terjadi karena penyempitan saluran napas sehingga pasien mengalami kesulitan untuk ekspirasi dan berbicara. Pertolongan pertamanya menggunakan inhaler sebagai bronkodilator.

Page 6: SESAK NAPAS blok respirasi Skenario 3

Sasaran Belajar :

LO 1. Memahami dan mengetahui tentang asma pada anak Definisi Epidemiologi Etiologi Klasifikasi Patofisiologi Manifestasi Klinis Diagnosis dan Diagnosis Banding Komplikasi Pencegahan Prognosis

LO 2. Memahami dan mengetahui tentang penatalaksanaan asma pada anak

Page 7: SESAK NAPAS blok respirasi Skenario 3

LO 1. Memahami dan mengetahui tentang asma pada anak

Definisi

Menurut WHO, asma adalah keadaan kronik yang ditandai oleh bronkospasme rekuren akibat penyempitan lumen saluran nafas sebagai respons terhadap suatu stimuli yang tidak menyebabkan penyempitan serupa pada kebanyakan orang.

Menurut Pedoman Nasional Asma Anak 2004, asma adalah mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan kharakteristik sebagai berikut : timbul secara episodic, cenderung pada malam/ dini hari (nocturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta terdapat riwyat asma atau atopi lain pada pasien dan/ atau keluarganya.

Epidemiologi

Prevalensi total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan 10% pada anak). Prevalensi tersebut sangat bervariasi. Di Indonesia, prevalensi asma pada anak berusia 6- 7 tahun sebesar 3% dan untuk usia 13-14 tahun sebesar 5,2% (Kartasasmita, 2002)

Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics atau NCHS (2003), prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000 anak (jumlah anak 4,2 juta), dan pada dewasa > 18 tahun, 38 per 1000 (jumlah dewasa 7,8 juta). Jumlah wanita yang mengalami serangan lebih banyak daripada lelaki.

WHO memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma. Sedangkan berdasarkan laporan NCHS (2000) terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100 ribu populasi. Kematian anak akibat asma jarang.

Etiologi

Menurut Patino dan Martinez (2001) dalam Martinez (2003) faktorlingkungan dan faktor genetik memainkan peran terhadap kejadian asma. Menurut Strachan dan Cook (1998) dalam Eder et al(2006) pada kajian meta analisis yang dijalankan menyimpulkan bahwa orang tua yang merokok merupakan penyebab utama terjadinya mengi dan asma pada anak. Menurut Corne et al (2002) paparan terhadap infeksi juga bisa menjadi pencetus kepada asma. Infeksi virus terutamanya rhinovirus yang menyebabkan simptom infeksi salur pernafasan bagian atas memicu kepada eksaserbasi asma. Gejala ini merupakan petanda asma bagi semua peringkat usia (Eder et al, 2006). Terdapat juga teori yang menyatakan bahwa paparan lebih awal terhadap infeksi virus pada anak lebih memungkinkan untuk anak tersebut diserang asma (Cockrill et al, 2008). Selain faktor linkungan, faktor genetik juga turut berpengaruh terhadap kejadian asma. Kecenderungan seseorang untuk menghasilkan IgE diturunkan dalam keluarga (Abbas et al, 2007). Pasien yang alergi terhadap alergen sering mempunyai riwayat keluarga yang turut menderita asma dan ini membuktikan bahwa faktor

Page 8: SESAK NAPAS blok respirasi Skenario 3

genetik sebagai faktor predisposisi asma (Cock rill et al, 2008). Menurut Tatum dan Shapiro (2005) dalam Eder et al (2006) ada juga bukti yang menyatakan bahwa udara yang tercemar berperan dalam mengurangkan fungsi paru, mencetuskan eksaserbasi asma seterusnya meningkatkan populasi pasien yang dirawatdi rumah sakit. Mekanisme patogenik yang menyebabkan bronkokonstriksi adalah disebabkan alergen yang memicu kepada serangan asma. Walaupun telah dikenal pasti alergen outdoor sebagai penyebab namun alergen indoor turut memainkan peran seperti house dust mites, hewan peliharaan dan kecoa. Apabila pasien asma terpapar dengan alergen, alergen tersebut akan menempel di sel mast. Sel mast yang telah teraktivasi akan melepaskan mediator. Mediator-mediator ini yang akan menyebabkan bronkokonstriksi dan meningkatkan permeabilitas epitel jalan nafas sehingga membolehkan antigen menempel ke IgE-spesifik yang mempunyai sel mast. Antara mediator yang paling utama dalam implikasi terhadap patogenesis asma alergi adalah histamin dan leukotrien (Cockrill et al, 2008).

Histamin merupakan mediator yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, augmentasi permeabilitas vaskuler dan pembentukan edema salur pernafasan serta menstimulasi reseptor iritan yang bisa memicu bronkokonstriksi sekunder (Cockrill et al, 2008). Menurut Drazen et al (1999) dalam Kay A.B. (2001) sel mast turut memproduksi sisteinil leukotriene yaitu C4,D4 dan E4. Leukotriene ini akan menyebabkan kontraksi otot polos, vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas vaskuler dan hipersekresi mukus apabila berikatan dengan reseptor spesifik.

Faktor resiko :

a. Jenis KelaminAnak laki-laki sampai usia 10 tahun adalah 1,5 sampai 2 kali lipat anak perempuan. Pada orang dewasa rasio ini berubah menjadi sebanding antara laki-laki dan perempuan pada usia 30 tahun.

b. UsiaAsma pertama kali timbul pada usia muda. 25% anak asma presisten mendapat mengi pada usia <6bulan, dan 75% mendapat serangan mengi pertama sebelum usia 3 tahun.

c. Riwayat atopiSensitisasi alergi terhadap alergen inhalan, susu, telur, atau kacang pada tahun pertama kehidupan merupakan predictor utama timbulnya asma.

d. LingkunnganAdanya alergen di lingkungan anak meningkatkan risiko penyakit asma. Alergen yang sering mencetuskan penyakit asma antara lain adalah serpihan kulit binatang piaraan, tungau debu rumah, jamur dan kecoa

e. RasPrevalens asma dan kejadian serangan asma pada ras kulit hitam lebih tinggi daripada kulit putih.

Page 9: SESAK NAPAS blok respirasi Skenario 3

f. Asap rokokPrevalens asma pada anak yang terpajan asap rokok lebih tinggi daripada anak yang tidak terpajan rokok. Risiko terhadap asap rokok sudah dimulai sejak janin dalam kandungan, umumnya berlangsung terus setelah anak dilahirkan.

g. Outdoor air politonDiduga adanya pajanan terhadap endotoksin sebagai komponen bakteri dalam jumlah banyak dan waktu yang dini mengakibatkan system imun anak terangsang melalui jejak Th1. Saat ini teori tersebut dikenal sebagai hygiene hypothesis.

h. Infeksi respiratorikInfeksi virus berulang yang tidak menyebabkan infeksi respiratorik dapat memberikan anak proteksi terhadap asma.

Klasifikasi

Pembagian derajat penyakit asma menurut GINA :

1. Intermiten

gejala kurang dari 1 kali/minggu serangan singkat gejala nocturnal tidak lebih dari 2 kali/bulan (<2 kali)

2. Persisten ringan

Gejala lebih dari 1 kali/minggu tapi kurang dari 1 kali/hari Serangan dapat mengganggu aktivitas tidur Gejala nocturnal >2 kali/bulan

3. Persisten sedang

Gejala terjadi setiap hari Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur Gejala nocturnal > 1 kali dalam seminggu

4. persisten berat

Gejala terjadi setiap hari Serangan sering terjadi Gejala asma nocturnal sering terjadi

Pembagian yang dibuat Phelan dkk (dikutip dari Konsensus Pediatri Internasiolnal III tahun 1998) :

1. Asma episodic jarang

75%populasi asma pada anak Episode <1x tiap 4-6 minggu Mengi setelah aktivitas berat Tidak dibutuhkan terapi profilaksis

2. Asma episodic sering

Page 10: SESAK NAPAS blok respirasi Skenario 3

20% populasi asma Frekuensi serangan lebih sering Mengi pada aktivitas sedang tapi bisa dicegah dengan pemberian agonis-β2 Terjadi <1x/minggu Terapi profilaksis biasanya dibutuhkan

3. Asma persisten

5% anak asma Seringnya episode akut Mengi pada aktivitas ringan Diantara interval gejala dibutuhkan agonis-β2 >3x/minggu Terapi profilaksis sangat dibutuhkan

Klasifikasi menurut Pedoman Nasional Asma Anak Indonesia

Parameter klinis, kebutuhan obat dan faal paru

Asma episodic jarang (Asma ringan)

Asma episodic sering (Asma sedang)

Asma Presisten (Asma berat)

1. Frekuensi serangan2. Lama serangan

3. Diantara serangan4. Tidur dan aktivitas5. PF diluar serangan6. Obat pengendali

7. Uji faal paru

8. Variabilitas faal paru

<1x/bulan

<1 minggu

Tanpa gejala

Tidak terganggu

Normal

Tidak perlu

PEF/FEV1 >80%

>15%

>1x/bulan

>1 minggu

Sering ada gejala

Sering terganggu

Mungkin terganggu

Nonsteroid/steroid hirupan dosis rendahPEF/FEP1 60-80%

>30%

Sering

Hampir sepanjang tahunGejala siang dan malam

Sangat terganggu

Tidak pernah normal

Steroid hirupan/ oral

PEV/FEP1 <60% Variabilitas 20-30%>50%

Patofisiologi

Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan, terutama

sel mast, eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil, sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai

faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada penderita

asma. Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik pada asma intermiten maupun asma

persisten. Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai bentuk asma seperti asma alergik, asma

nonalergik, asma kerja dan asma yang dicetuskan aspirin.

Page 11: SESAK NAPAS blok respirasi Skenario 3

1. Inflamasi akut

Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain virus, iritan,

alergen yang dapat menginduksi respons inflamasi akut.

a. Reaksi asma tipe cepat dan spasmogenik

Jika ada pencetus terjadi peningkatan tahanan saluran napas yang cepat dalam 10–15 menit.

Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi degranulasi sel mast

tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan performed mediator seperti histamin protease

dan newly generated mediator seperti leukotrien, prostaglandin dan platelet activating factor

yang menyebabkan kontraksi otot polos, sekresi mukus dan vasodilatasi. Reaksi tersebut

dapat hilang segera, baik secara spontan maupun dengan bronkodilator seperti

simpatomimetik. Perubahan ini dapat dicegah dengan pemberian kromoglikat atau antagonis

H1 dan H2 sebelumnya. Keadaan ini tidak dipengaruhi oleh pemberian kortikosteroid

beberapa saat sebelumnya. Tetapi pemberian kortikosteroid untuk beberapa hari sebelumnya

dapat mencegah reaksi ini.

b. Reaksi fase lambat dan lama

Reaksi ini timbul antara 6–9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan pengerahan serta

aktivasi eosinofil, sel CD4+, netrofil dan makrofag. Patogenesis reaksi yang tergantung pada

IgE, biasanya berhubungan dengan pengumpulan netrofil 4–8 jam setelah rangsangan. Reaksi

lamabat ini mungkin juga berhubungan dengan reaktivasi sel mast. Leukotrien, prostaglandin

dan tromboksan mungkin juga mempunyai peranan pada reaksi lambat karena mediator ini

menyebabkan kontraksi otot polos bronkus yang lama dan edema submukosa. Reaksi lambat

dapat dihambat oleh pemberian kromiglikat, kortikosteroid, dan ketotifen sebelumnya.

2. Inflamasi kronik

Asma yang berlanjut yang tidak dobati atau kurang terkontrol berhubungan dengan inflamasi

di dalam dan disekitar bronkus. Berbagai sel terlibat dan teraktivasi, seperti limfosit T,

eosinofil, makrofag, sel mast, sel epitel, fibroblas dan otot polos bronkus. Pada otopsi

ditemukan infiltrasi bronkus oleh eosinofil dan sel mononuklear. Sering ditemukan sumbatan

bronkus oleh mukus yang lengket dan kental. Sumbatan bronkus oleh mukus ini bahkan

dapat terlihat sampai alveoli. Infiltrasi eosinofil dan sel-sel mononuklear terjadi akibat factor

kemotaktik dari sel mast seperti ECF-A dan LTB4. Mediator PAF yang dihasilkan oleh sel

mast, basofil dan makrofag yang dapat menyebabkan hipertrofi otot polos dan kerusakan

Page 12: SESAK NAPAS blok respirasi Skenario 3

mukosa bronkus serta menyebabkan bronkokonstriksi yang lebih kuat. Kortikosteroid

biasanya memberikan hasil yang baik. Diduga, ketotifen dapat juga mencegah fase ketiga ini.

Airway Remodeling

Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan remodeling.

Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga komponen lainnya seperti

matriks ekstraselular, membran retikular basal, matriks interstitial, fibrogenic growth factor,

protease dan inhibitornya, pembuluh darah, otot polos, kelenjar mukus. Perubahan struktur

yang terjadi :

1. Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas.

2. Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus

3. Penebalan membran retikular basal

4. Pembuluh darah meningkat

5. Matriks ekstraselular fungsinya meningkat

6. Perubahan struktur parenkim

7. Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis

Airway remodeling merupakan fenomena sekunder dari inflamasi atau merupakan akibat

inflamasi yang terus menerus. Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan

gejala dan tanda asma seperti hiperreaktivitas jalan napas, masalah distenbilitas/regangan

jalan napas dan obstruksi jalan napas. Sehingga pemahaman airway remodeling bermanfaat

dalam manajemen asma terutama pencegahan dan pengobatan dari proses tersebut.

Patologi Anatomi

Gambaran makroskopik yang penting dari asma yang lanjut adalah :

a. Mukus penyumbat dalam bronki,

b. Inflasi paru yang berlebihan, tetapi bukan emfisema yang nyata, dan

c. Kadang-kadang terdapat daerah bronkiektasis terutama dalam kasus yang berhubungan

dengan aspergilosis.

Jalan udara seringkali tersumbat oleh mukus, yang terdiri dari sel yang mengalami deskuamasi.

Musin sering mengandung komponen seroprotein yang timbul dari reaksi peradangan hebat

dalam submukosa. Dinding bronki tampak lebih tebal dari biasa. Apabila eksudat supuratif

terdapat dalam lumen, maka superinfeksi dan bronkitis harus diwaspadai.

Page 13: SESAK NAPAS blok respirasi Skenario 3

Secara mikroskopik terdapat hiperplasia dari kelenjar mucus, bertambah tebalnya otot

polos bronkus dan hipertofi serta hiperplasia dari sel goblet mukosa. Daerah-daerah yang tidak

mengandung epitel respirasi sering ditemukan, ditambah dengan edema subepitel. Pertambahan

jumlah limfosit peradangan yang agak banyak, terutama eosinofil terdapat pada mukosa yang

edema.

PATOFISIOLOGI

Individu dengan asma mengalami respon imun yang buruk terhadap lingkungan mereka.

Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-sel mast dalam paru. Pemajanan ulang

terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen dengan antibodi, menyebabkan pelepasan produk

sel-sel mast (disebut mediator) seperti histamin, bradikinin dan prostaglandin serta anafilaksis

dari substansi yang bereaksi lambat (SRS-A). Pelepasan mediator ini dalam jaringan paru

mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan napas, bronkospasme, pembengkakan membran

mukosa dan pembentukan mukus yang sangat banyak.

Sistem saraf otonom mempersarafi paru. Tonus otot bronkial diatur oleh impuls saraf

vagal melalui sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik atau non alergi ketika ujung saraf pada

jalan nafas dirangsang oleh faktor seperti infeksi, latihan, dingin, merokok, emosi dan polutan,

jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat. Pelepasan asetilkolin ini secara langsung

menyebabkan bronkokonstriksi juga merangsang pembentukan mediator kimiawi yang dibahas

diatas. Individu dengan asma dapat mempunyai toleransi rendah terhadap respon parasimpatis.

Selain itu, reseptor α- dan β-adrenergik dari sistem saraf simpatis terletak dalam bronki.

Ketika reseptor α adrenergik dirangsang , terjadi bronkokonstriksi; bronkodilatasi terjadi ketika

reseptor β-adrenergik yang dirangsang. Keseimbangan antara reseptor α- dan β-adrenergik

dikendalikan terutama oleh siklik adenosin monofosfat (cAMP). Stimulasi reseptor -alfa

mengakibatkan penurunan c-AMP, yang mengarah pada peningkatan mediator kimiawi yang

dilepaskan oleh sel-sel mast bronkokonstriksi. Stimulasi respon beta- mengakibatkan

peningkatan tingkat cAMP, yang menghambat pelepasan mediator kimiawi dan menyebabkan

bronkodilatasi. Teori yang diajukan adalah bahwa penyekatan b-adrenergik terjadi pada individu

dengan asma. Akibatnya, asmatik rentan terhadap peningkatan pelepasan mediator kimiawi dan

konstriksi otot polos.

Page 14: SESAK NAPAS blok respirasi Skenario 3
Page 15: SESAK NAPAS blok respirasi Skenario 3

Manifestasi Klinis

Pada serangan asma ringan: Anak tampak sesak saat berjalan. Pada bayi: menangis keras. Posisi anak: bisa berbaring. Dapat berbicara dengan kalimat. Kesadaran: mungkin irritable. Tidak ada sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa). Mengi sedang, sering hanya pada akhir ekspirasi. Biasanya tidak menggunakan otot bantu pernafasan. Retraksi interkostal dan dangkal. Frekuensi nafas: cepat (takipnea). Frekuensi nadi: normal. Tidak ada pulsus paradoksus (< 10 mmHg) SaO2 % > 95%. PaO2 normal, biasanya tidak perlu diperiksa. PaCO2 < 45 mmHg

 Pada serangan asma sedang:

Anak tampak sesak saat berbicara. Pada bayi: menangis pendek dan lemah, sulit menyusu/makan. Posisi anak: lebih suka duduk. Dapat berbicara dengan kalimat yang terpenggal/terputus. Kesadaran: biasanya irritable. Tidak ada sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa). Mengi nyaring, sepanjang ekspirasi ± inspirasi. Biasanya menggunakan otot bantu pernafasan. Retraksi interkostal dan suprasternal, sifatnya sedang. Frekuensi nafas: cepat (takipnea). Frekuensi nadi: cepat (takikardi). Ada pulsus paradoksus (10-20 mmHg) SaO2 % sebesar 91-95%. PaO2 > 60 mmHg. PaCO2 < 45 mmHg

Pada serangan asma berat tanpa disertai ancaman henti nafas: Anak tampak sesak saat beristirahat. Pada bayi: tidak mau minum/makan. Posisi anak: duduk bertopang lengan. Dapat berbicara dengan kata-kata. Kesadaran: biasanya irritable. Terdapat sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa). Mengi sangat nyaring, terdengar tanpa stetoskop sepanjang ekspirasi dan inspirasi. Menggunakan otot bantu pernafasan. Retraksi interkostal dan suprasternal, sifatnya dalam, ditambah nafas cuping hidung.

Page 16: SESAK NAPAS blok respirasi Skenario 3

Frekuensi nafas: cepat (takipnea). Frekuensi nadi: cepat (takikardi). Ada pulsus paradoksus (> 20 mmHg) SaO2 % sebesar < 90 %. PaO2 < 60 mmHg. PaCO2 > 45 mmHg

 Pada serangan asma berat disertai ancaman henti nafas:

Kesadaran: kebingungan. Nyata terdapat sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa). Mengi sulit atau tidak terdengar. Penggunaan otot bantu pernafasan: terdapat gerakan paradoks torakoabdominal. Retraksi dangkal/hilang. Frekuensi nafas: lambat (bradipnea). Frekuensi nadi: lambat (bradikardi). Tidak ada pulsus paradoksus; tanda kelelahan otot nafas.

 Pedoman nilai baku frekuensi nafas pada anak sadar:Usia Frekuensi nafas normal< 2 bulan < 60 x / menit2 – 12 bulan < 50 x / menit1 – 5 tahun < 40 x / menit6 – 8 tahun < 30 x / menit Pedoman nilai baku frekuensi nadi pada anak:Usia Frekuensi nadi normal2 – 12 bulan < 160 x / menit1 – 2 tahun < 120 x / menit3 – 8 tahun < 110 x / menit

Diagnosis dan Diagnosis Banding

DIAGNOSIS

Anamnesa

Keluhan sesak nafas, mengi, dada terasa berat atau tertekan, batuk berdahak yang

tak kunjung sembuh, atau batuk malam hari.Semua keluhan biasanya bersifat episodic dan

reversible. Mungkin ada riwayat keluarga dengan penyakit yang sama atau penyakit alergi

yang lain.

PemeriksaanFisik

Keadaan umum : Penderita tampak sesak nafas dan gelisah, penderita lebih nyaman

dalam posisi duduk

Page 17: SESAK NAPAS blok respirasi Skenario 3

Jantung : Pekak jantung mengecil, takikardi

Paru

Inspeksi : Dinding torak tampak mengembang, diafragma terdorong kebawah

Auskultasi : Terdengar wheezing (mengi), ekspirasi memanjang

Perkusi : Hipersonor

Palpasi : Fremitus vokal kanan sama dengan kiri

Berdasarkan konsep B6, pemeriksaan fisik untuk asma secara spesifik

mencakup(Muttaqin, 2008):

B1 (Breathing)

o Inspeksi

Pada klien terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pernapasan, serta

penggunaan otot bantu pernapasan. Inspeksi dada terutama melihat postur

bentuk dan kesimetrisan, adanya peningkatan diameter antero posterior,

retraksi otot-otot intercostalis, sifat dan irama pernapasan dan frekuensi napas.

o Palpasi

Pada palpasi biasanya amati kesimetrisan, ekspansi dan taktil fremitus normal

o Perkusi

Pada perkusi didapatkan suara normal sama hipersonor sedangkan diafragma

menjadi datar dan rendah.

o Auskultasi

Terdapat suara vesikuler yang meningkat disertai dengan ekspirasi lebih dari 4

detik atau 3 kali ekspirasi, dengan bunyi tambahan napas tambahan utama

wheezing pada akhir ekspirasi.

B2 (Blood)

Monitor dampak asma pada status kardiovaskular meliputi keadaan hemodinamik

seperti nadi, tekanan darah dan CRT.

Page 18: SESAK NAPAS blok respirasi Skenario 3

B3 (Brain)

Diperlukan pemeriksaan GCS untuk penentuan status kesadaran

B4 (Bladder)

Pengukuran volume output urine berkaitan intake cairan. Ada tidaknya oliguria sebagai

tanda awal gejala syok.

B5 (Bowel)

Perlu dikaji bentuk, turgor, nyeri dan tanda-tnada infeksi yang dapat merangsang

serangan asma. Pengkajian status nutrisi meliputi jumlah, frekuensi dan kesulitan

pemenuhan kebutuhan nutrisi karena pada pasien sesak napas terjadi kekurangan. Hal

ini terjadi karena dispnea saat makan dan kecemasan klien.

B6 (Bone)

Adanya edema ekstremitas, tremor dan tanda-tanda infeksi pada ekstremitas karena

merangsang serangan asma. Pada integumen perlu dikaji permukaan kasar,kering,

kelainan pigmentasi, turgor kulit, kelembaban, besisik, pruritis, eksim dan adanya bekas

dermatitis. Pada rambut kaji kelembaban dan kusam. Adanya wheezing, sesak

danortopnea saat istirahat. Pola aktivitas olahraga, pekerjaan dan aktivitas lainnya.

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Sputum

Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya:

Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal eosinofil

Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang

bronkhus

Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkhus

Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid

dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug

Pemeriksaan Darah

Page 19: SESAK NAPAS blok respirasi Skenario 3

Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi hipoksemia,

hiperkapnia, atau asidosis

Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH

Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana

menandakan terdapatnya suatu infeksi

Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari IgE pada waktu

serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan

Pemeriksaan Penunjang Lain

1. Pemeriksaan Radiologi

Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan

menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah

dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun.

Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah

sebagai berikut:

Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah

Bila terdapat komplikasi emfisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan

semakin bertambah

Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrat pada paru

Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal

Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium,

maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru

2. Pemeriksaan Tes Kulit

Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat

menimbulkan reaksi yang positif pada asma.

3. Elektrokardiografi

Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi

3 bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada emfisema paru, yaitu:

Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clock

wise rotation

Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB (Right

bundle branch block)

Page 20: SESAK NAPAS blok respirasi Skenario 3

Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES, dan VES

atau terjadinya depresi segmen ST negative

4. Scanning Paru

Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara

selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.

5. Spirometri

Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara yang paling

cepat dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan

bronkodilator. Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pamberian

bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1

atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon

aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk

menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek

pengobatan. Benyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya

menunjukkan obstruksi.

Status Asmatikus adalah keadaan darurat medik paru berupa serangan asma yang

berat atau bertambah berat yang bersifat refrakter sementara terhadap pengobatan yang

lazim diberikan. Refrakter adalah tidak adanya perbaikan atau perbaikan yang sifatnya

hanya singkat, dengan waktu pengamatan antara satu sampai dua jam.

Gambaran Klinis Status Asmatikus

Penderita tampak sakit berat dan sianosis

Sesak nafas, bicara terputus-putus

Banyak berkeringat, bila kulit kering menunjukkan kegawatan sebab penderita sudah

jatuh dalam dehidrasi berat

Pada keadaan awal kesadaran penderita mungkin masih cukup baik, tetapi lambat laun

dapat memburuk yang diawali dengan rasa cemas, gelisah kemudian jatuh ke dalam

koma

Page 21: SESAK NAPAS blok respirasi Skenario 3

DIAGNOSIS BANDING

Bronkitis Kronis

Ditandai dengan batuk kronik menegluarkan sputum 3 bulan dalam setahun

paling sedikti terjadi dua tahun. Gejala utama batuk disertai sputum biasanya terjadi

pada penderita > 35 tahun dan perokok berat. Gejalanya berupa batuk di pagi hari,

lama-lama disertai mengi, menurunya kemampuan kegiatan jasmani pada stadium

lanjut ditemukan sianosis dan tanda-tanda kor pumonal.

Emfisema Paru

Sesak merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan mengi jarang

menyertainya. Penderita biasanya kurus. Berbeda dengan asma, emfisema biasanya

tida ada fase remisi, penderita selalu merasa sesak pada saat melakukan aktivitas. Pada

pemeriksaan fisik di dapat dada seperti tong, gerakan nafas terbatas, hipersonor, pekak

hati menurun, suara vesikuler sangat lemah. Pada foto dada di dapat adanya

hiperinflasi.

Gagal Jantung Kiri

Gejala gagal jantung yang sering terjadi pada malam hari dikenal sebagai

paroksisimal dispneu. Penderita tiba-tiba terbangun pada malam hari karena sesak,

tetapi sesak berkurang jika penderita duduk. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya

kardiomegali dan udem paru.

Emboli Paru

Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli paru adalah gagal jantung dan tromboflebitis

dengan gejala sesak nafas, pasien terbatuk-batuk disertai darah, nyeri pleura, keringat

dingin, kejang, dan pingsang. Pada pemeriksaan fisik didapat ortopnea, takikardi, gagal

jantung kanan, pleural friction, gallop, sianosis, dan hipertensi.

Diagnosis banding lainnya :

Rinosinusitis Refluks gastroesofageal Infeksi respiratorik bawah viral berulang Displasia bronkopulmoner Tuberkulosis Malformasi kongenital yang menyebabkan penyempitan saluran respiratorik

intratorakal

Page 22: SESAK NAPAS blok respirasi Skenario 3

Aspirasi benda asing Sindrom diskinesia silier primer Defisiensi imun Penyakit jantung bawaan

Komplikasi

o PneumothoraxKeadaan dimana terdapat udara atau gas dalam rongga pleura, sehingga paru – paru kesulitan untuk mengembang.

o PneumodiastinumAdanya udara atau gas bebas yang ditemukan pada mediastinum.

o EmfisemaPembesaran permanen abnormal ruang udara distal ke bronkiolus terminal, disertai dengan kerusakan dinding alveolar dan tanpa fibrosis yang jelas.

o Atelektasispengkerutan sebagian atau seluruh paru-paruakibat penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang sangat dangkal.

o BronchitisPeradangan pada cabang tenggorokan/ bronkus.

o Gagal nafaso Perubahan bentuk thorax

Thorax membungkuk kedepan dan memanjang. Pada foto rontgen terlihat diafragma letaknya rendah, gambaran jantung menyempit, hilus kiri dan kanan bertambah. Pada asma berat dapat terjadi bentuk dada burung (pektus karinatum/ pigeon chest) dan tampak sulkus Harrison.

Pencegahan

Upaya pencegahan asma dapat dibedakan menjadi 3 yaitu:

1. Pencegahan primer ditujukan untuk mencegah sensitisasi pada bayi dengan risiko asma

(orangtua asma), dengan cara :

a. Penghindaran asap rokok dan polutan lain selama kehamilan dan masa perkembangan

bayi/anak

b. Diet hipoalergenik ibu hamil, asalkan / dengan syarat diet tersebut tidak mengganggu

asupan janin

c. Pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bulan

d. Diet hipoalergenik ibu menyusui

Page 23: SESAK NAPAS blok respirasi Skenario 3

2. Pencegahan sekunder ditujukan untuk mencegah inflamasi pada anak yang telah

tersentisisasi dengan cara menghindari pajanan asap rokok, serta allergen dalam ruangan

terutama tungau debu rumah.

3. Pencegahan tersier ditujukan untuk mencegah manifestasi asma pada anak yang telah

menunjukkan manifestasi penyakit alergi. Sebuah penelitian multi senter yang dikenal

dengan nama ETAC Study (early treatment of atopic children) mendapatkan bahwa

pemberian Setirizin selama 18 bulan pada anak atopi dengan dermatitis atopi dan IgE

spesifik terhadap serbuk rumput (Pollen) dan tungau debu rumah menurunkan kejadian

asma sebanyak 50%. Perlu ditekankan bahwa pemberian setirizin pada penelitian ini

bukan sebagai pengendali asma (controller).

Prognosis

Mortalitas akibat asma jumlahnya kecil. Gambaran yang paling akhir menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang jumlahnya kira-kira 10 juta penduduk. Angka kematian cenderung meningkat di pinggiran kota dengan fasilitas kesehatan terbatas.

Informasi mengenai perjalanan klinis asma menyatakan bahwa prognosis baik ditemukan pada 50–80% pasien, khususnya pasien yang penyakitnya ringan dan timbul pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang masih menderita asma 7–10 tahun setelah diagnosis pertama bervariasi dari 26–78% dengan nilai rata-rata 46%, akan tetapi persentase anak yang menderita ringan dan timbul pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang menderita asma penyakit yang berat relatif berat (6 –19%). Secara keseluruhan dapat dikatakan 70–80% asma anak bila diikuti sampai dengan umur 21 tahun asmanya sudah menghilang.

LO 2. Memahami dan mengetahui tentang penatalaksanaan asma pada anak

Tatalaksana Medikamentosa

Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat

pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk meredakan serangan atau gejala

asma jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada lagi gejala maka

obat ini tidak lagi digunakan atau diberikan bila perlu. Kelompok kedua adalah obat

pengendali yang disebut juga obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan

untuk mengatasi masalah dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran nafas. Dengan

demikian pemakaian obat ini terus menerus diberikan walaupun sudah tidak ada lagi

gejalanya kemudian pemberiannya diturunkan pelan – pelan yaitu 25 % setip penurunan

setelah tujuan pengobatan asma tercapai 6 – 8 minggu.

Page 24: SESAK NAPAS blok respirasi Skenario 3

Obat – obat Pereda (Reliever)

1. Bronkodilator

a. Short-acting β2 agonist

Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut pada

anak.Reseptor β2 agonist berada di epitel jalan napas, otot pernapasan, alveolus, sel-sel

inflamasi, jantung, pembuluh darah, otot lurik, hepar, dan pankreas.

Obat ini menstimulasi reseptor β2 adrenergik menyebabkan perubahan ATP menjadi

cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot polos jalan napas yang menyebabkan

terjadinya bronkodilatasi. Efek lain seperti peningkatan klirens mukosilier, penurunan

permeabilitas vaskuler, dan berkurangnya pelepasan mediator sel mast.

Epinefrin/adrenalin

Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali tidak ada β2 agonis

selektif. Epinefrin menimbulkan stimulasi pada reseptor β1, β2, dan α sehingga

menimbulkan efek samping berupa sakit kepala, gelisah, palpitasi, takiaritmia,

tremor, dan hipertensi.

Pemberian epinefrin aerosol kurang menguntungkan karena durasi efek

bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan menimbulkan efek samping, terutama pada

jantung dan CNS.

β2 agonis selektif(12)

Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol.

Dosis salbutamol oral : 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.

Dosis tebutalin oral : 0,05 – 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.

Dosis fenoterol : 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.

Dosis salbutamol nebulisasi : 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis maksimum

5mg/kgBB), interval 20 menit, atau nebulisasi kontinu dengan dosis 0,3 – 0,5

mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15 mg/jam).

Dosis terbutalin nebulisasi : 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi.

Page 25: SESAK NAPAS blok respirasi Skenario 3

Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek puncak

dicapai dalam 2 – 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam.

Pemberian inhalasi (inhaler/nebulisasi) memiliki onset kerja 1 menit, efek puncak

dicapai dalam 10 menit, lama kerjanya 4 – 6 jam.

Serangan ringan : MDI 2 – 4 semprotan tiap 3 – 4 jam.

Serangan sedang : MDI 6 – 10 semprotan tiap 1 – 2 jam.

Serangan berat : MDI 10 semprotan.

Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat ksrena pada keadaan ini

obat inhalasi sulit mencapai bagian distal obstruksi jalan napas. Efek samping

takikardi lebih sering terjadi.

Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1 mcg/kgBB

setiap 15 menit, dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit.

Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit, dilanjutkan

dengan 0,1 – 0,4 ug/kgBB/jam dengan infuse kontinu.

Efek samping β2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala, agitasi,

palpitasi, dan takikardi.

b. Methyl xanthine

Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan β2 agonist inhalasi, tapi karena

efek sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obat ini diberikan

pada serangan asma berat dengan kombinasi β2 agonist dan anticholinergick.

Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap reseptor

adenosine dan inhibisi PDE 4 dan PDE 5.Methilxanthine cepat diabsorbsi setelah

pemberian oral, rectal, atau parenteral.Pemberian teofilin IM harus dihindarkan

karena menimbulkan nyeri setempat yang lama. Umumnya adanya makanan dalam

lambung akan memperlambat kecepatan absorbsi teofilin tapi tidak mempengaruhi

derajat besarnya absorpsi. Metilxanthine didistribusikan keseluruh tubuh, melewati

plasenta dan masuk ke air susu ibu. Eliminasinya terutama melalui metabolism hati,

sebagian besar dieksresi bersama urin.

Dosis aminofilin IV inisial bergantung kepada usia :

1 – 6 bulan : 0,5mg/kgBB/Jam

Page 26: SESAK NAPAS blok respirasi Skenario 3

6 – 11 bulan : 1 mg/kgBB/Jam

1 – 9 tahun : 1,2 – 1,5 mg/kgBB/Jam

> 10 tahun : 0,9 mg/kgBB/Jam

Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada konsentrasi yang

lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardi dan aritmia

1. Anticholinergics

Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida.Kombinasi dengan nebulisasi β2

agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik. Dosis anjuran 0, 1

cc/kgBB, nebulisasi tiap 4 jam(12).

Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis : untuk usia diatas

6 tahun 8 – 20 tetes; usia kecil 6 tahun 4 – 10 tetes. Efek sampingnya adalah

kekeringan atau rasa tidak enak dimulut.Antikolinergik inhalasi tidak

direkomendasikan pada terapi asma jangka panjang pada anak.

2. Kortikosteroid

Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan(12) :

Terapi inisial inhalasi β2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan yang

cukup lama.

Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan kortikosteroid

hirupan sebagai kontroler.

Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya.

Kortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk mencapai

perbaikan klinis, efek maksimum dicapai dalan waktu 12 – 24 jam. Preparat oral

yang di pakai adalah prednisone, prednisolon, atau triamsinolon dengan dosis 1 – 2

mg/kgBB/hari diberikan 2 – 3 kali sehari selama 3 – 5 kali sehari.

Kortikosteroid tidak secara langsung berefek sebagai bronkodilator. Obat ini bekerja

sekaligus menghambat produksi sitokin dan kemokin, menghambat sintesis

eikosainoid, menghambat peningkatan basofil, eosinofil dan leukosit lain di jaringan

paru dan menurunkan permeabilitas vascular.

Page 27: SESAK NAPAS blok respirasi Skenario 3

Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan penetrasi kejaringan

paru lebih baik, efek anti inflamasi lebih besar, dan efek mineralokortikoid

minimal.Dosis metilprednisolon IV yang dianjurkan adalah 1 mg/kgBB setiap 4

sampai 6 jam.Dosis Hidrokortison IV 4 mg/kgBB tiap 4 – 6 jam. Dosis

dexamethasone bolus IV 0,5 – 1 mg/kgBB dilanjtkan 1 mg/kgBB/hari setiap 6 – 8

jam.

Obat – obat Pengontrol

Obat – obat asma pengontrol pada anak – anak termasuk inhalasi dan sistemik

glukokortikoid, leukotrien modifiers, long acting inhaled β2-agonist, theofilin,

cromones, dan long acting oral β2-agonist.

1. Inhalasi glukokortikosteroid

Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang paling efektif dan

direkomendasikan untuk penderita asma semua umur. Intervensi awal dengan

penggunaan inhalasi budesonide berhubungan dengan perbaikan dalam pengontrolan

asma dan mengurangi penggunaan obat-obat tambahan. Terapi pemeliharaan dengan

inhalasi glukokortikosteroid ini mampu mengontrol gejala-gejala asma, mengurangi

frekuensi dari eksaserbasi akut dan jumlah rawatan di rumah sakit, meningkatkan

kualitas hidup, fungsi paru dan hiperresponsif bronkial, dan mengurangi

bronkokonstriksi yang diinduksi latihan.

Glukokortikosteroid dapat mencegah penebalan lamina retikularis, mencegah

terjadinya neoangiogenesis, dan mencegah atau mengurangi terjadinya down

regulation receptor β2 agonist.Dosis yang dapat digunakan sampai 400ug/hari

(respire anak).Efek samping berupa gangguan pertumbuhan, katarak, gangguan

sistem saraf pusat, dan gangguan pada gigi dan mulut

2. Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA)

Secara hipotesis obat ini dikombinasikan dengan steroid hirupan dan mungkin

hasilnya lebih baik.Sayangnya, belum ada percobaan jangka panjang yang

Page 28: SESAK NAPAS blok respirasi Skenario 3

membandingkannya dengan steroid hirupan + LABA. Keuntungan memakai LTRA

adalah sebagai berikut :

LTRA dapat melengkapi kerja steroid hirupan dalam menekan cystenil

leukotriane;

Mempunyai efek bronkodilator dan perlindungan terhadap bronkokonstriktor;

Mencegah early asma reaction dan late asthma reaction

Dapat diberikan per oral, bahkan montelukast hanya diberikan sekali per hari.,

penggunaannya aman, dan tidak mengganggu fungsi hati; sayangnya preparat

montelukast ini belum ada di Indonesia;

Mungkin juga mempunyai efek menjaga integritas epitel, yaitu dengan

meningkatkan kerja epithel growth factor (EGF) dan menekan transforming growth

factor (TGF) sehingga dapat mengendalikan terjadinya fibrosis, hyperplasia, dan

hipertrofi otot polos, serta diharapkan mencegah perubahan fungsi otot polos menjadi

organ pro-inflamator.

Ada 2 preparat LTRA :

a. Montelukast

Preparat ini belum ada di Indonesia dan harganya mahal. Dosis per oral 1 kali sehari.

(respiro anak) Dosis pada anak usia 2-5 tahun adalah 4 mg qhs. (gina)

b. Zafirlukast

Preparat ini terdapat di Indonesia, digunakan untuk anak usia> 7 tahun dengan dosis

10 mg 2 kali sehari.

Leukotrin memberikan manfaat klinis yang baik pada berbagai tingkat keparahan

asma dengan menekan produksi cystenil leukotrine. Efek samping obat dapat

mengganggu fungsi hati (meningkatkan transaminase) sehingga perlu pemantauan

fungsi hati.

3. Long acting β2 Agonist (LABA)

Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol. Pemberian ICS

400ug dengan tambahan LABA lebih baik dilihat dari frekuensi serangan, FEV1 pagi

dan sore, penggunaan steroid oral,, menurunnya hiperreaktivitas dan airway

remodeling.Kombinasi ICS dan LABA sudah ada dalam 1 paket, yaitu kombinasi

Page 29: SESAK NAPAS blok respirasi Skenario 3

fluticasone propionate dan salmeterol (Seretide), budesonide dan formoterol

(Symbicort).Seretide dalam MDI sedangkan Symbicort dalam DPI.Kombinasi ini

mempermudah penggunaan obat dan meningkatkan kepatuhan memakai obat.

4. Teofilin lepas lambat

Teofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama kortikosteroid yang

bertujuan untuk mengontrol asma dan mengurangi dosis pemeliharaan

glukokortikosteroid.Tapi efikasi teofilin lebih rendah daripada glukokortikosteroid

inhalasi dosis rendah.

Efek samping berupa anoreksia, mual, muntah, dan sakit kepala, stimulasi ringan

SSP, palpitasi, takikardi, aritmia, sakit perut, diare, dan jarang, perdarahan lambung.

Efek samping muncul pada dosis lebih dari 10mg/kgBB/hari, oleh karena itu terapi

dimulai pada dosis inisial 5mg/kgBB/hari dan secara bertahap diingkatkan sampai

10mg/kgBB/hari.

Terapi Suportif

a. Terapi oksigen

Oksigen diberikan pada serangan sedang dan berat melalui kanula hidung, masker atau

headbox.Perlu dilakukan pemantauan saturasi oksigen, sebaiknya diukur dengan pulse

oxymetry (nilai normal > 95%).

b. Campuran Helium dan oksigen

Inhalasi Helioks (80% helium dan 20% oksigen) selama 15 menit sebagai tambahan

pemberian oksigen (dengan kanula hidung), bersama dengan nebulisasi salbutamol dan

metilprednisolon IV, secara bermakna menurunkan pulsus paradoksus, meningkatkan

peakflow dan mengurangi sesak. Campuran helium dan oksigen dapat memperbaiki

oksigenasi karena helium bersifat ringan sehingga dapat mengubah aliran turbulen

menjadi laminar dan menyebabkan oksigen lebih mudah mencapai alveoli.

c. Terapi cairan

Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma berat karena kurang adekuatnya asupan

cairan, peningkatan insensible water loss, takipnea serta efek diuretic teofilin.

Pemberian cairan harus hati-hati kareana pada asma berat terjadi peningkatan sekresi

Antidiuretik Hormone (ADH) yan memudahkan terjadinya retensi cairan dan tekanan

Page 30: SESAK NAPAS blok respirasi Skenario 3

pleura negatif tinggi pada puncak inspirasi yang memudahkan terjadinya edema paru.

Jumlah cairan yang diberikan adalah 1-1,5 kali kebutuhan rumatan.

Cara Pemberian Obat

UMUR ALAT INHALASI

< 2 tahun Nebuliser, Aerochamber, babyhaler

2-4 tahun Nebuliser, Aerochamber, babyhaler

Alat Hirupan (MDI/ Metered Dose Inhaler)

dengan alat perenggang (spacer)

5-8 tahun Nebuliser

MDI dengan spacer

Alat hirupan bubuk (Spinhaler, Diskhaler,

Rotahaler, Turbuhaler)

>8 tahun Nebuliser

MDI (metered dose inhaler)

Alat Hirupan Bubuk

Autohaler

Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangu deposisi obat dalam mulut (orofaring),

jadi mengurangi jumlah obat yang akan tertelan sehingga mengurangi efek sistemik.

Sebaliknya, deposisi dalamm paru lebih baik sehingga didapat efek terapeutik yang

lebih baik. Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering (Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler,

Turbuhaler) memerlukan inspirasi yang kuat. Umumnya bentuk ini dianjurkan untuk

anak usia sekolah. Sebagian alat bantu yaitu Spacer (Volumatic, Nebuhaler,

Aerochamber, Babyhaler, Autohaler) dapat dimodifikasi dengan menggunakan bekas

gelas atau botol minuman atau menggunakan botol susu dengan dot susu yang telah

dipotong untuk anak kecil dan bayi.

Kurangnya pengertian mengenai cara-cara pengobatan yang benar akan mengakibatkan asma

salalu kambuh. Jika pengobatannya dilakukan secara dini, benar dan teratur maka serangan asma

akan dapat ditekan seminimal mungkin.

Page 31: SESAK NAPAS blok respirasi Skenario 3

Pada prinsipnya tata cara pengobatan asma dibagi atas:

1. Pengobatan Asma Jangka Pendek

2. Pengobatan Asma Jagka Panjang

Tatalaksana Serangan

1. Tatalaksana di rumah

Untuk serangan ringan dapat digunakan obat oral golongan beta 2 agonis atau teofilin. Bila tersedia, lebih baik digunakan obat inhalasi karena onsetnya lebih cepat dan efek samping sistemiknya minimal. Obat golongan beta 2 agonis inhalasi yang dapat digunakan yaitu MDI dengan atau tanpa spacer atau nebulizer. Bila dalam waktu 30 menit setelah inhalasi tidak ada perbaikan atau bahkan terjadi perburukan harus segera dibawa ke rumah sakit.

2. Tatalaksana di klinik

Penderita yang datang dalam keadaan serangan langsung dinilai derajat serangannya. Tatalaksana awal adalah pemberian beta agonis secara nebulisasi. Garam fisiologis dapat ditambahkan dalam cairan nebulisasi. Nebulisasi serupa dapat diulang dengan selang 20 menit. Pada pemberian ketiga dapat ditambahkan obat antikolinergik. Tatalaksana awal ini sekaligus berfungsi sebagai penapis yaitu untuk penentuan derajat serangan, karena penilaian derajat secara klinis tidak selalu dapat dilakukan dengan cepat dan jelas. Jika menurut penilaian awal penderita datang dengan serangan berat yang jelas, langsung berikan nebulisasi beta agonis dikombinasikan dengan antikolinergik. Penderita serangan berat dengan disertai dehidrasi dan asodosis metabolik dapat mengalami takifilaksis atau respons yang kurang terhadap nebulisasi beta agonis. Penderita seperti ini cukup sekali dinebulisasi kemudian secepatnya dirawat untuk mendapat obat intravena selain diatasi masalah dehidrasi dan asidosisnya. Sedangkan bila dengan sekali nebulisasi penderita menunjukkan respons yang baik, berati serangannya ringan. Penderita diobservasi selama 2 jam, jika respons tersebut bertahan, penderita dapat dipulangkan. Penderita dapat diresepkan obat beta agonis, baik hirup maupun oral, yang diberikan tiap 4 sampai 6 jam. Jika pencetus serngannya adalah infeksi virus, dapat ditambahkan steroid oral jangka pendek, 3 sampai 5 hari. Penderita kemudian dianjurkan untuk kontrol dalam waktu 24 sampai 48 jam untuk reevaluasi tatalaksananya. Selain itu jika sebelum serngan penderita sudah mendapat obat pengendali, obat tersebut diteruskan hingga reevaluasi di klinik. Namun jika setelah observasi 2 jam gejala timbul kembal, penderita harus segera dibawa ke rumah sakit.

Pengobatan Asma Jangka Pendek

Page 32: SESAK NAPAS blok respirasi Skenario 3

Pengobatan diberikan pada saat terjadi serangan asma yang hebat, dan terus diberikan sampai

serangan merendah, biasanya memakai obat-obatan yang melebarkan saluran pernapasan yang

menyempit.

Tujuan pengobatannya untuk mengatasi penyempitan jalan napas, mengatasi sembab selaput

lendir jalan napas, dan mengatasi produksi dahak yang berlebihan. Macam obatnya adalah:

A. Obat untuk mengatasi penyempitan jalan napas

Obat jenis ini untuk melemaskan otot polos pada saluran napas dan dikenal sebagai obat

bronkodilator. Ada 3 golongan besar obat ini, yaitu:

-Golongan Xantin, misalnya Ephedrine HCl (zat aktif dalam Neo Napacin)

- Golongan Simpatomimetika

- Golongan Antikolinergik

Walaupun secara legal hanya jenis obat Ephedrine HCl saja yang dapat diperoleh penderita

tanpa resep dokter (takaran < 25 mg), namun tidak tertutup kemungkinannya penderita

memperoleh obat anti asma yang lain.

B. Obat untuk mengatasi sembab selaput lendir jalan napas

Obat jenis ini termasuk kelompok kortikosteroid. Meskipun efek sampingnya cukup

berbahaya (bila pemakaiannya tak terkontrol), namun cukup potensial untuk mengatasi

sembab pada bagian tubuh manusia termasuk pada saluran napas. Atau dapat juga dipakai

kelompok Kromolin.

C. Obat untuk mengatasi produksi dahak yang berlebihan.

Jenis ini tidak ada dan tidak diperlukan. Yang terbaik adalah usaha untuk mengencerkan

dahak yang kental tersebut dan mengeluarkannya dari jalan napas dengan refleks batuk.

Oleh karenanya penderita asma yang mengalami ini dianjurkan untuk minum yang banyak.

Namun tak menutup kemungkinan diberikan obat jenis lain, seperti Ambroxol atau Carbo

Cystein untuk membantu.

Page 33: SESAK NAPAS blok respirasi Skenario 3

Pengobatan Asma Jangka Panjang

Pengobatan diberikan setelah serangan asma merendah, karena tujuan pengobatan ini untuk

pencegahan serangan asma.

Pengobatan asma diberikan dalam jangka waktu yang lama, bisa berbulan-bulan sampai

bertahun-tahun, dan harus diberikan secara teratur. Penghentian pemakaian obat ditentukan oleh

dokter yang merawat.

Pengobatan ini lazimnya disebut sebagai immunoterapi, adalah suatu sistem pengobatan yang

diterapkan pada penderita asma/pilek alergi dengan cara menyuntikkan bahan alergi terhadap

penderita alergi yang dosisnya dinaikkan makin tinggi secara bertahap dan diharapkan dapat

menghilangkan kepekaannya terhadap bahan tersebut (desentisasi) atau mengurangi

kepekaannya (hiposentisisasi).

Dalam mengatasi dan mencegah asma paling tidak meminimalisir terjadinya serangan asma

secara tiba-tiba, kita perlu mengetahui bagaimana tata pelaksanaan dalam menanggani asma.

Page 34: SESAK NAPAS blok respirasi Skenario 3

Alur Tatalaksana Serangan Asma pada Anak

Klinik / IGD

Alur Tatalaksana Asma Anak jangka Panjang

Catatan:

1. Jika menurut penilaian serangannya berat, nebulisasi cukup 1x langsung dengan -agonis + antikolinergik

2. Bila terdapat tanda ancaman henti napas segera ke Ruang Rawat Intensif3. Jika tidak ada alatnya, nebulisasi dapat diganti dengan adrenalin subkutan

0,01ml/kgBB/kali maksimal 0,3ml/kali

Ruang Rawat Inap oksigen teruskan atasi dehidrasi dan

asidosis jika ada steroid IV tiap 6-8 jam nebulisasi tiap 1-2 jam aminofilin IV awal,

lanjutkan rumatan jika membaik dalam 4-

6x nebulisasi, interval jadi 4-6 jam

jika dalam 24 jam perbaikan klinis stabil, boleh pulang

jika dengan steroid dan aminofilin parenteral tidak membaik, bahkan timbul Ancaman henti napas, alih rawat ke Ruang Rawat Intensif

Ruang Rawat Sehari/observasi oksigen teruskan berikan steroid oral nebulisasi tiap 2 jam bila dalam 12 jam perbaikan

klinis stabil, boleh pulang, tetapi jika klinis tetap belum membaik atau meburuk, alih rawat ke Ruang Rawat Inap

Boleh pulang bekali obat -agonis

(hirupan / oral) jika sudah ada obat

pengendali, teruskan jika infeksi virus sbg.

pencetus, dapat diberi steroid oral

dalam 24-48 jam kon-

Serangan berat

(nebulisasi 3x,

respons buruk)

sejak awal berikan O2 saat / di luar nebulisasi

pasang jalur parenteral nilai ulang klinisnya, jika

sesuai dengan serangan berat, rawat di Ruang

Serangan ringan(nebulisasi 1-3x, respons baik, gejala hilang)

observasi 2 jam jika efek bertahan, boleh

pulang jika gejala timbul lagi,

Serangan sedang(nebulisasi 1-3x,

respons parsial)

berikan oksigen (3)

nilai kembali derajat serangan, jika sesuai dgn

Tatalaksana awal nebulisasi -agonis 1-3x, selang 20 menit (2)

nebulisasi ketiga + antikolinergik

Nilai derajat serangan(1)

(sesuai tabel 3)

Page 35: SESAK NAPAS blok respirasi Skenario 3

Asma episodik jarang

3-4 minggu, obat dosis / minggu > 3x < 3x

Asma episodik sering

6-8 minggu, respons: (-) (+)

Asma persisten

6-8 minggu, respons: (-) (+)

6-8 minggu, respons: (-) (+)

*) Ketotifen dapat digunakan pada pasien balita dan/atau asma tipe rinitis

Tabel Jenis Obat Asma

Obat pereda: -agonis atau teofilin

(hirupan atau oral) bila perlu

Tambahkan obat pengendali:Kortikosteroid hirupan dosis rendah *)

Pertimbangkan alternatif penambahan salah satu obat:

-agonis kerja panjang (LABA) teofilin lepas lambat antileukotrien atau dosis kortikosterid ditingkatkan (medium)

Kortikosteroid dosis medium ditambahkanan salah satu obat:

-agonis kerja panjang teofilin lepas lambat antileukotrien atau dosis kortikosteroid ditingkatkan (tinggi)

Obat diganti kortikoteroid oral

PE

NGHINDARAN

Page 36: SESAK NAPAS blok respirasi Skenario 3

Jenis obat Golongan Nama generik Bentuk/kemasan obat

Pengontrol(Antiinflamasi)

Pelega(Bronkodilator)

Steroid inhalasi

Antileukokotrin

Kortikosteroid sistemik

Agonis beta-2kerjalama

kombinasi steroid danAgonis beta-2kerjalama

Agonis beta-2 kerja cepat

Antikolinergik

Metilsantin

Kortikosteroid sistemik

Flutikason propionatBudesonide

Zafirlukast

MetilprednisolonPrednison

ProkaterolFormoterolSalmeterol

Flutikason + Salmeterol.Budesonide + formoterol

Salbutamol

Terbutalin

Prokaterol

FenoterolIpratropium bromide

TeofilinAminofilinTeofilin lepas lambat

MetilprednisolonPrednison

IDTIDT, turbuhaler

Oral(tablet)

Oral(injeksi)Oral

OralTurbuhalerIDT

IDTTurbuhaler

Oral, IDT, rotacap solution

Oral, IDT, turbuhaler, solution, ampul (injeksi)

IDT

IDT, solutionIDT, solution

OralOral, injeksiOral

Oral, inhalerOral

IDT : Inhalasi dosis terukur = Metered dose inhaler/MDI, dapat digunakan bersama dengan spacer Solution: Larutan untuk penggunaan nebulisasi dengan nebuliser Oral : Dapat berbentuk sirup, tablet Injeksi : Dapat untuk penggunaan subkutan, im dan iv

Page 37: SESAK NAPAS blok respirasi Skenario 3

Terapi Inhalasi

Pemberian per inhalasi adalah pemberian obat secara langsung ke dalam saluran napas melalui hirupan. Pada asma, penggunaan obat secara inhalasi dapat mengurangi efek samping yang sering terjadi pada pemberian parenteral atau per oral, karena dosis yang sangat kecil dibandingkan jenis lainnya.

Cara memberikan obat melalui hirupan tersebut dikenal sebagai terapi inhalasi. Secara garis besar ada 3 macam alat/jenis terapi inhalasi, yaitu nebulizer, MDI (metered dose inhaler), dan DPI (dry powder inhaler). Jenis DPI yang paling sering digunakan adalah turbuhaler. Terapi inhalasi memiliki keuntungan dibandingkan dengan cara oral (diminum) atau disuntik, yaitu langsung ke organ sasaran, awitan kerja lebih singkat, dosis obat lebih kecil, dan efek samping juga lebih kecil.

Untuk mendapatkan manfaat obat yang optimal , obat yang diberikan per inhalasi harus dapat mencapai tempat kerjanya di dalam saluran napas. Obat yang digunakan biasanya dalam bentuk aerosol, yaitu suspensi partikel dalam gas.

Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangi deposisi (penumpukan) obat dalam mulut (orofaring), sehingga mengurangi jumlah obat yang tertelan, dan mengurangi efek sistemik. Deposisi (penyimpanan) dalam paru pun lebih baik, sehingga didapatkan efek terapetik (pengobatan) yang baik. Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering (DPI = Dry Powder Inhaler) seperti Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler, Easyhaler, Twisthaler memerlukan inspirasi (upaya menarik/menghirup napas) yang kuat. Umumnya bentuk ini dianjurkan untuk anak usia sekolah.

Jenis Terapi Inhalasi

Pemberian aerosol yang idel adalah dengan alat yang sederhana, mudah dibawa, tidak mahal, secara selektif mencapai saluran napas bawah, hanya sedikit yang tertinggal di saluran napas atas, serta dapat digunakan oleh anak, orang cacat, dan orang tua. Namun keadaan ideal tersebut tidak dapat sepenuhnya tercapai.

Berikut beberapa alat terapi inhalasi:

Metered Dose Inhaler (MDI)

Page 38: SESAK NAPAS blok respirasi Skenario 3

MDI tanpa Spacer Spacer (alat penyambung) akan menambah jarak antara alat dengan mulut, sehingga

kecepatan aerosol pada saat dihisap menjadi berkurang. Hal ini mengurangi pengendapan di orofaring (saluran napas atas). Spacer ini berupa tabung (dapat bervolume 80 ml) dengan panjang sekitar 10-20 cm, atau bentuk lain berupa kerucut dengan volume 700-1000 ml. Penggunaan spacer ini sangat menguntungkan pada anak.

Dry Powder Inhaler (DPI)

Penggunaan obat dry powder (serbuk kering) pada DPI memerlukan hirupan yang cukup kuat. Pada anak yang kecil, hal ini sulit dilakukan. Pada anak yang lebih besar, penggunaan obat serbuk ini dapat lebih mudah, karena kurang memerlukan koordinasi dibandingkan MDI. Deposisi (penyimpanan) obat pada paru lebih tinggi dibandingkan MDI dan lebih konstan. Sehingga dianjurkan diberikan pada anak di atas 5 tahun.

Nebulizer

Alat nebulizer dapat mengubah obat yang berbentuk larutan menjadi aerosol secara terus-menerus, dengan tenaga yang berasal dari udara yang dipadatkan, atau gelombang ultrasonik. Aerosol yang terbentuk dihirup penderita melalui mouth piece atau sungkup.Bronkodilator yang diberikan dengan nebulizer memberikan efek bronkodilatasi (pelebaran bronkus) yang bermakna tanpa menimbulkan efek samping. Hasil pengobatan dengan nebulizer lebih banyak bergantung pada jenis nebulizer yang digunakan. Ada nebulizer yang menghasilkan partikel aerosol terus-menerus, ada juga yang dapat diatur sehingga aerosol hanya timbul pada saat penderita melakukan inhalasi, sehingga obat tidak banyak terbuang

Kortikosteroid InhalasiKortikosteroid terdapat dalam beberapa bentuk sediaan antara lain oral, parenteral, dan inhalasi. Ditemukannya kortikosteroid yang larut lemak (lipid-soluble) seperti beclomethasone, budesonide, flunisolide, fluticasone, and triamcinolone, memungkinkan untuk mengantarkan kortikosteroid ini ke saluran pernafasan dengan absorbsi sistemik yang minim. Pemberian kortikosteroid secara inhalasi memiliki keuntungan yaitu diberikan dalam dosis kecil secara langsung ke saluran pernafasan (efek lokal), sehingga tidak menimbulkan efek samping sistemik yang serius. Biasanya, jika penggunaan secara inhalasi tidak mencukupi barulah kortikosteroid diberikan secara oral, atau diberikan bersama dengan obat lain (kombinasi, misalnya dengan bronkodilator). Kortikosteroid inhalasi tidak dapat menyembuhkan asma. Pada kebanyakan pasien, asma akan kembali kambuh beberapa minggu setelah berhenti menggunakan kortikosteroid inhalasi, walaupun pasien telah menggunakan kortikosteroid inhalasi dengan dosis tinggi selama 2 tahun atau lebih. Kortikosteroid inhalasi tunggal juga tidak efektif untuk pertolongan pertama pada serangan akut yang parah.

Contoh kortikosteroid inhalasi yang tersedia di Indonesia antara lain:

Page 39: SESAK NAPAS blok respirasi Skenario 3

Fluticasone Flixotide (flutikason propionate50 μg , 125 μg /dosis) Inhalasi aerosol Dewasa dan anak > 16 tahun: 100-250 μg, 2 kali sehariAnak 4-16 tahun; 50-100 μg, 2 kali sehari

Beclomethasone dipropionate Becloment (beclomethasone dipropionate 200μg/ dosis) Inhalasi aerosol Inhalasi aerosol: 200μg , 2 kali seharianak: 50-100 μg 2 kali sehari

Budesonide Pulmicort (budesonide 100 μg, 200 μg, 400 μg / dosis)Inhalasi aerosolSerbuk inhalasi Inhalasi aerosol: 200 μg, 2 kali sehariSerbuk inhalasi: 200-1600 μg / hari dalam dosis terbagianak: 200-800 μg/ hari dalam dosis terbagi

Dosis untuk masing-masing individu pasien dapat berbeda, sehingga harus dikonsultasikan lebih lanjut dengan dokter, dan jangan menghentikan penggunaan kortikosteroid secara langsung, harus secara bertahap dengan pengurangan dosis

FarmokinetikKortikosteroid bekerja dengan memblok enzim fosfolipase-A2, sehingga menghambat pembentukan mediator peradangan seperti prostaglandin dan leukotrien. Selain itu berfungsi mengurangi sekresi mukus dan menghambat proses peradangan. Kortikosteroid tidak dapat merelaksasi otot polos jalan nafas secara langsung tetapi dengan jalan mengurangi reaktifitas otot polos disekitar saluran nafas, meningkatkan sirkulasi jalan nafas, dan mengurangi frekuensi keparahan asma jika digunakan secara teratur.Kortikosteroid inhalasi secara teratur digunakan untuk mengontrol dan mencegah gejala asma. Kontraindikasi bagi pasien yang hipersensitifitas terhadap kortikosteroid. Efek samping kortikosteroid berkisar dari rendah, parah, sampai mematikan. Hal ini tergantung dari rute, dosis, dan frekuensi pemberiannya. Efek samping pada pemberian kortikosteroid oral lebih besar daripada pemberian inhalasi. Pada pemberian secara oral dapat menimbulkan katarak, osteoporosis, menghambat pertumbuhan, berefek pada susunan saraf pusat dan gangguan mental, serta meningkatkan resiko terkena infeksi. Kortikosteroid inhalasi secara umum lebih aman, karena efek samping yang timbul seringkali bersifat lokal seperti candidiasis (infeksi karena jamur candida) di sekitar mulut, dysphonia (kesulitan berbicara), sakit tenggorokan, iritasi tenggorokan, dan batuk. Efek samping ini dapat dihindari dengan berkumur setelah menggunakan sediaan inhalasi. Efek samping sistemik dapat terjadi pada penggunaan kortikosteroid inhalasi dosis tinggi yaitu pertumbuhan yang terhambat pada anak-anak, osteoporosis, dan karatak.

Pada anak-anak, penggunaan kortikosteroid inhalasi dosis tinggi menunjukkan pertumbuhan anak yang sedikit lambat, namun asma sendiri juga dapat menunda pubertas, dan tidak ada bukti bahwa kortikosteriod inhalasi dapat mempengaruhi tinggi badan orang dewasa. Hindari penggunaan kortikosteroid pada ibu hamil, karena bersifat teratogenik.

Cara Penggunaan Inhaler

Sebelum menarik nafas, buanglah nafas seluruhnya, sebanyak mungkin Ambillah inhaler, kemudian kocok Peganglah inhaler, sedemikian hingga mulut inhaler terletak dibagian bawah Tempatkanlah inhaler dengan jarak kurang lebih dua jari di depan mulut (jangan

meletakkan mulut kita terlalu dekat dengan bagian mulut inhaler)

Page 40: SESAK NAPAS blok respirasi Skenario 3

Bukalah mulut dan tariklah nafas perlahan-lahan dan dalam, bersamaan dengan menekan inhaler (waktu saat menarik nafas dan menekan inhaler adalah waktu yang penting bagi obat untuk bekerja secara efektif)

Segera setelah obat masuk, tahan nafas selama 10 detik (jika tidak membawa jam, sebaiknya hitung dalam hati dari satu hingga sepuluh)

Setelah itu, jika masih dibutuhkan dapat mengulangi menghirup lagi seperti cara diatas, sesuai aturan pakai yang diresepkan oleh dokter

Setelah selesai, bilas atau kumur dengan air putih untuk mencegah efek samping yang mungkin terjadi.Pengobatan asma harus dilakukan secara tepat dan benar untuk mengurangi gejala yang timbul. Pengobatan asma memerlukan kerja sama antara pasien, keluarga, dan dokternya. Oleh karena itu pasien asma dan keluarganya harus diberi informasi lengkap tentang obat yang dikonsumsinya; kegunaan, dosis, aturan pakai, cara pakai dan efek samping yang mungkin timbul. Pasien hendaknya juga menghindari faktor yang menjadi penyebab timbulnya asma. Selain itu, pasien harus diingatkan untuk selalu membawa obat asma kemanapun dia pergi, menyimpan obat-obatnya dengan baik, serta mengecek tanggal kadaluarsa obat tersebut. Hal ini perlu diperhatikan agar semakin hari kualitas hidup pasien semakin meningkat.

MITOS TENTANG OBAT HIRUPAN PADA ASMA ANAK, 5 TIDAK DALAM TERAPI INHALASI

Tidak menyebabkan ketergantungan Orangtua sering kawatir bahwa inhalasi bisa menyebabkan ketergantungan.Obat-obat

asma termasuk yang dihirup tidak akan menimbulkan ketergantungan dalam pengertian seperti adiksi atau kecanduan akan obat psikotropika (golongan narkoba). Pengertian ketergantungan seringkali disimpulkan oleh kalangan awam, karena penghentian obat inhaler berisi obat pengendali (controller) tanpa rekomendasi dokter dapat mengakibatkan serangan asma yang tadinya sudah terkontrol menjadi timbul lagi.

Tidak harus dikerjakan dalam paket 5-7 hari berturut-turut Dalam praktek sehari-hari sering dilakukan bahwa pemberian obat inhalasi harus dalam

satu paket 5-7 hari agar asmanya sembuh. Hal ini tidak benar. Inhalasi hanya diberikan pada saat serangan ditujukan untuk meredakan serangan dalam waktu sesegera mungkin. Bila sudah membaik dan tidak sesak tidak harrus diulang,Pengulangan tindakan itu dikerjakan berdasarkan respons penguapan tadi. Jika responsnya baik (sesak berkurang) maka tidak perlu diulang, namun jika kurang baik, maka dapat diulang 30 menit kemudian. Jika serangan sudah reda, obat dapat dilanjutkan dengan obat minum, jadi tidak perlu harus dengan paket penguapan 5 hari berturut-turut.

Tidak berarti asmanya sudah parah bila harus menggnakan terapi inhalasi atau obat hirupan

orangtua kwatir bahwa kalau pakai hirupan asmanya sudah berat dan gawat.Terapi inhalasi pada asma bukan berarti asmanya parah. nhalasi yang berisi obat pereda seperti salbutamol atau albuterol, fenoterol dan terbutalin. Obat inhalasi menjadi pilihan  utama dibandingkan obat minum karena bekerja lebih cepat

Tidak mempunyai efek samping yang berbahaya Orangtua kawatir obat inhalasi lebih berbahaya daripada obat minum.Steroid dalam

inhaler tidak menimbulkan efek samping seperti obat steroid yang digunakan atlet-atlet

Page 41: SESAK NAPAS blok respirasi Skenario 3

sebagai alat dopping, yang bisa menimbulkan maskulinisasi, keropos tulang, pertumbuhan terhenti, dan sebagainya. Steroid dalam inhaler mengandung dosis yang sangat kecil dibandingkan dengan steroid yang diminum, dan hanya sedikit sekali yang beredar di dalam darah. Oleh sebab itu, penelitian-penelitian mendapatkan bahwa efek samping obat steroid inhalasi sangat minimal, sehingga aman digunakan dalam waktu jangka panjang.

Tidak untuk hidung buntu atau batuk keras agar lekas sembuh Terapi inhalasi biasanya diberikan hanya untuk pelegaan sauran napas bronkus (dilatasi

bronkus)  atau mengurang efek inflamasi. Pada keluhan batuk keras tanpa disertai hipereaktifitas bronkus dan sesak tidak diperlukan inhalasi. Terapi nhalasi juha tidak untuk terapi hidung buntu atau pilek.

Tidak semua napas grok-grok (hipereaktifitas bronkus) harus dilakukan terapi inhalasi Orangtua sering minta terapi inhalasi saat anaknya napas berbunyai grok-grok. Pada

kasus hipereaktifitas bronkus yang ringan dan tidak sesak terapi inhalasi tidak perlu diberikan.

Page 42: SESAK NAPAS blok respirasi Skenario 3

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1998, Buku Kedokteran Dorlan edisi 25, Penerbit ECG, Jakarta

Gunawan,Sulistia Gan,DKK.2007. Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta : Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI

PDPI, Asma. Pedoman & Penatalaksanaan Di Indonesia, 2004

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2004. Asma Pedoman & Penatalaksanaan di Indonesia.

Price, Shirley Lorane M. Wilson. 1998. Patofisiologi Konsp Klinis Proses Penyakit edisi 4. Jakarta : ECG.

Rahajoe N, dkk. 2004. Pedoman Nasional Asma Anak. UKK Pulmonologi. Jakarta : PP IDAI

Suardi, Adi Utomo, dkk. 2012. Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta : IDAI

Sudoyo, Aru W,dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi IV. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI

UKK Pulmonologi PP IDAI. Pedoman Nasional Asma Anak. UKK Pulmonologi 2004

http://www.idai.or.id/kesehatananak/artikel.asp?q=199741315235

http://www.klikpdpi.com/konsensus/asma/asma.html

http://medicastore.com/asma/pengobatan_asma.php

http://www.who.int/