teknik pengelolaan dan penilaian kesejahteraan … · teknik pengelolaan dan penilaian...

39
TEKNIK PENGELOLAAN DAN PENILAIAN KESEJAHTERAAN MURAI BATU (Copsychus malabaricus Scopoli, 1788) DI MEGA BIRD AND ORCHID FARM, BOGOR, JAWA BARAT ISNIA ESTU MARIFA DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

Upload: dangtu

Post on 08-Mar-2019

267 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

TEKNIK PENGELOLAAN DAN PENILAIAN KESEJAHTERAAN

MURAI BATU (Copsychus malabaricus Scopoli, 1788) DI MEGA

BIRD AND ORCHID FARM, BOGOR, JAWA BARAT

ISNIA ESTU MARIFA

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Teknik Pengelolaan

dan Penilaian Kesejahteraan Murai Batu (Copsychus malabaricus Scopoli, 1788)

di Mega Bird and Orchid Farm, Bogor, Jawa Barat adalah benar karya saya

dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun

kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip

dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2014

Isnia Estu Marifa

NIM E34100061

ABSTRAK

ISNIA ESTU MARIFA. Teknik Pengelolaan dan Penilaian Kesejahteraan Murai

Batu (Copsychus malabricus Scopoli, 1788) di Mega Bird and Orchid Farm,

Bogor, Jawa Barat. Dibimbing oleh LIN NURIAH GINOGA dan

BURHANUDDIN MASY’UD.

Populasi murai batu (Copsychus malabaricus) di habitat alaminya

mengalami penurunan akibat perburuan, konversi dan degradasi hutan. Upaya

konservasi yang dapat dilakukan yakni konservasi ek-situ melalui kegiatan

penangkaran. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai Juli 2014 di Mega

Bird and Orchid Farm. Kandang murai batu di MBOF terdiri dari kandang

pembesaran, kandang reproduksi dan inkubator. Jenis pakan yang diberikan pada

murai batu yakni pur dan jangkrik. Ukuran keberhasilan penangkaran murai batu

di MBOF pada tahun 2013 dan 2014 yakni persentase tingkat perkembangbiakan

induk sebesar 70% dan 23.80%, daya tetas telur sebesar 66% dan 82.35% dan

angka kematian 33.33% dan 21.43%. Penilaian kesejahteraan murai batu di

MBOF menurut pengelola memiliki skor sebesar 69.35 dan menurut pengamat

sebesar 64.25 yang memiliki arti pengelolaan yang dilakukan sudah cukup

memenuhi kriteria kesejahteraan satwa.

Kata kunci: daya tetas telur, kematian, kesejahteraan satwa, murai batu,

perkembangbiakan

ABSTRACT

ISNIA ESTU MARIFA. Management Technique and Welfare Assessment of

White-Rumped Shama (Copsychus malabaricus Scopoli, 1788) at Mega Bird and

Orchid Farm, Bogor, West Java. Supervised by LIN NURIAH GINOGA and

BURHANUDDIN MASY'UD.

Population of white-rumped shama (Copsychus malabaricus) in their

natural habitat tends to decrease due to hunting activity, and forest conversion and

degradation. One of efforts to conserve this species is ex-situ conservation by

means of birds-keeping. This research aims to analyze management technique and

to assess the success of bird-keeping of white-rumped shama at Mega Bird and

Orchid Farm (MBOF). This study was conducted from May to July 2014. Types

of hutches at MBOF are development, reproduction and incubation buildings.

Feedstocks used in this research were powder and crickets. The percentage of

reproduction level in 2013 and 2014 were respectively 70% and 23.80% while the

hatchability were 66% and 82.35% and mortality were 33.33% and 21.43%.

Welfare assessment conducted by breeder is 69.35 while it is based on the

research result is 64.25. The conclusion is that management of white-rumped

shama by MBOF complies with animal welfare criteria.

Keywords: animal welfares, hatchability, mortality, reproduction, white-rumped

shama

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

TEKNIK PENGELOLAAN DAN PENILAIAN KESEJAHTERAAN

MURAI BATU (Copsychus malabaricus Scopoli, 1788) DI MEGA

BIRD AND ORCHID FARM, BOGOR, JAWA BARAT

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

ISNIA ESTU MARIFA

Judul Skripsi : Teknik Pengelolaan dan Penilaian Kesejahteraan Murai Batu

(Copsychus malabaricus, Scopoli 1788) di Mega Bird and

Orchid Farm, Bogor, Jawa Barat

Nama : Isnia Estu Marifa

NIM : E34100061

Disetujui oleh

Ir Lin Nuriah Ginoga, MSi

Pembimbing I

Dr Ir Burhanuddin Masy'ud, MS

Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir H Sambas Basuni, MS

Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan dan sebagai

syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Departemen Konservasi

Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB. Tema yang dipilih

dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2014 ini ialah penangkaran,

dengan judul Teknik Pengelolaan dan Penilaian Kesejahteraan Murai Batu

(Copsychus malabaricus, Scopoli 1788) di Mega Bird and Orchid Farm, Bogor,

Jawa Barat.

Karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik karena tidak luput dari

dukungan berbagai pihak baik secara langsung ataupun tidak langsung.

Penghargaan dan terimakasih diberikan kepada Ir Lin Nuriah Ginoga, MSi dan

Bapak Dr Ir Burhanuddin Masy’ud, MS sebagai dosen pembimbing yang dengan

sepenuh hati mendukung dan senantiasa memberikan kritik dan saran.

Diucapkan juga terimakasih kepada orang tua Bapak Sukandar dan Ibu

Kurnia Harapini yang selalu bermurah hati untuk mendoakan penulis selama

menempuh pendidikan dan mencari ilmu pengetahuan. Disamping itu,

penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh staf pengelola penangkaran Mega

Bird and Orchid Farm yang telah membantu selama pengumpulan data karya

ilmiah ini. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada teman-teman KSHE

47 dan pihak-pihak lain yang telah berpartisipasi dalam mensukseskan karya

ilmiah ini secara tidak langsung yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Bogor, Desember 2014

Isnia Estu Marifa

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

METODE 2

Waktu dan Tempat 2

Objek Penelitian 2

Alat 2

Jenis dan Metode Pengumpulan Data 2

Analisis Data 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 7

Teknik Pengelolaan Penangkaran Murai Batu di MBOF 7

Penilaian Kesejahteraan Murai Batu di MBOF 21

SIMPULAN DAN SARAN 25

Simpulan 25

Saran 25

DAFTAR PUSTAKA 26

DAFTAR TABEL

1 Jenis dan metode pengumpulan data 3 2 Bobot parameter kesejahteraan satwa 7

3 Klasifikasi penilaian kesejahteraan satwa 7 4 Populasi murai batu sampai bulan Juli 2014 8

5 Jenis, ukuran, dan konstruksi kandang murai batu di MBOF 9 6 Fasilitas kandang murai batu 10

7 Perawatan kandang murai batu di MBOF 13 8 Jenis pakan dan minum murai batu di MBOF 14 9 Jumlah konsumsi pakan murai batu 15

10 Kandungan gizi pakan murai batu 15 11 Konsumsi protein dan energi murai batu di MBOF 16

12 Riwayat penyakit yang pernah diderita murai batu di MBOF 16 13 Perbedaan murai batu jantan dan betina 17

14 Klasifikasi harga jual murai batu di MBOF 19 15 Persentase tingkat keberhasilan breeding murai batu di MBOF

periode tahun 2013 dan 2014 20 16 Penilaian tingkat kesejahteraan murai batu di MBOF 21

DAFTAR GAMBAR

1 Murai batu di MBOF 8 2 Fasilitas kandang reproduksi murai batu 11

3 Fasilitas kandang inkubator murai batu 11 4 Fasilitas kandang pembesaran murai batu 12

5 Suhu dan kelembaban kandang murai batu di MBOF 13 6 Sketsa murai batu: (a) jantan dewasa, (b) betina dewasa 17

7 Anakan murai batu usia 2 bulan: (a) jantan, (b) betina 18 8 Anakan murai batu 19

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Burung murai batu (Copsychus malabaricus) merupakan jenis burung dari

famili Muscicapidae yang dikenal dengan sebutan kucica hutan. Burung murai

batu atau dalam bahasa Inggris disebut white-rumped shama banyak digemari

karena keindahan suaranya. Menurut Delacour (1947) diacu dalam Basuni et al.

(2005) murai batu memiliki daya tarik yang cukup besar untuk dipelihara karena

termasuk kelompok burung yang bersuara bagus (the best song birds), sehingga

burung ini sangat digemari dan dicari oleh para penggemar burung. Murai batu

dapat ditemukan di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan bahkan sampai ke Asia

Tenggara dan India (Fauzi 2014, MacKinnon 2010). Saat ini murai batu sudah

menjadi burung langka di Pulau Jawa dan Pulau Kangean (MacKinnon et al.

2010).

Basuni et al. (2005) menjelaskan populasi murai batu di alam sudah mulai

langka karena memiliki sifat teritorial yang kuat serta banyaknya perburuan akibat

kekhasan suaranya sebagai burung kicau. Pernyataan tersebut sejalan dengan

pendapat Jepson dan Ladle (2009) yang mengatakan bahwa murai batu

merupakan burung yang memiliki suara luar biasa dan termasuk jenis yang

populasinya terbatas akibat tingginya eksploitasi. Hasil penelitian di Hutan Wisata

Pananjung Pangandaran menyebutkan bahwa kepadatan populasi murai batu yaitu

6 pasang per 10 ha (Basuni et al. 2005). Penyebab lain penurunan populasi murai

batu di alam adalah terjadinya konversi dan degradasi hutan (Basuni et al. 2005)

serta nilai ekonomi murai batu yang tinggi. Jepson et al. (2011) menjelaskan

burung murai batu muda di Jakarta dijual seharga 2,5 juta rupiah per pasang.

Semakin dewasa dan semakin bagus suara yang dihasilkan maka harga murai batu

akan semakin tinggi.

International Union for Conservation of Nature and Natural Resources

(IUCN) tahun 2013 menyatakan status murai batu berada pada kategori least

concern atau resiko rendah. Burung murai batu juga belum termasuk ke dalam

daftar Convention on International Trade in Endangered Species of wild fauna

and flora (CITES) dan belum ditetapkan sebagai spesies yang dilindungi oleh

pemerintah Indonesia. Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan akan

terjadi kelangkaan pada spesies tersebut akibat banyaknya perburuan dan

eksploitasi. Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya konservasi untuk tetap

mempertahankan eksistensi murai batu dan menjaganya dari kepunahan.

Salah satu upaya konservasi yang dapat dilakukan untuk mengurangi

penangkapan murai batu di alam yaitu melalui kegiatan penangkaran. Manfaat

lain dari kegiatan penangkaran yakni dapat memberikan keuntungan ekonomi.

Salah satu penangkaran yang berhasil mengembangbiakkan murai batu adalah

penangkaran Mega Bird and Orchid Farm (MBOF). Keberhasilan kegiatan

penangkaran ditentukan oleh teknik pengelolaan yang dilakukan oleh pengelola.

Pengetahuan mengenai tingkat kesejahteraan satwa juga penting diketahui untuk

menjaga kelestarian satwa di penangkaran. Selain itu, menurut Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia No 8 Tahun 1999 satwa yang dipelihara di suatu

lembaga konservasi perlu diperhatikan dan dipenuhi kesejahteraannya.

2

Berdasarkan pemikiran tersebut, penelitian mengenai teknik pengelolaan dan

penilaian kesejahteraan murai batu di MBOF perlu dilakukan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengkaji teknik pengelolaan dan menilai

kesejahteraan murai batu (Copsychus malabaricus) di MBOF.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Sebagai bahan informasi bagi upaya pelestarian murai batu secara ek-situ.

2. Sebagai bahan masukan dan evaluasi bagi upaya pengembangan penangkaran

murai batu, khususnya di penangkaran MBOF, Bogor, Jawa Barat.

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2014.

Penelitian ini dilakukan di penangkaran Mega Bird and Orchid Farm (MBOF)

yang berlokasi di Desa Cijujung Tengah, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor,

Jawa Barat.

Objek Penelitian

Objek penelitian yang digunakan adalah murai batu (Copsychus

malabaricus) yang berada di penangkaran MBOF. Murai batu yang dijadikan

objek penelitian berjumlah 6 ekor.

Alat

Alat-alat yang digunakan meliputi termometer dry-wet, meteran, timbangan,

kamera digital, kalkulator, panduan wawancara, dan alat tulis.

Jenis dan Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Metode

pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan langsung, pengukuran, teknik

wawancara serta penelusuran dokumen/studi pustaka. Jenis dan metode

pengumpulan data lebih lengkap terangkum dalam Tabel 1.

3

Tabel 1 Jenis dan metode pengumpulan data

Jenis

Data Data yang

dikumpulkan

Metode pengambilan data

Pengamatan Pengukuran Wawancara Dokumen

/ studi

pustaka

Data Primer

A. Teknik pengelolaan:

1. Proses

adaptasi

2.Manjemen kandang

3. Manajemen

pakan

4. Manajemen kesehatan dan

perawatan

5. Manajemen

reproduksi

6. Pemanfaatan

hasil

7. Tingkat

keberhasilan

B. Tingkat

Kesejahteraan

Data Sekunder

1. Asal-usul bibit 2. Populasi 3. Sejarah

penangkaran 4. Struktur

organisasi 5. Jumlah tenaga

kerja

Data Primer

A. Teknik pengelolaan

Data-data yang dikumpulkan untuk mengkaji teknik pengelolaan

penangkaran murai batu diantaranya :

a) Proses adaptasi meliputi : perlakuan yang diberikan untuk adaptasi dan lama

waktu adaptasi. Data dan informasi mengenai teknik adaptasi diperoleh dengan

cara pengamatan langsung dan wawancara kepada pengelola.

b) Manajemen kandang meliputi : jenis kandang, konstruksi kandang, jumlah

kandang, ukuran kandang, perlengkapan kandang, suhu dan kelembaban

kandang, serta perawatan kandang yang meliputi kegiatan membersihkan

kandang, mengganti fasilitas di dalam kandang dan memperbaiki bagian

kandang yang rusak. Data mengenai ukuran kandang dilakukan dengan cara

mengukur panjang, lebar, dan tinggi kandang. Pengukuran suhu dan

kelembaban kandang dilakukan juga selama 14 hari pada pagi (08.00 WIB),

4

siang (12.00 WIB), dan sore hari (16.00 WIB) dengan cara menggantungkan

termometer dry-wet di dalam kandang. Informasi mengenai jenis, konstruksi,

jumlah, perlengkapan dan perawatan kandang dilakukan dengan cara

pengamatan langsung dan wawancara dengan pengelola.

c) Manajemen pakan meliputi : jenis pakan, waktu pemberian pakan, jumlah

pemberian pakan, frekuensi, cara pemberian pakan, jumlah konsumsi, serta

kebutuhan protein dan kalori. Pengamatan dan pengukuran jumlah konsumsi,

kebutuhan protein dan kalori dilakukan selama 7 hari dengan cara menimbang

setiap jenis pakan yang diberikan pengelola pada pagi dan sore hari.

Pengumpulan data mengenai jenis, waktu pemberian, frekuensi, dan cara

pemberian pakan dilakukan dengan cara pengamatan langsung dan wawancara

kepada pengelola.

d) Manajemen kesehatan meliputi : jenis penyakit, bentuk pencegahan, upaya

pengobatan, serta jenis obat dan vitamin yang diberikan. Pengumpulan data

mengenai aspek kesehatan dilakukan dengan cara pengamatan langsung dan

wawancara kepada pengelola.

e) Manajemen reproduksi meliputi : musim kawin di penangkaran, pemilihan

bibit, penentuan jenis kelamin, sex ratio, jumlah anak per penetasan,

pengaturan peneluran atau penetasan, pembesaran atau pengasuhan anak, serta

tingkat keberhasilan breeding. Pengumpulan data mengenai aspek reproduksi

dilakukan dengan cara pengamatan langsung dan wawancara kepada pengelola.

f) Pemanfaatan hasil meliputi : bentuk pemanfaatan, harga jual dan harga beli,

teknik packing dan pengiriman, serta jalur pemasaran. Pengumpulan data

mengenai pemanfaatan hasil dilakukan dengan cara pengamatan langsung dan

wawancara kepada pengelola.

g) Tingkat keberhasilan meliputi : persentase perkembangbiakan induk betina,

persentase daya tetas telur, dan persentase angka kematian. Pengumpulan data

mengenai ukuran keberhasilan dilakukan dengan cara penelusuran dokumen-

dokumen mengenai kegiatan penangkaran dan wawancara kepada pengelola.

B. Penilaian kesejahteraan satwa

Pengumpulan data penilaian kesejahteraan satwa dilakukan dengan cara

wawancara kepada pengelola dan pengamatan langsung. Data yang dikumpulkan

mengenai penilaian kesejahteraan satwa meliputi lima prinsip kesejahteraan satwa

yakni:

a) Bebas dari rasa lapar dan haus

b) Bebas dari rasa tidak nyaman

c) Bebas dari sakit, luka dan penyakit

d) Bebas untuk mengekspresikan tingkah laku alami

e) Bebas dari rasa takut dan tertekan

Data Sekunder

Data sekunder yang dikumpulkan meliputi data mengenai asal-usul bibit

murai batu yang ditangkarkan, populasi murai batu, sejarah kegiatan penangkaran

murai batu di MBOF dan struktur organisasi penangkaran serta jumlah tenaga

kerja (SDM).

5

Analisis Data

Teknik Pengelolaan

Data dan informasi mengenai teknik pengelolaan dianalisis secara

deskriptif dan kuantitatif. Data yang dianalisis secara deskriptif meliputi

manajemen kandang, pakan, kesehatan, reproduksi, teknik adaptasi, pemanfaatan

hasil dan ukuran keberhasilan serta data pendukung. Analisis deskriptif dilakukan

dengan menguraikan semua data dan informasi yang diperoleh disertai dengan

ilustrasi seperti tabel, grafik, serta kurva yang relevan.

Data mengenai manajemen pakan dan ukuran keberhasilan dianalisis juga

secara kuantitatif dengan menggunakan rumus berikut :

1. Jumlah konsumsi pakan

JK = B-b

Keterangan:

JK = jumlah konsumsi

B = berat pakan sebelum diberikan

b = berat pakan sisa

2. Kandungan gizi pakan

Kandungan gizi pakan murai batu dipenangkaran diperoleh melalui studi

pustaka mengenai analisis proksimat yaitu analisis kimia untuk mengetahui

kandungan zat makanan yang terdapat di dalam suatu bahan makanan.

3. Jumlah konsumsi protein dan energi

Jumlah konsumsi pakan yang perlu dianalisis meliputi konsumsi protein

dan energi. Rumus yang digunakan untuk menghitung konsumsi protein yaitu:

KP = Konsumsi suatu pakan

Konsumsi pakan keseluruhanX %PK

Rumus untuk menghitung konsumsi energi:

KKal = Konsumsi suatu pakan

Konsumsi pakan keseluruhanX Kalori (Kkal)

4. Persentase perkembangbiakan induk betina

PI =t

Tt x 100%

Keterangan :

PI = perkembangbiakan induk

t = ∑ induk betina yang berkembangbiak

Tt = ∑ induk betina seluruhnya

6

5. Persentase daya tetas telur

DTT =α

β x 100%

Keterangan :

DTT = daya tetas telur

α = ∑ telur yang menetas

β = ∑ telur yang ditetaskan

6. Persentase angka kematian

AM =M

Mt x 100%

Keterangan :

AM = angka kematian

M = ∑ anakan yang mati

Mt = ∑ total anakan

Hasil perhitungan presentase daya tetas telur, presentase

perkembangbiakan induk dan presentase angka kematian dikategorikan dengan

kriteria nilai yakni:

0% - 30% : Rendah

31% - 70% : Sedang

71% - 100% : Tinggi

Penilaian Kesejahteraan

Analisis data tingkat kesejahteraan satwa dilakukan dengan cara

pengisisan tabel kriteria evaluasi kesejahteraan satwa yang mengacu pada

Peraturan Direktur Jenderal PHKA No. P6/IV-SET/2011. Masing-masing kriteria

terdiri dari variabel-variabel yang telah ditetapkan sebelumnya kemudian dinilai

dengan memberikan skor pada setiap variabel. Nilai skoring untuk setiap variabel

yaitu 1 = buruk, 2 = kurang, 3 = cukup, 4 = baik, 5 = sangat baik/memuaskan.

Penialaian dilakukan oleh pengelola dan pengamat agar didapatkan hasil penilaian

yang objektif. Nilai dari setiap variabel dihitung untuk mendapatkan nilai terbobot

dengan rumus:

Nilai terbobot = bobot x skoring

Penentuan bobot komponen penilaian kesejahteraan satwa dilakukan

berdasarkan tingkat kepentingannya (Tabel 2). Komponen bebas dari rasa lapar

dan haus memiliki bobot paling tinggi (30%) karena pakan merupakan faktor

pembatas dan pemegang peran kunci dalam suatu usaha penangkaran (Thohari

1987). Komponen bebas dari rasa tidak nyaman dan bebas dari rasa sakit, luka dan

penyakit memiliki bobot 20%. Komponen bebas dari rasa takut dan tertekan serta

komponen bebas mengekspresikan perilaku alamiah memiliki bobot terkecil yakni

15% (Ayudewanti 2013 dan Laela 2013).

7

Tabel 2 Bobot parameter kesejahteraan satwa

Komponen Bobot Skoring

(nilai skor) Nilai terbobot

Bebas dari rasa lapar dan haus 30 1-5 30-150

Bebas dari ketidaknyamanan lingkungan 20 1-5 20-100

Bebas dari rasa sakit, luka dan penyakit 20 1-5 20-100

Bebas mengekspresikan perilaku alami 15 1-5 15-75

Bebas dari rasa takut dan tertekan 15 1-5 15-75

Nilai kesejahteraan satwa dihitung dengan menggunakan rumus:

Skor penilaian = Σ nilai terbobot

5

Hasil perhitungan skor penilaian selanjutnya dikategorikan kedalam

beberapa klasifikasi yang mengacu pada Peraturan Direktur Jenderal PHKA No.

P.6/IV-SET/2011 tentang Pedoman Penilaian Lembaga Konservasi (Tabel 3).

Tabel 3 Klasifikasi penilaian kesejahteraan satwa

Klasifikasi Penilaian Nilai

Sangat Baik 80.00 – 100.00

Baik 70.00 – 79.99

Cukup 60.00 – 69.99

Perlu Pembinaan <60.00

HASIL DAN PEMBAHASAN

Teknik Pengelolaan Penangkaran Murai Batu di MBOF

Sejarah dan Struktur Organisasi Penangkaran

Penangkaran Mega Bird Farm didirikan pada tahun 1996. Penangkaran ini

kemudian berganti nama menjadi Mega Bird and Orchid Farm pada tahun 2010.

Burung yang pertama kali ditangkarkan salah satunya adalah murai batu (Gambar

1). Pemilik penangkaran pada awalnya membuat penangkaran burung karena hobi

dan kecintaannya terhadap burung berkicau termasuk murai batu. Kondisi

populasi murai batu yang mulai langka juga melatarbelakangi dibentuknya

penangkaran tersebut. Pemilik penangkaran khawatir murai batu di alam akan

habis akibat tingginya permintaan murai batu bahkan sampai sekarang banyak

dimanfaatkan sebagai burung kontes. Jepson dan Ladle (2009) menjelaskan murai

batu merupakan salah satu spesies yang popularitasnya semakin meningkat sejak

tahun 1999.

Struktur organisasi penangkaran MBOF terbagi dalam beberapa kategori

pekerjaan. Secara keseluruhan penangkaran MBOF dipimpin oleh seorang

direktur yang dibantu oleh seorang manajer dan seorang asisten manajer serta lima

orang keeper. Selain itu, penangkaran ini memiliki lima orang tenaga keamanan

yang bertugas menjaga keamanan lokasi sekitar penangkaran.

8

Tabel 4 Populasi murai batu sampai bulan Juli 2014

Kelas umur Jenis kelamin Jumlah (ekor) Keterangan*

0 s/d <5 bulan - - -

5 s/d <12 bulan 6 jantan, 5 betina 11 ekor Remaja

1 s/d <2 tahun 14 jantan, 8 betina 22 ekor Dewasa

2 s/d <3 tahun 24 jantan, 29 betina 53 ekor Dewasa (awal

mampu

bereproduksi)

≥3 tahun 33 jantan, 24 betina 57 ekor Indukan

Total 77 jantan, 66 betina 143 ekor Populasi saat ini

*Fauzi (2014)

Gambar 1 Murai batu di MBOF

Populasi Murai batu di MBOF

Populasi murai batu yang ditangkarkan pada tahun 1996 berjumlah lima

pasang. Murai batu yang ditangkarkan berasal dari burung milik sendiri dan

membeli kepada para penangkar burung terutama murai batu betina. Murai batu

tersebut dipelihara dan dijadikan indukan oleh pengelola sehingga populasinya

semakin bertambah setiap tahunnya. Populasi murai batu di MBOF sampai pada

bulan Juli 2014 bejumlah 143 ekor yang dibedakan berdasarkan kelas umur dan

jenis kelamin (Tabel 4).

Proses Adaptasi Pengelola MBOF tidak menyediakan kandang khusus sebagai kandang

karantina untuk murai batu yang baru didatangkan. Murai batu yang baru

didatangkan langsung dimasukkan ke dalam kandang pembesaran kemudian

disatukan dengan murai batu yang lain. Perlakuan yang diberikan oleh pengelola

terhadap murai batu yang baru didatangkan sama seperti murai batu lainnya.

Manajemen Kandang

1. Jenis, ukuran dan konstruksi kandang

Jenis kandang murai batu yang terdapat di penangkaran MBOF terbagi

kedalam tiga bagian yaitu kandang pembesaran, kandang reproduksi (indukan)

dan kandang inkubator. Ukuran dan konstruksi dari masing-masing jenis kandang

berbeda-beda (Tabel 5).

9

Tabel 5 Jenis, ukuran, dan konstruksi kandang murai batu di MBOF

Jenis kandang Konstruksi

kandang

Ukuran kandang

(p x l x t)

Unit Jumlah

(ekor/unit)

Kandang

reproduksi

dan

pemeliharaan

induk

Dinding dari

batako, atap

berupa kawat

ram dan asbes,

lantai kandang

berupa tanah

1,5 m x 3 m x 3 m 21

2

Inkubator

Alas triplek,

dinding kayu,

dan kawat ram

110 cm x 45 cm x

50 cm 1 6-7

Kandang

pembesaran

Triplek, kayu,

dan besi

50 cm x 50 cm x

70 cm 86

1

Kandang merupakan salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan

dalam membangun sebuah penangkaran. Kandang reproduksi dan pemeliharaan

induk berfungsi sebagai tempat untuk penjodohan dan perkawinan pasangan induk

murai batu. Masing-masing kandang berisi satu pasang indukan murai batu.

Kandang reproduksi murai batu di MBOF terbagi kedalam dua blok yaitu blok A

dan blok C. Atap kandang reproduksi murai batu terbagi atas dua bagian yaitu

bagian yang tertutup oleh asbes dan bagian yang terbuka dengan kawat ram.

Kondisi atap tersebut dibuat sedemikian rupa agar sinar matahari dapat tetap

masuk ke dalam kandang. Fauzi (2014) menyatakan kandang yang ideal adalah

kandang yang memperoleh sinar matahari yang cukup karena baik untuk

kesehatan burung. Lantai kandang reproduksi murai batu berupa tanah agar

mempermudah proses dekomposisi feses. Fauzi (2014) dan Soemarjoto (2003)

menyatakan kandang reproduksi yang baik adalah lantainya berupa tanah atau

pasir agar kotoran burung mudah terurai.

Kandang reproduksi murai batu di MBOF dibuat tertutup dan terletak di

bagian dalam penangkaran agar proses reproduksi pasangan murai batu tidak

terganggu oleh aktivitas manusia. Fauzi (2014) menjelaskan bahwa murai batu

yang sedang mengerami telurnya tidak boleh terlalu didekati karena akan

membuat induk tidak tenang dan sering keluar masuk sarang sehingga proses

pengeraman telur menjadi tidak optimal. Kandang reproduksi di MBOF

mempunyai dua buah pintu yang memiliki ukuran dan fungsi berbeda. Pintu yang

berukuran besar memiliki ukuran 50x100 cm terletak dibagian bawah kandang

yang berfungsi sebagai tempat masuknya keeper ke dalam kandang untuk

membersihkan kandang, mengganti air minum dan memasukan indukan serta

mengambil anakan murai dari sangkar. Pintu kecil memiliki ukuran 20x20 cm

berfungsi untuk memberikan pakan kepada murai batu.

Kandang inkubator murai batu terletak di dalam kantor penangkaran

MBOF. Inkubator berfungsi untuk memelihara anakan yang berusia satu minggu

sampai usia satu bulan. Kandang inkubator di MBOF dapat dikatakan sudah

sesuai karena memiliki lubang sirkulasi udara. Lubang sirkulasi udara pada

kandang inkubator terbuat dari kawat ram yang berbentuk persegi dengan panjang

10

sisi 15 cm. Suprijatna et al. (2008) menyatakan bahwa inkubator yang baik harus

dapat mengatur sirkulasi udara dengan lancar. Berdasarkan hal tersebut, kandang

inkubator di MBOF dapat dikatakan sesuai.

Kandang pembesaran murai batu di MBOF jumlahnya lebih banyak

dibandingkan kandang reproduksi dan kandang inkubator. Banyaknya kandang

pembesaran disebabkan karena murai batu di MBOF dapat bertelur sebanyak 6-7

kali dalam setahun. Kandang pembesaran berfungsi untuk membesarkan anakan

murai batu yang berumur satu bulan hingga menjadi murai batu dewasa yang siap

untuk dijadikan indukan. Kandang pembesaran murai batu di MBOF dapat

dikatakan sudah sesuai. Menurut Soemarjoto dan Prayitno (1999) ukuran kandang

atau sangkar untuk murai batu sebaiknya berbentuk persegi empat dengan ukuran

panjang dan lebar kurang lebih 50 cm dan tinggi kurang lebih 60 cm.

2. Fasilitas kandang

Fasilitas atau perlengkapan kandang merupakan salah satu hal yang perlu

diperhatikan untuk memenuhi kebutuhan hidup satwa. Fasilitas kandang murai

batu di MBOF berbeda-beda tergantung dari jenis kandangnya (Tabel 6).

Tabel 6 Fasilitas kandang murai batu

Jenis kandang Fasilitas Fungsi

Kandang

reproduksi dan

pemeliharaan

induk

Tempat pakan

Tempat minum dan

mandi

Kayu tenggeran

Pohon palem

Kotak sarang

Wadah pakan

Wadah air minum sekaligus tempat

mandi

Untuk bertengger

Untuk bertengger, agar sesuai

dengan habitat alami

Tempat untuk bertelur dan

mengerami telur

Inkubator Tempat pakan

Tempat minum

Sarang

Pot penyangga

Lampu 5 wat

Wadah pakan

Wadah air minum

Wadah untuk menaruh anakan

Wadah sarang

Untuk menghangatkan tubuh anakan

Kandang

pembesaran

Tempat pakan

Tempat minum

Kayu tenggeran

Kandang mandi

Wadah pakan

Wadah air minum

Untuk bertengger

Untuk mandi

Fasilitas kandang reproduksi murai batu di MBOF sudah sesuai dalam

memenuhi kebutuhan murai batu untuk bereproduksi (Gambar 2). Soemarjoto

(2003) menjelaskan bahwa kandang reproduksi yang baik perlu dilengkapi dengan

tempat pakan, tempat minum, tempat mandi, tempat bertengger, pohon dan sarang.

Tempat pakan dan minum murai batu di kandang reproduksi sama seperti kandang

pembesaran yakni terbuat dari plastik. Pohon palem dalam kandang reproduksi

digunakan juga sebagai tempat bertengger murai batu sekaligus sebagai pelindung

agar meyerupai habitat alaminya.

11

Kotak sarang pada kandang reproduksi terbuat dari triplek yang berbentuk

persegi panjang dengan lubang di bagian tengah untuk tempat keluar masuknya

induk. Ukuran kotak sarang yakni memiliki panjang 20 cm, lebar 20 cm, dan

tinggi 30 cm. Fauzi (2014) menyatakan wadah sarang bagi murai batu idealnya

memiliki panjang 15-25 cm, lebar 15-20 cm dan tinggi 15-20 cm. Penempatan

kotak sarang diletakkan di bagian atas dinding kandang yang tertutup oleh asbes

agar tidak terkena air hujan dan panas matahari. Bahan penyusun sarang murai

batu di MBOF terbuat dari ijuk dan daun pinus kering. Bahan penyusun sarang

tersebut sebagian sudah dimasukkan kedalam kotak sarang oleh pengelola dan

sebagian diletakkan di lantai kandang agar burung dapat membangun sarangnya

sendiri.

Gambar 2 Fasilitas kandang reproduksi murai batu

Kandang inkubator murai batu dilengkapi dengan fasilitas tempat pakan,

minum, lampu, lubang sirkulasi udara, sarang dan pot penyangga (Gambar 3).

Tempat pakan dan minum pada kandang inkubator diletakkan di luar kandang

karena anakan murai batu diberi makan dengan cara disuapi oleh pengelola.

Sarang pada kandang inkubator terbuat dari jerami yang disangga dengan pot

kecil agar terhindar dari gangguan semut. Lampu 5 watt yang terdapat pada

kandang digunakan untuk menghangatkan tubuh anakan murai batu.

Gambar 3 Fasilitas kandang inkubator murai batu

12

Fasilitas kandang pembesaran murai batu di MBOF dinilai sudah sesuai

untuk menunjang keberlangsungan hidup satwa. Untung dan Turut (1994)

menjelaskan perlengkapan kandang yang diperlukan oleh murai batu adalah kayu

untuk tenggeran, tempat pakan, tempat minum dan bak atau wadah untuk mandi.

Tempat pakan dan minum pada kandang pembesaran terbuat dari plastik yang

diletakkan dibagian sisi kandang (Gambar 4). Penggunaan plastik untuk tempat

pakan dan minum bertujuan agar tidak mudah pecah jika terjatuh. Sudrajad (1999)

menyatakan tempat pakan dan minum sebaiknya terbuat dari bahan yang tidak

bocor dan tidak mudah pecah, seperti plastik, bambu dan alumunium. Kayu

tenggeran pada kandang pembesaran terbuat dari ranting pohon yang diletakkan di

tengah kandang. Menurut Turut (1999) tenggeran sebaiknya berupa cabang atau

ranting kayu dengan diameter kurang lebih 2 cm. Murai batu yang berada di

kandang pembesaran dimandikan setiap pagi oleh pengelola pada tempat mandi

khusus yang terbuat dari besi. Air yang digunakan untuk mandi murai batu berasal

dari air tanah. Fauzi (2014) menjelaskan bak mandi pada murai batu sebaiknya

diisi dengan air yang bersih.

Gambar 4 Fasilitas kandang pembesaran murai batu

3. Perawatan kandang

Berdasarkan hasil pengamatan, perawatan kandang murai batu di MBOF

terdiri dari beberapa jenis kegiatan. Perawatan kandang yang dilakukan meliputi

pembersihan kandang dari feses, pembersihan tempat pakan dan minum,

penjemuran sarang pada kandang inkubator, penggantian kayu tenggeran,

penggantian tempat pakan, tempat minum dan kawat ram yang telah rusak dan

pemberian desinfektan (Tabel 7). Perawatan kandang bertujuan untuk

menghindari timbulnya penyakit akibat kandang yang kotor. Setio dan

Takandjandji (2007) menjelaskan kebersihan kandang beserta kelengkapannya

perlu diperhatikan karena berhubungan dengan kesehatan satwa. Perawatan

kandang yang dilakukan oleh pengelola di MBOF dinilai sudah baik. Sudrajad

(1999) menjelaskan upaya pemeliharaan kandang di suatu penangkaran dapat

berupa perbaikan kawat ram atau dinding kandang yang rusak, pembersihan

kandang dan fasilitasnya.

13

Tabel 7 Perawatan kandang murai batu di MBOF

Jenis perawatan Waktu Kegiatan yang dilakukan

Pembersihan kandang dari

feses

Setiap pagi

hari

Menyikat dan menyemprot bagian

kandang yang kotor

Pembersihan tempat pakan

dan minum

Setiap pagi

hari

Menggosok tempat pakan dan

minum dengan kain

Penjemuran sarang Situasional Menjemur sarang di bawah sinar

matahari

Penggantian kayu

tenggeran, tempat pakan,

minum dan kawat ram

Situasional Mengganti kayu tenggeran yang

lapuk, mengganti tempat pakan,

minum dan kawat ram yang rusak

Pemberian desinfektan Satu bulan

sekali

Menyemprotkan daerah sekitar

kandang dengan desinfektan

4. Suhu dan kelembaban kandang

Hasil pengamatan suhu di dalam kandang reproduksi murai batu di MBOF

berkisar antara 26-29.2oC dengan kelembaban 90-91% (Gambar 5).

Gambar 5 Suhu dan kelembaban kandang murai batu di MBOF

MacKinnon et al. (2010) menjelaskan bahwa burung murai batu umumnya

terdapat di dataran rendah sampai ketinggian 1.500 m. Basuni et al. (2005)

menjelaskan bahwa murai batu dapat ditemukan di hutan wisata Pananjung

Pangandaran. Kawasan hutan wisata Pananjung Pangandaran memiliki rata-rata

suhu udara berkisar antara 25-30oC dengan kelembaban udara 80-90% (Supriadi

dan Wicaksono 2013). Suhu dan kelembaban rata-rata kandang reproduksi murai

batu di MBOF yakni 27.8oC dan 90.7%, hal ini sama seperti suhu dan

kelembaban habitat murai batu di alam yakni sebesar 25-30oC dan 80-90%.

Pengukuran suhu dan kelembaban kandang dilakukan pada kandang reproduksi

24

25

26

27

28

29

30

89.4

89.6

89.8

90

90.2

90.4

90.6

90.8

91

91.2

Suhu (

°C)

Kel

embaban (

%)

Waktu

Kelembaban (%) Suhu (°C)

14

Tabel 8 Jenis pakan dan minum murai batu di MBOF

Klasifikasi

murai batu Jenis pakan Frekuensi

pemberian pakan Jenis minum

Anakan dan

anakan (0-2

bulan)

Pur dan mineral

kalsium yang

dicairkan dengan

air hangat, jangkrik

Setiap 1 jam dari

pukul 06.00-22.00

WIB

Air mineral aqua

Anakan (3-5

bulan),

Remaja (5-12

bulan)

Pur , jangkrik,

kroto

Pur setiap pagi hari

dan jangkrik pagi

dan siang hari

Air tanah

Dewasa (>1

tahun)

Pur, jangkrik, kroto 1 kali sehari pada

pagi hari

Air tanah, air aqua (khusus

yang memiliki kualitas

suara yang baik)

karena dapat mempengaruhi keberhasilan reproduksi murai batu. Kosin (1969)

dalam Masy'ud (2005) menjelaskan bahwa diantara faktor yang berpengaruh

terhadap daya tetas telur adalah umur induk, suhu dan kelembaban kandang.

Manajemen Pakan

1. Pemberian pakan dan minum

Pakan merupakan salah satu komponen habitat yang penting dan

dikategorikan sebagai faktor pembatas (limiting factor) karena berpengaruh

terhadap kesejahteraan, pertumbuhan serta perkembangan populasi satwa. Jenis

pakan dan minum pada murai batu di MBOF dibedakan berdasarkan kelas umur

dan kualitas suara burung (Tabel 8).

Pemberian pakan murai batu di MBOF sesuai dengan pakan murai batu di

alam. Fauzi (2014) menjelaskan murai batu di alam memakan pakan yang berasal

dari makhluk hidup seperti berbagai jenis serangga, cacing atau ikan kecil.

Pengelola MBOF memberi pakan utama pada murai batu berupa jangkrik dan pur.

Kroto terkadang diberikan oleh pengelola, namun frekuensi pemberian kroto

dilakukan secara situasional karena jumlah kroto yang sangat terbatas. Menurut

Fauzi (2014) dan Untung dan Turut (1994) beberapa jenis pakan yang dapat

diberikan pada murai batu di penangkaran diantaranya jangkrik, kroto, kuning

telur rebus, pur, belalang dan ulat hongkong.

Cara pemberian pakan pada anakan yaitu dengan disuapi atau diloloh oleh

pengelola menggunakan sumpit kayu sedangkan pemberian minum dengan

menggunakan pipet. Cara pemberian pakan dan minum pada murai batu remaja

dan dewasa yakni langsung diletakkan di tempat pakan dan minum. Komposisi

pur dan mineral kalsium untuk anakan murai batu usia 0-2 bulan yakni 5 sendok

makan pur dicampur dengan 1 sendok makan mineral kalsium. Pemberian

jangkrik pada murai batu diberikan dengan cara menghilangkan kaki belakangnya

terlebih dahulu. Jangkrik memiliki kaki belakang yang bergerigi tajam dan dapat

merusak pita suara burung sehingga harus dihilangkan (Sudrajad 1999).

15

Tabel 9 Jumlah konsumsi pakan murai batu

Jenis pakan Jumlah konsumsi (g/hari/ekor)

Kandang pembesaran Kandang reproduksi

Pur 1.76 ± 0.22 1.91 ± 0.15

Jangkrik 7.14 ± 0.15 3.84 ± 0.04

Tabel 10 Kandungan gizi pakan murai batu

Nilai gizi Jangkrik(a)

Pur

Kadar abu (%)

- 9 Kadar protein (%) 13.70 18

Serat kasar (% ) 2.90 6

Kadar lemak(%)

5.30 4 Energi (kkal)

117 4402

(b)

Kadar air (%) 76 12 (a)

Koswara (2002) dalam Yunanti (2012); (b)

Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan,

Fakultas Peternakan IPB

Soemarjoto (2003) menjelaskan pemberian jangkrik pada burung dapat membuat

burung cepat dan rajin berkicau. Pemberian air minum pada murai batu berasal

dari air tanah dan air mineral aqua. Air aqua diberikan pada anakan dan murai

batu dewasa yang memiliki kualitas suara yang baik. Untung dan Turut (1994)

menjelaskan air minum yang diberikan pada murai batu sebaiknya air matang dan

harus diganti setiap hari. Pengelola MBOF selalu mengganti pakan dan minum

secara rutin setiap pagi hari.

2. Jumlah konsumsi pakan

Pengukuran jumlah konsumsi pakan murai batu di MBOF dilakukan pada

dua jenis kandang yaitu kandang pembesaran dan reproduksi (Tabel 9). Jumlah

konsumsi merupakan selisih antara pakan yang diberikan dengan sisa pakan

dalam waktu 24 jam (Imran et al. 2012).

Berdasarkan hasil pengukuran, jumlah konsumsi pakan tertinggi pada

kedua jenis kandang adalah jangkrik yakni 7.14 g dan 3.84 g. Tingkat konsumsi

jangkrik yang tinggi dikarenakan jangkrik merupakan pakan alami murai batu di

alam. Murai batu tidak menyukai pur karena memiliki serat kasar yang tinggi

sehingga sulit dicerna. Hifizah (2013) menjelaskan kandungan serat kasar yang

tinggi pada pakan menyebabkan daya cerna pakan tersebut rendah. Konsumsi

pakan pada kandang pembesaran lebih banyak dibandingkan kandang reproduksi.

Banyaknya konsumsi pakan pada kandang pembesaran disebabkan karena jumlah

pakan yang diberikan lebih banyak. Murai batu yang masih muda memerlukan

asupan gizi yang cukup untuk memacu pertumbuhannya.

3. Kandungan gizi pakan

Nilai gizi yang terkandung dalam pakan akan menentukan kualitas suatu

pakan. Kandungan gizi tertinggi pada jangkrik dan pur adalah energi, sedangkan

kandungan protein terbanyak terkandung dalam pur (Tabel 10). Murai batu

menyukai jangkrik karena memiliki kadar air yang tinggi. Air berfungsi untuk

memperlancar proses metabolisme dan fisiologi tubuh (Tillman et al. 1989).

16

Tabel 12 Riwayat penyakit yang pernah diderita murai batu di MBOF

Jenis penyakit Gejala Obat

Diare Feses cair Tony’s treasure

Berak kapur Feses cair, berlendir dan berwarna

putih

Tony’s treasure

Flu Paruh dan hidung berair, bersin-

bersin

Tony’s treasure

Gangguan pernapasan Paruh selalu terbuka seperti sesak

napas

Tony’s treasure

Katarak Mata berair, berwarna putih Tidak dapat

diobati

Tabel 11 Konsumsi protein dan energi murai batu di MBOF

Jenis pakan Protein kasar (%) Energi (kkal)

Pur 5.78 1413.18

Jangkrik 9.30 79.44

Jumlah 15.08 1492.62

4. Konsumsi protein dan energi

Konsumsi protein dan energi murai batu di MBOF penting diketahui

karena mempengaruhi proses pertumbuhan dan reproduksi pada satwa.

Berdasarkan hasil perhitungan, konsumsi protein dan energi murai batu di MBOF

yakni 15.08% dan 1492.62 kkal (Tabel 11).

Protein penting bagi satwa untuk meningkatkan produktivitas telur dan

meningkatkan daya tetas telur serta berpengaruh terhadap berat telur yang berguna

bagi perkembangan embrio (Ketaren 2010 dan Masy'ud 2005). Menurut Soemadi

dan Mutholib (1995) protein juga berguna bagi tubuh burung sebagai bahan

pembangun tubuh dan pengganti jaringan yang rusak. Untung dan Turut (1994)

menjelaskan bahwa energi penting bagi murai batu untuk mendukung aktivitasnya.

Manajemen Kesehatan dan Perawatan

Kesehatan merupakan salah satu faktor penting yang akan menentukan

keberhasilan penangkaran. Jenis penyakit yang pernah diderita murai batu di

MBOF diantaranya diare, berak kapur, flu, gangguan pernapasan dan katarak

(Tabel 12).

Segala jenis penyakit yang menyerang murai batu di MBOF diobati

dengan obat yang sama yaitu tony’s treasure. Tony’s treasure merupakan obat

yang terbuat dari berbagai jenis antibiotik yang digunakan untuk mengobati segala

macam penyakit. Cara pemberian obat pada anakan murai batu yakni dengan cara

menghaluskan obat terlebih dahulu kemudian dicampurkan kedalam air minum.

Pada indukan obat langsung diberikan dengan cara dimasukkan ke dalam paruh

murai batu.

Bentuk perawatan kesehatan lainnya yaitu dengan memberikan suplemen

kepada anakan dan indukan murai batu serta melakukan penjemuran pada anakan

17

Tabel 13 Perbedaan murai batu jantan dan betina

Murai batu jantan Murai batu betina

Bertubuh besar Ukuran tubuh kecil

Memiliki warna bulu hitam pekat pada kepala dan punggung

Memiliki warna bulu yang pudar atau keabu-abuan.

Warna bulu dada cokelat atau kuning

tajam

Warna bulu dada lebih pucat

Memiliki ekor panjang, biasanya lebih

dari 17 cm

Ekor lebih pendek dari ekor jantan

antara 10-15 cm

Variasi kicauan yang dimiliki lebih

beragam dengan volume suara besar

Variasi kicauan yang dimiliki monoton

dan volume suara lebih kecil

Sumber : Fauzi (2014)

dan indukan. Penjemuran murai batu di MBOF dilakukan setiap pagi hari sekitar

pukul 07.00-09.00 WIB selama 15-30 menit. Penjemuran dilakukan untuk

membantu pembentukkan vitamin D pada murai batu. Suplemen yang diberikan

kepada anakan murai batu yaitu scott’s emulsion. Indukan murai batu diberikan

suplemen TM-Vita. Tujuan pemberian suplemen pada indukan murai batu adalah

untuk menjaga stamina burung agar selalu sehat dan meningkatkan poduktivitas.

Perawatan juga diberikan bagi murai batu yang mengalami susut bulu (moulting).

Murai batu yang sedang mengalami susut bulu diberikan minyak ikan agar

merangsang pertumbuhan bulu. Minyak ikan diberikan dengan cara diolesi pada

jangkrik yang menjadi pakan murai batu. Upaya pencegahan yang dilakukan

pengelola MBOF agar terhindar dari serangan penyakit adalah selalu menjaga

kebersihan kandang dan memandikan burung agar tubuh burung tidak kotor.

Manajemen Reproduksi

Beberapa aspek reproduksi yang penting untuk diperhatikan dalam

penangkaran diantaranya penentuan jenis kelamin, pemilihan induk, penjodohan,

pengeraman dan penetasan serta pembesaran anakan murai batu.

1. Penentuan jenis kelamin

Perbedaan jenis kelamin murai batu sangat jelas secara kasat mata. Jenis

Kelamin pada murai batu dapat dibedakan melalui warna bulu, panjang ekor dan

variasi suara (Tabel 13).

Gambar 6 Sketsa murai batu: (a) jantan dewasa, (b) betina dewasa

18

Pengelola MBOF dapat menentukan jenis kelamin pada murai batu saat

usia 2 bulan. Perbedaan jenis kelamin murai batu di MBOF dibedakan

berdasarkan ukuran tubuh dan bulu pada sayap. Ukuran tubuh jantan lebih besar

dibandingkan betina. Bulu sayap pada jantan terdapat banyak bintik-bintik coklat

sedangkan bulu sayap pada betina memiliki bintik-bintik coklat yang lebih sedikit.

(gambar 7).

2. Pemilihan induk

Murai batu yang dijadikan indukan oleh pengelola MBOF berasal dari

kandang pembesaran. Murai batu yang akan dijadikan induk dipilih yang tidak

berasal dari satu keturunan. Pemilihan induk murai batu di MBOF didasarkan

dengan kriteria yang tidak cacat, sudah dewasa, memiliki ukuran tubuh yang besar

dan memiliki kualitas suara yang baik. Murai batu dewasa memiliki ukuran tubuh

sekitar 27 cm dengan berat sekitar 32 gram (MacKinnon et al. 2010, Fauzi 2014).

Perbandingan seks ratio jantan dan betina di MBOF adalah 1:1. Artinya jantan

dan betina selalu dipasangkan dalam dalam satu kandang.

3. Penjodohan

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menjodohkan murai batu adalah

umur dan tingkat birahi pada burung. Birahi atau estrus adalah suatu periode yang

terjadi pada satwa betina dewasa yang siap untuk melakukan proses reproduksi

dengan satwa jantan. Birahi pada satwa digambarkan dengan perubahan kadar

hormon reproduksi sehingga menyebabkan satwa betina bersifat reseptif terhadap

satwa jantan (Marcondes et al. 2002).

Murai batu yang dijodohkan di MBOF berusia 3 tahun pada betina dan 5

tahun pada jantan. Fauzi (2014) menjelaskan burung murai batu mencapai tingkat

kedewasaan kelamin pada usia 2 tahun pada jantan dan 1 tahun pada betina.

Penjodohan murai batu di MBOF dilakukan dengan cara memasukkan jantan dan

betina ke dalam kandang reproduksi. Murai batu jantan yang berada di kandang

reproduksi dimasukkan ke dalam sangkar dan digantung di dinding kandang,

sedangkan murai batu betina dilepaskan di dalam kandang. Tanda-tanda murai

batu yang berjodoh yaitu murai betina akan sering mendekati sangkar yang berisi

murai jantan. Penjodohan murai batu di MBOF dapat berlangsung selama 1-2

bulan. Apabila proses penjodohan berhasil maka murai batu jantan akan

dilepaskan dari sangkar dan disatukan dengan betina pada kandang reproduksi.

Murai batu yang tidak berjodoh akan diganti oleh pengelola dengan murai batu

betina yang lain.

Gambar 7 Anakan murai batu usia 2 bulan: (a) jantan, (b) betina

19

4. Peneluran, pengeraman, dan penetasan telur

Peneluran, pengeraman, dan penetasan telur murai batu dilakukan di dalam

kandang reproduksi. Jumlah telur yang dihasilkan murai batu di MBOF

umumnya 2-3 butir. Proses pengeraman telur murai batu berlangsung selama 14-

15 hari. Murai batu di penangkaran MBOF dapat bertelur sebanyak 6-7 kali dalam

setahun. Penetasan telur murai batu di MBOF dilakukan secara alami tanpa

menggunakan mesin tetas. Menurut Fauzi (2014) beberapa faktor penyebab

kegagalan dalam penetasan burung murai batu diantaranya adalah proses

pembuahan yang tidak sempurna, pengeraman yang kurang bagus, kondisi

lingkungan yang buruk, serta gangguan dari binatang lain. Anakan murai batu

yang baru menetas akan dibiarkan di kandang dan dipelihara oleh induknya

selama beberapa hari. Setelah usia 5-7 hari pengelola memisahkan anakan murai

batu dan memasukkannya ke dalam kandang inkubator untuk mendapatkan

perawatan.

5. Pembesaran anakan murai batu

Penanganan anakan dapat dilakukan melalui dua cara yaitu secara alami

dan hand rearing. Pembesaran anakan murai batu di MBOF dilakukan secara

hand rearing. Semiadi (1997) menjelaskan hand rearing adalah teknik

pembesaran anak satwa yang dipisahkan dari induknya kemudian dipelihara

dibawah pengaruh dan tangan manusia. Pembesaran dengan cara hand rearing

dilakukan oleh pengelola agar pertumbuhan anakan terkontrol dan meminimalkan

terjadinya kematian pada anakan serta agar induk murai batu dapat melakukan

reproduksi kembali. Anakan murai batu (Gambar 8) dipelihara di kandang

inkubator hingga mencapai umur <1 bulan. Saat mencapai umur satu bulan

anakan akan dipindahkan ke kandang pembesaran serta dilakukan penandaan

berupa pemasangan cincin (ring) pada kaki anakan murai batu.

Gambar 8 Anakan murai batu

Pemanfaatan Hasil Penangkaran Murai batu di MBOF

Murai batu merupakan salah satu jenis burung yang popularitas dan

permintaanya cukup tinggi dipasaran (Fauzi 2014). Harga jual murai batu di

penangkaran MBOF bervariasi tergantung usia burung (Tabel 14).

Tabel 14 Klasifikasi harga jual murai batu di MBOF

Klasifikasi burung Umur Suara Harga (Rp)

Anakan 1-2 bulan Belum berkicau 3 500 000 - 5 000 000 Dewasa reproduktif ≥ 3 tahun Belum bagus 15 000 000 - 20 000 000 Dewasa ≥ 3 tahun Suara sudah bagus 40 000 000 - 60 000 000

Dewasa (Juara) ≥ 5 tahun Suara sudah bagus >100.000.000

20

Tabel 15 Persentase tingkat keberhasilan breeding murai batu di MBOF periode

tahun 2013 dan 2014

Tingkat keberhasilan 2013 Kategori 2014 Kategori

Tingkat perkembangbiakan

∑ total betina 20 21

∑ betina yang berkembangbiak

14 5

Hasil 70% Sedang 23.81% -

Daya tetas telur

∑ telur yang ditetaskan 50 17 ∑ telur yang menetas 33 14

Hasil 66% Sedang 82.35% Tinggi

Tingkat kematian

∑ total anakan 33 14

∑ anakan yang mati 11 3

Hasil 33.33% Sedang 21.43% Rendah

Harga yang ditawarkan pengelola MBOF sudah termasuk kandang atau

sangkar. Pembeli murai batu di MBOF umumnya berasal dari Jakarta, Bogor dan

luar Pulau Jawa. Pengemasan burung yang akan dijual jarak jauh yakni dengan

cara memasukkan kedalam boks atau kotak yang terbuat dari triplek. Pembeli

yang berasal dari Pulau Jawa burung hanya dimasukkan ke dalam kandang atau

sangkar dengan ditutupi koran atau kain.

Murai batu yang banyak diminati oleh pembeli biasanya murai yang masih

berumur 2 bulan dan murai batu dewasa yang sudah berproduksi. Penghasilan dari

hasil penjualan murai tidak tentu setiap tahunnya, namun rata-rata dalam satu

tahun terjual lima ekor anakan dan lima pasang murai yang sudah berproduksi.

Penghasilan juga diperoleh dari hasil mengikuti kontes burung berkicau yang

diselenggarakan setiap minggu untuk kelas latihan dan setiap 3 bulan untuk acara

tingkat nasional. Pendapatan yang dapat diperoleh dari setiap mengikuti kontes

berkisar antara Rp 500.000-800.000 untuk kelas latihan dan Rp 5.000.000 untuk

tingkat nasional. Total pendapatan yang dapat diperoleh dari hasil penjualan dan

mengikuti kontes murai batu di MBOF yakni ± Rp 180.000.000/tahun.

Berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola, murai batu yang siap untuk

kontes adalah murai yang memiliki volume suara yang tinggi serta mahir dalam

berkicau karena mampu menirukan berbagai jenis kicauan burung lain. Pengelola

MBOF melatih murai batu dengan cara memutar rekaman kicauan burung jenis

lain setiap pagi hingga sore hari.

Tingkat keberhasilan penangkaran murai batu

Berhasil tidaknya suatu penangkaran ditentukan oleh banyak faktor, antara

lain persentase daya tetas telur, persentase perkembangbiakan induk betina dan

persentase angka kematian (Tabel 15).

Jumlah induk yang berkembangbiak pada tahun 2013 lebih tinggi

dibandingkan pada tahun 2014. Total indukan murai batu yang berhasil

berkembangbiak pada tahun 2014 adalah 5 ekor dari 21 ekor. Rendahnya

persentase tingkat perkembangbiakan induk pada tahun 2014 disebabkan karena

21

murai batu yang ditangkarkan sedang mengalami susut bulu (moulting) sehingga

tidak terjadi proses reproduksi. Selain itu, penelitian hanya dilakukan sampai pada

bulan Juli 2014 sehingga tingkat perkembangbiakan belum dapat dikategorikan.

Susut bulu (moulting) adalah lepasnya bulu-bulu burung yang lama dan usang

secara periodik dan diganti dengan bulu yang baru (Jarulis et al.2013). Besarnya

tingkat perkembangbiakan pada tahun 2013 disebabkan karena indukan murai

batu tidak memelihara anakannya sendiri sehingga murai batu cepat bereproduksi

kembali.

Berdasarkan hasil perhitungan, persentase daya tetas telur murai batu di

MBOF termasuk kategori sedang dan tinggi. Tingginya persentase daya tetas telur

disebabkan kualitas pakan dan kondisi kandang reproduksi sudah baik. Menurut

Kosin (1969) diacu dalam Masy'ud (2005) faktor yang berpengaruh terhadap daya

tetas telur adalah umur induk, suhu dan kelembaban kandang serta kualitas pakan.

Pakan yang diberikan kepada murai batu di MBOF memiliki kandungan protein

yang cukup tinggi. Protein berguna bagi satwa untuk meningkatkan produktivitas

telur.

Persentase angka kematian anakan murai batu di MBOF berada pada

kategori sedang dan rendah. Rendahnya persentase tingkat kematian dikarenakan

pemeliharaan anakan murai batu dilakukan secara hand rearing sehingga segala

kebutuhan anakan sudah disediakan oleh pengelola. Anakan yang dirawat oleh

indukan akan lebih rentan dengan kematian. Pengelola MBOF membiarkan

indukan memelihara anaknya selama kurang lebih 5-7 hari kemudian anakan

diangkat oleh pengelola dan dipelihara di kandang inkubator.

Penilaian Kesejahteraan Murai Batu di MBOF

Berdasarkan hasil penilaian kesejahteraan murai batu yang dilakukan oleh

pengelola dan pengamat diperoleh hasil skor kesejahteraan murai batu di MBOF

menurut pengelola adalah 69.35 dan menurut pengamat adalah 64.25 (Tabel 16).

Tabel 16 Penilaian tingkat kesejahteraan murai batu di MBOF

No Komponen Bobot Skoring Nilai terbobot

Pt Pa Pt Pa

1 Bebas dari rasa lapar dan haus 30 3.25 3.63 97.50 108.9

2 Bebas dari rasa tidak nyaman 20 3.50 3.63 70.00 72.60

3 Bebas dari rasa sakit, penyakit,

luka

20 3.00 3.38 60.00 67.60

4 Bebas untuk berperilaku alami 15 3.25 3.38 48.75 50.70

5 Bebas dari rasa takut dan

tertekan

15 3.00 3.13 45.00 46.95

Rataan 64.25 69.35

Keterangan Cukup Cukup Keterangan: Pa =Pengelola; Pt =Pengamat

Hasil penilaian tingkat kesejahteraan murai batu di MBOF menunjukkan

kategori tingkat kesejahteraan yang sama antara pengamat dan pengelola. Selisih

rataan penilaian yang dilakukan oleh pengelola dan pengamat tidak berbeda jauh

dan termasuk dalam kategori cukup. Secara keseluruhan praktik pengelolaan

22

murai batu di MBOF cukup memenuhi kelima komponen kesejahteraan satwa.

Beberapa hal dari masing-masing komponen kesejahteraan ada yang perlu

diperbaiki dan ada pula yang sudah baik.

Bebas dari Rasa Lapar dan Haus

Hasil skor penilaian komponen bebas dari rasa lapar dan haus menurut

pengelola yaitu 3.63, termasuk kategori baik. Hasil skor penilaian pengamat yakni

3.25, termasuk kategori cukup. Menurut Peraturan Ditjen PHKA No P.9/VI-

SET/2011 satwa yang berada dalam tempat tinggalnya wajib dipenuhi mutu pakan

dan minum dengan memperhatikan jenis, jumlah serta frekuensi pemberian pakan

dan minum, menu pakan, dan cara penyajian pakan bagi pemenuhan kebutuhan

dasar satwa.

Beberapa praktik pengelolaan yang dinilai sudah baik pada komponen ini

adalah pemberian jumlah pakan dan minum bagi satwa, bentuk dan kualitas pakan,

kondisi pakan dan minum saat diberikan pada satwa, serta kebersihan tempat

pakan dan minum satwa. Skor penilaian terkecil pada komponen ini yaitu variasi

jenis pakan dan keterlibatan ahli nutrisi dalam penetapan menu pakan. Pakan yang

diberikan secara rutin kepada murai batu berupa jangkrik dan pur. Pemberian

kroto dilakukan juga pada murai batu namun sifatnya situasional. Sebagian besar

kebutuhan nutrisi murai batu di MBOF berasal dari jangkrik, hal ini disebabkan

murai batu hanya mengkonsumsi pur rata-rata sebanyak 2gr/hari. Variasi jenis

pakan yang dapat diberikan pada murai batu yaitu kuning telur rebus, belalang,

ulat hongkong, tawon, ulat bambu dan orong-orong (Fauzi 2014). Selain itu,

keterlibatan ahli nutrisi dalam penetapan menu pakan penting dilakukan untuk

memastikan kebetuhan nutrisi bagi murai batu sudah terpenuhi.

Bebas dari Ketidaknyamanan Lingkungan

Hasil skor penilaian menurut pengelola terkait komponen bebas dari

ketidaknyaman lingkungan yakni 3.63 sedangkan skor menurut pengamat sebesar

3.5, termasuk kategori baik. Komponen bebas dari ketidaknyaman lingkungan erat

kaitannya dengan kondisi tempat tinggal atau kandang satwa. Eccleston (2009)

menyatakan bahwa komponen bebas dari rasa tidak nyaman yaitu tersedianya

kondisi lingkungan yang sesuai dan menyenangkan bagi satwa. Menurut

Peraturan Ditjen PHKA No P.9/VI-SET/2011 komponen bebas dari

ketidaknyamanan lingkungan merupakan komponen yang disebabkan oleh cuaca

yang tidak sesuai dengan habitat jenis satwa.

Kandang murai batu di MBOF terdiri dari kandang pembesaran, kandang

reproduksi dan kandang inkubator. Kondisi lingkungan kandang mencakup suhu,

kelembaban, kebersihan dan ventilasi kandang murai batu di MBOF dinilai sudah

baik dan sesuai bagi satwa. Berdasarkan hasil pengukuran, suhu dan kelembaban

kandang murai batu di MBOF sudah sesuai dengan habitat aslinya yakni 27.8oC

dan 90.7%. Kandang murai batu di MBOF juga dibersihkan secara rutin agar tidak

menimbulkan penyakit dan menciptakan rasa nyaman bagi satwa. Selain itu,

ketersediaan ventilasi pada kandang mebuat kandang menjadi tidak lembab karena

selalu terkena sinar matahari. Astiti (2010) menyatakan bahwa pencegahan

penyakit pada satwa dapat dilakukan dengan memperhatikan perkandangan

seperti menyediakan ventilasi didalam kandang dan menjaga kebersihan

lingkungan kandang.

23

Praktik pengelolaan lainnya yang dinilai sudah baik pada komponen ini

yaitu material penyusun kandang yang sudah sesuai serta ketersedian fasilitas

kandang yang cukup memenuhi kebutuhan hidup satwa. Material kandang murai

batu di MBOF secara keseluruhan aman dan tidak mencelakai satwa. Material

kandang murai batu terdiri dari kawat ram, batako, kayu, triplek dan asbes.

Pepohonan juga disediakan di dalam kandang murai batu sebagai tempat

bertengger, shelter dan agar menyerupai habitat di alam. Praktik pengelolaan yang

perlu diperbaiki terkait komponen ini yaitu penambahan ukuran pada kandang

pembesaran. Menurut Peraturan Ditjen PHKA No P.9/VI-SET/2011 ketersediaan

ruang vertikal yang cukup perlu diperhatikan terutama bagi satwa yang suka

memanjat dan terbang.

Bebas dari Rasa Sakit, Luka dan Penyakit

Komponen bebas dari rasa sakit, luka dan penyakit memiliki skor

penilaian dari pengelola sebesar 3.38 dan pengamat sebesar 3.00, termasuk

kategori cukup. Bebas dari rasa sakit, luka dan penyakit adalah upaya pengelola

dalam merawat kesehatan satwa dan mencegah kemungkinan satwa jatuh sakit

atau menderita luka-luka (Eccleston 2009 dan Balaa dan Marie 2006). Kondisi

kesehatan murai batu di MBOF secara keseluruhan dalam kondisi cukup baik.

Praktik pengelolaan yang sudah baik terkait komponen ini adalah tindakan

pengelola dalam menangani satwa sakit dan penyimpanan obat-obatan yang sudah

sesuai. Penyimpanan obat-obatan disimpan oleh pengelola di lemari pendingin

agar obat-obatan terjaga kualitasnya dan tetap steril. Murai batu di MBOF

diperiksa kesehatannya oleh pengelola secara rutin, namun pemeriksaan kesehatan

satwa belum melibatkan tenaga medis. Pengelola memeriksa kesehatan satwa

hanya berdasarkan pengalaman dan pengamatan fisik satwa. Tindakan pengelola

dalam menangani satwa yang sakit yaitu dengan memberikan obat-obatan secara

rutin sampai kesehatan satwa pulih. Pengelola juga pernah menggunakan

tumbuhan obat dalam menangani satwa seperti jahe.

Praktik pengelolaan yang masih kurang terkait komponen ini adalah

fasilitas peralatan medis dan ruangan medis yang belum tersedia, belum adanya

standard operating procedure (SOP) bagi pengunjung yang akan masuk area

penangkaran maupun petugas dalam mengelola satwa serta tidak adanya

keterlibatan tenaga ahli dalam pemeriksaan kesehatan satwa. Fasilitas peralatan

dan ruangan medis dinilai sangat penting dalam suatu penangkaran satwa.

Penangkaran MBOF tidak memiliki ruangan khusus bagi satwa yang menderita

sakit, sehingga tidak ada pemisahan tempat bagi satwa yang sakit. Perlakuan

seperti seharusnya tidak boleh terjadi dalam suatu penangkaran satwa. Murai batu

yang sedang sakit seharusnya diletakkan terpisah agar murai batu yang sehat tidak

tertular. Keterlibatan tenaga ahli dalam memeriksa kesehatan penting untuk

dilakukan. Menurut Peraturan Ditjen PHKA No P.9/VI-SET/2011 bebas dari rasa

sakit, luka dan penyakit adalah apabila telah terpenuhinya kebutuhan satwa salah

satunya yaitu perawatan kesehatan dari dokter hewan dan paramedik untuk

mencegah, mengobati luka dan penyakit yang diderita oleh satwa. Pengadaan SOP

bagi petugas dan pengunjung dinilai cukup penting untuk mencegah penularan

penyakit yang bersumber dari satwa maupun dari manusia.

24

Bebas Mengekspresikan Perilaku Alamiah

Berdasarkan hasil penilaian menurut pengelola dan pengamat, aspek bebas

mengekspresikan perilaku alamiah memiliki skor 3.38 dan 3.25 yang termasuk

kategori cukup. Bebas mengekspresikan tingkah laku alamiah merupakan

komponen kesejahteraan yang erat kaitannya dengan ketersediaan kandang yang

memadai untuk memenuhi kebutuhan biologis dan aktivitas harian satwa (Balaa

dan Marie 2006).

Beberapa praktik pengelolaan yang sudah baik terkait komponen ini yaitu

kondisi dan pengayaan kandang yang sudah sesuai serta kebebasan satwa untuk

bereproduksi. Kondisi kandang murai batu di MBOF dibuat sedemikian rupa agar

memenuhi kesejahteraan satwa. Penempatan kandang murai batu juga sudah baik

sehingga tidak saling mengganggu dengan satwa lain maupun dengan pengunjung.

Pengayaan yang terdapat di kandang murai batu yaitu kayu tenggeran, bahan

sarang dan kotak sarang, serta pepohonan. Adanya pengayaan kandang akan

membentuk suatu habitat buatan yang menunjang satwa untuk bertingkah laku

seperti dihabitat alaminya. Murai batu yang telah mencapai usia dewasa kelamin

akan dipindahkan oleh pengelola dari kandang pembesaran ke kandang reproduksi.

Tahap awal reproduksi murai batu di MBOF dilakukan dengan proses penjodohan.

Murai batu yang tidak berjodoh akan saling berkelahi dan pengelola akan segera

mengganti pasangannya dengan murai batu yang lain. Perlakuan tersebut dapat

dinilai cukup memenuhi kebebasan satwa untuk bereproduksi sekaligus

menghindari satwa dari rasa sakit, luka dan penyakit akibat perkelahian.

Praktik pengelolaan yang perlu diperbaiki terkait komponen ini adalah

teknis pemberian pakan. Pakan murai batu diberikan dengan cara diletakkan pada

tempat yang sudah disediakan. Pakan murai batu sebaiknya dapat diberikan

dengan menebarkannya di lantai kandang maupun di pepohonan sekitar kandang

agar murai batu mencari makanannya sendiri layaknya murai yang hidup di alam.

Bebas dari Rasa Takut dan Tertekan

Komponen bebas dari rasa takut dan tertekan pada murai batu di MBOF

memiliki skor penilaian sebesar 3.13 menurut pengelola dan 3.00 menurut

pengamat yang termasuk kategori cukup. Eccleston (2009) menjelaskan bebas

dari rasa takut dan tertekan adalah menjamin kondisi dan perlakuan satwa dengan

baik untuk menghindari satwa dari ancaman takut, stres dan kesusahan. Sebagian

besar murai batu yang ditangkarkan di MBOF tidak menunjukkan perilaku

tertekan atau stres. Perilaku murai batu yang stres ditandai dengan aktivitas

melompat-lompat di dalam kandang hingga membentur dinding kandang. Murai

batu akan terlihat stres ketika didekati oleh manusia. Rasa takut dan stres pada

satwa akan berpengaruh pada kehidupan satwa yang akan mempengaruhi

kesejahteraan mental dan fisik, pertumbuhan serta kemampuan reproduksi satwa

(Jones dan Waddington 1992).

Praktik pengelolaan yang sudah baik terkait komponen ini yaitu adanya

pemisahan kandang bagi satwa yang sedang berkembangbiak dan adanya

pengontrolan hama atau hewan pengganggu yang membuat satwa stress. Murai

batu yang sedang bereproduksi diletakkan jauh dari jangkauan pengunjung. Hal

ini dilakukan untuk menghindari stres pada satwa agar proses reproduksi dan

pengeraman telur berlangsung dengan baik. Draper dan Harris (2012) menyatakan

untuk menghindari terjadinya stres pada satwa, maka sebaiknya satwa terhindar

25

dari kontak fisik dengan pengunjung. Selama proses pengeraman telur, murai batu

tidak boleh mengalami gangguan karena akan menimbulkan rasa takut sehingga

induk akan membuang telur-telurnya (Fauzi 2014). Pengontrolan hewan

pengganggu juga dilakukan oleh pengelola dengan cara membuat perangkap.

Hewan pengganggu yang terdapat di kandang murai batu MBOF yaitu tikus.

Selain membuat satwa stres, tikus juga terkadang memakan pur yang terdapat di

dalam kandang. Pur yang sudah dimakan oleh tikus akan membahayakan

kesehatan murai batu. Komariah et al. (2010) menjelaskan tikus merupakan

hewan mengerat yang membawa, menyebarkan dan menularkan berbagai penyakit

kepada manusia, ternak dan hewan peliharaan. Skor penilaian terkecil terkait

komponen ini yaitu belum adanya penyediaan kandang karantina bagi satwa yang

baru didatangkan. Kandang karantina diperlukan bagi satwa yang baru datang

untuk mencegah murai batu dari rasa stres dan takut karena kondisi lingkungan

yang baru.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa teknik pengelolaan

penangkaran murai batu di MBOF meliputi manajemen perkandangan,

manajemen pakan, manajemen reproduksi, manajemen kesehatan, pemanfaatan

hasil serta ukuran keberhasilan dinilai sudah baik. Tingkat keberhasilan

penangkaran murai batu pada tahun 2013 dapat dikatakan cukup berhasil dengan

persentase daya tetas telur 66%, tingkat perkembangbiakan 70%, dan tingkat

kematian 33.33%. Tingkat keberhasilan sampai pada bulan Juli 2014 yakni

persentase daya tetas telur 82.35%, tingkat perkembangbiakan 23.81% dan tingkat

kematian 21.43%. Tingkat kesejahteraan murai batu di MBOF berdasarkan hasil

skor penilaian yang dilakukan oleh pengelola dan pengamat yaitu 69.35 dan 64.25,

termasuk kategori cukup.

Saran

Saran yang dapat diberikan sebagai upaya perbaikan dan pengembangan

bagi Penangkaran MBOF khususnya bagi murai batu yaitu:

1. Perlunya penyediaan kandang karantina bagi satwa yang baru datang.

2. Perlunya penyediaan fasilitas dan perlengkapan medis termasuk tenaga medis

untuk manajemen kesehatan satwa.

3. Perlunya pembuatan SOP bagi pengunjung maupun petugas dalam mengelola

satwa

4. Perlu upaya pengelola dalam membuat satwa berperilaku alami dengan

penambahan pengayaan lingkungan dan pengayaan pakan yang meliputi

teknis pemberian pakan dan menyediakan variasi pakan.

26

DAFTAR PUSTAKA

[Ditjen PHKA] Direktorat Jenderal Pelestarian Hutan dan Konservasi Alam. 2011.

Peraturan Direktur Jenderal Pelestarian Hutan dan Konservasi Alam

(PHKA) No.P.6/IV-SET/2011 tentang Pedoman Penilaian Lembaga

Konservasi. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Pelestarian Hutan dan

Konservasi Alam.

[Ditjen PHKA] Direktorat Jenderal Pelestarian Hutan dan Konservasi Alam. 2011.

Peraturan Direktur Jenderal Pelestarian Hutan dan Konservasi Alam

(PHKA) No. P.9/IV-SET/2011 tentang Pedoman Etika dan Kesejahteraan

Satwa di Lembaga Konservasi Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Pelestarian

Hutan dan Konservasi Alam.

[IUCN] International Union for Conservation of Nature. 2013. Daftar Populasi

Satwa yang Termasuk kedalam Red List of IUCN.

http:www.iucnredlist.org. [diakses pada 25 April 2014].

Astiti LG. 2010. Petunjuk Praktis Manajemen Pencegahan dan Pengendalian

Penyakit pada Ternak Sapi. Mataram (ID): Balitbang Pertanian.

Ayudewanti AN. 2013. Pengelolaan dan tingkat kesejahteraan gajah sumatera

(Elephas maximus sumatranus Temminck, 1847) di Taman Margasatwa

Ragunan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Balaa RE, Marie M. 2006. Animal welfare considertions in small ruminant

breeding specifications. Journal of Agricultural and Environmental Ethics.

19: 91-102.

Basuni S, Hernowo JB, Mulyono M. 2005. Studi beberapa aspek ekologi burung

murai batu di hutan wisata pananjung pangandaran. Jurnal Media

Konservasi. 2(10): 47-50.

Draper C, Harris S. 2012. The assessment of animal welfare in british zoo by

goverment-appointed inspectors. Journal of Animals. 2: 507-528.

Eccleston KJ. 2009. Animal walfare di Jawa Timur: model kesejahteraan binatang

di Jawa Timur [skripsi]. Malang (ID): Universitas Muhammadiyah Malang.

Farida WR, Wardani KK, Tjakradidjaja AS, Diapari D. 2008. Konsumsi dan

penggunaan pakan pada tarsius (Tarsius bancanus) betina di

penangkaran. Jurnal Biodiversitas. 9(2): 148-151.

Fauzi FN. 2014. Murai Batu. Klaten (ID): Sahabat.

Hifizah A. 2013. Perbandingan efektifitas inokulum cairan rumen kerbau dan sapi

pada jerami. Jurnal Teknosains. 7(2): 175-188.

Imran, Budhi SPS, Ngadiyono N, Dahlanuddin.2012. Pertumbuhan pedet sapi bali

lepas sapih yang diberi rumput lapangan dan disuplementasi daun turi.

Jurnal Agriminal. 2 (2): 55-60.

Jarulis, Meidian A, Kamilah SN, Alrahmado. 2013. Breeding dan moulting

burung-burung di hutan terfragmen Taman Wisata Alam Seblat, Bengkulu.

Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung; Lampung, 10-12 Mei.

Lampung (ID): FMIPA Universitas Lampung. hlm 15-27.

Jepson P, Ladle RJ, Sujatnika. 2011. Assessing market-based conservation

governance approaches: a sosio-economic profile of Indonesian markets

for wild birds. Journal of Flora & Fauna International. 45(4): 482-491.

27

Jepson P, Ladle RJ. 2009. Governing bird-keeping in Java and Bali: evidence

from a household survey. Journal of Flora & Fauna International. 43(3):

364-374.

Jones RB, Waddington D. 1992. Modification of fear in domestic chicks, Gallus

gallus domesticus, via reguler handling and early enviromental enrichment.

Journal of Animal Behaviour 43: 1021-1033.

Ketaren PP. 2010. Kebutuhan gizi ternak unggas di Indonesia. Jurnal Wartazoa.

20 (4): 172-180.

Komariah, Pratita S, Malaka T. 2010. Pengendalian vektor. Jurnal Kesehatan

Bina Husada. 6 (1): 34-43.

Laela A. 2013. Pengelolaan kesejahteraan musang luwak dan pemanfaatannya

sebagai satwa peraga di Taman Margasatwa Ragunan [skripsi]. Bogor

(ID): Institut Pertanian Bogor.

MacKinnon J, Phillipps K, v. Balen. 2010. Seri panduan lapang burung-burung

di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan

Pengembangan LIPI.

Marcondes FK, Bianchi FJ, Tanno AP. 2002. Determination of the estrous cycle

phase of rats: some helpful considerations. Journal Brazilian Archieves of

Biology and Technology. 62 (4): 600-614.

Masy'ud B. 2005. Studi perbandingan performans reproduksi, karakteristik

genetik, dan pola suara antara tetua dan turunannya pada penyilangan

burung Tekukur (Streptopelia chinensis) dan puter (Streptopelia risoria)

[Disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

Semiadi G. 1997. Teknik perawatan anak rusa tropika sejak lahir hingga masa

sapih. Jurnal Media Konservasi. 5(2): 77-80

Setio P, Takandjandji M. 2007. Konservasi ek-situ burung endemik langka

melalui penangkaran. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian; Padang,

20 September 2006. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan

Kehutanan dan Konservasi Alam. hlm 47-61.

Soemadi W, Mutholib A. 1995. Pakan Burung. Jakarta: Penebar Swadaya.

Soemarjoto R, Prayitno. 1999. Agar Burung Selalu Sehat. Jakarta (ID): Penebar

Swadaya.

Soemarjoto R. 2003. Mengatasai Permasalahan Burung Berkicau. Jakarta (ID):

Penebar Swadaya.

Sudrajad. 1999. Cucak Rawa. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Supriadi H, Wicaksono INA. 2013. Keragaman tanaman nyamplung di Taman

Wisata Alam Pangandaran, Jawa Barat. Jurnal Warta Penelitian dan

Pengembangan Tanaman Industri. 19 (1): 7-10.

Suprijatna E, Atmomarsono U, Kartasudjana R. 2008. Ilmu Dasar Ternak Unggas.

Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Tillman DA, Hartadi D, Reksohadiprodjo S, Prawirokusumo S, Lebdosoekojo.

1989. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Yogyakarta (ID): Gajah Mada

University Press.

Turut R. 1999. Sukses Melatih Cucak Rawa. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Untung O, Turut R. 1994. Melatih Murai Batu Berkicau. Jakarta (ID): Penebar

Swadaya.

Yunanti BD. 2012. Teknik penangkaran dan analisis koefisien inbreeding pada

Jalak Bali (Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912) di Mega Bird And

28

Orchid Farm Bogor, Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Departemen

Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Institut Pertanian Bogor.

29

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada 04 Agustus 1992. Penulis

merupakan putri pertama dari Bapak Sukandar dan Ibu Kurnia Harapini.

Pendidikan formal penulis yang telah ditempuh yaitu pendidikan sekolah dasar di

SD Negeri Panaragan II Bogor pada periode tahun 1998–2004, kemudian penulis

melanjutkan ke pendidikan SMP Negeri 04 Bogor periode tahun 2004–2007, dan

melanjutkan ke pendidikan SMA Negeri 05 Bogor periode tahun 2007–2010.

Pada tahun 2010, penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor

(IPB) melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan masuk dalam mayor

departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan.

Penulis aktif ke dalam unit kegiatan mahasiswa IPB Gentra Kaheman pada

tahun 2010-2011. Selama kuliah di Fakultas Kehutanan IPB, penulis aktif

mengikuti kegiatan organisasi Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya

Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) dan menjadi anggota Kelompok Pemerhati

Tumbuhan (KPF).

Tahun 2009, penulis mengikuti Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan

(P2EH) di KPH Indramayu dan Taman Nasional Gunung Ciremai. Tahun 2011,

penulis mengikuti Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung

Walat (HPGW) dan melakukan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Cagar

Alam Rawa Danau.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di

Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis melaksanakan penelitian

dengan judul “Teknik Pengelolaan dan Penilaian Kesejahteraan Murai Batu

(Copsychus malabaricus Scopoli, 1788) di Mega Bird and Orchid Farm, Bogor,

Jawa Barat” dibimbing oleh Ir Lin Nuriah Ginoga, MSi dan Dr Ir Burhanuddin

Masy’ud, MS.