documentta
DESCRIPTION
sistem jaringan distribusiTRANSCRIPT
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Sistem Distribusi Tenaga Listrik
Sebuah sistem tenaga listrik terdiri dari pusat pembangkit, transmisi dan
distribusi. Pusat pembangkit biasanya terletak jauh dari pusat beban dan dibangun
dekat dengan sumber energi penggerak turbinnya, contoh PLTA dibangun dekat
dengan waduk, PLTU dekat dengan laut, atau PLTP dekat dengan daerah
pegunungan, dan sebagainya. Tenaga listrik yang dihasilkan oleh pembangkit dengan
tegangan 10-24 kV yang kemudian akan disalurkan melalui jaringan transmisi.
Panjangnya saluran transmisi hingga ratusan kilometer, akan menyebabkan rugi-rugi
daya yang besar. Oleh karena itu sebelum disalurkan melalui saluran transmisi,
tegangannya dinaikkan terlebih dahulu dengan transformator penaik tegangan yang
ada menjadi 70 kV, 150 kV, atau 500 kV. Dengan daya yang sama bila nilai
tegangannya diperbesar, maka arus yang mengalir akan semakin kecil. Kerugian
daya adalah sebanding dengan kuadrat arus yang mengalir (PLosses=I2.R), dengan
demikian semakin kecil arus yang mengalir rugi-rugi daya (PLosses) juga akan semakin
kecil.
Tegangan transmisi sebesar 70 kV, 150 kV, atau 500 kV yang masuk ke
Gardu Induk akan diturunkan lagi menjadi 20 kV dengan transformator penurun
tegangan, kemudian dengan sistem tegangan tersebut penyaluran daya listrik
dilakukan oleh saluran distribusi primer. Tegangan operasi pada saluran disribusi
primer sebesar 20 kV untuk sistem jaringan tiga fasa. Jaringan distribusi primer
digunakan untuk pelanggan-pelanggan besar seperti pabrik dan industri besar.
Sedangkan bagi pelanggan kecil, seperti rumah tangga, dari saluran distribusi primer
(Jaringan Tegangan Menengah) 20 kV tersebut akan disalurkan lagi melalui saluran
distribusi sekunder (Jaringan Tegangan Rendah) 220/380 V dengan menurunkan
tegangannya lewat gardu-gardu distribusi.
Gambar 2.1 : Sistem Tenaga Listrik
2.2 Konfigurasi Jaringan Distribusi
Konfigurasi jaringan yang diterapka di suatu daerah merupakan hasil
pertimbangan antara alasan-alasan teknis dan ekonomis di lain pihak. Alasan teknis
ini berupa keandalan, stabilitas dan kontinyuitas pelayanan energi listrik.
Sedangkann alasan ekonomis didasarkan pada peralatan material yang digunakan
untuk membangun suatu konfigurasi jaringan distribusi.
Dari segi keandalan yang ingin dicapai ada dua pilihan konfigurasi jaringan :
a. Jaringan dengan dengan satu sumber pengisian : cara penyaluran ini merupakan
yang paling sederhana. Gangguan yang timbul akan mengakibatkan pemadaman.
b. Jaringan dengan beberapa sumber pengisian : keandalannya lebih tinggi. Secara
ekonomi lebih mahal karena menggunakan perlengkapan penyaluran yang lebih
banyak. Pemadaman akibat gangguan juga dapat diminimalisir.
Terdapat 3 jenis konfigurasi jaringan distribusi yang paling banyak digunakan di
dalam sistem distribusi di Indonesia, yaitu :
a. Konfigurasi Radial
b. Konfigurasi Loop
c. Konfigurasi Spindle
2.2.1 Konfigurasi Radial
Ciri dari konfigurasi Radial adalah bila antara titik sumber dan titik bebannya
hanya terdapat satu saluran, tidak ada alternatif saluran lainnya. Bentuk konfigurasi
ini merupakan bentuk dasar, paling sederhana dan paling banyak digunakan.
Dinamakan radial karena saluram ini ditarik dari titik sumber ke cabang-cabang atau
titik-titik beban yang dilayani.
Ciri-ciri dari konfigurasi jaringan radial adalah :
a. Bentuknya sederhana
b. Biaya investasinya relatif murah
c. Kualitas pelayanan dayanya relatif jelek, karena rugi tegangan dan rugi daya
yamg terjadi pada saluran relatif besar
d. Kontinyuitas pelayanan daya tidak terjamin, sebab antara titik sumber dan titik
beban hanya ada satu alternatif saluran sehingga bila saluran tersebut mengalami
gangguan, maka seluruh rangkaian sesudah titik gangguan akan mengalami
pemadaman.
Untuk melokalisir gangguan pada konfigurasi radial ialah jaringan dilengkapi
dengan peralatan pengaman antara lain fuse, sectionalizer, recloser, atau alat
pemutus beban lainnya. Fungsi pengaman untuk mengamankan gangguan pada
bagian saluran yang dilayaninya.
Gambar 2.2 : Konfigurasi Jaringan Radial
2.2.2 Konfigurasi Loop
Konfigurasi jaringan ini merupakan jaringan dengan bentuk tertutup, disebut
juga bentuk jaringan Ring. Konfigurasi Loop merupakan variasi dari konfigurasi
Radial. Susunan rangkaian saluran membentuk ring, yang memungkinkan titik beban
terlayani dari dua arah saluran, sehingga kontinyuitas pelayanan lebih terjamin serta
kualitas dayanya menjadi lebih baik, karena drop tegangan dan rugi daya saluran
lebih kecil.
Struktur jaringan ini merupakan gabungan dari dua buah struktur jaringan
radial, dimana pada ujung dari dua buah jaringan di pasang sebuah saklar (switch)
berupa ABSW atau LBS. Pada saat terjadi gangguan, setelah gangguan dapat diisolir,
maka pemutus atau pemisah ditutup sehingga aliran daya listrik ke bagian yang tidak
terkena gangguan tidak terhenti. Pada umumnya penghantar dari struktur ini
mempunyai struktur yang sama, ukuran konduktor tersebut dipilih sehingga dapat
menyalurkan seluruh daya listrik beban struktur Loop, yang merupakan jumlah daya
listrik beban dari kedua struktur radial.
Terdapat 2 jenis konfigurasi jaringan Loop, yaitu :
a. Open Loop
Konfigurasi Jaringan Open Loop ini merupakan pengembangan dari sistem
Radial, sebagai akibat diperlukannya keandalan yang lebih tinggi dan umumnya
sistem ini dapat dipasok dalam satu gardu induk. Dimungkinkan juga dari gardu
induk lain tetapi harus dalam satu sistem di sisi tegangan tinggi karena hal ini
diperlukan untuk memudahkan manuver beban pada saat terjadi gangguan atau
kondisi-kondisi pengurangan beban. Proteksi untuk sistem ini masih sederhana tetapi
harus memperhitungkan panjang jaringan pada titik manuver terjauh di sistem
tersebut. Sistem ini umunya banyak digunakan di PLN baik pada SUTM maupun
SKTM.
Gambar 2.3 : Konfigurasi Jaringan Open Loop
b. Close Loop
Konfigurasi Jaringan Close Loop ini layak digunakan untuk jaringan yang
dipasok dari satu gardu induk, memerlukan sistem proteksi yang cukup rumit
biasanya menggunakan rele arah (directional relay). Sistem ini mempunyai
kehandalan yang lebih tinggi dibandingkan sistem lainnya, dan sistem ini jarang
digunakan di PLN tetapi biasanya dipakai untuk pelanggan-pelanggan khusus yang
membutuhkan keandalan tinggi,
Gambar 2.4: Konfigurasi Jaringan Close Loop
2.2.3 Konfigurasi Jaringan Spindle
Sistem spindle merupakan sistem yang relatif handal karena disediakan satu
buah express feeder yang merupakan feeder/ penyulang tanpa beban dari gardu induk
sampai Gardu Hubung, banyak digunakan pada jaringan SKTM. Sistem ini relatif
mahal karena pembangunannya mempertimbangkan perkembangan beban di masa
yang akan datang, proteksinya relatif sederhana hampir sama dengan sistem Open
Loop. Biasanya di tiap-tiap feeder dalam sistem spindle disediakan gardu tengah
(middle point) yang berfungsi untuk titik manuver apabila terjadi gangguan pada
jaringan tersebut.
Gambar 2.5 : Konfigurasi Jaringan Spindle
2.3 Sistem Pentanahan Jaringan Distribusi
Terdapat beberapa pola pentanahan yang diterapkan pada jaringan distribusi
20 kV di Indonesia. Pola pentanahan ini berpengaruh pada sistem konfigurasi
jaringan, konstruksi jaringan dan koordinasi sistem proteksi yang digunakan.
Terdapat 4 macam pola pentanahan yang ada di Indonesia, yaitu :
a. Pentanahan netral melalui tahanan tinggi
b. Pentanahan netral secara langsung
c. Pentanahan netral melaui tahanan rendah
d. Pentanahan netral mengambang
2.3.1 Sistem Distribusi 20 kV Tiga Fasa dengan Tiga Kawat Menggunakan
Pentanahan Netral Tahanan Tinggi
Sistem distribusi 20 kV tiga fasa dengan tiga kawat menggunakan pentanahan
netral tahanan tinggi atau disebut juga dengan sistem distribusi pola 1 menurut SPLN
No.26 Tahun 1980 diterapkan di daerah perkotaan dan luar kota yang padat
penduduknya, tidak ada kesulitan teknik yang berarti dalam pembangunannya dan
tidak begitu mengganggu keindahan kota, contohnya di Jawa Timur. Ketentuan
mengenai sistem jaringan dan sistem pengamanan dari sistem distribusi pola 1 diatur
di dalam SPLN No.52-3 Tahun 1983.
Sistem distribusi pola 1 memiliki ciri-ciri jaringan seperti berikut :
a. Tegangan antar fasa sebesar 20 kV
b. Sistem pentanahan berasal dari titik netral pada sisi sekunder trafo utama Gardu
Induk yang dihubungkan secara bintang, ditanahkan melalui tahanan sebesar 500
ohm. Sehingga arus hubung singkat ke tanah maksimum 25 A.
c. Konstruksi jaringan pola 1 pada dasarnya adalah saluran udara. Dimana pada
saluran utama menggunakan kawat AAAC 150 mm2 fasa tiga, tiga kawat.
d. Sistem konfigurasi menggunakan jenis konfigurasi radial dengan kemungkinan
saluran utama (main feeder) dapat di sambungkan secara loop dengan penyulang
lain yang terdekat.
Gambar 2.6 : Pengamanan Sistem Distribusi Pola 1
Sistem Pengaman pada sistem distribusi pola 1 adalah :
a. PMT (Pemutus Tenaga) dipasang pada saluran utama di Gardu Induk yang
dilengkapi dengan OCR (Over Current Relay) atau Relai Arus Lebih dan DGFR
(Directional Ground Fault Relay) atau Relai Arus Tanah Terarah.
b. Untuk pengamanan gangguan fasa-tanah harus menggunakan DGFR yang
konstruksinya rumit dan mahal dibanding relai arus tinggi normal, karena arus
gangguan fasa ke tanah relatif lebih kecil.
c. PMT (Pemutus Tenaga) dikoordinasikan dengan Recloser (Relai Penutup Balik)
untuk mengatasi gangguan temporer.
d. Recloser juga dikoordinasikan dengan SSO (Saklar Seksi Otomatis) atau disebut
juga Sectionalizer, yang berfungsi untuk memisahkan saluran utama ke dalam
beberapa seksi agar saat terjadi gangguan permanen luas daerah yang padam dapat
diminimalisir.
e. Sakelar seksi otomatis (SSO). Bila digunakan pada sistem ini harus dari jenis
penginderaan tegangan dan koordinasinya dilakukan dengan penytelan waktu.
f. FCO (Fuse Cut Out) dipasang pada titik percabangan antara saluran utama dengan
saluran cabang. FCO juga dipasang pada sisi primer trafo distribusi 20 kV,
gunanya untuk mengamankan jaringan yang berada di sebelah hilirnya. FCO
berfungsi sebagai pengaman beban lebih.
g. Alat pengaman fasa-tunggal tidak dapat digunakan untuk mengamankan
gangguan satu fasa ke tanah karena arus gangguannya kecil.
2.3.2 Sistem Distribusi 20 kV Tiga Fasa dengan Empat Kawat Menggunakan
Pentanahan Netral Tahanan Langsung :
Sistem distribusi 20 kV tiga fasa dengan empat kawat menggunakan
pentanahan netral tahanan langsung atau disebut juga dengan sistem pola 2 menurut
SPLN No. 12 Tahun 1978 diterapkan di daerah dengan kepadatan beban rendah
sekitar 115 kVA/km2, contohnya di Jawa Tengah. Ketentuan mengenai sistem
jaringan dan sistem pengamanan dari sistem distribusi pola 2 diatur di dalam SPLN
No.52-3 Tahun 1983.
Sistem distribusi pola 2 memiliki ciri-ciri jaringan seperti berikut :
a. Tegangan nominal antar fasa sebesar 20 kV, dan tegangan sebesar 20/√3 untuk
tegangan fasa-netral.
b. Sistem pentanahan dengan titik netral pada sisi sekunder trafo utama Gardu Induk
ditanahkan langsung, sepanjang jaringan kawat netral dipakai bersama untuk
tegangan menengah dan tegangan rendah di bawahnya.
c. Konstruksi jaringan pola 2 pada dasarnya adalah saluran udara. Dimana pada
saluran utama menggunakan kawat AAAC 240 mm2 fasa tiga dan 150 mm2 untuk
kawat netral. Saluran percabangan menggunakan kawat AAAC 70 mm2 fasa tiga
dan 55 mm2 untuk kawat netral. Percabangan satu fasa kawat AAAC 55 mm2 fasa
tiga dan 35 mm2 untuk kawat netral.
d. Sistem konfigurasi menggunakan konfigurasi radial dengan kemungkinan saluran
utama (main feeder) dapat di sambungkan secara loop dengan penyulang lain
yang terdekat.
e. Pada sistem ini kawat netral dikondisikan sebanyak mungkin dan merata
ditanahkan. Oleh karena itu kawat netral JTM dan JTR dihubungkan dan dipakai
bersama dimana pentanahannya dilakukan sepanjang JTM, JTR dan dihubungkan
pula pentanahan dari setiap instalasi rumah konsumen.
f. Sistem pelayanan JTM terutama mempergunakan jaringan 1 fasa yang terdiri dari
kawat fasa dan netral, memungkinkan penggunaan trafo-trafo kecil 1 fasa yang
sesuai bagi beban-beban kecil yang letaknya berjauhan.
Gambar 2.7 : Pengamanan Sistem Distribusi Pola 2
Sistem pengaman pada sistem distribusi pola 2 adalah :
a. PMT (Pemutus Tenaga) dipasang pada saluran utama di Gardu Induk yang
dilengkapi dengan OCR (Over Current Relay) atau Relai Arus Lebih dan GFR
(Ground Fault Relay) atau Relai Arus Tanah.
b. PMT (Pemutus Tenaga) dikoordinasikan dengan Recloser (Relai Penutup Balik)
untuk mengatasi gangguan temporer. Jika panjang jaringan lebih dari 20 km, perlu
dipasang Recloser ke-2 atau ke-3 pada jarak tertentu sepanjang saluran utama atau
cabang. Koordinasi antar recloser dilakukan dengan memilih arus nominalnya dan
mengurangi satu tingkat penyetelan waktu operasi juga jumlah buka-tutup kontak
relainya.
c. Recloser juga dikoordinasikan dengan SSO (Saklar Seksi Otomatis) atau disebut
juga Sectionalizer, yang berfungsi untuk memisahkan saluran utama ke dalam
beberapa seksi agar saat terjadi gangguan permanen luas daerah yang padam dapat
diminimalisir.
d. Pada pola 2 SSO membuka saat rangkaian tidak ada arus dan tidak menutup
kembali. SSO bekerja berdasarkan pengindraan dan hitungan kerja buka tutup
kontak Recloser saat terjadi arus hubung singkat.
e. FCO (Fuse Cut Out) dipasang pada titik percabangan antara saluran utama dengan
saluran cabang. FCO juga dipasang pada sisi primer trafo distribusi 20 kV,
gunanya untuk mengamankan jaringan yang berada di sebelah hilirnya. FCO
berfungsi sebagai pengaman beban lebih.
f. Tidak adanya tahanan netral, maka arus hubung tanah relatif menjadi sangat besar
dan berbanding terbalik dengan letak gangguan tanah, sehingga perlu dan dapat
dipergunakan alat pengaman yang dapat bekerja cepat dan memanfaatkan relai
dengan karakteristik waktu terbalik (Inverse Time).
g. Arus gangguan fasa-tanah yang besar maka dapat dilakukan koordinasi antara
PMT dengan Recloser atau Recloser dengan pengaman lebur (Fuse Cut Out) atau
Recloser dengan SSO (Sectionalizer)
h. Besarnya arus gangguan serta tingginya frekuensi dari kejadian gangguan fasa-
tanah, maka kemampuan peralatan pengaman harus disesuaikan dengan kondisi
tesebut, misalnya menghindari pengggunaan PMT dengan minyak minimum.
2.3.3 Sistem Distribusi 20 kV Tiga Fasa dengan Tiga Kawat Menggunakan
Pentanahan Netral Tahanan Rendah
Sistem distribusi 20 kV tiga fasa dengan tiga kawat menggunakan pentanahan
netral tahanan rendah atau disebut juga dengan sistem distribusi pola 31 menurut
SPLN No. 26 Tahun 1980 diterapkan di daerah perkotaan yang padat penduduknya,
daerah yang mengalami kesulitan teknik yang berarti dalam pembangunan konstruksi
saluran udara serta mempertimbangkan keindahan kota, contohnya di Jawa Barat dan
DKI Jakarta. Namun, untuk daerah-daerah yang kurang padat penduduknya
penggunaan saluran udara dapat diijinkan. Ketentuan mengenai sistem jaringan dan
sistem pengamanan dari sistem distribusi pola 3 diatur di dalam SPLN No.52-3
Tahun 1983.
Sistem distribusi pola 3 memiliki ciri-ciri jaringan seperti berikut :
a. Tegangan nominal antar fasanya sebesar 20 kV
b. Sistem pentanahan dengan titik netral pada sisi sekunder trafo utama Gardu Induk
dihubungkan secara bintang dan ditanahkan melalui tahanan sebesar 12 ohm,
untuk SKTM (Saluran Kabel Tengangan Menengah), sehingga arus hubung
singkat ke tanah maksimum 1000 A. Sedangkan tahanan yng ditanahkan untuk
SUTM (Saluran Udara Tegangan Menengah) sebesar 40 ohm, maka arus hubung
singkat fasa-tanah maksimum 300 A.
c. Konstruksi jaringan pada daerah padat beban, perkotaan digunakan saluran kabel
tanah sedangkan pada daerah luar kota, pedesaan digunakan saluran udara. Sistem
saluran kabel tegangan menengah mempergunakan kabel aluminium dengan
islolasi kertas berminyak tipe NA HKBA ukuran 150 mm2. Sistem saluran udara
mempergunakan kawat AAAC 240 mm2 dan 150 mm2 fasa tiga, 3 kawat bagi
saluran utamanya, dan kawat AAAC 70 mm2 fasa tiga, 3 kawat bagi saluran
percabangannya.
d. Sistem konfigurasi untuk daerah perkotaan menggunakan SKTM dengan sistem
Spindle. Untuk daerah di luar kota menggunakan SUTM dengan sistem Radial.
Gambar 2.8 : Pengamanan Sistem Distribusi Pola 3 dengan Tahanan 40 ohm
Sistem pengaman pada sistem distribusi pola 3 adalah :
a. Pengaman utama adalah PMT pada saluran utama Gardu Induk yang dilengkapi
dengan OCR sebagai pengaman arus hubung singkat antar fasa dan GFR sebagai
pengaman arus hubung singkat fasa ke tanah.
b. PMT dikoordinasikan dengan Recloser untuk mengatasi ganguguan yang bersifat
temporer.
c. SSO dipasang pada saluran utama dan saluran cabang untuk membagi jaringan ke
dalam beberapa seksi sehingga pemadam dapat diminimalisir. SSO
dikoordinasikan dengan urutan kerja Recloser.
d. Recloser yang dipakai harus tipe dengan pengatur elektronik untuk mendapatkan
karakteristik waktu tetap bagi gangguan fasa ke tanah. Demikian pula SSO perlu
dilengkapi dengan penginderaan arus fasa tanah yang rendah.
e. FCO dipasang sebagai pengaman terhadap gangguan permanen pada saluran
cabang yang tidak ditempatkan SSO dan pengaman sisi primer trafo distribusi.
f. Arus gangguan fasa tanah pada pola 3 tidak terlalu besar, 1000 A untuk saluran
kabel tanah dan 300 A untuk sistem saluran udara, sehingga gangguan pada
lingkungan akibat arus tanah (step voltage) dan gangguan jaringan telekomunikasi
juga lebih sedikit.
g. Mengingat adanya tahanan netral, maka arus gangguan tanah variasinya kecil
sehingga tidak efektif bagi penggunaan relai arus lebih dengan karakteristik waktu
arus terbalik, sebaiknya dapat digunakan relai dengan karakteristik waktu tetap
yang lebih stabil efektif dan mudah penyetelannya.
h. Mengingat arus gangguan tanah tidak terlalu besar, maka penyetelan relai arus
lebih fasa-tanah dan arus kapasitif lebih diperhitungkan untuk sistem kabel tanah.
Gambar 2.9 : Pengamanan Sistem Distribusi Pola 3 dengan Tahanan 12 ohm
2.3.4 Sistem Distribusi 6 kV Tiga Fasa dengan Tiga Kawat Menggunakan
Pentanahan Mengambang
Sistem distribusi 6 kV tiga fasa dengan tiga kawat menggunakan pentanahan
mengambang atau disebut juga dengan sistem distribusi pola 4 mempunyai
permasalahan yang menonjol dalah faktor keselamatan terhadap lingkungan hidup
disekitarnya. Sistem ini hanya diterapkan di beberapa daerah di luar Jawa. Pola ini
tidak dilengkapi dengan pengaman gangguan fasa-tanah yang berkerja secara
otomatis, untuk itu setidaknya diperlukan adanya indikasi dan sirine (alarm) pada
ruang panel. Ketentuan mengenai sistem pengamanan dari sistem distribusi pola 4
diatur di dalam SPLN No.52-3 Tahun 1983.
Sistem distribusi pola 4 memiliki ciri-ciri seperti berikut :
a. Pada kondisi normal masing-masing tegangan fasa terhadap tanah adalah V f.
Sedangkan besar tegangan antar fasanya √3 Vf. Bila sistem tersebut terdapat titik
netral, maka tegangan dititik netral ke tanah sama dengan nol.
b. Bila terjadi ganguan satu fasa ke tanah maka tegangan dua fasa yang lain terhadap
tanah sebesar √3 Vf dan tegangan yang terganggu adalah nol. Bila pada sistem
tersebut terdapat titik netral maka tegangan titik netral-tanah sama dengan Vf.
Gambar 2.10 : Pengamanan Ssitem Distribusi Pola 4
Sistem pengaman pada sistem distribusi pola 4 adalah :
a. Pada keadaan gangguan antar fasa, pengamanannya dapat dilakukan dengan
memasang dua buah relai arus lebih dengan karakteristrik waktu arus tertentu
(definite time) dan waktu arus-terbalik (inverse time).
b. Pada keadaan gangguan satu fasa ke tanah, arus gangguan dapat diatasi dengan
salah alternatif di bawah ini :
1) Tiga buah Voltmeter yang mengukur tegangan fasa ke tanah secara visual, cara
ini hanya memberikan indikasi adanya gangguan, namun perlu tindakan lebih
lanjut oleh operator dengan melakukan lokalisir daerah gangguan.
2) Relai tegangan lebih atau OVR (Over Voltage Relay) untuk mendeteksi
tegangan urutan nol, cara ini dapat memberikan sinyal dengan suara maupun
visual dan mampu memutus beban melalui PMT. Karena pengamanan ini tidak
selektif, operator masih diperlukan untuk melokalisir gangguan.
Sulitnya mengatasi gangguan pada sistem distribusi pola 4 menyebabkan pola ini
jarang digunakan dan lambat laun akan dialihkan ke pola yang lain.
2.4 Pengoperasian Jaringan Distribusi
Pengoperasian sistem distibusi merupakan segala kegiatan yang mencakup
pengaturan, pembagian, pemindahan, dan penyaluran tenaga listrik kepada konsumen
secepat mungkin serta menjamin kelangsungan penyaluran/ pelayanan. Sebagai
tolok ukur atas keberhasilan pada pengoperasian dapat dilihat dari beberapa
parameter. Parameter-parameter berupa kualitas listrik yang baik dan keandalan dari
sistem penyaluran energi listriknya.
2.4.1 Kualitas listrik harus terjaga
Ada 2 ( dua ) hal yang menyatan yang menjadi ukuran mutu listrik yaitu :
tegangan dan frekuensi.
Tegangan pelayanan ditentukan oleh :
a. Batasan toleransi tegangan, pada konsumen TM adalah ± 5 % , sedangkan pada
konsumen TR maksimum + 5 % dan minimum – 10 %.
b. Keseimbangan tegangan pada setiap titik sambungan
c. Kedip akibat pembebanan sekecil mungkin
d. Hilang tegangan sejenak akibat manuver secepat mungkin
Sedangkan untuk frekuensi batasan yang dijinkan adalah batas toleransi frekuensi
adalah ± 1 % dari frekuensi standar 50 Hz
Faktor yang membuat baik-tidaknya mutu listrik tersebut dari sisi distribusi adalah
faktor pembebanan pada sistem distribusi yaitu pembebanan yang tidak
stabil oleh karena pengoperasian normal atau karena lebih banyak
akibat gangguan pada suplai dari GI dan penyulang.
2.4.2 Keandalan penyaluran tenaga listrik
Sebagai indikator penyaluran adalah angka lama dan atau seringnya
pemadaman pada pelanggan yang disebut dengan angka SAIDI dan SAIFI.
Angka lama padam : SAIDI (System Average Interuption Uration Index)
SAIDI =Jumlah durasi gangguan pelangganjumlah pelanggan
= Σ Ui NiΣ Ni
(2.1)
Richard (1984 : 224)
keterangan :
Ui = Lama waktu gangguan rata – rata unit (menit)
Ni = Jumlah pelanggan pada satu titik
Angka sering padam : SAIFI (System Average Interuption Frequency Index)
SAIFI =Jumlah gangguan pelangganjumlah pelanggan
=Σ λi NiΣN
(2.2)
Richard (1984 : 223)
keterangan:
λi = Laju kegagalan unit (kali)
Ni = Banyak pelanggan pada satu titik
ΣN = Jumlah pelanggan
Semua perusahaan penyedia listrik besar akan berusaha untuk menurunkan nilai
SAIDI dan SAIFI dari pelayanan penyaluran energi listriknya. Sehingga dapat
memenuhi standarisasi perusahaan dengan tingkat kelas dunia yaitu dengan angka
SAIDI 100 menit/pelanggan/tahun dan SAIFI 3 kali/pelanggan/tahun.
2.5 Manuver Jaringan Distribusi
Manuver/Manipulasi jaringan adalah serangkaian kegiatan membuat
modifikasi terhadap operasi normal dari jaringan akibat adanya gangguan/ pekerjaan
jaringan sehingga tetap tercapainya kondisi penyaluran tenaga listrik yang maksimal
atau dengan kata lain yang lebih sederhana adalah mengurangi dareah pemadaman.
Kegiatan yang dilakukan dalam manuver :
a. Memisahkan bagian-bagian jaringan yang semula terhubung dalam keadaan
bertegangan/ tidak bertegangan.
b. Menghubungkan bagian-bagian jaringan yang terpisah menurut keadaan operasi
normalnya dalam keadaan bertegangan/ tidak bertegangan.
Optimalisasi atas keberhasilan manuver dari segi teknis ditentukan oleh
konfigurasi jaringan dan peralatan manuver yang tersedia di sepanjang jaringan.
Peralatan jaringan yang dimaksud adalah peralatan pemutus dan penghubung yang
terdiri dari berbagai macam seperti PMT, ABSW, Recloser, LBS, FCO,
Sectionalizer. Masing-masing peralatan manuver ini memiliki spesifikasi dan fungsi
kerja yang berbeda-beda.
2.5.1 PMT (Pemutus Tenaga)
Pemutus Tenaga (PMT) atau Circuit Breaker adalah suatu peralatan listrik
yang dapat menghubungkan atau memutuskan rangkaian listrik dalam keadaan
normal atau gangguan yang dilengkapi dengan alat pemadam busur api. Pada kondisi
gangguan, operasi kontak PMT bekerja secara otomatis sesuai dengan perintah dari
relai pengaman. Bekerjanya kontak-kontak PMT ini akan menimbulkan busur api
karena besarnya arus yang mengalir. Oleh karena itu untuk meredam busur api
tersebut, kontak-kontak PMT berada di dalam tempat tertutup yang dilengkapi
dengan pemadam busur api yang dapat berupa minyak, udara, maupun gas SF6.
Pemberian nama pada PMT ditandai dengan media isolasinya.
Gambar 2.11 : PMT (Pemutus Tenaga) 20 kV
Berikut ini jenis-jenis PMT 20 kV menurut media pemadam busur apinya :
a. Oil Circuit Breaker (OCB)
Pada PMT jenis minyak, kontak-kontak PMT terendam di dalam ruangan tertutup
yang berisi minyak. Pada saat terjadi gangguan kontak gerak (moving contact)
PMT bergerak memisahkan kontaknya dari kontak tetap (fixed contact). Pada
proses tersebut muncul busur api (arc) dan bersamaan dengan lepasnya kontak
gerak tersebut, minyak PMT akan terdesak naik ke atas menyembur busur api.
Gambar 2.12 : Prinsip Kerja Pemadam Busur Api pada OCB
b. Air Blast Circuit Breaker (ABCB)
PMT ini dirancang untuk mengatasi kelemahan pada PMT minyak, yaitu dengan
membuat media isolator kontak dari bahan yang tidak mudah terbakar. Saat busur
api timbul, udara bertekanan tinggi ditiupkan untuk memadamkan busur api.
Terkadang karena besarnya busur api yang timbul, terdapat sisa busur api yang
bisa menyembur keluar dari PMT.
Gambar 2.13 : Prinsip Kerja Pemadam Busur Api pada ABCB
c. Vacuum Circuit Breaker (VCB)
Pada VCB, kontak-kontak PMT ditempatkan pada suatu ruangan hampa udara.
Untuk mencegah masuknya udara ke dalam ruang hampa udara tersebut, maka
dilengkapi dengan seal penyekat udara untuk mencegah kebocoran. Apabila
terjadi kebocoran pada VCB, maka tidak dapat dilakukan pengisian kembali
karena proses membuat vakum tidak dapat dilakukan di ruang terbuka. Dalam
VCB tidak ada media pemutus busur listrik. Oleh sebab itu, teknik memutus busur
listrik dalam VCB semata-mata tergantung kepada teknik memperpanjang busur
listrik.
Gambar 2.14 : Prinsip Kerja Pemadam Busur Api pada VCB
d. SF6 Circuit Breaker
PMT jenis ini memiliki prinsip kerja yang hampir sama dengan PMT Udara
Tekan (ABCB). Perbedaannya terletak pada penggantian penggunaan udara
dengan gas SF6 dan sistem yang tertutup dari udara luar. Saat kontak terbuka dan
busur api uncul, gas SF6 bertekanan tinggi ditiupkan di antara kontak untuk
menyingkirkan partikel bermuatan dari sela antara kontak diam dan kontak gerak.
Gas SF6 dipilih karena sifat gas ini yang merupakan bahan isolasi dan pendingin
yang baik. Sebagai isolasi listrik, gas SF6 mempunyai kekuatan dielektrik yang
tinggi (2,35 kali lebih baik dari udara). Gas ini tidak boleh bocor dan bercampur
dengan udara luar, sehingga sistem dibuat tertutup.
Gambar 2.15 : Bagian-Bagian PMT SF6
(a) (b) (c) (d)
Gambar 2.16: Proses Pemadaman Busur Api dengan Gas SF6
Pemadaman busur api pada PMT SF6 ditunjukkan seperti pada Gambar 2.14, urutan
proses yang terjadi di dalam ruang pemadam busur api adalah sebagai berikut :
1. Upper current terminal2. Insulating enclosure3. Fixed main contact4. Fixed arcing contact5. Moving arching contact6. Insulating nozzle7. Moving main contact8. Moving piston9. Pressure chamber10. Lower current terminal11. Conecting rod12. Crank13. Sealing system14. Shaft15. Molecular sleve16. Bottom over
a. Pada Gambar 2.14 (a) menujukkan kondisi kotak-kontak PMT dalam kondisi
menutup (close).
b. Pada Gambar 2.14 (b) saat kontak-kontak PMT mulai membuka, piston akan
mengisi gas SF6 ke dalam ruang pemadam busur api (pressure chamber).
c. Pada Gambar 2.14 (c) muncul busur api di antara kontak-kontak PMT yang
membuka, kemudian dari pipa penyemprot (insulating nozzle) disemprotkan gas
SF6 untuk memadamkan busur api yang muncul.
d. Pada Gambar 2.14 (d) menunjukkan kondisi kontak-kontak PMT yang sudah
terbuka (open).
Kontak-kontak PMT dapat beroperasi secara otomatis saat terjadi gangguan
maupun manual dengan dioperasikan saat pemadaman/pemeliharaan terencana.
Operasi kontak-kontak PMT secara otomatis, dikendalikan oleh relai proteksi yang
bekerja saat gangguan seperti hubung singkat.
Gambar 2.17 : Rangkaian Kerja Relai Proteksi
Pada saat terjadi gangguan, arus yang mengalir di jaringan menjadi sangat
besar, hal ini juga dirasakan oleh CT (Current Transformer). Fungsi CT adalah
mentranformasikan besaran arus yang terukur pada sisi primer ke sisi sekunder CT
sesuai dengan rasio CT tersebut. Jika arus yang terukur pada CT melebihi arus
setting relai proteksi, maka rele proteksi akan bekerja menutup kontaknya. Kontak
relai yang menutup tersebut akan mengalirkan sumber DC ke Trip Coil, kemudian
Trip Coil akan memerintahkan PMT untuk trip atau membuka kontak-kontaknya.
Pengoperasian PMT secara manual dapat dilakukan dengan dua cara yaitu
secara local melalui tombol operasi open/close PMT yang ada pada kubikel, maupun
secara remote (kontrol jarak jauh) melalui komputer dengan sistem SCADA.
Gambar 2.18 : Bagian-Bagian Kontrol Pengoperasian PMT pada Kubikel
Untuk mengetahui kemampuan suatu PMT peru diperhatikan spesifikasi yang tertera
pada nameplate kubikel, sehingga PMT bisa difungsikan sesuai dengan rating dan
kapasitasnya. Berikut ini contoh spesifikasi PMT 20 kV Merk ABB Seri VM1.
A. Auxilary contacts open/closeB. Geared motor for closing
spring chargingC. Incorporate closing spring
charging leverD. Mechanical signalling
open/closeE. Mechanical operating counterF. Plug socket connector of the
electrical accesoriesG. Signalling device for closing
spring charged/dischargeH. Service releasesI. Closing pushbuttonJ. Opening pushbuttonK. Operating mechanism locking
electromagnetL. Additional shunt operating
releaseM. Transient contact
Tabel 2.1 : Spesifikasi PMT ABB Seri VM1
Spesification RatedRated and insulation voltage [kV] 24Impulse withstand voltage [kV] 125Rated frequency [Hz] 50/60Rated current [A] at 40oC 630Rated breaking capasity and short-time withtstand current [kA] for 3 sec
16/20/25
Opening time [ms] 40-60Closing time [ms] 60-80Arc time [ms] 10-15
2.5.2 Air Break Switch (ABSW)
ABSW merupakan salah satu peralatan jaringan yang berfungsi sebagai
switching (saklar) yaitu peralatan dapat menghunbungkan atau memisahkan jaringan
dalam kondisi tidak berbeban. Medium kontaknya adalah udara yang dilengkapi
dengan peredam busur api/ interrupter berupa hembusan udara yang berfungsi
sebagai peredam busur api yang ditimbulkan pada saat dibukanya pisau ABSW
dalam kondisi bertegangan. ABSW juga dilengkapi dengan isolator tumpu sebagai
penopang pisau ABSW, pisau kontak sebagai kontak gerak yang berfungsi memutus
dan menghubungkan ABSW.
Pada saat terjadi gangguan pada jaringan distribusi, fungsi ABSW adalah untuk
melokalisir gangguan Selain sebagai pemisah ABSW berfungsi untuk membagi
beban. Dalam kondisi operasi normal dua buah penyulang dipisahkan oleh ABSW
pada posisi buka/NO (Normaly Open). Titik posisi NO tidak selalu pada ABSW
tertentu saja, namun bisa dipindah ke ABSW lain yang sebelumnya pada posisi
tutup/NC (Normaly Close) yang berada pada batas pembagi/ seksi atau zone,
pemindahan titik ABSW NO ini dengan mempertimbangkan regulasi beban antara
kedua penyulang yang disesuaikan dengan kemampuan/ kapasitas dari masing-
masing penyulang. Pada kondisi tertentu untuk keperluan pemeliharaan atau
perbaikan peralatan disuatu seksi diperlukan manuver (pelimpahan) beban dari
penyulang satu ke penyulang yang lainnya, untuk meminimalkan daerah padam.
Kondisi yang sifatnya hanya sementara ini tetap harus diperhitungkan koordinasi
pengamannya, sehingga apabila terjadi gangguan dimanapun titiknya, kinerja
pengaman jaringan akan tetap terpenuhi.
Untuk mengoperasikan ABSW dilakukan secara manual menggunakan handle
ABSW. Handle ABSW ini terletak di tiang dimana ABSW dipasang. Di dalam
perkembangannya, beberapa ABSW dapat dioperasikan menggunakan bantuan
motor, yang biasa disebut dengan ABSW Motorized. Pada ABSW Motorized
dilengkapi dengan panel kontrol komunikasi, sehingga operasi open/close ABSW
dapat dilakukan secara remote melalui SCADA.
(a) (b)
Gambar 2.19 : Air Break Switch Motorized (ABSW)(a) ABSW Motorized (b) Panel Kontrol ABSW Motorized
(a) (b) (c)
Gambar 2.20 : Air Break Switch (ABSW)(a) ABSW NC (Normaly Close), (b) ABSW NO (Normaly Open), (c) Handle ABSW
ABSW hanya dioperasikan pada beban yang relatif kecil, karena media
pemadam busur api ABSW berupa hembusan udara dengan tekanan kecil sekitar
100 kg/N2. Oleh karena itu perlu diperhatikan spesifikasi ABSW yang terpasang
pada jaringan distribusi.
Berikut ini contoh spesifikasi ABSW seri NPS dari ABB :
Tabel 2.2 : Spesifikasi ABS Merk ABB Seri NPS
Spesification RatedRated maximum voltage [kV] 24Rated current [A] 630Rated frequency [Hz] 50/60Rated light impulse witchstand voltage [kV]
Acrross the insulating distance To earth and between phases
145125
Creepage distance [mm] 740Rated short-time withstand current-1s [kA] 16Rated short-time withstand current-3s [kA] 12,5Rated breaking current with breaking whips [A] 25 for 100 breaking
operationsOperated Manual by Handling
(ABS-NPS From ABB Catalouge)
Menurut spesifikasi ABSW pada Tabel 2.2 bisa dilalui arus hingga maksimal 630 A,
namun hanya mampu memutus beban sebesar 25 A.
2.5.3 Load Break Switch (LBS)
Saklar pemutus beban (Load Break Switch, LBS) merupakan saklar atau
pemutus arus tiga fasa untuk penempatan di luar (outdoor) pada tiang JTM, yang
dikendalikan secara elektronis. Saklar dengan penempatan di atas tiang ini
dioptimalkan melalui kontrol jarak jauh dan skema otomatisasi. Saklar pemutus
beban juga merupakan sebuah sistem penginterupsi hampa yang terisolasi oleh gas
SF6 dalam sebuah tangki baja anti karat dan disegel. Sistem kabelnya yang full-
insulated dan sistem pemasangannya sederhana yang membuat proses instalasi lebih
cepat dengan biaya yang rendah. Sistem pengendalian elektroniknya ditempatkan
pada sebuah kotak pengendali yang terbuat dari baja anti karat sehingga dapat
digunakan dalam berbagai kondisi lingkungan. Panel kontrol mudah dioperasikan
(user-friendly) dan tahan segala kondisi cuaca.
Gambar 2.21 : LBS dengan Control Box
Ciri-ciri LBS :
a. Dapat digunakan sebagai pemisah maupun pemutus tenaga dengan beban nominal
b. Tidak dapat memutuskan jaringan dengan sendirinya saat terjadi gangguan pada
jaringan
c. Dibuka dan ditutup hanya untuk memanipulasi beban
LBS menggunakan puffer interrupter di dalam sebuah tangki baja anti karat
yang dilas penuh yang diisi dengan gas SF6. Interrupter tersebut diletakkan secara
berkelompok dan digerakkan oleh mekanisme pegas. Ini dioperasikan baik secara
manual maupun dengan sebuah motor DC dalam kompartemen motor di bawah
tangki. Motor DC memperoleh tegangan dari baterai-baterai 24 Volt dalam ruang
kontrol. Transformator arus (CT) dipasang di dalam tangki dan dihubungkan
ke elemen-elemen elektronik untuk memberikan indikasi gangguan dan pengukuran
arus penghantar (line measurement).
Jenis LBS yang digunakan pada Jaringan SUTM adalah Pole-Mounted Load
Break Switch. Sesuai dengan namanya Pole-Mounted LBS yang dipasang pada tiang-
tiang JTM (outdoor). Beberapa LBS jenis ini dilengkapi dengan fitur sebagai
Sectionalizer. LBS tipe ini dipasang pada main feeder dan berfungsi sebagai
pembatas tiap seksi-seksi jaringan untuk melokalisir daerah gangguan maupun
pemadaman.
Gambar 2.22 : Pole-Mounted LBS
LBS dapat dioperasikan dalam keadaan berbeban (onload) namun tidak boleh
membuka saat terjadi gangguan berupa arus hubung singkat. Hal ini disebabkan
karena SF6 yang terdapat di dalam peredam busur api LBS memiliki kemampuan
terbatas terhadap besarnya arus yang melaluinya. Apabila pada saat terjadi gangguan
hubung singkat, LBS ikut membuka hal ini justru dapat menyebabkan kerusakan
pada LBS tersebut ataupun dikhawatirkan LBS bisa meledak.
Berikut ini merupakan contoh spersifikasi Pole-Mounted LBS :
Tabel 2.3 : Spesifikasi LBS Merk Yaskawa seri LFG-25ER141-C
Spesifikasi Dasar TipeLFG-25ERA141(-C)
Keterangan
Rated Voltage 25 kVMaximum Voltage 27 kVRated Frequency 50/60 HzRated Current 630 ABreaking Capasity 12,5 kA 1sBIL (Impulse Current F-Gnd) 150 kV
(Impulse Current F-F) 165 kVPartial Discharge 19kVOperation Type Motor spring stored energy 24 VDCClosing Time Less than 1.5 sOpening Time Less than 100 msWeight 280 kgDimension 1400 x 1450 x 810 m
(Yaskawa LBS Catalouge-LFG-25ER141-C)
LBS dapat dioperasikan dengan dua cara yaitu secara lokal melalui panel
kontrol LBS maupun menggunakan Hook Stick atau secara remote melaui SCADA.
Pada panel kontrol LBS terdapat tombol operasi open/close untuk mengoperasikan
kontak-kontak LBS saat melakukan manuver jaringan. Jika panel kontrol tidak
berfungsi, LBS dapat dioperasikan menggunakan Hook Stick dengan cara
mengaitkannya pada lubang handle operasi open/close LBS.
Gambar 2.23 : Closing/Opening Pushbutton LBS
(a)
(b)
Gambar 2.24 : (a) Hook Stick (b) Manual Handle LBS
2.5.4 Recloser (Pemutus Balik Otomatis-PBO)
Recloser merupakan pemutus tenaga yang dilengkapi dengan relai penutup
balik dan dipasang pada jaringan SUTM (Saluran Udara Tegangan Menengah). Relai
penutup balik pada dasarnya bukan merupakan jenis relai pengaman, namun dapat
digabungkan/ dipasangkan dengan relai hubung tanah atau relai arus lebih jika terjadi
gangguan yang bersifat sementara. Reclose artinya menutup kembali, oleh karena itu
recloser berfungsi untuk mengamankan peralatan jaringan SUTM apabila terjadi
gangguan hubung singkat yang sifatnya temporer/sementara atau permanen.
Contoh gangguan-gangguan temporer :
a. Terhubungnya penghantar satu dengan yang lain yang disebabkan oileh tiupan
angin.
b. Adanya ranting pohon yang bergesekan dengan penghantar pada saat ada tiupan
angin.
c. Adanya surja petir yang melewati penghantar
d. Adanya hewan yang melintas di atas penghantar dan bersentuhan dengan
permukaan grounding.
Gambar 2.25 : Recloser
Cara kerja recloser adalah untuk menutup balik dan membuka secara otomatis
yang dapat diatur selang waktunya, dimana pada sebuah gangguan temporer,
recloser membuka tetap sampai waktu setting yang di tentukan kemudian recloser
akan menutup kembali setelah gangguan itu hilang. Apabila gangguan bersifat
permanen, maka setelah membuka atau menutup balik sebanyak setting yang telah
ditentukan kemudian recloser akan membuka tetap (lock out).
Pada suatu gangguan permanen, recloser berfungsi memisahkan daerah atau
jaringan yang terganggu sistemnya secara cepat sehingga dapat memperkecil daerah
yang terganggu pada gangguan sesaat, recloser akan memisahkan daerah gangguan
secara sesaat sampai gangguan tersebut akan dianggap hilang, dengan demikian
recloser akan masuk kembali sesuai settingannya sehingga jaringan akan aktif
kembali secara otomatis. Sebuah recloser memiliki dua buah elemen utama yaitu :
a. Dead Time Element (DT)
Berwujud suatu saklar tunda waktu “On Delay” yang waktu tundanya dapat
disetel menurut kebutuhan. Berfungsi untuk menentukan sela waktu dari saat PMT
trip hingga saat PMT diperintahkan masuk kembali, dan dead time element ini
dimaksudkan agar PMT mempunyai kesempatan untuk memadamkan busur api yang
terjadi saat kontak-kontak PMT membuka.
b. Blocking Time Element (BT)
Berwujud saklar tunda waktu “Off Delay” yang waktu tundanya dapat disetel
menurut kebutuhan. Berfungsi untuk memblock dead time element selama beberapa
waktu setelah bekerja memasukkan PMT. Blocking time element ini dimaksudkan
untuk memberi kesempatan PMT agar siap melakukan siklus auto reclosing
berikutnya. Diagram rangkaian Recloser yang dipasangkan dengan relai hubung
tanah ditunjukkan pada Gambar 2.26.
Gambar 2.26 : Rangkaian Relai Penutup Balik
Keterangan :
S = saklar ON/OFF
DT = dead time element
BT = blocking time element
C = counter
Cara kerja relai penutup balik adalah pada saat terjadi gangguan sementara
dalam hal ini adalah gangguan tanah, maka GFR akan bekerja menutup kontaknya
dan mengalir arus DC menuju trip coil (TC) pada saat itu PMT akan trip. Pada waktu
yang sama DT memperoleh energi dan bekerja sesuai dengan jangka waktu
setelannya. Saat kontak-kontak DT menutup yang mana kontak pertama (DT1)
memberikan pulsa closing ke closing coil (CC) sehingga PMT menutup kembali.
Kontak kedua (DT2) memberikan energi ke BT, dan BT langsung bekerja membuka
kontak-kontaknya. Kontak pertama (BT1) memutus pulsa closing dan kontak kedua
(BT2) memblok DT. Setelah jangka waktu setelan BT habis, maka BT akan reset. Hal
tersebut mengartikan DT siap bekerja kembali melakukan proses reclosing
berikutnya. Waktu membuka dan menutup pada recloser dapat diatur pada kurva
karakteristik.
Berdasarkan jumlah siklus reclosing kepada PMT, terdapat dua macam relai penutup
balik, yaitu :
a. Single shoot reclosing relay
Relai jenis ini hanya dapat memberikan perintah reclosing kepada PMT sebanyak
satu kali saja dan baru dapat melakukan reclosing lagi setelah jangka waktu
blocing time berakhir. Apabila terjadi gangguan selama periode blocking time
belum berakhir maka PMT akan trip, kemudian mengunci (lockout).
b. Multi shoot reclosing relay
Relai jenis ini dapat melakukan relosing lebih dari satu kali, pada umumnya 3 kali
siklus reclosing. Setting waktu reclosing yang pertama dengan siklus reclosing
selanjutnya dapat diatur sesuai dengan koordinasi recloser terhadap peralatan
pengaman yang lain.
Gambar 2.27 : Diagram Kerja Fungsi Waktu Relai Penutup Balik Single Shoot
Gambar 2.28 : Diagram Kerja Fungsi Waktu Multi Shoot Reclosing Relay
Urutan kerja relai penutup balik jenis Multi Shoot Reclosing Relay :
1) Bila terjadi gangguan, relai akan memerintahkan PMT untuk trip selama waktu
td1, misalnya 0,3 detik.
2) Setelah berakhirnya waktu td1, maka PMT akan on kembali.
3) Jika ternyata gangguan masih ada, PMT akan kebali trip dengan jangka waktu
yang lebih lama td2, misalnya 10 detik, dan akan kembali menutup setelah
berakhirnya waktu td2.
4) Jika ternyata gangguan masih dirasakan oleh PMT, maka PMT akan trip kembali
selama waktu td3, misalnya 1 menit.
5) Setelah jangka waktu td3 habis, PMT akan kembali On. Jika gangguan masih ada
selama jangka waktu blocking time (tb3) maka PMT akan lockout.
6) Dengan demikian dapat dikatakan bahwa gangguan yang terjadi bersifat
permanen.
Kontak-kontak Recloser beroperasi secara otomatis saat terjadi gangguan.
Penempatan dan setting recloser harus disesuaikan dengan kemampuannya menutus
arus hubung singkat. Oleh karena itu di dalam memilih Recloser perlu disesuaikan
dengan spesifikasinya.
Berikut ini contoh spesifikasi Recloser yang dipasang pada SUTM :
Tabel 2.4 : Spesifikasi Outdoor Vacuum Recloser
Spesification RatedNominal operating voltage [kV] 24,9Rated max voltage [kV] 27Rated power frequency [Hz] 50/60Rated continuous current [A] 630Rated symmetrical interupting current [kA] 10Rate lightnig impulse withstand (BIL) [kV] 125Max. interupting time [sec] 0,030Max. closing time [sec] 0,055
(Outdoor Vacuum Recloser 24 kV, ABB Catalouge)
2.5.5 Sectionalizer (SSO)
Sectionalizer atau Saklar Seksi Otomatis (SSO) merupakan peralatan
pengaman yang proses kerjanya cara kerjanya terkoordinasi dengan recloser.
Sectionalizer berfungsi untuk melokalisir atau memperkecil daerah yang padam
akibat gangguan yang bersifat permanen.
Sectionalizer pada jaringan dipasang setelah recloser, dan sistem kerjanya
berkoordinasi dengan recloser. Ketika recloser membuka, sectionalizer akan
mendeteksi tegangan yang hilang. Sectionalizer akan menghitung ketika berapa kali
terjadi hilang tegangan. Setelah setting kehilangan tegangan pada sectionalizer
terpenuhi, sectionalizer akan lock out. Setting sectionalizer adalah n-1, dimana n
adalah setting pada recloser. Hal ini dimaksudkan agar ketika terjadi gangguan yang
bersifat permanen, sectionalizer akan melokalisir daerah gangguan dan recloser tidak
lock out sehingga daerah yang padam dapat lebih diminimalisir.
Dengan dipasangnya sectionalizer dan recloser pada SUTM maka diperlukan
adanya koordinasi antara kedua peralatan ini, sehingga ketika terjadi gangguan yang
bersifat permanen dan gangguan berada di posisi di depan sectionalizer tidak akan
menyebabkan recloser lock out atau bahkan menyebabkan PMT pada pangkal
penyulang trip. Dengan demikian, jika koordinasi antara pengaman pada penyulang
bekerja dengan baik akan dapat meminimalisir daerah yang padam akibat gangguan.
Gambar 2.29 : Penempatan SSO
Penempatan SSO :
1) Ditempatkan pada jaringan saluran udara tegangan menengah radial, seri dengan
recloser
2) SSO dapat dihubung seri pada jaringan loop
3) Sebagai pengaman cadangan (backup) untuk arus gangguan minimum di ujung
jaringan setelah SSO
4) SSO dapat ditempatkan di percabangan jaringan SUTM
(a) (b)
Gambar 2.30 : Sectionalizer
(a) Programmable Resettable Sectionalizer Single Phase
(b) Pengoperasian SSO dengan Hook Stick
Pada kondisi lock out kontak SSO dapat membuka secara otomatis, namun untuk
memasukkan kontak SSO kembali, petugas harus mendatangi lokasi pemasangan
SSO dan memasukkan kontak SSO dengan menggunakan Hook Stick.
Tabel 2.5 : Spesifikasi Resettable Electronic Sectionalizer
Spesification RatedRated max voltage [kV] 27Rated power frequency [Hz] 50/60Rated continuous current [A] <200Number of opening counts Resettable beetween 1 – 4 timesRated symmetrical interupting current [kA] 4Insulation Level (BIL) [kV] 110Total opening time [sec] 0,5Memory reseting time [sec] 30
(ABB AutoLink Resettable Electronic Sectionalizer Catalouge)
2.5.6 Fuse Cut Out (FCO)
Fuse Cut Out atau biasa disebut FCO adalah suatu alat pengaman jaringan
distribusi yang melindungi jaringan terhadap arus beban lebih yang mengalir
melebihi dari batas maksimum yang disebabkan karena hubung singkat atau beban
lebih. Konstruksi dari FCO ini jauh lebih sederhana bila dibandingkan dengan
pemutus beban (circuit breaker) yang terdapat di Gardu Induk. FCO hanya dapat
memutuskan satu saluran kawat jaringan di dalam satu alat. Apabila diperlukan
pemutus saluran tiga fasa maka dibutuhkan FCO sebanyak tiga buah.
Pada dasarnya bagian pokok dari FCO adalah sehelai kawat yang mempunyai
penampang yang disesuaikan dengan besarnya arus maksimum yang diperbolehkan
mengalir pada kawat tersebut yang disebut dengan fuse link. Pemilihan kawat atau
fuse link yang dipergunakan pada FCO didasarkan pada faktor lumer yang rendah
dan harus memiliki daya hantar yang tinggi. Besarnya faktor lumer ditentukan oleh
temperatur bahan pembuatnya. Biasanya bahan-bahan yang dipergunakan sebagai
kawat fuse link adalah kawat perak, kawat tembaga, kawat seng, kawat timbel atau
kawat paduan dari bahan-bahan tersebut. Kawat yang banyak digunakan sebagai
fuse link adalah kawat logam perak, mengingat kawat perak memiliki konduktivitas
60,6 mho/cm lebih tinggi dari kawat tembaga, dan memiliki temperatur 960° C,
maka pada jaringan distribusi banyak digunakan. Kawat perak ini dipasangkan di
dalam tabung porselin yang diisi dengan pasir putih sebagai pemadam busur api, dan
menghubungkan kawat tersebut pada kawat fasa, sehingga arus mengalir melaluinya.
FCO ditempatkan sebagai pengaman tansformator distribusi, dan pengaman pada
cabang-cabang saluran feeder yang menuju ke jaringan distribusi sekunder.
(a) (b) (c)
Gambar 2.31 : Fuse Cut Out(a) Pemasangan FCO(b) Konstruksi FCO(c) Fuse Link
Terdapat berapa jenis fuse link yang digunakan berkaitan dengan pemilihan
tipe fuse link pada FCO. Hal ini yang dijadikan pertimbangan berapakah kapasitas
fuse link yang dipasang disesuaikan dengan besarnya kapasitas trafo distribusi pada
saluran tersebut, selain itu kapasitas fuse link yang dipasang apakah pada sisi primer
atau sekunder trafo distribusi. Menurut SPLN No. 64 Tahun 1995 jenis-jenis fuse
link tersebut adalah :
Tabel 2.6 : Rekomendasi Pemilihan Arus Pengenal Pelebur 24 kV
Trafo DistribusiPelebur Primer 24 kV
Arus Pengenal(A)
Pelebur Sekunder(230/400 V)
Daya pengenal(kVA)
Aruspengenal
(A)
Tipe T(lambat)
Tipe K(cepat)
Arus Pengenal(A)
min Maks min maks min MaksFasa tunggal, 20
√3kV
162550
1,38562,16514,3301
-6,310
-6,310
6,36,310
6,36,316
80125250
100125250
Fasa tiga, 20 kV
50100160200250
1,44342,88674,61885,77357,2169
-6,3101016
-8
12,512,516
6,36,3101616
6,310
12,52025
80160250315400
100200250315400
3154005006308001000
9,093311,547014,433018,186023,094028,8670
202525405063
2525
31,5406363
2025
31,5405063
31,540406380100
500630800100012501600
500630800100012501600
(SPLN No.64 Tahun 1995)
Selain pemilihan rating fuse link sebagai pengaman trafo distribusi, terdapat
dua jenis fuse link berdasarkan waktu kerjanya yaitu FCO tipe tipe lambat (T) dan
cepat (K). Perbedaan dari tipe-tipe ini terletak pada perbandingan kecepatannya,
yaitu perbandingan antar arus leleh minimum pada 0,1 detik dan arus leleh minimum
pada 300 atau 600 detik. Untuk fuse link tipe “T” (tipe lambat) perbandingan
kecepatannya adalah 10-13. Untuk fuse link tipe “K” (tipe cepat) perbandingan
kecepatannya adalah 6-8.
Tabel 2.7 : Standar Arus Untuk Pelebur Tipe “T”
Aruspengenal
(A)
Arus leleh pada Arus leleh pada Arus leleh pada
Rasiokecepatan
300 detik 10 detik 0,1 detik(A) (A) (A)
Min Maks Min Maks Min Maks6,3 12,4 14,9 16 21,4 126,9 152,2 108 15 18 20,5 31 166 199 11,110 19,5 23,4 26,5 40 224 269 11,5
12,5 26 31,2 36,1 54,5 311,3 373,5 11,816 32,6 39,1 47 70,6 409,6 491,8 12,520 39 47 57 85 496 595 12,725 50 60 73,5 109 635 762 12,7
31,5 65,5 79 97 144 846,8 1014,7 12,940 80 96 120 178 1040 1240 13,050 101 121 152 226 1310 1570 13,063 124,4 148,7 189,2 282,3 1604,6 1921 12,980 160 192 248 370 2080 2500 13,0100 200 240 319 475 2620 3150 13,1125 268,7 322,5 444,6 662,5 3482,5 4181,2 13,0160 366,6 440 630 941,6 4750 5690 12,9200 480 576 850 1275 6250 7470 13,0
(SPLN No.64 Tahun 1995)
Gambar 2.32 : Kurva Karakteristik Pelebur Jenis Letupan Tipe “T”
Tabel 2.8 : Standar Arus Untuk Pelebur Tipe “K”
Aruspengenal
(A)
Arus leleh pada Arus leleh pada Arus leleh pada
Rasiokecepatan
300 detik 10 detik 0,1 detik(A) (A) (A)
Min Maks Min Maks Min Maks6,3 12,4 14,9 14,1 21,4 75,7 90,5 68 15 18 18 27 97 116 6,510 19,5 23,4 22,5 34 128 154 6,6
12,5 26 31,2 30,7 45,8 174,1 208,8 6,616 32,6 39,1 39,2 58,2 229 272 6,920 39 47 48 71 273 328 7,025 50 60 60 90 350 420 7,0
31,5 65,5 79 80,5 119,6 464,7 566,1 7,140 80 96 98 146 565 680 7,150 101 121 126 188 719 862 7,163 124,4 148,7 154,6 230,4 891,4 1068,2 7,280 160 192 205 307 1180 1420 7,4100 200 240 258 388 1520 1820 7,6
125 268,7 322,5 365,5 551,7 2113,7 2538,7 7,8160 366,6 440 540 816,6 2940 3530 8,0200 480 576 760 1150 3880 4650 8,1
(SPLN No.64 Tahun 1995)
Gambar 2.33 : Kurva Karakteristik Pelebur Jenis Letupan Tipe “K”
2.6 Perhitungan Beban per-Section
Beban per-section merupakan beban yang dibatasi oleh dua buah peralatan
pemisah yang berdekatan, yang berupa LBS atau ABSW. Untuk menghitung beban
per-section ini diperlukan data pengukuran pada masing-masing fasa R,S,T di
jaringan 20 kV. Pada saat dilakukan pengukuran beban disebuah titik LBS/ABSW,
sesungguhnya beban yang terukur tersebut adalah beban dari titik pengukuran hingga
ujung jaringan tersebut. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat Amp Stick
(Ampere Meter Stik). Sehingga untuk menghitung beban per-section kita harus
mengetahui di titik mana letak LBS atau ABSW pada suatu penyulang, sehingga
dengan mengurangi hasil pengukuran beban di awal dengan hasil pengukuran beban
dititik selanjutnya dapat diketahui berapa beban tiap section tersebut.
Gambar 2.34 : Amp Stik
Gambar 2.35 : Pengukuran Beban per-Section
Pengukuran beban per-section di atas menggunakan Amp Stik merk Sensor
Link. Setting mode yang dipilih untuk melakukan pengukuran itu adalah mode
“HOLD”. Dengan memilih mode ini berarti pengukuran beban pada fasa R,S,T dapat
dilakukan sebanyak 3 kali langsung tanpa perlu melakukan pembacaan tiap kali
pengukuran di masing-masing fasanya. Amp Stik langsung bisa melakukan
penyimpanan pencatatan beban pada memorinya. Setelah selesai melakukan
pengukuran pada ketiga fasa tersebut, kita tinggal melakukan pembacaan pada
I1,I2,dan I3. Contoh jika kita melakukan pengukuran dimulai dari fasa R, kemudian S
dan T. Berarti untuk I1 merupakan hasil pengukuran dari beban pada fasa R.
Perhitungan beban per-section ini pada dasarnya mengacu pada Persamaan
Kirrchoff Current Law (KCL) dimana pada setiap titik percabangan dalam rangkaian
listrik, jumlah dari arus yang masuk kedalam titik itu sama dengan jumlah arus yang
keluar dari titik tersebut atau jumlah total arus pada sebuah titik adalah nol.
Gambar 2.36 : Rangkaian Persamaan KCL
Kirrchoff Current Law :
∑ I= 0.................................................................................................(2.3)
Atau
∑ I= I1 - I2 - I3 - I4......................................................................................(2.4)
I1=I2+I3+I4......................................................................................... .
(2.5)
(Network Theory-Uday Bakshi & Ajay Bakshi : 2008)
Keterangan :
∑ I = Arus masuk (A)
In = Arus cabang (A)
2.7 Rugi-Rugi Jaringan Distribusi Primer
Rugi-rugi atau losses dapat diartikan sebagai selisih antara energi listrik yang
disalurkan dengan energi yang diterima. Terjadinya rugi-rugi ini dapat disebabkan
oleh berbagai faktor, seperti jauhnya daerah penyaluran tenaga listrik dari
sumber/suplai, ketidakseimbangan beban, umur peralatan, ukuran dan jenis
penghantar,dan sebagainya.
Rugi-rugi energi tersebut tidak dapat dihilangkan sepenuhnya namun bisa
diminalkan (direduksi). Kerugian pada sistem tenaga listrik dari pembangkit hingga
ke konsumen diperkiran ± 14% dari total daya pembangkitan, kerugian tersebut
terdiri dari 3% susut transmisi dan 11% susut distribusi. Dengan demikian bisa
dikatakan bahwa saluran distribusi memiliki kontribusi yang tinggi di dalam
munculnya rugi-rugi pada sistem tenaga listrik.
Pada tabel di bawah ini dijabarkan mengenai prosentase kerugian daya pada saluran
distribusi.
Tabel 2.9 : Kerugian Daya Pada Sistem Distribusi Tenaga Listrik
Distribution System Losses at Full LoadCable 1% - 4%Transformer 0,4% - 3%Capasitors 0,5% - 2%Low Voltage Switchgear 0,13% - 0,34%Busway 0,05% - 0,5%Motor Control Centers 0,01%-0,4%Medium Voltage Switchgear 0,006% - 0,02%Load Break Switches 0,003% - 0,025%Outdoor Circuit Breaker 0,002% - 0,015%
(Buku Saku Pelayanan Teknik-Ir.Wahyudi Sarimun N, M.T)
Terdapat dua jenis rugi-rugi pada jaringan distribusi, yaitu rugi daya dan rugi
tegangan. Rugi-rugi ini disebabkan karena panjangnya penghantar yang digunakan
dalam jaringan distribusi. Pada umumnya jaringan distribusi menggunakan
penghantar jenis tembaga atau aluminium. Namun, mahalnya harga tembaga
membuat penghantar jenis aluminium lebih banyak digunakan. Sehingga untuk
menghitung rugi-rugi pada jaringan distribusi kita perlu mengetahui berapa nilai
impedansi penghantar jenis AAAC (All Aloy Aluminium Conductor), faktor daya
jaringan, panjang penghantar dan beban pada saluran tersebut.
AAAC merupakan jenis penghantar yang terbuat dari aluminium-magnesium-
silicon campuran logam, keterhantaran elektris tinggi yang berisi magnesium silicide,
untuk memberi sifat yang lebih baik. Kabel ini biasanya dibuat dari paduan
aluminium 6201. AAAC mempunyai suatu anti karat dan kekuatan yang baik,
sehingga daya hantarnya lebih baik.
Gambar 2.37 : AAAC (All Aloy Aluminium Conductor)
Tabel 2.10 : Nilai Tahanan (R) dan Reaktansi (XL) Penghantar AAAC
Luas Penampang
[mm2]
Jari-jari[mm]
UratGMR[mm]
Impedansi urutan positif
[ohm/km]
Impedansi urutan negatif
[ohm/km]16 2,2563 7 1,6380 2,0161 + j0,4036 2,1641 + j1,691125 2,8203 7 2,0475 1,2903 + j0,3895 1,4384 + j1,677035 3,3371 7 2,4227 0,9217 + j0,3790 1,0697 + j1,666550 3,9886 7 2,8957 0,6452 + j0,3678 0,7932 + j1,655370 4,7193 7 3,4262 0,4608 + j0,3572 0,6088 + j1,644795 5,4979 19 4,1674 0,3096 + j0,3449 0,4876 + j1,6324120 6,1791 19 4,6837 0,2688 + j0,3376 0,4168 + j1,6324150 6,9084 19 5,2365 0,2162 + j0,3305 0,3631 + j1,6180185 7,6722 19 5,8155 0,1744 + j0,3239 0,3224 + j1,6114240 8,7386 19 6,6238 0,1344 + j0,3158 0,2824 + j1,6034
(SPLN No. 64 Tahun 1985)
2.7.1 Perhitungan Rugi Tegangan
Untuk mempermudah di dalam menghitung rugi tegangan digunakan diagram
beban saru garis seperti pada gambar di bawah ini :
Gambar 2.38 : Diagram Beban Satu Garis
Dari Gambar 2.38 diperoleh diagram persamaan tegangan berikut ini :
Gambar 2.39 : Diagram Persamaan Tegangan
Nilai jatuh tegangan yang disebabkan oleh penghantar dipengaruhi oleh besarnya
arus dan impedansi penghantar (V=I.Z), dimana Z = R+jX = Z ∠θC dan nilai arus (I)
tertinggal terhadap tegangan (Vt) sebesar “θL” seperti yang ditunjukkan pada Gambar
2.39. Besarnya sudut “θL” adalah besarnya sudut pada faktor beban = cos θL.
Sehingga diperoleh persamaan :
VD = I∠ - θL × Z∠θC..........................................................................(2.6)
= I(cos θL + sin θL)(R+jX).............................................................(2.7)
= I {(Rcos θL + Xsin θL) + j(Rsin θL + Xcos θL)}..........................(2.8)
Karena nilai (Rsin θL + Xcos θL) sangat kecil, sehingga besarnya rugi tegangan dapat
dihitung dengan :
VD = I (Rcos θL + Xsin θL)...................................................................(2.9)
Dengan demikian besarnya tegangan beban :
VR = VS - I (Rcos θL + Xsin θL).............................................................(2.10)
Selisih antara tegangan sumber dan tegangan pada beban ini yang disebut dengan
drop tegangan yaitu :
VD (1ph) = I (Rcos θL + Xsin θL).........................................................(2.11)
VD (3ph) = √3 {I (Rcos θL + Xsin θL)}................................................(2.12)
(Electrical Power Distribution System : V Kamaraju )
Keterangan :
VS = Tegangan sumber (Volt)
Vb = Tegangan pada beban (Volt)
VR = Tegangan pada resistan (Volt)
VX = Tegangan pada reaktansi (Volt)
VD = Tegangan Drop (Volt)
I = Arus (Ampere)
R = Resistansi penghantar (ohm)
X = Reaktansi penghantar (ohm)
Nilai √3 pada sistem 3 fasa diperoleh dari penjelasan di bawah ini :
Gambar 2.40 : Diagram Tegangan 3 Fasa
Tegangan fasa-netral = VA-N = VB-N = VC-N
Tegangan fasa-fasa = VA-B = VB-C = VA-C
Gambar 2.41 : Diagram Pembuktian Nilai √3 pada Tegangan 3 Fasa
Jika dimisalkan besarnya VA-N = 1, maka :
VA-X = VA-N x Cos 60o..........................................................................(2.13)
VA-X = 1 x ½ √3...................................................................................(2.14)
sehingga :
VA-B = 2 (VA-X)....................................................................................(2.15)
VA-B = 2 (½ √3)...................................................................................(2.16)
VA-B = √3. VA-N...................................................................................(2.17)
2.7.2 Perhitungan Rugi Daya
Untuk menghitung rugi daya pada suatu saluran, secara sederhana dapat dijelaskan
melalui diagram beban satu garis, seperti pada Gambar 2.38.
S= PR+QXL +Pb...............................................................................(2.18)
S = I 2 .R + I 2 . jX + I2 .Beban ...........................................................(2.19)
Pb=S-( PR +QXL )...............................................................................(2.20)
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa Pb < Ps. Hal ini disebabkan
adanya Karena yang dinamakan rugi-rugi adalah selisih antara daya yang dihasilkan
dengan daya yang terukur pada beban, sehingga dapat dikatakan bahwa PR+QXL
merupakan rugi daya pada suatu jaringan distrbusi.
Persamaan rugi jaringan distribusi 1 fasa :
DP = PR = I 2.R (Watt).......................................................................(2.21)
DQ= QXL=I 2 .j X (VAr).....................................................................(2.22)
Persamamaan rugi jaringan distribusi 3 fasa :
DP (3ph) = DP (R) + DP (S) + DP (T)...........................................................(2.23)
DQ (3ph) = DQ (R) + DQ (S) + DQ (T).........................................................(2.24)
(Electrical Power Distribution System : V Kamaraju )
Keterangan :
DP = Rugi Daya Aktif (Watt)
DQ = Rugi Daya Reaktif (VAr)
I = Arus (Ampere)
R = Resistansi Penghantar (ohm)
X = Reaktansi Penghantar (ohm)
2.8 Pelimpahan Beban Penyulang
Pada saat melakukan manuver jaringan distribusi yang disebabkan karena
pekerjaan pemeliharaan atau gangguan, untuk meminimalisir daerah padam pada
suatu penyulang, maka beberapa beban yang tidak termasuk ke dalam seksi/daerah
gangguan akan dimanuver ke penyulang lain agar tetap memeperoleh pasokan energi
listrik. Pada saat manuver tersebut, penyulang yang tidak mengalami gangguan akan
dilimpahi beban dari penyulang yang mengalami gangguan. Di dalam melakukan
pelimpahan beban ada hal-hal yang harus diperhatikan agar kinerja dan kualitas
penyaluran energi listrik tersebut tetap terjaga.
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada saat melakukan pelimpahan beban antara
lain :
a. Urutan fasa antar penyulang harus sama
Urutan fasa R, S, dan T pada dua penyulang yang akan disambung melalui
konfigurasi jaringan loop harus memiliki urutan fasa yang sama. Jika salah satu
fasanya tertukar hal tersebut bisa menyebabkan terjadinya hubung singkat antar
fasa.
b. Tegangan antar penyulang harus sama
Tegangan yang sama buka berarti harus sama persis antara kedua penyulang
tesebut. Ada batasan toleransi sebesar 5% dari tegangan nominal sebesar 20 kV.
c. Setting peralatan penyulang seperti Recloser dan PMT
Pada peralatan-peralatan tegangan menengah seperti Recloser dan PMT yang bisa
dioperasikan pada saat kondisi berbeban, memiliki setting arus maksimal yang
mampu dipikul oleh Recloser dan PMT. Sehingga beban yang dilimpahkan tidak
boleh melebihi dari besarnya arus setting maksimal Recloser dan PMT.
d. KHA Penghantar
Penghantar yang digunakan pada saluran distribusi adalah jenis aluminium, di
dalam SPLN No.64 Tahun 1985 diatur standarisasi KHA pengahantar AAC dan
AAAC yang dihitung dalam kondisi seperti berikut :
1) Kecepatan angin 0,6 m/detik
2) Suhu keliling akibat sinar matahari 35oC
3) Suhu penghantar maksimum 80oC
4) Bila tidak ada angin maka KHA dapat dikali dengan 0,7
Tabel 2.11 : Daftar KHA Penghantar AAC dan AAAC
Luas Penampang
[mm2]
KHA terus menerus untuk
penghantar AAC [A]
KHA terus menerus untuk
penghantar AAAC [A]
16 110 10525 145 13535 180 17050 225 21070 270 25595 340 320120 390 365150 455 425185 520 490240 625 585
(SPLN No.64 Tahun 1985)