syok anafilaksis oleh karena transfusi albumin pada
TRANSCRIPT
i
PENGALAMAN BELAJAR LAPANGAN
SYOK ANAFILAKSIS OLEH KARENA
TRANSFUSI ALBUMIN PADA PENDERITA
LIMFOMA HODGKIN
Oleh :
L.P. Suryantini Septiadewi (0802005098)
dr. Ketut Suardamana, Sp.PD-KAI
DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA
DI BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUP SANGLAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
2018
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rakhmatnya
maka Laporan Pengalaman Belajar Lapangan yang berjudul ”Osteoartritis” ini dapat
selesai pada waktunya.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang
telah membantu dalam penyelesaian laporan ini. Laporan Pengalaman Belajar Lapangan
ini disusun sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian
Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar.
Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada:
1. dr. Ketut Suardamana, Sp.PD-KAI selaku dosen pembimbing.
2. Pasien dan keluarga pasien yang telah memberikan informasi dan data-data yang
sangat penulis perlukan untuk penyelesaian laporan ini.
3. Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu-
persatu.
Penulis menyadari tulisan ini masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangan, sehingga
saran dan kritik pembaca yang bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk
kesempurnaan tulisan ini. Semoga dapat bermanfaat bagi pembaca.
Denpasar, Juni 2018
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... ...... i
KATA PENGANTAR ...................................................................................... ...... ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... ....... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ ....... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................ 3
2.1 Definisi. ............................................................................... ....... 3
2.2 Etiologi. ............................................................................... ....... 3
2.3 Faktor Predisposisi............ ................................................................. 5
2.4 Patofisiologi........................................................................................ 5
2.5 Manifestasi Klinis .............................................................................. 7
2.6 Penatalaksnaaan ................................................................................... 7
2.7 Pencegahan .......................................................................................... 9
BAB III LAPORAN KASUS...........................................................................................11
3.1 Identitas pasien ..........................................................................................11
3.2 Anamnesis .................................................................................................12
3.3 Pemeriksaan Fisik .......................................................................................13
3.4 Pemeriksaan Penunjang ..................................................................................15
3.5 Diagnosis ........................................................................................................ 18
3.6 Penatalaksanaan .............................................................................................18
BAB IV KUNJUNGAN LAPANGAN ...........................................................................19
4.1 Alur kunjungan Lapangan ............................................................................ 19
4.2 Daftar Masalah ...............................................................................................20
4.3 Analisis Kebutuhan Pasien...............................................................................21
4.4 Edukasi dan Saran ...........................................................................................23
4.5 Denah Rumah ................................................................................................. 27
4.6 Dokumentasi ...................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................30
1
BAB I
PENDAHULUAN
Anafilaksis adalah suatu respons klinis hipersensitivitas yang akut, berat dan
menyerang berbagai macam organ. Reaksi hipersensitivitas ini merupakan suatu reaksi
hipersensitivitas tipe cepat (reaksi hipersensitivitas tipe I), yaitu reaksi antara antigen
spesifik dan antibodi spesifik (IgE) yang terikat pada sel mast. Sel mast dan basofil akan
mengeluarkan mediator yang mempunyai efek farmakologik terhadap berbagai macam
organ tersebut. Selain itu dikenal pula istilah reaksi anafilaktoid yang secara klinis sama
dengan anafilaksis, akan tetapi tidak disebabkan oleh interaksi antara antigen dan
antibodi. Reaksi anafilaktoid disebabkan oleh zat yang bekerja langsung pada sel mast
dan basofil sehingga menyebabkan terlepasnya mediator.1
Secara klinis gejala anafilaksis dapat berupa reaksi lokal dan reaksi sistemik.
Reaksi lokal terdiri dari urtikaria dan angioedema pada daerah yang kontak dengan
antigen. Reaksi lokal dapat berat tetapi jarang sekali fatal. Reaksi sistemik terjadi pada
oragan target seperti traktus respiratorius, sistem kardiovaskular, traktus
gastrointestinalis, dan kulit. Reaksi ini biasanya terjadi dalam waktu 30 menit sesudah
kontak dengan penyebab.
Gejala awal reaksi sistemik ringan adalah rasa gatal dan panas di bagian perifer
tubuh, biasanya disertai perasaan penuh dalam mulut dan tenggorokan. Gejala permulaan
ini dapat disertai dengan hidung tersumbat dan pembengkakan peri orbita. Dapat juga
disertai rasa gatal pada membran mukosa, keluarnya air mata, dan bersin. Gejala ini
biasanya timbul dalam 2 jam sesudah kontak dengan antigen. Lamanya gejala bergantung
pada pengobatan, umumnya berjalan 1-2 hari atau lebih pada kasus kronik.
Reaksi sistemik sedang mencakup semua gejala dan tanda yang ditemukan pada
reaksi sistemik ringan ditambah dengan bronkospasme dan atau edema jalan napas,
dispnu, batuk dan mengi. Dapat juga terjadi angioedema, urtikaria umum, mual dan
muntah. Biasanya penderita mengeluh gatal menyeluruh, merasa panas, dan gelisah.
Masa awitan dan lamanya reaksi sistemik sedang hampir sama dengan reaksi sistemik
ringan.
2
Sedangkan reaksi sistemik berat, masa awitan biasanya pendek, timbul mendadak
dengan tanda dan gejala seperti reaksi sistemik ringan dan reaksi sistemik sedang,
kemudian dengan cepat dalam beberapa menit (terkadang tanpa gejala permulaan) timbul
bronkospasme hebat dan edema laring disertai serak, stridor, dispnu berat, sianosis, dan
kadangkala terjadi henti napas. Edema faring, gastrointestinal dan hipermotilitas
menyebabkan disfagia, kejang perut hebat, diare dan muntah. Kejang umum dapat terjadi,
dapat disebabkan oleh rangsangan sistem saraf pusat atau karena hipoksia. Kolaps
kardiovaskular menyebabkan hipotensi, aritmia jantung, syok dan koma.2
Kejadian anafilaksis sering kali tidak dilaporkan karenanya insiden yang tercatat
mungkin lebih rendah dari kenyataan yang terjadi. Insiden anafilaksis diperkirakan terjadi
pada 4-5 orang per 100.000 orang tiap tahun, di mana sekarang ini anafilaksis
mengakibatkan 500-1000 kematian di Amerika, 20 kematian di Inggris, dan 15 kematian
di Australia tiap tahunnya. Penyebab anafilaksis paling sering adalah alergen makanan,
obat-obatan, serangga, dan media kontras radio grafis. Kematian karena anafilaksis lebih
sering diakibatkan karena faktor obat, di mana 25%-65% di antaranya seringkali adalah
ODHA. Penisilin adalah obat yang paling sering mengakibatkan reaksi anafilaksis.3
Faktor lain yang dapat memicu kejadian anafilaksis adalah gangguan regulasi imunitas
yang dapat terjadi pada pasien dengan penyakit sistemik kronik seperti diabetes, penyakit
hati kronis, penyakit ginjal kronis, dan malignansi.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Anafilaksis adalah suatu alergi yang bersifat akut, menyeluruh dan bisa menjadi berat.
Anafilaksis terjadi pada seseorang yang sebelumnya telah mengalami sensitisasi akibat
pemaparan terhadap suatu alergen. Anafilaksis tidak terjadi pada kontak pertama dengan
alergen. Pada pemaparan kedua atau pemaparan berikutnya, terjadi suatu reaksi alergi
secara tiba-tiba, berat dan melibatkan seluruh tubuh. Literatur lain mendefinisikan
anafilaksis sebagai respon klinis terhadap reaksi imunologi cepat (hipersensitivitas tipe I)
antara antigen yang spesifik dan antibodi.
Reaksi tersebut terjadi akibat antigen IgE dengan cara berikut: (1) Antigen melekat pada
antibody IgE yang terikat dengan membrane permukaan sel mast serta basofil dan
menyebabkan sel-sel target ini diaktifkan. (2) Sel mast dan basofil kemudian melepas
mediator yang menyebabkan perubahan vaskuler; pengaktifan trombosit, eosinofil serta
neutrofil; dan pengaktifan rangkaian peristiwa koagulasi. 1
Tipe-tipe reaksi anafilaksis:
1. Reaksi lokal
Reaksi anafilaksis local biasanya meliputi urtikaria serta angioedema pada tempat
kontak dengan antigen dan dapat merupakan reaksi yang berat tetapi jarang fatal.
2. Reaksi sistemik
Reaksi sistemik terjadi dalam tempo kurang lebih 30 menit sesudah kontak dalam
system organ berikut ini: kardiovaskuler, respiratorius, gastrointestinal, dan
integument. 4
2.2 ETIOLOGI
4
Berbagai zat atau keadaan dapat menyebabkan reaksi anafilaksis/anafilaktoid. Ada yang
berupa antigen seperti protein (serum, hormone, enzim, bisa binatang, makanan, dan
sebagainya), atau polisakarida, juga ada yang berupa hapten yang nanti bertindak sebagai
antigen apabila berikatan dengan protein (antibiotik, anastesi lokal, analgetik, zat kontras,
dan lain-lain). Antigen tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui oral,
suntikan/sengatan, inhalasi, atau topikal. Di samping itu ada juga penyebab yang tidak
bersifat antigen. Secara umum penyebab anafilaksis/anafilaktoid dapat dikelompokkan
sebagai berikut:4
1. Obat
a. Molekul besar : hormone insulin, ACTH, estrogen, relaksin, kortison
b. Antibiotik : penisilin, streptomisin, klorampenikol, sulfonamide, kanamisin
c. Kemoterapeutik : siklosporin, metotreksat, melfalan, klorambusil
d. Vaksin : difteri, morbili, parotitis, influenza, pertusis, rabies, tetanus, tipoid.
2. Makanan
a. Ikan : cakalang, lemuru, salmon, sardine, lele, layang.
b. Udang : kepiting, cumi-cumi, kerang, teripang.
c. Kacang tanah, kacang kedelai, kacang mete, ercis, coklat.
d. susu, telur, jamur, daging tupai, daging sapi, daging kelinci, daging ayam,
daging rusa.
e. Buah : nanas, mangga, nangka, apel, rambutan, langsap, durian, strawberi,
salak, jeruk, pisang, jagung,
f. Bumbu atau rempah : lada, pala, seledri, cengkeh, adas, asam,lombok, jahe,
bawang, ragi, vanili, kayu manis.
3. Bisa atau cairan binatang : serangga, ular, laba-laba, ubur-ubur, dan
beberapa jenis ikan atau hewan air.
4. Getah tumbuhan : lateks, perekat akasia.
5
5. Bahan kosmetik/industri : cat rambut, parfum, pelurus rambut, pemutih
kulit, pengawet kayu, penyamak, cat.
6. Faktor lisis : panas, dingin, getaran, cahaya, tekanan.
7. Faktor kolinergik dan kegiatan jasmani
8. Idiopatik4
2.3 Faktor Predisposisi
Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko terjadinya anafilaksis:
Sifat alergen.
Beberapa zat tertentu lebih sering menyebabkan anafilaksis (obat golongan
Penisilin, pelemas otot, media kontras radiografis, aspirin, lateks, kacang-kacangan,
kerang).
Alur pemberian obat.
Pemberian obat secara parenteral lebih cenderung menimbulkan anafilaksis
dibandingkan pemberian peroral, namun anafilksis dapat terjadi melalui berbagai
jalur pemberian.
Riwayat atopi.
Adanya riwayat atopi meningkatkan risiko terjadinya anafilaksis (misalnya terhadap
lateks, media kontras radiografis, dan anafilaksis setelah latihan fisik). Sebagian
besar penderita anafilaksis idiopatik memiliki riwayat atopi. Basofil pada penderita
atopic lebih reaktif dan lebih mudah mengalami degranulasi dibandingkan penderita
nonatopik.
Kesinambungan (constancy) paparan alergen.
Pemakaian obat yang sering terputus dapat meningkatkan risiko terjadinya
anafilaksis. Sebagian besar penderita yang alergi terhadap insulin tidak mengalami
anafilaksis, kecuali jika pemberian insulin tersebut terputus dan diberikan kembali
setelah beberapa waktu.
Pemberian imunoterapi berupa injeksi ekstrak alergen pada penderita yang penyakit
alerginya sedang tidak terkendali.
6
Injeksi ekstrak alergen pada penderita asma yang belum terkendali akan
meningkatkan risiko terjadinya anafilaksis.3
2.4 PATOFISIOLOGI
Berbagai manifestasi klinis yang muncul dalam reaksi anafilaksis pada umumnya
disebabkan oleh penglepasan mediator oleh mastosit/basofil baik yang timbul segera
(dalam beberapa menit) maupun yang timbul belakangan (sesudah beberapa jam).
Pengaktifan mastosit/basofil untuk mengelurkan mediatornya tidak hanya terjadi akibat
alergi atau rangsangan yang dimediasi IgE, tetapi juga dapat terjadi oleh karena
rangsangan yang dimediasi oleh komplemen, kompleks imun, atau factor lain yang
langsung membebaskan histamine seperti panas, dingin, sinar matahari, tekanan,
hipoksia, neurohormon, sitokin, kolinergik, latihan jasmani, dan lain-lain.
Dari berbagai perangsangan yang dapat menyebabkan pelepasan mediatornya,
mekanismenya dapat melalui beberapa cara, antara lain:1,2,4
1. Reaksi yang dimediasi oleh IgE (IgE mediated anaphylaxis). Berbagai jenis alergen
bekerja dengan cara ini, baik yang berupa makanan, obat-obatan, enzim, maupun
yang berupa sengatan serangga atau ular, semen, getah tumbuhan dan lain-lain. Hal
ini bisa terjadi pada orang yang atopi atau tidak atopi yang terjadinya sesudah
pajanan ulangan (kedua dan seterusnya). Pada pajanan alergen, alergen ditangkap
oleh APC (Antigen Presenting Cells) seperti makrofag, sel dendritik, sel
langerhans, atau yang lain. Kemudian antigen tersebut dipersembahkan bersama
beberapa sitokin (IL-1, TNF, IL-8) ke sel T helper melalui MHC (major
histocompatibility complex) kelas II. Sel T helper kemudian aktif dan
mengeluarkan sitokin (IL-4 dan IL-5) yang merangsang sel B melakukan memori,
proliferasi dan peralihan menjadi sel plasma yang kemudian mengahsilkan antibody
termasuk IgE. Immunoglobulin yang spesifik ini kemudian akan melekat pada
permukaan sel mastosit, basofil, dan sel B sendiri dan beberapa sel imun yang lain.
Apabila di kemudian hari terjadi pajanan ulang dengan alergen yang sama maka
alergen itu akan ditangkap oleh IgE terutama yang melekat pada mastosit/basofil.
Ikatan alergen dengan IgE spesifiknya ini akan merangsang mastosit/basofil
7
mengeluarkan mediator, baik yang segera maupun yang lambat. Mediator tersebut
menyebabkan dilatasi venula, peningkatan permebilitas kapiler, bronkospasme,
kontraksi otot polos dan dilatasi arteriol sehingga timbul manifestasi klinis reaksi
anafilaksis berupa, urtikaria atau angioedema, edema laring, asma, muntah, kram
usus, dan renjatan yang bisa menyebabkan kematian tiba-tiba. Reaksi inilah yang
sebenarnya disebut reaksi anafilaksis.
2. Reaksi yang dimediasi kompleks imun (Immune complex mediated anaphylaxis)
atau yang dimediasi oleh komplemen (complement mediated anaphylaxis). Reaksi
ini terjadi apabila antibody yang bebas (biasanya Ig G atau Ig M tetapi bisa Ig E)
melakukan ikatan dengan antigen yang masuk membentuk kompleks imun.
Kompleks imun ini bisa langsung merangsang mastosit/basofil mengeluarkan
mediator atau melalui pengaktifan komplemen untuk mengeluarkan anafilaktoksin,
C3a, C4a, dan C5a yang akan merangsang mastosit/basofil meneluarkan mediator.
Reaksi ini sering terjadi pada pemberian transfuse darah, komponen darah, plasma
serum, immunoglobulin, kriopresipitat. Reaksi yang timbul juga dikenal sebagai
aggregate anaphylaxis.
3. Rangsangan langsung pada mastosit/basofil. Beberapa obat dan zat kontras secara
langsung dapat merangsang mastosit jaringan dan basofil darah perifer untuk
mengeluarkan mediatornya. Hal ini ditemukan pada pemberian opiate, dekstran, zat
kontras, dan lain-lain. Di samping itu beberapa faktor fisis seperti panas, dingin,
tekanan, dan lain-lain dapat secara langsung mempengaruhi pengeluaran mediator
mastosit/basofil.3,4
2.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi anafilaksis bervariasi dalam hal awal mula timbulnya gejala maupun
perjalanan klinisnya. Reaksi dapat timbul dalam beberapa menit hingga beberapa jam
setelah paparan terhadap suatu alergen.3
1. Kulit: rasa kesemutan, panas di kulit diikuti dengan kemerahan pada kulit,
pruritus, urtikaria dengan atau tanpa angioedema.
2. Saluran napas: keluarnya cairan dalam rongga hidung, hidung buntu, bersin-
bersin, rasa gatal pada hidung. Keterlibatan saluran napas bagian bawah
8
umumnya berupa bronkospasm, dan edema saluran napas yang menimbulkan
sesak napas, mengi, dan perasaan dada terhimpit.
3. Kardiovaskular: aritmia berupa gangguan irama atrium maupun ventrikel. Dapat
dijumpai iskemia miokard, palpitasi, dizziness, atau nyeri dada. Hipotensi
merupakan gejala yang paling mengkhawatirkan
4. Gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut dan spasm otot
polos, berupa nyeri perut, mual muntah atau diare.
5. Susunan saraf pusat: disorientasi, pingsan, kejang, dan penurunan kesadaran.3
2.6 PENATALAKSANAAN
Menghentikan semua obat yang diperoleh oleh penderita merupakan tindakan pertama
yang harus dilakukan. Manifestasi klinis umumnya berangsur hilang dalam beberapa hari.
Bila suatu obat merupakan obat esensial yang tidak dapat dicarikan alternatifnya, maka
harus dipertimbangkan secara cermat risiko untuk terus memberikan obat tersebut
dibandingkan risiko untuk tidak mengobati penyakit dasarnya. Cara lain yang dapat
ditempuh adalah pemberian obat melalui desentisasi.5
Pengobatan Simptomatik
Pengobatan simptomatik dimaksudkan untuk menghilangkan manifestasi klinis alergi
obat yang hingga mereda. Untuk reaksi anafilaksis:
1. Segera berikan suntikan epinephrine 1:1000, 0,3 ml intramuscular di daerah
deltoid atau paha lateral (vastus lateralis).
2. Hentikan infuse media kontras radiografis, antibiotika, produk yang berasal dari
darah, dsb; lepaskan sengatan binatang
3. Ukur tekanan darah dan nadi, pertimbangkan apakah diperlukan tindakan
resusitasi kardiopulmoner.
4. Bergantung pada derajat keparahan reaksi, respons terhadap pengobatan, dan
kondisi masing-masing penderita berikan:
a. Dipenhidramin 50 mg IV (scr pelan)
b. Ranitidin 50 mg atau Cimetidin 300 mg IV
c. Oksigen melalui masker/kanula hidung
9
d. Infus cairan garam fisiologis
e. Metilprednisolon 125 mg IV
5. Ulangi pemberian epinephrine tiap 15-20 menit bila diperlukan
6. Siapkan untuk intubasi dan antipasi terjadinya hipotensi
7. Bila tekanan darah sistolik <90 mmHg, baringkan penderita dalam posisi
trendelenburg dengan tungkai dielevasi, lakukan:
a. Pasang 2 jalur infuse dengan cairan larutan garam fisiologis tetesan cepat
(guyur).
b. Dopamin 400 mg (2 ampul) dalam 500 ml Dextrose 5% tetesan cepat
hingga tekanan darah sistolik >90 mmHg lalu dititrasi secara perlahan, bila
tidak efektif pertimbangkan
c. Norepinephrin (Levophed) 2 mg 1 ampul dalam 250 ml Dextrose 5%
hingga tekanan darah sistolik mencapai 90 mmHg, selanjutnya titrasi
secara perlahan.
8. Bila terjadi bronkospasm atau sesak napas, berikan:
a. Epinephrin seperti petunjuk di atas
b. Bila tidak efektif, pertimbangkan: salbutamol/Terbutalin secara nebulisasi
atau inhalasi
c. Oksigen hingga konsentrasi 100% menggunakan masker
9. Bila dijumpai stridor
a. Epinephrin seperti petunjuk di atas
b. Oksigen menggunakan masker
c. Intubasi atau trakeostomi untuk mengatasi obstruksi saluran napas.3,5
Untuk penderita dengan serum sickness cukup diberikan antihistamin. Reaksi yang lebih
berat membutuhkan kortikosteroid dengan dosis awal 40-60 mg per hari dan diturunkan
bertahap dalam 7-10 hari. Kadang-kadang diperlukan plasmapharesis untuk
menghilangkan kemungkinan yang tersisa.3
10
Desentisasi
Desentisasi merupakan upaya untuk mengubah kondisi penderita yang sebelumnya sangat
peka terhadap suatu obat menjadi toleran terhadap obat tersebut. Pada umumnya
desentisasi dimulai dengan pemberian obat dengan dosis rendah (1/10.000 hingga 1/1000
dosis terapi). Dosis obat selanjutnya dilipatgandakan setiap 15 menit sambil dilakukan
pemantauan secara ketat terhadap kondisi penderita.3
2.7 PENCEGAHAN
Sebelum memberikan obat kepada pasien, dokter harus mencatat secara teliti adanya
riwayat atopi, riwayat alergi sebelumnya, jenis obat yang menimbulkan reaksi alergi,
manifestasi alergi yang terjadi, jenis obat yang sedang digunakan saat ini. Pada pasien
denga riwayat alergi, pemberian obat harus dberikan secara hati-hati, jika memungkinkan
lebih baik diberikan obat secara oral.3,6
Hindari uji paparan alergen yang mengandung makanan dan obat-obatan atau pemberian
vaksin imunoterapi. Tes diagnostic atau pengobatan semacam itu seyogyanya dilakukan
oleh dokter ahli bidang alergi-imunologi. Pada penderita yang sensitif terhadap media
kontras radiografis diperlukan langkah-langkah profilaksis dan pemilihan media kontras
radiografis dengan osmolalitas rendah.3
11
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas pasien
Nama : RAH
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 15 tahun
Alamat : Jalan P. Aru gang.1 no.4 Denpasar
Bangsa : Indonesia
Suku : Lombok
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Status : Belum Menikah
Pendidikan : SMP
Tanggal MRS : 28 Desember 2012
Tanggal Kunjungan : 20 Januari 2013
3.2 Anamnesis
Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan Utama : Sesak napas
Pasien mengeluhkan sesak napas 3 hari sebelum tanggal kunjungan. Sesak dan
sulit bernapas dirasakan tiba-tiba saat pasien menerima transfusi albumin untuk ketiga
kalinya. Rasa sesak muncul sebelum transfusi berakhir, dirasakan semakin memberat
walaupun transfusi albumin telah dihentikan. Pasien mengatakan baru bisa bernapas
kembali setelah diberikan injeksi adrenalin di daerah bahu. Keluhan sesak disertai dengan
rasa pusing, mual, dan muntah. Saat kunjungan dilakukan, keluhan sudah tidak dirasakan
lagi.
Pasien merasakan pusing dan mual yang datangnya bersamaan dengan
munculnya keluhan sesak napas. Rasa pusing dan mual juga dirasakan tiba-tiba setelah
transfusi albumin dimulai. Pasien sempat muntah sebanyak satu kali, berisi cairan dan
12
makanan yang sempat dimakan pasien. Segera setelah sesak menghilang, keluhan pusing
dan mual juga menghilang. keluhan ruam/kemerahan, gatal dan bengkak saat menjalani
terapi disangkal oleh pasien.
Pasien adalah pasien rawat inap di bangsal Angsoka 2 RSUP Sanglah dengan
diagnosis Limfoma Hodgkin. Saat pertama kali masuk rumah sakit, pasien datang dengan
keluhan muncul benjolan pada leher kirinya sejak 2 tahun yang lalu. Benjolan awalnya
sebesar kelereng dan dikatakan makin lama makin membesar. Benjolan dirasakan
berdungkul-dungkul dan menetap. Tidak dirasakan nyeri saat digerakkan atau saat pasien
melakukan aktivitas.
Pasien juga mengeluh batuk sejak 5 hari SMRS. Batuk dikatakan berdahak
dengan warna dahak putih kekuningan. Pasien juga mengeluh gatal-gatal di seluruh
tubuhnya sejak beberapa minggu SMRS. Gatal tidak memberat dengan berkeringat.
Pasien juga mengalami penurunan berat badan sejak 6 bulan terakhir. Pasien juga
mengeluh rasa lemas yang disertai penurunan nafsu makan sejak 1 minggu sebelum
masuk rumah sakit. Pasien tidak mau makan nasi dan lauk pauk lainnya, hanya ingin
makan cemilan. Keluhan demam disangkal oleh pasien. Buang air kecil dan buang air
besar dikatakan normal oleh pasien.
Saat pemeriksaan (kunjungan ke rumah pasien), kondisi pasien secara umum baik,
pasien nampak ceria dan nafsu makan pasien sudah meningkat. Pasien mengatakan sudah
tidak lagi mengalami keluhan tersebut. Benjolan pada leher kirinya juga dikatakan sudah
mulai mengecil. Hanya saja terkadang pasien masih merasa cepat lelah. Sesak nafas,
batuk, mual, dan muntah tidak dikeluhkan oleh pasien saat ini.
Riwayat Penyakit Terdahulu
Pasien sebelumnya pernah mengalami keluhan seperti ini. Beberapa bulan
sebelumnya timbul benjolan ditempat yang sama kemudian dilakukan operasi. Riwayat
alergi obat-obatan tertentu disangkal oleh pasien. Riwayat penyakit jantung, diabetes,
asma disangkal oleh pasien.
13
Riwayat Keluarga
Pasien mengatakan tidak ada keluarga yang memiliki keluhan yang sama
serta tidak ada anggota keluarga yang memiliki kelainan jantung, ginjal, penyakit infeksi,
maupun riwayat keganasan.
Riwayat Sosial
Pasien merupakan siswa SLTP di SLTP Lombok. Saat ini pasien sudah tidak
bersekolah selama 2 bulan akibat penyakitnya. Dikatakan diantara teman-teman sekolah
dan sepermainannya tidak ada yang mengalami penyakit serupa dengan pasien.
3.3 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik Umum
Kesan sakit : Sedang
Kesadaran : Compos mentis (GCS: E4V5M6)
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80 kali/menit, reguler, isi cukup
Respirasi : 20 kali/menit, teratur
Temperatur aksila : 36,5 °C
Nyeri : VAS 0/10
Tinggi badan : 150 cm
Berat badan : 48 kg
14
BMI : 21,3 kg/m2
Gizi : Baik
Pemeriksaan Fisik Khusus
Mata : anemis (-/-), ikterus (-/-), refleks pupil (+/+) isokor, edema
palpebra (-/-)
THT
Telinga : sekret tidak ada, pendengaran ↓ tidak ada
Hidung : sekret tidak ada
Tenggorokan : tonsil T1/T1 hiperemis (-), faring hiperemis (-)
Lidah : ulkus (-), papil lidah atrofi (-)
Kelenjar parotis : tidak ditemukan pembesaran
Mukosa bibir : kering, stomatitis angularis (-)
Leher
JVP : PR + 0 cmH2O
Kelenjar getah bening : Regio Colli sinistra teraba massa dengan permukaan
multiple noduler, konsistensi kenyal, tidak mobile/terfiksir, ukuran 15x10x5 cm, dan
tidak ada nyeri tekan.
Thoraks
Cor: Inspeksi : tidak tampak pulsasi iktus kordis,
Palpasi : iktus kordis teraba di ICS V midclavicular line sinistra, kuat
angkat (-), thrill (-)
15
Perkusi : batas atas jantung ICS II midclavicular line sinistra, batas
kanan jantung parasternal line dekstra, batas kiri jantung
midclavicular line sinistra ICS V
Auskultasi : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-)
Pulmo: Inspeksi : simetris saat statis & dinamis, retraksi (-), spider nervi (-),
Palpasi : vokal fremitus (N/N)
Perkusi : sonor +/+
+/+
+/+
Auskultasi : vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
+/+ -/- -/-
+/+ -/- -/-
Abdomen
Inspeksi : distensi (-), spider nevi (-), caput medusa (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani, Shifting dullness (-)
Ekstremitas : hangat +/+ edema −/−
+/+ −/−
3.4 Pemeriksaan Penunjang
16
Darah lengkap (28/12/2012)
Kimia Darah (28/12/12)
Parameter Hasil Unit Remarks Normal
Parameter Hasil Unit Remarks Normal
WBC 7,72 103/μL 4,1-11,0
#Ne 3,91 103/μL 2,50-7.50
#Lym 1,81 103/μL 1,0-4,0
#Mo 0,93 103/μL 0,1 – 1,2
#Eo 0,98 103/μL 0 ,0 – 0,5
#Ba 0,07 103/μL 0,0 – 0,1
RBC 4,35 103/μL Rendah 4,00 – 5,20
HGB 9,05 g/dl Rendah 12,00 – 16,00
HCT 29,34 % Rendah 36,00-46,00
MCV 67,34 fl Rendah 80,0 – 100,00
MCH 20,79 pg Rendah 26,0 – 34,0
MCHC 30,88 g/dl Rendah 31,00 – 36,00
RDW 16,13 % Tinggi 11,60-14,80
PLT 481,7 103/μL Tinggi 140,0-440,00
17
Bilirubin total 0,23 mg/dL Rendah 0,30 – 1,10
Bilirubin Indirek 0,13 mg/dL <0,8
Bilirubin Direk 0,10 mg/dL 0,00- 0,30
Alkali Phosfatase 189,0 U/L 42,00- 115,00
SGOT 11,8 U/L 11,00- 27,00
SGPT 10,0 U/L Rendah 11,00- 34,00
Total protein 6,49 g/dL 6,40 – 8,30
Albumin 2,82 g/dL Rendah 3,40 – 4,80
Globulin 3,67 g/dL 3,20 – 3,70
BUN 6,0 mg/dL Rendah 8,00- 23,00
Kreatinin 0,43 mg/dL Rendah 0,50- 0,90
Asam urat 2,9 mg/dL 2,00-7,00
Natrium 135,00 mmol/L Rendah 136,00- 145,00
Kalium 3,84 mmol/L 3,50- 5,10
Urinalisis (20/01/13)
Parameter Hasil Satuan NilaiRujukan Remarks
PH 6,5 - 5 – 8
Leucocyte 25 Leu/µL negatif +1
Nitrite Negatif - Negatif
18
Protein Negatif mg/dL Negatif
Glucose Normal mg/dL Normal
Ketone Negatif mg/dL Negatif
Urobilinogen Normal mg/dL 1 mg/dl
Bilirubin Negatif mg/dL Negatif
Erythrocyte Negatif ery/ µL Negatif
Spesific Gravity 1,005 - 1.005 – 1.020
Colour Yellow - p.yellow – yellow
SEDIMEN URINE:
Lekosit 0-1 /lp < 6 /lp
Eritrosit Negatif /lp < 3 /lp
Selepitel
- Gepeng
- Bulat
-Berekor
--
0-2
-
-
-
/lp
/lp
/lp
--
--
--
--
Kristal - /lp --
Lain-lain - /lp --
3.5 Diagnosis
Post syok anafilaksis ec. Albumin
19
Limfoma Hodgkins IA asimtomatis (mixed cellularity regio colli sinistra)
3.6 Penatalaksanaan
Pro kemoterapi untuk Limfoma Hodgkin
IVFD NaCl 0,9% 20 tts/menit
Metilprednisolon 2x62,5 mg iv
Penanganan syok anafilaktik e.c albumin
Stop transfusi albumin
Oksigen 2 lpm
Adrenalin 0,3 cc IM
20
BAB IV
KUNJUNGAN LAPANGAN
4.1 ALUR KUNJUNGAN LAPANGAN
Kunjungan dilakukan pada tanggal 20 Januari 2013 langsung ke tempat
tinggal pasien di Bali yang berada di lingkungan Sanglah kota Denpasar. Kami
mendapat sambutan yang baik dari pasien dan keluarga. Pasien merupakan warga
Lombok yang bertempat tinggal tetap di Lombok. Sejak pasien didiagnosis dengan
Limfoma Hodgkins, pasien dan ibunya tinggal di Bali untuk sementara waktu selama
berlangsungnya pengobatan. Pasien tinggal di Bali berdua dengan ibunya di sebuah
kos-kosan yang sangat sederhana. Pasien menderita penyakit ini sudah 2 tahun,
dimana perjalanan penyakitnya sendiri diawali dengan timbulnya massa kecil pada
leher pasien yang semakin lama semakin membesar. Saat menjalani terapi di rumah
sakit, pasien diberikan albumin kemudian pasien mengalami reaksi alergi yaitu syok
anafilaktik. Hal ini memerlukan pemantauan akan aktivitas penyakitnya dan reaksi
alerginya sehingga perburukan dapat dihindari. Prinsip- prinsip umum pengelolaan
limfoma hodgkins yang disertai dengan reaksi alergi bukan hanya terbatas pada
pemakaian obat saja, namun perlu pendekatan holistik yaitu pendekatan bio - psiko –
sosial.
Penulis melakukan kunjungan ke rumah pasien atau tempat tinggal sementara
pasien di Bali dengan tujuan untuk mengidentifikasi masalah dan mendalami
langsung keadaan riil yang ada pada pasien, serta menemukan permasalahan yang
ada serta mencari solusi penyelesaiannya. Pada dasarnya pasien limfoma hodgkins
yang disertai dengan reaksi alergi memerlukan informasi yang benar dan dukungan
dari sekitarnya dengan maksud agar pasien tidak putus asa dan cepat menyerah
menghadapi pengobatan penyakitnya yang cukup lama. Adapun intervensi yang
kami lakukan adalah:
21
a. Edukasi pada pasien dan keluarga untuk meningkatkan pengetahuan
pasien tentang limfoma hodgkins (penjelasan apa itu limfoma hodgkins
dan penyebabnya, gejala, aktivitas fisik, dan kecukupan nutrisi untuk
pasien)
b. Edukasi pada pasien dan keluarga untuk meningkatkan pengetahuan
pasien tentang reaksi alergi yaitu syok anafilaktik yang dialami pasien saat
mendapatkan terapi albumin.
c. Memberikan saran pada pasien agar lebih berhati-hati jika akan
mendapatkan pengobatan dan agar pasien selalu melaporkan kepada
tenaga kesehatan bahwa dirinya memiliki alergi untuk mencegah
terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
d. Memberikan motivasi moril kepada pasien dan keluarga terkait penyakit,
reaksi alergi yang dialaminya dan berbagai permasalahannya.
e. Menyadarkan pasien atau keluarga akan pentingnya menjaga kesehatan
pasien dengan memenuhi kebutuhan nutrisi serta beraktivitas dengan baik.
4.2 DAFTAR MASALAH
Adapun permasalahan yang kami dapatkan adalah sebagai berikut :
Penderita belum sepenuhnya mengerti mengenai penyakit yang
dideritanya, serta alergi yang dimilikinya.
Pasien merasa bosan untuk menjalani terapi pengobatan terhadap
penyakitnya yang begitu lama.
Pasien di Bali tinggal berdua dengan ibunya di sebuah kos-kosan yang
sangat sederhana. Pasien bertempat tinggal tetap di Lombok.
Terkadang ia merasa jenuh disini dan ingin cepat kembali ke Lombok
agar dapat berkumpul dengan keluarga besar dan teman-temannya.
Keluarga pasien merupakan keluarga dengan tingkat ekonomi
menengah kebawah. Ayahnya sebagai tulang punggung keluarga
bekerja sebagai pembuat pintu di Lombok dengan penghasilan yang
tidak menetap. Penghasilan keluarga ini rata-rata Rp 30.000
perharinya. Ibunya adalah ibu rumah tangga yang hanya mmengurus
22
anak-anak dan keperluan rumah setiap harinya. Mereka memiliki
kesulitan dalam hal biaya untuk memenuhi kebutuhan berobat Rahim
dan biaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selama tinggal di
Bali.
Pasien adalah anak pertama dari 4 bersaudara. Ia tinggal disini
bersama ibunya. Ibu pasien mengalami kesulitan dalam mengasuh
adik-adik pasien karena adik-adik pasien masih kecil dan dengan
terpaksa ditinggalkan di Lombok untuk karena ibu pasien harus
menemani pasien untuk menjalani pengobatan di Bali.
4.3 ANALISIS KEBUTUHAN PASIEN
4.3.1 Kebutuhan Fisik-Biomedis
Kecukupan Gizi
Perhitungan kebutuhan kalori pada pasien dengan menentukan terlebih dahulu
berat badan idealnya kemudian menghitung jenis aktivitas yang dilakukan.
Data Tinggi badan pasien: 150cm, BB: 48kg
Pertama- tama kita lakukan perhitungan berat badan ideal pasien dengan
menggunakan rumus brocca:
Berat Badan Ideal = (TBcm-100) kg – 10%
= (150 cm-100)kg - 10 %
= 50 kg – 5 kg = 45 kg
Jumlah kebutuhan kalori per hari
Kebutuhan kalori basal = BB ideal x 30 kalori
= 45kg x 30 kalori = 1350 kalori
Kebutuhan untuk aktivitas ringan = +10% x 1350 kalori = 135
Jadi total kebutuhan kalori perhari untuk penderita 1350 kalori + 135 = 1485 kalori
untuk mempermudah dibulatkan menjadi 1500 kalori
23
Distribusi makanan :
1. Karbohidrat 60% = 60% x 1500 kalori = 900 kalori dari karbohidrat setara dengan
225 gram karbohidrat (900 kalori : 4 kalori/gram karbohidrat).
2. Protein 20% = 20% x 1500 kalori = 300 kalori dari protein setara dengan 75 gram
protein (300 kalori : 4 kalori/gram protein).
3. Lemak 20% = 20% x 1500 kalori = 300 kalori dari lemak setara dengan 34 gram
lemak (300 kalori : 9 kalori/gram lemak).
Akses pelayanan kesehatan
Pasien tinggal di wilayah Jalan Pulau Aru Sanglah Denpasar. Akses pelayanan
kesehatan sangat dekat dengan RSUP Sanglah. Jarak dari rumah pasien ke RSUP
sanglah tergolong tidak cukup jauh, ± 100 m.
Lingkungan
Saat ini di Bali pasien tinggal dengan ibunya. Di rumahnya di Lombok, pasien
tinggal dengan ayah, ibu, dan ketiga adiknya. Rumah kos pasien di Bali terdapat 5
kamar tidur, 2 kamar mandi, 2 dapur, dan ruangan pemilik tempat kos. Lingkungan
tempat tinggal bersih dan cukup nyaman untuk ditinggali namun suasana dikamar
pasien sangat pengap dan berantakan. Pasien tinggal 1 kamar dengan ibunya dengan
luas kamar 3x1,5 m. Kamar pasien sangat kecil, udaranya sangat panas dan pengap
karena tidak adanya jendela serta penataan kamar yang sangat berantakan.
4.3.2 Analisis Keadaan Bio-Psikososial
Faktor biologis
Kualitas kehidupan sehari-hari pasien dikatakan baik, karena pasien bisa
melakukan semua aktivitas dasar seperti makan, minum, berjalan,
membersihkan diri, mengontrol BAB dan BAK tanpa ada masalah dan tidak
perlu bantuan. Seharinya harinya pasien hanya melakukan aktivitas ringan.
24
Dalam lingkungan biologis atau keluarga inti pasien tidak ada anggota
keluarga pasien yang memiliki penyakit yang sama.
Faktor psikososial
Pasien pada awalnya malu terhadap benjolan yang muncul pada
lehernya itu sehingga pasien ke dokter dan meminta agar benjolan tersebut
dioperasi. Beberapa bulan setelah operasi, timbul benjolan di tempat yang
sama. Akhirnya pasien kembali ke rumah sakit agar benjolan tersebut dapat
ditangani. Di Rumah Sakit Mataram pasien sempat didiagnosis TB kelenjar
dan sudah menjalani pengobatan selama 6 bulan, namun keadaan pasien tidak
juga membaik. Setelah menjalani pemeriksaan lebih lanjut, pasien akhirnya
didagnosa dengan limfoma Hodgkin dan dirujuk ke RSUP Sanglah untuk
menjalani pengobatan lebih lanjut. Pasien awalnya merasa cemas dan depresi
akibat lamanya proses penanganan penyakitnya yang sudah memakan waktu
kurang lebih 8 bulan namun tidak juga membaik. Pasien juga merasa sedih
harus berpisah dari keluarga dan lingkungannya di Lombok untuk menjalani
pengobatan di Bali. Awal dari perjalanan penyakitnya pasien sering murung
dan tidak mau makan, namun pasien berusaha untuk tegar dan pasrah
menerima keadaanya. Pasien dan keluarga percaya takdir Tuhan adalah baik
dan ia pasti bisa menjalaninya. Dalam keadaan sakit ini pasien sangat
membutuhkan pengertian dan dukungan dari keluarga dalam menjalani
aktivitas sehari-hari dan menjalani pengobatannya termasuk untuk
menjalankan kemoterapinya yang berlangsung dalam waktu yang lama. Pasien
juga harus didorong agar mau menjalani semua rangkaian kemoterapi dan agar
pasien siap menghadapi efek samping yang mungkin timbul dari kemoterapi
tersebut. Ibu pasien sangat memperhatikan kondisi kesehatannya dan
kebutuhan anaknya dan selalu memberikan motivasi kepada anaknya.
4.4 EDUKASI DAN SARAN
Adapun edukasi yang kami berikan pada pasien dan keluarga saat melakukan
kunjungan ke tempat tinggalnya:
25
1. Menjelaskan tentang apa itu limfoma hodgkins dan reaksi alergi berupa syok
anafilaktik, penyebab, dan gejala-gejala yang ditimbulkannya.
Limfoma hodgkins merupakan suatu penyakit keganasan primer yang
menyerang limfoid dan jaringan pendukungnya. Dapat disebabkan oleh
virus yang menimbulkan kelainan genetic atau disebabkan oleh
kekurangan imun. Syok anafilaktik merupakan reaksi alergi sistemik dan
dapat terjadi akibat berbagai macam bahan. Reaksi tersebut dapat tibul
begitu cepat tanpa tanda-tanda peringatan sebelumnya dan merupakan
salah satu kegawatdaruratan medik. Gejalanya dapat berupa gejala kulit
(urtikaria, angioedema, kemerahan pada kulit wajah, gatal), gejala
pernafasan (nafas cepat, suara parau, edema laring, sesak nafas), gejala
pada jantung (berdebar, hipotensi, aritmia), gejala pada saluran pencernaan
(disfagia, rasa panas di ulu hati, mual, muntah), dan gejala lain
(konjungtivitis, rhinitis, pusing, nyeri kepala, kejang, dll)
Perjalanan Penyakit
Penyakit limfoma hogdkins sering terjadi pada laki-laki dengan usia antara
15-34 tahun dan diatas 55 tahun. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa
terjadi peningkatan kadar IgE yang signifikan pada pasien dengan
limfoma, dimana tingginya kadar IgE berpengaruh terhadap angka
kejadian hipersensitivitas, termasuk di dalamnya adalag reaksi anafilaktik.
Syok anafilaktik sendiri merupakan reaksi alergi sistemik yang terjadi
sangat cepat setelah pemberian alergen dan tanpa diawali oleh suatu tanda.
Kejadian ini dapat terjadi dari berbagai paparan seperti oral, subkutan,
topical, intramuscular, namun yang dapat dengan sangat cepat
menimbulkan gejala dan gejala yang ditimbulkan lebih berat adalah
melalui parenteral.
Gejala-gejala Penyakit
Gejala awal dari penyakit limfoma hodgkins yang pertama ditandai
dengan pembesaran kelenjar getah bening yang tidak nyeri. Diikuti dengan
26
gejala sistemik berupa demam, berkeringat malam hari, lemah, pruritus
seluruh tubuh. Bisa juga terdapat nyeri pada perut dan nyeri pada tulang.
Gejala dari syok anafilaktiknya sendiri meliputi gejala kulit
(urtikaria, angioedema, kemerahan pada kulit wajah, gatal), gejala
pernafasan (nafas cepat, suara parau, edema laring, sesak nafas), gejala
pada jantung (berdebar, hipotensi, aritmia), gejala pada saluran pencernaan
(disfagia, rasa panas di ulu hati, mual, muntah), dan gejala lain
(konjungtivitis, rhinitis, pusing, nyeri kepala, kejang, dll).
Faktor Resiko, Penyebab, dan Upaya Pencegahan
Reaksi anafilaksis adalah reaksi alergi sistemik yang dapat terjadi
akibat berbagai macam bahan yang sering dijumpai dalam kehidupan
sehari-hari yang seringkali terjadi dengan begitu cepat dan merupakan
salah satu kondisi gawat darurat medik.
Menifestasi klinik dari reaksi anafilaksis ini bermacam-macam
meliputi gejala kulit (urtikaria, angioedema, kemerahan pada kulit dan
wajah, pruritus), gejala pernafasan (takipneu, suara parau, edema laring,
bronkospasm, sesak napas); gejala kardiovaskular (takikardi, hipotensi,
angina, aritmia); gejala gastrointestinal (disfagia, rasa panas di ulu hati,
kram perut, hiperperistaltik, diare, mual dan muntah); dan gejala lainnya
(konjungtivitis, rhinitis, nyeri kepala, pusing, kontraksi uterus, kejang, dan
lain-lain). Melalui penjelasan ini, diharapkan pasien dan keluarganya
memahami gejala-gejala yang muncul sebagai pertanda munculnya reaksi
alergi sistemik yakni anafilaksis sehingga pasien segera dibawa ke rumah
sakit sebelum terjadi akibat yang fatal, seperti shock.
Menjelaskan zat-zat yang dapat memicu timbulnya reaksi anafilaksis.
- Makanan: kacang-kacangan, kerang, putih telur, susu, biji-bijian
- Bisa sengatan serangga: Tawon, lebah, semut api
- Protein : streptokinase, insulin, vaksin, lateks
27
- Antibiotika: penisilin, sepalosporin, sulfametoksazol, Trimetoprim,
Fluorokuinolon, Vankomisin,
- Bahan diagnostic atau terapi: media kontras radiografi, zat warna
fluoresin, immunoglobulin
Melalui penjelasan ini, diharapkan pasien dan keluarganya
memahami apa saja yang dapat memicu pasien yang telah memiliki
riwayat anafilaksis ini ketika berhadapan dengan zat-zat tersebut untuk
mencegah munculnya reaksi anafilaksis, ada baiknya dilakukan tes alergi,
sehingga pasien tahu dengan pasti zat-zat apa saja yang menjadi alerginya.
Memastikan pasien untuk mengenali dengan baik alergen yang
memicu dirinya terkena reaksi anafilaksis, yakni pada kasus ini pasien
memiliki riwayat alergi rifampisin, ciprofloksasin, flumin, clindamycin,
dan primaquin. Dengan pasien mengetahui dengan baik riwayat alerginya,
diharapkan pasien dapat memberikan informasi yang jelas kepada dokter,
sehingga dokter tidak memberikan obat yang dapat memicu reaksi
anafilaksisnya.
Menyarankan pasien untuk sebaiknya tidak mengkonsumsi obat-
obatan secara parenteral, lebih baik melalui jalur oral yang biasanya
walaupun mengakibatkan reaksi anafilasis gejalanya lebih ringan.
Menyarankan kepada pasien dan keluarganya untuk
memperhatikan lingkungan rumah, karena kamar pasien tidak ditemukan
ada jendela atau ventilasi, sehingga terkesan gelap dan kurang pertukaran
udara. Lingkungan rumah yang bersih dan rapi juga senantiasa sebaiknya
dijaga.
Memberikan saran kepada pasien terkait dengan aktivitas fisik dan nutrisi,
antara lain:
Cukup istirahat, hindari kelelahan.
28
Mengatasi kelelahan: Lelah adalah masalah yang dapat mempengaruhi
kehidupan sehari-hari. Kita harus belajar untuk menyelingi kegiatan kita
dengan istirahat.
Makan sehat dan seimbang
Olahraga: Berjalan, perenggangan dapat membantu pasien tetap kuat dan
menjaga stamina tubuh. Ingat untuk diselingi dengan istirahat.. Kalau
dirasakan letih sekali atau tidak enak lebih dari 2 jam setelah olahraga,
maka sesi olahraga tersebut harus dikurangi menjadi lebih singkat.
Memberikan saran kepada pasien untuk selalu menjaga kebersihan diri dan
lingkungan sekitar pasien. Biasakan mencuci tangan sebelum makan
ataupun minum, sesudah BAK dan BAB.
Memberikan saran pada keluarga untuk selallu memberikan dukungan dan
semangat kepada pasien agar pasien terhindar dari stress dan memudahkan
penerimaan diri pasien.
4.5 DENAH RUMAH
Sanggah kamar kamar ruangan pemilik kos
kamar
WC
Kamar kamar
WC
Dapur&
kamar
pasien
dapur
29
4.6 DOKUMENTASI
Dapur Kamar tidur pasien
Kamar mandi dan WC Sumber air (Sumur bersama)
30
Dokter Muda bersama pasien dan ibu pasien saat kunjungan
31
DAFTAR PUSTAKA
1. Kemp SF, Lockey RF. Anaphylaxis: a review of causes and mechanisms. J
Allergy Clin Immunol. Sep 2002;110(3):341-8.
2. Simons FE. Anaphylaxis. J Allergy Clin Immunol. Feb 2008;121(2 Suppl):S402-
7; quiz S420.
3. Soegiarto G, Konthen P G, Effendi C, Baskoro A. Anafilaksis. In: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam FK Unair. Surabaya. 2007.
4. Brunner & Suddarth. Anafilaksis. In Buku Ajar Medikal Bedah (edisi 8, volume
2). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2002
5. Alrasbi M, Sheikh A. Comparison of international guidelines for the emergency
medical management of anaphylaxis. Allergy. Aug 2007;62(8):838-41
6. Webb LM, Lieberman P. Anaphylaxis: a review of 601 cases. Ann Allergy Asthma
Immunol. Jul 2006;97(1):39-43.