reaksi anafilaksis

42
DIAGNOSA DAN PENATALAKSANAAN REAKSI ANAFILAKSIS Pembimbing: dr. Hildebrand Hanoch Watupongoh, SpPD Disusun Oleh : Rebeka 0761050067 KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM PERIODE 4 FEBRUARI – 30 MARET 2013 FAKULTAS KEDOKTERAN

Upload: rebecka-art

Post on 16-Feb-2015

126 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

penjelasan mengenai reaksi anafilaktik, mendiagnosa, dan algoritma penatalaksanaannya.

TRANSCRIPT

Page 1: Reaksi Anafilaksis

DIAGNOSA DAN PENATALAKSANAAN

REAKSI ANAFILAKSIS

Pembimbing:

dr. Hildebrand Hanoch Watupongoh, SpPD

Disusun Oleh :

Rebeka

0761050067

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

PERIODE 4 FEBRUARI – 30 MARET 2013

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

JAKARTA

Page 2: Reaksi Anafilaksis

1

BAB I

PENDAHULUAN

Anafilaksis adalah reaksi hiperservitivitas sistemik hebat yang ditandai

hipotensi / gangguan pernafasan atau keduanya yang berpotensial mengancam

nyawa dan disebabkan bahan kimia dan mediator - mediator IgE yang dihasilkan sel

mast.

Anafilaksis berasal dari 2 kata, yaitu ana (balik), phylaxis,

(perlindungan).Dalam hal ini, respons imun yang seharusnya melindungi, justru

merusak jaringan. Mungkin, kasus anafilaksis fatal untuk pertama kalinya terjadi di

Mesir pada tahun 2641 SM, yang diketahui dari hieroglif pada makam Raja Menes,

yang wafat mendadak setelah disengat serangga.

Tetapi istilah anafilaksis ini pertama kali digunakan oleh Richet dan Portier

pada tahun 1902, untuk menerangkan terjadinya renjatan yang disusul dengan

kematian pada anjing yang disuntik bisa anemon laut. Pada suntikan pertama, tidak

terjadi reaksi, tetapi pada suntikan berikutnya sesudah beberapa hari terjadi reaksi

sistemik yang berakhir dengan kematian.

Coombs dan Gell membedakan 4 jenis reaksi hipersensitivitas, dan anafilaksis

merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I.

Reaksi yang gejala klinisnya sama dengan anafilaksis, tetapi penyebabnya

tidak dimediasi IgE atau idiopatik, dikenal dengan istilah Anafilaktoid. Dalam

praktek, istilah anafilaksis dan anafilaktoid biasa disamakan oleh karena gejala yang

ditampilkan dan cara penanggulangannya sama. Reaksi anafilaksis timbulnya tiba-

tiba, tidak terduga dan potensial mematikan, serta memerlukan penanganan yang

cepat dan tepat. Oleh karena itu harus dimengerti dan selalu diwaspadai.

Page 3: Reaksi Anafilaksis

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. DEFINISI

Secara harafiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan

phylaxis yang berarti perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang seharusnya

melindungi (prophylaxis) justru merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari

pada melindungi (anti-phylaxis atau anaphylaxis).1,2

  Reaksi anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai

oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah jantung

dan tekanan arteri yang menurun hebat. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu reaksi

antigen-antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam

sirkulasi. Reaksi anafilaktik merupakan kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk

menggambarkan anafilaksis secara keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat

terjadi tanpa adanya hipotensi, seperti pada anafilaksis dengan gejala utama obstruksi

saluran napas. Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari

anafilaksis yang merupakan syok distributif, ditandai oleh adanya hipotensi yang

nyata akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan disertai kolaps pada

sirkulasi darah yang dapat menyebabkan terjadinya kematian. 2,3,4

Page 4: Reaksi Anafilaksis

3

II.2. EPIDEMIOLOGI 3

Angka kejadian yang pasti sukar diperoleh karena sering tidak dilaporkan.

Kematian akibat reaksi anafilaksis hebat diperkirakan terjadi 0,4 kasus per juta

penduduk per tahun.

Dalam bidang anastesi, kejadian reaksi anafilaksis diperkirakan terjadi 1 per

5000 sampai 1 per 25.000 kasus per tahun.

Di Amerika Serikat, diperkirakan 1-2% pasien yang disuntik penisilin

mengalami reaksi anafilaksis dan ± 400 – 800 diantaranya meninggal per tahun.

Reaksi anafilaktoid oleh zat kontras ± 5% dari pengguna dan ± 250 – 1000 orang

diantaranya meninggal pertahun.

Reaksi anafilaksis oleh makanan sukar ditentukan oleh karena tidak ada data

yang akurat. Diperkirakan 1/5 – 1/3 penduduk dunia pernah mengalami reaksi alergi

makanan.

Reaksi anafilaksis lebih sering terjadi pada mereka yang mempunyai riwayat

atopi atau reaksi alergi sebelumnya. Umumnya tidak ditemukan predisposisi ras, jenis

kelamin, umur atau musim. Dilaporkan reaksi anafilaksis karena susu dan telur lebih

sering pada anak-anak, sedang reaksi anafilaktoid karena zat kontras lebih sering

pada orang dewasa.

II.3. FAKTOR PREDISPOSISI DAN ETIOLOGI

Berbagai zat atau keadaan dapat menyebabkan reaksi anafilaksis/Anafilaktoid.

Ada yang berupa antigen seperti protein (serum, hormon, enzim, bisa binatang,

makanan dan sebagainya), atau polisakarida (dekstran, jadam, dan sebagainya), juga

ada yang berupa hapten, yang nanti bertindak sebagai antigen apabila berkaitan

dengan protein (antibiotik, anestesi lokal, analgetik, zat kontras, dan lain-lain).

Page 5: Reaksi Anafilaksis

4

Antigen tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui oral, suntikan, sengatan,

inhalasi atau tipikal. 1,4,5

Secara umum penyebab Anafilaksis / anafilaktoid dapat dikelompokkan

sebagai berikut :

Tabel I

Zat-zat dan keadaan yang telah dilaporkan menimbulkan reaksi

anafilaksis/anafilaktoid

AP Arwin Akib, Zakiudin Munasir, Nia Kurniati. Buku ajar Alergi-imunologi anak edisi

kedua,Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008. 207-223

1. Antibiotik : Penisilin dan derivatnya, sefalosporin,

tetrasiklin, eritromisin, streptomisin

2. Nonsteroid anti

inflammatory agents

: Salisilat, aminopirine

3. Narkotik analgetik : Morfin, kodein, meprobamate

4. Obat lain : Protain, klorpropamide, zat besi parenteral,

iodida, tiazid

5. Anestesi lokal : Prokain, lidokain, cocain

6. Anestesi umum : Thipental

7. Obat pelumpuh otot : Suksinil kolon, tubokurarin

8. Produk darah dan antiserum : Eritrosit, leukosit, dan platelet transfusi,

gamma globulin, rabies, tetanus, antitoksin

difteri, antibisa ular dan laba-laba

9. Agent diagnosis : Radiokontras iodida

10. Makanan : Telur, susu, kacang, ikan, udang dan lain-

lain

11. Bisa/cairan binatang : Ular, laba-laba, serangga dan beberapa

jenis hewan air/ikan

12. Hormon : Insulin, ACTH, estrogen, progesteron,

Page 6: Reaksi Anafilaksis

5

hormon pituitari

13. Enzim dan zat biologi : Asetilsistein, enzim pankreas

14. Getah tumbuhan : Lateks, perekat, akasia

15. Bahan kosmetik / industri : Cat rambut, parfum, pelurus rambut,

pemutih kulit, cat

16. Faktor fisis : Panas, dingin, tekanan, cahaya, getaran

17. Faktor kolinergik dan kegiatan jasmani

18. Idiopatik

II.4. PATOFISIOLOGI

Berbagai manifestasi yang muncul dalam reaksi anafilaksis pada umumnya

disebabkan oleh penglepasan mediator oleh mastosit/basofil, baik yang timbul segera

(dalam beberapa menit), maupun yang timbul belakangan (sesudah beberapa jam).

Pengaktifan mastosit/basofil untuk mengeluarkan mediatornya tidak hanya terjadi

akibat alergi atau rangsangan yang dimediasi IgE, tetapi juga dapat terjadi oleh

karena rangsangan yang dimediasi oleh komplemen, kompleks imun, atau faktor lain

yang langsung membebaskan histamin seperti panas, dingin, tekanan, latihan jasmani,

dan lain-lain. 1

Dari berbagai perangsang yang dapat menyebabkan pelepasan mediatornya,

mekanismenya dapat melalui beberapa cara : 3,5

1. Reaksi yang dimediasi IgE (IgE mediated anaphylaxis)

Berbagai jenis alergen bekerja melalui cara ini, baik yang berupa makanan, obat-

obatan, enzim maupun yang berupa sengatan serangga / ular, semen suami, getah

tumbuhan dan lain-lain. Hal ini dapat terjadi pada orang yang atopi atau tidak

atopi yang terjadinya sesudah pajanan ulangan (kedua dan seterusnya). Pada

Page 7: Reaksi Anafilaksis

6

pajanan alergen, alergen ditangkap oleh APC (Antigen Presenting Cells) seperti

makrofag, sel dendritik, sel langerhans atau yang lain. Kemudian antigen tersebut

dipersembahkan bersama beberapa sitokin (IL-1, TNF IL-8) ke sel T.Helper

melalui MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II, sel T helper

kemudian aktif dan mengeluarkan sitokin (IL-4 dan IL-5) yang merangsang sel B

melakukan memori, proliferasi dan peralihan menjadi sel plasma yang kemudian

menghasilkan antibodi termasuk IgE. Imunoglobulin yang spesifik kemudian

akan melekat pada permukaan mastosit, basofil, dan sel B sendiri dan beberapa

sel imun yang lain. Apabila di kemudian hari terjadi pajanan ulang dengan

alergen yang sama maka alergen itu akan ditangkap oleh IgE terutama yang

melekat pada mastosit/basofil. Ikatan alergen dengan IgE spesifiknya ini akan

merangsang mastosit/basofil mengeluarkan mediator, baik yang segera maupun

yang lambat. Mediator tersebut menyebabkan dilatasi venula, peningkatan

permeabilitas kapiler, bronkospasme, kontraksi otot polos dan dilatasi arteriol

sehingga timbul manifestasi klinis reaksi anafilaktik berupa,

urtikaria/angioedema, edema laring, asma, muntah, kram usus, dan renjatan yang

bisa menyebabkan kematian tiba-tiba. Reaksi inilah yang sebenarnya disebut

reaksi anafilaktik.

Page 8: Reaksi Anafilaksis

7

Gambar IA. Kontak Alergen dengan APC (Antigen Presenting Cells)

Gambar IB. Respon sel yang dimediasi IgE untuk mengeluarkan alergen

Page 9: Reaksi Anafilaksis

8

2. Reaksi yang dimediasi kompleks imun atau komplemen

Reaksi ini terjadi apabila antibodi yang bebas (biasnaya IgG atau IgM tetapi juga

bisa IgE) melakukan ikatan dengan antigen yang masuk membentuk kompleks

imun. Kompleks imun ini bisa langsung merangsang mastosit/basofil

mengeluarkan mediator atau melalui pengaktifan komplemen untuk

mengeluarkan anafilaktoksin, C3a, C4a, dan C5a yang akan merangsang

mastosit/basofil mengeluarkan mediator. Reaksi ini sering terjadi pada pemberian

transfusi darah, komponen darah, plasma, serum, imunoglobulin, kriopresipitat.

Reaksi yang timbul juga dikenal sebagai aggregate anaphylaxis

CLASSIC PATHWAY ALTERNATIVE PATHWAY

IMMUNE COMPLEXES AGGREGATED IgE

PLASMIN COMPLEX POLYSACCHARIDES

TRYPSIN

c1 c1(activated)

c2 + c4 c4,2 (activated)

c3

c3a + c3b

c5a + c5 b c5

c6,7,8,9

membrane damage

Gambar 2. Reaksi yang dimediasi kompleks imun atau komplemen

Page 10: Reaksi Anafilaksis

9

3. Gangguan Metabolisme Asam Arakidonat

Aspirin dan beberapa antiinflamasi nonsteroid lainnya dapat menimbulkan reaksi

anafilaktik dalam 15 menit sampai 2 jam setelah pemasukan obat tersebut. Reaksi

ini diduga terjadi akibat gangguan metabolisme asam arakidonat. Aspirin dan

antiinflamasi non-steroid menghambat siklo-oksigenase suatu enzim yang

diperlukan untuk sintesis prostaglandin dari asam arakidonat. Akibatnya

pembentukan prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin menurun, tetapi

produksi jalur lipoksigenase meningkat.

ARACHIDONIC ACID

Cyclo-oxygenase Lipo-oxygenase

Prostaglandins SRS-A (LTC4, LTD4, LTE4)

PGD2 LTB4

PGE2

PGF2

Gambar. 3. Gangguan Metabolisme Asam Arakidonat

4. Rangsangan Langsung pada Mastosit/Basofil

Beberapa obat dan zat kontras secara langsung dapat merangsang mastosit

jaringan dan basofil darah perifer untuk mengeluarkan mediatornya. Hal ini

ditemukan pada pemberian opiat, antibiotik tertentu, pelemas otot, dekstran, zat

kontras, dan lain-lain. Di samping itu beberapa faktor fisis seperti panas, dingin,

tekanan dan lain-lain dapat secara langsung mempengaruhi pengeluaran mediator

mastosit/basofil.

5. Idiopatik (Idiopathic Reccurent Anaphylaxis)

Page 11: Reaksi Anafilaksis

10

Ada beberapa pasien yang mengalami reaksi anafilaktik berulang-ulang tanpa

diketahui pencetus atau penyebabnya termasuk disini anafilaksis akibat latihan,

sering terjadi sesudah makan-makanan tertentu sebelum latihan. Beberapa ibu

mengalami anafilaktik berulang yang tidak ditemukan penyebabnya (disebut

catamenial anaphylaxis), ternyata hipersensitif terhadap progesteron endogen dan

positif pada tes kulit dengan medroksiprogesteron. Sebagian di antaranya

mengalami anafilaksis bersiklus menurut fase luteal siklus haidnya. Pada

umumnya anafilaktik rekuren idiopatik tidak ditemukan penyebabnya dan

diagnosisnya didasarkan gejala klinis dan bukti peninggian kadar histamin dalam

urinnya.

Secara umum dan garis besar urutan proses dalam kejadian reaksi

anafilaktik/anafilaktoid dapat disebutkan sebagai berikut :

I. Perangsangan pada membran mastosit dan sel basofil, rangsangan

dilakukan oleh antigen IgE atau agregat imun yang lain atau langsung oleh

faktor-faktor kimiawi, fisis, atau neurogenik

II. Aktivasi enzim-enzim membran dan rangsangan kedua dari

sitoplasma. Terjadi degradasi metabolik asam arakidonat menjadi subunit-

subunit aktif dan penurunan rasio cAMP/cGMP dalam sel

III. Penglepasan mediator inflamasi

A. Yang siap langsung dilepas

- Histamin

- Serotonin

- Triptase

- NCF (Neutrophils Chmeotactic Factor)

- ECF (Eosinophils Chemotactic Factor)

Page 12: Reaksi Anafilaksis

11

B. Yang baru dibentuk dan segera dilepas :

- Leukotrin (LTB4, LTC4, LTD4)

- Tromboksan

- Prostaglandin (PGD2)

- Platelet Activating Factor (PAF)

- Kinin dan kaskade faktor hageman

IV. Respons patologis fungsional

- Peningkatan permeabilitas vaskular

- Vasodilatasi venul

- Konstriksi bronkus

- Kontraksi otot polos usus

- Dilatasi arteriol

V. Anafilaksis

- Urtikaria + angioedema

- Edema laring

- Asma

- Muntah, sakit perut, diare

- Hipotensi/renjatan

Page 13: Reaksi Anafilaksis

12

Gambar.4. IgE terdiri atas 2 rantai Berat (Epsilon) dan 2 rantai ringan

(Kappa/Lamda) yang dihubungkan oleh ikatan disulfida

Gambar.5. Aktivasi Faktor Gagema

Tabel 2. Mediator yang dihasilkan sel Mast dan Basofil

Mediator Struktur Kimia Efek Fisiologis

1. Histamin 5-B-Imidazolyethylamine

(BNM=III)

Reseptor HI :

Vasokonstriksi, vasodilatasi,

meningkatkan permeabilitas vascular,

kontraksi otot polos bronkus

Reseptor H2:

COLLAGEN IN EXPOSED BASEMENT MEMBRANE

HAGEMAN FACTOR(FACTOR XII)

INTRINSIC COAGULATION

FIBRINOLYTIC ACTIVITY

KININ GENERATION

VASODILATIONHEMOSTATIC ALTERATIONS

INCREASED PERMEABILITY

Page 14: Reaksi Anafilaksis

13

Vasodilatasi, meningkatkan denyut

jantung, kontraksi miokard, sekresi

lambung, inhibitor sel T

2. ECF-A Asam tetrapeptida

(BM = 360 – 390)

Kemotaksis eosinofil

3. NEF Protein

(BM = > 75.000)

Kemotaksis neutrofil

4. SRS-A

(LTC4, LTD4, LTE4)

Lipo-oksigesae, produk

asam arakidonat

Meningkatkan permeabilitas vascular

kontraksi otot polos bronkus

5. Prostaglandin

(PGD2, PGE2, PGF2)

Siklo-oksigenase, produk

asam arakidonat

PGD2 : Kontraksi otot polos

bronkus

PGE2 : Dilatasi otot polos

bronkus

PGF2: Kontraksi otot polos

bronkus

6. LTB4 Lipo-oksigenase, produk

asam arakidonat

Kemotaksis eosinofil dan neutrofil

7. PAF Asetilgliseril eter

fosforilcolin (BM1000)

Agregasi platelet

II.5. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3 tipe

dari reaksi anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit sampai 1 jam

setelah terpapar dengan alergen; reaksi moderat terjadi antara 1 sampai 24 jam setelah

Page 15: Reaksi Anafilaksis

14

terpapar dengan alergen; serta reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam setelah terpapar

dengan alergen.6,7

Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi

kadang-kadang langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis juga dibagi

dalam derajat ringan, sedang, dan berat. Derajat ringan sering dengan keluhan

kesemutan perifer, sensasi hangat, rasa sesak di mulut dan tenggorok. Dapat juga

terjadi kongesti hidung, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin, dan mata

berair. Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam pertama setelah pemajanan. Derajat

sedang dapat  mencakup semua gejala-gejala ringan ditambah bronkospasme dan

edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan mengi. Wajah kemerahan,

hangat, ansietas, dan gatal-gatal juga sering terjadi. Awitan gejala-gejala sama dengan

reaksi ringan. Derajat berat mempunyai awitan yang sangat mendadak dengan tanda-

tanda dan gejala-gejala yang sama seperti yang telah disebutkan diatas disertai

kemajuan yang pesat kearah bronkospame, edema laring, dispnea berat, dan sianosis.

Bisa diiringi gejala disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare, dan kejang-kejang.

Henti jantung dan koma jarang terjadi. Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas,

aritmia ventrikel atau renjatan yang irreversible.5,6,8

Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat terjadi

pada satu atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi,

gastrointestinal, kulit, mata, susunan saraf pusat dan sistem saluran kencing, dan

sistem yang lain. Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan ialah rasa takut,

Page 16: Reaksi Anafilaksis

15

perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada tungkai,

sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut.1,4,5

  Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang

berlebihan. Pada rhinitis alergi dapat dijumpai allergic shiners, yaitu daerah di bawah

palpebra inferior yang menjadi gelap dan bengkak. Pemeriksaan hidung bagian luar

di bidang alergi ada beberapa tanda, misalnya: allergic salute yaitu pasien dengan

menggunakan telapak tangan menggosok ujung hidungnya ke arah atas untuk

menghilangkan rasa gatal dan melonggarkan sumbatan; allergic crease garis

melintang akibat lipatan kulit ujung hidung; kemudian allergic facies terdiri dari

pernapasan mulut, allergic shiners dan kelainan gigi geligi. Bagian dalam hidung

diperiksa untuk menilai warna mukosa, jumlah, dan bentuk sekret, edema, polip

hidung, dan deviasi septum. Pada kulit terdapat eritema, edema, gatal, urtikaria, kulit

terasa hangat atau dingin, lembab/basah, dan diaphoresis.4,6

Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru menurun,

penurunan saturasi oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafas, dan

penurunan volume tidal. Saluran nafas atas bisa mengalami gangguan jika lidah atau

orofaring terlibat sehingga terjadi stridor  Suara bisa serak bahkan tidak ada suara

sama sekali jika edema terus memburuk. Obstruksi saluran napas yang komplit

adalah penyebab kematian paling sering pada anafilaksis. Bunyi napas mengi terjadi

apabila saluran napas bawah terganggu karena bronkospasme atau edema

mukosa.Selain itu juga terjadi batuk-batuk, hidung tersumbat, serta bersin-bersin.4,6

Page 17: Reaksi Anafilaksis

16

Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran sampai

terjadi koma merupakan gangguan pada susunan saraf pusat. Pada sistem

kardiovaskular terjadi hipotensi, takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-tanda

iskemia otot jantung (angina), kebocoran endotel yang menyebabkan terjadinya

edema, disertai pula dengan aritmia. Sementara pada ginjal, terjadi hipoperfusi ginjal

yang mengakibatkan penurunan pengeluaran urine (oligouri atau anuri) akibat

penurunan GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya gagal ginjal akut.

Selain itu terjadi peningkatan BUN dan kreatinin disertai dengan perubahan

kandungan elektrolit pada urine.4,6

Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis sel

sentral, peningkatan kadar enzim hati, dan koagulopati. Gejala yang timbul pada

sistem gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut dan spasme otot

polos, berupa nyeri abdomen, mual-muntah atau diare. Kadang kadang dijumpai

perdarahan rektal yang terjadi akibat iskemia atau infark usus.4,6

Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati, gangguan

fungsi trombosit, dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi. Sementara gangguan

pada system neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi kelenjar adrenal, resistensi

insulin, disfungsi tiroid, dan perubahan status mental. Pada keadaan syok terjadi

perubahan metabolisme dari aerob menjadi anaerob sehingga terjadi peningkatan

asam laktat dan piruvat. Secara histologis terjadi keretakan antar sel, sel

membengkak, disfungsi mitokondria, serta kebocoran sel.4,6

Page 18: Reaksi Anafilaksis

17

Tabel 3. Manifestasi klinis reaksi Anafilaksis

II.6. TES DIAGNOSTIK 4,5,6

Skin Prick Test (SPT)

Skin Prick Test (tes kulit epikutan) dan tes kulit intradermal

merupakan tes untuk mengetahui adanya IgE spesifik terhadap obat

tertentu yang berguna hanya untuk beberapa obat dengan berat

molekul rendah (penisilin, relaksan otot, barbiturat). Karena reagen

belum tersedia, klinisi harus membuat sendiri reagennya. Meskipun

kadang dapat dijumpai hasil positif pada pemberian obat yang dapat

melepaskan histamin tanpa melalui perantaraan IgE, sepereti misalnya

pada pemberian propofol atau atracurium.

Radio Allergo Sorbent Assay (RAST)

Merupakan solid phase radioimmunoassay yang mengukur circulating

allergen spesific IgE antibodies. Kegunaannya terbatas sebagai tes

Page 19: Reaksi Anafilaksis

18

diagnosis alergi obat, karena seperti tes kulit, immunochemistry dari

kebanyakan obat belum diketahui. Tes ini telah dikembangkan untuk

penisilin (penicilloyl moiety), insulin, chymopapain, relaksan otot,

thiopental, protamine dan lateks

.

Tes Provokasi

Tes Provokasi oral dapat menjadi gold standar dalam menentukan

adanya alergi obat. Tes ini harus dikerjakan dengan pengawasan yang

ketat dengan alat bantu resusitasi yang tersedia.

Tes untuk reaksi hipersenstivitas tipe II dan III

Tes hemaglutinasi (Coombs test direk atau indirek) telah digunakan

untuk menentukan adanya antibodi IgG dan IgM spesifik untuk

membantu diagnosis anemia hemolitik yang diperantarai obat. Karena

keterbatasannya (harus menjaga kesegaran eritrosit yang terkonyugasi

dengan obat ) sekarang lebih banyak menggunakan metode Enzyme-

linked immunosorbent assay (ELISA). Yang terpenting adalah

menentukan hubungan IgG dan IgM dengan manifestasi klinis, karena

antibodi dapat positif tanpa kelainan imunopatologi.

Tes untuk reaksi hipersensitivitas tipe IV

Patch test dapat menentukan etiologi reaksi yang diperantarai sel T,

terutama eczematous, erupsi terinduksi obat. Tes ini dapat

Page 20: Reaksi Anafilaksis

19

diaplikasikan pada kelainan kulit karena obat serta rekasi sistemik.

Kegunaan metode ini tergantung dari pembawa obat dan tempat

aplikasinya. Patch test berguna untuk antikonvulsan seperti

carbamazepin dan penisilin. Metode ini terbatas penggunaannya

karena terbatasnya reagen yang sesuai dengan determinan imunogenik

dari obat.

Tes-tes lain

Biopsi dapat membantu menegakkan diagnosis dan perjalanan respon

inflamasi, tetapi hanya hal umum saja yang bisa didapatkan (tipe

infiltrat seluler, adanya edema). Pemeriksaan imunohistokimia dapat

memeberikan informasi tambahan. Tryptase yang merupakan mast cell

spesific protease dapat meningkat pada reaksi anafilaksis. Konsentrasi

yang meningkat didapatkan pada obat anestesi, lateks dan beberapa

antibiotik. Tes lain yang dapat berguna antara lain basofil histamin

release, proliferasi limfosit, aktivasi komplemen dan tes lymphocyte

cytotoxicity. Tes-tes ini masih dalam penelitian, belum digunakan

untuk evaluasi ADR.

II.7. DIAGNOSIS 5

a. Anamnesis yang teliti : Obat-obatan/makanan yang didapat

Page 21: Reaksi Anafilaksis

20

b. Pemeriksaan fisik : Kelainan timbul secara akut/dapat juga

beberapa hari sesudah masuknya obat/makanan

c. Laboratorium :

- Histamin; meningkat sejak 5 – 30 menit post reaksi

- Triptase : dihasilkan dari sel mast

- Serum triptase : meningkat beberapa jam dan digunakan untuk

konfirmasi episode anafilaksis

II.8. DIAGNOSIS BANDING 5

a. Reaksi vasovagal

Sering dijumpai setelah pasien mendapat suntikan. Pasien tampak

pingsan, pucat, dan berkeringat. Dibandingkan dengan reaksi anafilaksis,

pada reaksi vasovagal, nadanya lambat dan tidak terjadi sianosis.

Meskipun tekanan darahnya turun, tetapi masih mudah diukur dan

biasanya tidak terlalu rendah, seperti anafilaksis

b. Infark miokard akut

Gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atau tanpa penjalaran.

Gejala ini sering diikuti rasa sesak, tetapi tidak tampak tanda-tanda

obstruksi jalan nafas. Pemeriksaan EKG dan enzim akan membantu

diagnosis

c. Reaksi hipoglikemik

Disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau sebab lain. Pasien

tampak lemah, pucat, berkeringat sampai tidak sadar. Tekanan darah

Page 22: Reaksi Anafilaksis

21

kadang-kadang menurun, tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi

jalan nafas. Pemeriksaan kadar glukosa darah dan pemberian terapi

glukosa menyokong diagnosis reaksi hipoglikemik.

II.9. PENGOBATAN 5,6,8

a. First line therapies

epinefrin, IV fluids dan oksigen

b. Second line therapi

anthistamin, kortikosteroid, glucagon, albuterol dan aminofilin untuk

mencegah reaksi anafilaksis ulangan dan penanganan lanjutan reaksi

anafilaksis.

Manajemen tindakan pada reaksi anafilaksis/anafilaktoid

Prioritas utama : ventilasi dan bebaskan jalan napas

1. Baringkan pasien dengan kaki lebih tinggi dari

kepala

2. Saluran nafas harus bebas

Apabila pasien tidak sadar dilakukan ekstensi kepala, dorong mandibula ke

depan dan buka mulut. Jika perlu dapat dilakukan intubasi trakea

3. Tornikuet dipasang proksimal dari tempat

penyuntikan/gigitan binatang untuk menghambat penyebaran antigen

4. Epinefrin diberikan 0,3 – 0,5 ml dalam larutan 1

: 1000 secara subkutan

5. Oksigen diberikan, karena biasanya terjadi

hipoksemia akibat edema jalan nafas bagian atas dan hipotensi

Page 23: Reaksi Anafilaksis

22

6. Jika hipotensi tidak membaik, berikan epinefrin

0,3 – 0,5 ml dalam larutan 1 : 1000 secara Sc atau IV

7. Aminofilin diberikan bila asma merupakan

gejala utama

Dosis yang diberikan 5 – 6 mg/kgBB yang dilarutkan dalam larutan garam

dan diberikan intravena secara perlahan

8. Diberikan cairan intravena, dengan tujuan

menigkatkan tekanan darah yang timbul akibat hipovolemik. Cairan yang

digunakan ialah larutan ringer laktat atau plasma volume expanders

9. Monitor keadaan hemodinamik

Jika perlu, berikan obat inotropik dan zat vasoaktif

10. Jika terjadi henti napas dan henti jantung

dilakukan resusitasi jantung paru dan berikan obat-obat resusitasi

Semua pasien dengan anafilaksis sebaiknya diberikan anti histamin dan

kortikosteroid. Antihistamin pada fase akut dapat menghilangkan pruritus, misalnya

difenhidramin 25 – 50 mg intravena secara perlahan-lahan. Kortikosteroid tidak

bermanfaat pada fase akut, tapi bermanfaat pada syok yang berkepanjangan dan

penyempitan saluran nafas, dapat diberikan metilprednisolon 125 mg intravena.

Pasien dengan anafilaksis yang keadaannya tidak stabil, sebaiknya

dipindahkan ke ICU semua pasien yang menerima epinefrin, harus diobservasi

minimal 6 jam. Jika keadaannya sudah pulih, pasien boleh dipulangkan.

Page 24: Reaksi Anafilaksis

23

Tabel.4. Dosis obat untuk reaksi anafilaksis dan alergi 6

Drug Adult Dose Pediatric Dose

Epinephrine IV single dose: 100 g of

1:100.000 IV over 5-10

min

IV infusion –4 g/min

SC: 0.3 – 0.5 mL 1:1000

IV infusion: 0.1 – 0,3

g/min maximum 1.5

g/kg/min

SC: 0.01 mL/kg of 1:1000

IV fluids: NS or LR 1 – 2 L 20 mL/kg

Diphenhydramine

(Benadryl)

25-50 mg q6h IV, IM, or

PO

1 mg/kg q6h IV, IM or PO

Ranitidine (Zantac) 50 mg IV over 5 min 0.5 mg/kg IV over 5 min

Methylprednisolone

(Solumedrol)

125 mg IV 1 – 2 mg/kg IV

Albuterol Single treatment : 2.5 mg

nebulized (0.5 ml 0.5%

solution)

Continuous nebulization: 5

– 10 mg/h

Single treatment: 1.25 mg

nebulized (0.25 mL 0.5%

solution)

Continuous nebulization: 3 –

5 mg/h

Glucagon I mg IV q%min untul

hypotension resolves,

followed by 5 – 15 g/min

infusion

50 g/kg IV q5min

Aminophylline 5 – 6 mg/kg IV 5 – 6 mg/kg IV

Prednisone 40 – 60 mg/d divided bid

or qd

1 – 2 mg/d divided bid or qd

Page 25: Reaksi Anafilaksis

24

Page 26: Reaksi Anafilaksis

25

Gambar 6. Algoritma reaksi anafilaktik 9

II.10. PENCEGAHAN 5

a. Hindari alergen penyebab

b. KIT anafilaktik

Pasien yang sensitif sengatan serangga atau makanan harus selalu

membawa kit anafilaktik yang terdiri dari semprit berisi adrenalin dan

tablet anti histamin

c. Desensitisasi

Sengatan serangga atau beberapa jenis binatang lain sudah dapat dicegah

dengan cara desensitisasi yang berupa penyuntikan berulang dari dosis

rendah sampai dianggap cukup dalam jangka waktu lama

Page 27: Reaksi Anafilaksis

26

BAB III

RINGKASAN

Reaksi anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai

oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah jantung

dan tekanan arteri yang menurun hebat. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu reaksi

antigen-antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam

sirkulasi. Reaksi anafilaktik merupakan kasus kegawatan, karena anafilaksis yang

berat dapat terjadi tanpa adanya hipotensi. Syok anafilaktik merupakan salah satu

manifestasi klinis dari anafilaksis yang merupakan syok distributif, ditandai oleh

adanya hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan

disertai kolaps pada sirkulasi darah yang dapat menyebabkan terjadinya kematian.

Gambaran klinis anafilaksis dapat mulai dalam beberapa detik atau menit

sesudah terpajan alergen dan gejala ringan dapat menetap sampai 24 jam meskipun

diobati. Gejala dapat dimulai dengan gejala prodromal baru menjadi berat, tetapi

kadang-kadang langsung berat. Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan

ialah gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada tungkai, sesak, serak,

mual, pusing, lemas, dan sakit perut. Gejala dari reaksi anafilaktik juga dapat muncul

pada multiorgan, bahkan dapat menyebabkan kematian akibat gagal nafas, aritmia

ventrikel atau syok yang irreversibel.

Diagnosis dari reaksi anafilaktik harus ditegakkan secara cepat dan tepat,

melalui anamnesis yang teliti untuk mengetahui alergen penyebab, pemeriksaan fisik,

laboratorium, serta dengan beberapa test kepekaan pada kulit.

Page 28: Reaksi Anafilaksis

27

Pada penanganan reaksi anafilaktik yang menjadi prioritas utama adalah

ventilasi dan bebaskan jalan napas. Aminofilin diberikan bila asma merupakan gejala

utama dengan dosis 5 – 6 mg/kgBB yang dilarutkan dalam larutan garam dan secara

diberikan intravena dan perlahan. Diberikan cairan intravena, untuk menigkatkan

tekanan darah yang timbul akibat hipovolemik. Monitor keadaan hemodinamik.

Semua pasien dengan anafilaksis sebaiknya diberikan anti histamin dan

kortikosteroid. Antihistamin pada fase akut dapat menghilangkan pruritus, misalnya

difenhidramin 25 – 50 mg intravena secara perlahan-lahan. Kortikosteroid tidak

bermanfaat pada fase akut, tapi bermanfaat pada syok yang berkepanjangan dan

penyempitan saluran nafas, dapat diberikan metilprednisolon 125 mg intravena.

Page 29: Reaksi Anafilaksis

28

DAFTAR PUSTAKA

1. Baratawidjaja KG. Imunologi dasar. Edisi 9. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;

2010.p.370-83

2. Tintinalli, dkk. Emergency Medicine Fifth Edition. American College of Emergency

Physicians; 2000.30. 242 – 246

3. Working Group of the Resuscitation Council (UK) Emergency treatment of

anaphylactic reactions Guidelines for healthcare providers. January 2008.

4. AP Arwin Akib, Zakiudin Munasir, Nia Kurniati. Buku ajar Alergi-imunologi

anak edisi kedua,Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008. 207-223

5. Perhimpunan, Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid II: Jakarta : Balai Penerbit FK UI; 2001. 43 – 48

6. Anonim. Anaphylactic Shock. 2008 [cited: 20 Maret 2009]. Available from: URL:

www.duniakedokteran.cq.bz.7.

7. Sampson HA, et al. Clinicl Immunologist and Allergist Pricess. Margaret and

Fremantle Hospitals, Western Australia; 20068.

8. Morgan, 6 Edward, MD. Dkk. Clinical Anesthesiology Third Edition. Lange

Medical Books/McGRaw Hill Medical Publishing Division; 2002. 47 – 902 – 906

9. http://www.docstoc.com/docs/13143429/Treatment-of-severe-Anaphylactic-

Reations

Page 30: Reaksi Anafilaksis

29