syok anafilaksis (autosaved)

24
 BAB I PENDAHULUAN Anafil aksis merupakan suatu reaksi sistemik akut, berpo tensi fatal denga n mekanisme yang  bervariasi dan presentasi klinis yang bervariasi pula. Meskipun pengenalan yang tepat dan terapi anafilaksis telah diterapkan, baik pasien maupun petugas medis terkadang gagal untuk mengenali dan mendiagnosis dini tanda dan gejala kondisi tersebut. Manifestasi klinis syok anafilaksi sangat beragam. Walaupun demikian, tanda yang paling sering muncul adalah gejala pada kulit berupa angioedema, urtikaria, eritema dan pruritus, Pemberian epinefrin intramuskular sedini mungkin pada paha lateral merupaka terapi lini  pertama, walaupun diagnosis belum pasti. Def ini si ya ng tepat dar i ana fil aksi s buk anl ah sesu atu ya ng pen tin g dal am pen angana n eme rgens i kas us reak si ana fila ksi s, i dak ada def ini si uni ver sal unt uk men des kri psi kan anafil aks is. !er das arkan "ur opean Acade my of Al ler gol ogy and #li nic al $mmuno logy  %omenclature #ommittee mendefinisikan bahwa anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas yang berat, mengancam nyawa, bersifat general atau sistemik. &al ini dikarakteristikan oleh  progresivitas perburukan yang cepat dan mengancam nyawa pada jalan napas dan'atau  pernapasan dan'atau sirkulasi dan umumny a disertai perubahan pada kulit dan mukosa. (et ela h pen angana n fase aku t ana fil aks is, pasi en har us dib serv asi sela ma per iod e waktu tertentu karena resiko munculnya respon bifasik atau kemungkinan reaksi ulangan kettika efek epinefrin hilang. Para ahli merekomendasikan observasi sebaiknya dilakukan ) sampai *  jam setelah reaksi anafilaksis dan observasi yang lebih lama pada gejala berat atau refrakter.

Upload: irene-djedoma

Post on 04-Nov-2015

90 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

no description added

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

Anafilaksis merupakan suatu reaksi sistemik akut, berpotensi fatal dengan mekanisme yang bervariasi dan presentasi klinis yang bervariasi pula. Meskipun pengenalan yang tepat dan terapi anafilaksis telah diterapkan, baik pasien maupun petugas medis terkadang gagal untuk mengenali dan mendiagnosis dini tanda dan gejala kondisi tersebut.Manifestasi klinis syok anafilaksi sangat beragam. Walaupun demikian, tanda yang paling sering muncul adalah gejala pada kulit berupa angioedema, urtikaria, eritema dan pruritus, Pemberian epinefrin intramuskular sedini mungkin pada paha lateral merupaka terapi lini pertama, walaupun diagnosis belum pasti. Definisi yang tepat dari anafilaksis bukanlah sesuatu yang penting dalam penanganan emergensi kasus reaksi anafilaksis, Tidak ada definisi universal untuk mendeskripsikan anafilaksis. Berdasarkan European Academy of Allergology and Clinical Immunology Nomenclature Committee mendefinisikan bahwa anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas yang berat, mengancam nyawa, bersifat general atau sistemik. Hal ini dikarakteristikan oleh progresivitas perburukan yang cepat dan mengancam nyawa pada jalan napas dan/atau pernapasan dan/atau sirkulasi dan umumnya disertai perubahan pada kulit dan mukosa.

Setelah penanganan fase akut anafilaksis, pasien harus dibservasi selama periode waktu tertentu karena resiko munculnya respon bifasik atau kemungkinan reaksi ulangan kettika efek epinefrin hilang. Para ahli merekomendasikan observasi sebaiknya dilakukan 4 sampai 6 jam setelah reaksi anafilaksis dan observasi yang lebih lama pada gejala berat atau refrakter.BAB II

TINJAUAN PUSTAKAI. Definisi

Secara global, definisi anafilaksis dinyatakan sebagai suatu reaksi hipersensitivitas general atau sistemik yang serius dan mengancam nyawa dan : sebuah reaksi alergi yang serius dengan onset cepat dan dapat menyebabkan kematian. Berdasarkan European Academy of Allergology and Clinical Immunology Nomenclature Committee mendefinisikan bahwa anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas yang berat, mengancam nyawa, bersifat general atau sistemik. Hal ini dikarakteristikan oleh progresivitas perburukan yang cepat dan mengancam nyawa pada jalan napas dan/atau pernapasan dan/atau sirkulasi dan umumnya disertai perubahan pada kulit dan mukosa.

WHO menyatakan bahwa istilah reaksi anafilaktoid telah dieliminasi,dan semua episode klinis yang menyerupai reaksi yang dimediasi IgE disebut anafilaksis. WHO merekomendasikan anafilaksis terbagi menjadi reaksi imunologis dan non-imunologis (termasuk reaksi anafilaktoid) dan reaksi imunologis dibagi menjadi reaksi akibat pelepasan mediator basofil/sel mast yang dimediasi IgE dan yang terjadi melalui mekanisme imunologis lain (misalnya transfusi darah).

II. Epidemiologi

Pendataan global yang sebenarnya mengenai kejadian anafilaksis dari segala jenis pencetus pada populasi umum masih belum diketahui karena kurangnya pengenalan oleh pasien dan tenaga kesehatan dan underdiagnosis oleh profesional kesehatan. Selain itu dapat pula disebabkan oleh kasus yang tidak dilaporkan, penggunaan variasi definisi kasus, penggunaan pengukuran angka kejadian yang berbeda seperti insiden atau prevalensi, dan undercoding merupakan problematika dalam penelitian epidemiologi. Walaupun demikian, anafilaksis merupakan kasus yang tidak jarang terjadi dan angka kejadiannya yang cenderung meningkat walaupun terdapat perbedaan secara geografis. Prevalensi dunia terjadinya kasus anafilaksis adalah sekitar 0,05-2% kasus. Dalam kondisi pelayanan kesehatan, anafilaksis dianggap sebagai penyebab kematian yang jarang terjadi. Tingkat kefatalan anafilakasis terkadang tidak terdiagnosis karena tidak adanya riwayat yang detail dari keluarga, investigasi kasus kematian yang tidak lengkap, kurangnya temuan patologis yang spesifik pada pemeriksaan postmortem, dan kurangnya tes laboratorium yang spesifik. Insiden anafilaksis diperkirakan 1-3/10.000 penduduk dengan mortalitas sebesar 1-3/1 juta penduduk. Sementara di Indonesia, khususnya di Bali, angka kematian dari kasus anafilaksis dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005 dan mengalami peningkatan prevalensi pada tahun 2006 sebesar 4 kasus/10.000 total pasien anafilaksis.III. Etiologi/ Pencetus Spesifik Anafilaksis

Reaksi anafilaksis terjadi ketika sistem imun tubuh berekasi dengan antigen yang dianggap sebagai penyerang atau benda asing oleh tubuh. Sel darah putih kemudian memproduksi antibodi dalm hal ini adalah IgE yang bersirkulasi pada peredaran darah dan bereaksi dengan benda asing yang masuk. Perlekatan antigen-antobodi ini merangsang pelepasan mediator-mediator seperti histamin dan menyebabkan berbagai reaksi dan gejala pada berbagai organ dan jaringan. 43.1 Anafilaksis Terhadap Makanan

Makanan merupakan penyebab tersering anafilaksis dalam kasus rawat jalan, dan alergi makanan menyumbang 30% kasus fatal anafilaksis. Makanan tersering yang menyebabkana anafilaksis termasuk kacang-kacangan, ikan, kerang, susu sapi, kedelai, dan telur. Biji wijen belakangan ini pun diidentifikasikan sebagai penyebab yang signifikan pada anafilakasis yang diinduksi makanan. Hal yang sering terjadi berhubungan dengan anafilakasi diinduksi makanan yang fatal : reaksis pada umumnya terutama akibat golongan kacang-kacangan; organ yang terkena terutama berupa manifestasi kulit dan respirasi, pasien pada umumnya adalah remaja dan dewasa muda; pasien memiliki riwayat alergi makanan sebelumnya dan asma; dan gagal dalam pemberian epinefrin secara tepat. Reaksi anafilaksis bifasik dapat terjadi pada lebih dari 25% kasus fatal. Pasien dengan alergi makanan sebaiknya waspada pada label kandungan makanan yang akan dikonsumsi. 3.2 Anafilaksis akibat lateks alami

Sensitisasi lateks terjadi akibat reaktivitas yang dimediasi IgE terhadap beberapa antigen dari Hevea brasiliensis, yang merupakan sumber lateks. Sensitisasi terjadi pada 12& tenaga kesehatan, lebih dari 75% pasien spina bifida, dan pada pasien yang mendapatkan prosedur operatif multipel. Lateks dilaporkan menyebabkan lebih dari 17% kasus anafilaksis intraoperatif. Di samping reaksi kutan, hipotensi, dan respirasi, kolaps kardiovaskular hipotensi merupakan gambaran reaksi anafilaksis saat operasi. Anafilaksis yang diinduksi latex dapat terjadi pada kasus yang melibatkan kontaks langsung dengan lateks, terutama sarung tangan atau instrumen, atau dengan aerosolisasi antigen lateks yang melekat pada tepung jagung pada sarung tangan lateks. Reaksi anafilaksis terjadi segera atau lambat yaitu dalam 30 hingga 60 menit. 3.3 Anafilaksis saat Anatesi Umum, Periode Intraoperatif, dan Postoperatif.

Insiden anafilaksis selama proses anestesi dilaporkan terjadi pada 1 dari 4000 hingga 1 dari 25.000 kasus. Manifestasi kulit merupakan hal penting dan merupakan indikator anafilakasis yang sering digunakan. Kolaps kardiovaskular merupakan manifestasi utama anafilaksis dan dapat dibingungkan dengan penyebab lain kolaps kardiovaskular. Bradikardi lebih sering terjadi pada kasus anafilaksis akibat anestesi dibandingkan pada kondisi lain dimana takikardi merupakan manifestasinya.

3.4 Anafilaksis akibat Cairan Seminal

Hipersensitivitas plasma seminal merupakan diagnosis eksklusi. Riwayat yang lengkap merupakan hal yang penting dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain seperti penyakit menular seksual, sensitivitas lateks, transfer protein makanan atau protein obat dari partner sex pria terhadap wanita atau kontaktan lain misalnya pembalut. Anafilaksis akibat cairan seminal terjadi dalam hitungan detik hingga menit setelah ejakulasi dan responnya berupa: pruritus difus dan urtikaria; nyeri pelviks akibat kontraksi uterus; gejala nasal berupa rhinorhea dan bersin; wheezing, dispnea, dan/atau edema laring; dan pada kasus jarang berupa hipotensi dan syok. Pencegahan yang tepat adalah penggunaan kondom.

3.5 Anafilaksis akibat Aktivitas

Gejalanya berupa rasa lemas, tubuh hangat, wajah kemerahan, pruritus, dan urtikaria, dan pada kasus jarang berkembang menjadi angioedema, wheezing, obstruksi jalan napas atas, dan kolaps. Pada beberapa pasien, gejala tersebut terjadi apabila terdapat faktor lain yang berkontribusis atau co-trigger berupa konsumsi makanan tertentu, obat-oabatan tertentu, atau kadar polen yang tinggi. 3.6 Anafilaksis akibat Alergen Ekstrak Imunoterapi (Vaksin)

Pasien dengan asma, khususnya asma tidak terkontrol, beresiko tinggi menjadi anafilaksis yang beresiko tinggi mengancam nyawa. Anafilaksis pada pasien yang juga mengkonsumsi agen penghambat beta adrenergik lebih sukar untuk ditangani. 3.7 Anafilaksis akibat Obat-Obatan dan Agen Biologis

Anafilaksis terutama disebabkan oleh obat-obatan golongan penisilin.

3.8 Hipersensitivitas terhadap gigitan serangga

Anafilaksis akibat gigitan serangga terjadi pada 3% kasus dewasa dan 1% kasus anak dan dapat berakibat fatal. Reaksi kulit sistemik sering terjadi pada anak, syok hipotensi sering terjadi pada dewasa, dan manifestasi respirasi terjadi dalam persentase yang sama pada semua golongan usia. Venom imunoterapi harus direkomendasikan pada pasien dengan sensitivitas sistemik terhadap gigitan serangga karena berefektif 90%-98%.

3.9 Anafilaksis Idiopatik

Gambar 1. Mekanisme anafilaksis dan faktor pencetusIV. PatofisiologiAnafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe I (immediate type reaction) oleh Coombs dan Gell (1963), timbul segera setelah tubuh terpajan dengan alergen. Anafilaksis diperantarai melalui interaksi antara antigen dengan IgE pada sel mast, yang menyebabkan terjadinya pelepasan mediator inflamasi. Reaksi ini terjadi melalui 2 fase:

1. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya dengan reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan basofil.

2. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang sama dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.

Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah preformed mediators.

Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase Efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.

Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan penderita.

Gambar 2. Patofisiologi Reaksi AnfilaksisV. Manifestasi KlinisAnafilaksis terdiri dari kombinasi berbagai gejala yang bisa muncul beberapa detik, menit, sampai beberapa jam setelah terpapar alergen. Manifestasi klinis anafilaksis yang sangat bervariasi terjadi sebagai akibat berbagai macam mediator yang dilepaskan dari sel mastosit jaringan dan basofil yang memiliki sensitivitas yang berbeda pada setiap organ yang dipengaruhinya. Manifestasi klinis dari anafilaksis sangat bervariasi yaitu dari yang bersifat ringan, sedang, sampai berat, dimana syok anafilaktik merupakan contoh manifestasi klinis yang berat.Reaksi anafilaksis dapat dilihat dalam bentuk urtikaria, angiodema, obstruksi respirasi sampai dengan kolaps pembuluh darah. Di samping itu terdapat pula bentuk lainnya, seperti rasa takut, kelemahan, keringat dingin, bersin, rinorhea, asma, rasa tercekik, disfagia, mual dan muntah, nyeri abdomen, inkontinensia, sampai dengan kehilangan kesadaran. Walaupun demikian, sebab kematian utama dari anafilaksis adalah syok dan obstruksi saluran pernafasan. Obstruksi saluran pernafasan dapat berupa edema laring, bronkospasme dan edema bronkus.Gejala prodromal pada umumnya adalah lesu, lemah, rasa tidak enak yang sukar dilukiskan, rasa tidak enak di dada dan perut, rasa gatal di hidung dan palatum. Gejala ini merupakan permulaan dari gejala lainnya.Gejala pada organ pernapasan didahului dengan rasa gatal di hidung, bersin dan hidung tersumbat, diikuti dengan batuk, sesak, mengi, rasa tercekik, suara serak, dan stridor. Disamping itu terjadi pula edema pada lidah, edema laring, spasme laring, dan spasme bronkus.Gejala kardiovaskular ditandai dengan takikardi, palpitasi, hipotensi sampai syok, pucat, dingin, aritmia, hingga sinkop. Pada EKG dapat dijumpai beberapa kekainan seperti gelombang T datar, terbalik, atau tanda-tanda infark miokard.Gejala gastrointestinal berupa disfagia, mual, muntah, rasa kram diperut, diare yang kadang-kadang disertai darah, dan peningkatan peristaltik usus.Gejala pada kulit berupa gatal-gatal, urtikaria, angioedema pada bibir, muka, atau ekstrimitas. Penderita juga biasanya mengeluh adanya rasa gatal dan lakrimasi pada mata. Sedangkan gejala pada sistem saraf pusat dapat berupa gelisah dan kejang.VI. DiagnosisDiagnosis anafilaksis didasarkan terutama pada gejala dan tanda klinis serta deskripsi yang detail mengenai episode akut, terutama aktivitas dan kejadian yang mendahului. Kriteria diagnosis anafilaksis disajikan dalam tabel 1.Tabel 1. Kriteria Klinis untuk Mendiagnosis Anafilaksis

Bila terdapat 1 dari 3 kriteria yang dipenuhi setelah terekspos alergen :

1Onset akut (menit hingga jam) dengan keterlibatan kulit, mukosa, atau keduanya (misalnya: kemerahan selutruh tubuh, pruritus, rasa panas, bibir-lidah-uvula bengkak) dan minimal 1 dari berikut:

a) Gangguan respirasi (dispnea, wheezing, bronkospasme, stridor, penurunan PEF, hipoksemia)b) Penurunan tekanan darah atau gejala yang berhubungan dengan disfungsi organ (hipotonia (kolaps), sinkop,inkontinensia)

22 atau lebih berikut yang terjadi segera setelah terpapar sesuatu yang menyerupai alergen (menit hingga beberapa jam):a) Keterlibatan kulit-jaringan mukosa ( gatal kemerahan, rasa panas, generalized hives, bibir-lidah-uvula bengkak)

b) Penurunan tekanan darah atau gejala yang berhubungan ( hipotonia (kolaps), sinkop, inkontinensia)

c) Gejala gastrointestinal persisten (kram abdominalis yang sangat nyeri, muntah)

3Penurunan tekanan darah setelah terpapar alergen yang diketahui pada pasien (menit hingga beberapa jam):a) Bayi dan anak: tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau >30% penurunan tekanan darah sistolik

b) Dewasa: tekanan darah sistolik 30% penurunan dari personal baseline.

Hal penting dalam mendiagnosis anafilaksis adalah riwayat yang terperinci episode tersebut, termasuk informasi tentang semua paparan dan kegiatan beberapa jama yang mendahului timbulnya gejala, misalanya aktivitas fisik, konsumsi obat, obat bebas dan obat rekreasional, etanol, infeksi akut seperti demam, stres emosional, riwayat bepergian, dan status premenstruasi pada wanita.

Kunci diagnosis melipatkan pola pengenalan: onset yang mendadak yang dikarakteristikan oleh tanda dan gejala yang berlangsung dalam hitungan menit atau jam setelah terpapar pencetus potensial yang diketahui, terkadang diikuti oleh progresi cepat gejala dan tanda dalam hitungan jam. Target organ yang terlibat pun bervariasi. Secara tipikal, gejala terjadi pada 2 atau lebih sistem tubuh : kulit dan mukosa, saluran napas atas dan bawah, saluran gastrointestinal, sistem kardiovaskular, dan sistem saraf pusat. Pada beberapa kejadian, anafilaksis dapat didiagnosis ketika hanya satu sistem tubuh yang terlibat misalnya setelah tergigit serangga, onset mendadak gejala kardiovaskular dapat merupakan manifestasi tunggal.

Kelompok yang RentanAnafilaksis pada kehamilan menempatkan baik ibu dan bayi dalam resiko tinggi terjadinya kejadian fatal atau enselofati hipoksia/iskemia. Selama trimester pertama, kedua, dan ketiga, pencetus yang berpotensial sama dengan yang terdapat pada wanita tidak hamil. Selama proses persalinan dan kelahiran, anafilaksis biasanya dicetuskan oleh intervensi iatrogen seperti oksitosin,atau lebih sering terjadi antimikroba seperti penisilin atau sefalosforin yang diberikan pada ibu untuk profilaksis infeksi streptokokus B hemolitikus pada neonatus.

Pada bayi, anafilaksis susah untuk dikenali. Beberapa tanda anafilaksis juga merupakan kejadian normal pada bayi seperti kemerahan dan disfonia setelah menangis, muntah setelah minum, dan inkontinensia. Bayi sehat memiliki tekanan darah yang rendah dan iarama jantung istirahat yang tinggi sehingga kriteria sesuai umur lah yang digunakan seperti pada tabel 1. Remaja rentan untuk mengalami anafilaksis berulang karena perilaku yang beresiko seperti kegagalan untuk menghindari faktor resiko.

Pada usia pertengahan dan usia tua beresiko tinggi untuk menjadi anafilaksis yang fatal karena penyakit kardiovaskular yang telah diketahui ataupun subklinis dan pengobatan yang digunakan untuk mengobatinya. Normalnya, sel mast terdapat di sekitar arteri koroner dan pembuluh darah intramural, antara serat miokardial dan bagian intima arteri. Pada pasien dengan penyakit jantung iskemik, jumlah dan densitas sel mast kardiak meningkat dan juga terdapat pula pada plak aterosklerosis. Saat terjadi anafilaksis, histamin, leukotrin, PAF, dan mediator lainnya akan dilepas dari sel mast dan berkontribusi dalam vasokonstriksi dan spasme arteri koroner.

VII. Diagnosis Banding

Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaksis. Gambaran klinis yang tidak spesifik dari anafilaksis mengakibatkan reaksi tersebut sulit dibedakan dengan penyakit lainnya yang memiliki gejala yang sama. Hal ini terjadi karena anafilaksis mempengaruhi seluruh sistem organ pada tubuh manusia sebagai akibat pelepasan berbagai macam mediator dari sel mast dan basofil, dimana masing-masing mediator tersebut memiliki afinitas yang berbeda pada setiap reseptor pada sistem organ. Beberapa kondisi yang menyerupai reaksi anafilaksis dan syok anafilaktik adalah reaksi vasovagal, infark miokard akut, reaksi hipoglikemik, reaksi histeris, sindrom karsinoid, asma bronkiale, dan rhinitis alergika.Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik, seperti: 1. Reaksi vasovagal

Reaksi vasovagal sering dijumpai setelah pasien mandapat suntikan. Pasien tampak pingsan, pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi anafilaktik, pada reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan darahnya turun tetapi masih mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti anafilaktik.

2. Infark miokard akut

Pada infark miokard akut gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atau tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak tetapi tidak tampak tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada anafilaktik tidak ada nyeri dada.

3. Reaksi hipoglikemik

Reaksi hipoglikemik disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau sebab lain. Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar. Tekanan darah kadang-kadang menurun tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi anafilaktik ditemui obstruksi saluran napas.

4. Reaksi histeris

Pada reaksi histeris tidak dijumpai adanya tanda-tanda gagal napas, hipotensi, atau sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan meskipun hanya sementara. Sedangkan tanda-tanda diatas dijumpai pada reaksi anafilaksis.

5. Carsinoid syndrome

Pada syndrom ini dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan, nyeri kepala, diare, serangan sesak napas seperti asma.

6. Chinese restaurant syndrome

Dapat dijumpai beberapa keadaan seperti mual, pusing, dan muntah pada beberapa menit setelah mengkonsumsi MSG lebih dari 1gr, bila penggunaan lebih dari 5gr bisa menyebabkan asma. Namun tekanan darah, kecepatan denyut nadi, dan pernapasan tidak berbeda nyata dengan mereka yang diberi makanan tanpa MSG.

7. Asma bronchial

Gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk berdahak, dan suara napas yang berbunyi ngik-ngik. Dan biasanya timbul karena faktor pencetus seperti debu, aktivitas fisik, dan makanan, dan lebih sering terjadi pada pagi hari.

8. Rhinitis alergika

Penyakit ini menyebabkan gejala seperti pilek, bersin, buntu hidung, gatal hidung yang hilang-timbul, mata berair yang disebabkan karena faktor pencetus, mis. debu, terutama di udara dingin.dan hampir semua kasus asma diawali dengan RA

VIII. Pendekatan Sistemik untuk Terapi AnafilaksisPendekatan sistemik merupakan hal yang penting dalam menangani pasien dengan anafilaksis. Setelah dilakukan penilaian cepat pada pasien, terapi dapat dilakukan sesuai dengan protokol. Hilangkan paparan terhadap faktor pencetus, bila memungkinkan dan dilakukan penilaian segera terhadap circulation, airway, dan breathing pasien serta status mental, kulit, dan estimasi berat badan. Secara tepat dan simultan, panggil bantuan dan segera injeksi epinefrin intamuskular pada mid anterolateral paha, dan tempatkan pasien dalam posisi supinasi dan pisisi kaki lebih tinggi dari jantung pasien. Bila diindikasikan pada saat kapanpun bila memungkinkan, segera setelah dikenali, berikan oksigen suplementasi, pemasangan kateter intravena dan resusitasi cairan intravena, dan mulai resusitasi kardiopulmonal dengan kompresi dada. Dalam interval reguler, lakukan monitor tekanan darah, fungsi dan irama jantung, status respirasi dan oksigenasi dan lakukan elektrokardiogram, mulai dilakukan monitor noninvasif kontinyu. Epinefrin (Adrenalin) : Lini Pertama Terapi WHO mengklasifikasikan epinefrin (adrenalin) sebagai terapi esensial dalam penanganan anafilaksis. Injeksi epinefrin merupakan tindakan live-saving karena efek vasokonstriktor alfa-1 adrenergik pada sebagian besar sistem organ (otot skeletal merupakan pemngecualian penting) dan kemampuannya untuk mencegah dan mengurangi obstruksi jalan napas yang disebabkan oleh edema mukosa dan untuk mencegah dan mengobati hipotensi dan syok. Bukti klinis penggunaan injeksi epinefrin yang tepat lebih kuat dibandingkan bukti klinis penggunaan antihistamin dan glukokortikoid pada anafilaksis.

Pada pasien dalam keadaan syok, absorbsi intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari pada pemberian subkutan. Berikan 0,5 ml larutan 1:1000 (0,3-0,5 mg) untuk orang dewasa dan 0,01 ml/kg BB untuk anak. Dosis diatas dapat diulang 1-2 kali tiap 5-15 menit, sampai tekanan darah dan nadi menunjukkan perbaikan.Namun, pada beberapa kasus, injeksi epinefrin dilakukan lebih dari 2 kali pemberian. Kegagalan injeksi yang tepat berpotensi fatal, enselofati akibat hipoksia dan/atau iskemia, dan anafilaksis bifasik di mana gejala dapat berulang dalam 1-72 jam (biasanya dalam 8-10 jam) setelah gejala awal membaik.Memposisikan PasienPasien anafilaksis tidak boleh didudukan secara tiba-tiba,berdiri, atau diposisikan dengan kepala lebih tinggi. Pasien sebaiknya diposisikan dlaam keadaan supinasi dengan elevasi tungkai bawah, dan bila terdapat distres nafas atau muntah, pasien dapat diposisikan senyaman mungkin namun dengan elevasi tungkai bawah. Tujuannya adalah : 1.) preservasi cairan dalam sirkulasi (kompartmen vaskular sentral), manajemen penting dalam syok distributif; dan 2.) mencegah sindrom pengosongan vena kava/ ventrikel, yang dapat terjadi dalam hitungan detik ketika pasien ditinggikan. Pasien dengan sindrom ini susah untuk merespon epinefrin karena dosis obat tidak mencapai jantung. Manajemen Distres Napas

Pemberian oksigen suplementaal harus diberikan dengan sungkup muka atau orofaringeal dengan kecepatan aliran 6-8 L/menit pada semua pasien dengan distres napas dan pada pasien yang mendapat dosis epinefrin berulang. Manajemen kontinyu dapat dilakukan dengan menggunakan pulse oxymetry bila memungkinkan.

Manajemen Syok dan Hipotensi

Selama anafilaksis, volume cairan yang besar berpotensi akan meninggalkan sirkulasi dan masuk ke interstisial. Oleh karena itu, pemberian terapi infus intavena saline 0,9% (saline isotonis atau normal saline) harus segera diberikan segera setelah diketahui. Kecepatan pemberian harus ditritasi sesuai dengan tekanan darah, iarama jantung, dan urine output. Pasien harus dimonitor kemungkinan overload cairan. Pengobatan Lini Kedua1. H1 Antihistamin

Pada anafilaksis, H1 antihistamin mengurangi gatal, kemerahan, urtikaria, angioedema, gejala nasal dan mata; akan tetapi tidak boleh menggantikan epinefrin karena bukan merupakan tindakan life-saving, tidak mencegah atau mengurangi obstruksi saluran napas, hipotensi, atau syok. Selain onset kerja yang lama dibandingkan epinefrin, antihistamin juga berpotensi berbahaya karena efek CNS seperti somnolen dan gangguan fungsi kognitif. 2. Beta-2 Adrenergik AgonisBeta-2 adrenergik agonis selektif seperti salbutamol (albuterol) sering diberikan pada kasus anafilaksis sebagai terapi tambahan untuk wheezing, batuk, dan sesak yang tidak membaik dengan terapi epinefrin. Namun terapi ini tidak boleh mensubtitusi epinefrin karena memiliki efek vasokonstriksi minimal alfa-1 adrenergik agonis dan tidak mencegah atau mengurangi edema laring dan obstruksi saluran napas, hipotensi, dan syok. Apabila terjadi bronkospasme yang menetap diberikan aminofilin intravena 4-7 mg/Kg BB selama 10-20 menit, dapat diikuti dengan infus 0,6 mg/Kg BB/jam, atau aminofilin 5-6 mg/Kg BB yang diencerkan dalam 20 cc dextrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit. 3. Glukokortikoid

Glukokortikoid akan menghentikan transkripsi gen yang teraktivasi yang mengkode protein proinflamasi. Onset kerja glukokortikoid sistemik memakan waktu beberapa jam. Meskipun dapat mengobati gejala anafilaksis dan mencegah anafilaksis bifasik, efek ini belum pernah dibuktikan sebelumnya.

4. H2-Antihistamin

H2-antihistamin yang digunakan bersamaan dengan H1-antihistamin, berpotensial untuk menurunkan gejala kemerahan pada kulit, nyeri kepala, dan gejala lainnya. Walaupun demikian, pemberian simetidin intravena cepat dilaporkan menyebabkan hipotensi.

Gambar 4. Algoritma Manajemen Pasien Anafilaksis

IX. Pencegahan

Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan syok anafilaktik terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis riwayat alergi penderita dengan cermat akan sangat membantu menentukan etiologi dan faktor risiko anafilaksis. Individu yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi terhadap banyak obat, mempunyai resiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok anafilaktik.Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatian bahwa tes kulit negatif pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi anafilaksis. Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1-3% dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif.

Dalam pemberian obat juga harus berhati-hati, encerkan obat bila pemberian dengan jalur subkutan, intradermal, intramuskular, ataupun intravena dan observasi selama pemberian. Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan tepat. Hindari obat-obat yang sering menyebabkan syok anafilaktik. Catat obat penderita pada status yang menyebabkan alergi. Jelaskan kepada penderita supaya menghindari makanan atau obat yang menyebabkan alergi. Hal yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi reaksi anfilaksis serta adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan. Desensitisasi alergen spesifik adalah pencegahan untuk kebutuhan jangka panjang.

Gambar 5. Manajemen Pemulangan dan Pencegahan Anafilaksis. X. Prognosis

Dengan penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan kaedah kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis jarang menyebabkan kematian. Namun pasien yang pernah mengalami reaksi anafilaksis mempunyai resiko untuk memperoleh reaksi yang sama bila terpajan oleh pencetus yang sama.Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi anafilaksis yang akan menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu umur, tipe alergen, atopi, penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis, asma, keseimbangan asam basa dan elektrolit, obat-obatan yang dikonsumsi seperti -blocker dan ACE Inhibitor, serta interval waktu dari mulai terpajan oleh alergen sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan injeksi adrenalin.BAB III

LAPORAN KASUS3.1.Identitas pasien

Nama

: DWPTUmur

: 20 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-lakiAlamat

: Kusamba

Pekerjaan

: MahasiswaAgama

: HinduTanggal Pemeriksaan: 27 Februari 20153.2.Anamnesis

Keluhan utama

:

Ruam dan kemerahan pada kulit

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien mengeluhkan ruam dan kemerahan pada kulit setelah mengkonsumsi procold kurang lebih 30 menit smrs. Dikatakan 5 menit setelah minum obat, badan pasien kemerahan dan gatal-gatal. Riwayat sesak tidak ada. Riwayat mual muntah tidak ada. Riwayat nyeri perut tidak ada. Pasien belum pernah mengkonsumsi procold sebelumnya. Os mengkonsumsi procold karena demam yang dideritanya. Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat keluhan yang sama sebelumnya tidak ada. Riwayat alergi makanan/ obat-obatan tidak ada. Riwayat asma tidak ada. Riwayat Penyakit Keluarga:

Hanya penderita yang sakit seperti ini.

Riwayat Sosial

:

Pasien adalah mahasiswa. Pasien adalah pengguna jaminan kesehatan JKBM.3.3.Pemeriksaan FisikStatus PresentKeadaan umum: Tampak sakit sedangKesadaran

: Compos mentis

GCS

: E4V5M6Tanda vital

: TD 110/70 mmHg; N 96x/m; RR 18x/m; S 39.5C

Status General

Kepala

: Normocephali

Mata

: anemia -/-, ikt-/-, edema palpebra +/+THT : dalam batas normalThorax: Cor

: S1S2 normal, murmur (-)

Pulmo: vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-

Abdomen

: distensi (-),bising usus normal, hepar dan lien tidak

teraba

Ekstremitas

: dalam batas normal.

Status Dermatologis :

Lokasi : Seluruh tubuh

Tampak urtikaria pada tangan, kaki, dan badan pasien ukuran bervariasi mulai diameter 1 cm hingga diameter 4 cm, multipel, beberapa berkonfluen menjadi satu, simetris dan tampak makulopapular multipel.

3.4.Diagnosis

Diagnosa klinis

: Reaksi Hipersensitivitas ec, suspek paracetamol-induced

3.5. Terapi

27 Februari 2015 (Pk.08.00)

Injeksi Dipenhidramine 1 ampul Injeksi Dexamethasone 1 ampul

Observasi vital sign @30 menit

Pukul 08.30 WITA :

TD: 80/30 mmHg; N: 120x/ menit ; Tax : 39,60c; RR; 20 x/menitDiagnosis : Syok Anafilaksis

Terapi :

MRS

Injeksi epinefrine 0,3 cc IM paha anterolateral

IVFD RL loading 500 cc

Pukul 08.45 WITA:

TD: 85/50 mmHg; N: 120x/ menit ; Tax : 39,50c; RR; 20 x/menit

Diagnosis : Syok AnafilaksisTerapi :

Injeksi epinefrine 0,3 cc IM paha anterolateral (Injeksi Ke -2)

Pukul 09.00 WITA :

TD: 90/50 mmHg; N: 120x/ menit ; Tax : 39,50c; RR; 20 x/menit

Diagnosis : Syok AnafilaksisTerapi :

Injeksi epinefrine 0,3 cc IM paha anterolateral (Injeksi Ke -3) IVFD RL Loading 500 cc (flash ke-2)

Pukul 09.30 WITA:

TD: 85/50 mmHg; N: 116x/ menit ; Tax : 39,50c; RR; 20 x/menit

Diagnosis : Syok AnafilaksisTerapi :

Dopamin 400 mg dalam 500 cc NaCl 0,9% mulai dari 12 tpm titrasi tiap 15 menit

Pukul 10.00 WITA:

TD: 90/60 mmHg; N: 114x/ menit ; Tax : 39,50c; RR; 20 x/menit

Diagnosis : Syok AnafilaksisTerapi :

Dopamin 400 mg dalam 500 cc NaCl 0,9% 16 tpm

Pukul 10.15 WITA:

TD: 110/70 mmHg; N: 110x/ menit ; Tax : 39,50c; RR; 20 x/menit

Diagnosis : Syok AnafilaksisTerapi :

Dopamin 400 mg dalam 500 cc NaCl 0,9% pertahankan dosis dopamin lalu ditaperring-off

IVFD RL 30 tpm

Ibuprofen 3x 1 tab

Methylprednisolon 3x 62,5 mgBAB IVPEMBAHASANPada pasien ini, diagnosis syok anafilakasis belum ditegakkan segera pada saat pasien tiba di rumah sakit. Gejala awal berupa gatal dan kemerahan pada kulit dan tanda vital yang normal mengarah diagnosis pada reaksi hipersensitivitas akut di mana manifestasinya hanya berupa manifestasi kulit dan mukosa saja. Setelah pemberian antihistamin dan steroid, pasien kemudian diobservasi selama 15 menit. Tekanan darah pasien yang turun menjadi 80/30 mmHg dan manifestasi kulit yang masih nampak. Pasien kemudian ditangani sebagai pasien syok anafilaksis. Syok anafilaksis pada pasien ini ditegakkan dengan ditemukannya manifestasi kulit dan mukosa ditambah adanya penurunan tekanan darah. Penyebab syok anafilaksis pada pasien ini adalah dicurigai akibat kandungan paracetamol dalam obat yang diminumnya. Paracetamol merupakan obat yang sering diresepkan sebagai analgesik-antipiretik. Efek samping akibat obat ini sangat jarang terjadi. Reaksi anafilaksis akibat paracetamol dibuktikan melalui oral rechallenge. Selain itu, peningkatan serum histamin selam proses rechallenge mendukung reaksi tipe I Gell dan Coombs. Tes kulit tidak berguna dalam mengetahui reaksi alergi akibat paracetamol karena paracetamol merupakan berat molekul yang rendah. Pendekatan sistemik merupakan hal yang penting dalam menangani pasien dengan anafilaksis. Hilangkan paparan terhadap faktor pencetus, bila memungkinkan dan dilakukan penilaian segera terhadap circulation, airway, dan breathing pasien serta status mental, kulit, dan estimasi berat badan. Secara tepat dan simultan, panggil bantuan dan segera injeksi epinefrin intamuskular pada mid anterolateral paha, dan tempatkan pasien dalam posisi supinasi dan pisisi kaki lebih tinggi dari jantung pasienPenanganan awal pada pasien ini adalah dengan mengamankan airway, breathing, dan circulation pada pasien ini. Pasien diposisikan dengan tungkai bawah lebih tinggi dari kepala pasien. Pasien kemudian diberikan injeksi epinefrin 0,3 cc IM mid anterolateral paha dan secara simultan diberikan cairan berupa RL loading dose 500 cc. Pengulangan pemberian epinefrin dilakukan sebanyak 3 kali dan dilakukan pemberian dopamin intavena. Kondisi pasien pun kemudian menjadi stabil dan keluhan pada kulit berkurang.

Dengan penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan kaedah kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis jarang menyebabkan kematian. Namun pasien yang pernah mengalami reaksi anafilaksis mempunyai resiko untuk memperoleh reaksi yang sama bila terpajan oleh pencetus yang sama.Kondisi pasien setelah ditangani di unit gawat darurat menunjukkan perbaikan. Hal ini disebabkan karena pengenalan dan penanganan yang cepat dan tepat oleh tenaga kesehatan. Hal terpenting yang harus dilakukan adalah menghindari faktor resiko yang sama di kemudian hari sehingga tidak terjadi reaksi ulangan akibat terpapar alergen yang sama dan sangat penting untuk memperhatikan komposisi obat sebelum diminum. Gambar 3. Kriteria Klinis Diagnosis Anafilaksis