surimi_michael heryanto_13.70.0004_d1_unika soegijapranata
DESCRIPTION
laporan untuk mengetahui proses pembuatan surimi sebagai salah satu alternatif produk "perantara" dalam industri pengolahan panganTRANSCRIPT
Acara I
SURIMI
LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh :
Nama : Michael Heryanto
NIM : 13.70.0004
Kelompok : D1
`
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG
2015
I. PRESENTASE PLAGIASI VIPER
1
Fillet ikan ditimbang dan diambil 100 gr
1. MATERI DAN METODE
1.1. Alat dan Bahan
Daging ikan, garam, gula pasir, polifosfat, es batu, pisau, kain saring, penggiling daging,
dan freezer.
1.2. Metode
2
Pencucian ikan
Pembuangan kepala, sirip, ekor dan isi perut(Fillet daging ikan)
3
Pencucian daging giling dengan es batu sebanyak 3 kali
Penyaringan daging giling hingga kering (tidak menggumpal)
Pencucian daging giling dengan es batu sebanyak 3 kali
Penambahan sukrosa sebanyak 2,5% (kelompok 1,2); 5% (kelompok 3, 4, 5), garam sebanyak 2,5% dan polifosfat sebanyak 0,1% (kelompok 1); 0,3%
(kelompok 2, 3); 0,5% (kelompok 4, 5)
Pembekuan selama 1 malam di dalam freezer
4
Thawing
Pengujian sensori meliputi kekenyalan dan aroma
Uji hardness menggunakan texture analyzer
5
Surimi dipress menggunakan presser untuk mengetahui WHC
Hasil press digambar di milimeter blok
Penghitungan WHC :
2. HASIL PENGAMATAN
Berikut merupakan hasil pengamatan pada praktikum mengenai proses pembuatan surimi
pada yang digunakan beragam jenis konsentrasi glukosa, penambahan garam, serta
penggunaan polifosfat yang diduga akan mempengaruhi dari nilai hardness (gf), WHC, dan
hasil analisa sensori terhadap produk surimi, dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Pengaruh Konsentrasi Sukrosa dan Polifosfat Terhadap Nilai Hardness (gf), WHC,
dan Hasil Analisa Sensori Produk Surimi
Kel Perlakuan Hardness (gf)
WHC (mg H2O)
SensorisTekstur Aroma
D1 Sukrosa 2,5% + Garam 2,5% + Polifosfat 0,1%
108,240 188832,630 + ++
D2 Sukrosa 2,5% + Garam 2,5% + Polifosfat 0,3%
121,520 216793,250 + +++
D3 Sukrosa 5% + Garam 2,5% + Polifosfat 0,3%
188,050 130435,970 ++ +++
D4 Sukrosa 5% + Garam 2,5% + Polifosfat 0,5%
103,440 271751,050 ++ ++
D5 Sukrosa 5% + Garam 2,5% + Polifosfat 0,5%
91,873 273975,320 +++ ++
Keterangan :Kekenyalan Aroma+ = tidak kenyal + = tidak amis++ = kenyal ++ = amis+++ = sangat kenyal +++ = sangat amis
Pada Tabel 1 di atas dapat disimpulkan bahwa nilai hardness (gf) dan WHC (mg H2O) yang
diperoleh memberikan hasil dengan pola fluktuatif, sehingga pada data tidak dapat
disimpulkan mengenai pengaruh penambahan sukrosa dan polifosfat terhadap karateristik
produk surimi yang diproduksi. Kemudian mengenai pengujian secara sensoris terhadap
tekstur memberikan hasil bahwa seiring dengan peningkatan konsentrasi sukrosa dan
polifosfat akan meningkatkan kekenyalan dalam tekstur produk surimi, sedangkan untuk
parameter aroma menunjukan pola dimana semakin tinggi kadar sukrosa dan polifosfat
yang diberikan akan memberikan produk surimi yang semakin tidak amis.
6
3. PEMBAHASAN
Surimi adalah suatu produk olahan hasil perikanan setengah jadi (intermediate product)
yang berasal dari bahan daging ikan. Prinsip pembuatannya terdiri atas daging ikan (low
fat) yang telah mengalami pencucian, penggilingan, penambahan bahan krioprotektan dan
bahan pengikat, penambahan bahan tambahan pangan (BTP), pengemasan, dan pembekuan
(Sanchez A.M.M et al, 2009). Dengan kata lain surimi merupakan suatu protein
myofibrillar yang terkonsentrat yang didapatkan dari daging ikan yang telah mengalami
pencucian dengan menggunakan air dingin (J.J Stine et al, 2012). Hingga saat ini produk
surimi merupakan produk yang meningkat secara popular berkat keunikannya dalam hal
karateristik tekstur, mudah dilakukan penyimpanan, dan memiliki nilai gizi yang tinggi.
Surimi dengan kualitas yang baik didapat dari proses produksi dengan penggunaan bahan
baku yang segar (protein belum terdenaturasi) (Djazuli, N et al, 2009), dan penghilangan
komponen bau, darah, pigmen, dan lemak secara optimum dalam proses pencucian
(Peranginangin et al, 1999). Semua jenis ikan pada umumnya mampu digunakan sebagai
bahan baku dalam memproduksi surimi. Akan tetapi tidak semua jenis ikan memiliki
karateristik pembentukan gel yang baik. Karateristik gel dipengaruhi oleh kandungan
protein yang terkandung yang pada akhirnya akan berpengaruh elastisitas tekstur. Dimana
diketahui bahwa kriteria mutu utama pada produk surimi merupakan kelenturan
(spinginess) (BPPMHP, 1987). Semakin tinggi kandungan protein miofibril dalam daging
juga tidak hanya berpengaruh terhadap kemampuan pembentukan gel, akan tetapi juga
dalam kemampuan penyerapan air yang baik (WHC) yang dimiliki. Dalam pencapaian
karateristik optimum bagi produk surimi seperti warna, rasa, aroma, kekenyalan, elastisitas,
dan penerimaan konsumen dicapai melalui beberapa faktor, seperti suhu lingkungan selama
proses pengolahan, pH, tingkat kesegaran dan jenis dari ikan yang digunakan, dan
kehadiran dari senyawa krioprotektan dalam produk surimi (Wiliam R.C.V et al, 2012).
Maka dari itu untuk mendapatkan produk surimi dengan kualitas yang baik sebaiknya
digunakan bahan baku ikan segar dengan kandungan protein yang tinggi, rendah lemak,
7
8
daging yang putih, tidak berbau lumpur, dan tidak terlalu amis. Kandungan lemak yang
tinggi akan menghalangi terbentuknya gel, sehingga nilai elastisitas dan kekompakan
surimi tidak maksimal (Ade, 2005). Pada awalnya penggunaan jenis ikan yang digunakan
berasal dari jenis ikan laut yang memiliki kandungan lemak yang rendah, kemampuan
gelatinasi yang baik, dengan memberikan tampilan fisik akhir yang berwarna putih, seperti
penggunaan ikan makarel, snaper, maupun berjenis white croaker (Benjakul et al, 2004).
Akan tetapi pada praktikum kali ini digunakan bahan berupa ikan bawal yang berasal dari
air tawar yang pada umumnya belum umum digunakan sebagai bahan baku pembuatan
produk surimi. Melihat dari karateristik kandungan lemak yang rendah pada ikan bawal
dalam proses pembuatan surimi merupakan langkah yang tepat untuk menghasilkan
karateristik produk yang optimum. Adapun faktor lainnya dalam menghasilkan mutu
produk surimi yang baik berasal dari cara penyiangan, ukuran dari partikel, kualitas air dan
cara pencucian ikan, peralatan yang digunakan dan jenis ikan yang dimanfaatkan sebagai
bahan baku pembuatan surimi (Sanchez A.M.M et al, 2009).
Percobaan diawali dengan pencucian daging fillet ikan yang telah dipisahkan dengan
bagian kepala, sirip, ekor, sisik, isi perut, dan kulit dengan menggunakan air yang bersuhu
rendah (Sanchez A.M.M et al, 2009). Proses pencucian bertujuan untuk melarutkan
komponen yang tidak diinginkan seperti bau, darah, pigmen, lendir, protein sarkoplasmik,
dan senyawa larut dalam air lainnya yang mampu mengganggu dalam pembentukan stuktur
ikatan intermolecular pada struktur tiga dimensi dimana adanya kondisi ini mampu
menurunkan kualitas dari pembentukan gel dan karateristik sensori yang tidak baik (J.J
Stine et al, 2012). Menurut Govindan TK (1985) proses pencucian dan penggilingan
daging ikan merupakan titik krusial dalam penentuan kualitas produk surimi yang
dihasilkan. Menurut Olfa (2009) perlakuan leaching melalui pencucian akan berpengaruh
nyata terhadap penurunan kandungan protein sarkoplasmik yang bersifat larut dalam air.
Perlakuan pengulangan pencucian sebanyak dua kali dalam percobaan yang dilakukan
mengindikasikan menurut (J.J Stine et al, 2012) bahwa dalam pencucian yang dilakukan
berulang merupakan tindakan yang efektif dalam menurunkan enzim yang berasosiasi
dengan degradasi dari protein jaringan ikat dan akan memaksimalkan kualitas sensori
9
(warna dan aroma) dari produk surimi dengan kandungan aktomiosin yang semakin
terkonsentrat.
Proses pencucian dengan penggunaan suhu air diatas 15oC terhadap daging yang telah
dilakukan perlakuan penyiangan merupakan faktor krusial terhadap karateristik kekuatan
gel produk surimi (Sanchez A.M.M et al, 2009). Adapun protein otot secara umum dibagi
menjadi tiga kelompok yaitu sarkoplasmik (larut dalam air), miofibrillar (larut dalam
garam), dan stromal (larut dalam perlakuan alkali dan basa) (Sanchez A.M.M et al, 2009).
Selama proses pencucian berlangsung protein yang dituju untuk dihilangkan selama proses
pencucian adalah sarkoplasmik yang terdiri atas mioglobin, sitokrom, dan berbagai jenis
enzim yang mampu menurunkan kualitas dari surimi selama penyimpanan (J.J Stine et al,
2012). Namun penggunaan suhu pencuci yang tinggi (berada dalam suhu lingkungan) akan
melarutkan protein myofibril dan stromal (protein larut dalam garam) yang berperan dalam
pembentukan jaringan ikat selama proses pencucian berlangsung (Lertwittayanon K et
al, 2013) Hal ini mendukung dalam penentuan langkah percobaan dalam percobaan
pembuatan surimi dengan menekankan penggunaan air es (<4oC) sebagai media pencuci
daging untuk mencegah terjadinya penurunan kualitas jaringan ikat. Maka dari itu
pencucian yang tepat merupakan salah satu langkah menurut Andini (2006) yang tepat
dalam menghasilkan produk surimi dengan karateristik yang optimum. Selain hal tersebut
pencucian juga berperan dalam peningkatan kualitas warna dan aroma pada produk surimi,
selain dari permasalahan kekuatan gel pada surimi (Wiliam R.C.V et al, 2012).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh J.J Stine et al (2012) mengungkapkan bahwa
dalam pencucian dipastikan bahwa terdapat komponen protein yang larut selama proses
pencucian berlangsung dan dapat dimanfaatkan lebih lanjut (proses recovery) dengan
menggunakan bantuan sistem ultrafiltration.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sanchez A.M.M et al (2009) mengungkapkan
metode alternatif pencucian yang mampu memaksimalkan proses pelarutan protein
sarkoplasmik dan tanpa mengganggu pada protein miofibril yang berperan sebagai jaringan
ikat, terdiri atas : (1) air flotation washing (AFW = pemasukan oksigen dalam air yang
10
akan memaksimalkan proses kehilangan dari protein sarkoplasmik), (2) alkaline washing
(akan meningkatkan penampakan warna dan tekstur produk surimi dikarenakan peran dari
larutan alkali yang mampu meningkatkan dari kelarutan sarkoplasmik), dan (3) treatment
by ozone (walaupun akan menyebabkan terjadinya perubahan warna secara signifikan pada
produk surimi, akan tetapi mampu memaksimalkan pemisahan surimi dengan protein
sarkoplasmik secara sempurna).
Langkah selanjutnya adalah dengan menggiling daging ikan hingga halus dengan bantuan
chopper. Penggilingan merupakan faktor yang krusial terhadap penentuan kualitas produk
surimi yang dihasilkan (Ducept .F et al, 2012). Hal ini disebabkan dalam proses tersebut
akan terjadi pengecilan struktur daging, dan dihasilkannya panas selama proses
penggilingan berlangsung. Adanya hal tersebut mampu memicu terjadinya reaksi denaturasi
pada protein pada daging (Sanchez A.M.M et al, 2009). Terjadinya peristiwa denaturasi
terhadap protein akan merusak struktur dari jaringan pengikat pada ikan, sehingga
dihasilkannya produk dengan karateristik kekuatan struktur yang lemah. Oleh karena itu
dalam percobaan ini selama proses penggilingan berlangsung ditambahkan es batu untuk
menjaga agar suhu tetap rendah (penggilingan dingin). Hal ini sependapat oleh Lee C.M.
(1994) bahwa dalam proses penggilingan produk surimi sebaiknya dilakukan dalam kondisi
penggilingan dingin untuk mencegah terjadinya denaturasi protein akibat penggilingan.
Akan tetapi terjadinya denaturasi protein akibat pengecilan struktur daging selama proses
penggilingan (proses pengecilan struktur) tetap tidak dapat terhindarkan dan akan
mempengaruhi dari karateristik analisa sensori (warna, aroma, tekstur) pada produk akhir
surimi (Wiliam R.C.V et al, 2012).
Tahapan selanjutnya adalah dengan melakukan pengemasan dan pembekuan terhadap
produk surimi yang bertujuan untuk meminumkan terjadinya reaksi mikrobiologis,
kimiawi, dan fisik sehingga diharapkan dapat memperpanjang umur simpan dari produk
surimi (Buckle et al, 1981). Akan tetapi diperlukan suatu treatment sebelum proses ini
dilakukan yang mampu mencegah terjadinya denaturasi protein selama penyimpanan,
perubahan konsistensi nilai gizi, cita rasa, keasaman dan kebasaan yang tidak
11
terkendalikan, serta penampakan kualitas sensori produk yang menurun selama proses
penyimpanan berlangsung. Hal ini disebabkan karena selama penyimpanan beku
memungkinkan masih berlangsung reaksi denaturasi pada protein yang berpengaruh
terhadap karateristik produk akhir (Benjakul et al, 2004). Dalam percobaan ini
ditambahkan beragam jenis bahan kripoprotektan yang mampu mempertahankan integrity
product dengan baik (Sanchez A.M.M et al, 2009). Bahan krioprotektan merupakan salah
satu jenis bahan yang memiliki peran dalam menjaga kestabilan protein miofibril selama
proses penyimpanan beku berlangsung (anti denaturasi) (Wiliam R.C.V et al, 2012). Hal ini
sependapat dengan Winarno et al (1980) mengenai jenis-jenis bahan yang ditambahkan
dalam proses pembuatan surimi yang terdiri atas sukrosa, garam, dan polifosfat.
(1) Garam
Fungsi penambahan garam pada proses pengolahan dengan bahan dasar berupa ikan
biasanya bertujuan untuk meningkatkan rasa-aroma dan sebagai bahan pengawet produk
surimi (Lertwittayanon .K et al, 2013). Mekanisme pengawetan terjadi karena
garam memiliki karateristik tekanan osmotik tinggi yang mampu menurunkan kadar air
dalam produk surimi, sehingga hal ini memiliki kaitan sinergis dengan penurunan aktifitas
sel mikroorganisme yang kekurangan air sebagai media untuk bertumbuh (Zaitsev et al,
1969). Akan tetapi penambahan garam dalam jumlah yang kecil (2,5%) mampu
menghasilkan produk surimi dengan kandungan protein miofibrilar yang semakin
terkonsentrat, dimana garam berperan sebagai agen pelarut bagi protein tersebut
(pembentukan gel) (KIFTC, 1992). Menurut penelitian yang dilakukan oleh
Lertwittayanon K et al (2013) bahwa penambahan garam dalam menghasilkan
karateristik produk yang optimum, akan tetapi menghindari rasa asin yang terbentuk dapat
menggunakan garam pada kadar 2-3%. Dengan pemberian garam pada produk surimi
menandakan bahwa jenis surimi yang akan dihasilkan berjenis ka-en surimi (Lee C.M.,
1994).
(2) Sukrosa
12
Sukrosa merupakan salah satu dari bahan tambahan yang bersifat krioprotektan (anti
denaturan). Bahan krioprotektan merupakan senyawa yang mampu menghambat proses
denaturasi pada protein terjadi selama penyimpanan dalam suhu beku berlangsung. Prinsip
pencegahan denaturasi oleh krioprotektan dilakukan dengan menginaktifasikan peristiwa
kondensasi dengan langkah pengikatan molekul air melalui ikatan hidrogen (Ducept .F et
al, 2012), sehingga bahan ini mampu meningkatkan kemampuan air sebagai energi
pengikat, mencegah terjadinya pertukaran molekul air dari protein, dan kemampuan
utamanya terhadap penstabilan molekul protein (Zhou et al, 2006). Hal ini didukung oleh
Olfa (2009) dimana penggunaan sukrosa sebesar 8% mampu mencegah terjadinya
denaturasi protein, akan tetapi berpengaruh terhadap rasa dan aroma yang manis, dan warna
yang semakin menggelap. Dengan ini penggunaan konsentrasi sukrosa hingga 5% seperti
yang dilakukan dalam percobaan belum mampu mencegah reaksi denaturasi protein pada
jaringan secara maksimum. Protein yang tetap terjaga baik selama pembekuan berlangsung
akan menghasilkan karateristik produk surimi dengan kekuatan jaringan ikat yang baik
(Wiliam R.C.V et al, 2012). Akan tetapi menurut Peranginangin et al (1999) penambahan
sukrosa sebagai bahan kriopektan mampu meningkatkan kekuatan N-aktomiosin dari 400 g
menjadi 489 g, akan tetapi semuanya kembali dipengaruhi oleh jumlah konsentrasi
kriopektan yang ditambahkan. Hal ini ditambahkan oleh hasil dari penelitian yang
dilakukan oleh Agustiani et al (2006) yang mengatakan bahwa penambahan garam dan
sukrosa sebesar 4% sudah mampu membentuk kekuatan dan kapasitas pembentukan gel
yang baik, sehingga elastisitas produk tetap terjaga.
(3) Polifosfat
Menurut Olfa (2009) penambahan natrium tripolifosfat (maks 0,5%) bertujuan untuk
meningkatkan kualitas sensori dari produk surimi (elastisitas dan kelembutan),
memperbaiki daya ikat air (WHC meningkat) dengan melindungi molekul protein yang
terkandung di dalamnya. Hal menarik mengenai penambahan polifosfat menurut Lee
(1984) bahwa polifosfat mampu memperpanjang umur simpan dari surimi hingga mencapai
1 tahun. Mekanisme perbaikan kualitas surimi oleh polifosfat diawali dengan terpisahnya
aktomiosin oleh polifosfat yang akan berikatan dengan myosin. Myosin dan polifosfat yang
13
berikatan akan bekerja secara sinergis dengan mengikat air, dan menahan vitamin-mineral
(Ducept .F et al, 2012). Selama perlakuan pemasakan diberikan protein myosin akan
membentuk gel, sementara polifosfat akan membantu dalam menahan sistem air dengan
penutupan pori-pori mikroskopis dan kapiler (Haryati, 2001). Alhasil penambahan
polifosfat dalam produk surimi sebelum mengalami penyimpanan beku mampu
memberikan sifat surimi yang lembut dan kenyal (Ducept .F et al, 2012). Polifosfat yang
aman ditambahkan dalam produk surimi berada pada nilai 0,2-0,3% (Peranginangin et al.
1999). Dapat ditarik kesimpulan bahwa penambahan senyawa tripolifosfat mampu
bertujuan untuk meningkatkan efek krioprotektan dari senyawa sukrosa yang ditambahkan
dan memberikan efek buffer pada pH pada daging.
Pada proses selanjutnya surimi mengalami proses pengemasan dengan menggunakan
plastik polietilen. Penggunaan pengemas surimi dengan menggunakan pengemas laminasi
menurut Benjakul et al (2004) bertujuan untuk melindungi produk surimi agar tidak
mengalami peristiwa freeze burning selama proses pembekuan berlangsung, serta untuk
mempermudah dalam hal penyimpanan dan penanganan produk. Dalam hal ini mekanisme
pembekuan dilakukan dengan freezer berskala rumah tangga dengan prinsip pembekuan
lambat. Adapun menurut Winarno (1980) hal ini merupakan salah satu faktor yang mampu
mengakibatkan produk mengalami penurunan kualitas karateristik sensori pada produk
seiring dengan waktu penyimpanan berlangsung. Oleh karena itu pembekuan cepat
merupakan suatu langkah yang tepat dalam menjaga karateristik produk agar selalu optimal
(Ducept .F et al, 2012). Setelah penyimpanan beku berlangsung, produk surimi yang ingin
dianalisa karateristik sensorisnya (WHC, aroma, tekstur, hardness) harus mengalami
perlakuan thawing untuk menghindari terbentuknya drip loss yang berakibat pada
kerusakan tekstur pada produk tersebut (Sanchez A.M.M et al, 2009).
Pada hasil percobaan dapat disimpulkan bahwa nilai WHC (mg H2O) pada data
pengamatan dapat disimpulkan mengenai pengaruh penambahan sukrosa dan polifosfat
terhadap karateristik produk surimi yang diproduksi. Diketahui bahwa nilai WHC pada
produk surimi sangat ditentukan oleh kemampuan pengikatan protein terhadap molekul air
14
yang terdapat di dalam jaringan melalui ikatan hidrogen. Penambahan sukrosa yang
merupakan salah satu bahan krioprotektan digunakan untuk meningkatkan kemampuan
pengikatan air (WHC) yang merupakan hasil dari pencegahan protein agar tidak
terdenaturasi selama penyimpanan beku berlangsung (Sanchez A.M.M et al, 2009).
Ditambah dengan penambahan polifosfat yang mampu menjaga agar produk mampu
melakukan pengikatan air pada produk secara maksimum. Maka dari itu semakin tinggi
konsentrasi sukrosa dan polisfosfat yang ditambahkan akan meningkatkan kemampuan
pengikatan air (Peranginangin et al, 1999). Pada hasil pengamatan menunjukan bahwa pada
kelompok B4 dan B5 (polifosfat 0,5%) memiliki nilai WHC terbesar sebesar 271751,050
dan 273975,320 mg H2O, sedangkan pada kelompok B1 (polifosfat 0,1%) memiliki nilai
WHC yang kecil sebesar 188832,630 dan nilai diikuti oleh kelompok B2 (polifosfat 0,3%)
dengan nilai WHC sebesar 216793,250 mg H2O. Maka dari itu terdapat keganjilan dalam
kelompok B3 dengan konsentrasi yang sama dengan kelompok B2 (polifosfat 0,3%), akan
tetapi memiliki nilai WHC yang lebih kecil dibandingkan kelompok B1 (polifosfat 0,1%)
yaitu sebesar 130435,970 mg H2O. Adapun hal ini disebabkan oleh titik krusial pada
pengukuran WHC yang dilakukan masing-masing kelompok pada saat menggunakan
millimeter blok selama percobaan berlangsung, atau selama pembuatan surimi berlangsung
seperti dalam proses pencucian, ketepatan kadar gula, garam, dan polifosfat yang
ditambahkan. Menurut Zayas (1997) berpendapat bahwa kemampuan pengikatan air yang
dimiliki oleh suatu produk dipengaruhi oleh berbagai jenis faktor seperti jenis ikan yang
digunakan, penambahan sejumlah bahan krioprotektan dengan konsentrasi tertentu, suhu
selama proses pengolahan, dan kondisi penyimpanan.
Berdasarkan teori penambahan sukrosa berperan mencegah terjadinya kerusakan pada
protein pengikat yang berada dalam surimi selama proses penyimpanan. Maka dari itu
semakin tinggi nilai konsentrasi sukrosa akan memiliki kemampuan pertahanan jaringan
ikat yang semakin baik. Oleh karena itu tekstur surimi yang dihasilkan akan semakin
kencang dan kenyal. Penambahan polifosfat akan mendukung dalam terbentuknya produk
surimi yang bertekstur halus dan kenyal, yang disebabkan oleh peran dari myosin yang
memiliki kemampuan pembentukan gel yang baik, serta peran polifosfat yang mendukung
15
dalam pengikatan air dalam sel agar tidak terjadi sineresis (meningkatkan nilai
kelembutan). Maka dari itu semakin tinggi konsentrasi polifosfat dan sukrosa yang
ditambahkan akan membuat produk surimi yang dihasilkan memiliki karateristik yang
semakin elastis (pengamatan sensoris). Hal ini dibuktikan dari hasil pengamatan yang
menunjukan bahwa pada kelompok B5 dengan konsentrasi polifosfat dan sukrosa tertinggi
memiliki karateristik sensori produk yang sangat kenyal. Diketahui bahwa semakin elastis
karateristik yang dimiliki oleh suatu produk akan menghasilkan produk dengan nilai
hardness yang semakin kecil. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil pengamatan dari
kelompok B5 yang menunjukan bahwa dengan penambahan konsentrasi polifosfat dan
sukrosa akan memberikan nilai hardness terkecil sebesar 91,873 gf. Dengan hal ini dapat
ditarik kesimpulan bahwa parameter analisis yang diuji berupa pengujian hardness dan
WHC memiliki hasil yang berbanding terbalik seiring dengan peningkatan konsentrasi
sukrosa dan polifosfat yang digunakan. Semakin tinggi konsentrasi dari sukrosa dan
polifosfat akan menghasilkan produk dengan karateristik tingkat kekenyalan yang semakin
tinggi (nilai hardness menurun), dan kemampuan pengikatan air yang semakin baik (nilai
WHC meningkat). Akan tetapi menurut Agustina et al (2008) berpendapat bahwa elastisitas
yang dimiliki oleh produk surimi dipengaruhi juga oleh beberapa faktor seperti jumlah air
dan banyak pengulangan dalam proses pencucian, kadar garam dan gula (bahan
krioprotektan) yang ditambahan, serta dalam proses pembekuan yang optimal. Sehingga
ketidaktepatan jumlah sukrosa dan polifosfat yang digunakan, serta metode pencucian akan
mengakibatkan terjadinya perbedaan pada kelompok D3 dan D4 yang walaupun memiliki
jumlah takaran polifosfat dan sukrosa dalam jumlah yang sama.
Analisa mengenai karateristik aroma yang dihasilkan merupakan salah satu faktor yang
penting dalam menghasilkan produk yang dapat diterima di kalangan masyarakat (Wiliam
R.C.V et al, 2012). Pada pengujian secara sensoris (aroma) memberikan hasil yang bersifat
fluktuatif dan tidak dipengaruhi oleh pengaruh konsentrasi polifosfat. Akan tetapi sedikit
dipengaruhi oleh peran dari penambahan sukrosa yang mampu menciptakan flavor khusus
yang mampu menutupi dari bau amis yang menyengat. Aroma pada dasarnya sangat
dipengaruhi oleh jumlah konsentrasi zat aditif yang digunakan. Namun aroma yang diuji
16
pada saat ini sangat dipengaruhi oleh metode pencucian yang dilakukan. Perlakuan
pencucian awal yang tidak optimum akan menghasilkan karateristik produk yang berbau
menyengat dan amis. Hal ini disebabkan karena tertinggalnya senyawa lemak, komponen
darah, pigmen dan lainnya yang mampu teroksidasi selama penyimpanan dan menimbulkan
bau yang tidak sedap (amis) pada produk olahan surimi selama penyimpanan beku (Wiliam
R.C.V et al, 2012). Pengulangan pencucian dan jumlah air yang optimum merupakan salah
satu langkah krusial dalam menghasilkan produk dengan karateristik aroma yang optimum
(Sanchez A.M.M et al, 2009). Ditambah dengan penggunaan panelis dalam uji sensoris
yang telah terlatih merupakan salah satu langkah untuk menghasilkan data hasil
pengamatan yang bersifat kredibel dan dapat dipercaya.
Berdasarkan hasil pengamatan dalam proses produksi pembuatan surimi dengan
menggunakan ikan bawal menghasilkan karateristik produk akhir yang belum optimal. Hal
ini dapat dibuktikan dengan kekuatan gel yang rendah, kualitas akhir dari tampilan warna
yang tidak menarik, dan hasil analisa sensori yang masih menunjukan bahwa produk yang
dihasilkan memiliki aroma amis yang cukup menyengat. Kualitas surimi yang rendah tidak
hanya disebabkan karena proses produksi yang tidak optimum, akan tetapi faktor penting
adalah juga mengenai jenis ikan yang digunakan. Dapat ditarik kesimpulan bahwa
penggunaan ikan bawal bukanlah merupakan suatu langkah yang tepat apabila dijadikan
sebagai bahan tunggal dalam proses pembuatan surimi. Berbagai penelitian telah dilakukan
bahwa untuk mengatasi permasalahan ini, metode kombinasi dengan daging lain yang
memiliki karateristik pembentukan gel dan warna yang baik merupakan suatu langkah yang
tepat dalam menghasilkan peningkatan kualitas pada produk akhir (Lee C.M., 1994).
4. KESIMPULAN
Surimi adalah suatu produk intermediet yang berasal dari ikan yang merupakan hasil
pencucian, penggilingan, penambahan senyawa kriprotektan, pembekuan, dan
pengemasan yang akan menghasilkan protein miofibril yang semakin terkonsentrat.
Nilai fungsional utama yang dimiliki oleh suatu produk surimi adalah kemampuan
pembentukan gel serta kemampuan penyerapan air yang baik yang akan mempengaruhi
dari kualitas akhir dari suatu produk.
Pencucian dingin merupakan suatu langkah untuk menghindari terjadinya pelarutan
protein myofibril dan stromal (protein larut garam) yang berperan dalam pembentukan
jaringan ikat.
Jumlah air yang digunakan, suhu air, serta jumlah pengulangan merupakan faktor
penting dalam menghasilkan kualitas produk surimi yang optimum.
Pencucian yang dilakukan dengan pengulangan tinggi akan menghasilkan kualitas
produk akhir yang baik akibat dari hilangnya protein sarkoplasmik dan enzim yang
mampu menurunkan kualitas dari surimi selama penyimpanan.
Penggilingan dengan penambahan es batu bertujuan untuk mencegah terjadinya reaksi
denaturasi pada protein penyusun dari jaringan ikat.
Senyawa krioprotektan merupakan jenis bahan yang mampu melindungi produk dari
reaksi denaturasi pada protein dengan memberikan kestabilan pada protein miofibril
yang terkandung.
Penambahan garam bertujuan untuk meningkatkan cita-rasa dan aroma, bahan
pengawet produk surimi, dan mampu meningkatkan nilai WHC suatu produk akibat
pengaruh tekanan osmotik yang diberikan.
Penambahan sukrosa (kriprotektan) bertujuan untuk melindungi produk dari kerusakan
tekstur akibat protein yang terdenaturasi serta kemampuan pengikatan air oleh sukrosa
yang membuat produk menjadi semakin kompak dengan nilai WHC yang optimum.
Penambahan polifosfat bertujuan untuk mendukung efek krioprotektan dari senyawa
sukrosa yang ditambahkan dan memberikan efek buffer pada pH pada daging.
17
18
Semakin tinggi kadar polifosfat yang diberikan akan menghasilkan produk dengan
karateristik yang semakin kenyal (nilai hardness menurun) dan kemampuan pengikatan
air yang semakin baik (nilai WHC meningkat).
Perlakuan pencucian awal yang tidak optimum akan menghasilkan karateristik produk
yang berbau menyengat dan amis (hasil analisa pengujian aroma).
Proses pengemasan yang tepat, pemberian perlakuan pembekuan cepat, serta metode
thawing yang benar merupakan suatu langkah yang tepat dalam menghasilkan
karateristik produk surimi yang optimum.
Karateristik dari produk surimi (kekuatan gel/elastisitas serta kemampuan penyerapan
air) sangat ditentukan oleh faktor seperti kandungan protein dan lemak dalam bahan,
keberadaan senyawa krioprotektan, serta kondisi yang optimal saat proses pengolahan.
Jenis ikan merupakan salah satu faktor krusial dalam hal kualitas produk surimi akhir
yang dimiliki dan dapat dilakukan metode kombinasi antara beberapa jenis ikan untuk
menghasilkan kualitas produk akhir yang diharapkan.
Jenis ikan dengan karateristik kandungan lemak yang rendah, protein yang tinggi, dan
tidak berbau amis merupakan suatu bahan yang akan menghasilkan karateristik surimi
yang semakin optimal.
Penggunaan ikan bawal sebagai bahan dasar dalam pembuatan surimi bukanlah suatu
langkah yang tepat dalam menghasilkan produk surimi dengan kualitas yang baik.
Semarang, 27 Oktober 2015 Asisten Dosen :
Michael Heryanto Yusdhika Bayu .S (13.70.0004)
5. DAFTAR PUSTAKA
[BBPMHP] Balai Bimbingan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan. 1987. Petunjuk Praktis Pengolahan Surimi. Direktorat Jenderal Perikanan Departemen Pertanian. Jakarta.
[KIFTC] Kanagawa International Fisheries Training Centre. 1992. Science of Processing Marine Food Products. Volume II. Japan.
Ade Wiguna N.Y. 2005. Pengaruh Pengkomposisian dan Penyimpanan Dingin Daging Lumat Ikan Cucut Pisang (Carcharinus falciformis) dan Ikan Pari Kelapa (Trygon sephen) Terhadap Karateristik Surimi yang Dihasilkan. SKRIPSI. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanan Bogor.
Agustiani, T. W., Akhmad S.F, dan Ulfah, A. 2006. Modul Diversifikasi Produk Perikanan Universitas Diponegoro Press. Semarang.
Andini YS. 2006. Karakteristik Surimi Hasil Ozonisasi Daging Merah Ikan Tongkol(Euthynnus sp.) [skripsi]. Bogor: Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Benjakul, S., Visessanguan, W., Thongkaew, C. and Tanaka, M. 2004. Effect of Frozen Storage on Chemical and Gel-forming Properties of Fish Commonly Used for Surimi Production in Thailand. Food Hydrocolloids 19: 197-207.
Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet and M. Wooton. 1981. A Course Manual in Food Science. Watson Ferguson & Co. Brisbane.
Djazuli, N et al. 2009. Modifikasi Teknologi Pengolahan Surimi Dalam Pemanfaatan “By-Catch” Pukat Udang di Laut Arafura. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. Institut Pertanian Bogor.
Ducept .F; T.de Broucker; J.M Soulie; G. Trystram; dan G. Cuvelier. 2012. Influence of The Mixing Process on Surimi Seafood Paste Properties and Structure. Journal of Food Engineering. ISSN 557-562.
Govindan TK. 1985. Fish Processing Technology. New Delhi: Oxford & IBH Publishing Co.Pvt.Ltd.
Haryati S. 2001. Pengaruh Lama Penyimpanan Beku Surimi Ikan Jangilus (Istiophorus sp) Terhadap Kemampuan Pembentukan Gel Ikan [skripsi]. Bogor: Program Studi
19
20
Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
J.J Stine; L. Pedersen; S. Smiley; dan P.J Bechtel. 2012. Recovery and Utilization of Protein Derived From Surimi Wash-Water. Journal of Food Quality ISSN 1745-4557.
Lee C.M. 1994. Surimi Process Technology. Journal Food Technology 38 (11) : 69-80.Niwa E. 1992. Chemistry of surimi gelation. Di dalam. Lanier TC, Lee
CM, Editor. Surimi Technology. New York: Marcel Dekker Inc.
Lertwittayanon .K; Soottawat .B; Sajid .M; Angel B.E. 2013. Effect of Different Salts on Dewatering and Properties of Yellowtail Barracuda Suimi. Journal of Aquatic Research. Vol 5: No 10.
Olfa Mega. 2009. Pengaruh Leaching terhadap Komposisi Nutrisi Bakso Itik Talang Benih. Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu. ISSN 1978-3000.
Park JW. 2005. Surimi gel preparation and texture analysis for better quality control. Didalam. Sakaguchi M, Editor. 2004. More Efficient Utilization of Fish andFisheries Products. Editor. Proceedings of the International Symposium on theOccasion of the 70th Anniversary of the Japanese Society of Fisheries Scienc; Kyoto, 7-10 October 2001. Amsterdam: Elsevier
Peranginangin R, Wibowo S, Nuri Y, Fawza. 1999. Teknologi Pengolahan Surimi. Jakarta: Instalasi Penelitian Perikanan Laut Slipi, Balai Penelitian Perikanan Laut.
Phatcharat, S; Benjakul, S; Visessanguan, W. 2004. Effect of Washing with Oxidising Agents on The Gel-Forming Ability and Physicochemical Properties of Surimi Produced From Bigeye Snapper (Priacanthus tayenus). Department of Food Technology Prince of Songkla University Thailand.
Sanchez A.M.M; C. Navarro; J.A. Perez-Alvarez, and V.Kuri. 2009. Alternatives for Efficient and Sustainable Production of Surimi. A Review of Food Science and Food Safety. Vol 8.
Wiliam R.C.V; Gustavo G.F; Carlos P. 2012. Comparisons of the Properties Whitemouth Croaker (Micropogoanis furnieri) Surimi and Mechanically Deboned Chicken Meat Surimi-Like Material. Journal of Food and Nutritions Sciences. ISSN 1480-1483.
21
Winarno F.G, Fardiaz S, Fardiaz D. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: PT. Gramedia.
Zaitsev, V.; I. Kizevetter; L. Lagunov; T. Makarova; L. Minder & V. Podselalov. 1969. Fish Curing and Processing. MIR Publishers. Moscow.
Zayas JF. 1997. Functionality of Proteins in Food. Springer. Valey.
Zhou A, Benjakul S, Pan K, Gong J, Liu X. 2006. Cryoprotective Effect of Trehalose and Sodium Lactate on Tilapia (Sarotherodon nilotica) Surimi Durimg Frozen Storage. Journal of Food Chemistry 96(2):96-103.
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Rumus:
Luas atas=13
a(h0+4 h1+2h2+4 h3+…+hn)
Luas bawah=13
a(h0+4 h1+2 h2+4 h3+…+hn)
Luas area basah=Luasatas−Luas bawah
mg H 2O=Luas areabasah−8,00,0948
Kelompok D1
Luas atas=13
36,5 (89+4 (186 )+2 (197 )+4 (180 )+99 )=24893 mm2
Luas bawah=13
36,5 ( 89+4 (38 )+2 (23 )+4 ( 47 )+99 )=6983,667 mm2
Luas area basah=24893−6983,667=17909,33 mm2
mg H 2O=17909,33−8,00,0948
=188832,63 mg
Kelompok D2
Luas atas=13
40 (124+4 (213 )+2 (227 )+4 (210 )+133 )=32040 mm2
Luas bawah=13
40 (124+4 (67 )+2 (54 )+4 (57 )+133 )=11480 mm2
Luas area basah=32040−11480=20560 mm2
mg H 2O=20560−8,00,0948
=216793,25 mg
Kelompok D3
Luas atas=13
32 ( 105+4 (129 )+2 (148 )+4 (146 )+88 )=16949,33 mm2
Luas bawah=13
32 (105+4 (25 )+2 (14 )+4 (27 )+88 )=4576 mm2
Luas area basah=16949,33−4576=12373,33 mm2
mg H 2O=12373,33−8,00,0948
=130435,97 mg
Kelompok D4
Luas atas=13
45 (121+4 (201 )+2 (211)+4 (204 )+90 )=33795 mm2
22
23
Luas bawah=13
45 (121+4 (34 )+2 (30 )+4 (32 )+90 )=8025 mm2
Luas area basah=33795−8025=25770 mm2
mg H 2O=25770−8,00,0948
=271751,05 mg
Kelompok D5
Luas atas=13
47 ( 95+4 (182 )+2 (201 )+4 (195 )+107 )=33095,04 mm2
Luas bawah=13
47 (95+4 (24 )+2 (20 )+4 (29 )+107 )=7114,18 mm2
Luas area basah=33095,04−7114,18=25980,86 mm2
mg H 2O=25980,86−8,00,0948
=273975,32 mg
6.2. Laporan Sementara
6.3. Diagram Alir
6.4. Abstrak Jurnal