studi kegiatan perikanan muro-ami 2003

31

Upload: ahmad-mukminin

Post on 16-Dec-2015

38 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

Fisheries Research on Muroami Net in Karimunjawa National Park

TRANSCRIPT

  • KATA PENGANTAR Sebagai salah satu kawasan konservasi, Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ) merupakan bagian dari Kepulauan Karimunjawa yang terletak di Kabupaten Jepara, Propinsi Jawa Tengah. Perubahan status kawasan tersebut dari cagar alam menjadi taman nasional adalah agar dapat meningkatkan pengelolaan dan mewujudkan pengaturan pemanfaatan sumberdaya alam hayati bagi masyarakat di dalam kawasan tersebut yang sekitar 70% adalah nelayan. Pemanfaatan sumberdaya alam hayati khususnya perikanan di Karimunjawa mendapatkan dukungan pemerintah daerah setempat melalui adanya pemberian ijin penggunaan berbagai macam alat tangkap perikanan; salah satunya adalah alat Muro-ami. Sejak alat tersebut dioperasikan, telah terjadi pro dan kontra sehubungan dengan cara pengoperasian alat tersebut dikaitkan dengan dampak ekologi yang ditimbulkan serta efek kesehatan bagi nelayannya Sebagai salah satu wujud kerjasama Wildlife Conservation Society (WCS) dengan Balai TNKJ, maka melalui program kelautan WCS, telah dilaksanakan Studi Perikanan Muro-Ami di Kepulauan Karimunjawa pada tahun 2003 secara intensif dan penuh kesungguhan. Hasil studi tersebut yang antara lain memuat data, fakta dan gambar perikanan tangkap Muro-ami telah pula disampaikan kepada pemerintah daerah terkait untuk dijadikan bahan penyempurnaan kebijakan, khususnya dalam pemanfaatan secara lestari sumberdaya perikanan di perairan Karimunjawa. Kepada Direktur WCS Indonesia Program kami ucapkan terima kasih atas responnya yang sangat posistf dalam mendukung pengelolaan TNKJ. Khusus kepada seluruh pelaksana studi Rizya, Shinta, Joni, Ahmad dan Yudi, kami haturkan salut dan terima kasih atas segala jerih payahnya mengikuti kegiatan nelayan muro-ami, semoga kalian senantiasa betah dan tetap bersemangat dalam penugasan kegiatan konservasi di TNKJ. Akhir kata semoga laporan tersebut bermanfaat bagi seluruh pihak terkait dalam mewujudkan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara lestari di Kepulauan Karimunjawa; khususnya di Taman Nasional Karimunjawa

    Semarang, Juni 2004, Kepala Balai

    Taman Nasional Karimunjawa

    Puspa Dewi Liman

    2

  • RINGKASAN EKSEKUTIF Antara bulan Oktober 2002 dan Maret 2003 Wildlife Conservation Society (WCS) melaksanakan studi sosial-ekonomi dan ekologi yang terintegrasi mengenai perikanan jaring muro-ami di Kepulauan Karimunjawa, Jawa Tengah, Indonesia. Tujuan dari studi ini adalah untuk mengukur tekanan penangkapan muro-ami pada populasi ikan dan meningkatkan kapasitas peneliti lokal, mengidentifikasi ancamannya terhadap ekosistem terumbu karang, dan mengidentifikasi strategi pengelolaan yang efektif untuk mencapai tujuan konservasi terumbu karang dan dimana faktor-faktor sosial-ekonomi mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan atas strategi tersebut. Perikanan muro-ami diidentifikasi merupakan salah satu ancaman bagi ekosistem terumbu karang di kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Kondisi alam yang berbeda-beda dan terintegrasi dalam studi ini membuat kita dapat mengukur ancaman-ancaman dari alat tangkap ini pada tipe habitat yang berbeda-beda. Analisis sosial-ekonomi memberikan pandangan dari persepsi masyarakat mengenai dampak perikanan muro-ami dibandingkan metode penangkapan lainnya terhadap terumbu karang. Analisis ini akan menyajikan panduan informatif bagi lembaga-lembaga yang bekerja di bidang konservasi di Taman Nasional Karimunjawa. Spesies target utama perikanan muro-ami adalah ikan ekor kuning (Caesio cuning) dari famili Caesionidae. Dalam banyak kasus C. cuning adalah satu-satunya spesies yang bernilai ekonomis dari hasil tangkapan muro-ami, sementara spesies ikan lainnya dianggap hasil sampingan dan biasanya dibagikan kepada anggota nelayan muro-ami. Seringkali sejumlah besar ikan bernilai tinggi lainnya (seperti ikan kuwe, Carangidae) juga tertangkap oleh muro-ami. Survey menunjukkan bahwa ikan ekor kuning hanya 27.61% dari tangkapan keseluruhan, dimana hal ini menunjukkan bahwa penangkapan ikan ekor kuning tidak lestari dan muro-ami nampaknya menangkap jenis ini secara berlebihan. Dibandingkan dengan tipe alat tangkap lain, perikanan muro-ami sangat produktif dengan rata-rata hasil tangkapan 5,6 kg/nelayan/hari. Rata-rata luas area dalam satu operasi muro-ami adalah 2,4 Hektar, atau sekitar 80x300 m2. Biomassa ikan yang tertangkap oleh satu kali operasi dalam satu area berkisar antara 4,83 kg/Ha hingga 127,71 kg/Ha (rata-rata = 62,76 kg/Ha). Hal ini sebanding dengan 150 kg ikan diambil dari perairan Karimunjawa setiap musim per satu hari operasi perikanan muro-ami. Studi ini menyoroti bahwa muro-ami yang sekarang beroperasi menangkap ikan hingga lebih dari 5 kali lipat dibanding dengan metode penangkapan lainnya, dan metode yang dilakukan dapat memberikan dampak langsung berupa kerusakan fisik pada terumbu karang. Masalah-masalah kesehatan juga diderita para nelayan muro-ami dan survey sosial-ekonomi menunjukkan bahwa pelarangan muro-ami akan mendapat dukungan dan penerimaan masyarakat, terutama jika metode penangkapan alternatif dapat diidentifikasi dan diimplementasikan. Bekerja sama dengan pemerintah lokal dan Balai Taman Nasional setempat, WCS bertujuan membantu pengawasan dalam pelarangan perikanan muro-ami di Karimunjawa dengan mengajukan teknik pengelolaan yang memasukkan komponen masyarakat sebagai bagian dari pengelolaan terpadu dan perencanaan zonasi oleh BTNKJ. WCS dan pihak-pihak terkait lainnya akan melakukan pengawasan efektivitas pengelolaan secara berkala dengan membandingkan kondisi sebelum dan setelah penerapan manajemen baru tersebut.

    3

  • I. PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang Kepulauan Karimunjawa terletak sekitar 150 km arah utara Semarang, terdiri dari 27

    pulau dimana 22 pulau diantaranya berada dalam kawasan Taman Nasional

    Karimunjawa. Kepulauan ini berpenduduk sekitar 9.000 jiwa, sebagian besar mata

    pencahariannya tergantung pada perikanan setempat. Sekitar 60% penduduk

    kepulauan merupakan nelayan yang memberikan tekanan ekologis yang besar pada

    ekosistem (seperti terumbu karang, lamun, hutan bakau dan sumberdaya perikanan).

    Pengelolaan perikanan di Indonesia harus memperhitungkan masyarakat lokal yang

    menggantungkan kehidupan mereka pada sejumlah besar populasi perikanan dan

    sumberdaya alam. Pengelolaan perikanan yang kompleks secara alamiah, terdiri atas

    campuran dari prinsip-prinsip pengelolaan ekologis, sosial dan ekonomi, digarisbawahi

    oleh kenyataan bahwa produksi perikanan di Karimunjawa sangat esensial secara

    sosial dan ekonomi tanpa alternatif yang nyata. Dengan keberadaan praktek-praktek

    pengelolaan perikanan yang tidak lestari, kondisi stok ikan dan sumberdaya alam laut

    di Karimunjawa mengalami penurunan. Peraturan-peraturan yang ada saat ini tidak

    berpihak pada nelayan kecil, keuntungan diperoleh dari operasi perikanan skala besar,

    dan hal ini yang menjadi daya tarik perikanan di luar Karimunjawa. Apakah kondisi ini

    merupakan awal dari tragedy of common di Karimunjawa?

    Saat ini tanggung jawab pemerintah kabupaten adalah menetapkan suatu peraturan

    dan merasionalisasikan pengelolaan sumberdaya perikanan. Rasionalisasi ini akan

    menghasilkan efisiensi pemanfaatan sumberdaya dan menghindari eksploitasi

    berlebihan, menjelaskan kepemilikan wilayah laut yang tidak jelas aturannya. Efisiensi

    pemanfaaran sumberdaya dapat diwujudkan dengan menetapkan batas-batas

    pengelolaan yang jelas dalam kerangka zonasi untuk mencegah pemanfaatan

    sumberdaya yang tidak lestari.

    4

  • Usaha untuk melindungi dan memanfaatkan sumberdaya perikanan di Karimunjawa

    secara lestari harus berupa usaha kolaboratif dengan tujuan meningkatkan

    kesejahteraan umat manusia. Untuk mencapai tujuan ini, sangatlah penting

    mendapatkan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan di Karimunjawa untuk

    mengurangi konflik sumberdaya. Dukungan institusional dari semua tingkat

    pemerintahan dan masyarakat dibutuhkan mewujudkan tujuan ini.

    Perikanan muro-ami cukup lazim dipraktekkan di Kepulauan Karimunjawa dan

    menghasilkan hasil tangkapan yang tinggi untuk setiap unit usahanya. Sejumlah besar

    modal diperlukan untuk menjalankan operasi penangkapan muro-ami, namun hasil

    tangkapan yang tinggi menjadikannya sebagai usaha yang menguntungkan bagi pihak-

    pihak luar.

    Dalam sebuah operasi, pemilik kapal dari Karimunjawa mempekerjakan sekelompok

    nelayan untuk menjalankan operasi. Para nelayan dibayar dalam jumlah yang

    bervariasi untuk pekerjaan mereka dan dapat mengambil hasil tangkapan sampingan

    untuk kebutuhan mereka sendiri. Hubungan antara pemilik kapal dan nelayan serta

    hubungan antar nelayan itu sendiri sangat perlu dipelihara untuk menjaga kelancaran

    operasi. Aktifitas perikanan muro-ami dilaksanakan disekitar atau pada daerah

    terumbu karang, frekuensi operasi yang tinggi dan memperoleh hasil tangkapan yang

    tinggi pula. Sebagai tambahan, muncul potensi masalah kesehatan terhadap para

    penyelam jaring muro-ami yang seringkali mengabaikan prosedur penyelaman yang

    aman.

    Laporan ini menjelaskan studi perikanan muro-ami di kawasan Taman Nasional

    Karimunjawa yang dilaksanakan oleh Wildlife Conservation Society (WCS) Asia Pacific

    Coral Reef Program di Indonesia kedalam aspek-aspek ekologis dan sosial-ekonomi.

    Studi ini bertujuan untuk menampilkan pandangan mengenai praktek perikanan muro-

    ami di wilayah ini.

    5

  • 1.2. Tujuan

    Tujuan dari studi ini adalah:

    1. Mengukur sebaran aktivitas perikanan muro-ami di Taman Nasional

    Karimunjawa;

    2. Menjelaskan komposisi spesies oleh perikanan muro-ami dibandingkan dengan

    metode penangkapan lainnya;

    3. Menjelaskan komposisi tangkap oleh perikanan muro-ami dibandingkan dengan

    metode penangkapan lainnya;

    4. Mengukur kerusakan karang yang diakibatkan oleh operasi muro-ami; dan

    5. Menjelaskan persepsi masyarakat lokal terhadap pengelolaan perikanan muro-

    ami.

    6

  • II. METODE SURVEI

    Studi ini dilaksanakan dari tanggal 26 Agustus hingga tanggal 3 Oktober 2003.

    Parameter-parameter yang diukur termasuk data tangkapan dan usaha, efisiensi alat

    tangkap, tingkat kerusakan terhadap terumbu karang dan parameter sosial-ekonomi.

    Studi ini dilaksanakan di 3 desa yang termasuk dalam wilayah administratif Kecamatan

    Karimunjawa.

    Hasil dari studi ini akan menyediakan informasi mengenai aktivitas perikanan muro-ami

    di Karimunjawa. Parameter-parameter yang diukur untuk memperoleh tujuan dari studi

    ini adalah:

    2.1. Parameter Sosial-Ekonomi

    Pengumpulan data terhadap faktor-faktor sosial-ekonomi dilakukan dengan wawancara

    terstruktur. Responden dipilih secara acak dari kelompok-kelompok penangkapan

    lokal. Pemilihan ini diambil menggunakan peta distribusi rumah tangga yang telah

    dibuat pada bulan Januari 2003. Informasi yang dikumpulkan digunakan untuk

    menjelaskan:

    a. Perilaku nelayan terhadap sistem pengelolaan perikanan;

    b. Perilaku nelayan terhadap peraturan alat tangkap perikanan;

    c. Perilaku nelayan terhadap dampak pengelolaan perikanan bagi kehidupan

    mereka; dan

    d. Sejarah perkembangan jaring muro-ami di Karimunjawa.

    2.2. Pengukuran Efisiensi Alat Tangkap Terdapat dua langkah pengukuran rata-rata tangkapan:

    1. Mencatat hasil tangkapan dari setiap kelompok perikanan muro-ami melalui

    wawancara;

    2. Mengambil foto hasil tangkapan untuk analisis komposisi ikan hasil tangkapan;

    dan

    3. Efisiensi alat tangkap diperolah dari jumlah ikan yang ditangkap atau diambil

    dari ekosistem per wilayah operasi (lebar x panjang wilayah). Efisiensi alat

    tangkap muro-ami disajikan dalam kg/ha.

    2.3. Pengukuran Dampak Terhadap Terumbu Karang

    7

  • Dampak-dampak aktivitas penangkapan terhadap terumbu karang diukur dengan

    menggunakan metode transek sabuk. Transek diletakan pada kedalaman yang sama

    dimana penyelam jaring muro-ami bekerja dan mengikuti proses penggiringan.

    Transek mengikuti seorang penyelam penggiring, sepanjang 2 meter x 100 meter

    (200m2) transek sabuk dilakukan pencatatan (i) kerusakan karang dan (ii) penutupan

    karang, menggunakan metode Line Intercept Transect (LIT).

    Kerusakan karang digunakan untuk mengukur dampak aktivitas penangkapan dan

    dicatat kedalam tiga kategori:

    1. BBC (Broken Branching Coral);

    2. BPC (Broken Plate Coral); dan

    3. UTC (Up-turned Coral).

    Setiap kategori kerusakan karang dicatat sebagai:

    1. Jumlah patahan karang;

    2. Luas kerusakan karang (cm2); dan

    3. Data disajikan dalam satuan cm2 kerusakan karang dari setiap m2 of substrat

    karang hidup.

    8

  • III. DESKRIPSI ALAT TANGKAP MURO-AMI DAN PENGOPERASIANNYA

    3.1. Perkembangan Perikanan Muro-ami

    Berdasarkan klasifikasi alat tangkap menurut von Brandt (1984), muro-ami termasuk

    dalam drive-in net, dimana ikan ditangkap dengan cara menggiring ikan ke dalam alat

    tangkap jenis apa saja. Alat tangkap terdiri dari suatu konstruksi alat yang tetap

    (stasioner) yang menangkap ikan hanya jika ikan digiring kedalamnya oleh nelayan

    yang berenang atau menyelam maupun dengan menggunakan tali penggiring. Jenis-

    jenis alat tangkap drive-in yang digunakan diantaranya:

    a. Iwashi nakabiki ami, digunakan di Jepang untuk menangkap ikan-ikan

    sejenis sardine.

    b. Oshiki ami, juga digunakan di Jepang untuk menangkap jenis ikan sardine

    dan memiliki jaring kantong segitiga.

    c. Jaring berbentuk penadah debu yang dikembangkan di Filipina.

    d. Jaring yang menggunakan cahaya untuk menarik ikan.

    Muro-ami pada awalnya berkembang di Jepang kemudian diperkenalkan di Filipina

    pada tahun 1930-an. Filipina melarang penggunaan alat tangkap muro-ami sejak

    tahun 1986. Pelarangan pengunaan alat tangkap ini pertama kali diterapkan, karena

    dalam sebuah armada operasi alat tangkap ini mempekerjakan puluhan anak-anak

    dibawah umur. Anak-anak ini dilepaskan dari kapal utama dengan membawa tali

    penggiring yang dilengkapi pemberat dan gelang-gelang besi yang dapat menimbulkan

    suara. Dalam operasi muro-ami di Filipina, anak-anak dibawah umur ini seringkali

    menjadi korban perbudakan, dan bahkan mengalami kematian karena terjerat jaring

    dan tidak dapat naik ke permukaan untuk mengambil napas. Selain itu, penggunaan

    alat tangkap ini juga mengakibatkan kerusakan pada terumbu karang.

    9

  • Walaupun pelarangan operasi muro-ami terus berlanjut, pada tahapan selanjutnya

    operasi muro-ami di Filipina ini mulai beralih dari sistem penggiringan oleh anak-anak

    menjadi penggunaan penyelam kompresor hookah. Sistem operasi penangkapan ikan

    seperti ini di Filipina dinamakan pa-aling. Operasi pa-aling ini dapat mengurangi beban

    jumlah pekerja yang digunakan. Dari berbagai studi yang telah dilakukan,

    pengoperasian alat tangkap ini dapat menghabiskan stok ikan (standing stock) hingga

    50 % dalam beberapa kali penangkapan pada suatu daerah (Burke et.al., 2002).

    Nelayan tradisional di Palawan, Filipina, menyatakan bahwa mereka tidak dapat

    menangkap ikan di wilayah mereka selama empat tahun setelah kedatangan operasi

    kapal pa-aling (The Environmental Legal Assistance Center (ELAC), website).

    3.2. Perkembangan Muro-ami di Kepulauan Karimunjawa

    Muro-ami pada awalnya dioperasikan di Kepulauan Karimunjawa di awal tahun 1990-

    an oleh nelayan-nelayan dari Kepulauan Seribu, terutama dari P. Tidung, P. Kelapa

    dan P. Harapan. Muro-ami yang beroperasi tersebut terdiri dari satu buah kapal

    penampung ikan dan tiga kapal lain untuk operasi penangkapan dengan jumlah ABK

    sekitar 50-60 orang, operasi ini biasanya berlangsung selama 3 bulan dalam setahun,

    terutama pada musim pancaroba (sekitar bulan September hingga November).

    Pada tahun 1996 terjadi penolakan pengoperasian muro-ami oleh nelayan setempat

    karena dinilai menggangu operasi nelayan tradisional dan merugikan. Akibat

    penolakan tersebut, mulai tahun 1996 hingga 2001 muro-ami berhenti beroperasi di

    Kepulauan Karimunjawa.

    10

  • Pada akhir tahun 2002, setelah adanya surat edaran Pemerintah Kabupaten Jepara

    No. 523/2813 tanggal 28 Juni 2002 mengenai Usaha Penangkapan di Karimunjawa

    yang mengindikasikan diperbolehkannya muro-ami beroperasi di wilayah Kepulauan

    Karimunjawa. Muro-ami mulai beroperasi lagi di Karimunjawa dengan beberapa

    persyaratan. Persyaratan yang digariskan antara lain: pemilik armada dan mayoritas

    ABK haruslah orang lokal, perahu-perahu yang digunakan untuk operasional juga milik

    orang lokal serta ukuran mata jaring yang diperbesar (minimum 2 inci). Muro-ami yang

    beroperasi ini merupakan modifikasi dari muro-ami yang ada sebelumnya, dimana

    ukuran panjang jaring pelari dan jaring kantong lebih pendek dan jumlah ABK lebih

    sedikit (13-20 orang/armada).

    Pada masa awal beroperasinya kembali muro-ami sekitar bulan September-November

    2002, hasil tangkapan yang didapat sangat banyak untuk ukuran nelayan Karimunjawa

    berkisar antara 2 ton ikan ekor kuning (Caesio cuning) perminggu, atau 12 juta rupiah

    per armada per minggu. Pada saat itu baru terdapat tiga armada yang beroperasi.

    Sejak bulan Desember 2002, seiring dengan bertambahnya jumlah armada yang

    beroperasi (Gambar 3.1), hasil tangkapan mulai mengalami penurunan (Gambar 3.2).

    Pada bulan Januari 2003 jumlah total armada muro-ami yang beroperasi di seluruh

    Kepulauan Karimunjawa sebanyak 26 armada dimana 18 armada berasal dari desa

    Karimunjawa. Pada bulan tersebut hasil tangkapan rata-rata sekitar 700

    kg/armada/minggu. Pada bulan Mei 2003 dikarenakan musim barat, penurunan hasil

    tangkapan dan tingginya biaya operasi, jumlah armada muro-ami mulai berkurang,

    hingga hanya tinggal 6 armada yang masih beroperasi dengan hasil tangkapan rata-

    rata 398 kg/armada/minggu. Pada awal September 2003 beberapa armada mulai

    beroperasi kembali secara reguler dengan hasil tangkapan rata-rata sekitar 814

    kg/armada/minggu.

    11

  • 26

    6 6

    0

    5

    10

    15

    20

    25

    30

    January 2003 May 2003 September 2003

    Arm

    ada

    Gambar 3.1. Jumlah armada muro-ami di Kepulauan Karimunjawa Jan-Sep 2003.

    700

    300

    164

    0

    100

    200

    300

    400

    500

    600

    700

    800

    January 2003 May 2003 September 2003

    Has

    il ta

    ngka

    pan

    (kg)

    Gambar 3.2. Rata-rata tangkapan per upaya tangkap perikanan muro-ami.

    12

  • 3.3. Aktivitas Penangkapan

    Operasi penangkapan ikan dengan muro-ami di Kepulauan Karimunjawa biasanya

    menggunakan 3 buah kapal motor (Gambar 3.3). Dua kapal merupakan kapal

    pembawa jaring, salah satunya menjadi penampung ikan utama yang dilengkapi

    dengan palka yang sudah diisi es. Kapal ketiga berfungsi sebagai pembawa

    kompresor hookah yang membawa para penyelamnya. Dalam satu hari penangkapan,

    satu unit armada penangkapan muro-ami rata-rata melakukan 2-3 kali seting.

    Rizya L. Ardiwijaya-WCS 2003

    Gambar 3.3. Kegiatan pengoperasian muro-ami d

    Gambar 3.4. Daerah pengoperasian jaring muro-ami pada

    i Karimunjawa

    WCS 2003

    bulan September 2003

    13

  • Gambar 3.5. Teknik pengoperasian jaring Muro-ami di Karimunjawa

    Jaring terdiri dari tiga bagian, dua bagian jaring pelari yang berfungsi sebagai

    pengarah atau penggiring ikan menuju jaring kantong dan satu bagian jaring kantong

    yang berfungsi sebagai jaring penampung ikan.

    Dalam satu armada muro-ami biasanya terdiri dari 1318 orang yang dipimpin oleh

    seorang kepala laut (fishing master). Kepala laut bertanggung jawab atas seluruh

    operasional penangkapan, mulai dari penentuan lokasi, pemasangan jaring (setting),

    penggiringan, hauling, proses melepas jaring hingga menentukan lokasi penangkapan

    berikutnya. Dalam penentuan lokasi penangkapan, seorang kepala laut biasanya

    menggunakan kompresor hookah untuk melihat keberadaan ikan di bawah air.

    Seringkali kepala laut berfungsi ganda sebagai penyelam penggiring.

    Penyelam kompresor terdiri dari 5 hingga 7 orang, dipimpin oleh seorang kepala

    tengah yang bertugas memimpin penggiringan di bawah air dan biasanya posisinya

    berada di tengah. Jaring dipasang di sekitar terumbu karang dengan kedalaman

    sekitar 10 hingga 20 meter. Sementara penyelam memulai penggiringan pada kisaran

    kedalaman 5 hingga 35 meter.

    3.4. Aspek Medis Penyelaman

    Berdasarkan informasi lokal yang dikumpulkan dari berbagai sumber, sejumlah isu

    medis muncul ke permukaan dari operasi perikanan muro-ami di Kepulauan

    Karimunjawa sejak awal tahun 2002. Masalah-masalah medis yang muncul dari

    kegiatan yang berkaitan dengan penyelaman termasuk diantaranya 10 penyelam

    mengalami kelumpuhan, 5 penyelam meninggal dunia, dan dari informasi yang tidak

    14

  • resmi, banyak penyelam yang menderita gejala kesakitan pada bagian-bagian tubuh

    mereka yang mereka sebut kram. Semua gejala diatas merupakan akibat dari

    prosedur penyelaman yang tidak benar dengan menggunakan kompresor hookah.

    Dalam satu kali hauling, seorang penyelam bisa melakukan tiga kali penyelaman yaitu

    pertama saat memasang jaring, kedua menggiring ikan ke jaring kantong, dan ketiga

    melepas jaring. Setiap aktivitas memakan waktu masing-masing sekitar 40 menit, 10

    30 menit dan 20 menit. Sebagai contoh jaring dipasang pada kedalaman sekitar 20

    meter (60 feet) dan kisaran kedalaman penyelam penggiring terdalam adalah sekitar

    30 meter (90 feet) akan dijelaskan kemudian.

    Satu unit operasi muro-ami biasanya berangkat sekitar pukul 6 7 pagi, dan

    perjalanan ke lokasi sekitar 1 jam. Sekitar pukul 8 pagi seorang kepala laut sudah

    mulai menyelam untuk mencari lokasi penangkapan dan mengamati ikan yang ada

    didalamnya. Jika lokasi yang dilihat tidak memuaskan, pencarian akan diteruskan

    dengan berpindah ke tempat lain yang biasanya tidak jauh dari lokasi pertama. Proses

    ini berlangsung terus sampai ditemukan lokasi yang tepat.

    Setelah mendapatkan lokasi yang tepat, kapal yang memuat jaring dan palka mulai

    menempatkan jangkar, kemudian para penyelam memasang jaring pelari dan jaring

    kantong pada kedalaman sekitar 5 hingga 35 meter. Proses ini memakan waktu sekitar

    40 menit. Faktor yang cukup berperan dalam operasi muro-ami adalah arus yang

    membantu jaring kantong dapat terbuka secara sempurna.

    Setelah pemasangan selesai, para penyelam naik ke kapal yang memuat kompresor

    hookah, dan bersiap melakukan penyelaman tahap kedua. Tahapan ini termasuk

    didalamnya adalah proses penggiringan. Lama waktu penggiringan sangat bervariasi

    antara 10 40 menit, pada selang kedalaman 5 35 meter. Interval waktu antara

    penyelaman cukup pendek, sekitar 10 menit. Setelah ikan digiring kedalam jaring

    kantong, para penyelam mengangkat jaring kantong ke permukaan secepat mungkin.

    Kemudian mereka kembali masuk ke dasar untuk membongkar jaring pelari. Proses

    pelepasan jaring pelari ini biasanya memakan waktu sekitar 20 menit. Berdasarkan

    prosedur penyelaman yang benar menggunakan tabel selam, dalam satu kali operasi

    seperti yang dicontohkan di atas, penyelam yang yang melebihi kedalam 20 meter

    sudah melewati limit waktu dekompresi. Jika prosedur ini diabaikan, penyelam akan

    mengalami gejala dekompresi seperti pegal-pegal pada otot dan persendian, rasa

    sakit di dada, sakit belikat dan punggung, pusing-pusing, sakit kepala, mual, rasa

    kesemutan/kebal, dan rasa lemas (Lippman & Bugg, 1984). Jika gejala-gejala ini

    15

  • masih diabaikan juga maka penyelam tersebut dapat mengalami kelumpuhan pada

    kaki atau tangannya, bahkan dalam beberapa kasus dapat mengakibatkan kematian.

    Selain tidak memperhatikan interval permukaan, para penyelam muro-ami seringkali

    naik terlalu cepat dari perairan dalam. Kecepatan naik yang disarankan adalah tidak

    melebihi 1 feet per detik, atau kira-kira 20 meter dalam 1 menit. Hal ini dimaksudkan

    untuk memberi kesempatan pada gas-gas lembam (inert) seperti nitrogen untuk keluar

    dari pembuluh darah kapiler. Para penyelam biasanya naik lebih cepat, misalnya dari

    kedalaman 20 meter, dia bisa naik dalam 3 5 detik saja. Cara naik yang terlalu cepat

    ini dapat mengakibatkan penyumbatan pembuluh darah kapiler oleh gelembung udara,

    sehingga darah tidak dapat mengaliri bagian tubuh tertentu. Ini dapat menyebabkan

    kelumpuhan pada bagian-bagian tubuh. Jika penyumbatan terjadi pada pembuluh

    darah ke kepala atau otak maka akan menyebankan kematian mendadak karena otak

    tidak mendapatkan suplai darah dan oksigen.

    IV. ANALISA SOSIAL EKONOMI

    4.1. Pola Hubungan

    Salah satu ciri yang kuat dari struktur sosial komunitas nelayan adalah kuatnya

    hubungan antara juragan dengan buruh nelayan. Hal ini juga terlihat dalam hubungan

    antara pemilik jaring dan kapal dengan para awak kapal yang juga menjadi buruh

    nelayan. Ikatan ini lahir untuk saling membagi resiko dan ketidakpastian secara

    ekonomi. Ikatan ini lebih dikenal dengan istilah patron klien. Ikatan patron klien ini

    merupakan jaminan ekonomi yang saat ini dipraktekkan sebagai hubungan yang saling

    menguntungkan dan juga jalinan keakraban. Hubungan ini saling menguntungkan

    dalam nilai sosial, namun sangat berbeda dampaknya dalam lingkup pemanfaatan

    sumberdaya alam.

    Ikatan patron klien yang terlihat dari usaha perikanan muro-ami ini dapat dilihat dari

    penguasaan alat-alat produksi dan biaya operasional yang ditanggung oleh pemilik

    (juragan). Penerapan sistem bagi hasil merupakan upaya untuk membagi resiko

    kerugian. Sistem bagi hasil yang biasa digunakan pada operasi penangkapan dengan

    muro-ami adalah 3 bagian untuk kapal, 3 bagian untuk jaring, 1 bagian untuk

    kompresor, 2,5 bagian untuk kepala laut, 1,5 bagian untuk penyelam dan 1 bagian

    untuk penarik jaring. Berikut ini adalah contoh analisa ekonomi dalam satu operasi

    muro-ami.

    16

  • Rata-rata hasil tangkapan bulan Mei 2003 sebesar 388.461 kg/armada/minggu.

    Dengan harga jual ikan ekor kuning yang diterima nelayan sebesar Rp 6.000.00/kg,

    maka didapatkan harga jual rata-rata sebesar 388.461 x Rp 6.000.00 = Rp

    2.330.769.00. Rata-rata biaya operasional yang dikeluarkan setiap juragan adalah Rp

    515.000.00.

    Berdasar sistem bagi hasil yang diterapkan di peroleh pembagian keuntungan dengan

    rata-rata jumlah ABK sebanyak 16 orang diperoleh pendapatan Rp.

    67.262.00/minggu/pekerja dan Rp.100.892.00/minggu untuk nelayan penyelam.

    4.2. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Kunci keberhasilan penerapan manajemen dalam rangka pemanfaatan sumber daya

    perikanan yang berkesinambungan terletak pada dukungan dari masyarakat sebagai

    pelaku utama. Tanpa dukungan dari masyarakat, proses-proses pengelolaan

    sumberdaya perikanan di Karimunjawa tidak akan memberikan perubahan yang

    berarti. Kegagalan pengelolaan akan memberikan dampak negatif bagi masyarakat

    nelayan. Kerugian terbesar bagi masyarakat adalah berkurangnya stok ikan yg

    mengarahkan kepada hilangannya rantai nilai ekonomi sumberdaya perikanan yang

    selama ini menjadi sumber mata pencaharian utama.

    Secara empiris terlihat secara jelas adanya kelemahan penegakan hukum (jumlah

    aparat teknis di lapangan, pembiayaan pengamanan dan penerimaan oleh

    masyarakat). Wujud nyata partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan dalam

    pengelolaan sehingga dapat merubah sudut pandang dalam pengelolaan sumberdaya

    alam dari government based management menuju pengelolaan yang melibatkan

    semua pihak terkait. Dalam proses perubahan ini diperlukan langkah bersama untuk

    menyusun strategi pengelolaan yang berkelanjutan dan mengembangkan alternatif

    kolaborasi antar seluruh pihak terkait.

    4.3. Persepsi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

    Wawancara kepada 120 responden nelayan dilakukan untuk menjawab pertanyaan-

    pertanyaan kunci berikut ini:

    Strategi pengelolaan perikanan yang bagaimana yang lebih mudah untuk diterima dan diterapkan oleh nelayan dan masyarakat.

    Bagaimanakah persepsi nelayan dan masyarakat mengenai kegiatan penangkapan ikan dan pemanfaatan sumber daya perikanan yang memungkinkan untuk

    terciptanya penerapan strategi pengelolaan yang efektif.

    17

  • Hasil wawancara yang dilakukan terhadap 120 responden nelayan menunjukan bahwa

    80% responden menginginkan adanya pengaturan alat tangkap ikan, sedangkan 56%

    dan 14% mendukung adanya sistem buka-tutup dan sistem penutupan permanent

    untuk suatu lokasi penangkapan (Gambar 4.1).

    0

    20

    40

    60

    80

    100

    Tutup Permanen Sistem Buka Tutup Pengaturan AlatTangkap

    % R

    espo

    nden

    Gambar 4.1. Persepsi masyarakat mengenai manajemen perikanan

    Usaha yang diyakini dapat memberikan dampak yang baik adalah pengaturan jenis

    alat tangkap. Hal ini dapat dipahami mengingat tidak meratanya distribusi akses

    terhadap sumberdaya perikanan yang dipengaruhi oleh kekuatan modal. Mekanisme

    patron klien sebagai institusi ekonomi tidak bisa memberikan solusi bagi pemerataan

    kesempatan dan akses yang merata terhadap sumberdaya alam. Bila hal ini terus

    berlangsung dan sumber daya ikan terus menurun karena tingkat penangkapan yg

    tinggi oleh muro-ami, dikhawatirkan dapat menjadi pemicu pecahnya konflik horizontal

    antara kelompok-kelompok nelayan.

    Berdasar informasi yang bisa dikumpulkan dari seluruh responden, gambaran yang

    diperoleh yaitu 50% responden menyatakan keinginan untuk dilakukannya

    pembatasan atau pelarangan terhadap alat tangkap muro-ami, 18% untuk pelarangan

    ambai, 37% untuk pelarangan cantrang (Gambar 4.2). Alat-alat tersebut termasuk alat

    yang paling efektif dalam menguras sumber daya ikan. Ukuran mata jaring yg

    termasuk kecil (

  • 0

    10

    20

    30

    40

    50

    60

    Muro-ami Ambai Cantrang Pure-seine Alat lain

    % R

    espo

    nden

    Gambar 4.2. Persepsi pengaturan jenis alat tangkap

    Ada sebagian kecil responden yang memberikan dukungan untuk adanya pengaturan

    terhadap alat tangkap purse seine. Alat ini merupakan alat modern yang sangat efektif

    dalam menangkap ikan-ikan pelagis dan merupakan saingan terberat bagi nelayan

    pancing tradisional di Karimunjawa dalam menangkap ikan. Sebagian lagi (12%)

    memberikan perhatian terhadap alat lain, yaitu bom dan sianida. Rendahnya

    persentase ini menunjukkan rendahnya penggunaan metode penangkapan tersebut di

    Karimunjawa. Peraturan pemerintah dan program penyadaran masyarakat turut

    berperan dalam hal ini, walaupun penangkapan ikan dengan sianida masih tetap

    berlangsung di karimunjawa oleh kira-kira 80 orang nelayan.

    Persepsi masyarakat Karimunjawa mengenai peraturan pengelolaan sumber daya ikan

    menyatakan bahwa sistem penutupan permanen akan mendapat dukungan terendah

    dari masyarakat, sedangkan sistem pengaturan jenis alat tangkap akan mendapatkan

    dukungan terkuat karena memberikan dampak terkecil bagi mata pencaharian nelayan.

    Sekurangnya 33% responden menyatakan bahwa sistem pengaturan penutupan

    permanen (zona inti) lokasi penangkapan ikan diyakini akan memberikan dampak

    negatif bagi penghasilan nelayan karena berkurangnya daerah penangkapan. Kurang

    lebih 22% menyatakan bahwa peraturan-peraturannya tidak berdampak negatif bagi

    mata pencaharian mereka (Gambar 4.3).

    19

  • 015

    30

    45

    60

    75

    90

    Penutupan permanen Sistem buka tutup Pengaturan AlatTangkap

    Ya Tidak Tidak Komentar

    Gambar 4.3. Dampak pengaturan sistem perikanan terhadap mata pencaharian.

    Upaya pengaturan dengan sistem buka-tutup diyakini bisa memberikan dampak yang

    positif bagi mata pencaharian nelayan. Hal ini ditunjukkan kurang lebih 45%

    menyatakan sistem buka-tutup tidak berdampak negatif terhadap mata pencaharian.

    Kurang lebih 12% responden menyatakan sistem buka tutup akan berpengaruh negatif

    terhadap mata pencahariannya.

    Pengaturan alat tangkap diyakini memberikan pengaruh yang besar perbaikan mata

    pencaharian nelayan, 80% responden menyatakan pengaturan alat tangkap dapat

    meningkatkan stok ikan. Hanya sekitar 5% responden menyatakan pengaturan alat

    tangkap bisa berdampak negatif bagi penghasilan mereka.

    20

  • V. DATA HASIL TANGKAPAN MURO-AMI 5.1. Komposisi Hasil Tangkapan Muro-ami Target utama penangkapan ikan dengan menggunakan muro-ami adalah ikan ekor

    kuning atau Caesio cuning dari famili Caesionidae. Ekor kuning adalah satu-satunya

    jenis ikan target utama tangkapan setiap operasi muro-ami. Hanya jenis ekor kuning

    yang bernilai jual, sedangkan jenis ikan lain, yang disebut juga hasil sampingan

    biasanya hanya untuk dibagi-bagi antar anggota kongsi saja, kecuali bila ditangkap

    dalam jumlah yang sangat besar. Misalnya pada waktu tertentu secara kebetulan

    tertangkap serombongan ikan dari famili Carangidae (badong) seberat 3 ton.

    Berdasarkan kenyataan ini, seharusnya ikan ekor kuning hasil tangkapan muro-ami

    merupakan bagian terbesar dari seluruh tangkapan. Namun dari data hasil penelitian

    ini, persentase tangkapan ikan ekor kuning hanya sebesar 27,61% dari seluruh total

    tangkapan ikan (Gambar 5.1). Hal ini menunjukkan bahwa masa depan perikanan

    ekor kuning mungkin tidak akan bertahan lama dan muro-ami tampaknya juga

    menguras lebih ikan-ikan jenis lain.

    Caesio cuning27.61%

    Caesio caerulaurea,

    8.48%

    Caranx lugubris, 8.72%

    Carangoides gymnostethus,

    13.86%

    Chlorurus microrhinus,

    3.63%

    Gambar 5.1. Komposisi jenis ikan hasil tangkapan muro-ami

    Komposisi hasil tangkapan ikan muro-ami dari seluruh family Caesionidae bahkan

    masih belum mencapai setengah dari total seluruh tangkapan (43,63%) (Gambar 5.2). Padahal selain ekor kuning (C. cuning), jenis ikan tangkapan lain yang termasuk dalam

    family Caesionidae adalah Caesio caerulaurea dan Pterocaesio lativittata (pisang-

    21

  • pisang). Kedua jenis ikan ini tidak termasuk ke dalam jenis ikan target utama muro-

    ami walaupun berasal dari satu family dengan C. cuning.

    Carangidae, 13.94%

    Sphyraenidae, 11.39%

    Caesionidae, 43.63%

    Lutjanidae, 8.72%

    Scaridae, 6.67%

    Serranidae, 6.04%

    Gambar 6.2. Komposisi famili ikan hasil tangkapan muro-ami

    Rata-rata sebanyak 6,76 kg ekor kuning tertangkap per hari dari penggunaan muro-

    ami di Karimunjawa selama pengamatan pada bulan September 2003. Keterangan

    lisan dari penduduk setempat menyatakan bahwa hasil tangkapan ekor kuning pada

    awal beroperasinya muro-ami di Karimunjawa bulan Januari 2003 jauh lebih besar

    daripada data hasil tangkapan pada bulan September. Penurunan ini mungkin

    disebabkan oleh pengurangan upaya tangkap karena pengaruh musim barat.

    Walaupun tidak ada data akurat yang menyatakan bahwa penurunan stok ekor kuning

    merupaksan penyebab berkurangnya hasil tangkapan, namun perlu dilakukan

    pengawasan terhadap tingkat penangkapan spesies ikan ini demikian juga dengan

    perlunya peraturan pengelolaan yang menuju pemanfaatan sumber daya ekor kuning

    yang berkelanjutan.

    Selain Caesionidae, muro-ami juga sangat effisien dalam menangkap ikan target dari

    famili Carangidae, Scaridae, Sphyraenidae, dan Lutjanidae (Gambar 5.3). Scaridae

    (kelompok ikan kakatua) merupakan kelompok ikan karang yang sangat penting

    karena peranannya di dalam bio-erosion dan perputaran daur hidup alga pada

    ekosistem terumbu karang.

    22

  • 0%

    20%

    40%

    60%

    80%

    100%

    Scar

    idae

    Serr

    anid

    ae

    Mul

    lidae

    Aca

    nthu

    ridae

    Leth

    rinid

    ae

    Cae

    sion

    ida

    Car

    angi

    dae

    Sphy

    raen

    idae

    Lutja

    nida

    e

    Hae

    mul

    idae

    Das

    yatid

    ae

    Nem

    ipte

    ridae

    Pers

    enta

    se b

    erat

    has

    il ta

    ngka

    pan

    tiap

    alat

    tang

    kap

    e

    BubuPanahJaringPancingMuroamiTombak

    Gambar 5.3. Komposisi famili ikan hasil tangkapan dengan berbagai alat tangkap.

    5.2. Ukuran Rata-rata Hasil Tangkapan Muro-ami. Ukuran ikan hasil tangkapan dengan muro-ami berdasarkan panjang totalnya berkisar

    antara 9-108 cm. Berdasarkan panjang minimum ini dapat diketahui bahwa ukuran

    mata jaring yang digunakan dalam operasi muro-ami kurang selektif. Terbukti dari

    tertangkapnya ikanikan dalam ukuran sangat kecil yang sama sekali bukan target

    utama penangkapan.

    Rata-rata ukuran ikan ekor kuning (C. cuning) yang tertangkap adalah 26,5 cm atau

    dengan ukuran nelayan setempat 5 ekor dalam 1 kg (Gambar 6.4). Ikan ekor kuning

    pada umumnya mencapai tahap dewasa pada ukuran 25-45 cm dan pada selang

    ukuran 33-46 cm atau 2 ekor dalam 1 kg baru merupakan ukuran tangkap yang

    optimal, dalam arti memiliki nilai ekonomis dan ekologis yang tinggi.

    23

  • 020

    40

    60

    80

    100

    120

    Caesio cuning Carangoidesgymnostethus

    Caranxlugubris

    Caesiocaerulaurea

    Chlorurusmicrorhinus

    Panj

    ang

    Tota

    l(c

    m)

    Selang Panjang Tahap Dewasa Panjang Rata-rata Gambar 5.4. Panjang rata-rata ikan hasil tangkapan muro-ami

    Bila dibandingkan dengan spesies ikan lain, hanya ekor kuning yang terancam over-

    fishing karena rata-rata panjang total ekor kuning hampir melampaui batas terendah

    selang panjang tahap dewasa. Apabila rata-rata panjang ini terus berkurang, hal ini

    berarti sebagian besar ikan yang tertangkap berada dalam fase belum dewasa dan

    kelestarian sumberdaya perikanan ini berada dalam ancaman yg serius. Data-data ini

    menunjukkan dan memberatkan muro-ami sebagai metode penangkapan yang tidak

    lestari.

    5.3. Efisiensi Hasil Tangkapan

    Pengoperasian alat tangkap muro-ami di Karimunjawa pada umumnya menggunakan

    3 buah kapal dengan rata-rata 16 orang awak. Dengan metode penangkapan yang

    semi aktif, hasil tangkapan yang diperoleh mencapai kurang lebih 814 kg/minggu. Bila

    dibandingkan dengan hasil tangkapan alat lain, muro-ami memberikan hasil yang lebih

    baik, yaitu 5,6 kg/nelayan/hari (Gambar 5.5).

    24

  • 01

    2

    3

    4

    5

    6

    Tombak Pancing Jaring Panah Bubu Muroami

    Kg/N

    elay

    an/H

    ari

    Gambar 5.5. Jumlah hasil tangkapan ikan untuk tiap orang dalam satu hari

    Nilai ini mewakili nilai satu bagian dalam sistem pembagian hasil yang berlaku di

    kalangan nelayan muro-ami. Dalam hal ini, nilai tersebut sebanding dengan

    penghasilan nelayan penarik jaring dalam suatu kongsi muro-ami. Nelayan anggota

    muro-ami tidak mengeluarkan biaya operasional. Semua biaya ditanggung oleh

    pemilik jaring. Hal inilah yang membuat nelayan tertarik untuk mengikuti kongsi muro-

    ami.

    5.4. Biomassa Ikan Karang yang Terambil dengan Muro-ami.

    Ditinjau dari teknik pengoperasiannya, dalam satu kali operasi muro-ami luas rata-rata

    daerah yang disapu oleh para penyelam dalam menggiring ikan sampai ke jaring

    kantong adalah 2,4 hektar atau 80 x 300 m2. Dari nilai luasan ini dapat dikaji besarnya

    biomassa rata-rata ikan yang terambil dalam satu kali operasi muro-ami.

    Berdasarkan hasil pengamatan, selang jumlah semua ikan yang terambil dari area

    sapuan muro-ami adalah 4,83 kg/Ha 127,71 kg/Ha dengan rata-rata mencapai 62,76

    kg/Ha (Gambar 5.6). Dengan demikian kira-kira 150 kg ikan perhari yang keluar dari

    perairan Karimunjawa oleh alat tangkap muro-ami dalam satu kali operasi.

    25

  • 20

    40

    60

    80

    100

    120

    140

    Kg/

    Ha

    01 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

    Rata-rata 62,76 kg/Ha

    Gambar 6.6. Jumlah ikan per hektar yang terambil dalam setiap operasi muro-ami

    Muro-ami merupakan alat tangkap ikan yang tidak selektif karena menangkap berbagai

    species ikan dan dalam jumlah besar. Alat tangkap ini berpotensi, atau bahkan sudah,

    menguras stok ikan di perairan Karimunjawa. Ada bukti-bukti tidak tertulis yang

    menyatakan bahwa hasil tangkapan ikan selama operasi muro-ami berkurang sejak

    tahun 2002-2003. Penurunan hasil tangkapan muro-ami ini mungkin juga desebabkan

    adanya pola adaptasi dari ekor kuning terhadap teknik operasional muro-ami. Ikan ini

    sepertinya tidak dapat lagi digiring dengan mudah ke jaring kantong seperti pada

    awalnya operasi muro-ami berlangsung. Demikianlah yang terjadi pada beberapa

    pengamatan langsung. Walaupun sudah terkepung oleh para penggiring, namun

    serombongan besar ikan dapat meloloskan diri dari atas dan bawah tali penggiring,

    dari sela-sela batu, bahkan tidak takut untuk lewat diantara para penyelam.

    26

  • VI. DAMPAK TERHADAP TERUMBU KARANG Berbeda dengan jenis-jenis alat tangkap lain yang dioperasikan di daerah terumbu

    karang, muro-ami secara langsung memberikan dampak kerusakan terhadap terumbu

    karang. Kerusakan yang terjadi disebabkan oleh :

    6.1. Injakan oleh Nelayan Penyelam

    Aktivitas penangkapan menggunakan Mur ir

    yang disertai oleh proses pemasangan jar n.

    Selama proses-prose

    berjalan diatas kara

    terutama terjadi jika

    didominasi oleh kara

    (Gambar 6.1).

    6.2. Tali Penggiring

    Tali penggiring sering

    6.2).

    R

    Gambar 6.1. Aktivitashamparan karang.

    s tersebut, nelayan penyelam tidak hanya

    ng sehingga menyebabkan kerusakan

    operasi penangkapan dilakukan diatas ha

    ng bercabang dan karang meja yang

    menyebabkan kerusakan jika tersangkut

    izya L. Ardiwijaya-WCS 2003 R

    Gambar 6.2. Tali pengkarang

    penggiringan diatas o-ami lebih banyak dilakukan dibawah a

    ing, penggiringan, dan pengangkatan ika berenang tetapi juga

    karang. Hal tersebut

    mparan karang yang

    sangat mudah rusak

    pada karang (Gambar

    izya L. Ardiwijaya-WCS 2003 giring tersangkut pada

    27

  • 6.3. Cincin Penghalau

    Dalam proses penggiringan ikan, para penyelam juga menggunakan alat tambahan

    yang berfungsi untuk menakuti ikan. Alat tersebut berupa cincin-cincin yang terbuat

    dari besi (Gambar 6.3). Pada prosesnya cincin-cincin tersebut digunakan dengan cara

    memukul-mukulkan r perairan/kara an

    menghalau/menakuti ikan-ikan yang bersembunyi di dalam lubang atau celah-celah

    karang.

    Rizya L. Ardiwijaya-WCS 2003

    Gambar 6.3. Cincin penghalau yang digunakan penyelam muro-ami

    6.4. Jaring

    Faktor lain penyebab kerusakan adalah jar

    ditempatkan di dasar perairan dan diikatka

    terkadang diberi pemberat (Gambar 6.5) ya

    hidup yang ada disekitarnya

    Rizya L. Ardiwijaya-WCS 2003

    Gambar 6.4. Peletakan jaring diatas karang

    ing. Hal tersebut

    n langsung pada k

    ng sebagian men

    Gambar 6.5. Pembng dengan tujunya pada dasadisebabkan karena jaring

    arang (Gambar 6.4) atau

    ggunakan karang-karang

    Rizya L. Ardiwijaya-WCS 2003 erat menggunakan karang

    28

  • 29

    Kerusakan karang yang disebabkan oleh seorang penyelam muro-ami selama proses

    penggiringan sebesar 11,4 cm2 dalam setiap 1 m2 karang hidup, atau 0,11% kerusakan

    (Gambar 6.6). Nilai ini hampir sama dengan rata-rata kerusakan karang (10,3 cm2

    dalam setiap 1 m2 karang hidup) yang disebabkan oleh aktivitas manusia diseluruh

    kepulauan Karimunjawa. Hal ini menunjukkan bahwa satu penyelam muro-ami

    berpotensi menimbulkan kerusakan yang relatif sebanding dengan kerusakan yang

    disebabkan oleh keseluruhan aktivitas (jangkar, kapal, kerusakan oleh manusia).

    Dalam satu kelompok operasi muro-ami terdapat 1 hingga 5 orang penyelam yang

    berpotensi menimbulkan kerusakan sehingga potensi kerusakan yang terjadi dengan

    mengalikan 11,4 cm2 dengan jumlah penyelam yang ada. Angka tersebut adalah

    potensi kerusakan dari penyelam muro-ami dan tidak mencakup kerusakan yang

    diakibatkan oleh aktivitas lain seperti pemasangan dan pengangkatan jaring.

    GRAFIK RATA-RATA TINGKAT KERUSAKAN KARANG

    11.410.3

    0.0

    2.0

    4.0

    6.0

    8.0

    10.0

    12.0

    14.0

    16.0

    Rata-rata Kep. Karimunjawa* 1 penyelam Muro-ami

    Rat

    a-ra

    ta k

    erus

    akan

    (cm

    2 /m2 )

    Gambar 6.6. Perbandingan rata-rata kerusakan karang

  • VII. KESIMPULAN

    Perikanan muro-ami diidentifikasi sebagai suatu ancaman bagi ekosistem terumbu karang di kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Studi ini menyoroti bahwa aktivitas perikanan muro-ami mengambil hingga 5 kali lipat lebih banyak dibandingkan alat tangkap lain dengan hasil rata-rata 5,6 kg/nelayan/hari, atau sebanding dengan 150 kg ikan yang diambil dari perairan kepulauan Karimunjawa setiap tripnya. Metode yang diterapkan dapat mengakibatkan kerusakan langsung pada terumbu karang. Masalah-masalah kesehatan juga ditemukan diantara nelayan penyelam muro-ami dan survey sosial-ekonomi menyarankan pelarangan praktek perikanan muro-ami akan mendapat penerimaan dan dukungan, terutama apabila metode penangkapan alternatif dapat diberikan dan diterapkan. Spesies target utama dari muro-ami adalah ikan ekor kuning (Caesio cuning) dari famili Caesionidae. Pada umumnya ekor kuning satu-satunya spesies penting yang memiliki nilai ekonomis, dan sisanya merupakan hasil sampingan (by-catch) yang biasanya dibagikan diantara anggota kelompok nelayan tersebut. Studi hasil tangkapan (fish catch) dari ikan ekor kuning, menunjukan bahwa jenis tersebut hanya sebesar 27.61% dari seluruh hasil tangkapan serta ukuran rata-rata yang ditangkap dibawah ukuran dewasa. Wildlife Conservation Society bekerjasama dengan pemerintah lokal, LSM lokal dan Balai Taman Nasional bertujuan untuk mendukung proses pengaturan perikanan muro-ami di Taman Nasional Karimunjawa dengan mengajukan teknik pengelolaan yang baik sebagai bagian dari rencana pengelolaan dan zonasi untuk Balai Taman Nasional Karimunjawa. WCS dan pihak-pihak terkait lainnya akan melakukan pengawasan efektivitas pengelolaan secara berkala dengan membandingkan kondisi sebelum dan setelah penerapan manajemen baru tersebut. Informasi yang disampaikan dalam laporan ini akan digunakan secara langsung dalam implementasi usaha konservasi di Taman Nasional Karimunjawa.

    30

  • DAFTAR PUSTAKA

    Burke, L., L. Selig, and M. Spalding. 2002. Philippines: Muro-ami and pa-aling fishing

    methods. Reefs at Risk in Southeast Asia (website). Lippman, J. and S. Bugg. 1984. Diving First Aid Manual. J.L. Publications. Ashburton,

    Victoria, Australia. 40p. Pollnac, Richard B. Rapid Assessment of Management Parameters for Coral Reefs.

    Coastal Resources Center University of Rhode Island. 1998. The Environmental Legal Assistance Center (ELAC). 2001. Fishing with Dead Young

    Boys. Asia Observer (website). The Environmental Legal Assistance Center (ELAC). 2001. Ban Pa-aling Campaign.

    Pamayanan (website). von Brandt, A. 1984. Fish Catching Methods of the World. Fishing News Books Ltd.

    Farnham, Surrey, England. 418p.

    31

    RINGKASAN EKSEKUTIFI. PENDAHULUANLatar Belakang1.2. TujuanII. METODE SURVEIIII. DESKRIPSI ALAT TANGKAP MURO-AMI DAN PENGOPERASIANNYA

    3.1. Perkembangan Perikanan Muro-amiBerdasarkan klasifikasi alat tangkap menurut von Brandt (1983.3. Aktivitas Penangkapan3.4. Aspek Medis PenyelamanIV. ANALISA SOSIAL EKONOMI4.1. Pola Hubungan4.3. Persepsi Pengelolaan Sumberdaya PerikananV. DATA HASIL TANGKAPAN MURO-AMIVII. KESIMPULAN