stroke non hemoragik.docx

29
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Stroke sudah dikenal sejak dulu kala, bahkan sebelum zaman Hippocrates. Soranus dari Ephesus (98 -138) di Eropa telah mengamati beberapa faktor yang mempengaruhi stroke. Hippocrates adalah Bapak Kedokteran asal Yunani. Ia mengetahui stroke 2400 tahun silam. Kala itu, belum ada istilah stroke. Hippocrates menyebutnya dalam bahasa Yunani: apopleksi. Artinya, tertubruk oleh pengabaian. Sampai saat ini, stroke masih merupakan salah satu penyakit saraf yang paling banyak menarik perhatian. 1,2 Definisi WHO, stroke adalah menifestasi klinik dari gangguan fungsi serebral, baik fokal maupun menyeluruh (global), yang berlangsung dengan cepat, selama lebih dari 24 jam atau berakhir dengan maut, tanpa ditemukannya penyebab lain selain gangguan vaskuler. Istilah kuno apopleksia serebri sama maknanya dengan Cerebrovascular Accidents/Attacks (CVA) dan Stroke. 1 Stroke mengenai semua usia, termasuk anak-anak. Namun, sebagian besar kasus dijumpai pada orang-orang yang berusia di atas 40 tahun. Makin tua umur, resiko terjangkit stroke makin besar. Penyakit ini juga tidak mengenal jenis kelamin. Tetapi, stroke lebih banyak menjangkiti laki-laki daripada perempuan. Lalu dari segi warna kulit, orang berkulit berwarna berpeluang terkena stroke lebih besar daripada orang berkulit putih. 2 1

Upload: chrisye-leena

Post on 26-Oct-2015

191 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Definisi WHO, stroke adalah menifestasi klinik dari gangguan fungsi serebral, baik fokal maupun menyeluruh (global), yang berlangsung dengan cepat, selama lebih dari 24 jam atau berakhir dengan maut, tanpa ditemukannya penyebab lain selain gangguan vaskuler.

TRANSCRIPT

BAB I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Stroke sudah dikenal sejak dulu kala, bahkan sebelum zaman Hippocrates. Soranus

dari Ephesus (98 -138) di Eropa telah mengamati beberapa faktor yang mempengaruhi

stroke. Hippocrates adalah Bapak Kedokteran asal Yunani. Ia mengetahui stroke 2400

tahun silam. Kala itu, belum ada istilah stroke. Hippocrates menyebutnya dalam bahasa

Yunani: apopleksi. Artinya, tertubruk oleh pengabaian. Sampai saat ini, stroke masih

merupakan salah satu penyakit saraf yang paling banyak menarik perhatian.1,2

Definisi WHO, stroke adalah menifestasi klinik dari gangguan fungsi serebral, baik

fokal maupun menyeluruh (global), yang berlangsung dengan cepat, selama lebih dari 24

jam atau berakhir dengan maut, tanpa ditemukannya penyebab lain selain gangguan

vaskuler. Istilah kuno apopleksia serebri sama maknanya dengan Cerebrovascular

Accidents/Attacks (CVA) dan Stroke.1

Stroke mengenai semua usia, termasuk anak-anak. Namun, sebagian besar kasus

dijumpai pada orang-orang yang berusia di atas 40 tahun. Makin tua umur, resiko

terjangkit stroke makin besar. Penyakit ini juga tidak mengenal jenis kelamin. Tetapi,

stroke lebih banyak menjangkiti laki-laki daripada perempuan. Lalu dari segi warna

kulit, orang berkulit berwarna berpeluang terkena stroke lebih besar daripada orang

berkulit putih.2

Stroke adalah penyebab cacat nomor satu dan penyebab kematian nomor dua di

dunia. Penyakit ini telah menjadi masalah kesehatan yang mendunia dan semakin

penting, dengan dua pertiga stroke sekarang terjadi di negara-negara yang sedang

berkembang.3

Menurut taksiran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sebanyak 20,5 juta jiwa di

dunia sudah terjangkit stroke pada tahun 2001. Dari jumlah itu 5,5 juta telah meninggal

dunia. Penyakit tekanan darah tinggi atau hipertensi menyumbangkan 17,5 juta kasus

stroke di dunia.2

Di Amerika Serikat, stroke menempati posisi ketiga sebagai penyakit utama yang

menyebabkan kematian. Posisi di atasnya dipegang penyakit jantung dan kanker. Di

negeri Paman Sam ini, setiap tahun terdapat laporan 700.000 kasus stroke. Sebanyak

500.000 diantaranya kasus serangan pertama, sedangkan 200.000 kasus lainnya berupa

1

stroke berulang. Sebanyak 75 persen penderita stroke menderita lumpuh dan kehilangan

pekerjaan.2

Di Indonesia penyakit ini menduduki posisi ketiga setelah jantung dan kanker.

Sebanyak 28,5 persen penderita stroke meninggal dunia. Sisanya menderita kelumpuhan

sebagian maupun total. Hanya 15 persen saja yang dapat sembuh total dari serangan

stroke dan kecacatan.2

2

BAB II. ISI

2.1 Definisi

Stroke atau serangan otak adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak,

progresif, cepat, berupa defisit neurologis fokal dan atau global, yang berlangsung 24

jam atau lebih atau langsung menimbulkan kematian, dan semata-mata disebabkan oleh

gangguan peredaran darah otak non traumatik.4

Stroke non hemoragik didefinisikan sebagai sekumpulan tanda klinik yang

berkembang oleh sebab vaskular. Gejala ini berlangsung 24 jam atau lebih pada

umumnya terjadi akibat berkurangnya aliran darah ke otak, yang menyebabkan cacat

atau kematian.5

Stroke non hemoragik sekitar 85%, yang terjadi akibat obstruksi atau bekuan di

satu atau lebih arteri besar pada sirkulasi serebrum. Obstruksi dapat disebabkan oleh

bekuan (trombus) yang terbentuk di dalam suatu pembuluh otak atau pembuluh atau

organ distal. Trombus yang terlepas dapat menjadi embolus.6

2.2 Etiologi

Pada tingkatan makroskopik, stroke non hemoragik paling sering disebabkan oleh

emboli ekstrakranial atau trombosis intrakranial. Selain itu, stroke non hemoragik juga

dapat diakibatkan oleh penurunan aliran serebral. Pada tingkatan seluler, setiap proses

yang mengganggu aliran darah menuju otak menyebabkan timbulnya kaskade iskemik

yang berujung pada terjadinya kematian neuron dan infark serebri.7

2.2.1 Emboli

Sumber embolisasi dapat terletak di arteria karotis atau vertebralis akan tetapi

dapat juga di jantung dan sistem vaskuler sistemik.8

a. Embolus yang dilepaskan oleh arteria karotis atau vertebralis, dapat berasal

dari plaque athersclerotique yang berulserasi atau dari trombus yang

melekat pada intima arteri akibat trauma tumpul pada daerah leher.

b. Embolisasi kardiogenik dapat terjadi pada:

1) Penyakit jantung dengan shunt yang menghubungkan bagian kanan

dengan bagian kiri atrium atau ventrikel;

2) Penyakit jantung rheumatoid akut atau menahun yang meninggalkan

gangguan pada katup mitralis;

3) Fibralisi atrium;

3

4) Infarksio kordis akut;

5) Embolus yang berasal dari vena pulmonalis;

6) Kadang-kadang pada kardiomiopati, fibrosis endrokardial, jantung

miksomatosus sistemik;

c. Embolisasi akibat gangguan sistemik dapat terjadi sebagai:

1) Embolia septik, misalnya dari abses paru atau

2) Metastasis neoplasma yang sudah tiba di paru bronkiektasis.

3) Embolisasi lemak dan udara atau gas N (seperti penyakit caisson).

Emboli dapat berasal dari jantung, arteri ekstrakranial, ataupun dari right-

sided circulation (emboli paradoksikal). Penyebab terjadinya emboli kardiogenik

adalah trombi valvular seperti pada mitral stenosis, endokarditis, katup buatan),

trombi mural (seperti infark miokard, atrial fibrilasi, kardiomiopati, gagal jantung

kongestif) dan atrial miksoma. Sebanyak 2-3 persen stroke emboli diakibatkan oleh

infark miokard dan 85 persen diantaranya terjadi pada bulan pertama setelah

terjadinya infark miokard.7

2.2.2 Trombosis

Stroke trombotik dapat dibagi menjadi stroke pada pembuluh darah besar

(termasuk sistem arteri karotis) dan pembuluh darah kecil (termasuk sirkulus

Willisi dan sirkulus posterior). Tempat terjadinya trombosis yang paling sering

adalah titik percabangan arteri serebral utamanya pada daerah distribusi dari arteri

karotis interna. Adanya stenosis arteri dapat menyebabkan terjadinya turbulensi

aliran darah (sehingga meningkatkan resiko pembentukan trombus aterosklerosis

(ulserasi plak), dan perlengketan platelet.7

Penyebab lain terjadinya trombosis adalah polisitemia, anemia sickle sel,

defisiensi protein C, displasia fibromuskular dari arteri serebral, dan vasokonstriksi

yang berkepanjangan akibat gangguan migren. Setiap proses yang menyebabkan

diseksi arteri serebral juga dapat menyebabkan terjadinya stroke trombotik

(contohnya trauma, diseksi aorta thorasik, arteritis).7

2.3 Klasifikasi

Stroke sebagai diagnosis klinis untuk gambaran manifestasi lesi vaskular serebral,

dapat dibagi dalam:

1. Stroke non hemoragik yang mencakup8

4

a. TIA (Transient Ischemic Attack)

b. Stroke in-evolution

c. Stroke trombotik

d. Stroke embolik

e. Stroke akibat komperesi terhadap arteri oleh proses di luar arteri seperti tumor,

abses, granuloma.

2. Berdasarkan subtipe penyebab6

a. Stroke lakunar

b. Stroke trombotik pembuluh besar

c. Stroke embolik

d. Stroke kriptogenik

2.4 Faktor Risiko

Terdapat beberapa faktor risiko stroke non hemoragik, yakni:7,8

1. Usia lanjut (resiko meningkat setiap pertambahan dekade)

2. Hipertensi

3. Merokok

4. Penyakit jantung (penyakit jantung koroner, hipertrofi ventrikel kiri, dan fibrilasi

atrium kiri)

5. Hiperkolesterolemia

6. Riwayat mengalami penyakit serebrovaskuler

2.5 Patofisiologi

Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron, sel-sel penunjang yang dikenal

sebagai sel glia, cairan serebrospinal, dan pembuluh darah. Semua orang memiliki

jumlah neuron yang sama sekitar 100 miliar, tetapi koneksi di antara berbagi neuron

berbeda-beda. Pada orang dewasa, otak membentuk hanya sekitar 2% (1200-1400 gram)

dari berat tubuh total, tetapi mengkonsumsi sekitar 20% oksigen dan 50% glukosa yang

ada di dalam darah arterial. Dalam jumlah normal darah yang mengalir ke otak sebanyak

50-60 ml per 100 gram jaringan otak per menit. Jumlah darah yang diperlukan untuk

seluruh otak  adalah 700-840 ml/menit, dari jumlah darah itu di salurkan melalui arteri

karotis interna yang terdiri dari arteri karotis dekstra dan sinistra, yang menyalurkan

darah ke bagian depan otak disebut sebagai sirkulasi arteri serebrum anterior, yang kedua

adalah vertebrobasiler, yang memasok darah ke bagian belakang otak disebut sebagai

5

sirkulasi arteri serebrum posterior, selanjutnya sirkulasi arteri serebrum anterior bertemu

dengan sirkulasi arteri serebrum posterior membentuk suatu sirkulus Willisi.4,8

Gangguan pasokan darah otak dapat terjadi dimana saja di dalam arteri-arteri yang

membentuk sirkulus willisi serta cabang-cabangnya. Secara umum, apabila aliran darah

ke jaringan otak terputus 15 sampai 20 menit, akan terjadi infark atau kematian jaringan.

Perlu diingat bahwa oklusi di suatu arteri tidak selalu menyebabkan infark di daerah otak

yang di perdarahi oleh arteri tersebut dikarenakan masih  terdapat sirkulasi kolateral yang

memadai ke daerah tersebut. Proses patologik yang sering mendasari dari berbagi proses

yang terjadi di dalam pembuluh darah yang memperdarahi otak diantaranya dapat

berupa:6

1. Keadaan penyakit pada pembuluh darah itu sendiri, seperti pada aterosklerosis dan

thrombosis.

2. Berkurangnya perfusi akibat gangguan status aliran darah, misalnya syok atau

hiperviskositas darah.

3. Gangguan aliran darah akibat bekuan atau embolus infeksi yang berasal dari jantung

atau pembuluh ekstrakranium.

Dari gangguan pasokan darah yang ada di otak tersebut dapat menjadikan

terjadinya kelainan-kelainan neurologi tergantung bagian otak mana yang tidak

mendapat suplai darah, yang diantaranya dapat terjadi kelainan di sistem motorik,

sensorik, fungsi luhur, yang lebih jelasnya tergantung saraf bagian mana yang terkena.

2.6 Gejala Klinis

Gejala stroke non hemoragik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak

bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasi tempat gangguan

peredaran darah terjadi, kesadaran biasanya tidak mengalami penurunan, menurut

penelitian Rusdi Lamsudi pada tahun 1989-1991 stroke non hemoragik tidak terdapat

hubungan dengan terjadinya penurunan kesadaran, kesadaran seseorang dapat dinilai

dengan menggunakan skala koma Glasgow yaitu :4

6

Buka mata (E) Respon motorik (M) Respon verbal (V)1. Tidak ada respons 1. Tidak ada gerakan 1. Tidak ada suara

2. Respons dengan rangsangan nyeri

2. Ekstensi abnormal 2. Mengerang

3. Buka mata dengan perintah

3. Fleksi abnormal 3. Bicara kacau

4. Buka mata spontan

4. Menghindari nyeri 4. Disorientasi tempat dan waktu

5. Melokalisir nyeri 5. Orientasi baik dan sesuai

6. Mengikuti perintah

Tabel 2.1. Skala koma Glasgow 4

            Penilaian skor skala koma Glasgow:

a. Koma (GCS = 3-8)

b. Konfusi, lateragi atau stupor (GCS = 9-14)

c. Sadar penuh, atentif dan orientatif (GCS = 15)

Gangguan yang biasanya terjadi yaitu gangguan motorik (hemiparese), sensorik

(anestesia, hiperestesia, parastesia, gerakan yang canggung serta simpang siur,

gangguan nervus kranial, saraf otonom (gangguan miksi, defeksi, salvias), fungsi luhur

(bahasa, orientasi, memori, emosi)  yang merupakan sifat khas manusia, dan gangguan

koordinasi (sindrom serebelar) :8

1. Disekuilibrium yaitu keseimbangan tubuh yang terganggu yang terlihat seseorang

akan jatuh ke depan, samping atau belakang sewaktu berdiri

2. Diskoordinasi muskular yang diantaranya, asinergia, dismetria dan seterusnya.

Asinergia ialah kesimpangsiuran kontraksi otot-otot dalam mewujudkan suatu

corak gerakan. Dekomposisi gerakan atau gangguan lokomotorik dimana dalam

suatu gerakan urutan kontraksi otot-otot baik secara volunter atau reflektorik tidak

dilaksanakan lagi. Disdiadokokinesis tidak bisa gerak cepat yang arahnya

berlawanan contohnya pronasi dan supinasi. Dismetria, terganggunya memulai dan

menghentikan gerakan.

3. Tremor (gemetar), bisa diawal gerakan dan bisa juga di akhir gerakan

4. Ataksia berjalan dimana kedua tungkai melangkah secara simpangsiur dan kedua

kaki ditelapakkanya secara acak-acakan. Ataksia seluruh badan dalam hal ini badan

7

yang tidak bersandar tidak dapat memelihara sikap yang mantap sehingga

bergoyang-goyang.

Nervus kranial Fungsi Penemuan klinis dengan lesiI: Olfaktorius Penciuman Anosmia (hilangnya daya

penghidu)II: Optikus Penglihatan AmaurosisIII: Okulomotorius Gerak mata; kontriksi pupil;

akomodasiDiplopia (penglihatan kembar), ptosis; midriasis; hilangnya akomodasi

IV: Troklearis Gerak mata DiplopiaV: Trigeminus Sensasi umum wajah, kulit

kepala, dan gigi; gerak mengunyah

”mati rasa” pada wajah; kelemahan otot rahang

VI: Abdusen Gerak mata DiplopiaVII: Fasialis Pengecapan; sensasi umum

pada platum dan telinga luar; sekresi kelenjar lakrimalis, submandibula dan sublingual; ekspresi wajah

Hilangnya kemampuan mengecap pada dua pertiga anterior lidah; mulut kering; hilangnya lakrimasi; paralisis otot wajah

VIII: Vestibulokoklearis

Pendengaran; keseimbangan Tuli; tinitus(berdenging terus menerus); vertigo; nitagmus

IX: Glosofaringeus Pengecapan; sensasi umum pada faring dan telinga; mengangkat palatum; sekresi kelenjar parotis

Hilangnya daya pengecapan pada sepertiga posterior lidah; anestesi pada farings; mulut kering sebagian

X: Vagus Pengecapan; sensasi umum pada farings, laring dan telinga; menelan; fonasi; parasimpatis untuk jantung dan visera abdomen

Disfagia (gangguan menelan) suara parau; paralisis palatum

XI: Asesorius Spinal Fonasi; gerakan kepala; leher dan bahu

Suara parau; kelemahan otot kepala, leher dan bahu

XII: Hipoglosus Gerak lidah Kelemahan dan pelayuan lidah

Tabel 2.2. Gangguan nervus kranial9

Gejala klinis tersering yang terjadi yaitu hemiparese yang dimana penderita stroke

non hemoragik yang mengalami infrak bagian hemisfer otak kiri  akan mengakibatkan

terjadinya kelumpuhan pada sebelah kanan, dan begitu pula sebaliknya dan sebagian juga

terjadi Hemiparese dupleks, penderita stroke non hemoragik yang mengalami

hemiparese dupleks akan mengakibatkan terjadinya kelemahan pada kedua bagian tubuh

sekaligus bahkan dapat sampai mengakibatkan kelumpuhan.10

Gambaran klinis utama yang berkaitan dengan insufisiensi arteri ke otak mungkin

berkaitan dengan pengelompokan gejala dan tanda berikut yang tercantum dan disebut

sindrom neurovaskular :6

1. Arteri karotis interna (sirkulasi anterior: gejala biasanya unilateral)

8

a. Dapat terjadi kebutaan satu mata di sisi arteria karotis yang terkena, akibat

insufisiensi arteri retinalis

b. Gejala sensorik dan motorik di ekstremitas kontralateral karena insufisiensi

arteria serebri media

c. Lesi dapat terjadi di daerah antara arteria serebri anterior dan media atau

arteria serebri media. Gejala mula-mula timbul di ekstremitas atas dan

mungkin mengenai wajah. Apabila lesi di hemisfer dominan, maka terjadi

afasia ekspresif karena keterlibatan daerah bicara motorik Broca.

2. Arteri serebri media (tersering).

a. Hemiparese atau monoparese kontralateral (biasanya mengenai lengan)

b. Kadang-kadang hemianopsia (kebutaan) kontralateral

c. Afasia global (apabila hemisfer dominan terkena): gangguan semua fungsi

yang berkaitan dengan bicara dan komunikasi

d. Disfasia

3. Arteri serebri anterior (kebingungan adalah gejala utama)

a. Kelumpuhan kontralateral yang lebih besar di tungkai

b. Defisit sensorik kontralateral

c. Demensia, gerakan menggenggam, reflek patologis

4. Sistem vertebrobasilaris (sirkulasi posterior: manifestasi biasanya bilateral)

a. Kelumpuhan di satu atau empat ekstremitas

b. Meningkatnya reflek tendon

c. Ataksia

d. Tanda Babinski bilateral

e. Gejala-gejala serebelum, seperti tremor intention, vertigo

f. Disfagia

g. Disartria

h. Rasa baal di wajah, mulut, atau lidah

i. Sinkop, stupor, koma, pusing, gangguan daya ingat, disorientasi

j. Gangguan penglihatan dan pendengaran

5. Arteri serebri posterior

a. Koma

b. Hemiparese kontralateral

c. Afasia visual atau buta kata (aleksia)

d. Kelumpuhan saraf kranialis ketiga: hemianopsia, koreoatetosis.

9

2.7 Diagnosis

2.7.1 Anamnesis

Stroke harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang mengalami defisit

neurologi akut (baik fokal maupun global) atau penurunan tingkat kesadaran. Tidak

terdapat tanda atau gejala yang dapat membedakan stroke hemoragik dan non

hemoragik meskipun gejala seperti mual muntah, sakit kepala dan perubahan tingkat

kesadaran lebih sering terjadi pada stroke hemoragik. Beberapa gejala umum yang

terjadi pada stroke meliputi hemiparese, monoparese, atau qudriparese, hilangnya

penglihatan monokuler atau binokuler, diplopia, disartria, ataksia, vertigo, afasia, atau

penurunan kesadaran tiba-tiba. Meskipun gejala-gejala tersebut dapat muncul sendiri

namun umumnya muncul secara bersamaan. Penentuan waktu terjadinya gejala-gejala

tersebut juga penting untuk menentukan perlu tidaknya pemberian terapi trombolitik.

Beberapa faktor dapat mengganggu dalam mencari gejala atau onset stroke seperti:7

1. Stroke terjadi saat pasien sedang tertidur sehingga kelainan tidak didapatkan

hingga pasien bangun (wake up stroke).

2. Stroke mengakibatkan seseorang sangat tidak mampu untuk mencari

pertolongan.

3. Penderita atau penolong tidak mengetahui gejala-gejala stroke.

4. Terdapat beberapa kelainan yang gejalanya menyerupai stroke seperti kejang,

infeksi sistemik, tumor serebral, subdural hematom, ensefalitis, dan

hiponatremia.

2.7.2 Pemeriksaan Fisik

Tujuan pemeriksaan fisik adalah untuk mendeteksi penyebab stroke

ekstrakranial, memisahkan stroke dengan kelainan lain yang menyerupai stroke, dan

menentukan beratnya defisit neurologi yang dialami. Pemeriksaan fisik harus

mencakup pemeriksaaan kepala dan leher untuk mencari tanda trauma, infeksi, dan

iritasi menings. Pemeriksaan terhadap faktor kardiovaskuler penyebab stroke

membutuhkan pemeriksaan fundus okuler (retinopati, emboli, perdarahan), jantung

(ritmik ireguler, bising), dan vaskuler perifer (palpasi arteri karotis, radial, dan

femoralis). Pasien dengan gangguan kesadaran harus dipastikan mampu untuk

menjaga jalan napasnya sendiri.7

2.7.3 Pemeriksaan Neurologi

10

Tujuan pemeriksaan neurologi adalah untuk mengidentifikasi gejala stroke,

memisahkan stroke dengan kelainan lain yang memiliki gejala seperti stroke, dan

menyediakan informasi neurologi untuk mengetahui keberhasilan terapi. Komponen

penting dalam pemeriksaan neurologi mencakup pemeriksaan status mental dan

tingkat kesadaran, pemeriksaan nervus kranial, fungsi motorik dan sensorik, fungsi

serebral, gait, dan refleks tendon profunda. Tengkorak dan tulang belakang pun harus

diperiksa dan tanda-tanda meningimus pun harus dicari. Adanya kelemahan otot

wajah pada stroke harus dibedakan dengan Bell’s palsy di mana pada Bell’s palsy

biasanya ditemukan pasien yang tidak mampu mengangkat alis atau mengerutkan

dahinya.7

2.7.4 Gambaran Laboratorium

Pemeriksaan darah rutin diperlukan sebagai dasar pembelajaran dan mungkin

pula menunjukkan faktor risiko stroke seperti polisitemia, trombositosis,

trombositopenia, dan leukemia). Pemeriksaan ini pun dapat menunjukkan

kemungkinan penyakit yang sedang diderita saat ini seperti anemia.11

Pemeriksaan kimia darah dilakukan untuk mengeliminasi kelainan yang

memiliki gejala seperti stroke (hipoglikemia, hiponatremia) atau dapat pula

menunjukkan penyakit yang diderita pasien saat ini (diabetes, gangguan ginjal).11

Pemeriksaan koagulasi dapat menunjukkan kemungkinan koagulopati pada

pasien. Selain itu, pemeriksaan ini juga berguna jika digunakan terapi trombolitik dan

antikoagulan.11

Biomarker jantung juga penting karena eratnya hubungan antara stroke dengan

penyakit jantung koroner. Penelitian lain juga mengindikasikan adanya hubungan

anatara peningkatan enzim jantung dengan hasih yang buruk dari stroke.11

2.7.5 Gambaran Radiologi

1. CT scan kepala non kontras

Modalitas ini baik digunakan untuk membedakan stroke hemoragik

dan stroke non hemoragik secara tepat kerena pasien stroke non hemoragik

memerlukan pemberian trombolitik sesegera mungkin. Selain itu, pemeriksaan

ini juga berguna untuk menentukan distribusi anatomi dari stroke dan

mengeliminasi kemungkinan adanya kelainan lain yang gejalanya mirip

dengan stroke (hematoma, neoplasma, abses).7

11

Adanya perubahan hasil CT scan pada infark serebri akut harus

dipahami. Setelah 6-12 jam setelah stroke terbentuk daerah hipodense regional

yang menandakan terjadinya edema di otak. Jika setelah 3 jam terdapat daerah

hipodense yang luas di otak maka diperlukan pertimbangan ulang mengenai

waktu terjadinya stroke. Tanda lain terjadinya stroke non hemoragik adalah

adanya insular ribbon sign, hiperdense MCA (oklusi MCA), asimetris sulkus,

dan hilangnya perberdaan gray-white matter.7

2. CT perfussion

Modalitas ini merupakan modalitas baru yang berguna untuk

mengidentifikasi daerah awal terjadinya iskemik. Dengan melanjutkan

pemeriksaan scan setelah kontras, perfusi dari region otak dapat diukur.

Adanya hipoatenuasi menunjukkan terjadinya iskemik di daerah tersebut.7

3. CT angiografi (CTA)

Pemeriksaan CT scan non kontras dapat dilanjutkan dengan CT

angiografi (CTA). Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi defek pengisian

arteri serebral yang menunjukkan lesi spesifik dari pembuluh darah penyebab

stroke. Selain itu, CTA juga dapat memperkirakan jumlah perfusi karena

daerah yang mengalami hipoperfusi memberikan gambaran hipodense.7

4. MR angiografi (MRA)

MRA juga terbukti dapat mengidentifikasi lesi vaskuler dan oklusi

lebih awal pada stroke akut. Sayangnya, pemerikasaan ini dan pemeriksaan

MRI lainnya memerlukan biaya yang tidak sedikit serta waktu pemeriksaan

yang agak panjang.7

Protokol MRI memiliki banyak kegunaan untuk pada stroke akut. MR

T1 dan T2 standar dapat dikombinasikan dengan protokol lain seperti

diffusion-weighted imaging (DWI) dan perfussion-weighted imaging (PWI)

untuk meningkatkan sensitivitas agar dapat mendeteksi stroke non hemoragik

akut. DWI dapat mendeteksi iskemik lebih cepat daripada CT scan dan MRI.

Selain itu, DWI juga dapat mendeteksi iskemik pada daerah kecil. PWI dapat

mengukur langsung perfusi daerah di otak dengan cara yang serupa dengan

CT perfusion. Kontras dimasukkan dan beberapa gambar dinilai dari waktu ke

waktu serta dibandingkan.7

5. USG, ECG, EKG, Chest X-Ray

12

Untuk evaluasi lebih lanjut dapat digunakan USG. Jika dicurigai

stenosis atau oklusi arteri karotis maka dapat dilakukan pemeriksaan dupleks

karotis. USG transkranial dopler berguna untuk mengevaluasi anatomi

vaskuler proksimal lebih lanjut termasuk di antaranya MCA, arteri karotis

intrakranial, dan arteri vertebrobasiler. Pemeriksaan ECG (ekhokardiografi)

dilakukan pada semua pasien dengan stroke non hemoragik yang dicurigai

mengalami emboli kardiogenik. Transesofageal ECG diperlukan untuk

mendeteksi diseksi aorta thorasik. Selain itu, modalitas ini juga lebih akurat

untuk mengidentifikasi trombi pada atrium kiri. Modalitas lain yang juga

berguna untuk mendeteksi kelainan jantung adalah EKG dan foto thoraks.7

2.8 Penatalaksanaan

Waktu merupakan hal terpenting dalam penatalaksanaan stroke non  hemoragik

yang diperlukan pengobatan sedini mungkin, karena jeda terapi dari stroke hanya 3-6

jam. Penatalaksanaan yang cepat, tepat dan cermat memegang peranan besar dalam

menentukan hasil akhir pengobatan.4

2.8.1 Prinsip penatalaksanaan stroke non hemoragik

a. Memulihkan iskemik akut yang sedang berlangsung (3-6 jam pertama)

menggunakan trombolisis dengan rt-PA (recombinan tissue-plasminogen

activator). Ini hanya boleh di berikan dengan waktu onset <3 jam dan hasil CT

scan normal, tetapi obat ini sangat mahal dan hanya dapat di lakukan di rumah

sakit yang fasilitasnya lengkap.

b. Mencegah perburukan neurologis dengan jeda waktu sampai 72 jam yang

diantaranya yaitu :

i. Edema yang progresif dan pembengkakan akibat infark. Terapi dengan

manitol dan hindari cairan hipotonik.

ii. Ekstensi teritori infark, terapinya dengan heparin yang dapat mencegah

trombosis yang progresif dan optimalisasi volume dan tekanan darah

yang dapat menyerupai kegagalan perfusi.

iii. Konversi hemoragis, msalah ini dapat di lihat dari CT scan, tiga faktor

utama adalah usia lanjut, ukuran infark yang besar, dan hipertensi akut,

ini tak boleh di beri antikoagulan selama 43-72 jam pertama, bila ada

hipertensi beri obat antihipertensi.

13

c. Mencegah stroke berulang dini dalam 30 hari sejak onset gejala stroke terapi

dengan heparin.

2.8.2 Protokol penatalaksanaan stroke non hemoragik akut

a. Pertimbangan rt-PA intravena 0,9 mg/kgBB (dosis maksimum 90 mg) 10% di

berikan bolus intravena sisanya diberikan per drip dalam waktu 1 jam jika

onset di pastikan <3 jam dan hasil CT scan tidak memperlihatkan infrak yang

luas.

b. Pemantauan irama jantung untuk pasien dengan aritmia jantung atau iskemia

miokard, bila terdapat fibrilasi atrium respons cepat maka dapat diberikan

digoksin 0,125-0,5 mg intravena atau verapamil 5-10 mg intravena atau

amiodaron 200 mg drips dalam 12 jam.

c. Tekanan darah tidak boleh cepat-cepat diturunkan sebab dapat memperluas

infrak dan perburukan neurologis. Pedoman penatalaksanaan hipertensi bila

terdapat salah satu hal berikut :

i. Hipertensi diobati jika terdapat kegawat daruratan hipertensi

neurologis seperti, iskemia miokard akut, edema paru kardiogenik,

hipertensi maligna (retinopati), nefropati hipertensif, diseksi aorta.

ii. Hipertensi diobati jika tekanan darah sangat tinggi pada tiga kali

pengukuran selang 15 menit dimana sistolik >220 mmHg, diastolik

>120 mmHg, tekanan arteri rata-rata >140 mmHg.

iii. Pasien adalah kandidat trombolisis intravena dengan rt-PA dimana

tekanan darah sistolik >180 mmHg dan diastolik >110 mmHg.

Dengan obat-obat antihipertensi labetalol, ACE, nifedipin. Nifedifin

sublingual harus dipantau ketat setiap 15 menit karena penurunan darahnya

sangat drastis. Pengobatan lain jika tekanan darah masih sulit di turunkan

maka harus diberikan nitroprusid intravena, 50 mg/250 ml dekstrosa 5%

dalam air (200 mg/ml) dengan kecepatan 3 ml/jam (10 mg/menit) dan dititrasi

sampai tekanan darah yang di inginkan. Alternatif lain dapat diberikan

nitrogliserin drip 10-20 mg/menit, bila di jumpai tekanan darah yang rendah

pada stroke maka harus dinaikkan dengan dopamin atau debutamin drips.

d. Pertimbangkan observasi di unit rawat intensif pada pasien dengan tanda klinis

atau radiologis adanya infrak yang masif, kesadaran menurun, gangguan

pernafasan atau stroke dalam evolusi.

14

e. Pertimbangkan konsul ke bedah saraf untuk infrak yang luas.

f. Pertimbangkan sken resonasi magnetik pada pasien dengan stroke

vetebrobasiler atau sirkulasi posterior atau infrak yang tidak nyata pada CT

scan.

g. Pertimbangkan pemberian heparin intravena di mulai dosis 800 unit/jam,

20.000 unit dalam 500 ml salin normal dengan kecepatan 20 ml/jam, sampai

masa tromboplastin parsial mendekati 1,5 kontrol pada kondisi:

iv. Kemungkinan besar stroke kardioemboli

v. TIA atau infrak karena stenosis arteri karotis

vi. Stroke dalam evolusi

vii. Diseksi arteri

viii. Trombosis sinus dura

Heparin merupakan kontraindikasi relatif pada infrak yang luas. Pasien

stroke non hemoragik dengan infrak miokard baru, fibrilasi atrium, penyakit

katup jantung atau trombus intrakardiak harus diberikan antikoagulan oral

(warfarin) sampai minimal satu tahun.

Perawatan umum untuk mempertahankan kenyamanan dan jalan nafas yang

adekuat sangatlah penting. Pastikan pasien bisa menelan dengan aman dan jaga pasien

agar tetap mendapat hidrasi dan nutrisi. Menelan harus dinilai (perhatikan saat pasien

mencoba untuk minum, dan jika terdapat kesulitan cairan harus di berikan melalui

selang lambung atau intravena. Beberapa obat telah terbukti bermanfaat untuk

pengobatan penyakit serebrovaskular, obat-obatan ini dapat dikelompokkan atas tiga

kelompok yaitu obat antikoagulansia, penghambat trombosit dan trombolitika:12

1. Antikoagulansia adalah zat yang dapat mencegah pembekuan darah dan di

gunakan pada keadaan dimana terdapat kecenderungan darah untuk membeku.

Obat yang termasuk golongan ini yaitu heparin dan kumarin.

2. Penghambat trombosit adalah obat yang dapat menghambat agregasi trombosit

sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan trombus yang terutama

sering ditemukan pada sistem arteri. Obat yang termasuk golongan ini adalah

aspirin, dipiridamol, tiklopidin, idobufen, epoprostenol, clopidogrel.

3. Trombolitika juga disebut fimbrinolitika berkhasiat melarutkan trombus

diberikan 3 jam setelah infark otak, jika lebih dari itu dapat menyebabkan

perdarahan otak, obat yang termasuk golongan ini adalah streptokinase,

alteplase, urokinase, dan reteplase.

15

2.9 Komplikasi

Komplikasi yang paling umum dan penting dari stroke iskemik meliputi edema

serebral, transformasi hemoragik, dan kejang.13

1. Edema serebral yang signifikan setelah stroke iskemik ntr terjadi meskipun agak

jarang (10-20%)

2. Indikator awal iskemik yang tampak pada CT scan tanpa kontras adalah ntracran

independen untuk potensi pembengkakan dan kerusakan. Manitol dan terapi lain

untuk mengurangi tekanan ntracranial dapat dimanfaatkan dalam situasi darurat,

meskipun kegunaannya dalam pembengkakan sekunder stroke iskemik lebih lanjut

belum diketahui. Beberapa pasien mengalami transformasi hemoragik pada infark

mereka. Hal ini diperkirakan terjadi pada 5% dari stroke iskemik yang tidak rumit,

tanpa adanya trombolitik. Transformasi hemoragik tidak selalu dikaitkan dengan

penurunan neurologis dan berkisar dari peteki kecil sampai perdarahan hematoma

yang memerlukan evakuasi.

3. Insiden kejang berkisar 2-23% pada pasca-stroke periode pemulihan. Post-stroke

iskemik biasanya bersifat fokal tetapi menyebar. Beberapa pasien yang mengalami

serangan stroke berkembang menjadi chronic seizure disorders. Kejang sekunder

dari stroke iskemik harus dikelola dengan cara yang sama seperti gangguan kejang

lain yang timbul sebagai akibat neurologis injury.

2.10 Pencegahan

Pencegahan primer dapat dilakukan dengan menghindari rokok, stres mental,

alkohol, kegemukan, konsumsi garam berlebih, obat-obat golongan amfetamin, kokain

dan sejenisnya. Mengurangi kolesterol dan lemak dalam makanan. Mengendalikan

hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, penyakit vaskular aterosklerotik lainya.

Perbanyak konsumsi gizi seimbang dan olahraga teratur.4

Pencegahan skunder dengan cara memodifikasi gaya hidup yang berisiko seperti

hipertensi dengan diet dan obat antihipertensi, diabetes melitus dengan diet dan obat

hipoglikemik oral atau insulin, penyakit jantung dengan antikoagulan oral, dislipidemia

dengan diet rendah lemak dan obat anti dislipidemia, berhenti merokok, hindari

kegemukan dan kurang gerak.4

16

BAB III. PENUTUP

3. 1 Kesimpulan

Stroke non hemoragik didefinisikan sebagai sekumpulan tanda klinik yang

berkembang oleh sebab vaskular. Gejala ini berlangsung 24 jam atau lebih pada

umumnya terjadi akibat berkurangnya aliran darah ke otak, yang menyebabkan cacat

atau kematian.

Stroke non hemoragik paling sering disebabkan oleh emboli ekstrakranial atau

trombosis intrakranial. Selain itu, stroke non hemoragik juga dapat diakibatkan oleh

penurunan aliran serebral.

Terdapat beberapa faktor risiko stroke non hemoragik, yakni: usia lanjut,

hipertensi, merokok, penyakit jantung (penyakit jantung koroner, hipertrofi ventrikel kiri,

dan fibrilasi atrium kiri), hiperkolesterolemia, dan riwayat mengalami penyakit

serebrovaskuler.

Gejala klinis tersering yang terjadi yaitu hemiparese yang dimana penderita stroke

non hemoragik yang mengalami infrak bagian hemisfer otak kiri  akan mengakibatkan

terjadinya kelumpuhan pada sebelah kanan, dan begitu pula sebaliknya dan sebagian juga

terjadi Hemiparese dupleks, penderita stroke non hemoragik yang mengalami hemiparese

dupleks akan mengakibatkan terjadinya kelemahan pada kedua bagian tubuh sekaligus

bahkan dapat sampai mengakibatkan kelumpuhan.

Waktu merupakan hal terpenting dalam penatalaksanaan stroke non  hemoragik

yang diperlukan pengobatan sedini mungkin, karena jeda terapi dari stroke hanya 3-6

jam. Penatalaksanaan yang cepat, tepat dan cermat memegang peranan besar dalam

menentukan hasil akhir pengobatan.

Komplikasi yang paling umum dan penting dari stroke iskemik meliputi edema

serebral, transformasi hemoragik, dan kejang.

17

DAFTAR PUSTAKA

1. Aliah A, Kuswara F F, Limoa A, Wuysang G. Gambaran umum tentang gangguan

peredaran darah otak dalam Kapita selekta neurology cetakan keenam editor Harsono.

Yogyakarta: Gadjah Mada university press, 2007; hal: 81-115.

2. Sutrisno, Alfred. Stroke? You Must Know Before you Get It!. Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka Utama, 2007; hal: 1-13

3. Feigin, Valery. Stroke Panduan Bergambar Tentang Pencegahan dan Pemulihan Stroke.

Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2006.

4. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W, editor. Kapita selekta kedokteran

fkui jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius, 2000; hal. 17-18.

5. Widjaja AC. Uji diagnostik pemeriksaan kadar d-dimer plasma pada diagnosis stroke

iskemik. UNDIP. Semarang. 2010.

http://eprints.undip.ac.id/24037/1/Andreas_Christian_Widjaja.pdf

6. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit jilid 2. Jakarta:

EGC, 2006; hal. 1110-19.

7. Hassmann KA. Stroke, Ischemic. [Online]. Cited 2013 Sept 01. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/793904-overview

8. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi klinis dasar. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat, 2010; hal

270, 287, 290-93.

9. Swartz MH. Buku ajar diagnostic fisik. Jakarta: EGC, 2002; hal. 359-98.

10. Januar R. Karakteristik penderita stroke non hemorage yang di rawat inap di rsu herna

medan tahun 2002. FKM USU. Medan. 2002.

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/14569

11. Hassmann KA. Stroke, Ischemic. [Online]. Cited 2013 Sept 01. available from:

http://emedicine.medscape.com/article/793904-diagnosis

12. Rubenstein D, Waine D & Bradley J. Kedokteran Klinis Edisi Ke 6. Jakarta: Penerbit

Erlangga, 2005; hal. 98-99.

13. Hassmann KA. Stroke Ischemic. [Online]. Cited 2013 Sept 01. available from:

http://emedicine.medscape.com/article/793904-followup

18