status penelitian pemuliaan tanaman hutan di balai besar

114

Upload: nguyenthuan

Post on 12-Jan-2017

256 views

Category:

Documents


22 download

TRANSCRIPT

Page 1: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar
Page 2: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

BUNGA RAMPAI

STATUS PENELITIAN PEMULIAAN

TANAMAN HUTAN

DI BALAI BESAR PENELITIAN

BIOTEKNOLOGI DAN PEMULIAAN

TANAMAN HUTAN

Editor :

Arif Nirsatmanto

ILG. Nurtjahjaningsih

BALAI BESAR PENELITIAN BIOTEKNOLOGI DAN PEMULIAAN TANAMAN HUTAN Jl. Palagan Tentara Pelajar km. 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta 55582 Telp. (0274) 895954, Fax. (0274) 896080, Email : [email protected]

Page 3: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

ii

BUNGA RAMPAI INI DITERBITKAN OLEH : BALAI BESAR PENELITIAN BIOTEKNOLOGI DAN PEMULIAAN TANAMAN HUTAN

Editor :

Dr.Arif Nirsatmanto, M.Sc

ILG. Nurtjahjaningsih, Si, M.Sc, Ph.D

Redaksi Pelaksana :

Ir. Edy Subagyo, MP

Ir. Dyah Nurhandayani, M.Sc

Nana Niti Sutisna, S.IP

Maya Retnasari, A.Md

Edy Wibowo, S.Hut

Hak Cipta oleh BBPBPTH

Dilarang menggandakan buku ini sebagian atau seluruhnya, baik dalam bentuk fotokopi,

cetak, microfilm, elektronik maupun dalam bentuk lainnya, kecuali untuk keperluan

pendidikan atau keperluan non komersial lainnya dengan mencantumkan sumbernya, seperti

berikut :

Untuk sitiran seluruh buku, ditulis : Bunga Rampai, Tema : Status Penelitian Pemuliaan

Tanaman Hutan Di Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan.

Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.

Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam Bunga Rampai, Tema : Status

Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan Di Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan

Tanaman Hutan. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan,

Yogyakarta.

Halaman….

ISBN : 978-979-3666-14-3

Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

Jl. Palagan Tentara Pelajar km. 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta 55582 Telp. (0274) 895954, Fax. (0274) 896080, Email : [email protected] Sumber foto cover : Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

Page 4: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

iii

KATA PENGANTAR

Pemuliaan tanaman hutan merupakan salah satu langkah strategis dalam upaya meningkatkan produktifitas tanaman hutan baik secara kualitas maupun kuantitas. Semakin berkembangnya tuntutan akan sifat-sifat tanaman yang perlu dimuliakan dan seiring adanya perubahan kondisi lingkungan tumbuh dan permintaan pengguna, telah mendorong kegiatan pemuliaan tanaman hutan menjadi kegiatan yang dinamis dan perlu dilakukan secara berkelanjutan. Sifat dinamis yang didukung dengan kemajuan IPTEK dalam bidang genetika tanaman memungkinkan kegiatan pemuliaan tanaman hutan akan terus berkembang lebih kompetitif dan inovatif.

Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH), sejak berdirinya sudah hampir 20 tahun secara kontinyu melaksananakan kegiatan penelitian pemuliaan tanaman hutan. Kegiatan penelitian pemuliaan tanaman hutan di BBPBPTH dijabarkan ke dalam 3 kelompok penelitian yang meliputi ruang lingkup Konservasi Sumber Daya Genetik, Pemuliaan Tanaman Hutan dan Bioteknologi Hutan. Dinamika terus berkembang dan seiring dengan kondisi ini BBPBPTH telah mampu memfasilitasi dan menetapkan target jenis dan kegiatan yang disesuaikan dengan kebutuhan pengguna, dan sampai saat ini telah menghasilkan produk benih unggul untuk beberapa jenis tanaman hutan.

Buku Bunga Rampai Status Hasil Pemuliaan Tanaman Hutan disusun sebagai suatu rangkuman atas kegiatan dan hasil penelitian pemuliaan tanaman hutan yang dilakukan oleh BBPBPTH selama kurun waktu hampir 20 tahun terakhir. Buku disusun atas beberapa makalah dengan cakupan materi meliputi penelitian konservasi sumber daya genetik, pembangunan populasi pemuliaan dan perbanyakan, dan aplikasi bioteknologi. Untuk memberikan informasi dan sebagai bahan komparasi, disetiap makalah juga dipaparkan kegiatan penelitian yang dilakukan oleh institusi lain, baik dalam tataran nasional maupun internasional, sehingga diharapkan bisa diketahui status kemajuan dari kegiatan penelitian pemuliaan tanaman hutan yang telah dilakukan oleh BBPBPTH.

Kami sampaikan ucapan terima kasih kepada para pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan Buku Bunga Rampai ini. Semoga buku ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi para pihak yang berkecimpung dalam kegiatan pemuliaan tanaman hutan.

Kepala Balai Besar,

Dr. Ir. Amir Wardhana, M.For. Sc NIP.19570530 198303 1 002

Page 5: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar
Page 6: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

v

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …..…………………………………………………………… iii

DAFTAR ISI………………………………..………...………...…………………….. v

Konservasi ex-situ tanaman hutan………………….………………………………….. 1

Konservasi in-situ tanaman hutan..……………….………………..………..…………. 17

Program pemuliaan tanaman ……………………..…………..……………..………… 29

Pembangunan populasi pemuliaan tanaman hutan…………………………………… 37

Pengembangan klon dan hibridisasi………………..………………………………….. 57

Pemuliaan untuk resistensi hama dan penyakit…………………………….………….. 65

Kultur jaringan tanaman hutan…………………………..…………………….……... 79

Aplikasi penelitian genetika molekuler ……………………………………………….. 91

Biodata penulis………………………………………………………………………… 107

Page 7: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar
Page 8: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

1

KONSERVASI EX - SITU TANAMAN HUTAN

Liliek Haryjanto

Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

ABSTRAK Kerusakan hutan di Indonesia merupakan ancaman yang serius terhadap keberadaan sumberdaya genetik yang dikandungnya. Upaya konservasi sumberdaya genetik diperlukan untuk menyelamatkan sumberdaya genetik tanaman hutan yang masih ada. Upaya konservasi ex-situ telah dilakukan oleh Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH) Yogyakarta meliputi 8 jenis tanaman hutan yaitu Cendana (Santalum album Linn), Merbau (Intsia bijuga), Ulin (Eusideroxylon zwageri T. et B.), Suren (Toona spp), Pulai (Alstonia sp), Sukun (Artocarpus altilis (Parkinson) Fosberg), Nyawai (Ficus variegata), dan Jabon (Anthocephalus cadamba). Bentuk konservasi ex-situ berupa tegakan konservasi yang tersebar di areal Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) maupun di areal kerjasama penelitian (Perum Perhutani, Dinas Kehutanan Prop. DIY). Adanya tegakan konservasi ini diharapkan mampu melindungi keberadaan jenis-jenis target dan menjadi sumber materi genetik untuk pemuliaan maupun bioteknologi di masa mendatang. Kata kunci: Konservasi ex-situ, sumberdaya genetik tanaman hutan

Pendahuluan

Indonesia dikenal sebagai negara mega-biodiversity, baik dari segi keanekaragaman

ekosistem, jenis maupun genetik. Namun demikian Indonesia juga dikenal sebagai negara

dengan tingkat keterancaman yang tinggi pada sumberdaya hayatinya. Tekanan yang sangat

kuat terhadap sumberdaya genetik hutan di Indonesia diakibatkan oleh pembalakan liar,

kebakaran hutan, alih fungsi lahan telah mengakibatkan hilangnya sumberdaya genetik yang

mengurangi potensi ketahanan dan potensi penggunaanya di masa mendatang. Kementerian

Kehutanan mencatat kerusakan hutan hingga 2009 mencapai lebih dari 1,08 juta hektar per

tahun. Angka ini menurun apabila dibandingkan dengan data kerusakan hutan tahun

sebelumnya yang mencapai lebih dari 2 juta hektar per tahun. Untuk mencegah bertambahnya

kerusakan hutan, maka perlu segera dilakukan upaya konservasi sumberdaya genetik.

Menurut Konvensi Keanekaragaman Hayati (KKH) tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil,

sumberdaya genetik adalah bahan genetik dari tumbuhan, hewan, mikroba atau sumber

lainnya yang memiliki nilai nyata dan potensial (Sastrapraja, 2004). Sedangkan tujuan

konservasi sumberdaya genetik hutan adalah melindungi kemampuan tanaman hutan untuk

beradaptasi dari perubahan lingkungan dan menjadi dasar untuk meningkatkan produksi dan

keuntungan lain dari pertumbuhan pohon melalui seleksi dan aktivitas pemuliaan (FAO,

1989, dalam Graudal, dkk, 1997; Eriksson dkk, 1993 dalam Skroppa, 2005). Sumberdaya

Page 9: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

| Bunga Rampai | 1 - 16

2

genetik yang memiliki keragaman genetik luas, yang selalu tersedia untuk periode jangka

panjang akan menentukan efisiensi dan keluwesan program pemuliaan tanaman di masa yang

akan datang.

Pada prinsipnya strategi konservasi sumberdaya genetik meliputi konservasi di dalam

habitat aslinya (in situ) dan di luar habitat aslinya (ex-situ). Konservasi ex-situ lebih mudah

diaplikasikan dalam rangka penyediaan materi genetik untuk program pemuliaan pohon.

Di Indonesia era konservasi ex-situ menurut Soekotjo (2001) dibagi dalam 3 (tiga) era

yaitu:

1. Era pertama (1817-1959): introduksi pohon, baik jenis asli maupun kayu asing, lazimnya

dengan genetik base yang sangat terbatas.

2. Era kedua semenjak tahun 1976 yang berkembang dengan jumlah sampel yang besar dan

lebih mewakili keragaman genetiknya dalam bentuk kebun benih dan pertanaman uji

keturunan maupun uji provenans

3. Era ketiga (1998 dan seterusnya): konservasi yang pemanfaatanya dirancang lebih efisien,

lebih terkait dengan program breeding dan bioteknologi. Keragaman genetik dijaga dalam

jangka panjang. Ciri era ketiga ini adalah adanya sampling target populasi, pembangunan

populasi yang terpisah, adanya jalur isolasi dan ulangan lokasi untuk menjaga keamanan.

Pertimbangan genetik untuk konservasi ex-situ

Menurut Graudal dkk., (1995), isu pokok dalam perencanaan konservasi genetik adalah

bagaimana mengidentifikasi target spesies dan populasi yang akan dilakukan konservasi.

Idealnya sebelum melakukan konservasi sumberdaya genetik, variasi genetik yang ada harus

diketahui lebih dahulu. Sementara itu informasi tersebut untuk kebanyakan spesies masih

terbatas sehingga menjadi sebuah dilema dalam konservasi sumberdaya genetik. Spesies

terdistribusi pada areal luas diasumsikan ada perbedaan genetik karena variasi ekologi,

adanya isolasi, dan sejarah introduksi.

Variasi genetik suatu jenis dapat ditentukan dengan beberapa cara. Penilaian melalui studi

morfologi dan karakter metrik di lapangan, penanda biokimia dan penanda molekuler di

laboratorium, serta menduga pola variasi genetik dapat diprediksi dari variasi ekogeografi.

Studi tentang karakter metrik atau sifat adaptif pada uji di lapangan merupakan teknik yang

banyak digunakan dan sampai sekarang masih merupakan teknik yang valid untuk menilai

variasi genetik sifat-sifat yang diukur tersebut. Perkembangan yang pesat dalam penanda

Page 10: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

KONSERVASI EX - SITU TANAMAN HUTAN Liliek Haryjanto

3

biokimia dan molekuler memungkinkan survey keragaman genetik di dalam dan antar

populasi dapat dilakukan secara cepat dan akurat. Teknik ini sangat berguna sebagai data

pendukung dari uji coba lapangan dan survey ekologi (Graudal dkk, 1997). Variasi

ekogeografis dapat digunakan untuk memprediksi variasi genetik karena diasumsikan bahwa

kesamaan kondisi ekologis menunjukkan kesamaan susunan genetik (Frankel, 1970).

Pernyataan ini didasarkan asumsi bahwa adaptasi lokal melalui seleksi alam merupakan

tenaga penggerak dalam proses deferensiasi antar populasi.

Idealnya semakin tinggi level variasi genetik yang ada di alam semakin baik sebagai

target konservasi genetik. Oleh karena itu ketepatan metode sampling merupakan hal penting

dalam kegiatan konservasi genetik. Sampling yang benar akan meminimalkan efek

inbreeding yang memiliki efek negatif pada karakter-karakter penting untuk pemuliaan

tanaman dan usaha menjaga variasi genetik jangka panjang. Informasi penting yang

diperlukan untuk memperoleh sampel yang benar memerlukan pengetahuan sistem

penyerbukan pada tanaman, distribusi populasi (terpencar, mengelompok, kontinyu, terputus)

dan penyebaran benih. Populasi dari sudut pandang genetik adalah kelompok individu yang

serumpun yang berasal dari keturunan sekelompok dan diperlakukan sebagai satu unit sebaik-

baiknya (Wright, 1976). Menurut Keiding (1993), nilai rata-rata inbreeding sebesar 1%-2%

(koefisien inbreeding (F) = 1% - 2%) masih dapat diterima untuk sampel dari populasi yang

luas. Bila F = 1/2Ne, dimana Ne merupakan ukuran populasi efektif, maka jumlah sampel

acak antara 25-50 individu tidak berkerabat per populasi sudah cukup. Untuk menjamin

sampel tidak berkerabat, maka penentuan jarak antar pohon perlu mempertimbangkan

mengenai sistem penyerbukan dan penyebaran benih.

Beberapa referensi menyebutkan perbedaan mengenai jumlah sampel yang cukup untuk

konservasi ex-situ. The Centre for Plant Conservation (1991) merekomendasi jumlah 10-50

individu per populasi sebagai batas yang layak antara batas minimum dan pengambilan

sampel yang terlalu banyak (over collection). Frankel dan Soule (1981) menyarankan jumlah

ukuran populasi efektif (Ne) adalah 50 sebagai ukuran minimal untuk kegiatan pemuliaan.

Sementara itu Franklin (1980) mengusulkan 500 sebagai ukuran populasi minimum yang

dibutuhkan untuk mempertahankan keragaman genetik suatu jenis untuk beradaptasi.

Yozenawa (1985) menganjurkan 10 individu per populasi untuk memenuhi kriteria baik dari

segi kecukupan jumlah maupun efisiensi. Graudal dkk. (1997) menyebutkan 25 individu yang

tidak berkerabat tiap populasi, sedangkan Johnson (2001) menyarankan 50 sampel per

Page 11: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

| Bunga Rampai | 1 - 16

4

populasi akan mampu menangkap gen dengan frekuensi >0,01. Dari berbagai pendapat ini

jumlah individu untuk konservasi genetik 20-30 individu per populasi sudah cukup ideal.

Marshall dan Brown (1975) dalam Neel dan Cummings (2003) menyarankan untuk

konservasi ex-situ, standar keragaman genetik paling tidak mengkonservasi 90%-95% semua

allele dengan frekuensi alel >0,05 (common allele). Selain itu, Brown dan Briggs (1991)

menentukan bahwa sampling dari 5 populasi untuk spesies yang jarang dapat menangkap 90-

95% common allele The Centre for Plant Conservation (1991) memakai standar yang

disarankan oleh Marshall dan Brown (1975) untuk keragaman genetik dan Brown dan Briggs

(1991) menerapkan 5 populasi target untuk koleksi materi genetik konservasi ex-situ.

Persyaratan konservasi ex-situ

Syarat minimun untuk melakukan konservasi ex-situ dapat dikelompokkan dalam empat

faktor yaitu persyaratan biologi, fisik, manusia dan institusi (Hidalgo dkk., 2007).

Biologi

Pengetahuan mengenai siklus hidup tanaman, reproduksi biologi yang penting untuk

menentukan tipe materi genetik yang akan dikoleksi, apakah benih atau bahan vegetatif yang

akan mendasari tipe penyimpanannya.

Tipe polinasi apakah alogami atau autogami menentukan pengelolaan tegakan konservasi

dan strategi sampling saat koleksi materi genetik.

Adaptasi ekologi untuk mengetahui kondisi lingkungan asal seperti kisaran altitude,

latitude, suhu, tanah dll yang penting untuk mendapatkan tapak yang sesuai dengan kondisi

alaminya.

Fisiologi struktur reproduksi yang menentukan benih ortodok atau rekalsitran, siklus

kemasakan benih, dormansi yang penting untuk metode pemanenan maupun kesehatan benih.

Fisik

Fasilitas yang digunakan untuk menyimpan materi genetik hendaknya terbebas

lingkungan yang dapat merusak seperti api, hama/penyakit, pasokan listrik dll. Pemilihan

tapak di lapangan hendaknya mempertimbangkan altitude, latitude, suhu, tanah, curah hujan,

kemudahan akses dan kemudahan pemanfaatannya.

Page 12: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

KONSERVASI EX - SITU TANAMAN HUTAN Liliek Haryjanto

5

Sumberdaya Manusia

Konservasi memerlukan kerja tim dari berbagai disiplin ilmu seperti botani, taksonomi,

genetik, biologi, fisiologi, pemulia maupun teknik pendinginan. Karena sifatnya kerja tim,

kontinyuitas tim menjadi penting.

Institusi

Dukungan institusi, pemerintah maupun politik diperlukan dalam arti dukungan

pendanaan, SDM, dan teknis untuk mengelola aktivitas konservasi. Panjangnya aktivitas

konservasi sehingga memerlukan prioritas-prioritas jenis yang akan dikonservasi.

Bentuk-bentuk konservasi ex-situ

Bentuk konservasi ex-situ menurut ITTO dan RCFM (2000), Zobel and Talbert (1984),

dan Finkeldey (2005), yaitu:

Konservasi kumpulan faktor-faktor keturunan (gene complexes conservation)

Kegiatan ini bertujuan untuk menyelamatkan kumpulan faktor-faktor keturunan yang

berpengaruh terhadap sifat-sifat tanaman tertentu yang diinginkan, seperti: kecepatan

pertumbuhan, kualitas batang dan daya adaptasi yang tinggi.

Arboreta

Suatu arboretum adalah koleksi pohon yang cukup mewakili komposisinya dan

mempunyai pertumbuhan yang subur. Arboretum dibangun untuk tujuan ilmu pengetahuan

dan dapat juga sebagai sumber benih dan material herbarium yang mudah didapat. Tujuan

lainnya adalah untuk konservasi sumberdaya genetik, pembelajaran ilmu dendrologi,

phenologi dan perkembangbiakan biologi.

Botanical gardens

Kebun raya adalah suatu cara yang paling tepat untuk preservasi terhadap individu

species tanaman, meskipun dibangun untuk sejumlah kecil pohon jenis tertentu, namun

kegiatan ini harus dilihat sebagai bagian dari usaha global yang lebih luas untuk melindungi

keanekaragaman biodiversity.

Page 13: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

| Bunga Rampai | 1 - 16

6

Bank genetik (gene bank) dan kebun benih (seed orchard)

Penyimpanan benih dalam bank gen dalam jangka panjang merupakan metode statis

penting untuk konservasi sumberdaya genetik tanaman. Benih dapat diangkut dengan mudah

dan genotipe dalam jumlah banyak dapat disimpan dalam fasilitas ruang sempit. Namun

keterbatasan metode ini bila diterapkan pada jenis-jenis pohon yang bijinya bersifat

rekalsitran yang tidak dapat disimpan dalam jangka panjang. Kebun benih merupakan

pertanaman yang ditujukan untuk menghasilkan benih unggul. Kebun benih dapat dibedakan

menjadi kebun benih semai (KBS) dan kebun benih klok (KBK). Kebun benih semai selalu

dirancang dari uji keturunan dengan mengidentifikasi famili-famili yang memiliki fenotipe

unggul. Famili-famili yang berfenotipe jelek dibuang melalui penjarangan selektif yang

dilakukan sekali atau beberapa kali. Kebun benih klon dibangun untuk memproduksi benih

dalam jumlah banyak dari pohon yang bergenotipe unggul yang jumlahnya terbatas. Pohon

yang bergenotipe unggul dikloning dan beberapa copynya dikumpulkan dalam suatu

populasi.

Tegakan benih

Tegakan benih atau areal produksi benih dibangun di dalam atau di luar tegakan alam,

dengan individu yang berpenampilan baik dalam jumlah yang cukup banyak. Tegakan ini

kemudian ditingkatkan kualitasnya (upgrade) dan dikelola untuk produksi benih. Tegakan ini

sangat bermanfaat untuk program pemuliaan pohon, sepanjang tegakan ini dapat memberi

sumbangan material yang berkualitas untuk membangun tanaman. Tegakan benih dapat

dijadikan sumber benih antara, sampai dengan benih hasil pengujian keturunan didapatkan.

Tegakan benih secara tidak langsung berperan sebagai genepool yang bernilai tinggi sehingga

dapat digunakan sebagai tegakan konservasi.

Tegakan benih provenan

Tegakan yang berasal dari sumber benih yang berbeda lokasi geografisnya. Perbedaan

geografis ini mungkin akan bervariasi dalam hal pertumbuhannya, ketahanan hama dan

penyakit. Hal ini sangat berhubungan dengan variasi genetik yang ada pada species tersebut

terkait perbedaan geografisnya.

Bank klon

Perbanyakan vegetatif dapat memperbanyak genotipe secara identik. Pemanfaatan teknik

ini untuk memperbanyak sumberdaya genetik yang sangat terancam dengan memindahkan

Page 14: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

KONSERVASI EX - SITU TANAMAN HUTAN Liliek Haryjanto

7

bahan vegetatifnya terhindar dari kepunahan di habitat alamnya ke areal yang terlindung.

Bank klon juga dapat menyimpan informasi genetik unggul hasil pemuliaan.

Bank kultur jaringan

Merupakan perbanyakan vegetatif dari genotipe secara in vitro. Kultur jaringan dari

sebagian besar jenis dapat dipertahankan untuk jangka lama jika kondisi sesuai seperti

temperatur, cahaya dan media yang tepat.

Cryopreservation

Preservasi untuk jangka waktu yang tidak terbatas berbagai genotipe dengan volume

sangat kecil. Jaringan biologi disimpan pada temperatur sangat rendah (-196°C) dalam

larutan nitrogen.

Pembangunan dan pengelolaan tegakan konservasi ex-situ

Tegakan konservasi ex-situ dimaksudkan untuk menjaga sumberdaya genetik pada suatu

areal yang aman untuk dimanfaatkan di masa mendatang (Theilade, 2003). Fungsi tegakan

konservasi ex-situ di kehutanan dapat digunakan sebagai sumber benih, untuk mendukung

program pemuliaan pohon, mencoba jenis asing maupun penelitian dan pendidikan. Tegakan

konservasi ex-situ dapat terdiri dari satu jenis maupun beberapa jenis. Desain dan

pengelolaan tegakan konservasi ex-situ meliputi ukuran dan struktur famili, regenerasi dan

isolasi, penjarangan, pemanfaatan dan kondisi tapak (Graudal dkk, 1997).

Ukuran dan struktur famili

Ukuran konservasi ex-situ hendaknya tidak terlalu kecil untuk meminimalkan efek

inbreeding. Bilamana 25 pohon induk yang tidak berkerabat dikoleksi dari suatu populasi dan

tiap pohon induk diwakili 30 anakan, maka dalam satu populasi terdiri dari 750 tanaman.

Dengan jarak tanam 5m x 5m, maka luas areal yang diperlukan 1,87 ha tiap populasi.

Bilamana target konservasi sebanyak 5 populasi, maka luas areal yang diperlukan 9,4 ha. Bila

jalur isolasi antar populasi diperhitungkan, maka luasan yang diperlukan akan lebih besar

lagi. Tegakan konservasi beberapa jenis membutuhkan areal yang lebih luas dibandingkan

tegakan konservasi dari satu jenis saja.

Page 15: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

| Bunga Rampai | 1 - 16

8

Regenerasi dan isolasi

Tegakan konservasi ex-situ dibangun dari materi genetik dengan ciri khas phenotipik

maupun genetik yang unik untuk masing-masing populasi. Untuk menjaga ciri khas tersebut

disyaratkan untuk membuat jalur isolasi agar tidak terjadi kontaminasi serbuk sari. Jalur

isolasi yang ideal untuk sebuah tegakan konservasi yaitu sepanjang 330m (FAO,1992) .

Penjarangan

Penjarangan diperlukan untuk mendapatkan pohon dengan tajuk yang baik agar

pembungaan dan pembuahan dapat berlangsung dengan baik. Pada tegakan konservasi ex-situ

satu jenis, penjarangan sistematik dapat dilakukan untuk menjaga komposisi materi genetik.

Pemanfaatan

Tegakan konservasi dapat dipadukan dengan bentuk pemanfaatan hutan lainnya

sepanjang tidak mempengaruhi komposisi materi genetik.

Kondisi tapak

Keamanan areal menjadi pertimbangan penting saat pemilihan tapak. Untuk menghindari

kerusakan atau hilangnya materi genetik, maka pembangunan tegakan konservasi ex-situ

hendaknya dibangun pada 2-3 lokasi sebagai ulangan tempat. Tanaman mampu beradaptasi

pada tapak manakala mampu berbuah/berbiji.

Konservasi ex-situ jenis-jenis prioritas di BBPBPTH

Mengingat banyaknya sumberdaya genetik hutan, maka diperlukan pemilihan jenis-jenis

prioritas untuk dilakukan konservasi. Adapun penentuan jenis-jenis prioritas ini didasarkan

pada nilai manfaat saat ini, nilai potensi di masa mendatang dan status konservasinya.

Tahapan kegiatan konservasi ex-situ yaitu (1) pemilihan jenis, (2) eksplorasi materi genetik

dari sebaran alam maupun tanaman, namun diusahakan dari sebaran alamnya, (3)

pembangunan tegakan konservasi, (4) karakterisasi/evaluasi dan (5) dokumentasi

Pemilihan jenis

Untuk meningkatkan efisiensi kegiatan konservasi, pemilihan jenis yang dilakukan di

Balai Besar adalah jenis yang bernilai ekonomi tinggi dan status konservasi sudah masuk

dalam daftar CITES (Convention of International Trade in Indangered Species of Wild Fauna

Page 16: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

KONSERVASI EX - SITU TANAMAN HUTAN Liliek Haryjanto

9

and Flora) atau VU (vulnerable). Bentuk tegakan yang dibangun merupakan populasi dasar

yang diarahkan untuk pemuliaan tanaman, maupun dalam bentuk plot konservasi.

Berdasarkan pemilihan jenis di atas Balai Besar telah mengkonservasi 8 jenis tanaman hutan

yaitu Cendana (Santalum album Linn), Merbau (Intsia bijuga), Ulin (Eusideroxylon zwageri

T. et B.), Suren (Toona spp), Pulai (Alstonia sp), Sukun (Artocarpus altilis (Parkinson)

Fosberg), Nyawai (Ficus variegata), dan Jabon (Anthocephalus cadamba).

Sebaran alam dan eksplorasi materi genetik

Informasi sebaran alam merupakan hal yang penting untuk mengetahui potensi populasi

maupun gene pool suatu target konservasi. Sebaran jenis-jenis target yaitu:

Cendana. Sebaran alam terbesar Cendana terletak di Nusa Tenggara Timur (NTT),

sedangkan cendana yang ada di pulau Jawa merupakan hutan tanaman. Materi genetik

Cendana yang berhasil dikumpulkan untuk tujuan konservasi berasal dari populasi P. Timor

(11 populasi), P. Sumba (4 populasi), P. Alor (3 populasi), P. Jawa (1 populasi), P. Flores (2

populasi), P. Pantar (1 populasi) dan P. Rote (1 populasi).

Merbau. Sebaran alam Merbau sebagian besar berada di Indonesia bagian timur, terutama

Papua dan Maluku. Plot konservasi dibangun dengan materi genetik berasal dari Papua,

Maluku dan Jawa (Mahfudz, dkk. 2009).

Ulin. Sebaran alam Ulin terletak di P. Sumatera bagian timur dan selatan, Bangka,

Belitung dan Kalimantan. Pengumpulan materi genetik untuk pembangunan plot konservasi

dilakukan di P. Sumatera (2 populasi), P. Kalimantan (7 populasi), dan P. Bangka (1

populasi), P. Beliting (1 populasi) (Susanto, dkk. 2009).

Suren. Suren tumbuh tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar di Indonesia, Nepal,

India, Burma, China, Thailand, Malaysia sampai ke barat Papua Nugini (Djam’an, 2000). Di

Indonesia sebaran jenis ini terletak di seluruh Sumatera (kecuali Jambi), seluruh Jawa,

Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Maluku, Bali,

Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Papua (Irian) (Heyne, 1987). Koleksi

materi genetik berasal dari Jawa (15 populasi), Sumatera dan Kalimantan (21 populasi),

Sulawesi, NTB, Maluku dan Papua (10 populasi) (Fiani, dkk., 2009).

Pulai. Pulai dapat ditemui hampir diseluruh wilayah/bagian di Indonesia, mulai dari

ketinggian 10 – 1250 m dpl dengan variasi tapak yang beragam baik pada areal rawa,

gambut, pasang surut maupun daerah kering (Martawidjaja, 1981). Koleksi materi genetik

berasal dari Sumatera (Riau, Sumatera Barat, Sumatera Selatan), Kalimantan Selatan,

Page 17: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

| Bunga Rampai | 1 - 16

10

Sulawesi, Papua, Jawa (Banten, Bantul dan Gunung Kidul), Bali, Nusa Tenggara Barat dan

Nusa Tenggara Timur.

Sukun. Sebaran alami tanaman Sukun di Indonesia cukup luas meliputi Sumatera (Aceh,

Sumatera Utara, Nias, Lampung), Jawa ( Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura),

Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi (Minahasa, Gorontalo, Bonerate,

Makasar, Bugis), Maluku (Seram, Buru, Kai, Ambon, Halmahera dan Ternate) dan Papua.

Materi genetik yang telah dikoleksi berasal dari Sleman (DIY), Bali, Lampung dan

Manokwari (Papua), sedangkan yang ditanam pada tahun 2004 berasal dari Banyuwangi,

Mataram dan Malino (Sulawesi Selatan).

Nyawai. Nyawai memiliki sebaran alam meliputi seluruh Asia Tenggara (Heyne, 1987).

Kegiatan konservasi ini masih relatif baru. Eksplorasi materi genetik telah dilakukan dari 2

populasi di Kalimantan Timur.

Jabon. Jabon memiliki sebaran alam yang luas, mulai dari India sampai Papua New

Guinea, yaitu Nepal, Bengal, Assam, Ceylon, Vietnam, Burma, Semenanjung Malaya,

Serawak, Sabah, Indonesia, Filipina, PNG dan Australia (Mansur dan Tuheteru, 2010). Di

Indonesia dapat dijumpai di sebagian besar Jawa Barat dan Jawa Timur, seluruh Sumatera,

Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat dan Irian Jaya (Nurhasybi dan Muharam, 2003).

Kegiatan konservasi jenis ini masih tahap awal. Eksplorasi Jabon dilakukan di Sumatera (1

populasi) dan NTB (1 populasi).

Pembangunan tegakan konservasi ex-situ

Pembangunan konservasi yang telah dilakukan oleh Balai Besar Penelitian Bioteknologi

dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH), Yogyakarta dimulai tahun 2002 sampai dengan

sekarang. Plot konservasi dibangun dalam bentuk tegakan benih maupun kebun klonal.

Lokasi penanaman di KHDTK Watusipat dan Playen (Gunung Kidul), KHDTK

Sumberwringin (Bondowoso), BKPH Candiroto (Temanggung). Luasan areal konservasi

berkisar antara 3-10 Ha. Gambaran umum lokasi untuk konservasi ex-situ sebagai berikut:

KHDTK Watusipat (Gunung Kidul):

Topografi datar sampai bergelombang dengan kemiringan tanah berkisar antara 0º– 20º. Jenis

tanah termasuk jenis gromosol hitam, bahan induk napal dan tufvolkan intermedier dan tidak

subur. Menurut klasifikasi curah hujan Schmidt dan Ferguson adalah tipe C dengan curah

hujan rata-rata per tahun 1. 809 mm. Ketinggian tempat 200 mdpl.

Page 18: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

KONSERVASI EX - SITU TANAMAN HUTAN Liliek Haryjanto

11

KHDTK Playen (Gunung Kidul): Topografi bergelombang sampai curam dengan kelerengan

8%-30%, sebagian berbatu, jenis tanah vertisol, bahan induk napal dan tufvolkan dengan

tingkat kesuburan rendah. Menurut klasifikasi curah hujan Schmidt dan Ferguson adalah tipe

C dengan curah hujan rata-rata per tahun 1. 894 mm.

KHDTK Sumberwringin (Bondowoso):

Kelerengan berkisar 0%-15%, jenis tanah asosiasi andosol coklat. Menurut klasifikasi curah

hujan Schmidt dan Ferguson adalah tipe B dengan curah hujan rata-rata per tahun 2.400 mm.

Ketinggian tempat 800 mdpl

BKPH Candiroto (Temanggung):

Kelerengan berkisar 2%-15%, jenis tanah latosol merah kekuningan. Ketinggian tempat pada

870 mdpl, curah hujan pertahun berkisar antara 1000 - 3100 mm

Karakterisasi/evaluasi

Karakterisasi/evaluasi dapat dilakukan dengan penanda genetik (isozim dan DNA)

maupun melalui uji di lapangan. Penelitian keragaman genetik Cendana di kebun konservasi

ex-situ ini dilaporkan cukup tinggi menggunakan penanda RAPD (HE=0,391 (Rimbawanto

dkk. 2006); dan menggunakan analisis isozyme (0,366 (Haryjanto 2009). Keragaman genetik

ini masih cukup tinggi jika dibandingkan dengan dengan rata-rata nilai HE dari spesies

tropika seperti dilaporkan oleh Hamrick dan Godt (1989) yaitu sebesar 0,211. Sedangkan

jarak genetik antar populasi sebesar 0,0438. Menurut Yeh (2000), distribusi keragaman

genetik antar populasi ini termasuk rendah (<0,05).

Analisis DNA yang dilakukan Rimbawanto dan Widyatmoko (2006) pada 4 populasi

Merbau (Manokwari, Nabire, Ternate dan Carita) menunjukkan keragaman genetik yang

cukup tinggi 0,296 dimana angka ini lebih besar daripada jenis rata-rata keragaman genetik

baik untuk kelompok jenis tropis maupun konifer. Rata-rata jarak genetik antar populasi

sebesar 0,141 hasil analisis DNA menunjukkan bahwa 86% keragaman genetik berada di

dalam populasi, sedangkan sisanya berada di antara populasi. Demikian halnya dengan hasil

analisis dengan isozim yang dilakukan Pamungkas (2008) pada 6 populasi merbau (Haltim,

Seram, Waigo, Oransbari, Wasior, dan Nabire), menunjukkan masih adanya keragaman

genetik yang cukup tinggi yaitu 0,392.

Berdasarkan hasil analisis variasi genetik dari DNA analisis diketahui bahwa keragaman

genetik 4 populasi ulin yaitu Sepaku (Kaltim), Nanga Tayap (Kalbar), Seruan Hulu dan

Sumber Barito (Kalteng), rata-rata nilai keragaman genetik dalam populasi sebesar 0,379 dan

Page 19: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

| Bunga Rampai | 1 - 16

12

jarak genetik antar populasi sebesar 0,182 (Sulistyawati dkk., 2005). Keragaman genetik

tersebut menunjukkan bahwa keragaman genetik didalam populasi sangat tinggi.

Evaluasi di plot konservasi dilakukan terhadap persen hidup dimana menunjukan daya

adaptibilitas masing-masing jenis maupun karakter pertumbuhan (tinggi dan diameter).

Selain itu, kemampuan pertumbuhan Sukun bervariasi dalam pertumbuhan, produksi buah,

morfologi pohon, daun dan buahnya (Kartikawati dkk. 2009).

Dokumentasi

Manajemen data yang efisien dan efektif sangat krusial bagi konservasi dan

pemanfataannya. Dokumentasi penting dilakukan karena beranekaragamnya sifat setiap

koleksi. Data yang penting meliputi: ekogeografis (taksonomi, ekologi, geografi); data

populasi; data karakterisasi/evaluasi. Data disimpan dalam database untuk memudahkan

pengamanan dan pengaksesan kembali.

Beberapa keunggulan penggunaan sistem database dalam pengelolaan SDG (Perry, dkk.,

1993 dalam Hawkes, dkk., 2000) :

1. Memudahkan pertukaran data antar organisasi

2. Menyediakan alat untuk memelihara dan menggunakan data yang dapat membantu

kurator untuk memonitor viabilitas, kuantitas dan lokasi benih atau stok SDG di

persemaian

3. Membantu seleksi materi yang dapat digunakan untuk program pemuliaan dan penelitian.

4. Menyediakan informasi untuk koordinasi pemanfaatan sumberdaya genetik tingkat

global.

Beberapa permasalahan dan langkah ke depan konservasi ex-situ

Beberapa tegakan konservasi ex-situ yang dibangun BBPBPTH menggunakan desain

yang memungkinkan terjadi pencampuran serbuksari antar populasi, sehingga benih hasil

reproduksi seksual tidak lagi memiliki identitas populasi. Tentunya hal ini mengurangi

pemanfaatan materi genetik terutama untuk pemuliaan pohon di masa datang.

Materi genetik yang ada kemungkinan belum sesuai dengan jumlah minimum individu

tiap populasi. Individu yang jumlahnya sedikit tentunya akan mengurangi kemampuan

tanaman bereproduksi karena adanya efek inbreeding.

Konservasi genetik merupakan kegiatan jangka panjang dan mahal. Disadari bahwa

konservasi genetik tidak secara langsung berdampak ekonomi, sehingga peran pemerintah cq.

Page 20: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

KONSERVASI EX - SITU TANAMAN HUTAN Liliek Haryjanto

13

Departemen Kehutanan sangat penting. Oleh sebab itu komitmen dari berbagai pihak harus

terus ditingkatkan.

Kebutuhan areal yang luas dan sesuai untuk jenis target menjadi faktor yang mendesak

untuk dicarikan solusi terbaik.

Daftar Pustaka Brown, A.H.D dan Brigg, J.D. 1991. Sampling strategies for genetic variation in ex-situ

collections of endangered plant species. In: D.A Falk and K.E Holsinger (eds). Genetic and Conservation of Rare Plant. Oxford University Press, New York (In: Neel, M.C., dan Cummings, M.P. 2003. Effectiveness of conservation targets in capturing genetic diversity. Conservation Biology 17: 219-229)

Centre for Plant Conservation, 1991. Genetic sampling guidelines for conservation collections of endangered plant. In: D.A Falk and K.E Holsinger (eds). Genetic and Conservation of Rare Plant. Oxford University Press, New York (In: Neel, M.C., dan Cummings, M.P. 2003. Effectiveness of conservation targets in capturing genetic diversity. Conservation Biology 17: 219-229.

Djam’an, D.F. 2000. Suren (Toona sureni (Blume) MERR). Prinsip-prinsip Umum Penanganan Benih Tanaman Hutan Untuk Reboisasi, Penghijauan dan Hutan Rakyat. Ekspose dan Temu Lapang Hasil-hasil Penelitian Perbenihan Tanaman. Kerjasama Balai Teknologi Perbenihan Bogor dengan Balai Perbenihan Tanaman Hutan Denpasar. Denpasar 17-18 Oktober 2000.

FAO, 1992. Establishment and management of ex-situ conservation stand. Forest Genetik Resources Information 20, 7-10. FAO, Rome

Fiani, A., Jayusman, Setiawan A., Izudin, E., Budi, S. 2009. Evaluasi dan Pemeliharaan Plot Konservasi Eksitu Jenis Suren (Toona spp.) Laporan Kegiatan 2009. Buku 2. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta

Finkeldey, R. 2005. Pengantar genetika hutan tropis. Terjemahan. Edje Djamhuri, Iskandar Z. Siregar, Ulfah J. Siregar, Arti W. Kertadikara. Fak. Kehutanan IPB

Frankel, O.H. 1970. Genetic conservation in perspective. In: Genetic Resources in Plant-their exploration and conservation (eds. Frankel, O.H. and Bennet, E). IBP Handbook No 11. Blackwell, Oxford and Edinburgh.

Frankel, O.H dan Soule, M.E. 1981. Conservation and evolution. Cambridge University Press. (In: Gradual, L. Kjaer, E., Thomsen, A., and Larsen. 1997. Planning national programmes for conservation of forest genetic resources. Danida Forest Seed Centre. Denmark).

Franklin, I.R. 1980. Evolutionary change in small population. In: Conservation Biology An Evolutionary-Ecologycal Perspective. (eds) Soule, M.E and Wilcox, B.A. Sinauer Associates, Sunderland, Mass.

Graudal, L., Kjaer, E., and Changer, S.C. 1995. A systematic approach to conservation of forest genetic resources in Denmark. Forest Ecology and Management 73.

Graudal, L., Kjaer, E., Thomsen, A., and Larsen. 1997. Planning national programmes for conservation of forest genetic resources. Danida Forest Seed Centre. Denmark.

Hamrick, J.L., dan Godt, M.J.W. 1989. Allozyme diversity in plant species. In: Brown, A.H.D., Clegg, M.T., Kahler, A.L., Weis, B.S. (Eds). Plant Population Genetic, Breeding and Genetic Resources, Sinauer. Sunderland. Mass, USA.

Haryjanto, L. 2009. Keragaman genetik cendana (Santalum album Linn) dari Kepulauan Nusa Tenggara Timur di kebun konservasi ex-situ Watusipat, Gunungkidul dan dari ras

Page 21: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

| Bunga Rampai | 1 - 16

14

lahan Wanagama. Tesis. Tidak dipublikasikan. Program Studi Ilmu Kehutanan, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

Hawkes, J.G., Maxted, N., Ford-Lloyd, B.V. 2000. The ex-situ conservation of plant genetic resources. Kluwer Academic Publishers. London

Heyne, K, 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid II. Hildago, R., Pineda, B., Deboukc, D., and Mejia, M. 2007. Minimum requirements for ex-situ

conservation. In: Multi-Institutional distance learning course on the ex-situ conservation of plant genetic resources. CIAT Publication No 360. Colombia

ITTO and RCFM. 2000. Technical guidelines for the establisment and management of ex-situ conservation stand of tropical timber species. Malaysia

Johnson, R., Clair,B.S., Lipow, S. (2001). Genetic conservation in applied tree breeding programs. In: Thielges, B.A., Sastrapraja, S.D., Rimbawanto, A (Eds). Proc. Of International Conference on In-situ and Ex-situ Conservation of Commercial Tropical Trees. Yogyakarta.

Kartikawati, N.K., Adinugraha, H.A., Setiadi., D., dan Prastyono. 2009. Variasi produktivitas dan morfologi buah sukun (Artocarpus altilis [Park.] Fosberg) pada uji klon di Gunungkidul. Dalam: Status Terkini Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta

Keiding, H dan Graudal, L. 1989. Introduction to conservation of forest genetic resources. Lecture Note A-4. Danida Forest Seed Centre, Humlebaek, Denmark.

Keiding, H. 1993. Gene conservation and tree improvement. Lecture Note D-9. Danida Forest Seed Centre, Humlebaek, Denmark.

Mahfudz, Pujiono, S., Pamungkas, T. 2009. Status terkini konservasi sumberdaya genetik merbau (Intsia bijuga). Dalam: Status Terkini Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta

Mansur, I., dan Tuheteru, F.D. 2010. Kayu jabon. Penebar Swadaya Martawijaya, A., I. Kartasujana, K. Kadir dan S.A. Prawira. 1981. Atlas Kayu Indonesia Jilid

I. Balai Penelitian Hasil Hutan. Bogor. Neel, M.C. dan Cummings, M.P., 2003. Effectiveness of conservation targets in capturing

genetic diversity. Conservation Biology 17: 219-229 Nurhasybi dan Muharam, A. 2003. Jabon (Anthocephalus cadamba Miq). Dalam: Atlas benih

tanaman hutan Indonesia. Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan. Bogor

Pamungkas, T.Y. 2008. Studi Variasi Genetik Beberapa Populasi Merbau menggunakan penanda isoenzim dan pamanfaatannya dalam Program Konservasi genetik. Tesis S2 Universisat Gadjah Mada. Jogjakarta.

Sulistyowati,P., Widyatmoko, A.Y.P.B.C. dan Rimbawanto, A. 2005. Keragaman genetik empat populasi Eusideroxylon zwageri asal Kalimantan berdasarkan penanda RAPD. Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Produktivitas Hutan-Peran Konservasi Sumber Daya Genetik, Pemuliaan dan Silvikultur dalam Mendukung Rehabilitasi Hutan. (ed: E.B. Hardiyanto). Fak. Kehutanan UGM dan International Tropical Timber Organisation. Yogyakarta

Rimbawanto, A. dan AYPBC Widyatmoko. 2006. Keragaman Genetik Empat Populasi Intsia bijuga Berdasarkan Penanda RAPD dan Implikasinya bagi Program Konservasi Genetik. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. Bogor

Rimbawanto, A., Widyatmoko, AYPBC dan Sulistyowati, P. 2006. Distribusi keragaman genetik populasi Santalum album L berdasarkan penanda RAPD. Jornal Penelitian Hutan Tanaman Vol 3 No 3.

Page 22: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

KONSERVASI EX - SITU TANAMAN HUTAN Liliek Haryjanto

15

Sastrapraja, S.D. 2004. Menjamin masa depan dengan plasma nutfah hutan. Prosiding Workshop Nasional Konservasi, Pemanfaatan, Pengelolaan Sumberdaya Genetik Tanaman Hutan. Puslitbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta.

Skroppa, T. 2005. Ex-situ conservation methode. In: Geburek, T., dan Turok, J. (Eds). Conservation and Management of Forest Genetic Resources in Europe. Arbora Publisher, Zvolen.

Soekotjo, 2001. The status of ex-situ conservation of commercial trees in Indonesia. In: Thielges, B.A., Sastrapraja, S.D., Rimbawanto, A (Eds). Proc. of

Page 23: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

| Bunga Rampai | 1 - 16

16

Page 24: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

17

KONSERVASI IN – SITU TANAMAN HUTAN

Charomaini dan Lukman Hakim

Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

ABSTRAK Angka deforestasi pada hutan hujan tropis di Indonesia bervariasi dari 1,08 sampai dengan 1,2 juta ha per tahun yang angka tersebut menggambarkan terjadinya peningkatan kemerosotan kualitas dan kuantitas sumber daya alam baik dalam tingkat jenis, genetik maupun ekosistem. Konservasi biodiversitas sangat bermacam-macam, di antaranya adalah konservasi sumber daya genetik tanaman hutan yang salah satunya diharapkan dapat mendukung kegiatan pemuliaan pada tanaman hutan. Konservasi in situ dan ex situ biasa disebut sebagai bagian dari kegiatan konservasi sumber daya genetik. Bahkan dalam praktek terbaru, dikenal adanya konservasi pseudo in situ yang dianggap lebih menghemat biaya dan sangat membantu dalam penyelamatan jenis/ populasi yang terancam. Konservasi in situ yang umum dikenal adalah dalam bentuk Taman Nasional, Cagar alam, Suaka margasatwa, Perlindungan hutan atau danau, biosfer laut dan bumi. Konservasi ini dilakukan di daerah ekosistem aslinya. Meskipun pelaksanaannya mengacu pada regenasi alami, tetapi dapat juga dilakukan menggunakan regenerasi buatan. Contoh dari penelitian pada kegiatan konservasi in situ dilakukan pada penelitian struktur dan komposisi vegetasi pada Shorea penghasil tengkawang. Pada hutan alam Dipterocarpaceae di Kalimantan, diketahui tingkatan semai ditemui terbanyak (82,16%), sedangkan pohon hanya 0,67%. Komposisi vegetasi umumnya disusun oleh minimal tiga strata, yaitu dominasi Dipterocarpaceae, kemudian strata semak belukar, dan lapisan ketiga merupakan tumbuhan herba dan lapisan herba rendah dari semak belukar. Penelitian konservasi in situ yang berkaitan dengan penelitian genetika bertujuan untuk mengetahui variasi genetik, pola perkawinan, struktur genetik, luas minimal populasi tingkat degradasi jenis dan lain-lain. Kegiatan konservasi in situ di berbagai negara lain sangat bervariasi. Di California, USA, kegiatan konservasi in situ pada Pinus radiatagagal karena perbedaan pendapat antara sektor swasta, organisasi non profit, perorangan, perusahaan, negara dan universitas. Di Amerika Utara, konservasi ekosistem padang rumput/ prairi berhasil baik. Hutan Darkwood di British Columbia, seluas 55.000 ha berhasil dilindungi oleh pemerintah Canada setelah dibeli dari orang Jerman pada tahun 2008. Pemerintah India bekerjasama dengan IUCN melalui Kelompok Spesialis Breeding Konservasi berhasil menyelamatkan sekitar 39 jenis tanaman obat dalam areal konservasi in situ di Andhra Pradesh. Di masa depan, konservasi in situ di Indonesia diharapkan dapat berjalan lebih baik dengan cara menjalin kerjasama dengan institusi kompeten seperti IUCN,sehingga dapat diperoleh kembali data jenis dan lokasi area konservasi in situ yang disurvey terdahulu. Pendekatan melalui jaringan kerjasama diharapkan dapat memperlancar atau mengurangi perbedaan pendapat yang terjadi dalam pengambilan keputusan. Cara konservasi pseudo in situ dapat dipelajari lebih mendalam untuk pelaksanaan konservasi yang lebih baik dan menguntungkan. Alokasi dana yang menjadi masalah diharapkan dapat diatasi dengan menjalin kerjasama dengan sektor privat, instansi pemerintah dan luar negeri. Penelitian berkaitan dengan konservasi in situ harus dilakukan lebih mendalam untuk meningkatkan wawasan yang lebih luas mengenai manfaat konservasi in situ bagi masyarakat luas dan pemulia pohon hutan khususnya.

Pendahuluan

Sebagian besar hutan Indonesia sesuai dengan letak dan karakteristik iklimnya termasuk ke

dalam katagori hutan hujan tropis. Angka deforestasi di Indonesia berdasarkan data CIFOR tahun

Page 25: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

| Bunga Rampai | 17 - 28

18

2009, dari tahun 2000 s.d. 2005 seluas 1,2 ha/tahun.Sedangkan menurut data Kementerian

Kehutanan deforestasi dan degradasi hutan Indonesia seluas 1,08 juta ha/tahun (Anon,2002).

Degradasi hutan Indonesia menyebabkan kemerosotan kualitas dan kuantitas baik pada tingkat

genetik, jenis, maupun ekosistem. Paradigma baru sektor kehutanan memandang hutan sebagai

sistem sumberdaya yang bersifat multi fungsi, multi guna dan memuat multi kepentingan serta

pemanfaatannya diarahkan untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Menurut Basuni (2008), dasar konservasi biodiversitas adalah variasi genetik, dimana variasi

genetik mempengaruhi ciri-ciri fisik spesies, produktivitas, ketahanan terhadap tekanan lingkungan,

dan potensi evolusi jangka panjang. Program konservasi genetik dapat mendukung kegiatan

pemuliaan tanaman hutan untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari. Menurut Namkoong

dkk(1996), kegiatan konservasi merupakan proses pemeliharaan variasi genetik sebagai salah satu

kriteria dalam pengelolaan hutan yang lestari. Program konservasi dapat dilakukan bagi sebagian

kecil jenis-jenis yang ada di hutan tropis yang memiliki kekayaan jenis yang sangat tinggi.

Pemilihan prioritas jenis didasarkan pada pentingnya suatu populasi, jenis atau kelompok jenis, dan

status konservasi sumberdaya genetik tersebut. Jenis-jenis prioritas dipilih untuk dikonservasi

karena memegang peran kunci dalam ekosistem (keystone species) atau memiliki prospek secara

ekonomis yang tinggi (Finkeldey, 2005).

Menurut Maxted dkk (1997), strategi konservasi sumberdaya genetik terdiri atas konservasi in-

situ dan ex-situ, dimana menurut Cohendkk (1991) kedua strategi tersebut saling melengkapi,

konservasi ex-situ merupakan back-up bagi konservasi in-situ, apalagi jika genetik maupun jenis

target disebaran alamnya terancam punah. Materi genetik yang dikoleksi dari areal konservasi in-

situ dapat berfungsi ganda yaitu selain untuk materi pembangunan konservasi ex-situ juga dapat

sekaligus dimanfaatkan untuk keperluan pemuliaan.

Diperkenalkannya metode konservasi pseudo in-situmenambah wawasan mengenaikonservasi,

yang pseudo in-situini tidak begitu berbeda dengan konservasi in-situ tetapi cara ini lebih

menghemat biaya dan lebih menjamin keselamatan populasi dari bencana baik karena manusia

maupun alam. Pseudo in-situ lebih menghemat biaya karena jenis yang dikonservasi hanya jenis

target saja, dan lebih menjamin keselamatan populasi dari bencana karena penanaman dilakukan di

luar habitat aslinya sehingga disebut sebagai konservasi pseudo in-situ atau mirip seperti

konservasi in-situ.

Kegiatan konservasi in-situ di negara luar sebagian cukup maju, lebih dari kegiatan yang

dilakukan di Indonesia. Meskipun demikian, dengan segala usaha baik pembentukan jaringan

Page 26: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

KONSERVASI IN – SITU TANAMAN HUTAN Charomaini dan Lukman Hakim

19

kerjasama, dana, peningkatan kemampuan SDM peneliti dan wawasan mengenai konservasi in-situ

yang lebih luas maka di masa depan, kegiatan konservasi in-situdi Indonesia akan lebih besar dan

bermanfaat untuk kepentingan pelestarian tanaman hutan yang hampir punah, kebutuhan akan

keragaman genetik populasi terancam punah dan kepentingan kemanusiaan di dunia.

Konservasi In-Situ

Konservasi in-situ adalah konservasi sumberdaya genetik suatu species tertentu di daerah

sebaran alam atau di daerah ekosistim aslinya (onsite). Walaupun pelaksanaannya lebih mengacu

pada regenerasi secara alami, tetapi kegiatan regenerasi secara buatan juga dapat dilakukan, selama

pelaksanaan koleksi materi genetiknya tidak ada seleksi dan dikumpulkan secara acak di lokasi

populasinya.

Konservasi in-situ dapat berupa antara lain Taman nasional, Cagar alam, Suaka margasatwa,

Perlindungan hutan atau danau yang kondisinya mengkhawatirkan, Biosphere laut dan bumi dan

lain-lain.

Diketahui ada cara lain konservasi in-situ yang lebih mudah, murah dan praktis yaitu

konservasi pseudo in-situ yang diperkenalkan oleh DANIDA meskipun cara ini juga mempunyai

kelemahan. Pada dasarnya cara ini meniru cara konservasi in-situ tetapi tidak semua jenis

dikonservasi. Jenis yang dikonservasi hanya terbatas jenis target saja. Jadi dengan cara

memindahkan beberapa jenis target dari kelompok hutan yang diduga tidak aman ke tempat lain

yang lebih aman di luar habitatnya sehingga disebut pseudo (mirip) in- situ.Untuk menjaga agar

tidak terjadi inbreeding maka setiap jenis yang dipindah harus diwakili oleh minimal 50 pohon

induk, setiap pohon induk diwakili oleh minimal 4 – 10 individu (anakan). Fakultas Kehutanan

UGM bekerjasama dengan Perum Perhutani berusaha menyelamatkan jenis Dipterocarpaceae dari

10 kelompok hutan di Kalimantan dan Sumatera, yang ditanam di Bagian Daerah Hutan (BDH)

Carita, dengan ulangan lokasi di BDH Gunung Kencana, KPH Banten. Selanjutnya akan dibangun

konservasi pseudoin-situ juga oleh PT. Sari Bumi Kusuma, PT Erna Juliawati, PT. Suka Jaya

Makmur dan PT. SARPATIM dari 4 kelompok hutan yang mewakili Kalimantan Tengah dan Barat

(Soekotjo dan Naiem, 2010).

Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan

Jenis Tumbuhan dan Satwa, serta SK Menhut No. 261/Kpts-IV/1990 tentang perlindungan pohon

tengkawang sebagai tanaman langka. Berdasarkan hal tersebut maka upaya konservasi sumberdaya

genetik Shorea spp penghasil tengkawang menjadi sangat mendesak.

Page 27: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

| Bunga Rampai | 17 - 28

20

Beberapa contoh aspek penelitian konservasi in-situ pada hutan alam Dipterocarpaceae

penghasil tengkawang, diuraikan sebagai berikut.

Penelitian Struktur Dan Komposisi Vegetasi

Struktur dan komposisi vegetasi dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu tempat tumbuh (unsur hara)

dan iklim. Struktur vegetasi atau tegakan merupakan vegetasi atau tegakan yang tersusun atau

terbentuk oleh tingkatan-tingkatan umur pada pertumbuhan tertentu. Sedangkan komposisi vegetasi

merupakan susunan jenis yang terdapat dalam suatu komunitas. Penyebaran kelas diameter dapat

mencerminkan kisaran ukuran pohon yang membentuk suatu struktur tegakan.

Inventarisasi yang telah dilakukan di hutan alam Dipterocarpaceae, Kalimantan dapat

digunakan sebagai contoh gambaran struktur vegetasi yang ada. Berdasarkan hasil pengolahan data

inventarisasi untuk mengetahui struktur tegakan yang berada di petak TTT.23 seluas 100 ha dapat

dilihat pada grafik 1.

Tingkatan semai menempati urutan teratas (82,16%) tumbuh dengan populasi yang melimpah,

kemudian disusul tingkatan sapling (15,38%), tingkatan tiang (1,79%) dan terakhir tingkatan

pohon (0,67%). Data tersebut menggambarkan bahwa makin besar tingkatan tumbuhan (kelas

diameter)nya maka keberadanya semakin sedikit. Hal ini menunjukkan kondisi struktur tegakan

alam di petak TTT23 untuk semua jenis tumbuhan menunjukkan masih dalam kondisi yang

normal.Stratifikasi di petak TTT23 mewakili hutan alam tropis di Kalimantan yang masih normal

yang umumnya disusun minimal dalam tiga strata yaitupertama, lapisan atas yang membentuk

kanopi yang lengkap, didominasi oleh famili Dipterocarpaceae. Lapisan kedua yang merupakan

Strata semak belukar dan lapisan ketiga merupakan tumbuhan herba dan satu lapisan herba rendah

dari semak belukar.

Prosentase Per Tingkat Tumbuhan Dalam 100 ha

82.16

15.381.79 0.67

0.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

Semai Sapling Tiang Pohon

Tingkat Tumbuhan

Pro

sent

ase

Series1

Grafik 1.Polapenyebaran kelas diameter pada petak seluas 100 ha

Page 28: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

KONSERVASI IN – SITU TANAMAN HUTAN Charomaini dan Lukman Hakim

21

Berdasarkan data inventarisasi jumlah jenis tumbuhan yang ada di plot konservasi in-situ

Shorea penghasil tengkawang, komposisi dan keragaman jenis yang ada sebanyak 74 jenis. Data ini

menunjukkan keanekaragaman jenis di lokasi ini sangat rendah jika dibandingkan dengan beberapa

hasi linventarisasi jenis di beberapa tempat di Kalimantan, seperti di hutan Dipterocarpaceae

Wanariset yang terdapat 239 jenis (Kartawinataet al., 1981), di Lempake 209 jenis (Riswan, 1986),

dan hutan lindung Gunung Meratus 103 jenis (Tata, 1999).

Estimasi Potensi Shorea Penghasil Tengkawang

Kelimpahan jenis ditentukan oleh frekuensi, kerapatan, dan dominasi setiap jenis. Penguasaan

suatu jenis terhadap jenis yang lainnya ditentukan berdasarkan Indeks Nilai Penting (INP)volume,

biomass, persentase penutupan tajuk, luas bidang dasar, atau banyaknya individu dan kerapatan

(Soerianegara dan Indrawan, 1978). Nilai penting suatu jenis merupakan nilai yang

menggambarkan peran suatu jenis dalam suatu komunitas. Dari hasil inventarisasi diketahui bahwa

Shorea penghasil tengkawang yaitu Shorea macrophylla, S. pinanga, S. stenoptera,dan S.

compressa mendominasi pada tingkat pohon, pada tingkat semai tidak masuk dalam daftar 10 jenis

dengan INP tertinggi. Sedangkan pada tingkat sapling dan tiang, hanya S. compressa saja. Hal ini

mengindikasikan bahwa telah terjadi kemunduran regenerasi secara alami dari waktu ke waktu.

Berdasarkan data grafik2 diketahui bahwa jenis-jenis Shorea penghasil tengkawang yang

terdapat di plot konservasi in-situ Shorea penghasil tengkawang di petak TTT.23 antara lain Shorea

macrophylla, S. pinanga, S. stenoptera, S. seminis dan S compressa. Nilai kriteria INP semakin

tinggi seiring dengan tingkatan tumbuhan, yaitu tingkat semai nilai INP=7,5; tingkat sapling

INP=8,5; tingkat tiang INP=16,5; dan tingkat pohon INP=81,7. Hal ini menunjukkan bahwa

regenerasi jenis-jenis Shorea penghasil tengkawang mengalami permasalahan dari waktu kewaktu.

Kegagalan regenerasi alam ini dimungkinkan terjadi karena pemanfaatan masyarakat untuk

mengambil biji tengkawang sebagai salah satu sumber pendapatan yang dari waktu kewaktu

semakin tinggi. Shorea stenoptera dengan buah berukuran besar pada tingkat pohon, nilai INP 43,6

(sangat berperan), namun pada tingkat semai, sapling, maupun tiang, nilai INP kurang berperan.

Hal ini terjadi disebabkan karena Shorea stenoptera ini merupakan target utama masyarakat untuk

mengambil buahnya karena memiliki nilai ekonomis yang paling tinggi.

Page 29: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

| Bunga Rampai | 17 - 28

22

Grafik 2. Nilai INP jenis-jenis Shorea penghasil tengkawang per tingkat pertumbuhan

Berdasarkan data-data penurunan daya regenerasi dari jenis-jenis Shorea penghasil

tengkawang, maka perlu dilakukan kegiatan yang dapat menjaga proses permudaan alam atau

kegiatan pengayaan secara buatan dengan 2 syarat yaitu: a). materi genetik harus berasal dari petak

TTT 23, dan b). tidak ada seleksi dan bersifat acak dalam penentuan pohon induk sebagai sumber

benih.

Gambar 1. Kegiatan inventarisasi di plot konservasi in-situ Shorea penghasil tengkawang

Data-data hasil kegiatan penelitian awal tersebut dapat dijadikan bahan rekomendasi untuk

kegiatan-kegiatan pembangunan plot konservasi in-situjenis Shorea penghasil tengkawang di tahun

berikutnya. Penelitian lanjutan di lokasi tersebut dapat melibatkan beberapa disiplin ilmu dan

teknologi, antara lain ekologi, dendrologi, genetika molekuler dan kultur jaringan, statistis, GIS dan

kehutanan sosial jika masyarakat sekitar memiliki kebergantungan yang tinggi secara sosial,

budaya dan ekonomi terhadap lokasi areal konservasi in-situ.

Dengan meningkatnya angka degradasi hutan alam yang semakin memprihatinkan, maka upaya

penyelamatan sumberdaya genetik pada jenis-jenis Shorea penghasil tengkawang juga dapat

dilakukan dengan membangun plot konservasi ex-situ.

7,5 8,5

16,5

81,7

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

INP

Semai Sapling Pancang PohonTingkatan

Series1

Page 30: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

KONSERVASI IN – SITU TANAMAN HUTAN Charomaini dan Lukman Hakim

23

Konservasi Sumberdaya Genetik untuk Mendukung Program Pemuliaan

Populasi dasar dapat berupa hutan alam maupun hutan tanaman yang merupakan sumber benih

dimana materi genetik untuk mendukung program pemulian dikumpulkan. Syarat penting suatu

populasi dasar agar dapat dimanfaatkan untuk program pemuliaan adalah memiliki basis genetik

yang luas dan diketahui karakteristik keunggulannya, misalnya memiliki kualitas kayu yang baik,

ketahanan terhadap hama dan penyakit, rendemen dan kualitas minyak yang tinggi, dan lain-lain

(Leksono, 2004). Populasi dasar yang berupa hutan alam dengan kondisi serta potensinya yang

sangat spesifik dapat ditetapkan sebagai areal konservasi in-situ. Secara umum ada 2 aspek

penelitian yang dapat dilakukan di areal konservasi in-situ yaitu penelitian ekologi dan penelitian

genetika. Beberapa penelitian ekologi dapat dilakukan pada areal tersebut, seperti survey potensi,

struktur,komposisi jenis,dinamika populasi, permudaan alam, biologi reproduksi, dan lain-lain.

Sedangkan penelitian genetika dapat dilakukan untuk mengetahui variasi genetik,pola perkawinan,

struktur genetik, luas minimal populasi untuk suatu jenis, tingkat degradasi jenis dan lain-lain.

Kegiatan penelitiandi plot konservasi in-situ jenis-jenis Shorea penghasil tengkawang

dilakukan pada tahun 2005 - 2009 di petak TTT 23 di hutan alam Sungai Runtin di areal konsesi

PT. Suka Jaya Makmur Kalimantan Barat. Penelitian aspek ekologi berupa struktur, potensi, dan

komposisi jenis, sedangkan penelitian pada aspek genetika berupa keragaman genetik, pola

perkawinan dan tingkat degradasi jenis-jenis Shorea penghasil tengkawang (Hakim, L. 2009).

Petak TTT 23 merupakan salah satu populasi dasar yang telah ditetapkan sebagai tegakan benih

teridentifikasi untuk jenis-jenis Shorea penghasil tengkawang karena memiliki potensi yang tinggi.

Petak TTT 23 menjadi salah satu lokasi kegiatan explorasi dan pengumpulan benih jenis-jenis

Shorea penghasil tengkawang saat panen raya pada awal tahun 2010. Koleksi materi genetik

berupa anakan Shorea sudah dipelihara di persemaian Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan

Pemuliaan Tanaman Hutan (Gambar 2.)

(A) (B) (C)

Gambar 2. Pembibitan jenis-jenis Shorea penghasil tengkawang di persemaian BBPBPTH Yogyakarta: (A) populasi Kalbar, (B) populasi Kalteng dan (C) populasi Jabar

Page 31: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

| Bunga Rampai | 17 - 28

24

Konservasi In-situ di Berbagai Negara

Di California, Amerika Serikat, konservasi in-situ dilakukan pada hutan alam Pinus radiata

yangmempunyai nilai estetis pemandangan hutan alam yang indah. Namun demikian, terjadi

perbedaan pendapat di antara sektor swasta, organisasi non profit, perorangan, perusahaan, negara

dan universitas yang menyebabkan kegiatan konservasi in situ tersebut gagal dilaksanakan (Rogus,

2002).

Padang rumput/ prairie di Amerika Utara juga mendapat perhatian untuk dikonservasi. Dalam

suatu konferensi, disarankan dilakukan kegiatan pengenalan biologi dan ekologi ekosistem prairi;

identifikasi dan inventarisasi prairi alami yag tersisa dan menentukan tingkat kerusakan;

identifikasi, inventarisasi dan konservasi endemik prairi khususnya binatang dan tanaman yang

tidak biasa ditemui; evaluasi calon jenis yang terancam punah; melarang penanaman tanaman

berkayu dalam ekosistem yang didominasi oleh prairi; mendukung inisiatif konservasi oleh publik,

privat dan pemerintah; meluruskan batas administrasi dan ekoregion (Samson, F and Fritz Knopf,

1994).

Di Canada, Nature Concervancy of Canada (NCC), suatu organisasi privat, non profit, yang

bekerja untuk perlindungan langsung biodiversitas Canada bersama dengan Menteri Lingkungan

Canada menyelamatkan hutan Darkwoods di British Columbia seluas 55.000 ha yang dibeli dari

seorang warga negara Jerman pada tahun 2008. Menteri Lingkungan John Baird dan Presiden NCC

John Lounds mengumumkan bahwa hal tersebut merupakan pembelian lahan privat terbesar untuk

kepentingan konservasi dalam sejarah Canada (Kirby, 2011).

Konservasi in-situ cenderung lebih murah biayanya, salah satu pilihan untuk mempertahankan

keragaman genetik, tetapi kesulitannya adalah kebanyakan institusi tidak begitu memperhatikan

mengenai jenis yang ada di areal konservasi in- situ. Meskipun demikian, biasanya dapat dilakukan

monitoring di lokasi in-situ dalam usaha memutuskan kapan konservasi ex-situ diperlukan. Usaha

ini sedang dilakukan di Pasifik Barat Laut Amerika Utara. Di British Columbia (BC), Menteri

Kehutanan BC telah menginventarisir populasi in-situ dalam usaha menemukan populasi yang

kemungkinan berada dalam kondisi berbahaya/ hampir punah (Lester dan Yanchuk 1996).

Page 32: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

KONSERVASI IN – SITU TANAMAN HUTAN Charomaini dan Lukman Hakim

25

Gambar3.Hutan Darkwoods di British Columbia.Sumber: Bruce Kirby (2011)

Di Oregon dan Washington, banyak organisasi bersama-sama melakukan analisis “gap” 8

jenis conifer penting (St. Clair danLipow 2000).Pendekatan kerjasama tersebut dapat menghemat

biaya pada masing-masing institusi.

Untuk tujuan pengukuran secara cepat jenis terancam punah dan tujuan menjalin kerjasama untuk

mengatasi kekurangan data kuantitatif maka pemerintah India telah melakukan usaha konservasi in-

situ jenis tanaman obat (Medicinal Plan Conservation Areas =MPCA). Dengan bekerjasama

dengan IUCN melalui Kelompok Spesialis Breeding Konservasi (Conservation Breeding Specialist

Groups), melakukan workshop untu kmengatasi permasalahan keterbatasan lahan, sumberdana,

jenis prioritas, strategi konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan. Dari 50 jenis yang didata di

Andhra Pradesh selama Maret 2001, diantaranya 39 jenis dalam keadaan terancam punah dalam

berbagai tingkatan. Dari 39 jenis tersebut, 28 terekam dari berbagai areal konservasi in-situ MPCA

dan akan dikonservasi di dalam dan di sekitar masing-masing MPCA. Sebelas jenis terancam

punah umumnya endemik di Andhra Pradesh sehingga memungkinkan untuk dilakukan konservasi

in-situ. Tujuh dari jenis tersebut direkam dari jaringan kerjasama MPCA, sementara lahan baru

diperlukan untuk jenis Boswellia ovalifoliolata, Butea monosperma var. Lutea, Urginea

nagarjunae dan Phyllanthus indofischeri (Anon, 2002).

Konservasi in situ di Masa Depan yang Diinginkan Indonesia

Kalau melihat pengalaman kegiatan konservasi in-situ yang sudah dilakukan di negara lain,

banyak yang dapat digunakan sebagai contoh untuk kegiatan konservasi in-situ di Indonesia di

masa depan. India dengan usaha inventarisasi lokasi konservasi in-situ tanaman obat, merupakan

usaha yang memerlukan ketekunan. Dengan menjalin kerjasama dengan institusi kompeten seperti

IUCN, merupakan usaha positif dalam merekam kembali data yang hilang mengenai lahan dan

Page 33: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

| Bunga Rampai | 17 - 28

26

jenis dalam area konservasi in-situ yang telah dikelola terdahulu dan mengalokasikan lahan baru

jenis yang direncanakan.

Di California, telah dilakukan usaha konservasi pada hutan P. radiata (Monterey Pines) untuk

keperluan estetika, perlindungan pemandangan hutan yang indah. Meskipun demikian, banyak

kendala yang dihadapi seperti perbedaan pendapat antar fihak terkait. Hal seperti ini dapat menjadi

pelajaran bagi Indonesia bahwa untuk memperlancar agar tidak terjadi perbedaan pendapat dalam

mengambil keputusan, perlu dilakukan pendekatan yang lebih baik melalui jaringan kerjasama

dengan pertemuan anggota secara intensif. Konservasi dalam arti jenis tidak selalu menjadi

prioritas, tetapi konservasi dalam arti ekosistem terkadang diperlukan untuk kepentingan tertentu.

Cara konservasi pseudo in-situ yang diadopsi dari DANIDA perlu dipelajari lebih mendalam

karena dengan cara ini, konservasi in-situ tidak harus mengkonservasi semua jenis yang ada tetapi

hanya jenis target saja, dan dapat dilakukan di luar habitatnya. Dengan menjalin kerjasama dengan

fihak pengusaha Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang masih aktif, cara konservasi pseudo in-situ

dapat dicoba dengan mengikutsertakan pakar bidang ini yang ada di perguruan tinggi dan HPH

aktif yang telah melakukan kegiatan konservasi pseudo in-situ di areal HPHnya.

Alokasi dana terkadang dirasakan menjadi kendala. Harus dicari jalan keluar misalnya dengan

menjalin kerjasama yang umumnya akan dapat lebih memperkecil pengeluaran dana dengan hasil

yang lebih baik karena keikutsertaan pakar-pakar di bidangnya. Contohnya British Columbia

bersama dengan NCC, yang membeli hutan Darkwoods seluas 55.000 ha dari seorang bangsa

Jerman. Dengan usaha kerjasama dengan sektor privat dan instansi pemerintah dan luar negeri,

kemungkinan kesulitan dana tidak akan menjadi masalah.

Riset yang menyangkut aspek konservasi in-situ yang lebih luas harus selalu dilakukan oleh

para peneliti yang terkait seperti peneliti di bidang Konservasi Genetik, Genetika molekuler dan

Kultur jaringan, dan Pemuliaan Tanaman Hutan karena bidang yang terkait tersebut akan memberi

kontribusi pada wawasan pengetahuan, analisis dan akan menghasilkan informasi yang lebih

luas,mendalam dan bermanfaat.

Jenis-jenis terancam punah sudah direkam oleh Kementerian Kehutanan. Action untuk

melakukan konservasi in-situ maupun pseudo in-situ dan yang berkaitan dengan konservasi ex-situ

seharusnya dapat segera dilakukan. Aspek dana dan lahan yang biasanya menjadi pembatas

kegiatan seharusnya dapat diatasi dengan berbagai cara tersebut. Jenis terancam punah, juga

keragaman ekosistem hutan yang spesifik harus dapat diselamatkan untuk kepentingan masa depan,

Page 34: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

KONSERVASI IN – SITU TANAMAN HUTAN Charomaini dan Lukman Hakim

27

kepentingan pemanfaatan keragaman genetik yang ada dan untuk kepentingan pemuliaan dan

masyarakat di dunia.

Daftar Pustaka Basuni, S. 2008. Metodologi Penelitian Teknis Konservasi. Materi pelatihan metodologi penelitian

dan penyusunan proposal penelitian bagi peneliti yunior. Bogor. CIFOR. 2010. REDD: Apakah itu? Pedoman CIFOR tentang hutan, perubahan iklim dan REDD.

CIFOR, Bogor, Indonesia. Hal 14. http://www.cifor.cgiar.org/Knowledge/Publications/Detail?pid=2812Diakses pada tanggal 8 Mei 2003.

Cohen, J.I;Williams, J.T. Pluncknett, D.L.andShands, H. 1991. Ex-Situ Conservation of Plant Genetic Resoursce: Global Development and Enviromental Concern. Science: 253: 866-872.

Finkeldey, R. 2005. Pengantar Genetika Hutan Tropis. Alih bahasa oleh Djamhuri, E., Siregar, I.Z., Siregar, U.J., Kertadikara, A.W. Intitut Pertanian Bogor. Bogor.

Hakim, L. 2009. Struktur, Komposisi, Dan Potensi Tegakan Shorea Penghasil Tengkawang di Plot Konservasi In-Situ PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat. Makalah Ekspose Hasil-Hasil Penelitian BBPBPTH Yogyakarta. Yogyakarta.

Kartawinata, K., R. Abdulhadi, and T. Partomihardjo. 1981. Composition and Structure of a Lowland Dipterocarpaceae Forest at Wanariset, East Kalimantan. The Malaysian Forester 44 (2 & 3) : 397-406.

Kirby, Bruce. 2011. Darkwoods, British Columbia. Magazine/jt 11. January/ February 2011. Issue. (http://www.canadiangeographic.ca/magazine/jt11/concerving_darkwoods.asp) diakses 12 Januari 2011.

Leksono B. 2004. General Concept of Tree Improvement. Procceding on the Third Country Training Program,” Short Course in FTI of Tropical Tree Species, CFBTI – JICA, Yogyakarta, 15-26 March 2004. (unpublished)

Lester and Yanchuk. 1996.dalam Genetic Conservation in Applied Tree Breeding Programs. Randy Johnson, Brad St.Clair and Sara Lipow. Corvalis, OR. USA.

Maxted, N., Ford-Liod, B.V. and Hawkes, J.G. 1997. Complementary Conservation Strategies. In: Maxted, N., Ford-Liod, B.V. and Hawkes, J.G. (eds.) Plant Genetic Conservation.Pp: 15-39. Chapman & Hall. New York.

Namkoong, G.; Boyle, T.J.B.; Gregorius, H.-R.; Joly, H.; Savolainen, O.; Ratnam, W.; Young, A.1996. Testing criteria and indicator for assessing the sustainability of forest management: Genetic Criteria and Indicators. CIFOR Working Paper No.10, Bogor, Indonesia.

Riswan, S. 1986. Structure and Floristic Composition of a mixed Dipterocarp Forest at Lempake, East Kalimantan. In A.J.G.H. Kostermans (ED). Proceeding of the Third Round Table Conference on Dipterocarp. Pp:435-457. United Nation Educational Scientific and Culture Organization. Jakarta.

Rogus, Deborah, L. 2002. In situ Genetic Conservation of Monterey Pines (Pinus radiata). Information and Recommendation. Report No. 26. Sept 2002. Genetic Resources Conservation Program. Divisoin of Agriculture and Natural Resources. University of California.

Samson, Fred and Fridz Knopf. 1994. Roundtable. Prairie Conservation in North America. Bioscience Vol.44. No.6. June 1994.

Soekotjo dan Moch Na’iem. 2010. LAPORAN KE II. Petunjuk Koleksi Buah Dipterocarpa.

Page 35: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

| Bunga Rampai | 17 - 28

28

http://www.pdf-finder.com/LAPORAN-KE-II-Petunjuk-Koleksi-Buah-Dipterocarpa.htmlDiakses tanggal 13 Januari 2010.

Soerianegara, I. dan A. Indrawan. 1978. Ekologi Hutan Indonesia. Departemen Managemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

St. Clair and Lipow 2000. dalam Genetic Conservation in Applied Tree Breeding Programs. Randy Johnson, Brad St.Clair and Sara Lipow. Corvalis, OR. USA.

Sumadiwangsa, S. 2001. Nilai dan Daya Guna Penanaman Pohon Tengkawang (Shorea spp.) di Kalimantan. Buletin Vol 2. No 1. Th 2001.

Tata, M.H.L. 1999. Komposisi dan Struktur Vegetasi di Hutan Lindung Gunung Meratus, Kalimantan Timur. Buletin Penelitian Kehutanan, Vol. 13, No. 2. BPK Samarinda. Kalimantan Timur.

Page 36: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

29

PROGRAM PEMULIAAN TANAMAN HUTAN Sugeng Pudjiono

Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

ABSTRAK Pada suatu program pemuliaan menentukan sistem yang efisien dengan kendala waktu dan sumberdaya merupakan hal penting yang perlu penyelesaian dengan memperhatikan berbagai kepentingan. Untuk mendapatkan hasil yang optimal selain program pemuliaan perlu strategi, metode, rancangan dan teknik pemuliaan sesuai produk akhir yang diinginkan dan pertimbangan ekonomi. Beberapa negara di asia yang mengembangkan pemuliaan tanaman hutan adalah Cina, India, Kamboja, Laos, Philipina, Thailand, Vietnam juga Indonesia. Jenis-jenis pohon yang dikembangkan di negara-negara tersebut pada umumnya adalah fast growing species antara lain jenis Acacia spp, Eucalyptus spp, Paraserianthes falcataria. Jenis lainnya yaitu Casuarina spp, Intsia bijuga, Pinus spp, Vitex spp, Pterocarpus spp. Indonesia telah melakukan kegiatan pemuliaan tanaman hutan hutan sejak tahun 1930, dan sampai sekarang telah menghasilkan beberapa jenis unggul pohon hutan.

Pendahuluan

Pemuliaan tanaman hutan merupakan aplikasi dari perpaduan prinsip-prinsip genetika hutan

dan silvikultur untuk menghasilkan tanaman berkualitas. Untuk mendapatkan perpaduan yang

optimal dari kedua elemen dasar tersebut maka perlu adanya program pemuliaan dimana strategi,

rancangan dan intensitasnya bergantung pada beberapa pertimbangan diantaranya besarnya variasi

genetiktindakan silvikultur, dan produk akhir yang ingin dicapai serta pertimbangan ekonomi.

Tujuan umum dari suatu program pemuliaan tanaman hutan menurut Suseno (2001) adalah : (1)

memuliakan secara progresif populasi dasar dan populasi pemuliaan; (2) membiakkan material

yang dimuliakan untuk membuat populasi produksi yang unggul; (3) menjaga variabilitas dan

ukuran populasi pada populasi dasar dari populasi pemuliaan; (4) semuanya ini dicapai secara

ekonomis.

Empat komponen populasi dalam strategi pemuliaan tanaman hutan yaitu populasi dasar,

populasi pemuliaan, populasi perbanyakan dan populasi produksi (Leksono, 2001). Populasi dasar

adalah populasi tempat dipilihnya pohon yang akan ditangkar untuk kegiatan seleksi. Populasi

pemuliaan adalah bagian kumpulan individu dari populasi dasar yang diseleksi berdasarkan kualitas

yang diinginkan untuk dijadikan tetua bagi penangkaran generasi berikutnya. Populasi pemuliaan

akan menjadi pusat kegiatan dari strategi pemuliaan ini. Populasi perbanyakan terdiri dari pohon-

pohon terpilih dari individu dan famili-famili terseleksi dalam kebun benih atau area perbanyakan

dimana kombinasi gen yang terpilih dalam populasi pemuliaan diproduksi secara massal sebagai

benih unggul. Populasi perbanyakan dapat dibangun dengan bentuk yang lebih besar berdasarkan

Page 37: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

| Bunga Rampai | 29 - 36

30

informasi dari populasi pemuliaan untuk memenuhi kebutuhan benih yang cukup besar. Bentuk

populasi perbanyakan dapat berupa Kebun Benih Semai hasil konversi uji keturunan, Kebun Benih

Klon dari individu-individu terseleksi, Kebun Pangkas dari klon-klon terpilih atau Kebun Benih

Komposit untuk populasi pemuliaan yang menggunakan sistem sub galur. Populasi produksi

merupakan hutan tanaman untuk produksi dengan menggunakan material benih yang berasal dari

populasi perbanyakan, baik menggunakan biji (generatif) atau dengan mengunakan bagian

vegetatifnya.

Menentukan sistem yang paling efisien pada suatu program pemuliaan dengan kendala waktu

dan sumberdaya yang ada merupakan masalah yang perlu penyelesaian dengan memperhatikan

berbagai kepentingan. Skema yang dibuat untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam program

pemuliaan dengan memperhatikan semua kondisi dinamakan strategi pemuliaan. Proses untuk

mengimplementasikan strategi pemuliaan disebut metode pemuliaan. Prosedur biologis yang

digunakan (penyerbukan terkendali, okulasi, penanaman dll) merupakan teknik pemuliaan (Suseno,

2001).

Metode pemuliaan yang umumnya diterapkan pada tumbuh-tumbuhan ialah pemuliaan mutasi,

inbreeding, hibridisasi, pemuliaan silang balik dan seleksi (Alard, 1960 dalam Suseno, 2001).

Morgernstern et al. (1975) menyatakan bahwa metode pemuliaan yang cocok untuk suatu jenis

tanaman tergantung kepada sistem penyerbukan, besarnya variabilitas, tujuan pemuliaan serta

produksi biji. Seleksi merupakan metode yang paling umum diterapkan untuk pohon-pohon hutan.

Metode ini sesuai bagi kebanyakan jenis-jenis penyerbukan silang dan yang variabilitasnya besar

seperti halnya jenis-jenis yang masih liar. Menurut Shelbourne dan van Buijtenen dalam

Morgernstern et al., 1975 menyatakan bahwa seleksi merupakan metode pemuliaan yang paling

sederhana dan paling memberi harapan untuk memperoleh hasil-hasil genetik yang agak besar pada

generasi pertama serta untuk memenuhi kebutuhan benih unggul dalam jumlah besar.

Maksud dan tujuan dari tulisan ini adalah memaparkan program pemuliaan tanaman hutan yang

berkaitan dengan strategi pemuliaan, metode dan teknik pemuliaan serta status pemuliaan tanaman

hutan yang ada di negara-negara asia, termasuk Indonesia, yang mengembangkan jenis jenis

tanaman tertentu untuk dimuliakan.

Status pemuliaan tanaman hutan di beberapa negara Asia

Status pemuliaan tanaman hutan dibeberapa negara Asia sampai dengan tahun 2004

(Rimbawanto et al., 2004) adalah sebagai berikut:

Page 38: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

PROGRAM PEMULIAAN TANAMAN HUTAN Sugeng Pudjiono

31

Cina

Pemuliaan tanaman hutan jenis-jenis tropis dan sub tropis dikembangkan di bagian Selatan

Cina. Jenis yang diprioritaskan antara lain adalah Acacia auriculiformis, A. mangium, A.

crassicarpa dan A. mearnsii, Eucalyptus urophylla, Casuarina equisetifolia dan C. Junghuniana.

Program pemuliaan tanaman hutan di Cina tergolong cukup maju. Berbagai uji genetik telah

dibangun seperti uji keturunan (F1 dan F2), uji perolehan genetik, uji klon, hibridisasi inter-species,

kebun benih klonal dll. Teknik perbanyakan konvensional maupun kultur jaringan juga telah

dikembangkan untuk berbagai jenis. Kegiatan-kegiatan diatas dilaksanakan oleh Research Institute

of Sub-tropical Forestry serta lembaga kehutanan provinsi.

India

Selain Jati dan Bambu, India mempunyai tanaman Eucalyptus yang luas. Jenis Eucalyptus

yang mendominasi hutan tanaman jenis ini adalah Eucalyptus camaldulensis dan E. tereticornis

yang mencapai luas 2,5 juta ha. Kemudian disusul oleh C. Equisetifolia 500.000 ha dan A.

auriculiformis dan A. mangium 45.000 ha. Hutan tanaman ini berkembang di wilayah bagian

selatan India.

Berbagai uji genetik seperti uji keturunan, uji klonal dan uji perolehan genetik telah dilakukan

untuk jenis-jenis tersebut diatas serta jenis lainnya. Program hibridisasi yang telah dilakukan

antara lain adalah E. tereticornis x E. grandis, E. grandis x E. urophylla. Beberapa program

penelitian yang tengah dilaksanakan sebagai kelanjutan dari hasil yang telah dicapai saat ini antara

lain adalah studi tentang aspek inbreeding, kesesuaian jenis/seedlot dengan tapak (species site

matching), hibridisasi inter species dan introduksi sumber plasma nutfah baru. Lembaga yang

melaksanakan dan mengkoordinir program pemuliaan tanaman hutan adalah Institute of Forest

Genetic and Tree Breeding, Coimbatore, Kerala Forestry Research. Selain itu beberapa perusahaan

yang membangun dan mengelola hutan tanaman juga melaksanakan program serupa.

Kamboja

Sebagai sebuah negara kecil, Kamboja membangun tidak lebih dari 13.000 ha hutan tanaman

dengan jenis Acacia mangium dan Eucalyptus camaldulensis. Kebutuhan benih kedua jenis

tersebut didatangkan masing-masing dari Australia dan Thailand. Pada saat yang sama, untuk

memenuhi kebutuhan jangka pendek telah pula dibangun Seed Production Area (SPA) untuk kedua

jenis tersebut. Kebutuhan akan benih bermutu dan informasi tentang pemuliaan tanaman hutan

banyak disuplai dari Thailand dan Vietnam.

Page 39: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

| Bunga Rampai | 29 - 36

32

Laos

Pembangunan hutan tanaman di Laos baru dimulai pada tahun 1994, dan kini luas hutan

tanaman di Laos tidak lebih dari 16.000 ha yang terdiri dari 2 jenis utama yaitu E. camaldulensis

dan A. mangium. Sejauh ini belum ada program pemuliaan tanaman hutan untuk kedua jenis

tersebut. Pada awalnya benih kedua jenis tersebut didatangkan dari Australia, sedang untuk

memenuhi kebutuhan sendiri kini telah dibangun SPA seluas 5 ha. Pengguna benih tersebut antara

lain adalah proyek pemerintah dan petani kecil.

Philipina

Setiap tahunnya tidak kurang dari 50.000 ha tanaman baru dibangun di Philipina, separuh dari

jumlah itu untuk tujuan konservasi sedang sisanya untuk tujuan hutan produksi. Jenis-jenis yang

ditanam antara lain A. mangium, A. auriculiformis, Eucalyptus spp, C. Equisetifolia, Swietenia

macrophylla, Gmelina arborea, Pterocarpus indicus, Pinus kesiya, Vitex parviflora, Intsia bijuga

dan Paraserianthes falcataria. Program pemuliaan tanaman hutan relatif masih terbatas pada

pembangunan SPA serta uji keturunan A. mangium dan E. urophylla. Persoalan utama yang

dihadapi adalah tidak adanya lembaga yang secara khusus menangani pemuliaan tanaman hutan.

Pengguna benih unggul juga umumnya adalah perorangan.

Thailand

Program pemuliaan di Thailand relatif telah cukup maju. Uji keturunan generasi kedua telah

dilakukan pada beberapa jenis seperti A. auriculiformis, E. camaldulensis dan E. urophylla. Jenis

lain yang dikembangkan antara lain adalah A. aulacocarpa, A. crassicarpa, A. mangium, C.

Equisetifolia dan C junghuniana. Disamping itu hutan clonal E. urophylla dan E. camaldulensis

telah banyak dibangun baik oleh perorangan maupun perusahaan. Kebutuhan benih A.

auriculiformis, A. crassicarpa dan E. camaldulensis di negara tetangga seperti Vietnam, Laos dan

Kamboja dipenuhi oleh Thailand. Program pemuliaan tanaman hutan ini secara nasional

dilaksanakan oleh Royal Forestry Department (RFD). Persoalan yang dihadapi adalah kecilnya

partisipasi swasta dalam memanfaatkan benih unggul yang dihasilkan oleh RFD.

Vietnam

Kemajuan yang pesat dalam bidang ekonomi yang dicapai oleh Vietnam ternyata juga terjadi

dalam program domestikasi jenis. Luas hutan tanaman telah mencapai 1,4 juta ha terdiri dari antara

lain jenis ekaliptus, acacia, melaleuca dan casuarina. Program pemuliaan secara sistematik mulai

dilakukan pada tahun 1988 dengan bantuan CSIRO FFP. Uji keturunan jenis A. auriculiformis,

Page 40: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

PROGRAM PEMULIAAN TANAMAN HUTAN Sugeng Pudjiono

33

A. mangium, E. camaldulensis dan E. urophylla telah memasuki generasi kedua. Disamping itu

program hibridisasi A. auriculiformis x A. mangium juga memperoleh perhatian yang serius.

Hingga kini lebih dari 100.000 ha tanaman hibrid acacia (klon hibrid terpilih) telah dibangun.

Program hibridisasi ekaliptus juga tengah dilakukan. Pemuliaan tanaman hutan di Vietnam

dilakukan oleh Research Centre for Forest Tree Improvemant.

Status pemuliaan tanaman hutan di Indonesia

Kegiatan pemuliaan tanaman hutan hutan di Indonesia yang pertama kali, direncanakan pada

tahun 1930 pada Jati oleh Lembaga Penelitian Hutan (LPH). Tahun 1930-1931 dilakukan studi

biologi bunga jati (Coster, 1931 dalam Suseno, 2001). Tahun 1932 dilakukan percobaan tempat

asal (”Provenans trial”) dan percobaan varietas. Biji jati didatangkan dari berbagai tempat asal

yaitu Burma, Thailand, India, Indochina, Muna, Cepu, Pati, Gundih dan Ponorogo, yang setelah

dianalisis bijinya ditanam di berbagai tempat di Jawa Timur dan Jawa Tengah (Coster dan Eidman,

1934 dalam Suseno, 2001) Disamping itu juga diuji biji-biji jati beberapa varietas pohon jati yang

mempunyai sifat khusus, yaitu : jati doreng, jati batang lurus (glad stam), dan jati knoble.

Pengamatan dilakukan setelah tanaman berumur 1 tahun (Coster dan Eidman, 1934); 2 tahun

(Coster dan Hardjowasono, 1935 dalam Suseno, 2001) dan setelah itu tidak pernah diamati, sampai

berumur 25 tahun (Loekito Darjadi, 1959 dalam Suseno, 2001). Sesuai dengan uraian yang

mengemukakan bahwa pemuliaan tanaman hutan dimanapun yang dilakukan sebelum tahun 1950-

an umumnya kurang efektif disebabkan antara lain karena rancangan percobaan kurang tepat dan

kurang perawatan sehingga secara tegas tidak dapat ditarik kesimpulan. Apalagi kondisi

pertanaman sudah mengalami kerusakan. Percobaan provenans jati tahun 1950 sehubungan saran

APFC (Asia Pasific Forestry Commission) dilakukan oleh LPH untuk mempelajari pertumbuhan

jati dari berbagai tempat asal pada tapak yang jelek. Meski hasilnya telah diinventarisir tahun

1963-1964 dan ditulis oleh Soerianegara (1971), namun untuk selanjutnya tidak ada

kesimpulannya.

Dengan Proyek Bank Benih dan Persemaian Modern, dilaksanakan aktivitas pemuliaan

tanaman hutan tusam oleh LPH dalam tahun 1968-1971 (Soerianegara, 1971) meliputi ; (1)

Pembangunan Kebun Benih Klon dengan ”bottle grafting”; (2) Penelitian Populasi Alam di

Sumatera; (3) Studi Provenans di Indonesia; (4) Pembangunan persemaian pusat.

Oleh LPH dibuat pertanaman uji asal benih Tusam (Aceh dan Bandung). Pinus caribaea dan

Pinus oocarpa yang bijinya dipersiapkan oleh Comonwealth Forestry Institute ditanam di

Lampung dan Kalimantan Timur tahun1974-1975. Walaupun kegiatan pemuliaan tanaman hutan

Page 41: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

| Bunga Rampai | 29 - 36

34

hutan di Indonesia telah lama dilakukan (1930-1975) namun karena program tidak jelas, rancangan

kurang tepat, perawatan pertanaman kurang baik dan kegiatan tidak kontinyu, maka tidak ada hasil

nyata yang terwujud.

Kegiatan pemuliaan tanaman hutan di Indonesia sejak tahun 1975 yang diawali dengan

kedatangan Prof. Dr. Jonathan Wright dari Michigan State University dari Amerika Serikat

mengalami banyak perkembangan. Sebelum tahun 1975, kegiatan pemuliaan tanaman hutan itu

ada tetapi tidak kontinyu. Sejak 1975 sampai saat ini, kegiatan pemuliaan tanaman hutan di

Indonesia dari waktu ke waktu mengalami peningkatan. Hal ini antara lain disebabkan karena

adanya dampak positif dari pembangunan kebun benih tusam di 3 lokasi masing-masing di

Cijambu-Sumedang Jawa Barat, Baturaden-Purwokerto Jawa Tengah dan Sempolan-Jember Jawa

Timur. Kebun benih tersebut atas kerjasama Fakultas Kehutanan UGM dan Direktorat Jenderal

Kehutanan, institusi yang ditunjuk sebagai mitra adalah Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi

Lahan (DITSI) serta Perum Perhutani. Dampak positif yang diperoleh tidak hanya perkembangan

fisik kebun benihnya, tetapi banyak aspek kegiatan pemuliaan tanaman hutan di Indonesia dari

waktu ke waktu berkembang. Dengan adanya Gedung Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan

Pemuliaan Tanaman Hutan dibawah Badan Litbang Kementrian Kehutanan, tersedianya SDM

pemuliaan tanaman hutan (sarjana bidang pemuliaan tanaman hutan S1 dan S2 bahkan sampai S3),

mantan peserta kursus singkat pemuliaan tanaman hutan, adanya program-program pemuliaan dan

pertanaman uji genetik di berbagai instansi (HTI), seminar, simposium pemuliaan pohon tingkat

nasional merupakan harapan yang baik bagi pengembangan pemuliaan tanaman hutan di Indonesia.

Di Indonesia, institusi pemerintah yang menangani pemuliaan tanaman hutan berada dibawah

Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementrian Kehutanan yaitu Balai Besar

Penelitian dan Bioteknologi Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH) yang berkedudukan di

Purwobinangun Pakem Sleman Yogyakarta. BBPBPTH menangani penelitian pemuliaan tanaman

hutan mulai tahun 1992 sampai sekarang, telah dan sedang melakukan penelitian pada beberapa

jenis pohon hutan meliputi jenis kayu pertukangan daur panjang seperti Jati dan Merbau,

sedangkan daur menengah yaitu Pulai, Suren. Jenis kayu pulp seperti Acacia mangium, Acacia

crassicarpa, Eucalyptus pellita, Paraseriantes falcataria, Anthocephalus cadamba, kayu energi

untuk kayu bakar seperti Acacia auriculiformis, Acacia decurrens. Tanaman hutan yang

pemanfaatannya diprioritaskan untuk pangan diantaranya jenis sukun, untuk energi/biofuel seperti

Nyamplung, untuk obat seperti Kayu putih, Gaharu dan Cendana. Penelitian-penelitian tersebut

terangkum dalam Rencana Penelitian Integratif (RPI) 2010-2014. (Badan Litbanghut, 2010).

Page 42: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

PROGRAM PEMULIAAN TANAMAN HUTAN Sugeng Pudjiono

35

Kesimpulan

Pemuliaan tanaman hutan merupakan aplikasi dari perpaduan prinsip-prinsip genetika hutan

dan silvikultur untuk menghasilkan tanaman yang berkualitas. Metode pemuliaan yang cocok

untuk suatu jenis tanaman tergantung kepada sistem penyerbukan, besarnya variabilitas, tujuan

pemuliaan serta produksi biji.

Penggunaan jenis eksot di beberapa negara dapat memberikan hasil yang menggembirakan.

Beberapa negara di Asia telah melakukan pemuliaan yaitu Cina, India, Kamboja, Laos, Philipina,

Thailand, Vietnam juga Indonesia. Indonesia telah melakukan kegiatan pemuliaan tanaman hutan

sejak tahun 1930, dan sampai sekarang telah menghasilkan beberapa jenis unggul pohon hutan.

Daftar Pustaka Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. 2010. Rencana Penelitian Integratif (RPI) tahun

2010-2014. Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta. pp 371-419.

Leksono, B. 2001. Strategi pemuliaan pohon dan peningkatan genetik hasil uji keturunan Acacia mangium, A. auriculiformis dan Eucalyptus pellita. Training course on Basic Forest Genetics. Kerjasama IFSP (Indonesia Forest Seed Project), P3BPTH (Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan) dan Fakultas Kehutanan UGM. 20-26 Agustus 2001. Yogyakarta.

Morgenstern, E.K., H.J. Holts, A.H. Teich and C.W. Yeatman. 1975. Plus tree Selection: Review and Outlook. DeptEnv. Can. For. Srv. Pub. No. 1347. Ottawa.

Rimbawanto, A. dan Yuliah. 2004. Perkembangan pemuliaan Pohon di beberapa negara Asia. Jaringan Kerja Pemuliaan Pohon Hutan. Newsletter. Vol.3. No. 3 November 2004. ISN 1412-8276. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta.

Soerianegara, I. 1971. Forestry Improvement in Indonesia. Rimba I th. XVI, 1971. No 1-2. Suseno, O,H., 2001. Peletakan dasar-dasar dan strategi pemuliaan pohon hutan di Indonesia. Orasi

ilmiah purna tugas. Seminar sehari. Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Page 43: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

| Bunga Rampai | 29 - 36

36

Page 44: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

37

PEMBANGUNAN POPULASI PEMULIAAN TANAMAN HUTAN

Sugeng Pudjiono dan Liliana Baskorowati

Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

ABSTRAK Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan merupakan salah satu unit pelaksana teknis yang mempunyai tugas melaksanakan penelitian di bidang bioteknologi hutan dan pemuliaan tanaman hutan berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh kepala badan litbang dan mempunyai visi serta misi ke depan. Penelitian pemuliaan tanaman hutan telah dilakukan sekitar tahun 1990an. Pembangunan populasi pemuliaan merupakan salah satu langkah untuk menuju kepada benih unggul. Beberapa jenis tanaman hutan yang telah dibangun populasi pemuliaannya yaitu Acacia mangium, A. crassicarpa, A. auriculiformis, A. aulacocarpa, A. decurrens, Eucalyptus pellita, E. urophylla, Melaleuca cajuputi, Tectona grandis, Falcataria moluccana, Alstonia scholaris, A. angustiloba, Intsia bijuga, Toona sinensis, T. sureni, Araucaria cunninghamii, Callophyllum inophyllum, Pongamia pinnata, Artocarpus altilis.

Pendahuluan

Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH) merupakan

salah satu Unit Pelaksana Teknis di bawah Badan Litbang Kementerian Kehutanan. BBPBPTH

mempunyai tugas melaksanakan penelitian di bidang bioteknologi hutan dan pemuliaan tanaman

hutan berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh Kepala Badan Litbang Kehutanan.

Visi BBPBPTH adalah menjadi pusat keunggulan IPTEK di bidang bioteknologi dan pemuliaan

tanaman hutan. Sedangkan misi BBPBPTH yaitu 1) menjadikan IPTEK untuk menghasilkan benih

unggul guna peningkatan produktivitas hutan tanaman (industri dan hutan rakyat), 2) meningkatkan

pemanfaatan hasil-hasil penelitian di bidang bioteknologi dan pemuliaan tanaman hutan.

3) memantapkan perencanaan, evaluasi, kualitas dan kuantitas sumber daya manusia serta sarana

dan prasarana.

Salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan pembangunan hutan tanaman adalah

ketersediaan benih unggul untuk memaksimalkan produktivitas hutan tanaman. Penyedian benih

unggul tersebut perlu direncanakan dengan teliti dan matang karena membutuhkan waktu yang

lama, biaya yang besar dan tenaga yang memadai. Pemuliaan pohon merupakan aplikasi dari

perpaduan prinsip-prinsip genetika hutan dan silvikultur untuk menghasilkan benih unggul. Untuk

mendapatkan perpaduan yang optimal dari kedua elemen dasar tersebut maka perlu adanya

program pemuliaan dimana strategi, rancangan dan intensitasnya bergantung pada beberapa

Page 45: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

| Bunga Rampai | 37- 56

38

pertimbangan diantaranya besar variasi genetik, tindakan silvikultur, produk akhir yang ingin

dicapai serta pertimbangan ekonomi.

Paper ini memaparkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh BBPBPTH dalam rangka

pembangunan sumber benih melalui pembangunan populasi pemuliaan beberapa jenis tanaman

hutan. Pemaparan ini bermaksud untuk memberikan gambaran status secara umum kegiatan

pembangunan populasi pemuliaan yang dilakukan di BBPBPTH.

Sumber Benih Tanaman Hutan

Sumber benih merupakan tempat dimana akan dilakukan koleksi benih yang akan digunakan

baik untuk kegiatan pemuliaan maupun untuk pembangunan hutan tanaman. Setiap sumber benih

seringkali mempunyai potensi genetik yang berbeda yang akan berpengaruh kepada keberhasilan

pemuliaan maupun kualitas tegakan yang akan dihasilkan.

Sumber benih berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia nomor

P.72/Menhut-II/2009 dibedakan menurut kualitas genetik dengan klasifikasi sebagai berikut :

a) Tegakan Benih Teridentifikasi; b) Tegakan Benih Terseleksi; c) Areal Produksi Benih; d)

Tegakan Benih Provenan; e) Kebun Benih Semai; f) Kebun Benih Klon; g) Kebun Pangkas.

Urutan kualitas genetik pada klasifikasi tersebut dimulai dari yang terendah pada huruf (a) sampai

dengan yang tertinggi pada huruf (g). Strategi yang dapat ditempuh untuk menghasilkan benih

berkualitas melalui pembangunan sumber benih dapat ditempuh melalui pendekatan jangka pendek,

jangka menengah maupun jangka panjang.

Pendekatan jangka pendek dapat ditempuh melalui penunjukkan Areal Produksi Benih (APB).

Semula tegakan ini dirancang bukan untuk tujuan penghasil benih, melainkan sebagai tegakan

penghasil kayu. Tetapi karena individu penyusunnya kebanyakan memiliki fenotipik yang bagus

dan letaknya strategis, maka tegakan tersebut kemudian ditetapkan menjadi sumber benih setelah

dilakukan penjarangan seleksi. Oleh sebab itu APB tersebut bersifat sementara. Apabila sudah

tidak diperlukan atau benih yang diperlukan sudah tercukupi maka tegakan tersebut setiap saat

dapat ditebang. Sebagai langkah pengamanan terhadap kemampuan adaptasi pada lingkungan baru

maka benih APB tersebut sebaiknya digunakan pada daerah yang kondisi lingkungannya hampir

sama dengan kondisi dimana APB tersebut berada.

Pendekatan jangka menengah dapat dilakukan melalui upaya upaya pembangunan seperti :

1) Tegakan Benih Provenans (TBP) yaitu tegakan yang dirancang untuk penghasil benih, yang

pembangunannya didasarkan atas hasil uji provenans yang sudah dilakukan. Dengan demikian,

kualitas benih yang dihasilkan jelas akan lebih baik dibanding dari APB. 2) Kebun Benih Semai

Page 46: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

PEMBANGUNAN POPULASI PEMULIAAN TANAMAN HUTAN Sugeng Pudjiono dan Liliana Baskorowati

39

(KBS) yaitu sumber benih yang dibangun berdasarkan konversi hasil suatu uji keturunan setelah

dilakukan penjarangan seleksi. Dengan demikian, kualitas benih yang dihasilkan akan lebih baik

dibandingkan APB maupun TBP, karena materi genetik yang dipergunakan memiliki sifat yang

lebih baik. 3) Kebun Benih Klon (KBK) yaitu sumber benih yang dibangun secara khusus dimana

pohon-pohon induk yang digunakan dipilih berdasarkan hasil suatu uji keturunan. Jadi, kebun

benih ini dibangun secara terpisah dari uji keturunannya. Dengan demikian, kualitas benih yang

dihasilkan jelas paling baik dibanding sumber benih lainnya.

Untuk pendekatan jangka panjang perlu diupayakan adanya usaha menjaga variabilitas genetik

untuk mendapatkan peningkatan produksi. Penambahan materi genetik dari populasi infusi sangat

diperlukan untuk menjaga basis genetik yang akan digunakan sebagai uji generasi berikutnya.

Kegiatan-kegiatan lain seperti persilangan individu dengan karakter yang berbeda akan sangat

membantu dalam mengantisipasi peluang pasar kedepan.

Untuk mendapatkan benih unggul perlu dibangun sumber-sumber benih. Salah satu langkah

untuk menuju kepada benih unggul tersebut adalah pembangunan populasi pemuliaan. Populasi

pemuliaan merupakan pusat kegiatan strategi penelitian untuk melaksanakan seleksi dari karakter

yang diinginkan.

Penelitian dan pengembangan populasi pemuliaan di BBPBPTH Yogyakarta

Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH) Yogyakarta

telah memulai penelitian pemuliaan tanaman hutan sekitar tahun 1990an. Penelitian populasi

pemuliaan dengan membangun beberapa sumber benih untuk menghasilkan benih dengan kualitas

unggul berupa tegakan provenans, kebun benih semai uji keturunan yang nantinya dikonversi

sebagai kebun benih semai. Pembangunan populasi pemuliaan berupa plot uji dilakukan pada

beberapa jenis. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan satu-persatu.

Strategi Pembangunan Populasi Pemuliaan

Seperti disebutkan dimuka bahwa populasi pemuliaan merupakan populasi utama dimana

dilakukan seleksi pohon berdasarkan target sifat yang akan dimuliakan. Pembangunan populasi

pemuliaan dimulai dengan pembangunan uji keturunan generasi pertama (F1). Setelah dilakukan

evauasi, pohon plus terpilih di F1 kemudian dijadikan materi genetik untuk pembangunan uji

keturunan generasi kedua (F2). Selanjutnya proses seleksi dilakukan berlanjut ke generasi

berikutnya. Dalam uji keturunan dirancang berdasarkan subline, dimana dilakukan pembeda

provenansi, dan populasi tunggal (single populasi). Sistem subline ditujukan untuk menjaga

kemurnian provenansi, sedangkan populasi tunggal ditujukan untuk memperluas genetik base.

Page 47: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

| Bunga Rampai | 37- 56

40

Jenis-Jenis Tanaman Hutan Yang Dimuliakan

Acacia mangium

Acacia mangium merupakan jenis cepat tumbuh (fast growing spesies) yang dikembangkan

oleh beberapa perusahaan swasta nasional maupun badan usaha milik negara di Indonesia sebagai

salah satu sumber bahan baku industri pulp di Indonesia. BBPBPTH telah membangun populasi

pemuliaan untuk jenis ini dibeberapa lokasi sejak tahun 1993 hingga sekarang. Populasi pemuliaan

berupa Kebun Benih Semai Uji Keturunan (KBSUK) generasi pertama (F1) telah dibangun di

Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan dan Jawa Tengah. Prediksi produktivitas (genetic gain)

benih dari KBSUK untuk beberapa sifat pertumbuhan dan bentuk batang berkisar 3-6% untuk

A. mangium (Kurinobu et al., 1996). Prediksi produktivitas terhadap riap volume tegakan mampu

mencapai 37 m3/ha/th atau terdapat peningkatan sebesar 25% terhadap benih dari APB

(Nirsatmanto dan Kurinobu, 2002).

Untuk lebih meningkatkan kualitas benih unggul yang telah dihasilkan, sejak tahun 2001 telah

dilakukan penelitian lanjutan berupa pembangunan sebanyak 31 KBSUK generasi kedua (F-2)

tersebar di Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Riau dan Jawa Tengah, yang meliputi jenis

Acacia mangium (Leksono, 2004). Rata-rata prediksi peningkatan genetik (genetic gain) untuk

sifat tinggi berkisar antara 1,8%-3,8%, diameter 0,7%-1,6%, bole 1,7%-4,3% dan stem form 1,9%-

4,0%. Untuk program pengembangan lebih lanjut, sampai dengan tahun 2009, kegiatan koleksi

benih dari pohon plus pada 6 KBSUK F-2 dan KBSUK F-1 jenis A. mangium sebanyak 208 pohon

plus dengan jumlah total benih yang dikumpulkan sebanyak 23,072 kg. Sampai dengan tahun

2009, serangkaian kegiatan evaluasi uji keturunan F-2 untuk jenis A. mangium sudah selesai

dilaksanakan dan kebun benih siap untuk memproduksi benih unggul untuk keperluan operasional

pembangunan hutan tanaman.(Nirsatmanto, et al., 2010).

Pembangunan plot uji multi lokasi pada A. mangium bertujuan untuk mengevaluasi dan

verifikasi pertumbuhan serta produktivitas benih unggul A. mangium yang diperoleh dari kebun

benih generasi pertama (F-1) maupun generasi kedua (F-2). Uji dilaksanakan di daerah

pengembangan HTI jenis Acacia, seperti di Sumatera, Kalimantan maupun Jawa. Hasil analisis uji

multi lokasi A. mangium hasil pemuliaan generasi pertama (F-1) di Jawa Tengah pada umur 8

tahun menunjukkan perbaikan genetik untuk sifat tinggi sebesar 13,10%, diameter 10,26%, tinggi

bebas cabang 35,47%, bentuk batang 24,10% dan volume 48%.(Nirsatmanto, et al., 2010).

Sedangkan hasil awal pertumbuhan pada uji multi lokasi untuk pemuliaan generasi kedua (F-2)

menunjukkan perbaikan genetik sebesar 7,87% untuk sifat tinggi tanaman (Setyaji dan

Nirsatmanto, 2009).

Page 48: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

PEMBANGUNAN POPULASI PEMULIAAN TANAMAN HUTAN Sugeng Pudjiono dan Liliana Baskorowati

41

Acacia crassicarpa

KBSUK A. crassicarpa F-1 telah dibangun di Pendopo Sumatera Selatan seluas 5,09 ha

dengan prediksi produksi benih 300kg/th. KBSUK F-1 A. crassicarpa juga dibangun di Pelaihari

Kalimantan Selatan seluas 1,73 ha dengan prediksi produksi benih 110kg/th. (Leksono, 2004).

KBSUK A. crassicarpa F-2 dibangun di Wonogiri Jawa Tengah seluas 0,77 ha. Hasil analisis

parameter genetik umur 5 tahun di Wonogiri Jawa Tengah menunjukkan rata-rata tinggi 12,48 m,

diameter 14,59 cm, tinggi bebas cabang 6,99 m dan bentuk batang 2,82. Nilai heritabilitas berkisar

antara 0,15-0,35. Rata-rata nilai korelasi genetik antar sifat yang diukur (tinggi, diameter, tinggi

bebas cabang, bentuk batang) berkisar antara 0,09 -0,33. Prediksi peningkatan genetik yang

diperoleh untuk sifat tinggi sebesar 0,9%, diameter -1%, tinggi bebas cabang 3,7% dan bentuk

batang 3,7%. (Leksono, 2004)

Acacia auriculiformis

KBSUK F-1 A. auriculiformis sudah di Wonogiri Jawa Tengah seluas 3,3 ha dengan prediksi

produksi benih 200 kg/th. Materi genetik untuk pembangunan kebun benih berasal dari provenansi

Papua Nugini dan Australia. Selain dari itu dibangun pula KBSUK F-1 A. auriculiformis di

Pendopo Sumatera Selatan seluas 2,11 ha dengan prediksi produksi benih 130 kg/th (Leksono,

2004).

Seiring dengan prioritas pemanfaatan hasil hutan, pemuliaan pohon pada A. auriculiformis juga

dilakukan untuk memenuhi kebutuhan kayu energi. Kandungan kalor merupakan salah satu

indikator penting dalam memilih tanaman-tanaman yang memiliki potensi sebagai kayu energi.

Beberapa tanaman hutan dilaporkan memiliki potensi sebagai bahan bakar dan salah satunya adalah

A. auriculiformis. Untuk itu, seleksi A. auriculiformis untuk pemuliaan karakter-karakter yang

berguna untuk tujuan produk sumber kayu energi sangat penting untuk dilakukan.

Hasil pengukuran pada kebun benih uji keturunan A. auriculiformis umur 12 tahun

menunjukkan peningkatan nilai kalor dengan adanya seleksi yaitu dari 4638,08 ke 4762,42

(Hendrati et al.,2010). Hasil seleksi dengan mempertimbangkan pertumbuhan memberikan efek

yang lebih baik terutama terhadap nilai kalor baik pada batang maupun pada cabang (Hendrati et

al.,2010).

A. auriculiformis mempunyai nilai kalor relatif lebih tinggi (4416,54 kkal/kg) dibandingkan

dengan jenis tanaman lain yang umumya berkisar 2865 – 4479 kkal/kg, kecuali jambu (4792

kkal/kg) dan Acacia nilotica (4800 kkal/kg) (Hendrati et al.,2010).

Page 49: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

| Bunga Rampai | 37- 56

42

Acacia aulacocarpa

KBS F-1 A. aulacocarpa dibangun di Pelaihari Kalimantan Selatan seluas 2,15 ha. Potensi dan

karakteristik A. aulacocarpa adalah bahwa jenis ini termasuk jenis acacia dengan batang tunggal

dan lurus, pertumbuhannya lambat, tahan terhadap penggerek batang, berat jenis kayu tinggi (0,51-

0,66). Kegunaan kayu untuk pulp, kertas ataupun dapat digunakan untuk kayu pertukangan

(Leksono, 2004)

Acacia decurrens

Acacia decurrens merupakan sumber kayu utama untuk indisutri kayu arang dan kayu bakar di

daerah lereng pengunungan. Jenis ini juga merupakan jenis cepat beregenerasi di daerah-daerah

bekas letusan gunung berapi (Hadiwinoto et al., 1998). Jenis ini juga termasuk jenis cepat tumbuh

dan mampu tumbuh pada lahan-lahan kritis dan marginal, serta mempunyai manfaat sebagai

tanaman obat untuk pencegahan diare (Lemmens et al., 1995). Kulit kayu dari jenis ini juga

menghasilkan tanin yang dimanfaatkan sebagai bahan baku perekat dalam pembuatan papan serat

A. mangium (Lemmens et al., 1995; Ruskin, 1983; Syafii, 2009; Santoso dan Sutigno, 1995).

Secara umum A. decurrens memenuhi persyaratan sebagai jenis tanaman kayu bakar seperti daur

yang pendek, mudah tumbuh, mempunyai kemampuan tumbuh dilahan marginal dan mempunyai

manfaat ganda (Burley, 1978).

Pentingnya pengembangan sumber kayu energi di daerah dataran tinggi juga ditunjang fakta

bahwa saat ini industri kayu arang maupun penghasil kayu bakar berasal dari daerah pegunungan.

Untuk keperluan itu maka pengembangan jenis A. decurrens yang mempunyai nilai kalor dan

produktivitas yang tinggi melalui serangkaian tindakan pemuliaan perlu dilaksanakan. Kegiatan

pemuliaan jenis ini di BBPBPTH baru tahap awal dimulai dengan kegiatan eksplorasi dari populasi

alam yaitu di Gunung Ciremai (Jawa Barat), Ranupani Gunung Semeru dan Probolinggo Gunung

Bromo (Jawa Timur), Boyolali, Kopeng, Karanganyar Gunung Lawu (Jawa Tengah), serta Bebeng

Gunung Merapi (DI Yogyakarta) (Baskorowati, 2010).

Hasil eksplorasi di lereng Ciremai dari 3 lokasi (Argalingga, Ponjong, Apuy) didapat 20 pohon

induk, masing-masing pohon induk rata-rata dikumpulkan 1 s/d 2 kg buah yang masih berpolong.

Elevasi tempat pengambilan sampel 1199 m - 1251 m dpl. Hasil eksplorasi A. decurrens di

Boyolali lereng Gunung Merbabu Jawa Tengah didapat 20 pohon induk. Lokasi pengambilan buah

di Genting Cepogo, Lencoh Selo dan Samiran Selo dengan ketinggian antara 1156 m – 1567 m dpl.

Hasil eksplorasi di Lereng Gunung Bromo dan Semeru, didapat 20 pohon induk. Ketinggian

tempat pengambilan sampel eksplorasi adalah antara 2111 m – 2472 m dpl.

Page 50: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

PEMBANGUNAN POPULASI PEMULIAAN TANAMAN HUTAN Sugeng Pudjiono dan Liliana Baskorowati

43

Eucalyptus pellita

Eucalyptus pellita merupakan salah satu jenis utama pada pembangunan hutan tanaman industri

(HTI) untuk industri pulp. Jenis tersebut mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi dan tumbuh

cepat, berbatang tunggal, lurus, bebas cabang tinggi serta tahan terhadap hama dan penyakit.

Program pemuliaan E. Pellita di BBPBPTH dimulai pada tahun 1994 dengan membangun KBSUK

F-1 di Sumatera dan Kalimantan. KBSUK E. Pellita di Kalimantan Selatan dibangun dengan 155

famili menggunakan sistem populasi tunggal, sedangkan di Sumatera Selatan dan Riau dibangun

dengan sistem sub galur. Materi benih yang digunakan berasal dari Papua New Guinea yaitu

wilayah South Kiriwo, North Kiriwo dan Serissa Village.

Pertumbuhan tinggi tanaman E. Pellita di ketiga lokasi KBS F-1 dapat mencapai 15 m pada

umur 4 tahun dan 20 m pada umur 6 tahun dengan diameter diatas 15cm pada umur 5 tahun

(Leksono dan Setyaji, 2004). Pertumbuhan tersebut lebih baik dibandingkan hasil penelitian

E. Pellita di Australia, Brazil, Filipina, Vietnam dan Negara-negara tropis serta sub tropis lainnya

yang pada umur 4 tahun hanya mencapai 6-10 m dan umur 5 tahun sekitar 6-13 m (Craciun, 1978;

Ferreira and Couto, 1981; Glori, 1993; Dickinson and Sun, 1995; Le Dinh Kha, 1996; Harwood et

al., 1997).

Studi dilakukan untuk melihat respon provenan menunjukkan adanya perbedaan yang nyata

diantara provenan yang diuji pada umur 2,5 tahun (Leksono dan Setyaji, 2004). Provenan dari

PNG dan Indonesia (Bupul-Muting) mempunyai penampilan diatas rata-rata populasi

(tinggi 16,4 m dan diameter 14,9 cm).

KBSUK F-1 E. Pellita yang dibangun sudah memproduksi benih unggul pada tahun 2000.

Prediksi produksi benih dari KBSUK F-1 E. Pellita tersebut sebanyak 35 kg/th (Leksono, 2004).

Selanjutnya program penelitian diteruskan dengan pembangunan KBSUK generasi kedua (F-2)

mulai tahun 2003 di Kalimantan Selatan dan di Riau.

Hasil analisis menggunakan data pada KBSUK F-2 menunjukkan bahwa peningkatan genetik

dari populasi terseleksi terhadap populasi tidak terseleksi berkisar antara 11-21% di Kalimantan

dan 16-22% di Sumatera (Leksono et al., 2008). Rata-rata peningkatan genetik sebesar 18%, 15%

dan 13% berturut-turut untuk diameter, tinggi dan bentuk batang. Trend peningkatan genetik pada

kedua sifat pertumbuhan (tinggi dan diameter) relatif konsisten selama lima tahun pengukuran

yaitu sekitar 15% untuk tinggi dan 18% untuk diameter, walaupun pada umumnya persentase

peningkatan genetik cenderung menurun dengan penambahan umur (Zobel and Talbert, 1984).

Page 51: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

| Bunga Rampai | 37- 56

44

Eucalyptus urophylla

KBSUK F-1 Eucalyptus urophylla telah dibangun di Pelaihari Kalimantan Selatan seluas

2,88 ha dengan prediksi produksi 40 kg/th. Jenis E. urophylla ini merupakan jenis eucalyptus yang

sesuai pada dataran tinggi dengan curah hujan rendah. Pertumbuhan jenis ini cepat, berat jenis

kayunya 0,45-0,56. Riap dbh 2,0-2,5 cm/th. Kayu nya dapat digunakan sebagai pulp dan kertas.

Jenis ini berpotensi sebagai materi hibrid dengan jenis Eucalyptus lain (Leksono, 2004)

Kayu Putih (Melaleuca cajuputi sbspsp cajuputi)

Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi adalah salah satu jenis dari famili Myrtaceae yang

menghasilkan minyak atsiri yang dikenal sebagai minyak kayu putih, dan dapat digunakan sebagai

obat.Tujuan utama pemuliaan kayuputih adalah meningkatkan produksi melalui peningkatan

rendemen minyak dan meningkatkan kualitas minyak melalui peningkatan kadar cineol kayuputih.

Pemuliaan tanaman kayuputih telah dimulai sejak tahun 1995 dengan melakukan eksplorasi benih

dan daun di daerah sebaran alam jenis ini, yaitu di Kep. Maluku serta australia bagian utara.

Jumlah seluruh individu hasil eksplorasi diseleksi kadar cineolnya, dari 256 pohon yang berasal

dari 23 populasi alam terpilih hanya 19 pohon (7% dari total). Pada tahun 1998 dibangun uji

keturunan di Paliyan Gunung Kidul Daerah Istimewa Yogyakarta menggunakan 19 individu pohon

hasil eksplorasi tersebut. Kebun benih uji keturunan tahun 1998 ini sekarang sudah dikonversi

menjadi kebun benih produksi. Hasil seleksi famili di uji keturunan tersebut mempunyai nilai

rendemen minyak sebesar 2% (Susanto et al., 2003). Sejak tahun 2002 benih unggul telah dipanen

dan digunakan bagi program penanaman dan peremajaan tegakan di wilayah DI Yogyakarta.

Penelitian dan pengembangan tanaman kayuputih sampai dengan tahun 2009 telah

menghasilkan 4 kebun benih (Gunung Kidul, Gundih, Cepu dan Ponorogo), 1 kebun benih uji

keturunan full-sib (Gunung Kidul), 1 plot uji klon (Gunung Kidul), 2 plot uji perolehan genetik

(Gunung Kidul dan Ponorogo), 1 plot uji keturunan F-2 (Gunung Kidul).

Keragaman antara provenansi untuk rendemen minyak menunjukkan bahwa provenansi dari

Pulau Ambon lebih baik dibandingkan provenansi lainnya. Sedangkan peningkatan rendemen hasil

uji keturunan dibanding data pabrik di Jawa menunjukkan bahwa dari materi daun kayuputih kebun

benih uji keturunan lebih tinggi dibanding dari pabrik di Jawa. (Rimbawanto et al., 2004).

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa korelasi genetik antara pertumbuhan dan sifat minyak

sangat rendah (-0.07 – 0.10). Estimasi besarnya perolehan genetik dari kebun benih tersebut untuk

sifat tinggi sebesar 15%, diameter 20%, 1,8-cineol 10% dan rendemen minyak 21%.(Rimbawanto,

et al., 2004)

Page 52: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

PEMBANGUNAN POPULASI PEMULIAAN TANAMAN HUTAN Sugeng Pudjiono dan Liliana Baskorowati

45

Jati (Tectona grandis)

Jati merupakan salah satu jenis tanaman primadona dalam pengembangan hutan tanaman dan

hutan rakyat di Indonesia. Kebutuhan kayu Jati untuk industri di Jawa mencapai 8,2 juta m3 dan

baru terpenuhi oleh Perum Perhutani dan Hutan Rakyat sebesar 2,7 juta m3 (33,5%) (ITTO, 2006).

Salah satu permasalahan dalam pengembangan hutan rakyat Jati adalah produktivitas dan kualitas

kayunya yang masih rendah. Untuk mengatasi masalah ini, sejak tahun 2002 dilakukan kegiatan

penelitian dan pegembangan Jati melalui IPTEK penyediaan benih unggul jati dalam bentuk

pembangunan uji klon dan uji keturunan.

Plot uji klon dibangun di Watusipat dan Playen Gunung Kidul Yogyakarta masing-masing

seluas 2,5 ha dan 5 ha. Uji klon juga dibangun di Wonogiri Jawa Tengah seluas 2,7 ha.

(Mahfudz et al., 2010).Hasil evaluasi uji klon di Watusipat Gunung Kidul umur 6,5 tahun

menunjukkan rata-rata diameter tanaman 11,05 cm dan tinggi 11,4 m. Ada perbedaan yang sangat

nyata diantara klon yang diuji pada sifat diameter maupun tinggi. Klon yang berasal dari Cepu dan

Muna memberikan pertumbuhan diameter dan tinggi yang terbaik. Nilai heritabilitas clone (h2c)

sebesar 0,51 untuk diameter dan 0,40 untuk tinggi. (Mahfudz, et al., 2010).

Evaluasi uji klon di Wonogiri umur 6,5 tahun menunjukkan rata-rata diameter sebesar 14,2 cm

dan tinggi 10,8 m. Ada perbedaan yang nyata diantara klon yang diuji untuk sifat tinggi. Klon

terbaik untuk sifat tinggi yaitu klon nomor 11 (Cepu 1) dan klon nomor 18 (FU41) dari Perusahaan

Fitotek Unggul. Sedangkan untuk diameter 2 klon terbaik adalah klon nomor 11 (Cepu 1) dan klon

nomor 18 (FU 41). Klon dari Cepu menunjukkan pertumbuhan yang lebih optimal untuk

pertumbuhan tinggi dan diameter. Nilai heritabilitas clone (h2c) untuk diameter sebesar 0,15 dan

tinggi sebesar 0,19. (Mahfudz et al., 2010).

Evaluasi uji klon lainnya di Wonogiri menggunakan 100 klon pada 3 tahun menunjukkan rata-

rata tinggi dan diametrer tanaman sebesar 5,08 m dan 4,45 cm. Ada perbedaan yang nyata diantara

klon yang diuji untuk sifat diameter maupun tinggi. Dua klon terbaik untuk sifat tinggi adalah klon

41 (Madiun) dan klon nomor 5 (KDI Muna). Sedangkan untuk diameter 2 klon terbaik adalah klon

nomor 5 (KDI Muna) dan klon nomor 41 (Madiun). Nilai heritabilitas klon (h2c) 0,36 untuk

diameter dan 0,37 untuk tinggi.(Mahfudz et al., 2010).

Evaluasi uji klon di Playen Gunung Kidul umur 4 tahun menunjukkan rata-rata tinggi sebesar

8,1 m dan diameter 9,2 cm. Klon terbaik adalah klon dari Gunung Kidul, Muna, Cepu dan Madiun

untuk sifat pertumbuhan tinggi dan diameter. Plot uji klon lainnya di lokasi yang sama

menunjukkan rata-rata tinggi 40,32 cm dan diameter 7.05 mm pada umur 1 tahun. Hasil analisis

Page 53: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

| Bunga Rampai | 37- 56

46

varian menunjukkan adanya perbedaan yang nyata diantara klon yang diuji untuk sifat tinggi.

Klon terbaik untuk sifat tinggi adalah klon nomor 51 (Cepu 4), klon 58 (Margasari 5) dan klon

nomor 60 (Gunung Kidul 1) (Mahfudz, et al., 2010)

Hasil pengukuran pada plot uji keturunan di Gunung Kidul umur 18 bulan menunjukkan bahwa

persentase hidup tanaman mencapai 96,20%. Tinggi tanaman bervariasi antara 55 cm – 502 cm

dan diameter 0,8 cm – 4,6 cm. Hasil analisis varians menunjukkan adanya perbedaan yang nyata

diantara famili-famili yang diuji untuk sifat tinggi maupun diameter. Nilai heritabilitas (h2f) untuk

sifat diameter sebesar 0,44 dan 0,69 untuk sifat tinggi. (Mahfudz et al., 2010)

Sengon (Falcataria moluccana)

Sengon telah dibudidayakan sejak lama, baik melalui hutan rakyat maupun Hutan Tanaman

Industri (HTI). Salah satu masalah dari pertumbuhan tanaman ini adalah produktivitasnya yang

masih tergolong rendah. Salah satu penyebabnya adalah belum digunakannya benih sengon yang

berkualitas baik. Selama ini kebutuhan benih sengon yang beredar kebanyakan berasal dari hutan

rakyat, sedangkan benih sengon yang berasal dari Areal Produksi Benih dan Kebun Benih Sengon

masih terbatas.

BBPBPTH telah berperan aktif dalam upaya memperoleh benih-benih sengon berkualitas sejak

tahun 1995 melalui program pemuliaan pohon sengon. Pada tahun 2007 telah dibangun KBSUK

Sengon seluas 1,75 ha di Kediri Jawa Timur. Pada tahun 2008 dibangun kembali satu KBSUK

Sengon di Cikampek Jawa Barat. KBSUK Sengon ini terdiri dari 80 famili yang berasal ras lahan

Candiroto Temanggung Jawa Tengah, provenansi Biak Papua, provenansi Wamena Papua, ras

lahan Lombok Nusa Tenggara Barat dan ras lahan Kediri Jawa Timur. Pada umur 6 bulan

pertumbuhan sengon terbaik berasal dari sumber benih Kediri (diameter 1,77cm dan tinggi 1,57 m).

Akan tetapi pada umur 1 tahun rangking pertumbuhan berubah dan yang terbaik berasal dari

sumber benih Candiroto dan Lombok untuk diameter (4,17 cm) dan Wamena untuk tinggi tanaman

(2,43 m). (Hadiyan, 2010). Selanjutnya menurut Hadiyan (2010) bahwa hasil evaluasi pada umur 6

bulan dan 1 tahun menunjukkan bahwa keragaman pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman

sangat berbeda nyata. Taksiran heritabilitas individu pada umur 1 tahun untuk diameter batang

tergolong rendah (0,07), sedangkan heritabilitas pertumbuhan tinggi tanaman tergolong moderat/

sedang (0,10).

Page 54: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

PEMBANGUNAN POPULASI PEMULIAAN TANAMAN HUTAN Sugeng Pudjiono dan Liliana Baskorowati

47

Pulai (Alstonia scholaris dan A. angustiloba)

Pulai gading (Alstonia scholaris) dan pulai darat (Alstonia angustiloba) merupakan jenis

tanaman yang mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi. Jenis tersebut termasuk indegenous species

dan cepat tumbuh (fast growing spesies). Menurut Soerianegara dan Lemmens (1994), pulai

gading mempunyai sebaran hampir di seluruh wilayah Indonesia, sedang pulai darat mempunyai

sebaran di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Pulai sangat prospektif dikembangkan untuk

pembangunan hutan tanaman, karena kegunaan kayu pulai cukup banyak dan saat ini

permintaannya cukup tinggi.

Uji Keturunan F-1 Pulai gading sudah dibangun di Gunung Kidul Yogyakarta dan di Sumber

Klampok, Bali Barat, Bali. Sementara itu uji keturunan jenis Pulai darat (A. angustiloba) ditanam

di Wonogiri Jawa Tengah (Mashudi et al., 2010). Hasil pengukuran dan perhitungan persentase

hidup, tinggi dan diameter batang (15 cm dari permukaan tanah) pada tanaman umur 6 bulan uji

keturunan Pulai Gading di Gunung Kidul diperoleh hasil rata-rata persentase hidup 94,54%, tinggi

berkisar 41,14-88,65cm (rata-rata 59,64), diameter berkisar 3,38-10,99mm (rata-rata 7,29 mm).

Pada umur 12 bulan variasi tinggi antar famili 72,27-139,81 cm (rata-rata 110,31 cm), diameter

12,85-26,50mm (rata-rata 19,92mm). Rata-rata persentase hidup 92,84%. Hasil pengukuran uji

keturunan Pulai Gading di Sumber Klampok Bali pada umur 12 bulan persentase hidup 85,80%,

tinggi berkisar 78,80-117.38 cm (rata-rata 100,94cm), diameter berkisar 10,58-15,40mm (rata-rata

12,80mm). (Mashudi et al., 2010)

Merbau (Intsia bijuga)

Merbau (Intsia bijuga) merupakan jenis andalan di Papua yang pernah direkomendasikan untuk

digunakan dalam pembangunan hutan tanaman, khususnya di Papua sebagai bahan baku industri.

Tekanan terhadap potensi kepunahan sumberdaya genetik merbau masih tinggi antara lain

disebabkan oleh penebangan yang tidak terkontrol, penebangan liar, dan konversi lahan baik untuk

lahan perkebunan maupun pertambangan.

Uji keturunan Merbau telah dibangun di Sobang Banten seluas 4 ha. Hasil evalusi uji keturunan

umur 18 bulan menunjukkan adanya variasi diantara famili maupun individu dalam plot uji untuk

sifat tinggi dan diameter. Diameter rata-rata 9,92 mm dan tinggi 77,96 cm. Heritabilitas individu

dan famili untuk sifat tinggi masing-masing 0,63 dan 0,80. Sedangkan heritabilitas individu dan

famili untuk diameter masing-masing 0,79 dan 0,84. Famili-famili dari Oransbari dan Manimeri

menunjukkan pertumbuhan terbaik untuk sifat tinggi dan diameter (Mahfudz et al., 2010).

Page 55: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

| Bunga Rampai | 37- 56

48

Suren (Toona sinensis dan Toona sureni)

Masalah yang dihadapi jenis suren di Indonesia antar lain 1) menyusutnya potensi suren di

habitat alamnya karena eksploitasi yang terus menerus akan tetapi tidak disertai budidaya yang

memadai, 2) mendesaknya konservasi jenis suren untuk penyelamatan sumberdaya genetik,

3) terbatasnya sumber benih suren yang berkualitas.

Langkah awal yang ditempuh dalam upaya penyediaan benih berkualitas jenis ini adalah

melakukan koleksi benih dari zona koleksi benih, tegakan benih teridentifikasi dan tegakan benih

terseleksi. Tegakan benih teridentifikasi sudah ditunjuk dan berada di Sumedang Jawa Barat.

Disamping itu sudah dipilih juga calon tegakan benih teridentifikasi di Desa Sipolha, Kecamatan

Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara dan di Desa Bontotapallang, Kabupaten

Bantaeng, Sulawesi Selatan masing-masing seluas 1 ha.

Selanjutnya plot uji keturunan Suren (Toona sinensis) sudah dibangun di Candiroto

Temanggung Jawa Tengah seluas 2,25 ha (Jayusman et al., 2010). Menurut Mashudi et al., (2012)

hasil evaluasi menunjukkan bahwa rata-rata persentasi hidup tanaman uji keturunan Suren umur 12

bulan di Candiroto Temanggung dalam kriteria cukup (70%). Taksiran nilai heritabilitas individu

(h2i) karakter tinggi tanaman Suren umur 12 bulan di Temanggung sebesar 0,1 yang berarti masuk

dalam kriteria sedang/moderat. Kemudian taksiran nilai heritabilitas famili (h2f) karakter tinggi

tanaman Suren umur 12 bulan di Temanggung sebesar 0,40, yang berarti nilai heritabilitas famili

karakter tinggi tersebut termasuk dalam kriteria sedang/moderat.

Araucaria (Araucaria cunninghamii)

Araucaria cunninghamii merupakan salah satu jenis konifer yang tumbuh alami di hutan alam

Papua. Jenis ini sangat potensial untuk dikembangkan untuk hutan tanaman. Hasil kayunya sangat

baik digunakan untuk bahan baku industri plywood, pulp, paper, kayu pertukangan dan

menghasilkan getah yang bernilai ekonomi tinggi.

Selama ini pembangunan pertanaman Araucaria di Papua kebutuhan benihnya masih

bergantung pada hutan alam, dan umumnya benih tersebut hanya dikumpulkan dari area dengan

dasar genetik yang relatif sempit. Hal ini mendorong perlunya membangun sumber benih dengan

genetik unggul sehingga mampu menyediakan benih dalam jumlah yang memadai untuk

pengusahaan hutan tanaman skala operasional.

Plot uji keturunan A. cunninghamii sudah dibangun di Desa Sumber Waringin, Kecamatan

Sumber Waringin, Kabupaten Bondowoso, Propinsi Jawa Timur, pada ketinggian 800 m dpl, tipe

tanah andosol dengan curah hujan 2.430 mm/th. Plot uji keturunan dibangun menggunakan tiga

Page 56: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

PEMBANGUNAN POPULASI PEMULIAAN TANAMAN HUTAN Sugeng Pudjiono dan Liliana Baskorowati

49

sumber provenansi, yaitu Pegunungan Nerwah, Peg. Tuan dan Peg. Tumbii dari Kebar Kabupaten

Tambraw Papua Barat. Evaluasi pada umur 5 tahun menunjukkan persentase hidup tanaman

berkisar 75%-100% dan rata-rata pertumbuhan untuk sifat tinggi sebesar 8,06 m, sifat diameter

12,79 cm, sifat volume 0,07 m3. Ada variasi diantara famili-famili yang diuji untuk sifat tinggi

dan diameter. Nilai heritabilitas famili untuk sifat tinggi 0,47, sifat diameter 0,36, volume 0,42,

sedangkan heritabilitas individu untuk sifat tinggi 0,12, sifat diameter 0,09 dan volume 0,12

(Widyatmoko et al., 2010). Famili-famili yang menempati ranking terbaik untuk sifat tinggi

adalah famili dari P3-Nerwah II dari Kabupaten Tambraw Propinsi Papua Barat

(Widyatmoko et al., 2010).

Plot uji Keturunan lainnya juga dibangun pada lokasi yang sama dengan menggunakan enam

sumber provenansi, yaitu Manokwari dan Fakfak dari propinsi Papua Barat, Serui, Wamena dan

Jayapura dari propinsi Papua dan Queensland-Australia. Pertumbuhan tanaman sifat tinggi dan

diameter umur 6 bulan terbaik adalah provenansi Queensland sedangkan terendah adalah

provenansi Manokwari. Akan tetapi pada umur 12 bulan dari hasil uji menunjukkan bahwa

pertumbuhan terbaik adalah provenansi Manokwari dan terburuk adalah provenansi Queensland.

(Widyatmoko et al., 2010)

Nyamplung (Calophyllum inophyllum)

Nyamplung (Calophyllum inophyllum) merupakan salah satu jenis tanaman hutan yang

berpotensi sebagai bahan baku biofuel, sangat potensial dengan memanfaatkan bijinya.

Permasalahan yang dihadapi dalam budidaya jenis ini diantaranya adalah ketersediaan bahan baku

biji nyamplung rendemen dan kualitas minyak yang dihasilkan.

Pembangunan sumber benih untuk mendapatkan benih unggul berupa uji provenansi

Nyamplung telah dibangun di 2 lokasi, yaitu di Pantai Congot, Kabupaten Kulon Progo Yogyakarta

dan Pantai Pangandaran, Kabupaten Ciamis Jawa Barat masing-masing seluas 2,25 ha. Dari hasil

analisis data didapat informasi bahwa terdapat keragaman antar provenansi Nyamplung terhadap

produktivitas biokerosene (rendemen maupun karakteristik biokerosene) minyak nyamplung yang

dihasilkan. (Leksono et al., 2011). Hasil analisis dari kedua penanda DNA yang telah digunakan

(RAPD dan sequencing chloroplast DNA) menunjukkan bahwa keragaman dalam populasi

nyamplung masih cukup besar (Leksono et al., 2011).

Selain pembangunan sumber benih berupa tegakan provenans dilakukan pula uji klon

Nyamplung. Uji klon tersebut dilakukan untuk mengetahui kinerja klon, adaptabilitas dan

mendapatkan klon dengan produksi pembuahan terbaik dalam waktu yang relatif singkat.

Page 57: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

| Bunga Rampai | 37- 56

50

Pembangunan uji klon dilakukan di Desa Jambusari, Kecamatan Jeruklegi, Kabupaten Cilacap,

Jawa Tengah seluas 4 ha. Materi genetik yang digunakan dalam pembangunan uji klon berasal dari

80 pohon induk (klon) yang dikoleksi dari Alas Purwo Banyuwangi Jawa Timur dan Cilacap Jawa

Tengah (Mahfudz et al., 2011).

Malapari (Pongamia pinnata)

Pongamia pinnata merupakan arboreal legume cepat tumbuh, pionir pada daerah marginal

dengan tingkat salinitas tinggi. Tanaman ini sangat berpotensi sebagai salah satu tanaman alternatif

sumber energi (biofuel) baru dan terbarukan dengan kandungan kalori yang tinggi sekitar 44600

kcal/kg (Jayusman et al., 2010).

Kegiatan awal pemuliaan Pongamia pinnata adalah eksplorasi benih di sebaran alamnya antara

lain di Taman Nasional (TN) Ujung Kulon, TN Baluran, TN Alas Purwo dan Pulau Seram.

Pembangunan plot uji provenansi telah dilakukan menggunakan tujuh sumber provenansi yaitu

Panaitan, Haundelem, Peucang, Cilintang, Selokanduyung kelimanya dari Taman Nasional Ujung

Kulon Kabupaten Pandeglang Propinsi Banten, Banyuwangi Jawa Timur dan Seram Maluku seluas

1,5 ha.

Pemuliaan dengan seleksi tanaman legum yang mempunyai efisiensi penggunaan N tinggi

merupakan isu penting untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas biji dan kandungan minyak

P. Pinnata (Paul et al, 2008 dalam Jayusman, 2010). Kemampuan P. Pinnata dalam fiksasi N

secara biologis melalui pembentukan nodul dan simbiose dengan bakteri Rhizobium, menjadikan

tanaman ini dapat memenuhi sendiri kebutuhan N untuk pertumbuhan. Penggunaan tanaman ini

dinilai lebih menguntungkan dibandingkan dengan bila menggunakan tanaman biofuel non legum.

Berdasarkan pengamatan bibit P. Pinnata 3 bulan setelah diinokulasi Rhizobium sp.

menunjukkan bahwa bibit yang berasal dari Pulau Seram, Ambon mempunyai rata-rata jumlah

nodul, tinggi tanaman dan diameter yang lebih baik dibandingkan bibit yang berasal dari Baluran

Banyuwangi. (Jayusman et al., 2010).

Sukun (Artocarpus altilis (Park). Fosberg)

Sukun (Artocarpus altilis (Park). Fosberg) merupakan salah satu jenis yang potensial sebagai

sumber pangan penghasil karbohidrat sehingga kegiatan budidaya sukun secara luas sangat

digalakan untuk mendukung program ketahanan pangan di Indonesia. Upaya peningkatan

produktivitas sukun dilakukan dengan pendekatan melalui pengujian klon terhadap materi genetik

dari induk tanaman yang telah dikumpulkan dari berbagai tempat di Indonesia. Evaluasi terhadap

keragaman genetik sukun perlu dilakukan untuk mengetahui potensi genetik yang dapat

Page 58: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

PEMBANGUNAN POPULASI PEMULIAAN TANAMAN HUTAN Sugeng Pudjiono dan Liliana Baskorowati

51

dimuliakan. Dalam hal ini, keragaman morfologi dari klon-klon yang dikembangkan perlu diteliti

untuk memudahkan dalam praktek pengelolaannya.

Menurut Kartikawati et al. (2009) dalam rangka penelitian dan pengembangan jenis sukun

BBPBPTH telah membangun uji klon sukun yang berasal dari Sleman (Yogyakarta), Bali,

Lampung dan Manokwari (Papua Barat), Banyuwangi (Jawa Timur), Mataram (Nusa Tnggara

Barat) dan Malino (Sulawesi Selatan). Hasil pengamatan pada plot uji klon Sukun di Gunung kidul

menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman sukun cukup bervariasi dalam kemampuan tumbuh,

produksi buah, morfologi pohon, daun dan buahnya. Pertumbuhan tanaman umur 5 tahun rata-rata

tinggi 5,14m dan diameter rata-rata 13,46 cm. Kemampuan berbuah setiap klon bervariasi

terutama jumlah buah. Pada umur 5 tahun 88% klon sukun yang ditanam berbuah akan tetapi

banyak mengalami kerontokan buah sebelum dapat dipanen diduga disebabkan akibat cekaman

lingkungan (water stress) dan kondisi kesuburan tanah di lokasi penelitian. Klon dari Bali

menunjukkan kemampuan berbuah lebih baik dibandingkan populasi lainnya

Morfologi buah sukun dapat dibedakan menurut populasi asalnya. Buah sukun Sleman, Bali

dan Lampung menunjukkan ciri-ciri yang sama yaitu berbentuk bulat sampai lonjong, berukuran

sedang sampai besar dan tidak berduri sehingga disebut ”sukun gundul” Buah sukun dari Gunung

Kidul yang merupakan sukun lokal Yogyakarta berbentuk bulat, ukurannya lebih kecil dan berduri.

Sukun dari Manokwari memiliki bentuk lonjong, berukuran sedang sampai besar dan berduri.

Sukun yang berasal dari Manokwari dan daerah lainnya seperti Bone, Malino, Gowa, Madura

memiliki morfologi bentuk daun yang sama yaitu berlekuk agak dalam, sukun dari Cilacap,

Sleman, Mataram memiliki lekuk yang dalam sedangkan sukun dari Gunung Kidul selain berlekuk

dalam juga memiliki tepi daun yang bergerigi.

Buah sukun dari Bali dan Sleman memiliki kandungan fosfor lebih tinggi dari yang lain. Buah

sukun dari Lampung memiliki kandungan kalsium lebih tinggi, sedangkan buah sukun dari

Manokwari memiliki kandungan vitamin C dan serat yang lebih tinggi dari yang lain, akan tetapi

kandungan pati, kalsium dan fosfor lebih rendah dari yang lain. Kesimpulan dan harapan kedepan

Telah banyak kegiatan pemuliaan jenis-jenis tanaman kehutanan yang telah dilakukan.

Sekurang-kurangnya BBPBPTH Yogyakarta telah melakukan pembangunan populasi pemuliaan

terhadap 17 jenis tanaman kehutanan untuk mendapatkan benih unggul sesuai dengan tujuan yang

diharapkan terhadap jenis-jenis tanaman tersebut.

Page 59: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

| Bunga Rampai | 37- 56

52

Beberapa diantaranya berada pada tingkat yang sudah maju seperti pemuliaan jenis A. mangium,

E. pellita dan kayuputih. Benih unggul untuk spesies-spesies tersebut telah dihasilkan dan telah

digunakan untuk program penanaman.

Untuk jenis-jenis lain masih dalam pelaksanaan menuju pemuliaan tanaman yang lebih lanjut,

yang pada gilirannya nanti akan mendapatkan benih unggul sesuai tujuan strategi dan tujuan

produk akhir yang diinginkan dapat tercapai.

Harapannya, kedepan produktivitas hutan tanaman jenis-jenis tersebut diatas dapat meningkat

sehingga persatuan areal luas lahan dapat meningkat hasil panennya.

Daftar Pustaka Baskorowati, L. 2010. Pengembangan Acacia decurrens Willd Sebagai Bahan Baku Sumber

Energi untuk Daerah Dataran Tinggi melalui Pemuliaan. Program Insentif Riset Terapan. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Kementrian Kehutanan. Yogyakarta. (tidak diterbitkan)

Burley, J. 1978. Selection of species for fuelwood plantations. Proceeding of 8th World Forestry Congress, Jakarta.

Cracium, G.C.J. 1978. Eucalyptus Trials in the North Territory Coastal Region. Australian Forest Research 8” 153-161.

Departemen Kehutanan. 2009. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia. Nomor P.72/Menhut-II/2009. Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.01/Menhut-II/2009. Tentang Penyelenggaraan Perbenihan Tanaman Hutan. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009. Nomor 490. Jakarta.

Dickinson, G.R. and D. Sun. 1995. Species and Provenance Evaluation of Eucalyptus cloeziana, E. Pellita and E. Urophylla at 4 Years in Far North Queensland. DPI Forestry Tech. Reort. Lybrary Ref. Quensland Department of Primary Industry-Forestry, Brisbane, Australia.

Ferreira, C.A. and H.T.Z. do Couto. 1981. The influence of Environmental Variables on the Growth of Species/Provenances of Eucalyptus in the State of Minas Gerais and Esperito Santo. Boletim de Pesquisa Florestal, Unidade Regional de Pesquisa Florestal Centro Sul. EMBRAPA, Brazil no.3: 9-35.

Glori, A.V. 1993. The Eucalyptus Tree Improvement Programme of PICOP. Pp 253-261 in Davidson, J.(ed) Proceedings of Regional Symposium on Recent Advances in Mas Clonal Multiplication of Forest Tree for Plantation Programmes. UNDP/FAO Regional Project on Improved Productivity of Man-Made Forest through Application of Technological Advances in Tree Breeding and Propagation. Los Banos, Philipines, 391 pp.

Hadiwinoto, S., Pudyatmoko, S., dan Sabarnurdin, S. 1998. Tingkat ketahanan dan proses regenerasi vegetasi setelah letusan gunung Merapi. Jurnal Manusia dan lingkungan Vol 15.

Hadiyan, Y. 2010. Pertumbuhan dan Parameter Genetik Uji Keturunan Sengon (Falcataria moluccana) di Cikampek, Jawa Barat. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan. Vol 4 No.2.

Page 60: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

PEMBANGUNAN POPULASI PEMULIAAN TANAMAN HUTAN Sugeng Pudjiono dan Liliana Baskorowati

53

Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta.

Harwood, C.E., D. Alloysius, P.C., Pomroy, K.W. Robson, and M.W. Haines. 1997. Early Growth and Survival of E. Pellita Provenances in a Range of Tropical Environment, Compared with E. Grandis, E. Urophylla and A. mangium. New Forst 14: 203-219.

Hendrati , R., Nirsatmanto, A., Baskorowati, L., Fauzi, A., Surip, Yuliastuti,D.S., Setyobudi. 2010. Nilai Kalor Acacia auriculiformis untuk mendapatkan bibit unggul dengan tujuan sumber bahan bakar. Laporan kegiatan 2009 buku 2. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kahutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta (tidak diterbitkan)

Jayusman, A. Insiana, E. Izudin, A. Setiawan, Suprihati, R. Hartono. 2010. Pemuliaan Malapari (Pongamia pinnata): Jenis Potensial untuk Sumber Energi Terbarukan. Program Insentif Riset Terapan : Sumber Energi Baru dan Terbarukan. Laporan kegiatan 2009 buku 2. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kahutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta (tidak diterbitkan)

Jayusman, D. Setiadi, Setyobudi, A. Setiawan. 2010. Identifikasi dan Seleksi untuk Pembangunan Tegakan Benih Suren (Toona sinensis). Penelitian dan Pengembangan Jenis Suren (Toona spp.). Laporan kegiatan 2009 buku 2. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kahutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta (tidak diterbitkan)

Kartikawati, N.K., H.A. Adinugraha, D. Setiadi dan Prastyono. 2009. Variasi Pertumbuhan dan Morfologi Buah Sukun (Artocarpus altilis (Park.) Fosberg) pada Uji Klon di Gunung Kidul. Status Terkini Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta.

Le Dinh Kha. 1996. Research on Formulation of Scientific on Technological Basis for Supplying Improved Planting Materials of Forest Tree. Science Rep.of Subject KN 03-03. Forest Science Institute of Vietnam, Chem, Tu Liem, Hanoi, Vietnam. 53 pp.

Leksono, B. 2004. Sepuluh tahun pemuliaan Acacia dan Eucalyptus untuk mendukung program pembangunan Hutan Tanaman Industri. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta.

Leksono, B. 2004. Litbang Pemuliaan Acacia dan Eucalyptus untuk penyediaan Benih Unggul dan Perannya dalam Mendukung Program GN-RHL. Peran Benih Unggul dalam Mendukung GN-RHL. Prosiding Ekspose Hasil Litbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta.

Leksono, B., S. Kurinobu and Y. Ide. 2008. Realized Genetic Gains observed in second generation seedling seed orchards of E. Pellita in Indonesia. Journal of Forest Research 13: 110-116.

Leksono, B. dan T. Setyaji. 2004. Variasi Pertumbuhan Tinggi dan diameter pada uji keturunan Eucalypyus pellita system Populasi Tunggal. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol. 1 No.2 (67-78). P3HT Bogor.

Leksono, B., AYPBC. Widyatmoko, S. Pudjiono, E. Rahman, K.P. Putri, 2011. Pemuliaan Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) untuk Bahan Baku Biofuel. Laporan kegiatan 2010 buku 2. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan

Page 61: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

| Bunga Rampai | 37- 56

54

Penelitian dan Pengembangan Kahutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta (tidak diterbitkan)

Lemmens R.H.M.J., Soerianegara, I., and Wong, W.C. (eds) 1995. Plant Resources of South-East Asia No 5 (2). Timber trees: Minor commercial timber. PROSEA, Bogor, Indonesia.

Mahfudz, T.P. Yudohartono, Y. Hadiyan, D.E. Pramono. 2011. Uji Klon dan Evaluasi Plot Konservasi Sumberdaya Genetik Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) di Cilacap. Laporan kegiatan 2010 buku 2. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kahutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta (tidak diterbitkan)

Mahfudz, S. Pudjiono, A. Fauzi, Hidayatmoko, H. Supriyanto, Setyobudi, Susanto. 2010. Penelitian dan Pengembangan Jenis Jati (Tectona grandis). Laporan kegiatan 2009 buku 2. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta (tidak diterbitkan)

Mahfudz, S. Pudjiono, T. Pamungkas, B. Ismail, H. Supriyanto, D.E. Pramono, Susanto. 2010. Evaluasi Uji Keturunan Merbau (Intsia bijuga). Penelitian dan Pengembangan Jenis Merbau. Laporan kegiatan 2009 buku 2. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta (tidak diterbitkan)

Mashudi, B. Leksono, L. Baskorowati, M. Susanto, S. Pudjiono, Jayusman, H.A. Adinugraha, M.A. Fauzi, Marlan, D.S. Yuliastuti, Sukijan, Mulyanto, M. Sulaman. 2012. Populasi Pemuliaan untuk Kayu Pertukangan Daur Menengah. Laporan Tahunan Tahun 2011 buku 2. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Kementerian Kehutanan. Yogyakarta (tidak diterbitkan)

Mashudi, T. Setyaji, A. Fiani, Surip, Mulyanto, Marlan. 2010. Evaluasi Uji Keturunan Generasi Pertama (F1) Pulai Gading (Alstonia scholaris) dan Pembangunan Uji Keturunan Generasi Pertama (F1) Pulai Darat (Alstonia angustiloba). Laporan kegiatan 2009 buku 2. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta (tidak diterbitkan).

Nirsatmanto, A dan Kurinobu, S. 2002. Trend of within-plot selection practiced in two seedling seed orchard of Acacia mangium in Indonesia . J.For. Res 7: 49-52.

Nirsatmanto, A., S. Susilawati, T. Setyaji, N. Hidayati, Marlan, Mulyanto, Surip, D.W. Yuliastuti, Setyo budi. 2010. Penelitian dan Pengembangan Jenis Acacia dan Eucalyptus. Laporan kegiatan 2009 buku 2. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta (tidak diterbitkan).

Rimbawanto, A. dan M. susanto. 2004. Pemuliaan Melaleuca cajuputi subsp cajuputi untuk Pengembangan Industri Minyak Kayu Putih di Indonesia. Peran Benih Unggul dalam Mendukung GN-RHL. Prosiding Ekspose Hasil Litbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, 24 Desember 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta.

Ruskin, F.R. 1983. Mimosa (Black Wattle) Acacia decurrens Willd, National Academy Press.

Santoso, A dan Sutigno, P. 1995. The effect of blue Spreads and percentage of filler of tanin formal-dehyde resin in Plywood bonding strength. Forest Product Journal 13: 87-92.

Page 62: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

PEMBANGUNAN POPULASI PEMULIAAN TANAMAN HUTAN Sugeng Pudjiono dan Liliana Baskorowati

55

Setyaji, T dan Nirsatmanto, A. 2009. Uji Perolehan Genetik Terhadap Hasil Pemuliaan Generasi Pertama (F1) Jenis Acacia mangium Pada Umur 7 Tahun di Jawa Tengah. Status Terkini Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan. Prosiding Ekspose Hasil Hasil Penelitian. 1 Oktober 2009. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Kementrian Kehutanan. Yogyakarta.

Susanto, M., J.C. Doran, R. Arnold and A. Rimbawanto. 2003. Genetic Variation in Growth and Oil Characteristics of Melaleuca cajuputi subsp cajuputi and Potential for Genetic Improvement. Journal of Tropical Forest Science 15 (3): 469-482.

Syafii, W. 2009. Pemanfaatan tanin kulit Acacia decurrens Willd sebagai bahan baku perekat untuk pembuatan papan serat. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia.

Widyatmoko, AYPBC., Hendrati, LH., Setiadi, D., Fauzy, MA, Setyobudi, Susanto, Maryanti, A. 2010. Pembangunan Pertanaman Uji Keturunan Araucaria cunninghamii. Penelitian dan Pengembangan Jenis Araucaria (Araucaria cunninghamii). Laporan kegiatan 2009 buku 2. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kahutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta (tidak diterbitkan)

Zobel, B.J. and J.T. Talbert. 1984. Applied Forest Tree Improvement. John Wiley and Sons Inc. Canada.

Page 63: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

| Bunga Rampai | 37- 56

56

Page 64: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

57

PENGEMBANGAN KLON DAN HIBRIDISASI

Liliana Baskorowati

Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

ABSTRAK Program pembangunan hutan tanaman berupa pengembangan klon dan perhutanan klonal dengan hibridisasi atau pohon-pohon induk perlu dilakukan sebagai langkah pemuliaan kedepan. Pengembangan klon unggul dan pembuatan persilangan antara induk-induk (hibridisasi) dengan pertumbuhan superior dan kesehatan yang baik dilakukan untuk mendapatkan keturunan yang lebih baik dari induknya yang umumnya disesuaikan dengan tujuan pemanfaatan yang diinginkan. Pengembangan klon yang sudah dikembangkan oleh Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan untuk jenis jati, sukun, acacia hybrid, eucalyptus pellita dan kayu putih.

Pendahuluan

Pengembangan klon dan pengembangan hibrid (perkawinan antar dua species) merupakan

kegiatan pemuliaan lanjut yang umumnya dilakukan setelah melakukan serangkaian kegiatan

pemuliaan. Perhutanan klon merupakan pertanaman dengan material tanaman berasal dari klon

unggul hasil uji klon. Pada umumnya, klon-klon yang baik berasal dari hasil seleksi half-sib atau

full-sib dan mempunyai sifat yang jauh lebih baik dibandingkan dengan yang berasal dari pohon

yang belum dimuliakan.

Pemuliaan hibrid dikembangkan untuk mendapatkan spesies baru dengan sifat-sifat yang

diinginkan, yang umumnya mempunyai kinerja diantara kedua induknya. Meskipun demikian,

tidak semua hibrid F-1 menunjukkan kinerja yang lebih baik dibanding kedua induknya. Sehingga

perlu adanya strategi pemuliaan yang disusun dengan baik. Strategi pengembangan hibrid yang

sederhana ditempuh melalui seleksi hibrid alami pada pertanaman komersial. Sedangkan strategi

pengembangan hibrid yang lebih kompleks melalui persilangan terkendali pada individu-individu

terpilih dari masing-masing species.

Pengembangan Klon

Pada kegiatan pemuliaan tingkat lanjut, pengembangan klon menjadi sangat penting untuk

dilakukan. Hal ini karena perhutanan klon (clonal forestry) yang dibangun menggunakan klon

terpilih akan menghasilkan keseragaman sifat-sifat yang diinginkan dan dapat disesuaikan dengan

keperluan industri. Perhutanan klon pada umumnya dilakukan pada jenis-jenis yang mudah

dibiakkan secara vegetatif, seperti pada Eucalyptus, Acacia, Melaleuca maupun Tectona.

Page 65: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

| Bunga Rampai | 57- 64

58

Pengembangan klon merupakan pengembangan pertanaman dengan materi tanaman yang

berasal dari klon unggul. Pada umumnya klon unggul tersebut diperoleh melalui seleksi dengan

kriteria seleksi yang diinginkan pada uji klon di lapangan (Hardiyanto, 2004). Lebih lanjut

disebutkan, untuk mendapatkan klon unggul, kegiatan pengembangan klon dimulai dari beberapa

tahap sebagai berikut:

Seleksi pohon induk. Seleksi dilakukan dengan memilih pohon-pohon induk dengan

mempertimbangkan kenampakan fisiologis atau sifat fisik yang diinginkan, misalnyabatang bebas

cabang tinggi, bentuk batang lurus, percabangan ringan serta bebas dari hama dan penyakit. Seleksi

pohon induk dapat dilakukan pada tanaman operasional maupun tanaman uji.

Evaluasi kemampuan perbanyakan vegetatif pohon induk. Evaluasi meliputi kemampuan

bertunas (sprouting ability) maupun kemampuan berakar (rooting ability). Adapun teknik

perbanyakan vegetatif bisa dilakukan dengan berbagai cara antara lain dengan stek pucuk yaitu

dengan menebang pohon induk (0.5 - 2 m) dari permukaan tanah dan tunas yang muncul pada

tunggul kemudian digunakan sebagai bahan stek pucuk; atau bisa juga dengan memangkas hampir

semua cabang pohon induk dan hanya meninggalkan 4-5 cabang aktif dimana daun-daun serta

pucuk cabang tersebut dihilangkan, kemudian tunas-tunas yang muncul digunakan sebagai bahan

stek pucuk. Teknik lainnya adalah dengan mencangkok cabang-cabang yang aktif pada pohon

induk ataupun dengan kultur jaringan.

Uji Klon. Klon-klon dari pohon induk yang mempunyai kemampuan bertunas dan berakar

tinggi kemudian diuji dilapangan dalam bentuk uji klon. Uji klon sebaiknya dilakukan dalam

beberapa lokasi yang mempunyai tapak yang berbeda, dikarenakan klon umumnya lebih sensitif

terhadap kondisi tapak daripada semai yang berasal dari benih, sehingga kemungkinan besar ada

interaksi antara klon dengan tapak. Pada uji klon, penggunaan kontrol dari semai diperlukan untuk

mengetahui kinerja klon dibandingkan dengan semai. Uji klon disini penting dilakukan sebelum

dipergunakan untuk penanaman skala operasional, karena tanaman hasil pembiakan vegetatif dari

pohon induk yang berfenotip bagus belum tentu memiliki pertumbuhan vegetatif yang sama sepeti

induknya (Zobel 1993; Talbert dan Zobel 1984).

Perhutanan Klonal. Klon-klon yang terpilih dari uji klon sesuai kriteria yang diinginkan dapat

digunakan untuk pembuatan pertanaman operasional. Perlu diperhatikan, klon yang berkinerja

tidak lebih baik dari materi semai sebaiknya tidak dianjurkan untuk tanaman operasional

dikarenakan biaya pengembangan klon yang membutuhkan biaya tinggi dibandingkan dengan

semai.

Page 66: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

PENGEMBANGAN KLON DAN HIBRIDISASI Liliana Baskorowati

59

Saat ini BBPBPTH sedang melakukan pengembangan klon untuk jenis Tectona grandis (jati),

Arthocarpus altilis (sukun), hibrid Acacia, Eucalyptus pellita, dan Melaleuca cajuputi (kayu putih).

Uji klon dan kebun benih klon (Clonal Seed Orchard) jati sudah dibangun di Gunung Kidul,

Yogyakarta dan Wonogiri, Jawa Tengah. Hasil evaluasi uji klon jati menunjukkan bahwa pada

umur 6,5 tahun klon-klon yang berasal dari Cepu, Jawa Tengah dan Muna memberikan

pertumbuhan tinggi dan diameter yang terbaik dengan nilai heritabilitas clone sebesar 0.51 untuk

diameter dan 0.40 untuk tinggi. Uji klon Sukun (Arthocarpus altilis) dilakukan untuk

meningkatkan produktifitas dan kualitas kadar karbohidrat sukun sebagai sumber pangan. Uji klon

jenis Sukun sudah dibangun di Gunung Kidul menggunakan 25 klon, dan hasilnya menunjukkan

bahwa klon yang berasal dari Bali dan Manokwari merupakan klon dengan produktivitas buah

paling banyak. Untuk pengembangan hutan tanaman penghasil serat, uji klon Eucalyptus pellita

dan hibrid Acacia (A. mangium x A. auriculiformis) juga telah dibangun di Wonogiri, Jawa Tengah,

masing-masing menggunakan 10 dan 44 klon.

Hibridisasi

Hibridisasi dikenal sebagai persilangan antara individu-individu pohon yang terpisah

populasinya, mempunyai perbedaan type dan umumnya mempunyai taksonomi yang berbeda, dan

dapat dikelompokkan ke dalam klasifikasi berdasarkan kesamaan fisiologis (Wagner, 1968).

Hibridisasi jenis-jenis tanaman dapat terjadi secara alam maupun secara buatan. Hibridisasi alam

mungkin terjadi pada: (i) sepanjang perbatasan antar spesies, umumnya terjadi secara sporadic

antar individu, (ii) kumpulan hibrid yang sudah menyebar menjauh diluar generasi pertama, atau

(iii) pada daerah-daerah yang merupakan introgressi antar jenis (Potts, et al., 2001).

Meskipun demikian, terdapat beberapa hal yang dapat menjadikan kendala keberhasilan

hibridisasi secara alam, seperti jenis tanaman terisolasi secara geografis, sehingga akan

menyebabkan terkendalanya penyerbukan secara alami, perbedaan waktu berbunga dari jenis

tanaman, serta terhambatnya perkecambahan pollen atau pertumbuhan embrio dari hibrid tersebut

karena adanya mekanisme self-incompatibility (Wright, 1976, Grant, 1981). Zobel and Talbert

(1984) mengemukakan bahwa hal yang paling umum menjadi kendala keberhasilan hibridisasi

secara alam adalah ketika jenis yang berkerabat dan populasinya berdekatan mempunyai perbedaan

waktu pembungaan.

Seperti halnya pada genus Melaleuca, hibridisasi secara alam hanya terjadi pada jenis-jenis

yang berkerabat dekat. Sebagai contoh hibridisasi alam jenis ini sudah banyak ditemukan di

Queensland yaitu hibrid Melaleuca arcana S.T.Blake x Melaleuca saligna Schauer, di New South

Page 67: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

| Bunga Rampai | 57- 64

60

Wales M. bracteata F. Muell x M. styphelioides Sm, di Western Australia, M. bracteosa Turcz. x

M. pomphostoma Barlow serta M. laxiflora Turcz. x M. spicigera S.Moore, M. alternifolia x M.

linariifolia di Port Macquarie, NSW. Pada hibrid M. alternifolia x M. Linariifolia, indikasi hibrid

alam yang muncul diketahui dari morfologi daun maupun dari kadar minyaknya yang merupakan

perpaduan kedua tetua (Butcher, 1994). Lebih lanjut Butcher et al., (1995) juga melakukan

konfirmasi status hibrid yang terletak di Port Macquarie tersebut dengan menggunakan chloroplast

DNA.

Pada jenis Acacia, hibridisasi antara Acacia mangium dan Acacia auriculiformis merupakan

hibrid antar jenis yang masih dalam satu genus, terjadi secara alam di Malaysia maupun di

beberapa negara Asia Pasifik dan Australia (Kha, 2001). Hibrid A. mangium dan A. auriculiformis

cenderung lebih tahan terhadap berbagai kondisi lingkungan tempat tumbuh dan mempunyai

pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan kedua induknya (Kijkar 1992). Bentuk pohonnya

secara keseluruhan sangat memuaskan, batangnya lurus menyerupai A. mangium dan mempunyai

kemampuan pelepasan cabang alami yang baik seperti A. auriculiformis (Ibrahim, 1993).

Hibridisasi buatan merupakan salah satu cara untuk meciptakan kombinasi jenis baru.

Hibridisasi buatan dapat dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu hibridisasi interspecifik dimana

mengawinkan dua jenis yang masih dalam satu genus dan hibridisasi intergenerik dimana

mengawinkan jenis-jenis dari dua genus yang berbeda (Agrawal, 1988). Hibridisasi buatan sudah

digunakan di untuk tanaman kehutanan secara luas selama beberapa dekade pada genus-genus

seperti Acacia, Pinus, Larix dan Eucalyptus (Griffin and Cotterill, 1988; Nikles and Griffin, 1992;

Dungey 1999). Ulasan detail tentang hibridisasi alam maupun buatan pada jenis-jenis Eucalyptus

sudah dipaparkan oleh Griffin et al., (1988). Umumnya penggunaan hibridisasi buatan bertujuan

untuk menciptakan genotip baru yang mempunyai karakter-karakter yang diinginkan dari dua jenis

dan dikombinasikan menjadi satu jenis yang mungkin tidak dapat ditemui di alam (Briggs and

Knowles, 1967; Zobel and Talbert, 1984; Potts, et al., 2001). Sebagai contoh, pengembangan

interspecifik hibrid eucalypts di Afrika Selatan mempunyai 3 tujuan: (i) mengkombinasikan sifat-

sifat yang diinginkan; (ii) untuk mendapatkan hibrid vigor (heterosis) dan; (iii) untuk

meningkatkan daya adaptabilitas jenis-jenis eucalyptus pada areal-areal marginal (Verryn, 2000).

Secara umum determinasi hibrid tanaman kehutanan hanya menggunakan karakteristik secara

morfologi and anatomi berdasarkan bentuk daun dan buah atau bagian reproduksi yang lain.

Meskipun demikian, akhir-akhir ini untuk mendeterminasi suatu hibrid sudah mengkombinasikan

metode anatomi, morfologi, molecular dan metode kimia. Untuk jenis Eucalyptus, molecular

markers sudah digunakan untuk mengidentifikasi asal hibrid maupun kompatibilitas masing-masing

Page 68: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

PENGEMBANGAN KLON DAN HIBRIDISASI Liliana Baskorowati

61

individu hibrid (Moran et al. 2000; Griffin et al. 2000). Analisis isozyme analysis juga digunakan

untuk verifikasi in-situ F-1 hibridisasi antara E. Nitens dan jenis asli Eucalyptus seperti E. Ovata

dan E. viminalis di Tasmania (Barbour et al. 2002). Mereka menemukan level heterosigositas yang

tinggi pada tetua-tetua hibrid (>80%). Microsatellite analysis dan chloroplast DNA juga digunakan

untuk verifikasi hibridisasi antara jenis E. Acmenoides dan E. Cloeziana di Queensland Tenggara

(Stokoe et al. 2001). Tingkat polymorphism yang tinggi pada microsatellite loci terdapat pada

hibrid antara E. Acmenoides dan E. Cloeziana.

Penelitian hibridisasi BBPBPTH telah dilakukan untuk memperoleh tanaman hibrid Acacia

yang memiliki keunggulan lebih tinggi dibandingkan dengan kedua induknya, baik keunggulan

dalam pertumbuhan, kelurusan bentuk batang dan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan

tempat tumbuhnya serta ketahanan terhadap penyakit. Penelitian hibridisasi ini diawali dengan

membangun plot uji persilangan terbuka A. mangium x A. auriculiformis di Wonogiri, Jawa Tengah

untuk mendapatkan tanaman hibrid secara alami. Identifikasi morfologis benih dan semai kandidat

hibrid telah dilakukan untuk mendapatkan diskripsi morfologis tanaman hibrid. Semai kandidat

hibrid hasil identifikasi morfologis selanjutnya diuji secara molekuler menggunakan metode PCR

(Polimerase Chain Reaction) untuk memastikan ketepatan sistem diskripsi morfologis yang

digunakan. Disamping hibridisasi secara alami, penelitian dilakukan pula secara buatan melalui

penyerbukan terkendali antara A. mangium x A. auriculiformis. Penelitian penyerbukan terkendali

ini diawali dengan membangun green house culture dan breeding garden di BBPBPTH,

Yogyakarta. Dengan identifikasi tanaman hibrida secara dini, akan sangat membantu keberhasilan

pelaksanaan uji klon maupun perbanyakan klon-klon hibrid Acacia secara masal selanjutnya

(Nirsatmanto et al., 2009).

Kesimpulan

Pengembangan klon dan hibridisasi sudah dilakukan oleh BBPBPTH Yogyakarta mulai dari

beberapa tahun yang lalu meliputi jenis Tectona grandis, Eucalyptus pellita, hibrid Acacia, dan

Melaleuca cajuputi.

Sedangkan penelitian hibridisasi secara buatan juga sudah dilakukan antara Acacia mangium x

A. auriculiformis, dan saat ini beberapa klon hibrid Acacia sedang dilakukan evaluasi pada plot uji

klon di Wonogiri, Jawa Tengah. Ke depan, untuk pengujian sifat-sifat yang diinginkan perlu

dilakukan dibeberapa lokasi, dengan demikian pengulangan penanaman hasil hibrid perlu

dilakukan pada tapak dan lokasi yang berbeda.

Page 69: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

| Bunga Rampai | 57- 64

62

Daftar Pustaka

Agrawal, R. L., 1988. Fundamentals of Plant Breeding and Hybrid Seed Production. Science Publishers, USA.

Barbour, C. R., Potts, B. M., Vaillancourt, R. E., Tibbits, W. N. and Wiltshire, R. J. E., 2002. Gene flow between introduced and native Eucalyptus species. New Forests 23: 171 – 191.

Butcher, P. A., 1994. Genetic diversity in Melaleuca alternifolia: Implications for breeding to improve production of Australian tea tree oil. PhD Thesis, The Australian National University, Canberra.

Butcher, P. A., Byrne, M. and Moran, G. F., 1995. Variation within and among the chloroplast genomes of Melaleuca alternifolia and M. linariifolia (Myrtaceae). Plant Systematics and Evolution 194: 69 – 81.

Dungey, H. S., 1999. Interspecific hybridisation in forestry – a review. Technical Report No. 21, Cooperative Research Centre for Sustainable Production Forestry. Australia.

Grant, V., 1981. Plant Speciation 2nd edition. Columbia University Press, New York.

Griffin, A. R. and Cotterill, P. P., 1988. Genetic variation in growth of outcrossed, selfed and open pollinated progenies of Eucalyptus regnans and some implications for breeding strategy. Silvae Genetica 37:124 – 131.

Griffin, A. R., Burgess, I. P. and Wolf, L., 1988. Patterns of natural and manipulated hybridisation in the genus Eucalypts L’Herit – a review. Australian Journal of Botany 36: 41 – 66.

Griffin, A. R., Harbard, J. L., Centurion, C. and Santini, P., 2000. Breeding Eucalyptus grandis x globulus and other inter-specific hybrids with high inviability-problem analysis and experience with Shell Forestry project in Uruguay and Chile. In: Hybrid Breeding and Genetics of Forest Trees, eds H.S. Dungey., M.J. Dieters and N.G. Nikles. Proceedings of QFRI/CRC-SPF Symposium, Noosa, Queensland, Australia. Department of Primary Industries, Brisbane, Australia, pp. 1 – 13.

Hardiyanto, E. B., 2004. Silvikultur dan Pemuliaan Acacia mangium. In: Hardiyanto, EB and Arisman, H (Eds). Pembangunan Hutan Tanaman Acacia mangium. Pengalaman di PT Musi Hutan Persada, Sumatera Selatan. PT Musi Huta Persada, hal. 207 – 281.

Moran, G. F., Butcher, P. A., Devey, M. E. and Thamarus, K., 2000. Genetic mapping and application in hybrid breeding. In: Hybrid Breeding and Genetics of Forest Trees, eds H.S. Dungey., M.J. Dieters and N.G. Nikles. Proceedings of QFRI/CRC-SPF Symposium, Noosa, Queensland, Australia. Department of Primary Industries, Brisbane, Australia, pp. 177 – 183.

Nikles, D. G. and Griffin, A. R., 1992. Breeding hybrids of forest trees: definitions, theory, some practical examples, and guidelines on strategy with tropical Acacias. In: Proceedings of an International Workshop on Breeding Technologies for Tropical Acacias, eds L. T. Carron and K. M. Aken. ACIAR Proceeding No. 37. ACIAR, Canberra, Australia, pp. 101 - 109.

Nirsatmanto, A., Leksono B., Sunarti, S., Setyaji, T., Nurrohmah, S.H., Surip, Yuliastuti, D.W., Margiyanti, Sumaryana. 2009. Populasi Pemuliaan Jenis Unggulan untuk Kayu Pulp.

Page 70: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

PENGEMBANGAN KLON DAN HIBRIDISASI Liliana Baskorowati

63

Laporan kegiatan 2009 buku 2. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta (tidak diterbitkan)

Potts, B. M., Barbour, R. C. and Hingston, A.B., 2001. Genetic pollution from farm forestry using eucalypt species and hybrids. RIRDC Publication No 01/114. RIRDC, Canberra.

Stokoe, R. L., Shepherd, M., Lee, D. J., Nikels, D. G. and Henry, R. J., 2001. Natural inter-subgeneric hybridisation between Eucalyptus acmenoides Schauer and Eucalyptus cloeziana F. Muell (Myrtaceae) in Southeast Queensland. Annals of Botany 88: 563 – 670.

Verryn, S. D., 2000. Eucalyptus hybrid breeding in South Africa. In: Hybrid Breeding and Genetics of Forest Trees, eds H. S. Dungey., M. J. Dieters and N. G. Nikles. Proceedings of QFRI/CRC-SPF Symposium, Noosa, Queensland, Australia. Department of Primary Industries, Brisbane, Australia, pp. 191 – 199.

Wright, J. W., 1976. Introduction to Forest Genetics. Academic Press, New York.

Zobel, B. and Talbert, J., 1984. Applied Forest Tree Improvement. John Wiley and Sons, New York.

Zobel, B., 1993. Clonal forestry in Eucalyptus. In: Ajuha, MR and Libby, WJ (Eds). Clonal Forestry II. Springer-Verlag, Berlin, pp. 139 – 149.

Page 71: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

| Bunga Rampai | 57- 64

64

Page 72: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

65

PEMULIAAN UNTUK RESISTENSI HAMA DAN PENYAKIT

Liliana Baskorowati, Anto Rimbawanto dan Nur Hidayati

Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

ABSTRAK

Hama dan penyakit merupakan salah satu ancaman dalam pembangunan hutan tanaman. Salah satu cara untuk mendapatkan pohon-pohon unggul yang tahan terhadap hama maupun pemyakit adalah dengan melakukan pemilihan terhadap pohon-pohon induk yang tahan terhadap hama atau penyakit tersebut. Dikarenakan ketahanan terhadap suatu penyakit diwariskan, maka upaya pencarian pohon-pohon unggul yang resisten terhadap hama dan penyakit dilakukan. Sejauh ini species yang dikembangkan untuk ketahanan terhadap hama dan penyakit adalah jenis sengon (Falcataria moluccana) dan akasia (Acacia mangium).

Pendahuluan

Sasaran kegiatan pemuliaan untuk resistensi terhadap hama dan penyakit adalah

mengembangkan family atau provenan yang mempunyai mekanisme ketahanan terhadap hama dan

penyakit. Tanaman dapat terhindar dari serangan penyakit melalui beberapa cara yaitu: 1) Escape,

dimana tanaman tidak diserang penyakit karena tidak adanya patogen dan vektor pada area

tersebut, atau karena suatu tanaman mempunyai struktur morfologi yang tidak mendukung adanya

infeksi maupun karena hal teknis lain yang menghindarkan atau mengurangi serangan penyakit.

Contohnya, tanaman yang rentan dapat terhindar atau sedikit terinfeksi bila daur hidupnya terhindar

dari penyakit; 2) Resistensi masuknya patogen ke dalam inang atau resistensi non spesifik dan

pasif; hal tersebut dapat disebabkan oleh karena adanya warna atau senyawa tertentu sehingga

patogen dicegah masuk ke tanaman inang maupun dikarenakan struktur tertentu yang dipunyai

tanaman seperti adanya lapisan lilin permukaan, lapisan kutikula dan adanya ramput-rambut;

3) Resistensi dalam menyebarkan patogen dalam inang melalui reaksi hipersensitif.

Adapun resistensi/ketahanan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit dapat

dikategorikan dalam tiga type yaitu:

1. Ketahanan non preferens. Ketahanan ini timbul dimana tanaman mempunyai sifat-sifat yang

tidak disukai oleh hama penyakit baik untuk dimakan, untuk meletakkan telur maupun sebagai

tempat berlindung. Ketahanan disini mencakup sifat-sifat morfologi dan struktur tanaman yang

tidak disukai hama penyakit.

2. Antibiosis. Tanaman dengan ketahanan antibiosis memberikan pengaruh yang merugikan pada

pertumbuhan dan perkembangan hama serta reproduksinya. Ketahanan ini terbagi dalam

beberapa type yaitu: ketahanan tanaman yang disebabkan oleh struktur fisik tanaman seperti

Page 73: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

| Bunga Rampai | 65 - 78

66

adanya pengerasan jaringan atau kandungan silika yang tinggi, ketahanan biokimiawi

(kandungan zat tertentu) yang menghambat pertumbuhan dan perkembangan hama penyakit,

serta ketahanan tanman yang disebabkan oleh tidak adanya zat-zat makanan tertentu yang

diperlukan oleh hama penyakit.

3. Tolerans. Tanaman dengan tipe ketahanan yang tolerans meskipun ada serangan hama penyakit,

tanaman tidak kehilangan vigor dan hanya sedikit pengurangan hasil, atau akan cepat

mengalami regenerasi setelah serangan. Tipe ketahanan ini dikendalikan oleh gen-gen minor,

sehingga family atau provenan dengan tipe ketahanan tolerans ini akan tetap efektif dalam

jangka panjang pada lingkungan yang baik.

Adapun metode evaluasi untuk menentukan family atau provenan suatu jenis tanaman toleran

terhadap serangan hama dan penyakit adalah melaui uji resistensi pada species-species target,

sehingga akan ditemukan family atau provenan mana yang toleran dan dapat dikembangkan untuk

kegiatan selanjutnya.

Resistensi Sengon Terhadap Penyakit Karat Tumor

Pemuliaan untuk ketahanan penyakit memerlukan informasi dasar tentang pola pewarisan

ketahanan genetik tanaman terhadap penyakit, informasi mengenai tipe ketahanan, mekanisme

ketahanan, dan sumber ketahanan genetik yang diperlukan. Ketahanan genetik tanaman terhadap

penyakit dapat diwariskan sebagai sifat monogenik sederhana dengan gen-gen penentunya

mungkin dominan sebagian atau sempurna ataupun resesif (Allard, 1960 dalam Sutopo dan Saleh,

1992). Kemungkinan lainnya adalah terdapat gen-gen minor atau modifer yang ikut serta

bekerjasama dengan gen major dalam menentukan sifat ketahanan pada tanaman. Ketahanan

genetik tanaman mungkin pula bersifat kompleks dan dikendalikan oleh beberapa atau banyak gen

dan dikenal sebagai pola pewarisan oligogenik atau poligenik.

Tanaman menggunakan berbagai sistem untuk menghambat, membatasi atau mencegah

pertumbuhan parasit. Semua tanaman mempunyai potensi secara genetik untuk mekanisme

resistensi terhadap jamur, bakteri, virus dan nematoda patogen. Mekanisme tersebut pada tanaman

yang resisten cepat terjadi setelah patogen muncul, sehingga dapat menghambat atau mencegah

perkembangan patogen, sebaliknya pada tanaman yang rentan, mekanisme tersebut lebih lambat

terjadi sehingga patogen telah berkembang terlebih dahulu. Ada dua mekanisme pertahanan diri

yang dimilki oleh tanaman, yaitu i) sifat-sifat struktural pada tanaman yang berfungsi sebagai

penghalang fisik dan akan menghambat patogen untuk masuk dan menyebar di dalam tanaman, dan

Page 74: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

PEMULIAAN UNTUK RESISTENSI HAMA DAN PENYAKIT Liliana Baskorowati, Anto Rimbawanto dan Nur Hidayati

67

ii) respon biokimia yang berupa reaksi-reaksi kimia yang terjadi di dalam sel dan jaringan tanaman

sehingga patogen dapat mati atau terhambat pertumbuhannya.

Penyakit pada tanaman disebabkan oleh interaksi tiga faktor, yakni inang, penyakit dan

lingkungan. Epidemi penyakit timbul bilamana ketiga faktor diatas berada dalam kondisi yang

sesuai bagi perkembangan penyakit. Oleh sebab itu cara untuk mengendalikan penyakit adalah

dengan memanipulasi salah satu atau lebih faktor-faktor tersebut sehingga tercapai kondisi yang

merugikan bagi pertumbuhan penyakit dan mencegah terjadinya infeksi oleh penyakit.

Tumbuhan inang dapat dimanipulasi dengan cara meningkatkan resistensi terhadap penyakit.

Hal ini dapat dicapai dengan cara pemuliaan melalui seleksi tanaman yang secara genetik resisten

terhadap penyakit tertentu. Resistensi juga dapat dicapai dengan memberikan dosis fungisida yang

dapat mencegah infeksi pada tanaman.

Lingkungan dapat dimodifikasi agar diperoleh kondisi yang optimal bagi pertumbuhan

tanaman. Misalnya dengan memperbaiki drainase tanah, mengurangi kerapatan tanaman atau

memberikan pupuk yang tepat. Tanaman yang tumbuh dalam kondisi yang tertekan umumnya akan

lebih rentan terhadap infeksi penyakit. Dari sisi genetik, serangan penyakit karat tumor pada

tanaman sengon dapat disebabkan oleh ketidak mampuan tanaman beradaptasi dengan perubahan

lingkungan sebagai akibat dari rendahnya keragaman genetik tanaman. Berdasarkan penelitian

tentang keragaman genetik tanaman sengon di Jawa menggunakan penanda molekuler RAPD

diperoleh hasil bahwa tegakan sengon yang ada di Jawa berasal dari satu populasi di Biak.

Keragaman genetik populasi ini lebih rendah daripada populasi Wamena dan Halmahera

(Suharyanto et al., 2002). Dalam jangka panjang upaya penanggulangan serangan hama dan

penyakit pada sengon dapat diatasi dengan mengintrodusir sumber genetik baru di luar populasi

yang telah ada sehingga keragaman genetik sengon dapat ditingkatkan. Introduksi sumber genetik

baru juga dapat digunakan untuk menguji resistensi terhadap hama dan penyakit.

Serangan karat tumor yang terjadi di plot uji keturunan sengon di Kediri dapat menjadi berkah

bila dapat diseleksi famili pohon yang resisten. Sejauh ini telah ada indikasi bahwa famili-famili

dari provenans tertentu resisten terhadap penyakit ini. Pemuliaan untuk resistensi karat tumor yang

kini sedang berlangsung menerapkan parameter pengamatan karat tumor, seperti letak, warna,

bentuk dan jumlah tumor yang ditemukan pada pohon. Keuntungan menggunakan varietas resisten

dalam pengendalian hama/penyakit antara lain: (1) mengendalikan populasi hama/penyakit tetap di

bawah ambang kerusakan dalam jangka panjang, (2) tidak berdampak negative, (3) tidak

membutuhkan alat dan teknik aplikasi tertentu, dan (4) tidak membutuhkan biaya tambahan

Page 75: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

| Bunga Rampai | 65 - 78

68

(Wiryadiputra, 1996). Namun demikian penggunaan varietas resisten tidak selamanya efektif,

terutama apabila menggunakan varietas dengan ketahanan tunggal (ketahanan vertikal) secara terus

menerus (Liu et al., 2000; Witcombe and Hash, 2000).

Suatu varietas disebut tahan apabila : (1) memiliki sifat-sifat yang memungkinkan tanaman itu

menghindar, atau pulih kembali dari serangan penyakit pada keadaan yang akan mengakibatkan

kerusakan pada varietas lain yang tidak tahan, (2) memiliki sifat-sifat genetik yang dapat

mengurangi tingkat kerusakan yang disebabkan oleh serangan penyakit, (3) memiliki sekumpulan

sifat yang dapat diwariskan, yang dapat mengurangi kemungkinan penyakit untuk menggunakan

tanaman tersebut sebagai inang, atau (4) mampu menghasilkan produk yang lebih banyak dan lebih

baik dibandingkan dengan varietas lain pada tingkat populasi penyakit yang sama (Sumarno, 1992).

Terkait dengan penyakit karat tumor, penelitian untuk mengendalikan penyakit ini saat ini

tengah berlangsung, baik dari aspek penyakit maupun aspek genetiknya. Pada tahap awal

pendekatan seleksi resistensi akan memanfaatkan genotipe yang resisten untuk diperbanyak secara

vegetatif. Hasil perbanyakkan ini kemudian akan diuji ketahanannya melalui inokulasi. Apabila

resistensi ditimbulkan oleh mekanisme genetik dalam tanaman, maka tanaman hasil perbanyakkan

vegetatif ini akan terbebas dari serangan penyakit, dan selanjutnya dapat dikembangkan sebagai

klon resisten.

Pemahaman tentang keragaman genetik suatu jenis tanaman merupakan salah satu unsur utama

dalam memanfaatkan sumber genetik tanaman. Keragaman genetik merupakan modal dasar bagi

suatu jenis tanaman untuk tumbuh, berkembang dan bertahan hidup dari generasi ke generasi.

Kemampuan tanaman beradaptasi dengan perubahan lingkungan tempat tumbuh ditentukan oleh

potensi keragaman genetik yang dimiliki oleh tanaman. Semakin tinggi keragaman genetiknya

semakin besar peluang tanaman untuk beradaptasi dengan lingkungannya (Finkeldey dan Hattemer,

2007). Kemampuan beradaptasi terhadap perubahan lingkungan merupakan indikasi kemampuan

jenis tersebut untuk bertahan hidup. Keragaman dalam kemampuan beradaptasi itu merupakan

salah satu fenomena yang ditemukan pada hampir semua jenis tanaman, baik pada tingkatan antara

populasi maupun di dalam populasi. Kekuatan-kekuatan evolusi yang mempengaruhi keragaman

tersebut antara lain adalah: seleksi alam, pergeseran genetik (genetic drift), perpindahan gen (gen

flow), dan mutasi.

Proses adaptasi terhadap perubahan lingkungan dapat terjadi pada tataran individu jenis atau

disebut adaptasi fisiologis dan tataran populasi atau adaptasi evolusi (Schlichting, 1986). Adaptasi

fisiologis adalah reaksi suatu organisme terhadap perubahan lingkungan untuk bertahan hidup dan

Page 76: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

PEMULIAAN UNTUK RESISTENSI HAMA DAN PENYAKIT Liliana Baskorowati, Anto Rimbawanto dan Nur Hidayati

69

melanjutkan proses reproduksi. Organisme dengan genotipe yang berbeda mempunyai kemampuan

beradaptasi yang berbeda pula. Dengan kata lain adaptasi fisiologis dipengaruhi oleh faktor

genetik. Sekalipun demikian adaptasi fisiologis tidak menyebabkan perubahan dalam faktor

pewarisan sifat dan karenanya berbeda dari proses evolusi. Adaptasi evolusi adalah respon populasi

terhadap perubahan lingkungan. Keragaman genetik merupakan prasyarat bagi kemampuan

adaptasi evolusi. Oleh sebab itu kemampuan beradaptasi evolusi suatu populasi dapat diteliti

dengan melakukan analisa terhadap struktur genetik populasi tersebut (Finkeldey, 1993).

Keragaman genetik yang rendah meningkatkan resiko serangan, lebih-lebih karena pemuliaan

pohon lebih menekankan pada peningkatan riap dan bukan pada ketahanan terhadap

hama/penyakit. Pola pertanaman secara monokultur juga meningkatkan kerentanan tanaman

terhadap serangan hama/penyakit. Alasan yang mendasari pemikiran tersebut antara lain adalah:

• Tersedianya pohon inang dalam jumlah besar, khususnya bila pohon2 tersebut berada dalam

kondisi yang sesuai untuk perkembangan hama/penyakit.

• Tajuk pohon yang saling bersentuhan memudahkan penularan.

• Pertumbuhan pohon di tapak yang tidak optimal menyebabkan peluang terjadinya serangan.

• Ketiadaan sumber pangan lainnya bagi hama/penyakit menyebabkan tanaman menjadi rentan.

Program pemuliaan sengon telah dimulai oleh BBPBPTH sejak tahun 1996 dengan

membangun uji keturunan di KPH Kedu Utara (BKPH Candiroto), dengan menguji 24 famili yang

berasal dari 6 provenansi (3 dari Jawa, 2 dari Papua dan 1 dari Maluku). Dikarenakan adanya

gangguan dari luar yang mengancam integritas kebun uji tersebut maka pada tahun 2007 dibangun

kembali kebun benih uji keturunan di KPH Kediri dengan menggunakan 80 famili dari 4

provenansi. Namun pada bulan Maret 2008 kebun benih uji keturunan tersebut diserang oleh

penyakit karat tumor. Sebagai kelanjutan dari program pemuliaan sengon, maka plot kebun benih

uji keturunan dibangun juga di Cikampek pada tahun 2008 ini. Plot uji keturunan tersebut

selanjutnya difungsikan sebagai plot seleksi ketahanan terhadap karat tumor.

Pada awal program pemuliaan sengon dilaksanakan, ancaman yang dihadapi tanaman sengon

pada umumnya adalah hama penggerek batang (Xystrocera festiva). Sekalipun demikian serangan

hama ini relatif masih terbatas dan tidak menimbulkan epidemi serangan yang luas. Oleh sebab itu

program pemuliaan sengon pada waktu itu difokuskan pada peningkatan volume kayu. Hal ini

sejalan dengan kenyataan bahwa pohon sengon pada umumnya mempunyai bentuk batang yang

bengkok, dan diameter kecil. Seleksi uji keturunan ditujukan untuk mencari individu atau famili

pohon yang mempunyai pertumbuhan tinggi, diameter dan bentuk batang yang terbaik. Dalam

Page 77: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

| Bunga Rampai | 65 - 78

70

perkembangan terakhir ini sebagai akibat serangan penyakit karat tumor (gall rust), maka fokus

pemuliaan sengon perlu memprioritaskan seleksi untuk ketahanan penyakit karat tumor. Secara

kebetulan plot uji keturunan yang dibangun oleh Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan

Pemuliaan Tanaman Hutan pada tahun 2007 di Kediri telah diserang karat tumor, dan saat ini

pengamatan dan pengukuran tengah dilakukan di plot tersebut untuk mencari individu pohon atau

sumber provenans yang resisten terhadap karat tumor.

Penelitian yang sudah dilakukan oleh BBPBPTH adalah dengan melakukan pembuatan plot uji

resistensi sengon terhadap serangan karat tumor di Kediri pada tahun 2009. Hasil inventarisasi awal

pada umur tanaman 1 tahun menunjukkan bahwa beberapa famili dari Papua yaitu Waga-waga,

Kuaulu; Muai,Wamena; Hubikosi dan Muliama Bawah, Asologoima menampakkan toleransi tinggi

terhadap serangan jamur penyakit karat tumor.

Sedangkan inventarisasi lanjutan yaitu pada saat usia tanaman 3 tahun, menunjukkan bahwa

intensitas serangan terbesar terdapat pada family-family yang berasal dari Jawa yaitu Candiroto-

Jawa Tengah, Kediri dan Pacitan-Jawa Timur (IS= 29.94-29.32); sedangkan family dari Wamena

yaitu Waga-Waga, Muai dan Hubikosi menunjukkan intensitas serangan terendah (IS= 4.48-1.85;

LS=30.6-8.3).

Adapun dari analisis parameter genetiknya menunjukkan nilai heritabilitas intensitas serangan

sebesar 0.65, yang menunjukkan bahwa faktor genetik lebih dominan mempengaruhi intensitas

serangan dibandingkan dengan faktor lingkungan.

Tabel 1. Rerata LS (luas serangan) dan IS (intensitas serangan) dari beberapa family uji pada uji resistensi Sengon di Kediri

Family Provenan Rerata LS Rerata IS Keterangan 1 Pacitan, Jatim 94.5 29.32 Serangan sangat

luas dg intensitas serangan sedang

12 Kediri, Jatim 100 29.63 27 Candiroto, Jateng 86.1 29.94 76 Waga-Waga, Wamena 30.6 4.48 Serangan biasa

dengan intensitas serangan rendah

79 Muai, Wamena 30.6 3.86

80 Hubikosi, Wamena 8.3 1.85 Serangan jaramg terjadi, intensitas serangan rendah

Page 78: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

PEMULIAAN UNTUK RESISTENSI HAMA DAN PENYAKIT Liliana Baskorowati, Anto Rimbawanto dan Nur Hidayati

71

Gambar 1. Tegakan plot uji resistensi sengon terhadap karat tumor di Kediri

Gambar 2. Sengon dari Wamena dengan nilai rerata intensitas serangan karat tumor terendah

Page 79: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

| Bunga Rampai | 65 - 78

72

Resistensi Acacia Mangium Terhadap Penyakit Busuk Akar

Penyakit busuk akar merah merupakan penyakit yang dapat merugikan meskipun berada dalam

keadaan endemik. Jamur penyebab penyakit ini menginfeksi pada jaringan akar tanaman yang

kemudian tumbuh dan berkembang di bawah permukaan tanah. Patogen ini mempunyai

kemampuan menyerang banyak jenis tumbuhan dan bagian tumbuhan dari umur yang berbeda.

Hampir semua penyakit akar menunjukkan gejala yang serupa pada pohon yang diserang termasuk

mati pucuk dan pertumbuhan terhambat. Umumnya kondisi tajuk menurun dan riap pertumbuhan

yang terhambat. Daun pohon yang terserang berubah menjadi pucat, ukuran mengecil dan jarang

karena berkurangnya pasokan air dan mineral dari akar. Tunas muda akan layu dan pohon yang

telah terserang berat akan menggugurkan daun (Kile, 2000).

Tanda dari tanaman A. mangium yang terserang penyakit busuk akar ini ditunjukkan dengan

akar tanaman dilapisi oleh rhizomorf berwarna coklat kemerahan yang akan nampak jelas bila

tanah yang menempel dibersihkan. Miselium berwarna putih ditemukan pada bagian dalam akar

yang terinfeksi dan mempunyai bau yang spesifik. Pohon yang terserang jamur Ganoderma pada

tingkat serangan lanjut, tubuh buah jamur akan muncul pada pangkal batang tanaman A. mangium

(Lee, 2000; Old et al., 1996).

Penyakit busuk akar merah dikenal sebagai penyakit yang merugikan tanaman perkebunan dan

tanaman kehutanan. Patogen penyebab penyakit ini mempunyai kisaran inang yang luas. Tanaman

perkebunan penting yang dilaporkan rentan terhadap serangan patogen penyebab penyakit busuk

akar ini antara lain karet, kelapa sawit (Semangun, 2000), dan teh (Arifin et al., 2000). Di bidang

kehutanan, jamur patogen ini menyerang beragai macam jenis pohon pada berbagai tipe

pertanaman hutan (Widyastuti, 2000). Faktor yang mempengaruhi perkembangan penyakit busuk

akar merah adalah potensi sumber inokulum (Lee, 2000). Inokulum ini tumbuh dan menyebar di

bawah permukaan tanah. Ketika hutan hujan tropis ditebang untuk ditanami, maka inokulumnya

akan bertahan pada akar dan stump pohon yang mati. Inokulum inilah yang banyak menyerang

tanaman di kemudian hari (Old et al., 2000). Faktor lain yang berpengaruh terhadap perkembangan

penyakit busuk akar merah adalah patogenesitas jamur Ganoderma dan kerentanan tanaman inang

(Lee, 2000) serta keberadaan organisme antagonis (Arifin et al., 2000)

Seperti halnya penyakit akar yang lain, penyakit busuk akar merah ini menyebar dari satu

tanaman ke tanaman lain melalui kontak antara akar-akar yang sehat dengan jaringan yang sakit di

dalam tanah. Infeksi oleh Ganoderma juga terjadi melalui jaringan yang luka atau akar-akar yang

mati ( Arifin et al., 2000)

Page 80: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

PEMULIAAN UNTUK RESISTENSI HAMA DAN PENYAKIT Liliana Baskorowati, Anto Rimbawanto dan Nur Hidayati

73

Pohon-pohon yang terserang jamur Ganoderma pada tegakan hutan cenderung berkelompok

secara tersebar dan dalam lingkaran sebagai akibat dari penyebaran jamur dari sumber infeksi.

Pohon dengan tingkat serangan lanjut berada di bagian tengah dari pusat infeksi dan pohon dengan

serangan ringan berada di pinggir luar. Lingkaran ini akan meluas seiring dengan menyebarnya

jamur ke pohon-pohon sehat di sekitarnya (Kile, 2000). Hendrata (2003) juga melaporkan bahwa

pola serangan Ganoderma sp penyebab penyakit busuk akar merah ini menunjukkan pola serangan

terpusat, artinya dengan terlebih dahulu diawali oleh satu atau sekelompok pohon yang terserang

berat sebagai pusat penyebarannya.

Survei untuk mengetahui intensitas serangan penyakit busuk akar dilakukan dengan

menggabungkan tanda-tanda di atas permukaan tanah dan pemeriksaan infeksi akar. Irianto et al.

(2006) melakukan survei pada beberapa lokasi di Indonesia dengan mencatat serangan penyakit

busuk akar ini pada dua jalur tanaman mangium, membiarkan tiga jalur berikutnya dan mengulangi

lagi pengamatan pada dua jalur yang berdampingan hingga mencapai 40% dari blok yang diamati.

Misalnya di Kalimantan Timur pengamatan dilakukan terhadap 200 pohon atau 40% dari 500

pohon yang ada. Tanah di sekeliling akar digali dan diperiksa tanda-tanda busuk akar merah pada

pohon tegak yang sudah mati, tampilan daun yang menguning, hilangnya daun atau badan buah

pada batang. Pohon-pohon yang terserang jamur dan pohon yang hilang kemudian dicatat. Pohon

yang dihilang diasumsikan karena terserang busuk akar dan jumlah pohon dari kedua kategori

tersebut dijumlahkan sebagai persentase. Selama survei juga dilakukan pengamatan/pencatatan

terhadap pola infeksi (ukuran pusat infeksi). Meskipun metode survei ini membutuhkan waktu

lama, namun metode ini menjamin ketepatan tingkat serangan patogen penyebab penyakit busuk

akar.

Salah satu ancaman yang cukup mengkhawatirkan dalam pembangunan hutan tanaman

A. mangium adalah adanya serangan hama dan penyakit. Berbeda dengan hama yang tidak

memberikan gangguan yang berarti pada beberapa kasus di areal HTI maupun hutan rakyat,

serangan karena penyakit memberikan potensi ancaman dan dampak buruk yang lebih besar.

Penyakit busuk hati (heart root) dan busuk akar (root rot) merupakan penyakit yang cukup

berbahaya menyerang tanaman A. mangium di Indonesia. Saat ini sedang dilakukan penelitian oleh

BBPBPTH untuk mengidentifikasi jamur potensial penyebab heart root melalui analisis molekuler.

Sementara itu untuk penelitian root rot, BBPBPTH sedang melakukan identifikasi pola

serangan, inventarisasi dan koleksi klon-klon yang cenderung memiliki tingkat resistensi yang

tinggi dari serangan jamur Ganoderma. Saat ini juga sedang dilakukan persiapan inokulasi jamur

Page 81: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

| Bunga Rampai | 65 - 78

74

Ganoderma untuk mengetahui respon resistensi beberapa klon A. mangium yang dikoleksi dari

kebun benih terhadap root rot.

Penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh Hidayati (2004) di kebun benih mangium generasi

pertama (F-1) di Wonogiri, mulai nampak adanya serangan jamur Ganoderma dengan intensitas

serangan yang cukup tinggi. Serangan jamur Ganoderma pada bulan Januari tahun 2003 sebesar

2,7% dan meningkat pada bulan Februari tahun 2003 berikutnya menjadi 7,2%. Inventarisasi

tanaman mangium yang terserang penyakit busuk akar ini telah dilakukan sejak tahun 2003 sampai

sekarang dan intensitas serangan penyakit ini semakin meningkat tiap tahunnya (Hidayati, 2006).

Respon masing-masing famili terhadap serangan jamur Ganoderma pada kebun benih mangium ini

berbeda-beda (Hendrata, 2003). Ito et al. (2005) juga melaporkan bahwa kematian mangium

pada kebun benih generasi pertama di Wonogiri Jawa Tengah ini di duga kuat karena serangan

jamur Ganoderma penyebab penyakit busuk akar dan serangannya bervariasi antara provenans dan

famili. Penyakit busuk akar ini menyerang tanaman dari semua provenans walaupun tidak semua

nomer famili dalam kebun benih ini terserang penyakit (Irianto et al., 2005).

Senyawa Polifenol bisa ditemukan pada tanaman-tanaman tingkat tinggi (Haslam, 1988) dan

mempunyai kemampuan melindungi jaringan tanaman dari pengaruh lingkungan luar termasuk

antimikrobia (Scalbert, 1991; Mila et al., 1996) dan antioksidan (Hagerman et al., 1998). Di dalam

species tanaman berkayu senyawa polifenol terakumulasi di dalam kulit batang, daun dan bagian

empulur (heart wood). Ekstrak dari kulit batang dan bagian empulur dari beberapa species tanaman

berkayu mempunyai aktivitas biologi yang kuat seperti aktivitas antioksidan (Chang et al., 2001)

dan aktivitas antifungal (Kishino et al., 1995). Hasil penelitian Barry et al. (2005) melaporkan

bahwa zat-zat ekstraktif yang berasal dari bagian empulur kayu tanaman mangium kemungkinan

berpengaruh terhadap kerentanannya terhadap infeksi jamur penyebab penyakit busuk hati

meskipun masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk species-species akasia.

Flavon, flavonoid, dan flavonol ketiganya diketahui telah disintesis oleh tanaman dalam

responnya terhadap infeksi mikroba sehingga tidak mengherankan kalau mereka efektif secara in

vitro terhadap sejumlah mikroorganisme. Aktivitas mereka kemungkinan disebabkan oleh

kemampuannya untuk membentuk ikatan kompleks dengan protein ekstraseluler yang terlarut, dan

dengan dinding sel (Naim, 2004). Senyawa flavonoid termasuk golongan senyawa fenol

merupakan senyawa dominan pada bagian empulur kayu A. mangium dan A. auriculiformis

diketahui menunjukkan aktivitas antifungal. Kadar senyawa flavonoid ini pada auriculiformis

mempunyai konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan mangium. Kadar senyawa yang

Page 82: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

PEMULIAAN UNTUK RESISTENSI HAMA DAN PENYAKIT Liliana Baskorowati, Anto Rimbawanto dan Nur Hidayati

75

lebih tinggi diduga berpengaruh pada ketahanan tanaman terhadap gangguan penyakit busuk hati

(Mihara et al., 2005).

Peta sebaran serangan jamur Ganoderma pada A. mangium dan A. auriculiformis di kebun

benih generasi I di Wonogiri, Jawa Tengah memperlihatkan bahwa serangan jamur Ganoderma,

tersebar merata. Pola serangan yang khas dengan membentuk rumpang-rumpang ini mencirikan

gejala serangan penyakit akar karena adanya kontak akar (Lee, 1997). Pola penyebaran penyakit

akar yang terjadi pada kebun benih A. mangium dan A. auriculiformis ini merupakan pola

penyebaran terpusat yang berawal dari adanya pusat serangan kemudian menyebar ke pohon di

sekitarnya dengan perantara kontak akar atau lubang alami. Akar tanaman secara alami akan

membentuk dua arah perkembangan. Akar utama yang tumbuh ke bawah dan akar yang tumbuh

secara lateral untuk memperluas daerah sumber makanan. Menurut Lee (2000) kecepatan

penyebaran penyakit akar merah dipengaruhi oleh : 1) kecepatan pertumbuhan akar, 2) luas dari

sistem perakaran tiap pohon, 3) luas daerah kontak akar antara tanaman yang sehat dengan yang

terinfeksi, 4) kehadiran, kelimpahan, dan distribusi dari inokulum di lokasi pertanaman.

Prosentase rata-rata serangan penyakit pada tanaman A. mangium bulan Desember 2008

sebesar 32 %. Prosentase serangan tertinggi pada provenans No. 5 (Arufi Village WP, Papua

Nugini) sebesar 47% dan Prosentase serangan terendah pada provenans No. 1 dan provenan No.

14 (Dimisisi WP, Papua Nugini dan Poscoe River, Australia) sebesar 19%. Sedangkan pada

tanaman A. auriculiformis prosentase rata-rata serangan penyakit pada bulan Desember 2009

sebesar 33,21%. Prosentase serangan tertinggi pada provenans No. 2 (Lower Poscoe River,

Queensland) sebesar 62 % dan Prosentase serangan terendah pada provenans No. 14 (Belamuk

WP,PNG ) sebesar 0%. Serangan penyakit busuk akar di kebun benih F-1 Wonogiri ini baru

menunjukkan gejala setelah tanaman berumur 9 – 10 tahun. Gejala yang terlihat pada tanaman

yang terkena penyakit busuk akar ini adalah daun-daun menguning, layu dan kemudian gugur

sehingga pohon menjadi gundul.

Gambar 3. Akar tanaman A. mangium yang

terinfeksi penyakit busuk akar

Gambar 4. Badan buah Jamur Ganoderma pada pangkal batang tanaman A. mangium

Page 83: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

| Bunga Rampai | 65 - 78

76

Gambar 5. Badan buah Jamur Ganoderma

pada pohon A. auriculiformis Gambar 6. Tanaman A. auriculiformis

yang telah mati karena penyakit busuk akar

Kesimpulan

Penelitian terhadap ketahanan serangan hama dan penyakit pada tanaman-tanaman kehutanan

terus dilakukan. Strategi untuk mengurangi dampak serangan hama penyakit yang sudah dilakukan

oleh BBPBTH selama ini adalah: i). dengan melakukan pengamatan, pendataan dampak serangan

baik intensitas serangan maupun luas serangan sehingga upaya penyelamatan tegakan berupa

penebangan individu-individu pohon dengan intensitas serangan yang hebat bisa dilakukan;

ii) Melakukan seleksi individu-individu yang resisten terhadap serangan hama dan penyakit

tertentu. Pengkoleksian jenis khususnya sengon dari berbagai populasi dengan variasi genetik yang

tinggi terus dilakukan, yang diharapkan dari variasi genetik yang luas tersebut akan didapatkan

individu-individu yang resisten.

Daftar Pustaka

Ariffin, D., Idris A.S., & Singh G. 2000. Status of Ganoderma in Oil Palm. Dalam J.Flood, P.D. Bridge & M. Holderness (eds.) Ganoderma disease of Perenial Crops. CAB International 2000.

Barry, K.M., Mihara, R., Davies, N.W., Mitsunaga, T., dan Mohammed, C.L. 2005. Polyphenols in Acacia mangium and Acacia auriculiformis Heartwood with Reference to Heart Rot Susceptibility. Original Article. Journal Wood Science. In press.

Chang, S.T., Wu, J.H., Wang, S.Y., Kang, P.L., Yang, N.S., dan Shyur, L.F. 2001. Antioxidant Activity of Extracts from Acacia Confuse Bark and Heartwood. Journal Agriculture Food Chemistry. 49 : 3420-3424.

Finkeledey, R. and Hattemer, H.H. 2007. Tropical Forest Genetics. Springer Verlag Berlin Heidelberg.

Page 84: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

PEMULIAAN UNTUK RESISTENSI HAMA DAN PENYAKIT Liliana Baskorowati, Anto Rimbawanto dan Nur Hidayati

77

Hagerman, A.F., Riedl, K.M., Jones, A., Sovik,K.N., Ritchard, N.T., Hartzfeld, P.W., dan Riechel, T.L. 1988. High Molecular Weight Plant Polyphenols (tannins) as Biological Antioxidant. Journal Agriculture Food Chemistry 46 : 1887-1892.

Haslam, E., 1988. Plant Polyphenols (syn. Vegetable Tannins) and Chemical Defence- a Reappraisal. Journal Chemical. Ecology. 14 : 1789-1806.

Hendrata, Y., 2003. Pola Serangan Jamur Akar Merah (Ganoderma sp.) pada Kebun Benih Mangium (Acacia mangium Willd.) di Wonogiri-Jawa Tengah. Skripsi Mahasiswa S-1. Faklutas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Hidayati, N. 2004. Pengamatan Awal Serangan Penyakit Akar Merah pada Kebun Benih Semai Acacia mangium Generasi Pertama di Wonogiri, Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol. 1 No. 2, Agustus 2004.

Irianto, R.S.B., Barry, K.M., Hidayati, N., Ito, S., Fiani,A., Rimbawanto, A., dan Mohammed, C.L. 2006. Incidence, Spatial Analysis and Genetic Trials of Root Rot of Acacia mangium in Indonesia. Journal of Tropical Forest Science. Vol. 18 No.3 July 2006 pp : 157-165

Ito, S., Fiani, A., Hidayati, N., Yamaguchi, K. 2005. Occurrence of root rot disease on Acacia mangium caused by Ganoderma spp. In Indonesia. The International Forestry Review. ISSN : 1465 5469. United Kingdom, 2005, v. 7(5) p. 390.

Kile, G.A., 2000. Woody Root Rot of Eucalypts. Disease and Pathogens of Eucalyptus. P.J. Keane, G.A. Kile, P. Poupard and B.N. Brown. Collingwood, Australia, CSIRO : 293-306.

Kishino, M., Ohi, H., dan Yamaguchi, A. 1995. Characteristics of Methanol Extractives from Chengal Wood and Their Antifungal Properties (in Japanese). Mokuzai Gakkaishi 41 : 444-447.

Lee, S.S. 2000. The Current Status of Root Diseases of Acacia mangium Willd. dalam Ganoderma Disease of Perennial Crops ( eds. J. Flood, R.D. Bridge & M. Holderness) CAB International 2000.

Liu, J., D. Liu, W. Tao, W. Li, S. Wang, P. Chen, and D. Gao, 2000. Molecular marker-facilitated pyramiding of different genes for powdery mildew resistance in wheat. Plant Breeding. 119 : 21-24.

Mihara, R., Barry, K.M., Mohammed, C.L., dan Mitsunaga, T. 2005. Comparison of Antifungal and Antioxidant Activities of Acacia mangium and A. auriculiformis Heartwood Extracts. Journal of Chemical Ecology, Vol.31, No. 4, p 789-804, April 2005.

Naim, R. 2004. Senyawa Antimikroba dari Tanaman. Kompas, 15 September 2004. http//www. Kompas.htm. Down load, 18 April 2007 jam 13.30.

Old, K.M., I.A. Hood dan Zi Q.Y.1996. Diseases of Tropical Acacias in Northern Queensland dalam K.M. Old. Lee S.S. dan J.K. Sharma (Eds). Diseases of Tropical Acacias. Proc. Of an International Workshop Held at Subanjeruji (South Sumatra) CIFOR, Jakarta.

Scalbert, A.1991. Antimicrobial Properties of Tannins. Phytochemistry 30 : 3875 – 3883

Schlichting, C.D. 1986. The evolution of phenotypic plasticity in plants. Ann.Rev. Ecol. and System. 17:667-693.

Semangun H., 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia. Gadjah Mada University Press.

Suharyanto, Rimbawanto, A. and Isoda, K. 2002. Genetic Diversity and Relationship Analysis on Paraserianthes falcataria Revealed by RAPD Marker. In A. Rimbawanto and M. Susanto

Page 85: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

| Bunga Rampai | 65 - 78

78

(eds.). Proceedings International Seminar “Advances in Genetic Improvement of Tropical Tree Species”. Centre for Forest Biotechnology and Tree Improvement. Yogyakarta. Indonesia.

Sumarno, 1992. Pemuliaan untuk ketahanan terhadap hama. Prosiding symposium Pemuliaan Tanaman I. Perhimpunan Pemuliaan Tanaman Indonesia, Komisariat Daerah Jawa Timur

Sutopo, L. dan N. Saleh, 1992. Perbaikan ketahanan genetik tanaman terhadap penyakit. Prosiding symposium Pemuliaan Tanaman I. Perhimpunan Pemuliaan Tanaman Indonesia, Komisariat Daerah Jawa Timur Syahri, N.T. 1991. Analisis kimia kayu dan ulit kayu jeungjing. Pusat Litbang Hasil Hutan. Laporan Hasil Penelitian (Tidak diterbitkan).

Widyastuti, S.M. 2001. Fitoaleksin dan Resistensi. Program Studi Bioteknologi. Program Pasca Sarjana. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Wiryadiputra, S., 1996. Resistance of Robusta coffea to coffee root lesion nematode, Pratylenchus coffeae. Pelitan Perkebunan. 12(3) : 137-148.

Witcombe, J.R. and C.T. Hash, 2000. Resistance gen deployment strategies in cereal hybrids using markerassisted mselection: Gene pyramiding, three-way hybrids, and synthetic parent population. Euphytica. 112 : 175-186.

Page 86: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

79

KULTUR JARINGAN TANAMAN HUTAN

Asri Insiana Putri, Toni Herawan dan Jayusman

Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

ABSTRAK Selama sepuluh tahun terakhir, sekitar 34 persen dari semua kegiatan bioteknologi di dunia dilaporkan terkait dengan perbanyakan tanaman hutan menggunakan kultur jaringan, Asia salah satu yang paling memberikan perhatian terhadap pengembangannya. Spesies tanaman hutan tropis khususnya jenis asli Indonesia yang mempunyai kerentanan terhadap tekanan lingkungan menjadi target penting perbanyakan kultur jaringan, di samping isu kelangkaan untuk menghadapi perubahan iklim yang diharapkan membentuk arah penelitian bioteknologi hutan dengan pendekatan baru. Penelitian kultur jaringan melalui organogenesis dan embryogenesis somatik yang telah dilakukan di Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH) Yogyakarta, mempunyai keunggulan pada jenis-jenis spesies yang diuji.

Pendahuluan.

Kultur jaringan tanaman hutan merupakan aplikasi bioteknologi hutan untuk membuat atau

memodifikasi produk untuk menunjang program-program pemuliaan tanaman hutan (Walter &

Menzies, 2010). Sesuai klasifikasi bioteknologi hutan, kultur jaringan merupakan teknik

perbanyakan vegetatif in vitro untuk memperbanyak klon unggul tanaman hutan dari genotip

terpilih, agar pemeliharaan galur klon dapat terjaga pada tempat/ruangan dan tenaga yang lebih

efisien ((Walter & Menzies, 2010; Bingkun et al., 2006; Xiao-hong et al., 1999).

Aplikasi kultur jaringan semakin berkembang, diantaranya dapat digunakan untuk

mengeliminasi penyakit melalui kultur meristem, memperbanyak tanaman yang bermasalah dengan

generatif melalui kultur embrio, memperbaiki sifat melalui kultur protoplast maupun modifikasi

gen, mutasi dan adaptasi gen in vitro. Kultur jaringan pohon melalui transformasi genetik ditujukan

untuk peningkatan performa batang dan kualitas kayu meliputi modifikasi biokimia karakteristik

kayu dan struktur batang, meningkatkan laju pertumbuhan dan perubahan bentuk batang,

memperoleh tumbuhan yang memiliki performa sistem perakaran dan kanopi pohon yang lebih

baik, tumbuhan yang resisten terhadap hama penyakit serta untuk mendapatkan tumbuhan yang

toleran terhadap tekanan lingkungan abiotik (Leeve et al., 1999; Tian et al., 1999; Wenck et al.,

1999; Han et al., 2000).

Sekitar 34 persen dari semua kegiatan bioteknologi di dunia dilaporkan terkait dengan

perbanyakan tanaman hutan menggunakan kultur jaringan (Chaix & Monteuuis, 2004, Wheeler,

2004). Selama 15 tahun terakhir, teknik kultur jaringan termasuk transformasi (gen teknologi)

Page 87: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

Bunga Rampai | 79 - 90

80

dan analisis genom telah dikembangkan untuk berbagai jenis pohon, termasuk pohon-pohon

berdaun lebar maupun berdaun jarum (Groover 2007; Henderson dan Walter, 2006; Merkle dan

Nairn, 2005; Giri, Shyamkumar dan Anjaneyulu, 2004; Campbell et al, 2003). Apabila

dibandingkan dengan negara lain di dunia, Asia merupakan negara yang paling peduli

mengembangkan perbanya kan tanaman melalui kultur jaringan. Jenis yang banyak dikembangkan

merupakan jenis lokal masing-masing negara.

Beberapa spesies hutan tanaman yang telah dilakukan perbanyakan dengan kultur jaringan pada

skala komersial di negara-negara berkembang ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Spesies hutan tanaman hasil kultur jaringan pada skala komersial di negara-negara

berkembang (FAO 2010).

Penelitian kultur jaringan di bidang kehutanan di Indonesia telah dilakukan di berbagai

institusi pemerintah maupun swasta. Tidak seperti halnya pada tanaman semusim, waktu

regenerasi tanaman hutan yang nisbi lama menjadi hambatan mendapatkan informasi

pertumbuhan satu spesies secara lengkap mulai dari planlet, bibit sampai dengan tanaman usia

produktif di lapangan. Tanaman hutan hasil kultur jaringan sampai dengan tingkat komersial pada

skala masal banyak di lakukan untuk hutan tanaman industri sebagai bahan baku pulp, terutama

jenis akasia dan eukaliptus. Isu kelangkaan dan penyelamatan materi genetik lebih menjadi topik

utama di lembaga-lembaga penelitian di Indonesia, terlebih dengan meningkatnya kepunahan

jenis-jenis tropis spesifik Indonesia. Penelitian kultur jaringan beberapa spesies pohon di berbagai

institusi di Indonesia ditunjukkan pada Tabel 2. Sedangkan status penelitian kultur jaringan di

Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH) pada keterangan

selanjutnya.

Negara Spesies India Tectona grandis, Anogeisus latifoglia,

Bamboo spp. Malaysia, Indonesia, Vietnam Acacia mangium, hybrid (A. mangium

x A. auriculiformis) Vietnam, India, Amerika selatan Eucalyptus spp. Chile Pinus radiata Indonesia, Brazil, Thailand, Malaysia

Tectona grandis

Page 88: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

|KULTUR JARINGAN TANAMAN HUTAN Asri Insiana Putri, Toni Herawan dan Jayusman

81

Tabel 2. Penelitian kultur jaringan beberapa spesies pohon di Indonesia.

Institusi Spesies 1. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

(Pusat Bioteknologi LIPI, www.biotek.lipi.go.id) Tectona grandis, Jatropha curcas L., Paraserianthes falcataria, Aquilaria malaccensis, Santalum album, Rollinia

2. Balai Penelitain Bioteknologi Perkebunan Indonesia (BPBPI) (BPBPI, www.ibriec.org)

Metroxylon sago Rottb.

3. Balai Besar BIOGEN (biogen.litbang.deptan.go.id)

Tectona grandis, Santalum album

4. SEAMEO BIOTROP (www.biotrop.org) Tectona grandis 5. PUSPITEK Serpong (www. puspitek.net) Tectona grandis, Aquilaria malacencis,

Girinop sp., Syzygium oleina, Arenga pinnata, Durio jibetinus, Hevea braziliensis

6. PT. Arara Abadi, APP (www.asiapulppaper.com) Acacia mangium, Eucalyptus pellita 7. PT. Kutai Timber Indonesia (www.kti.co.id) Shorea sp. 8. PT. BIOFOREST Indonesia (www.bio-

forest.com) Gmelina arborea, Acacia mangium, Paraserianthes falcataria

Pada awalnya penelitian kultur jaringan di Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan

Tanaman Hutan (BBPBPTH) menggunakan teknik organogenesis yang telah berlangsung sebelum

Balai ini terbentuk yaitu sejak sekitar yahun 1990 yang waktu itu masih berstatus proyek bernama

Proyek Pengembangan Sumber Benih, Direktorat Reboisasi, Direktorat Jendral Reboisasi dan

Rehabilitasi Lahan (RRL), Departemen Kehutanan. Selanjutnya kegiatan ini mulai intensif

dikerjakan setelah ada kerjasama teknis antara RRL dengan Pemerintah Jepang melalui Proyek

JICA di bidang pemuliaan Pohon yaitu pada tahun 1992. Kerjasama tersebut secara tidak langsung

terjadi alih teknologi di bidang kultur jaringan dari para tenaga ahli Jepang (Herawan, 2000).

Jenis-jenis yang diprioritaskan dikembangkan pada waktu itu adalah: Acacia mangium,

Eucalyptus deglupta, Eucalyptus urophylla, dan Paraserianthes falcataria. Pada tahun 1994 proyek

beralih status menjadi Balai Penelitian dan Pengembangan Pemuliaan Benih Tanaman Hutan

(BPPPBTH), Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan. Kemudian

dikembangkan pula jenis-jenis komersial lainnya seperti: E. pellita, A.auriculiformis,

A. aulacocarpa, A. crassicarpa, S. album, T. grandis, P. merkusii dan S. javanica. (Herawan,

2000).

Sampai saat ini penelitian kultur jaringan di BBPBPTH telah lebih berkembang untuk jenis

maupun teknik yang dilakukan. Acacia hybrid (A. mangium x A. auriculiformis), Acacia mangium,

Acacia auriculiformis, Alstonia scholaris, Eucalyptus deglupta, Eucalyptus pellita, Eucalyptus

urophila, Eusideroxylon zwageri, Gmelina arborea, Paraserianthes falcataria, Pongamia pinnata,

Santalum album, Styrax sp., Tectona grandis, Toona sinensis, Vitex Pubescen dan Shorea

Page 89: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

Bunga Rampai | 79 - 90

82

merupakan jenis-jenis yang telah dan sedang dilakukan penelitian perbanyakan melalui kultur

jaringan saat ini, sebagian dengan teknik organogenesis dan sebagian yang lain dengan

embryogenesis somatik.

Metode Kultur Jaringan

Metode kultur jaringan dapat ditempuh melalui organogenesis dan embriogenesis somatik.

Masing-masing metode tersebut mempunyai sifat-sifat perbanyakan yang berbeda sebagai berikut:

Organogenesis

Organogenesis adalah perbanyakan in vitro dari bagian tanaman sangat kecil, jaringan atau sel,

terutama meristem dari kecambah embrio atau apeks tanaman remaja. Beberapa contoh Negara dan

jenis yang dikembangkan melalui organogenesis ditunjukkan di Tabel 2.

Tabel 2. Negara-negara di dunia dan spesies hasil perbanyakan organogenesis (FAO, 2010)

Negara Spesies 1. India (Saxena & Dhawan 2001) Anogeissus latifolia & A. pendula 2. Malaysia & Afrika selatan (Galiana et al. 2003; Monteuuis et

al. 2003; Quoirin 2003), Vietnam (Monteuuis, personal observation)

Acacia mangium, hybrid (A. mangium x A. auriculiformis), A. melanoxylon

3. Vietnam, Thailand, India (Monteuuis, personal observation, ) Watt et al. 2003; Nadgauda in press), Amerika selatan (Levis W. Handley, personal), communication), Australia (Watt et al. 2003; Bandyopadhyay et al. 1999), Afrika selatan, Spanyol & Portugal (Watt et al. 2003)

Eucalyptus camaldulensis, E. globulus, E. grandis, E. nitens, E. tereticornis & E. urophylla

4. Kanada & New Zealand (Lelu and Thompson 2000), Amerika (Levis W. Handley, personal communication), Perancis (Dumas and Monteuuis 1991; Monteuuis & Dumas 1992)

Pinus radiata, P. taeda & P. pinaster

5. Jerman & India (Cornu 1994), Spanyol (Bueno et al. 2003), Lithuania (Kuusiene 2002

Populus alba, P. deltoides, P. tremula & Populus hybrids

6. Amerika (Ritchie et al. 1994) Pseudotsuga menziesii 7. Perancis (Bonga and Von Aderkas 1992; Monteuuis, personal

observation), Jerman (www.cnr.berkeley.edu/~jleblanc/www/Redwood/rdwd-Micropro.html)

Sequoia sempervirens & Sequoiadendron giganteum

8. Norwegia (Saebo et al. 1995) and Finland (Cornu 1994) Betula pendula 9. Australia ( Monteuuis, personal observation) Paulownia fortunei 10. China (Liu and Bao 2003) Platanus acerifolia 11. Brazil & Vietnam (Monteuuis, personal observation),

Thailand (Kjaer et al. 2000), Costa Rica (Schmincke 2000), Malaysia (Goh et al. 2001), India (Bonga &Von Aderkas 1992; Nicodemus et al. 2001; Nadgauda in press), Australia (Monteuuis, personal observation)

Tectona grandis

12. Banglades (Sarker et al. 1997; Roy et al. 1998) Spesies lain termasuk Gmelina arborea, Artocarpus chaplasha, A. heterophyllus, Azadirachta indica & Elaeocarpus robustus

Metode organogenesis spesies tanaman hutan telah dikembangkan untuk produksi skala besar,

termasuk kayu keras seperti poplar, willow dan eukaliptus, dan untuk tumbuhan berdaun jarum

Page 90: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

|KULTUR JARINGAN TANAMAN HUTAN Asri Insiana Putri, Toni Herawan dan Jayusman

83

seperti redwood pantai, Pinus radiata, loblolly pinus (Pinus taeda) dan Douglas fir (Pseudotsuga

menziesii).

Penelitian perbanyakan beberapa spesies tanaman hutan secara organogenesis yang dilakukan

oleh Balai Besar dengan berbagai tahapan kultur ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Spesies pohon hasil perbanyakan pada berbagai tahap organogenesis yang dilakukan di BBPBPTH sampai dengan tahun 2010.

No. Sumber Eksplan Spesies

Tahap Organogenesis Induksi Tunas

Multipli-kasi

Peraka-ran

Aklimati-sasi

Uji Lapangan

1 Pohon induk Acacia hybrid √ √ √ √ √ 2 Pohon induk Acacia mangium √ √ √ √ √ 3 Pohon induk Alstonia scholaris √ √ √ √ √ 4 Pohon induk Eucalyptus deglupt √ √ √ √ √ 5 Pohon induk Eucalyptus

pellita √ √ √ √ √

6 Pohon induk Eucalyptus urophil √ √ √ √ - 7 Pohon induk Eusideroxylon

zwageri √ - - - -

8 Pohon induk Gmelina arborea √ √ √ √ √ 9 Pohon induk

dan semai Paraserianthes falcataria

√ - - - -

10 Semai Pinus merkusii √ √ √ √ √ 11 Pohon induk Pongamia pinnata √ √ - - - 12 Pohon induk Santalum album √ √ √ √ √ 13 Pohon induk Shorea leprosula √ - - - - 14 Pohon induk Styrax sp. √ √ √ √ - 15 Pohon induk Tectona grandis √ √ √ √ √ 16 Semai Toona sinensis √ √ √ √ - 17 Semai Vitex Pubescen √ √ √ √ -

Di beberapa negara telah dilakukan penelitian organogenesis pada lebih dari 20 spesies

tanaman hutan, namun dari jumlah jenis yang diteliti, BBPBPTH (Tabel 3) lebih unggul

dibandingkan masing-masing dari negara-negara lain (Tabel 3).

Embriogenesis Somatik

Embriogenesis somatik merupakan proses perkembangan sel-sel somatik (baik haploid maupun

diploid) membentuk tumbuhan baru melalui tahapan perkembangan embrio yang spesifik tanpa

melalui fusi gamet (Williams & Maheswara 1986). Struktur yang bipolar dan kondisi fisiologis

yang menyerupai embrio zigotik, embriogenesis somatik dinilai lebih menguntungkan daripada

pembentukan tunas adventif yang unipolar. Embriogenesis somatik yang dihasilkan dapat disimpan

Page 91: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

Bunga Rampai | 79 - 90

84

dalam jangka waktu lama sebagaimana layaknya biji yang dijadikan benih serta memungkinkan

untuk diproduksinya biji buatan (synthetic seed/synseed) (Von Arnold, 2008).

Regenerasi tanaman hutan melalui embriogenesis somatik telah dilakukan pada lebih dari 50

spesies yaitu lebih dari 20 famili angiospermae dan sekitar 12 spesies konifer (Park et al., 1998;

Wann, 1988; Tartorius et al., 1991; Attree & Fowk, 1991; Watt et al., 1999). Potensi kecepatan

multiplikasi khususnya dari suspensi sel dengan penggunaan bioreaktor otomatis, sangat tinggi

serta penanganan secara mekanik dengan teknologi biji sintetis sangat dimungkinkan.

Embriogenesis somatik juga dipergunakan untuk prosedur transformasi genetik karena berasal dari

sel tunggal langsung dari embryo. Meskipun keberhasilan teknik embriogenesis somatik telah

dilaporkan untuk beberapa spesies komersial, namun untuk operasional skala luas pada tanaman

kehutanan belum banyak dilaporkan (FAO, 2010).

Penelitian embriogenesis somatik di BBPBPTH sampai saat ini masih pada tahap awal namun

dari macam spesies menujukkan keunggulan jumlah spesies asli yang diuji. Beberapa spesies dari

negara-negara yang melakukan embriogenesis somatik untuk tanaman kehutanan ditunjukkan pada

Tabel 4.

Tabel 4. Negara-negara di dunia dan spesies hasil perbanyakan embryogenesis somatik (FAO, 2010).

Negara Spesies 1. Chile (Park, 2002; Jones, 2002;Lelu-Walter & Harvengt,

2004) Pinus radiate & P. taeda

2. Brazil & India (Pinto et al. 2002; Watt et al., 1999) E. globulus, E. grandis & E. dunnii 3. India (Krishnadas and Muralidharan, 2008; Godbole et

al., 2004; Shali and Muralidharan, 2008; Rathore et al., 2008)

Tectona grandis, Bamboo & Sandal

4. Banglades (Sarker, Islam Rafiqul and Hoque, 1997; Roy, Islam & Hadiuzzaman, 1998)

Gmelina arborea, Artocarpus chaplasha, A. heterophyllus, Azadirachta indica & Elaeocarpus robustus

5. Kanada & Perancis (Charest 1996; Lelu and Thompson 2000)

Larix

6. Kanada, Perancis & Irlandia (Thorpe 1995; Charest 1996; Park et al. 1998; Lelu and Thompson 2000; Park 2002; Sutton 2002; Lelu-Walter and Harvengt 2004)

Picea abies, P. glauca, P. mariana and P. sitchensis

7. Kanada (Park 2002), Afrika selatan (Jones 2002), New Zealand (Lelu and Thompson 2000), Amerika (Jones 2002; Sutton 2002) & Chile (Lelu-Walter and Harvengt 2004)

Pinus banksiana, P. patula, P. radiata, P. strobus and P. taeda

8. Amerika & Kanada (Lelu and Thompson 2000, Sutton 2002)

Pseudotsuga menziesii

9. Bangladesh (Sarker et al. 1997; Roy et al. 1998) Gmelina arborea, Artocarpus chaplasha, A. heterophyllus, Azadirachta indica and Elaeocarpus robustus

Page 92: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

|KULTUR JARINGAN TANAMAN HUTAN Asri Insiana Putri, Toni Herawan dan Jayusman

85

Penelitian perbanyakan beberapa spesies tanaman hutan secara embriogenesis somatik melalui

tahap induksi dan multiplikasi kalus, multiplikasi kalus embryogenik, tahap pembentukan hati,

tahap pembentukan torpedo, perakaran, aklimatisasi dan uji lapangan ditunjukkan pada Tabel 5.

Dari beberapa spesies yang diuji, hanya Santalum album yang paling unggul sampai pada tahap

perakaran.

Tabel 5. Spesies pohon hasil perbanyakan pada berbagai tahap embryogenesis somatik yang

dilakukan di BBPBPTH sampai dengan tahun 2010. No.

Sumber Eksplan

Spesies Tahap Embryogenesis Somatik Induksi

dan Multiplikasi Kalus

Multipli kasi

Kalus Embryo genik

Hati

Torpedo

Peraka-ran

Aklimati-sasi

Uji Lapang-an

1 Pohon induk

Acacia hybrid √ √

2 Pohon induk

Acacia mangium √

3 Pohon induk

Alstonia scholaris -

4 Pohon induk

Eucalyptus deglup -

5 Pohon induk

Eucalyptus pellita

6 Pohon induk

Eucalyptus urophil -

7 Pohon induk

Eusideroxilon zwagery

-

8 Pohon induk

Gmelina arborea

9 Pohon induk dan semai

Paraserianthes falcataria

10 Pohon induk

Pongamia pinnata √

11 Pohon induk

Santalum album √ √ √ √ √

12 Pohon induk

Styrax sp. -

13 Pohon induk

Tectona grandis √

14 Semai Toona sinensis √

Page 93: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

Bunga Rampai | 79 - 90

86

Operasional embriogenesis somatik memerlukan biaya tinggi dengan presisi aplikasi tinggi.

Perbanyakan melalui embriogenesis somatik sebaiknya hanya diterapkan untuk seleksi spesies

yang benar-benar terpilih berdasarkan perolehan pemuliaan genetik yang maksimal melalui

perbanyakan bervolume tinggi dari satu genotipe. Tahap awal penelitian embriogenesis somatik di

BBPBPTH lebih kepada penguasan teknik, spesies-spesies yang diuji berdasarkan ketersediaan

sumber eksplan, walaupun dengan macam jenis yang lebih beragam dibandingkan negara lain.

Keunggulan penelitian kultur jaringan yang telah dilakukan BBPBPTH dengan prioritas jenis

tanaman hutan tropis asli setempat memberikan nilai tambah untuk tujuan penggunaan bioteknologi

hutan menghadapi perubahan iklim yang diharapkan membentuk arah penelitian bioteknologi hutan

dengan cara baru (FAO, 2010). Hutan tropis memainkan peran utama dalam adaptasi hutan

sebagai dasar untuk semua solusi kebijakan kehutanan lainnya yang ditujukan untuk memperlambat

perubahan iklim seperti mengurangi emisi deforestasi, degradasi (REDD), bioenergi dan biomassa

(Millar et al., 2007; Aitken et al, 2008; Clark, 2004; Hamrick, 2004). Untuk mendukung program

tersebut, laboratorium kultur jaringan BBPBPTH juga sedang melakukan penelitian Pongamia

pinnata sebagai spesies bioenergi unggulan baru dan terbarukan.

Hutan tropis dinilai sangat rentan terhadap perubahan iklim dan mempunyai nilai adaptasi yang

lebih sempit, tidak ada dua daerah akan mengalami perubahan iklim dengan cara yang sama (FAO,

2010). Untuk mendukung program tersebut, melalui kultur jaringan BBPBPTH juga telah

melakukan penelitian ketahanan Vitex pubescens terhadap tekanan masam in vitro dan ex vitro, dan

penelitian tersebut sedang dilakukan untuk spesies-spesies tropis lain (Putria, 2010). Sehingga hasil

penelitian bioteknologi hutan BBPBPTH yang diperoleh dapat dipergunakan sebagai model

prediktif untuk efek perubahan iklim menjadi lebih regional dengan model tanaman hutan asli

Indonesia. Asal biji dari berbagai provenan setempat dapat lebih bertahan dan dapat tumbuh lebih

optimal terhadap tekanan lingkungan tempat tanaman berada (FAO, 2010).

Berdasarkan perbedaan intensifitas pengelolaan antara hutan alam dan hutan tanaman, FAO

membagi bioteknologi hutan tanaman menjadi tiga kelompok yaitu a) bioteknologi hutan tanaman

dasar diantaranya perbanyakan kultur jaringan dengan organogenesis dan penggunaan kultur

mikrobia seperti rhizobium dan mikoriza, b) bioteknologi hutan tanaman pertengahan diantaranya

perbanyakan kultur jaringan dengan embryogenesis somatik, serta c) bioteknologi hutan tanaman

lanjutan (modifikasi/rekayasa genetik dan transformasi genetik) (FAO, 2010). Di samping

penelitian organogenesis dan embryogenesis somatik pada kelompok bioteknologi hutan tanaman

dasar maupun pertengahan, BBPBPTH telah melakukan penelitian simbiotik spesies rhizobium –

Pongamia pinnata melalui kultur jaringan (Putrib, 2010).

Page 94: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

|KULTUR JARINGAN TANAMAN HUTAN Asri Insiana Putri, Toni Herawan dan Jayusman

87

Selama 15 tahun terakhir bioteknologi hutan melalui transformasi (teknologi gen) dan analisis

genom telah dikembangkan untuk untuk mendukung program pemuliaan pada berbagai jenis

pohon, termasuk pohon-pohon berdaun lebar dan berdaun jarum (Groover, 2007; Henderson dan

Walter, 2006; Merkle dan Nairn, 2005; Giri et al., 2004; Campbell et al, 2003). Tanaman hutan

yang telah diuji dengan teknik rekayasa genetika diantaranya dari jenis Populus (poplar), Betula

(Birches), Picea (cemara), Pinus dan Eucalyptus yang telah diproduksi dan diuji di laboratorium,

rumah kaca serta di lapangan. Implikasi berbagai target sifat untuk rekayasa genetik pohon, seperti

lignin dan/atau modifikasi selulosa, hama penyakit, fertilitas, toleransi terhadap cekaman abiotik,

bioenergi menjadi pertimbangan penting untuk tujuan komersial (FAO, 2010).

Resiko transgenik dimungkinkan sama halnya dengan resiko pada proses diperkenalkannya

pohon non-asli serta pohon-pohon yang dimuliakan dengan metode konvensional (Hoenicka &

Fladung, 2006). Identifikasi penting dilakukan terhadap potensi risiko yang terkait dengan stabilitas

fungsi gen yang ditransfer pada jenis tanaman hutan serta aliran DNA rekombinan ke lingkungan

melalui berbagai jalur yang berbeda (Strauss et al, 1995;. Strauss, DiFazio & Meilan, 2001;

Hoenicka & Fladung, 2006).

Kesimpulan

Penelitian kultur jaringan melalui organogenesis dan embryogenesis somatik yang telah

dilakukan di BBPBPTH mempunyai keunggulan pada jenis spesies yang diuji. Spesies tanaman

hutan tropis khususnya jenis asli Indonesia yang mempunyai kerentanan terhadap tekanan

lingkungan menjadi target penting perbanyakan di samping isu kelangkaan untuk menghadapi

perubahan iklim yang diharapkan membentuk arah penelitian bioteknologi hutan dengan

pendekatan baru.

Saran

Peningkatan sumber daya manusia melalui studi banding dan kursus di dalam dan luar negeri

sangat penting, di samping peningkatan kelengkapan sarana prasarana laboratorium dan rumah

kaca yang menunjang penelitian kultur jaringan.

Ucapan terima kasih

Penghargaan dan terima kasih disampaikan kepada Ir. Jayusman, MP., Dra. Yelnititis MP,

Dr. ILG Nurtjahyaningsih, Ir. Elizabeth Sapulete, Suprihati, Endin Izudien, Rudi Hartono,

Page 95: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

Bunga Rampai | 79 - 90

88

Triyanto, Arif Setiawan dan Waluyo atas pengabdiannya pada laboratorium kultur jaringan

BBPBPTH.

Daftar Pustaka Aitken, S., Yeaman S., Holliday, J.A., Wang, T. & Curtis-McLane, S. 2008. Adaptation, migration

or extirpation: climate change outcomes for tree populations. Evol. Appl. 1: 95–111. Attree, S.M. & Fowke, L.C. 1991. Micropropagation through somatic embryogenesis in conifers,

pp. 53–70 In Y.P.S. Bajaj ed. Biotechnology in agriculture and forestry 17. High-tech and micropropagation 1. Berlin, Heidelberg, New York, Springer-Verlag.

Bajaj, Y.P.S. (editor). 1986. Biotechnology in agriculture and forestry 1: Trees I. Springer-Verlag,Berlin, Germany.

Bajaj, Y.P.S. (editor). 1989. Biotechnology in agriculture and forestry 5: Trees II. Springer-Verlag,Berlin, Germany.

Bajaj, Y.P.S. (editor). 1991. Biotechnology in agriculture and forestry 16: Trees III. Springer-Verlag, Berlin, Germany.

Bingkun, T., W. Pengcheng, Y. Mei, T. Xiao and Y. Yu-yun. 2002. Study on Cutting Propagation of Toona sinensis.

Bonga, J.M. & Durzan, D.J. 1987a. Cell and tissue culture in forestry, Vol. 2: Specific principles and methods: growth and developments. Martinus Nijoff Publishers, Dordrecht, Netherlands.

Bonga, J.M. & Durzan, D.J. 1987b. Cell and tissue culture in forestry, Vol. 3: Case histories: Gymnosperms, Angiosperms and Palms. Martinus Nijoff Publishers, Dordrecht, Netherlands. Campbell, M.M., Brunner, A.M., Jones, H.M. & Strauss, S.H. 2003. Forestry’s fertile crescent: the

application of biotechnology to forest trees. Plant Biotechnology Journal, 1: 141–154. Chaix, G. & Monteuuis, O. 2004. Biotechnology in the forestry sector. In: FAO, 2004b, q.v. Clark, D.A. 2004. Tropical forests and global warming: slowing it down or speeding it up?

Frontiers in Ecology & the Environment 2(2): 73–80. El-Kassaby, Y.A. 2004. Anticipated contribution to and scale of impact of biotechnology in

forestry. In: FAO, 2004b, q.v. FAO. 2010. Current Status and Options for Forest Biotechnologies in developing Countries

(ABCD-10). FAO International Technical Conference. Guadalajara, Mexico. FAO. 2004. Preliminary review of biotechnology in forestry, including genetic modification. Forest

Genetic Resources Working Paper FGR/59E, Forest Resources Development Service, Forest Resources Division. Rome, Italy.

Galiana, A., Goh, D., Chevallier, M.-H., Gidiman, J., Moo, H., Hattah M. & Japarudin,Y. 2003. Micropropagation of Acacia mangium x A. auriculiformis hybrids in Sabah Bois et Forêts des Tropiques 275: 77–82.

Giri, C.C., Shyamkumar, B. & Anjaneyulu, C. 2004. Progress in tissue culture, genetic transformation and applications of biotechnology to trees: an overview. Trees, 18: 115–135.

Goh, D.K.S., Chaix, G., Baillères, H. & Monteuuis, O. 2007. Mass production and quality control of teak clones for tropical plantations: The Yayasan Sabah Group and Forestry Department of Cirad Joint Project as a case study. Bois et Forêts des Tropiques 33:6–9.

Goh, D.K.S. & Monteuuis, O. 2005. Rationale for developing intensive teak clonal plantations, with special reference to Sabah. Bois et Forêts des Tropiques 28: 5–15.

Groover, A.T. 2007. Will genomics guide a greener forest biotech? Trends in Plant Science, 12: 234–238.

Page 96: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

|KULTUR JARINGAN TANAMAN HUTAN Asri Insiana Putri, Toni Herawan dan Jayusman

89

Hamrick, J.L. 2004. Response of forest trees to global environmental changes. Forest Ecol. & Management 197: 323–335.

Han KH, Meilan R, Ma C, Strauss SH. 2000. An Agrobacterium tumefaciens transformation protocol effective on a variety of cottonwood hybrids (genus Populus). Plant Cell Rep 19:315–320.

Henderson, A.R. & Walter, C. 2006. Genetic engineering in conifer plantation forestry. Silvae Genetica, 55(6): 253–262.

Herawan, T. 2000. Protokol kultur Jaringan Tanaman Hutan. Informasi Teknis. BPPPBTH. No. 1. 2000.

Hoenicka, H. & Fladung, M. 2006. Genome instability in woody plants derived from genetic engineering. pp. 301–321, in: M. Fladung & D. Ewald (editors). Tree transgenesis – recent developments. Springer, Berlin, Heidelberg and New York.

Levee V, Garin E, Klimaszewska K. & Seguin A. 1999. Stable genetic transformation of white pine (Pinus strobus L.) after cocultivation of embryogenic tissues with Agrobacterium tumefaciens. Mol Breed 5:429–440

Merkle, S.A. & Nairn, C.J. 2005. Hardwood tree biotechnology. In vitro Cellular & Developmental Biology–Plant, 41: 602–619.

Millar, C.M., Stephenson, N.L. & Stephens, S.L. 2007. Climate change and forests of the future: managing in the face of uncertainty. Ecological Applications 17: 2145–2151.

Park, Y.S., Barret, J.D. & Bonga, J.M. 1998. Application of somatic embryogenesis in high–value clonal forestry: deployment, genetic control, and stability of cryopreserved clones. In Vitro Cell. Dev. Biol.–Plant. 34: 231–239.

Putria, A. I. 2010. Toleransi Masam Vitex pubescens Vahl. In-vitro dan Ex-vitro. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan. Vol. 4 No. 2, September 2010. BBPBPTH. Yogyakarta. Indonesia.

Putrib, A. I. 2010. Pongamia pinnata - Rhizobium: Spesies Simbiotik Bernilai Konservasi Tinggi. Pertemuan Ilmiah Konservasi Hutan (Belum dipublikasikan).

Strauss, S.H., Coventry, P., Campbell, M.M., Pryor, S.M. & Burley, J. 2001a. Certification of genetically modified forest plantations. International Forestry Review, 3: 87–104.

Strauss, S.H., Rottmann, W.H., Brunner, A.W. & Sheppard, L.A. 1995. Genetic engineering of reproductive sterility in forest trees. Molecular Breeding, 1: 5–26.

Tartorius, T.E., Fowke, L.C. & Dunstan, D.I. 1991. Somatic embryogenesis in conifers. Can. J.Bot. 69, 1873–1899.

Tian, L., Levee V, Mentag R., Charest, P. J., Seguin A. 1999. Green Fluorescent Protein as a Tool for Monitoring Transgene Expression in Forest Tree Species. Tree Physiology 19. 541-456.

Trontin, J.F., Walter, C., Klimaszewska, K., Park, Y.-S. & Walter, M.-A. 2007. Recent progress in genetic transformation of four Pinus spp. Transgenic Plant Journal, 1(2): 314–329).

Von Arnold, S. 2008. Somatic Embryogenesis In Plant Propagation by Tissue Culture 3rd Edition Vol.1. The Background. E.F. George, M.A. Hall and G.J. De Klerk. (Eds.). Springer. Dordrecht. The Netherlands

Walter, C. & M. Menzies. 2010. Genetic Modification as a Component of Forest Biotechnology In Forest and Genetically Modified Trees. Rome, Italy.

Wann, S.R. 1988. Somatic embryogenesis in woody species [Review]. Hortic. Rev. 10: 153–81. Watt, M.P., Blakeway, F.C., Mokotedi, M. & Jain, S.M. 2003. Micropropagation of Eucalyptus. In

S.M. Jain & K. Ishii, eds. Micropropagation of woody trees and fruits, pp. 217–244. Dordrecht, Netherlands, Kluwer.

Watt, M.P., Blakeway, F., Cresswell, C.F. & Herman, B. 1991. Somatic embryogenesis in Eucalyptus grandis. S. African For. J. 157: 59–65.

Wenk, A. R., Quinn M., Whetten R. W., Pullman G., & Sederoff R. 1999. High-efficiency Norway Spruce (Picea taeda). Plant Mol. Biol. 39: 407 – 416.

Page 97: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

Bunga Rampai | 79 - 90

90

Wheeler, N. 2004. A snapshot of the global status and trends in forest biotechnology. In FAO, 2004b, q.v.

Williams, E.G. and Maheswara. 1986. Somatic embryogenesis factors influencing coordinated behaviour of cells as on embryogenic group. Ann. Bot. 57: 443-462.

Xiao-hong, Z., C. Yan-sheng, W. An-zhi, Y. Tu-xi, K. Bing, Y. Heng. 1999. Shaanxi Province and Chinese Academy of Science. Yangling, Shaanxi 712100.

Page 98: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

91

APLIKASI PENELITIAN GENETIKA MOLEKULER

ILG. Nurtjahjaningsih, AYPBC. Widyatmoko dan A.Rimbawanto

Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

ABSTRAK Penelitian genetika molekuler di Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH) diaplikasikan di hutan alam maupun hutan tanaman, masing-masing ditujukan untuk meningkatkan efisiensi penyusunan strategi konservasi dan strategi pemuliaan tanaman. Penelitian di hutan alam meliputi analisis genetika populasi yang mengungkap fenomena alam yang menyebabkan perbedaan tingkat keragaman genetik di dalam maupun antar populasi; dan verifikasi asal usul kayu untuk tujuan perlindungan terhadap jenis unggulan di Indonesia. Sedangkan penelitian di kebun benih meliputi menduga perubahan level keragaman genetik akibat seleksi pohon secara intensif, identifikasi klon, sistem perkawinan, analisis tetua, pola gene flow dan genome. Tulisan ini merupakan review peningkatan aplikasi penelitian genetika molekular di BBPBPTH.

Pendahuluan

Penelitian genetika molekuler memberikan informasi struktur dan rekombinasi gen serta proses

pewarisan genetik. Review terhadap sekitar 3,000 referensi di tingkat internasional menunjukkan

bahwa cabang penelitian genetika molekuler yang banyak dilakukan adalah identifikasi genetika

populasi kemudian diikuti oleh genome (FAO 2010). Sedangkan jenis yang paling banyak

dilaporkan yaitu Pinus, Eucalyptus, Populus, Picea, Quercus dan Acacia.

Penelitian genetika molekuler dilakukan di hutan alam maupun hutan tanaman. Penelitian di

hutan alam lebih diutamakan untuk meningkatkan efisiensi strategi konservasi dan lebih bersifat

dinamis. Adapun penelitian yang sering dilakukan di hutan alam ditujukan untuk menduga

perubahan level keragaman dan struktur genetik populasi akibat perpindahan gene (gene flow) oleh

serbuk sari maupun biji. Gene flow kerapkali dikaitkan dengan area hutan menyambung maupun

terfragmentasi yang diduga dengan parameter IBD (Isolation by Distance). Satuan konservasi yang

digunakan sebagai dasar untuk merancang strategi konservasi adalah ESU (Evolutionary System

Unit) dan MU (Managemen Unit) (Tsuda dan Ide 2005). ESU merupakan satuan konservasi untuk

menduga sistem evolusi suatu jenis, dan mengkonservasi pada level sub taksonomi, sedangkan MU

merupakan satuan konservasi untuk menduga populasi lokal dan mengkonservasi pada level

perbedaan allele frekuensi dan phylogenetik. Di hutan tanaman seperti kebun benih, penelitian

genetika molekuler dilakukan untuk meningkatkan efisiensi managemen kebun benih dan strategi

pemuliaan dalam rangka menyediakan benih berkualitas dan berkuantitas. Kegiatan penelitian yang

dilakukan adalah menduga perubahan tingkat keragaman genetik akibat seleksi pohon secara

Page 99: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

| Bunga Rampai | 91 - 106

92

intensif, memaksimalkan nilai perolehan genetik dengan potensi genetik yang ada dengan menduga

sistem perkawinan, kontaminasi serbuk sari, analisis tetua, laju selfing/ outcrossing, pola gene flow

dan mempercepat strategi pemuliaan dengan memetakan gen pengatur sifat (quantitative traits loci

- QTL) melalui metode peta struktur QTL maupun fungsional transkriptomik.

Penelitian genetika molekuler awalnya dilakukan berdasarkan penanda isozyme. Kemudian

untuk memberikan hasil yang lebih akurat, penelitian genetika molekuler berkembang

menggunakan penanda DNA (Deoxyribonucleic Acid) berbasis PCR (Polymorphism Chain

Reaction). DNA adalah asam nukleat yang terdiri dari instruksi genetik yang digunakan dalam

perkembangan dan fungsi metabolisme semua makhluk hidup. Penanda DNA adalah sekuen DNA

non coding, terletak di dalam kromosom dan dapat mengidentifikasi sel, individu maupun spesies.

Penanda DNA yang sering digunakan untuk analisis genetika molekuler yaitu RFLP

(Restriction Fragment Length Polymorphism), AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism;

Vos dkk. 1995), RAPD (Random Amplification of Polymorphic DNA) (William dkk.1990), SCAR

(Sequence Characterized Amplified Region), nukleus mikrosatelit/SSR (Simple Sequence Repeat)

maupun kloroplas (Weishing dan Gardner 1999) dan SNP (Single Nucleotide Polymorphism).

Aplikasi penggunaan penanda DNA tergantung pada tujuan analisis dengan tingkat akurasi

yang berbeda-beda. Penanda RFLP atau RAPD sering digunakan untuk analisis tingkat keragaman

genetik. Penanda AFLP digunakan untuk studi evolusi, dimana menggunakan keseluruhan untaian

DNA. Aplikasi penanda SSR dilakukan untuk menduga sistem perkawinan, analisis tetua, dan

menyusun peta genetik. Nukleus SSR diaplikasikan untuk menduga sistem perkawinan dan analisis

tetua dimana mendeteksi kombinasi gamet tetua, sedangkan kloroplast SSR mendeteksi gamet garis

tetua jantan pada jenis konifer. Penanda SNP sering digunakan untuk menyusun peta genetik.

Penelitian genetika molekuler terus berkembang pesat dan dinamis sehingga aspek yang diteliti

semakin bertambah. Bunga rampai ini merupakan sebuah review dimana menggambarkan status

dan trend terkini penelitian genetika molekuler baik di tingkat internasional, nasional maupun Balai

Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Tujuan review adalah untuk

mengetahui kesesuaian program dan aktivitas serta level penelitian bidang genetika molekuler yang

dilakukan di Balai Besar dengan penelitian di level internasional maupun nasional. Hasil review ini

diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penetapan program dan aktivitas penelitian untuk

memperoleh hasil penelitian yang lebih baik sehingga memberikan pengaruh yang lebih nyata

terhadap pembangunan kehutanan Indonesia. Penelitian genetika molekuler yang direview berikut

ini meliputi; genetika populasi di hutan alam, verifikasi asal-usul kayu yang bernilai ekonomi

Page 100: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

APLIKASI PENELITIAN GENETIKA MOLEKULER ILG. Nurtjahjaningsih, AYPBC. Widyatmoko dan A.Rimbawanto

93

tinggi, identifikasi klon dan tetua unggul, identifikasi patogen yang disebabkan oleh jamur, dan

peta gen pengatur sifat kuantitatif (QTL). Metodologi review dilakukan berdasarkan studi referensi

terhadap penelitian-penelitian yang dilakukan di tingkat internasional, nasional dan Balai Besar

Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

Aspek Penelitian Genetika Molekuler Di Hutan Alam

Perubahan struktur genetik di hutan alam disebabkan oleh proses rekombinasi gen dan proses

reproduksi akibat phenomena alam. Tipe habitat sebaran spesies yang terjadi secara alam adalah

hutan murni satu jenis, hutan campuran beda jenis dan beda genus, hutan campuran beda jenis

namun satu genus (sympatric). Proses reproduksi yang terjadi di tipe hutan murni maupun hutan

campuran beda jenis dan beda genus, hanya akan terjadi hibridisasi intraspesifik, namun pada tipe

hutan campuran beda jenis dalam satu genus sering memicu terjadinya hibridisasi alam baik

intraspesifik maupun interspesifik. Oleh karena itu untuk merancang satu strategi konservasi di

hutan alam didasarkan pada satuan managemen dan satuan sistem evolusi (Tsuda dan Ide, 2005).

Aspek penelitian genetika molekuler menggunakan satuan managemen didekati pada tingkat

perbedaan allele frekuensi populasi dan phylogenetik misalnya keragaman genetik dan perbedaan

genetik antar populasi karena proses aliran gene, sedangkan satuan sistem evolusi didekati pada

tingkat sub taksonomi misalnya penelitian hibridisasi alam. Selain itu, lokasi hutan alam yang

menarik diujikan adalah hutan terfragmentasi (Aldrich dan Hamrick, 1998), jenis dengan sebaran

yang luas (Tsuda dan Ide, 2005; Bucci dkk. 2007) dan lokasi riparian (daerah aliran sungai; Arens

dkk. 1998).

Analisis Keragaman Genetik

Analisis keragaman genetik dilakukan untuk menduga tingkat keragaman genetik di dalam dan

antar populasi. Aspek genetika populasi adalah penurunan tingkat keragaman genetik karena

gangguan rekombinasi gen (genetic drift; Aldrick dan Hamrick 1998) dan leher botol (bottleneck )

akibat penurunan luasan populasi (Bradshaw dkk. 2007).

Di Indonesia, aspek penelitian genetika populasi belum banyak dilakukan. Pendugaan tingkat

keragaman genetik dilaporkan pada Paraserianthes falcataria (Hartati dan Prana 1996), Pinus

merkusii (Naiem dan Indrioko 1996; Naiem 2000), Shorea spp. (Siregar dkk. 1998, Sudarmonowati

dkk.2000; Sudarmono dkk. 1997) dan Tectona grandis (Kertadikara 1996). Selain itu, analisis

genetik yang dilakukan menggunakan penanda isozyme, RAPD dan AFLP.

Page 101: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

| Bunga Rampai | 91 - 106

94

Studi keragaman genetik di Balai Besar dilakukan terhadap jenis-jenis prioritas untuk kayu

pulp, kayu pertukangan maupun produk non kayu. Meskipun banyak aspek yang bisa dipelajari

dalam analisis keragaman, namun analisis yang dilakukan lebih banyak mengulas mengenai tingkat

keragaman genetik di dalam populasi dan hubungan kekerabatan antar populasi. Hasil studi

keragaman genetik diaplikasikan untuk merekomendasikan strategi konservasi maupun pemuliaan

tanaman seperti diuraikan berikut ini.

Menggunakan penanda isozyme, keragaman genetik Paraserianthes falcataria di populasi alam

mempunyai level yang sangat rendah (Seido dkk. 1993; Suharyanto dkk. 2002). Pada populasi

hutan alam P. falcataria terbagi menjadi 3 populasi yaitu, Biak, Wamena dan Halmahera,

sedangkan populasi hutan tanaman di Jawa berkerabat secara genetik dengan populasi Biak

(Suharyanto dkk. 2002). Keragaman genetik yang sangat rendah dan hubungan kekerabatan yang

tinggi antar populasi menyebabkan penyakit pada sengon sulit diatasi. Oleh karena populasi Jawa

dekat dengan Biak maka untuk memperluas genetik base hutan tanaman yang ada di Jawa harus

mengumpulkan populasi alam selain Biak.

Menggunakan penanda SSR, keragaman genetik S. leprosula pada populasi alam di Jambi pada

level sedang (HE=0,710) dan levelnya hampir sama dengan populasi kebun pangkas (HE=0,686)

(Rimbawanto dan Isoda 2001; Isoda dkk. 2001). Hal ini menunjukkan tidak adanya penurunan

genetik antar hutan alam dan kebun pangkas. Jarak genetik antar populasi Kalimantan dan

Sumatera termasuk dalam kategori tinggi (0,393) (Prihatini, dkk. 2001) sehingga untuk tujuan

konservasi genetik kedua populasi ini harus dipisahkan.

Analisis keragaman genetik pada jenis-jenis penghasil gaharu seperti Aquilaria spp. dan

Gyrinops spp. dilakukan untuk mengetahui pengaruh faktor genetik terhadap produktivitas gaharu.

Keragaman genetik 5 populasi G. verstegii di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB)

dianalisis menggunakan penanda RAPD menunjukkan nilai sedang (0,288) untuk dalam populasi,

demikian juga untuk keragaman genetik antar populasinya (0,148) (Widyatmoko, dkk., 2009).

Analisis klaster membagi 5 populasi G. verstegii ke dalam dua kelompok besar. Distribusi

keragaman dan pola pengelompokan populasi dalam kelompok mengindikasikan bahwa upaya

konservasi lebih efektif jika pengumpulan materi genetik mengutamakan individu dalam populasi

dengan tetap memperhatikan pola pengelompokan populasi. Hingga saat ini penelitian masih dalam

proses untuk mengembangkan penanda DNA yang bisa membedakan antara individu yang rentan

dan resisten terhadap inokulan jamur penghasil gaharu (Rimbawanto dkk. 2009b). Untuk

meningkatkan produktifitas gaharu, analisis keragaman genetik juga diharapkan bisa membedakan

antara Aquilaria malaccensis dan A. microcarpa dimana mempunyai kemiripan secara morfologi

Page 102: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

APLIKASI PENELITIAN GENETIKA MOLEKULER ILG. Nurtjahjaningsih, AYPBC. Widyatmoko dan A.Rimbawanto

95

(Rimbawanto dkk. 2006). Namun demikian hanya 2 putative lokus dari 336 lokus hasil screening

penanda RAPD diduga membedakan kedua jenis tersebut. Sehingga masih perlu dilakukan

screening penanda yang lebih mampu membedakan gen rentan terhadap inokulan.

Analisis keragaman genetik diaplikasikan pada nyamplung (Calophyllum inophylum),

merupakan salah satu jenis penghasil bahan bakar minyak yang dapat diperbarui (biofuel). Hasil

sementara untuk populasi alam di Jawa, Bali dan Sulawesi menunjukkan bahwa keragaman genetik

didalam populasi menunjukkan nilai yang rendah menggunakan penanda RAPD (HE=0,200;

Widyatmoko dkk. 2009). Dendrogram disusun berdasarkan jarak genetik menunjukkan adanya

kecenderungan pengelompokan antar pulau. Untuk menjaga kemurnian genetik, plot konservasi

harus dipisahkan berdasarkan pulau. Untuk memperluas genetik base, pengumpulan materi genetik

untuk pembangunan suatu uji keturunan harus dilakukan dengan populasi yang luas.

Analisis keragaman genetik cendana (Santalum album) menggunakan 17 penanda RAPD

menunjukkan tingkat keragaman yang sedang (0,391), sedangkan jarak genetik antar populasi

menunjukkan nilai yang kecil (0,038) (Rimbawanto dkk. 2006). Berdasarkan hasil diatas strategi

konservasi yang disarankan adalah mengoleksi banyak individu pada beberapa populasi saja.

Untuk analisis keragaman genetik populasi ulin (Eusideroxylon zwageri) menggunakan 23

penanda RAPD menunjukkan bahwa keragaman genetik dalam populasi menunjukkan level sedang

(0,378) dan jarak genetik yang cukup tinggi (0,182). Sedangkan dendrogram menunjukkan

populasi Sepaku (Kalteng), Seruyan Hulu (Kalteng) dan Sumber Barito (Kalteng) membentuk satu

klaster, sedangkan populasi Nanga Tayap (Kalbar) membentuk klaster yang lain (Sulistyawati dkk.

2005). Oleh karena jarak genetik antar populasi cukup besar maka strategi konservasi yang harus

ditempuh adalah mengumpulkan individu dalam beberapa populasi dengan tetap menjaga

kemurnian genetik masing-masing populasi.

Menggunakan penanda RAPD, keragaman genetik populasi merbau berkisar antara 0,257-

0,317, termasuk dalam level sedang. Jarak genetik antar populasi termasuk dalam level tinggi

(0,141). Dendrogram menunjukkan bahwa meskipun populasi Nabire dan Manokwari terdapat pada

pulau yang sama, namun jarak genetik kedua populasi tersebut besar (Rimbawanto dkk. 2006).

Sehingga untuk tujuan konservasi, penanaman kedua populasi dalam plot konservasi harus dipisah

supaya tidak terjadi kontaminasi gen.

Analisis keragaman genetik 64 pohon A. cunninghamii yang berasal dari 7 populasi di Papua

dan 1 populasi di Australia menggunakan 23 primer RAPD menunjukkan level keragaman genetik

yang sedang (0,270) (Widyatmoko dkk., 2009). Sedangkan jarak genetik antar populasi cukup

Page 103: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

| Bunga Rampai | 91 - 106

96

rendah (0,092). Delapan populasi terbagi menjadi 2 kelompok besar yang membedakan kedua

negara.

Hasil sementara analisis keragaman genetik 3 populasi Suren yaitu Candiroto, Sumedang dan

Mataram menggunakan penanda RAPD menunjukkan level keragaman yang rendah (Widyatmoko

dkk. 2008). Tingkat keragaman yang rendah biasa ditemukan pada jenis-jenis eksotik. Rendahnya

tingkat keragaman genetik menyebabkan uji klon menjadi strategi pemuliaan untuk jenis ini.

Analisis Sistem Perkawinan

Sistem perkawinan menunjukkan keberhasilan proses reproduksi untuk menghasilkan individu

baru, dimana keberhasilan ini dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Sistem

perkawinan berbeda untuk gymnosperm dan angiousperm; tanaman dengan penyerbukan yang

dibantu oleh angin cenderung mempunyai laju outcrossing yang lebih tinggi dibandingkan tanaman

dengan polinator serangga. Parameter sistem perkawinan menggunakan tingkat keragaman genetik

(El-Kassaby dkk. 1984), koefisien inbreeding (El-Kassaby dkk. 1989), laju selfing / outcrossing

(Adam dan Joly 1980; Friedman dan Adams 1985), gene flow dan luasan populasi efektif. Untuk

mempertahankan tingkat keragaman genetik, sistem perkawinan harus random dan seimbang atau

tidak adanya tendensi perkawinan yang memilih. Pada populasi breeding di suatu kebun benih atau

uji-uji untuk menghasilkan benih unggul, sistem perkawinan random akan menjamin bahwa

kualitas genetik pohon plus terpilih akan diturunkan pada generasi selanjutnya.

Di level nasional, menggunakan penanda isozyme, pendugaan laju outcrossing telah dilakukan

terhadap Tectona grandis (Kertadikara 1996) dan P. merkusii (Siregar dan Hattemer 2004).

Rata-rata laju outcrossing populasi alam Nyamplung di Alas Purwo dan Cilacap maupun

populasi hutan tanaman di Gunung Kidul menunjukkan nilai yang tinggi dengan gene flow yang

luas (data belum dipublikasikan). Sinkronisasi pembungaan dan luasan populasi yang besar

mempengaruhi tingginya laju outcrosing dan gene flow.

Verifikasi Asal-Usul Kayu Yang Bernilai Ekonomi Tinggi

Pembalakan liar merupakan salah satu masalah terbesar bagi kehutanan Indonesia, sehingga

diperlukan metode yang akurat dan efektif untuk melacak log kayu terutama dari jenis yang

bernilai ekonomi tinggi. Metode lacak balak menggunakan penanda DNA sedang diinisiasi pada

kayu merbau (Instia bijuga). Pengembangan metode lacak balak terhadap jenis ini sedang

dilakukan oleh peneliti dari Jerman menggunakan penanda SSR dan cp-SSR. Di level nasional,

metode lacak balak juga sedang marak dikembangkan. Balai Besar pun sedang menyusun strategi

Page 104: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

APLIKASI PENELITIAN GENETIKA MOLEKULER ILG. Nurtjahjaningsih, AYPBC. Widyatmoko dan A.Rimbawanto

97

lacak menggunakan beberapa penanda DNA (sekuensing cp-DNA, SSR dan SNP) untuk

meningkatkan akurasi analisis genetik. Langkah awal strategi tersebut antara lain menyusun

database kayu merbau baik yang masih ada di hutan alam sampai hutan tanaman dan toko kayu

menggunakan sekuen cp-SSR. Hingga saat ini, metode ekstraksi DNA dari materi berupa kayu

olahan sudah dikuasai yaitu menggunakan Extract-N-Amp tm (Sigma) walaupun jumlah DNA

masih sangat sedikit. Analisis fragment DNA akan segera dilakukan pada kegiatan penelitian

selanjutnya (Widyatmoko dkk. 2009).

Selain itu, Balai Besar juga menerapkan konsep lacak balak pada jati, dimana banyak informasi

jati unggul yang kebenarannya belum bisa dibuktikan. Analisis fragment DNA menggunakan

penanda RAPD, SCAR dan SSR, sedang dikemas dalam suatu bentuk kumpulan data genetik

(database) (Rimbawanto dkk. 2005). Analisis genetik sudah dilakukan terhadap 46 provenan asal

Sulawesi, dan uji keturunan di Cepu dan Bojonegoro. Kemudian untuk mengidentifikasi asal-usul

jati yang beredar di pasaran, materi genetik dikoleksi dari perusahaan pengada bibit yang ada di

Surabaya dan Jakarta. Analisis klaster menunjukkan bahwa populasi Sulawesi terpisah dari

populasi non-Sulawesi (Rimbawanto dkk. 2006). Hal ini menunjukkan bahwa apabila ada pengada

bibit yang mengaku bahwa bibit yang diproduksi berasal dari salah satu populasi di Sulawesi maka

akan bisa dibuktikan dengan mencocokkan database genetik yang telah disusun dengan data

genetik bibit tersebut.

Klarifikasi Hibridisasi Alam

Aspek penelitian genetika populasi diantaranya adalah analisis struktur ruang (spatial

autocorrelation). Struktur ruang merupakan hasil dari sejumlah faktor genetik-lingkungan dan

hibridisasi interspesifik, yang nilainya bervariasi antar populasi, generasi dan mikrohabitat

(Wallace, 2006). Struktur ruang terjadi ketika gene flow terhambat di populasi alam terfragmentasi

atau karena terisolasi oleh jarak demografi (isolation by distance (IBD) (Aldrich dkk.2005, Hardy

dan Vekemans 1999). Pengetahuan tentang struktur ruang merupakan kunci dari proses evolusi

(Smouse dan Peakall 1999).

Hibridisasi interspesifik sering terjadi di hutan alam yang menyebabkan munculnya jenis baru

yang berbeda secara morfologis dengan kedua induknya. Hibridisasi secara alam terjadi pada jenis

Populus nigra yang diduga merupakan hasil interspesifik hibrid antara P. deltoides dan P. x

euramericana (Arens dkk. 1998). Identifikasi hibridisasi alam pada P. nigra menggunakan penanda

DNA merupakan informasi penting untuk strategi konservasi jenis tersebut.

Page 105: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

| Bunga Rampai | 91 - 106

98

Contoh lain interspesifik hibrid terjadi pada F. moesiaca. Berdasarkan analisis morfologis dan

ITS (internal transcribed spacer) Fagus orientalis, F. sylvatica dan F moesiaca merupakan jenis

yang sama. Namun berdasarkan penanda AFLP dan cp-SSR, 3 Fagus tersebut menunjukkan jenis

yang berbeda (Gailing dan Wuehlisch, 2004). Interspesifik hibridisasi alam terjadi pada

F. orientalis dan F. sylvatica yang menghasilkan F. sylvatica var.moesiaca. meskipun lokasi

geografis jenis tersebut berjauhan, masing-masing dari Turki, Jerman dan Italia. Penelitian ini

mengungkap bahwa pada jaman rekolonisasi postglacial, terdapat zona hibridisasi antar dua jenis

tersebut di Yunani sehingga menghasilkan F. sylvatica var moesiaca.

Interspesifik hibridisasi alam banyak terjadi pada genus Abies baik secara alam (Isoda dkk.

2000) maupun melalui penyerbukan buatan (Liu, 1970). Interspesifik hibridisasi alam pada konifer

mudah terdeteksi menggunakan penanda organel seperti cp-DNA dan mitokondria-DNA karena

dua penanda tersebut masing-masing menurunkan garis tetua jantan dan tetua betina (Isoda dkk.

2000). Keberhasilan proses hibridisasi alam juga sangat rendah, misalnya pada Abies veitchii dan

A. homolepsi, dari 334 hanya 2 individu hibrid. Keberhasilan proses hibridisasi dibatasi oleh

tingginya hambatan sistem reproduksi, misalnya proses hibridisasi dua jenis di atas terjadi apabila

A. veitchii berlaku sebagai tetua betina dan A. homolepsi berlaku sebagai pendonor serbuk sari, dan

tidak berlaku sebaliknya. Selain itu, keberhasilan hibrid terjadi karena kedekatan dua jenis secara

taksonomi.

Jenis yang berpotensi merupakan hasil interspesifik hibrid alam yang sedang dikembangkan di

Balai Besar adalah Ulin dan Aquilaria spp. Informasi proses hibridisasi ini sangat dibutuhkan untuk

strategi konservasi sehingga dapat menentukan kemurnian genetik jenis yang akan dikonservasi.

Phylogenetik

Analisis phylogenetik menunjukkan hubungan kekerabatan secara genetik antar jenis. Analisis

ini sering diaplikasikan untuk mengidentifikasi proses hybridisasi dimana menunjukkan karekater

morphologi yang hampir sama akan tetapi digolongkan dalam jenis yang berbeda. Analisis ini juga

digunakan untuk merevisi sistem taksonomi. Aplikasi phylogenetik dilakukan terhadap jenis

konifer (Tsumura dkk. 2005), verifikasi hibridisasi antar jenis Pinus (Arens dkk. 1998). Konsep

phylogenetik belum banyak dilakukan di Indonesia. Namun demikian, di Balai Besar,

menggunakan penanda RAPD, analisis klaster menunjukkan bahwa 4 jenis Acacia menjadi

2 klaster yaitu klaster 1 terdiri dari A. aulacocarpa dan A. crassicarpa, klaster 2 terdiri dari A.

auriculiformis dan A. mangium (Widyatmoko dkk., 2010). Hasil ini menunjukkan bahwa

Page 106: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

APLIKASI PENELITIAN GENETIKA MOLEKULER ILG. Nurtjahjaningsih, AYPBC. Widyatmoko dan A.Rimbawanto

99

keberhasilan persilangan antar jenis akan meningkat apabila dilakukan terhadap jenis dalam satu

klaster.

Aspek Penelitian Genetika Molekuler Di Kebun Benih

Penelitian molekuler breeding di kebun benih dilakukan untuk meningkatkan efisiensi

managemen kebun benih dan strategi pemuliaan. Populasi pemuliaan harus mempunyai keragaman

genetik yang tinggi dan luas untuk memenuhi kebutuhan seleksi pohon dalam suatu strategi

pemuliaan. Konseptual hubungan keragaman genetik dan perolehan genetik digambarkan sebagai

bentuk piramida terbalik dalam sebuah program managemen sumber benih (Burdon dan Low

1992). Piramida tersebut menggambarkan bahwa keragaman genetik pada populasi dasar harus luas

untuk mengantisipasi penurunan tingkat keragaman genetik pada proses seleksi pohon dalam

strategi pemuliaan. Nilai keragaman genetik akan menurun pada populasi uji pemuliaan namun

nilai perolehan genetik meningkat. Demikian pula pada populasi produksi dimana nilai keragaman

genetik menurun namun nilai perolehan genetik paling tinggi. Dari konsep keragaman genetik

versus perolehan genetik tersebut maka muncul aspek penelitian di kebun benih/sumber benih yaitu

analisis keragaman genetik karena sistem seleksi pohon secara intensif di kebun benih (Gomory

1992). Selain itu, untuk memaksimalkan perolehan genetik dengan status keragaman genetik yang

ada maka muncul aspek penelitian lain yaitu, analisis sistem perkawinan, analisis gene flow,

analisis tetua dan identifikasi klon di kebun benih klonal. Untuk mempercepat strategi pemuliaan

atau merupakan shorcut proses pemuliaan pohon maka dilakukan aspek penelitian identifikasi gen

pengatur sifat kuantitatif (QTL) melalui sruktural genome (seperti asosiasi peta QTL) maupun

fungsional genome (seperti transcriptomik).

Analisis Keragaman Genetik

Menggunakan penanda RAPD, rata-rata keragaman genetik didalam populasi A. mangium di

populasi pemuliaan kebun benih F1 termasuk dalam level rendah (He=0,129; Widyatmoko 1996).

Dari 6 provenan dari PNG yang diuji, terbentuk 2 klaster, dimana klaster tersebut menunjukkan

kedekatan genetik antar provenan. Sedangkan berdasarkan cp-DNA, terdapat 3 klaster populasi

yaitu populasi Maluku, PNG dan Queensland (Rimbawanto 1999). Dari hasil tersebut diatas, untuk

menjaga tingkat keragaman genetik A. mangium konsep infusi genetik dan hibridisasi bisa

diterapkan. Sedangkan jarak genetik yang tinggi antar 3 provenan tersebut menunjukkan perbedaan

struktur genetik ketiga provenan, sehingga untuk menjaga kemurniaan genetik, penanaman di

kebun benih harus dipisahkan berdasarkan provenan.

Page 107: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

| Bunga Rampai | 91 - 106

100

Analisis Sistem Perkawinan

Berdasarkan data penanda SSR, biji dalam satu pod pada A. mangium di kebun benih

merupakan hasil perkawinan sendiri (Isoda dkk. 2002). Hal ini menunjukkan adanya tendensi

sistem perkawinan dengan sebaran serbuk sari yang tidak terlalu luas. Namun demikin, oleh karena

informasi laju outcrossing belum diketahui, sehingga belum bisa dipastikan bahwa apakah sistem

perkawinan didalam kebun benih tersebut merupakan sistem perkawinan yang random atau tidak.

Sistem perkawinan dan gene flow diamati di kebun benih P. merkusii menggunakan penanda

SSR (Nurtjahjaningsih 2009). Hasil menunjukkan bahwa laju outcrossing dikategorikan pada level

yang tinggi, sedangkan gene flow bervariasi tergantung pada kondisi pembungaan.

Aplikasi penelitian genetika molekuler untuk mengidentifikasi tetua unggul dilakukan di kebun

benih A. mangium. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pohon plus di generasi kedua uji

keturunan A. mangium diperoleh dari sistem perkawinan acak/random dalam sinkronisasi

pembungaan. Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa pasangan tetua mempunyai tingkat

kecocokan genetik yang tinggi (GCA tinggi) dan tingkat inbreeding depression rendah.

Analisis Pengaruh Seleksi Pohon

Salah satu kegiatan dalam pengelolaan kebun benih ialah seleksi, yang bertujuan untuk

menghilangkan pohon yang mempunyai fenotip kurang baik. Kegiatan seleksi ini akan berpengaruh

terhadap keragaman genetik kebun benih, dimana besar kecilnya perubahan keragaman genetik

tergantung pada metode seleksi yang digunakan. Pada level nasional, belum ada laporan mengenai

penelitian ini.

Di Balai Besar, untuk mengetahui pengaruh dari kegiatan seleksi, digunakan 4 metode seleksi

simulasi berdasarkan data tinggi, diameter dan kelurusan batang pohon-pohon yang terdapat di

kebun benih A. mangium di Wonogiri, Jawa Tengah (Widyatmoko dkk., 2006). Perbedaan keempat

metode tersebut terletak pada penentuan ranking pohon yang dipilih dan famili serta provenan yang

diwakilinya. Analisis keragaman genetik dilakukan dengan menggunakan penanda AFLP. Dari

hasil penelitian ini diperoleh bahwa semakin ketatnya seleksi yang dilaksanakan secara nyata tidak

memperlihatkan perbedaan yang besar pada keragaman genetik. Apabila keragaman genetik pada

seleksi random diasumsikan 100%, maka pengaruh tiga metode seleksi yang lain hanya berkisar 4,8

sampai dengan 7,1%. Dengan kata lain, seberapa ketatnya seleksi yang dilaksanakan tidak

memberikan perubahan keragaman genetik yang besar pada kebun benih A. mangium. Hasil ini

tentunya sangat berguna untuk merencanakan strategi pemuliaan A. mangium di masa mendatang.

Page 108: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

APLIKASI PENELITIAN GENETIKA MOLEKULER ILG. Nurtjahjaningsih, AYPBC. Widyatmoko dan A.Rimbawanto

101

Identifikasi Klon

Kebun benih klon dibangun sebagai salah satu sumber benih unggul. Namun demikian

kesalahan dalam identifikasi klon bisa menurunkan kualitas benih yang dihasilkan. Oleh karena

pembangunan kebun klon melibatkan bibit dan tenaga manusia yang banyak, proses pembangunan

kebun klon sering mengalami kesalahan teknis seperti kesalahan penomoran klon pada saat

perbanyakan maupun pengangkutan bibit dari persemaian ke lapangan. Menggunakan penanda

DNA, verifikasi klon akan lebih akurat dibandingkan dengan identifikasi secara morphologi.

Kesalahan identitas klon dideteksi di kebun benih P. thunbergii menggunakan penanda RAPD

(Goto dkk.2002).

Di level nasional, aplikasi identifikasi klon diaplikasikan pada Tectona grandis menggunakan

penanda RAPD (Dwifany 2002, Cintamulya 2002). Identifikasi jenis, kultivar dan varietas juga

dilakukan terutama tanaman pertanian dan perkebunan oleh BPPT (Marwoto dkk. 2010).

Di Balai Besar, identifikasi klon dilakukan terhadap Pinus merkusii menggunakan penanda

RAPD (Widyatmoko dkk. 1996). Identifikasi klon juga dilakukan terhadap 118 pohon plus Tectona

grandis menggunakan penanda isozyme (Widyatmoko 1996). Menggunakan penanda SCAR

identifikasi klon T. grandis memberikan hasil yang lebih akurat. Dari 16 klon jati yang

diidentifikasi, ramet dari 4 klon menunjukkan ketidaksesuaian dengan klonnya (Rimbawanto dkk.

2002). Identifikasi klon sudah diaplikasikan terhadap penjualan bibit jati di pasaran, dimana

menunjukkan pengelompokan yang jelas antara klon hasil kultur jaringan dan bibit non kultur

jaringan (Yuskianti 2009).

Identifikasi hybrid dilakukan terhadap hibridisasi buatan antara A. mangium dan A. auriculiformis

menggunakan penanda SCAR (Sunarti dkk. 2008).

Identifikasi Pathogen Jamur

Analisis identifikasi pathogen jamur merupakan metode pengamanan hutan dari hama dan

penyakit. Identifikasi jamur baik patogen (penyakit busuk akar) maupun non patogen (penghasil

gaharu) bisa dideteksi menggunakan teknik PCR ITS (Polymerase Chain Reaction-Internal

Transcribed Spacer) yang menunjukkan lokasi genome nukleous. Identifikasi sekuen hasil PCR

jamur ini akan dibandingkan dan dicocokkan dengan referensi database, sehingga diketahui jenis

jamur tersebut. Di level nasional, penelitian bio-security belum banyak dilaporkan. Namun

demikian, Balai besar sudah menyusun database jamur penyebab busuk akar pada A. mangium.

Ada beberapa metode untuk menguji keakuratan sekuen jamur yang diteliti dengan referensi

Page 109: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

| Bunga Rampai | 91 - 106

102

database (Sulistyawati 2004). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam suatu infeksi penyakit

Ganoderma terdapat variasi jenis dan jumlah jamur yang menyerang sel/ jaringan. Dengan

ditemukannya jenis dan jumlah jamur Ganoderma, managemen penyakit pada Acacia akan lebih

efektif.

Peta Gen Pengatur Sifat Kuantitatif (Qtl)

QTL (Quantitative traits loci) merupakan asosiasi statistik antara penanda DNA dan gene

pengatur sifat kuantitatif, seperti pertumbuhan, produksi pulp, kualitas kayu maupun ketahanan

terhadap penyakit. Aplikasi QTL adalah menyeleksi tanaman berdasarkan faktor genetik (MAS-

Marker Assisted Selection) untuk menghasilkan benih unggul sehingga mempersingkat strategi

pemuliaan.

Sekuensial pekerjaan analisis QTL diawali dengan menscreening penanda DNA yang berasosiasi

dengan QTL. Kemudian menggunakan penanda yang ada untuk menyusun peta genetik. Peta

genetik ini akan menunjukkan lokasi gen penanda QTL. Setelah peta genetik tersusun maka seleksi

tanaman dilakukan berdasarkan lokasi gen pengendali sifat (QTL).

Penelitian QTL sudah banyak dilaporkan pada Pinus, Populus, Eucalyptus dan Picea. Kegiatan

penelitian genome difokuskan pada identifikasi kandidat gen (65%) dan peta QTL (31%).

Sedangkan target gen yang diteliti adalah gen pengatur sifat kayu, resisten terhadap ketahanan

terhadap stress lingkungan, laju pertumbuhan, keragaman genetik dan karakter pembungaan.

LIPI dan BPPT merupakan lembaga yang banyak terlibat dalam penelitian peta asosiasi QTL.

Gen penanda sifat ketahanan terhadap lingkungan ekstrim telah diinisiasi pada Avicennia alba

menggunakan penanda RAPD (Sinulingga 2002). Gen penanda sifat ketahanan penyakit pada P.

falcataria sudah diinisiasi menggunakan pustaka complement DNA (cDNA) (Hartati 2002) dan

menggunakan penanda RAPD dan AFLP (Sudarmonowati dkk. 2001). Peta genetik sifat tumbuh

dilakukan pada Eucalyptus (Marwoto 2010).

Sedangkan di tingkat Balai Besar, peta genetik terhadap sifat pertumbuhan A. mangium telah

diinisiasi menggunakan penanda SSR. Hingga saat ini, inisiasi peta linkage genetik sudah tersusun

dan beberapa penanda yang digunakan berasosiasi dengan sifat tumbuh.

Kesimpulan

Aspek penelitian bidang genetika molekuler di Balai Besar sudah sejalan dengan penelitian di

tingkat internasional, bahkan dari hasil review yang dilakukan, ada indikasi penelitian di Balai

Page 110: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

APLIKASI PENELITIAN GENETIKA MOLEKULER ILG. Nurtjahjaningsih, AYPBC. Widyatmoko dan A.Rimbawanto

103

lebih maju dibandingkan level nasional. Misalnya saja dari segi penanda genetik yang digunakan;

di institusi penelitian lain masih menggunakan analisis berbasis isoenzyme, sedangkan di Balai

Besar sudah menggunakan penanda berbasis PCR, seperti RAPD, SCAR dan SSR, dimana penanda

ini memberikan hasil yang lebih akurat.

Namun demikian aspek-aspek ini masih dibatasi oleh tupoksi Balai Besar yaitu penelitian

genetika molekuler untuk mendukung program konservasi sumber daya genetik dan program

pemuliaan. Selain itu, masih adanya keterbatasan dalam mengulas hasil yang diperoleh, sehingga

untuk memberikan impact yang nyata terhadap pembangunan kehutanan Indonesia, hasil penelitian

harus lebih diulas dengan lebih cermat dan tajam.

Daftar Pustaka Adams, W.T., Joly, R.J. 1980. Allozyme studies in Loblolly pine sees orchards: Clonal variation

and frequency of progeny due to self-fertilization. Silvae Genetica 29 (1):1-4 Aldrich, P.R., Glaubitz, J.C., Parker, G.R., Rhodes, O.E.JR., Michler, C.H. Genetic structure inside

a declining red oak community in old-growth forest. Journal of Heredity 96(6): 627-634 Aldrich, P., Hamrick.,J.L. 1998. Reproductive Dominance of Pasture Trees in a Fragmented

Tropical Forest Mosaic. Science 281: 103-105 Arens, P. Coop, H., Jansen, J., Vosman, B. 1998. Molecular genetic analysis of black poplar

(Populus nigra L.) along Dutch rivers. Molecular Ecology 7: 11-18 Bradshaw, C.J.A., Isagi, Y., Kaneko, S., Brook, B.W.,Bowman, D.M.J.S., Frankham, R. 2007. Low

genetic diversity in the bottlenecked population of endangered non-native banteng in northern Australia. Molecular Ecology 16:2998-3008

Bucci, G., Gonzalez-Martinez, S., Proveost, G.L., Plomion, C., Ribeiro, M.M. Sebastiani, F., Alia, R., Vendramin, G.G. 2007. Range-wide phylogeography and gene zones in Pinus pinaster Ait. Revealed by chloroplast microsatellite markers. Molecular Ecology 16: 2137-2153

Burdon, R.D. and Low C.B. 1992. Genetic survey of Pinus radiata. 6: wood properties: variation, heritabilities, and interrelationships with other traits. New Zealand Jurnal of Forestry Science, 22 (2/3), 228-245.

El-Kassaby, Y.A., Fashler, A.M.K, Crown, M. 1989. Variation in fruitfulness in a Douglas-fir seed orchard and its effect on crop-management decisions. Silvae Genetica 38 (3-4): 113-121

Friedman, S.T., Adams, W.T. 1985. Levels of outcrossing in two Loblolly pine seed orchards. Silvae Genetica 34 (4-5): 157-162

Gailing, O. Wuehlisch, G.V. 2004. Nuclear markers (AFLPs) and chloroplast mikrosatellites differ between Fagus sylvatica and F. orientalis. Silvae Genetica 53 (3): 105-110

Gomory, D. 1992. Effect of stand origin on the genetic diversity of Norway spruce (Picea abies Karst.) Populations. Forest Ecology and Management 54: 215-223

Hardy, O.J., Vekemans, X. 1999. Iswolation by distance in a continous population: reconciliation between spatial autocorrelation analysis and population genetics models. Heredity 83: 145-154

Isoda, K., Shiraishi, S., Watanabe, S., Kitamura, K. 2000. Molecular evidence of natural hybridization between Abies veitchii and A. homolepsis (Pinaceae) revealed by chloroplast, mitochondrial and neclear DNA markers. Molecular Ecology 9: 1965-1974

Page 111: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

| Bunga Rampai | 91 - 106

104

Isoda, K., Yasman, I., Rimbawanto, A., Prihatini, I. 2001. In-situ and Ex-situ Conservation of Commercial Tropical Trees (ITTO)

Isoda, K., Yuskianti, V., Rimbawanto, A. 2002. Proceeding Advances in genetic improvement of tropical tree species.

JICA-FORDA. 1994. Annual Report 1993-1994 FTIP. No. 18 JICA-BP3BPTH. JICA-FORDA. 1996. Annual Report 1995-1996 FTIP. No. 49 JICA-BP3BPTH. Liu, TS. 1971. A monograph of the Genus Abies. Departement of Forestry, College of Agriculture,

Natonal Taiwan University, Taipei. Prihatini, I., Rimbawanto, A., Isoda, K. 2001. In-situ and Ex-situ Conservation of Commercial

Tropical Trees (ITTO). Rimbawanto, A. 1999. Buletin Penelitian Pemuliaan Pohon 3(1): Rimbawanto, A. Isoda, K. 2001. In-Situ and Ex-Situ Conservation of Commercial Tropical Trees

(ITTO). Rimbawanto, A. Isoda, K., Suharyanto. 2002. Proceeding Advances in Genetic Improvement of

Tropical Tree Species Rimbawanto, A., Shiraishi, S.,Watanabe, A., Widyatmoko, AYPBC. 1996. Tropical Plantation

Establishment Improving Productivity Through Genetic Practices. Procceding International Seminar. Yogyakarta

Rimbawanto, A. Widyatmoko, AYPBC, Prihatini, I., Sulistyawati, P., Wahyunisari, Triyanta, Y. 2005. Pengujian Asal Usul Bibit Jati dengan Marker DNA. Laporan Kegiatan 2005 Buku 2. p. 8-11

Rimbawanto, A. Widyatmoko, AYPBC, Prihatini, I., Sulistyawati, P., Wahyunisari, Triyanta, Y. 2006. Pengujian Asal Usul Bibit Jati dengan Marker DNA. Laporan Kegiatan 2006 Buku 2. p. 9-12

Rimbawanto, A. Widyatmoko, AYPBC, Prihatini, I., Sulistyawati, P., Wahyunisari, Triyanta, Y. 2006. Evaluasi Peran Faktor Genetik Terhadap Produktivitas Gaharu. Laporan Kegiatan 2006 Buku 2. p. 197-200

Rimbawanto, A. Widyatmoko, AYPBC, Sulistyawati, P. 2006. Distribusi Keragaman Genetik Populasi Santalum album Berdasarkan Penanda RAPD. Penelitian Hutan Tanaman 3 (3): 175-181

Rimbawanto, A. Widyatmoko, AYPBC, Yuskianti, V., Wahyunisari, Triyanta, Y. 2007. Evaluasi Status Sumber Genetik Jenis-Jenis Prioritas/ Komersil/ Langka dengan Penanda DNA. Laporan Kegiatan 2007 Buku 2. p. 197-201.

Rimbawanto, A. Widyatmoko, AYPBC, Yuskianti, V., Nurtjahjaningsih, ILG. Wahyunisari, Triyanta, Y. 2009a. Log Tracking Kayu Merbau Menggunakan Penanda DNA. Laporan Kegiatan 2009 Buku 2. p. 118-121.

Rimbawanto, A. Widyatmoko, AYPBC, Yuskianti, V., Nurtjahjaningsih, ILG. Wahyunisari, Triyanta, Y. 2009b. Evaluasi Peran Faktor Genetik Terhadap Produktivitas Gaharu. Laporan Kegiatan 2009 Buku 2. p. 141-144

Smouse, P.E. and Peakall, R. 1999. Spatial autocorrelation analysis of individual multiallele and multilocus genetic structure. Heredity 82: 561-573

Suharyanto, Rimbawanto, A., Isoda, K. 2002. Proceeding Advances in Genetic Improvement of Tropical Tree Species.

Sulistyawati, P. 2004. Identifikasi Jenis Jamur dengan Teknik Molekuler. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 1(2): 58-66

Sulistyawati, P., Widyatmoko, AYPBC, Rimbawanto, A. 2005. Keragaman Genetik Empat Populasi Eusideroxylon zwageri Asal Kalimantan Berdasarkan Penanda RAPD. Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Produktivitas Hutan: Peran Konservasi Sumber Daya Genetik, Pemuliaan dan Silvikulur dalam Mendukung Rehabilitasi Hutan. p.383-396

Page 112: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

APLIKASI PENELITIAN GENETIKA MOLEKULER ILG. Nurtjahjaningsih, AYPBC. Widyatmoko dan A.Rimbawanto

105

Sunarti, S. Nirsatmanto, A., Widyatmoko, AYPBC., Setyaji, T., Yuskianti, V., Yuliastuti, D.S., Wahyunisari, Suwandi, Maryanti, A., Sumaryana, Triyanta, Y. 2008. Uji persilangan dalam jenis dan antar jenis pada jenis-jenis Acacia dan Eucalyptus. Laporan Kegiatan 2008. p. 71-73.

Tsuda, Y. Ide, Y. 2005. Wide-range analysis of genetic structure of Betula maximowicziana, a long-lived pioneer tree species and noble hardwood in the cool temperate zone of Japan. Molecular Ecology 14: 3929-3941

Vos, P., Hogers, R., Bleeker, M., Reijans, M., Van De Lee, T., Hornes, M., Frijters, A. 1995. AFLP: a new technique for DNA fingerprinting. Nucleic Acids Research 23: 4407-4414

Wallace, L.E. 2006. Spatial genetic structure and frequency of interspecific hybridization in Platanthera aquilonis and P. dilatata (Orchidaceae) occuring in sympatry. American Journal of Botany 93(7): 1001-1009

Weising, K. Gardner, R.C. 1999. A set of conserved PCR primers for the analysis of simple sequence repeat polymorphisms in chloroplats genomes of dicotyledonous angiosperm. Genome 42:9-19

Widyatmoko, AYPBC. 1996. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Litbang Pemuliaan Benih Tanaman Hutan

Widyatmoko, AYPBC, Rimbawanto, A., Nurtjahjaningsih, ILG., Yuskianti, V., Wahyunisari, Triyanta, Y. 2009. Variasi Genetik dan Kandungan Resin Kumarin (Coumarin) untuk Mendukung Penyediaan Benih Nyamplung (Calophyllum inophyllum) yang Berkualitas Sebagai Bahan Biofuel. Laporan Kegiatan 2009 Buku 2. p. 168-172

Widyatmoko, AYPBC, Rimbawanto, A., Shiraishi, S., Watanabe, A. 1996. Tropical Plantation Establishment Improving Productivity Through Genetic Practices. Proceeding International Seminar

Widyatmoko, AYPBC., Shiraishi, S., Nirsatmanto, A. Kawazaki, H. 2006. The Effect of Individual Selection for Genetic Diversity of Acacia mangium Seedling Seed Orchard Using AFLP Markers. Journal of Forestry Research 3: 2006

Widyatmoko, AYPBC, Rimbawanto, A., Yuskianti, V., Wahyunisari, Triyanta, Y. 2008. Determinasi Keragaman Genetik Populasi Jenis Suren (Toona sinensis). Laporan Kegiatan 2008 Buku 2. p. 106-110

Widyatmoko, AYPBC., Afritanti, R. D., Taryono, Rimbawanto, A. 2009. Keragaman Genetik Lima Populasi Gyrinops verstegii di Lombok menggunakan Penanda RAPD. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan 3(1):1-10.

Widyatmoko, Lejo, E. S. P., Prasetyaningsih, A., Rimbawanto, A. 2009. Keragaman Genetik Populasi Araucaria cunninghamii menggunakan Penanda RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA). Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan 4(2):1-10

Widyatmoko, AYPBC., Watanabe, A., Shiraishi, S. 2010. Study on Genetic Variation and Relationship among Four Acacia Species using RAPD and SSC Marker. Journal of Forestry Research 7(2):

Williams, JGK., Kubelik, AR., Livak, KJ., Rafalski, JA., Tingey, SV. 1990. DNA polymorphisms amplified by arbitraty primers are useful as genetic markers. Nucleic Acids Research 18:6531-6535

Page 113: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar

| Bunga Rampai | 91 - 106

106

Page 114: Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar