pemuliaan hewan

26
MAKALAH PEMULIAAN HEWAN “PENINGKATAN MUTU GENETIK SAPI POTONG DENGAN SISTEM PERKAWINAN” OLEH: Selvia Fujila (125130100111062) Talitha Rachma U. (125130100111069) Lucky Retno P. (125130100111072) Ayu Khairunnisa (125130100111074) Wulandari (125130100111075) Rizqiza Andro F. (125130100111077) Nofa Eka N. (125130101111063) Febby Ferdina (125130101111) PROGRAM KEDOKTERAN HEWAN

Upload: wulandari-hardian

Post on 19-Jan-2016

45 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

membahas mengenai pemuliaan hewan

TRANSCRIPT

Page 1: pemuliaan hewan

MAKALAH PEMULIAAN HEWAN

“PENINGKATAN MUTU GENETIK SAPI POTONG

DENGAN SISTEM PERKAWINAN”

OLEH:

Selvia Fujila (125130100111062)

Talitha Rachma U. (125130100111069)

Lucky Retno P. (125130100111072)

Ayu Khairunnisa (125130100111074)

Wulandari (125130100111075)

Rizqiza Andro F. (125130100111077)

Nofa Eka N. (125130101111063)

Febby Ferdina (125130101111)

PROGRAM KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2013

Page 2: pemuliaan hewan

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Konsumsi daging sapi di Indonesia terus mengalami peningkatan. Namun

peningkatan tersebut belum diimbangi dengan penambahan produksi yang memadai. Laju

peningkatan populasi sapi potong relatif lamban, yaitu 4,23% pada tahun 2007 (Direktorat

Jenderal Peternakan 2007). Kondisi tersebut menyebabkan sumbangan sapi potong

terhadap produksi daging nasional rendah sehingga terjadi kesenjangan yang makin lebar

antara permintaan dan penawaran (Setiyono et al. 2007).

Populasi sapi potong pada tahun 2007 tercatat 11,366 juta ekor (Direktorat Jenderal

Peternakan 2007). Populasi tersebut belum mampu mengimbangi laju permintaan daging

sapi yang terus meningkat. Untuk mengantisipasinya, pemerintah melakukan impor daging

sapi dan sapi bakalan untuk digemukkan (Priyanti et al.1998). Kebijakan impor tersebut

harus dilakukan walaupun akan menguras devisa negara, karena produksi daging sapi lokal

belum mampu mengejar laju peningkatan permintaan di dalam negeri, baik kuantitas

maupun kualitasnya (Yusdja et al. 2003).

Produksi daging sapi dalam negeri yang belum mampu memenuhi permintaan

tersebut terkait dengan adanya berbagai permasalahan dalam pengembangan sapi potong.

Beberapa permasalahan tersebut adalah: 1) usaha bakalan atau calf-cow operation kurang

diminati oleh pemilik modal karena secara ekonomis kurang menguntungkan dan

dibutuhkan waktu pemeliharaan yang lama, 2) adanya keterbatasan pejantan unggul pada

usaha pembibitan dan peternak, 3) ketersediaan pakan tidak kontinu dan kualitasnya

rendah terutama pada musim kemarau, 4) pemanfaatan limbah pertanian dan agroindustri

pertanian sebagai bahan pakan belum optimal, 5) efisiensi reproduksi ternak rendah dengan

jarak beranak (calving interval) yang panjang 6) terbatasnya sumber bahan pakan yang

dapat meningkatkan produktivitas ternak dan masalah potensi genetik belum dapat diatasi

secara optimal serta 7) gangguan wabah penyakit (Suryana, 2009).

Produksi ternak dipengaruhi oleh banyak faktor, yang secara garis besar dapat

dikelompokkan dalam faktor lingkungan dan faktor genetis. Salah satu faktor lingkungan

utama yang mempengaruhi produktivitas ternak adalah berupa pakan, baik kualitas

maupun kuantitas. Kualitas pakan akan mempengaruhi sistem pencernaan dan

metabolisme. Disamping itu, masing-masing individu ternak memiliki sistem pencernaan

dan sistem metabolisme yang diatur secara genetis, yang antara individu satu dengan

Page 3: pemuliaan hewan

individu lain dalam populasi terdapat variasi. Variasi genetis inilah yang kemudian

dijadikan dasar dalam pemuliaa. Keragaman individu (terutama variasi genotip) memegang

peranan penting dalam pemuliabiakan ternak. Jika dalam suatu populasi ternak tidak ada

variasi genotip, maka tidak ada gunanya menyeleksi ternak bibit. Semakin tinggi variasi

genotip didalam populasi, semakin besar perbaikan mutu bibit yang diharapkan. Populasi

ternak yang memiliki keragaman genetik rendah crossbreeding ataupun outcrossing akan

sangat bermanfaat untuk meningkatkan mutu genetik ternak. Sebaliknya, apabila

keragaman genetik suatu populasi sangat tinggi maka upaya peningkatan mutu genetik

ternak sebaiknya dilakukan melalui program seleksi yang ketat sehingga kemajuan genetik

yang diperoleh akan lebih besar . Di Indonesia usaha untuk menyeleksi dan menyingkirkan

sapi-sapi yang kurang baik dari kelompok sapi yang dipelihara hampir tidak pernah

dilakukan. Hal semacam ini disamping kurang menguntungkan dari segi ekonomi, juga

dapat memperburuk keturunan-keturunan berikutnya (Ngaji Utomo, 2011).

Salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan produktivitas sapi potong adalah

dengan mendatangkan sapi dari Eropa (Bos taurus) seperti Limousine, Simmetal, dan

Brahman. Di Jawa, sapi-sapi tersebut banyak yang dikawinsilangkan (crossing) dengan

sapi Peranakan Ongole (PO) yang menghasilkan sapi PO vs Limousine (Rianto et al.

2005).

Alasan pentingnya peningkatan populasi sapi potong dalam upaya mencapai

swasembada daging antara lain adalah: 1) subsektor peternakan berpotensi sebagai sumber

pertumbuhan baru pada sektor pertanian, 2) rumah tangga yang terlibat langsung dalam

usaha peternakan terus bertambah, 3)tersebarnya sentra produksi sapi potong di berbagai

daerah, sedangkan sentra konsumsi terpusat di perkotaan sehingga mampu menggerakkan

perekonomian regional, dan 4) mendukung upaya ketahanan pangan, baik sebagai

penyedia bahan pangan maupun sebagai sumber pendapatan yang keduanya berperan

meningkatkan ketersediaan dan aksesibilitas pangan (Kariyasa, 2005). Oleh karena itu,

potensi sapi potong perlu dikembangkan, terutama untuk meningkatkan kontribusinya

dalam penyediaan daging untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus meningkat.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apa sajakah teknik perkawinan sapi potong?

1.2.2 Bagaimana pengaruh sistem perkawinan terhadap peningkatan mutu genetik

sapi potong?

Page 4: pemuliaan hewan

1.3 Tujuan

1.3.1 Mengetahui berbagai macam teknik manajemen perkawinan sapi potong.

1.3.2 Mengetahui pengaruh sistem perkawinan terhadap peningkatan mutu genetik

sapi potong.

1.4 Manfaat

Dapat mengetahui berbagai macam teknik manajemen perkawinan serta pengaruh

sistem perkawinan terhadap peningkatan mutu genetik sapi potong.

Page 5: pemuliaan hewan

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Teknik Manajemen Perkawinan Sapi Potong

Teknik manajemen perkawinan sapi potong dapat dilakukan dengan menggunakan

(1) Intensifikasi kawin alam (IKA) dengan pejantan terpilih, (2) teknik inseminasi buatan

(IB) dengan semen beku (frozen semen) dan (3) teknik IB dengan semen cair (chilled

semen).

2.1.1 Intensifikasi kawin alam (IKA)

Upaya peningkatan populasi ternak sapi dapat dilakukan dengan

intensifikasi kawin alam melalui distribusi pejantan unggul terseleksi dari bangsa

sapi lokal atau impor dengan empat manajemen perkawinan, yakni: (a) perkawinan

model kandang individu, (b) perkawinan model kandang kelompok/umbaran, (c)

perkawinan model rench (paddock) dan (d) perkawinan model padang pengembalaan

(angonan). Pejantan yang digunakan berasal dari hasil seleksi sederhana, yaitu

berdasarkan penilaian performans tubuh dan kualitas semen yang baik, berumur lebih

dari dua tahun dan bebas dari penyakit reproduksi (Brucellosis, Leptospirosis, IBR

(Infectious Bovine Rhinotracheitis) dan EBL (Enzootic Bovine Leucosis).

Untuk seleksi induk diharapkan memiliki deskriptif sebagai berikut:

1) induk dereman/manaan (nahunan), yakni dapat beranak setiap tahun,

2) skor kondisi tubuh 5-7,

3) badan tegap, sehat dan tidak cacat,

4) tulang pinggul dan ambing besar, lubang pusar agak dalam dan

5)Tinggi gumba > 135 cm dengan bobot badan > 300 kg.

2.1.1.1 Perkawinan di kandang invidu (sapi diikat)

Kandang individu adalah model kandang dimana setiap ekor sapi

menempati dan diikat pada satu ruangan; antar ruangan kandang individu

dibatasi dengan suatu sekat. Kandang invidu di peternak rakyat, biasanya

berupa ruangan besar yang diisi lebih dari satu sapi, tanpa ada penyekat

tetapi setiap sapi diikat satu persatu. Model Perkawinan kandang individu

dimulai dengan melakukan pengamatan birahi pada setiap ekor sapi induk

dan perkawinan dilakukan satu induk sapi dengan satu pejantan (kawin

Page 6: pemuliaan hewan

alam) atau dengan satu straw (kawin IB). Biasanya kandang individu yang

sedang bunting beranak sampai menyusui pedetnya.

Pengamatan birahi dapat dilakukan setiap hari pada waktu pagi dan

sore hari dengan melihat gejala birahi secara langsung dengan tanda-tandan

estrus. Apabila birahi pagi dikawinkan pada sore hari dan apabila birahi

sore dikawinkan pada besuk pagi hingga siang. Persentase kejadian birahi

yang terbanyak pada pagi hari. Setelah 6-12 jam terlihat gejala birahi, sapi

induk dibawa dan diikat ke kandang kawin yang dapat dibuat dari besi atau

kayu, kemudian didatangkan pejantan yang dituntun oleh dua orang dan

dikawinkan dengan induk yang birahi tersebut minimal dua kali ejakulasi.

Setelah 21 hari (hari ke 18-23) dari perkawinan, dilakukan

pengamatan birahi lagi dan apabila tidak ada gejala birahi hinggga dua

siklus (42 hari) berikutnya, kemungkinan sapi induk tersebut berhasil

bunting. Untuk meyakinkan bunting tidaknya, setelah 60 hari sejak

dikawinkan, dapat dilakukan pemeriksaan kebuntingan dengan

palpasirektal, yaitu adanya pembesaran uterus seperti balon karet (10-16

cm) dan setelah hari ke 90 sebesar anak tikus. Induk setelah bunting tetap

berada dalam kandang individu hingga beranak, namun ketika beranak

diharapkan induk di keluarkan dari kandang individu selama kurang lebih 7-

10 hari dan selanjutnya dimasukkan ke kandang invidu lagi.

2.1.1.2 Perkawinan di kandang kelompok

Kandang terdiri dari dua bagian, yaitu sepertiga sampai setengah

luasan bagian depan adalah beratap/diberi naungan dan sisanya di bagian

belakang berupa areal terbuka yang berpagar sebagai tempat pelombaran.

Ukuran kandang (panjang x lebarnya) tergantung pada jumlah ternak yang

menempati kandang, yaitu untuk setiap ekor sapi dewasa membutuhkan

luasan sekitar 20 – 30 m2.

Bahan dan alatnya: dibuat dari semen atau batu padas, dinding

terbuka tapi berpagar, atap dari genteng serta dilengkapi tempat pakan,

minum dan lampu penerang.

Kapasitas kandang dapat berisi satu ekor pejantan dengan 10 ekor

induk (1:10) dengan pemberian pakan sesuai kebutuhan secara bersama-

sama sebanyak dua kali sehari, yaitu pada waktu pagi dan sore hari.

Page 7: pemuliaan hewan

Manajemen perkawinan model kandang kelompok dapat dilakukan oleh

kelompok tani atau kelompok perbibitan sapi potong rakyat yang memiliki

kandang kelompok usaha bersama (cooperate farming system) dengan

tahapan sebagai berikut:

Induk bunting tua hingga 40 hari setelah beranak (partus) diletakkan

pada kandang khusus, yakni di kandang bunting dan atau menyusui

Setelah 40 hari induk dipindahkan ke kandang kelompok dan dicampur

dengan pejantan terpilih dengan kapasitas sapi sebanyak 10 ekor betina

(induk atau dara) dan dikumpulkan menjadi satu dengan pejantan dalam

waktu 24 jam selama dua bulan.

Setelah dua bulan dikumpulkan dengan pejantan dilakukan pemeriksaan

kebuntingan (PKB) dengan cara palpasi rectal terhadap induk-induk sapi

tersebut (perkawinan terjadi secara alami tanpa diketahui yang

kemungkinan pada malam hari atau waktu tertentu yang tidak diketahui

Sapi induk yang positif bunting dipisah dari kelompok tersebut dan

diganti dengan sapi yang belum bunting atau hasil pemeriksaan

kebuntingan dinyatakan negatif.

2.1.1.3 Perkawinan model mini rench (paddock)

Bahan dan alat berupa ren berpagar 30 x 9 M2 yang dilengkapi

dengan tempat pakan dan minum beralaskan lantai paras dan berpagar serta

dilengkapi juga tempat pakan berupa hay, diantaranya jerami padi kering

atau kulit kedele kering.

Manajemen perkawinan model ren dapat dilakukan oleh kelompok

perbibitan sapi potong rakyat yang memiliki areal ren berpagar pada

kelompok usaha bersama (cooperate farming system) seperti di daerah

Indonesia Bagian Timur dengan tahapan sebagai berikut:

Induk bunting tua hingga 40 hari setelah beranak (partus) diletakkan

pada kandang khusus, yakni di kandang individu (untuk induk bunting

dan atau menyusui)

Setelah 60 hari induk dipindahkan ke areal rench (paddock) dan

dicampur dengan pejantan terpilih dengan kapasitas sapi sebanyak 30

ekor betina (induk atau dara) dan dikumpulkan dengan satu pejantan

dalam sepanjang waktu (24 jam) selama dua bulan;

Page 8: pemuliaan hewan

Setelah dua bulan dikumpulkan dengan pejantan dilakukan pemeriksaan

kebuntingan dengan cara palpasi rektal terhadap induk sapi (perkawinan

terjadi secara alami tanpa diketahui yang kemungkinan pada malam hari

atau waktu tertentu yang tidak diketahui)

Pergantian pejantan dilakukan setiap setahun sekali guna menghindari

kawin keluarga (inbreeding);

Sapi induk yang positif bunting dipisah dari kelompok tersebut dan

diganti dengan sapi yang belum bunting atau hasil PKB dinyatakan

negatif.

2.1.1.4 Perkawinan model padang pengembalaan (angonan).

Bahan dan alat berupa padang pengembalaan yang pada umumnya

dekat hutan/perkebunan maupun di ladang sendiri yang dilengkapi dengan

kandang kecil berupa gubuk untuk memperoleh pakan tambahan atau air

minum terutama pada saat musim kemarau yang banyak diperoleh di dekat

hutan atau Indonesia Bagian Timur.

Manajemen perkawinan dengan cara angon dapat dilakukan oleh

petani atau kemitraan antara kelompok perbibitan sapi potong rakyat

dengan perkebunan atau kehutanan seperti di Sumatera, Sulawesi dan

Kalimantan dengan tahapan sebagai berikut:

Induk bunting tua maupun setelah beranak (partus) tetap langsung

diangon bersama pedetnya

Bila ada sapi yang terlihat gejala birahi langsung dipisah untuk diamati

keadaan birahinya. Selanjutnya setelah diketahui bahwa sapi tersebut

birahi maka langsung dapat dikawinkan dengan pejantan terpilih dan

ditaruh dikandang dekat rumah.

Setelah dua hari dikawinkan selanjutnya dapat dilepaskan kembali ke

hutan atau padang angonan

Pergantian pejantan dapat dilakukan selama tiga kali beranak guna

menghindari kawin keluarga (inbreeding).

Sapi induk yang positif bunting tua (akan beranak) sebaiknya dipisah

dari kelompok angonan hingga beranak dan diletakkan di pekarangan

yang dekat dengan rumah atau dikandangkan dengan diberikan pakan

Page 9: pemuliaan hewan

tambahan berupa konsentrat atau jamu tradisional terutama pada sapi

induk pasca beranak.

2.1.2 Teknik kawin IB dengan semen beku

Teknologi IB menggunakan semen beku pada sapi potong telah digunakan

sejak belasan tahun silam dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas

ternak sapi melalui penggunaan pejantan pilihan dan menghindari penularan penyakit

atau kawin sedarah (inbreeding). Selama ini pelaksanaan teknologi IB di lapangan

masih mengalami beberapa hambatan, antara lain S/C > 2 dan angka kebuntingan ≤

60%, sehingga untuk meningkatkan populasi dan mutu sapi potong serta guna

memperluas penyebaran bakalan sapi potong, diperlukan suatu petunjuk praktis

tentang manajemen IB mengunakan semen beku mulai dari penanganan ketika straw

beku dalam kontener hingga akan disuntikan/Idi-IB-kan ke sapi induk, termasuk cara

thawing dan waktu IB; dengan harapan dapat memperbaiki manajemen perkawinan

melalui pelaksanaan IB yang selama ini sering menimbulkan permasalahan di tingkat

peternak maupun inseminator. Dengan adanya petunjuk tentang manajemen IB

diharapkan dapat menambah tingkat keterampilan inseminator dan pengalaman

peternak sehinggga tingkat kebuntingan ternak dapat dicapai secara optimal dan

tahapan teknik ini perlu diinformasikan kepada pengguna seperti petani peternak,

inseminator dan kelompok peternak.

Tahapan teknik manajemen IB dengan menggunakan semen beku yang

perlu dilakukan meliputi:

2.1.2.1 Penanganan semen beku dalam kontener

Penanganan semen beku dalam kontener merupakan suatu faktor

yang sangat penting guna mencegah kematian sperma atau mencegah

kualitas straw tetap baik dan bisa digunakan untuk IB pada sapi induk.

Manajemen handling straw beku ketika dalam kontener meliputi:

Semen beku di dalam kontener harus selalu terisi N2 cair dan straw

terendam dalam N2 cair tersebut yang jaraknya minimal > 15 cm dari

dasar kontener

Setiap seminggu sekali dilakukan pengecekan N2 cair dalam kontener

dengan cara memasukkan penggaris plastik warna hitam atau kayu ke

dalam kontener yang langsung diangkat, sehingga akan nampak bekas

N2 berwarna putih pada penggaris tersebut

Page 10: pemuliaan hewan

Pengambilan straw dalam kontener tidak boleh melebihi tinggi leher

kontener dan hindarkan sinar matahari langsung ketika mengambil straw

dari dalam kontener

Straw beku setelah dithawing diharapkan tidak perlu dikembalikan ke

dalam kontener lagi karena kualitas akan menurun dan mengalami

kematian sperma.

2.1.2.2 Cara thawing dan waktu IB

Salah satu keberhasilan kebuntingan sapi induk yang diinseminasi

(kawin suntik) selain kualitas semen adalah faktor thawing dan waktu IB.

Cara dan pelaksanaan thawing dan waktu IB yang tepat untuk semen beku

yang kemungkinan besar dapat berhasil dengan baik adalah sebagai berikut:

Merendam straw yang berisi semen beku ke dalam air hangat suhu 37,5

oC dalam waktu 25-30 detik atau dapat pula menggunakan air sumur

atau air ledeng pada suhu 25-30 ºC selama kurang dari satu menit

memperoleh nilai PTM > 40 %

Apabila menggunakan air es waktu lebih lama, yakni sampai tampak

adanya gelembung udara pada straw; yang selanjutnya segera

diinseminasikan ke induk yang sedang birahi.

Waktu pelaksanaan IB yang ideal adalah 10-22 jam setelah awal terlihat

gejala birahi induk, yakni bila birahi pagi dikawinkan pada sore hari dan

bila birahi sore hari dapat dikawinkan pada besuk paginya.

2.1.2.3 Pelaksanan IB di lapang.

Setelah terlihat induk sapi birahi dengan tanda-tanda birahi, yakni:

(1) terlihat vulvanya dengan istilah 3 A (abang aboh dan angat),

(2) keluar lender dari vagina,

(3) gelisah (menaiki api lain atau kandang),

(4) vulva bengkak dan hangat warna kemeahan,

(5) keluar air mata dan

(6) dinaiki pejantan atau sapi lain diam saja. Selanjutnya induk sapi

ditempatkan pada kandang kawin dari bambu atau besi dengan tahapan

sebagai berikut:

Page 11: pemuliaan hewan

Feses sapi dikeluarkan dari lubang rectum melalui lubang anus dengan

tangan kanan

Vulva dibersihkan dengan kain basah dan di desinfektan dengan cara

mengusapkan kapas berisi alkohol 70 %

Straw berisi semen beku setelah dimasukkan air (thawing), dimasukkan

ke dalam peralatan kawin suntik (AI Gun) dan secara perlahan

dimasukkan kedalam vagina induk sapi

Sambil memasukkan straw ke dalam uterus; dilakukan pula palpasi

rektal ke dalam rektum guna membantu masuknya gun ke uterus (1 cm

dari servik)

Semen di dalam straw disemprotkan kedalam cornua uteri (posisi 4 +),

kemudian secara perlahan gun ditarik sambil memijat cervik dan vagina

dengan tangan kiri

Setelah selesai, semua peralatan IB dibersihkan dan dilakukan rekording

dengan kartu IB guna memudahkan pencatatan selanjutnya.

2.1.3 Teknik kawin IB dengan semen cair

Teknolgi alternatif yang dapat digunakan untuk prosesing semen sapi

potong dalam membantu pengembangan program IB secara cepat dan mudah

dikerjakan di lapang, secara industri maupun kelompok (cooperate farming) dapat

menggunakan teknologi semen cair (chilled semen). Teknolgi semen cair dapat

dibuat dengan bahan pengencer dan peralatan yang sederhana serta mudah diperoleh.

Bahan pengencer dapat berasal dari air kelapa muda atau tris-sitrat dengan kuning

telur ayam dan dapat disimpan di dalam cooler/kulkas dengan suhu 5oC selama 7-10

hari. Hasil penelitian uji semen cair di lapang oleh staf peneliti Lolit Sapi Potong

menunjukkan nilai post thawing motility (PTM) > 40 % dengan service/conception

(S/C) < 1,5 dan tingkat kebuntingan (conception rate/CR) >70 %. Semen cair

(chilled semen) pada sapi potong merupakan campuran antara cairan semen dengan

spermatozoa dalam bentuk segar yang ditampung menggunakan vagina buatan ;

selanjutnya ditambahkan larutan pengencer tertentu (air kelapa dan kuning telur)

sebagai bahan energi/daya hidup spermatozoa. Semen cair ini dapat disimpan atau

dapat langsung digunakan pada sapi potong atau jenis sapi lainnya melalui kawin

suntik (inseminasi buatan/IB).

Page 12: pemuliaan hewan

Tehnologi semen cair ini diharapkan mampu memberikan alternative

pengembangan wilayah akseptor IB yang belum terjangkau oleh IB semen beku atau

IB semen bekunya belum maju. Di samping itu, biaya pembuatan semen cair lebih

murah dan dapat dikerjakan oleh Balai Inseminasi Buatan Daerah (BIBD) maupun

kelompok peternak yang sudah maju (mainded).

Dalam rangka penyebaran informasi bidang reproduksi ternak khususnya

sapi potong. Penanganan manajemen IB dengan semen cair meliputi:

2.1.3.1 Cara menyimpanan semen cair pada suhu dingin,

Setelah semen segar diproses menjadi semen cair melalui petunjuk

teknis pembuatan semen cair pada sapi potong, selanjutnya dilakukan

penyimpanan semen cair dengan

cara sebagai berkut:

• Siapkan peralatan penyimpan straw berupa termos yang telah diisi dengan

es batu secukupnya;

• Straw berisi semen cair dapat disimpan dalam tabung reaksi kemudian

masukkan dalam thermos;

• Usahakan suhu dingin (5oC) dalam termos sehingga semen cair dapat

berahan 7-10 hari.

• Termos disimpan dalam ruangan yang terhindar dari sinar mataharisecara

langsung.

• Kontrol suhu dan es batu dalam termos setiap hari dan setiap selesai

mengambil straw.

2.1.3.2 pelaksanaan IB di lapang.

Setelah terlihat tanda-tanda birahi induk sapi ditempatkan pada

kandang kawin dari bambu atau besi dengan tahapan sebagai berikut:

• Siapkan semen cair dan peralatan IB yang akan digunakan;

• Straw berisi semen cair dimasukkan ke dalam peralatan kawin suntik (AI

Gun) secara pelan-pelan;

• Lakukan eksplorasi rektal untuk meraba organ reproduksi induk sehingga

IB dapat dilakukan dengan mudah;

• Feses dikeluarkan dari lubang rectum melalui lubang anus dengan tangan

kanan;

• Vulva dibersihkan dengan kain lap basah dan didesinfektan dengan cara

mengusapkan kapas berisi alkohol 70 %;

Page 13: pemuliaan hewan

• Apabila servic uteri sudah terpegang, masukkan gun melalui vulva dorong

terus sampai melewati servic dan masuk ke dalam corpus uteri (1 cm dari

servik);

• Semen di dalam straw disemprotkan kedalam cornua uteri secara perlahan

ditarik gun sambil memijat cervik dan vagina dengan tangan kiri.

2.2 Pengaruh Sistim Perkawinan Terhadap Peningkatan Mutu Genetik Sapi Potong

Peningkatan mutu genetik melalui sistem perkawinan dapat dilakukan dengan

sistem persilangan. Sistem perkawinan  yang paling banyak digunakan dalam penerapan

pemuliaan ternak. Alasan menggunakan sistem ini   ialah karena dapat digunakan untuk

menghasilkan  efek heterosis. Persilangan (Cross breeding), didefinisikan sebagai

perkawinan hewan yang berbeda bangsanya. Persilangan bisa mempunyai total efisiensi

yang lebih besar sebesar 15 – 25 % dibandingkan dengan tetuanya, yaitu pada tingkat

produksi, perkembangan anak, tingkat pertumbuhan dan konversi makanan. Persilangan

antara PO dengan Simental disebut juga persilangan dua bangsa berbeda. Persilangan

biasanya menggunakan bangsa sapi yang telah diketahui kemampuan produksi dan

reproduksinya, adaptif terhadap sumber pakan yang tersedia, sesuai dengan permintaan

pasar dan kondisi lingkungan lainnya (Yanhendri, 2007).

Persilangan dengan menggunakan bangsa yang berbeda dengan karakteristik yang

saling melengkapi, biasanya akan menghasilkan sistim produksi dengan efisiensi dan

tingkat keuntungan yang lebih besar. Hal ini kemudian digunakan sebagai dasar untuk

menggunakan bangsa yang lebih kecil dengan reproduksi dan sifat keibuan yang baik dan

bangsa yang besar dengan pertumbuhan yang baik dan karkas yang baik. Perkembangan

persilangan ini sangat pesat di Amerika Serikat dan Australia, dimana pada awalnya

dilakukan antara sesama Bos taurus, baik persilangan sesama sapi tipe potong ataupun tipe

potong dengan tipe perah. Namun kemudian berkembang dengan pemanfaatan sapi-sapi

Bos indicus terutama Brahman dan sapi-sapi jenis Zebu Lainnya, persilangan seperti ini

juga berkembang dengan pesat pada negara-negara berkembang . Lebih banyak produsen

daging menggunakan program persilangan untuk mendapatkan keuntungan dari heterosis

dalam hubungannya dengan peningkatan genetik. Heterosis merupakan hasil persilangan

dimana keturunan yang dihasilkan mempunyai rata-rata produksi yang lebih baik

dibandingkan rata-rata produksi tetuanya (Yanhendri, 2007).

Ketika dua bangsa sapi disilangkan, anak yang lahir dinamakan F1 yang

mempunyai masing-masing setengah gen dari kedua tetuanya. F1 mempunyai kandungan

Page 14: pemuliaan hewan

darah 50 % berasal dari induk dan 50 % berasal dari jantan. F2 merupakan hasil

persilangan dari F1, dapat menggunakan metode Back cross ataupun Criss cross . F2 akan

mempunyai komposisi darah 25% berasal dari bangsa induk awal dan 75% berasal dari

bangsa pejantan awal. Persilangan untuk produksi F1 atau yang lebih dikenal dengan

persilangan terminal banyak dilakukan pada ternak sapi potong.

Tujuan sistem persilangan ini adalah menggambarkan sifat-sifat baik dan

memanfaatkan sejauh mungkin efek heterosis atau hybrid vigor yang timbul pada F1 atau

hewan-hewan hasil persilangan bangsa berbeda. Heterosis timbul sebagai akibat

heterosigositas yang terjadi dalam hewan silangan dan tampak sebagai meningkatnya sifat

produksi yang lebih tinggidari rata-rata produksi kedua bangsa yang disilangkan .

2.2.1 Perkawinan silang Terminal :

2.2.1.1  Sistem perkawinan Silang Terminal (Terminal Crossbreeding)

Memanfaatkan persilangan rotasi untuk setengah ternak muda dari

kawanan ternak betina sebagi generasi pengganti.

Sapi-sapi yang lebih tua disilangkan untuk mendapatkan sire terminal . 

Semua keturunan dijual (memaksimalkan heterosis)

Meningkatkan (berat badan) ternak sapi yang akan dijual.

2.2.1.2 Metode Sistem Kawin Silang Terminal (Terminal Crorssbreeding)

Bentuk paling sederhana dari persilangan adalah persilangan

terminal. Dalam sistem ini, keturunan semua dipasarkan, sehingga

diperlukan untuk membeli betina pengganti. Jika betina pengganti F1

(betina yang memiliki kekuatan 100 % hybrid untuk sifat-sifat keibuan)

yang dibeli dan dibesarkan untuk sapi jantan dari jenis yang berbeda, baik

sapi dan anak sapi mengambil keuntungan dari heterosis maksimum. Sistem

ini juga memungkinkan fleksibilitas dalam memilih bangsa untuk

digunakan.Penggantian betina dapat diperoleh yang terdiri dari bibit sapi

maternal dan dibesarkan untuk sapi yang memiliki pertumbuhan

tinggi. Sistem ini merupakan tipe yang optimal dari berbagai peternak

sapi. Alur bahkan lebih sederhana dari sistem ini hanya menggunakan dua

keturunan. Sapi jantan dari breed A dibiakkan untuk betina dari breed B

untuk menghasilkan keturunan F1 AB. Keturunan ini akan menunjukkan

heterosis maksimum, tetapi bila betina yang dihasilkan sapi ini tidak

dipersilangkan, keturunan tidak dapat memperoleh bagian dari setiap

heterosis induknya.

Page 15: pemuliaan hewan

Diagram Persilangan Terminal (Terminal Cross) pada Sapi Potong

2.2.1.3 Kelemahan dari Persilangan Terminal (Terminal Cross)

Kelemahan dari sistem perkawinan  terminal adalah bahwa sistem

ini perlu didukung oleh peternakan pembibitan yang harus menyediakan

sapi-sapi betina dan jantan dari bangsa yang akan disilangkan. Jika pada

persilangan antara dua bangsa yang sama keunggulannya maka efek

heterosis yang diharapkan tidak cukup besar maka peternakan secara murni

akan lebih efisien. Sebaliknya pada persilangan antara bangsa ternak unggul

dengan bangsa lokal yang berformans rendah maka F1 yang timbul

biasanya sudah menunjukkan peningkatan prestasi sampai 100% di atas

bangsa lokal, sehingga heterosis tidak terlalu penting artinya.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Page 16: pemuliaan hewan

Dari makalah pemuliaan hewan ini dapat disimpulkan bahwa teknik manajemen

perkawinan pada sapi potong ada tiga yaitu Intensifikasi kawin alam (IKA) dengan

pejantan terpilih, teknik inseminasi buatan (IB) dengan semen beku (frozen semen) dan

teknik IB dengan semen cair (chilled semen). Selain itu peningkatan mutu genetik melalui

sistem perkawinan dapat dilakukan dengan sistem persilangan. Sistem perkawinan 

merupakan sistem yang paling banyak digunakan dalam penerapan pemuliaan ternak.

Sistem perkawinan ini banyak digunakan karena dapat menghasilkan  efek heterosis.

Persilangan (Cross breeding) merupakan perkawinan hewan yang berbeda bangsanya.

Persilangan bisa mempunyai total efisiensi yang lebih besar antara 15 – 25 %.

3.2 Saran

Setelah dibuatnya makalah ini, diharapkan kritik maupun saran untuk penulis yang

bersifat membangun untuk kedepannya dari para pembaca, agar nantinya dapat lebih baik

lagi dalam menulis dan membuat makalah.

DAFTAR PUSTAKA

Affandhy, Lukman, Dicky M. Dikman dan Aryogi . 2007. Petunjuk Teknis Manajemen Perkawinan Sapi Potong. Grati ; Pusat Penelitian Dan Pengembangan Peternakan.

Page 17: pemuliaan hewan

Direktorat Jenderal Peternakan. 2007. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.

Ngaji Utomo, B. 2011. Keragaman Fenotip Dan Genetik, Profil Reproduksi Serta Strategi Pelestarian Dan Pengembangan Sapi Katingan Di Kalimantan Tengah. Bogor : Institut Pertanian Bogor.

Priyanti, A., T.D. Soedjana, R. Matondang, dan P. Sitepu. 1998. Estimasi Sistem Permintaan Dan Penawaran Daging Sapi Di Provinsi Lampung. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 3(2): 71−77.

Rianto, E., Nurhidayat, dan A. Purnomoadi.2005. Pemanfaatan Protein Pada Sapi Peranakan Ongole Dan Sapi Peranakan Ongole x Limousine Jantan Yang Mendapat Pakan Jerami Padi Fermentasi Dan Konsentrat. J.lndon. Trop. Anim. Agric. 30(3): 186−191.

Setiyono, P.B.W.H.E., Suryahadi, T. Torahmat,dan R. Syarief. 2007. Strategi Suplementasi Protein Ransum Sapi Potong Berbasis Jerami Dan Dedak Padi. Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Peternakan 30(3): 207−217.

Suryana. 2009. Pengembangan Usaha Ternak Sapi Potong Berorientasi Agribisnis Dengan Pola Kemitraan. Jurnal Litbang Pertanian 28 (1).

Yanhendri. 2007. Penampilan Reproduksi Sapi Persilangan F1 Dan F2 Simental Serta Hubungannya Dengan Kadar Hormon Esterogen Dan Progesteron Pada Dataran Tinggi Sumatra Barat. Bogor : Institut Pertanian Bogor.

Yusdja, Y., N. Ilham, dan W.K. Sejati. 2003. Profil Dan Permasalahan Peternakan. Forum Penelitian Agro-Ekonomi 21(1): 45−56.