001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · balai besar penelitian bioteknologi dan pemuliaan...

210

Upload: others

Post on 19-Oct-2019

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam
Page 2: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

i BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

PROSIDINGSEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN

YOGYAKARTA, 9 Oktober 2012

BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI

SUMBER DAYA HUTAN

Editor :

Anto Rimbawanto

Budi Leksono

AYPBC Widyatmoko

BALAI BESAR PENELITIAN BIOTEKNOLOGI DAN PEMULIAAN TANAMAN HUTAN

Jl. Palagan Tentara Pelajar km. 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta 55582

Telp. (0274) 895954, Fax. (0274) 896080, Email : [email protected]

Page 3: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

ii PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

PROSIDING INI DITERBITKAN OLEH : BALAI BESAR PENELITIAN BIOTEKNOLOGI DAN PEMULIAAN TANAMAN HUTAN

Editor :

Dr.Ir. Anto Rimbawanto,M.Agr

Dr. Ir.Budi Leksono, MP

Dr. Ir.AYPBC Widyatmoko,M.Agr

Redaksi Pelaksana :

Ir. Edy Subagyo, MP

Ir. Dyah Nurhandayani, M.Sc

Nana Niti Sutisna, S.IP

Maya Retnasari, A.Md

Hak Cipta oleh BBPBPTH

Dilarang menggandakan buku ini sebagian atau seluruhnya, baik dalam bentuk fotokopi, cetak,

microfilm, elektronik maupun dalam bentuk lainnya, kecuali untuk keperluan pendidikan atau

keperluan non komersial lainnya dengan mencantumkan sumbernya, seperti berikut :

Untuk sitiran seluruh buku, ditulis : Proseding Seminar Nasional Bioteknologi Hutan Tema:

Bioteknologi Hutan Untuk Produktivitas dan Konservasi Sumber Daya Hutan 9 Oktober 2012

Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran

sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam Prosiding Seminar Nasional Bioteknologi Hutan

Untuk Produktivitas Dan Konservasi Sumber Daya Hutan 9 Oktober 2012. .Balai Besar Penelitian

Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.

Halaman….

ISBN :…………………………..

Terbit tahun 2013

Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

Jl. Palagan Tentara Pelajar km. 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta 55582

Telp. (0274) 895954, Fax. (0274) 896080, Email : [email protected]

Page 4: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

iii BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

KATA PENGANTAR

Seminar Nasional Bioteknologi Hutan Tahun 2012 dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui

kemajuan dan status terkini penelitian dan pengembangan bioteknologi hutan, khususnya yang

dilakukan oleh Lembaga-lembaga Penelitian dan Perguruan Tinggi di Indonesia serta untuk

mendapatkan masukan bagi pengembangan penelitian di bidang bioteknologi hutan.

Diharapkan dari kegiatan ini dapat memberikan informasi perkembangan dari penelitian di bidang

bioteknologi hutan, memicu inovasi-inovasi dari peneliti maupun pemerhati di bidang bioteknologi

hutan

Semoga kumpulan makalah dalam prosiding ini dapat memberikan gambaran dan manfaat terkait

dengan bidang bioteknologi hutan.

Yogyakarta, Oktober 2013

Kepala Balai Besar,

Dr. Ir. Amir Wardhana, M.For. Sc NIP.19570530 198303 1 002

Page 5: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

iv PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Page 6: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

v BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ........................................................................................................................... iii

Daftar Isi ...................................................................................................................................... v

Sambutan Kepala Badan Litbang Kehutanan Pada Acara Seminar Nasional Bioteknologi Hutan ..................................................................................................................... vii

Laporan Kepala Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan ..... xi

Rumusan ..................................................................................................................................... xv

MAKALAH UTAMA

Perbanyakan Missal Tanaman Sagu (Metroxylon sagu Rottb.) Melalui Embriogenis Somatik Sumaryono ................................................................................................................................... 1

Peranan DNA Barkoding Dalam Mendukung Upaya Konservasi Fauna Di Indonesia Hari Sutrisno ............................................................................................................................... 11

MAKALAH PENUNJANG

Perbanyakan Tunas Araucaria cunninghamii (Aiton ex D. Don) Dari Eksplan Yang Berasal Dari Seedling Yelnititis ....................................................................................................................................... 21

Ketersediaan Eksplan, Tunas Aksiler Dan Kalugenesis Pada Perbanyakan Mikro Toona Sinensis Asri Insiana Putri ........................................................................................................................ 31

Peningkatan Daya Multiplikasi Tunas In Vitro Tanaman Gaharu Dalam Upaya Ikut Membantu Pengembangan Dan Kelestariannya Ali Husni dan Mia Kosmiatin .................................................................................................... 45

Enkapsulasi Buku Satu Tunas In Vitro Tanaman Gaharu (Aquilaria. malaccensis lank) M. Kosmiatin dan Ali Husni.. .................................................................................................... 57

Page 7: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

vi PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Review Kultur Jaringan Cendana (Santalum Album L.) Toni Herawan ........................................................................................................................... 65

Identifikasi Tetua Unggul Di Kebun Benih Acacia mangium ILG. Nurtjahjaningsih .............................................................................................................. 91

Identifikasi Jamur Endofit Pada Tanaman Hutan Menggunakan Penanda Molekuler: Potensi Bagi Pengendalian Penyakit Pada Tanaman Hutan Istiana Prihatini ................................................................................................................ 109

Penanda Single Nucleotide Polymorphisms (SNPs) Untuk Identifikasi Genetik Di Sengon (Falcataria moluccana) Dan Acacia Hibrida Vivi Yuskianti ............................................................................................................................ 119

Pemuliaan Tanaman Hutan Dengan Metode Pendekatan Transcriptomics-Proteomics Purnamila Sulistyawati ............................................................................................................. 129

Verifikasi Asal-Usul Kayu Merbau (Intsia bijuga) Menggunakan Penanda DNA: Strategi Dan Status Penelitian AYPBC Widyatmoko dan Anto Rimbawanto ......................................................................... 141

Aplikasi Molecular Sexing Pada Gelatik Jawa (Padda oryzivora) Pramana Yuda ............................................................................................................................ 151

Peran Hasil Penelitian Genetika Molekuler Dalam Mendukung Strategi Konservasi Aquilaria sp AYPBC Widyatmoko ................................................................................................................. 155

Konservasi Banteng (Bos javanicus D’alton): Analisis Keragaman Genetik Dan Dinamika Populasi Maryatul Qiptiyah dan AYPBC Widyatmoko ........................................................................ 169

LAMPIRAN

Daftar Peserta ............................................................................................................................. 175

Jadwal Acara .............................................................................................................................. 181

Susunan Panitia .......................................................................................................................... 183

Page 8: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG KEHUTANAN

PADA ACARA SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN

Yang saya hormati :

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi DI. Yogyakarta

Dekan Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada

Para Pejabat, Peneliti, Akademisi, Praktisi dan Pemerhati

Serta para Undangan Seminar.

Assalamualaikum wr wb.

Selamat pagi dan Salam Sejahtera untuk kita semua.

Pertama-tama dan utama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan

karuniaNya sehingga kita diberi kesempatan, kesehatan untuk bisa hadir pada acara SEMINAR

NASIONAL “BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI

SUMBER DAYA HUTAN” yang diselenggarakan oleh Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan

Pemuliaan Tanaman Hutan.

Saudara-saudara sekalian,

Dewasa ini gangguan terhadap hutan di Indonesia sangat signifikan yang menyebabkan luasan

maupun potensinya semakin berkurang. Berbagai macam upaya dan kegiatan telah dilakukan untuk

mempertahankan atau bahkan mengembalikan potensi hutan. Untuk itu, kegiatan penanaman

semakin digalakkan untuk mencapai tujuan tersebut. Berbagai program penanaman telah dan

sedang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia dengan melibatkan masyarakat. Di samping itu

kegiatan pelestarian kehutanan dengan melakukan konservasi sumber daya alam yang masih tersisa

juga semakin digalakkan.

Kegiatan bioteknologi di bidang kehutanan meliputi 3 bidang utama, yaitu penggunaan metode

pembiakan kultur jaringan, penggunaan penanda molekuler dan rekayasa genetik untuk

memproduksi genetically modified organisms (GMOs), atau transgenic trees.

Kultur jaringan merupakan salah satu teknik pembiakan vegetatif tanaman dengan cara mengisolasi

bagian tanaman seperti daun, mata tunas, serta menumbuhkan bagian-bagian tersebut dalam media

buatan. Melalui teknik kultur jaringan, pengadaan bibit tidak tergantung musim dan bibit dapat

Page 9: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

diproduksi dalam jumlah banyak dengan waktu yang relatif lebih cepat.

Penanda molekuler dapat digunakan untuk mendukung berbagai kegiatan, diantaranya untuk

pemuliaan (pemuliaan berbasis molekuler) dan konservasi sumberdaya genetik. Secara umum,

pemuliaan konvensional lebih menitikberatkan pada perkawinan dan seleksi fenotipik. Untuk

mencapai bibit unggul, dibutuhkan waktu yang relative lama. Dengan menggunakan penanda

molekuler, output yang berupa bibit unggul dapat dihasilkan dengan waktu yang lebih cepat dan

lebih tepat. Penanda molekuler dapat melakukan beberapa penelitian yang tidak bisa dilakukan oleh

pemuliaan konvensional seperti identifikasi klon dan identifikasi tetua.

Sedangkan penanda molekuler dapat digunakan untuk mengetahui tingkat keragaman genetik dan

sebarannya di hutan alam maupun tanaman. Dengan informasi ini, konservasi sumber daya genetik

dapat dilakukan secara efektif dan efisien sehingga dapat menghemat biaya. Hal ini tidak hanya

berlaku untuk tanaman kehutanan, tetapi juga untuk hewan, khususnya yang dilindungi atau

terancam punah.

Para hadirin yang berbahagia,

Kegiatan rekayasa genetik merupakan kegiatan yang terbilang baru untuk tanaman kehutanan. Di

Indonesia, telah ditemukan individu hasil rekayasa genetik seperti pada sengon. Walaupun hasil

dari kegiatan ini masih pro dan kontra diterima, tetapi untuk kebutuhan masa depan perlu

dipikirkan manfaatnya. Sebagai contoh individu tanaman dengan kandungan lignin yang rendah.

Materi ini sangat dibutuhkan untuk industry pulp dan paper karena dapat mengurangi proses

pencucian (bleaching) yang tentunya juga dapat mengurangi pengaruhnya terhadap lingkungan

karena berkurangnya proses tersebut. Rekayasa genetik untuk mendapatkan individu yang tahan

hama/penyakit atau yang mempunyai pertumbuhan yang cepat dapat memberikan kontribusi yang

nyata di masa mendatang untuk memenuhi kebutuhan akan kayu.

Berkenaan dengan hal tersebut, SEMINAR NASIONAL “BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK

PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN” sangat tepat dan saya

mengharapkan Seminar ini dapat menjadi sarana bagi para peneliti untuk saling bertukar informasi

dan untuk merancang penelitian yang dibutuhkan ke depan. Bagi para pengambil kebijakan,

diharapkan hasil yang diperoleh dapat dipergunakan sebagai dasar untuk menentukan kebijakan di

masa mendatang.

Untuk itu saya memberikan penghargaan kepada Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan

Pemuliaan Tanaman Hutan atas seminar yang diselenggarakan pada pagi hingga sore nanti

Page 10: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

Saudara-saudara sekalian,

Akhirnya saya mengharapkan bahwa setelah selesainya seminar ini masih dilanjutkan dengan

langkah-langkah lanjutan agar harapan saya tadi dapat dilakssanakan seperti dihasilkannya policy

brief untuk pimpinan Kementerian Kehutanan.

Demikian, sekali lagi saya ucapkan selamat mengikuti Seminar Bioteknologi Hutan. Dan dengan

mengucapkan Bismillahirrohmannirohim dengan ini SEMINAR NASIONAL “BIOTEKNOLOGI

HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN” saya

nyatakan dibuka.

Terima kasih, Wassalam wr wb

Yogyakarta, 9 Oktober 2012

Kepala Badan Litbang Kehutanan

DR.Ir. R. Iman Santoso, M.ScNIP. 19530922 198203 1 001

Page 11: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Page 12: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

xi BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

LAPORAN KEPALA BALAI BESAR PENELITIAN BIOTEKNOLOGI DAN

PEMULIAAN TANAMAN HUTAN

Assalamu’alaikum Wr. Wb. Salam sejahtera bagi kita semua.

Yang Kami hormati ;

• Bpk Kepala Badan Litbang Kehutanan atau yang Mewakili

• Bpk Kepala Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan,

• Bpk Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi DIY

• Para Kepala UPT Kementerian Kehutanan di Provinsi DIY

• Para Kepala UPT Badan Litbang Kehutanan

• Para Peneliti dan Hadirin yang berbahagia

Puji syukur marilah senantiasa kita panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah mempertemukan

kita di tempat ini pada Acara Seminar Nasional Bioteknologi Hutan.

Hadirin yang kami hormati,

Sebagaimana kita ketahui bahwa kerusakan dan pengurangan luas hutan alam telah mengakibatkan

penurunan produktivitas dan potensi hutan alam yang pada gilirannya mengakibatkan menurunnya

peran hutan dalam pembangunan ekonomi nasional, sebagai penyedia bahan baku kayu untuk

industri, penjaga kualitas lingkungan, dan sumber plasma nutfah.

Salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas hutan dan memelihara kelestarian sumberdaya

hutan/plasma nutfah adalah penerapan bioteknologi dalam pembangunan hutan. Dukungan

bioteknologi dalam perbaikan hutan meliputi kemampuan ilmu ini dalam teknologi perbanyakan

klonal, rekayasa genetik dan bio kontrol.

Sesuai dengan visi dan misi Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

(BBPBPTH) untuk menjadi pusat keunggulan dalam menyediakan IPTEK di bidang Bioteknologi

Hutan dan Pemuliaan Tanaman Hutan dalam mendukung pembangunan hutan yang berkelanjutan.

Untuk mencapai visi dan misi tersebut maka diselenggarakan Seminar Nasional Bioteknologi

Hutan dengan tema “Bioteknologi Hutan untuk Produktivitas dan Konservasi Sumber Daya

Hutan”.

Page 13: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

xii PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Tema Seminar Nasional ini diambil dengan pertimbangan bahwa diperlukan adanya dorongan dan

peningkatan pemanfaatan bioteknologi hutan guna meningkatkan produktivitas hutan dan

konservasi sumber daya hutan.

Kegiatan Seminar Nasional Bioteknologi Hutan ini dilakukan dengan maksud untuk mengetahui

kemajuan dan status terkini penelitian dan pengembangan bioteknologi hutan, khususnya yang

dilakukan oleh Lembaga-lembaga Penelitian dan Perguruan Tinggi di Indonesia, serta untuk

mendapatkan masukan-masukan bagi pengembangan penelitian bidang bioteknologi hutan.

Tujuan diadakannya Seminar Nasional Bioteknologi Hutan ini adalah a) Tersebarkannya informasi

tentang hasil-hasil penelitian dan pengembangan bioteknologi hutan, b) Terselenggaranya

pertemuan ilmiah para peneliti dan pemerhati di bidang bioteknologi hutan dan c) Terlaksananya

tukar informasi diantara para peneliti, praktisi, dan pemerhati untuk perencanaan dan

pengembangan program bioteknologi hutan di masa mendatang.

Peserta Seminar Nasional Bioteknologi Hutan direncanakan sebanyak 100 orang yang berasal dari

berbagai Instansi baik Pemerintah maupun swasta dan dari berbagai profesi khususnya Peneliti di

bidang bioteknologi. Hingga saat ini tercatat telah 14 orang yang hadir.

Seminar Nasional Bioteknologi Hutan akan dibagi ke dalam 3 Sesi, dengan Topik bahasan seminar

dan pembicara utama sebagai berikut :

BIOTEKNOLOGI UNTUK PEMULIAAN (Pembicara Utama : BISI International Tbk), dengan

topik bahasan ;

1. Pemuliaan Molekuler

2. Rekayasa Genetik

3. Genomic/Transcriptomics

BIOTEKNOLOGI UNTUK KONSERVASI DAN ASAL USUL (Pembicara Utama : Puslitbang

Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), dengan topik bahasan ;

a. Konservasi Flora

b. Konservasi Fauna

c. DNA Log Tracking

d. DNA Barcoding

Page 14: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

xiii BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

PERBANYAKAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI INVITRO (Pembicara Utama : Balai

Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia), dengan topik bahasan ;

a. Somatic embriogenesis

b. Kultur Tunas Aksiler

c. Teknologi In-vitro

Selain pembicara utama, pada masing-masing topik bahasan akan dipresentasikan makalah

penunjang dari Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan dan Lembaga-

lembaga Penelitian terkait.

Hadirin yang Kami hormati, demikian yang dapat kami sampaikan. Kami mohon maaf apabila

dalam pelaksanaan Acara Seminar Nasional ini terdapat kekurangan dan kekurangnyamanan.

Kepada hadirin yang telah meluangkan waktu untuk hadir kami mengucapkan terima kasih atas

kehadirannya, semoga kehadiran Bapak/Ibu sekalian dapat menjadikan Seminar Nasional ini lebih

bermakna dan memberikan manfaat bagi penerapan dan pengembangan Bioteknologi Hutan

nantinya.

Kepada Bapak Kepala Badan Litbang Kehutanan, kami mohon pada saatnya nanti dapat

memberikan pengarahan dan sekaligus membuka dengan resmi acara ini.

Terima kasih. Wassalamu’alaikum wr.wb.

Yogyakarta, Oktober 2012

Kepala Balai Besar,

Dr.Ir. Amir Wardhana, M.For.Sc.

NIP. 19570530 198303 1 002

Page 15: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

xiv PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Page 16: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

Rumusan Seminar Nasional “Bioteknologi Hutan untuk Produktivitas dan Konservasi Sumber Daya Hutan”

1. Seminar mengangkat tema tersebut di atas dengan maksud untuk memberikan gambaran tentang aplikasi bioteknologi untuk meningkatkan produktivitas hutan serta peran bioteknologi untuk konservasi flora dan fauna di Indonesia.

2. Dari presentasi para pembicara dalam seminar ini diperoleh informasi tentang status dan kemajuan yang telah dicapai dalam penelitian bioteknologi baik di bidang kehutanan, pertanian, dan perkebunan.Topik bahasan meliputi perbanyakan tanaman dan teknologi in vitro, bioteknologi untuk pemuliaan, dan bioteknologi untuk konservasi dan verifikasi asal usul.

3. Teknik kultur jaringan telah menjadi cara perbanyakan tanaman yang umum digunakan untuk menghasilkan bibit berkualitas dalam jumlah besar. Salah satu jenis penting penghasil karbohidrat, yaitu sagu juga telah dapat dihasilkan dengan teknik SE.Keberhasilan teknik SE untuk sagu unggul menjadi asset penting bagi pengembangan sagu untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat dalam skala besar.

4. Perbanyakan dengan kultur jaringan untuk jenis-jenis tumbuhan dengan nilai ekonomi tinggi seperti gaharu dan cendana telah berhasil dilakukan. Melalui teknik perbanyakan ini diharapkan dapat mengatasi keterbatasan bahan tanaman, baik untuk tujuan produksi maupun konservasi.

5. Kultur jaringan dapat digunakan untuk berbagai kepentingan. Dalam sesi ini lebih focus pada perbanyakan untuk produksi dan konservasi. Teknologi SE sebagai salah satu teknik multiplikasi berpotensi menjadi usaha komersial.

6. Rekayasa genetika dan pemuliaan molekuler memberikan pilihan bagi pemulian tanaman dalam menentukan metode yang sesuai untuk mempercepat proses pemuliaan tanaman dan perakitan varietas baru. Upaya meningkatkan kualitas genetik dengan rekayasa genetika tanaman masih menjadi isu yang hangat. Perbedaan pendapat antara pihak yang pro dan kontra akan tetap ada sebagai wujud dinamika ilmu pengetahuan dalam masyarakat.

7. Rekayasa genetika pada tanaman pertanian adalah suatu keniscayaan. Sejak pertama kali tanaman rekayasa genetik dikembangkan dalam skala komersial di tahun 1996, luas tanaman transgenik terus bertambah baik di negara maju maupun di negara berkembang. Teknologi transgenik sebaiknya diaplikasikan untuk karakter yang tidak mudah dimuliakan secara konvensional karena gen yang diinginkan tidak tersedia dalam gene pools.

8. Teknologi marka molekuler, seperti SSR, SNP telah banyak diaplikasikan pada tanaman hutan, khususnya jenis-jenis tanaman HTI. Sebagai contoh di kebun benih Acacia mangium, aplikasi marka DNA dapat dimanfaatkan untuk mengetahui dinamika genetik pohon-pohon yang ada di dalamnya sebagai konsekuensi dari keragaman genotipa, distribusi polen, sinkronisasi pembungaan.

Page 17: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

9. Marka molekuler juga telah diaplikasikan untuk identifikasi patogen, sehingga kendala dalam mengidentifikasi pathogen dapat dilakukan secara lebih akurat dan cepat. Teknologi ini sangat bermanfaat dalam upaya mengendalikan penyakit pada tanaman hutan.

10. DNA barcoding dapat diaplikasikan untuk mengkonservasi sumber daya alam, melalui identifikasi dari jenis-jenis tersebut. Data-data genetik jenis indigenous Indonesia diperlukan untuk mendeteksi jenis invasif. Mitokondria DNA paling banyak digunakan untuk DNA barcoding.

11. DNA fingerprinting, melalui penyusunan data base, dapat mendeteksi asal usul kayu. Keberhasilannya tergantung dari kemampuan mengekstraksi DNA kayu, jumlah populasi yang dikumpulkan sampelnya dan jenis-jenis marka DNA yang digunakan.

12. Aplikasi marka molekuler juga bermanfaat untuk pelestarian/konservasi fauna dan flora. Informasi yang dibutuhkan antara lain sexing (pada fauna), keragaman genetik, hubungan kekerabatan, dan dinamika populasi.

Dirumuskan pada : Hari/ Tanggal : Selasa, 9 Oktober 2012 Tempat : Yogyakarta

Tim perumus :

1. Dr.Ir. Taryono,M.Sc 2. Dr. Sapto Indrioko, S.Hut,MP 3. Dr. Ir.Anto Rimbawanto, M.Agr 4. Dr.Ir. AYPBC Widyatmoko, M.Agr

Page 18: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

MAKALAH UTAMA

Page 19: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam
Page 20: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

TOPIK :

BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI

SUMBER DAYA HUTAN

Page 21: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam
Page 22: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

1 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

PERBANYAKAN MASSAL TANAMAN SAGU (Metroxylon sagu Rottb.) MELALUI EMBRIOGENESIS SOMATIK

Sumaryono

Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia Jalan Taman Kencana No.1, Bogor 16151

Email: [email protected]

ABSTRAK

Sagu (Metroxylon sagu Rottb.) adalah tanaman palma yang banyak dijumpai di wilayah tropika basah di Asia Tenggara dan Oseania. Sagu merupakan salah satu tanaman penghasil karbohidrat paling produktif dengan hasil 15 ton pati kering/ha/tahun. Pati sagu telah lama digunakan sebagai makanan pokok terutama di kawasan timur Indonesia dan sebagai bahan baku penting berbagai produk industri dan produk turunan lainnya. Sebagian besar tanaman sagu tidak dibudidayakan, masih berupa tegakan hutan. Pada pertanaman semi-budidaya, bibit yang digunakan adalah anakan. Pengembangan budidaya sagu komersial skala besar masih terkendala oleh terbatasnya ketersediaan bahan tanam unggul dalam jumlah besar yang dapat dipenuhi dengan teknik kultur jaringan. Kultur jaringan sagu melalui embriogenesis somatik telah dilakukan oleh Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia. Eksplan yang digunakan adalah jaringan apikal pucuk dari anakan muda. Tahapan embriogenesis somatik sagu dimulai dari pembentukan kalus, proliferasi kalus, induksi embrio somatik, pendewasan dan perkecambahan embrio somatik, serta pembesaran planlet. Kalus diinisiasi dari jaringan tunas pucuk anakan muda pada medium MS padat. Kalus pertama baru muncul setelah 12 sampai 24 minggu. Tahap proliferasi kalus embriogenik dan pendewasaan embrio somatik dapat dilakukan dalam medium cair menggunakan sistem perendaman sesaat. Kecambah embrio somatik yang dihasilkan kemudian ditransfer ke medium padat untuk pembesaran planlet. Pembentukan akar planlet dilakukan dalam medium cair. Masalah yang dijumpai pada embriogenesis somatik sagu adalah planlet yang dihasilkan tidak jagur dan daya tumbuh bibit saat aklimatisasi rendah. Ketersediaan bibit sagu unggul secara massal akan mendukung pembangunan perkebunan sagu dan rehabilitasi lahan sagu.

Kata kunci: sagu, Metroxylon sagu, embriogenesis somatik, perbanyakan klonal, kultur in vitro

I. PENDAHULUAN

Tanaman sagu (Metroxylon sagu Rottb.) merupakan salah satu tanaman penghasil

karbohidrat yang sangat potensial dalam mendukung program ketahanan pangan (Tarigan, 2001)

dan energi nasional (Sumaryono, 2007). Tanaman sagu telah digunakan sejak dahulu kala sebagai

makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia bagian timur yaitu di Maluku dan Papua.

Disamping sebagai bahan makanan pokok, tepung sagu juga dapat digunakan sebagai bahan baku

industri seperti untuk mie, roti, biskuit, sirup berkadar fruktosa tinggi, plastik terurai-hayati, pakan

ternak, perekat, bioetanol, dan produk turunan lainnya (Flach, 1997).

Dibandingkan dengan tanaman penghasil karbohidrat lain seperti padi, jagung, ubi kayu dan

kentang, sagu mempunyai beberapa kelebihan antara lain produktivitasnya yang lebih tinggi yakni

dapat menghasilkan 15 ton pati kering/ha/tahun (Flach, 1997). Pati terdapat di dalam batang

tanaman sagu. Tanaman sagu mampu tumbuh di lahan rawa, pinggir sungai, dan lahan tergenang

air yang tidak sesuai untuk tanaman lain sehingga pengembangan tanaman sagu tidak bersaing

Page 23: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

2 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

dengan penggunaan lahan untuk tanaman pangan lainnya. Di samping itu, tanaman sagu

merupakan tanaman tahunan sehingga tidak memerlukan penanaman ulang dan panen dapat

dilakukan secara terus menerus dengan mengelola jumlah anakan (Rostiwati et al., 1998).

Luas areal sagu dunia diperkirakan sekitar 2,47 juta ha dengan luas areal sagu di Indonesia

1,4 juta ha, di Papua Nugini 1,02 juta ha, dan sisanya di Malaysia, Thailand, Filipina dan lainnya

(Flach, 1997). Sebagian besar (90%) areal sagu di Indonesia merupakan tegakan alami terutama di

Papua dan Maluku, sedangkan di Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, kepulauan Riau dan Mentawai

merupakan pertanaman semi-budidaya. Pada saat ini areal tanaman sagu di Indonesia terus

menyusut akibat eksploitasi yang berlebihan (Tarigans, 2001), oleh karena itu perlu mulai

dipertimbangkan untuk mengusahakan perkebunan sagu secara komersial skala besar (Rostiwati et

al., 1998) seperti yang telah dilakukan oleh Malaysia dan Thailand. Penggunaan sagu dalam sektor

industri yang beragam dan bernilai ekonomi tinggi sangat mendukung program perkebunan sagu

komersial.

Tanaman sagu diperbanyak secara generatif dengan biji dan secara vegetatif dengan anakan.

Produksi biji sangat jarang karena tanaman sagu pada umumnya ditebang untuk diambil patinya

sebelum berbunga. Oleh karena itu, sebagian besar tanaman sagu diperbanyak dengan anakan.

Namun, untuk membangun perkebunan sagu skala besar, ketersediaan anakan yang seragam

merupakan hambatan utama (Jong, 1995). Dari satu rumpun (cluster) tanaman sagu hanya dapat

diperoleh beberapa anakan. Di samping itu, bobot anakan yang baik berkisar antara 2 sampai 5 kg

(Rostiwati et al., 1998) sehingga menyulitkan dalam pengangkutannya.

Kultur jaringan merupakan salah satu alternatif untuk memperbanyak tanaman sagu unggul

secara klonal. Kriteria tanaman sagu unggul adalah: produksi pati tinggi, umur genjah, kulit batang

tipis dan pati berwarna putih (Flach, 1997). Produksi pati sagu di berbagai daerah di Indonesia

sangat beragam dari 150 sampai 700 kg dengan rata-rata 300 kg pati basah per pohon (Haryanto &

Pangloli, 1992). Apabila satu genotipe tanaman sagu unggul produksi tinggi (dapat mencapai 1 ton

pati basah per pohon) mampu diperbanyak secara klonal maka produktivitas sagu dapat meningkat

secara nyata. Kelebihan lain dari kultur jaringan adalah perbanyakan dapat dilakukan secara

massal dan dalam waktu yang relatif singkat. Untuk tanaman sagu, bibit yang dihasilkan juga

relatif kecil sehingga pengirimannya akan lebih mudah dan murah.

Publikasi tentang kultur jaringan sagu sangat sedikit. Nilai komersial dan kesulitan teknis

yang tinggi mungkin merupakan alasan utama sedikitnya publikasi. Laboratorium Biak Sel &

Mikropropagasi, Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia sejauh ini merupakan

laboratorium yang diketahui telah berhasil dalam kultur jaringan sagu di Indonesia. Kultur jaringan

sagu dilakukan melalui teknik embriogenesis somatik (Tahardi et al., 2002; Riyadi et. al., 2005).

Page 24: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

3 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

II. TEKNIK EMBRIOGENESIS SOMATIK

Embriogenesis somatik merupakan proses pembentukan embrio tanaman dari sel somatik,

yang berbeda dengan embriogenesis zigotik yang berasal dari pembuahan sel gamet. Embrio

somatik dapat dikenali dari penampakan struktur bipolar yaitu plumula (calon tunas) dan radikula

(calon akar) yang serupa dengan embrio zigotik, dan tidak mempunyai hubungan ikatan pembuluh

dari jaringan induk (von Arnold, 2002). Embriogenesis somatik merupakan salah satu contoh dari

sifat totipotensi tanaman yakni kemampuan satu sel untuk berkembang menjadi tanaman utuh. Sifat

ini memungkinkan proses tersebut dimanfaatkan untuk perbanyakan tanaman secara klonal, bahkan

untuk spesies tanaman yang secara konvensional tidak dapat diperbanyak secara vegetatif seperti

misalnya pada tanaman monokotil.

Menurut Zimmerman (1993) perkembangan embrio somatik secara morfologi dan tahapan

waktu mirip sekali dengan perkembangan embrio zigotik. Tahap pertama embrio somatik adalah

stadia globuler, pada tahap ini embrio tumbuh secara merata ke segala arah (isodiametrik). Tahap

berikutnya adalah embrio mulai tumbuh melonjong (oblong) yang merupakan awal dari fase

bentuk-hati (heart shape). Perubahan ini ditandai dengan pertumbuhan awal dua kotiledon dan

pertumbuhan awal radikula (calon akar). Selanjutnya pertumbuhan embrio melewati fase planlet

dimana kotiledon berubah hijau, hipokotil memanjang dan radikel membentuk akar.

Dibandingkan dengan teknik mikropropagasi lainnya, penggunaan embriogenesis somatik

untuk tujuan perbanyakan tanaman dalam praktek masih lebih terbatas. Penyebabnya antara lain

adalah metode ini relatif lebih sulit, kemungkinan terjadinya mutasi lebih tinggi, subkultur berulang

dapat menurunkan kapasitas regenerasi dan induksi embrio somatik sangat sulit untuk spesies

tanaman tertentu. Walaupun demikian, sejak pertama kali diamati pada kultur suspensi sel tanaman

wortel oleh Steward et al. (1958), embriogenesis somatik telah berhasil dikembangkan pada

berbagai jenis tanaman. Keuntungan utama dari embriogenesis somatik adalah potensinya untuk

dapat ditingkatkan skala kulturnya (scale up) di bioreaktor dan kegunaannya untuk transformasi

genetik. Sistem ini diperkirakan dalam waktu dekat berpotensi untuk digunakan dalam

perbanyakan jutaan bibit unggul tanaman kehutanan, perkebunan dan hortikultura dalam skala

komersial (Handley, 1995).

Page 25: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

4 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

III.EKSPLAN DAN INISIASI KALUS

Seleksi tanaman sagu yang akan diambil eksplannya dilakukan berdasarkan beberapa sifat

unggul dari individu (genotipe) tanaman sagu dewasa. Sifat unggul tersebut antara lain adalah

produksi pati tinggi (>200 kg pati kering per pohon), tidak berduri, kulit batang tipis dan pati

berwarna putih. Eksplan tanaman sagu diperoleh dari Selat Panjang (Riau), Bogor (Jawa Barat),

Banjarmasin (Kalimantan Selatan), Seram Barat (Maluku), Sentani dan Merauke (Papua), serta

Kendari (Sulawesi Tenggara). Bahan eksplan berupa anakan yang tumbuh di sekitar pohon induk

dengan tinggi sekitar 1 m dan diameter pangkal batang 5 – 10 cm. Beberapa lapis pelepah daun

dibuang, tunas dipotong setinggi 20 cm dari pangkal batang dan akar dipotong sekitar 10 cm dari

pangkal akar. Bahan eksplan ini selanjutnya segera dikirim ke laboratorium untuk dikultur.

Tahardi et al. (2002) menggunakan eksplan jaringan pucuk meristem dari anakan muda.

Eksplan dikulturkan pada medium padat yang mengandung auksin dan sitokinin untuk menginisiasi

pembentukan kalus. Media tumbuh untuk inisiasi kalus pada umumnya mengandung auksin,

terutama 2,4-D. Kultur diletakkan di ruang gelap dengan suhu 26 °C. Kalus pada umumnya

terbentuk setelah 12 sampai 24 minggu. Kalus diperbanyak dengan melakukan subkultur setiap 2-3

bulan pada medium yang sama dengan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang lebih rendah. Kalus

yang terbentuk menjadi remah (friable) dan bersifat embriogenik setelah beberapa kali subkultur

(Gambar 1A).

IV. PROLIFERASI KALUS EMBRIOGENIK

Kalus embriogenik dapat diperbanyak pada media padat atau cair. Penelitian proliferasi

kalus embriogenik pada tiga media: medium padat di botol kultur, medium cair di labu Erlenmeyer

dan medium cair dengan sistem perendaman sesaat (SPS) telah dilakukan (Kasi & Sumaryono,

2008). Media yang digunakan adalah MMS dengan penambahan 2,4-D 10 mg/L, kinetin 0,1 mg/L,

arang aktif 1 g/L, dan gelrite 2 g/L untuk medium padat. Pada kultur cair, labu Erlenmeyer

diletakkan pada shaker dengan putaran 100 rpm. Hasil penelitian menunjukkan pada kultur SPS

dan cair meningkatkan bobot basah kalus embriogenik sagu sebesar 6,5 kali dan pada kultur padat

sebesar 5,4 kali setelah 6 minggu. Proliferasi kalus dipengaruhi oleh zat pengatur tumbuh dan hara

dalam medium. Medium cair pada SPS memungkinkan kalus menyerap lebih banyak hara

dibandingkan dengan pada medium padat. Penyerapan terjadi pada seluruh permukaan kalus karena

semua bagian kalus kontak langsung dengan medium. Medium dan lingkungan kultur berngaruh

Page 26: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

5 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

terhadap kualitas dan kuantitas kalus. Perendaman terus menerus menyebabkan kekurangan

oksigen. SPS memberi kondisi lingkungan yang lebih baik dibandingkan medium cair dalam hal

aerasi. Pembentukan embrio somatik dari kalus embriogenik secara nyata lebih tinggi pada SPS

dibandingkan pada medium padat (Kasi & Sumaryono, 2008).

V. INDUKSI DAN PENDEWASAAN EMBRIO SOMATIK

Induksi embrio somatik dari kalus embriogenik dilakukan pada medium padat. Tahap

perkembangan pertama dari embrio somatik adalah fase globuler. Perbanyakan dan pendewasaan

embrio somatik dapat dilaksanakan dalam kultur padat atau cair dengan sistem perendaman sesaat

(SPS) (Sumaryono et al., 2007) pada medium MMS dengan kinetin 0,1 mg/L dan 2,4-D 5 mg/L.

Subkultur dilakukan setiap 4 sampai 6 minggu. Sebagian embrio somatik berubah ke fase

perkembangan lebih lanjut fase bentuk-hati, torpedo, kotiledon dan kecambah. Dalam fase

perkembangan embrio somatik tanaman sagu Kasi & Sumaryono (2006) melaporkan adanya

keragaman morfologi meliputi ukuran, bentuk dan warna embrio (Gambar 1B).

Pendewasaan embrio somatik pada kultur SPS dilakukan dengan interval perendaman setiap

3, 6, atau 12 jam dengan lama perendaman 1 atau 3 menit. Embrio somatik tahap globuler dikultur

pada medium setengah MMS dengan penambahan ABA 0,01 mg/L, kinetin 1 mg/L, GA3 0,1 mg/L,

sukrosa 30 g/L dan arang aktif 1 g/L (Riyadi & Sumaryono, 2009). Kultur diletakkan pada ruang

kultur terang selama 4 minggu. Lama dan interval perendaman berpengaruh nyata terhadap bobot

basah biomassa dan jumlah embrio somatik tahap lanjut. Perlakuan terbaik untuk pendewasaan

embrio somatik sagu adalah interval perendaman setiap 12 jam selama 3 menit (Riyadi &

Sumaryono, 2009).

VI. PERKECAMBAHAN EMBRIO SOMATIK

Embrio somatik sagu fase lanjut (kotiledon) pada medium padat atau cair ditumbuhkan

lebih lanjut menjadi kecambah pada medium padat maupun SPS. Medium terbaik untuk

perkecambahan embrio somatik adalah medium dasar MMS dengan penambahan GA3 0,5 mg/L

dan kinetin 2 mg/L. Dalam medium ini dengan kultur SPS, bobot basah biomassa meningkat lima

kali lipat dan diperoleh sebanyak 50 kecambah per labu kultur dalam periode kultur 6 minggu.

Selama kultur dihasilkan juga embrio somatik sekunder. Kecambah yang diperoleh kemudian

ditransfer ke medium padat untuk pertumbuhan planlet selanjutnya.

Page 27: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

6 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

VII. PEMBESARAN DAN PEMBENTUKAN AKAR PLANLET

Kecambah yang terbentuk dalam media padat atau SPS dipindahkan pada media padat

dalam botol kultur untuk perkembangan tunas. Kecambah dikulturkan sampai menjadi planlet kecil

dengan 2 sampai 3 daun (Gambar 1C). Pengakaran planlet ini dilaksanakan pada medium padat

yang mengandung auksin. Planlet yang telah berdaun 2 helai dengan tinggi 5 cm namun belum

mempunyai akar dipindah ke medium cair dalam tabung kultur untuk pembentukan akar (Gambar

1D). Planlet yang telah memiliki daun dan akar yang baik dengan tinggi minimal 8 cm siap untuk

dipindah ke rumah kaca untuk aklimatisasi.

VIII. AKLIMATISASI PADA LINGKUNGAN EX VITRO

Aklimatisasi adalah proses adaptasi planlet yang tumbuh heterotrof di laboratorium (in

vitro) dengan medium yang kaya dan lingkungan terkendali ke lingkungan luar (ex vitro) yang

fluktuatif dan ekstrem, serta planlet harus menyerap hara dan air sendiri (autotrof). Oleh karena

itu, planlet in vitro harus memenuhi kriteria pertumbuhan untuk siap diaklimatisasi dan lingkungan

awal aklimatisasi dibuat tidak ekstrem yakni kelembaban nisbi mendekati 100% dan suhu cukup

terkendali. Kondisi ini dapat diperoleh dengan menempatkan planlet di sungkup plastik tertutup

rapat yang diletakkan di bawah tajuk pohon dan paranet plastik 60% dan dilakukan penyiraman

dengan sprinkler pada siang hari yang terik.

Planlet dicabut secara hati-hati medium dan tabung kultur, dicuci bersih dan direndam

dalam fungisida beberapa menit. Planlet ditanam pada pot plastik berisi campuran tanah:pasir:arang

sekam (1:1:1 v/v). Pot selanjutnya diletakkan pada baki plastik berisi air sehingga medium

terendam air terus menerus (meniru lingkungan sagu di dalam yang banyak tumbuh di daerah

payau dan rawa). Pot diletakkan di dalam sungkup plastik tertutup. Setelah 4 minggu, sungkup

plastik dibuka secara bertahap (Gambar 1E). Pada umur 12 minggu, bibit sagu dipindah ke polibeg

besar dan diletakkan di pesemaian dengan naungan paranet 50% selama 2 bulan. Selanjutnya bibit

diletakkan di pesemaian terbuka. Bibit yang ditanam di lapang memperlihatkan pertumbuhan yang

normal.

Page 28: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

7 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

Gambar 1. Tahapan embriogenesis somatik tanaman sagu: (A). Kalus remah (friable), (B). Embrio somatik pada berbagai tahap perkembangan, (C). Pertumbuhan planlet pada medium padat, (D). Pembentukan akar planlet dalam medium cair, (E). Aklimatisasi bibit sagu.

IX. MASALAH DALAM EMBRIOGENESIS SOMATIK SAGU

Masalah utama kultur jaringan sagu adalah planlet yang diperoleh masih kurang jagur.

Daun planlet kecil memanjang dan akar sedikit tanpa bulu-bulu akar. Planlet yang kurang jagur ini

akan berpengaruh terhadap rendahnya keberhasilan hidup bibit saat diaklimatisasi. Penggunaan zat

pengatur tumbuh serta modifikasi sumber N, pH, sukrosa dan lingkungan kultur (intensitas cahaya

dan suhu) mungkin dapat memperbaiki keragaan planlet. Penelitian penggunaan berbagai jenis

karbohidrat pada beberapa dosis menunjukkan bahwa jenis karbohidrat terbaik adalah sukrosa

dengan dosis 30 g/L untuk mendapatkan planlet sagu yang vigor. Penelitian masih terus dilakukan

untuk mendapatkan medium dan kondisi lingkungan in vitro terbaik bagi pertumbuhan dan

keragaan planlet sagu.

Keberhasilan hidup bibit sagu asal kultur jaringan di rumah kaca pada saat aklimatisasi

sampai saat ini masih rendah. Daya hidup bibit di rumah kaca masih rendah, pada perlakuan terbaik

hanya mencapai 50%. Disamping faktor kejaguran planlet saat ditransfer ke tahap aklimatisasi,

lingkungan mikro (suhu, cahaya, kelembaban udara) dan komposisi medium (tanah, pasir, gambut,

cocopeat, zeolit, kompos) sangat berpengaruh terhadap daya hidup dan pertumbuhan bibit.

Lingkungan yang basah terendam air juga berpengaruh terhadap keberhasilan planlet sagu.

Asosiasi akar sagu dengan mikoriza atau mikroba lain diperkirakan berpengaruh positif terhadap

daya hidup dan pertumbuhan bibit.

Page 29: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

8 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

X. PENUTUP DAN PROSPEK

Kultur jaringan untuk perbanyakan klonal tanaman sagu telah berhasil dilakukan, walaupun

masih terdapat beberapa masalah yang dihadapi. Diperkirakan dalam satu dua tahun ke depan

sudah diperoleh prosedur produksi kultur jaringan sagu yang mantap. Namun, bibit yang

dihasilkan masih perlu diuji-lapang untuk melihat keragaan, produktivitas dan kemungkinan

adanya abnormalitas. Penggunaan bibit unggul sagu diharapkan dapat meningkatkan produktivitas

tanaman sebesar 20 – 30%. Ketersediaan bibit sagu unggul klonal akan menunjang program

pembangunan perkebunan sagu skala besar dan rehabilitasi lahan sagu.

Tanaman sagu merupakan tanaman tahunan yang menghasilkan anakan sehingga cukup

satu kali ditanam dan akan tetap berproduksi secara berkelanjutan selama puluhan tahun.

Pengusahaan tanaman sagu secara komersial dalam bentuk perkebunan belum banyak dilakukan

kecuali oleh PT Nasional Sagu Prima di Selat Panjang, Provinsi Riau dengan penanaman awal

mulai tahun 1997 dan rencana pengembangan sekitar 5.000 ha per tahun. Dengan populasi 156 –

200 tanaman per ha untuk perluasan 5000 ha dibutuhkan sebanyak 700 ribu sampai 1 juta bibit

yang sangat sulit dipenuhi dengan bibit asal anakan. Di samping itu, beberapa perusahaan swasta

lain mulai merencanakan untuk membuka perkebunan sagu. Oleh karena itu, permintaan bibit sagu

unggul diperkirakan akan sangat besar di masa mendatang.

Penggunaan pati sagu sebagai makanan pokok terutama di Papua dan Maluku diperkirakan

terus berkurang digantikan oleh beras. Tepung sagu di masa depan akan lebih banyak digunakan

untuk keperluan industri antara lain sebagai bahan pembuatan roti, mie, kue, sirup berfruktosa

tinggi, bahan perekat, dan plastik biodegradable. Pati sagu juga digunakan dalam industri obat-

obatan, kosmetik, kertas, bioetanol, dan tekstil. Limbah dari proses pengolahan sagu dapat

digunakan sebagai pakan ternak. Mengingat potensi produksi pati yang tinggi dan kegunaannya

yang sangat beragam maka sudah selayaknya tanaman sagu diusahakan secara komersial.

Page 30: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

9 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

DAFTAR PUSTAKA

Flach M. (1997) Sago palm Metroxylon sagu Rottb. Promoting the conservation and use of underutilized and neglected crops. 13. International Plant Genetic Resources Institute, Rome-Italy. 76p.

Handley L.W. (1995) Future uses of somatic embryogenesis in woody plantation species. In S. Jain, P. Gupta & R. Newton (eds.) Somatic Embryogenesis in Woody Plants, Vol. 1, p. 415-434.

Haryanto B. & P. Pangloli (1992) Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Penerbit Kanisius. 140p. Jong F.S. (1995) Research for the development of sago palm (Metroxylon sagu Rottb.) cultivation in Sarawak,

Malaysia. Sadong Press Sdn. Bhd. 139 pp. Kasi P.D. & Sumaryono (2006) Keragaman morfologi selama perkembangan embrio somatik sagu (Metroxylon sagu

Rottb.). Menara Perkebunan 74 (1): 44-52. Kasi P.D. & Sumaryono (2008) Perkembangan kalus embriogenik sagu (Metroxylon sagu Rottb.) pada tiga sistem

kultur in vitro. Menara Perkebunan 76(1), 1-10. Riyadi I. & Sumaryono (2009) Pengaruh interval dan lama perendaman terhadap pertumbuhan dan pendewasaan

embrio somatik sagu (Metroxylon sagu Rottb.). Menara Perkebunan 77(2), 100-109. Riyadi I., J.S. Tahardi & Sumaryono (2005) The development of somatic embryos of sago palm (Metroxylon sagu

Rottb.) on solid media. Menara Perkebunan 69(2), 46-57. Rostiwati T., F.S. Jong & M. Natadiwirya (1998) Penanaman Sagu (Metroxylon sagu Rottb.) Berskala Besar. Badan

Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta. 60p. Steward F.C., M.O. Mapes & J. Smith (1958) Growth and organized development of cultured cells I. Growth and

division of freely suspended cells. Am. J. Bot. 45: 694-703. Sumaryono (2007) Tanaman sagu sebagai sumber energi alternatif. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

29(4), 3-4. Sumaryono, I. Riyadi & P.D. Kasi (2008) Clonal propagation of sago palm (Metroxylon sagu Rottb.) through tissue

culture. Proc. The 4th Indonesian Biotechnology Conf., Bogor, 5-7 August 2008, p.513-519. Sumaryono, W. Muslihatin & D. Ratnadewi (2012) Effect of carbohydrate source on the growth and performance of in

vitro sago (Metroxylon sagu Rottb.) plantlets. Hayati J. BioSci. 19(2): 88-92. Tahardi J. S., N. F. Sianipar & I. Riyadi (2002) Somatic embryogenesis in sago palm (Metroxylon sagu Rottb.). In K.

Kaimuna et al. (eds.) New Frontiers of Sago Palm Studies, p. 75-81. Tokyo-Japan, Universal Academic Press, Inc.

Tarigans D.D. (2001) Sagu memantapkan swasembada pangan. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian23(5), 1-3.

van Arnold S., I. Sabala, P. Bozhkov, J. Dyachok & L. Filonova. (2002) Development pathways of somatic embryogenesis. Plant Cell. Tiss. Org. Cult. 69: 233-249.

Zimmerman J.L. (1993) Somatic embryogenesis: a model for early development in higher plants. The Plant Cell 5: 1411-1423.

Page 31: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

10 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Page 32: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

11 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

PERANAN DNA BARKODING DALAM MENDUKUNG UPAYA KONSERVASI FAUNA DI INDONESIA

Hari Sutrisno

Division of Zoology, Research Center for Biology-LIPI Jl. Raya Bogor Km 46 Cibinong, Bogor 16911

Email: [email protected]

Apa konservasi?

Konservasi berasal dari kata conservation yang terdiri atas kata con (together) dan servare

(keep/save) yan artinya upaya memelihara apa yang kita punya (keep/save what you have), namun

secara bijaksana (wise use). Ide ini dikemukakan oleh Theodore Roosevelt (1902) yang merupakan

orang Amerika pertama yang mengemukakan tentang konsep konservasi. Di bawah ini ada

beberapa pengertian tentang apa itu konservasi berdasarkan beberapa sumber yang berbeda:

1. Konservasi adalah upaya yang dilakukan manusia untuk melestarikan atau melindungi alam

(terjemahan bebas Wikipedia bahasa Indonesia)

2. Konservasi: menggunakan sumberdaya alam untuk memenuhi keperluan manusia dalam jumlah

yang besar dalam waktu yang lama (American Dictionary).

Melihat dari artinya secara harfiah maka terlihat sangat jelas bahwa manusia mempunyai

kewajiban dalam menjaga kelestarian sumber daya hayati secara utuh karena:

1. Sumber daya hayati telah terbukti menyediakan kebutuhan pokok hidup kita

Sumberdaya hayati meliputi seluruh bahan pangan kita, bahan obat-obatan yang kita miliki,

bahan sandang, karet dan kayu untuk bahan bangunan. Nilainya sumberdaya hayati ini bisa

mencapai bermilyar-milyar dalam satu tahun. Sebagai contoh 25% bahan baku farmasi di USA

berasal dari bahan aktif tumbuhan (Primack 1998). 1000 jenis tanaman Indonsia merupakan obat

yang terdapat dalam Farmakopea Indonesia (Heyne, 1987). Disamping bahan alam memiliki

potensi yang sangat luar biasa, sebagai contoh semut memiliki antibiotik yang dapat digunakan

untuk pengobatan manusia (masih dalam penelitian), sutera laba-laba menghasilkan bahan serat

yang ringan tapi sangat kuat dibanding baja.

2. Sumber daya hayati menyediakan “ecosystem service”

Ecosistem service adalah fungsi biologi yang sangat penting dalam menyediakan kebutuhan

manusia secara gratis, yaitu meliputi oksigen yang dihasilkan oleh tumbuhan, pengendalian iklim

oleh hutan, daur ulang nutrisi, pengendalian hama secara alamiah dan penyerbukan (Daily 1999).

Page 33: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

12 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Servis ini jika dihitung dengan uang diperkirakan lebih dari $US 33 triliun (1012) pertahun,

hampir dua kali lipat dari Product Global National USA per tahun ($US 18 triliun) (Costanza et al.

1997).

3. Sumberdaya hayati mampu memenuhi kebutuhan hobi kesenangan manusia.

Manusia mendapat kesenangan dari mahluk hidup yang diekpresikan melalui menanam

tanaman hias, memelihara binatang hobi, mengunjungi kebun binatang, cagar alam dan ecoturisme.

Ini dapat dihitung dalam bentuk nilai ekonomi. Sebagai contoh, koala diperkirakan mampu

kontribusi $ US 750 juta per tahun terhadap industri pariwisata di Australia

4. Alasan karena ethika

Semua makhluk hidup mempunyai hak yang sama, tidak boleh satu makhluk hidup

menghilangkan atau memusnahkan jenis mahluk hidup lainnya.

Konservasi = menjaga agar genetik, species dan ecosistem tetap lestari

Pernyataan tentang laju kepunahan yang dilontarkan oleh seorang Profesor Biologi dari

Harvard Uinversity tahun 1993 bahwa saat ini kita menghadapi kondisi tingkat kepunahan yang

tidak jauh berbeda dengan lima kali kepunahan masal yang terjadi pada masa lalu mungkin benar.

Dia perkirakan ada sekitar 30.000 species per tahun jenis yang hilang dari muka bumi. Sehingga

para ahli biologi saat itu mulai sadar bahwa telah menghadapi krisis biodiversity saat ini dan

mereka mengistilahkan dengan “ the sixth Extinction”

Hilangnya kehidupan di masa lalu disebabkan oleh kejadian fisik yang menyebabkan

kedaan iklim yang tidak normal dan gangguan fisik yang lain sehingga species dan seluruh

ekosistemnya mengalami gangguan tersebut.

Berikut ini kepunahan masa lalu yang disebabkan oleh alam dan akibatnya:

• First major extinction (c. 440 mya): 25% famili hilang

• Second major extinction (c. 370 mya): 19% famili hilang.

• Third major Extinction (c. 245 mya): 54% famili hilang.

• Fourth major extinction (c. 210 mya): 23% famili hilang.

• Fifth major extinction (c. 65 mya): 17% famili hilang.

Page 34: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

13 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

Apa bedanya kepunahan sekarang “ the Sixth Extinction”

Kepunahan yang sekarang sebagian besar disebabkan oleh faktor manusia. Manusia

telah menyebabkan terjadinya tekanan ekosistem dan kepunahan species melalui aktifitas

sebagai berikut:

a. Transformasi landscape

Berdasarkan laju deforestasi pada periode tahun 2000-2009, dengan mengabaikan pengelompokan

berdasarkan fungsi kawasan, diperkirakan pada tahun 2020 hutan di Jawa akan habis, Bali-Nusa

Tenggara tersisa 0,08 juta ha, Maluku 2,37 juta ha, Sulawesi 7,20 juta ha, Sumatera 7,72 juta ha,

Kalimantan 21,29 juta ha, dan Papua 33,45 juta ha. Apabila diproyeksikan sampai dengan tahun

2030, dengan mengabaikan pengelompokan berdasarkan fungsi kawasan, diperkirakan hutan di

Jawa dan Bali-Nusa Tenggara akan habis, Maluku tinggal 1,12 juta ha, Sumatera 4,01 juta ha,

Sulawesi 5,54 juta ha, Kalimantan 15,79 juta ha dan Papua 32,82 juta ha. Dari tabel di bawah

ditunjukkan bahwa hutan di Jawa yang berada di luar fungsi Hutan Lindung dan fungsi Kawasan

Konservasi pada tahun 2015 akan habis sementara tutupan hutan di Bali-Nusa Tenggara akan habis

pada tahun 2025. Tutupan hutan yang aman dari ancaman deforestasi berdasarkan data yang telah

dianalisis adalah hutan di Papua (Lihat Tabel 1) (Sumargo et al. 2011) Tabel 1. Proyeksi Tutupan Hutan diluar Kawasan Lindung dan Kawasan Konservasi sampai dengan Tahun 2030 di Indonesia (Sumargo et al. 2011)

Sumatera Jawa Bali Nusa Tenggara

Kalimantan Sulawesi Maluku Papua

2009 4.819.346,80 394.404 558.175,4 18.111.084,7 4.223.699,2 2.562.668,5 19.612.509,8

2015 4.384.632,85 - 263.972,57 17.063.325,42 3.882.639,85 2.448.456,21 19.571.949,33

2020 4.022.371,23 - 18.803,55 16.190.192,63 3.598.423,67 2.353.279,27 19.538.148,87

2025 3.660.109,60 - - 15.317.059,83 3.314.207,49 2.258.102,34 19.504.348,41

2030 3.297.847,97 - - 14.443.927,04 3.029.991,30 2.162.925,41 19.470.547,96

b. Overexploitasi species

Overexploitasi species sering terjadi terhadap organisme yang biasanya mempunayi nilai ekonomi

tinggi, di cari banyak orang namun jumlah populasinya sangat kecil yang mungkin diakibatkan

oleh daerah sebarnya yang terbatas (endemik) atau memiliki reproduksi yang sangat panjang

sehingga angka kelahirannya sangat kecil.

c. Polusi

Tidak dipungkiri lagi bahwa polusi dapat mengancam kelestarian sebuah organisme dan saat ini

yang sudah mulai banyak terlihat adalah kasus diperairan yang tercemar oleh limbah industri

Page 35: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

14 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

seperti kasus punahnya beberapa jenis ikan di DAS Ciliwung. Dari sekitar 187 jenis ikan yang

pernah terdapat di DAS tersebut pada tahun 1910 hanya ditemukan tinggal 20 jenis pada tahun

2009 (Hadiatai 2011).

d. IAS

CBD: Invasive alien species (IAS) are species whose introduction and/or spread outside their

natural past or present distribution threatens biological diversity.

Pemindahan suatu jenis satwa ke daerah yang baru yang semula tidak dihuni oleh satwa yang

bersangkutan dapat menekan satwa asli suatu daerah. Sebagai contoh introduksi Rusa Timur

Cervus Timorensis ke Merauke 1928. Satwa ini berkembang dengan pesat karena tidak ada

predator sehingga menekan populasi walabi Macropus agilis. Saat ini tercatat paling tidak ada 100

species IAS yang paling berbahaya (100 of the World's Worst Invasive Alien Species)

(http://www.issg.org/worst100_ species.html).

Untuk memberikan gambaran mengenai dampak dari kegiatan manusia terhadap laju

kepunahan organisem, sebuah data estimasi laju kepunahan disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Perkiraan laju kepunahan untuk berbagai jenis kelompok berdasarkan berbagai ragam alasan Perkiraan laju kepunahan Persentase kehilangan global

perdekade (%) Cara estimasi

1 juta species antara 1975 dan 2000 4 Extrapolasi 15%-20% species antara 1980 dan 2000

8-11 Kurva species-area dan prediksi hutan yang hilang

12% tanaman di neotropics Kurva species-area 15% burung di Amazone Kurva species-area 2000 species tanaman di tropik dan subtropik

8 Separuh dari yang hilang akibat Pembabatan hutan sampai 2015

25 % species antara 1985 dan 2015 9 Separuh dari yang hilang akibat Pembabatan hutan sampai 2015

Minimal 7% dari species tanaman 7 Separuh yang hilang untuk dekade yang akan datang di 10 hot spot meliputi 3.5 kawasan hutan

2%-8% hilang antara 1980 dan 2015 1-5 Kurva species-area 5%-15% species hutan sampai 2020 Kurva species area; hilangnya hutan

diasumsikan dua kali oleh FAO untuk tahun 1980-85

Sumber: WCMC (1992)

Sebagai gambaran tambahan bahwa lebih dari 50% binatang vertebrata masuk kriteria terancam

punah. Untuk binatang kategori terancam punah terebagi menjadi: critically endangered,

endengared and vulnerable (IUCN 1996). Demikian juga untuk tumbuhan sekitar 12.5% (IUCN

Page 36: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

15 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

1997). Diklasifikasin CE apabila 50% akan punah dalam 10 tahun atau 3 generasi, E apabila 20%

punah dalam waktu 20 tahun atau 5 generasi dan V apabila 10% punah dalam waktu 100 tahun.

Mengapa “the Sixth Extinction ” terus berlanjut

“The sixth extinction” diperkirakan akan semakin memburuk seiring dengan prediksi

jumlah populasi penduduk dunia yang semakin tinggi di tahun-tahun yang akan datang.

Berikut ini adalah gambaran populasi penduduk yang akan datang:

• Diperkirakan antara 1 sampai 10 juta manusia di dunia 10.000 tahun yang lalu

• Saat ini lebih dari 6 milyar

• 8 milyar tahun 2020.

• 10-11 milyar tahun 2070

Ledakan jumlah populasi yang terjadi paska revolusi industri dua abad yang lalu yang

menyebabkan tidak merata distribusi dan konsumsi kekayaan bumi merupakan salah satu asal

muasal “the sixth extinctation ini”.

Masalah Utama yang dihadapi dalam usaha konservasi adalah:

1. Sulitnya mengetahui dengan benar identitas biologi oragnaisme yang akan kita konservasi

2. Belum seluruh biodiversity di muka bumi terungkap jenisnya sedangkan laju kepunahan sangat

tinggi sehingga banyak sumber daya hayati yang belum sempat terungkap manfaatnya tetapi

keburu punah

3. Minimnya ahli taxonomy yang dapat mengungkapkan identitas sumberdayahayati yang kita

miliki.

Salah satu solusi adalah:

Sebuah teknologi yang dengan cepat mampu mengungkapkan sumberdaya hayati yang kita

miliki sebelum terjadi kepunahan yaitu DNA Barcoding

Apa itu “DNA Barcoding”?

DNA barcoding merupakan sebuah teknik yang dikembangkan dalam rangka untuk

mempercepat dan mempermudah proses identifikasi organisme dengan menggunakan potongan gen

tertentu yang telah teruji kemapuannya untuk membedakan pada tingkat species. Berbeda dengan

teknik identifikasi secara konvensional yang hanya dapat dilakukan dengan menggunakan

specimen yang utuh dan dewasa, teknik barkoding dapat digunakan untuk mengidentifikasi semua

bentuk tingkatan kehidupan mulai dari telur, larva, pupa sampai dewasa bahkan mampu digunakan

juga untuk fragmen tubuh yang tidak diketahui asalnya. Teknik ini akan mampu menjembatani

Page 37: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

16 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

keadaan saat ini dimana ahli taksonomi semakin langka. Di sisi lain laju kerusakan habitat sangat

tinggi yang menyebabkan hilangnya banyak species yang belum kita ketahui jenisnya. Namun

demikian teknik barkoding ini relatif mahal untuk negara yang sedang berkembang seperi

Indonesia. Sehingga diperlukan skala prioritas terutama untuk tujuan yang langsung bermanfaat

buat masyarakat kita.

Sejarah DNA barcoding

Penggunaan DNA barcoding untuk mengidentifikasi sebuah spesies dipublikasikan pertama

kali oleh Dr. Paul Herbert dan kawan-kawan (Herbert et al. 2003). Publikasi ini berisi tentang

teknik untuk membedakan spesies dan mengidentifikasikasi spesimen (baik yang berupa serpihan

atau potongan organ maupun pradewasa suatu organisme) dengan menggunakan sekuen DNA yang

pendek dari suatu gen. Publikasi ini menggelitik para ahli taksonomi, genetik dan ahli biologi -

evolusi pada saat itu.

Pada tanggal 9-12 Maret 2003, workshop dengan tema “Taxonomy and DNA” diadakan di

Cold Spring Harbor Laboratory dengan disponsori oleh Aflred P. Sloan Foundation yang

menekankan penerapan beberapa teknik untuk taksonomi dan manfaatnya terhadap masyarakat.

DNA barcoding terbukti dapat digunakan oleh berbagai kelompok taksa dengan cepat dan relatif

murah untuk mengidentifikasi spesies yang sulit dilakukan secara morfologi. Enam bulan

berikutnya di tempat yang sama dilakukan pertemuan yang kedua. Salah satu hasilnya adalah

disepakatinya gen COI sebagai gen yang akan digunakan dalam DNA barcoding.

Pada bulan Mei 2004 Sloan Foundation mengucurkan dana untuk mendukung berdirinya

“Consortium for the Barcode of Life (CBOL)” yang dipimpin oleh Dr. Scott Miller dari

Smithsonian Institution’s National Museum of Natural History, Amerika Serikat. Misi utamanya

adalah memajukan eksplorasi dan pengembangan DNA barcoding sebagai standar global untuk

identifikasi spesies. Dalam rangka mencapai tujuannya maka organisasi ini mulai:

1. Mengumpulkan dengan cepat data DNA barcoding yang berkualitas tinggi pada perpustakaan

umum sekuen DNA

2. Mengembangkan instrument baru dan proses yang dapat meminimalkan biaya DNA barcoding,

lebih cepat, dan dapat dilakukan dimana saja.

3. Mengikut sertakan ahli taksonomi dan lembaga penelitian di seluruh dunia

4. Menggunakan DNA barcoding yang bermanfaat untuk ilmu pengetahuan dan teknologi di

masyarakat.

Sampai saat ini CBOL telah tiga kali mengadakan konferensi (pertemuan) internasional

(International Barcode of Life Conference). Pertemuan pertama diselenggarakan di Natural History

Page 38: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

17 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

Museum, London pada bulan Februari tahun 2005, ke-2 pada bulan September tahun 2007 di

Academia Sinica, Taipei, Taiwan, dan pertemuan ke-3 pada bulan November tahun 2009 di Mexico

City. Pertemuan ke-4 pada bulan November tahun 2011 di Adelaide, Australia. Peneliti LIPI juga

berkesempatan untuk hadir dalam dua kali pertemuan internasional yang di London dan Taiwan.

Dalam pertemuan yang ke-2 di Taiwan, delegasi Indonesia yang diwakili oleh peneliti Pusat

Penelitian Biologi-LIPI tersebut juga menghadiri pertemuan “Regional Meeting” yang bertujuan

untuk mengidentifkasi masalah di setiap negara untuk menjadi bahan masukan dalam pembuatan

program yang akan datang.

Kegiatan CBOL yang lain bekerjasama dengan Alfred P. Sloam Foundation mendukung

terselenggaranya 2 hari pertemuan pada bulan September 2005 tentang ”All Birds DNA barcoding

Initiative (ABBI) of Inaugural Workshop” di Museum Comparative Zoology, Havard University,

Cambridge, Massachusette, USA. Selanjutnya pada tanggal 8-9 Maret tahun 2007, CBOL bekerja

sama dengan National University of Singapore (NUS) menyelenggarakan pertemuan ”All Birds

DNA barcoding Initiative (ABBI) Indo Malayan Organizational Meeting, di Singapore. Secara

detail mengenai program dan kemajuan proyek ini dapat dibuka websitenya,

http://www.cbol.si.edu atau hubungi [email protected] atau http://barcoding.si.edu.

Mengapa DNA barcoding diperlukan

Laju kerusakan hutan yang sangat cepat terutama di negara-negara berkembang di daerah

tropis dimana daerah ini merupakan kantong keanekaragaman hayati yang tinggi. Selain itu akibat

pemanasan global telah memacu kita untuk mencari jalan keluar bagaimana cara yang paling cepat

dan tepat untuk mengungkapkan keanekaragaman hayati di dunia sebelum mengalami kepunahan.

Semakin menurun jumlah ahli taksonomi di seluruh dunia telah membawa implikasi

terhadap semakin lambat pengungkapan keanekaragaman spesies hayati di dunia. Ditambah

masalah klasik lain yaitu sangat sulitnya menciptakan ahli taksonomi dalam waktu yang cepat dan

juga terbatasnya pemerintah dapat menyediakan lowongan kerja.

Keterbatasan ahli taksonomi yang hanya dapat mengidentifikasi ketika spesimen masih

dalam bentuk utuh dan dalam keadan dewasa menyebabkan persoalan semakin panjang dalam

rangka mengungkapkan keanekaragaman hayati. Suatu kenyataan bahwa dalam sampling akan

banyak ditemukan organism yang belum dewasa dan terkadang-rusak menjadi serpihan-serpihan

yang sangat sulit dikenali bentuk aslinya. Sehingga untuk menghadapi hal diatas diperlukan

sebuah cara yang lebih cepat dan akurat, yaitu metode DNA barcoding. Walaupun demikian teknik

ini tidak mungkin mengetahui nama dan identitas spesies tanpa bantuan taksonom, maka cara ini

harus terus dikembangkan.

Page 39: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

18 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan di bidang molekuler, terutama penemuan mesin

sekuenser, telah memungkinkan untuk melakukan pengujian atau konfirmasi identitas spesies

organisme dalam waktu yang sangat singkat yang dilakukan oleh bukan ahli taksonomi, tidak

peduli apakah spesimennya sudah terpecah-pecah rusak atau masih pradewasa dengan cara melihat

salah satu sekuen gennya. Bahkan di negara maju yang sudah lengkap peralatan sequencingnya

proses ini hanya dilakukan dalam waktu 8 jam. Sungguh luar biasa manfaatnya bila kita bisa

memaanfaatkan cara ini terutama jika kita dihadapkan pada suatu persoalan yang memerlukan

jawaban sesegera mungkin dan tidak ada taksonom disekitar kita. Metode ini diperlukan karena

dapat dilakukan dengan sangat sederhana dan mudah diterapkan dengan cepat.

Strategi Pengembangan DNA barcoding Fauna

Semakin sulit dana penelitian untuk ilmu dasar telah membawa peneliti kedalam keadaan

yang kurang menguntungkan dalam percaturan dunia ilmu pengetahuan ditingkat internasional. Hal

ini sebagai imbas dari kurangnya perhatian pemerintah dalam mengalokasikan dananya untuk

kepentingan dunia penelitian. Tentunya hal yang mustahil buat negara berkembang seperti

Indonesia, untuk mengungkapkan semua flora dan fauna dengan cara barcoding, karena biaya

sangat mahal mengingat dalam program DNA barcoding spesimen museum dan herbarium yang

umurnya sudah tua sangat sulit sekali dapat digunakan karena kemungkinan besar DNA- nya sudah

rusak. Sehingga tidak ada cara lain selain dengan cara mengumpulkan spesimen baru yang

tentunya biayanya sangat tinggi sekali.

Namun demikian, setelah melihat manfaat DNA barcoding yang banyak sekali tentunya kita

dapat melakukan dengan cara prioritas untuk tujuan tertentu. Secara umum ada dua kelompok

pengguna yang akan menggunakan hasil DNA barcoding ini yaitu taksonomist dan ilmuwan dari

bidang yang lain (konservasi, kedokteran forensik, perusahaan industri makanan, nutrisi makanan

ternak, karantina dan lain sebagainya).

Taksonom memerlukan DNA barcoding karena tidak semua spesimen yang diperoleh dalam

keadaan utuh dan sudah dewasa. Ahli konservasi memerlukan data identitas sepecies yang benar

sebelum melakukan program konservasi. Sedangkan ahli forensik memerlukan data sekuen karena

material spesimen yang dihadapi sudah dalam keadaan membusuk. Sedangkan karantina

memerlukan identifikasi sebuah larva lalat buah yang ada pada buah yang di impor secepatnya

untuk menentukan apakah buah yang membawa larva lalat buah tersebut boleh masuk atau tidak.

Sehingga di dalam strategi pengembangan DNA barcoding di Indonesia kita harus mempunyai

strategi dan membuat sekala prioritas berdasarkan manfaat langsung yang akan diperoleh oleh

Page 40: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

19 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

masyarakat kita. Beberapa prioritas yang dapat dikerjakan berdasarkan tujuannya antara lain: untuk

tujuan karantina, konservasi, pencegahan penyakit menular dan lain sebagainya.

Gen COI sebagai DNA barcoding

Tidak semua jenis gen dapat digunakan dalam barcoding, hanya gen yang memenuhi

beberapa persyaratan tertentu. Secara umum persyaratan tersebut adalah: 1). Harus mampu

membedakan antar semua spesies tapi hendaknya bersifat lebih konservatif dalam variasi spesies

daripada antar spesies, 2). Harus standar sehingga dengan daerah DNA yang sama dapat digunakan

sebanyak mungkin untuk taksa yang berbeda, 3). Sedapat mungkin daerah DNA target mempunyai

informasi filogeni sehingga memudahkan taksa tersebut dalam pengelompokannya (marga, famili

dan lain sebagainya), 4). Mempunyai tingkat amplifikasi yang tinggi, 5). Sebaiknya ukurannya

pendek sehingga dapat digunakan untuk menguji DNA yang sudah terpotong-potong atau rusak.

COI telah dipilih menjadi salah satu gen yang sekuen-nya digunakan dalam barcoding. Gen

ini mempunyai sifat-sifat yang memenuhi persyaratan untuk digunakan dalam menentukan

identitas sebuah spesies untuk hampir semua binatang tingkat tinggi. Panjang seluruh gen ini

relatif pendek yaitu hanya sekitar 648 bp/base pairs (pasang basa) dan relatif stabil tidak mudah

mengalami perubahan bila dibandingkan dengan gen-gen mitrokhondria yang sejenis. Gen ini

sangat cocok untuk menentukan identitas sebuah spesies karena mempunyai variabilitas yang

rendah (1-2%), bahkan untuk kelompok yang mempunyai kekerabatan sangat dekat hanya

mempunyai perbedaan beberapa persen saja. Sifat yang menguntungkan penggunaan gen

mitokhondria COI adalah mudah untuk mensekuennya dibandingkan dengan gen-gen yang berasal

dari gen inti.

Meskipun DNA barcoding dengan menggunakan sekuen sebuah gen sangat bermanfaat

dalam mengidentifikasi spesies namun demikian bukan berarti dapat menggantikan 100% peranan

taksonomi, hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa tidak mungkin sebuah gen bisa diaplikasikan

untuk seluruh organisme dengan kata lain gen adalah bukan microchip yang dapat diproduksi masal

dengan stándar yang sama sehingga spesifikasinya dapat ditentukan oleh pabrik. Gen adalah sebuah

misteri kehidupan yang bersifat dinamis. Meskipun sebuah organisme telah berhasil disekuen,

namun konfirmasi untuk memastikan nama spesies harus tetap dikonsultasikan oleh ahli taksonomi,

yaitu untuk menghindari munculnya kemungkinan spesies baru sebagai hasil analisis filogeni dari

variasi gen sekuen.

Non-COI barcode region

Tidak semua group tentunya dapat menggunakan COI ini dalam analisis DNA barcoding,

karena belum tentu mendapatkan hasil yang memuaskan sehingga sangat diperlukan untuk mencari

Page 41: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

20 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

kandidat gen lain yang cocok untuk kelompok itu. Hal ini bisa dilihat dari kasus untuk tanaman.

Di dalam tanaman, gen khloroplas dan mitokhondria mempunyai laju evolusi yang sangat rendah

untuk menghasilkan variasi. Sehingga para botanist mempunyai strategi dengan menggunakan

baik gen inti maupun fragment khloroplas seperti internal transcribed spacer (ITS) dari 18S-5.8S-

26S ribosomal cistron inti atau khloroplas trnH-psbA region (Kress et al. 2005).

Selain mempromosikan standarisasi daerah barcode , CBOL juga berusaha memperluas

penerapan DNA barcode di seluruh hidup eukariotik. CBOL mengakui bahwa:

• COI tidak bervariasi dalam beberapa kelompok taksonomi, atau rentan terhadap proses evolusi

molekul yang luar biasa.

• COI mungkin tidak mampu menyelesaikan perbedaan tingkat spesies di semua sub kelompok

dari kelompok taksonomi dan data sekuen tambahan mungkin diperlukan dari suatu wilayah

kedua atau bahkan ketiga dalam kasus tersebut;

• Peneliti mungkin sudah mengumpulkan volume data yang signifikan menggunakan region gen

yang berbeda dalam kelompok taksonomi tertentu. Jika sudah dibuat voucher yang tepat akan

memberikan potensi yang baik sebagai region/daerah DNA barcoding .

Dalam rangka standarisasi penilaian sebanyak mungkin masalah region non-COI maka

pengusul diminta untuk menggunakan panduan “Guidelines for CBOL approval” saat menyiapkan

proposal pengajuan marker baru.

DAFTAR PUSTAKA Costanza R et al. 1997. The value of the world’s ecoystem services and natural catpital. Nature 387: 253-260. Daily GC. 1999. Developing a scientific basis for managing Earth’s life support system. Conserv. Ecol. 3: 14 Hebert PDN, Cywinska A, Ball SL, De Waard JR. 2003. Biological identification through DNA barcodes. Philos

Trans Ser B: 270: 313-321 Heyne K. 1987. Tumbuhan berguna Indonesia I-III. Badan Litbang Departemen Kehutanan. Yayasan Sarana-Wana

Jaya (Terjemahan). Kress WJ, Wurdack KJ, Zimmer EA, Weigt LA, Janzen DH. 2005. Use of DNA barcodes to identify flowering plants.

P Natl Acad Sci USA 102: 8369–8374. Primack RB. 1998. Essentials of Conservation Biology. Sinauer, Sunderland. Sumargo et al. 2011. Protet Keadaan Hutan Indonesia Periode Tahun 2000-2009. WCMC. 1992. Global Biodiversity: status of the earth’s Living resources. Chapman & Hall. London

Page 42: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

MAKALAH PENUNJANG

Page 43: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam
Page 44: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

TOPIK :

BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI

SUMBER DAYA HUTAN

Page 45: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam
Page 46: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

21 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

PERBANYAKAN TUNAS Araucaria cunninghamii (Aiton ex D. Don) DARI EKSPLAN YANG BERASAL DARI SEEDLING

Yelnititis

Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15 Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta - 55582

Email : [email protected]

ABSTRAK

Araucaria cuniinghamii (Aiton ex D. Don) adalah salah satu jenis tanaman hutan yang mempunyai prospek untuk dikembangkan. Kayunya dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti untuk kayu lapis, venir, furniture. Penelitian perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan sudah dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan, Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta. Potongan batang dengan ukuran 2 cm dari seedling dijadikan sebagai eksplan. Eksplan dicuci dengan deterjen cair selama 15 menit kemudian direndam dalam larutan dithane M selama 10 menit dan daconil selama 10 menit. Kemudian eksplan disterilisasi dengan menggunakan alkohol 70 %, bayclin 20 %, bayclin 10 % dan terakhir dibilas dengan aquades steril sebanyak 3 kali. Media dasar Murashige dan Skoog (MS) dan LP dijadikan sebagai media tumbuh. Penelitian dilakukan dengan dua tahap kegiatan yaitu tahap induksi tunas dan tahap perbanyakan. Tahap induksi dilakukan dalam 2 kegiatan yaitu dengan penggunaan 1) media MS + BA (0.1 mg/l – 3.0 mg/l) dan 2) media LP + thidiazuron (0.05 – 0.2 mg/l) serta perlakuan BA 0.1 mg/l sebagai kontrol. Pada tahap perbanyakan tunas diberikan kinetin (2.0 mg/l - 8.0 mg/l) pada modifikasi medium Quoivin and Lepoivre’s (LP). Semua tahapan penelitian dirancang dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 10 kali ulangan. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah tunas dan tinggi tunas yang dihasilkan dan penampakan biakan secara visual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan media MS + BA 0.1 mg/l dan LP + thidiazuron 0.1 mg/l merupakan perlakuan terbaik pada tahap induksi tunas. Rata-rata jumlah tunas yang diperoleh dari perlakuan ini adalah 7.0 tunas dan 4.0 tunas. Perlakuan media MS dan LP + thidiazuron 0.1 mg/l merupakan perlakuan terbaik untuk pertumbuhan tunas. Rata-rata tinggi tunas yang dihasilkan dari perlakuan ini adalah 6.5 cm dan 5.2 cm. Biakan yang dihasilkan berwarna hijau dan segar.

Kata kunci : Araucaria cunninghamii, in vitro, perbanyakan, seedling

I. PENDAHULUAN

Araucaria cunninghamii (Aiton ex D. Don) merupakan salah satu jenis tanaman hutan yang

berpotensi untuk dikembangkan. Jenis ini mempunyai daerah sebaran vertikal yang cukup luas (0

sampai >1000 m dpl) . Di Indonesia jenis ini tumbuh secara alami di Papua antara lain di Serui,

Wamena, Manokwari, Jayapura,Nabire dan Fak-fak. Kayunya sangat baik digunakan untuk

berbagai keperluan antara lain sebagai bahan baku industri kertas, pulp,vinir, plywood, lantai,

panel, kerangka dan sebagai kayu pertukangan. Kayunya bersifat kokoh, mempunyai tekstur yang

halus, mudah untuk dipotong, digergaji, dipaku, dilem, diawetkan dan dipolish. Selain itu jenis ini

juga mengandung getah yang dapat disadap dan mempunyai nilai ekonomi tinggi.

Produktifitas hutan alam semakin menurun sejalan dengan makin meningkatnya eksploitasi

hutan secara terus menerus untuk memenuhi permintaan akan kebutuhan kayu yang semakin

meningkat. Selain itu juga disebabkan karena penebangan liar, kebakaran hutan, konversi lahan

hutan menjadi lahan pertanian atau untuk keperluan lain. Untuk mengatasi permasalahan tersebut

Page 47: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

22 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

maka pembangunan hutan tanaman sebagai penghasil kayu baik untuk industri, pertukangan, kayu

energi dan lain-lain perlu ditingkatkan, sehingga penguasaan teknik pengembangan populasi hasil

pemuliaan melalui perbanyakan vegetatif mutlak diperlukan dengan tujuan untuk memenuhi

kebutuhan bibit berkualitas dalam pembangunan hutan tanaman.

Sampai saat ini pemegang hak pembangunan hutan belum banyak mengembangkan jenis A.

cunninghamii karena masih didominasi oleh A. mangium dan E. urophylla. Sedangkan jenis-jenis

potensial lain seperti dari famili Araucariaceae (Araucaria spp.) dan Pinaceae (Pinus merkusii)

belum banyak dikembangkan, meskipun di banyak negara seperti Malaysia, Filipina, Thailand,

PNG, Queensland dan Australia justru berupaya membangun hutan tanaman dari jenis-jenis

tersebut karena keunggulan komparatif yang dimilikinya.

Salah satu kendala belum terealisasinya pembangunan hutan tanaman jenis-jenis konifer yang

bernilai ekonomi tinggi di Indonesia adalah karena kurangnya informasi jenis potensial, sumber

benih dan ketersediaan benih berkualitas baik secara genetik serta teknik penanaman yang tepat.

Selain itu daur tebang yang cukup lama yaitu antara 25 – 30 tahun.

Perbanyakan tanaman A. cunninghamii secara in vitro belum banyak dilaporkan.

Perbanyakan vegetatif melalui kultur jaringan bertujuan untuk mempertahankan kualitas / potensi

genetik yang baik dari induknya sangat diperlukan. Penerapan teknik kultur jaringan pada beberapa

jenis tanaman hutan sudah memberikan hasil yang baik. Purse (1989) dalam Evans (1992)

menyatakan bahwa melalui teknik in vitro dihasilkan tunas ganda dari eksplan tanaman Pinus

leucuumanii, Pinus caribea, Pinus oocarpa dan Pinus keysa. Berdasarkan hal diatas dilakukan

penelitian perbanyakan tanaman pada jenis A. cunninghamii.

Penelitian bertujuan untuk mendapatkan metoda yang cocok untuk perbanyakan klonal secara

in vitro untuk jenis A. cunninghamii .

II. BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Balai Besar Penelitian

Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta. Bagian tanaman yang digunakan

sebagai eksplan adalah potongan batang dari seedling dengan ukuran 2.0 cm. Sterilisasi eksplan

dilakukan melalui pencucian dan dilanjutkan dengan sterilisasi bertingkat dengan menggunakan

alkohol 70 %, bayclin 20 % dan 10 % dan terakhir dibilas dengan air steril sebanyak 3 kali.

Medium yang digunakan adalah medium dasar Murashige dan Skoog (MS) dan medium dasar

Quoivin dan Lepoivre’s (LP). Penelitian dilakukan dalam 2 tahap kegiatan yaitu 1. induksi tunas

dan 2. perbanyakan tunas. Pada tahap induksi tunas dilakukan dalam 2 kegiatan terpisah yaitu

Page 48: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

23 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

dengan menggunakan 1. medium MS + BA (0.1 mg/l - 3.0 mg/l). 2. modifikasi medium LP +

thidiazuron (0.05 mg/l - 0.2 mg/l) dan BA 0.1 mg/l sebagai kontrol. Pada tahap perbanyakan, tunas

yang diperoleh pada tahap induksi dipotong-potong dengan ukuran 2.0 cm dan disubkultur pada

perlakuan kinetin (2.0 mg/l – 8.0 mg/l). Penelitian dirancang dengan menggunakan Rancangan

Acak Lengkap (RAL) dengan 10 kali ulangan. Parameter yang diamati adalah jumlah tunas, tinggi

tunas dan penampakan biakan secara visual. Data morfologi dan histologi yang diperoleh dianalisis

secara deskriptif dan data kuantitatif dihitung rata-rata dan standar deviasinya

III.HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Induksi tunas

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis eksplan memberikan pengaruh terhadap tingkat

sterilitas dan keberhasilan dalam pembentukan tunas. Eksplan dari potongan batang yang lebih

dewasa memberikan persentase sterilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan eksplan tunas

terminal. Hal ini disebabkan karena eksplan tunas terminal mempunyai susunan daun yang sangat

rapat sedangkan eksplan dari potongan batang yang lebih dewasa mempunyai susunan daun yang

jarang.

Dari beberapa perlakuan media MS dengan penambahan BA memperlihatkan bahwa tunas

dapat diinduksi dari eksplan yang berasal dari seedling (tanaman yang masih muda). BA

merupakan salah satu zat pengatur tumbuh dari kelompok sitokinin yang banyak digunakan untuk

induksi tunas maupun untuk tahapan yang lain pada berbagai jenis tanaman (Gunawan, 1987).

Tokobara dan Masahiro (1993) menyatakan bahwa semua jenis sitokinin yang digunakan dapat

mendorong induksi tunas pada tanaman Phalaenopsis dan Doritaenopsis. Induksi tunas mulai

terlihat setelah 8 - 14 hari setelah dikulturkan pada media tumbuh. Hasil yang sama juga diamati

pada jaringan tanaman Shorea leprosula yang dikulturkan (Yelnititis, 2005).

Dari beberapa perlakuan yang dicoba perlakuan media MS + BA 0.1 mg/l merupakan

perlakuan terbaik untuk induksi tunas. Rata-rata jumlah tunas yang diperoleh dari perlakuan ini

adalah sebanyak 7 tunas dan berbeda nyata dengan perlakuan lain (Tabel 1). Tingginya jumlah

tunas yang diperoleh pada tahap induksi disebabkan karena potongan batang yang digunakan

sebagai eksplan mempunyai daun yang lebih rapat. Hasil yang sama dengan penelitian Dias et al.

(2002) yang menunjukkan bahwa tunas paling banyak dihasilkan dari perlakuan BA dengan

konsentrasi rendah pada tanaman Lavandula viridis.

Page 49: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

24 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Tabel 1. Jumlah tunas dari perlakuan media MS + BA

Perlakuan media (mg/l) Media treatment (mg/l)

Rata-rata jumlah tunas Penampakan visual

MS + BA 0.1 BA 0.5 BA 1.0 BA 2.0 BA 3.0

7.0 ± 1.00 a 3.0 ± 1.22 bc 3.0 ± 1.87 bc 4.0 ± 1.58 b 3.0 ± 0.71 bc

Hijau, segar, gemuk Hijau, segar, gemuk Hijau, segar, gemuk Hijau, segar, gemuk Hijau, segar, gemuk

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom tidak berbeda nyata

Dari Tabel 1 juga dapat dilihat bahwa peningkatan konsentrasi BA yang digunakan diiringi

dengan penurunan jumlah tunas yang diperoleh. Diduga tanaman ini mengandung hormon

endogen yang cukup tinggi sehingga untuk induksi tunas hanya dibutuhkan faktor pencetus

dengan konsentrasi yang rendah. Singh et al, (2002) menyatakan bahwa tipe eksplan maupun

tanaman berbeda mempunyai kandungan hormon endogen yang berbeda pula. George dan

Sherrington (1987) menyatakan bahwa penggunaan BA pada konsentrasi yang relatif tinggi dapat

merangsang induksi tunas tetapi pada konsentrasi tinggi dapat menghambat inisiasi tunas dari

eksplan yang ditumbuhkan. Hasil yang sama juga diperoleh dari penelitian Pastur dan Arena (1999)

pada tanaman Nothofagus leoni Espinosa.

Hampir semua tunas yang dihasilkan pada perlakuan yang diuji berukuran pendek dan gemuk

(Gambar 1a). Semakin tinggi konsentrasi BA yang digunakan semakin pendek tunas yang

dihasilkan. BA merupakan salah satu jenis sitokinin dengan daya aktif tinggi yang berfungsi antara

lain terhadap perbesaran sel. Rata-rata ukuran tinggi tunas yang dihasilkan paling tinggi adalah 0.7

cm. Menurut Pastur dan Arena (1999) konsentrasi BA yang digunakan memberikan pengaruh

terhadap respon pertumbuhan tanaman seperti jumlah tunas, tinggi tunas, jumlah daun, tingkat

perbanyakan, organogenesis dan lain-lain. Hal yang berbeda dengan penelitian Dias et al. (2002)

yang menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi BA yang digunakan semakin tinggi biakan

yang dihasilkan.

Tunas-tunas yang dihasilkan pada penelitian ini mengalami pertumbuhan yang lambat

sehingga untuk pertumbuhan tunasnya membutuhkan waktu yang sangat lama. Hal ini diduga

disebabkan oleh beberapa faktor antara lain jenis dan bagian tanaman yang digunakan sebagai

eksplan, jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh atau jenis medium yang digunakan.

Berdasarkan hal diatas dilakukan tahapan kegiatan penelitian yang sama dengan menggunakan

medium dasar LP dengan penambahan zat pengatur tumbuh thidiazuron dengan beberapa

konsentrasi dan BA 0.1 mg/l yang merupakan perlakuan terbaik pada tahap sebelumnya dijadikan

sebagai kontrol.

Page 50: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

25 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

Gambar 1. a. Tunas dari perlakuan media MS + BA Gambar 1. b. Tunas dari perlakuan LP + thidiazuron.

(Skala 1 cm = 0.5 cm )

Penggunaan medium dasar LP memperlihatkan pertumbuhan eksplan yang lebih baik. Hal ini

diduga karena medium dasar LP mempunyai kandungan hara yang lebih rendah dibandingkan

dengan medium dasar MS terutama kandungan ammonium nitratnya (NH4NO3). Selain itu juga

disebabkan karena pengaruh thidiazuron yang digunakan. Thidiazuron merupakan zat pengatur

tumbuh yang aktif dan sangat efisien dalam kultur sel dan jaringan tanaman ( Guo et al, 2011).

Tabel 2 memperlihatkan bahwa perlakuan thidiazuron 0.1 mg/l merupakan perlakuan yang

terbaik untuk induksi tunas. Huetteman dan Preece (1993) menyatakan bahwa thidiazuron

merupakan substansi seperti sitokinin yang sangat aktif dan dapat merangsang induksi dan

proliferasi tunas tanaman berkayu. Rata-rata jumlah tunas yang dihasilkan dari perlakuan ini adalah

4.00. Hal ini diduga disebabkan karena penambahan thidiazuron 0.1 mg/l ke dalam media tumbuh

memodifikasi nisbah auksin dan sitokinin dari eksplan yang dikulturkan sehingga tercapai nisbah

sitokinin yang seimbang untuk pembentukan tunas. Hasil yang sama dengan penelitian Yordan et

al, (2001) menunjukkan bahwa dari penggunaan thidiazuron dengan konsentrasi yang rendah dapat

dihasilkan tunas dari eksplan tanaman Saphoro toromiro. Sedangkan Neves et al, (2001)

menyatakan bahwa untuk mendapatkan tunas pada tanaman Medicago truncatula digunakan

thidiazuron dengan konsentrasi yang relatif tinggi yaitu 1.0 mg/l. Selanjutnya Faisal et al. (2005)

menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi thidiazuron yang digunakan semakin banyak tunas

yang dihasilkan pada tanaman Rauvolfia tetraphylla.

Page 51: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

26 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Tabel 2. Jumlah tunas dan tinggi tunas dari perlakuan LP + thidiazuron

Perlakuan (mg/l)

Rata-rata jumlah tunas

Tinggi tunas (cm)

Penampilan visual biakan

LP + BA 0.1 2.90 ± 1.52 ab 2.56 ± 1.04 b Hijau segar, pendek

LP + thidiazuron 0.05 1.00 ± 0.47 c 1.38 ± 0.46 c Hijau segar, sedang, pendek

LP + thidiazuron 0.1 4.00 ± 1.25 a 6.50 ± 1.58 a Hijau segar, sedang, tinggi

LP + thidiazuron 0.015 1.00 ± 0.47 c 1.20 ± 0.56 c Hijau segar, sedang, pendek

LP + thidiazuron 0.2 2.60 ± 1.07 b 1.20 ± 0.56 c Hijau segar, sedang, pendek

Dari Tabel 2 juga dapat dilihat bahwa perlakuan thidiazuron memberikan pengaruh terhadap

laju pertumbuhan tunas yang dihasilkan. Perlakuan thidiazuron 0.1 mg/l merupakan perlakuan

terbaik terhadap tinggi tunas yang dihasilkan. Rata-rata tinggi tunas dari perlakuan ini adalah 6.50

cm dan berbeda nyata dengan perlakuan yang lain. Jordan et al. (2001) menyatakan bahwa

penggunaan thidiazuron dapat merangsang pemanjangan tunas yang dihasilkan. Selanjutnya Guo et

al, (2011) menyatakan bahwa penggunaan thidiazuron dapat memodifikasi zat pengatur tumbuh

endogen tanaman baik secara langsung maupun tidak langsung.

Dari hasil yang diperoleh dapat dilihat bahwa hampir semua tunas yang diperoleh

memberikan penampilan visual yang lebih baik. Tunas yang diperoleh berukuran sedang dan

normal (Gambar 1b) dengan laju pertumbuhan yang lebih cepat. Hasil yang berbeda dengan

penelitian Shingha dan Bathia (1988) pada tanaman Pyrus communis yang menunjukkan bahwa

penggunaan thidiazuron yang dikombinasikan dengan BA meningkatan kemampuan eksplan

membentuk tunas ganda.

B. Perbanyakan tunas

Tunas-tunas yang berukuran sedang dan tinggi yang diperoleh pada tahap induksi tunas

digunakan sebagai eksplan pada tahap perbanyakan tunas. Tunas dengan ukuran 2.0 cm disubkultur

pada perlakuan kinetin 2.0 mg/l – 8.0 mg/l. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan kinetin

8.0 mg/l merupakan perlakuan terbaik untuk perbanyakan tunas. Menurut Winarsih et al, (1998),

kinetin termasuk kelompok sitokinin yang berfungsi dalam pengaturan pembelahan sel dan

morfogenesis. Selanjutnya Devy dan Sutanto (1992) menyatakan bahwa penggunaan sitokinin

secara tunggal maupun kombinasinya dengan auksin berperan dalam menginduksi dan

menggandakan tunas.

Page 52: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

27 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

Tabel 3. Jumlah tunas dan tinggi tunas dari perlakuan thidiazuron

Perlakuan (mg/l)

Rata-rata jumlah tunas

Tinggi tunas (cm)

LP + kinetin 2.0 2.00 ± 0.66 b 3.30 ± 1.77 b

LP + kinetin 4.0 2.10 ± 0.74 b 3.40 ± 1.50 b

LP + kinetin 6.0 2.00 ± 0.66 b 3.30 ± 1.77 b

LP + kinetin 8.0 3.90 ± 0.74 a 5.20 ± 1.26 a

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata

Rata-rata jumlah tunas yang dihasilkan dari perlakuan ini adalah 3.9 (Tabel 3). Hasil yang

sama dengan penelitian Priyono (2005) menunjukkan bahwa penggunaan kinetin dengan

konsentrasi yang relatif tinggi pada tahap subkultur memberikan jumlah tunas paling tinggi.

Berbeda dengan hasil penelitian Wilhelm (1999) pada tanaman Acer pseudoplanatus yang

menyatakan bahwa jumlah tunas hasil subkultur paling banyak diperoleh dari perlakuan thidiazuron

0.04 μM dikombinasikan dengan 0.1 μM BA.

Gambar 2. Tunas dari perlakuan kinetin (Skala 1 cm = 1 cm)

Sedangkan Evenor et al., (2001) menyatakan bahwa tunas paling banyak diperoleh dari

perlakuan BA 1.0 mg/l yang dikombinasikan dengan IAA 0.5 mg/l pada tanaman Alchemilla mollis.

Selain menghasilkan jumlah tunas paling banyak perlakuan kinetin 8.0 mg/l juga merupakan

perlakuan terbaik terhadap pertumbuhan tunas ke arah pemanjangan. Dari perlakuan ini diperoleh

tunas dengan ukuran paling tinggi dengan rata-rata tinggi 5.2 cm dan berbeda nyata dengan

perlakuan yang lain.

Page 53: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

28 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Dilihat dari penampilan biakan secara visual menunjukkan bahwa tunas yang diperoleh dari

perlakuan yang sama mempunyai bentuk normal, berukuran sedang dan berwarna hijau segar

(Gambar 2). Selain itu tunas yang diperoleh dari perlakuan ini lebih baik dibandingkan dengan

tunas yang dihasilkan dari perlakuan BA.

IV. KESIMPULAN

Perlakuan terbaik pada tahap induksi tunas adalah media MS + BA 0.1 mg/l. Rata-rata jumlah

tunas yang dihasilkan adalah 7 tunas. Perlakuan media LP + thidiazuron 0.1 mg/l merupakan

perlakuan terbaik untuk pertumbuhan tunas. Tunas yang diperoleh berukuran sedang dan rata-rata

tinggi tunas adalah 6.50 cm. Tunas yang dihasilkan berwarna hijau dan segar. Perlakuan kinetin

8.0 mg/l merupakan terbaik untuk perbanyakan tunas dengan jumlah rata-rata sebanyak 3.9 dan

tinggi rata-rata 5.2 cm

V. DAFTAR PUSTAKA

Dias, MC, R. Almeida and A. Romano. 2002. Rapid clonal multiplication of Lavandula viridis L’Her through in vitro axilarry shoot multiplication. Plant Cell Tissue and Organ Culture 68 : 99 – 102.

Devy NS dan A. Sutanto. 1992. Pengaruh komposisi media dan zat pengatur tumbuh terhadap perbanyakan batang bawah apel asal Bromo secara in vitro. J. Hort. 2 (4) : 13 – 20.

Evans, J. 1992. Plantation Forestry in the Tropics. 2nd ed. Oxford Univ. Press. New York. 403p. Evenor, D; E. Shlomo and M. Reuveni. 2001. Micropropagation of Alchemilla mollis. Plant Cell Tissue and Organ

Culture 65 : 169 – 172. Faisal, M; N. Ahmad and M. Anis. 2005. Shoot multiplication in Rauvolfia tetraphylla L. using thidiazuron. Plant Cell

Tissue and Organ Culture 80 : 187 – 190. George, PD and F. Sherrington. 1987. Plant propagation by tissue culture Gunawan, LW. 1987. Teknik kultur jaringan. PAU IPB. Bogor. 187 hal. Guo, B; BH. Abbasi; A. Zeb; LL. Xu and YH. Wei. 2011. Thidiazuron : A multi-dimensional plant growth regulator.

African Journal of Biotech. 10 (45) : 8984 – 9000. Huetteman, CA. and JE. Preece. 1993. Thidiazuron : a potent cytokinin for woody plant tissue culture. Plant Cell

Tissue and Organ Culture 33 : 105 – 119. Herawan, T. dan Yelnititis. 2001. Pembiakan vegetatif mikro Shorea leprosula. Laporan Hasil Penelitian (tidak

dipublikasikan). Mackay, WA; JL. Tipton and GA. Thompson. 1995. Micropropagation of Mexican redbud, Cercis Canadensis var.

mexicana. Plant Cell Tissue and Organ Culture 43 : 295 - 299. Mok, MC; DWS. Mok; DJ. Amstrong; K. Shudo; Y. Isogai and T. Okamoto. 1982. Cytokinin activity of N-phenyl-N -

1,2,3-thidiazol-5-ylurea (thidiazuron). Phytochemistry 21 : 1509 – 1511. Neves, LO; L.Tomaz and MPS. Fevereiro. 2001. Micropropagation of Medicago truncatula Gaertn. Cv. Jemalong and

Medicago truncatula ssp. narbonensis. Plant Cell Tissue and Organ Culture 67 : 81 – 84. Pastur, GJM and ME. Arena. 1999. In vitro propagation of juvenile Nothofagus leoni Espinosa (Fagaceae). J. For. Res.

4 : 295 – 298. Priyono. 2005. Perbanyakan tanaman buah naga berdaging buah merah (Hylocereus costaricensis) melalui teknik

kultur jaringan. Berita Biologi 7 (5) : 273 – 280. Sapulete, E. dan T. Herawan. 2002. Pembiakan vegetatif (makro dan mikro) A. cunninghamii. Laporan Hasil Penelitian

(tidak dipublikakan). Singh, AK; S. Chand; S. Pattnaik and PK.Cahand. 2002. Adventitious shoot organogenesis and plant regeneration from

cotyledons of Dalbergia sisso Roxb., a timber yielding tree legume. Plant Cell Tissue and Organ Culture 68 : 203 – 209.

Page 54: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

29 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

Shingha, S and SK. Bathia. 1988. Shoot proliferation of plant culture on medium containing thidiazuron and benzyl amino purine. Hort Science 23 : 803 – 806.

Tokobara, K and M. Masahiro. 1993. Micropropagation of Phalaenopsis and Doritaenopsis by cutting shoot tips of flower stalks buds. Plant Cell reports 13 : 7 – 11.

Wilhelm, E. 1999. Micropropagation of juvenile sycamore maple via adventitious shoot formation by use thidiazuron. Plant Cell Tissue and Organ Culture 57 : 57 – 60.

Winarsih, S; Priyono dan Zaenudin. 1998. Pengaruh zat pengatur tumbuh terhadap perbanyakan kerk lily secara in vitro. J. Hort. 8 (3) : 1145 – 1152.

Yelnititis, I. Mariska dan E. Gati. 1995. Penekanan permasalahan penguningan dan gugurnya organ pada pertunasan in vitro tanaman melinjo. Prosiding Evaluasi Hasil Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. hal. 56 – 61.

Yelnititis; T. Herawan; E. Sapulete; A. Setiawan dan E. Izudin. 2005. Perbanyakan meranti secara in vitro. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 2 (1) : 166 – 173.

Page 55: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

30 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Page 56: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

KETERSEDIAAN EKSPLAN, TUNAS AKSILER DAN KALUGENESIS PADA PERBANYAKAN MIKRO Toona sinensis

Asri Insiana Putri

Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15 Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta

Email : [email protected]

ABSTRAK

Perbanyakan mikro melalui kultur jaringan pohon multiguna Toona sinensis belum sepenuhnya diketahui. Tujuan penelitian ini adalah melakukan pengamatan pembentukan tunas juvenil sebagai sumber eksplan dari stek cabang dibandingkan dari biji T. sinensis dalam upaya menjaga keberlangsungan ketersediaan eksplan serta pengamatan responnya terhadap inisiasi tunas aksiler dan kalugenesis melalui kultur jaringan. Isolasi stek cabang dan persemaian biji dilakukan di rumah kaca dengan parameter jumlah dan panjang tunas. Metode kultur jaringan digunakan untuk uji respon hormon eksogen GA4 terhadap inisiasi tunas aksiler dengan parameter panjang tunas; uji hormon IBA terhadap parakaran planlet dengan parameter panjang akar; serta perlakuan BAP untuk kalugenesis dengan parameter berat kalus. Hasil tunas stek cabang T. sinensis umur 1 tahun (setelah stek berakar) mempunyai 2 - 7 tunas tanpa ketiak daun pada nodul cabang yang sama dengan rata-rata panjang tunas 15,8 cm. Hasil tunas dari biji umur semai 1 tahun mempunyai 5 - 8 ketiak daun dari satu tunas, dengan rata-rata panjang tunas (tinggi bibit) 67,55 cm. GA4 konsentrasi 1 mg/l mempunyai pengaruh terbaik pada kedua asal eksplan. Inisiasi tunas aksiler eksplan asal biji mempunyai respon panjang tunas lebih tinggi (8,5 cm ± 0,7228) dibandingkan dengan eksplan asal stek cabang (5,7 cm ± 0,0300). IBA dengan konsentrasi 1 mg/l mempunyai pengaruh terbaik pada eksplan asal biji, sedangkan konsentrasi 2 mg/l mempunyai pengaruh terbaik pada eksplan asal stek cabang. Inisiasi perakaran eksplan asal biji mempunyai respon panjang tunas lebih tinggi (6,8 cm ± 0,6361) dibandingkan dengan eksplan asal stek cabang (4,9 cm ± 0,7893). BAP dengan konsentrasi 3 mg/l mempunyai pengaruh terbaik pada eksplan asal biji, sedangkan konsentrasi 2 mg/l mempunyai pengaruh terbaik pada eksplan asal stek cabang. Kalugenesis eksplan asal biji mempunyai respon berat kalus sedikit lebih tinggi (1,1 ± 0,9957) dibandingkan dengan eksplan asal stek cabang (1,0 ± 0,6635).

Kata kunci: eksplan, tunas aksiler, kalugenesis, Toona sinensis

I. PENDAHULUAN

Toona sinensis termasuk pohon Meliaceae cepat tumbuh, bernilai tinggi dan mempunyai

spektrum pemanfaatan yang luas. Kayu T. sinensis memiliki corak yang indah banyak

dimanfaatkan untuk pertukangan, interior ruangan, panel dekoratif, kerajinan tangan, alat musik,

papan perahu dan peti kemas (Heyne, 1987). Daun suren termasuk edible vegetable, mempunyai

flavor lezat, kaya nutrisi dan aroma. Batang, buah, daun dan akar dapat dimanfaatkan sebagai

pestisida alami (More & White, 2003; Rushforth, 1999). Pada penelitian fitokimia, metabolit

sekunder T. sinensis terdiri dari beberapa senyawa diantaranya katekin dan polyfenol yang

mempunyai sifat profilaktik yang sangat bermanfaat bagi kesehatan manusia (Hsieh et al., 2006;

Wang et al., 2007).

Page 57: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Sebagian besar metode perbanyakan konvensional tanaman hutan dilakukan secara seksual

dari tanaman yang tumbuh dari biji. Propagasi klonal melalui kultur jaringan menjadi alternatif

perbanyakan yang berpotensi mempunyai kecepatan multiplikasi tinggi dan mempunyai sifat

genotip yang seragam dengan stabilitas yang tinggi (Beck & Dunlop, 2001). Regenerasi dari biji

biasanya menunjukkan variasi kontinyu untuk banyak karakter. Penelitian perbanyakan mikro

tanaman hutan tropis khususnya mengenai eksplan dari tanaman induk dan juvenilitasnya belum

banyak dilaporkan (Pijut et al., 2012). Kemudahan kloning in vitro pada kebanyakan jenis tanaman

pohon bergantung pada tingkat juvenilitas jaringan eksplan dan pendewasaannya pada media kultur

jaringan (Biondi and Thorpe, 1981). Perbanyakan vegetatif melalui teknik kultur jaringan sangat

penting untuk program pembiakan dan pemuliaan T. Sinensis. Keuntungan genetik dapat dicapai

dalam siklus rotasi pendek dengan memanfaatkan pohon induk terpilih sebagai sumber eksplan

yang telah terbukti dengan karakteristik kuantitatif dan kualitatif yang menguntungkan.

Tujuan penelitian ini adalah melakukan pengamatan pembentukan tunas juvenil sebagai

sumber eksplan dari stek cabang dibandingkan dari biji T. sinensis dalam upaya menjaga

keberlangsungan ketersediaan eksplan serta pengamatan responnya terhadap inisiasi tunas aksiler

dan kalugenesis melalui kultur jaringan.

II. BAHAN DAN METODE

A. Tempat dan waktu pelaksanaan

Penelitian ini dilakukan di laboratorium kultur jaringan dan rumah kaca di Balai Besar

Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta. Penelitian ini merupakan

rangkuman pengamatan yang dilakukan selama 5 tahun, mulai dari penyiapan materi sumber

eksplan melalui stek batang di rumah kaca sampai dengan terbentuk planlet di ruang kultur dari

tahun 2007 hingga 2011.

B. Bahan dan alat penelitian

Materi tanaman yang digunakan adalah stek cabang dan biji Toona sinensis dari

Temanggung, Jawa Tengah. Tunas dari stek dan biji dipergunakan sebagai materi eksplan untuk

pengujian respon eksplan. Bahan pendukung lainnya adalah pasir semi steril, pupuk, pestisida dan

fungisida untuk menjaga kesehatan stek tanaman di rumah kaca di samping bahan media, hormon

serta bahan sterilisasi untuk kultur jaringan. Peralatan utama yang digunakan di rumah kaca adalah

gunting stek, bak pasir sebagai media stek dan sprayer, sedangkan di laboratorium kultur jaringan

adalah autoclave, lamina air flow, tabung kultur, alat-alat transfer eksplan serta rak inkubasi.

Page 58: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

C. Tahap pelaksanaan

Tunas hasil stek cabang dan biji digunakan sebagai eksplan inisiasi tunas aksiler kultur

jaringan sampai mendapatkan plantlet steril. Plantlet yang dihasilkan digunakan sebagai eksplan

untuk kalugenesis.

1. Stek cabang dan biji untuk sumber eksplan.

Sterilisasi potongan cabang dan biji menggunakan air dan fungisida. Pangkal bawah cabang

diberi larutan IBA. Potongan cabang kemudian ditanam dan biji disemai pada media pasir

semi steril (sterilisasi dengan air 100 0C, tanpa analisa mikrobia). Penyungkupan bak

dilakukan dengan bambu dan plastik. Pengamatan respon berdasarkan jumlah dan panjang

tunas tiap nodul.

2. Inisiasi tunas aksiler

Inisiasi tunas aksiler mengunakan media dasar MS (Murashige et al. 1962) dengan perlakuan

gibberellat (GA4) 0.5 mg/l (P1), 1 mg/l (P2) dan 1,5 mg/l (P3). Transfer eksplan dari tunas

stek batang dan biji pada media inisiasi tunas aksiler dilakukan dengan 3 tahap penanaman

masing-masing 25 ulangan setiap perlakuan. Inkubasi kultur pada suhu 24ºC, kelembaban 60-

70% serta periode pencahayaan 16 jam dibawah lampu fluorescence putih TLD 40 Watt.

3. Inisiasi perakaran

Media untuk perakaran menggunakan ½ MS dengan indolebutiricacid (IBA) 1 mg/l (A1), 2

mg/l (A2) dan 3 mg/l (A3). Kultur inisiasi tunas aksiler steril terbaik dilanjutkan untuk uji

perakaran sampai terbentuk planlet. Inkubasi kultur pada suhu 24ºC, kelembaban 60-70%

serta periode pencahayaan 16 jam dibawah lampu fluorescence putih TLD 40 Watt. Planlet

ini digunakan sebagai sumber eksplan untuk inisiasi kalus.

4. Inisiasi kalus

Inisiasi kalus menggunakan media dasar MS dengan 3,6-dichloro-2-methoxybenzoic acid

(Dicamba) 20 mg/l, kemudian dilanjutkan pada media tanpa Dicamba dengan BAP 1 mg/l

(K1), 2 mg/l (K2) dan 3 mg/l (K3) untuk subkultur kalus. Kultur inisiasi kalus terbaik

selanjutnya dipergunakan untuk multiplikasi kalus. Eksplan yang digunakan pada inisiasi

kalus adalah dari bagian petiole daun planlet. Inkubasi kalus di ruang gelap.

D. Rancangan penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK). Pada inisiasi tunas

dilakukan 3 tahap penanaman dengan 25 ulangan masing-masing untuk 3 perlakuan dari 2 asal

eksplan yaitu stek batang dan biji, sehingga keseluruhan diperoleh 450 satuan kultur percobaan. 90

Page 59: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

kultur terbaik dari ketiga tahap masing-masing dari stek dan biji digunakan untuk uji perakaran.

Eksplan daun dari planlet yang didapat dipergunakan untuk uji kalugenesis, dengan 30 ulangan.

Data hasil penelitian dianalisis dengan sidik ragam dengan model linear sebagai berikut:

Yij = μ + Pi + Tj + Eij.......................................................................persamaan 1.

Keterangan:

Yij: nilai pengamatan pada komposisi hormon ke-i, tahap ke-j

μ : nilai tengah rata-rata pengamatan

Pi : efek komposisi hormon ke i

Tj : efek tahap ke-j

Eij: galat pada komposisi hormon ke i dan tahap ke j

Kalkulasi skor indeks pertumbuhan planlet menggunakan modifikasi persamaan Chester’s

(1959) sebagai berikut:

RE = [(n1 x z1) + (n2 x z2) + (n3 x z3)] / (N x Z) x 100..................... persamaan 2.

Keterangan:

RE : respon eksplan

n1, n2 dan n3 : jumlah eksplan dengan indeks skor 1, 2 dan 3

z1, z2 dan z3 : indeks skor 1, 2 dan 3

N : jumlah total eksplan tiap perlakuan

Z : nilai skor tertinggi (nilai 3)

Kategori respon eksplan berdasarkan nilai skor ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kategori respon eksplan.

Respon eksplan (%) Kategori 0 s/d 20 Respon sangat jelek

20 s/d 40 Respon jelek 40 s/d 60 Respon moderat 60 s/d 80 Respon baik

80 s/d 100 Respon sangat baik

Data yang diperoleh, selanjutnya dianalisis menggunakan Analisis Sidik Ragam (Anova)

pada tingkat ketelitian 95 % dan apabila ada pengaruh nyata dilakukan uji beda nyata Duncan

dengan jenjang nyata ( ) 5 %.

Page 60: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Hasil

1.1. Perbedaan tunas dari stek cabang dan biji T. sinensis sebagai sumber eksplan.

Hasil tunas stek cabang T. sinensis umur 1 tahun (setelah stek berakar) mempunyai 2 - 7 tunas

tanpa ketiak daun pada nodul cabang yang sama dengan rata-rata panjang tunas 15,8 cm.

Hasil tunas dari biji umur semai 1 tahun mempunyai 5 - 8 ketiak daun dari satu tunas, dengan

rata-rata panjang tunas (tinggi bibit) 67,55 cm (Gambar 1).

A B

Gambar 1. Tunas stek cabang T. sinensis (A) dan T. sureni (B) sebagai sumber eksplan.

1.2. Inisiasi tunas aksiler kultur jaringan T. sinensis.

Pengaruh perlakuan hormon pertumbuhan GA4 (P) dan skoring terhadap panjang tunas

ditunjukkan pada Tabel 2, sedangkan hasil analisis sidik ragam dan uji Duncan pada Tabel 3 dan

Tabel 4. GA4 konsentrasi 1 mg/l mempunyai pengaruh terbaik pada kedua asal eksplan. Inisiasi

tunas aksiler eksplan asal biji mempunyai respon panjang tunas lebih tinggi (8,5 cm ± 0,7228)

dibandingkan dengan eksplan asal stek cabang (5,7 cm ± 0,03). Senyawa fenolik yang dikeluarkan

oleh eksplan asal tunas cabang lebih tinggi dibandingkan dengan eksplan asal biji. Hal ini juga

memperbesar persen kematian eksplan asal tunas cabang tersebut.

Page 61: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Tabel 2. Pengaruh GA4 terhadap rata-rata panjang tunas kultur jaringan T. sinensis.

Asal Eksplan

Perlakuan Rata-rata panjang tunas (cm ± SE)

Skoring tunas aksiler

Biji P1 7,9 ± 0,7461 90 P2 8,5 ± 0,7228 P3 8.0 ± 0,1836

Stek cabang

P1 5,7 ± 0,0300 60

P2 5,1 ± 0,3828

P3 4,8 ± 0,1022

Tabel 3. Analisis sidik ragam pengaruh GA4 terhadap rata-rata panjang tunas T. sinensis.

Perlakuan df JK KT Nilai P P 2 12.32301 132.3775 0.0001

Galat 89 0.1117 Total 90

Tabel 4. Uji beda nyata perlakuan pada panjang tunas T. sinensis. Perlakuan Rata-rata

A* B* C* D* Biji P1 7,900 P2 8,5000 P3 8,0000 Stek cabang P1 5,7000 P2 5,1000 P3 4,8000

Keterangan: *= pengelompokan Duncan, dengan kesalahan kuadrat tengah 0,164 P1 = GA4 0,5 mg/l P2 = GA4 1 mg/l P3 = GA4 1,5 mg/l

1.3. Inisiasi perakaran kultur jaringan T. sinensis.

Pengaruh perlakuan hormon pertumbuhan IBA (A) dan skoring terhadap panjang akar

ditunjukkan pada Tabel 5, sedangkan hasil analisis sidik ragam dan uji Duncan pada Tabel 6 dan

Tabel 7. IBA dengan konsentrasi 1 mg/l mempunyai pengaruh terbaik pada eksplan asal biji,

sedangkan konsentrasi 2 mg/l mempunyai pengaruh terbaik pada eksplan asal stek cabang. Inisiasi

perakaran eksplan asal biji mempunyai respon panjang tunas lebih tinggi (6,8 cm ± 0,6361)

dibandingkan dengan eksplan asal stek cabang (4,9 cm ± 0,7893).

Page 62: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

Tabel 5. Pengaruh IBA terhadap rata-rata panjang akar. Asal Eksplan Perlakuan Rata-rata

panjang akar (cm ± SE)

Skoring inisiasi perakaran

Biji A1 6,8 ± 0,6361 80 A2 5,8 ± 0,7563 A3 4,4 ± 0,6862

Stek cabang A1 3,3 ± 0,8722 40 A2 4,9 ± 0,7893 A3 3,8 ± 0,7648

Tabel 6. Analisis sidik ragam pengaruh IBA terhadap rata-rata panjang akar. Perlakuan df JK KT Nilai P

A 2 1,2320 25,6960 0,0001 Galat 89 0,0480 Total 90

Tabel 7. Uji beda nyata perlakuan pada panjang akar. Perlakuan Rata-rata

A* B* C* D* Biji A1 6,800 A2 5,800 A3 4,400 Stek cabang A1 3,300 A2 4,900 A3 3,800

Keterangan: *= pengelompokan Duncan, dengan kesalahan kuadrat tengah 0,765 A1 = IBA 1 mg/l A2 = IBA 2 mg/l A3 = IBA 3 mg/l

1.4. Inisiasi kalus kultur jaringan T. sinensis.

Pengaruh perlakuan hormon pertumbuhan BAP (K) dan skoring terhadap berat kalus

ditunjukkan pada Tabel 8, sedangkan hasil analisis sidik ragam dan uji Duncan pada Tabel 9 dan

Tabel 10.

BAP dengan konsentrasi 3 mg/l mempunyai pengaruh terbaik pada eksplan asal biji,

sedangkan konsentrasi 2 mg/l mempunyai pengaruh terbaik pada eksplan asal stek cabang.

Kalugenesis eksplan asal biji mempunyai respon berat kalus sedikit lebih tinggi (1,1 ± 0,9957)

dibandingkan dengan eksplan asal stek cabang (1,0 ± 0,6635).

Page 63: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Tabel 8. Pengaruh BAP terhadap rata-rata berat kalus. Asal

Eksplan Perlakuan Rata-rata

berat kalus (gr ± SE)

Persentase pembentukan

kalus (%)

Skoring inisiasi kalus

Biji K1 0,8 ± 0,7628 30,0 50 K2 0,9 ± 0,8244 30,0 K3 1,1 ± 0,9957 40,0

Stek cabang

K1 0,6 ± 0,6481 20,0 40

K2 1,0 ± 0,6635 30,0 K3 0.6 ± 0,9274 20,0

Tabel 9. Analisis sidik ragam pengaruh IBA terhadap rata-rata berat kalus. Perlakuan df JK KT Nilai P

K 2 1,232 25,696 0,0001 Galat 89 0,048 Total 90

Tabel 10. Uji beda nyata perlakuan pada berat kalus. Perlakuan Rata-rata

A* B* Biji K1 0,800 K2 0,900 K3 1,100 Stek cabang K1 0,600 K2 1,000 K3 0.600

Keterangan: *= pengelompokan Duncan, dengan kesalahan kuadrat tengah 0,736

K1 = BAP 1 mg/l K2 = BAP 2 mg/l K3 = BAP 3 mg/l

Respon eksplan petiole daun asal dari biji dan asal stek cabang terhadap inisiasi kalus T.

sinensis ditunjukkan pada Gambar 2. Plantlet T. sinensis dan bibit T. sinensis hasil kultur jaringan

dengan eksplant dari perkecambahan biji dan stek cabang ditunjukkan pada Gambar 3.

Page 64: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

A B

Gambar 2. Respon kalugenesis eksplan T. sinensis asal biji (A) dan asal stek cabang (B)

A B C

Gambar 3. Plantlet dari biji (A) dan dari stek cabang (B) serta bibit kultur jaringan T. sinensis hasil aklimatisasi plantlet A dan B (C).

2. Pembahasan

2.1 Tunas T. sinensis dari biji dan stek cabang sebagai sumber eksplan.

Pada penelitian ini pengambilan eksplan dari hasil semai biji dilakukan setelah bibit berumur

8 bulan, dengan rata-rata panjang tunas yang terbentuk adalah 67,55 cm. Sedangkan eksplan dari

hasil stek cabang dilakukan setelah cabang lengkap membentuk tunas dan akar. Pembentukan akar

stek batang T. sinensis rata-rata setelah 3 bulan setelah penanaman, akar muncul setelah terbentuk

tunas pucuk dengan rata-rata panjang tunas 15,8 cm. Materi sumber eksplan yang secara fisiologis

telah lengkap dari daun, batang dan akar akan meningkatkan persentase keberhasilan pembentukan

planlet pada perbanyakan kultur jaringan (Putri, 2010).

Bentuk pertumbuhan dan jumlah tunas yang berbeda antara biji dan stek cabang sangat

berpengaruh pada jumlah eksplan yang didapat. Semakin panjang dan semakin banyak tunas dari

satu nodul cabang stek, sebagai materi eksplan tunas pucuk akan sangat menguntungkan, karena

Page 65: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

semakin banyak materi eksplan yang didapat. Pendeknya jarak antar nodul pada stek cabang

menyebabkan jumlah eksplan yang mengalami browning (perubahan warna coklat pada media,

bersifat racun mematikan jaringan eksplan) di media kultur jaringan lebih tinggi pula, sehingga

keberhasilan inisiasi tunas pucuk lebih rendah. Hal ini ditengarai lebih tingginya senyawa fenol

penyebab browning yang tinggi pada jaringan nodul. Sangat pendeknya jarak nodul T. sinensis

pada stek batang juga berpengaruh pada waktu inisiasi tunas pucuk kultur jaringan (kedinian

inisiasi (Putri, 2011).

2.2. Pengaruh asal eksplan terhadap inisiasi tunas aksiler kultur jaringan T. sinensis.

Analisis sidik ragam rata-rata panjang tunas dari inisiasi tunas aksiler asal persemaian biji

menunjukkan hasil 33 % lebih tinggi dibandingkan asal stek cabang dengan nilai skoring biji lebih

baik dibandingkan stek cabang. Pada uji beda nyata perlakuan menunjukkan perlakuan hormon

pertumbuhan GA4 asal eksplan dari persemaian biji berbeda nyata dibandingkan asal stek cabang

dengan mendapatkan 4 kelompok yang berbeda dari ketiga perlakuan dengan signifikansi lebih

besar dari 5%, sehingga masing-masing kelompok merupakan rata-rata yang sama dan tidak ada

perbedaan pengaruh perlakuan.

Perlakuan GA4 pada eksplan asal biji menunjukkan P2 (1 mg/l) tidak berbeda nyata dengan

P3 (1,5 mg/l), sehingga GA4 sudah cukup berpengaruh dengan konsentrasi sampai 1 mg/l, namun

penambahan konsentrasi GA4 masih memungkinkan untuk meningkatkan panjang tunas.

Sedangkan perlakuan GA4 pada eksplan asal stek cabang menunjukkan P1 (0,5 mg/l) tidak berbeda

nyata dengan P2 (1 mg/l), sehingga GA4 sudah cukup berpengaruh dengan konsentrasi sampai 0,5

mg/l.

Penambahan GA4 pada kultur jaringan dapat merangsang kecepatan pertumbuhan tunas dan

menginisiasi bagian mitotik daun (Koning, 1983; Moshkov et al., 2008). GA4 membantu

meningkatkan pemecahan amilase sehingga memacu lebih cepat pembelahan sel-sel tunas untuk

pertumbuhan tanaman (Riley, 1987). Pemanjangan tunas merupakan konsekuensi dari dua proses

dasar pertumbuhan yaitu pembelahan dan pembesaran sel, GA4 berperan sebagai mediator proses

tersebut (Jorunn et al., 2004).

Panjang tunas (microshoots) digunakan sebagai parameter pengamatan respon inisiasi tunas

aksiler dari eskplan T. sinensis dan T. sureni karena menjadi salah satu faktor penentu volume pada

indeks pertumbuhan tunas dan berkorelasi terhadap regenerasi sel in-vitro (Ahuja, 1993).

Pertumbuhan eksplan dengan pengaruh hormon dapat dinyatakan berdasarkan pemanjangan tunas

(elongation) untuk parameter respon eksplan in-vitro (Venketeswaran et al., 1988).

Page 66: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

2.3. Pengaruh asal eksplan terhadap inisiasi perakaran kultur jaringan T. sinensis.

Analisis sidik ragam rata-rata panjang akar dari inisiasi perakaran asal persemaian biji

menunjukkan hasil 28 % lebih tinggi dibandingkan asal stek cabang dengan nilai skoring biji dua

kali lebih baik dibandingkan stek cabang. Pada uji beda nyata perlakuan menunjukkan perlakuan

hormon pertumbuhan IBA asal eksplan dari persemaian biji berbeda nyata dibandingkan asal stek

cabang dengan mendapatkan 4 kelompok yang berbeda dari ketiga perlakuan dengan signifikansi

lebih besar dari 5%, sehingga masing-masing kelompok merupakan rata-rata yang sama dan tidak

ada perbedaan pengaruh perlakuan.

Perlakuan IBA pada eksplan asal biji menunjukkan tidak berbeda nyata pada ketiga

perlakuan, sehingga konsentrasi IBA masih memungkinkan ditingkatkan pada konsentrasi lebih

dari 3 mg/l. Sedangkan perlakuan IBA pada eksplan asal stek cabang menunjukkan A1 (1 mg/l)

tidak berbeda nyata dengan A3 (3 mg/l), namun pada perlakuan A2 (2 mg/l) berbeda nyata dari dua

perlakuan yang lain dan mempunyai panjang akar tertinggi sehingga perlakuan A2 pada penelitian

ini memberikan hasil terbaik.

Eksplan T. sinensis asal biji memerlukan konsentrasi IBA paling rendah untuk inisiasi

perakaran, hal ini menunjukkan tingginya kandungan hormon IBA endogen eksplan, namun

panjang akar yang lebih tinggi dibandingkan eksplan asal stek cabang menunjukkan kurang

terpenuhi ketersediaan nutrien dari media untuk pertumbuhan tunas pucuk, sehingga perakaran

memperluas daerah serapannya. Mekanisme kerja IBA dalam mempengaruhi pemanjangan sel-sel

tanaman adalah di dalam memacu protein tertentu yang ada di membran plasma sel tumbuhan

untuk memompa ion H+ ke dinding sel. Ion H+ ini mengaktifkan enzim tertentu, sehingga

memutuskan beberapa ikatan silang hidrogen rantai molekul selulosa penyusun dinding sel. Sel

tumbuhan, kemudian memanjang akibat air yang masuk secara osmosis. Setelah pemanjangan, sel

terus tumbuh dengan mensintesis kembali material dinding sel dan sitoplasma (Machakova, et al.,

2008).

2.4. Pengaruh asal eksplan terhadap kalugenesis kultur jaringan T. sinensis.

Analisis sidik ragam rata-rata berat kalus dari kalugenesis eksplan asal persemaian biji

menunjukkan hasil 9 % lebih tinggi dibandingkan asal stek cabang dengan nilai skoring biji lebih

baik dibandingkan stek cabang. Pada uji beda nyata perlakuan menunjukkan perlakuan hormon

pertumbuhan BAP asal eksplan dari persemaian biji berbeda nyata dibandingkan asal stek cabang

dengan mendapatkan 2 kelompok yang berbeda dari ketiga perlakuan dengan signifikansi lebih

besar dari 5%, sehingga masing-masing kelompok merupakan rata-rata yang sama dan tidak ada

perbedaan pengaruh perlakuan.

Page 67: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Perlakuan BAP pada eksplan asal biji menunjukkan tidak berbeda nyata antara ketiga

perlakuan, sehingga BAP sudah cukup berpengaruh dengan konsentrasi terendah pada penelitian

ini yaitu 1 mg/l. Perlakuan BAP pada eksplan asal stek cabang menunjukkan K1 (1 mg/l) tidak

berbeda nyata dengan K3 (3 mg/l), sedangkan perlakuan K2 (2 mg/l) berbeda nyata dibandingkan

dua perlakuan yang lain dengan nilai rata-rata tertinggi, sehingga konsentrasi BAP 2 mg/l terbaik

pada penelitian ini.

Persentase pembentukan kalus meningkat sesuai peningkatan berat kalus, inisiasi kalus

terbentuk pada saat terjadi diferensiasi sel-sel epidermal dan sub epidermal daerah hipokotilar.

Hasil multiplikasi kalus dapat bersifat embryogenik maupun non-embryogenik (Geekiyanage &

Silva, 2005). Ketersediaan sumber eksplan, kecepatan multiplikasi dan keterulangan merupakan

sistem penting pada kalugenesis (Raemakers et al., 1995). Kombinasi dengan BAP paling banyak

digunakan secara ekstensif untuk optimasi medium pada regenerasi kalus menggantikan

dimethylallylaminopurine (2iP) yang dinilai terlalu lama masa inkubasi dan terlalu mahal (Rao et

al. 1995; Varshney et al. 1997; Qu et al. 2002). Semakin tinggi perlakuan BAP sampai dengan

konsentrasi 3 mg/l, kalus lebih friabel dengan warna putih jernih baik pada eksplan yang berasal

dari biji maupun dari stek cabang.

Secara umum eksplan kultur jaringan T. sinensis dapat lebih terjaga ketersediannya dengan

berbagai alternatif untuk mendapatkan tingkat juvenil jaringan tanaman. Pada kepentingan

perbanyakan kultur jaringan secara vegetatif untuk mendapatkan klon dengan sifat-sifat yang sama

dengan tetua, penyediaan eksplan dari hasil stek cabang mutlak dilakukan, sampai dengan

multiplikasi in vitro. Dengan demikian penelitian lebih lanjut kultur jaringan T. sinensis khususnya

di dalam penyediaan eksplan vegetatif penting dilakukan.

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan sifat pertumbuhan dan jumlah tunas, materi sumber eksplan kultur jaringan

Toona sinensis yang berasal dari persemaian biji mempunyai ketersediaan eksplan yang lebih

tinggi dibandingkan dari stek cabang. Di samping itu eksplan kultur jaringan Toona sinensis yang

berasal dari persemaian biji mempunyai respon inisiasi tunas aksiler, inisiasi perakaran serta

kalugenesis yang lebih baik dibandingkan dari stek cabang.

Page 68: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

DAFTAR PUSTAKA

Ahuja, M. R. 1998. Micropropagation a la Carte In Micropropagation of Woody Plants. M. R. Ahuja (ed.). Kluwer Academic Publisher.

Beck S. L. and R. W. Dunlop. 2001. Micropropagation of the Acacia Species: A Review. In Vitro Cellular & Developmental Biology. Plant, 37(5): 531-538.

Chester, K. S.1959. How Sick is The Plant. J. G. H Horsfall and A. Diamond (eds.). Plant Pathology Vol: 1. Academic Press, Inc, New York.

Dirr, M. A. and M. W. Heuser. 1987. The Reference Manual of Woody Plant Propagation. Athens Ga. Varsity Press. ISBN 0942375009.

Edmonds and Staniforth. 1998. American Journal of Chinese Medicine 30 (2 & 3) : 307-314. George, E.F. and P.C. Debergh. 2008. Micropropagation: Uses and Methods In Plant Propagation by Tissue Culture

3rd Edition. E.F. George, M.A. Hall & G-Jan De Klerk (eds.). Springer Pub. Netherland. Jayusman, 2006. Tehnik Penyiapan Bibit Surian. Infotek Vol.14 (1) : Juni 2006. Hal 35-43. Jorunn E. O., B. J. John, A. M. Jorgen, E. Arild, J. Olavi. 2004. Journal of Crop Improvement, Photoperiodic

Regulationof Apical Growth Cessation in Northern Tree Species. 10 (1-2), 77 – 112. Koning, R. 1982. Seed Germination. Biology Departement, ESCU, Willimantic, CT USA. www.blackwell-

synergy.com. Lemmens, R. H. M. J., I. Soerianegara, and W.C. Wong (Eds.).1995. Plant Resources of Southeast Asia 5(2) Timber

trees: Minor commercial timbers. Prosea Foundation, Bogor, Indonesia, 655 pp. Machakova I., E. Zazimalova , E.F. George. 2008. Plant Growth Regulators I: Introduction: Auxins, their Analogues

and Inhibitors In Plant Propagation by Tissue Culture, 3d Eddition, Volume 1, The Background. E. F. George, M. A. Hall, G. De Klerk (Eds.). Springer, Netherlands, 175-204. V

Martawidjaya, A., K. Iding, Y. I. Mandang, A. P. Soewanda, dan K. Kosasi. 1998. Atlas Kayu Indonesia, Jilid II. Badan Litbang Kehutanan,Bogor.

Moshkov, I.E., G.V. Novikova, M.A. Hall and E.F George. 2008. Plant Growth Regulator III: Gibberellins, Ethylene, Abscisic Acid, their Analogues and Inhibitors; Miscellaneous Compounds In Plant Propagation by Tissue Culture 3rd Edition. E.F. George, M.A. Hall and Geert-Jan de Klerk (eds). Volume 1. The Backforund. Springer Pub., Netherland.

Phon D. and Pauline. 2000. Plants Used in Cambodia. Olympic Printing House; Phnom Penh, 915 pp. Pijut P. M., R. R. Beasley, S. S. Lawson, K. J. Palla, M. E. Stevens and Y. Wang. 2012. In Vitro propagation of

Tropical Hardwood Tree Species – A Review (2001 -2011) Propagation of Ornamental Plants, 12(1): 25 -51. Putri, A. I. 2010. Micropropagation of Toona sinensis dan Toona sureni. Unpublished. Qu, Luping, Chen, Jianjn, Henny, J. Richard, Huang, Yingfeng, Caldwell, D. Russell and Robinson, A. Cynthia. 2002.

Thidiazuron promotes adventitious shootregeneration from pothos (Epipremnum aureum) leaf and petiole explants. In Vitro Cellular and Developmental Biology-Plant, May, vol. 38, no. 3, p. 268-271.

Raemakers, C. J. J. M., E. Jacobsen, R. G. F. Visser. 1995. Secondary somatic embryogenesis and applications in plant-breeding. Euphytica 81: 93-107.

Rao, A. M., K. Padma Sree, and P. B. Kavi Kishor, 1995. Enhanced Plant Regeneration in Grain and Sweet Sorghum by Asparagine, Proline and Cefotaxime. Plant Cell Reports, January, vol. 15, no. 1-2, p. 72-75.

Riley, J.M. 1987. Gibberellic Acid for Fruit Set and Seed Germination. CRFG Journal, Vol. 19, pp 10-12. www. Crfg.org.

Geekiyanage, D. H. and T. D. Silva. 2005. Comparative Analysis Of Intron Regions In Grass Genomes. Proceedings of the 61st Annual Sessions of the Sri Lanka Association for the Advancement of Science. Sri Lanka.

Varshney, A., T. Kant, and S.L. Kothari. 1997. Plant regeneration from coleoptile tissue of wheat (Triticum aestivum). Biologia Plantarum, July, vol. 40, no. 1, p.137-141.

Venketeswaran, S., M. A. D. L. Dias, S. Sultanbawa and U. V. Weyers. 1988. Tissue Culture Studies of Mahogany Tree, Sweitenia In Somatic Cell Genetics of Woody Plants. M. R. Ahuja (ed.). Kluwer Academic Pub. Dordrecht, Boston, London.

Xiao-hong, Z., C. Yan-sheng, W. An-zhi, Y. Tu-xi, K. Bing, Y. Heng. 1999. Shaanxi Province and Chinese Academy of Science. Yangling, Shaanxi 712100.

Page 69: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Page 70: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

45 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

PENINGKATAN DAYA MULTIPLIKASI TUNAS IN VITRO TANAMAN GAHARU DALAM UPAYA IKUT MEMBANTU PENGEMBANGAN DAN KELESTARIANNYA

Ali Husni dan Mia Kosmiatin

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian Jl. Tentara Pelajar No. 3 A Bogor Email : [email protected]

ABSTRAK

Ketersediaan bibit unggul yang sehat dalam usaha budidaya tanaman yang dieksploitasi secara besar-besaran sangat mutlak diperlukan. Permintaan akan produk gaharu yang terus meningkat disertai harga yang terus melambung menyebabkan eksploitasi pohon penghasil gaharu di alam juga terus berlangsung sehingga keberadaan pohon gaharu di alam sudah berada pada tingkat yang sangat menghawatirkan (CITES Appendix II). Untuk menjaga kelestarian pohon gaharu sekaligus dapat memenuhi permintaan pasar dunia diperlukan adanya upaya pembudidayaan pohon gaharu secara massal di Indonesia. Ketersediaan bibit unggul yang sehat merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan budidaya suatu tanaman. Keberadaan bibit unggul yang sehat salah satunya dapat diperoleh melalui perbanyakan tunas secara in vitro dalam lingkungan terkendali, menggunakan bahan tanaman yang sedikit, bebas penyakit, dan dapat dilakukan setiap saat. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan daya multiplikasi tunas in vitro tanaman gaharu Aquilaria malaccensis dengan perlakuan modifikasi media tumbuh dengan cara pengenceran hara makro media dasar MS dengan penambahan BA dan TDZ. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan TDZ pada media perbanyakan tunas gaharu dapat mempercepat induksi pembentukan tunas terutama pada medium dasar MS sementara pada medium dasar MS yang diencerkan hara makronya ½ kali tidak mempercepat induksi tunas. Sub kultur berulang hingga 3 kali dengan periode kultur 6 minggu menunjukkan peningkatan dalam jumlah tunas, jumlah daun dan tinggi tunas. Penambahan Thidiazuron pada media sub kultur juga menunjukkan peningkatan dalam jumlah tunas terutama bila ditambahkan 1 mg/l pada medium perbanyakan

Kata kunci: Aquilaria malaccensis, kultur in vitro, multiplikasi tunas

I. PENDAHULUAN

Gubal gaharu adalah salah satu komoditas ekspor penting bagi Indonesia yang berasal dari

produk hasil hutan bukan kayu yang mengandung resin yang harum baunya, seperti pohon

Aquilaria malaccensis. Gaharu (Aquilaria malaccensis Lank) merupakan tanaman yang memiliki

mutu sangat baik dengan nilai ekonomi yang tinggi karena kayunya mengandung resin yang harum

baunya. Kayu yang mengandung resin ini dikenal dengan nama “gaharu”. Dipasar internasional,

gaharu dikenal dengan nama agarwood, aloeswood atau oudh. Selain untuk dupa, penggunaan

gaharu telah meluas untuk dipakai sebagai bahan pembuat parfum, sabun, sari aroma gaharu,

pengobatan dan sampo (Ng, et al., 1997; Chakrabarty, et al., 1994). Kayu gaharu juga cocok

digunakan untuk pembuatan pensil (Lopez, 1998) sehingga nilai komersialnya dalam perdagangan

gaharu semakin menigkat. Menurut Susilo (2003), volume ekspor gaharau Indonesia pada periode

1990-1998 adalah sebanyak 165 ton dengan nilai US $ 2.000.000 dan meningkat sebanyak 456 ton

dengan nilai US $ 2.200.000 pada periode 1999-2000. Namun pada periode 2000-2002

volume ekspor menurun 30 ton dengan nilai US $ 600.000 karena makin sulitnya gaharu

didapatkan. Permintaan internasional terhadap gaharu dimasa mendatang kemungkinan besar akan

terus bertambah (Shyun, 1997; Ng, et al. 1997). Sayangnya, sebagian besar atau bahkan semuanya

Page 71: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

46 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

gaharu tersebut masih diambil langsung dari hutan alam ( Hartadi, 1997; Peters, 1996) sehingga

menyebabkan populasi tanaman ini di Indonesia sifatnya mendekati kepunahan (Oldfield, et al.,

1998). Hal ini disebabkan karena belum tersedianya teknologi pendukungnya, seperti teknologi

perbanyakan bibit dan teknologi inokulasi penyakit untuk mendapatkan kualitas gaharu yang baik

(Santoso, 1996). Berdasarkan sifat dan kegunaan gaharu tersebut, maka tanaman ini termasuk

prioritas utama untuk dikembangkan.Pada tahun 2010 Balitbang kehutanan merilis teknologi budi

daya gaharu dengan cara penginfeksian jamur genus Fusarium dan Cylindrocarpon pembentuk

gaharu ke dalam batang pohon potensial (Tunggal, 2010) tetapi bibit masih mengandal dari

semaian biji atau anakan alami.

Meskipun tanaman gaharu mulai banyak dikembangkan di Indonesia, penyediaan bibit masal

yang seragam belum ada yang melaporkan. Kendala perbanyakan secara generatif melalui biji,

yaitu biji yang bersifat rekalsitran dan mempunyai variasi genetik yang luas. Kendala perbanyakan

secara vegetatif dengan stek pucuk, stek akar dan grafting yaitu hambatan pada pengakaran,

tergantung pada musim, memerlukan bahan tanaman yang banyak dan jumlah bibit yang dihasilkan

relatif sedikit. Dengan demikian, kebutuhan bibit pada suatu tanaman yang akan dieksploitasi

secara luas akan sulit dipenuhi melalui perbanyakan secara konvensional.

Salah satu teknologi yang telah banyak dimanfaatkan dan banyak memberikan harapan di

masa mendatang adalah pemakaian teknologi kultur in vitro. Aplikasi teknologi tersebut dibidang

pertanian selain untuk perbanyakan juga untuk konservasi dan perbaikan tanaman. Perbanyakan

melalui kultur jaringan dapat dilakukan melalui 3 cara yaitu pembentukan tunas adventif,

proliferasi tunas lateral dan embriogenesis somatik. Proliferasi tunas lateral dapat dilakukan dengan

cara mengkulturkan tunas aksilar atau tunas terminal kedalam media yang mempunyai komposisii

kimia yang sesuai untuk proliferasi tunas sehingga diperoleh penggandaan tunas dengan cepat.

Setiap tunas yang dihasilkan dapat dijadikan sebagai starter untuk penggandaan tunas sehingga

diperoleh tunas yang banyak dalam waktu yang relatif lebih singkat.

Pada umumnya, tanaman berkayu sangat sulit mengadakan proliferasi dan regenerasi,

sehingga diperlukan manipulasi zat pengatur tumbuh dalam media supaya eksplan mampu

melakukan regenerasi membentuk tanaman utuh (Dixon dan Gonzales, 1994). Berbagai faktor yang

dapat mempengaruhi keberhasilan perbanyakan tanaman secara in vitro baik melalui penggandaan

tunas, organogenesis maupun embriogenesis somatik sangat dipengaruhi oleh genotipa dan

eksplan, jenis media dasar, jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang digunakan (Monier,

1990; Lizt and Levicth, 1997).

Penambahan sitokinin dalam media pada umumnya sangat diperlukan pada tahap induksi

maupun penggandaan tunas. Kombinasi sitokinin tertentu dengan sitokinin lainnya kadang lebih

Page 72: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

47 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

baik dari pada penambahan sitokonin tunggal seperti pada Acacia mangium yang

mengkombinasikan BA dengan Kinetin (Bon et al., 1998). Pada tanaman belimbing dan sukun,

penambahan kombinasi sitokinin Benzyladenin (BA) dengan Tidiazuron (TDZ) lebih baik dari

pada penggunaan sitokinin tunggal (Supriyati, et al., 2003). Demikian juga halnya dalam

pembentukan kalus embriogenik dengan struktur globular dan hati (Husni et al., 1997) atau auksin

2,4-D serta kombinasinya dengan NAA apabila melalui fase kalus (Hutami et al., 2002). Untuk

tahap pendewasaan selanjutnya, konsentrasi sitokinin diturunkan atau sering ditambah dengan GA3

(Rai dan McComb, 2002; Mariska et al., 2001b+c). Sebagai eksplan umumnya digunakan jaringan

atau organ yang bersifat embriogenik seperti embrio zigotik, kotiledon, tunas terminal, tunas aksilar

atau hipo/epikotil.

Dengan demikian, teknologi kultur in vitro melaui jalur proliferasi tunas dapat digunakan

sebagai upaya pelestarian tanaman gaharu karena teknologi ini dapat lebih menjamin kesamaannya

dengan tanaman induk.

II. BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi sel dan Jaringan Balai Besar Penelitian dan

Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian Bogor.

Penelitian dilakukan untuk mendapatkan metoda dan komposisi media yang tepat untuk

meningkatkan kemampuan tunas gaharau melakukan multiplikasi.

Penelitian dilakukan terdiri dari empat tahap penelitian yang saling berurutan, yaitu a).

Induksi tunas, b) pengaruh subkultur terhadap kemampuan tunas melakukan multiplikasi c)

induksi akar dan e)aklimatisasi plantlet.

Induksi tunas

Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah batang 1 buku dari tunas in vitro

gaharu yang sudah steril dengan ukuran 0.5 – 0.8 cm. Setiap buku dikultur dalam media perlakuan.

Media dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah MS penuh dan MS yang unsur

makronya dikurangi sebesar 50% dan diperkaya dengan zat pengatur tumbuh 0.1 mg/l BA yang

dikombinasi dengan 0, 1, 2 dan 3 mg/l thidiazuron. Untuk memadatkan media ditambahkan agar

swallow sebanyak 8 g/l. Kemasaman media diatur antara 5.6 – 5.8 dengan cara menambahkan

NaOH dan HCl 0.1 dan 0.01N

Page 73: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

48 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Kultur disimpan pada rak kultur dalam ruangan yang bersuhu antara 19 – 25 C dan diberi

cahaya menggunakan lampu influorescen dengan kisaran ± 1000 lux selama 16 jam sehari

semalam.

Pengamatan yang dilakukan pada tahap ini adalah lama waktu inisiasi tunas dari masing-

masing eksplan pada setiap media perlakuan.

Pengaruh subkultur terhadap kemampuan tunas melakukan multiplikasi

Untuk meningkatkan kemampuan tunas melakukan multiplikasi, dilakukan subkultur yang

berulang kedalam media baru dengan komposisi sama dengan media awalnya. Sub kultur berulang

dilakukan sebanyak tiga kali setiap 6 minggu masa kultur dalam media.

Media dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah MS penuh dan MS yang unsur

makronya dikurangi sebesar 50% dan diperkaya dengan zat pengatur tumbuh 0.1 mg/l BA yang

dikombinasi dengan 0, 1, 2 dan 3 mg/l thidiazuron. Untuk memadatkan media ditambahkan agar

swallow sebanyak 8 g/l. Kemasaman media diatur antara 5.6 – 5.8 dengan cara menambahkan

NaOH dan HCl 0.1 dan 0.0N.

Kultur disimpan pada rak kultur dalam ruangan yang bersuhu antara 19 – 25 C dan diberi

cahaya menggunakan lampu influorescen dengan kisaran ± 1000 lux selama 16 jam sehari

semalam.

Pengamatan dilakukan terhadap banyaknya jumlah tunas yang dihasilkan, tinggi tunas dan

penampakan visual dari masing-masing kultur pada setiap perlakuan.

Induksi akar

Tunas-tunas yang yang sudah mempunyai 4–6 helai daun yang sempurna dipindahkan dalam

media perakaran untuk mendapatkan plantlet yang siap diaklimatisasi.

Media dasar yang digunakan pada tahap ini adalah MS yang diperkaya dengan 0, 1, 3 dan 5 mg/l

IBA. Untuk memadatkan media ditambahkan agar swallow sebanyak 8 g/l. Kemasaman media

diatur antara 5.6 – 5.8 dengan cara menambahkan NaOH dan HCl 0.1 dan 0.0N.

Kultur disimpan pada rak kultur dalam ruangan yang bersuhu antara 19 – 25 C dan diberi

cahaya menggunakan lampu influorescen dengan kisaran ± 1000 lux selama 16 jam sehari

semalam.

Pengamatan dilakukan terhadap banyaknya jumlah akar, panjang akar dan penampakan tunas.

Page 74: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

49 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

Aklimatisasi

Plantlet yang dihasilkan diaklimatisasi dirumah kaca dengan cara mengeluarkan plantlet dari

botol dengan hati-hati. Kemudian diberihkan dengan air kran secara hati-hati sehingga bersih dari

sisa agar yang melekat pada akar. Kemudian disungkup selama empat minggu untuk menjaga

kelembaban sampai akar telah dapat berfungsi secara baik.

Media aklimatisasi yang digunakan adalah campuran tanah dengan kompos pada

perbandingan 1:1.

Parameter yang diamati pada tahap ini adalah persentase keberhasilan aklimatisasi.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Induksi Tunas

Dari hasil pengamatan terhadap kecepatan inisiasi tunas dari eksplan yang dikultur dalam

media perlakuan terlihat bahwa media dasar MS yang unsur makronya dikurangi ssebesar 50%

lebih baik dari pada media dasar MS yang unsur makronya penuh. Hal ini terlihat dari waktu

kecepatan rata-rata inisiasi tunas dari setiap perlakuan penambahan kombinasi BA 0.1 mg/l dengan

TDZ, yaitu antara 5.4 – 6.6 hari, sedangkan rata-rata waktu inisiasi tunas yang dibutuhkan pada

media dasar MS penuh antara 5.6 – 13 hari (Tabel 1).

Tabel 1. Pengaruh media dasar MS dan TDZ terhadap waktu inisiasi tunas aksiler dari eksplan batang satu buku

Media Perlakuan Rata-rata Waktu Inisiasi Tunas (hari)

MS + BA 0.1 mg/l + TDZ 0 mg/l + BA 0.1 mg/l + TDZ 1 mg/l + BA 0.1 mg/l + TDZ 2 mg/l + BA 0.1 mg/l + TDZ 3 mg/l MS1/2 + BA 0.1 mg/l + TDZ 0 mg/l + BA 0.1 mg/l + TDZ 1 mg/l + BA 0.1 mg/l + TDZ 2 mg/l + BA 0.1 mg/l + TDZ 3 mg/l

13,0 ± 3.4 (b) 11,2 ± 2.7 (b) 6,8 ± 1.8 (ab) 5,6 ± 2.1 (a) 5,6 ± 3.4 (a) 5,6 ± 1.7 (a) 5,4 ± 2.9 (a)

6,6 ± 2.5 (ab)

Keterangan : MS = Medium Murashige dan Skoog MS ½ =Medium Murashige dan Skoog dengan konsentrasi hara makro ½ kali formulasinya

BA = Benzil Adenin TDZ = Thidiazuron

Page 75: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

50 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Dari tabel tersebut juga dapat dilihat bahwa penambahan TDZ ke dalam media yang telah

mengandung BA 0.1 mg/l dalam medium MS dan MS yang diencerkan ½ kali menunjukkan respon

yang berbeda. Induksi pada media MS cenderung lebih lama dibanding media MS yang diencerkan

tetapi penambahan TDZ dapat mempercepat induksi tunas pada medium MS. Penggunaan media

dasar juga sangat mempengaruhi keberhasilan perbanyakan in vitro pada tanaman hutan seperti

pada Acacia (Galiana et al., 1991).

Penambahan TDZ 2 mg/l dalam media MS1/2 dapat menginduksi tunas aksilar paling cepat

dibandingkan penambahan konsentrasi TDZ lainnya, yaitu selama 5.4 hari, diikuti dengan

penambahan TDZ 0 dan 1 mg/l serta penambahan TDZ 3 mg/l pada media dasar MS penuh. Waktu

inisiasi tunas paling lama berasal dari penambahan TDZ 0 mg/l selama 13 hari dan disusul dengan

penambahan TDZ 1 mg/l.

Pengaruh subkultur terhadap kemampuan tunas melakukan multiplikasi

Kemampuan tunas melakukan multiplikasi pada pengadaan bibit melalui teknologi kultur

jaringan merupakan salah satu barometer yang perlu dipertimbangkan apakah teknologi ini

ekonomis digunakan, khusunya pengadaan bibit secara massal. Situmorang (2000), bahwa jenis

klon dari Aquilaria spp. memiliki respon yang berbeda terhadap media induksi proliferasi tunas

secara in vitro dan mengalami peningkatan yang cukup tinggi hingga sub kultur yang ke-3.

Frekuensi dan periode sub kultur juga mempengaruhi keberhasilan suatu formulasi media yang

akan digunakan sebagai metode untuk perbanyakan massal. Umumnya sub kultur dilakukan kurang

dari 6 kali untuk menghindarkan keragaman dari benih yang dihasilkan, bila pada sub kultur ke-3

terjadi penurunan jumlah multiplikasi tunas maka formulasi media tersebut kurang baik bila

digunakan untuk perbanyakan masal. Pada gaharu, formulasi media MS yang dikombinasikan

dengan zat pengatur tumbuh BA dan Thidizuron dengan periode sub kultur 6 minggu menunjukkan

peningkatan multiplikasi tunas yang cukup tinggi bahkan pada formulasi dengan kombinasi BA 0,1

mg/l dan Thidiazuron 1 mg/l pada sub kultur ke 3 bertambah hingga 2 kali dari sub kultur

sebelumnya (Gambar 1). Formulasi ini juga memberikan rata-rata jumlah tunas tertinggi, 28,4.

Page 76: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

51 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

Gambar 1. Grafik Pengaruh sub kultur terhadap kemampuan tunas melakukan multiplikasi dari setiap perlakuan

Gambar 2. Grafik Pengaruh sub kultur terhadap tinggi tunas dari setiap media perlakuan.

Dalam perbanyakan bibit secara in vitro, tinggi tunas juga menunjukkan apakah formulasi

media yang digunakan efisien atau tidak, bila tinggi tanaman terlalu tinggi dan menunjukkan

elongasi (pemanjangan ruas) berlebih sehingga tunas kurang vigor, tunas ini tidak baik untuk

disubkultur kembali begitu juga bila tunasnya terlalu pendek, tanpa ruas (roset) akan sulit untuk

menginduksi pembentukan akar. Pada gaharu sampai sub kultur ke 3 hampir tidak ada biakan yang

menunjukkan gejala roset maupun elongasi yang berlebihan. Rata-rata tinggi tunas tertinggi

Page 77: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

52 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

diperoleh dari media dasar dengan pengenceran hara makro ½ kali yang dikombinasikan hanya

dengan BA 0,1 mg/l (Gambar 2) yaitu 2,22 cm. Dari grafik pada gambar 2 juga bahwa media

dengan penambahan Thidiazuron menghasilkan tunas yang lebih pendek tetapi jumlah tunas yang

lebih banyak.

Jumlah daun tunas pada biakan gaharu juga meningkat dengan peningkatan sub kultur

(Gambar 3). Rata-rata jumlah daun tertinggi diperoleh dari media dasar MS dengan pengenceran ½

kali hara makro yang dikombinasikan dengan BA 0,1 mg/l tanpa penambahan Thidiazuron

sebanyak 15.6. Pada formulasi ini juga ruasnya tidak terlalu rapat karena rata-rata tinggi tunasnya

juga menunjukkan rata-rata tinggi tunas tertinggi Jumlah daun ini juga dapat digunakan sebagai

ukuran keberhasilan perbanyakan secara in vitro, karena dari setiap daun dapat diinduksi kembali

pembentukan tunas aksilarnya.

Gambar 3. Grafik Pengaruh sub kultur terhadap jumlah daun tunas dari setiap media perlakuan Induksi akar

Tunas yang sudah memiliki daun 4–6 helai daun yang sempurna dipindahkan dalam media

untuk menginduksi perakaran sehingga diperoleh plantlet yang siap diaklimatisasi. Pada tanaman

berkayu pembentukan akar sering menjadi penghambat dalam pengembangan teknik in vitro untuk

perbanyakan masal dan sering membutuhkan penambahan zat pengatur tumbuh yang dapat

mendorong pembentukan akar (Dixon dan Gonzales, 1994). IBA adalah zat pengatur tumbuh

kelompok auksin yang banyak digunakan untuk menginduksi perakaran terutama pada tanaman

berkayu seperti 3 mg/l pada tanaman Chesnut(Goncalves et al., 1998), 1 mg/l pada tanaman

Page 78: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

53 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

Pistacia lentiscus (Yildrim, 2012), . Peningkatan konsentrasi IBA pada media induksi akar

menunjukkan peningkatan jumlah tunas yang mampu berakar begitu juga dengan rata-rata jumlah

akar. Penggunaan media dasar MS lebih baik dalam menginduksi pembentukan jumlah dimana

jumlah akarnya lebih baik dari pada jumlah akar pada media dasar MS dengan pengenceran ½ kali

konsentrasi hara makronya (Tabel 2).

Tabel 2. Pengaruh penambahan IBA terhadap inisiasi akar tunas gaharu Media dasar dan konsentrasi IBA

Jumlah dan persentase tunas yang berakar

Rata-rata Jumlah akar

MS + IBA 0 mg/l IBA 1 mg/l IBA 3 mg/l IBA 5 mg/l MS1/2 + IBA 0 mg/l IBA 1 mg/l IBA 3 mg/l IBA 5 mg/l

40% (2/5) 60% (3/5) 60% (3/5) 60% (3/5) 20% (1/5) 40% (2/5) 60% (3/5) 60% (3/5)

1.0 2.67 2.67 2.67 1.0 2.0

2.33 2.33

Penggunaan media dasar yang berbeda juga memberikan keberhasilan aklimatisasi yang

berbeda. Media dasar MS memberikan keberhasilan yang lebih tinggi dalam keberhasilan

aklimatisasi (Tabel 3). Hal ini tidak terlepas dari jumlah akar yang terbentuk pada medium MS

lebih baik dibanding medium yang diencerkan ½ kali konsentrasi.

Tabel 3. Pengaruh asal media in vitro terhadap keberhasilan aklimatisasi Asal Media in vitro Jumlah dan persentase plantlet yang hidup

setelah aklimatisasi MS MS1/2

4 (40%) 3 (30%)

IV. KESIMPULAN

Dari rangkaian penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:

1. Penambahan Thidizuron pada media perbanyakan tunas gaharu dapat mempercepat induksi

pembentukan tunas terutama pada medium dasar MS sementara pada medium dasar MS yang

diencerkan hara makronya ½ kali tidak mempercepat induksi tunas

2. Sub kultur berulang hingga 3 kali dengan periode kultur 6 minggu menunjukkan peningkatan

dalam jumlah tunas, jumlah daun dan tinggi tunas

Page 79: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

54 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

3. Penambahan Thidiazuron pada media sub kultur juga menunjukkan peningkatan dalam jumlah

tunas terutama bila ditambahkan 1 mg/l pada medium perbanyakan

DAFTAR PUSTAKA

Attree, S.M., S. Budimirand, L.C. Fawke. 1990. Somatic embriogenesis and plantlet regeneration from cultured shoots and cotyledons of seedlings from stored seedsof black and white spruce (Picea mavina and P. glauca). Can. J. Bot. 68:30-34.

Bon, MC, D Bonal, D.K. Goa, and O. Monteuuis. 1998. Influence of different macro and micro solutions and growth regulators on micropropagation of juvenile Acaciamangium and Paraserianthes falcataria explants. Plant Cell Tiss. Org. Cult., 53: 171–177

Chakraburty, K.; A. Kumar dan V. Menon. 1994. Trade in agarwood. TRAFFIC India and WWF India Publications New Delhi.

Darmokusumo, S., A.A. Nugroho, E.U. Botu, A. Jehawat dan M. Benggu. 2000. Upaya memperluas kawasan ekonomi cendana di Nusa Tenggara Timur. Kumpulan makalah dalam Seminar Nasional Kajian Terhadap Tanaman Cendana (Santalum album L.) Sebagai Komoditi Utama Perekonomian Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Menuju Otonomisasi. Pemda NTT dan LIPI, 26 Juni 2000. Jakarta.

Dixon, R.A. and R.A. Gonzales. 1994. Plant Cell Culture. A practical Aproach 2nd edition. Oxford Univessity Press New York. P. 101.

Dustan, D.I., T.E. Taotorus and T.A. Thorpe, 1995. Somatic Embrryogenesis in Woody Plant. In . T.A. Thorpe, 1995 (Ed.): In vitro Embryogenesis in Plants. Kluwer Acad. Pub. Dordrecht, Boston, London. P.:471-540.

Galliana, A, A Tibok and E Duthoux. 1991. In vitro propagation of the nitrogen fixing tree legume AcaciamangiumWilld. Plant Soil, 135 : 151-159

Goncalves, JC, G Diogo and S Amancio. 1998. In vitro propagation of chestnut (Castanea sativa×C. crenata): Effects of rooting treatments on plant survival, peroxidase activity and anatomical changes during adventitious root formation. Scientia Horticulturae, 72(3-4): 265-275

Hartadi, I. 1997. The hunt for gaharu. Gaharu, a rare commodity already on Appendix II of CITES, is still collectead in large quantity. Concervation Indonesia Vol. 13 (2) Industrial Hidupan Liar (The Wildlife Industry). WWF. Jakarta.

Husni, A. I. Mariska dan M. Kosmiain. 1997. Embriogenesis somatik tanaman lada liar. Makalah dalam Seminar Mingguan Balitbio. 5 September 1997. Bogor.

Hutami, S., I. Mariska, R. Purnamaningsih, M. Herman, D. Damayanti and T. I. Utami. 2002. Regeneration of papaya (Carica papaya) through somatic embryogenesis. Proc. Of the 2nd Indonesian Biotechnology Conference. Indonesian Biotechnology Consortium. Jakarta.

Lelu, M.A., K.K. Klimaszewska, C. Jones, C. Ward, P. Van Aderkas and P.J. Charest. 1993. A laboratory guide to somatic embryogenesis in spruce and larch. Information Report. Petawawa National Forestry Institute Forestry Canada.

Liz, R.E and Y. Levith. 1997. Effect of 1-amino cyclopropane-1-carbolic acid, aminoethoxivinilglycine, methylgluxolatbis- (gluanylhydraone) and dicyohexiamonium sulfat on induction of embryogenic compotence of mango nuclear explants. Plant Cell, Tissue and Organ Culture (6):171-176.

Lopez, D.T. 1998. Malayan timbers for pencil manufacture. The Malaysian Forester 41(1):17-24. Mariska, I. 1996. Embriogenesis somatik tanaman kehutanan. Prosiding Kursus Bioteknologi. 4-9 Nop. BPPT.

Serpong. 13 hal. Mariska, I., S. Hutami, M. Kosmiatin, A. Husni, W. Adil and Y. Supriati. 2001a. Somatic embryogenesis in different soybean varieties. Proc. Workshop on Soybean Biotechnology Al

Tolerance on Acid Soils and Disease Resistance. Biotechnology Indonesia – Germany Project. Directorate for Assessment and Technology, Agency for the Assessment and Application of Technology Federal Ministry for Education and Research, Central Research Institute for Food Crops. 14-15 Sept. 1999. Bogor.

Mariska, I., S. Hutami, M. Kosmiatin dan W.H. Adil. 2001b. Regenerasi massa sel Embriogenik kedelai setelah diseleksi pada kondisi Al berbeda dan pH rendah. Berita Puslitbangtan No. 20:1-3.

Page 80: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

55 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

Mariska, I., D. Sopandie, S. Hutami, E. Syamsudin, M. Kosmiatin. 2001c. Peningkatan ketahanan terhadap Al pada tanaman kedelai melalui kultur in vitro. Kantor Menristek dan LIPI. Laporan Riset Unggulan Terpadu VIII. (tidak dipublikasi).

Monnier, M. 1990. Induction embryogenesis in suspension culture. Methode in Molecular Biology. Plan Cell, Tissue and Organ Culture. (6):149-157.

Musakabe, H. 2000. Peluang dan kendala cendana dalam perekonomianpropinsi Nusa Tenggara Timur. Kumpulan makalah dalam Seminar Nasional Kajian Terhadap Tanaman Cendana (Santalum album L.) Sebagai Komoditi Utama Perekonomian Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Menuju Otonomisasi. Pemda NTT dan LIPI, 26 Juni 2000. Jakarta.

Ng, L.T.; Y.S. Chang and A.A. Kadir. 1997. A review on Agarwood (Gaharu) Producing Aquilaria Species. Oldfield, S.; C. Lusty and A. MacKinven. 1998. The word list of threatened trees. World Conservation Monitoring

Centre. World Conservation Press Cambridge. Supriyati, Y., I. Mariska, S. Htami dan A. Husni. 2003. Kaji terap buah tropika. Laporan Hail Penelitian, Kerja sama

antara BB-Biogen dengan Dinas Pertanian Jakarta. 62 h. Peters, M.C. 1996. Observation onten sustainable exploitation of non-timber tropical forest product: An ecologists

perpecstive. Pp.19-39 dalam Current issues in non timber forest products research. M.R. Perez. & J.E.M. Arnold (Eds.). CIFOR-ODA. Jakarta.

Rai, V. Ravishankar and J. McComb. 2002. Direct somatic embryogenesis from mature embryos of sandalwood. Plant Cell Tissue and Organ Culture. 69:65-70.

Shun, C.Y. 1997. Gaharu. FRIM in focus. The forest Research Institute Malaysia, January. 1997. Kuala Lumpur. Susilo, K.A. 2003. Budidaya Gaharu dan Masalahnya. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. 48 h. Williams, E.G. and Maheswara. 1986. Somatic embryogenesis factors influencing Coordinated behaviour of cells as on

embryogenic group. Ann. Bot. 57:443-462. Yildrim, H. 2012. Micropropagation of Pistacia lentiscus L. from axenic seedling-derived explants . Scientia

Horticulturae, 137: 29-35

Page 81: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

56 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Page 82: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

57 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

ENKAPSULASI BUKU SATU TUNAS IN VITRO TANAMAN GAHARU (Aquilaria malaccensis Lank)

M. Kosmiatin dan Ali Husni

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian Jl Tentara Pelajar No.3 A, Bogor

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Gaharu (Aquilaria malaccensis Lank) adalah tanaman hutan yang bernilai ekonomi sangat tinggi. Eskpor gaharu Indonesia saat ini menurun karena gubal dipanen dari alam langsung sementara populasi tanaman ini sudah mulai langka. Pengembangan budidaya tanaman gaharu menghadapi kesulitan pengadaan bibit. Biji tanaman gaharu merupakan biji rekalsitran yang tidak dapat disimpan lama sedangkan anakan alam yang tumbuh disekitar tanaman induk jumlahnya terbatas dan sulit dipindahkan. Teknologi kultur in vitro dapat menjadi salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan pengadaan bibit, Dengan teknik kultur in vitro pengadaan bibit dapat dilakukan secara masal, seragam dengan induknya dan tidak dipengaruhi oleh kondisi alam. Dengan teknik in vitro juga dimungkinkan untuk memperoleh biji sintetik. Biji sintetik dapat menggunakan berbagai tahapan perkembangan bahan tanaman mulai dari tingkat sel sampai organ/individu. Buku satu tunas dapat digunakan sebagai bahan benih sintetik yang dikapsulasi dalam alginate. Formulasi pelarut alginate dan larutan inkubasi sangat mempengaruhi kemampuan bahan tanaman untuk dapat tumbuh dan menembus alginate. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tanggap tunas in vitro gaharu dalam kapsul alginate dengan berbagai jenis pelarutnya serta beragam jenis latutan inkubasinya. Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku satu tunas in vitro gaharu yang dikapsulasi dengan alginate dan dipadatkan dengan larutan CaCl2 50mM. Pelarut alginate yang digunakan adalah air, medium MS, 1/2MS dan MS modifikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa buku satu tunas dengan ukuran 4-5 mm dapat tetap hidup dalam kapsul alginate 2%. Media pelarut alginate terbaik adalah media MS modifikasi dimana tunas yang disimpan pada media ini dapat menembus kapsul mulai minggu ke 5 setelah inkubasi dan tidak menunjukkan gejala vitrifikasi. Kapsul alginate yang diinkubasi dalam media MS, ½ MS ataupun MS modifikasi, dapat mempertahankan pertumbuhan tunas didalamnya. Media inkubasi kapsul alginate air tidak baik digunakan untuk menginkubasi kapsul walaupun alginate dilarutkan dalam media MS, 1/2MS atau MS modifikasi.

Kata kunci : Aquilaria malaccensis, enkapsulasi, alginate, buku satu tunas

I. PENDAHULUAN

Gaharu (Aquilaria malaccensis Lank) adalah salah satu jenis tanaman hutan yang memiliki

mutu sangat baik dengan nilai ekonomi yang tinggi karena kayunya mengandung damar wangi.

Kayu ini dikenal dengan nama “gaharu” atau disebut pula agarwood, aloeswood atau oudh. Gaharu

digunakan untuk keperluan agama, parfum, sabun, sari aroma gaharu, pengobatan dan shampo

(Ng, et al., 1997; Chakraburty, et al., 1994). Kayu gaharu juga cocok digunakan untuk pembuatan

pensil (Lopez, 1998). Permintaan internasional terhadap gaharu dari tahun ke tahun terus

bertambah (Shyun, 1997; Ng, et al. 1997). Volume ekspor gaharu Indonesia pada periode 2000-

2002 menurun karena makin sulitnya gaharu didapatkan (Susilo, 2003). Hal ini terjadi karena

selama ini gaharu diambil langsung dari hutan alam (Hartadi, 1997; Peters, 1996) sehingga

menyebabkan populasi tanaman ini di Indonesia statusnya mendekati kepunahan (Oldfield, et al.,

1998). Dalam konferensi CITES tahun 2003 di Bangkok ditetapkan tanaman penghasil gaharu jenis

Page 83: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

58 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Aquilaria sp dan Gyrinops sp termasuk dalam APENDIX II yaitu jenis tanaman yang terancam

kepunahan sehingga perdagannya diatur dengan penetapan kuota.

Kepunahan tanaman ini selain disebabkan oleh eksploitasi yang terus menerus juga belum

tersedianya teknologi budidaya yang efisien, meskipun penanaman gaharu mulai banyak dilakukan

petani baik dilahan pekarangan atau dikebun. Teknologi ini sulit dikembangkan karena

ketersediaan bibit yang terbatas dan sangat bergantung pada ketersediaan anakan dan biji gaharu.

Selain itu diperlukan juga teknologi inokulasi penyakit untuk mendapatkan kualitas gaharu yang

baik (Isnaeni dan Situmoranmg, 2005). Saat ini litbang kehutanan sudah merilis teknik inokulasi

yang dapat memicu pembentukan gubal buatan pada tanaman yang berumur 5-6 tahun yang dalam

3 tahun setelah inokulasi dapat memproduksi gubal pada serat kayunya (Tunggal, 2010). Dalam

proses produksi gaharu buatan ini, yang sangat penting dikuasai adalah proses pembenihan,

persemaian, penanaman, dan pemeliharaan pohon-pohon berpotensi gaharu.

Secara konvensional penyediaan bibit gaharu diperoleh baik secara generatif maupun

vegetatif tetapi kedua teknik ini memerlukan waktu yang relatif lama dengan tingkat keberhasilan

yang relatif masih rendah. Perbanyakan secara generatif menghadapi kendala biji gaharu

merupakan biji rekalsitran sehingga perbanyakannya masih mengandalkan anakan alam yang

tumbuh di sekitar pohon induk padahal populasi gaharu di hutan-hutan sumatra kalimantan dan

NTT sudah sangat sedikit. Pemanfaatan teknik in vitro telah banyak dimanfaatkan dan banyak

memberikan harapan di masa mendatang untuk mengatasi penyediaan bibit gaharu. Aplikasi

teknologi ini dibidang pertanian dimanfaatkan selain untuk perbanyakan juga untuk konservasi dan

perbaikan tanaman. Pemanfaatan teknik ini terutama metode mikropropagasi dan embriogenesis

somatik menjadi alternatif utama dalam pengembangan dan konservasi gaharu di Vietnam (Minh,

2004).

Perbanyakan melalui kultur in vitro dapat dilakukan melalui 3 cara yaitu pembentukan tunas

adventif, proliferasi tunas lateral dan embriogenesis somatik. Proliferasi tunas lateral dapat

dilakukan dengan cara mengkulturkan tunas aksilar atau tunas terminal kedalam media yang

mempunyai komposisi yang sesuai untuk proliferasi tunas sehingga diperoleh penggandaan tunas

dengan cepat. Setiap tunas dan yang dihasilkan dapat dijadikan sebagai sumber untuk

penggandaan tunas selanjutnya sehingga diperoleh tunas yang banyak dalam waktu yang relatif

lebih singkat.

Pengembangan gaharu yang akan datang diarahkan untuk rehabilitasi hutan, hutan rakyat dan

memanfaatkan lahan marginal serta pengembangannya di lahan pertanian. Pengangkutan bibit

dalam jumlah yang besar akan berisiko pada melambungnya ongkos kirim dan rusaknya bibit

selama pengangkutan. Teknologi bibit sintetik (synthetic seeds-synseeds, artificial seed) dapat

Page 84: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

59 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

digunakan untuk mengatasi masalah tersebut (Chand dan Singh, 2004). Teknologi ini relatif

sederhana, dengan memanfaatkan teknik regenerasi secara in vitro. Bahan tanaman dikapsulasi

dengan alginate dan diinkubasi baik pada medium cair maupun padat. Bahan tanaman dapat

menggunakan struktur embriogenik maupun non embriogenik seperti tunas, buku, meristemoid,

agregat sel (Standardi dan Picconi, 1998). Penggunaan propagul vegetatif menjadi lebih

menguntungkan dalam produksi benih sintetik karena kesamaan dengan tanaman induknya tinggi

(Chand dan Singh, 2004)

Teknologi bibit/benih sintetik memiliki kelebihan-kelebihan antara lain mudah pengangkutan

karena ukurannya kecil, mengurangi resiko kerusakan karena bahan tanaman dilindungi oleh

kapsul alginate, bibit yang dihasilkan dapat dalam jumlah yang besar, sifatnya sama dengan

tanaman induknya, harga per plantlet relatif murah (Saiprassad, 2001).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tanggap tunas in vitro biakan gaharu

terhadap alginate yang selanjutnya akan dikembangkan untuk produksi bibit sintetik gaharu.

II. METODOLOGI

Penelitian dilakukan di laboratorium kultur Jaringan Kelompok Peneliti Biologi Sel dan

Jaringan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik

Pertanian Bogor.

Bahan tanaman yang digunakan adalah buku satu tunas dari tunas in vitro gaharu (Aquilaria

malaccensis Lank).

Enkapsulasi menggunakan sodium alginate high viscosity dengan konsentrasi 2% yang

dipadatkan pada larutan CaCl2 50mM. Perlakuan yang diuji adalah pelarut dari alginic acid yaitu

Air, media MS, MS ½ dan MS modifikasi (makro nutrien ½ kali dari komposisi makro nutrien

MS). Kemudian kapsul-kapsul tersebut direndam pada larutan inkubasi kapsul alginate yang

steril.

Eksplan yang dikapsulasi adalah buku satu tunas yang berukuran ± 4 mm. Eksplan diisolasi

dari biakan yang sudah 2 kali disubkultur pada media MS+BA 1 mg/l. Eksplan dimasukkan ke

dalam larutan sodium alginate 2% kemudian di teteskan dengan pipet kedalam larutan CaCl2

50mM. Kapsul-kapsul yang terbentuk kemudian direndam dalam air, media MS, MS ½ dan MS

modifikasi cair. Inkubasi dilakukan pada ruang kultur dengan temperatur 21-23oC dan penyinaran

800-1000 lux selama 16 jam/hari

Page 85: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

60 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Pengamatan dilakukan melihat pertumbuhan buku satu tunas dalam kapsul dan kemampuan

tunas menembus kapsul alginate.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Enkapsulasi adalah teknik in vitro yang digunakan untuk memproduksi benih sintetik.

Enkapsulasi dilakukan dengan cara mengkulturkan bahan tanaman baik struktur embriogenik

maupun non embriogenik dalam suatu matrik yang dapat mempertahankan viabilitasnya. Matrik

pemadat yang dapat digunakan untuk enkapsulasi antara lain agar, agrose, alginate. Poliakrilamid,

nitroselulosa, carragenan, gel rite (Datta et al., 1999). Alginate adalah matriks yang paling sering

digunakan karena viskositasnya sedang, toksisitasnya untuk bahan tanaman relatif rendah, cepat

mengeras, relatif murah dan sesuai untuk bahan-bahan biologi. Selai itu alginate juga cepat

membentuk kapsul dengan ikatan yang dapat melindungi bahan tanaman sehingga dapat tetap

hidup (Saiprassad, 2001).

Dalam penelitian ini bahan tanaman yang dikapsulasi adalah buku satu tunas yang

berukuran ± 4 mm, seperti yang sudah berhasil dilakukan pada tunas in vitro Dalbergia sissoo

Roxb, tanaman legume berkayu (Chand dan Singh, 2004), nanas (Soneji et al., 2002), Adhatida

vasica (Anand dan Bansal, 2002) olive (Micheli et al., 1999), kiwi (Adriani et al., 1999) dan

Ocimum spp (Mandal et al., 2000). Matrik enkapsulasi yang digunakan adalah alginate viskositas

tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa matrik dapat mempertahankan viabilitas tunas in vitro

gaharu yang ditunjukkan dengan warna biakan hijau dan pertumbuhan tunas kecuali pada eksplan

yang diinkubasi pada air dimana hampir sebagian besar eksplan jaringannya mencoklat dan

akhirnya mati (Tabel 1).

Tabel 1. Daya tembus tunas gaharu pada berbagai media pelarut alginate dan berbagai media inkubasi

Pelarut Alginate

Larutan inkubasi

% biakan tembus kapsul

% Hidup

Air Air MS MS1/2 MS Modifikasi

0 100 40 70

0 100 100 100

MS Air MS MS1/2 MS Modifikasi

0 100 100 80

0 100 100 100

MS1/2 Air 0 80

Page 86: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

61 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

MS MS1/2 MS Modifikasi

100 100 100

100 100 100

MS Modifikasi Air MS MS1/2 MS Modifikasi

0 100 100 100

20 100 100 100

Eksplan yang dikapsul pada media MS ½ yang diinkubasi pada air berhasil tetap hidup tetapi

gagal menumbuhkan tunas dan menembus kapsul alginat. Semua kapsul yang diinkubasi pada air

tunasnya gagal menembus kapsul. Hal ini menunjukkan bahwa nutrisi yang dilarutkan dalam media

inkubasi mendukung proses pertumbuhan buku satu tunas gaharu.

Gambar 1. Pertumbuhan eksplan dalam kapsul alginate pada berbagai media inkubasi

Kapsul yang diinkubasi pada media yang berbeda menunjukkan perbedaan visual dari tunas

yang tumbuh. Tunas yang tumbuh pada media inkubasi MS modifikasi umumnya tidak

menunjukkan gejala vitrifikasi dan etiolasi. Tunas yang tumbuh dari kapsul yang diinkubasi pada

air, MS dan MS1/2 menunjukkan gejala adanya vitrifikasi (gambar 1).

Pada tabel 2 terlihat keragaman pertumbuhan eksplan dalam kapsul. Meskipun media yang

digunakan tidak ditambahkan zat pengatur tumbuh sitokinin, ternyata beberapa eksplan pada

kapsul dengan media MS yang diinkubasi pada media MS ½ mampu membentuk tunas adventif.

air Ms mod

Ms 1/2 Ms

Page 87: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

62 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Tunas adventif terbentuk pada tunas yang tumbuh pertama. Hal ini disebabkan karena eksplan

yang digunakan adalah buku satu tunas in vitro yang juvenil dengan daya regenerasi yang masih

tinggi.

Tabel 2. Pertumbuhan tunas gaharu pada berbagai media pelarut gaharu dan berbagai media inkubasi Pelarut

Alginate Larutan inkubasi

Tinggi tunas (mm)

Jumlah daun

Jumlah buku

Jumlah tunas

Air Air MS MS1/2 MS Mod

- 17,6 14,8 7,17

- 3,2 3,4 1,0

- 2,2 2,4

0,67

- 1,0 0,4 0,7

MS Air MS MS1/2 MS Mod

- 8,8

18,17 11,2

- 2,4

2,83 2,0

- 1,6

1,83 1,4

- 1,0 1,5 0,8

MS1/2 Air MS MS1/2 MS Mod

4*

11,6 14,4 8,8

0*

2,4 2,8 1,6

0*

1,8 1,8 0,8

0*

1,0 1,0 1,0

MS Mod Air MS MS1/2 MS Mod

4*

16,0 16,0 15,2

0*

3,0 3,0 3,2

0*

2,0 2,4 2,2

0*

1,0 1,0 1,0

Keterangan : - eksplan mati - * eksplan gagal tumbuh dan menembus kapsul - MS mod = MS modifikasi

Penggunaan media yang berbeda dalam kapsul mengakibatkan perbedaan pertumbuhan tunas

yang terbentuk. Pertumbuhan tinggi tunas tertinggi (18,17 mm) diperoleh dari biakan yang dikapsul

dalam media MS yang diinkubasi dalam media MS1/2, tetapi tunas ini menunjukkan gejala etiolasi

yang ditunjukkan dengan panjang ruas antar buku dari tunas tersebut (Tabel 2).

Tunas yang tumbuh dalam kapsul yang dilarutkan dalam media MS modifikasi umumnya

menunjukkan pertumbuhan yang baik pada semua media inkubasi, dimana tinggi tunas relatif

tinggi dan tidak terlihat gejala etiolasi. Hal ini menunjukkan bahwa nutrisi yang terdapat di dalam

matrik kapsul lebih mempengaruhi pertumbuhan tunas daripada nutrisi yang terlarut dalam media

inkubasi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Anand dan Bansal (2002) pada kapsul tunas vasaka

yang menyatakan bahwa nutrisi didalam matrik kapsul lebih berperan dari pada nutrisi pada media

inkubasi

Page 88: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

63 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

IV. KESIMPULAN

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa: 1. Buku satu tunas dari tunas in vitro gaharu dengan ukuran 4-5 mm dapat tetap hidup dalam

kapsul alginate 2%. 2. Media pelarut alginate terbaik adalah media MS modifikasi dimana tunas yang disimpan pada

media ini dapat menembus kapsul mulai minggu ke 5 setelah inkubasi dan tidak menunjukkan gejala vitrifikasi.

3. Media inkubasi kapsul alginate air tidak baik digunakan untuk menginkubasi kapsul walaupun alginate dilarutkan dalam media MS, 1/2MS atau MS modifikasi

DAFTAR PUSTAKA

Adriani, M, E. Piccioni and A Standardi. 1999. Effect of different treatments on the convertion seeds to whole plants following encapsulation of in vitro derived buds. New Zealand J. of crops and horticultural science.

Anand Y and Y K Bansal. 2002. Synthetic seeds. A novel approach of in vitro plantlet formation in vasaka (Adhatoda vasica Nees). Plant Biotechnology. 19(3):159-162

Chakraburty, K.; A. Kumar dan V. Menon. 1994. Trade in agarwood. TRAFFIC India and WWF India Publications New Delhi

Chand, S and AK Singh. 2004. Plant regeneration from encapsulated nodal segments of Dalbergia sissoo Roxb., a timber-yielding leguminous tree species. J. of Plant Physiol, 161 (2) : 237–243

Datta, K.B, B Kanjilal and D De Sarker. 1999. Artificial seed technology: Development of a protocol in Geodorum densiflorum (lam) Schltr-Anendangered orchid. http://144.16.79.155/currsci/apr25/articles27.htm

Hartadi, I. 1997. The hunt for gaharu. Gaharu, a rare commodity already on Appendix II of CITES, is still collectead in large quantity. Concervation Indonesia Vol. 13 (2) Industrial Hidupan Liar (The Wildlife Industry). WWF. Jakarta

Isnaeni, Y dan J Situmorang. 2005. Aplikasi bioteknologi untuk pengembangan tanaman gaharu (Aquillaria spp.) di Indonesia (Studi kasus: Perkembangan Penelitian Gaharu di Seameo Biotrop)

Lopez, D.T. 1998. Malayan timbers for pencil manufacture. The Malaysian Forester 41(1):17-24. Mandal J., S Pattnaik and P K. Chand. 2000. Alginate encapsulation of axillary buds of Ocimum americanum L. (heary

basil), O. basilicum L. (sweet basil), O. gratissimum L. (shrubby basil) and O Sanctum L. (sacred basil). In vitroCellular and Development Biology-Plant. 36(4):287-292

Micheli, M, A. Standardi, P Dell’Orco and M Mencuccini. 2002. Preliminary Studies on the synthetic seed and encapsulation technologies . Valenziano, October 30

Minh T V. 2004. Using protocorm like body via embryogenesis culture for development of agarwood (Aquilaria crassna Pierre ex Lecomte) in Vietnam.www.agri.cmu ac th/biotech 2004/

Ng, L.T.; Y.S. Chang and A.A. Kadir. 1997. A review on Agarwood (Gaharu) Producing Aquilaria Species Oldfield, S.; C. Lusty and A. MacKinven. 1998. The word list of threatened trees. World Conservation Monitoring

Centre. World Conservation Press Cambridge. Peters, M.C. 1996. Observation onten sustainable exploitation of non-timber tropical forest product: An ecologists

perpecstive. Pp.19-39 dalam Current issues in non timber forest products research. M.R. Perez. & J.E.M. Arnold (Eds.). CIFOR-ODA. Jakarta

Saaiprassad, G U S. 2001. Artyificial Seeds and their Application. Resonance May 2001. http://www.ias.ac.in/resonance/May2001/May2001p39-47.html

Shyun, C.Y. 1997. Gaharu. FRIM in focus. The forest Research Institute Malaysia, January. 1997. Kuala Lumpur. Soneji, J., F Rao and M Mhatre. 2002. Germination of synthetic seeds of pineapple (Ananas comosus L. Merr). Plant

Cell Reports. 20(10):891-894 Standardi, A and E Piccioni. 1998. Recent perspectives on synthetic seed technology using non embryogenic in vitro

derived explants. Int. J. of Plant Science. 159:968-978

Page 89: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

64 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Susilo, K.A. 2003. Budidaya Gaharu dan Masalahnya. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. 48 h. Tunggal, N. 2010. Gaharu Buatan Balitbang Kehutanan. Kompas.com. Jumat, 9 April 2010 | 09:37 WIB

Page 90: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

65 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

REVIEW KULTUR JARINGAN CENDANA (Santalum album L.)

Toni Herawan

Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta. Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15 Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta

Email : [email protected]

ABSTRAK

Cendana (Santalum album L.) merupakan salah satu tanaman yang bernilai ekonomi tinggi bagi Indonesia khususnya di Nusa Tenggara Timur. Namun populasi alami tanaman tersebut cenderung menurun dan penyediaan bahan tanaman secara konvensional sulit dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk memperbanyak tanaman cendana secara in-vitro melalui teknik kultur tunas aksiler dan embriogenesis somatik. Tulisan ini merupakan review dari beberapa penelitian kultur jaringan cendana yang dilaksanakan secara kultur tunas aksiler dan embriogenesis somatik di Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta. Eksplan yang digunakan pada penelitian kultur tunas aksiler berupa tunas-tunas dari semai umur 1 tahun yang diisolasi di rumah kaca. Semai berasal dari 4 klon. Penelitian terdiri atas 3 tingkat induksi; multiplikasi; dan perakaran. Hasil penelitian setelah 1 bulan menunjukkan bahwa media MS ditambah 0,5 mg/l BAP dan 0,01 mg/l NAA didapat rata-rata persentase induksi mencapai 78,38 %, kemudian pada tahap multiplikasi dilakukan pemindahan berulang setiap bulannya pada media MS ditambah BAP 1 mg/l dan Kinetin 0,15 mg/l, setelah pemindahan/sub-kultur ke-4 diperoleh rata-rata jumlah tunas 13,2 tunas/tabung dan rata-rata panjang tunas 2,7 cm. Pada penelitian selanjutnya yaitu tahap perakaran menggunakan tunas cendana hasil perbanyakan pada tahap sebelumnya . Penelitian menggunakan media ½ MS; ½ WPM, dan ½ GD, serta penggunaan Kinetin pada berbagai tingkat konsentrasinya (0; 0,25; 0,50; 0,75; dan 1 mg/l) pada pengembangan perakaran cendana. Hsil penelitian perakaran diperoleh data bahwa media dasar ½ MS serta penggunaan ZPT IBA 20 mg/l ditambah IAA 1 mg/l , serta perlakuan konsentrasi kinetin 0,75 mg/l memberikan respon terbaik terhadap pertumbuhan dan perkembangan akar cendana. Pada tahap pra aklimatisasi bahan tanaman yang digunakan adalah plantlet cendana hasil kultur tunas aksiler berumur 3 bulan (tinggi tanaman ± 5 cm, jumlah daun lebih dari 5, panjang akar primer lebih dari 3 cm, belum terdapat akar sekunder), sebagai tanaman inang digunakan tanaman krokot merah (Alternanthera sp). Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan faktor tunggal 6 faktor perlakuan, yaitu pasir, sekam, arang sekam, pasir-sekam, pasir-arang sekam, sekam-arang sekam, dan tiga ulangan. Penelitian dilakukan di rumah kaca. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh yang nyata dari semua media semai yang digunakan terhadap pembentukan akar sekunder cendana pada fase pra aklimatisasi, akan tetapi bila ditinjau dari perkembangan akar sekunder menunjukkan bahwa media pasir paling baik responnya terhadap pembentukan akar sekunder cendana pada fase pra aklimatisasi. Plantlet hasil pra-aklimatisasi dipindah dalam media top soil : pupuk kandang : pasir = 3 : 1 : 1. Pada penelitian embriogenesis somatik eksplan yang digunakan yang pertama adalah daun cendana hasil perbanyakan melalui kultur tunas aksiler, yang kedua daun cendana dari kebun pangkas umur 3 tahun yang diisolasi di rumah kaca. Kalus embrionik yang berasal dari kultur tunas aksiler pertama lebih cepat tumbuh, rata-rata 3 bulan kalus sudah terinduksi pada kondisi suhu 2500C, kelembaban 67 % , dan intensitas cahaya 0 % , ciri-ciri kalus embrionik berwarna putih mengkilat dan teksturnya remah. Setelah di sub-kultur beberapa kali ke media tahap pembentukan embrio somatik sekunder dalam kondisi suhu 2500C, kelembaban 69-70 %, dan intensitas cahaya 150 lux jumlah kalus berlipat ganda dan mulai tumbuh fase hati (heart) dan fase torpedo. Pada tahap perkecambahan yang menggunakan media MS + BAP 1 mg/l + NAA 0,01 mg/l + Kinetin 0,1 mg/l media ditempatkan pada kondisi suhu 2600C, kelembaban 67 %, dan intensitas cahaya 1700-2000 lux.

Kata kunci : Santalum album, eksplan, multiplikasi, aklimatisasi, embriogenesis somatik

Page 91: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

66 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

I. PENDAHULUAN

Cendana merupakan tanaman asli Indonesia khususnya tumbuh dan berkembang secara

alami di wilayah Nusa Tenggara Timur yaitu di Pulau Sumba, Pulau Flores, Pulau Timor, Pulau

Alor, Pulau Solor, Pulau Pantar, Pulau Lomblen, Pulau Adonara, Pulau Rote, dan menyebar di

pulau-pulau kecil lainnya. Dibandingkan dengan tanaman cendana yang ada di Australia dan India,

tanaman cendana yang tumbuh alami di NTT mempunyai kualitas kayu dan kandungan kadar

santalo yang paling baik.

Sejak jaman dahulu tanaman cendana khususnya kayu dan minyaknya banyak digunakan

untuk upacara-upacara adat dan upacara kematian. Disamping itu kayunya digunakan untuk bahan

baku kerajinan seperti patung, gagang keris, tasbih, rosario, kipas, dsb. Sedangkan minyaknya

digunakan untuk parfum, farmasi, dan kosmetik.

Dengan berbagai kelebihan tersebut di atas cendana dimasukan ke dalam golongan kayu

mewah, karena baik kayu dan minyaknya memiliki harga yang tinggi baik di pasaran domestik

maupun di pasaran internasional. Dengan kekhasan dan nilai ekonomi yang tinggi tersebut pada

awalnya tanaman cendana memberikan sumbangan devisa yang cukup tinggi bagi negara dan

memberikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang paling tinggi bagi NTT.

Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku kayu cendana umumnya diperoleh dari tegakan alam

yang menyebar di berbagai pulau di wilayah NTT, lambat-laun keberadaan tanaman cendana di

pupulasi alaminya semakin menyusut, ditambah lagi dengan semakin maraknya pencurian kayu

cendana untuk memasok kebutuhan kayu cendana secara illegal, kebakaran hutan, dan kekeringan

yang berkepanjangan, semakin lengkap sudah kerusakan hutan tanaman cendana.

Upaya-upaya pembuatan hutan tanaman cendana masih belum mendapat perhatian yang

memadai. Program penanaman cendana masih dilakukan pada luasan areal yang sempit, sehingga

ratio antara laju eksploitasi cendana di populasi alam cenderung lebih cepat dibandingkan dengan

upaya penaman kembali. Tingkat keberhasilan tanaman cendana yang dibangun di wilayah NTT

kurang dari 30 %. Dengan laju eksploitasi yang sangat cepat dan pencurian yang sulit untuk

dihindarkan, maka lengkap sudah kehancuran tanaman cendana di NTT. Dengan demikian candana

saat ini sudah dalam kondisi rawan dan hampir punah.

Di Indonesia tanaman cendana termasuk salah satu tanaman yang dilindungi karena

keberadaannya yang hampir punah. Faktor-faktor penyebab langkanya cendana antara lain karena

adanya 1). Keengganan masyarakat untuk menanam cendana karena adanya peraturan daerah yang

tidak mendukung; 2). Penebangan liar; 3). Pencurian; 4). Kebakaran hutan, dan 5). Persyaratan

hidup tanaman cendana yang rumit.

Page 92: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

67 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

Dengan kondisi yang demikian maka perlu dilakukan langkah trobosan untuk melakukan

penyediaan bibit tanaman cendana secara besar-besaran. Salah satu upaya yang dilakukan adalah

dengan melakukan pembiakan generatif tanaman cendana melalui biji, akan tetapi dengan

kelangkaan tanaman cendana saat ini akan menyulitkan dalam mendapatkan benih cendana dengan

kuantitas dan kualitas yang memadai.

Cendana merupakan jenis yang daya regenerasi yang tinggi, hal ini terbukti bahwa pada

individu dewasa apabila terjadi pelukaan atau adanya akar yang putus, akan segera tumbuh dan

berkembang anakan baru yang muncul dari dalam tanah dimana induk cendana tersebut tumbuh.

Disamping itu dari pangkasan cendana akan menghasilkan trubusan yang banyak. Dengan

demikian pendekatan propagasi tanaman cendana merupakan solusi yang terbaik.

Teknik propagasi tanaman cendana melalui stek pucuk dan stek akar sudah lama dilakukan,

akan tetapi sampai saat ini keberhasilannya masih rendah. Untuk mengatasi permasalahan tersebut,

telah dikembangkan teknik pembiakan vegetatif secara kultur jaringan yaitu dengan teknik kultur

tunas aksiler dan teknik embriogenesis somatik di Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan

Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH) Yogyakarta.

I. PERBANYAKAN KLON CENDANA (Santalum album L) MELALUI KULTUR

JARINGAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di laboratorim kultur jaringan Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan

Pemuliaan Tanaman Hutan Purwobinangun, Yogyakarta. Penelitian dilaksanakan selama 6

bulan, mulai bulan Maret – Agustus 2004.

B. Bahan

Bahan-bahan yg digunakan dalam penelitian ini antara lain :

1. Eksplan

Eksplan yg digunakan berupa seedling cendana umur 1 tahun yg berasal dari 4 klon

yang berbeda, yaitu klon 1118 yang berasal dari Haunobenak, Kec. Amanuban Tengah,

Kabupaten TTS, NTT; klon 4416 berasal dari Pailelang, Kec. Alor Barat Daya, Kab. Alor,

NTT; klon 5507 yang berasal dari Werena, Kec. Wewewa Barat, Kab. Sumba Barat, NTT;

dan klon 5529 yang berasal dari Rudamata, Kec. Laramata, Kab. Sumba Barat, NTT.

2. Media dasar dan Zat Pengatur Tumbuh

Page 93: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

68 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Kegiatan yg dilakukan dalam penelitian ini adalah tahap induksi dan multiplikasi

(perbanyakan tunas). Pada tahap induksi media dasar yang digunakan media MS

(Murashige dan Skoog), kemudian ZPT yg digunakan dari golongan auksi adalah BAP

(Benzyl-amino-purine) 1 mg/l ditambah ZPT auksin adalah NAA (Napthalene-acetik-acid)

dengan konsentrasi 0,1 mg/l. Sedangkan pada tahap multiplikasi media dasar yang

digunakan MS, kemudian ZPT yg digunakan dari golongan sitokinin adalah BAP 0,5 mg/l

dan ZPT dari golongan auksin adalah NAA dengan konsentrasi 0,01 mg/l.

3. Alat

Alat yg digunakan untuk menunjang penelitian kultur jaringan cendana diantaranya

oven, timbangan analitik, autoclave, laminar air flow cabinet, gunting, pinset, scalpel, dll.

C. Pelaksanaan Penelitian

Seedling dari ke-4 provenans yg diisolasi di rumah kaca dipangkas. Hasil pangkasan

umur 1 bulan dapat digunakan sebagai sumber eksplan. Eksplan yg digunakan berukuran ±

7 Cm. Eksplan kemudian disterilisasi dengan prosedur sbb eksplan direndam larutan

fungisida Dithane-M.45 1 g/l selama 15 menit, eksplan direndam larutan detergent, di

dalam laminar eksplan dibilas aquadest steril 3 x, selanjutnya direndam larutan ethanol

teknis 70 % selama 1 menit, direndam larutan sodium hpoklorit 1,5 % selama 5 menit,

dibilas larutan aquadest steril 3 x, dan sebelum ditanam dalam media MS eksplan dipotong-

potong menjadi ukuran 3-5 cm, kemudian diinduksi dalam media yg telah disiapkan.

D. Rancangan Penelitian

Penelitian ini berlangsung 2 tahap, tahap pertama merupakan tahap induksi dan tahap

kedua tahap multiplikasi. Tahap induksi merupakan percobaan yang terdiri dari faktor klon.

Faktor klon ini terdiri dari 4 taraf, yaitu Klon No. 1118, Klon 4416, Klon. 5507, Klon.

5529. Masing-masing klon menggunakan sampel penelitian dengan jumlah yg berbeda.

Parameter yg diukur dalam penelitian ini adalah persentase induksi.

Pada tahap multiplikasi faktor perlakuannya Klon, Faktor klon ini terdiri dari 4 taraf,

yaitu Klon No. 1118, Klon 4416, Klon. 5507, Klon. 5529. Masing-masing klon

menggunakan 5 sampel. Parameter yg diukur dalam penelitian ini adalah jumlah tunas dan

panjang tunas.

E. Analisa Data

Page 94: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

69 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

Hasil penelitian selanjutnya dianalisis menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA)

pada rataf uji 5 %, bila ada beda nyata dilakukan uji lanjutan menggunakan Uji Jarak Ganda

Duncan (Duncan Multiple Range Test) (DMRT).

II. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Tahap Induksi

Pada tahap ini eksplan dikulturkan dalam media MS. Eksplan diinkubasi dalam kondisi

terang dengan penyinaran lampu TL selama 16 jam pada suhu ruang kultur ± 24oC, kelembaban

antara 60 – 80 % dengan intensitas cahaya sebesar 2000 – 3000 lux. Setelah dikulturkan selama ± 1

bulan diperoleh hasil induksi seperti tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Induksi Cendana Dalam Media MS No. Klon Jumlah

sampel Jumlah Induksi

Jumlah Kontaminasi

Jumlah mati/kering

1118 6 5 - 1 4416 12 10 2 - 5507 10 8 - 2 5529 9 6 - 3

Jumlah 37 29 2 6 Persentase

(%) 78,38 5,4 16,2

Hasil induksi menunjukkan bahwa persentase induksi mencapai 78,38 %, hal ini

menunjukkan bahwa media MS dan ZPT yg digunakan sesuai untuk menginduksi tunas Cendana.

Besarnya kontaminasi dalam penelitian ini cukup kecil yaitu hanya 5,4 %. Kondisi ini

dimungkinkan karena sebelum diinduksi eksplan yg berasal dari seeedling cendana mengalami

isolasi di rumah kaca dengan lingkungan yang bersih, sehingga kotoran baik dari udara maupun yg

dibawa oleh serangga dapat dikendalikan dan diperkecil. Sampel yang kering dan mati mencapai

16,2 %, hal ini disebabkan oleh faktor kekeringan yg mengakibatkan kematian. Kematian juga

disebabkan oleh kondisi eksplan yg digunakan yaitu berasal dari umur trubusan yg masaih terlalu

muda, sehingga jaringan eksplan tidak tahan terhadap kadar alkohol dan sodium hypochlorit pada

saat sterilisasi.

Hasil penelitian induksi Cendana selengkapnya tertera pada Gambar 1 dan 2.

Page 95: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

70 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Gambar 1. Hasil Induksi Cendana dalam Media MS

Gambar 2. Grafik Hasil Induksi Cendana Dalam Media MS

2. Tahap Multiplikasi

Pada tahap ini tunas-tunas hasil induksi dikulturkan dalam kondisi lingkungan yg sama

seperti pada tahap induksi. Kriteria tunas yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari hasil

induksi dengan kondisi tunas yang sehat, subur, juvenil, dan ukuran maksimal. Hasil multiplikasi

tunas Cendana dalam media MS setelah 4 minggu dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil Multiplikasi Cendana Dalam Media MS No Klon No Botol

/Sampel Jumlah Tunas Panjang Tunas

Rata-rata (Cm) 1 13 3,5 2 14 3

1118 3 10 3 4 6 3,5 5 11 5 1 6 1,5 2 13 2,5

4416 3 10 3 4 8 2,5

Page 96: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

71 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

5 7 3 1 12 2 2 12 3,5

5507 3 25 1 4 15 2 5 40 1,5 1 5 2 2 27 2,5

5529 3 4 3,5 4 10 2,5 5 16 3

Rata-Rata 13,2 2,7

Pada tahap multiplikasi menunjukkan bahwa produksi/jumlah tunas rata-rata mencapai 13,2

tunas/botol dengan panjang tunas rata-rata 2,7 cm. Ke-4 klon yg diuji pada tahap ini

menghasilkan respon yg berbeda sebagaimana terlihat pada Gambar 3 dan 4.

Gambar 3. Hasil Multiplikasi Cendana pada media MS

Gambar 4. Grafik Tahap Multiplikasi Cendana Pada Media MS

Page 97: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

72 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Untuk mengetahui pengaruh masing-masing klon pada tahap multiplikasi maka dilakukan

analisis varians terhadap jumlah dan panjang tunas yang hasilnya tertera pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Analisis Varian Pada Tahap Multiplikasi Sumber Variasi DB JK KT F hitung Jumlah tunas Klon 3 417,6 139,2 2,22 ns

error 16 1001,6 62,6 Total 19 1419,2 Panjang Tunas Klon 3 6,700 2,233 3,97 s

error 16 9,000 0,563 Total 19 15,700

Keteranga : ns = tidak beda nyata pada taraf uji 5 % s = beda nyata pada taraf uji 5 %

Hasil analisis varian pada tahap multiplikasi menunjukkan bahwa faktor klon tidak

berpengaruh nyata pada produksi/jumlah tunas yang dihasilkannamun berbeda nyata pada panjang

tunas yg dihasilkan. Untuk mengetahui pengaruh masing-masing klon terhadap panjang tunas yang

dihasilkan dilakukan pengujian DMRT, yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Uji DMRT Faktor Klon Terhadap Panjang Tunas Nomor Klon N Rata-rata (cm) Pengelompokan

1118 5 3,60 B 4416 5 2,50 AB 5507 5 2,00 A 5529 5 2,70 AB

Catatan : taraf uji 5 %

Hasil uji DMRT pada Tabel 5. menunjukkan bahwa Klon 1118 berbeda nyata dengan ke-3

klon yang diuji yaitu klon 5507, 5529, dan 4416. Klon 1118 memiliki karakter pembentukan

panjang tunas yang berbeda besarnya dibandingkan ke-3 klon lainnya. Pencermatan terhadap klon

yang memiliki karakter tertentu dan bermanfaat pada proses fase pertumbuhan tertentu akan

berguna dalam menghasilkan klon dengan tingkat organogenetik optimal.

Beberapa faktor yg mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis tanaman pada teknik

kultur jaringan adalah genotipe, media (termasuk di dalamnya ZPT), lingkungan dan fisiologi

jaringan (George, 1993). Namun diantara faktor tersebut yang memiliki pengaruh cukup besar

terhadap munculnya keragaman adalah faktor genotipe. Analog dengan penelitian sebelumnya

(Kharisma dan Setiadi, 2002) menyebutkan bahwa sumber benih dari pohon yang berbeda

Page 98: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

73 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

memberikan pengaruh yang berbeda terhadap kualitas bibit cendana. Variasi atau keragaman yang

muncul dari masing-masing klon menunjukkan bahwa sumber (asal-usul) klon memiliki potensi

geneti yang berbeda. Zobel dan Talbert (1984) menjelaskan bahwa tingkat variasi dapat muncul

oleh karena letak geografis, antar tapak, antar pohon serta di dalam pohon dengan faktor penyebab

utama yang berbeda. Klon yang diuji dikoleksi dari tempat tumbuh yang memiliki perbedaan faktor

edaphis dan klimatis yang berbeda, sehingga sangat berperan besar menghasilkan individu-individu

yang memiliki keragaman genetik.

3. KESIMPULAN

1. Eksplan dari seedling hasil pangkasan yg bersifat juvenil memberikan respon yg baik terhadap

keberhasilan induksi.

2. Multiplikasi tunas cendana dengan cara sub-kultur berulang mampu meningkatkan tunas

majemuk.

II. PENGARUH JENIS MEDIA DAN KONSENTRASI ZAT PENGATUR TUMBUH KINETIN TERHADAP PERAKARAN CENDANA (Santalum album).

A. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini untuk mengetahui pengaruh berbagai media ( ½ MS; ½ GD; dan ½ WPM) dan

berbagai konsentrasi ZPT Kinetin (0; 0,25; 0,50; 0,75; dan 1 mg/l) serta kombinasinya terhadap

perkembangan perakaran Cendana.

B. BAHAN DAN METODE

Bahan tanaman yg digunakan dalam penelitian ini adalah tunas hasil multiplikasi dimana eksplan

yg dipakai pada tahap induksi diambil dari pohon cendana umur 14 tahun yg ditanam di Arboretum

Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH) Yogyakarta.

Media yang digunakan ½ MS (Murashige & Skoog); ½ GD (Greshoff & Doys); dan ½ WPM

(Woody Plant Medium), pada media ditambahkan berbagai konsentrasi ZPT Kinetin (Furfuril-

amino-purine) : 0; 0,25; 0,50; 0,75; dan 1 mg/l, ZPT IBA (Indole-butyric-acid) 20 mg/l dan ZPT

IAA (Indole-butyric-acid) 1 mg/l. Tiap perlakuan terdiri dari 20 sampel uji, dengan demikian

sample uji yang dibutuhkan sebanyak 3 x 5 x 20 = 300 sampel uji. Data selanjutnya dianalisis

menggunakan analisis varian (ANOVA), apabila ada beda nyata data dianalisis lebih lanjut

menggunakan Uji Jarak Ganda Dari Duncan (Duncan Multiple Range Test (DMRT). Data yang

diamati adalah pertumbuhan kalus dan perkembangan perakaran.

Page 99: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

74 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tunas-tunas terpilih dan juvenile dengan panjang ± 5 cm, selanjutnya diinkubasi awal selama 2 hari

dalam kondisi gelap pada suhu ± 24oC dan kelembaban 60 – 70 %, selanjutnya diinkubasi dalam

kondisi terang dengan penyinaran lampu TL selama 16 jam/hari pada suhu ± 24oC dan kelembaban

60 – 70 %. Hasil pengamatan selama 3 bulan dari 300 sampel yg diuji, sebanyak 150 sampel

tumbuh kalus. Menurut Gaspar dan Coumans (1994) menjelaskan bahwa induksi akar, inisiasi

primordial akar dan pemanjangan akar memerlukan kondisi kultur yg berbeda dalam hal penelitian

ini kondisi gelap dan kondisi dengan penyinaran (terang). Perakaran dalam kultur jaringan secara

luas diperkuat oleh perubahan-perubahan kondisi setelah induksi akar. Intensitas sinar yg rendah

dan temperatur yg rendah digunakan untuk proliferasi tunas dan juga untuk perakaran dengan

harapan dpt diperoleh respon perakaran yg optimal. Masa inkubasi dalam ruang gelap (8-10 hari)

sangat membantu dalam memacu perkembangan perakaran.

Setelah diinkubasi selama 3 bulan, dari ke 15 kombinasi perlakuan yang diuji memberikan respon

yang berbeda terhadap perkembangan perakaran. Respon terendah sebesar 5 % pada media ½ GD +

0 mg/l Kinetin. Respon terbaik sebesar 60% pada media ½ MS + Kinetin 0,75 dan 1 mg/l dan

media ½ WPM + Kinetin 0,75 mg/l. Hasilnya dapat dilihat pada Grafik Pengaruh Interaksi Media

dan ZPT Kinetin terhadap perakaran Cendana setelah 3 bulan dapat dilihat pada Gambar dibawah

ini.

Pada penelitian ini pengamatan pertumbuhan akar dilakukan selama 3 bulan, dengan demikian

analisis varian untuk mengetahui besarnya variasi atau besarnya respon perlakuan terhadap

perakaran tunas cendana dilakukan dari hasil pengamatan terakhir pada bulan ke-3 sebagaimana

disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Analisis Varian Perkembangan Akar Cendana Pada Bulan Ke-3. Sumber Variasi

db jk kt F hitung Pr>F

Perlakuan 14 58,9466 4,2104 10,10** 0,0001 Media 2 4,8866 2,4433 5,86** 0,0032 Kinetin 4 26,3800 6,5950 15,82** 0,001 MediaxKinetin 8 27,6800 3,4600 8,30** 0,001 Error 285 118,8000 0,4168

Total 299 177,7466

Keterangan : ** = berbeda sangat nyata pada taraf uji 1 %

Page 100: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

75 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

Hasil analisis varian pada Tabel 1. terlihat bahwa Media, ZPT Kinetin, dan interaksinya

berpengaruh sangat nyata terhadap perakaran Cendana. Selanjutnya untuk membandingkan antar

perlakuan dilakukan uji DMRT pada Tabel 2.

Hasil uji DMRT pada Tabel 2. memperlihatkan bahwa kombinasi perlakuan media ½ MS + 0,75

mg/l Kinetin adalah yg terbaik terhadap perkembangan perakaran Cendana.

Tabel 2. Uji DMRT Faktor Media + Konsentrasi ZPT Kinetin Terhadap Perkembangan akar Cendana Media +Konsentrasi

Kinetin N Rata-rata Pengelompokan

½ MS + 0,75 mg/l Kinetin 20 4,600 A 1/2GD + 0,25 mg/l Kinetin 20 4,600 A ½ WPM + 1 mg/l Kinetin 20 4,550 AB ½ GD + 0,75 mg/l Kinetin 20 4,500 ABC ½ MS + 1 mg/l Kinetin 20 4,350 ABCD ½ MS + 0,5 mg/l Kinetin 20 4,200 ABCD ½ GD + 1 mg/l Kinetin 20 4,100 BCDE ½ GD + 0,50 mg/l Kinetin 20 4,100 BCDE ½ GD + 0,75 mg/l Kinetin 20 4,100 BCDE ½ WPM + 0 mg/l Kinetin 20 4,050 CDE ½ WPM + 0,50 mg/l Kinetin 20 3,900 DE ½ MS + 0 mg/l Kinetin 20 3,900 DE ½ MS + 0,25 mg/l Kinetin 20 3,900 DE ½ WPM + 0,25 mg/l Kinetin 20 3,650 E ½ GD + 0 mg/l Kinetin 20 2,800 F

Catatan : huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 5 %.

Menurut Gunawan (1987), keberhasilan penggunaan metode kultur jaringan sangat

tergantung pada media yang digunakan. Media kultur jaringan tanaman menyediakan tidak hanya

unsur hara makro dan unsur hara mikro, akan tetapi karbohidrat yang pada umumnya berupa gula

untuk menggantikan karbon yang biasanya didapat dari athmosfir melalui proses fotosintesis.

Gunawan melaporkan juga bahwa media yang digunakan untuk menginduksi akar penggunaan

larutan garam-garam makro dengan konsentrasi rendah lebih baik daripada larutan garam-garam

makro dengan konsentrasi tinggi. George (1993) dalam penelitiannya menyatakan bahwa auksin yg

cukup tinggi yaitu IBA 20 mg/l ditambah sitokinin dengan berbagai tingkat konsentrasi yg rendah,

secara umum dapat memberikan respon yang maksimal terhadap perakaran. Ternyata lebih dari 1

kombinasi perlakuan ZPT cenderung memberikan respon atau hasil perakaran yang optimal.

Page 101: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

76 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

D. KESIMPULAN

Media ½ MS ditambah kombinasi ZPT IBA 20 mg/l + IAA 1 mg/l dan Kinetin 0,75 mg/l

memberikan respon terbaik terhadap perkembangan perakaran Cendana.

III. TEKNIK AKLIMATISASI KULTUR JARINGAN CENDANA (Santalum album Linn.)

Plantlet hasil kultur jaringan sering sangat sulit untuk langsung dipelihara pada kondisi

lapangan karena masih sangat peka, sehingga perlu ada tahap aklimatisasi atau penyesuaian untuk

menghadapi kondisi lingkungan yang lebih sulit bagi calon tanaman yang masih lemah tersebut.

Untuk tanaman kehutanan, pada umumnya aklimatisasi dilakukan dengan dua tahap, yaitu pertama

aklimatisasi dari media agar (dalam botol) ke media tanah dalam rumah kaca (greenhouse), dan

yang kedua aklimatisasi dari kondisi greenhouse ke kondisi persemaian di lapangan.

Aklimatisasi tahap pertama dimaksudkan supaya plantlet dapat beradaptasi dari kondisi di

lingkungan kultur ke kondisi di luar kultur dalam hal ini kondisi di rumah kaca dengan tetap

menjaga supaya kondisi lingkungan antara lain suhu, kelembaban, dan intensitas cahaya tetap

terkontrol. Pada media tanah tersebut diharapkan sistem perakaran akan tumbuh lebih baik, serta

calon tanaman tumbuh lebih baik dan lebih kokoh. Aklimatisasi tahap kedua dimaksudkan supaya

tanaman secara bertahap dapat beradaptasi dengan kondisi suhu udara, kelembaban, dan intensitas

cahaya di lapangan yang tidak dapat dikontrol.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi pada aklimatisasi, antara lain :

- Plantlet harus bersih dari media agar yang menempel,

- Hindari penggunaan fungisida, kecuali bila terpaksa harus dilakukan secara hati-hati,

- Apabila perlu, ujung plantlet dapat dicelupkan pada serbuk atau larutan zat pengatur tumbuh

untuk pertumbuhan akar,

- Penurunan kelembaban dan peningkatan intensitas cahaya harus dilakukan secara bertahap supaya

tanaman tidak stress. Untuk skala besar digunakan greenhouse yang dilengkapi dengan alat

pengabutan dan pengontrol ventilasi.

Urutan kegiatan pada aklimatisasi cendana adalah sebagai berikut :

1. Menyaring top-soil, pupuk kandang/kompos , dan pasir yang akan digunakan.

2. Mencampur media dengan perbandingan top-soil:pupuk kandang/kompos:pasir = 3:1:1.

3. Media yang telah dicampur dimasukkan dalam polybag.

4. Polybag yang sudah berisi media, plantlet yang masih dalam botol, dan bibit krokot

(Crotalaria juncea) sebagai tanaman inang primer dibawa ke dalam greenhouse.

Page 102: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

77 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

5. Plantlet dikeluarkan dari botol, dibersihkan dari media agar yang menempel, disterilisasi

dalam larutan fungisida konsentrasi 1 gram/liter, kemudian dibilas dengan air bersih.

6. Plantlet dan krokot ditanam dalam satu polybag, kemudian disungkup menggunakan plastik

bening.

7. Pemeliharaan plantlet dilakukan dengan cara menjaga kelembaban dan temperatur udara di

dalam sungkup. Kelembaban harus dipertahankan tetap tinggi (diatas 90%), apabila

kelembaban menurun dilakukan pengabutan dengan cara penyemprotan air menggunakan

sprayer. Temperatur udara didalam sungkup dipertahankan tidak terlampau tinggi

(maksimum 25°C), apabila terlampau tinggi, sungkup dibuka sebagian agar temperatur

turun kembali.

8. Setelah bibit dalam polybag dipelihara di dalam greenhouse selama 1 bulan, sungkup

dibuka, kemudian 1 bulan kemudian bibit yang tumbuh dipindah ke bedengan-bedengan di

persemaian yang dinaungi dengan sungkup permanen supaya terhindar dari air hujan selama

penyapihan.

9. Untuk keperluan kebun pangkas, bibit di persemaian dipelihara dengan cara menyiram

secara kontinyu dan membersihkan gulma yang tumbuh. Apabila bibit sudah tumbuh

sampai tersedia 5-6 internodia, maka bibit siap dipangkas untuk diambil bahan stek pucuk.

10. Apabila bibit ditujukan untuk penanaman lapangan, tanaman inang sekunder yang berupa

Acacia vilosa harus ditanam terlebih dahulu di lapangan. Apabila tanaman inang sekunder

telah berumur 1 tahun atau fungsi naungannya sudah memadai baru bibit cendana ditanam

di sampingnya.

11. Bibit cendana yang siap tanam adalah bibit yang minimal telah mencapai tinggi 50 cm atau

telah berumur 1 tahun. Selama pemeliharaan di persemaian naungan plastik secara bertahap

dibuka, sampai bibit mampu beradaptasi dengan lingkungan di luar atau di lapangan.

Page 103: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

78 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Tahap Aklimatisasi secara lengkap dapat dilihat dalam bagan dibawah ini :

Plantlet Cendana Aklimatisasi ke-1 (media pasir merapi)

Bibit cendana di persemaian Aklimatisasi ke-2 Siaptanam di lapangan umur (media top soil + pupuk organik/

± 1 tahun kompos + arang sekam + pasir) 3 : 1 : 1 : 1

A. MEDIA TANAM

Salah satu ciri media tanam yang baik adalah strukturnya gembur, sehingga akar tanaman

dapat tumbuh dengan baik. Dengan terpenuhinya faktor-faktor penting pada media tanam maka

pertumbuhan dan perkembangan tanaman tidak terhambat. Fungsi tanah dalam mendukung

kehidupan tanaman adalah memberikan unsur hara baik sebagai media perakaran maupun

menyediakan air, dan sebagai tempat bertumpu untuk tegaknya tanaman. Banyak cara yang

diusahakan oleh manusia untuk mempertahankan produktivitas tanah, diantaranya dengan

pemupukan.

Pertumbuhan akar akan sempurna apabila didukung oleh aerasi dan drainase media tanam

yang baik. Sirkulasi dan ketersediaan udara yang memadai sangat dibutuhkan oleh sel-sel akar

untuk bernafas. Kekurangan oksigen akan menyebabkan kematian akar (Anonim, 1986). Struktur

tanah yang baik menjadi salah satu faktor yang menentukan pertumbuhan akar bibit, maka tanah

dalam polybag diutamakan mengandung humus (bahan organik tinggi). Pada umumnya bibit

memerlukan tanah subur dengan struktur yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan akar

Page 104: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

79 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

yang masih muda (Rinsema, 1983). Struktur tanah yang dikehendaki oleh tanaman adalah struktur

tanah yang gembur yang di dalamnya terdapat pori-pori yang dapat diisi oleh air dan udara.

Keuntungan media berstruktur gembur adalah udara dan air dapar bersirkulasi secara lancar,

temperatur stabil, sehingga menstimulir pertumbuhan jasad renik tanah yang memegang peran

penting dalam proses perombakan bahan organik di dalam tanah (Lingga, 1993).

Kompos merupakan hasil perombakan bahan organik segar dari tanaman atau daun-

daunan baik sengaja dibuat, atau dari timbunan sampah organik di tempat sampah, yang sudah

berwarna hitam, sudah tidak dapat dilihat serat aslinya, dan sudah tidak panas karena proses

dekomposisinya telah selesai. Kompos sangat baik digunakan sebagai pencampur media tanam,

karena dapat mempengaruhi kesuburan tanah terutama pada sifat fisik, kimia, dan biologi tanah.

Kompos memperbaiki sifat fisik tanah melalui perubahan struktur, tekstur, dan peningkatan

porositas tanah. Selain itu, kompos juga mengandung unsur hara seperti N, P, K, Mg, Fe, Mn, S,

dan Cu sehingga memperbaiki sifat kimia tanah. Perbandingan C/N kompos rendah sehingga dapat

langsung digunakan untuk bahan media tanam. Jumlah populasi mikroorganisme tanah juga

meningkat akibat pemberian kompos (Suryadi, 1989).

Pasir merupakan media tanam yang berstruktur kasar tidak melekat, kapasitas air rendah,

dan penetrasi air cepat. Oleh karena itu, tanah berpasir memiliki drainase dan aerasi baik serta

biasanya sangat lepas. Karena kapasitas menahan airnya rendah, maka tanah pasir hanya baik

digunakan untuk media tumbuh selama akar belum dapat menyerap hara sendiri ( Hakim, 1989).

Media tanam pasir cukup baik bagi pertumbuhan akar karena sifatnya mudah basah dan cepat

kering. Untuk meningkatkan daya ikat air maka pasir perlu dicampur dengan media yang mampu

mempertahankan atau menyimpan air yang cukup, seperti tanah, kompos, atau arang sekam.

B. TANAMAN INANG

Cendana adalah tanaman yang bersifat hemiparasit. Akar-akarnya berhubungan dengan

akar-akar tanaman inang melalui organ yang disebut haustoria. Akar-akar ini menyalurkan zat

makanan yang diserap dari tanaman inang ke tajuk tanaman cendana. Zat yang diserap itu

kemudian diproses menjadi bahan nabati bagi pertumbuhan cendana. Sedangkan zat karbon yang

diperlukan dapat diusahakan sendiri (autotrop). Pada akar bibit cendana rambut-rambut akar sangat

terbatas sehingga langsung membutuhkan tanaman inang (inang primer dan inang sekunder)

(Sunanto, 1995).

Page 105: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

80 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Soeriamihardja et al. (1991) menjelaskan bahwa pertumbuhan semai cendana akan lebih

baik bila disertai dengan tanaman inang. Bahkan menurut Sunanto (1995), akan lebih baik bila

tanaman cendana ditanam bersama-sama dengan inang dalam 1 lubang. Cendana tidak menuntut

adanya jenis tanaman inang tertentu. Namun tanpa adanya tanaman inang (hospes), maka

kehidupan cendana akan merana.

Dengan perakaran yang bercabang banyak, cendana dapat menyusu pada berbagai pohon

inang sekaligus. Menurut Kharisma et al. (1998), dalam pemilihan inang primer perlu diperhatikan

kemampuannya membantu pertumbuhan cendana antara lain : tajuk kecil, akar sukulen, tidak

terjadi persaingan, mudah didapat, tidak berumur pendek, dan toleran terhadap pemangkasan.

Meskipun dapat berinang pada banyak jenis tanaman atau pohon, namun berdasarkan pengalaman

tanaman inang primer (ketika masih dalam persemaian) yang paling baik bagi pertumbuhan

cendana adalah Alternanthera sp, Deamanthus virgatus, dan Crotalaria juncea. Sedangkan

tanaman inang sekunder (ketika sudah ditanam di lapangan) yang paling baik bagi pertumbuhan

cendana adalah Acacia villosa.

Jika hubungan antara cendana dengan tanaman inangnya intensif, maka tajuk cendana

menjadi rimbun, daunnya lebih besar dan berwarna hijau tua; namun jika tanaman inang kurang

cocok maka tajuk tanaman cendana tidak rimbun, daunnya kecil-kecil, berwarna kekuning-

kuningan dan klorosis.

Hubungan akar cendana dengan akar tanaman inang tampak jelas yakni adanya suatu

bangunan serupa dengan bintil akar berisi bakteri yang disebut dengan haustoria. Susunan anatomi

haustoria dari luar ke dalam adalah : epidermis, kortex, dan inti.

C. PENUTUP

Aklimatisasi dimaksudkan agar tanaman secara bertahap diadaptasikan terhadap

faktor-faktor lingkungan di lapangan. Salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap

pertumbuhan tanaman dan sering menjadi faktor pembatas adalah intensitas cahaya. Intensitas

cahaya adalah banyaknya energi cahaya yang diterima oleh tanaman per satuan luas per satuan

waktu. Intensitas cahaya matahari meningkat sejak pagi hari, dari minimum ke maksimum pada

siang hari dan kemudian menurun lagi pada sore harinya.

Untuk dapat mencapai pertumbuhan cendana yang baik dan optimal maka keberadaan

tanaman inang mutlak diperlukan. Keberadaan tanaman inang membantu tanaman cendana dalam

mensuplai air dan nutrisi yang lain. Dengan demikian kebutuhan air oleh tanaman cendana selain

Page 106: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

81 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

diperoleh melalui kemampuan fisiologis sistem perakarannya dalam menyerap air, juga ditunjang

oleh kemampuannya menyerap air dari tanaman inang.

Pertumbuhan akar akan sempurna apabila didukung oleh aerasi dan drainase media

tanam yang baik. Sirkulasi dan ketersediaan udara yang memadai sangat dibutuhkan oleh sel-sel

akar untuk bernafas. Kekurangan oksigen akan menyebabkan kematian akar (root dieback).

Pengaturan yang berjalan lancar akan mendukung akar tanaman leluasa bernafas, memberi

kesempatan baik bagi akar untuk menyerap hara makanan dan menghindarkan akar dari serangan

penyakit busuk akar/busuk batang (Agoes, 1994).

IV. EMBRIOGENESIS SOMATIK PADA CENDANA (Santalum album L.)

A. BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di laboratorium Kultur Jaringan Balai Besar Penelitian

Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (B2PBPTH), Yogyakarta pada bulan September 2008

sampai Agustus 2009. Bahan tanaman yang digunakan adalah eksplan bagian daun berasal dari

tanaman umur 4 tahun klon nomor WS6 hasil perbanyakan tunas menggunakan teknik axillary bud

kultur yang sumbernya berasal dari Oenlasi, P. Timor, NTT yang ditanam dalam areal plot

konservasi genetik di Watusipat, Gunungkidul, dan eksplan daun dari kebun pangkas cendana umur

3 tahun yang berasal dari 4 klon, yaitu klon nomor C10 dan nomor C17 adalah klon-klon yang

berasal dari Dusun Candi, Karangmojo, Gunungkidul; klon WS8 adalah klon yang berasal dari

anakan alam yang tumbuh di Watusipat, Gunungkidul dan klon C5505 adalah klon cendana yang

berasal dari Desa Werena, Kecamatan Wewewa Barat, Kabupaten Sumba Barat, NTT.

Daun yang sudah dipilih disterilisasi larutan fungisida Antracol 70 WP selama 15

menit, kemudian dibilas air kran dan di sterilisasi larutan detergen selama 15 menit, lalu dibilas

larutan aquadest. Di dalam laminar eksplan di sterilisasi larutan alkohol 70 % selama 1 menit,

kemudian dibilas larutan aquadest steril, selanjutnya di sterilisasi larutan bayclean yang

mengandung sodium hipoklorit 1,5 % dan diberi 3 tetes larutan tween 20, setelah dibilas larutan

aquadest steril pinggiran daun diiris lalu dipotong menjadi 2 bagian dengan ukuran 0,5 – 1 cm2.

Potongan daun kemudian ditanam terbalik dalam media perlakuan induksi embrio somatik.

Sedangkan eksplan daun hasil perbanyakan tunas, tanpa tahap sterilisasi langsung ditanam dalam

media induksi embryogenesis somatik.

Pada tahap induksi embrio somatik digunakan 2 kelompok media, kelompok ke-1

untuk eksplan daun hasil perbanyakan tunas menggunakan teknik axillary bud kultur digunakan

a b

Page 107: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

82 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

media MS + BAP 1 mg/l + NAA 0,01 mg/l + Kinetin 0,15 mg/l + gula 30 g/l (MSC). Kelompok

ke-2 untuk eksplan daun yang berasal dari kebun pangkas, pada media MS + 0,5 mg/l 2,4 D + 0,15

mg/l Kinetin + sucrose 40 g/l (A); MS + 0,5 mg/l 2,4 D + 0,15 mg/l Kinetin + sucrose 40 g/l + air

kelapa 100 ml (B); MS + 1 mg/l 2,4 D + 0,15 mg/l Kinetin + sucrose 40 g/l (C); MS + 1 mg/l 2,4 D

+ 0,15 mg/l Kinetin + sucrose 40 g/l + air kelapa 100 ml (D); Pada tahap pembentukan embrio

somatik sekunder digunakan 3 jenis media, yang pertama menggunakan media MS + 0,25 mg/l

2,4D + 0,1 mg/l Kinetin + sucrose 40 g/l (CND); kedua menggunakan media MS + Kinetin 0,1

mg/l + Sucrosa 40 g/l (CND1); dan ketiga menggunakan media MS + Sucrosa 40 g/l (CND2). Pada

kelompok ke-2 tahap pembentukan embrio somatik sekunder digunakan 4 jenis media yaitu media

A; B; C; dan D. Pada tahap perkecambahan/pembentukan plantlet media yang digunakan MS +

BAP 1 mg/l + NAA 0,01 mg/l + Kinetin 0,15 mg/l. Tahap perakaran digunakan media GD + 20

mg/l IBA + IAA 0,1 mg/l + Kinetin 0,15 mg/l. Pada media MS digunakan bahan pemadat berupa

agar-agar dengan konsentrasi 8 g/l, dan untuk media GD digunakan agar-agar sebanyak 12 g/l.

Kemudian pH media ditetapkan menjadi 5,6 -5,8 dengan menambahkan 1 N NaOH atau 1 N HCl

selanjutnya media dsterilisasi menggunakan autoclave pada suhu 121o C dan tekanan 1,5 Kg/Cm2

selama 20 menit. Daun yang telah ditanam kemudian diikubasi dalam ruang gelap dengan suhu 250

C , kelembaban 67 % dan intensitas cahaya 0 %.

Mulai fase globular (pro-embrio) sampai ke fase terbentuknya torpedo dianalisis

secara morfologis , antara lain : warna; struktur embrio; dll, dan analisis secara sitologis yaitu

identifikasi pada tahap pembentukan sel embriogenik menggunakan mikroscope.

B. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Daun yang sudah disterilisasi lalu diiris dan dipotong dengan hati-hati karena pada

tulang daun terdapat jaringan pengangkut ( silem dan floem) yang akan memberikan respon

sehingga akan tumbuh kalus. Pada penelitian ini posisi daun yang ditanam dengan posisi dibalik

maksudnya adalah agar tulang daun terbuka. Penelitian ini dilakukan 2 tahap. Pada tahap pertama

eksplan daun ditanam dalam media MSC setelah diinkubasi pada kondisi gelap selama 3 bulan,

kalus globular mulai tumbuh, kemudian eksplan dipindah dalam media CND; CND1; dan CND2,

setelah diinkubasi di ruang gelap selama 3 bulan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 1 dan Grafik 1

berikut ini.

Page 108: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

83 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

Tabel 1. Pengaruh Penggunaan ZPT 2,4 D dalam Media MS Terhadap Pembentukan Embrio Somatik Sekunder dari Eksplan Daun Cendana Setelah 12 Minggu

Media Kode Persentase embrio somatik (%)

MS + 0,25 mg/l 2,4D + 0,1 mg/l Kinetin + sucrose 40 g/l

CND 20

MS + 0,1 mg/l Kinetin + sucrose 40 g/l

CND1 15

MS + sucrose 40 g/l CND2 43

Grafik 1. Pengaruh Penggunaan ZPT 2,4 D dalam Media MS Terhadap Pembentukan Embrio Somatik Sekunder dari Eksplan Daun Cendana Setelah 12 Minggu

05

1015202530354045

Pers

enta

se E

mbr

io S

omat

ik

(%) Media CND

Media CND1Media CND2

Hasil sub kultur kedua untuk meningkatkan pembentukan embrio somatik sekunder

menunjukkan bahwa kalus yang dipindah ke media CND2 ( media MS dengan sucrosa 40 g/l tanpa

pemberian zat pengatur tumbuh) memberikan respon yang sangat baik, dimana dari 7 petridish

yang di sub-kultur sebanyak 3 petridish memberikan respon pertumbuhan kalus embrio-genik yang

sangat banyak. Sedangkan 3 petridish kering dan mati, serta 1 petridish terkontaminasi. Hal ini

memberikan informasi bahwa pada tahap pendewasaan penggunaan 2,4 D harus dikurangi bahkan

dihilangkan, kalaupun masih menggunakan sitokinin biasanya digunakan kinetin, itupun dengan

konsentrasi yang sangat kecil. Hasil pengamatan morfologis dengan melihat warna menunjukkan

bahwa warna kuning kehijauan dan jernih (glossy) serta strukturnya yang remah, kumpulan kalus

embriogenik nya jika di sentuh mudah terurai. Bahkan pada tahap ini sudah terbentuk fase hati

(heart). Dari fase hati yang sudah terbentuk selanjutnya dipindah/di sub-kultur ke dalam media

yang sama yaitu media CND2 tujuannya untuk menggandakan kalus yang terbentuk dan untuk

merangsang pembentukan fase berikutnya atau fase torpedo, tiap sub-kultur dibutuhkan waktu 2- 3

bulan. Setelah sub-kultur ke-3 atau kalus sudah berumur ± 9 bulan mulai tumbuh fase hati (heart).

Media

Page 109: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

84 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Untuk menggandakan kalus embrio-genik dan menghasilkan fase torpedo, maka kalus di sub-kultur

lagi ke dalam media yang sama, setelah fase torpedo terbentuk lalu dipindah ke dalam media MSC

untuk perkecambahan. Pada fase ini nampak bahwa kalus saling tumpang tindih dan tidak terjadi

desikasi, dengan demikian hanya 5441 kalus yang membentuk fase torpedo, bahkan setelah

dikecambahkan fase bipolar yang terbentuk (terbentuknya meristem akar dan meristem tunas)

sangat rendah yaitu sebanyak 234 buah (4,43%) sedangkan sisanya membentuk tunas adventif.

Terbentuknya tunas adventif ini kemungkinan disebabkan karena kesalahan dalam penggunaan

jenis dan konsentrasi ZPT. Selanjutnya tunas-tunas adventif yang tumbuh di sub-kultur agar

berkembang menjadi tunas majemuk. Dari tunas-tunas majemuk yang sudah cukup dewasa

selanjutnya di induksi ke dalam media perakaran yaitu media dasar GD + IBA 20 mg/l + IAA 0,1

mg/l dan Kinetin 0,15 mg/l, hasil perakarannya masih rendah yaitu sebesar 3 %. Dari hasil

penelitian ini diperoleh data kondisi kultur sebagai berikut kondisi ruang gelap yang digunakan

untuk fase penumbuhan kalus awal dengan suhu 250C, kelembaban 67 %, dan intensitas cahaya 0

lux, kemudian ruang pendewasaan suhu 240C - 250C, kelembaban 69 – 70 %, dan intensitas cahaya

150 lux. Serta kondisi lingkungan ruang perkecambahan suhu 260C, kelembaban 67 %, dan

intensitas cahaya 1700 - 2000 lux.

Untuk lebih jelasnya hasil induksi embrio somatik primer sampai sekunder dan

tahapan perkecambahan dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3 berikut ini.

Gambar 2. Pembentukan embrio somatik dari eksplan daun hasil kultur tunas aksiler. a=potongan daun sebagai eksplan; b=fase globular; c=fase hati (heart); d=fase torpedo; e= konfigurasi kotiledon embrio somatik

a b c

d e

Page 110: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

85 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

Gambar 3. Tahap perkecambahan (a) dan (b) ; dan plantlet cendana yang terbentuk (c)

Pada tahap kedua eksplan daun berasal dari 4 klon sebagai perlakuan, setelah diinkubasi pada

kondisi gelap selama 8 minggu, hasilnya dapat dilihat pada Tabel 2 dan Grafik 2.

Tabel 2. Pengaruh Klon Terhadap Pembentukan Embrio Somatik dari Eksplan Daun Cendana Setelah 8 Minggu

Klon Persentase embrio somatik (%) Potongan daun pertama Potongan daun kedua

C10 2,5 2,5 C17 2,5 2,5 WS8 5 2,5

C5505 10 15

Grafik 2. Pengaruh Klon Terhadap Pembentukan Embrio Somatik dari Eksplan Daun Cendana Setelah 8 Minggu

0

5

10

15

20

25

Pers

enta

se e

mbr

ioso

mat

ik (%

)

1

Klon

Klon C10Klon C17Klon WS8Klon C5505

Dalam penelitian ini menggunakan 4 jenis klon, 2 bagian eksplan daun; 4 perlakuan

kombinasi zat pengatur tumbuh; dengan ulangan tiap kombinasi perlakuan sebanyak 5 buah,

dengan demikian masing-masing klon menggunakan 40 buah sampel. Total sampel 160 buah. Hasil

pengamatan dan pengukuran dari total sampel sebanyak 160 buah, eksplan yang berkalus sebanyak

75 buah ( 47 %); terbentuknya kalus ini sebagai akibat dari terjadinya dediferensiasi atau stres pada

a b c

Page 111: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

86 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

eksplan daun yang mengakibatkan tumbuh kalus pada permukaannya. Kemudian dari ke 75 eksplan

daun yang berkalus tersebut, dapat dirinci sebagai berikut, dari klon C10 eksplan yang berkalus

sebanyak 20 buah ( 50%); dari klon C17 eksplan yang berkalus sebanyak 9 buah ( 22,5 %); dari

klon WS8 eksplan yang berkalus sebanyak 15 buah ( 37,5 %); dan dari klon 5505 eksplan yang

berkalus sebanyak 32 buah ( 80 %). Kemudian dari sampel berkalus tersebut yang berkembang

membentuk kalus yang embrio-genik sebanyak 17 buah (11 %); lebih jelasnya dari klon C10

sebanyak 2 buah ( 5 % ); klon C17 sebanyak 2 buah ( 5 % ); klon WS8 sebanyak 3 buah ( 8 % );

dan klon 5505 sebanyak 10 buah ( 25 % ). Tanda-tanda kalus yang embrio-genik adalah warna

umumnya putih bersih, kuning, bahkan sampai krem muda kehijauan dengan struktur jernih

(glossy) serta remah yang artinya kalus yang embrio-genik itu dapat dicerai-berai .

Pada tahap kedua eksplan daun ditanam dalam 4 macam perlakuan media MS, setelah

diinkubasi pada kondisi gelap selama 8 minggu, hasilnya dapat dilihat pada Tabel 3 dan Grafik 3.

Tabel 3. Pengaruh Konsentrasi 2,4 D dalam Media MS Terhadap Pembentukan Embrio Somatik dari Eksplan Daun Cendana Setelah 8 Minggu

Konsentrasi 2,4 D (mg/l) Persentase embrio somatik (%) Potongan daun pertama Potongan daun kedua

MS + 2,4 D 0,5 mg/l (A) 2,5 7,5 MS + 2,4 D 0,5 mg/l + air kelapa 100 ml (B)

0 0

MS + 2,4 D 1 mg/l (C) 15 13 MS + 2,4 D 1 mg/l + air kelapa 100 ml (D)

2,5 2,5

Grafik 3. Pengaruh Konsentrasi 2,4 D dalam Media MS terhadap Pembentukan Embrio Somatik dari Eksplan Daun Cendana Setelah 8 Minggu.

0

5

10

15

20

25

30

Pers

enta

se E

mbr

io

Som

atik

(%)

Media AMedia BMedia CMedia D

Dari ke- 17 kalus embrio-genik yang terbentuk, terbukti bahwa media C memberikan

pengaruh terbaik dimana mampu membentuk kalus embrio-genik sebanyak 11 buah sampel ( 28

Media

Page 112: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

87 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

%), dari data yang diperoleh dimana klon 5505 dan ZPT 2,4 D 1 mg/l memberikan respon yang

terbaik terhadap pembentukan dan perkembangan kalus embrio-genik pada tanaman cendana.

Dengan demikian media C dengan berbagai modifikasi hara penyusun media MS diprioritaskan

untuk digunakan dalam tahap tahap peremajaan yaitu sub-kultur dengan tujuan agar fase embrio-

genik dapat tumbuh dan berkembang berlipat ganda dan untuk menumbuhkan fase berikutnya yaitu

fase hati (heart). Sampai dengan paper ini dibuat penelitian masih dalam pengamatan. Dari

penelitian ini diperoleh data bahwa eksplan daun yang tidak memberikan respon terhadap

pertumbuhan dan perkembangan kalus sebanyak 66 sampel daun, atau sebesar 41 % dan yang

kontaminasi sebanyak 19 sampel daun atau sebesar 12 %. Rendahnya tingkat kontaminasi

disebabkan karena rumah kaca sebagai ruang isolasi ke-4 klon cendana yang dikulturkan terjaga

kebersihannya, juga eksplan yang diambil sebagai materi penelitian benar-benar bersih dan bebas

hama dan penyakit, serta tahap sterilisasi menggunakan bahan dan konsentrasi yang tepat. Eksplan

yang telah membentuk kalus embrio-genik tersebut, setelah diamati menggunakan mikroskope

Merk Nikon Eclipse 50e dengan pembesaran 20 x, nampak bahwa fase globular (pro-embrio)

sudah terbentuk hal ini dapat dibuktikan dengan melihat bagian protodermnya yang melingkar

sempurnya, hal ini menandakan bahwa faktor eksternal terutama dari ZPT yang digunakanan dapat

diminimalisir. Hasil pengamatan diperoleh data penunjang lainnya yaitu kondisi ruang gelap yang

digunakan untuk fase penumbuhan kalus awal adalah dengan suhu 250C, kelembaban 67 %, dan

intensitas cahaya 0 lux, kemudian ruang pendewasaan suhu 240C - 250C, kelembaban 69 – 70 %,

dan intensitas cahaya 150 lux.

Sukmadjaya (2005) melaporkan bahwa keberhasilan regenerasi melalui embriogenesis

somatik dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain formulasi media dan jenis eksplan yang

digunakan. Eksplan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bagian daun, karena daun adalah

salah satu eksplan yang bersifat meristematik dan mudah untuk disterilisasi. Secara anatomis pada

tulang daun terdapat kambium yang letaknya diantara silem dan floem, dengan mengiris bagian

pinggir daun , kambium yang terdapat dalam tulang daun setelah dikulturkan akan bereaksi dan

berkembang merekah lalu membentuk kalus. Dalam penelitian ini penanaman daun dalam posisi

dibalik maksudnya adalah agar tulang daun terbuka. Selanjutnya terbukti bahwa media MS

memberikan respon yang baik terhadap pertumbuhan dan perkembangan kalus cendana, hal ini

disebabkan karena media dasar MS mengandung formula garam-garam organik merupakan media

yang paling efektif untuk berbagai jenis tanaman berkayu dan tanaman herbaceous. Media MS

dipakai karena unsur-unsur dan persenyawaannya lebih lengkap (Suryowinoto, 1991).

Keistimewaan medium ini adalah kandungan nitrat, kalium dan amoniumnya yang tinggi. Untuk

menjamin pertumbuhan tanaman ke dalam media perlu ditambahkan zat pengatur tumbuh (ZPT).

Page 113: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

88 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

ZPT pada tanaman adalah hormon termasuk senyawa organik yang bukan hara (nutrient) yang

dalam jumlah sedikit dapat mendukung (promote), menghambat (inhibit) dan merubah proses

fisiologis (Kusumo, 1984). Dalam penelitian ini pemberian 2,4 D tujuannya agar eksplan daun stres

sehingga terjadi dediferensiasi, sebaliknya terjadi proliferasi membentuk kalus embrio-genik yang

tumbuh pada pinggiran daun.

Dalam jenis media apapun karbohidrat terutama sukrosa merupakan komponen yang

selalu ada, menurut George (1993) sucrosa mengandung karbon yang terbaik dibanding glukosa,

maltosa, dan rafinosa. Hasil penelitian Srilestari (2005) pada tanaman kacang tanah diketahui

bahwa media MS yang mengandung sucrosa 40 g/l dapat memunculkan embrio lebih cepat

dibandingkan media yang mengandung sucrosa 20 dan 30 g/l. Media kultur jaringan tanaman tidak

hanya menyediakan unsur hara makro dan mikro tetapi juga karbohidrat yang pada umumnya

berupa gula. Gula merupakan sumber karbon, juga berguna untuk mempertahankan tekanan

osmotik media. Sebagai pengganti karbon yang biasanya didapat tanaman dari atmosfer dalam

bentuk CO2 yang menjadi komponen untuk fotosintesa (Gunawan, 1988).

C. KESIMPULAN

1. Penggunaan eksplan bagian daun baik yang berasal dari hasil perbanyakan kultur tunas

aksiler maupun yang berasal dari kebun pangkas ternyata mampu memberikan respon yang

sangat baik, bahkan pada penelitian kedua yang menggunakan eksplan daun dari kebun

pangkas diperoleh persentase daun yang berkalus sebesar 47 %.

2. Media MS dan ZPT 2,4 D dengan konsentrasi 1 mg/l dan sucrosa dengan konsentrasi 40 g/l

memberikan respon terbaik dalam pembentukan kalus embrio-genik, bahkan semua

tahapan embriogenesis somatik yg spesifik mulai dari induksi sel, kalus embrio-genik, fase

globular, hati, sampai fase torpedo dapat dicapai dengan baik.

3. Pada tahap perkecambahan fase bipolar yang terbentuk (terbentuknya meristem akar dan

meristem tunas) sangat rendah yaitu sebanyak 234 buah (4,43%), sebagian besar

membentuk tunas adventif . Tunas adventif yang terbentuk dapat di sub-kultur lebih lanjut

untuk dimultiplikasi dan tunas-tunas yang telah dewasa dapat digunakan sebagai materi

untuk teknik stek mini di rumah kaca.

Page 114: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

89 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1986. Pedoman Teknik Intensifikasi/Ekstensifikasi Tanaman Coklat. Dinas Perkebunan. Anonimus, 1991. Bioteknologi Tanaman. Tim Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman. Pusat Antar Universitas.

Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Hal 35-80. Agoes, S.D. 1994. Aneka Jenis Media Tanam dan Penggunaannya. Penebar Swadaya, Jakarta. 98 hal. Baroncelly S. M. Buiatti and A. Bennici, 1973. Genetic of Growth and Differentiation In-vitro of Brassica oleracea var.

Botrytis. Pp 99-107. Dwidjoseputro, D. 1988. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Gramedia. Jakarta. Darmokusumo, S. dan Nugroho, A.A. 2001. Upaya Memperluas Kawasan Ekonomi Cendana di Propinsi Nusa

Tenggara Timur. Seminar Nasional “ Kajian Terhadap Tanaman Cendana Sebagai Komoditi Utama Perekonomian NTT Menuju Otonomisasi”. Berita Biologi. Vol 5., No. 5. 2001: 507-508.

George E.F., 1993. Plant Propagation by Tissue Culture Part.1. Exegetic Ltd, Edington Wills, BA 134 QG, England. Page 183-188.

Gunawan, L.W., 1987. Teknik Kultur Jaringan. Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman, Pusat Antar Universitas (PAU) Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Gaspar, T.H., and M, Coumans, 1994. Root Formation. Physiological Ecology of Forest Production on Micro-propagation of Forest Tree Through Tissue Culture. Institute for Forestry and Nature Research (IBN-DLO), Netherland.

Hammerschlah, F, 1982. Factor Affecting Establishment and Growth of Peach Shoot In-vitro.Hort, Science. Pp 85-86. Hakim . 1989. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung, Lampung. 655 hal. Herawan T., and Yenih Husnaeni, 1996. Initial Kultur Cendana Menggunakan Media MS . Ekpose Hasil-Hasil

Penelitian dan Pengembangan Pemuliaan Benih Tanaman Hutan, Yogyakarta. Herawan T, M. Na’iem dan Gogoh Sulaksono, 2003. Pengaruh Penggunaan Media dan Zat Pengatur Tumbuh Pada

Perbanyakan Cendana (Santalum album) Secara Kultur Jaringan. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan. Vol 1 No. 2, Agustus 2003.

Harisetijono. 2003. Kebijakan Pengelolaan Cendana di NTT (refleksi dan rekomendasi kebijakan pengelolaan cendana yang lestari). Promosi Hasil Hasil Penelitian dan Temukarya Cendana. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara.

Indrowuryatno., 1985. Meteorologi dan Klimatologi Pertanian. Sebelas Maret University Press. Surakarta. Kusumo, S. 1990. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman, CV Yasaguna. Bogor. Kharisma dan Soeriamihardja. 1998. Pengaruh Jenis Inang Terhadap Pertumbuhan Semai Cendana (Santalum album

L.). Santalum 2. Balai Penelitian Kehutanan. Kupang. Kharisma dan Dedi Setiadi., 2002. Variasi Pertumbuhan Semai Cendana (Santalum album L.) Dari Beberapa Sumber

Benih. Bulletin Penelitian Pemuliaan Pohon. Vol 6. No.2. Loveless, A.R. 1987. Prinsip-prinsip Biologi Tumbuhan Untuk Daerah Tropik. Gramedia. Jakarta. Lingga, P. 1993. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya. Yogyakarta, 163 hal. Mc Comc J.A. and I.J. Bennent., 1982. Vegetative Propagation of Eucalyptus Using Tissue Culture and Its Application

to Forest Improvement in Western Australia . pp 721-722. Manan, E.M. 1982. Klimatologi Dasar. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Martin, 2003. Survival Rates During Acclimatization of Micropropagated Fruit Tree Rootstock by Increasing

Exposures to Low Relatively Humidity. Proceeding International Symposium on Acclimatization and Establishment of Micropropagated Plant. Editors : A.S. Economou, P.E. Read. Sani-Halkidiki, Macedonia, Greece.

Purnamaningsih, R. 2002. Regenerasi Tanaman melalui Embriogenesis Somatik dan Beberapa Gen yang Mengendalikannya. Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian. Buletin Agro-Bio 5(2). 51-58. Bogor.

Roco, W.M., N.O. Espinosa, M.R. Roca., and J.E. Bryan., 1978. Tissue Culture Method For The Rapid Propagation of Potatoes. Am. Pot. J. 55, 691-701.

Rinsema, W.J. 1983. Pupuk dan Cara Pemupukan. Bharata Karya Aksara. Jakarta. 25 hal.

Page 115: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

90 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Suryadi. 1989. A Manual of Rural Compositing Project Field Document FA 7770. UNO Roam. Suryowinoto, M. 1991. Pemuliaan Tanaman Secara In-Vitro. Kerjasama Pusat Antar Universitas-Bioteknologi,

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Soeriamihardja S., Surata I.K., dan Kharisma. 1991. Pengaruh Varietas, Pupuk Urea, dan Inang Terhadap Pertumbuhan

Semai Cendana (Santalum album L.). Santalum 6. 1-9. Sunanto, H. 1995. Budidaya Cendana, Kanisius, Yogyakarta. 65 hal. Supari, D.H., 1999. Tuntunan Membangun Agribisnis. Edisi Pertama. Elex Media Computindo. Kelompok Gramedia.

Jakarta. 29 – 39. Surata, I.K. dan Idris, M.M. 2001. Status Penelitian Cendana di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Seminar Nasional “

Kajian Terhadap Tanaman Cendana Sebagai Komoditi Utama Perekonomian NTT Menuju Otonomisasi”. Berita Biologi. Vol 5., No. 5. 2001: 521-535.

Srilestari, R. 2005. Induksi Embrio Somatik Kacang Tanah Pada Berbagai Macam Vitamin dan Sucrosa. Ilmu Pertanian Vol. 12 No. 1, 2005 : 43-50.

Sukmadjaya, D. 2005. Embriogenesis Langsung Pada Tanaman Cendana. Jurnal Bioteknologi Pertanian, Vol. 10, No. 1. 2005 : 1-6.

Umboh, M.I.J., dan H., Kamil., 1987. Root Induction of Santalum album by Using IBA and NAA. Seameo-Biotrop, Bogor.

Vertesy J., dan Balla, 2003. Acclimation of Woody Plants Under Continental Climatic Conditions. Proceeding International Symposium on Acclimatization and Establishment of Micropropagated Plant. Editors : A.S. Economou, P.E. Read. Sani-Halkidiki, Macedonia, Greece.

Zobel, B., and J. Talbert., 1984. Variation and Its Use In Applied Forest Tree Improvement. North Carolina State University. Pp 39-75.

Page 116: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

91 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

IDENTIFIKASI TETUA UNGGUL DI KEBUN BENIH Acacia mangium

ILG. Nurtjahjaningsih

Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15 Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta

E-mail : [email protected]

ABSTRAK Untuk memenuhi kebutuhan bibit unggul, strategi pemuliaan jenis Acacia mangium sebagai salah jenis

prioritas kayu pulp, sudah ditetapkan dengan dibangunnya uji keturunan yang telah dikonversi menjadi kebun benih. Namun demikian, dalam evaluasi pertumbuhannya terlihat variasi yang nyata dan didominasi oleh famili-famili tertentu saja. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi genetik dan untuk mengidentifikasi pasangan tetua di kebun benih Acacia mangium yang menghasilkan turunan dengan pertumbuhan superior. Identifikasi tetua dilakukan di kebun benih semai uji keturunan (KBSUK) generasi pertama (F1) sistem sub galur (grup C) dan populasi tunggal (grup E), yang menghasilkan keturunan unggul di KBSUK generasi kedua (F2) grup C (half-sib) dan Uji multi lokasi (UML) F1 plot E (bulk). Keragaman genetik 15 populasi di KBSUK F1 grup E dianalisis menggunakan 10 penanda SSR. Nei’s heterosigositas total populasi A. mangium termasuk dalam kategori tinggi (Ht: 0,785) dan nilai perbedaan genetik termasuk sedang (GST=0,095). Sebuah dendrogram maupun analisis PCO menunjukkan pembagian secara nyata antara 2 provenan yaitu QLD dan PNG. Analisis Amova menunjukkan bahwa meskipun kontribusi antar populasi didalam provenan terhadap keragaman genetik hanya 4% namun nilainya signifikan. Kemampuan penanda SSR dalam membedakan allele tetua cukup tinggi (NE-PP=0,0000001). Analisis tetua menunjukkan bahwa anakan unggul half-sib di KBSUK F2 grup C cenderung mempunyai tetua jantan yang berbeda-beda. Hal yang sama juga ditunjukkan di UML plot E: meskipun beberapa anakan mempunyai tetua betina yang sama namun berpasangan dengan tetua jantan yang berbeda-beda. Pendekatan manajemen kebun benih yang harus ditempuh untuk meningkatkan efektifitas kebun benih dalam rangka menghasilkan benih unggul akan dibahas. Kata kunci: keragaman genetik, analisis tetua, uji keturunan, uji multi lokasi, penanda SSR

I. PENDAHULUAN

Acacia mangium merupakan jenis cepat tumbuh dan termasuk jenis hutan tanaman yang

diprioritaskan, karena jenis ini mempunyai karakter pertumbuhan yang superior seperti sifat yang

cepat tumbuh, mempunyai adaptabilitas yang tinggi dan mempunyai kualitas yang baik untuk pulp

dan material untuk kertas. Hutan tanaman A. mangium di Indonesia dibangun terutama untuk

memenuhi kebutuhan bahan baku kertas (pulp). Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan bibit

unggul untuk mendukung hutan pertanaman diperlukan suatu strategi pemuliaan A. mangium.

Upaya untuk memperoleh benih berkualitas dalam jumlah cukup, strategi pemuliaan jenis prioritas

kayu pulp ini telah ditetapkan dengan dibangunnya uji keturunan yang dikonversi menjadi Kebun

Benih Semai (KBS) sejak tahun 1994 (Arif dkk,2004).

Page 117: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

92 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Hingga saat ini, strategi pemuliaan A. mangium sudah mencapai generasi ke-3 dimana materi

genetik akan diperoleh dari generasi ke-2 KBSUK. Selain itu, apabila sudah diketahui klon dengan

kualitas genetik yang superior maka akan dibangun Kebun Benih Klon. Benih untuk pembangunan

Kebun Benih Semai Uji keturunan (KBSUK) F2 berasal dari penyerbukan terbuka half-sib F1

sedangkan benih untuk pembangunan Uji Multi Lokasi (UML) / gain trial F1 berasal dari

penyerbukan terbuka F1 tanpa informasi genetik tetuanya. Hasil evaluasi terhadap pertumbuhan

baik dalam dan antar lokasi kebun benih uji keturunan maupun UML tersebut menunjukkan adanya

variasi phenotipik, dimana ada individu dengan kategori pohon plus dan indikasi pohon hibrid

secara morphologis. Selain itu, pohon plus F2 ini hanya didominasi oleh famili-famili tertentu saja.

Untuk memberikan hasil yang lebih akurat terhadap identifikasi tetua yang menghasilkan

pohon plus dan hybrid tersebut, maka perlu mengidentifikasi pasangan tetua unggul secara genetik

menggunakan penanda SSR (simple sequence repeat). Analisa tetua menggunakan penanda SSR

memberikan informasi yang akurat terhadap pasangan-pasangan gamet tetua yang berkontribusi

pada suatu sistem perkawinan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi genetik dan untuk mengidentifikasi

pasangan tetua di kebun benih Acacia mangium yang menghasilkan turunan dengan pertumbuhan

superior.

II. BAHAN DAN METODE

A. Lokasi Penelitian dan pengambilan sampel

Untuk mengetahui potensi keragaman genetik A. mangium, sampel daun dikumpulkan dari

semua pohon plus di KBSUK F1 grup E yang terletak di Wonogiri (Jateng). Grup E tersebut

merupakan populasi tunggal terdiri dari 7 populasi dari provenan Queensland (QLD) dan 8

populasi dari provenan Papua New Guinea (PNG) (Gambar 1). Tujuh populasi tersebut yaitu 135k

nne coen, Claudie River (Ex Aceb), Claudie river, Claudie River & Iron RA, Cassowary CK-Iron

Range, Pascoe rvr area, dan Poscoe river. Delapan populasi tersebut yaitu Arufi village wp,

Page 118: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

93 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

Derideri e morehead, Biote ne Morehead wp, Gubam ne morehead wp, Bimadebun Wp, Kini Wp,

Wipim district wp dan Dimisisi. Sampel daun berkisar antara 45 sampai 108 per populasi sehingga

total sampel sebanyak 1147 sampel.

Gambar 1. Lokasi pengambilan materi genetik untuk pembangunan uji keturunan A. mangium grup E

Keterangan: :provenan PNG, : provenan QLD

Identifikasi tetua unggul dilakukan di KBSUK F1 A. mangium grup C (sub galur) terletak di

Pleihari (Kalsel) dan grup E (populasi tunggal) terletak di Wonogiri, masing-masing merupakan

tetua dari pohon plus yang ada di KBSUK F2 grup C terletak di Batu Ampar (Kaltim) dan di uji

multi lokasi plot E terletak di Wonogiri. Pohon plus di KBSUK F2 grup C dan UML F1 plot E

masing-masing 50 pohon dengan pertumbuhan terbaik dan terdapat di beberapa replikasi blok,

dipilih, dikumpulkan sampel daunnya dan digenotipe. Kemudian genotipe individu tersebut

dicocokkan dengan database genotipe pohon plus yang ada di KBSUK F1.

B. Ekstraksi DNA dan analisis penanda SSR

Ekstaksi DNA menggunakan metode modifikasi CTAB (Shiraishi dan Watanabe 1995).

Database genotipe pohon plus dan analisis tetua pada A. mangium menggunakan 10 penanda SSR

yaitu Am 014, Am 041, Am 136, Am 326, Am 341, Am387, Am429, Am435, Am436, Am 460, Am

Page 119: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

94 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

465, Am503, Am173, Am164 (Butcher dkk. 2000).

Reaksi PCR untuk analisis fragment DNA menggunakan metode PCR multiplex terdiri dari

5 L larutan master-mix amplitaqGold kit (Applied Biosystem) dan 5 ng/ L template DNA.

Amplifikasi dilakukan menggunakan thermocycler GeneAmp9700 (Applied Biosystem).

Suhu pemanasan awal 94oC selama 10 menit, diikuti dengan 35 siklus reaksi yang masing-masing

terdiri dari reaksi denaturasi DNA (suhu 94oC selama 30 detik), reaksi penempelan primer

(annealing) (suhu 55-65 oC selama 30 detik) dan pemanjangan DNA (suhu 72oC selama 60 detik).

Siklus PCR diakhiri pada suhu 72oC selama 1 menit untuk melengkapi proses pemanjangan.

Amplifikasi penanda DNA menggunakan elektroforesis berbasis kapiler menggunakan mesin

gene analyzer ABI 3100 Avant (Applied Biosystem). Fragment DNA dianalisa menggunakan

software genemapper.

C. Analisis Data

Analisis potensi keragaman genetik. Analisis keragaman genetik didalam populasi

menggunakan parameter keragaman genetik yaitu Nei’s heterozigositas (Ht dan GST), jumlah allele

yang terdeteksi (A), keragaman allele menggunakan minimal sampel (A32), keragaman genetik

(HE) dan koefisient inbreeding (FIS) dianalisis menggunakan program komputer FSTAT (Goudet

dkk. 2001). Perbedaan genetik antar populasi dievaluasi menggunakan nilai FST, nilai signifikansi

diuji dengan cara membandingkan interval kepercayaan 95% dan 99% dengan 1,000 bootstrap,

menggunakan FSTAT. Dendrogram disusun untuk mengetahui hubungan genetik antar populasi dan

dievaluasi berdasarkan sebuah neighbour-joining tree berdasarkan allele frekuensi, menggunakan

program komputer POPTREE2 (Takezaki dkk. 2010). Analisis prinsip kordinat (PCO) menjelaskan

hubungan genetik yang dihubungkan dengan letak geografi, menggunakan program GenAlex

(Peakall dan Smouse, 2001). Keragaman genetik dievaluasi menggunakan analisis molekuler

varian (AMOVA) menggunakan program GenAlex.

Page 120: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

95 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

Analisis tetua. Analisis tetua pohon plus di KBSUK F2 grup C dan UML plot E dilakukan

dengan cara mencocokkan genotipe pohon plus di KBSUK tersebut dengan database genotipe

pohon plus di KBSUK F1 grup C dan grup E. Tetua betina di KBSUK F2 grup C sudah

teridentifikasi (halfsib), sehingga analisis tetua hanya mencari tetua jantan. Sedangkan identitas

tetua betina maupun jantan di UML plot E belum diketahui sehingga analisis tetua mencari

kombinasi kedua tetuanya. Analisis tetua di 2 KB tersebut menggunakan program komputer Cervus

(Kalinowski dkk. 2007).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Potensi keragaman genetik

a. Keragaman genetik didalam populasi

Nei’s heterozigositas total populasi (Ht) A. mangium sebesar 0,785; sedangkan nilai

perbedaan genetik (GST) sebesar 0,095, termasuk dalam kategori moderat/sedang. Nilai keragaman

genetik dari 15 populasi dengan parameter jumlah allele terdeteksi (A), keragaman allele dengan

minimal sampel 32 (A[32]), heterozigositas harapan (HE) dan koefisien inbreeding (FIS) disajikan

pada Tabel 1. Pola keragaman genetik provenan QLD berbeda dengan PNG. Nilai A termasuk

dalam kategori tinggi berkisar antara 45 sampai 108 allele. Nilai HE termasuk dalam kategori

sedang sampai tinggi, berkisar antara 0,558 (Cassowary) sampai 0,829 (Derideri). Nilai FIS

menunjukkan tidak secara nyata menyimpang dari hukum Hardy-Weinberg pada hampir seluruh

populasi dari provenan QLD kecuali Claudie river, sedangkan nilainya menyimpang dari HWE

pada seluruh populasi dari provenan PNG.

Page 121: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

96 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Tabel 1. Keragaman genetik 15 populasi di KBSUK F1 A. mangium grup E menggunakan 10 penanda SSR

Provenan Kode populasi N A A[32] HE FIS

QLD 135K 36 62 5,34 0,622 0,093 ns

QLD Cassowary 45 52 4,27 0,558 0,075 ns

QLD ClaudieR 114 80 4,99 0,638 0,096 *

QLD ClaudieRI 38 48 4,33 0,585 0,062 ns

QLD ClaudieRE 37 59 4,97 0,600 0,041 ns

QLD Pascoe 28 56 5,20 0,579 0,090 ns

QLD Poscoe 18 45 4,75 0,592 0,058 ns

PNG Arufi 30 86 7,98 0,804 0,117 *

PNG Bimadebun 28 81 8,02 0,819 0,113 *

PNG Biote 37 95 8,58 0,821 0,156 *

PNG Derideri 48 97 8,44 0,829 0,102 *

PNG Dimisisi 18 72 7,80 0,794 0,133 *

PNG Gubam 52 101 8,35 0,793 0,085 *

PNG Kini 46 108 9,06 0,808 0,148 *

PNG Wipim 45 105 9,02 0,810 0,126 *

Keterangan; A: jumlah allele, A[ ]: keragaman allele pada minimal jumlah sampel (32 diploid), HE: heterozigositas harapan, FIS: koefisien inbreeding, tidak menunjukkan signifikan menyimpang dari HWE dengan 135,000 permutasi p<0,05

b. Keragaman genetik antar populasi

Nilai FST pada 15 populasi adalah 0,079-0,122 (interval kepercayaan:95%) dan 0,072-0,129

(interval kepercayaan:99%) menunjukkan nilai yang sedang sampai tinggi, dan nilainya signifikan

menunjukkan perbedaan genetik antar populasi.

Sebuah dendrogram yang disusun menggunakan neighbor-joining tree, berdasarkan allele

frekuensi ditunjukkan pada Gambar 2. Keistimewaan pada dendrogram tersebut adalah membentuk

dua kluster yang menunjukkan pembagian 2 provenan secara jelas yaitu QLD dan PNG. Meskipun

hubungan genetik tidak selalu berkorelasi dengan letak geografi, namun analisis PCO memperjelas

pembagian 2 provenan tersebut (Gambar 3). Kordinat pertama pada analisis PCO menunjukkan

Page 122: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

97 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

nilai kepercayaan yang tinggi yaitu 65,3%.

Hasil AMOVA ditunjukkan pada Tabel 2. Kontribusi terhadap variasi genetik dari antar

provenan, antar populasi dalam provenan dan didalam populasi masing-masing sebesar 16%, 4%

dan 80%. Masing-masing nilai tersebut adalah signifikan (p 0,01).

Gambar 2. Hubungan genetik 15 populasi berdasarkan 10 penanda SSR

Gambar 3. Analisis prinsip kordinat menunjukkan pembagian yang jelas antara provenan QLD dan PNG

Page 123: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

98 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Tabel 2. Analisis varian molekuler (AMOVA) 1147 individu dikelompokkan dalam 15 populasi dan 2 provenan

Sumber variasi db SS MS Variasi molecular

(%)

P value

Antar provenan 1 549,378 549,378 16 0,01

Antar populasi

dalam provenan

13 348,623 26,817 4 0,01

Didalam populasi 655 5126,485 7,827 80 0,01

Total 669 6024,487 100

db: derajat bebas, SS: jumlah kuadrat, MS: rerata kuadrat, signifikan p 0,01

2. Analisis tetua

Hasil analisis tetua di KBSUK F1 A. mangium grup C ditunjukkan pada Gambar 4 dan

Gambar 5. Dari 26 pohon plus dengan rangking pertumbuhan terbaik di KBSUK F2 grup C

merupakan anakan dari 8 pohon plus/tetua betina di KBSUK F1 grup C. Beberapa karakteristik

sistem perkawinan berdasarkan analisis tetua dapat digambarkan pada KB tersebut. Dalam

menghasilkan keturunan unggul, hampir seluruh tetua betina berpasangan dengan tetua jantan yang

berbeda, sehingga merupakan saudara satu ibu. Sebaliknya, satu tetua jantan dapat menyerbuki

beberapa tetua betina, sehingga merupakan saudara satu ayah. Selain itu, ada satu tetua betina

berpasangan dengan tetua jantan dengan family yang sama namun berbeda replikasi. Adanya

dominasi tetua jantan, 6 famili merupakan tetua jantan dari 26 pohon plus di F2 (~25%).

Page 124: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

99 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

Gambar 4. Identifikasi pasangan tetua betina yang sama di KBSUK F1 A. mangium grup C (sub galur) yang menghasilkan pohon plus di KBSUK F2 grup C

Page 125: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

100 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Gambar 5. Identifikasi pasangan tetua jantan yang sama di KBSUK F1 A. mangium grup C (populasi tunggal) yang menghasilkan pohon plus di KBSUK F2 grup C

Karakteristik sistem perkawinan di KBSUK F1 grup E hampir seperti yang digambarkan di

KBSUK F1 grup C. Berdasarkan analisis tetua di KBSUK F1 grup E yang menghasilkan pohon

plus di UML, menunjukkan bahwa tetua betina berpasangan dengan tetua jantan yang berbeda

sehingga merupakan saudara satu ibu (Gambar 6). Sebaliknya satu tetua jantan menyerbuki

beberapa tetua betina sehingga merupakan saudara satu bapak (Gambar 7). Adanya dominasi tetua

jantan, 8 famili merupakan tetua jantan dari 38 pohon plus di F2 (~21%)

Page 126: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

101 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

Gambar 6. Identifikasi pasangan tetua betina yang sama di KBSUK F1 A. mangium grup E (populasi tunggal) yang menghasilkan pohon plus di UML plot E

Page 127: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

102 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Gambar 7. Identifikasi pasangan tetua jantan yang sama di KBSUK F1 A. mangium grup E (populasi tunggal) yang menghasilkan pohon plus di UML plot E

B. Pembahasan

1. Potensi keragaman genetik A. mangium

Nilai keragaman genetik didalam total populasi A. mangium termasuk dalam kategori tinggi

(HE=0,785) jika dibandingkan dengan tanaman berdaun lebar lainnya seperti di kebun benih (KB)

Eucalyptus grandis (HE=0,762) (Chaix dkk, 2003), maupun jenis konifer seperti di KB Pinus

merkusii di Indonesia (HE =0,500) (Nurtjahjaningsih dkk, 2007). Meskipun tidak dapat

dibandingkan dengan penanda SSR, menggunakan penanda RFLP rata-rata keragaman genetik 10

populasi alam A. mangium dari provenan Australia, PNG dan Maluku, termasuk dalam nilai rendah

(HE =0,131) (Butcher dkk, 1998).

Page 128: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

103 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

Nilai A populasi-populasi dari provenan PNG lebih tinggi dibandingkan dengan QLD,

demikian pula dengan nilai HE. Namun demikian nilai FIS dari provenan PNG menunjukkan nilai

yang tinggi dan signifikan inbreeding, akan tetapi nyata pada populasi dari provenan QLD. Nilai A ,

HE dan FIS menggambarkan kondisi tegakan yang digunakan sebagai sumber benih untuk

pembangunan uji pemuliaan. Sebaran alam A. mangium di QLD merupakan tegakan/populasi yang

tidak menyambung satu sama lain (discontinuous natural forest) dan antar populasi dikeliling oleh

hutan tropik, sedangkan di PNG sebarannya lebih luas namun antar populasi dikelilingi oleh

tanaman menjalar dan savannah (Butcher dkk. 1998). Cukup beralasan bahwa kondisi tegakan

PNG yang demikian lebih mampu mempertahankan nilai A dan HE dibandingkan kondisi tegakan

di QLD. Adanya private allele yang merupakan salah satu sumber variasi, juga banyak ditemukan

di poulasi PNG (data tidak dipublikasikan). Namun demikian kondisi tegakan yang lebih terbuka di

PNG tidak mendukung untuk terjadinya sistem perkawinan yang acak, tergambar dengan nilai FIS

yang lebih tinggi dibandingkan dengan populasi QLD.

Perbedaan genetik antar 15 populasi menunjukkan nilai yang sedang (GST=0,095) apabila

dibandingkan dengan nilai perbedaan genetik jenis angiosperm (GST=0,102, Hamrick, 1992);

populasi A. mangium yang lain (GST=0,331, Butcher dkk, 1998). Selain itu, nilai gene flow

(Nm=2,30) yang rendah mampu melindungi perbedaan genetik antar populasi tersebut.

Hubungan genetik yang digambarkan oleh sebuah dendrogram menunjukkan pembagian

yang jelas antar provenan. Hal ini menunjukkan bahwa A. mangium provenan QLD dan PNG

merupakan provenan yang berbeda, meskipun pada jaman es (glacial period) QLD dan PNG

merupakan satu kesatuan. Meskipun analisis posisi geografi (PCO) tidak selalu menggambarkan

letak geografis suatu populasi (Tsuda dan Ide, 2005), namun analisis PCO yang diperoleh dalam

penelitian mendukung hasil analisis dendrogram.

Analisis AMOVA menunjukkan hirarki sumber variasi yang menyebabkan keragaman

genetik. Kontribusi terbesar yang menyebabkan tingginya nilai keragaman genetik adalah

Page 129: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

104 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

keragaman didalam populasi. Meskipun kontribusi populasi dalam provenan kecil namun nilainya

siginikan. Oleh karena setiap komponen menunjukkan nilai yang signifikan terhadap nilai

keragaman genetik, maka AMOVA mengindikasikan signifikansi keragaman genetik antar

provenan. Jumlah dan frekuensi allele, serta gene flow merupakan sumber variasi yang

menyebabkan perbedaan genetik didalam dan antar populasi (Hartl dan Clark,1997).

2. Analisis tetua

Faktor genetik dan lingkungan mempengaruhi keberhasilan proses reproduksi (terjadinya

bunga sampai benih). Kemampuan menghasilkan bunga dan kecocokan kontribusi gen

dikendalikan oleh faktor genetik (Burczyk dan Chalupta, 1997). Sedangkan faktor lingkungan lebih

berorientasi pada ada tidaknya hambatan proses serbuk sari sampai ke kepala putik, seperti

kerapatan pohon, jarak antar tetua, kedudukan bunga jantan/betina, arah dan kekuatan angin.

Banyak penelitian yang melaporkan mengenai ketidakseimbangan sistem perkawinan /proses

reproduksi didalam sebuah kebun benih baik KBS maupun KBK, sehingga menyebabkan variasi

fenotipik. Faktor utama penyebab ketidakseimbangan tersebut adalah pembungaan tidak sinkron

baik jumlah dan kematangannya (fenologi pembungaan) (Chaix, dkk, 2003; Moriguchi dkk. 2004;

Burczyk dkk, 1997). Bahkan ada penelitian yang melaporkan bahwa pembungaan didalam KBS

maupun KBK tidak dapat seimbang (Choi dkk, 2004). Masalah pembungaan merupakan masalah

yang serius di KB karena dapat menyebabkan turunnya nilai genetik benih yang dihasilkan.

Fenologi pembungaan dipengaruhi oleh faktor genetik maupun lingkungan (Burczyk dan Chalupka,

1997). Variasi fenologi pembungan menyebabkan variasi kontribusi gamet tetua jantan karena

kompetisi serbuk sari (Hegland danTotland 2007) dan dominasi serbuk sari di KB jenis Larix

(Burczyk dkk, 1997), di KB Cryptomeria japonica (Moriguchi dkk, 2004). Dominansi serbuk sari

juga disebabkan oleh kuat tidaknya kompetisi serbuk sari. Kompetisi serbuk sari akan menguat

pada saat musim berbunga berlimpah dan hanya serbuk sari yang sehat saja yang mampu

Page 130: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

105 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

menyerbuki kepala putik. Akan tetapi kompetisi serbuk sari melemah pada saat pembungaan

berjumlah sedikit (El-Kassaby dkk, 1984).

Hasil analisis tetua pada penelitian ini menunjukkan bahwa sebaran serbuk sari didalam

KBSUK F1 grup C dan E bersifat acak/random. Seperti disebutkan di atas bahwa sinkronisasi

pembungaan merupakan titik awal terjadinya sistem perkawinan acak. Sinkronisasi pembungaan

besar kemungkinan terjadi di grup C karena pohon plus berasal dari provenan yang sama.

Sedangkan informasi sinkronisasi pembungaan di grup E belum ada yang melaporkan. Namun

demikian, melihat sebaran serbuk sari yang acak di atas (Gambar 6&7) kemungkinan di grup E

juga mencapai sinkronisasi pembungaan.

Analisis tetua juga menunjukkan bahwa pohon plus di generasi kedua, banyak mempunyai

tetua betina yang sama namun tetua jantan berbeda dan mempunyai tetua jantan yang sama namun

tetua betina berbeda. Selain itu, Gambar 4, 5, 6 dan 7 menunjukkan bahwa hampir semua tetua

jantan yang berkontribusi berlokasi jauh dari tetua betina, meskipun hal ini berlawanan dengan

karakter sebaran serbuk sari yang dibantu oleh serangga (Adams, 1992). Ada tiga dugaan yang

mungkin terjadi, yaitu (1) tercapainya sinkronisasi fenologi pembungaan semua pohon plus di

dalam KB, sehingga memperkuat kompetisi serbuk sari dalam menyerbuki kepala putik. (2)

tercapainya sinkronisasi fenologi pembungaan antara pasangan tetua betina dan jantan, (3)

kecocokan genetik antar tetuanya. Seperti disebutkan di atas bahwa sistem perkawinan di dua grup

tersebut bersifat acak karena tercapainya sinkronisasi pembungaan. Apabila sinkronisasi

pembungaan tercapai, maka faktor lain yang menentukan terjadinya anakan yang unggul adalah

kecocokan kombinasi gen tetua.

3. Implikasi

Informasi potensi keragaman genetik A. mangium dan identfikasi tetua melalui pendekatan

analisis tetua diharapkan dapat meningkatkan efisiesi managemen kebun benih dalam rangka

Page 131: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

106 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

menghasilkan benih unggul. Tingkat keragaman genetik total didalam populasi menunjukkan

tingkat yang tinggi sehingga diharapkan dapat melewati sekuensial kegiatan seleksi pohon dalam

strategi pemuliaan. Keragaman genetik setiap populasi menunjukkan nilai yang tinggi, sehingga

keragaman genetik mampu dipertahankan pada tingkat populasi. Meskipun populasi-populasi dari

provenan PNG ada indikasi dari populasi dengan tingkat inbreeding secara nyata, namun

mempunyai tingkat keragaman genetik yang tinggi sehingga apabila terjadi kondisi sistem

perkawinan yang random, populasi-populasi ini mampu mempertahankan tingkat keragaman

genetik.

Analisis dendrogram dan PCO menunjukkan pemisahan yang nyata antara provenan QLD

dan PNG. Hal ini menunjukkan bahwa struktur maupun komposisi allele di dua provenan ini

berbeda. Sumber variasi ada di tingkat populasi dan provenan sehingga apabila akan memperlebar

jarak genetik A. mangium maka dipilih populasi yang mempunyai keragaman genetik tinggi.

Analisis tetua menunjukkan bahwa pohon plus unggul di KBSUK F2 grup C dan UML plot E

merupakan saudara satu ibu maupun satu bapak. Hal ini menunjukkan bahwa individu tersebut

merupakan hasil sistem perkawinan acak/random dan dalam kondisi tercapainya sinkronisasi

pembungaan. Hal ini menunjukkan bahwa kebun benih tersebut tidak bermasalah dengan sistem

perkawinan dan sinkronisasi pembungaan. Selain itu, di KBSUK F1 grup C, 8 tetua betina

diserbuki oleh beberapa tetua jantan dan serbuk sari dari 6 tetua jantan mendominasi sistem

perkawinan. Hal ini menunjukkan pohon plus di KBSUK F1 mempunyai nilai GCA tinggi. Pohon

plus di KBSUK F2 grup C juga dihasilkan dari tetua dari no family yang sama meskipun berbeda

replikasi, sehingga famili tersebut mempunyai tingkat inbreeding depression yang rendah.

Menggunakan analisis tetua, pemilihan famili dengan GCA tinggi akan lebih mudah.

Page 132: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

107 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

IV. KESIMPULAN

Tingkat keragaman genetik populasi A. mangium termasuk dalam kategori sedang sampai

tinggi. Meskipun populasi-populasi dari provenan PNG mengindikasikan nilai inbreeding yang

nyata, namun keragaman genetik bisa dipertahankan apabila sistem perkawinan terjadi secara

acak/random. Provenan QLD terpisah secara nyata dengan PNG, sehingga untuk memperluas jarak

genetik antar populasi dengan menambah populasi pada provenan yang berbeda. Analisis tetua

yang dilakukan di KBSUK F1 grup C maupun grup E menunjukkan bahwa tetua betina maupun

jantan mempunyai nilai GCA yang tinggi. Selain itu, ada pasangan tetua yang mempunyai tingkat

inbreeding depression yang rendah.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Anto Rimbawanto, Dr. AYPBC Widyatmoko,

Dr. Arif Nirsatmanto, Sri Sunarti, M.Sc. atas sumbang saran dan pemikiran dalam menyusun

naskah ini. Ucapan terima kasih ditujukan kepada Dr. Istiana, Purnamila, M.Agr. Sc., Maryatul

M.Sc., dan Surip, S.Hut yang telah membantu dalam pengambilan sampel di Kebun Benih A.

mangium. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Wahyuni Sari, S.Hut dan Triyanta yang

telah membantu dalam analisis DNA di laboratorium genetika molekuler, BBPBPTH.

DAFTAR PUSTAKA

Adams, W.T. (1992). Gene dispersal within forest tree populations. New Forests 6: 217-240 Arif, N., Leksono, B.,Kurinobu S.,Kurinobu, S.,Shiraishi, S. (2004) Realized genetic gain observed in

second-generation seedling seed orchards of Acacia mangium in South Kalimantan, Indonesia. Japanese Forest Research 9: 265-269

Burczyk, J., Chalupka, W. (1997) Flowering and cone production variability and its effect on parental balance in a Scots pine clonal seed orchard. Annual Science Forest 54: 129-144

Burczyk, J., Nikkanen, T., Lewandowski, A. (1997) Evidence of an unbalances mating pattern in a seed orchard composed of two larch species. Silvae Genetica 46 (2-3): 176-181

Butcher, P.A., Decroocq, S., Gray, Y., Moran, G.F. (2000) Development, inheritance and cross-species amplification of microsatellite markers from Acacia mangium. Theor. Appl. Genet 101:1282-1290

Butcher, P.A., Moran, G.F., Perkins, H.D. (1998). RFLP diversity in the nuclear genome of Acacia mangium. Heredity 81: 205-213

Page 133: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

108 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Chaix, G., Gerber, S., Razafimaharo, V., Vigneron, P., Verhaegen, D., Hamon, S. (2003) Gene flow estimates with microsatellites in a Malagasy seed orchard of Eucalyptus grandis. Theoretical and Applied Genetics 107: 705-712

Choi, W.Y., Kang, K.S., Jang, K.W., Han, S.U., Kim, C.S. (2004) Sexual asymmetry based on flowering assessment in a clonal seed orchard of Pinus densiflora. Silvae Genetica 53 (2): 55-59Dow, B.D. and Ashley, M.V. (1998) High levels of gene flow in bur Oak revealed by paternity analysis using microatellites. The Journal of Heredity 89 (1): 62-70

El-Kassaby, Y.A., Fashler, A.M.K., Sziklai, O. (1984) Reproductive penology and its impact on genetically improve seed production in a Douglass-fir seed orchard. Silvae Genetica 33 (4-5): 120-125

Goudet, J. (2001) FSTAT (version 2.9.3.): A program to estimate and test gene diversities and fixation indices. www.unil.ch/izea/softwares/fstat.html

Hamrick, J.L. Godt, M. J. W., Sherman-Broyless, S. L. 1992. Factor influencing levels of genetic diversity in woody plant species. New forest, 6, 95-124.

Hartl, D.L., Clark, A.G. (1997). Principles of population genetics (Third Edition). Sinauer Associates, Inc. U.S.A. 542p

Hegland, S.J., Totland, O. (2007) Pollen limitation affects progeny vigour and subsequent recruitment in the insect-pollinated herb Ranunculus acris. Oikos 116: 1204-1210

Kalinowski, S.T. Taper, M.L., Marshall, T.C. (2007). Revising how the computer program CERVUS accommodates genotyping error increases success in paternity assignment. Molecular Ecology 16: 1099-1106

Moriguchi, Y., Taira, H., Tani, N., Tsumura, Y. (2004) Variation of paternal contribution in a seed orchard of Cryptomeria japonica determined using microsatellite markers. Canadian Journal of Forest Research 34: 1683-1690

Nurtjahjaningsih, I.L.G., Saito, Y., Tsuda, Y. and Ide, Y. (2007) Genetic diversity of parental dan offspring populations in a Pinus merkusii seedling seed orchard detected by microsatellite markers. Bulletin of the Tokyo University Forest, the Tokyo University Forests 118: 1-14

Peakall, R., Smouse P.E. 2006. GENALEX 6: genetic analysis in Excel. Population genetic software for teaching and research. Molecular Ecology Notes 6: 288-295.

Shiraishi, S., Watanabe, A. 1995. Identification of chloroplast genome between Pinus densiflora Sieb et Zucc and P. thumbergii Parl based on the polymorphism in rbcL gene. Journal of Japanese Forestry Society 77: 429-436.

Takezaki N., Nei, M., Tamura, K. (2010) POPTREE2: Software for constructing population trees from allele frequency data and computing other population statistics with windows interface. Molecular Biology Evolution 27(4):747-752

Tsuda, Y., Ide, Y. 2005. Wide-range analysis of genetic structure of Betula maximowicziana, a long-lived pioneer tree species and noble hardwood in the cool temperate zone of Japan. Molecular Ecologi 14: 3929-3941

Page 134: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

109 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

IDENTIFIKASI JAMUR ENDOFIT PADA TANAMAN HUTAN MENGGUNAKAN PENANDA MOLEKULER: POTENSI BAGI PENGENDALIAN PENYAKIT PADA

TANAMAN HUTAN

Istiana Prihatini

Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15 Purwobinangun, Pakem, Sleman Yogyakarta

E-mail: [email protected]

ABSTRAK Biosekuriti merupakan upaya memberikan perlindungan terhadap tanaman hutan pada berbagai tingkatan

dimulai dari sebelum tanaman terserang hama dan penyakit hingga setelah terserang. Penelitian mengenai jamur ataupun mikroorganisme endofit telah banyak dilakukan baik di luar negeri maupun di Indonesia. Berbagai jenis jamur endofit pada berbagai jenis tanaman telah diidentifikasi dan peranan dari beberapa jamur endofit tertentu juga telah banyak dipelajari. Penelitian yang telah dilakukan terhadap jamur endofit pada tanaman hutan telah menunjukkan beberapa manfaat dari endofit bagi tanaman inang seperti memberi perlindungan terhadap hama, penyakit dan kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan serta meningkatkan pertumbuhan tanaman. Beberapa jenis endofit juga diketahui dapat bersifat sebagai patogen pada kondisi lingkungan tertentu. Informasi yang tepat mengenai identitas dan keragaman jenis jamur endofit pada tanaman hutan sangat bermanfaat untuk memahami peranan dari jamur endofit terhadap inangnya serta potensinya sebagai patogen. Tidak semua jenis jamur endofit dapat ditumbuhkan pada media buatan serta adanya keterbatasan karakter morfologi dari jamur yang tumbuh pada media buatan menyebabkan sulitnya dilakukan proses identifikasi terhadap jenis jamur endofit. Hal ini dapat diatasi dengan teknik identifikasi jamur endofit menggunakan penanda DNA. Paper ini akan memberikan gambaran mengenai pengunaan penanda DNA untuk mengidentifikasi jenis jamur pada daun Pinus radiata serta mempelajari hubungannya dengan beberapa faktor yaitu umur daun, faktor genetik inang, serta tingkat ketahanan tehadap penyakit spring needle cast (SNC).

Kata kunci : Jamur endofit, distribusi, keragaman dan peranannya bagi tanaman inang

I. PENDAHULUAN

Jamur endofit adalah jamur yang hidup di dalam jaringan tubuh makhluk hidup tanpa

menimbulkan gejala penyakit (Carroll, 1988; Abare, 2005), termasuk juga dalam pohon berkayu.

Hubungan antara jamur endofit dengan tumbuhan inang telah banyak dipelajari pada tanaman

berkayu (Aly et al., 2011; Arnold, 2007). Salah satu manfaat endofit adalah memberikan

ketahanan pada tumbuhan inang terhadap kondisi alam yang ekstrim misalnya kekeringan dan juga

ketahahan terhadap serangan hama (Bittleston et al., 2011) dan penyakit (Arnold et al., 2003).

Distribusi dan keragaman jenis jamur endofit juga banyak dipelajari untuk mengetahui

hubungannya dengan banyak faktor. Perbedaan distribusi dan keragaman jenis jamur endofit

ditemukan memiliki hubungan terhadap beberapa hal, antara lain kondisi lingkungan tempat

tumbuh inang seperti latitude (Stefani and Berube, 2006), perbedaan musim (Terhonen et al.,

2011), perbedaan organ tanaman (Collado et al., 1996); (Alonso et al., 2011), berhubungan dengan

Page 135: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

110 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

dengan kondisi kesehatan inang (Arnold et al., 2003); Botella et al., 2010); Crous et al., 2003),

serta dengan metode penelitian yang dipakai (Arnold et al., 2007).

Selain pada golongan rumput-rumputan, beberapa penelitian pada tanaman berkayu

menemukan adanya hubungan antara keberadaan jenis jamur endofit tertentu dengan ketahanan

inang terhadap penyakit yang disebabkan oleh infeksi jamur patogen (Ganley, 2008). Studi

mengenai mekanisme pertahanan yang diberikan oleh jamur endofit yang dipelajari pada beberapa

tanaman Pinus terhadap serangan serangga menemukan adanya pembentukan senyawa metabolit

sekunder (Calhoun et al., 1992; Clark et al., 1989), serta pertahanan yang diberikan oleh endofit

misalnya Trichoderma terhadap serangan jamur yang lain (Dyck, 2007; Kumar et al., 2012).

Beberapa penelitian yang telah dilakukan juga menemukan beberapa jenis-jenis jamur yang

dikenal sebagai patogen yang tumbuh pada inang namun belum menunjukkan tanda-tanda serangan

penyakit (Sieber, 2007), karena perkembangannya masih sangat terbatas di dalam tubuh inang

(Ganley, 2004). Pada kondisi tertentu misalnya adanya stress yang menyebabkan

ketidakseimbangan nutrient, endofit akan tumbuh secara melimpah dan dampak pertumbuhan

jamur ini akan terlihat pada inang (Aly et al., 2011; Ganley, 2004).

A. Peranan DNA dalam identifikasi jamur bagi kegiatan pengendalian penyakit.

Jamur endofit dapat diidentifikasi menggunakan teknik isolasi jamur dalam bentuk kultur

(culture dependent technique) seperti yang digunakan oleh Ganley (2008), isolasi jamur secara

langsung pada tempat hidupnya (culture independent technique / direct PCR / environmental PCR)

seperti yang digunakan oleh Arnold et al (2007). Beberapa jenis jamur endofit dapat diidentifikasi

melalui morfologi kulturnya pada media buatan, namun karena umumnya jamur endofit merupakan

mitosporic ascomycetes, maka identifikasi menggunakan karakter morfologi dari badan buah dan

askospora tidak mungkin dilakukan. Beberapa senyawa biokimia dan karakter molekuler dapat

digunakan dalam proses identifikasi jenis jamur, misalnya protein/enzyme, genom, dan juga

karakter DNA, namun perkembangan teknologi dalam proses sekuensing DNA telah banyak

dimanfaatkan dalam proses identifikasi jamur karena kecepatan dan kemudahannya.

Identifikasi jenis jamur telah menjadi mudah dengan adanya teknologi sekuensing terhadap

gen-gen pada ribosomal RNA (Bruns and Gardes, 1993; Blankenship et al., 2001). Sekuens DNA

jamur juga menjadi alat yang sangat penting untuk mempelajari filogenetik jamur (Bonello et al.,

1998) serta dapat memberikan informasi bagi studi genetika populasi yang diperlukan untuk

merencanakan strategi dalam pengendalian penyakit (Brown, 1996).

Penemuan teknologi terbaru berupa whole genome sequencing atau next generation

sequencing pada beberapa tahun terakhir telah mempercepat pengunaan sekuen gen DNA dalam

Page 136: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

111 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

kegiatan identifikasi jamur. Teknik ini memiliki beberapa kelebihan antara lain tidak memerlukan

proses kloning DNA jamur sehingga mengurangi jumlah pekerjaan, serta mampu meningkatkan

jumlah basa pada setiap kali proses (run) dan mendeteksi variasi genom antar individu (Aly et al.,

2011; Nowrousian, 2010). Tetapi jika penelitian melibatkan jumlah sampel yang besar, teknik ini

memerlukan biaya yang sangat besar, kelemahan lainnya adalah metode ini tidak seakurat metode

sekuensing Sanger (Aly et al., 2011; Nowrousian, 2010).

Metode penelitian yang didasarkan pada sekuen gen jamur telah banyak dilakukan dan

dikembangkan, beberapa contohnya adalah mempelajari hubungan antar jenis (species) maupun

genera (genus) dalam kelompok jamur karat (Uredinales), dengan menggunakan penanda small

subunit (SSU) rDNA yang spesifik bagi jenis Basidiomycetes (Wingfield et al., 2004), gabungan

penanda universal dan spesifik bagi jamur karat untuk mendeteksi sekuen 28S dan 18S rDNA

(Aime, 2006), serta penggunaan real time PCR untuk membedakan dua jenis jamur Puccinia yang

memiliki karakter morfologi sangat mirip (Crouch and Szabo, 2011).

B. Identifikasi jamur berdasarkan pada sekuen ITS

Internal Transcribed Spacer (ITS) adalah region yang terkonservasi yang terletak antara

18S, 5.8S dan 28S ribosomal DNA (rDNA) dan memiliki sekuen yang relatif pendek. Sekuen ITS

telah banyak digunakan untuk mempelajari identitas berbagai organisme seperti bakteri (Cai et al.,

2011; Ngan et al., 2011), jamur (Cheng et al., 2011; Zhao et al., 2011), serangga (Carew et al.,

2009) serta nematoda (Jiménez et al., 2011). Untuk identifikasi jamur, beberapa penanda ITS telah

banyak dikembangkan untuk mendeteksi sekuen ITS yang secara spesifik dimiliki oleh jenis-jenis

target tertentu misalnya ITS4A untuk mendeteksi jenis-jenis ascomycota (Larena et al., 1999) dan

ITS4B untuk mendeteksi jenis-jenis basidiomycota (Bruns and Gardes, 1993). Jenis primer spesifik

tersebut dapat digunakan untuk melengkapi beberapa penanda ITS yang bisa digunakan secara

umum pada berbagai jenis jamur yaitu ITS1, ITS2, ITS3, ITS4 dan ITS5 (White et al., 1990).

C. Penanda DNA dalam kegiatan biosekuriti tanaman hutan

Bidang penelitian yang baru dikembangkan pada laboratorium genetika molekuler Balai

Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan adalah penggunaan penanda

molekuler untuk biosekuriti tanaman hutan. Salah satu pendekatan biosekuriti adalah upaya

pencegahan dari berkembangnya suatu makhluk hidup yang tidak diinginkan serta dampaknya

terhadap lingkungan (Goldson, 2011). Jika invasi telah terjadi maka kegiatan biosekuriti juga

termasuk melakukan usaha untuk mengendalikan ancaman tersebut, termasuk mempelajari jenis

ancaman serta cara dan prosedur pengendalian (Goldson, 2011).

Page 137: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

112 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Paper ini akan menggambarkan salah satu kegiatan penelitian menggunakan penanda DNA

untuk mengidentifikasi jenis-jenis jamur endofit pada salah satu tanaman hutan. Penelitian

dilakukan pada Pinus radiata umur 9 tahun yang telah terserang penyakit spring needle cast

(SNC). Penyakit ini hanya ditemukan pada P. radiata di Tasmania dan diduga memiliki hubungan

dengan tiga jenis jamur patogen (Podger and Wardlaw, 1990). Dengan penggunaan penanda DNA

diharapkan akan diperoleh informasi mengenai jenis jamur yang menjadi penyebab utama penyakit

tersebut sehingga upaya pengendalian penyakit ini efektif. Dengan dipelajarinya komunitas jamur

endofit diharapkan juga diketahui adanya jenis jamur yang berperan pada ketahanan tanaman

terhadap penyakit dan berpotensi sebagai agen biokontrol bagi penyakit tersebut.

D. Tujuan

Mempelajari keragaman jenis jamur endofit yang hidup pada daun P. radiata menggunakan

metode direct PCR serta mempelajari hubungannya dengan beberapa faktor yaitu umur daun,

faktor genetik inang (famili pohon), serta tingkat ketahanan terhadap penyakit spring needle cast

(SNC).

II. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

A. Bahan

Sampel berupa daun Pinus dikoleksi dari tanaman P. radiata pada kebun uji SNC Marker

Aided Selection (MAS) di Oonah Tasmania yang berumur 9 tahun yang sebelumnya telah diskoring

untuk melihat dampak serangan penyakit SNC.

B. Ekstraksi DNA

Daun yang telah dipotong berukuran kurang lebih 1 cm, digerus pada mortar dengan nitrogen

cair. DNA kemudian diekstraksi menggunakan buffer SDS yang telah dimodifikasi (Raeder and

Broda, 1985) dan dipurifikasi menggunakan glassmilk (Boyle & Lew 1995) sesuai prosedur yang

digambarkan oleh Glen (2001) sebelum digunakan sebagai template pada reaksi PCR.

C. Polymerase Chain Reaction (PCR) dan kloning DNA hasil PCR

Pasangan primer ITS4A (Larena et al., 1999) dan ITS5 (White et al., 1990) digunakan untuk

mengamplifikasi segmen ITS rDNA. Konsentrasi bahan kimia yang digunakan pada proses PCR

adalah sebagai berikut: 67mM Tris-HCl, pH 8.8; 16mM (NH4)2SO4 (dalam 10× NH4-based

reaction buffer); 2.0 mM magnesium chloride; 200 M each deoxynucleotide triphosphate; 0.25

M each oligonucleotide primer; 0.02 units/ L of Mangotaq DNA polymerase; 0.2 g/ L of

Page 138: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

113 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

bovine serum albumin; 10 µL DNA yang diencerkan 100x dalam TE dan ditambahkan air steril

hingga mencapai volume akhir 50 µL.

Proses amplifikasi dilakukan menggunakan mesin Peltier Thermal Cycler PTC-225 (MJ

Research) dengan kondisi suhu sebagai berikut; 95°C selama 3 menit, diikuti oleh 35 siklus dari

94°C selama 30 detik, 55°C selama 30 detik and 72°C selama 2 menit, kemudian fase extension

dengan suhu 72°C selama 7 menit.

D. Sekuensing DNA

Kloning DNA hasil dari PCR dilakukan sebelum proses sekuensing untuk memisahkan

fragmen DNA dari setiap individu jamur yang ditemukan dalam satu sampel yang sama. Proses

kloning menggunakan p-GEM -T Easy Vector (Promega) sesuai dengan manual dari produsen.

Koloni sel hasil kloning diseleksi kemudian dilakukan PCR-RFLP menggunakan enzim AluI dan

HinFI. Sekuening hanya dilakukan terhadap beberapa klon yang mewakili setiap kelompok sampel

dengan pola RLFP sama. Sekuensing DNA dilakukan oleh Macrogen Inc

(http://dna.macrogen.com/eng/).

E. Analisis filogenetik

Pengecekan dan proses editing kromatogram hasil sekuensing dilakukan menggunakan

software ChromasPro version 1.34, kemudian data sekuen disimpan dalam format FASTA.

Software BLAST (Basic Local Alignment Search Tool) digunakan untuk mencari kecocokan

sekuen DNA sampel dengan sekuen DNA pada database GenBank yang telah diketahui jenisnya

(Altschul et al., 1990).

Sekuen DNA dikelompokkan sesuai dengan hasil pencocokan oleh BLAST dan dilakukan

proses alignment menggunakan program ClustalW (Thompson et al., 1994) yang ada pada software

BioEdit versi 7.0.9.0 (Hall, 1999). Klon yang memiliki variasi sekuen kurang dari 2%

dikelompokkan sebagai satu Operational taxonomic units (OTUs). Identitas jamur atau OTUs

ditentukan berdasarkan hasil dari analisis filogenetik. Identitas diberikan sampai pada level

taksonomi terendah yang paling memungkinkan.

Analisis filogenetik dilakukan terhadap setiap kelompok sekuen yang memiliki kemiripan

antara 98%-100%. Data sekuen dari GenBank yang memiliki tingkat kesesuaian paling tinggi

terhdap kelompok tersebut juga dimasukkan dalam proses analisis, termasuk satu atau dua sekuen

dari takson yang memiliki kedekatan dengan sampel juga dimasukkan sebagai outgroup.

Alignment terhadap semua sekuen sampel pada setiap kelompok takson sekali lagi dilakukan

sebelum proses analisis filogenetik. Analisis Maximum Likelihood dan Maximum Parsimony

Page 139: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

114 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

dilakukan menggunakan program DNAml dan DNApars dari PHYLIP (Felsenstein, 1989) pada

software Biomanager (https://biomanager.info/). Semua pohon dendogram hasil analisis filogenetik

diamati menggunakan software TreeView (Page, 1996) dan dilakukan editing menggunakan

software Mega 4 (Tamura et al., 2007), jika diperlukan.

F. Analisis statistik

Analisis statistik digunakan untuk mempelajari hubungan antara komunitas jamur dengan

beberapa faktor yang berbeda misalnya umur daun, family pohon P. radiata serta tingkat serangan

penyakit SNC. Analisis permutational multivariate ANOVA (PERMANOVA) dan canonical

analyses of principal coordinates (CAP) dilakukan menggunakan software PRIMER v6 yang

digabungkan dengan software PERMANOVA+ (Anderson et al., 2008).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Jumlah jenis jamur endofit yang dapat terdeteksi pada kegiatan penelitian yang menggunakan

metode direct PCR adalah sebanyak 65 jenis. Jumlah ini lebih banyak dari pada jenis jamur yang

terdeteksi menggunakan metode penumbuhan kultur jamur yang bisa mendeteksi 41 jenis jamur

(Prihatini, unpublished). Beberapa jenis yang terdeteksi menggunakan metode ini juga terdeteksi

jamur melalui metode penumbuhan kultur jamur atau culturing (sebanyak 11 jenis), sedang 54 jenis

hanya terdeteksi menggunakan metode direct PCR.

Beberapa jenis jamur yang telah dilaporkan dan diketahui bersifat patogen pada beberapa

jenis konifer, yaitu D. septosporum, C. minus, L. pinastri and S. geniculata (Bulman, 2002;

Wardlaw, 1994; Ganley, 2004) juga terdeteksi pada P. radiata di Tasmania. Berdasarkan hasil

analisis Permanova, komunitas jamur pada tanaman P. radiata di Tasmania umur 9 tahun

menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan dengan umur daun. Hasil yang serupa juga

ditemukan analisis terhadap faktor genetika P. radiata (tree family).

Hasil analisis permanova terhadap komunitas jamur pada tingkat serangan penyakit SNC

yang berbeda (ditentukan oleh nilai skoring yang berbeda) menunjukkan adanya korelasi yang

signifikan (p= 0.0115). Hasil analisis CAP, menunjukkan adanya beberapa jenis jamur

(Teratosphaeriaceae sp. 2 dan Strumella sp) yang banyak ditemukan pada tanaman yang sehat,

namun tidak ditemukan pada tanaman yang sakit. Sebaliknya, ada juga beberapa jenis jamur yang

ditemukan secara melimpah pada tanaman yang sakit, namun jarang ditemukan pada tanaman yang

Page 140: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

115 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

sehat, yaitu jenis L. pinastri, Teratosphaeriaceae sp.3, T. sp.13, T. sp. 24, Aspergillus sp. and

Rhystismatales sp. 2.

Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa hanya jenis jamur L. pinastri yang memiliki korelasi

sangat kuat dengan penyakit SNC di Tasmania, karena lebih sering pada tanaman yang sakit.

Sedangkan dua jenis jamur yang semula diduga turut menjadi penyebab penyakit SNC, jarang

ditemukan sehingga korelasinya dengan tingkat serangan SNC tidak dapat diketahui dengan jelas.

L. pinastri diduga mengalami tahapan sebagai jamur endofit karena sering juga ditemukan pada

daun muda yang masih sehat, sebelum bersifat patogen. Pada kondisi lingkungan yang sesuai

(kelembaban udara yang tinggi serta suhu yang rendah), jamur ini akan berkembang cepat dan

bersifat sebagai patogen.

Jenis jamur yang telah dikenal sebagai patogen pada P radiata maupun jenis konifer lain

yaitu C. minus, D. septosporum dan S. geniculata juga terdeteksi pada tanaman P. radiata di

Tasmania, meskipun tidak selalu terdeteksi pada sampel daun yang diamati. Jenis-jenis jamur

tersebut juga ditemukan pada P. radiata yang ditanam di New Zealand (Ganley, 2008). Ketiga jenis

jamur yang ditemukan di Selandia Baru dan Tasmania tersebut memiliki karakter DNA yang mirip,

namun jenis L. pinastri dari Selandia Baru memiliki karakter DNA yang berbeda dengan jenis yang

ditemukan di Tasmania (Prihatini, unpublished).

Komunitas jamur yang tumbuh pada daun P. radiata diketahui memiliki hubungan dengan

tingkat ketahanan tanaman, namun keterlibatan beberapa jenis jamur terhadap kesehatan tanaman

sulit ditentukan. Penelitian pada jenis tanaman yang sama menggunakan pendekatan yang berbeda

yang dilakukan di Selandia Baru, menunjukkan hasil yang serupa yaitu adanya jenis-jenis jamur

tertentu yang hanya terdeteksi pada tanaman yang sehat saja namun tidak terdeteksi pada tanaman

yang sakit, yaitu jenis Xylaria sp (Ganley, 2008). Jenis ini juga sering ditemukan pada tanaman

karet (Hevea concinna) yang sehat (Arnold et al., 2003), serta beberapa jenis dari Xylariaceae

sering ditemukan pada P. radiata yang sehat (Bradshaw et al., 2000). Namun sebagian besar jenis

jamur yang termasuk golongan Xylariales tidak terdeteksi melalui metode pendekatan direct PCR,

penelitian yang dilakukan pada jenis P. taeda di Amerika Serikat juga tidak berhasil mendeteksi

adanya jamur tersebut, meskipun ditemukan mudah tumbuh pada media agar (Arnold et al., 2007).

Jenis-jenis jamur endofit yang memiliki hubungan dengan ketahanan penyakit perlu dikaji lebih

jauh peranannya terutama untuk mencari jenis jamur yang mampu memberikan tekanan terhadap

pertumbuhan jamur patogen.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa penanda DNA mampu membantu dalam

identifikasi jenis jamur patogen telah berada pada jaringan tanaman, sebelum memberikan dampak

negatif pada tanaman inang berupa kerusakan atau kematian jaringan. Beberapa pengamatan

Page 141: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

116 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

terhadap jamur yang menjadi penyebab penyakit SNC sebelumnya selalu berdasarkan gejala

penyakit dan tanda-tanda infeksi pada daun yang sudah mati. Jika pengamatan dapat dilakukan

lebiha awal, tindakan pengendalian terhadap penyakit juga dapat dilakukan lebih awal, sebelum

dampak penyakit menjadi lebih serius.

IV. KESIMPULAN

Jenis jamur yang dikenal sebagai patogen pada berbagai jenis Pinus, yaitu L. pinastri, C.

minus, D. septosporum dan S. geniculata juga ditemukan pada daun P. radiata umur 9 tahun di

Tasmania.

Jenis jamur yang ditemukan pada daun P. radiata umur 9 tahun tidak berhubungan secara

signifikan terhadap umur daun dan faktor genetik berupa family pohon inang.

Tiga jenis jamur yang semula diduga menjadi penyebab penyakit SNC (L. pinastri, C. minus dan S.

geniculata) cukup sering ditemukan pada penelitian ini, namun hanya jenis L. pinastri yang secara

signifikan berkorelasi dengan tingkat kerusakan penyakit pada Pinus yang lebih tua.

Penggunaan metode direct PCR mampu mendeteksi lebih banyak jenis jamur endofit

dibandingkan metode pengkulturan jamur, meskipun ada beberapa jenis yang mudah tumbuh pada

media agar tidak mampu terdeteksi oleh metode direct PCR.

Penggunaan metode direct PCR mampu mendeteksi jenis jamur patogen yang terdapat pada

tanaman, sebelum tanaman menunjukkan gejala penyakit atau sebelum tanaman mati.

DAFTAR PUSTAKA

Abare 2005. Australian Forest and Wood Product Statistic. Commonwealth of Australian. Aime, M. C. 2006. Toward resolving family-level relationships in rust fungi (Uredinales). Mycoscience, 47, 112-122. Alonso, R., Tiscornia, S. & Bettucci, L. 2011. Fungal endophytes of needles and twigs from Pinus taeda and Pinus

elliotti in Uruguay. Sydowia, 63, 141-153. Altschul, S. F., Gish, W., Miller, W., Myers, E. W. & Lipman, D. J. 1990. Basic local alignment search tool Journal of

Molecular Biology, 215, 403-410. Aly, A. H., Debbab, A. & Proksch, P. 2011. Fungal endophytes: unique plant inhabitants with great promises. Applied

Microbiology and Biotechnology, 90, 1829-1845. Anderson, M. J., Gorley, R. N. & Clarke, K. R. 2008. PERMANOVA + for PRIMER: guide to software and statistical

methods. In: PRIMER-E (ed.). Plymouth. Arnold, A. E. 2007. Understanding the diversity of foliar endophytic fungi: progress, challenges, and frontiers. Fungal

Biology Reviews, 21, 51-66. Arnold, A. E., Henk, D. A., Eells, R. L., Lutzoni, F. & Vilgalys, R. 2007. Diversity and phylogenetic affinities of foliar

fungal endophytes in loblolly pine inferred by culturing and environmental PCR. Mycologia, 99, 185-206. Arnold, A. E., Mejia, L. C., Kyllo, D., Rojas, E. I., Maynard, Z., Robbins, N. & Herre, E. A. 2003. Fungal endophytes

limit pathogen damage in a tropical tree. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America, 100, 15649-15654

Bittleston, L. S., Brockmann, F., Wcislo, W. & Van Bael, S. A. 2011. Endophytic fungi reduce leaf-cutting ant damage to seedlings. Biology Letters, 7, 30-32.

Page 142: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

117 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

Blankenship, J. D., Spiering, M. J., Wilkinson, H. H., Fannin, F. F., Bush, L. P. & Schardl, C. L. 2001. Production of loline alkaloids by the grass endophyte, Neotyphodium uncinatum, in defined media. Phytochemistry, 58, 395-401.

Bonello, P., Bruns, T. D. & Gardes, M. 1998. Genetic structure of a natural population of the ectomycorrhizal fungus Suillus pungens. New Phytologist, 138, 533-542.

Botella, L., Santamaria, O. & Diez, J. J. 2010. Fungi associated with the decline of Pinus halepensis in Spain. Fungal Diversity, 40, 1-11.

Bradshaw, R. E., Ganley, R. J., Jones, W. T. & Dyer, P. S. 2000. High levels of dothistromin toxin produced by the forest pathogen Dothistroma pini. Mycological Research, 104, 325-332.

Brown, J. K. M. 1996. The choice of molecular markers methods for population genetic studies of plant pathogens. New Phytologist, 133, 183-195.

Bruns, T. D. & Gardes, M. 1993. Molecular tools for the identification of ectomycorrhizal fungi--taxon-specific oligonucleotide probes for suilloid fungi. Molecular ecology, 2, 233-242.

Bulman, L. S. 2002. Aerial survey of needle cast in the Carter Holt Harvey forest estate in Northland and Tairua Forest. New Zealand Forest Reseach

Cai, J., Yao, C., Xia, J., Wang, J., Chen, M., Huang, J., Chang, K., Liu, C., Pan, H. & Fu, W. 2011. Rapid parallelized and quantitative analysis of five pathogenic bacteria by ITS hybridization using QCM biosensor. Sensors and Actuators, B: Chemical, 155, 500-504.

Calhoun, L. A., Findlay, J. A., Miller, J. D. & Whitney, N. J. 1992. Metabolites toxic to spruce budworm from balsam fir needle endophytes. Mycological Research 96, 281-286.

Carew, M., Schiffer, M., Umina, P., Weeks, A. & Hoffmann, A. 2009. Molecular markers indicate that the wheat curl mite, Aceria tosichella Keifer, may represent a species complex in Australia. Bulletin of Entomological Research, 99, 479-486.

Carroll, G. C. 1988. Fungal Endophytes in Stems and Leaves: From Latent Pathogen to Mutualistic Symbiont. Ecology,69, 2-9.

Cheng, Y., Liang, J., Lü, Q. & Zhang, X. 2011. Advances in Botryosphaeriaceae: Identification, phylogeny and molecular ecology. Shengtai Xuebao/ Acta Ecologica Sinica, 31, 3197-3207.

Clark, C. L., Miller, J. D. & Whitney, N. J. 1989. Toxicity of conifer needle endophytes to spruce budworm. Mycological Research, 93, 508-512.

Collado, J., Platas, G. & Pelaez, F. 1996. Fungal endophytes in leaves, twigs and bark of Quercus ilex from Central Spain. Nova Hedwigia, 63, 347-360.

Crouch, J. A. & Szabo, L. J. 2011. Real-Time PCR Detection and Discrimination of the Southern and Common Corn Rust Pathogens Puccinia polysora and Puccinia sorghi. Plant Disease, 95, 624-632.

Crous, P. W., Halleen, F. & Petrini, O. 2003. Fungi associated with healthy grapevine cuttings in nurseries, with special reference to pathogens involved in the decline of young vines. Australasian Plant Pathology, 32, 47-52.

Dyck, B. 2007. Natural defence biocontrol: Fighting fungi with fungi. Inwood Magazine, 50-51. Felsenstein, J. 1989. PHYLIP - Phylogeny Inference Package (Version 3.2). Cladistics, 5, 164-166. Ganley, R. J. 2004. Fungal endophytes of Pinus monticola: Diversity, function and Symbiosis. Dissertation, University

of Idaho. Ganley, R. J. 2008. Density and diversity of fungal endophytes isolated from needles of Pinus radiata. Client Report

No 12925. Rotorua: SCION. Goldson, S. L. 2011. Biosecurity, risk and policy: A New Zealand perspective. Journal fur Verbraucherschutz und

Lebensmittelsicherheit, 6, 41-47. Hall, T. 1999. BioEdit: a user-friendly biological sequence alignment editor and analysis program for Windows

95/98/NT. Nucl. Acids. Symp. Ser., 41, 95-98. Jiménez, M., González, L. M., Carranza, C., Bailo, B., Pérez-Ayala, A., Muro, A., Pérez-Arellano, J. L. & Gárate, T.

2011. Detection and discrimination of Loa loa, Mansonella perstans and Wuchereria bancrofti by PCR-RFLP and nested-PCR of ribosomal DNA ITS1 region. Experimental Parasitology, 127, 282-286.

Kumar, K., Amaresan, N., Bhagat, S., Madhuri, K. & Srivastava, R. C. 2012. Isolation and Characterization of Trichoderma spp. for Antagonistic Activity Against Root Rot and Foliar Pathogens. Indian Journal of Microbiology, 52, 137-144.

Larena, I., Salazar, O., Gonzales, V., Julian, M. C. & Rubio, V. 1999. Design of a primer for ribosomal DNA internal transcribed spacer with enhanced specificity for ascomycetes. Journal of Biotechnology, 75, 187-194.

Ngan, G. J. Y., Ng, L. M., Jureen, R., Lin, R. T. P. & Teo, J. W. P. 2011. Development of multiplex PCR assays based on the 16S-23S rRNA internal transcribed spacer for the detection of clinically relevant nontuberculous mycobacteria. Letters in Applied Microbiology, 52, 546-554.

Nowrousian, M. 2010. Next-generation sequencing techniques for eukaryotic microorganisms: Sequencing-based solutions to biological problems. Eukaryotic Cell, 9, 1300-1310.

Page, R. D. M. 1996. TREEVIEW: An application to display phylogenetic trees on personal computers. Computer Applications in the Biosciences, 12, 357-358.

Page 143: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

118 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Podger, F. D. & Wardlaw, T. J. 1990. Spring needle-cast of Pinus radiata in Tasmania: I. Symptoms, distribution, and association with Cyclaneusma minus. New Zealand Journal of Forestry Science, 20, 184-205.

Raeder, U. & Broda, P. 1985. Rapid preparation of DNA from filamentous fungi. Letters in Applied Microbiology, 1,17-20

Sieber, T. N. 2007. Endophytic fungi in forest trees: are they mutualists? Fungal Biology Reviews, 21, 75-89. Stefani, F. O. P. & Berube, J. A. 2006. Biodiversity of foliar fungal endophytes in white spruce (Picea glauca) from

southern Quebec. Canadian Journal of Botany, 84, 777-790. Tamura, K., Dudley, J., Nei, M. & Kumar, S. 2007. MEGA4: Molecular Evolutionary Genetics Analysis (MEGA)

software version 4.0. Molecular Biology Evolution, 24, 1596–1599. Terhonen, E., Marco, T., Sun, H., Jalkanen, R., Kasanen, R., Vuorinen, M. & Asiegbu, F. 2011. The effect of latitude,

season and needle-age on the mycota of scots pine (Pinus sylvestris) in Finland. Silva Fennica, 45, 301-317. Thompson, J. D., Higgins, D. G. & Gibson, T. J. 1994. CLUSTAL W: improving the sensitivity of progressive multiple

sequence alignment through sequence weighting, position-specific gap penalties and weight matrix choice. Nuc.Acid. Res., 22 4673-4680.

Wardlaw, T. 1994. Spring Needle Cast in Tasmanian Pinus radiata Plantations Prospect for Limiting Future Disease Losses.

White, T. J., Bruns, T., Lee, S. & Taylor, J. 1990. Amplification and direct sequencing of fungal ribosomal RNA genes for phylogenetics, Academic Press, Inc.

Wingfield, B. D., Ericson, L., Szaro, T. & Burdon, J. J. 2004. Phylogenetic patterns in the Uredinales. Australian Plant Pathology, 33, 327-335.

Zhao, P., Luo, J. & Zhuang, W. Y. 2011. Practice towards DNA barcoding of the nectriaceous fungi. Fungal Diversity,46, 183-191.

Page 144: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

119 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

PENANDA SINGLE NUCLEOTIDE POLYMORPHISMS (SNPs) UNTUK IDENTIFIKASI GENETIK DI SENGON (Falcataria moluccana) DAN ACACIA HIBRIDA

Vivi Yuskianti Balai Besar Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

Jl. Palagan Tentara Pelajar KM 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Kemajuan teknologi yang pesat telah mendukung pengembangan berbagai metode analisa DNA terbaru. Salah satu penanda molekuler yang sekarang telah mulai banyak dikembangkan adalah penanda Single Nucleotide Polymorphism (SNP). Penggunaan penanda SNP memberikan banyak keuntungan dibandingkan penanda lainnya karena penanda SNP merupakan penanda yang langsung ke sasaran (direct marker), mempunyai tingkat mutasi yang rendah (10-8-10-9) sehingga relatif stabil dibandingkan penanda-penanda molekuler lainnya. Saat ini, penanda SNP telah dikembangkan untuk dua species utama di Indonesia yaitu sengon (Falcataria moluccana) dan Acacia hybrid (hibridisasi antara A. mangium dan A. auriculiformis). Sebanyak dua belas penanda SNP yang telah dimultipleks ke dalam tiga set analisis SNuPE (Single Nucleotide Primer Extension) dapat mendiskriminasi hampir 100% genotip sengon apabila semua set digunakan. Sementara itu, sebanyak lima penanda SNP yang juga telah dimultiplex ke dalam satu set analisis SNuPE di A. hybrid juga mampu mendeteksi lima spesifik alel di A. mangium, A. auriculiformis dan A. hybrid. Penanda SNP yang telah dikembangkan dapat digunakan sebagai alat identifikasi molekuler yang praktis karena kemudahannya dalam membaca data dan kemungkinan untuk otomatisasi analisisnya sehingga akan sangat berguna untuk pengembangan database genetik (genetic data-base). Selain itu, lima penanda SNPs di A. hybrid dapat digunakan untuk konfirmasi identitas hibrida, sertifikasi hibrida dan seleksi A. hybrid unggulan. Identifikasi produk hibrida pada pengembangan kebun benih dua species (bi-species seed orchard) dari A. mangium dan A. auriculiformis juga dapat diklarifikasi secara lebih effisien menggunakan sistem diagnostik berbasis SNPs ini.

Kata kunci: Penanda SNP, Identifikasi genetik, Sengon, Acacia hybrid

I. PENDAHULUAN

Berbagai teknologi dan metode analisa DNA seperti RAPD, AFLP, RFLP dan mikrosatelit

tersedia saat ini. Penanda-penanda tersebut sudah digunakan untuk berbagai studi genetik di

berbagai species. Penggunaan penanda-penanda tersebut, tetapi, menghadapi berbagai kendala.

Kendala yang meliputi masalah teknis (biaya, akurasi, efisiensi, transferability, repeatability dll)

dan analitis (akurasi model analisis, variabilitas tingkat dan pola mutasi dll) membatasi penggunaan

penanda DNA yang sudah ada. Salah satu penanda DNA yang banyak menarik perhatian dan

dianggap ideal adalah penanda single nucleotide polymorphisms (SNPs) (Gupta et al., 2001;

Rafalski et al., 2002). SNP adalah perubahan satu basa pada sekuens DNA (Gupta et al., 2001)

(Gambar 1).

Page 145: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

120 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

110 170 AM01 ACCATCCACGGCGTAGCCTCCGACGTTGGCTGCGTGATTCTTTTGGCACTCTCCATATCTC AM02 ACCATCCACGGCGTAGCCTCCGACGTTGGCTGCGTGATTCTTTTGGCACTCTCCATATCTC AM03 ACCATCCACGGCGTAGCCTCCGACGTTGGCTGCGTGATTCTTTTGGCACTCTCCATATCTC AM04 ACCATCCACGGCGTAGCCTCCGACGTTGGCTGCGTGATTCTTTTGGCACTCTCCATATCTC AR01 ACCATCCACGGCGTAGCCTCCGACGTTGGCAGCGTGATTCTTTTGGCACTCTCCATATCTC AR02 ACCATCCACGGCGTAGCCTCCGACGTTGGCAGCGTGATTCTTTTGGCACTCTCCATATCTC AR03 ACCATCCACGGCGTAGCCTCCGACGTTGGCAGCGTGATTCTTTTGGCACTCTCCATATCTC AR04 ACCATCCACGGCGTAGCCTCCGACGTTGGCAGCGTGATTCTTTTGGCACTCTCCATATCTC

Gambar 1. Identifikasi SNP pada penelitian diagnosis Acacia hibrida mengunakan 4 sampel Acacia mangium (AM) dan 4 sampel A. auriculiformis (AR). Huruf tebal pada tiap sampel individu yang ditandai dengan lingkaran merah merupakan SNPs.

Identifikasi SNPs di manusia (Wang et al., 1998; Vallone et al., 2004), hewan (Heaton et

al., 2002; dan Rohrer et al., 2007), tanaman khususnya pertanian (Zhu et al., 2003; Jin et al., 2003,

Bundock et al., 2003 dan Lopez et al., 2005) dan terbatas di kehutanan (Osman et al., 2003; Zhang

et al., 2005) telah menfasilitasi penggunaannya untuk berbagai studi genetik. Penanda ini telah

digunakan untuk tujuan seperti forensik (Brandstatter et al., 2003 dan Vallone et al., 2004), hibrid

identifikasi (Gros-Louis et al., 2005), resistensi terhadap patogen (Rickert et al., 2003) dan

asosiasinya dengan karakter ekonomis (Jin et al., 2003; Bundock et al., 2003).

Penanda SNPs mempunyai banyak keuntungan dibandingkan penanda lainnya. SNPs adalah

penanda yang langsung ke sasaran (direct marker) (Batley et al., 2003), mempunyai tingkat mutasi

yang rendah (10-8-10-9), nomenklatur alel yang sederhana (Vignal et al., 2002; Brumfield et al.,

2003), lebih stabil dengan sifat pewarisan lebih tinggi dibandingkan sistem penanda lainnya seperti

mikrosatelit dan Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP) (Gupta et al., 2001).

Penelitian yang komprehensif yang membandingkan penggunaan penanda mikrosatelit dan SNPs

menunjukkan bahwa SNPs mempunyai keunggulan dibandingkan penanda mikrosatelit. Sistem

penanda SNPs tidak hanya menawarkan biaya yang lebih rendah (diperkirakan sekitar lima sampai

10 kali lebih rendah dibandingkan penanda mikrosatelit), mempunyai kemampuan untuk

mengulang (repeatability) dan akurasi yang lebih tinggi dibandingkan mikrosatelit, tetapi juga

meningkatkan kesempatan untuk mengembangkan database germplasm antar berbagai organisasi

di dunia (Jones et al., 2007).

Dengan berbagai keunggulan tersebut, penanda SNPs mempunya kekurangan dalam hal

informasi individu lokusnya yang rendah. Penanda SNP bersifat biallelic dengan hanya dua alel

pada setiap lokusnya yang berakibat dengan rendahnya nilai expected heterozyggosity yang

dipunyainya. Tetapi kondisi tersebut dapat dikompensasi dengan memperbanyak jumlah penanda

SNP yang digunakan. Sebagai ilustrasi dikemukakan bahwa untuk studi linkage, analisa tetua dan

Page 146: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

BIOTEKNOLOGI HUTAN UN

identifikasi individu, diperki

penanda SNP. Simulasi komp

kuantitas informasinya (Glau

analisa tetua, untuk dapat mem

50 lokus SNPs untuk 10-15 lo

II. PENGEMBANGAN PE

2.1 Prosedur umum

Skrining fragmen Penanda SCAR RAPD

Pengembangan penanda SNPs di

1. Skrining fragmen RAPD

fragmen RAPD di seng

menggunakan pGEM-T V

Competent Cell). Produk

2. Pengembangan penanda S

digunakan untuk mende

didesain akan di evaluas

hasil evaluasi ini, akan te

SNPs.

3. Identifikasi SNPs. Seku

menggunakan primer SC

Alkaline Phosphatase da

ddNTPs. Sekuensing dila

Biosystem) dan kedua p

menggunakan CleanSEQ

dielektroforesis menggun

NTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUM

irakan dibutuhkan 3 kali lipat jumlah pen

puter juga menunjukkan keunggulan penand

ubitz et al., 2003). Sebagai contoh untuk in

mberikan kemampuan statistik yang sama, se

okus mikrosatelit, tergantung dari jumlah aleln

ENANDA SNPs DI SENGON (Falcataria moluHIBRIDA

Identifikasi SNPs Multiple Nucleotide Extension

i sengon dan Acacia hibrida menggunakan bebera

D. Sebanyak 288 dan 64 primer RAPD di

gon dan A. hibrida. Fragmen yang terpi

Vector/pGEM-T Easy Vector (Promega) da

hasil klon kemudian di PCR dan sekuensing

SCAR untuk spesifik identifikasi. Hasil sekue

esain sepasang primer SCAR. Primer SCA

si polimorfisme-nya menggunakan sampel y

rpilih beberapa primer SCAR yang akan digu

uensing untuk identifikasi SNP dimulai d

CAR, dilanjutkan dengan purifikasi PCR p

an Exonuclease I untuk mendegradasi kele

akukan dengan menggunakan Big Dye Termin

pasang primer SCAR. Purifikasi PCR produ

Sequencing Reaction Clean-up system (Age

nakan 3130 Genetic Analyzer (Applied

121 MBER DAYA HUTAN

nanda SNP untuk setiap

da mikrosatelit dalam hal

ndentifikasi individu dan

etidaknya dibutuhkan 30-

nya (Aitken et al., 2004).

uccana) DAN ACACIA

ex Single e Primer (SNuPE)

apa tahap kegiatan yaitu:

igunakan untuk skrining

lih kemudian dikloning

an Escheria coli (JM109

g.

ensing dari RAPD primer

AR yang telah berhasil

yang lebih banyak. Dari

unakan untuk identifikasi

dengan melakukan PCR

produknya menggunakan

ebihan PCR primer dan

nator v1.1/v.3.1 (Applied

uk sekuensing dilakukan

encourt) untuk kemudian

Biosystem). Dari hasil

Page 147: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

122 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

sekuensing akan dideteksi keberadaan SNPs (mutasi maupun insertion/deletion (indels)).

Penanda SNPs dikembangkan menggunakan SNP hasil mutasi. Keberadaan SNPs ini

kemudian di evaluasi dan divalidasi keberadaannya di genom dengan menggunakan sampel

yang lebih besar. Dengan memperhatikan kualitas fragmen hasil validasi dan juga

polimorfismenya di dalam setiap target posisi di sekuen DNA, akan terpilih beberapa SNPs

yang akan dikembangkan menjadi penanda SNPs.

4. Pengembangan multiplex Single Nucleotide Primer Extension (SNuPE) analisis. Beberapa

target SNPs dengan bantuan software OLIGO versi 6,8 akan didesain menjadi primer SNPs.

Primer dapat didesain dari bagian depan target basa (forward) dan bagian belakang target basa

(reverse). SNaPShot Multiplex Ready Reaction Mix (Applied Biosystem) digunakan untuk

mendeteksi setiap target SNP. SNaPShot Multiplex Reaction Ready Mix bekerja berdasarkan

sistem pemanjangan satu basa (extension reaction) dengan bantuan ddNTP (ddATP, ddTTP,

ddCTP dan ddGTP) sehingga setiap target alel pada setiap target SNP akan dapat dideteksi.

PCR produk dari extension reaction ini kemudian dipurifikasi menggunakan Exonuclease I dan

hasil purifikasi akan dilarutkan dengan Hi-Di Formamide dan LIZ-120 internal sizing standard

sebelum dimasukkan ke dalm 3130 Genetic Analyzer untuk elektroforesis.

2.2. Penanda SNPs di sengon

Hasil skrining dengan 288 primer RAPD menggunakan 16 sampel sengon berhasil

mendapatkan 48 fragmen RAPD. Sebanyak 46 SCAR primer kemudian berhasil didesain. Delapan

sampel sengon dengan 31 primer SCAR digunakan untuk identifikasi SNPs. Hasil sekuensing

menunjukkan bahwa 17 primer SCAR menghasilkan data yang informatif. Setelah data sekuensing

dan hasil identifikasi SNPs dievalusi, sebanyak 12 SNPs dari 12 penanda SCAR terpilih (Tabel 1).

Page 148: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

123 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

Tabel 1. Penanda RAPD dan SCARs untuk sengon

Set Marker

RAPD SCAR

Sequence (5´ to 3´) Fragment

length (bp)

Sequence (5´ to 3´) Sequence

length (bp)

Concen-tration (µM)

A

A1 AGTCGGGTGGCAG ca. 450 F: CACTGCTGTTTTTCCTTCAATGG R: TGGTTTTAGGTGGAAGATGCACG 295 0.20

A2 AGTCGGGTGGGAC ca. 500 F: CTCGAGTACGTTTGTGGAGAATCC R: TTGATGCACAGAGTTGGAGGC 426 0.16

A3 AACGGTGACCACT ca. 620 F: CATCACCATCACATCACCAAGG R: AACTTTTGAGTAGTTTATTCGTTGGAGC 390 0.16

A4 GGACCCAACCAAC ca. 380 F: CAGTGTGAGATTTCTGGGAGAACCT R: TAGAAAAGCTGAATCAACATCTCCAA 138 0.16

B

B1 GGAGGAGAGGGAT ca. 650 F: AAGATGAGGAAGGAACGACAAGC R: AGAAGAAATAGGTGGCGATGAGG 451 0.20

B2 GGAGGAGAGGGAA ca. 680 F: GAAGTCGGAGAGAGGCATAGTGG R: TCGGAAGGATCGGAGTACCC 488 0.16

B3 AGTCGGGTGGACT ca. 510 F: GGAAGAAGGAGGTGGAGTGTAGACG R: GAGACCTCCACTGCTACTACTTCTGC 359 0.16

B4 AGTCGGGTGGCGA ca. 300 F: GGAGCAAGAGAAGGAATTGGAGG R: GAGCCATTTTAGCAGCATCAAGG 233 0.14

C

C1 GGGCCAATGTCAG ca. 700 F: GATTACAAACAAAGGACCCAACCG R: ACTCTTGAGGACTATGTGATTGACCC 271 0.12

C2 GAGAGCCAACGAA ca. 700 F: ATTCCCTCTTCACCATCGCC R: CGGACTCAGAATGGTTGCTTCC 517 0.16

C3 GGGCCAATGTCAG ca. 500 F: TATTTTTCTCGTGTTCGTCCTTCA R: CACAGTAAGATCATCATTGCAGAGTG 284 0.18

C4 GGGCCAATGTGAC ca. 450 F: TGTTGAGGCAAGCATATATCTTCTC R: ACTTAATCCATGCAGCTTTCTCATAG 336 0.20

Kedua-belas penanda ini kemudian dikembangkan menjadi sistem DNA typing dengan 3 set analisis multiplex single nucleotide primer extension (SNuPE) (Gambar 2, Tabel 2).

Tabel 2. Konsentrasi dan sekuens extension primer serta alel yang dideteksinya pada 3 set multiplex SNuPE di sengon.

Set Marker Primer orientation Sequence (5 ́to 3´)

Concen- tration (µM)

Detected SNPAllele 1 Allele 2

Base Length (bp)1) Base Length

(bp) 1)

A

A1 F T(9)-ATCAATTTCAAGCCTCT 1.0 G 33.2 A 35.0 A2 F T(11)-CTTTGATTATGCCACCT 1.0 C 36.4 T 37.8 A3 F T(21)-CACCACCACATCACCAT 1.0 G 41.3 A 43.3 A4 F T(23)-TTAGATTCGATGATGAC 1.0 G 46.7 A 47.7

B

B1 F AGAAGACACGTCACCCT 1.0 G 28.4 C 30.8 B2 R T(3)-CCATGGATTAAGCAGCG 1.0 G 32.8 T 35.6 B3 R T(12)-GGTGACTTGCCTTCTGT 1.0 G 37.7 A 39.7 B4 F T(18)-GGGAGCTTAATGTTCTG 1.0 C 44.1 T 45.7

C

C1 F ATAACTAGGCATCGAC 1.0 G 29.8 C 30.7 C2 F T(5)-CAAATTAGCCTTCTTCG 1.0 C 34.1 T 35.8 C3 F T(13)-GCGCGAATCTTAAGCGA 1.0 A 38.6 T 39.5 C4 R T(23)-GGAGAAATACTTTAAAT 1.0 G 45.5 A 46.9

Page 149: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

124 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Gambar 2. Hasil optimatisasi pada tiga set multiplex SNuPE di sengon.

Kemampuan alel untuk mendiskriminasi (DP=Discrimination Power) sampel dihitung

menggunakan 76 sampel sengon. Hasilnya menunjukkan bahwa set A mempunyai DP tertinggi

(0,968), disusul oleh set B (0,965) dan set C (0,908). Kemampuan mendiskriminasi akan mencapai

hampir 100% jika ketiga set multiplex SNuPE digunakan (Tabel 4).

Tabel 4. Discrimation Power (DP) dari 3 set analisis multiplex SNuPE di sengon

Set MarkerNo. of observed phenotype Observed phenotype frequency DP1) Expected allele frequency2) DP3)

A1 A1A2 A2 Null A1 A1A2 A2 Null (observed) Allele 1 Allele 2 Allele 0 h (expected)

A

A1 20 30 26 0 0.26 0.39 0.34 0.00 0.658 0.46 0.54 0.00 0.497 0.623 A2 6 32 38 0 0.08 0.42 0.50 0.00 0.566 0.29 0.71 0.00 0.411 0.569 A3 23 29 23 1 0.30 0.38 0.30 0.01 0.671 0.44 0.44 0.13 0.603 0.673 A4 59 17 0 0 0.78 0.22 0.00 0.00 0.347 0.89 0.11 0.00 0.199 0.338 DP 0.968 0.965

B

B1 7 10 54 5 0.09 0.13 0.71 0.07 0.469 0.11 0.56 0.33 0.569 0.507 B2 16 34 25 1 0.21 0.45 0.33 0.01 0.647 0.42 0.54 0.04 0.531 0.636 B3 21 23 31 1 0.28 0.30 0.41 0.01 0.666 0.33 0.44 0.23 0.646 0.689 B4 10 11 55 0 0.13 0.14 0.72 0.00 0.438 0.20 0.80 0.00 0.325 0.491 DP 0.965 0.972

C

C1 2 17 56 1 0.03 0.22 0.74 0.01 0.406 0.14 0.83 0.03 0.285 0.392 C2 13 27 36 0 0.17 0.36 0.47 0.00 0.620 0.35 0.65 0.00 0.454 0.599 C3 57 16 3 0 0.75 0.21 0.04 0.00 0.392 0.86 0.15 0.00 0.248 0.404 C4 0 16 60 0 0.00 0.21 0.79 0.00 0.332 0.11 0.90 0.00 0.188 0.323 DP 0.908 0.902

DP of all sets 1.000 1.000

C

A

C

T

G

A

G

G

A

C

G

C

G

T

A

T

A

C

C

T

C

T

T

A

A

T

A

A 1 A 2 A 3 A 4 B 1 B 2 B 3 B 4 C 1 C 2 C 3 C 4

TA

A

G

G

G

C

C

S e t A S e t B S e t C

Page 150: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

125 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

2.3. Pengembangan SNPs di Acacia hibrida

Sebanyak 48 fragmen RAPD terpilih dari RAPD primer skrining. Ke-48 RAPD fragmen ini

kemudian disekuensing dan 44 primer penanda SCAR berhasil diperoleh. Identifikasi SNP

dilakukan menggunakan 28 primer SCAR pada 4 sampel dari tiap species Acacia. Hasil sekuensing

menunjukkan ada 15 SNPs yang dapat digunakan untuk diagnosa A. hibrida. Setelah dilakukan

amplifikasi lebih lanjut menggunakan semua sampel Acacia yang ada, akhirnya terpilih 5 SNPs

(Tabel 4). Kelima penanda SNPs ini kemudian dimultipleks dalam satu set multipleks SNuPE

analisis (Gambar 3, Tabel 5).

Tabel 4. Sekuens dan konsentrasi primer RAPD dan SCAR untuk diagnosis Acacia hibrida

Marker

RAPD SCAR

Primer sequence (5 to 3 )

Fragment length (bp)

Primer sequence (5 to 3 )

Primer conc.(μM)

AHsnp1

AHsnp2

AHsnp3

AHsnp4

AHsnp5

AACGGTGACCGTA

AGTCGGGTGGCGT

GGAGGAGAGGCGT

GGAGGAGAGGAGC

GGAGGAGAGGAGC

700

700

550

350

250

F: ACGGTGACCGTACTCCTTCGC R: GTGACCGTAGCCGCCGAATAC

F: GTCGGGTGGCGTGGAAGGGT R: GTCGGGTGGCGTTCCTCGAG

F: GGAGGAGAGGCGTGCCGGGG R: GGAGGAGAGGCGTCCAACCA

F: GGAGGAGAGGAGCCAGTTGAG R: GGAGGAGAGGAGCACTCACACA

F: GGAGGAGAGGAGCGTAGCCC R: GGAGGAGAGGAGCCCATTAGG

0.06 0.06

0.20 0.20

0.12 0.12

0.12 0.12

0.20 0.20

Tabel 5. Sekuens, konsentrasi dari extension primer dan deteksi alel dari multiplex SNuPE untuk diagnosis Acacia hibrida.

Marker Extension primer sequences

(5 to 3 )

Primer length

(nt)

Primer concentration

(μM)a

Allele Mb Allele Ab

Base Sizec Base Sizec

AHsnp1 AHsnp2 AHsnp3 AHsnp4 AHsnp5

CATGGCTTCTGCATTAC T6-AGCTCGCTATATATGTT T12-GGTTCGAGCTTGGAATC T14-TAGCCTCCGACGTTGGC T18-TCACTATTTCTTTCTCG

17 23 29 31 35

1.0 1.0 0.7 0.8 1.0

A C G T C

33.2 36.2 38.5 42.6 44.8

C A A A T

33.3 35.8 39.4 40.6 46.3

Page 151: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

126 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

C

A. mangium

Acacia hybrid

A. auriculiformis

A C

G T

C

A

C

A G A A T

C

T

C A

A

A

T

AHsnp2 AHsnp3 AHsnp5 AHsnp1 AHsnp4

Gambar 3. Hasil optimatisasi pada analisis multiplex SNuPE untuk diagnosi Acacia hibrida.

Kemampuan mendiskriminasi (DP) pada 40 sampel A. mangium, 40 A. auriculiformis dan

16 Acacia hibrida menunjukkan bahwa dua primer (Ahsnp1 dan Ahsnp4) dapat 100% mendeteksi

spesifik alel pada tiap Acacia species. Primer Ahsnp3 mendeteksi spesifik alel A untuk A.

auriculiformis pada 3 sampel A. mangium sedangkan alel A specific alel untuk A. auriculiformis

tidak dapat dideteksi di dua sampel A. auriculiformis dan satu A. hibrida (Tabel 6).

Tabel 6. Discrimination Power (DP) dari multiplex SNuPE analisis di Acacia hibrida

Marker A. mangium (40)a A. auriculiformis (40) a Acacia hybrid (16) a

Allele Mb Allele Ab Allele Mb Allele Ab Allele Mb Allele Ab

AHsnp1 AHsnp2 AHsnp3 AHsnp4 AHsnp5

1.00 1.00 1.00 1.00 1.00

0.00 0.00 0.08 0.00 0.00

0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

1.00 0.95 1.00 1.00 1.00

1.00 1.00 1.00 1.00 1.00

1.00 1.00 1.00 1.00 0.94

2.4. Efisiensi analisis

Analisis penanda SNP, awalnya, dilakukan untuk setiap target SNP (satu analisis untuk satu

target SNP). Tapi untuk mengefisiensikan analisis dan juga menghemat waktu dan biaya,

dikembangkan sistem multipleks. Multipleks dilakukan pada dua tahap yaitu (1) multipleks primer

SCAR dan (2) Extension reaction. Multipleks di extension reaction memungkinkan dengan

menggunakan panjang primer yang berbeda. Untuk mendapatkan panjang primer yang berbeda,

poly thymidine (Poly-T) ditambahkan pada setiap 5’ end extension primer. Optimatisasi dilakukan

pada satu primer dengan memperhatikan panjang alel pada tiap analisis. Setelah diperkirakan tidak

Page 152: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

127 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

ada lagi overlap pada setiap primer, maka optimatisasi dilanjutkan dengan memultipleks beberapa

primer dalam satu reaksi. Primer yang mempunyai signal intensity yang tinggi akan dikurangi

konsentrasi primernya sedangkan yang kurang signal intensity-nya akan ditambah konsentrasi

primernya. Hal tersebut diulang beberapa kali sampai didapatkan hasil multiplex dengan signal

intensity yang seimbang dan tidak ada lagi overlap ukuran alel.

Selain multipleks, pendekatan dengan mengurangi volume bahan kimia yang digunakan

dalam tiap multiplex analisis juga dilakukan. Efisiensi dilakukan dengan cara mengurangi volume

SNaPShot Multiplex Ready Reaction Mix dalam setiap extension reaction menjadi 1/5 dan 1/10

dari volume yang disarankan oleh supplier. Pengurangan volume ini tidak mempengaruhi kualitas

hasil analisis. Setiap target SNP dapat dideteksi dengan baik.

III. APLIKASI

Tiga set multiplex SNuPE analisis pada sengon dapat digunakan sebagai alat identifikasi

yang praktis untuk identifikasi antar genotip sengon (Yuskianti dan Shiraishi, 2010). Sedangkan

lima penanda SNP pada satu set multiplex SNuPE analisis di Acacia hibrida dapat mendeteksi

spesifik alel pada A. mangium, A. auriculiformis dan juga hibridanya. Penanda yang telah

dikembangkan ini dapat digunakan untuk berbagai tujuan seperti konfirmasi identitas hibrida baik

hasil hibridisasi buatan maupun spontan, sertifikasi hibrida, dan seleksi hibrida unggulan dari

sebuah perkebunan. Selain itu, klarifikasi produk hibrida pada pengembangan kultivar hibrida

menggunakan kebun benih dua species yaitu A. mangium dan A. auriculiformis dapat dilakukan

secara lebih efisien (Yuskianti et al., 2011).

Selain itu, dengan berbagai keunggulan penanda SNPs disertai dengan kemudahan untuk

membaca data, dan automatisasi analisisnya, maka penanda ini akan sangat berguna untuk

pembuatan data-base genetik. Data yang ada yang berupa matrix data dapat disimpan di bank data.

Dengan adanya genetik data-base yang berbasis identifikasi SNPs ini maka konfirmasi identitas

material yang ada di lapangan dan juga yang ada di bank data dapat dilakukan dengan mudah tanpa

harus menginvestasikan banyak waktu untuk membaca data dan resiko adanya artifact alel dan dan

kesalahan mengenotiping seperti pada penanda mikrosatelit.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih diberikan kepada Prof. Susumu Shiraishi dari Kyushu University

Japan atas semua bantuan, saran dan dukungannya dalam melakukan penelitian ini.

Page 153: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

128 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

DAFTAR PUSTAKA

Aitken, N., S. Smith, C. Schwarz and P.A. Morins (2004) Single nucleotide polymorphism (SNP) discovery in mammals: a targeted-gene approach. Molecular Ecology 13:1423-1431.

Batley, J., R. Mogg, D. Edwards, H. O’Sullivan and K.J. Edwards (2003) A high-throughput SNuPE assay for genotyping SNPs in the flanking regions of Zea mays sequence tagged simple sequence repeats. Molecular Breeding 11:111-120.

Brandstatter, A., T. J. Parsons and W. Parson (2003) Rapid screening of mtDNA coding region SNPs for the identification of west European Caucasian haplogroups. Int. J. Legal Med. 117:291-298.

Brumfield, R.T., P. Beerli, D.A. Nickerson and S.V. Edwards (2003) The utility of single nucleotide polymorphisms in inferences of population history. Trends in Ecology and Evolution 18 (5):249-256.

Glaubitz, J.C., J.R. Rhodes, and J.A. Dewoody (2003) Prospects for inferring pair wise relationship with single nucleotide polymorphisms. Molecular Ecology 12:1039-1047

Gros-Louis, M-C, J. Bousquet, L.E. Paques and N. Isabel (2005) Species-diagnostic markers in Larix spp. based on RAPDs and nuclear, cpDNA, and mtDNA gene sequences, and their phylogenetic implications. Tree Genetics Genomes 1:50-63.

Gupta, P.K., J.K. Roy and M. Prasad (2001) Single nucleotide polymorphisms: A new paradigm for molecular marker technology and DNA polymorphism detection with emphasis on their use in plants. Current Science 80(4): 524-535.

Heaton, M.P., G.P. Harhay, G.L. Bennett, R.T. Stone, W.M. Grosse, E. Casas, J.W. Keele, T.P.L. Smith, C.G. Chitko-McKown and W.W. Laegreid (2002) Selection and use of SNP markers for animal identification and paternity analysis in U.S. beef cattle. Mammalian Genome 13:272-281

Jin, Q., D. Waters, G.M. Cordeiro, R.J. Henry, and R.F. Reinke (2003) A single nucleotide polymorphism (SNP) marker linked to the fragrance gene in rice (Oryza sativa L.). Plant Science 165:359-364

Jones, E.S., H. Sullivan, D. Bhattramakki and J.S.C. Smith (2007) A comparison of simple sequence repeat and single nucleotide polymorphism marker technologies for the genotypic analysis of maize (Zea mays L.). Theoretical Applied Genetics 115:361-371.

Lopez, C., B. Piegu, R. Cooke, M. Delseny, J. Tohme and V. Verdier (2005) Using cDNA and genomic sequences as tools to develop SNP strategies in cassava (Manihot esculenta Crantz).Theoretical Applied Genetics 110:425-431

Osman, A., B. Jordan, P.A. Lessard, N. Muhammad, M.R. Haron, N.M. Riffin, A.J. Sinskey, CK. Rha, and D.E. Housman (2003) Genetic diversity of Eurycoma longifolia inferred from single nucleotide polymorphism. Plant Physiology 131:1294-1301

Rafalski, A (2002) Applications of single nucleotide polymorphisms in crop genetics. Current Opinion in Plant Biology 5:94-100.

Rickert, A.M., J.H. Kim, S. Meyer, A. Nagel, A. Ballvora, P.J. Oefner, and C. Gebhardt (2003) First-generation SNP/InDel markers tagging loci for pathogen resistance in the potato genome. Plant Biotechnology Journal 1:399-410.

Rohrer, G.A., B.A. Freking, and D. Nonneman (2007) Single nucleotide polymorphisms for pig identification and parentage exclusion. Animal Genetics 38:253-258.

Vallone, P.M., R.S. Just, M.D. Coble, J.M. Butler and T.J. Parsons (2004) A multiplex allele-specific primer extension assay for forensically informative SNPs distributed throughout the mitochondrial genome. Int. J. Legal Med 118:147-157.

Vignal, A., D. Milan, M. Sancristobal and A. Eggen (2002) A review on SNP and other types of molecular markers and their use in animal genetics. Genet. Sel. Evol. 34:275-305.

Wang, D.G., J-B. Fan, C-J. Siao, A. Berno, P. Young, R. Sapolsky, G. Ghandour, N. Perkins, E. Winchester, J. Spencer, L. Kruglyak, L. Stein, L. Hsie, T. Topaloglou, E. Hubbel, E. Robinson, M. Mittmann, M. S. Morris, N. Shen, D. Kilburn, J. Rioux, C. Nusbaum, S. Rozen, T.J. Hudson, R. Lipshutz, M. Chee, and E.S. Lander (1998) Large-scale identification, mapping, and genotyping of single-nucleotide polymorphisms in the human genome. Science 280:1077-1082

Yuskianti V, and S. Shiraishi (2010) Developing SNP markers and DNA typing using multiplexed single nucleotide primer extension (SNuPE) in Paraserianthes falcataria. Breed Science 60(1):87–92

Yuskianti, V., F.X. Huang, Z.B. Xiang and S. Shiraishi (2011) Diagnosis of interspecific hybrids between Acacia mangium and A. auriculiformis using single nucleotide polymorphism (SNP) markers. Silvae Genetica 60 (3-4):85-92

Zhu, Y.L., Q.J. Song, D.L. Hyten, C.P. Van Tassell, L.K. Matukumalli, D.R. Grimm, S.M. Hyatt, E.W. Fickus, N.D. Young, and P.B. Cregan (2003) Single-nucleotide polymorphism in soybean. Genetics 163:1123-1134

Zhang, B., Y. Zhou, L. Zhang, Q. Zhuge, M-X Wang, and M-R Huang (2005) Identification and validation of single nucleotide polymorphism in poplar using publicly expressed sequence tags. Journal of Integrative Plant Biology (Formerly Acta Botanica Sinica) 47 (12):1493-1499

Page 154: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

129 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

PEMULIAAN TANAMAN HUTAN DENGAN METODE PENDEKATAN TRANSCRIPTOMICS-PROTEOMICS

Purnamila Sulistyawati

Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15 Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta - 55582

Email: [email protected] ; [email protected]

ABSTRAK

Mengingat perkembangan pasar yang menuntut ketersediaan bahan baku terutama kayu dan benih/bibit tanaman dalam skala besar, maka pemuliaan tanaman dengan tujuan untuk perbaikan genetik dari beberapa spesies untuk mempersingkat rotasi tanaman yang dapat tumbuh di bawah silvikultur intensif harus terus dilakukan. Pemuliaan tanaman kehutanan secara konvensional biasanya tersendat karena daur hidup tanaman yang panjang dan kurang teridentifikasinya gen-gen mutasi, terbatasnya masa juvenile, adanya serangan penyakit dan lain-lain. Adanya perkembangan ilmu-ilmu baru dalam bidang bioteknologi tanaman dan sebagai bagian dari ilmu genomic; transcriptomic dan proteomic mampu memberikan informasi-informasi penting yang dapat dijadikan dasar pemuliaan pohon. Tujuan utama dari metode pendekatan transcriptomic dan proteomic ini adalah untuk mengidentifikasi gen atau suatu kumpulan gen tertentu yang mengekspresikan suatu sifat spesifik dari suatu species pohon. Teridentifikasinya gen-gen spesifik ini akan membantu pelaksanaan program pemuliaan pohon dalam hal seleksi pohon dengan sifat-sifat tertentu, misalnya kadar lignin, selulosa, panjang serat, ketahanan terhadap panas, ketahanan terhadap kekeringan, ketahanan terhadap penyakit, biosintesa minyak atsiri, dan sebagainya. Tulisan ilmiah ini akan berisi tentang penjelasan tentang transcriptomic dan proteomic secara umum, review beberapa penelitian yang menggunakan metode tersebut serta wacana penerapan metode transcriptomic-proteomic ini untuk mendukung program pemuliaan tanaman hutan di Indonesia.

Kata kunci: Pemuliaan tanaman, genomic, transcriptomic, proteomic

I. PENDAHULUAN

Hutan menempati hampir 82% daratan di muka bumi ini dan sekitar 50% diantaranya

menyimpan kekayaan keanekaragaman hayati terrestrial. Sektor kehutanan mempunyai peranan

penting sebagai penyedia bahan baku/mentah baik itu berupa kayu ataupun non kayu yang bisa

dimanfaatkan untuk berbagai tujuan. Hutan merupakan sumber bahan baku bagi kebutuhan

manusia termasuk diantaranya bahan bangunan, produk kertas, kayu bakar, energi, minyak atsiri,

makanan dan lain-lain. Selain itu hutan juga berfungsi penting dalam ketersediaan layanan ekologi

seperti pelestarian keanekaragaman hayati, penyerapan karbon, pengaturan iklim, dan kelestarian

air.

Pelan namun pasti, industri kehutanan dunia mengalami peningkatan dari hutan tanaman

menggunakan silvikultur intensif kearah penggunaan teknik bioteknologi molekuler sebagai salah

satu alat untuk mendukung program pemuliaan tanaman kehutanan. Penerapan bioteknologi di

pemuliaan tanaman hutan dilihat sebagai sebuah kesempatan untuk mendapatkan informasi baru

mengenai tingkat, pola dan fungsi keragaman genetik pohon, rendahnya tingkat domestikasi pohon

Page 155: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

130 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

hutan, siklus hidup yang panjang, keragaman spesies, rendahnya heritabilitas sifat yang menarik,

interaksi antara genotype dan lingkungan dan untuk menyediakan varietas pohon baru serta bahan

reproduksi disesuaikan dengan perubahan lingkungan, lingkungan sosial dan ekonomi.

Bioteknologi menyediakan alat penting bagi pembangunan berkelanjutan sektor kehutanan di

Indonesia. Setelah percobaan pertama tentang pemetaan genetik dan pemuliaan tanaman hutan

dilakukan, muncul harapan akan adanya teknik molekuler yang cepat dan akurat untuk dijadikan

dasar seleksi awal tanaman untuk sifat pertumbuhan dan sifat kayu serta peningkatan mutu kualitas

benih dan bibit tanaman kehutanan.

Perkembangan ilmu bioteknologi terbukti mampu menjembatani program pemuliaan

tanaman ini menjadi lebih cepat dan terarah. Bioteknologi hutan berhubungan dengan suatu

spektrum ilmu biologi modern yang meliputi semua aspek pemuliaan pohon dan kloning, DNA

genotyping, manipulasi gen dan transfer gen. Bioteknologi hutan dapat dibagi menjadi beberapa

cara yaitu propagasi, penanda molekuler, Marker-assisted selection (MAS) dan Marker assisted

breeding, genomics (transcriptomic, proteomics, metabolomic), dan rekayasa genetik Yanchuk

2001Wheeler 2004 Henderson and Walter 2006Trontin et al. 2007. Aplikasi teknik-teknik

bioteknologi modern mampu membantu mempercepat memperoleh benih dan bibit yang

berkualitas.

Karakter spesifik pada tanaman hutan yang biasanya dijadikan dasar program pemuliaan

tanaman hutan berbeda-beda bergantung pada tujuan pemuliaannya itu sendiri. Parameter yang

biasanya dijadikan dasar pemuliaan pohon antara lain parameter pertumbuhan, sifat fisik-kimia

kayu, resistensi terhadap penyakit, tahan cekaman kekeringan, resistensi terhadap suhu ekstrim dan

lain-lain. Sifat-sifat dasar pertumbuhan seperti tinggi batang, diameter, bebas cabang, kelurusan

batang masih dapat diukur dan diamati secara konvensional. Lain halnya dengan kandungan sifat

fisika dan kimia ataupun sifat resistensi. Hal ini karena pada sifat-sifat tersebut berhubungan

langsung dengan mekanisme biologi sel baik itu berupa pertumbuhan jaringan xylem-phloem

ataupun suatu mekanisme biosintesis. Dalam hal ini teknik genetika komparatif tidak mampu

mendeskripsikan apa yang terjadi pada yang terjadi pada gen dan/atau kumpulan gen sehingga gen-

gen tersebut mampu mengekspresikan suatu sifat karakteristik tertentu pada suatu jenis tanaman

hutan. Namun adanya teknologi genomik memfasilitasi pemahaman kita tentang mekanisme

molekuler yang mengontrol pembentukan kayu melalui penemuan gen baru yang diferensial dan /

atau memiliki signifikansi biologis dalam pertumbuhan sekunder. Studi komparatif antara ekspresi

gen (transcriptomic) dan profil protein (proteomics) akan memudahkan pemahaman secara

komprehensif tentang tahapan biokimiawi dan molekuler selama proses transkripsi RNA dan

mekanisme biosintesa lainnya pada suatu pohon dengan karakteristik tertentu.

Page 156: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

131 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

Teknologi Genomik, dalam pengertian umum adalah kemajuan dalam peningkatan

teknologi pada setiap level penelitian terhadap DNA (genomics), dan RNA (transcriptomics),

protein (proteomic), metabolit (metabolomic) dan fenotip (phenomic) (Tabel 1).Henry 2010

Tabel 1 Genomik dan hubungannya dengan ilmu-ilmu “omics” lainnyaOmic Level

Genomics DNATranscriptomics RNA

Proteomics ProteinMetabolomics Metabolite

Phenomics Phenotype

Penelitian genom pada tanaman kehutanan semakin banyak dilakukan untuk mendukung

program pemuliaan tanaman dengan cara memperbaiki genetik dan mengembangkan alat

diagnostik untuk pemulihan, pelestarian dan pengelolaan populasi alam. Menurut Neale dan

Kremer 2011, penelitian genom di tanaman kehutanan didorong oleh dua tujuan utama. Tujuan

pertama adalah pemuliaan dan perbaikan genetik dari beberapa spesies untuk mempersingkat rotasi

tanaman yang dapat tumbuh di bawah silvikultur intensif. Penelitian terhadap tujuan ini berusaha

untuk mengembangkan pasokan yang berkelanjutan dari produk serat kayu. Tujuan kedua adalah

pengelolaan sebagian besar populasi tanaman kehutanan yang masih asli dan berumur panjang.

Tujuan ini akan dicapai dengan menguraikan distribusi dan evolusi keanekaragaman adaptif dalam

konteks ekologi dan evolusi. Teknologi gen yang modern menyediakan berbagai macam teknik

untuk pemuliaan tanaman kehutanan termasuk analisa genetik dan teknik pendeteksi sistem

perkawinan secara molekuler berdasar pada teknik genomik dan ekspresi gen. Teknik-teknik ini

dapat membantu keberhasilan program bioteknologi di sektor kehutanan tanpa secara khusus

membuat tanaman kehutanan hasil rekayasa genetik. Hasil teknologi gen modern yang

diaplikasikan pada tanaman kehutanan dapat dilihat di hutan tanaman dan terutama pada tanaman-

tanaman klonal pada periode waktu pendek sampai menengah.

Baginsky 2009 memaparkan hubungan antar unsur-unsur dasar ilmu biologi dengan

beberapa komplek interaksi antara DNA, RNA, protein dan metabolit. Hubungan itu meliputi

regulasi transkripsi dan aktivitas enzim melalui akumulasi metabolit, sintesis dan degradasi asam

nukleat (DNA, RNA) oleh protein, peraturan interaksi asam nukleat dengan protein dan dengan

satu sama lain. Untuk semua kegiatan penelitian berbasis DNA dapat digolongkan kedalam ilmu

Genomics, sementara penelitian untuk mengetahui proses dan hasil dari transkripsi RNA

digolongkan menjadi Transcriptomics. Proteomics adalah salah satu cabang ilmu yang mempelajari

Page 157: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

132 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

tentang biosintesa protein dan berhubungan erat dengan transcriptomic karena produk dari

transcriptomic adalah berupa asam-asam amino yang akan membentuk rangkaian protein komplek;

sedangkan Metabolomics mempelajari semua senyawa metabolit yang dihasilkan oleh suatu

organisme.

Penelitian menggunakan metode genomik terutama transcriptomic dan proteomic telah

banyak dilakukan, namun belum terlalu populer di Indonesia, terutama untuk tanaman kehutanan.

Untuk itu tulisan ini mencoba memaparkan dua macam teknik genomik tersebut sebagai salah satu

usaha untuk mengidentifikasi sifat-sifat atau karakter spesifik tertentu pada suatu pohon.

Diharapkan adanya tulisan ini akan membuka wawasan kita tentang salah satu ilmu bioteknologi

modern yang terbukti mampu mempercepat proses pemuliaan tanaman hutan.

A. TRANSCRIPTOMICS

Transcriptomics adalah penghitungan transcriptome, yaitu satu set transkrip lengkap terdiri

dari dari sel atau populasi sel, yang meliputi protein-coding mRNA dan non-coding kecil RNA

(misalnya ribosom, tRNA, miRNA) dan kelimpahannya, untuk tahap perkembangan tertentu atau

kondisi fisiologis tertentu Schulze and Downward 2001Stears and Martinsky 2003Wang et al.

2009. Transcriptomic merupakan suatu teknik yang mengandalkan metode high-throughput yang

secara akurat menentukan atau memetakan perubahan dalam ekspresi gen global dalam genomik

fungsional. Tujuan dari penelitian menggunakan metode ini adalah untuk mendapatkan tingkat

ekspresi gen yang tinggi dan untuk membuat suatu database gen teridentifikasi yang berkontribusi

pada transkripsi RNA. Database gen ini memberikan kemampuan untuk mengidentifikasi

perbedaan kuantitatif dan kualitatif dalam ekspresi gen ketika membandingkan beberapa populasi

mRNA. Teknik ini mampu mengukur ekspresi puluhan ribu gen dalam satu waktu dan digunakan

untuk menemukan gen baru dan penentuan fungsi gen. Gen dengan pola ekspresi yang sama

seringkali berfungsi dalam proses biologis yang sama. Jadi pada prinsipnya metode transcriptomic

ini adalah untuk mengetahui transkripsi RNA dari suatu organisme. Transkripsi RNA ini

berhubungan erat dengan ekspresi gen atau kumpulan gen terhadap suatu sifat atau karakteristik

tertentu.

Berbeda dengan genom, transcriptome suatu organisme dapat bervariasi dengan kondisi

lingkungan eksternal. Metode transcriptome mampu menganalis banyak gen secara paralel.

Tahapan pekerjaan penelitian transcriptome secara umum adalah pengambilan sampel, isolasi total

RNA, purifikasi RNA, microarray, dan analisa data. Pada dasarnyanya, ribuan cDNA atau

oligonucleotida yang didapat dari EST (expressed sequence tags) digunakan untuk membuat

Page 158: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

133 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

microarray DNA Lockhart and Winzeler 2000Selinger et al. 2000, yang kemudian dihibridisasi

dengan mRNA dari tanaman dengan suatu karaketer tertentu. Gen atau kumpulan gen yang

memperlihatkan perbedaan ekspresi gen kemudian diseleksi untuk penelitian lebih lanjut.

Umumnya, analisa transcriptomic menggunakan microarray, walaupun tidak tertutup kemungkinan

menggunakan teknik lainnya, seperti Serial analysis of gene expression (SAGE), fingerprinting

cDNA, dan EST. Metode pengurutan gen-gen pada transkripsi RNA lebih lengkap didapatkan

dengan menggunakan metode sekuensing RNA (RNA-seq). Sekuensing dapat dilakukan dengan

berbagai platform untuk menguji banyak ide dan hipotesis. Misalnya, menggunakan platform

Genome Analyzer Illumina, untuk sekuensing transcriptomes mamalia Mortazavi et al. 2008,

SOLID ABI Sekuensing untuk transcriptomes sel profil induk Cloonan et al. 2008 atau 454

Sequencing Life Science untuk menemukan SNP pada jagung. Barbazuk et al. 2007. Lister et

al.2009 dan Morozova et. al 2009 memberikan penjelasan yang detail mengenai penggunaan

beberapa alat sekuensing RNA modern dan canggih. Penelitian sekuensing transcriptome terbaru

dipaparkan oleh Wang 2010 dengan menggunakan mesin sequencing UHTS (ultra high-throughput

sequencing) untuk mendapatkan susunan gen hasil transkripsi RNA secara lengkap dan detil.

Kemajuan luar biasa didapat dari penelitian transcriptome pada Arabidopsis thaliana.

Pemetaan gen-gen yang mempengaruhi fungsi kerja hormon, kontrol transkripsi dan faktor lainnya

telah dilakukan Busov et al. 2008. Ulasan yang dilakukan oleh Groover dan Robischon 2006

memaparkan bukti molekuler bahwa gen-gen tertentu yang terlibat dalam pembentukan kayu

adalah suatu gen yang unik dan bahwa jaringan meristem apikal serta jaringan kambium vaskular

sama-sama berpengaruh pada proses pembentukan kayu. Street et al 2008 mengembangkan

penelitian transcriptomic untuk mengidentifikasi gen-gen yang berkontribusi pada pembentukan

dan perkembangan daun pada tanaman Arabidopsis. Sehubungan dengan adanya fakta bahwa

pertumbuhan tanaman dihasilkan dari proses differensiasi dan ekspansi sel terutama jaringan

meristem dan apikal, maka banyak penelitian transcriptomic yang berfokus untuk mengidentifikasi

gen pengatur pertumbuhan dan perkembangan Demura and Fukuda 2007. Penelitian transcriptomic

tentang proses transkripsi pada pertumbuhan kambial diferensiasi jaringan xylem pada tanaman

Populus dilakukan oleh Hertzberg et al 2001. Studi transcriptome untuk mengetahui ketahanan

suatu tanaman terhadap serangan hama dilakukan pada tahun 2006 oleh Thompson dan Goggin.

Coleman et. al 2005 memaparkan penggunaan metode transcriptomic ini untuk mempelajari respon

Arabidopsis thaliana terhadap methanol yang merupakan salah satu polutan pada air buangan

pabrik.

Page 159: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

134 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

B. PROTEOMICS

Proteomic adalah ilmu yang mempelajari tentang protein baik itu struktur protein maupun

fungsi protein. Protein merupakan bagian penting dari organisme hidup, karena mereka adalah

komponen utama dari jalur metabolisme fisiologis sel. Istilah "proteomik" diciptakan untuk

membuat analogi dengan genomik, studi tentang gen. Kata "proteome" adalah campuran dari

"protein" dan "genom. Proteome adalah komplemen seluruh protein termasuk modifikasi yang

dilakukan untuk satu set tertentu protein, yang dihasilkan oleh organisme atau sistem. Ini akan

bervariasi dengan waktu dan persyaratan yang berbeda, atau stres yang dialami oleh suatu sel atau

organisme.

Setelah genomik dan transcriptomik, proteomik dianggap langkah berikutnya dalam studi

sistem biologi. Metode ini jauh lebih rumit daripada genomik terutama karena proteome organisme

tidak konstan dan berbeda dari sel ke sel dan dari waktu ke waktu. Hal ini karena gen yang berbeda

dinyatakan dalam tipe sel yang berbeda. Ini berarti bahwa bahkan set dasar protein yang diproduksi

dalam sel perlu ditentukan. Di dalam proses proteomic mRNA tidak selalu diterjemahkan ke dalam

protein dan jumlah protein yang diproduksi untuk suatu jumlah mRNA tergantung pada gen yang

ditranskripsi dan keadaan fisiologis sel.

Tujuan dari proteomik adalah deskripsi komprehensif kuantitatif ekspresi protein dan

perubahannya. Studi tentang proteomic membutuhkan sarana analisa data berbasis komputasi yang

lengkap termasuk didalamnya adalah alat elektroforesis gel, kristalografi, infrared dan spectroscopy

massa dan peralatan peralatan MALDI-TOF (matrix laser desorption/ionization-time of flight).

Peralatan biokimia terpenting untuk metode proteomic adalah spektrometri massa (MS)McDonald

and III 2000Mann et al. 2001 dan gel elektrophoresis 2-dimensi McDonald and III 2000Gorg et al.

2004. Umumnya tahapan pekerjaan proteomic dimulai dari pengambilan sampel, ekstraksi protein,

pemisahan protein menggunakan elektroforesis, purifikasi protein menggunakan kromatografi,

deteksi protein menggunakan gel elektrophoresis 2-dimensi, analisa gambar, peptida fingerprinting,

analisa susunan asam amino, database, karakterisasi protein, dan studi fungsional protein.

Proteomics belum terlalu banyak digunakan untuk tanaman kehutanan, namun tidak

menutup kemungkinan banyaknya keuntungan yang diperoleh bila menerapkan metode ini. Sebagai

contoh, studi proteomik yang dilakukan pada Picea glauca. Penelitian ini mengidentifikasi

sejumlah ekspresi protein yang berbeda-beda pada tahapan embrio somatik pada tanaman Picea

glauca Lippert et al. 2005. Proteomik memudahkan kita mengetahui dan memahami variasi

ekspresi gen/protein yang ditemukan dalam suatu spesies tanaman hutan, sehingga tersedia banyak

kandidat gen ekspresional yang bisa digunakan untuk menelusuri sifat-sifat tertentu seperti

Page 160: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

135 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

toleransi terhadap suhu dingin dan panas, kekeringan, tahan penyakit dan fenologi.

Beberapa penelitian tentang proteomic diantaranya adalah yang dilakukan oleh Costa et al

pada tahun 1999 yaitu tentang identifikasi pembentukan protein pada daun dan xylem tanaman

Pinus laut. Coleman et al 2005 memaparkan penerapan metode proteomic untuk menganalisa

jaringan apoplast dari tanaman Arabidopsis thaliana sebagai bagian dari mekanisme respon

terhadap faktor biotik dan abiotik, sedangkan studi pendekatan proteomic untuk menganalisa

respon kekeringan dan kadar garam pada tanaman padi dilakukan oleh Salekdeh et al pada tahun

2002. Yuan et al 2011, menggunakan teknik proteomic untuk mempelajari sistem proteome pada sel

kloroplas tanaman Populus dan berhasil mengidentifikasi 119 jenis protein.

Gambar 1 menunjukkan hubungan antara genomic, transcriptomic dan proteomic pada

proses transkripsi RNA dan translasi. Hasil penelitian transcriptomic yang berupa gen atau susunan

gen-gen yang mengekspresi suatu karakter akan diteruskan pada proses translasi. Pada tahap ini

gen-gen tersebut akan berproses membentuk asam amino-asam amino yang akhirnya akan

membentuk rangkaian protein komplek. Pada proses inilah teknik proteome sangat perlu diterapkan

untuk mengetahui seberapa banyak gen-gen hasil transkripsi ditranslasi menjadi protein dan apakah

protein-protein tersebut mempunyai struktur dan fungsi tertentu yang berpengaruh pada suatu

organisme.

Beberapa penelitian yang menggabungkan teknik proteomic dengan transcriptomic

diantaranya adalah Ricorch et al pada tahun 2011 yang memaparkan tentang penggunaan teknik

transcriptomic dan proteomics secara bersamaan untuk mendeteksi gen-gen yang ditransferkan

pada suatu tanaman hasil rekayasa genetik. Hal ini dilakukan untuk mengetahui adanya

penyimpangan fungsi gen tersebut dan menanggulangi efek yang mungkin ditimbulkan dari

penyimpangan fungsi tersebut. Integrasi teknik proteomic dan transcriptomic juga dilakukan pada

tanaman white spruce untuk menginvestigasi kondisi fisiologis tanaman tersebut dalam kondisi

aktif dan dorman Leonardo et al. 2012. Teknik transcriptomic-proteomic juga digunakan pada

analisa penyakit tanaman Tan et al. 2009.

Page 161: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

136 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Gambar 1. Penerapan studi genomic, transcriptomic dan proteomic secara global.

II. TRANSCRIPTOMIC-PROTEOMIC UNTUK TANAMAN HUTAN

Tanaman kehutanan dikenal sebagai tanaman dengan daur hidup yang panjang.

Dibandingkan dengan tanaman pertanian, pemuliaan genetik tanaman kehutanan membutuhkan

waktu yang panjang. Dimulai dari tahapan pembangunan populasi dasar hingga mencapai populasi

pemuliaan, sejak mulai dari pemilihan individu tanaman sampai pada pemanenan benih dari kebun-

kebun benih telah memakan waktu hampir seperlima abad pada jenis-jenis yang cepat tumbuh.

Memang cara konvensional ini terbukti mampu menghasilkan benih dan bibit tanaman kehutanan

yang berkualitas, namun mengingat kebutuhan kayu oleh pasar dunia yang semakin meningkat

diperlukan suatu usaha untuk mempercepat perolehan benih dan bibit tanaman kehutanan yang

berkualitas. Selain itu juga parameter-parameter pemuliaan tanaman secara konvensional yang

digunakan untuk seleksi pohon sangat terbatas, karena biasanya menitikberatkan pada parameter

pertumbuhan. Faktor perubahan iklim global dan peningkatan suhu bumi juga memberikan

pengaruh yang tidak bisa diabaikan.

Adanya terobosan baru dalam bidang genomik dengan merapkan metode transcriptomic dan

proteomic ini diharapkan akan mempercepat proses pemuliaan tanaman hutan. Kedua metode ini

mampu mengidentifikasi sifat atau karakter spesifik suatu organisme sampai ke tingkatan sel.

Page 162: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

137 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

Pemuliaan tanaman hutan selalu didasarkan pada seleksi fenotip yang kemudian diikuti dengan

penerapan teknik perkawinan yang berbeda-beda. Seleksi karakter/sifat yang menjadi prioritas

utama adalah seleksi pertumbuhan dan produksi. Karakter lainnya yang kemudian dipertimbangkan

seperti misalnya ketahanan terhadap serangan penyakit dan hama, pembentukan kayu (sifat fisik

dan kimia kayu) dan toleransi terhadap cekaman abiotik yang ekstrem. Semua karakter tersebut

diatas dipengaruhi oleh satu gen atau kumpulan gen-gen tertentu. Disinilah metode transcriptomic

dan proteomic bisa dijadikan alat untuk membantu mempercepat proses seleksi tanaman dalam

program pemuliaan tanaman hutan.

Sebagai contoh pada tanaman Acacia mangium. Tanaman Acacia mangium telah

dikembangkan secara besar-besaran berdasarkan parameter pertumbuhan. Tanaman ini dikenal

sebagai bahan baku pulp dan kertas sehingga beberapa tahun ini dikembangkanlah pemuliaan

tanaman A. mangium berdasarkan potensi kadar lignin dan selulosanya, sebagaimana kita tahu

bahwa proses pembuatan bubur pulp dan kertas memerlukan kadar lignin yang rendah untuk

menekan biaya delignifikasi. Metode transcriptomic dan proteomic dapat diterapkan disini untuk

membantu penyeleksian tanaman dengan cara menyusun suatu database gen pengendali rendemen

pulp yaitu gen-gen yang berpengaruh langsung maupun tidak langsung pada biosintesa lignin dan

selulosa. Teknik rekayasa untuk memanipulasi kadar lignin memang belum teruji, namun penanda

EST lignin dan selulosa serta serial data cDNA gen penyusun lignin dan selulosa telah banyak

ditemukan dan telah tercatat di database gen. Apabila sekumpulan gen pengendali lignin (EST

lignin) telah dapat diidentifikasi dari mangium langkah selanjutnya adalah mencari korelasi antara

sekumpulan data EST tersebut dengan kadar lignin. Proses biokimia pembentukan lignin telah

dapat diuraikan dengan jelas Peter and Neale 2004 dan menyediakan kandidat komponen-

komponen gen yang bisa digunakan untuk analisa dalam level genome. Pada akhirnya, kita akan

mendapatkan individu-individu tanaman A. mangium yang mempunyai potensi sebagai sumber

bahan baku pulp yang telahteruji secara genetis tanpa harus menyeleksi ribuan pohon dan tanpa

harus melakukan penanaman berstruktur yang jelas akan memakan waktu panjang.

Serangan penyakit fusiform rust disebabkan oleh Cronartium quercuum (Berk.) Mayabe ex.

Shirai f.sp. fusiforme dan pitch canker disebabkan oleh Fusarium circinatum Nirenberg &

O’Donnell, sebelumnya disebut F. subglutinans f. sp. Pini pada tanaman loblolly pine dan slash

pine diidentifikasi menggunakan metode transcriptomic proteomic. Hasil penelitian menunjukkan

adanya perbedaan mekanisme serangan pada tingkatan ekspresi gen dari kedua tanaman inang

tersebut Davis et al. 2004. Perbedaan serangan penyakit membawa pengaruh pada perbedaan

mekanisme resistensi tanaman terhadapa penyakit dan telah dipelajari dalam tingkatan ekspresi gen

Morse et al. 2004.

Page 163: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

138 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

III. KESIMPULAN

Pada akhirnya tanaman kehutanan memerlukan suatu metode baru pemuliaan tanaman karena

pemuliaan tanaman secara konvensional memakan waktu lama dan teknik genetika komparatif

yang selama ini sudah dilakukan tidak efektif mendeskripsikan apa yang terjadi pada gen dan/atau

kumpulan gen tertentu.

Informasi menyeluruh tentang genom tanaman hutan akan mengubah cara pemuliaan tanaman

hutan. Dengan adanya dukungan dari semua pihak dan dengan ketersediaan sarana-prasarana

pelaksanaan pengembangan dan penerapan teknologi transcriptomic dan proteomic dapat dilakukan

untuk membantu mempercepat seleksi tanaman kehutanan untuk mendukung program pemuliaan

tanaman hutan.

DAFTAR PUSTAKA

Baginsky, S. (2009). "Plat proteomics: Concepts, applications and novel strategies for data interpretation." Mass Spectrometry Reviews 28: 93-120.

Barbazuk, W. B., S. J. Emrich, H. D. Chen, L. Li and P. S. Schnable (2007). "Snp discovery via 454 transcriptome sequencing." The Plant Journal 51(5): 910-918.

Busov, V. B., A. M. Brunner and S. H. Strauss (2008). "Genes for control of plant stature and form." New Phytol (177): 589-607.

Cloonan, N., A. Forrest, G. Kolle, B. B. Gardiner, G. J. Faulkner, M. K. Brown, D. F. Taylor, A. L. Steptoe, S. Wani, G. Bethel, A. J. Robertson, A. C. Perkins, S. J. Bruce, C.CLee, S. s. Ranade, H. E. Peckham, J. M. Manning, K. J. McKernan and S. M. Grimmond (2008). "Stem cell transcriptome profiling via massive-scale mrna sequencing." Nature Methods 5(7): 613-619.

Coleman, J. O. D., R. P. Haslam and A. L. Downie (2005). "Transcriptomics and proteomics tools for optimising phytoremediation activities." Z. Naturforsch(60 c): 544-548.

Davis, J. M., A. M. Morse, D. A. Huber, C. D. Nelson and S. F. Covert. (2004). "Genetic architecture of loblolly pine interactions with contrasting pathogens." Phytopathology 94: S133.

Demura, T. and H. Fukuda (2007). "Transcriptional regulation in wood formation." Trends Plant Science 12: 64-70.

Gorg, A., W. Weiss and M. J. Dunn (2004). "Current two-dimensional electrophoresis technology for proteomics." Proteomics 4: 3665-3685.

Groover, A. and M. Robischon (2006). "Developmental mechanisms regulating secondary growth in woody plants." Current Opinion in Plant Biology(9): 55-58.

Henderson, A. R. and C. Walter (2006). "Genetic enginering in conifer plantaion forestry." Silvae Genetica 55(6): 253-262.

Henry, R. J. (2010). An overview of advances in plant genomics in the new millenium. Principles and practices of plant genomics. C. Kole and A. G. Abbot. South Carolina, USA, Science Publishers. 3: 1-23.

Hertzberg, M., H. Aspeborg, J. Schrader, A. Anderson, R. Erlandsson, K. Blomqvist, R. Bhalerao, M. Uhlen, T. T. Terri and J. Lundeberg (2001). "A transcriptional roadmap to wood formation." Proc Natl Acad Sci USA(98): 14732-14737.

Leonardo, M., G. Gonzales, W. E. Kayal, C. J. T. Ju, C. C. G. Allen, S. King-Jones and J. E. K. Cooke (2012). "Integrated transcriptomic and proteomic profilling of white spruce stems during the transition from active growth to dormancy." Plant, Cell and Environment 35: 682-701.

Lippert, D., J. Zhuang, S. Ralph, D. E. Ellis, M. Gilbert, R. Olafson, K. Ritland, B. Ellis, C. J. Douglas and J. Bohlmann (2005). "Proteome analysis of early somatic embryogenesis in picea glauca."

Page 164: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

139 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

Proteomics 5(2): 461-473. Lister, R., B. D. Gregory and J. R. Ecker (2009). "Next is now: New technologies for sequencing of

genomes, transcriptomes and beyond." Current Opinion in Plant Biology 12: 107-118. Lockhart, D. J. and E. A. Winzeler (2000). "Genomics, gene expression and DNA arrays." Nature 405: 827-

836. Mann, M., R. C. Hendrickson and A. Pandey (2001). "Analysis of protein and proteomes by mass

spectrometry." Annual Review of Biochemicals 70: 437-473. McDonald, W. H. and J. R. Y. III (2000). "Proteomic tools for cell biology." Traffic Munksgaard

International Publishers 1: 747-754. Morozova, O., M. Hirst and M. A. Marra (2009). "Application of new sequencing technologies for

transcriptome analysis." Annual Review of Genomics and Human Genetics 10: 131-151. Morse, A. M., C. D. Nelson, S. F. Covert, K. E. Smith and J. M. Davis (2004). "Pine genes regulated by the

necrotrophic pathogen, fusarium circinatum." Theor. Appl. Genet. 109: 922-932. Mortazavi, A., B. A. Williams, K. McCue, L. Schaeffer and B. Wold (2008). "Mapping and quantifying

mammalian transcriptomes by rna-seq." Nature Methods 5(7): 621-628. Neale, D. B. and A. Kremer (2011). "Forest tree genomics: Growing resources and applications." Nature

Reviews Genetics 12: 111-122. Peter, G. and D. Neale (2004). "Molecular basis for the evolution of xylem lignification." Current Opinion in

Plant Biology 7: 737-742. Ricroch, A. E., J. B. Berge and M. Kuntz (2011). "Evaluation of genetically engineered crops using

transcriptomic, proteomics, and metabolomic profilling techniques." Plant Physiology 155: 1752-1761.

Salekdeh, G. H., J. Siopongco, L. J. Wade, B. Ghareyazie and J. Bennett (2002). "A proteomic approach to analyzing drought- and salt-responsiveness in rice." Field Crops Research 76(2-3): 199-219.

Schulze, A. and J. Downward (2001). "Navigating gene expression using microarrays-a technology review." Nat Cell Biol 3: 190-195.

Selinger, D. W., K. J. Cheung and R. Mei (2000). "Rna expression analysis using a 30 base pair resolution escherichia coli genome array." Nature Biotechnology 18: 1262-1268.

Stears, R. L. and T. Martinsky (2003). "Trends in microarray analysis." NatMed(9): 140-145. Street, N. R., A. Sjodin, M. Bylesjo, P. Gustafsson, J. Trygg and S. Jansson (2008). "A cross-species

transcriptomics approach to identify genes involved in leaf development." BMC Genomics 9: 589-607.

Tan, K.-C., S. V. S. IPCHO, R. D. TRENGOVE, R. P. OLIVER and P. S. SOLOMON (2009). "Assessing the impact of transcriptomics, proteomics, and metabolomics on fungal phytopathology." Molecular Plant Pathology 10(5): 703-715.

Trontin, J. F., C. Walter, K. Klimaszewska, Y. S. Park and M. A. Walter (2007). "Recent progress in genetic transformation of four pinus spp. ." Transgenic Plant Journal 1(2): 314-329.

Wang, L., P. Li and T. P. Brutnell (2010). "Exploring plant transcriptomes using ultra high-thoughput sequencing." Briefings in Functional Genomics 9(2): 118-128.

Wang, Z., M. Gerstein and M. Snyder (2009). "Rna-seq: A revolutionary tool for transcriptomics." Nat. Rev. Genet 10: 57-63.

Wheeler, N. (2004). A snapshot of the global status and trends in forest biotechnology, In FAO. 2004b q.v. Yanchuk, A. D. (2001). "The role and implications of biotechnological tools in forestry." Unasylva 204: 53-

61. Yuan, H. M., K. L. i, R. J. Ni, W. D. Guo, Z. Shen, C. P. Yang, B. C. Wang, G. F. Liu, C. H. Guo and J. Jiang

(2011). "A systematic proteomic analysis of populus chloroplast by using shotgun method." Mol. Biol. rep 38(5): 3045-3054.

Page 165: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

140 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Page 166: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

141 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

VERIFIKASI ASAL-USUL KAYU MERBAU (Intsia bijuga) MENGGUNAKAN PENANDA DNA: STRATEGI DAN STATUS PENELITIAN

AYPBC Widyatmoko dan Anto Rimbawanto

Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15 Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta

Email: [email protected]

ABSTRAK

Merbau (Instia bijuga) merupakan salah satu jenis pohon penghasil kayu keras berkualitas tinggi yang termasuk dalam suku Fabaceae (Leguminosae). Kayunya dimanfaatkan untuk pembuatan kusen, pintu dan jendela, lantai parket (parquet flooring), papan-papan dan panel, dan lain-lain. Di Indonesia, jenis ini secara alami tersebar dari Sumatera sampai Papua. Jenis ini sudah masuk dalam daftar IUCN Red List of Threatened Species tahun 2006 sebagai “Vulnerable under the category VU A1cd”. Tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah membangun data base struktur genetik dari populasi alam merbau guna memverifikasi asal-usul kayu merbau. Penelitian ini secara garis besar terbagi menjadi 5 kegiatan, yaitu: 1) Koleksi materi genetik dari populasi alam (Papua, Maluku dan Sulawesi), 2) Pengembangan metode ekstraksi DNA untuk kayu, 3) Pengembangan penanda DNA untuk merbau (SSR dan SNPs), 4) Pembangunan database struktur genetik, dan 5) Verifikasi asal usul kayu berdasarkan database yang telah dibangun. Beberapa hasil yang telah diperoleh adalah; 1) Keragaman genetik dan jarak genetik 4 populasi menggunakan penanda RAPD, 2) Ekstraksi DNA kayu menggunakan DNAeasy kit, 3) Materi genetik merbau dari 18 populasi yang tersebar di Papua, Maluku dan Sulawesi, dan 4) Variasi sekuensing pada 4 kloroplas DNA non-coding region. Di akhir Desember 2014, diharapkan dapat disusun database struktur genetik populasi merbau berdasarkan 3 penanda DNA (chloroplast DNA, SSR and SNPs) yang dapat digunakan sebagai alat verifikasi asal-usul kayu merbau.

Key Words: Instia bijuga, struktur genetik, data base, penanda DN

I. PENDAHULUAN

Penebangan liar (illegal logging) memberikan dampak yang cukup besar terhadap

deforestasi, dampak lingkungan dan biodiversitas. Chain of Custody (CoC) merupakan sistem yang

diberlakukan untuk mengurangi terjadinya illegal logging. Sebagian besar metode yang digunakan

dalam CoC masih melalui pendekatan dokumen atau pelabelan (labeling). Sayangnya, sistem yang

digunakan saat ini masih membuka kesempatan untuk terjadinya pelanggaran. Metode yang lebih

akurat untuk mengatasi permasalahan ini adalah menggunakan penanda DNA. DNA dari sepotong

kayu akan selalu terkandung di dalamnya, akan selalu terbawa dan tidak dapat/susah untuk

dihilangkan/dirusak (Degen dan Fladung 2007).

Merbau (Intsia bijuga) merupakan salah satu jenis kayu yang bernilai ekonomis tinggi di

Asia Tenggara karena berwarna gelap, bertekstur indah dan kuat. Pemanfaatan yang utama dari

Page 167: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

142 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

kayu merbau saat ini adalah sebagai bahan flooring, mebel eksterior, tangga, lemari dan dek.

Merbau tersebar secara alami di Pasifik bagian barat dan wilayah Indonesia-Malaysia, dari New

Guinea dan Palau di bagian barat sampai Fiji, Tonga dan Samoa di bagian tenggara sampai ke

Mariana, Caroline dan Kepulauan Marshall di bagian utara, serta bagian timur laut di Pasifik. Jenis

ini ditemukan di Madagaskar, Seychelles, Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipin, Papua New

Guinea, dan Australia. Di Indonesia, jenis ini secara alami tersebar mulai dari Sumatera sampai

Papua. Tetapi karena banyaknya penebangan liar dan eksploitasi yang berlebihan, dewasa ini

merbau hanya tersisa di Papua, Maluku dan sekitarnya.

Berdasarkan The IUCN Red List of Threatened Species tahun 2006, I. bijuga terdaftar

sebagai Vulnerable dalam kategori VU A1cd. Tetapi hal tersebut belum dilakukan review ulang

sejak tahun 1994. Dengan demikian, keberadaan jenis merbau cukup mengkawatirkan.

Mendeteksi asal-usul geografis dari sampel kayu, dibutuhkan koleksi sampel yang memadai

dan genotyping dari populasi yang tersebar pada sebaran alaminya. Kemampuan untuk

mendeteksi asal usul sampel kayu yang berasal dari suatu wilayah tergantung dari jumlah sampel,

jumlah penanda polimorfik dan keragaman genetik dari populasi yang digunakan (Dykstra et al.,

2003; Lowe, 2007). Finkeldey et al. (2007) mencoba untuk mengidentifikasi dipterokarpa

menggunakan penanda genetika molekuler. Walaupun tidak mudah untuk mendeteksi asal usul

individu terhadap populasinya berdasarkan informasi penanda DNA, sistem ini akan sangat

bermanfaat untuk tujuan pengontrolan.

Tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah untuk menyusun database struktur genetik dari

populasi alami merbau untuk memverifikasi asal-usul kayu merbau yang diperkirakan berasal dari

penebangan liar.

II. RENCANA PENELITIAN

Implementasi dari kegiatan penelitian ini dibagi menjadi beberapa kegiatan yang

berkesinambungan. Kegiatan awal yang menjadi prioritas adalah koleksi materi genetik. Pada

waktu yang bersamaan, dilakukan juga pengembangan metode ekstraksi DNA untuk kayu.

Page 168: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

143 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

Kegiatan selanjutnya yang dilakukan di laboratorium adalah ekstraksi DNA dari bahan daun dan

kayu, purifikasi, reaksi PCR, elektroforesis dan skoring data, serta analisis dan interpretasi.

Penanda DNA yang digunakan untuk kegiatan penelitian ini adalah sekuensing dari kloroplas DNA,

mikosatelit atau SSR (simple sequence repeat) dan SNPs (Single Nucleotide Polymorphism). Alur

dari kegiatan penelitian ini disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Alur kegiatan penelitian

Uraian singkat kegiatan penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Koleksi materi genetik merbau dari sebaran alaminya (Papua, Maluku dan Sulawesi)

Koleksi materi genetik (daun dan kayu) dilakukan dari sebaran alam merbau yang tersebar di 3

pulau, yaitu Papua, Kepulauan Maluku dan Sulawesi. Koleksi tersebut sebagian besar

dilakukan di wilayah Papua, mengingat sebaran alami merbau yang terluas adalah di wilayah

tersebut. Daun akan dikumpulkan dari minimal 20 pohon yang tidak berkerabat. Materi kayu

dikumpulkan mewakili beberapa populasi yang akan dikoleksi.

2. Pengembangan metode ekstraksi DNA dari kayu

Ekstraksi DNA dari daun atau biji jauh lebih mudah daripada kayu. Berbagai macam metode

ekstraksi DNA untuk daun dan biji telah dikembangkan, tetapi metode untuk ekstraksi DNA

Page 169: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

144 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

kayu masih terbatas. Pada kegiatan penelitian ini, ekstraksi total DNA dari kayu akan dilakukan

menggunakan metode yang sudah dikembangkan dan modifikasi dari metode-metode tersebut.

3. Pengembangan penanda DNA untuk merbau

Masing-masing penanda DNA mempunyai sifat dan karakteristik yang membuat mereka dapat

digunakan untuk verifikasi asal-usul kayu atau tidak. Beberapa penanda DNA bersifat umum

(universal), dimana dapat digunakan untuk berbagai species, sedangkan penanda lainnya

bersifat species-specific. Oleh karenanya, primer universal dapat langsung digunakan dari yang

sudah dikembangkan, sedangkan penanda spesifik harus dikembangkan untuk masing-masing

species. Penanda kloroplas dan mitokondria pada jenis daun lebar pada umumnya diturunkan

dari ibunya (maternally inherited) dan biasanya menunjukkan struktur geografis yang cukup

kuat walaupun variasinya relative rendah. Berbeda dengan penanda nuklear, penanda ini

diturunkan oleh kedua induknya (bi-parentally inherited) dan mempunyai variasi yang sangat

tinggi, walaupun kurang mencerminkan struktur geografisnya. Penanda DNA spesifik untuk

identifikasi asal-usul merbau belum banyak dikembangkan. Oleh karenanya, pada penelitian ini

baik kloroplas dan nuklear DNA akan digunakan. Penanda nuclear DNA seperti microsatellite

dan SNPs (single nucleotide Polymorphic DNA) akan dikembangkan karena kedua penanda ini

mempunyai variasi yang sangat tinggi sehingga akan berguna untuk identifikasi populasi atau

individu.

4. Pembangunan Database

Pembangunan database genetik dari populasi merbau merupakan syarat utama untuk

mengaplikasikan log tracking menggunakan penanda DNA. Database genetik diperoleh dengan

mengetahui struktur genetik dari populasi merbau pada sebaran alamnya. Selanjutnya database

tersebut digunakan sebagai dasar untuk menganalisis identitas genetik dari materi genetik

merbau, baik yang belum maupun sudah diketahui asal-usulnya. Database ini dibangun

menggunakan berbagai penanda DNA dan keseluruhan populasi yang telah dikoleksi materi

genetiknya. Isi dari database termasuk nama populasi, lokasi dan penanda spesifik.

Page 170: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

145 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

5. Verifikasi asal-usul kayu menggunakan penanda DNA yang telah dikembangkan

Materi kayu yang telah dikoleksi dari beberapa populasi alam diekstraksi DNAnya dan

dilakukan analisis menggunakan penanda DNA yang telah dikembangkan. Hasil dari analisis

tersebut selanjutnya dibandingkan dengan data base yang telah dibangun untuk memverifikasi

asal-usul kayu tersebut.

III. CAPAIAN KEGIATAN

Kegiatan penelitian ini secara intensif dimulai pada tahun 2009. Berikut ini disampaikan

capaian hasil kegiatan yang telah diperoleh:

1. Keragaman genetik 4 populasi merbau menggunakan penanda RAPD

Keragaman genetik 4 populasi merbau menggunakan penanda RAPD telah dilaporkan oleh

Rimbawanto dan Widyatmoko (2006). Rata-rata variasi genetik dari empat populasi (Nabire,

Manokwari, Ternate, Charita) cukup tinggi. Rata-rata jarak genetik antar populasi sebesar 0,141,

yang berarti bahwa rata-rata 14,1% genetik antara keempat populasi tersebut berbeda. Informasi

jarak genetik antar populasi ini sangat penting karena dapat mencerminkan potensi untuk

membedakan populasi merbau. Berdasarkan penelitian tersebut, populasi merbau yang terdapat

di Papua dapat dibagi menjadi 6 wilayah (secara genetik berbeda). Pembagian wilayah ini

berdasarkan struktur genetik ini juga dilaporkan untuk jenis Araucaria cunninghamii

(Widyatmoko et al., 2010)

2. Koleksi materi genetik dari sebaran alam merbau (Papua, Maluku dan Sulawesi)

Sampai akhir tahun 2012, materi genetik baik berupa daun maupun kayu telah dikoleksi dari

dua puluh satu (21) populasi. Populasi-populasi tersebut tersebar di wilayah Papua (15

populasi), Maluku (5 populasi) dan Sulawesi Tenggara (1 populasi). Detail lokasi dari

masing-masing populasi dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 2.

Page 171: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

146 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Tabel 1. Daftar populasi yang telah dikoleksi

No. Populasi Propinsi No. Populasi Propinsi

1 Manimeri Papua Barat 12 Fak-fak Papua Barat

2 Minamin Papua Barat 13 Mamberamo Papua

3 Oransbari Papua Barat 14 Sarmi Papua

4 Waigo Papua Barat 15 Wasur Papua

5 Wasior Papua Barat 16 Nusajaya Maluku Utara

6 Bintuni Papua Barat 17 Haruku Maluku Utara

7 Babo Papua Barat 18 Seram Maluku

8 Remsiki Papua Barat 19 Saumlaki Maluku

9 Mandopi Papua Barat 20 Damer Maluku

10 Serui Papua Barat 21 Buton Sulawesi Tenggara

11 Kaimana Papua Barat

Gambar 2. Peta lokasi sebaran populasi yang telah dikoleksi

3. Pengembangan metode ekstraksi DNA kayu

Beberapa metode ekstraksi DNA menggunakan sampel kayu telah dicoba pada penelitian ini.

Walaupun demikian, hanya metode yang menggunakan DNEasy Plant Mini Kit dan telah

dimodifikasi yang menghasilkan cukup DNA untuk dilakukan amplifikasi PCR. Hasil

amplifikasi PCR DNA kayu menggunakan 4 chloroplast DNA region primers diperlihatkan

pada Gambar 3.

Page 172: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

147 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

Secara umum metode ekstraksi DNA kayu adalah dengan menghancurkan kayu sampai

menjadi bubuk dan selanjutnya menggunakan nitrogen cair. Proses ekstraksi selanjutnya

menggunakan prosedur DNEasy Plant Mini Kit (Promega) yang telah dimodifikasi.

Gambar 3. Profil PCR dari 4 chloroplast region menggunakan sampel DNA kayu

4. Pengembangan penanda DNA untuk merbau

Untuk tahap awal, database struktur genetik populasi merbau akan disusun berdasarkan data

variasi dari 4 regions of chloroplast DNA. Keempat regions tersebut adalah trnT-trnL (CS2),

trnL-intron (CS3), trnD-trnY (CS4) dan rbcL-atpB (CS6). Keempat chloroplast DNA regions

tersebut telah digunakan untuk membedakan struktur genetik populasi pada beberapa species.

Dari keempat region tersebut ditemukan 7 substitutions, 3 microsatellite/SSR dan 3 indel

(insertion/deletion). Profik PCR dari keempat region tersebut disajikan pada gambar 4.

Sedangkan variasi sekuensnya dapat dilihat pada Tabel 2 (a, b dan c).

Gambar 4. Profile PCR dari 4 chloroplast region menggunakan sampel DNA daun

CS-2 CS-3 CS-4 CS-6

CS-2 CS-3 CS-4 CS-6

Page 173: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

148 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

1: TAATTTATATAACAC

Tabel 2a. Variasi sekuensing pada 4 chloroplast DNA region

No. Sampel

CS2 (trnT-trnL)

174 215-226 338-3501 408-4252

T/C T (SSR) Indel Indel

1 T 10 - -

2 T 11 - -

3 T 10 + +

4 T 12 - +

5 C 10 - -

6 T 11 - -

2: ATTATTATATATATGTATA

Tabel 2b. Variasi sekuensing pada 4 chloroplast DNA region (lanjutan)

No. Sampel

CS3 (trnL-intron)

1-6 21 92 192 228 382-4063

T (SSR) C/A C/T G/T G/A Indel

1 6 C C G A -

2 5 C C G G -

3 6 A C G G +

4 6 A C T G -

5 6 C T G A -

6 6 C C G A -

3: TTTGTAGTAATATTAATAGTAGTA

Tabel 2c. Variasi sekuensing pada 4 chloroplast DNA region (lanjutan)

No. Sampel

CS4 (trnD-trnY) CS6 (rbcL-atpB)

341 520-532 587

T/C A (SSR) G/T

1 T 13 G

2 T 13 G

3 T 13 G

4 C 12 G

5 T 12 T

6 T 13 G

Page 174: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

149 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

PENUTUP

Kegiatan verifikasi asal-usul kayu merbau menggunakan penanda DNA ini nantinya

diharapkan dapat menghasilkan data base struktur genetik yang dapat membedakan populasi

sebaran alam merbau yang masih ada. Kegiatan ini direncanakan akan berakhir pada akhir tahun

2014. Pada saat tersebut, diharapkan dapat disusun database dari 20 populasi merbau yang tersebar

di Papua, Maluku dan Sulawesi dengan menggunakan 3 penanda DNA yaitu sekuensing dari

kloroplas DNA, mikrosatelit dan SNPs. Selanjutnya database yang disusun tersebut akan dicoba

untuk memverifikasi asal-usul kayu yang telah dikoleksi.

Dibandingkan dengan metode CoC lainnya, metode menggunakan penanda DNA ini lebih

akurat di dalam mendeteksi asal-usul kayu karena DNA tidak dapat dimanipulasi. Walaupun data

base yang nantinya disusun tidaklah mudah untuk membedakan populasi secara geografis, tetapi

diharapkan dapat digunakan sebagai salah metode untuk mengontrol identifikasi asal-usul kayu

merbau.

DAFTAR PUSTAKA

Degen, B. and Fladung, M. 2007. Use of DNA-markers for tracing illegal logging. Proceedings of the international workshop “Fingerprinting methods for the identification of timber origins” (Editor: Bernd Degen). pp. 6-14.

Dykstra, D. P., Kuru, G., Taylor, R., Nussbaum, R., Magrath, W. B. and Story, J. 2003. Technologies for wood tracking: Verifying and monitoring the Chain of Custody and Legal Compliance in the timber industry. Workshop on Log Tracking and Chain of Custody Systems. [email protected].

Finkeldey, R., Rachmayanti, Y., Nuroniah, H., Nguyen,N.P., Cao, C. and Gailing, O. 2007. Identification of the timber origin of tropical species by molecular genetic markers – the case of Dipterocarps. Proceedings of the international workshop “Fingerprinting methods for the identification of timber origins” (Editor: Bernd Degen). pp. 20-27.

Lowe, A. 2007. Can we use DNA to identify the geographic origin of tropical timber? Proceedings of the international workshop “Fingerprinting methods for the identification of timber origins” (Editor: Bernd Degen). pp. 15-19.

Rimbawanto, A. and Widyatmoko, AYPBC. 2006. Keragaman genetik empat populasi Intsia bijugaberdasarkan penanda RAPD dan implikasinya bagi program konservasi genetik. Jurnal Penelitian Tanaman Hutan 3: 149-154.

Widyatmoko, AYPBC., Lejo, E. S. P., Prasetyaningsih, A. dan Rimbawanto, A. 2010. Keragaman Genetik Populasi Araucaria cunninghamii menggunakan penanda RAPD. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 4: 63-77

Page 175: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

150 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Page 176: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

151 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

APLIKASI MOLECULAR SEXING PADA GELATIK JAWA (Padda oryzivora)

Pramana Yuda

Fakultas Teknobiologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta Jl. Babarsari 44 Yogyakarta 55281

Email: [email protected]; [email protected]

ABSTRAK

Penentuan jenis kelamin penting dalam kajian ekologi dan biologi konservasi. Untuk jenis burung monomorfik, seperti Gelatik Jawa, penentuan jenis kelamin tidak mudah dilakukan, lebih-lebih untuk individu yang belum dewasa. Penelitian ini menjabarkan aplikasi molekuler sexing pada Gelatik Jawa, dengan metode PCR dan penanda molekuler dari Gen CHD (chromobox-helicase-DNA-binding). Pasangan primer yang digunakan adalah 2550F dan 2718R. Jumlah sampel total sebanyak 66 individu dewasa dan 20 anakan burung. Hasil amplifikasi dengan PCR divisualisasi dengan elektroforesis gel agar (3%). Berdasarkan pola pita semua sampel bisa diindetifikasi jenis kelaminnya. Uji chi squire mengindikasikan bahwa rasio jenis kelamin pada Gelatik jawa, baik pada populasi dewasa maupun anakan tidak menyimpang dari rasio 1:1.

I. PENDAHULUAN

Kepastian identifikasi jenis, individu dan jenis kelamin sangat penting dalam kajian ekologi

dan aplikasinya dalam biologi konservasi. Namun, informasi tentang jenis kelamin dan rasionya

dalam suatu populasi masih sangat terbatas. Salah satu penyebabnya adalah kesulitan dalam

mengidentifikasinya. Lebih dari separuh jenis burung termasuk monomorfik, antara jenis jantan

dan betina sulit dibedakan secara langsung (berdasarkan morfologi eksternal). Metode yang telah

dikembangkan untuk identifikasi jenis kelamin burung tidak efisien dan ada juga yang

menimbulkan resiko tinggi (Cerit dan Acanus, 2007).

Untuk mengatasi permasalahan ini telah dikembangkan teknik DNA untuk identifikasi jenis

kelamin. Sejauh ini telah dikembangkan beberapa metode berbasis pada teknik DNA ini. Teknik

tersebut menggunakan gen yang terletak pada kromosom sex. Burung betina memiliki kromosom Z

dan W, sementara burung jantan dua kromosom Z. Beberapa penanda molekuler sudah digunakan

untuk teknik ini. Saitoh et al.(1991) menggunakan primer XhoI untuk mengidenfikasi jenis kelamin

ayam. Teknik yang sama digunakan Petitte dan Keglemeyer (1992) bahkan untuk embrio ayam.

Keduanya mengunakan teknik PCR. Canon et al. (2000) menggunakan metode analisis flow

cytometric DNA inti, berhasil mengidentifikasi jenis kelamin tiga jenis burung paruh bengkok.

Marka RAPD telah dikembangkan oleh Welsh dan McClelland (1990) dan Williams et.al (1990).

marka ini hanya mengamplifikasi kromosom w pada jenis burung betina. Marka lain yang telah

digunakan untuk identifikasi jenis kelamin adalah mikrosatelit (Nesje dan Røed, 2000), minisatelit

Page 177: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

152 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

(Miyaki et al.,1997), AFLP (Griffiths dan Orr,1999), RFLP (Quinn et al., 1990) dan yang sekarang

paling banyak digunakan adalah gen CHD (chromo-helicase-DNA-binding) (Griffths et al., 1998).

Burung betina memiliki gen CHD1-W dan CHD1-Z , sedangkan burung jantan memiliki dua gen

CHD1-Z. Hasil amplifikasi gen tersebut menunjukan dua pita pada betina dan satu pita pada jantan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis kelamin burung Gelatik jawa (Padda

oryzivora) dengan menggunakan pendekatan molekuler. Pada saat ini Gelatik jawa populasinya

sangat sedikit dibandingkan dengan kondisinya sebelum tahun tujuh puluhan. Dengan kondisi yang

ada IUCN telah memasukan burung ini dalam kategori Rentan /Vulnerabel (BirdLife

International,2012). Kajian ekologi populasi Gelatik jawa untuk menduga nasibnya dimasa

mendatang memerlukan data demografi. Data tersebut tidak terbatas pada populasi total, tetapi lebih

detil tentang struktur populasi dan seks rasionya. Untuk data yang terakhir tentunya sangat

diperlukan identifikasi jenis kelamin.

Gelatik jawa berdasarkan morfologinya relatif sulit dibedakan antara burung jantan dan

betina. Pada saat musim berbiak, bagi yang terlatih, bisa melihat tanda-tanda perbedaan keduanya

pada ukuran dan bentuk paruh dan warna lingkar matanya. Namun diluar masa berbiak sulit

membedakan burung dewasa yang jantan atau betina, lebih-lebih pada burung anakan atau

mudanya.

II. METODE PENELITIAN

A. Sampel

Total sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 66 individu burung dewasa dan

20 individu burung remaja. Sampel darah untuk sumber materi DNA diperoleh dari cara memotong

ujung kuku burung. Darah yang keluar diambil dengan pipa mikrokapiler dan disimpan dalam

larutan penyangga (Queens’ Lysis Buffer) pada tabung mikro (1,5 ml). Ekstraksi DNA dari darah

tersebut menggunakan metode ekstraksi fenol-kloroform (Sambrook et al. 1989) atau DNeasy®

Tissue Kit (Qiagen Pty Ltd), sesuai dengan metode untuk darah binatang.

B. PCR

Identifikasi jenis kelamin Gelatik jawa menggunakan metode PCR yang dikembangkan oleh

Fridolfsson dan Ellegren (1999). Pasangan primer yang digunakan adalah 2550F (5’-

GTTACTGATTCGTCTACGAGA -3’) and 2718R (5’- ATTGAAATGATCCAGT GCTTG -3’).

Volume reaksi PCR 25 ul dengan komposisi 10-20 ng DNA; 10x PCR Buffer (200mM Tris-HCl

(pH 8.4); 500mM KCl); 2.0mM MgCl2; 5 pmol tiap primer; 0.15 mM tiap dATP, dTTP, dCTTP,

Page 178: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

153 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

dGTP dan 1 unit Tag polymerase (Life Technology). Kondisi siklus PCR adalah sebagai berikut:

pre denaturasi 94oC 2 menit; 30 kali siklus denaturasi pada suhu 94oC (30 detik), penempelen

primer (annealing) pada suhu 50oC selama 45 detik, dan elongasi/ekstensi pada suhu 72oC (30

detik), dan ekstensi akhir pada suhu 72oC (5 menit). Hasil amplifikasi divisualisasi dengan

elektroforesis gel agarosa (3%) dengan larutan penyangga TBE dan pewarna ethidium bromida.

III.HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil PCR dan elektroforesis menunjukan bahwa semua sampel Gelati jawa teramplifikasi,

menunjukan adanya pita tunggal atau pita ganda. Pita tunggal berukuran 650 bp, mengindikasikan

sampel tersebut memiliki gen CHD1Z dan berarti berjenis kelamin jantan. Sedangkan yang berpita

ganda memiliki ukuran 450 dan 650 bp, mengindikasikan sampel tersebut betina, yang memiliki

gen CHD1 W dan CHD1 Z. Hasil ini menambah bukti kegunaan pasangan primer 2550F dan

2718R dalam mengindentifikasi jenis kelamin burung monomorfik dari suku Estrildidae. Pada

awalnya Fridolfsson dan Ellegren (1999) mengaplikasikan metode ini pada 50 jenis burung dari

berbagai ordo. Suku estrildidae belum ada wakil dalam uji awal tersebut.

Jumlah total sampel individu burung dewasa adalah 66. Hasil elektroforesis produk PCR

menunjukan 29 betina (berpita dua) dan 37 jantan (berpita tunggal). Sementara itu pada sampel

burung muda (20 ekor), hasilnya 12 burung berjenis kelamin betina dan 8 jantan. Hasil ini

mengindikasikan bahwa rasio jenis kelamin (sex ratio) burung Gelatik jawa adalah 1:1 ( (X2 = 0.97;

P= 0.32 and X2 = 0.80; P= 0.37, masing-masing untuk burung dewasa dan burung muda).

DAFTAR PUSTAKA

BirdLife International, 2012, Species factsheet: Padda oryzivora. Downloaded from http://www.birdlife.org. Cerit, h. And k. Acanus, 2007, Sex identification in avian species using DNA typing methods, World’s

Poultry Science Journal, 63: 91-99 Canon, N.R., TELL, L.A., Needham, M.L. AND Gardner, A.A. (2000) Flow cytometric analysis of nuclear

DNAfor sex identification in three psittacine species. American Journal of Veterinary Research61: 847-850.

Clinton, M.(1994) Arapid protocol for sexing chick embryos. Animal Genetics25: 361-362. Canon, N.R., TELL, L.A., Needham, M.L. and Gardner, A.A. (2000) Flow cytometric analysis of nuclear

DNA for sex identification in three psittacine species. American Journal of Veterinary Research 61: 847-850.

Fridolfsson,A.K. and Ellegren, H. (1999) Molecular evolution of the avian CHD1 genes on the Z and Wsex chromosomes. Genetics155: 1903- 1912.

Page 179: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

154 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Griffiths, R., Double, M.C., ORR, K. and Dawson, R.J. (1998) ADNAtest to sex most birds. Molecular Ecology7: 1071 -1075.

Griffiths, R. and ORR, K. (1999) The use of amplified fragment length polymorphism (AFLP) in the isolation of sex-specific markers. Molecular Ecology8: 671-674.

Kahn, N.W., JOHN, J. and Quinn, T. (1998) Chromosome-specific intron size differences in the Avian CHD gene provide an efficient method for sex identification in birds. The Auk115: 1074 -1078.

Miyaki, C.Y., Duarte, M.B., Caparroz, R., Nunes, A.V. and Wajntal, A. (1997) Sex identification of South American Parrots (Psittacidae, Aves) using the human minisatellite probe 33.15. The Auk 114: 516-520.

Nesje, M. and Røed, K. (2000) Sex identification in falcons using microsatellite DNAmarkers. Hereditas132: 261-263.

Petite, J.N. and Kegelmeyer, A.E. (1992) Sex Determination of chick embryos using a W chromosome-specific oligonucleotide probe and PCR. Proceedings of the XIX World’s Poultry Congress Amsterdam 531.

Quinn, T.W., Cooke, F. and Bradley, N.W. (1990) Molecular sexing of geese using a cloned Z chromosomal sequence with homology to the Wchromosome. Auk107:199-202.

Saitoh,Y.,Saitoh,H.,Ohtomo,K. and Mizuno,S.(1991) Occupancy of the majority of DNAin the chicken W-chromosome by bent-repetitive sequences. Chromosoma101: 32-40.

Welsh, J. and MC Clealland, M. (1990) Fingerprinting genomes using PCR with arbitrary primers. Nucleic Acid Research18: 7213-7218.

Williams, J.K.G., Rubelik,A.R., Livak, K.J., Rafalski, J.A. and Tingley, S.V. (1990): DNA polymorphisms amplified by arbitrary primers are useful as genetic markers. Nucleic Acid Research18: 6531- 6535.

Page 180: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

155 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

PERAN HASIL PENELITIAN GENETIKA MOLEKULER DALAM MENDUKUNG STRATEGI KONSERVASI Aquilaria sp.

AYPBC WIDYATMOKO Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta Jl. Palagan Tentara Pelajar Km 15 Purwobinangun, Pakem, Sleman Yogyakarta

Email : [email protected]

ABSTRAK

Aquilaria sp (A. malaccensis, A. microcarpa, A. beccariana, A. hirta dan A. chresna) merupakan anggota dari suku Thymelaeaceae yang mempunyai potensi tinggi untuk menghasilkan gaharu. Tingginya nilai ekonomi telah meningkatkan permintaan terhadap produk tersebut, sehingga mengakibatkan terjadinya eksploitasi gaharu yang berlebihan. Aquilaria sp termasuk dari jenis yang termasuk dalam Appendix II Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). Oleh karenanya, kegiatan konservasi mutlak diperlukan untuk menyelamatkan sumber daya genetik yang masih tersisa. Beberapa penelitian menggunakan penanda DNA telah dilakukan untuk mengetahui besarnya keragaman genetik, jarak genetik dan penanda jenis pada kelima jenis tersebut. Rata-rata keragaman genetik di dalam populasi dari 11 populasi Aquilaria sp yang digunakan adalah 0.199. Keragaman terbesar dimiliki oleh populasi A.malacensis Jambi (0.285), sedangkan keragaman terandah dimiliki oleh populasi A. hirta Bogor (0.118). Jarak genetik yang terjauh adalah antara A. malacensis dan A. microcarpa dari Jambi, sedangkan yang terdekat adalah antara A. microcarpa Samboja dan A. beccariana Berau. Pengelompokkan 11 populasi dari 5 jenis Aquilaria tersebut lebih ke lokasi grografis dibandingkan dari antar jenisnya sendiri. Berdasarkan 22 losi dari 14 primer RAPD, kelima jenis Aquilaria dapat dibedakan satu sama lain, kecuali antara A. malaccensis dan A. microcarpa. Penanda RAPD yang diperoleh ini masih bersifat sementara (putative) karena untuk beberapa jenis sampel yang digunakan masih sedikit. Untuk mendapatkan penanda DNA yang dapat membedakan A. malaccensis dan A. microcarpa, dilakukan seleksi lagi. Dari 180 RAPD primer hanya diperoleh 1 lokus saja yaitu U-13 700 bp yang dapat digunakan sebagai penanda DNA sementara untuk membedakan kedua jenis tersebut. Informasi tersebut di atas tentunya sangat bermanfaat bagi menyusun strategi konservasi untuk Aquilaria sp. Pemisahakan lokasi konservasi eks-situ untuk masing-masing jenis sangatlah perlu mengingat mudahnya terjadi hibridisasi di antara jenis. Keterwakilan sebaran populasi dari masing-masing jenis juga diperlukan untuk dapat tetap mempertahankan keragaman genetik yang ada.

Kata kunci: Aquilaria, gaharu, genetika molekuler, konservasi genetic

I. PENDAHULUAN

Aquilaria spp merupakan tanaman asli Indonesiadan dikenal sebagai tanaman penghasil

gaharu yang bernilai ekonomi tinggi. Terdapat 6 jenis Aquilaria yang tumbuh di Indonesia, yaitu A.

malaccensis, A beccariana, A. microcarpa, A. hirta, A. cumingiana dan A. filaria (Ding, 1960).

Penyebaran dari jenis-jenis tersebut secara luas terdapat di Pulau Sumatera dan Kalimantan. A.

malaccensis dan A. microcarpa merupakan 2 jenis Aquilaria yang dapat memproduksi gaharu

dengan kualitas tinggi (Sumarna, 2002). Kondisi dari jenis-jenis tersebut di alam sudah sangat

mengkawatirkan karena tingginya eksploitasi. Salah satu bukti dari kondisi tersebut adalah

Page 181: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

156 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

masuknya jenis Aquilaria ke dalam APPENDIX II CITES (Convention on International Trade in

Endangered Species of Wild Fauna and Flora), yang berarti sudah termasuk jenis yang terancam

punah. Soehartono dan Newton (2000) juga menyebutkan bahwa kerapatan individu jenis Aquilaria

dalam populasi kurang dari 1,2 individu/ha berdasarkan analisis NFI. Bahkan A. malaccensis sudah

termasuk dalam klasifikasi rentan (Vulnerable/VU A1cd) karena mengalami penurunan populasi

hingga 20% selama 3 generasi akibat eksploitasi (Oldfield et al, 1998). Oleh karenanya kegiatan

konservasi merupakan kegiatan utama yang perlu dilakukan terhadap jenis tersebut (Chakrabarty et

al., 1994).

Kegiatan konservasi dapat dilakukan baik secara in-situ maupun eks-situ. Untuk

mendukung kegiatan tersebut, berbagai informasi diperlukan agar dapat dilaksanakan secara efektif

dan efisien. Salah satu informasi yang diperlukan adalah keragaman genetik dan distribusinya, serta

hubungan kekerabatan. Informasi ini tentunya akan lebih mengefisienkan, baik dari segi waktu

maupun biaya, program konservasi yang dilakukan. Keragaman genetik merupakan modal dasar

bagi suatu jenis untuk tumbuh, berkembang dan mempertahankan hidupnya dari generasi satu ke

generasi berikutnya. Dengan semakin tinggi atau besarnya keragaman genetik yang dimiliki oleh

suatu jenis, akan memberikan peluang yang lebih besar untuk beradaptasi dengan lingkungannya.

Bertolak dari permasalahan tersebut di atas, berbagai upaya pengembangan pohon penghasil

gaharu terus dilakukan. Salah satu upaya yang terus dilakukan untuk meningkatan potensi hasil

adalah pemuliaan tanaman. Jenis-jenis yang termasuk dalam genus Aquilaria ini, secara morfologis

sangatlah susah dibedakan. Sebagian besar dari jenis-jenis tersebut hanya bisa dibedakan dengan

bentuk, susunan dan ukuran bunga dan buah. Oleh karenanya, membedakan jenis-jenis tersebut

menjadi faktor penting untuk pelaksanaan kegiatan pemuliaan secara efektif dan efisien

Penanda DNA yang sering digunakan untuk analisis keragaman genetik adalah penanda

RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) (Welsh and McClelland, 1990, Wiliams et al.,

1990). RAPD merupakan suatu penanda berbasis PCR (Polymerase Chain Reaction) menggunakan

Page 182: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

157 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

primer pendek berukuran 10 basa. Kelebihan penanda ini antara lain relatif mudah untuk dilakukan

dengan menggunakan peralatan yang cukup sederhana dan murah.

Makalah ini menyampaikan beberapa hasil penelitian keragaman genetik dan identifikasi

species menggunakan penanda RAPD yang telah dilakukan dan perannya dalam mendukung

strategi konservasi genetik Aquilaria sp.

II. KERAGAMAN GENETIK A. malaccensis, A. microcarpa dan A. Beccariana

Dua puluh enam (26) primer RAPD yang telah diseleksi dari 86 primer RAPD digunakan

untuk menganalisa keragaman genetik 7 populasi A. malaccensis, A. microcarpa dan A. beccariana.

Pita DNA yang digunakan untuk analisa berukuran 220-950 pb (pasang basa). Jumlah fragmen atau

pita polimorfik yang dihasilkan berkisar antara 1 sampai dengan 8. Jumlah total lokus (locus) yang

dihasilkan dari 26 primer tersebut adalah 84 (Widyatmoko et al., 2010).

Berdasarkan Nei’s Gene Diversity (Nei, 1978), keragaman genetik di dalam populasi dari 7

populasi tersebut bervariasi antara 0,180-0,285. Keragaman genetik terbesar dimiliki oleh populasi

A. malaccensis asal Muara Bungo (Jambi; 0,285), sedangkan yang terendah dimiliki oleh populasi

A. malaccensis asal Berau yaitu sebesar 0,089 (Tabel 1).

Tabel 1. Nilai keragaman genetik di dalam populasi (diagonal) dan antar populasi (di bawah diagonal) dari 7 populasi Aquilaria sp.

Populasi 1 2 3 4 5 6 7

1 0.285

2 0.03 0.240

3 0.368 0.442 0.209

4 0.322 0.405 0.037 0.228

5 0.239 0.254 0.494 0.488 0.232

6 0.298 0.396 0.055 0.04 0.492 0.205

7 0.305 0.404 0.075 0.66 0.476 0.017 0.18 Keterangan : 1. A. malaccensis (Muara Bungo, Jambi), 2. A. malaccensis (Sorolangun, Jambi), 3. A.

microcarpa (Samboja, Kaltim), 4. A.malaccensis (Sanggau, Kalbar), 5. A.beccariana(Berau, Kaltim), 6. A.microcarpa (Berau, Kaltim), 7. A. malaccensis (Berau, Kaltim)

Page 183: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

158 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Rata-rata keragaman genetik di dalam populasi yaitu 0,225. Angka ini lebih besar dari

daripada rata-rata keragaman genetik baik untuk kelompok jenis tropis dan konifer, yaitu 0,211 dan

0,207 yang telah dilaporkan oleh Hamrick (1989).

Pada hasil analisis jarak genetik antar-populasi, tertinggi adalah 0,494 yaitu antara

populasi A. microcarpa Samboja dengan populasi A. beccariana Berau. Hal ini terjadi karena

perbedaan jenis dan jarak geografis dari kedua populasi. Sebaliknya jarak genetik terendah adalah

antara populasi A. microcarpa Berau dengan populasi A. malaccensis Berau, yaitu 0,017 (Tabel 1).

Walaupun kedua populasi ini memiliki jenis yang berbeda, tetapi karena kedua populasi tersebut

hidup pada lingkungan yang sama maka mempunyai hubungan yang sangat dekat. Kedekatan antar

kedua species ini juga dibuktikan dengan dekatnya jarak genetik antara populasi A. microcarpa

Samboja dan A. malaccensis di Sanggau Kalimantan Barat, yaitu 0,037. Walaupun kedua populasi

berada pada populasi dengan jarak geografis yang cukup jauh, tetapi keduanya mempunyai jarak

genetik yang sangat dekat. Hal ini membuktikan bahwa A. malaccensis dan A. microcarpa yang

secara morfologis hanya bisa dibedakan dengan karakter generatifnya (bunga dan buah) memiliki

hubungan genetik yang sangat dekat. Jarak genetik antar populasi dari kedua jenis tersebut lebih

rendah dari jarak genetik dari populasi untuk jenis yang sama yaitu 0,660 untuk jarak genetik antar

populasi A. malaccensis dan 0,055 untuk jarak genetik antar populasi A. microcarpa di Kalimantan.

III. HUBUNGAN KEKERABATAN ANTAR POPULASI

Berdasarkan informasi nilai jarak genetik antar-populasi, dendogram disusun menggunakan

metode UPGMA untuk mengetahui hubungan kekerabatan antar populasi-populasi Aquilaria sp.

Hasil dendogram berdasarkan jarak genetik Nei’s (1978) tersebut menunjukan hubungan

kekerabatan antara sebelas populasi Aquilaria sp terbagi dalam dua kelompok besar. Kelompok

pertama terdiri dari populasi Muara Bungo Jambi, Sorolangun Jambi dan Berau (A. beccariana).

Kelompok kedua terdiri dari populasi Samboja, Kalimantan barat, Berau dan Bogor.

Page 184: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

159 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

Gambar 1. Dendogram Hubungan Kekerabatan Antar Populasi Aquilaria sp

Gambar 1 menunjukan adanya pengelompokan yang jelas pada populasi Muara Bungo

Jambi (A.malaccensis) dan populasi Sorolangun Jambi (A.malaccensis) karena menempati pada

satu kelompok kluster sehingga menunjukan bahwa terdapat hubungan kekerabatan yang sangat

dekat antar populasi Muara Bungo Jambi dan populasi Sorolangun Jambi (keduanya A.malacensis).

Hal ini disebabkan karena kedua populasi tersebut terdapat pada satu daerah yang sama (provenan

yang sama ) dan merupakan satu species yaitu A.malaccensi. Sampel dari Muara Bungo diambil

dari persemaian, sehingga keumngkinan sebagian materinya berasal dari individu pada populasi

Sorolangun Jambi. Populasi yang berasal dari Samboja species A.microcarpa dan populasi yang

berasal dari Sanggau Kalimantan Barat species A.malaccensis juga mempunyai hubungan

kekerabatan yang dekat. Kemungkinan kedua populasi tersebut pada awalnya merupakan 1

populasi yang besar sehingga mempunyai struktur genetik yang relatif sama. Untuk populasi Berau

species A.microcarpa dan populasi Berau species A.malacensis memiliki hubungan kekerabatan

yang sangat dekat, membentuk satu kluster yang sama. Hal ini juga disebabkan karena kedua

populasi ini mendiami habitat yang sama sehingga dapat saja terjadi perkawinan antar species.

Dari kedua kelompok kluster tersebut yaitu populasi Samboja species A.microcarpa dengan

Muara Bungo Jambi (A. malaccensis)

Sorolangun Jambi (A. malaccensis)

Berau Kaltim (A. beccariana)

Samboja Kaltim (A.microcarpa)

Sanggau Kalbar (A.malaccensis)

Berau Kaltim (A.microcarpa)

Berau Kaltim (A.malaccensis)

Bogor (A. chresna)

Bogor (A. chresna x A.malaccensis)

Bogor (A. chresna x A.microcarpa)

Bogor (A. hirta)

Page 185: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

160 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

populasi Sanggau Kalimantan Barat species A.malacensis dan populasi Berau species

A.microcarpa dengan populasi Berau spesies A. malacensis yang memiliki hubungan kekerabatan

yang dekat, membuktikan bahwa hubungan kekerabatan antara spesies A.malacensis dan

A.microcarpa sangat dekat. Sedangkan pada populasi Berau species A. beccariana terlihat

hubungan kekerabatanya lebih dekat dengan populasi A.malacensis dari Jambi. Hal ini disebabkan

karena kemungkinan A. beccariana di Berau berasal dari A. beccariana Sumatera. Pada penelitian

ini tidak ada sampel A.beccariana dari Sumatera sehingga tidak ada pembanding untuk species

A.beccariana.

Untuk populasi Bogor spesies A.chresna lebih dekat hubungan kekerabatannya dengan

populasi Bogor hybrid A.chresna + A. malaccensis dan populasi Bogor Hybrid A. chresna +

A.microcarpa . Selain karena ketiga populasi tersebut berada dalam satu habitat, hal ini disebabkan

juga oleh campuran atau hybrid antara A.chresna + A. malacensis dan hybrid A. chresna +

A.microcarpa akan mewarisi sifat genetik dari salah satu induknya yaitu A.chresna sehinga

hubungan kekerabatanya dekat. Sedangkan untuk populasi Bogor spesies A.hirta memiliki

kedekatan dengan populasi yang berasal dari Kalimantan dan Bogor. Kemungkinan populasi di

Bogor berasal dari Kalimantan.

IV. PENANDA SPECIES-SPECIFIC

Widyatmoko et al. (2009) melaporkan penanda sementara untuk 5 species Aquilaria.

Sebanyak enam puluh delapan (68) primer RAPD diseleksi untuk mendapatkan primer RAPD yang

dapat menghasilkan lokus polimorfik. Dari 68 primer tersebut dipilih 26 primer yang menghasilkan

lokus polimorfik, dan dari 26 primer tersebut ditemukan 14 primer RAPD yang menghasilkan losi

sementara penanda species-specifik.

Untuk menjadi penanda species-specific, lokus yang dipilih harus memenuhi 2 kriteria, yaitu

muncul pada semua individu pada satu species dan tidak muncul pada semua individu pada species

yang lain. Jumlah penanda sementara bervariasi antara 3 sampai dengan 18. Jumlah yang terbanyak

Page 186: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

161 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

dimiliki oleh A. hirta (18), disusul berturut-turut disusul oleh A. chresna (16), A. beccariana (13), A.

microcarpa (13) dan A. malaccensis (3). Jumlah penanda tersebut bisa dipengaruhi oleh beberapa

faktor, diantaranya adalah besarnya keragaman genetik di dalam species dan jumlah sampel yang

digunakan. Apabila dilihat dari jumlah sampel, banyaknya jumlah penanda yang dimiliki oleh

setiap species berbanding terbalik dengan jumlah sampel yang digunakan. Misalnya jumlah sampel

pada A. hirta hanya 4 sampel dan menghasilkan penanda yang terbanyak yaitu 18. Sebaliknya pada

A. malaccensis, dengan jumlah sampel sebanyak 44, penanda species-specificnya adalah 3. Dengan

demikian, terlihat bahwa jumlah sampel cukup berpengaruh pada banyaknya penanda

species-specific yang diperoleh. Keragaman genetik dari masing-masing jenis juga akan

mempengaruhi banyaknya jumlah penanda. Hal ini terihat pada jenis A. microcarpa dan A.

beccariana. Dengan jumlah sampel yang jauh berbeda (14 dan 12 sampel), jumlah penanda yang

dihasilkan sama yaitu 13. Hal ini disebabkan karena keragaman genetik A. beccariana lebih besar

daripada A. microcarpa (Tabel 1).

Secara garis besar, dengan 23 penanda tersebut kelima jenis Aquilaria dapat dibedakan,

kecuali A. malaccensis dan A. microcarpa (Tabel 2). Misalnya, untuk membedakan A. malaccensis

dengan A. beccariana dan A. hirta, penanda yang digunakan adalah lokus OPGF-6/670. Sedangkan

antara A. malaccensis dengan A. chresna, penanda yang digunakan adalah OPG-11/950. Untuk

jenis-jenis lainnya lebih banyak penanda yang dapat digunakan.

Tabel 2. Penanda species-specific pada lima species Aquilaria

Species A-10/600 A-10/620 A-11/400 A-12/550 A-13/350 A-13/500 A. malaccensis 0/1 0 0/1 0/1 0/1 0/1 A. microcarpa 1 0 0/1 1 0/1 1 A. beccariana 0 0 0 0 1 0 A. chresna 1 1 0/1 0/1 0 0 A. hirta 1 0 1 1 1 1

Page 187: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

162 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Species A-16/550 A-18/220 A-18/550 A-19/850 D-1/580 G-1/500 A. malaccensis 0/1 0/1 0 0/1 0/1 0/1 A. microcarpa 0/1 0 0/1 0/1 0 0/1 A. beccariana 0/1 0/1 0/1 0 1 0/1 A. chresna 0 1 1 0/1 0 0 A. hirta 1 0 0 1 0/1 1

Species G-1/500 G-6/400 G-6/670 G-8/590 G-8/600 G-8/650 A. malaccensis 0/1 0/1 0 0/1 0/1 0/1 A. microcarpa 0/1 1 0 0 1 1 A. beccariana 0/1 0/1 1 0 0/1 0/1 A. chresna 0 0/1 0/1 1 0 0 A. hirta 1 0 1 0/1 0 0

Species G-11/600 G-11/950 G-15/650 G-18/320 G-18/490 A. malaccensis 0/1 0 0/1 0/1 0/1 A. microcarpa 1 0 0/1 0/1 0/1 A. beccariana 0 0 0/1 0 0/1 A. chresna 0/1 1 0 1 0 A. hirta 0 0/1 1 1 0/1

Untuk membedakan A. malaccensis dan A. microcarpa dilakukan seleksi seleksi primer

kembali menggunakan 180 primer (Rimbawanto dan Widyatmoko, 2010). Hanya terdapat 5 primer

yang memberikan kenampakan pita yang spesifik, yaitu primer D-20, A-17, G-12, R-15, dan U-13.

Gambar 2 memperlihatkan 2 primer yang sementara menghasilkan lokus yang membedakan kedua

jenis. Primer R-15 (Gambar 1A) menghasilkan 1 lokus yang membedakan kedua jenis pada 400 bp.

Sedangkan primer U-13 (Gambar 1B) menghasilkan 2 lokus yaitu pada 780 bp dan 1000 bp. Untuk

memastikan apakah lokus tersebut bisa digunakan sebagai penanda spesifik jenis untuk A.

malaccensis dan A. microcarpa, dilakukan seleksi lanjutan dengan menambah jumlah individu dari

masing-masing jenis.

Page 188: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

163 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

(A) (B)

Gambar 2. Hasil seleksi tahap I primer R-15 (A) dan U-13 (B)

Hasil amplifikasi seleksi lanjutan dari kelima primer tersebut di atas menggunakan total

24 sampel adalah hanya 1 lokus yang memenuhi syarat sebagai penanda spesifik jenis yaitu

yang dihasilkan oleh primer U-13 pada 780 bp. (Gambar 3). Lokus ini membedakan kedua

Aquilaria dengan panjang pita yang berbeda (sekitar 10-20 bp).

Gambar 3. Hasil amplifikasi tahap II primer U-13

Page 189: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

164 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

V. STRATEGI KONSERVASI Aquilaria sp BERDASARKAN HASIL PENELITIAN YANG DIPEROLEH

Kegiatan konservasi genetik, baik itu konservari eks-situ maupun in-situ yang bertujuan

untuk mempertahankan keragaman genetik yang masih tersisa secara maksimal sangatlah

diperlukan untuk mempertahankan sumberdaya genetik Aquilaria yang kondisi populasi alamnya

semakin mengkawatirkan Jane et al. (1988) mengatakan bahwa tujuan utama dari mendokumentasi

tingkat dan distribusi keragaman genetik pada suatu jenis adalah untuk mendisain strategi yang

optimal untuk konservasi suatu jenis. Dewasa ini, di dalam melakukan kegiatan pelestarian suatu

species sangatlah tergantung pada ketersediaan biaya dan berpacu dengan waktu. Oleh karenanya,

perlulah disusun suatu strategi konservasi yang efektif dan efisien agar dengan keterbatasa waktu

dan biaya, populasi maupun materi genetik yang dikumpulkan haruslah cukup mewakili

sumberdaya genetik yang ada. Salah satu informasi yang sangat dibutuhkan untuk pelaksanaan

kegiatan tersebut adalah informasi keragaman genetik dan distribusinya serta hubungan

kekerabatan antar species.

Seperti dijelaskan sebelumnya, potensi sebaran alam Aquilaria sp masih belum diketahui

secara pasti, Kegiatan penanaman Aquilaria sp yang begitu banyak menyebabkan semakin sulitnya

membedakan mana populasi alami atau tanaman. Pergerakan materi genetik, yang berarti juga

pergerakan genetik, dari satu ke daerah ke daerah lainnya semakin cepat mengingat sumber benih

yang tersedia sangat sedikit, sedangkan kebutuhan akan bibit semakin banyak. Salah satu kendala

untuk kegiatan konservasi Aquilaria sp adalah susahnya membedakan masing-masing species

secara jelas. Mudahnya terjadi perkawinan antar species membuat semakin sulitnya menemukan

individu yang masih murni dari suatu species.

Untuk menjawab kebutuhan akan informasi tersebut, beberapa penelitian telah dilakukan

seperti disebut di atas. Beberapa informasi penting yang dapat digunakan sebagai dasar untuk

penyusunan strategi konservasi 5 jenis Aquilaria tersebut adalah sebagai berikut:

Page 190: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

165 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

1. Rata-rata keragaman genetik dalam 7 populasi A. malaccensis, A. microcarpa dan A.

beccariana sebesar 0,225.

2. Rata-rata jarak genetik antar jenis dalam lokasi yang sama atau berdekatan sebesar 0,027,

sedangkan rata-rata jarak genetik antar populasi sebesar 0,217.

3. Dendrogram hubungan kekerabatan secara umum lebih berdasarkan jarak geografis

dibandingkan kesamaan jenis.

4. Hibrid antar species sering ditemui dan secara genetik menampakkan kedekatan pada salah satu

induknya.

5. Penanda sementara untuk pembeda sementara kelima species Aquilaria tersebut telah diperoleh.

Memperhatikan kondisi dan potensi kelima species Aquilaria tersebut, khususnya di sebaran

alaminya, maka kegiatan konservasi baik in-situ maupun eks-situ perlu untuk dilakukan. Tetapi

mengingat mudahnya kemungkinan terjadinya perkawinan antar species, maka perlu kehati-hatian

di dalam menentukan individu untuk masing-masing species. Untuk A. malaccensis dan A.

microcarpa yang mempunyai hubungan kekerabatan yang sangat dekat dan kemungkinan

terjadinya perkawinan antar keduanya yang cukup banyak, sebaiknya konservasi kedua jenis

dilakukan bersama-sama.

Untuk kegiatan konservasi in-situ, pemilihan populasi haruslah memperhatikan beberapa

faktor yaitu jumlah pohon induk (individu), kondisi habitat atau lingkungan, faktor keamanan,

besarnya keragaman genetik yang cukup tinggi dan jumlah alel yang terdapat pada populasi

tersebut. Apabila populasi tersebut terdapat hanya salah satu species Aquilaria akan lebih baik,

tetapi apabila terdapat lebih dari 1 species dapat juga dipilih asalkan memenuhi kriteria seperti

disebut di atas. Melihat distribusi dari keragaman genetik dan jarak genetik antar populasi, maka

jumlah plot konservasi in-situ minimal 2, 1 di Pulau Sumatera dan 1 di Pulau Kalimantan. Apabila

memungkinkan, masing-masing propinsi dari masing-masing pulau juga terwakili.

Untuk kegiatan konservasi eks-situ apabila memungkinkan dipisah untuk masing-masing

Page 191: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

166 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

species. Penanda species-specific dapat digunakan untuk menentukan kemurnian dari individu yang

dikoleksi. Pengumpulan materi genetik untuk plot konservasi eks-situ perlu memperhatikan sebaran

populasinya, potensi dari masing-masing populasi (potensi jumlah individu maupun keragaman

genetik), dan resiko tidak terwakilinya alel akibat pemilihan populasi tersebut.

Soekotjo (2004) dan Soekotjo dan Raharjo (2010) menyebutkan bahwa kegiatan konservasi

eks-situ dapat digabungkan dengan kegiatan penanaman atau pemuliaan dan bioteknologi (strategi

era ke-2 dan ke-3 konservasi eks-situ). Penggabungan ini dapat dilakukan karena maraknya

kegiatan penanaman dari species Aquilaria. yang Era kedua (1976-2020) adalah menggabungkan

konservasi dengan pemuliaan. Kegiatan yang dilakukan antara lain Uji provenans, uji progeni dan

pembangunan kebun benih (semai atau klon). Sedangkan Era ketiga (1998-2020) adalah era

pemanfaatan yang lebih efisien yang lebih berkaitan dengan pemuliaan dan bioteknologi. Dalam

era ketiga ini dalam pembangunan plot konservasi eks-situ, setiap populasi harus terpisah agar

tidak terjadi perkawinan silang antar populasi.

Seperti halnya dengan konsevasi in-situ, materi genetik yang dikumpulkan untuk

membangun plot konservasi eks-situ seharusnya berasal dari masing-masing perwakilan kelompok

dari dendrogram di atas. Setiap pulau harus terwakili oleh 1 populasi, dan apabila memungkinkan

masing-masing propinsi juga dapat terwakili oleh minimal 1 populasi. Dari masing-masing

perwakilan tersebut, materi genetik dari masing-masing jenis apabila dapat dikumpulkan akan lebih

baik. Mengingat keragaman genetik dalam populasi masih cukup tinggi, jumlah materi genetik

yang dikumpulkan dari masing-masing populasi yang dipilih haruslah cukup banyak. Plot

konservasi eks-situ sebaiknya memisahkan secara jelas materi genetik yang berasal dari pulau yang

berbeda mengingat besarnya perbedaan genetik antar pulau.

Kegiatan penanaman dan pemuliaan dapat juga dilakukan dengan memasukkan faktor

konservasi eks-situ di dalamnya dengan memperhatikan materi genetik yang digunakan dan metode

seleksi yang dilakukan untuk memperoleh benih unggul.

Page 192: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

167 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

DAFTAR PUSTAKA

Chakrabarty, K., Kumar, A. and Menon, V. 1994. Trade in Agarwood. WWF-TRAFFIC, India Ding, H. 1960. Thymelaeaceae. In: Van Steenis, C.G.G.J. (Ed.), Flora Malesiana. Series I. Vol. 6. Wolters-Noordhoff,

Groningen, The Netherlands, pp. 1-15. Hamrick, J. L 1989. Isozyme and The Analysis of Genetic Structure in Plant Population. In : Soltis, D.E and Soltis , P.S

(Eds.) Isozyme in Plant Biology. Dioscorides Press, Oregon. pp 87-105 IUCN. 2000. Red List of Threatened Species. 2000 International Union for The Conservation of Nature and Natural

Resources. www.iucnredlist.orgJane F. S., S. D. Hopper and S. H. James. 1988. Genetic diversity and the conservation of Eucalyptus crucis Maiden.

Australian Journal of Botany 36:447-460 Nei, M. 1978. Estimation of average heterozygosity and genetic distance from a small number of individuals. Genetics

89: 583-590. Oldfield, S., Lusty, C. and MacKinve.n, A. 1998. The Word List of Threatened Trees. In: Barden, A., Noorainie Awang

Anak, T. Mulliken, and M. Song. (2000). Heart of the matter: Agarwood use and trade and CITES implementation for Aquilaria malaccensis. TRAFFIC International

Rimbawanto, A. dan Widyatmoko, AYPBC. 2010 Identifikasi Aquilaria malaccensis dan A. microcarpa menggunakan penanda RAPD. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan.

Soehartono, T dan Newton, A.C. 2000. Conservation and sustainable use of tropical trees in the genus Aquilaria I. Status and distribution in Indonesia. Biological Conservation 96:83-94.

Soekotjo. 2004. Status Riset Konservasi Genetik Tanaman Hutan Indigenous Species di indonesia. Prosiding Whorkshop Nasional Konservasi, Pemanfaatan, dan Pengelolaan Sumberdaya Genetik Tanaman Hutan. P3BPTH, Yogyakarta.

Soekotjo dan Raharjo, P. 2010. Konsepsi Konservasi Sumberdaya Alam (Kondisi saat ini dan tantangannya di masa depan). Temu Ilmiah. BBPBPTH Yogyakarta.

Sumarna, Y. 2002. Budidaya Gaharu. Penebar Swadaya. Jakarta. Widyatmoko, AYPBC., Ariningsih, E. D, dan Prasetyaningsih, A.2009.. Seleksi Awal Penanda RAPD (Random

Amplified Polymorphic DNA) untuk Identifikasi Lima Spesies AquilariaProsiding Seminar Nasional Biologi: Potensi Sumberdaya Hayati Tropis dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat, 28-32.

Widyatmoko, AYPBC., Ariningsih, E. D. Dan Prasetyaningsih, A. 2010. Studi keragaman genetik dan hubungan kekerabatan pada tiga jenis Aquilaria menggunakan penanda RAPD. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan.

Welsh, J., Peterson, C. dan McClelland, M. 1991. Polymorphisms generated by arbitrarily primed PCR in the mouse: application to strain identification and genetic mapping. Nucl. Acid. Res. 19:303-306.

Williams, J.G.K., Hanafey, M.K., Rafalsky, J.A. dan Tingey, S.V. 1993. Genetic analysis using random amplified polymorphic DNA markers. Methods Enzymol 218:704-740.

Page 193: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

168 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Page 194: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

169 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

KONSERVASI BANTENG (Bos javanicus D’alton): ANALISIS KERAGAMAN GENETIK DAN DINAMIKA POPULASI

Maryatul Qiptiyah dan AYPBC Widyatmoko

Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15 Purwobinangun, Pakem, Sleman Yogyakarta

Email: [email protected]

ABSTRAK

Banteng (Bos javanicus d’Alton, 1823) tergolong dalam jenis sapi liar (wild cattle) dan merupakan salah satu jenis satwa yang populasinya semakin menurun. Status konservasi banteng dalam IUCN Red List mengalami perubahan, dari rentan (vurnerable) pada tahun 1986 – 1994 menjadi terancam (endangered) pada tahun 1996. Rencana konservasi banteng telah dituangkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.58/Menhut-II/2011 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Banteng (Bos javanicus) Tahun 2010 -2020. Tujuannya adalah untuk mewujudkan peningkatan populasi banteng rata-rata sebesar 5% pada Tahun 2020. Salah satu kegiatan program yang akan dilakukan adalah pengelolaan populasi, yang diantaranya menyangkut evaluasi keanekaragaman genetik. Mulai tahun 2012 hingga 2014, Laboratorium Genetika Molekuler Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Pohon akan melakukan serangkaian penelitian keragaman genetik banteng menggunakan penanda D-loop (mitochondria DNA) dan SSR. Kegiatan yang akan dilakukan adalah: 1) Pengumpulan materi genetik, 2) Pengembangan penanda DNA untuk banteng, dan 3) Analisis keragaman genetik banteng. Materi genetik akan dikumpulkan dari beberapa taman nasional, diantaranya TN Alas Purwo dan TN Baluran (Jawa Timur) untuk sub spesies Bos javanicus javanicus, serta TN Kutai (Kalimantan Timur, B. j. lowi). Informasi yang akan dihasilkan adalah keragaman genetik populasi banteng (Jawa dan Kalimantan), penanda DNA untuk banteng dataran tinggi dan dataran rendah, serta sexing untuk mengetahui dinamika populasi banteng.

Kata kunci: banteng, keragaman genetik, penanda DNA, konservasi

I. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara yang memiliki berbagai macam tipe ekosistem sehingga

memiliki keragaman jenis yang tinggi baik untuk tumbuhan maupun satwa. Beberapa diantara

tumbuhan dan satwa yang hidup di Indonesia memiliki status konservasi yang memerlukan

perhatian khusus. Salah satu jenis satwa yang ada Indonesia yang memerlukan perhatian khusus

adalah banteng.

Banteng (Bos javanicus) tergolong dalam jenis sapi liar (wild cattle) yang dikategorikan

sebagai endangered species (Timmins et al., 2008). Jenis ini juga dikenal dengan nama Tembadau

di Kalimantan. Sebaran alami banteng meliputi kawasan Asia Tenggara, mulai dari Myanmar,

Thailand, Laos, Vietnam dan Kamboja sampai ke Yunan China (B. javanicus birmanicus), Pulau

Kalimatan (B. javanicus lowi) dan Jawa di (B. javanicus javanicus) (Timmins et al., 2008). Di

Indonesia, banteng merupakan mamalia besar selain badak jawa (Rhinoceros sondaicus sondaicus)

untuk di Pulau Jawa, dan gajah (Elephas maximus) di Pulau Sumatera. Sementara itu, banteng

dinyatakan telah punah di Semenanjung Malaysia (Francis, 2008 dalam Anonim, 2011).

Page 195: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

170 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Keragaman jenis banteng (Bos javanicus) adalah sumber plasma nutfah bagi pengembangan

budidaya sapi bali (Bos sondaicus). Tetapi satwa ini di kawasan konservasi in-situ seperti taman

nasional mengalami penurunan populasi akibat perburuan liar dan penurunan kualitas habitat

karena invasi tumbuhan Acacia nilotica, Chromolaena odorata dan Crotalaria sp di savana

(Sawitri dan Takandjandji, 2007 dan Sawitri dan Garsetiasih, 2007). Sedangkan di kawasan

konservasi ex-situ, perkawinan banteng cenderung tidak acak dan keturunannya cenderung

permasalahan inbreeding dalam keragaman genetikanya, sehingga populasi keturunannya sangat

rentan terhadap serangan penyakit maupun seleksi alam dan dikhawatirkan akan menghancurkan

keseluruhan populasi.

Mempertahankan keragaman genetika dalam suatu populasi merupakan salah satu cara dari

pengelolaan populasi bagi spesies yang terancam punah. Kualitas genetika menurun akibat

penurunan populasi efektif, minimal yaitu 50 individu untuk di penangkaran dan 500 individu

untuk di alam (Indrawan dkk, 2007). Faktor yang berperan penting terhadap keragaman genetika

pada suatu populasi adalah seleksi alam, mutasi, genetic drift dan perkawinan yang tidak acak.

Upaya pengelolaan populasi satwa dengan menggunakan pendekatan genetika molekuler

telah mulai banyak diterapkan, sebagai pelengkap dari pendekatan konvensional yang sudah ada.

Tulisan ini merupakan studi literatur yang bertujuan untuk memaparkan pentingnya genetika

molekuler untuk mendukung upaya konservasi satwa liar, khususnya banteng.

II. STRATEGI DAN RENCANA AKSI KONSERVASI BANTENG TAHUN 2010 – 2020

Berdasar lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 58/Menhut-II/2011, maksud

disusunnya “Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Banteng (Bos javanicus) Tahun 2010-2020”

adalah untuk memberikan arahan dan pedoman tentang strategi, prioritas dan rencana aksi

konservasi banteng pada tingkat nasional dan daerah pada periode Tahun 2010-2020, sehingga

program-program yang dilakukan lebih terarah, terkoordinasi serta terbentuk sinergi kegiatan antar

pemangku kepentingan. Adapun tujuannya adalah untuk mewujudkan peningkatan populasi

banteng rata-rata sebesar 5% pada Tahun 2020.

Lokasi prioritas untuk konservasi banteng dipilih dengan pertimbangan seperti keterwakilan

sub spesies, luas kawasan, keamanan serta telah ada unit pengelola konservasi banteng. Prioritas

lokasi yang pertama untuk sub spesies Bos javanicus javanicus adalah TN Ujung Kulon, TN Meru

Betiri, TN Baluran dan TN Alas Purwo di jawa. Sementara untuk lokasi sub spesies B.j. lowi

adalah TN Kutai dan TN Kayan Mentarang di Kalimantan

Page 196: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

171 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

Untuk menjawab program yang tertuang dalam strategi dan rencana aksi konservasi banteng,

kegiatan yang akan dilakukan sebagai berikut :

1. Kegiatan program pengelolaan populasi meliputi : inventarisasi dan pemantauan populasi;

assessment keanekaragaman genetik, pencegahan perburuan liar, membangun pusat

penyelamatan (rescue center) banteng akibat konflik, sebagai langkah awal mengembalikan

populasi banteng, merelokasi banteng dari populasi yang terisolasi untuk menyelamatkan

populasi yang mengalami penurunan (dengan mengikuti risk assessment, cek kesehatan satwa

serta pengikuti aturan-aturan diantaranya seperti IUCN guidelines), pembentukan unit

pengelolaan banteng (untuk pemantauan dan pengamanan), standardisasi pengelolaan banteng

eks-situ untuk mencapai target populasi international yaitu 300 (tiga ratus) ekor yang

didapatkan dari 30 (tiga puluh) indukan tanpa mengganggu populasi alam, juga pertukaran

spesies banteng antar lembaga konservasi untuk menghindari penurunan kualitas genetik akibat

perkawinan antar kerabat (inbreeding).

2. Kegiatan program pengelolaan habitat adalah pembinaan habitat melalui rehabilitasi atau

restorasi, pengamanan habitat, pengembangan High Conservation Value Forest (HCVF) untuk

habitat banteng di luar kawasan konservasi, pembinaan habitat berbasis lansekap,

mengendalikan spesies invasif yang berakibat negatif pada daya dukung habitat banteng, serta

tidak adanya hewan ternak dalam habitat banteng.

3. Kegiatan program sistem pengelolaan data adalah pembangunan sistem informasi pengelolaan

banteng, serta pembangunan data base banteng di daerah dan pusat.

4. Kegiatan program peningkatan profesionalitas aparat adalah pelatihan penanganan satwa,

pelatihan survey dan pemantauan satwa, pelatihan patroli anti perburuan dan pelatihan

pengelolaan populasi, pelatihan pengolahan data dan pelaporan, pelatihan interpretasi eko-

wisata banteng, pelatihan penyuluhan, penyediaan tenaga ahli medis veteriner terutama untuk

penanganan penyakit dan paska konflik.

5. Kegiatan program peningkatan kerjasama antar para pihak meliputi pembentukan kemitraan

untuk pendanaan konservasi banteng, penggalangan dana mitra, pembentukan Forum

Konservasi Banteng.

6. Kegiatan program peningkatan popularitas dan nilai ekonomi banteng mencakup pengenalan

banteng kepada masyarakat luas, penyelenggaraan kompetisi banteng award, pendirian

ekowisata banteng, pemanfaatan banteng untuk pemuliaan sapi, membuat kajian serta

sosialisasi dari valuasi ekonomi konservasi banteng sebagai pedoman pengembangannya.

Page 197: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

172 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

III. KONSERVASI BANTENG BERBASIS MOLEKULER

Analisis molekuler atau analisis DNA untuk satwa liar mulai banyak dilakukan pada saat ini.

Pendekatan molekuler merupakan salah satu cara untuk dapat mengetahui berbagai informasi

tentang populasi satwa yang terkadang susah didapatkan melalui penelitian satwa secara

konvensional. Dengan analisis molekuler, maka informasi tentang keragaman individu di dalam

dan antar populasi dapat diketahui. Selain itu, informasi lain yang dapat diperoleh dari monitoring

populasi menggunakan DNA adalah kelimpahan, range, paternitas, kinship, kekerabatan, ukuran

populasi, keragaman genetik, struktur populasi, organisasi sosial, rasio jenis kelamin suatu spesies

serta untuk mengenali individu-individu (Wulandari, 2006).

Penggunaan sekuen DNA pada studi genetika populasi telah berkembang secara cepat,

terutama setelah ditemukannya sekuen DNA dengan tingkat variabilitas dan polimorfis yang tinggi

sebagai penanda genetik. Meskipun penggunaan penanda genetik klasik seperti protein darah dan

biokimia cukup berperan penting dalam beberapa studi genetika populasi, namun salah satu

masalah yang membatasi penggunaan penanda ini adalah keterbatasan jumlah genotip pada setiap

lokus. Adanya penemuan lokus-lokus DNA dengan tingkat variabilitas tinggi, misal DNA

mikrosatelit menawarkan sejumlah solusi untuk memecahkan masalah keterbatasan tersebut

(Chakraborty & Jin, 1993 dalam Winaya, 2010).

Mikrosatelit memiliki sifat kodominan, dan dapat digunakan untuk pemetaan genetik, linkage

analysis dalam kaitannya dengan gen penyakit tertentu dan sejumlah analisis genetik populasi.

Selain itu, mikrosatelit bisa digunakan untuk menduga ukuran populasi, derajat substruktur

populasi termasuk jumlah migrasi antar sub populasi serta hubungan genetik di antara sub populasi

yang berbeda, analisis silsilah dan kekerabatan serta sejarah populasi (Rahmat, 2009).

Dalam rangka upaya konservasi sumber daya alam hayati terutama bagi satwa liar terancam

punah dan dilindungi, aplikasi dari hasil identifikasi sifat-sifat genetik mempunyai manfaat yang

besar dan strategis. Hasil identifikasi sifat genetik dapat membantu memberikan informasi

menegenai tingkat kelangkaan maupun kekritisan jenis melalui sifat heterosigositas atau derajat

polimorfisme. Selain itu, hasil identifikasi sifat genetik dapat membantu menentukan jumlah

populasi efektif. Suatu informasi genetik tertentu yang berfungsi sebagai penciri genetik atau gen-

gen penanda dalam pengelolaan satwa liar, seperti untuk mengidentifikasi asal usul satwa hasil

sitaan, mencirikan kekebalan terhadap penyakit atau menentukan kuota pemanenan lestari. Dalam

upaya penangkaran, identifikasi sifat genetik dapat mencegah adanya inbreeding dan meningkatkan

heterosigositas serta dapat membatu upaya restocking dan pendistribusian ulang satwa hasil

Page 198: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

173 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

penangkaran atau hasil sitaan ke habitat aslinya guna mencegah kemungkinan polusi genetik

(Rahmat, 2009).

Genetic assesment merupakan salah satu kegiatan yang akan dilakukan untuk mendukung

upaya konservasi banteng yang tertuang dalam strategi dan rencana aksi nasional (Permenhut No.

P.58/Menhut-II/2011). Indikator kinerja yang tercantum di dalamnya adalah keragaman genetik

dalam dan antar populasi dapat diketahui dan dikuantifikasi dan status sub spesies dapat dipastikan

kebenarannya. Selanjutnya hasil penilaian tersebut dituangkan ke dalam suatu aturan perundang-

undangan diantaranya sebagai antisipasi pegangan hukum dalam proses pengadilan.

Penelitian mengenai genetika banteng pernah dilakukan oleh (Sawitri dkk, 2012, kom.pri) di

beberapa kawasan konservasi baik secara in situ maupun ex situ. Kawasan konservasi tersebut

adalah : TN Baluran, TN. Meru Betiri, TN Alas Purwo, Kebun Binatang Ragunan, Kebun Binatang

Surabaya, Taman Safari I Prigen. Penelitian tersebut menggunakan metode sekuen fragmen D-loop

dari DNA mitokondria.

Hasil penelitian tersebut diatas adalah diversitas haplotipe populasi banteng di KBS, KBR,

TSI II, (Prigen dan Bali), Taman Nasional Merubetiri, dan sapi bali adalah 0,385±0,077 dan

diversitas nukleotida (Pi) = 0,00218 ± 0,00095. Pada uji Tajima (Tajima test) menunjukkan nilai D

= -0,50134 dan tidak berbeda nyata P>0,10 diantara individu banteng di semua populasi.

Demikian pula pada uji Fu dan Li menunjukkan nilai D = -0,86873 dan tidak berbeda nyata P>10

diantara individu pada semua populasi banteng. Sedangkan nilai Fu’s Fs = 0,123 yang

menunjukkan nilai positif yang berarti telah terjadi silang dalam (inbreeding) (Sawitri dkk, 2012,

kom.pri).

Mulai tahun 2012 hingga 2014, Laboratorium Genetika Molekuler Balai Besar Penelitian

Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan akan melakukan serangkaian penelitian keragaman

genetik banteng menggunakan penanda D-loop (mitochondria DNA) dan SSR atau mikrosatelit

dilakukan karena penanda ini memiliki keunggulan antara lain tersebar sangat banyak di genom,

polimorfisme tinggi, diskriminasi tinggi hingga pada tingkat satu basa dan dapat dengan mudah

diamplifikasi dengan reaksi PCR.

Kegiatan penelitian tersebut di atas meliputi: 1) Pengumpulan materi genetik, 2)

Pengembangan penanda DNA untuk banteng, dan 3) Analisis keragaman genetik banteng. Materi

genetik akan dikumpulkan dari beberapa taman nasional, diantaranya TN Alas Purwo dan TN

Baluran (Jawa Timur) untuk sub spesies Bos javanicus javanicus. Pengambilan materi genetik juga

akan dilakukan di TN Kutai (Kalimantan Timur) untuk sub spesies Bos javanicus lowi. Informasi

yang akan dihasilkan adalah keragaman genetik populasi banteng (Jawa dan Kalimantan), penanda

Page 199: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

174 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

DNA untuk banteng dataran tinggi dan dataran rendah, serta sexing untuk mengetahui dinamika

populasi dari banteng

KESIMPULAN

Banteng merupakan salah satu jenis satwa liar yang menjadi prioritas nasional untuk

dikonservasi. Upaya konservasi banteng secara nasional dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2020

telah dituangkan ke dalam Permenhut No. 58/Menhut-II/2011. Idealnya, Permenhut tersebut

dijadikan sebagai acuan / rujukan bagi seluruh stakeholder yang akan mengkonservasi banteng.

Penelitian genetika banteng menjadi salah satu perangkat yang dibutuhkan sebagai upaya

konservasi banteng dan untuk memenuhi amanat Permenhut No. P.58/Menhut-II/2011. Hasil

penelitian diharapkan dapat menjawab tentang keragaman genetik dalam dan antar populasi serta

kepastian sub spesies antara Bos javanicus javanicus dan B.j. lowi.

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra, H.S., 1990, Pengelolaan Satwa Liar Jilid I, IPB, Bogor Anonim, 2011, Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia, No. P. 58/Menhut-II/2011 tentang Strategi dan

rencana Aksi Konservasi Banteng (Bos javanicus) Tahun 2010 – 2020, www.dephut.go.id diakses tanggal 30 Agustus 2012.

Indrawan, M., R.B. Primack dan J. Suprijatna, 2007, Biologi Konservasi, Yayasan Obor, Jakarta.S Rahmat, U.M., 2009, Genetika Populasi dan Strategi Konservasi Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822),

Jurnal Manajemen Hutan Tropika, Vol XV, (1): 89 - 90

Sawitri, R dan M. Takandjandji. 2007. Kemungkinan reintroduksi banteng (Bos javanicus d’Alton) di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. Wana Tropika. Warta Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Vol. 2 No. 3, September 2007.

Sawitri, R dan R. Garsetiasih. 2007. Biological Control Strategy on Invasive Alien Species in Indonesian Forestry. Country Report : The International Workshop on the Biological Control of Invasive Species of Forests, September 20-25, 2007, Beijing, P.R. China

Timmins, R.J., Duckworth, J.W., Hedges, S., Steinmetz, R. & Pattanavibool, A. 2008. Bos javanicus. In: IUCN 2012. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2012.1. <www.iucnredlist.org>. Downloaded on 09 September 2012.

Winaya, A, 2010, Variasi Genetik dan Hubungan Filogenetik Populasi Sapi Lokal Indonesia Berdasarkan Penciri Molekuler DNA Mikrosatelit Kromosom Y dan Gen Cytochrome b, Disertasi, Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor.

Wulandari, D.T., 2006, Monitoring Populasi Hidupan Liar dengan DNA dari Feses, Pasca Sarjana UI, tidak diterbitkan.

Page 200: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

175 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

DAFTAR HADIR PESERTA SEMINAR NASIONAL

YOGYAKARTA, 9 OKTOBER 2012

No Nama Instansi Tanda tangan

1. Istiana P BBPBPTH

2. Maryatul Qiptiyah BBPBPTH

3. Nur Sumedi BKSDA

4. Agus Wiyanto Pusdiklat Kehutanan

5. Ali Husni BB- Biogen Bogor

6. Sumardi BPK Kupang

7. Siswadi BPK Kupang

8. E. Slamet R BDK Kadiapaten

9. Ardianto Dishut Prov Jatim

10. Rimbawanto BBPBPTH

11. Rina Laksmi Hendrati Balai BPBPTH

12. Dr. Corry Puslitbang

13. Dedi Puslitbang

14. Bambang Widjanarko DIT. BPTH

15. Atmitri S BB Biogen

16. Margiyanti BBPBPTH

17. Yelnititis BBPBPTH

18. Aniversari A BB Biogen

19. Lydia Suastati B2PD Samarinda

20. Sumaryana BBPBPTH

21. Arif Nirsatmanto BBPBPTH

Page 201: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

176 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

No Nama Instansi Tanda tangan

22. Endah Budi Irawati UPN Veteran Yogyakarta

23. F Woro Rismiyatun Institut Pertanian NTAN

24. Gudiwidayanto Institut Pertanian NTAN

25. Lukman Hakim Puskonser

26. Sinung Pranata UAJY

27. Hamdan AA BBPBPTH

28. Sukaji BBPBPTH

29. Marlan BBPBPTH

30. Burhan Ismail BBPBPTH

31. Taufik Jati S UPN Veteran Yogyakarta

32. Sri Wahyuni BBPBPTH

33. Rati Riyati UPN Veteran Yogyakarta

34. Edy Sarwono BBPBPTH

35. Purwono Puslitbang Cepu

36. Sidik P Puskonser

37. Dwi Nuryan Dani BKSDA Yogya

38. Kianto Atmodjo FTB UAJY

39. Yuliah BBPBPTH

40. Yohanes Wibisono BPK Manokwari

41. Sushardi Fahutan INSTIPER

42. Richard Triantoro BPK Manokwari

43. Kasih P. Handayani Ilmu Lingkungan UGM

Page 202: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

177 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

No Nama Instansi Tanda tangan

44. Toni Herawan BBPBPTH

45. Ellen Rosyelina Sasmita Fak Pertanian UPN Veteran

46. Yosephin Martha BPTHHBK Mataram

47. Purnamila Sulistyawati BBPBPTH

48. Vivi Y BBPBPTH

49. Nur Hidayati BBPBPTH

50. Suprihati BBPBPTH

51. Mashudi BBPBPTH

52. Dedi S BBPBPTH

53. Tri Maria Hasnah BBPBPTH

54. Rizki Ary Fambayun BBPBPTH

55. Nurngaini FP UPN Yogyakarta

56. Sri Hutami BB Biogen

57. Hari Sutrisno LIPI Bogor

58. Dewi Winarsih BBPBPTH

59. Wahyunisari BBPBPTH

60. Dodi Garnadi BBPBPTH

61. Dyah Puspasari Set Badan Litbang

62. Sumaryono Balit Biotek Perkebunan

63. AYPBC Widyatmoko BBPBPTH

64. Liliek Haryjanto BBPBPTH

65. Ikeu SR Dit KKH-PHKA

Page 203: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

178 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

No Nama Instansi Tanda tangan

66. ILG Nurtjahjaningsih BBPBPTH

67. Jayusman BBPBPTH

68. Asri IP BBPBPTH

69. Suwandi BBPBPTH

70. Surip BBPBPTH

71. Dwi Kartikaningtyas BBPBPTH

72. Priska Rini BBPBPTH

73. Jaka S BBPBPTH

74. Ragapadmi Purnamaningsih BB Biogen

75. Sutoro BB Biogen

76. Sugeng Pudjiono BBPBPTH

77. Arif Priyanto BBPBPTH

78. Maman Sulaeman BBPBPTH

79. Rudy Lukman BISI

80. Indwirut Puspita A Dinas Kehutana & Perkebunan

81. Ir. Susilowati, MP FP UPN Yogya

82. Susanto BBPBPTH

83. Prastyono BBPBPTH

84. Gunawan HR BBPBPTH

85. Y Triyanta BBPBPTH

86. Agus Suhaksa BPTH Kalimanatan

87. Charomaini BBPBPTH

Page 204: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

179 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

No Nama Instansi Tanda tangan

88. Tri Pamungkat BBPBPTH

89. Dyah Arbiwati UPN Veteran Yogya

90. Julhi BTN. GN. Merbabu

91. Siti Susilowati BBPBPTH

92. Ari Fiani BBPBPTH

93. Endin Izudin BBPBPTH

94. Maryana UPN Veteran Yogyakarta

95. Tutut Wirawati UPN Veteran Yogyakarta

96. Taryono UGM

97. L. Indah Murwani FTB. UAJY

98. Budi Leksono BBPBPTH

99. Dwi siwi BBPBPTH

100. Asep N.K BTN Gn Merapi

101. Mudji Susanto BBPBPTH

102. Sapto Indrioko UGM

103. Subroto Ps UPN Veteran Yogyakarta

104. Suyanto UPN Veteran Yogyakarta

105. Basuki FP.UPN Yogyakarta

106. Nasiatul Azizah Ilmu Lingkungan UGM

107. Dhani Suryawan BTNGM

108. Uus Suleman BBPBPTH

109. Eritrina W BBPBPTH

Page 205: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

180 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

No Nama Instansi Tanda tangan

110. Lagiman (Ir.Msi) FP UPN Veteran Yogyakarta

111. Nurul Ardiana BPDAS SOP

112. Sumarwoto (Dr.Ir) FP UPN Yogya

113. Mahendra Utama BBPBPTH

114. Rina Sulistyanti BBPBPTH

115. Slamet R Dishut Jogja

116. Endah Wahyurini FP. UPN Veteran Yogya

117. Edy Wibowo BBPBPTH

118. Maya Retnasari BBPBPTH

119. Abdul Azis BBPBPTH

120. M. Anis F BBPBPTH

121. Ismiyati BBPBPTH

122. Bambang Dwi Artadi Indotech Cipta Mandiri

123. Dyah Nurhandayani BBPBPTH

124. Liliana BBPBPTH

125. Siti Husna BBPBPTH

126. Pramana Yuda UAJY

127. Amir Wardhana BBPBPTH

128. Bambang Tri H Pusprohut

129. Endang Dwi L BBPBPTH

130. Nurdin Asfandi BBPBPTH

131. Fasis Mangkuwibowo BBPBPTH

Page 206: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

181 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

SEMINAR NASIONAL “Bioteknologi Hutan untuk Produktivitas dan Konservasi SumberDayaHutan”

JOGJAKARTA, 9 OKTOBER 2012 BALAI BESAR PENELITIAN BIOTEKNOLOGI DAN PEMULIAAN TANAMAN HUTAN

Pukul Kegiatan

08.00-08.30 Pendaftaran

08.30-09.00 Pembukaan • Laporan Kepala BBPBPTH • Arahan dan Pembukaan oleh Kepala Badan Litbang Kehutanan • D o a

09.00-09.15 Rehat Kopi

SesiI. Perbanyakan Tanaman dan Teknologi In Vitro

Moderator : DR. Ir. Taryono, M.Sc

Notulis : M. Nurdin Asfandi, A.Md dan Wahyunisari

Pukul Pembicara Materi

09.15-09.45 Ir. Sumaryono, M.Sc., Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan

Perbanyakan Massal Tanaman Sagu (Metroxylon sagu Rottb.) melalui Embriogenesis Somatik

09.45-09.55 Dra. Yelnititis, M.Si., Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

Perbanyak Tunas Araucaria cunning hamii dari Eksplan yang Berasal dari Seedling

09.55-10.05 Ir. Asri Insiana Putri, MP., Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

Ketersediaan Eksplan Tunas Aksiler dan Kalugenesis pada Perbanyakan Mikro Toona sinensis

10.05-10.15 DR. Ali Husni, Balai Besar Litbang Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian

Peningkatan Daya Multiplikasi Tunas in vitro Gaharu dalam Upaya Ikut Membantu Pengembangan dan Kelestariannya

10.15-10.25 Mia Kosmiatin,S.Si., M.Si., Balai Besar Litbang Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian

Enkapsulasi Buku Satu Tunas in vitro Tanaman Gaharu (A. malaccensis Lank)

10.25-10.35 Ir. Toni Herawan, MP., Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

Review Kultur Jaringan Cendana (Santalum album L.)

10.35-11.20 Diskusi

11.20-12.30 I S H O M A

Sesi I. Bioteknologi untuk Pemuliaan

Moderator : DR. Arief Nirsatmanto

Notulis : M. Nurdin Asfandi, A.Md dan Wahyunisari

Pukul Pembicara Materi

12.30-13.00 DR. Rudy Lukman , BISI International Tbk Evolusi Teknik Molekuler untuk Keperluan Pemuliaan Tanaman

Page 207: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

182 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

13.00-13.10 ILG. Nurtjahjaningsih, S.Si., M.Sc., Ph.D., Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan TanamanHutan

Identifikasi Tetua Unggul di Kebun Benih Acacia mangium

13.10-13.20 Istiana Prihatini, S.Si., MP., Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

Identifikasi jamur endofit pada tanaman hutan menggunakan penanda molekuler

13.20-13.30 Vivi Yuskianti, SP., M.Si., Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

Penanda Single Nucleotide Polymorphisms (SNPs) untuk Identifikasi Genetik di Sengon dan Acacia hybrid

13.30-13.40 Purnamila Sulistyawati, S.Si., M.Agr.Sc., Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

Pemuliaan tanaman hutan dengan metode pendekatan transcriptomic-proteomics

13.40-14.10 Diskusi

Sesi III. Bioteknologi untuk Konservasi dan Verifikasi Asal-Usul

Moderator : DR. Sapto Indrioko

Notulis : M. Nurdin Asfandi, A.Md dan Endin Izudin, A.Md

Pukul Pembicara Materi

14.10-14.40 DR. Hari Sutrisno, Pusat Penelitian Biologi, LIPI Peranan DNA barkoding dalam mendukung upaya konservasi fauna di Indonesia

14.40-14.50 DR. Anto Rimbawanto, Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

Verifikasi Asal Usul Kayu merbau (Intsia bijuga) menggunakan Penanda DNA : Strategi dan Status Penelitian

14.50-15.00 Ir. Pramana Yuda, M.Si., Ph.D., Fakultas Teknobiologi, Universitas Atmajaya, Yogyakarta

Aplikasi molecular sexing pada Gelatik Jawa (Padda oryzivora)

15.00-15.10 DR. Ir. AYPBC Widyatmoko, M.Agr., Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

Peran Hasil Penelitian Genetika Molekuler dalam mendukung Strategi Konservasi Aquilaria sp

15.10-15.20 Maryatul Qiptiyah, S.i., M.Sc., Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

Konservasi Banteng (Bos javanicusd’Alton): Analisis keragaman genetic dan dinamika populasi

15.20-15.50 Diskusi

15.50-16.05 Rehat Kopi

16.05-16.30 Penutupan • Pembacaan Rumusan oleh DR. Anto Rimbawanto • Penutupan oleh Kepala Badan Litbang Kehutanan

Page 208: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

183 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

SUSUNAN TIM PELAKSANA PADA SEMINAR NASIONAL ”BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN

KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN” TAHUN 2012

BALAI BESAR PENELITIAN BIOTEKNOLOGI DAN PEMULIAAN TANAMAN HUTAN

No. Nama Jabatan dalam Tim Uraian Tugas

1 2 3 4 I. Pembina

Pembina

Memberikan bimbingan dan arahan baik aspek teknis maupun non teknis untuk pelaksanaan kegiatan

1. Kepala Badan Litbang Kehutanan 2. Kepala Pusat Litbang

Peningkatan Produktivitas Hutan 3. Kepala Balai Besar PBPTH II. Panitia Pelaksana 1. Ir. Edy Subagyo, M.P. Ketua Mengkoordinasikan tim dalam

pelaksanaan kegiatan, bertanggung jawab terhadap kelancaran & hasil pelaksanaan kegiatan serta melaporkan hasil pelaksanaan kegiatan kepada Kepala Balai Besar

2. Ir. R. Gunawan Hadi R., M.Si. Wakil Ketua Membantu ketua dalam mengkoordinasikan tim

3. Ir. Dodi Garnadi, M.Si. Sekretaris Bersama dengan ketua dan wakil ketua untuk mengarahkan pelaksanaan kegiatan dan penyusunan laporan pelaksanaan kegiatan

4. Drs. Riharto, MM

5. Endang Dwi Lestariningsih, A.Md.

Bendahara Mengelola keuangan dalam pelaksanaan kegiatan

6. Edy Wibowo, S.Hut. Seksi Acara dan Persidangan

Mengatur jalannya acara untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan

7. M. Nurdin Asfandi, A.Md. Seksi Materi Mempersiapkan materi kegiatan

8. Maya Retnasari, A.Md 9. Rina Sulistyanti Pembawa

Acara/MC Mengatur jalannya pelaksanaan kegiatan

10. Ismiyati Seksi Akomodasi Menyiapkan akomodasi untuk pelaksanaan kegiatan

11. Nana Niti Sutisna, SIP Seksi Umum Menyiapkan seluruh kebutuhan untuk pelaksanaan kegiatan

Page 209: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam

184 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012

Page 210: 001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam