sk 3
DESCRIPTION
skenario 3 emergensiTRANSCRIPT
LI.1 TRAUMA URETRA
LO.1.1 DEFINISI
Trauma uretra adalah trauma yang terjadi pada uretra. Secara klinis dibedakan
menjadi trauma uretra anterior dan trauma uretra posterior (Pineiro et al, 2010).
LO.1.2 EPIDEMIOLOGI
Sekitar 70% dari kasus fraktur pelvis yang terjadi akibat dari kecelakaan
lalulintas/kecelakaan kendaraan bermotor, 25% kasus akibat jatuh dari ketinggian, dan 90%
kasus cedera uretra akibat trauma tumpul. Secara keseluruhan pada fraktur pelvis akan terjadi
pula cedera uretra bagian posterior (3,5%-19%) pada pria, dan (0%-6%) pada uretra
perempuan.1,2
Fraktur pada daerah pelvis biasanya karena cedera akibat terlindas ( crush injury),
dimana kekuatan besar mengenai pelvis. Trauma ini juga seringkali disertai dengan cedera
pada anggota tubuh lainnya seperti cedera kepala, thorax, intra abdomen, dan daerah
genitalia. Angka kematian sekitar 20 % kasus fraktur pelvis akibat robekan pada vena dan
arteri dalam rongga pelvis.2
Fraktur pelvis yang tidak stabil atau fraktur pada ramus pubis bilateral merupakan tipe
fraktur yang paling memungkinkan terjadinya cedera pada urethra posterior. Dilaporkan,
cedera pada urethra posterior sekitar 16% pada fraktur pubis unilateral dan meningkat
menjadi 41% pada fraktur pubis bilateral. Cedera urethra prostatomembranaceus bervariasi
mulai dari jenis simple ( 25%), ruptur parsial ( 25%) dan ruptur komplit ( 50%).2
LO.1.3 ETIOLOGI
Trauma uretra dapat terjadi akibat cedera dari luar (eksternal) dan cedera iatrogenik
akibat instrumentasi pada uretra.
a. Cedera Eksternal, misalnya : Trauma tumpul yang menimbulkan fraktur tulang pelvis
menyebabkan ruptura uretra pars membranasea, sedangkan trauma tumpul pada
selangkangan atau sering disebut straddle injury dapat menyebabkan ruptur uretra pars
bulbosa.
b. Cedera iatrogenik, misalnya : pemasangan kateter yang kurang hati-hati atau tindakan
operasi trans uretra (Purnomo, 2010).
Terjadinya ruptur uretra dapat disebabkan oleh cedera eksternal yang meliputi
fraktur pelvis atau cedera tarikan ( shearing injury). Selain itu, juga dapat disebabkan
oleh cedera iatrogenik, seperti akibat pemasangan kateter, businasi, dan bedah
endoskopi.3,7
Ruptur uretra anterior biasanya terjadi karena trauma tumpul (paling sering)
atau trauma tusuk. Dan terdapat sekitar 85% kasus rupture uretra anterior pars bulbosa
akibat trauma tumpul.11
1. Fraktur pelvis
Cedera urethra posterior utamanya disebabkan oleh fraktur pelvis. Yang menurut
kejadiannya, terbagi atas 3 tipe, yaitu :
Cedera akibat kompresi anterior-posterior
Cedera akibat kompresi lateral
Cedera tarikan vertikal.
Pada fraktur tipe I dan II mengenai pelvis bagian anterior dan biasanya lebih
stabil bila dibandingkan dengan fraktur tipe III dengan tipe tarikan vertical. Pada
fraktur tipe III ini seringkali akibat jatuh dari ketinggian, paling berbahaya dan
bersifat tidak stabil. Fraktur pelvis tidak stabil (unstable) meliputi cedera pelvis
anterior disertai kerusakan pada tulang posterior dan ligament disekitar articulation
sacroiliaca sehingga salah satu sisi lebih ke depan dibanding sisi lainnya (Fraktur
Malgaigne). Cedera urethra posterior terjadi akibat terkena segmen fraktur atau paling
sering karena tarikan ke lateral pada uretra pars membranaceus dan ligamentum
puboprostatika.7
2. Cedera tarikan ( shearing injury)
Cedera akibat tarikan yang menimbulkan rupture urethra di sepanjang pars
membranaceus (5-10%). Cedera ini terjadi ketika tarikan yang mendadak akibat
migrasi ke superior dari buli-buli dan prostat yang menimbulkan tarikan di sepanjang
urethra posterior. Cedera ini juga terjadi pada fraktur pubis bilateral (straddle fraktur)
akibat tarikan terhadap prostat dari segmen fraktur berbentuk kupu-kupu sehingga
menimbulkan tarikan pada urethra pars membranaceus.7
3. Cedera uretra karena pemasangan kateter
Cedera uretra karena kateterisasi dapat menyebabkan obstruksi karena edema
atau bekuan darah. Abses periuretral atau sepsis dapat mengakibatkan demam.
Ekstravasasi urin dengan atau tanpa darah dapat lebih meluas. Pada ekstravasasi ini,
mudah timbul infiltrate urin yang mengakibatkan sellulitis dan septisemia bila terjadi
infeksi.3
LO.1.4 KLASIFIKASI
1. Ruptur uretra anterior
Terletak di proksimal diafragma urogenital, hampir selalu disertai fraktur
tulang pelvis. Akibat fraktur tulang pelvis, terjadi robekan pars membranasea
karena prostat dengan uretra prostatika tertarik ke cranial bersama fragmen
fraktur, sedangkan uretra membranasea terikat di diafragma urogenital. Ruptur
uretra posterior dapat terjadi total atau inkomplit. Pada rupture total, uretra
terpisah seluruhnya dan ligamentum puboprostatikum robek sehingga buli-
bulidan prostat terlepas ke kranial. (Purnomo, Basuki. 2012)
2. Ruptur uretra posterior
Terletak di distal dari diafragma urogenital. Terbagi atas 3 segmen, yaitu:
Bulbous urethra, Pendulous urethra, Fossa navicularis. Namun, yang paling
sering terjadi adalah rupture uretra pada pars bulbosa yang disebabkan oleh
Saddle Injury, dimana robekan uretra terjadi antara ramus inferior os pubis dan
benda yang menyebabkannya. (Purnomo, Basuki. 2012)
LO.1.5 KOMPLIKASI
a. Striktur uretra
b. Disfungsi ereksi : akibat kerusakan saraf parasimpatis atau insufisiensi arteria
yang disebabkan oleh kerusakan neurovaskuler disekitar uretra saat terjadi
trauma.
c. Inkontinensia urine: akibat kerusakan sfingter uretra eksterna yang disebabkan
oleh kerusakan neurovaskuler disekitar uretra saat terjadi trauma (Purnomo,
2010).
LO.1.6 PROGNOSIS
Prognosis pada pasien dengan ruptur uretra ketika penanganan awal baik dan tepat
akan lebih baik. Ruptur uretra anterior mempunyai prognosis yang lebih baik ketika
diketahui tidak menimbulkan striktur uretra karena apabila terjadi infeksi dapat
membaik dengan terapi yang tepat. Sedangkan pada ruptur uretra posterior ketika
disertai dengan komplikasi yang berat maka prognosis akan lebih buruk (Palinrungi.
2009).
LI.2 RUPTUR URETRA ANTERIOR
LO.2.1 PATOFISIOLOGI
Uretra anterior terbungkus dalam corpus spongiosum penis.
Sedangkan corpus spongiosum bersamaan dengan corpora cavernosum
dibungkus oleh fascia buck dan fascia colles. Apabila terjadi ruptur uretra
beserta corpus spongiosum, darah dan urine keluar dari uretra tetapi masih
terbatas pada fasia buck, dan secara klinis terlihat hematoma yang terbatas
pada penis. Namun apabila robek terjadi hingga ke fascia buck, ekstravasasi
darah dan urin dapat menjalar hingga ke scrotum atau ke dinding abdomen
dengan gambaran seperti kupu-kupu sehingga sering disebut butterfly
hematoma (Rosesntein et al, 2006).
Trauma uretra pars bulbosa terjadi akibat jatuh terduduk atau
terkangkang sehingga uretra terjepit antara objek yang keras, seperti batu,
kayu atau palang sepeda dengan tulang simfisis (Rosesntein et al, 2006).
Gambar 7. Mekanisme trauma tumpul pada uretra anterior. A) Ilustrasi Straddle injury dimana uretra terjepit diantara tulang pelvis dengan benda tumpul. B.) trauma uretra anterior hingga terjadi
robekan pada fascia buck, menyebabkan perdarahan meluas ke fascia colles (Rosesntein et al, 2006)
LO.2.2 MANIFESTASI
Dicurigai terjadi suatu trauma uretra apabila didapatkan :
a. Adanya perdarahan peruretram. Perdarahan peruretram adalah keluarnya darah dari
meautus uretra eksternum setelah mengalami trauma.
b. Hematuria, yaitu keluarnya urine bercampur darah.
c. Retensio urine, hal ini sering terjadi akibat terjadinya trauma yang berat. Pada keadaan
retensi urin, tidak boleh dilakukan pemasangan kateter karena dapat menyebabkan
kerusakan uretra yang lebih parah.
Trias ruptur uretra anterior
- Bloddy discharge
- Retensio urine
- Hematome/jejas peritoneal/urine infiltrat
LO.2.3 DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan melalui foto uretrografi dengan memasukkan kontras
melalui uretra (Rosesntein et al, 2006; Purnomo, 2010).
a) Riwayat jatuh dari tempat yang tinggi dan terkena daerah perineum atau
riwayat instrumentasi disertai adanya darah menetes dari uretra yang
merupakan gejala penting.
b) Nyeri daerah perineum dan kadang-kadang ada hematom perineal.
c) Retensio urin bisa terjadi dan dapat diatasi dengan sistostomi suprapubik
untuk sementara, sambil menunggu diagnose pasti. Pemasangan kateter
uretra merupakan kontraindikasi.
d) Jika terjadi rupture uretra beserta korpus spongiosum darah dan urin keluar
dari uretra tetapi masih terbatas pada fasia Buck, dan secara klinis terlihat
hematoma yang terbatas pada penis. Namun jika fasia Buck ikut robek,
ekstravasasi urin dan darah hanya dibatasi oleh fasia Colles sehingga darah
dapat menjalar hingga skrotum atau ke dinding abdomen. Oleh karena itu
robekan ini memberikan gambaran seperti kupu-kupu sehingga disebut
butterfly hematoma atau hematoma kupu-kupu.
Gambar 8. Butterfly Hematom pada Straddle Injury
e) Dengan pemeriksaan uretrografi retrograd, gambaran ruptur uretra berupa
adanya ekstravasasi kontras di pars bulbosa. Namun pada keadaan
kontusio uretra, biasanya tidak menunjukan adanya ekstravasasi kontras
(Purnomo, 2010).
Gambar 9. Ekstravasasi kontras di urethra pars bulbaris pada straddle
injury (Ramchandani, 2009).
LO.2.5 PENATALAKSANAAN
a) Pada Kontusio uretra umumnya tidak memerlukan tindakan khusus.
b) Pada ruptur uretra parsial dengan ekstravasasi ringan, dapat dilakukan
sistotomi dan pemasangan kateter foley untuk mengalihkan aliran urine.
Kateter dipertahankan hingga 2 minggu, kemudian dievaluasi dengan
pemeriksaan uretrografi hingga dipastikan tidak ditemukan lagi
ekstravasasi kontras maupun striktur uretra.
c) Pada ruptur uretra anterior total, langsung dilakukan pemulihan uretra
dengan anastomosis ujung ke ujung melalui sayatan perineal. Dipasang
kateter silicon selama 3 minggu.
d) Pada ruptur dengan ekstravasasi urine dan hematom yang luas perlu
dilakukan debridement dan incisi hematoma untuk mencegah terjadinya
infeksi. Apabila luka sudah membaik, baru dilakukan reparasi uretra
e) Apabila terjadi striktur uretra, dilakukan reparasi uretra atau sachse.
(Sjamjuhidajat, Wim De Jong. 2004).
LI.3 RUPTUR URETRA POSTERIOR
LO.3.1 PATOFISIOLOGI
Penyebab terseringnya adalah akibat fraktur tulang pelvis.
Fraktur yang mengenai ramus atau simfisis pubis dan menimbulkan kerusakan pada cincin
pelvis, menyebabkan robekan uretra pars prostato membranasea. Fraktur pelvis dan
pembuluh darah yang berada di dalam kavum pelvis menyebabkan hematoma yang luas di
cavum retzius sehingga apabila ligamentum pubo prostatikum ikut robek, maka prostat dan
vesica urinaria akan terangkat ke atas (Rosesntein et al, 2006).
LO.3.2 MANIFESTASI
Bloody discharge Retensio urine Floating prostat
LO.3.3 DIAGNOSIS
Gambaran klinis khasnya berupa :
a) Perdarahan peruretram adalah gejala yang paling penting dari ruptur
uretra dan sering merupakan satusatunya gejala, yang merupakan indikasi
untuk membuat urethrogram retrograde. Kateterisasi merupakan
kontraindikasi karena dapat menyebabkan infeksi prostatika dan
perivesika hematom serta dapat menyebabkan laserasi yang parsial
menjadi total.
b) Retensi urin
c) Pada pemeriksaan rectal touché didapatkan prostat mengapung (floating
prostate) akibat rupture total dari urethra pars membranacea oleh karena
terputusnya ligament puboprostatika (Purnomo, 2010).
1) Klasifikasi
Gambar 9. Tipe Ruptur Uretra Posterior (Rosesntein et al, 2006)
Derajat Ruptura uretra posterior berdasarkan Colapinto dan McCollum
(1976) adalah sebagai berikut (Rosesntein et al, 2006):
a) Colapinto I
Uretra posterior masih utuh dan hanya mengalami peregangan
(stretching).
Gambaran uretrogram : Tidak ada ekstravasasi, uretra tampak
memanjang.
Gambar 10. Gambaran urethra normal pada urethrogram retrograde
(Ramchandani, 2009)
Gambar 11. Gambaran urethra posterior yang teregang tetapi masih intak
tanpa adanya ekstravasasi kontras pada uretrogram ascending
(Ramchandani, 2009).
b) Colapinto II
Uretra posterior terputus pada perbatasan prostato membranasea,
sedagkan diafragma urogenitalia masih utuh.
Gambaran uretrogram : menunjukkan ekstravasasi kontras yang masih
terbatas pada diafragma urogenital.
Gambar 12. Tampak ekstravasasi kontras (panah putih) dengan gambaran
diafragma urogenital yang masih intak (panah hitam).
Menunjukan trauma urethra posterior (Ramchandani, 2009).
c) Colapinto III
Uretra posterior, diafragma urogenital dan uretra pars bulbosa
proksimal ikut rusak.
Gambaran uretrogram : menunjukkan ekstravasasi kontras meluas
sampai bawah diafragma urogenital hingga ke perineum.
Gambar 13. Gambaran ekstravasasi kontras meluas sampai bawah
diafragma urogenital hingga ke perineum (Ramchandani,
2009).
LO.3.5 PENATALAKSANAAN
Ruptura uretra posterior biasanya diikuti oleh trauma mayor pada
organ lain (abdomen dan fraktur pelvis) yang menyebabkan perdarahan hebat,
sehingga pada bidang urologi diminimalkan tindakan invasif agar tidak
menambah perdarahan terutama pada cavum pelvis dan prostat. Perdarahan
tersebut hanya akan memperparah kerusakan uretra (Rosesntein et al, 2006).
Ruptur uretra posterior ketika tidak disertai cedera organ intraabdomen
maka sebagai penanganan akut, dilakukan sistotomi untuk diversi urine.
Setelah pasien stabil, dilakukan pemasangan kateter uretra melalui uretroskopi
agar kedua ujung uretra yang terpisah dapat saling didekatkan. Tindakan
tersebut dilakukan sebelum 1 minggu pasca rupture (2-3 hari). Kateter uretra
dipertahankan selama 14 hari. Setelah itu dapat dilakukan uretroplasti setelah
3 bulan pasca ruptur, dimana jaringan parut pada uretra diperkirakan sudah
stabil untuk tindakan rekonstruksi (Purnomo, 2010; Rosesntein et al, 2006).
Bila disertai cedera organ lain sehingga tidak mungkin dilakukan
reparasi dalam waktu kurang dari 1 minggu, sebaiknya dipasang kateter secara
langsir (rail roading) (Rosesntein et al, 2006).