sk 3

16
LI.1 TRAUMA URETRA LO.1.1 DEFINISI Trauma uretra adalah trauma yang terjadi pada uretra. Secara klinis dibedakan menjadi trauma uretra anterior dan trauma uretra posterior (Pineiro et al, 2010). LO.1.2 EPIDEMIOLOGI Sekitar 70% dari kasus fraktur pelvis yang terjadi akibat dari kecelakaan lalulintas/kecelakaan kendaraan bermotor, 25% kasus akibat jatuh dari ketinggian, dan 90% kasus cedera uretra akibat trauma tumpul. Secara keseluruhan pada fraktur pelvis akan terjadi pula cedera uretra bagian posterior (3,5%- 19%) pada pria, dan (0%-6%) pada uretra perempuan. 1,2 Fraktur pada daerah pelvis biasanya karena cedera akibat terlindas ( crush injury), dimana kekuatan besar mengenai pelvis. Trauma ini juga seringkali disertai dengan cedera pada anggota tubuh lainnya seperti cedera kepala, thorax, intra abdomen, dan daerah genitalia. Angka kematian sekitar 20 % kasus fraktur pelvis akibat robekan pada vena dan arteri dalam rongga pelvis. 2 Fraktur pelvis yang tidak stabil atau fraktur pada ramus pubis bilateral merupakan tipe fraktur yang paling memungkinkan terjadinya cedera pada urethra posterior. Dilaporkan, cedera pada urethra posterior sekitar 16% pada fraktur pubis unilateral dan meningkat menjadi 41% pada fraktur pubis bilateral. Cedera urethra prostatomembranaceus bervariasi mulai dari jenis simple ( 25%), ruptur parsial ( 25%) dan ruptur komplit ( 50%). 2

Upload: zakiirah-faisal-alkatiiri

Post on 05-Jan-2016

214 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

skenario 3 emergensi

TRANSCRIPT

Page 1: sk 3

LI.1 TRAUMA URETRA

LO.1.1 DEFINISI

Trauma uretra adalah trauma yang terjadi pada uretra. Secara klinis dibedakan

menjadi trauma uretra anterior dan trauma uretra posterior (Pineiro et al, 2010).

LO.1.2 EPIDEMIOLOGI

Sekitar 70% dari kasus fraktur pelvis yang terjadi akibat dari kecelakaan

lalulintas/kecelakaan kendaraan bermotor, 25% kasus akibat jatuh dari ketinggian, dan 90%

kasus cedera uretra akibat trauma tumpul. Secara keseluruhan pada fraktur pelvis akan terjadi

pula cedera uretra bagian posterior (3,5%-19%) pada pria, dan (0%-6%) pada uretra

perempuan.1,2

Fraktur pada daerah pelvis biasanya karena cedera akibat terlindas ( crush injury),

dimana kekuatan besar mengenai pelvis. Trauma ini juga seringkali disertai dengan cedera

pada anggota tubuh lainnya seperti cedera kepala, thorax, intra abdomen, dan daerah

genitalia. Angka kematian sekitar 20 % kasus fraktur pelvis akibat robekan pada vena dan

arteri dalam rongga pelvis.2

Fraktur pelvis yang tidak stabil atau fraktur pada ramus pubis bilateral merupakan tipe

fraktur yang paling memungkinkan terjadinya cedera pada urethra posterior. Dilaporkan,

cedera pada urethra posterior sekitar 16% pada fraktur pubis unilateral dan meningkat

menjadi 41% pada fraktur pubis bilateral. Cedera urethra prostatomembranaceus bervariasi

mulai dari jenis simple ( 25%), ruptur parsial ( 25%) dan ruptur komplit ( 50%).2

LO.1.3 ETIOLOGI

Trauma uretra dapat terjadi akibat cedera dari luar (eksternal) dan cedera iatrogenik

akibat instrumentasi pada uretra.

a. Cedera Eksternal, misalnya : Trauma tumpul yang menimbulkan fraktur tulang pelvis

menyebabkan ruptura uretra pars membranasea, sedangkan trauma tumpul pada

selangkangan atau sering disebut straddle injury dapat menyebabkan ruptur uretra pars

bulbosa.

b. Cedera iatrogenik, misalnya : pemasangan kateter yang kurang hati-hati atau tindakan

operasi trans uretra (Purnomo, 2010).

Page 2: sk 3

Terjadinya ruptur uretra dapat disebabkan oleh cedera eksternal yang meliputi

fraktur pelvis atau cedera tarikan ( shearing injury). Selain itu, juga dapat disebabkan

oleh cedera iatrogenik, seperti akibat pemasangan kateter, businasi, dan bedah

endoskopi.3,7

Ruptur uretra anterior biasanya terjadi karena trauma tumpul (paling sering)

atau trauma tusuk. Dan terdapat sekitar 85% kasus rupture uretra anterior pars bulbosa

akibat trauma tumpul.11

1. Fraktur pelvis

Cedera urethra posterior utamanya disebabkan oleh fraktur pelvis. Yang menurut

kejadiannya, terbagi atas 3 tipe, yaitu :

Cedera akibat kompresi anterior-posterior

Cedera akibat kompresi lateral

Cedera tarikan vertikal.

Pada fraktur tipe I dan II mengenai pelvis bagian anterior dan biasanya lebih

stabil bila dibandingkan dengan fraktur tipe III dengan tipe tarikan vertical. Pada

fraktur tipe III ini seringkali akibat jatuh dari ketinggian, paling berbahaya dan

bersifat tidak stabil. Fraktur pelvis tidak stabil (unstable) meliputi cedera pelvis

anterior disertai kerusakan pada tulang posterior dan ligament disekitar articulation

sacroiliaca sehingga salah satu sisi lebih ke depan dibanding sisi lainnya (Fraktur

Malgaigne). Cedera urethra posterior terjadi akibat terkena segmen fraktur atau paling

sering karena tarikan ke lateral pada uretra pars membranaceus dan ligamentum

puboprostatika.7

2. Cedera tarikan ( shearing injury)

Cedera akibat tarikan yang menimbulkan rupture urethra di sepanjang pars

membranaceus (5-10%). Cedera ini terjadi ketika tarikan yang mendadak akibat

migrasi ke superior dari buli-buli dan prostat yang menimbulkan tarikan di sepanjang

urethra posterior. Cedera ini juga terjadi pada fraktur pubis bilateral (straddle fraktur)

akibat tarikan terhadap prostat dari segmen fraktur berbentuk kupu-kupu sehingga

menimbulkan tarikan pada urethra pars membranaceus.7

3. Cedera uretra karena pemasangan kateter

Cedera uretra karena kateterisasi dapat menyebabkan obstruksi karena edema

atau bekuan darah. Abses periuretral atau sepsis dapat mengakibatkan demam.

Ekstravasasi urin dengan atau tanpa darah dapat lebih meluas. Pada ekstravasasi ini,

Page 3: sk 3

mudah timbul infiltrate urin yang mengakibatkan sellulitis dan septisemia bila terjadi

infeksi.3

LO.1.4 KLASIFIKASI

1. Ruptur uretra anterior

Terletak di proksimal diafragma urogenital, hampir selalu disertai fraktur

tulang pelvis. Akibat fraktur tulang pelvis, terjadi robekan pars membranasea

karena prostat dengan uretra prostatika tertarik ke cranial bersama fragmen

fraktur, sedangkan uretra membranasea terikat di diafragma urogenital. Ruptur

uretra posterior dapat terjadi total atau inkomplit. Pada rupture total, uretra

terpisah seluruhnya dan ligamentum puboprostatikum robek sehingga buli-

bulidan prostat terlepas ke kranial. (Purnomo, Basuki. 2012)

2. Ruptur uretra posterior

Terletak di distal dari diafragma urogenital. Terbagi atas 3 segmen, yaitu:

Bulbous urethra, Pendulous urethra, Fossa navicularis. Namun, yang paling

sering terjadi adalah rupture uretra pada pars bulbosa yang disebabkan oleh

Saddle Injury, dimana robekan uretra terjadi antara ramus inferior os pubis dan

benda yang menyebabkannya. (Purnomo, Basuki. 2012)

LO.1.5 KOMPLIKASI

a. Striktur uretra

b. Disfungsi ereksi : akibat kerusakan saraf parasimpatis atau insufisiensi arteria

yang disebabkan oleh kerusakan neurovaskuler disekitar uretra saat terjadi

trauma.

c. Inkontinensia urine: akibat kerusakan sfingter uretra eksterna yang disebabkan

oleh kerusakan neurovaskuler disekitar uretra saat terjadi trauma (Purnomo,

2010).

LO.1.6 PROGNOSIS

Page 4: sk 3

Prognosis pada pasien dengan ruptur uretra ketika penanganan awal baik dan tepat

akan lebih baik. Ruptur uretra anterior mempunyai prognosis yang lebih baik ketika

diketahui tidak menimbulkan striktur uretra karena apabila terjadi infeksi dapat

membaik dengan terapi yang tepat. Sedangkan pada ruptur uretra posterior ketika

disertai dengan komplikasi yang berat maka prognosis akan lebih buruk (Palinrungi.

2009).

LI.2 RUPTUR URETRA ANTERIOR

LO.2.1 PATOFISIOLOGI

Uretra anterior terbungkus dalam corpus spongiosum penis.

Sedangkan corpus spongiosum bersamaan dengan corpora cavernosum

dibungkus oleh fascia buck dan fascia colles. Apabila terjadi ruptur uretra

beserta corpus spongiosum, darah dan urine keluar dari uretra tetapi masih

terbatas pada fasia buck, dan secara klinis terlihat hematoma yang terbatas

pada penis. Namun apabila robek terjadi hingga ke fascia buck, ekstravasasi

darah dan urin dapat menjalar hingga ke scrotum atau ke dinding abdomen

dengan gambaran seperti kupu-kupu sehingga sering disebut butterfly

hematoma (Rosesntein et al, 2006).

Trauma uretra pars bulbosa terjadi akibat jatuh terduduk atau

terkangkang sehingga uretra terjepit antara objek yang keras, seperti batu,

kayu atau palang sepeda dengan tulang simfisis (Rosesntein et al, 2006).

Gambar 7. Mekanisme trauma tumpul pada uretra anterior. A) Ilustrasi Straddle injury dimana uretra terjepit diantara tulang pelvis dengan benda tumpul. B.) trauma uretra anterior hingga terjadi

Page 5: sk 3

robekan pada fascia buck, menyebabkan perdarahan meluas ke fascia colles (Rosesntein et al, 2006)

LO.2.2 MANIFESTASI

Dicurigai terjadi suatu trauma uretra apabila didapatkan :

a. Adanya perdarahan peruretram. Perdarahan peruretram adalah keluarnya darah dari

meautus uretra eksternum setelah mengalami trauma.

b. Hematuria, yaitu keluarnya urine bercampur darah.

c. Retensio urine, hal ini sering terjadi akibat terjadinya trauma yang berat. Pada keadaan

retensi urin, tidak boleh dilakukan pemasangan kateter karena dapat menyebabkan

kerusakan uretra yang lebih parah.

Trias ruptur uretra anterior

- Bloddy discharge

- Retensio urine

- Hematome/jejas peritoneal/urine infiltrat

LO.2.3 DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan melalui foto uretrografi dengan memasukkan kontras

melalui uretra (Rosesntein et al, 2006; Purnomo, 2010).

a) Riwayat jatuh dari tempat yang tinggi dan terkena daerah perineum atau

riwayat instrumentasi disertai adanya darah menetes dari uretra yang

merupakan gejala penting.

b) Nyeri daerah perineum dan kadang-kadang ada hematom perineal.

c) Retensio urin bisa terjadi dan dapat diatasi dengan sistostomi suprapubik

untuk sementara, sambil menunggu diagnose pasti. Pemasangan kateter

uretra merupakan kontraindikasi.

d) Jika terjadi rupture uretra beserta korpus spongiosum darah dan urin keluar

dari uretra tetapi masih terbatas pada fasia Buck, dan secara klinis terlihat

hematoma yang terbatas pada penis. Namun jika fasia Buck ikut robek,

ekstravasasi urin dan darah hanya dibatasi oleh fasia Colles sehingga darah

dapat menjalar hingga skrotum atau ke dinding abdomen. Oleh karena itu

Page 6: sk 3

robekan ini memberikan gambaran seperti kupu-kupu sehingga disebut

butterfly hematoma atau hematoma kupu-kupu.

Gambar 8. Butterfly Hematom pada Straddle Injury

e) Dengan pemeriksaan uretrografi retrograd, gambaran ruptur uretra berupa

adanya ekstravasasi kontras di pars bulbosa. Namun pada keadaan

kontusio uretra, biasanya tidak menunjukan adanya ekstravasasi kontras

(Purnomo, 2010).

Page 7: sk 3

Gambar 9. Ekstravasasi kontras di urethra pars bulbaris pada straddle

injury (Ramchandani, 2009).

LO.2.5 PENATALAKSANAAN

a) Pada Kontusio uretra umumnya tidak memerlukan tindakan khusus.

b) Pada ruptur uretra parsial dengan ekstravasasi ringan, dapat dilakukan

sistotomi dan pemasangan kateter foley untuk mengalihkan aliran urine.

Kateter dipertahankan hingga 2 minggu, kemudian dievaluasi dengan

pemeriksaan uretrografi hingga dipastikan tidak ditemukan lagi

ekstravasasi kontras maupun striktur uretra.

c) Pada ruptur uretra anterior total, langsung dilakukan pemulihan uretra

dengan anastomosis ujung ke ujung melalui sayatan perineal. Dipasang

kateter silicon selama 3 minggu.

d) Pada ruptur dengan ekstravasasi urine dan hematom yang luas perlu

dilakukan debridement dan incisi hematoma untuk mencegah terjadinya

infeksi. Apabila luka sudah membaik, baru dilakukan reparasi uretra

e) Apabila terjadi striktur uretra, dilakukan reparasi uretra atau sachse.

(Sjamjuhidajat, Wim De Jong. 2004).

LI.3 RUPTUR URETRA POSTERIOR

Page 8: sk 3

LO.3.1 PATOFISIOLOGI

Penyebab terseringnya adalah akibat fraktur tulang pelvis.

Fraktur yang mengenai ramus atau simfisis pubis dan menimbulkan kerusakan pada cincin

pelvis, menyebabkan robekan uretra pars prostato membranasea. Fraktur pelvis dan

pembuluh darah yang berada di dalam kavum pelvis menyebabkan hematoma yang luas di

cavum retzius sehingga apabila ligamentum pubo prostatikum ikut robek, maka prostat dan

vesica urinaria akan terangkat ke atas (Rosesntein et al, 2006).

LO.3.2 MANIFESTASI

Bloody discharge Retensio urine Floating prostat

LO.3.3 DIAGNOSIS

Gambaran klinis khasnya berupa :

a) Perdarahan peruretram adalah gejala yang paling penting dari ruptur

uretra dan sering merupakan satusatunya gejala, yang merupakan indikasi

untuk membuat urethrogram retrograde. Kateterisasi merupakan

kontraindikasi karena dapat menyebabkan infeksi prostatika dan

perivesika hematom serta dapat menyebabkan laserasi yang parsial

menjadi total.

b) Retensi urin

c) Pada pemeriksaan rectal touché didapatkan prostat mengapung (floating

prostate) akibat rupture total dari urethra pars membranacea oleh karena

terputusnya ligament puboprostatika (Purnomo, 2010).

1) Klasifikasi

Page 9: sk 3

Gambar 9. Tipe Ruptur Uretra Posterior (Rosesntein et al, 2006)

Derajat Ruptura uretra posterior berdasarkan Colapinto dan McCollum

(1976) adalah sebagai berikut (Rosesntein et al, 2006):

a) Colapinto I

Uretra posterior masih utuh dan hanya mengalami peregangan

(stretching).

Gambaran uretrogram : Tidak ada ekstravasasi, uretra tampak

memanjang.

Gambar 10. Gambaran urethra normal pada urethrogram retrograde

(Ramchandani, 2009)

Page 10: sk 3

Gambar 11. Gambaran urethra posterior yang teregang tetapi masih intak

tanpa adanya ekstravasasi kontras pada uretrogram ascending

(Ramchandani, 2009).

b) Colapinto II

Uretra posterior terputus pada perbatasan prostato membranasea,

sedagkan diafragma urogenitalia masih utuh.

Gambaran uretrogram : menunjukkan ekstravasasi kontras yang masih

terbatas pada diafragma urogenital.

Gambar 12. Tampak ekstravasasi kontras (panah putih) dengan gambaran

diafragma urogenital yang masih intak (panah hitam).

Menunjukan trauma urethra posterior (Ramchandani, 2009).

Page 11: sk 3

c) Colapinto III

Uretra posterior, diafragma urogenital dan uretra pars bulbosa

proksimal ikut rusak.

Gambaran uretrogram : menunjukkan ekstravasasi kontras meluas

sampai bawah diafragma urogenital hingga ke perineum.

Gambar 13. Gambaran ekstravasasi kontras meluas sampai bawah

diafragma urogenital hingga ke perineum (Ramchandani,

2009).

LO.3.5 PENATALAKSANAAN

Ruptura uretra posterior biasanya diikuti oleh trauma mayor pada

organ lain (abdomen dan fraktur pelvis) yang menyebabkan perdarahan hebat,

sehingga pada bidang urologi diminimalkan tindakan invasif agar tidak

menambah perdarahan terutama pada cavum pelvis dan prostat. Perdarahan

tersebut hanya akan memperparah kerusakan uretra (Rosesntein et al, 2006).

Ruptur uretra posterior ketika tidak disertai cedera organ intraabdomen

maka sebagai penanganan akut, dilakukan sistotomi untuk diversi urine.

Setelah pasien stabil, dilakukan pemasangan kateter uretra melalui uretroskopi

agar kedua ujung uretra yang terpisah dapat saling didekatkan. Tindakan

tersebut dilakukan sebelum 1 minggu pasca rupture (2-3 hari). Kateter uretra

dipertahankan selama 14 hari. Setelah itu dapat dilakukan uretroplasti setelah

3 bulan pasca ruptur, dimana jaringan parut pada uretra diperkirakan sudah

stabil untuk tindakan rekonstruksi (Purnomo, 2010; Rosesntein et al, 2006).

Page 12: sk 3

Bila disertai cedera organ lain sehingga tidak mungkin dilakukan

reparasi dalam waktu kurang dari 1 minggu, sebaiknya dipasang kateter secara

langsir (rail roading) (Rosesntein et al, 2006).