sk 3 geriatri.doc

76
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Geriatri adalah cabang kedokteran yang berkenaan dengan diagnosa dan pengobatan atau kadang-kadang hanya pengelolaan dari kondisi dan gangguan yang terjadi pada usia tua. Istilah geriatri juga mengacu pada perawatan medis untuk orang tua pada umumnya. Pasien geriatri adalah pasien berusia lanjut (untuk Indonesia saat ini adalah mereka yang berusia 60 tahun ke atas) dengan beberapa masalah kesehatan (multipatologi) akibat gangguan fungsi jasmani dan rohani, dan atau kondisi sosial yang bermasalah. Salah satu masalah yang sering terjadi pada geriatri adalah imobilisasi. Imobilisasi didefinisikan sebagai keadaan tidak bergerak atau tirah baring selama lebih dari 3 hari, dengan gerak anatomik tubuh menghilang akibat perubahan fisiologik. Imobilisasi merupakan salah satu masalah yang cukup besar di bidang geriatri yang timbul sebagai akibat penyakit atau masalah psikososial yang diderita. Imobilisasi dapat menimbulkan

Upload: beatadindaseruni

Post on 15-Sep-2015

75 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Geriatri fk uns skenario 3

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Geriatri adalah cabang kedokteran yang berkenaan dengan diagnosa dan pengobatan atau kadang-kadang hanya pengelolaan dari kondisi dan gangguan yang terjadi pada usia tua. Istilah geriatri juga mengacu pada perawatan medis untuk orang tua pada umumnya. Pasien geriatri adalah pasien berusia lanjut (untuk Indonesia saat ini adalah mereka yang berusia 60 tahun ke atas) dengan beberapa masalah kesehatan (multipatologi) akibat gangguan fungsi jasmani dan rohani, dan atau kondisi sosial yang bermasalah. Salah satu masalah yang sering terjadi pada geriatri adalah imobilisasi. Imobilisasi didefinisikan sebagai keadaan tidak bergerak atau tirah baring selama lebih dari 3 hari, dengan gerak anatomik tubuh menghilang akibat perubahan fisiologik. Imobilisasi merupakan salah satu masalah yang cukup besar di bidang geriatri yang timbul sebagai akibat penyakit atau masalah psikososial yang diderita. Imobilisasi dapat menimbulkan komplikasi yang akan memperberat kondisi pasien, memperlambat proses penyembuhan, serta dapat menyebabkan kematian. SKENARIO

KAKEK KANGEN NENEK, INGIN RASANYA MENYUSUL NENEK

Kakek Yoso pemurung 90 tahun. Satu tahun lalu terserang stroke karena perdarahan di otak. Sudah 1 bulan ini tidak mau bangun dari tempat tidur, makan, minum hanya sedikit, tidak mau bicara dan batuk selama 1 bulan.

Dari pemeriksaan didapatkan kesadaran apatis, TD:120/70 mmHg, RR 30x/menit, t: 36,5oC, HR 108x/menit. Pada pemeriksaan paru didapatkan ronki basah kasar, dengan suara dasar bronkial, stem fremitus meningkat. Skor norton 9. Hasil leukosit 7500. Thorak PA kesuraman homogen pada paru sebelah kanan.

Di UGD diberikan oksigen, dipasang infus, diberikan antibiotik kemudian dirawat di bangsal geriatri dengan kasur dekubitus. Direncanakan konsul di bagian rehabilitasi medik. B. RUMUSAN MASALAH

1. Mengapa pasien menjadi pemurung?

2. Mengapa pasien tidak mau bangun dari tempat tidur, makan minum hanya sedikit, tidak mau bicara dan batuk-batuk selama 1 bulan?

3. Apa hubungan antara stroke yang diderita pasien 1 tahun lalu dengan kejadian pada pasien selama 1 bulan ini?

4. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan tanda vital pasien?

5. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan paru pasien?

6. Apa hubungan antara kejadian pada pasien selama 1 bulan ini dengan penyakit pada pernafasannya?

7. Sebutkan dan jelaskan indikasi diberikannya infus dan antibiotic pada pasien di UGD beserta jenisnya!

8. Bagaimana mekanisme perjalanan penyakit pasien?

9. Jelaskan makna dari skor Norton 9 serta hubungannya dengan terapi kasur decubitus pada skenario!

10. Jelaskan makna dari pemeriksaan hasil leukosit! 11. Jelaskan indikasi dari konsul di bagian rehabilitasi medik pada skenario!

12. Apa sajakah diagnosis banding yang tepat pada pasien dalam skenario beserta komplikasi yang ditimbulkan?13. Jelaskan terapi yang tepat untuk pasien dalam skenario!

C. TUJUAN PENULISAN1. Mengetahui penyebab pasien dalam skenario menjadi pemurung.

2. Mengetahui penyebab pasien dalam skenario tidak mau bangun dari tempat tidur, makan minum hanya sedikit, tidak mau bicara dan batuk-batuk selama 1 bulan.3. Mengetahui hubungan antara stroke yang diderita pasien 1 tahun lalu dengan kejadian pada pasien selama 1 bulan ini.4. Mengetahui interpretasi dari pemeriksaan tanda vital pasien.

5. Mengetahui interpretasi dari pemeriksaan paru pasien.6. Mengetahui hubungan antara kejadian pada pasien selama 1 bulan ini dengan penyakit pada pernafasannya

7. Mengetahui indikasi diberikannya infus dan antibiotik pada pasien di UGD beserta jenisnya.

8. Mengetahui mekanisme perjalanan penyakit pasien.

9. Mengetahui makna dari skor Norton 9 serta hubungannya dengan terapi kasur dekubitus pada skenario.

10. Mengetahui makna dari pemeriksaan hasil leukosit 11. Mengetahui indikasi dari konsul di bagian rehabilitasi medik pada skenario.12. Mengetahui diagnosis banding yang tepat pada pasien dalam skenario beserta komplikasi yang ditimbulkan.13. Mengetahui terapi yang tepat untuk pasien dalam skenario.

BAB II

DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKASeven Jump

1. Langkah I: membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam skenario

Dalam skenario ini kami mengklasifikasikan beberapa istilah sebagai berikut: Stroke adalah serangan otak yang timbulnya mendadak akibat tersumbat atau pecahnya pembuluh darah otak. Kesadaran apatis adalah kurangnya respon terhadap keadaan sekeliling ditandai dengan tidak adanya kontak mata atau mata terlihat menerawang dan tidak fokus. Ronki basah kasar adalah suara napas yang seperti suara gelembung udara besar yang pecah, terdengar pada saluran napas besar bila terisi banyak secret. Suara dasar bronkial adalah suara napas bernada tinggi dengan fase ekspirasi lebih lama daripada inspirasi dan terputus/ silent gaps. Stem fremitus adalah peningkatan perambatan getaran suara yang terjadi pada paru-paru. Skor Norton 9 adalah skor yang digunakan pada pasien tirah baring lama untuk menentukan resiko terkena ulkus dekubitus. Skor Norton 9 memberikan hasil beresiko besar untuk mengalami ulkus dekubitus. Thorak PA kesuraman homogen adalah hasil foto rontgen pada regio thoraks yang menunjukkan ada bercak patologis pada paru. Dekubitus adalah kerusakan/kematian kulit sampai jaringan dibawah kulit, bahkan menembus otot sampai mengenai tulang akibat adanya penekanan pada suatu area secara terus menerus sehingga mengakibatkan gangguan sirkulasi darah setempat. Rehabilitasi medik adalah pelayanan kesehatan yang mengupayakan peningkatan kemampuan fungsional pasien sesuai dengan potensi yang dimiliki untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidup.2. Langkah II: menentukan atau mendefinisikan permasalahan

Masalah yang dihadapi pasien dan yang akan dibahas pada skenario ini adalah: 1. Mengapa pasien menjadi pemurung?

2. Mengapa pasien tidak mau bangun dari tempat tidur, makan minum hanya sedikit, tidak mau bicara dan batuk-batuk selama 1 bulan?

3. Apa hubungan antara stroke yang diderita pasien 1 tahun lalu dengan kejadian pada pasien selama 1 bulan ini?

4. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan tanda vital pasien?

5. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan paru pasien?

6. Apa hubungan antara kejadian pada pasien selama 1 bulan ini dengan penyakit pada pernafasannya?

7. Sebutkan dan jelaskan indikasi diberikannya infus dan antibiotic pada pasien di UGD beserta jenisnya!

8. Bagaimana mekanisme perjalanan penyakit pasien?

9. Jelaskan makna dari skor Norton 9 serta hubungannya dengan terapi kasur decubitus pada skenario!

10. Jelaskan makna dari pemeriksaan hasil leukosit!

11. Jelaskan indikasi dari konsul di bagian rehabilitasi medik pada skenario!

12. Apa sajakah diagnosis banding yang tepat pada pasien dalam skenario beserta komplikasi yang ditimbulkan?13. Jelaskan terapi yang tepat untuk pasien dalam skenario!

3. Langkah III: menganalisis permasalahan dan membuat pernyataan sementara mengenai permasalahan pada langkah II.

1. Penyebab pasien menjadi pemurungUsia lanjut sangat berkaitan dengan berbagai perubahan akibat proses menua seperti perubahan anatomi dan fisiologi, berbagai penyakit atau keadaan patologik sebagai akibat penuaan, serta pengaruh psikososial pada fungsi organ. Depresi merupakan gangguan psikiatri yang paling sering terjadi pada pasien lanjut usia. Depresi pada lanjut usia merupakan akibat dari interaksi faktor biologi, fisik, psikologis, dan sosial. Depresi pada lansia sering tidak khas gejalanya dan sering memiliki keluhan hipokondriasis dominan, gangguan memori, apatis, kehilangan motivasi, anxietas, dan agitasi serta sedih/murung tampak kurang. Penyebab depresi pada lansia bermacam-macam, seperti merasa tidak berguna karena sudah tidak bekerja, kehilangan orang yang dicintai, dan sebagainya. Di dalam skenario disebutkan bahwa Kakek Yoso telah kehilangan istrinya. Hal ini dapat menjadi sebab depresi dan bermanifestasi pada sifat pemurung yang ditunjukkan.2. Penyebab pasien tidak mau bangun dari tempat tidur, makan minum hanya sedikit, tidak mau bicara dan batuk-batuk selama 1 bulanPada skenario kondisi pasien yang sudah 1 bulan mengalami imobilisasi mengakibatkan hal-hal seperti pada skenario, yaitu tidak mau bangun dari tempat tidur, makan minum hanya sedikit, tidak mau bicara dan batuk-batuk. Imobilisasi merupakan ketidakmampuan transfer, berpindah posisi atau tirah baring selama 3 hari atau lebih, dengan gerak anatomik tubuh menghilang akibat perubahan fungsi fisiologik. Imobilisasi sering dijumpai pada pasien usia lanjut. Keluhan tidak mau bergerak dapat dipicu oleh kondisi pasien yang mempunyai riwayat stroke hemoragik, kemudian setelah mengalami imobilisasi terjadi komplikasi berupa kelemahan bahkan kontraktur otot dan sendi, yang mengakibatkan pasien akan semakin tidak mau bergerak. Untuk keluhan sedikit makan dan minum bisa diakibatkan beberapa hal, yang pertama karena perubahan struktur anatomi pada geriatri yang semakin berkurang diantaranya atrofi papil lidah sebagai reseptor perasa utama pada lidah, sehingga kondisi ini akan mengakibatkan ambang rasa lapar pasien akan turun karena reseptor perasa pada lidah akan atrofi. Selain itu juga bisa disebabkan oleh imobilisasi yang terlalu lama akan mengakibatkan basal metabolic rate menurun pada geriatri yang akan menurunkan proses metabolisme makanan sehingga tidak akan mudah merasa lapar maupun haus pada pasien (Guyton, 2007).

Keluhan batuk merupakan komplikasi pada geriatri yang mengalami imobillisasi. Akibat imobilisasi, retensi sputum dan aspirasi lebih mudah terjadi pada pasien geriatri. Pada posisi berbaring otot diafragma dan interkostal tidak berfungsi dengan baik sehingga gerakan dinding dada juga menjadi terbatas yang menyebabkan sputum sulit keluar dan pasien mudah terkena pneumonia.3. Hubungan antara stroke yang diderita pasien 1 tahun lalu dengan kejadian pada pasien selama 1 bulan iniStroke adalah suatu manifestasi klinik gangguan peredaran darah otak yang menyebabkan defisit neurologik. Kelainan utama stroke adalah kelainan dari pembuluh darahnya, yang merupakan bagian dari pembuluh darah sistemik. Komplikasi yang sering terjadi lebih banyak diakibatkan karena pembuluh darah di otak masih merupakan bagian dari pembuluh darah sistemik.

Berdasarkan jenisnya stroke dapat dibagi menjadi;

Stroke non hemorrhagik/iskemik yang disebabkan oleh trombosis akibat plak ateroskeloris dari arteri otak yang memberi vaskularisasi pada otak atau suatu embolus dari pembuluh darah di luar otak yang tersangkut di arteri otak. Jenis ini mempunyai prevalensi 80% dari keseluruhan kasus stroke yang ditemukan.

Stroke hemorrhagik merupakan 20% dari semua stroke, diakibatkan oleh pecahnya suatu mikro aneurisme dari Charcot atau etat crible di otak. Tergantung dari tempat terjadinya, dibedakan menjadi perdarahan intra serebral, sub dural dan sub arachnoid.

Gejala akibat lesi bisa perlu kecermatan tinggi untuk mengenalinya karena bisa sangat tidak jelas untuk dikenali. Pasien bisa saja datang dengan keluhan lemas separuh badan pada saat bangun tidur atau bekerja, ada juga yang datang dalam keadaan koma dalam, sehingga perlu penyingkiran diagnosis banding. Gejala tergantung dari derajat besar dan letak lesi di otak. Jenis patologi stroke secara umum tidak terlalu berbeda, kecuali pada stroke hemorrhagik seringkali ditandai dengan nyeri kepala hebat, terjadi terutama pada saat beraktivitas.

Lesi di korteks: gejala terlokalisasi, mengenai daerah lawan dari letak lesi, hilangny sensasi kortikal (stereognosis,diskriminasi 2 titik) ambang sensorik yang bervariasi, kurang perhatian terhadap rangsang sensorik, bicara dan penglihatan mungkin terkena.

Lesi di kapsula: lebih luas, mengenai daerah lawan letak lesi, sensasi primer menghilang, bicara dan penglihatan mungkin terganggu.

Lesi di batang otak: luas, bertentangan dengan lesi, mengenai saraf kepala seisi dengan letak lesi (III-IV otak tengah) (V,VI,VII dan VIII di pons), (IX,X,XI,XII di medula).

Lesi di medula spinalis: neuron motorik bawah di daerah lesi/seisi, neuron motorik atas di bawah lesi, berlawanan letak lesi, gangguan sensorik.

Komplikasi kronis akibat stroke yang perlu mendapat perhatian khusus adalah;

Akibat berbaring di tempat tidur yang lama, bisa terjadi pneumonia, dekubitus, inkontinensia. Defisit neurologik oleh karena stroke dapat menyebabkan pasien kesulitan untuk beraktivitas secara normal. Sehingga, pasien cenderung akan lebih sering untuk berbaring di tempat tidur atau duduk di kursi secara terus menerus dan mengarah kepada timbulnya imobilisasi dan dekubitus serta penyakit infeksi lainnya.

Rekurensi stroke.

Gangguan sosial ekonomi.

Gangguan psikologik.4. Interpretasi dari pemeriksaan tanda vital pasien

Pemeriksaan vital sign bertujuan untuk memperoleh data dasar, mendeteksi atau memantau perubahan status kesehatan.

a. Tekanan Darah

Berdasarkan JNC VII, interpretasi tekanan darah dibedakan sebagai berikut:Tekanan Sistol (mmHg)Tekanan Diastol (mmHg)

Normal=100

Pada pemeriksaan tekanan darah Kakek Yoso adalah 120/70 mmHg. Bila menggunakan pedoman di atas maka tekanan Kakek Yoso di klasifikasikan pada Pre Hipertensi. Namun pada lansia terdapat penurunan fungsi organ secara fisiologis yang membuat tekananan darah pada lansia cenderung meningkat. Tekanan darah pada lansia berkisar antara 130-150/80-90 mmHg. Jadi tekanan darah Kakek Yoso cenderung menurun. Hal ini dapat disebabkan karena tirah baring yang terlalu lama atau disebabkan oleh penyakit tertentu.b. Respiratory Rate Normal: 14-20x/Menit

Pada keadaan istirahat 14-18x/menit

Pada skenario ini didapatkan RR 30x per menit (Takipnea). Takipnea dapat terjadi pada penyakit paru, contohnya pneumonia, PPOK, dsb.

c. Suhu tubuh

Normal : 36,5 C

d. HR 108x/menit

Normal: 60-100 x/menit

Takikardi : >100 x/menit

Bradikardi: 14

: Resiko kecil

Pasien dalam skenario memiliki skor Norton 9, yang berarti peningkatan resiko 50 kali lebih besar terjadinya ulkus dekubitus. Oleh sebab itu, digunakan kasur decubitus dengan harapan dapat memperkecil resiko decubitus. Kasur decubitus adalah kasur bertekanan yang bisa diatur tekanan udaranya dan biasa digunakan untuk pasien yang sakit tahunan serta harus terbaring lama.8. Indikasi dari konsul di bagian rehabilitasi medik pada skenario.

Rehabilitasi medik merupakan salah satu penatalaksanaan atau terapi yang berfungsi untuk meminimalisasi kecacatan dan mencegah kecacatan. Pasien dirujuk ke bagian rehabilitasi medik untuk dilakukan terapi rehabilitasi. Tujuan terapi rehabilitasi adalah untuk mempertahankan motilitas dan kekuatan otot serta menurunkan ketergantungan pasien terhadap orang lain. Rehabilitasi medik dilakukan dengan latihan bertahap dan aman bagi pasien. Latihan rehabilitasi medik meliputi pemeliharaan kekuatan dan ketahanan sistem muskuloskeletal, yang termasuk pengkondisian program latihan harian baik kontraksi otot isometrik dan isotonik, aktivitas penguatan aerobik, nutrisi untuk meningkatkan anabolisme protein dan pembentukan tulang. Bagi pasien pasca stroke diperlukan intervensi rehabilitasi medik agar mereka mampu mandiri untuk mengurus dirinya sendiri dan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari tanpa harus terus menjadi beban bagi keluarganya. 4. Langkah IV: menginventarisasi permasalahan secara sistematis mengenai permasalahan pada langkah III

5. Langkah V: merumuskan tujuan pembelajaran.

Adapun setelah berdiskusi kami menetapkan Learning Objective:1. Sebutkan dan jelaskan indikasi diberikannya infus dan antibiotic pada pasien di UGD beserta jenisnya!2. Bagaimana mekanisme perjalanan penyakit pasien?

3. Jelaskan makna dari pemeriksaan hasil leukosit!

4. Apakah tensi 120/70 untuk lansia normal?5. Apa sajakah diagnosis banding yang tepat pada pasien dalam skenario beserta komplikasi yang ditimbulkan?

6. Jelaskan terapi yang tepat untuk pasien dalam skenario!6. Langkah VI: setiap mahasiswa belajar mandiri, memperoleh informasi akurat dan ilmiah untuk dilaporkan dan dibahas di pertemuan berikutnya.7. Langkah VII: melaporkan dan membahas serta menata kembali informasi baru yang diperoleh.1. Indikasi diberikannya oksigen, infus dan antibiotic pada pasien di UGD beserta jenisnya.Kasus darurat yang membutuhkan pertolongan pertama pada pasien dalam skenario adalah pneumonia. Indikasi diberikan oksigen antara lain karena hipoksia dengan menggunakan canula nasalis atau face mask. Hal ini terlihat dari peningkatan frekuensi napas dan bunyi napas abnormal. Untuk pasien dengan distress berat atau syok, ventilasi mekanik dapat menurunkan kerja dari pernapasan.

Antibiotik empiris dapat dimulai berdasarkan pathogen yang dapat dikenali lewat gejala klinik secara general. Pemberian antibiotic ( 60 tahun dengan penyakit komorbid: co-amoxiclav (2g po untuk 14 hari) ditambah azithromycin atau levofloxacin (750mg po tiap hari untuk 14 hari) Rawat inap dengan HAP (Hospital Acquired Pneumonia): cephalosporin generasi ketiga (ceftriaxon 1g IV setiap hari) dan makrolid (azithromycin 500mg IV tiap hari) Pneumonia karena aspirasi: clindamycin (600 IV setiap 8 jam) atau ampisilin-sulbactam (3g IV setiap 12 jam) atau moxifloxacin (400mg IV setiap hari)

Pastikan bahwa pasien membutuhkan penanganan untuk mencegah adanya penularan bakteri penyebab ke orang lain, termasuk dalam bentuk droplet atau airborne. Penggunaan infus merupakan indikasi adanya penggantian cairan yang dibutuhkan untuk mencegah adanya dehidrasi. Pada pasien yang mengalami depresi, imobilisasi, malas makan dan minum menandakan adanya kekurangan cairan dan nutrisi dalam jumlah yang adekuat. Bila hal ini dibiarkan, maka bisa terjadi penurunan fungsional tubuh pasien sehingga outcome yang dihasilkan pun akan lambat atau menurun. Penggunaan selang infuse juga mempermudah dalam memasukkan obat secara Intravena yang dilakukan berulang.2. Mekanisme perjalanan penyakit pasien Pasien dalam skenario menderita stroke 1 tahun lalu karena perdarahan di otaknya. Selain itu ia mengalami depresi karena istrinya telah meninggal. Defisit neurologik oleh karena stroke dapat menyebabkan pasien kesulitan untuk beraktivitas secara normal. Pasien cenderung lebih sering untuk berbaring di tempat tidur atau duduk di kursi secara terus menerus dan mengarah kepada timbulnya imobilisasi. Akibat hal itu, pasien mengalami imobilisasi selama 1 bulan belakangan ini. Imobilisasi merupakan ketidakmampuan transfer atau berpindah posisi atau tirah baring selama 3 hari atau lebih, dengan gerak anatomik tubuh menghilang akibat perubahan fungsi fisiologik. Pasien tidak mau bangun dari tempat tidur, makan minum hanya sedikit, tidak mau bicara dan batuk-batuk selama 1 bulan. Immobilisasi mengalami banyak komplikasi, antara lain ulkus dekubitus dan pneumonia. Dari pemeriksaan Skor Norton menunjukkan hasil 9 yang berarti pasien memiliki resiko sangat tinggi untuk mengalami ulkus dekubitus. Kompresi pembuluh dalam waktu lama akan mengakibatkan trombosis intra arteri dan gumpalan fibrin yang secara permanen mempertahankan iskemia kulit. Relief bekas tekanan mengakibatkan pembuluh darah tidak dapat terbuka dan akhirnya terbentuk luka akibat tekanan. Dari hasil pemeriksaan paru, cenderung ke arah pneumonia. Pneumonia yaitu proses peradangan pada parenkrim paru-paru yang biasanya dihubungkan dengan meningkatnya cairan pada alveoli. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit infeksi saluran nafas yang banyak didapat dan sering merupakan penyebab kematian diseluruh dunia. Pneumonia memiliki banyak jenis namun tidur yang terlalu lama sangat erat kaitannya dengan pneumonia hipostatik, yang terjadi akibat adanya keadaan statis dari sekresi saluran nafas.3. Makna dari pemeriksaan hasil leukosit

Pada usia tua fungsi fisiologis tubuh sudah banyak yang menurun, termasuk sistem imun tubuh. Pada kasus dalam skenario, didapatkan gejala pneumonia namun pemeriksaan darah menunjukkan bahwa leukosit paien berada dalam batas normal (tidak mengalami infeksi). Hasilnya adalah 7500 (N: 5000-10000). Pada pasien geriatri terkadang tanda-tanda pneumonia tidak khas. Leukosit yang normal diakibatkan oleh fungsi sistem pertahanan tubuh yang telah menurun. Pemeriksaan sputum tidak dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis pneumonia karena pada usia lanjut refleks batuk sudah menurun sehingga sputum akan sulit untuk dikeluarkan. Pemeriksaan baku emas untuk menegakan kasus pneumonia pada usia lanjut adalah dengan foto thoraks. Oleh sebab itu, tanda-tanda adanya infeksi pada pasien geriatri tidak hanya bisa ditentukan dengan pemeriksaan leukosit. Tapi dapat ditentukan berdasarkan manifestasi klinis yang dialami oleh pasien geriatri. 4. Penjelasan tentang tensi 120/70 pada lansia

Hipotensi terjadi karena adanya penurunan curah jantung atau penurunan resistensi perifer. Penurunan curah jantung terjadi pada penyakit Addison, miokarditis, infark miokard, dan perikarditis dengan efusi. Tekanan darah rendah juga dapat terjadi setelah perdarahan. Penurunan tekanan darah yang menyolok, terjadi pada efusi pericardium. Penurunan resistensi perifer yang mendadak (kolaps vasomotor) terjadi pada pneumonia, septicemia, insufisiensi adrenal akut dan keracunan.

Hipoventilasi yang terjadi pada pneumonia pasien tersebut menyebabkan adanya penurunan perfusi jaringan ke sistem saraf pusat sehingga terjadi penurunan resistensi perifer dan takikardia. Terjadinya hipotensi dan frekuensi nadi yang menurun biasanya terjadi belakangan, tapi juga dapat terjadi secara cepat.

Pada pasien dengan tensi 120/70 merupakan tekanan yang normal bagi orang normal. Namun, bagi pasien post-stroke, tekanan darah cenderung menjadi tinggi, sehingga dipertahankan menjadi 140/90 mmHg untuk menghindari adanya komplikasi lebih lanjut dari stroke yang berulang atau penurunan pompa jantung. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tekanan darah 120/70 mmHg merupakan kejadian hipotensi pada pasien dalam skenario yang dapat disebabkan karena tirah baring yang terlalu lama dan pneumonia yang ia derita.5. Diagnosis banding yang tepat pada pasien dalam skenario beserta komplikasi yang ditimbulkan.a. Imobilisasi merupakan sebagai ketidakmampuan transfer atau berpindah posisi atau tirah baring selama 3 hari atau lebih, dengan gerak anatomik tubuh menghilang akibat perubahan fungsi fisiologik. Imobilisasi sering dijumpai pada pasien usia lanjut. Organ yang sering terkena antara lain muskuloskeletal (osteoporosis, penurunan masa tulang, penurunan masa otot), kardiovaskuler (peningkatan heart rate, penurunan perfusi myocardium, penurunan volume plasma, hiperkoagulasi), integumen (dekubitus), metabolik (hiperkalsiuri, resistensi insulin, hiperlipidemia), gastrointestinal (inkontinensia urin dan alvi, gangguan pengosongan vesika urinaria, konstipasi), neurologi dan psikiatri (depresi, psikosis, penurunan kognitif)

Komplikasi pada pasien-pasien imobilisasi antara lain: Kelemahan Otot

Imobilisasi akan menyebabkan atrofi otot dengan penurunan ukuran dan kekuatan otot. Penurunan kekuatan diperkirakan 1-2% sehari. Kelemahan otot pada pasien dengan imobilisasi sering kali terjadi berkaitan dengan penurunan fungsional, kelemahan, dan jatuh

Kontraktur Otot dan Sendi

Pasien yang mengalami tirah baring lama berisiko mengalami kontraktur karena sendi-sendi tidak digerakkan. Akibatnya timbul nyeri yang menyebabkan seseorang semakin tidak mau menggerakkan sendi yang kontraktur tersebut Ulkus Dekubitus

Luka akibat tekanan merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada pasien usia lanjut dengan imobilisasi. Jumlah tekanan yang dapat mempengaruhi mikro sirkulasi kulit pada usia lanjut berkisar atara 25 mmHg. Tekanan lebih dari 25 mmHg secara terus-menerus pada kulit atau jaringan lunak dalam waktu lama akan menyebabkan kompresi pembuluh kapiler. Kompresi pembuluh dalam waktu lama akan mengakibatkan trombosis intra arteri dan gumpalan fibrin yang secara permanen mempertahankan iskemia kulit. Relief bekas tekanan mengakibatkan pembuluh darah tidak dapat terbuka dan akhirnya terbentuk luka akibat tekanan

Hipotensi Postural

Hipotensi postural adalah penurunan tekanan darah sebesar 20 mmHg dari posisi berbaring ke duduk dengan salah satu gejala klinik yang sering timbul adalah iskemia serebral, khususnya sinkop. Pada posisi berdiri, secara normal 600-800 ml darah dialirkan ke bagian tubuh inferior terutama tungkai. Penyebaran cairan tubuh tersebut menyebabkan penurunan curah jantung sebanyak 20%, penurunan volume sekuncup 35%, dan akselerasi frekuensi jantung sebanyak 30%. Pada orang normal sehat, mekanisme kompensasi menyebabkan vasokonstriksi dan peningkatan denyut jantung yang menyebabkan tekanan darah tidak turun. Pada lansia, umumnya fungsi baroreseptor menurun. Tirah baring total selama paling sedikit 3 minggu akan mengganggu kemampuan seseorang untuk menyesuaikan posisi berdiri dari berbaring pada orang sehat, hal ini akan lebih terlihat pada lansia. Pneumonia dan Infeksi Saluran Kencing (ISK)

Akibat imobilisasi, retensi sputum dan aspirasi lebih mudah terjadi pada pasien geriatri. Pada posisi berbaring otot diafragma dan interkostal tidak berfungsi dengan baik sehingga gerakan dinding dada juga menjadi terbatas yang menyebabkan sputum sulit keluar dan pasien mudah terkena pneumonia. Aliran urin juga terganggu akibat tirah baring yang kemudian menyebabkan infeksi saluran kemih. Inkontinensia urin juga sering terjadi pada usia lanjut yang mengalami imobilisasi yang disebabkan ketidakmampuan ke toilet, berkemih yang tidak sempurna, gangguan status mental, dan gangguan sensai kandung kemih

Gangguan nutrisi (hipoalbuminemia)

Imobilisasi akan mempengaruhi sistem metabolik dan sistem endokrin yang akibatnya akan terjadi perubahan terhadap metabolisme zat gizi. Salah satu yang terjadi adalah perubahan metabolisme protein. Kadar plasma kortisol lebih tinggi pada usia lanjut yang mobilisasi sehingga menyebabkan metabolisme menjadi katabolisme. Keadaan tidak beraktifitas dan imobilisasi selama 7 hari akan meningkatkan ekskresi nitrogen urin sehingga terjadi hipoproteinemia Trombosis vena dalam akibat sirkulasi darah (gagal jantung konestif, imobilisasi lama, gumpalan darah) yang tidak baik karena imobilisasi. Emboli paru, karena lepsnya trombosis di vena dan mengalir ke pembuluh darah paru yang menyebabkan sumbatan aliran darah. Konstipasi dan skibala akibat terlalu lama akibat terlalu lama waktu tinggal feses di kolon dan absorbsi air akan terjadi terus menerus.

b. Dekubitus

Dekubitus adalah luka pada jaringan kulit yang disebabkan oleh tekanan yang berlangsung lama dan terus menerus..

Faktor risiko terjadinya dekubitus antara lain, yaitu :

Mobilitas dan aktivitas

Mobilitas adalah kemampuan untuk mengubah dan mengontrol posisi tubuh, sedangkan aktivitas adalah kemampuan untuk berpindah. Pasien yang berbaring terus menerus di tempat tidur tanpa mampu untuk merubah posisi berisiko tinggi untuk terkena luka tekan. Imobilitas adalah faktor yang paling signifikan dalam kejadian luka tekan. Penurunan sensori persepsi

Pasien dengan penurunan sensori persepsi akan mengalami penurunan untuk merasakan sensari nyeri akibat tekanan di atas tulang yang menonjol. Bila ini terjadi dalam durasi yang lama, pasien akan mudah terkena luka tekan.

Kelembaban

Kelembaban yang disebabkan karena inkontinensia dapat mengakibatkan terjadinya maserasi pada jaringan kulit. Jaringan yang mengalami maserasi akan mudah mengalami erosi. Selain itu kelembaban juga mengakibatkan kulit mudah terkena pergesekan (friction) dan perobekan jaringan (shear). Inkontinensia alvi lebih signifikan dalam perkembangan luka tekan daripada inkontinensia urin karena adanya bakteri dan enzim pada feses dapat merusak permukaan kulit.

Tenaga yang merobekMerupakan kekuatan mekanis yang meregangkan dan merobek jaringan, pembuluh darah serta struktur jaringan yang lebih dalam yang berdekatan dengan tulang yang menonjol. Contoh yang paling sering dari tenaga yang merobek ini adalah ketika pasien diposisikan dalam posisi semi fowler yang melebihi 30 derajat. Pada posisi ini pasien bisa merosot ke bawah, sehingga mengakibatkan tulangnya bergerak kebawah namun kulitnya masih tertinggal. Ini dapat mengakibatkan oklusi dari pembuluh darah, serta kerusakan pada jaringan bagian dalam seperti otot, namun hanya menimbulkan sedikit kerusakan pada permukaan kulit.

Pergesekan (friction)

Pergesekan terjadi ketika dua permukaan bergerak dengan arah yang berlawanan. Pergesekan dapat mengakibatkan abrasi dan merusak permukaan epidermis kulit. Pergesekan bisa terjadi pada saat penggantian sprei pasien yang tidak berhati-hati.

Nutrisi

Hipoalbuminemia, kehilangan berat badan, dan malnutrisi umumnya diidentifikasi sebagai faktor predisposisi untuk terjadinya luka tekan. Stadium tiga dan empat dari luka tekan pada orangtua berhubungan dengan penurunan berat badan, rendahnya kadar albumin, dan intake makanan yang tidak mencukupi.

Usia

Pasien yang sudah tua memiliki risiko yang tinggi untuk terkena luka tekan karena kulit dan jaringan akan berubah seiring dengan penuaan. Penuaan mengakibatkan kehilangan otot, penurunan kadar serum albumin, penurunan respon inflamatori, penurunan elastisitas kulit, serta penurunan kohesi antara epidermis dan dermis. Perubahan ini berkombinasi dengan faktor penuaan lain akan membuat kulit menjadi berkurang toleransinya terhadap tekanan, pergesekan, dan tenaga yang merobek.

Tekanan arteriolar yang rendah

Tekanan arteriolar yang rendah akan mengurangi toleransi kulit terhadap tekanan sehingga dengan aplikasi tekanan yang rendah sudah mampu mengakibatkan jaringan menjadi iskemia. Stress emosional

Depresi dan stress emosional kronik misalnya pada pasien psikiatrik juga merupakan faktor risiko untuk perkembangan dari luka tekan.

Merokok

Nikotin yang terdapat pada rokok dapat menurunkan aliran darah dan memiliki efek toksik terhadap endotelium pembuluh darah. Temperatur kulit

Peningkatan temperatur merupakan faktor yang signifikan dengan risiko terjadinya luka tekan.

Stadium Luka Dekubitus

Menurut NPUAP (National Pressure Ulcer Advisory Panel) luka dekubitus dibagi menjadi empat stadium yaitu :a. Stadium I

Adanya perubahan dari kulit yang dapat diobservasi. Apabila dibandingkan dengan kulit yang normal, maka akan tampak salah satu tanda sebagai berikut : perubahan temperatur kulit (lebih dingin atau lebih hangat), perubahan konsistensi jaringan (lebih keras atau lunak), perubahan sensasi (gatal atau nyeri). Pada orang yang berkulit putih, luka mungkin kelihatan sebagai kemerahan yang menetap. Sedangkan pada yang berkulit gelap, luka akan kelihatan sebagai warna merah yang menetap, biru atau ungu.

b. Stadium II

Hilangnya sebagian lapisan kulit yaitu epidermis atau dermis, atau keduanya. Cirinya adalah lukanya superficial, abrasi, melepuh, atau membentuk lubang yang dangkal. Jika kulit terluka atau robek maka akan timbul masalah baru, yaitu infeksi. Infeksi memperlambat penyembuhan ulkus yang dangkal dan bisa berakibat fatal terhadap ulkus yang lebih dalam.

c. Stadium III

Hilangnya lapisan kulit secara lengkap, meliputi kerusakan atau nekrosis dari jaringan subkutan atau lebih dalam, tapi tidak sampai pada fascia. Luka terlihat seperti lubang yang dalam.

d.Stadium IV

Hilangnya lapisan kulit secara lengkap dengan kerusakan yang luas, nekrosis jaringan, kerusakan pada otot, tulang atau tendon. Adanya lubang yang dalam serta saluran sinus. Komplikasi yang sering terjadi antara lain: Infeksi sering bersifat multibakterial, baik yang aerobik maupun anaerobik

Keterlibatan jaringan tulang dan sendi, seperti : periostitis, osteitis, osteomielitis, arthritisseptic.

Septikemia

Anemia

Hipoalbuminemia

Hiperbilirubin

Kematian

c. Stroke

Stroke adalah gangguan fungsi otak yang mengakibatkan defisit neurologis fokal (atau global), timbul mendadak, berlangsung selama lebih 24 jam (atau terkadang berakhir dengan kematian sebelum 24 jam) yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak.

Proses patologis yang mendasari terjadinya stroke antara lain adalah :

Stroke iskemik

Otak sangat sensitif terhadap iskemia, karena aktivitas metabolisme yang tinggi dan sedikitnya cadangan energi dalam otak. Jika sel otak mengalami iskemia dan hipoksia akan terjadi iskemik kaskade yang akhirnya akan mengakibatkan kematian sel otak (infark). Serangan stroke iskemik seringkali didahului tanda-tanda peringatan sebelumnya berupa kelemahan atau kesemutan separo badan, gangguan bicara atau gangguan fungsi otak lainnya, yang bersifat sementara dan sembuh spontan dalam waktu beberapa menit tang disebut TIA.

Stroke hemoragik1) Perdarahan intraserebral

Pecahnya pembuluh darah otak (terutama karena hipertensi) mengakibatkan darah masuk ke dalam jaringan otak, membentuk masa hematoma yang menekan jaringan otak di sekitarnya. Peningkatan tekanan intrakranial yang terjadi dengan cepat, dapat mengakibatkan kematian karena hernisiasi otak

2) Perdarahan subarachnoid

Pada stroke non hemoragik, aliran darah keotak terhenti karena penumpukan kolesterol pada dinding pembuluh darah (aterosklerosis) atau bekuan darah yang telah menyumbat suatu pembuluh darah keotak. Hampir sebagian besar pasien atau sekitar 83% mengalami jenis ini.

Faktor resiko penyebab stroke digolongkan menjadi 2 yaitu faktor resiko yang tidak dapat dikendalikan dan faktor resiko yang dapat dikendalikan.

Faktor resiko stroke yang tidak dapat dikendalikan, antara lain :

Umur

Resiko stroke meningkat eiring pertambahan usia. Setelah umur memasuki 55 tahun keatas, resiko stroke meningkat dua kali lipat setiap kurun waktu 10 tahun. Namun bukan berarti stroke hanya terjadi pada kelompok usia lanjut melainkan stroke juga dapat menyerang beragai kelompok umur.

Jenis kelamin

Pria memiliki resiko terkena stroke lebih besar dari pada wanita. Resiko stroke pada pria lebih tinggi 20 % daripada wanita. Namun setelah seorang perempuan menginjak usia 55 tahun, saat kadar estrogennya menurun karena menopous, resikonya justru lebih tinggi dibandingkan pria.

Garis keturunan

Resiko stroke lebih tiggi jika dalam keluarga terdapat riwayat keluaraga menderita stroke. Perlu diwaspadai apa bila ada anggota kelarga (orang tua dan saudara) yang mengalami stroke atau serangan transien iskemik.

Ras atau etnik

Berdasarkan data Amerikan Heart Association, ras Afrika Amerika memiliki resiko lebih tinggi terkena stroke dibandingkan dengan ras kaukasia.

Diabetes Penderita diabetes mempunyai resiko 2 kali lebih besar mengalami stroke, hal ini dapat terjadi akibat gangguan metabolisme pada para penderita diabetes.

Arterosklerosis

Kondisi dimana terjadi penyumbatan dinding pembuluh darah dengan lemak, kolesterol ataupun kalsium.

Penyakit jantung

Orang dengan penyakit jantung mempunyai resiko dua kali lipat terkena stroke dibandingkan orang berjantung sehat.

Sedangkan faktor resiko yang dapat dikendalikan, antara lain:

Obesitas

Resiko stroke akan meningkat pada orang dengan indeks massa tubuh (IMT) lebih dari 30 kg/m (obesitas).Kurang

Aktivitas fisik dan olahgaraga

Efeknya adalah meningkatkan resiko hipertensi, rendahnya kadar HDL (kolesterol baik) dan diabetes. Berolahraga yang dilakukan yang dilakukan secara rutin 30-40 menit per hari dapat mengurangi resiko tersebut.

Merokok

Peluang terjadinya stroke pada orang yang mempunyai kebiasaan merokok 50 persen lebih tinggi dari pada yang bukan perokok.

Mengkonsumsi alkohol dan penggunaan obat-obatan

Resiko stroke iskemik akan meningkat dalam dua jam setelah mengkonsumsi minuman beralkohol. Pengunan obat-obatan terlarang seperti halnya kokain juga dapat menyebabkan stroke dan serangan jantung.

Tekanan darah tinggi (Hipertensi)

Hampir sekitar 40% kejadian stroke disebabkan atau dialami oleh penderita hipertensi. Tingkat kolesterol darah yang berbahaya

Kadar kolesterol LDL yang tinggi akan meningkatkan resiko terjadinya pengerasan pembuluh nadi (arterosklerosis), karena kolesterol cenderung menumpuk pada dinding pembuluh darah dan membentuk plak.

Sleep apnea (mendengkur disertai berhenti bernafas selama 10 detik).

Penderita sleep apnea berisiko mengalami hipertensi dan kekurangan suplay oksigen dalam darahnya yang dapat menyebabkan stroke.

d. PneumoniaPneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. Pneumonia memiliki pathogenesis yang terkait antara 3 hal, yaitu keadaan imunitas inang, mikroorganisme, dan lingkungan, yang saling berinteraksi satu sama lain. Cara penularan tergantung jenis kuman, misalnya infeksi melalui droplet oleh Streptococcus pneumonia, melalui slang infus oleh Staphylococcus aureus, sementara pemakaian ventilator oleh P.aeruginosa dan Enterobacter. Pneumonia semakin sering dijumpai pada lansia. Faktor predisposisi lainnya adalah kebiasaan merokok, pasca infeksi virus, DM, imunodefisiensi, kelainan/ kelemahan struktur organ dada, dan penurunan kesadaran Pneumonia seringkali menyebabkan suatu keadaan dehidrasi

Onset gejala dari pneumonia dapat bersifat akut ataupun insidius. Pada pasien lansia, gejala yang timbul dapat berupa gejala klasik respiratorius yang distai dengan delirium, kebingungan kronis yang semakin memburuk dan terjatuh. Selain itu ditemukan angka insiden yang tinggi dari silent aspiration pada pasien lansia dengan pneumonia. Pneumonia dapat menjadi salah satu penyebab penurunan dari keadaan umum dan atau aktifitas secara insidius atau non-spesifik, misalnya, kebingungan ataupun ataupun jatuh pada pasien lansia. Infeksi, termasuk pneumonia, harus dipertimbangkan sebagai salah satu penyebab dari penurunan atau melambatnya penyembuhan dari suatu penyakit primer pada pasien lansia.

Diagnosis pada pneumonia ditegakkan berdasarkan adanya gambaran infiltrat baru atau perubahan infiltrat progresif pada foto toraks, dengan disertai sekurang-kurangnya 1 gejala mayor atau 2 gejala minor. Gejala mayor pada pneumonia meliputi batuk, sputum produktif, demam (suhu>37,8o c), sedangkan gejala minornya meliputisesak napas, nyeri dada, konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik, dan jumlah leukosit>12.000/L. Pneumonia pada usia lanjut seringkali memberikan gejala yang tidak khas. Selain batuk dan demam pasien tidak jarang datang dengan keluhan gangguankesadaran (delirium), tidak mau makan, jatuh, dan inkontinensia akut.6. Terapi yang tepat untuk pasien dalam skenario

Pneumonia

Dalam mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan klinisnya.

Penderita yang tidak dirawat di RS

Istirahat ditempat tidur, bila panas tinggi di kompres

Minum banyak

Obat-obat penurunan panas, mukolitik, ekspektoran

Antibiotika

Penderita yang dirawat di Rumah Sakit, penanganannya di bagi 2 :

Penatalaksanaan Umum Pemberian Oksigen (RR yang tinggi menunjukan pasien kekurangan udara, sehingga diberi terapi oksigen)

Pemasangan infuse untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit (karena kakek yoso tidak mau makan, infus dipasang untuk tetep menjaga asupan gizi yg masuk ke dalam tubuh kakek yoso)

Mukolitik dan ekspektoran, bila perlu dilakukan pembersihan jalan nafas

Obat penurunan panas hanya diberikan bila suhu > 400C, takikardi atau kelainan jantung.

Bila nyeri pleura hebat dapat diberikan obat anti nyeri.Pengobatan KausalDalam pemberian antibiotika pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan MO (Mikroorganisme) dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi beberapa hal perlu diperhatikan:

Penyakit yang disertai panas tinggi untuk penyelamatan nyawa dipertimbangkan pemberian antibiotika walaupun kuman belum dapat diisolasi.

Kuman pathogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab sakit, oleh karena itu diputuskan pemberian antibiotika secara empiric. Pewarnaan gram sebaiknya dilakukan.

Perlu diketahui riwayat antibiotika sebelumnya pada penderita.

Ulkus Dekubitus

Penatalaksanaan ulkus dekubitus harus dilakukan dengan baik dan terpadu, karena proses penyembuhannya yang membutuhkan waktu yang lama. Agency for Health Care Policy and Research (AHCPR) telah membuat standar baku dalam penatalaksanaan ulkus dekubitus (Bergstrom, 1994). Ketika ulkus dekubitus telah terbentuk, maka pengobatan harus diberikan dengan segera. Pengobatan yang diberikan dapat berupa tempat tidur yang termodifikasi baik untuk penderita ulkus dekubitus, pemberian salap, krim,ointment,solution, kasa, gelombang ultrasonik, atau lampu panas ultraviolet, gula, dan tindakan bedah.Pemilihan terapi, tergantung pada stadium ulkus dekubitus dan tujuan pengobatan.seperti proteksi, pelembaban dan membuang jaringan nekrosis. Hal yang harus diperhatikan dalam penatalaksanaan ulkus dekubitus adalah.

a. Perawatan luka harus dibedakan ke dalam metode operatif dan nonoperatif.

b. Perawatan luka dengan metode nonoperatif dilakukan untuk ulkus dekubitus stadium 1 dan 2, sedangkan untuk stadium 3 dan 4 harus menggunakan metode operatif.

c. Sekitar 70-90% ulkus dekubitus adalah superfisial dan sembuh dengan penyembuhan sekunder.

d. Mengurangi tekanan lebih lanjut pada daerah ulkus.Secara umum penatalaksanaan ulkus dekubitus dibagi menjadi nonmedikamentosa dan medikamentosa.

a. Nonmedikamentosa Penatalaksanaan ulkus dekubitus dengan nonmedikamentosa adalah meliputi pengaturan diet dan rehabilitasi medik. Seperti telah disebutkan di atas, nutrisi adalah faktor risiko untuk terjadinya ulkus dekubitus.Pemberian diet yang tinggi kalori, protein, vitamin dan mineral akan meningkatkan status gizi penderita ulkus dekubitus. Meningkatnya status gizi penderita ini akan memperbaik sistem imun penderita sehingga mempercepat penyembuha ulkus dekubitus.Terapi rehabilitasoi medik yang diberikan untuk penyembuhan ulkus dekubitus adalah dengan radiasi infra merah, short wave diathermy, dan pengurutan. Tujuan terapi ini adalah untuk memberikan efek peningkatan vaskularisasi sehibgga dapat membantu penyembuhan ulkus. Sedangkan penggunaan terapi ultrasonik, sampai saat ini masih terus diselidiki manfaatnya terhadap terapi ulkus dekubitus.b. Medikamentosa

Penatalaksanaan ulkus dekubitus dengan metode medikamentosa meliputi:

Mempertahankan keadaan bersih pada ulkus

Keadaan tersebut akan menyebabkan proses penyembuhan luka lebih cepat dan baik. Untuk hal tersebut dapat dilakukan kompres, pencucian, pembilasan, pengeringan dan pemberian bahan-bahan topikal seperti larutan NaC1 0,9%, larutan H202 3% dan NaC10,9%, larutan plasma dan larutan Burowi serta larutan antiseptik lainnya. Mengangkat jaringan nekrotik. Adanya jaringan nekrotik pada ulkus akan menghambat aliran bebas dari bahan yang terinfeksi dan karenanya juga menghambat pembentukan jaringan granulasi dan epitelisasi. Oleh karena itu pengangkatan jaringan nekrotik akan mempercepat proses penyembuhan ulkus. Terdapat 7 metode yang dapat dilakukan antara lain, Autolytic debridement. Metode ini menggunakan balutan yang lembab untuk memicu autolisis oleh enzim tubuh. Prosesnya lambat tetapi tidak menimbulkan nyeri. Biological debridement, or maggot debridement therapy.Metode ini menggunakanmaggot (belatung) untuk memakan jaringan nekrosis. Oleh karena itu dapat membersihkan ulkus dari bakteri. Pada Januari 2004,FDAmenyetujuimaggot sebagai live medical devic untuk ulkus dekubitus. Chemical debridement, or enzymatic debridement. Metode ini menggunakan enzim untuk membuang jaringan nekrosis. Mechanical debridement.Teknik ini menggunakan gaya untuk membuang jaringan nekrosis. Caranya dengan menggunakan kasa basah lalu membiarkannya kering di atas luka kemudian mengangkatnya. Teknik ini kurang baik karena kemungkinan jaringan yang sehat akan ikut terbuang. Pada ulkus stadium 4, pengeringan yang berlebihan dapat memicu terjadinya patah tulang atau pengerasan ligamen. Sharp debridement. Teknik ini menggunakan skalpel atau intrumen serupa untuk membuang jaringan yang sudah mati. Surgical debridement. Ini adalah metode yang paling dikenal. Ahli bedah dapat membuang jaringan nekrosis dengan cepat tanpa menimbulkan nyeri. Ultrasound-assisted wound therap. Metode ini memisahkan jaringan nekrosis dari jaringan yang sehat dengan gelombang ultrasonik. Menurunkan dan mengatasi infeksi. Perlu pemeriksaan kultur dan tes resistensi. Antibiotika sistemik dapat diberikan bila penderita mengalami sepsis dan selulitis. Ulkus yang terinfeksi harus dibersihkan beberapa kali sehari dengan larutan antiseptik seperti larutan H202 3%, povidon iodin 1%, seng sulfat 0,5%. Radiasi ultraviolet (terutama UVB) mempunyai efek bakterisidal.Antibiotik sistemik kurang dianjurkan untuk pengobatan ulkus dekubitus karena akan menimbulkan resistensi. Antibiotik sistemik yang dapat diberikan meliputi gologan penicillins, cephalosporins, aminoglycosides, fluoroquinolones, dans ulfonam ides. Antibiotik lainnya yang dpat digunakan adalahclindamycin,metronidazole dan trimethoprim. Merangsang dan membantu pembentukan jaringan granulasi dan epitelisasi.Untuk mempercepat pembentukan jaringan granulasi dan epitelisasi pada ulkus dekubitus sehingga mempercepat penyembuhan dapat diberikan: Bahan-bahan topikal misalnya: salep asam salisilat 2%, preparat seng (ZnO, ZnSO4). Oksigen hiperbarik; selain mempunyai efek bakteriostatik terhadap sejumlah bakteri, juga mempunyai efek proliferatif epitel, menambah jaringan granulasi dan memperbaiki keadaan vaskular. Tindakan bedah Tindakan bedah bertujuan untuk membersihkan ulkus dan mempercepat penyembuhan dan penutupan ulkus, terutama ulkus dekubitus stadium III& IV dan karenanya sering dilakukan tandur kulit, myocutaneous flap, skin graft serta intervensi lainnya terhadap ulkus. Intervensi terbaru terhadap ulkus dekubitus adalah Negative Pressure Wound Therapy, yang merupakan aplikasi tekanan negatif topikal pada luka. Teknik ini menggunakan busa yang ditempatkan pada rongga ulkus yang dibungkus oleh sebuah lapisan yang kedap udara. Dengan demikian, eksudat dapat dikeluarkan dan material infeksi ditambahkan untuk membantu tubuh membentuk jaringan granulasi dan membentuk kulit baru. Terapi ini harus dievaluasi setiap dua minggu untuk menetukan terapi selanjutnyaImobilisasiPengkajian geriatri paripurna diperlukan dalam mengevaluasi pasien usia lanjut yang mengalami imobilisasi, meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, evaluasi status fungsional, status mental, status kognitif, dan tingkat mobilitas, serta pemeriksaan penunjang sesuai indikasi

Tatalaksana Umum Kerjasama tim medis interdisiplin dengan partisipasi pasien, keluarga, dan pramuwerdha Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai bahaya tirah baring lama, pentingnya latihan bertahap danambulasi dini, serta mencegah ketergantungan pasien dengan melakukan aktivitas kehidupan sehari-harisendiri, semampu pasien Dilakukan pengkajian geriatri paripurna, perumusan target fungsional, dan pembuatan rencana terapi yangmencakup pula perkiraan waktu yang diperlukan untuk mencapai target terapi Temukenali dan tatalaksana infeksi, malnutrisi, anemia, gangguan cairan dan elektrolit yang mungkin terjadipada kasus imobilisasi, serta penyakit/kondisi penyerta lainnya Evaluasi seluruh obat-obatan yang dikonsumsi; obat-obatan yang dapat menyebabkan kelemahan ataukelelahan harus diturunkan dosisnya atau dihentikan bila memungkinkan. Berikan nutrisi yang adekuat, asupan cairan, dan makanan yang mengandung serat, serta suplementasivitamin dan mineral Program latihan dan remobilisasi dimulai ketika kestabilan kondisi medis terjadi meliputi latihan mobilitas di tempat tidur, latihan lingkup gerak sendi (pasif, aktif, dan aktif dengan bantuan), latihan penguatan otot-otot (isotonik, isometrik, isokinetik), latihan koordinasi/ keseimbangan (misalnya berjalan pada satu garis lurus), transfer dengan bantuan, dan ambulasi terbatas. Bila diperlukan, sediakan dan ajarkan cara penggunaan alat-alat bantu berdiri dan ambulasi Manajemen miksi dan defekasi, termasuk penggunaan komod atau toiletTatalaksana Khusus

Tatalaksana faktor risiko imobilisasi Tatalaksana komplikasi akibat imobilisasi Pada keadaan-keadaan khusus, konsultasikan kondisi medik kepada dokter spesialis yang kompeten Lakukan remobilisasi segera dan bertahap pada pasien-pasien yang mengalami sakit atau dirawat di rumah sakit dan panti werdha untuk mencegah imobilisasi lebih lanjut Upayakan dukungan lingkungan dan ketersediaan alat bantu untuk mobilitas yang adekuat bagi usia lanjut yang mengalami disabilitas permanen.

BAB III

KESIMPULAN

Pada skenario ini pasien merupakan pasien geriatri dengan banyak kasus penyulit, diantaranya adalah depresi, menurunya fungsi neurologis, pneumoni serta ulkus deckbitus. Pada geriatri juga ditemukan imunosennesence dimana sistem imun turun. Secara populer disebut dengan aging sistem imun. Hal ini tentunya sangat bertanggung jawab akan penyakit infeksi, penyakit autoimun atau penyakit lain yang sering dialami oleh lansia. Karena inilah pasien pada skenario menampilkan penyakit dengan banyak komorbiditas. Stroke pada lansia menurunkan kualitas hidup secara signifikan, imobilitas akibat deficit fungsi neurologis maupun akibat depresi mengakibatkan ulcus dekubitus bahkan infeksi kecil seperti rhinitis bakteri jika dahaknya teraspirasi dapat menimbulkan pneumonia akibat imunosennesence pada lansia.BAB IVSARAN Diskusi telah berjalan dengan lancar namun mahasiswa dituntut untuk lebih aktif dalam berdiskusi dan mempelajari lebih dalam lagi tentang macam-macam penyakit pada geriatir

Diharapakan mahasiswa dapat menggunakan sumber-sumber yang lebih valid dan Evidence Based Medicine agar kedepannya diskusi bisa berjalan lebih baik serta tentunya dapat menambah pengetahuan. Sedangkan untuk kasus dalam skenario antara lain:

Perawatan pada lansia skenario 3 ini harus mencakup penatalaksanaan multidisiplioner meliputi disiplin ilmu penyakit dalam, rehabilitasi medic, psikiatri, gizi, serta bidang rehabilitasi medic Penataklasanaan di rumah sakit harus sangat dijaga bahkan dikususkan mengingat infeksi nosokomial dan adanya imunosennesence pada pasien Dokter tidak hanya memberikan obat dan tatalaksana saja tapi juga dokungan social yang mampu menenangkan pasien Geriatri Riwayat medis pasien geriatric perlu diketahui secara lengkap oleh dokter yang menangani saat ini.DAFTAR PUSTAKADahlan, Zul. 2006. Pneumonia dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.Guyton, Arthur C. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.Hadisaputro, Suharyo. Martono, Hadi. 2009. Infeksi pada Usia Lanjut dalam Buku Ajar Boedhi-Darmojo Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Halter JB, Ouslander JG, Tinetti ME et al (2009). Pneumonia. Hazzards Geriatric Medicine and Gerontology. 6th edition. New York: McGraw-Hill. 1531-45.Longo DL; et al (2009). Pneumonia. Harrison Principle of Internal Medicine. 18th edition. London: McGraw-Hill.Pranarka K, Martono HH (2011). Buku Ajar Boedhi-Darmojo Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta: Balia Penerbit FK UI pp:279-290Sherwood, Lauralee. (2011) FisiologiManusia:DariSelkeSistem Edisi 7. Jakarta: EGC

Syarif Amir, Estuningtyas A, Setiawati A, et all. (2011). Farmakologi dan Terapi Edisi Kelima. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Dorland, W.A. Newman. (2002). Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.Ritonga, Anggraini. 2011. Profil Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik Stabil Berdasarkan Penilaian Bode Index di RSUP H. Adam Malik dan RS PTP II Tembakau Deli Medan. Medan: FK USU. Thesis.

Setiati S. Pedoman pengelolaan imobilisasi pada pasien geriatri. Dalam: Soejono CH, Setiati S, Wiwie M, Silaswati S. Editor. Pedoman pengelolaan kesehatan pasien geriatri untuk dokter dan perawat. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Penyakit Dalam FKUI; 2000.p. 11522.US Department of Health and Human Service (2003). Seventh report of the joint national committee on prevention, Detection, evaluation, and treatment of high blood pressure (JNC 7). NIH Publication 03- 5231

Wulandari DH, Hadisaputro S, Suhartono (2013). Berbagai Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Gangguan Fungsi Paru dalam Ruang Kerja (Studi Kasus Pekerja Industri Rumahan Electroplating di Kecamatan Talang Kabupaten Tegal). Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia. 12 (1):94-98

GERIATRI

STROKE

TIDAK MAU BICARA

TIDAK MAU MAKAN

IMMOBILISASI

DEKUBITUS

TATA LAKSANA DEKUBITUS

INFEKSI

PNEUMONIA