sistem pengelolaan perikanan tonda dengan … · kecenderungan harga ikan yang semakin meningkat di...
TRANSCRIPT
SISTEM PENGELOLAAN PERIKANAN TONDA DENGAN
RUMPON DI PPP PONDOKDADAP SENDANG BIRU,
MALANG, JAWA TIMUR
ALVI RAHMAH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Sistem Pengelolaan
Perikanan Tonda dengan Rumpon di PPP Pondokdadap Sendang Biru, Malang,
Jawa Timur adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2014
Alvi Rahmah
NIM C452110051
RINGKASAN
ALVI RAHMAH. Sistem Pengelolaan Perikanan Tonda dengan Rumpon di PPP
Pondokdadap Sendang Biru, Malang, Jawa Timur. Dibimbing oleh TRI WIJI
NURANI, SUGENG HARI WISUDO, dan NIMMI ZULBAINARNI.
Permasalahan teknis pengoperasian unit perikanan tonda dengan rumpon
di PPP Pondokdadap adalah terbatasnya area penangkapan karena banyaknya
rumpon di wilayah perairan dekat pantai, sehingga nelayan tonda terpaksa
melakukan operasi penangkapan di wilayah perairan yang lebih jauh, sekitar 50-
200 mil dari garis pantai. Kecenderungan harga ikan yang semakin meningkat di
PPP Pondokdadap membuat nelayan luar daerah banyak yang melakukan
penangkapan di wilayah penangkapan nelayan tonda Sendang Biru dan
mendaratkan hasil tangkapannya di PPP Pondokdadap. Kondisi ini tentunya akan
meningkatkan upaya penangkapan yang berdampak pada sumberdaya ikan.
Penurunan ukuran ikan jenis tuna sudah mulai dirasakan oleh nelayan, dan secara
ekonomi dapat menurunkan harga jual ikan sehingga dapat merugikan nelayan.
Belum lagi adanya permainan harga yang dilakukan oleh pengambek (tengkulak)
pada saat pembelian hasil tangkapan dari nelayan.
Adanya hubungan ketergantungan secara ekonomi yang besar antara
nelayan dengan pengambek menjadikan nelayan tidak ingin mempermasalahkan
kondisi yang terjadi, sehingga sangat mempengaruhi kondisi sosial antara nelayan
dan pengambek. Pengoperasian unit perikanan tonda ternyata menimbulkan
konflik horisontal diantara nelayan. Konflik tersebut terjadi dikarenakan
kurangnya kekompakan diantara nelayan untuk saling menjaga perairan dan
sumberdaya perikanan. Peran kelembagaan khususnya organisasi nelayan Rukun
Jaya dan pemerintah perikanan sangat diperlukan. Peran Rukun Jaya secara
kelembagaan dalam masyarakat khususnya nelayan tonda Sendang Biru masih
kurang sehingga diperlukan peningkatan dan kerjasama secara aktif dari seluruh
komponen yang terlibat agar tujuan sistem perikanan yang baik dapat tercapai
secara optimal.
Kompleksnya permasalahan dalam sistem perikanan tonda dengan rumpon
di PPP Pondokdadap memerlukan penyelesaian dengan memperhatikan aspek
yang terkait. Penyelesaian tersebut dapat dilakukan dengan melaksanakan model
konseptual. Model konseptual yang direkomendasikan pada penelitian ini terdiri
atas 4, yaitu (1) model konseptual pembuatan dan pelaksanaan peraturan lokal
pengawasan perairan di PPP Pondokdadap, (2) model konseptual pembuatan dan
penggunaan SOP perizinan oleh pemerintah daerah, (3) model konseptual
pembuatan peraturan operasional penangkapan bagi unit perikanan tonda dengan
rumpon di PPP Pondokdadap, dan (4) model konseptual pengawasan proses
pelelangan di tempat pelelangan ikan PPP Pondokdadap. Pelaksanaan model
konseptual tersebut dapat dilakukan dengan berbagai strategi, yang melibatkan
seluruh komponen perikanan seperti nelayan, pengambek, organisasi nelayan dan
pemerintah.
Kata kunci: perikanan tonda, sistem perikanan, soft system methodology
SUMMARY
ALVI RAHMAH. Management System of Troll Fisheries with Fish Aggregating
Device (FAD) in PPP Pondokdadap Sendang Biru, Malang, East Java. Supervised
by TRI WIJI NURANI, SUGENG HARI WISUDO, dan NIMMI
ZULBAINARNI.
Technical problems of troll fisheries operation with FAD is limited area
for fishing activities because many FADs onshore, so the fishermen forced to
make fishing operation in the more distant waters, about 50-200 miles of
shoreline. The tendency of increasing fish prices in PPP Pondokdadap make many
fisherman outside the area make catches in Sendang Biru fishing trolling areas
and landing their catch in PPP Pondokdadap. This condition will certainly
increase the fishing effort that have an impact on fish resources. Decreasing the
size of the fish species like tuna are already beginning to be happened, and
economically can reduce the selling price of fish that can be detrimental to
fishermen. Not to mention the price influenced is done by pengambek
(middlemen) at the time of purchasing the catch from the fishermen.
The existence of economic dependency relationships between fishermen
and pengambek make fishermen do not want to question the conditions that occur,
thus adversely affecting the social conditions between fishermen and pengambek.
Operation of trolling fisheries unit actually causes horizontal conflicts among
fishermen. The conflict occurred due to a lack of cohesion among the fishermen to
keep each other waters and fishery resources. The role of fishermen's
organizations in particular fisheries institutional Rukun Jaya and government
indispensable. The role of Rukun Jaya for society, especially for fishermen of troll
fisheries in Sendang Biru is still lacking that needed improvement and active co-
operation of all the components involved that the purpose of a good fishery
system can be achieved optimally.
Complexity of the problems in troll fisheries system with FADs in PPP
Pondokdadap requires completion with attention-related aspects. Solving can be
done with implementing the conceptual models. Conceptual models
recommended in this study consists of 4, namely (1) developing and
implementating of local regulation for monitoring, controlling, and survaillance of
fishing ground in Southern water of Malang Regency, (2) manufacturing and
using of SOP licensing by local government, (3) formulating the fishing operation
of troll fisheries with FAD unit in PPP Pondokdadap, (4) monitoring the fish
transaction mechanism in fish auction of PPP Pondokdadap. The implementation
of the conceptual models can be done with a variety of strategies, involving all
components of fisheries such as fisherman, pengambek, organization of fishermen
and government.
Keyword: troll fisheries, fisheries system, soft system methodology
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
SISTEM PENGELOLAAN PERIKANAN TONDA DENGAN
RUMPON DI PPP PONDOKDADAP SENDANG BIRU,
MALANG, JAWA TIMUR
ALVI RAHMAH
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof Dr Ir John Haluan, MSc
Judul Tesis : Sistem Pengelolaan Perikanan Tonda dengan Rumpon di PPP
Pondokdadap Sendang Biru, Malang, Jawa Timur
Nama : Alvi Rahmah
NIM : C452110051
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr Ir Tri Wiji Nurani, MSi
Ketua
Dr Ir Sugeng Hari Wisudo, MSi Dr Nimmi Zulbainarni, SPi, MSi
Anggota Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Sistem dan Pemodelan
Perikanan Tangkap
Prof Dr Ir Mulyono S.Baskoro, MSc Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 30 Desember 2013 Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Februari 2013 ini ialah sistem
perikanan, dengan judul Sistem Pengelolaan Perikanan Tonda dengan Rumpon di
PPP Pondokdadap Sendang Biru, Malang, Jawa Timur.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Tri Wiji Nurani, MSi; Dr Ir
Sugeng Hari Wisudo, MSi; dan Dr Nimmi Zulbainarni, SPi, MSi selaku
pembimbing yang telah banyak memberi saran. Disamping itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada Bapak Goentoro Soepardi beserta staf Unit Pengelola
PPP Pondokdadap, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan
terima kasih juga disampaikan kepada ayahanda, ibunda, kakak, abang, dan
seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya, serta teman-teman seperjuangan
Pascasarjana (Magister) PSP 2011 atas kebersamaan dan semangatnya.
Penulis sangat berharap kritik dan saran demi penyempurnaan penulisan
dimasa yang akan datang. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2014
Alvi Rahmah
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR LAMPIRAN xi
DAFTAR ISTILAH xii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 4
Ruang Lingkup Penelitian 4
Kerangka Pemikiran 4
2 GAMBARAN UMUM UNIT PERIKANAN TONDA
DENGAN RUMPON DI PPP PONDOKDADAP 6
Unit Penangkapan Ikan 6
Kapal 6
Alat Tangkap 6
Nelayan 7
Rumpon 7
Metode Penangkapan Ikan 8
Musim Penangkapan Ikan 13
3 METODOLOGI PENELITIAN 13
Waktu dan Tempat Penelitian 13
Metode Pengumpulan Data 14
Metode Analisis Data 15
4 FORMULASI MASALAH PADA UNIT PERIKANAN
TONDA DENGAN RUMPON DI PPP PONDOKDADAP 16
Pendahuluan 16
Metode 17
Hasil 17
Aspek Teknis 17
Aspek Ekologi 19
Aspek Ekonomi 21
Aspek Sosial 23
Aspek Kelembagaan 24
Penggambaran Masalah dengan Rich Picture 26
Pembahasan 28
Kesimpulan 31
5 MODEL KONSEPTUAL PADA UNIT PERIKANAN TONDA
DENGAN RUMPON DI PPP PONDOKDADAP 31
Pendahuluan 31
Metode 32
Hasil 32
Aspek Sosial dan Kelembagaan 32
Aspek Teknis dan Ekologi 36
Aspek Ekonomi 38
Pembahasan 40
Kesimpulan 42
6 PEMBAHASAN UMUM 42
7 KESIMPULAN DAN SARAN 44
Kesimpulan 44
Saran 45
DAFTAR PUSTAKA 45
LAMPIRAN 49
RIWAYAT HIDUP 139
DAFTAR TABEL
2.1 Spesifikasi rumpon perikanan tonda di PPP Pondokdadap 7
2.2 Spesifikasi pancing tonda di PPP Pondokdadap 9
2.3 Spesifikasi pancing layangan di PPP Pondokdadap 9
2.4 Spesifikasi pancing ulur di PPP Pondokdadap 10
2.5 Spesifikasi pancing batuan di PPP Pondokdadap 10
2.6 Spesifikasi pancing coping di PPP Pondokdadap 11
2.7 Spesifikasi pancing taber di PPP Pondokdadap 12
2.8 Spesifikasi pancing tomba di PPP Pondokdadap 12
4.1 Produktivitas alat tangkap unit perikanan tonda dengan rumpon
di PPP Pondokdadap tahun 2008-2012 19
4.2 Produktivitas nelayan unit perikanan tonda dengan rumpon
di PPP Pondokdadap tahun 2008-2012 19
4.3 Rata-rata pendapatan nelayan tonda (Rp) per trip 23
4.4 Hasil analisis finansial pada unit perikanan tonda
dengan rumpon di PPP Pondokdadap 23
DAFTAR GAMBAR
1.1 Kerangka pemikiran penelitian 5
2.1 Kapal perikanan tonda di PPP Pondokdadap 6
2.2 Komponen alat tangkap pada unit perikanan tonda 6
2.3 Ilustrasi bentuk rumpon unit perikanan tonda
di PPP Pondokdadap 8
2.4 Ilustrasi metode penangkapan pancing tonda 9
2.5 Ilustrasi metode penangkapan pancing layangan 10
2.6 Ilustrasi metode penangkapan pancing batuan 11
2.7 Ilustrasi metode penangkapan pancing taber 12
2.8 Ilustrasi metode penangkapan pancing tomba 13
3.1 Peta lokasi penelitian 14
3.2 Tujuh langkah dasar SSM 16
4.1 Proses operasi penangkapan unit perikanan tonda 18
4.2 Komposisi dan persentase hasil tangkapan tonda bulan Desember
tahun 2012 per jenis ikan (kg) per trip 20
4.3 Komposisi dan persentase hasil tangkapan tonda bulan Juni
tahun 2012 per jenis ikan (kg) per trip 20
4.4 Nilai Produksi per trip unit perikanan tonda dengan rumpon di
PPP Pondokdadap tahun 2008-2012 21
4.5 Proses pelelangan ikan di TPI PPP Pondokdadap 22
4.6 Alur proses perizinan yang dilakukan oleh organisasi nelayan
Rukun Jaya 25
4.7 Rich picture unit perikanan tonda dengan rumpon
di PPP Pondokdadap 27
5.1 CATWOE dan root definition terhadap permasalahan pengawasan
pada unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap 33
5.2 CATWOE dan root definition terhadap permasalahan
perizinan pada unit perikanan tonda dengan rumpon
di PPP Pondokdadap 33
5.3 Model konseptual pembuatan dan pelaksanaan peraturan lokal
pengawasan perairan 34
5.4 Model konseptual pembuatan dan penggunaan SOP perizinan
oleh pemerintah daerah 35
5.5 CATWOE dan root definition terhadap permasalahan aspek teknis
dan ekologi pada unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP
Pondokdadap 36
5.6 Model konseptual pembuatan peraturan operasional penangkapan
pada unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap 37
5.7 CATWOE dan root definition terhadap permasalahan aspek
ekonomi pada unit perikanan tonda dengan rumpondi PPP
Pondokdadap 38
5.8 Model konseptual pengawasan proses pelelangan di tempat
pelelangan ikan PPP Pondokdadap 39
DAFTAR LAMPIRAN
1 Perhitungan analisis usaha pada unit perikanan tonda
dengan rumpon di PPP Pondokdadap 49
2 Sarana dan prasarana di PPP Pondokdadap 50
3 Peraturan Pemerintah Daerah Kabupaten Malang No. 1 Tahun 2009 52
4 Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan No. 27 Tahun 2012 62
5 Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan No. 02 Tahun 2011 68
6 Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan No. 30 Tahun 2011 88
7 Keputusan Kementerian Kelautan dan Perikanan No. 58 Tahun 2001 133
DAFTAR ISTILAH
Breakwater : Bangunan yang berfungsi untuk memecah gelombang
sehingga mengendalikan abrasi di pantai dan melindungi
pelabuhan dari hempasan gelombang.
Discount factor : Bilangan yang digunakan untuk mengalikan suatu nilai
dimasa yang akan datang yang dapat dinilai pada saat ini.
Effort : Suatu upaya penangkapan yang dilakukan untuk memperoleh
hasil tangkapan dalam jumlah tertentu, seperti jumlah kapal,
jumlah alat tangkap, dan jumlah nelayan.
GT : Gross tonage, yaitu satuan ukuran kapal. Perhitungan GT
kapal ikan yang umum digunakan di Indonesia adalah
volume total kapal x 0.25
Ikan predator : Jenis ikan omnivora atau karnivora yang memangsa ikan-
ikan berukuran lebih kecil.
IRR : Internal rate return, yaitu persentase nilai keuntungan yang
diperoleh pada penanaman modal dibandingkan dengan
tingkat suku bunga bank yang berlaku.
Manol : Sebutan masyarakat Sendang Biru untuk orang yang bertugas
mengangkut hasil tangkapan nelayan dari kapal ke Tempat
Pelelangan Ikan (TPI).
Nelayan andon : Nelayan yang berasal dari luar daerah (seperti Sulawesi dan
Kalimantan) yang melakukan operasi penangkapan di
perairan sekitar PPP Pondokdadap Sendang Biru. Sebagian
besar jenis nelayan ini tidak menetap di Sendang Biru, hanya
ada pada saat musim banyak ikan (musim puncak).
Nelayan lokal : Nelayan yang berasal dari daerah sekitar PPP Pondokdadap
Sendang Biru. Sebagian besar jenis nelayan ini menetap di
wilayah Sendang Biru. Profesi nelayan menjadi pekerjaan
utama, namun saat musim barat (musim tidak banyak ikan)
tiba beberapa nelayan mencari pekerjaan sampingan seperti
bertani.
Net B/C : Net benefit cost ratio, yaitu perbandingan antara keuntungan
dengan biaya yang dikeluarkan selama umur teknis barang
investasi.
NPV : Net present value, yaitu keuntungan total selama umur teknis
barang investasi yang dihitung pada masa sekarang.
Pengambek : Penyedia modal bagi nelayan, baik untuk kebutuhan melaut
ataupun kebutuhan hidup sehari-sehari, sama seperti
tengkulak, hanya saja pengambek di Sendang Biru tidak
membebankan bunga atas pinjaman yang dilakukan oleh
nelayan. Pengambek juga bertugas untuk membantu menjual
hasil tangkapan pada proses pelelangan di TPI. Beberapa
orang pengambek juga menjadi pemilik kapal.
Penguras : Orang yang jasanya disewa oleh pemilik kapal untuk
memperbaiki kapal.
Responden kunci : Responden yang mengetahui secara detail objek yang diteliti.
Rumpon : Suatu jenis alat bantu penangkapan yang biasanya terdiri atas
pelampung, atraktor, pemberat, yang terbuat dari bahan yang
berbeda-beda tergantung pada penggunaannya. Fungsinya
untuk mengumpulkan ikan yang mencari tempat berlindung
atau mencari makan.
Sekoci : Sebutan nelayan di beberapa daerah termasuk PPP
Pondokdadap untuk jenis kapal tonda.
Swivel/kili-kili : Bagian dari pancing yang berfungsi untuk mengurangi
kekusutan atau pelintiran tali senar dan untuk mempermudah
simpul.
Unit perikanan : Suatu kesatuan dalam kegiatan penangkapan yang meliputi
kapal, alat tangkap, nelayan, dan alat bantu penangkapan
seperti rumpon.
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Fokus perikanan di Indonesia saat ini adalah pengembangan perikanan
menuju industrialisasi, salah satunya melalui industrialisasi ikan tuna, tongkol,
dan cakalang (TTC). Peraturan berupa PER.27/MEN/2012 menjelaskan bahwa
industrialisasi TTC dimaksudkan untuk meningkatkan jumlah dan nilai produksi
serta mutu jenis produk perikanan sehingga mampu diekspor ke luar negeri (KKPa
2013). Kebijakan industrialisasi ini harus didukung oleh sistem perikanan yang
baik, seperti proses penangkapan yang sesuai aturan, kemampuan nelayan dalam
pengoperasian alat tangkap dan penjagaan mutu hasil tangkapan, hasil tangkapan
yang layak tangkap, lancarnya proses pemasaran, hingga pada kelengkapan
dokumen kapal dan kondisi sosial ekonomi masyarakat nelayan.
Indonesia saat ini memiliki 5 pelabuhan perikanan yang menjadi contoh
nasional dalam industrialisasi TTC, yang diharapkan dapat memacu pelabuhan
perikanan lainnya. Pelabuhan perikanan yang terdapat di provinsi Jawa Timur
memiliki potensi untuk mengikuti 5 pelabuhan perikanan tersebut, salah satunya
adalah Kabupaten Malang. Potensi tersebut terlihat dari jumlah produksi TTC
Kabupaten Malang tahun 2012 mencapai 3787 ton, yang menjadi salah satu
produsen TTC terbesar di provinsi Jawa Timur (DKP Provinsi Jawa Timur 2013).
Tingginya produksi Kabupaten Malang didukung dengan adanya keberadaan
Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Pondokdadap. Posisi PPP Pondokdadap yang
strategis dan dilindungi oleh Pulau Sempu sebagai breakwater alami menjadi
tempat yang aman bagi kapal-kapal yang ingin berlabuh. Sebagian besar kapal-
kapal tersebut melakukan kegiatan penangkapan di dekat Samudera Hindia yang
merupakan daerah penangkapan potensial untuk ikan pelagis jenis TTC (UPPP
Pondokdadap 2012).
Komoditas TTC di perairan selatan Jawa Timur banyak ditangkap
menggunakan alat tangkap pancing dengan kapal tonda (sekoci). Pangkalan
Pendaratan Ikan (2007) dalam Hermawan (2011) menyatakan bahwa jumlah kapal
tonda di PPP Pondokdadap berkembang cukup pesat, pada tahun 2001 hanya
berjumlah 30 unit, namun pada tahun 2007 jumlahnya meningkat sebanyak 318
unit dan pada tahun 2008 menjadi 335 unit. Peningkatan tersebut dikarenakan
preferensi nelayan terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan kelembagaan yang
terdapat di PPP Pondokdadap, yaitu tingginya harga jual hasil tangkapan kapal
tonda, prospek pasar yang baik, dan adanya tempat pendaratan dan pelelangan
ikan. Sebagian besar nelayan Sendang Biru mengoperasikan kapal tonda dibantu
dengan menggunakan alat bantu penangkapan yang dikenal dengan rumpon.
Prinsip utama rumpon adalah mengumpulkan ikan, dimana ikan-ikan yang
berkumpul di sekitar rumpon diduga karena mencari tempat berlindung atau
mencari makan. Hasil penelitian Yusfiandayani (2004) menunjukkan bahwa
mekanisme berkumpulnya ikan pelagis kecil di sekitar rumpon cenderung
disebabkan oleh proses rantai makanan yang diawali dengan tahapan terbentuknya
kolonisasi mikroorganisme yang menempel pada bahan atraktor rumpon,
berkumpulnya pemangsa mikroorganisme disekitar rumpon, berkumpulnya ikan
2
penjaring (ikan herbivora) dan berkumpulnya ikan predator (karnivora dan
omnivora).
Penggunaan rumpon pada perikanan tonda awalnya dianggap cukup
efektif karena nelayan dapat langsung menemukan daerah penangkapan yang
potensial sehingga dapat meminimalisir biaya operasional penangkapan.
Pemanfaatan rumpon saat ini ternyata menimbulkan permasalahan, seperti adanya
konflik horisontal diantara nelayan, tingginya upaya penangkapan yang dilakukan
di sekitar rumpon, hingga adanya kenaikan jumlah rumpon (ilegal) yang dipasang
di perairan. Budiono (2005) pada penelitiannya menyebutkan bahwa pada tahun
1990, nelayan Sendang Biru mengenal rumpon bekas nelayan Philipina dan
mereka belum mengetahui fungsi dari rumpon tersebut, hingga pada tahun 1997
nelayan andon dari Sulawesi Selatan (suku Bugis) datang ke wilayah Sendang
Biru menggunakan kapal tonda (sekoci) sebanyak 12-13 unit dengan alat tangkap
handline dilengkapi dengan rumpon sebagai alat bantu penangkapan.
Produktivitas nelayan andon tersebut ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan
nelayan lokal, sehingga menimbulkan kecemburuan yang memicu terjadinya
konflik antara nelayan lokal dengan nelayan andon. Konflik mencapai puncaknya
antara Juni hingga Agustus 1997, dimana nelayan lokal melakukan unjuk rasa
menolak kehadiran nelayan andon yang beroperasi di perairan Sendang Biru.
Konflik berhasil diredam oleh tokoh masyarakat setempat dengan melakukan
negoisasi terhadap nelayan lokal sehingga nelayan lokal bersedia menerima
kembali nelayan andon. Situasi ini ternyata memicu konflik susulan, dimulai dari
banyaknya nelayan kapal tonda yang beroperasi di lokasi rumpon dan beberapa
nelayan andon yang memasang rumpon di lokasi yang dirahasiakan. Peningkatan
jumlah kapal tiap tahunnya akan meningkatkan jumlah upaya penangkapan yang
dikhawatirkan mempengaruhi sumberdaya ikan yang menjadi target tangkapan
dari kapal tonda. Hermawan (2011) menyatakan bahwa hasil tangkapan tuna dan
cakalang yang didaratkan di PPP Pondokdadap sebagian besar didominasi oleh
ikan yang berukuran kecil atau tidak layak tangkap, sehingga mempengaruhi
keberlangsungan keberadaan sumberdaya ikan yang menjadi target tangkapan di
perairan.
Pengaturan mengenai rumpon dan alat penangkapan ikan sebenarnya telah
ditetapkan oleh pemerintah dalam peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan
(KKP) PER.02/MEN/2011 tentang jalur penangkapan ikan, penempatan alat
penangkapan ikan, dan alat bantu penangkapan ikan di wilayah pengelolaan
Negara Republik Indonesia (KKPb 2013). Kenyataan di lapangan sering
menunjukkan kondisi yang berlawanan. Hal ini akan membawa dampak negatif
terhadap kondisi perikanan khususnya perikanan tonda jika dibiarkan terus
menerus. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu kajian, khususnya di PPP
Pondokdadap untuk melihat seluruh permasalahan secara lebih detail dan
menyeluruh, yang dikaji dari aspek teknis, ekologi, sosial, kelembagaan, dan
ekonomi sehingga dapat ditemukan model konseptual yang dapat membantu
memecahkan permasalahan pada unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP
Pondokdadap.
3
Perumusan Masalah
Peningkatan dan perkembangan permintaan pasar saat ini terhadap
komoditas perikanan khususnya jenis TTC membuat pemerintah dan pengusaha
perikanan semakin meningkatkan produksinya, seperti yang terjadi di PPP
Pondokdadap, Malang, Provinsi Jawa Timur. Peningkatan ini terlihat dari
perkembangan jumlah kapal tonda dan alat tangkap pancing di PPP Pondokdadap
yang biasanya digunakan untuk menangkap ikan jenis TTC. Hal tersebut juga
akan memacu peningkatan pemanfaatan rumpon yang biasanya digunakan
nelayan sebagai alat bantu penangkapan dalam perikanan tonda.
Pengoperasian unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap
yang semakin meningkat ternyata menimbulkan permasalahan yang berpengaruh
terhadap kondisi perikanan tonda. Konflik horizontal karena perebutan daerah
penangkapan dan sumberdaya, tidak berizinnya pengoperasian unit perikanan
tonda dan rumpon, berubahnya kondisi sumberdaya ikan yang menjadi target
tangkapan, dan adanya permasalahan ekonomi diantara nelayan dengan
pengambek menjadi permasalahan yang harus disoroti pada unit perikanan tonda
dengan rumpon di PPP Pondokdadap.
Permasalahan yang terjadi di PPP Pondokdadap memiliki hubungan yang
saling terkait. Keterkaitan tersebut membuat permasalahan yang terjadi semakin
kompleks, sehingga diperlukan pendekatan sistem untuk membantu
menyelesaikan seluruh persoalan yang ada. Salah satu pendekatan sistem yang
dapat digunakan adalah Soft System Methodology (SSM). Cara kerja metode ini
adalah merinci permasalahan yang terjadi berdasarkan aktor atau pelaku yang
terlibat dengan melihat pola dan hubungan diantara para aktor. Pengkajian
masalah yang terjadi dalam penelitian ini dibatasi dalam lima aspek, yaitu aspek
teknis, ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan. Penyelesaian masalah tersebut
dapat dilakukan dengan melihat inti permasalahan yang diuraikan menjadi
beberapa pertanyaan, yaitu:
(1) Bagaimana pola dan keterkaitan masalah diantara aspek kajian, meliputi
aspek teknis, ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan; dan
(2) Bagaimana solusi yang tepat terhadap permasalahan pada seluruh aspek
kajian.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
(1) Memformulasikan permasalahan pada unit perikanan tonda dengan rumpon
di PPP Pondokdadap berdasarkan aspek teknis, ekologi, sosial, kelembagaan,
dan ekonomi; dan
(2) Membuat model konseptual sebagai solusi terhadap permasalahan pada unit
perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap.
4
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan
pemerintah daerah setempat sebagai salah satu alternatif untuk dapat mengelola
perikanan tonda di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Diharapkan dapat menjadi
salah satu masukan bagi pengusaha perikanan yang berkecimpung di bidang
perikanan tonda untuk mengoptimalkan usahanya.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian yang dilaksanakan dibatasi dalam beberapa aspek, yaitu aspek
teknis, ekologi, sosial, kelembagaan, dan ekonomi. Aspek teknis mengkaji
mengenai metode operasi penangkapan dan pemasangan rumpon serta
produktivitas rata-rata per kapal dan per nelayan. Analisis jumlah, jenis, dan
komposisi hasil tangkapan, serta pengaruh pemasangan rumpon terhadap
sumberdaya ikan merupakan kajian dalam aspek ekologi. Analisis pengaruh
perikanan tonda dengan rumpon terhadap pendapatan masyarakat sekitar dan
hubungan antar masyarakat (ada/tidaknya konflik) termasuk dalam aspek sosial.
Sistem perizinan dan pengaturan pengoperasian unit perikanan tonda dengan
rumpon secara lebih detail dikaji dalam aspek kelembagaan. Variabel ekonomi
berupa pemasaran, analisis usaha, analisis finansial, dan pendapatan nelayan
dikaji dalam aspek ekonomi.
Seluruh aspek tersebut dikaji dengan menggunakan pendekatan Soft
System Methodology (SSM). Penggambaran permasalahan dengan rich picture
akan dikaji lebih lanjut dengan melihat hubungan diantara aktor yang terlibat dan
kondisi yang diinginkan dengan root definition. Root definition tersebut akan
digunakan untuk merumuskan model konseptual yang dapat digunakan sebagai
solusi terhadap permasalahan yang terjadi pada sistem perikanan tonda dengan
rumpon di PPP Pondokdadap Sendang Biru, Malang, Jawa Timur.
Kerangka Pemikiran
Permasalahan yang terjadi pada unit perikanan tonda dengan rumpon
seperti telah dijelaskan pada subbab-subbab sebelumnya memerlukan
penyelesaian secara menyeluruh. Penyelesaian dengan pendekatan sistem
khususnya dengan menggunakan Soft System Methodology (SSM) merupakan
salah satu cara yang tepat untuk dilakukan. Hal ini bertujuan agar seluruh masalah
yang terjadi dapat ditemukan dengan melihat permasalahan inti pada setiap aspek,
yaitu aspek teknis, ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan. Penemuan dan
pengungkapan masalah yang selanjutnya diformulasikan dalam rich picture akan
membantu peneliti untuk melihat permasalahan secara lebih detail. Keterlibatan
aktor, struktur masalah, dan elemen lainnya diidentifikasi lebih dalam dengan root
definition, yang nantinya akan digunakan untuk membuat model konseptual
sebagai rekomendasi terhadap pengelolaan unit perikanan tonda dengan rumpon
di PPP Pondokdadap, Sendang Biru, Malang (Gambar 1.1)
5
Gambar 1.1 Kerangka pemikiran penelitian
Permasalahan
Peningkatan unit perikanan tonda, pemanfaatan rumpon tidak sesuai aturan, kecilnya ukuran
hasil tangkapan, khususnya jenis tuna, dan konflik horizontal diantara nelayan .
Solusi?
Analisis permasalahan dengan pendekatan sistem → Soft System Methodology (SSM)
Penemuan dan pengungkapan masalah pada aspek kajian
Mulai
Aspek Kelembagaan
Pengaruh kelembagaan terhadap unit
perikanan tonda dengan rumpon → analisis
deskriptif;
Sistem perizinan dan pengaturan
pengoperasian unit perikanan tonda →
analisis deskriptif.
Aspek Ekologi
Jumlah, jenis, dan komposisi
hasil tangkapan, serta pengaruh
pemasangan rumpon terhadap
sumberdaya ikan → analisis
deskriptif.
Aspek Teknis
Metode operasi unit perikanan tonda
dengan rumpon → analisis deskriptif;
Produktivitas rata-rata per kapal/tahun/trip
dan per nelayan/tahun/trip → analisis
produktivitas.
Aspek Sosial
Pengaruh perikanan tonda dengan rumpon terhadap pendapatan masyarakat → analisis
deskriptif;
Pengaruh perikanan tonda dengan rumpon terhadap hubungan antar masyarakat
(ada/tidaknya konflik) → analisis deskriptif.
Aspek Ekonomi
Pemasaran dan pendapatan
→ analisis deskriptif;
Keuntungan → analisis
usaha;
Analisis finansial → NPV,
IRR, Net B/C.
Pendapatan nelayan →
analisis pendapatan
Pengidentifikasian masalah berdasarkan elemen pembentuk dengan root definition
Pembuatan model konseptual
Rekomendasi model konseptual
Formulasi masalah pada tiap aspek kajian dengan rich picture
Selesai
6
2 GAMBARAN UMUM UNIT PERIKANAN TONDA DENGAN
RUMPON DI PPP PONDOKDADAP
Unit Penangkapan Ikan
Kapal
Pengoperasian kapal tonda atau yang dikenal dengan kapal sekoci oleh
nelayan Sendang Biru dilakukan sejak adanya nelayan andon suku Bugis yang
beroperasi di perairan sekitar Sendang Biru pada tahun 1997. Sejak saat itu,
perikanan tonda mulai berkembang di Sendang Biru. Jenis kapal yang digunakan
pada unit perikanan tonda adalah kapal motor berbahan dasar kayu dengan mesin
inboard (Gambar 2.1). Ukuran kapal yang digunakan hampir sama, yaitu
memiliki panjang sekitar 16 meter, lebar 3 meter, dan dalam 2 meter, dengan
ukuran rata-rata 5-10 (GT). Mesin yang digunakan berjumlah 2-3 buah dengan
jenis Yanmar, Jiandong, Kubota atau Mitsubishi dengan kekuatan 300 HP. Setiap
kapal memiliki palka 3 buah, dengan kapasitas berkisar antara 1.3-1.6 ton. Palka
akan terisi penuh dengan muatan 4.8 ton saat musim puncak.
Gambar 2.1 Kapal perikanan tonda di PPP Pondokdadap
Alat Tangkap
Jumlah alat tangkap pada perikanan tonda berfluktuasi selama 5 tahun
terakhir. Jumlah alat tangkap tonda tahun 2008 berjumlah 344 unit, mengalami
penurunan pada tahun 2009 dan 2010 masing-masing menjadi 301 unit dan 201
unit. Peningkatan terjadi pada tahun 2011 menjadi 281 unit dan tahun 2012
menjadi 366 unit (UPPPP Pondokdadap 2013). Alat tangkap yang digunakan pada
unit perikanan tonda adalah pancing. Jenis pancing yang digunakan memiliki
komponen yang hampir sama, yaitu terdiri dari tali pancing, mata pancing, swivel,
pemberat, dan umpan (Gambar 2.2).
Gambar 2.2 Komponen alat tangkap pada unit perikanan tonda
7
Nelayan
Nelayan unit perikanan tonda di PPP Pondokdadap terdiri atas nelayan
lokal dan nelayan andon. Nelayan lokal adalah nelayan yang menetap di daerah
setempat, sementara nelayan andon adalah nelayan yang berasal dari luar daerah
dan hanya datang saat musim ikan. Nelayan disetiap kapal berjumlah 5-6 orang,
dimana untuk kapal andon sebagian besar nelayan berasal dari luar daerah seperti
Kalimantan dan Sulawesi, sementara untuk kapal lokal sebagian nelayan berasal
dari daerah setempat dan sebagian lainnya berasal dari luar daerah seperti
Banyuwangi. Sebagian besar responden memiliki tingkat pendidikan terakhir
Sekolah Dasar (SD) dan sebagian lainnya memiliki pendidikan tingkat SMP atau
SMA.
Rumpon
Penggunaan rumpon sebagai alat bantu pada perikanan tonda sangat
diminati oleh nelayan, dikarenakan keberadaan rumpon membantu nelayan untuk
memperoleh ikan dengan jumlah yang lebih banyak dan daerah penangkapan
menjadi lebih pasti. Rumpon yang dimiliki oleh nelayan tonda biasanya berasal
dari modal pribadi (bukan bantuan pemerintah), dengan biaya pembuatan rumpon
antara Rp40 000 000-Rp50 000 000. Setiap 1 rumpon biasanya dimanfaatkan oleh
5-9 kapal tonda, dengan jarak antar rumpon berkisar antara 10-15 mil. Rumpon
dipasang pada wilayah perairan dengan jarak berkisar antara 50-200 mil dari garis
pantai atau pada 80-13
0 LS. Komponen rumpon terdiri dari tali, pelampung,
pemberat, rumbai, dan ban (Tabel 2.1 dan Gambar 2.3), dengan spesifikasi
sebagai berikut:
Tabel 2.1 Spesifikasi rumpon perikanan tonda di PPP Pondokdadap
Komponen Bahan dan Jumlah
Tali Berbahan serat merek Seagul, tali brebes (ukuran 22-24, berkisar
antara 60-100 gulung), dan nylon. Jumlahnya berkisar antara 38-
42 gulung dengan masing-masing gulung sepanjang 220 meter
Pelampung Besi baja (berbentuk peluru), gabus (panjang 4 meter, lebar 1
meter, dan tinggi 70 meter)
Pemberat Batu andem (berat 10-25 kg), beton cor (40 blok)
Rumbai Tali rafia, daun kelapa
Ban Ban karet (bagian luar)
Pemanfaatan tiap rumpon hanya boleh dilakukan oleh anggota kelompok,
dan tiap kelompok tidak boleh memanfaatkan rumpon kelompok lain, kecuali
kelompok tersebut mengizinkan. Tidak ada aturan tertulis dalam hal ini, aturan
tersebut hanya berdasarkan kesepakatan diantara nelayan tonda saja. Rumpon
milik beberapa kelompok nelayan juga tidak dijaga secara khusus, jadi saat musim
barat dan banyak nelayan tidak melaut, rumpon hanya dibiarkan di perairan,
sehingga terkadang ada rumpon yang hilang. Beberapa kelompok lainnya ada
yang membuat kesepakatan untuk menjaga rumpon, yaitu dengan bergantian
dalam melakukan operasi penangkapan sehingga rumpon milik kelompok tersebut
tetap dapat diawasi oleh anggota kelompok.
8
Besi baja (berbentuk peluru), sebagai
pelampung rumpon
Ban, untuk mengikatkan kapal yang
ingin bersandar di dekat rumpon
Daun kelapa atau tali rafia sebagai
atraktor
Batu, sebagai pemberat atraktor
Batu andem dan beton cor sebagai
pemberat rumpon
Gambar 2.3 Ilustrasi bentuk rumpon perikanan tonda di PPP Pondokdadap
Metode Penangkapan Ikan
Pancing dimodifikasi lagi oleh nelayan ketika dioperasikan, disesuaikan
dengan metode penangkapan dan target tangkapan yang diinginkan. Penangkapan
yang dilakukan nelayan perikanan tonda di Sendang Biru terdiri atas 7 jenis
pancing, yang namanya disesuaikan dengan metode penangkapan pancing
tersebut, yaitu pancing tonda, layangan, ulur, batuan, coping, taber, dan
tomba/umbar-umbaran. Penggunaan metode-metode tersebut disesuaikan dengan
kondisi perairan saat penangkapan berlangsung dan tidak ada urutan pasti dalam
penggunaan jenis pancing. Sebagian besar nelayan melakukan operasi
penangkapan selama 10 hari, namun jika hasil tangkapan yang diperoleh
melimpah nelayan kembali ke pelabuhan dalam waktu yang lebih cepat. Lamanya
waktu operasi untuk masing-masing jenis pancing juga tidak pasti, jika nelayan
merasa penggunaan suatu jenis pancing tidak efektif untuk menangkap ikan, maka
nelayan akan mengganti metode penangkapan dengan menggunakan jenis pancing
yang lainnya. Berikut adalah jenis pancing dan metode operasi yang digunakan
pada unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap:
(1) Pancing tonda
Pancing tonda merupakan jenis pancing yang pengoperasiannya dilakukan
dengan cara menonda (menarik) dengan spesifikasi alat seperti pada Tabel 2.2.
Penondaan dilakukan dengan mengikatkan tali pancing di bagian belakang
(buritan) kapal dan bagian samping kapal, lalu pancing diulurkan ke dalam
perairan dan ditonda dengan menyusuri wilayah perairan di sekitar rumpon
(Gambar 2.4). Operasi pancing tonda biasanya dilakukan pada pagi hari, sekitar
pukul 06.00 WIB dengan target tangkapan cakalang, tongkol, dan tuna kecil.
9
Tabel 2.2 Spesifikasi pancing tonda di PPP Pondokdadap
Komponen Bahan dan ukuran
Tali pancing Nylon 150 (tali pancing), nylon 250 (tali pegangan di kapal)
Mata pancing
Pemberat
Ukuran no. 6 atau 7, 3 buah mata pancing diikatkan menjadi
satu sehingga menjadi mata pancing dengan 3 kait
Timbal
Umpan Bulu kain sutera mengkilat (berwarna merah, hijau, atau
oranye)
Gambar 2.4 Ilustrasi metode penangkapan pancing tonda
(2) Pancing layangan
Metode operasi pancing layangan adalah dengan mengulurkan pancing
yang sudah diikatkan umpan cumi karet ke dalam perairan, lalu layangan yang
sudah diikatkan tali diterbangkan. Tali layangan harus ditarik ulur agar
menimbulkan percikan-percikan atau gerakan di air yang berfungsi untuk menarik
ikan (Gambar 2.5). Pancing layangan biasanya dioperasikan pada pagi hari,
setelah matahari terbit, sekitar pukul 06.30 WIB. Hasil tangkapan dominan
pancing layangan adalah ikan tuna, marlin, dan albakora.
Tabel 2.3 Spesifikasi pancing layangan di PPP Pondokdadap
Komponen Bahan dan ukuran
Tali pancing Nylon 150 (tali pancing), nylon 250 (tali untuk pegangan
nelayan), nylon 70 (tali dari kili-kili ke mata pancing)
Mata pancing
Pemberat
Ukuran no. 2 atau 3, 3 buah mata pancing digabungkan
menjadi satu, sehingga memiliki 3 kait
Timbal
Umpan Cumi karet, ikan terbang tiruan (dari kayu)
Layangan Kertas manila
arah kapal
arah arus
10
Gambar 2.5 Ilustrasi metode penangkapan pancing layangan
(3) Pancing ulur
Pancing ulur dioperasikan sesaat setelah mesin kapal dimatikan dan posisi
kapal berada di dekat rumpon. Operasi pancing ulur dilakukan dengan cara
mengulurkan mata pancing ke dalam perairan, lalu ditarik ulur untuk menarik
perhatian ikan di sekitar rumpon, ketika mata pancing telah mengenai ikan, tali
pancing ditarik secara perlahan ke atas kapal. Target tangkapan pancing ulur
adalah ikan tongkol dan cakalang. Spesifikasi pancing ulur sangat sederhana,
hanya terdiri dari tali pancing, mata pancing, penggulung, dan umpan (Tabel 2.4).
Tabel 2.4 Spesifikasi pancing ulur di PPP Pondokdadap
Komponen Bahan dan ukuran
Tali pancing Nylon 150
Mata pancing Ukuran no 6 atau 7
Pemberat Timbal
Umpan Bulu kain sutera mengkilat
(4) Pancing batuan
Pengoperasian pancing batuan sama seperti pancing ulur, namun pancing
batuan memakai batu yang diikatkan pada tali pancing. Operasi dilakukan dengan
mengulurkan pancing hingga mencapai kedalaman sekitar 40 meter, lalu
dihentakkan (Gambar 2.6). Gerakan karena hentakan dari batu-batu tersebut
dianggap dapat menarik perhatian ikan sehingga ikan mendekati mata pancing.
Umpan yang digunakan biasanya adalah cumi segar. Hasil tangkapan dominan
dari pancing batuan adalah ikan tuna dan marlin. Adapun spesifikasi alat tangkap
pancing batuan adalah:
Tabel 2.5 Spesifikasi pancing batuan di PPP Pondokdadap
Komponen Bahan dan ukuran
Tali pancing Nylon 120-150
Mata pancing
Pemberat
Ukuran no 3 atau 4
Timbal
Umpan Cumi segar
arah arus
arah kapal
11
arah kapal
Gambar 2.6 Ilustrasi metode penangkapan pancing batuan
(5) Pancing coping
Pancing coping merupakan sebutan nelayan perikanan tonda di Sendang
Biru untuk jenis pancing yang menggunakan umpan sendok yang sudah
dibengkokkan atau plastik transparan yang diris-iris panjang. Penggunaan pancing
dengan metode coping adalah dengan mengulurkan tali pancing ke dalam
perairan, lalu digerak-gerakkan. Gerakan dari sendok yang sudah diikatkan pada
tali pancing diduga dapat menarik perhatian ikan. Tali pancing akan ditarik ke
atas kapal saat ikan sudah mengenai mata pancing. Jenis ikan yang biasanya
menjadi target tangkapan pancing coping adalah ikan tongkol dan cakalang.
Adapun spesifikasi dari pancing coping sebagai berikut:
Tabel 2.6 Spesifikasi pancing coping di PPP Pondokdadap
Komponen Bahan dan ukuran
Tali pancing Nylon 150
Mata pancing
Pemberat
Ukuran no 6 atau 7
Timbal
Umpan Sendok atau plastik transparan
(6) Pancing taber
Metode operasi pancing taber sama seperti pada pancing tonda, namun tali
utama pada pancing taber memiliki beberapa tali cabang, dimana pada setiap tali
cabang memiliki mata pancing. Jenis pancing taber ini disebut juga pancing rawai,
yang memiliki tali utama dan tali cabang. Setiap 1 tali utama memiliki sekitar 47
tali cabang dan 47 mata pancing (Gambar 2.7). Spesifikasi pancing taber juga
tidak jauh berbeda dengan pancing tonda (Tabel 2.7). Pancing taber dioperasikan
saat subuh, sekitar pukul 04.30 WIB. Target tangkapan pancing taber adalah jenis
ikan tuna, cakalang dan marlin.
arah arus
12
Tabel 2.7 Spesifikasi pancing taber di PPP Pondokdadap
Komponen Bahan dan ukuran
Tali pancing Nylon damil warna perak 200 (tali utama), nylon 120 (tali
cabang)
Mata pancing
Pemberat
Ukuran no 3 atau 4, setiap satu tali utama memiliki 30-40 mata
pancing (jarak antar pancing 1.5 meter)
Timbal
Umpan Bulu kain layar hijau, campuran kain sutera
Gambar 2.7 Ilustrasi metode penangkapan pancing taber
(7) Pancing tomba/”umbar-umbaran”
Pengoperasian pancing tomba atau pancing “umbar-umbaran” dilakukan
dengan cara menghanyutkan pelampung plastik di depan rumpon dengan arah
menghadang arus. Pelampung tersebut dihanyutkan setelah diikatkan dengan tali
terlebih dahulu (Gambar 2.8). Setiap satu pelampung diikatkan dengan tali
pancing yang memiliki 1 mata pancing, dengan kedalaman pancing yang
diulurkan sekitar 35 depa atau 75 meter, jika target tangkapan mengenai mata
pancing maka tali pancing akan ditarik ke atas kapal. Hasil tangkapan
dominannya adalah ikan tuna. Adapun spesifikasi alat tangkap pancing tomba
sebagai berikut:
Tabel 2.8 Spesifikasi pancing tomba di PPP Pondokdadap
Komponen Bahan dan ukuran
Tali pancing Nylon 150
Mata pancing Ukuran no. 3 atau 4
Pelampung
Pemberat
Jirigen/drum plastik
Timbal
Umpan Cumi karet
arah arus
arah kapal
13
Gambar 2.8 Ilustrasi metode penangkapan pancing tomba
Musim Penangkapan Ikan
Musim penangkapan terbagi atas 3 musim, yaitu (a) musim puncak (banyak
ikan) berlangsung pada bulan April-Oktober, (b) musim sedang yang terjadi pada
bulan November-Desember, dan (c) musim paceklik (musim barat) pada bulan
Januari-Maret. Pada saat musim barat banyak nelayan yang memilih tidak melaut,
dikarenakan kondisi cuaca yang buruk dan gelombang yang besar. Nelayan yang
tidak melaut memanfaatkan musim barat untuk memperbaiki kapal atau alat
tangkap, sementara beberapa nelayan tonda yang melaut beroperasi di rumpon
terdekat, yaitu wilayah perairan sekitar 50 mil. Pada musim puncak, ikan tuna
menjadi hasil tangkapan dominan, sedangkan pada musim paceklik, ikan tongkol
dan cakalang menjadi jenis yang paling banyak ditangkap oleh nelayan.
3 METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2013 di Pelabuhan Perikanan
Pantai (PPP) Pondokdadap, Dusun Sendang Biru, Desa Tambakrejo, Kecamatan
Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur (Gambar 3.1).
Pelabuhan ini berada pada posisi 8028’ LS dan 112
040’ BT dimana secara
geografis dikelilingi oleh kawasan hutan pegunungan (UPPP Pondokdadap 2012).
Dusun Sendang Biru Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Kedungbanteng,
Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Tambaksari, Sebelah Selatan berbatasan
dengan Samudera Hindia, dan Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Sitiarjo.
arah arus
arah kapal
14
Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian
Metode Pengumpulan Data
Data diperoleh melalui wawancara dan survei berdasarkan kuesioner yang
telah dibuat sebelumnya. Survei yang dilakukan hanya terbatas pada pengamatan
di PPP Pondokdadap dan Dusun Sendang Biru, peneliti tidak mengikuti operasi
penangkapan yang dilakukan oleh nelayan. Kuesioner dibuat dalam bentuk
pertanyaan terbuka untuk mendapatkan informasi lebih detail dari responden.
Sampel untuk setiap responden diambil secara sengaja dengan menggunakan
metode purposive sampling. Metode purposive sampling adalah suatu teknik
penentuan sampel yang dilakukan secara sengaja berdasarkan pertimbangan
tertentu (Sugiyono 2007). Pertimbangan tersebut didasarkan pada karakteristik
tiap sampel yang akan diambil. Seseorang atau sesuatu diambil sebagai sampel
karena peneliti menganggap bahwa seseorang atau sesuatu tersebut memiliki
informasi yang diperlukan bagi penelitiannya. Responden yang dijadikan sampel
merupakan responden kunci dari unit perikanan tonda. Responden tersebut
mewakili orang-orang yang terlibat dalam perikanan tonda seperti pelaku dan
stakeholder perikanan, yaitu pemilik dan nakhoda kapal 11 orang, pengambek 2
orang, Kepala UPPPP Pondokdadap 1 orang, dan Kepala seksi perikanan tangkap
DKP Kabupaten Malang 1 orang. Penentuan jumlah responden tidak diperlukan
dalam penelitian ini, karena peneliti akan berhenti dalam proses pengambilan data
saat data yang diperoleh dari responden dianggap mencukupi tujuan penelitian.
15
Metode Analisis Data
Sistem perikanan tonda dianalisis dengan menggunakan pendekatan Soft
System Methodology (SSM), yang dikembangkan oleh Peter Checkland pada akhir
tahun 1960-an di Universitas Lancaster, Inggris. Soft System Methodology (SSM)
merupakan alat analisis untuk suatu model, namun beberapa tahun selanjutnya
digunakan sebagai suatu alat analisis pengembangan (Williams 2005). Metode ini
dikembangkan untuk menghadapi situasi normal dimana orang-orang mempunyai
persepsi sendiri mengenai dunia dan membuat judgements dengan menggunakan
nilai mereka sendiri. Metode ini merupakan metodologi action research yang
ditujukan untuk mengeksplorasi, menanyakan, dan belajar mengenai situasi
permasalahan yang tidak terstruktur agar dapat memperbaikinya. Checkland dan
Jim (1990) menyatakan bahwa secara teknis, SSM terdiri dari 7 tahap seperti yang
digambarkan pada Gambar 3.2, namun pada penelitian ini, analisis SSM hanya
dilakukan sampai tahap yang ke-4, yaitu membangun model konseptual
berdasarkan root definition. Adapun rincian dari masing-masing tahap sebagai
berikut:
(1) Tahap 1 dan 2 Find Out (menemukan), menggunakan rich picture dan
metode/teknik penstrukturan masalah dalam mencari situasi masalah;
(2) Tahap 3 Formulate Root Definition of Relevant System (memformulasi Root
Definition dari Sistem Relevan), mengidentifikasi stakeholders yang terlibat,
transformasi, Weltanschaungg (cara pandang), dan lingkungan untuk
kemudian membangun definisi sistem aktivitas manusia yang dibutuhkan
untuk memperbaiki situasi masalah;
(3) Tahap 4 Build conceptual models (membangun model konseptual),
berdasarkan root definition untuk setiap elemen yang didefinisikan, maka
kemudian membangun model konseptual yang dibutuhkan untuk mencapai
tujuan ideal;
(4) Tahap 5 Compare models and reality (membandingkan model dengan
realitas), membandingkan model sistem konseptual yang dibuat dengan apa
yang terjadi di dunia nyata (real world);
(5) Tahap 6 Define feasible and desirable change (menetapkan perubahan yang
layak), membuat debat publik dalam rangka mengidentifikasi perubahan
yang layak tersebut;
(6) Tahap 7 Take action (melakukan tindakan), membangun rencana aksi untuk
memperbaiki situasi masalah.
16
Gambar 3.2 Tujuh langkah dasar SSM
4 FORMULASI MASALAH PADA UNIT PERIKANAN
TONDA DENGAN RUMPON DI PPP PONDOKDADAP
Pendahuluan
Suatu sistem merupakan himpunan atau kombinasi dari bagian-bagian
yang membentuk sebuah kesatuan yang kompleks. Tidak semua kumpulan atau
gugus bagian dapat disebut sistem jika tidak memenuhi syarat adanya kesatuan
(unity), hubungan fungsional, dan tujuan yang berguna (Eriyatno 2003). Pendapat
yang serupa juga dikemukakan oleh Gordon (1984) dalam Rumajar (2001),
dimana sebuah sistem bukanlah seperangkat unsur yang tersusun secara tidak
teratur, tetapi terdiri dari unsur yang dapat dikenal saling melengkapi karena
adanya maksud dan tujuan atau sasaran yang sama. Lebih jauh dikemukakan
bahwa terdapat 5 karakteristik dari sistem, yaitu: (1) terdiri dari elemen-elemen
yang membentuk satu kesatuan sistem, (2) adanya tujuan dan saling
ketergantungan, (3) adanya interaksi antar elemen, (4) mengandung mekanisme
(transformasi), dan (5) ada lingkungan yang mengakibatkan dinamika sistem.
Suatu permasalahan dapat ditemukan solusinya jika menganalisis seluruh
bagian yang terdapat dalam sistem tersebut, seperti halnya permasalahan-
permasalahan yang terjadi dalam dunia perikanan. Perikanan di Indonesia yang
memiliki karakteristik multi-species dan multi-gear menyebabkan
kekompleksitasan masalah yang terjadi semakin bertambah. Perikanan tidak
hanya terkait masalah biologi dan ekologi saja, tetapi juga berkaitan erat dengan
ekonomi, sosial, budaya dan aspek lainnya. Oleh karena itu, pemecahan masalah
perikanan biasanya didekati melalui kerangka berpikir sistem.
SYSTEM THINKING
ABOUT REAL WORLD
MENENTUKAN SITUASI
MASALAH:
L1: Memahami situasi yang
bersifat problematik.
L2: Menggambarkan situasi
masalah
“ROOT DEFINITIONS’:
L3: Menentukan sistem
aktivitas (purposeful activity
systems) yang relevan
dengan situasi masalah.
MENGAMBIL TINDAKAN
UNTUK MELAKUKAN
PERBAIKAN:
L5: Bandingkan model (L4) dengan
dunia nyata (L2).
L6: Melakukan perubahan yang
diinginkan dan layak secara
sistematis.
L7: Melakukan tindakan untuk
memperbaiki situasi masalah
PENGEMBANGAN MODEL:
L4: Membangun model konseptual
berdasarkan “root definition”
REAL WORLD
17
Sistem perikanan tonda di PPP Pondokdadap, memiliki keterkaitan yang
erat diantara setiap aspek, yaitu aspek teknis, ekologi, sosial, kelembagaan, dan
ekonomi. Seluruh aspek tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan karena memiliki
hubungan yang berpengaruh antar satu sama lain. Aspek teknis yang merupakan
interpretasi dari semua kegiatan yang berhubungan dengan teknis pengoperasian
alat tangkap dan rumpon, saling bergantung satu sama lain pada aspek ekologi
yang merupakan interpretasi dari sumberdaya ikan di dalamnya. Aspek ekologi
tersebut akan berpengaruh terhadap aspek ekonomi yang menjadi ukuran
kelayakan usaha perikanan tonda, salah satunya dapat dilihat melalui nilai
pendapatan (keuntungan) optimal yang dapat diperoleh nelayan. Aspek ekonomi
memiliki hubungan saling ketergantungan dengan dengan aspek sosial seperti
kondisi yang terjadi di masyarakat sekitar dengan adanya fungsi ekonomi
tersebut. Aspek sosial tersebut nantinya akan memiliki keterkaitan dengan aspek
kelembagaan yang menjadi dasar pengaturan aspek-aspek sebelumnya (teknis,
ekologi, ekonomi). Tujuan dari pembahasan secara mendalam setiap aspek pada
bab ini adalah untuk memberikan informasi mengenai permasalahan yang terjadi
sehingga permasalahan tersebut dapat diformulasikan dengan menggunakan rich
picture.
Metode
Pengungkapan masalah yang terjadi dalam sistem unit perikanan tonda
dengan rumpon di PPP Pondokdadap dilakukan dengan menggunakan metode
deskriptif analitik, yaitu dengan menjelaskan permasalahan secara deskriptif
berdasarkan kondisi yang sebenarnya. Pengungkapan masalah pada metode SSM
dimulai dengan menjelaskan kondisi objek penelitian secara umum, lalu
dilanjutkan dengan mengkaji objek penelitian secara lebih mendalam dan
menyeluruh dengan melihat beberapa aspek yang terkait (Williams 2005). Aspek
kajian pada penelitian ini dibatasi pada aspek teknis, ekologi, ekonomi, sosial, dan
kelembagaan. Masalah tersebut nantinya akan digambarkan dalam rich picture.
Rich picture ini berguna untuk melihat pola hubungan tiap masalah pada aspek
kajian berdasarkan aktor yang terlibat. Hal-hal yang harus dimasukkan dalam rich
picture adalah pihak yang terlibat, konflik, struktur dan proses yang terjadi, serta
persoalan diantara para pihak (Williams 2005).
Hasil
Aspek Teknis
Nelayan Sendang Biru secara teknis menggunakan jenis alat tangkap,
rumpon, dan kapal yang sama pada unit perikanan tonda. Jenis alat tangkap yang
digunakan adalah pancing, dan kapal yang digunakan adalah jenis kapal sekoci
dengan ukuran rata-rata 10 GT. Perbedaannya hanya terletak pada urutan
penggunaan metode penangkapan oleh nelayan. Nelayan menamai jenis alat
tangkap sesuai dengan metode penangkapan yang digunakan. Penggunaan metode
penangkapan yang beragam dilatarbelakangi oleh jumlah hasil tangkapan yang
tidak pasti pada setiap operasi penangkapan.
18
Nelayan berangkat dari fishing base (pelabuhan) pada pagi atau sore hari
menuju fishing ground yang pertama. Fishing ground yang pertama adalah tempat
dimana nelayan meletakkan rumpon dengan jarak terdekat, yaitu sekitar 50 mil
dari garis pantai. Perjalanan dari fishing base ke fishing ground yang berjarak 50
mil sekitar 5 jam, sedangkan ke rumpon yang berjarak 100 mil keatas
menghabiskan waktu sekitar 1-3 hari. Nelayan menggunakan kompas dan GPS
untuk membantu mencari lokasi rumpon kelompoknya. Nelayan baru melakukan
operasi penangkapan dengan metode penangkapan yang sesuai dengan kondisi
perairan saat itu setelah menemukan rumpon milik kelompoknya (Gambar 4.1).
Pemasangan rumpon nelayan tonda saat ini semakin jauh, hal ini disebabkan
karena terbatasnya area penangkapan pada wilayah perairan dekat pantai. Perairan
di dekat pantai telah dipenuhi oleh rumpon milik nelayan jenis alat tangkap lain,
seperti nelayan payang atau purse seine. Rumpon milik nelayan tonda akan rusak
jika nelayan tonda memaksakan untuk melakukan operasi penangkapan pada
wilayah dekat pantai, dikarenakan jenis dan metode pengoperasian alat tangkap
jaring seperti purse seine atau payang. Jaring akan lebih mudah tersangkut pada
rumpon jika jarak rumpon dengan daerah pengoperasian jaring terlalu dekat.
Gambar 4.1 Proses operasi penangkapan unit perikanan tonda
Sebagian besar nelayan tonda menggunakan pancing taber sebelum subuh,
dan akan melanjutkan menggunakan pancing tonda saat matahari terbit atau
sekitar pukul 06.30 WIB. Tidak ada aturan pasti mengenai urutan penggunaan
metode penangkapan yang dilakukan oleh nelayan pada setiap unit kapal tonda.
Nelayan akan menggunakan pancing layangan, pancing tomba, pancing batuan,
pancing coping atau pancing ulur jika nelayan merasa belum mampu menangkap
ikan dengan pancing tonda. Jenis metode penangkapan ini diperoleh berdasarkan
uji coba yang dilakukan oleh nelayan ketika mengoperasikan alat tangkap, dan
biasanya setiap nelayan mempunyai cara tersendiri dalam mengoperasikan alat
tangkapnya.
Rata-rata unit perikanan tonda dengan rumpon mampu memproduksi ikan
sebanyak 2.54 ton/trip pada musim paceklik dan 3.11 ton/trip pada musim puncak.
Fishing base Rumpon 1 (50 mil) Persiapan operasi
Operasi penangkapan DPI 1
Rumpon 2 (100 mil) Persiapan operasi
Operasi penangkapan DPI 2 Operasi
penangkapan
selesai dan seterusnya
19
Rata-rata nilai produktivitas alat tangkap tahun 2008-2012 secara berturut-turut
adalah 0.32 ton/unit, 0.40 ton/unit, 0.65 ton/unit, 0.27 ton/unit, dan 0.13 ton/unit.
Produktivitas tertinggi terdapat pada tahun 2010, padahal effort yang digunakan
sedikit. Hal ini diduga karena sumberdaya yang terdapat di daerah penangkapan
masih cukup banyak. Kondisi yang terjadi berlawanan terjadi pada tahun 2011
dan 2012. Effort yang digunakan meningkat, namun rata-rata nilai produktivitas
alat tangkap yang diperoleh kecil (Tabel 4.1). Rata-rata nilai produktivitas
berdasarkan jumlah nelayan pada tahun 2010 juga mengikuti rata-rata nilai
produktivitas berdasarkan jumlah alat tangkap yaitu sebesar 0.13 ton/orang (Tabel
4.2).
Tabel 4.1 Rata-rata produktivitas alat tangkap unit perikanan tonda dengan
rumpon di PPP Pondokdadap tahun 2008-2012
Tahun Alat tangkap
(unit)
Produksi per trip
(ton)
Produktivitas
(ton/unit)
2008 344 108.79 0.32
2009 301 119.30 0.40
2010 201 131.32 0.65
2011 281 76.02 0.27
2012 420 54.56 0.13
Tabel 4.2 Rata-rata produktivitas nelayan unit perikanan tonda dengan rumpon di
PPP Pondokdadap tahun 2008-2012
Tahun Nelayan
(orang)
Produksi per trip
(ton)
Produktivitas
(ton/orang)
2008 1720 108.79 0.06
2009 1505 119.30 0.08
2010 1005 131.32 0.13
2011 1405 76.02 0.05
2012 2100 54.56 0.03
Daerah pengoperasian alat tangkap dan pemasangan rumpon menjadi
permasalahan yang harus disoroti pada aspek teknis ini. Hal lain yang perlu
diperhatikan adalah jika jumlah nelayan yang mengoperasikan tonda semakin
meningkat. Peningkatan tersebut akan menyebabkan persaingan yang semakin
besar dalam memanfaatkan sumberdaya, yang akan berdampak pada aspek
ekologi yaitu terhadap sumberdaya ikan seperti menurunnya jumlah dan ukuran
hasil tangkapan yang diperoleh.
Aspek Ekologi
Jumlah dan jenis hasil tangkapan unit perikanan tonda yang didaratkan
cenderung tetap. Begitu pula dengan ukuran hasil tangkapan, untuk beberapa jenis
tidak mengalami perubahan selama 5 tahun terakhir, kecuali tuna yang mulai
mengalami perubahan ukuran (semakin kecil). Perubahan ukuran ikan tuna
diketahui berdasarkan hasil kuesioner. Hasil tangkapan tuna yang didaratkan di
PPP Pondokdadap pada bulan Desember dan Juni 2012 mempunyai berat berkisar
antara 15 kg hingga 76 kg per ekornya. Berat ikan cakalang sekitar 1.5-2.2 kg,
20
marlin 34 kg, tongkol 1.8 kg, dan lemadang 24 kg. Perubahan ukuran tuna akan
mempengaruhi nilai ekonomi yang diperoleh nelayan tonda jika dikaji secara
mendalam, seperti pengaruh ukuran ikan terhadap harga jual ikan tersebut.
Komposisi hasil tangkapan tonda per tripnya pada musim sedang seperti
pada bulan Desember terdiri atas ikan tuna, cakalang, tongkol, dan lemadang.
Ikan cakalang merupakan jenis yang paling banyak tertangkap pada bulan
Desember, yaitu sebanyak 527.83 kg atau 34% dari total tangkapan. Ikan
lemadang menjadi jenis tangkapan yang paling sedikit, hanya berjumlah 239.50
kg atau 16% dari total tangkapan (Gambar 4.2).
Gambar 4.2 Komposisi dan persentase hasil tangkapan tonda bulan Desember
tahun 2012 per jenis ikan (kg) per trip
Hasil tangkapan pada bulan Juni 2012 didominasi oleh jenis tuna
madidihang sebanyak 543.94 kg atau sebesar 43% jika dibandingkan dengan total
tangkapan, sementara itu, jenis yang paling sedikit tertangkap adalah ikan tuna
albakora yang berjumlah 79.33 kg atau 6 persen. Jenis ikan albakora ini mulai
tertangkap oleh nelayan unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP
Pondokdadap pada tahun 2011 (Gambar 4.3).
Gambar 4.3 Komposisi dan persentase hasil tangkapan tonda bulan Juni tahun
2012 per jenis ikan (kg) per trip
21
Aspek Ekonomi
Menurunnya ukuran hasil tangkapan secara tidak langsung akan
mempengaruhi nilai ekonomi yang diperoleh nelayan. Harga tiap jenis ikan
berbeda-beda, bergantung pada ukuran, jenis, dan musim ikan (musim puncak
atau musim paceklik). Ikan yang memiliki ukuran kecil untuk suatu jenis
cenderung memiliki harga yang rendah, apalagi jika ikan tersebut dipasarkan
disaat musim banyak ikan (puncak). Berdasarkan data produksi unit TPI-KUD
Mina Jaya per Juni dan Desember 2012 diketahui bahwa harga ikan tuna berkisar
antara Rp38 000/kg–Rp56 400/kg; cakalang Rp12 500/kg–Rp15 500/kg; tongkol
Rp7 500/kg–Rp8 500/kg; marlin Rp18 000/kg; lemadang Rp11 000/kg–Rp20
100/kg, dan albakora Rp19 000/kg (KUD Mina Jaya 2013).
Nilai produksi unit perikanan tonda dengan rumpon per trip di PPP
Pondokdadap selama 5 tahun terakhir (2008-2012) mengalami fluktuasi. Hal ini
terlihat dari Gambar 4.4 bahwa pada tahun 2008 nilai produksi unit perikanan
tonda berjumlah 1.43 miliar rupiah, dan mengalami penurunan pada tahun 2009
sebesar 19 persen. Nilai produksi tertinggi terdapat pada tahun 2010 senilai 1.65
miliar rupiah. Tingginya nilai produksi ini dikarenakan jumlah hasil tangkapan
unit perikanan tonda yang lebih tinggi pada tahun tersebut dibandingkan tahun-
tahun sebelum dan sesudahnya.
Sebagian besar hasil tangkapan unit perikanan tonda dengan rumpon
dipasarkan melalui proses pelelangan. Alur pemasaran hasil tangkapan dimulai
saat kapal mendaratkan hasil tangkapan. Hasil tangkapan tersebut diangkut oleh
manol ke TPI yang langsung diambil oleh pengambeknya masing-masing. Manol
adalah sebutan masyarakat Sendang Biru untuk orang yang bekerja sebagai
pengangkut hasil tangkapan dari kapal ke tempat penjualan, sementara
pengambek adalah orang yang bertugas untuk menjual ikan di Tempat Pelelangan
Ikan (TPI) dengan proses lelang. Pengambek juga bertindak sebagai pemberi
modal untuk keperluan operasi penangkapan (bahan kebutuhan melaut dan
kadang-kadang yang menyediakan rumpon).
Gambar 4.4 Nilai produksi per trip unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP
Pondokdadap tahun 2008-2012
Proses pelelangan di PPP Pondokdadap dikelola oleh Koperasi Unit Desa
(KUD) Mina Jaya. Selanjutnya, setelah proses pelelangan selesai dan pemenang
22
lelang telah ditentukan, hasil tangkapan menjadi milik pengusaha sebagai
pemenang lelang. Pengusaha selanjutnya akan membayar hasil tangkapan sesuai
harga yang telah ditetapkan ke KUD, dan KUD akan memberikan hasil penjualan
ikan tersebut kepada pengambek setelah dipotong retribusi sebesar 3 persen. Uang
tersebut yang nantinya dibagi untuk nakhoda, pemilik, ABK, dan pengambek
sesuai porsinya masing-masing (Gambar 4.5).
Gambar 4.5 Proses pelelangan ikan di TPI PPP Pondokdadap
Setiap pengusaha yang akan mengikuti proses pelelangan harus memenuhi
persyaratan terlebih dahulu, yaitu pengusaha harus memberikan jaminan ke KUD
dan mampu melunasi pembayaran atas pembelian hasil tangkapan maksimal 5
hari setelah proses pelelangan selesai. Pengusaha tersebut tidak diizinkan untuk
mengikuti proses pelelangan yang selanjutnya jika tidak dapat melakukan
pembayaran. Adapun daerah pemasaran untuk hasil tangkapan tonda antara lain
Malang, Kepanjen, Gondang Legi, dan Turen. Proses pelelangan tersebut
sebenarnya mampu meningkatkan pendapatan nelayan, namun dikarenakan
adanya permainan harga yang kadang-kadang dilakukan oleh pengambek
membuat nelayan mendapatkan harga yang lebih rendah dari yang seharusnya
terhadap penjualan hasil tangkapannya. Permainan harga yang dilakukan oleh
pengambek terjadi saat penimbangan berat hasil tangkapan yang dijual ke
pengambek. Ukuran berat yang tertera di timbangan hanya ada dalam satuan
kilogram, tidak ada satuan berat yang lebih kecil, misalnya saja nelayan
mendapatkan hasil tangkapan dengan berat 1.2 kg, namun yang dihitung oleh
pengambek hanya 1 kg. Kondisi tersebut banyak dikeluhkan oleh nelayan, karena
adanya perbedaan perhitungan berat dalam jumlah kecil sekalipun dianggap
merugikan nelayan.
Pembagian pendapatan antara pemilik dengan anak buah kapal (ABK)
pada unit perikanan tonda terdiri dari dua jenis, yang pertama yaitu pada
kepemilikan unit perikanan tonda nelayan Jawa pembagian pendapatannya adalah
50:50 dari pendapatan bersih yang diperoleh. Pembagian pendapatan pada unit
perikanan tonda milik nelayan asal Bugis atau Kalimantan didasarkan pada
kepemilikan dan status nelayan. Pemilik kapal mendapatkan 2 bagian,
kepemilikan setiap mesin 2 bagian, nakhoda 2 bagian, dan ABK masing-masing 1
bagian. Pendapatan tersebut bervariasi, bergantung dari banyak tidaknya hasil
tangkapan diperoleh. Namun, jika dilihat berdasarkan nilai rupiah yang diperoleh
tiap nelayan, tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua jenis
pembagian pendapatan tersebut. Perbaikan atau perawatan kapal biasanya
dilakukan dengan menyewa penguras. Penguras ini adalah sebutan bagi orang
Nelayan
Pengambek Kapal
mendarat Ikan
diangkut
Lelang di
TPI
Ikan diambil
pemenang
lelang
KUD Mina Jaya
Pembayaran
Pengambek Penyerahan uang
hasil lelang Bagi hasil
dengan nelayan
23
yang memperbaiki kapal, upahnya 10 persen dari pendapatan pemilik. Jika
dibandingkan dengan Upah Minimum Kabupaten (UMK) Malang tahun 2011
sebesar Rp1 077 600 (BPS Kabupaten Malang 2012), rata-rata pendapatan
nelayan tonda dianggap sudah layak, karena nilainya melebihi UMK (Tabel 4.3).
Tabel 4.3 Rata-rata pendapatan nelayan tonda (Rp) per trip
Jenis
nelayan
Bagi hasil per nelayan Jumlah
pendapatan (Rp) Jumlah
bagian
Jumlah nelayan
(orang)
Pendapatan per
nelayan (Rp)
Pemilik 50% 1 9 985 250 9 985 250
Nakhoda 50%
1 3 328 417 3 328 417
ABK 4 1 664 208 6 656 833
pendapatan per trip 19 970 500
Keterangan: Jumlah nelayan dalam 1unit kapal tonda adalah 6 orang
Kegiatan operasi penangkapan ikan yang dilakukan unit perikanan tonda
dengan rumpon di Sendang Biru dinilai menguntungkan. Perhitungan analisis
usaha yang dilakukan diperoleh bahwa keuntungan rata-rata unit perikanan tonda
sebesar Rp442 605 625/tahun dengan profitabilitas 2.27 persen (Lampiran 1).
Analisis keberlanjutan usaha perikanan tonda secara finansial juga layak untuk
dilanjutkan. Hal ini terlihat dari nilai yang diperoleh terhadap tiga kriteria
kelayakan yang digunakan, yaitu NPV bernilai positif, IRR lebih besar dari nilai
discount factor 10.09 persen (BI 2013), dan net B/C lebih besar dari 1 (Tabel 4.4).
Keuntungan yang cukup besar pada usaha perikanan tonda dengan rumpon di
Sendang Biru menjadi daya tarik bagi pemodal. Hal ini diduga merupakan salah
satu penyebab setiap tahunnya unit perikanan tonda di PPP Pondokdadap
mengalami peningkatan. Peningkatan ini akan mempengaruhi kondisi sosial
masyarakat nelayan, khususnya nelayan tonda di PPP Pondokdadap Sendang
Biru.
Tabel 4.4 Hasil analisis finansial pada unit perikanan tonda dengan rumpon di
PPP Pondokdadap
Kriteria Kelayakan Nilai
Net Present Value (NPV) 1 459 240 521 Internal Rate Return (IRR) 12.16 Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) 5.92
Aspek Sosial
Keberadaan perikanan tonda di Sendang Biru memberikan pengaruh
terhadap peningkatan pendapatan masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan
munculnya industri rumah tangga yang bergerak dibidang pengolahan ikan,
seperti industri pemindangan ikan tongkol dan abon ikan tuna. Jenis ikan tuna dan
cakalang segar yang dipasarkan pada tahun 2012 berjumlah 59 persen dari total
produk yang dipasarkan. Jumlah ikan olahan, seperti olahan pindang, asin, dan
abon ikan yang dipasarkan sebesar 41 persen (UPPPP Pondokdadap 2013).
Keberadaan unit perikanan tonda dengan rumpon menambah jumlah nelayan di
Sendang Biru. Penyebabnya adalah karena harga ikan yang semakin meningkat.
24
Peningkatan harga tersebut membuat keuntungan yang diperoleh nelayan juga
semakin besar, sehingga nelayan yang sudah lebih dahulu mengoperasikan unit
perikanan tonda di Sendang Biru mengajak temannya yang menjadi nelayan di
daerah lain untuk melakukan operasi penangkapan dan mendaratkan ikan di
Sendang Biru, hingga akhirnya banyak nelayan yang memutuskan untuk tinggal
di dusun Sendang Biru, bahkan ada beberapa yang sudah menjadi penduduk tetap.
Pengaruh lain dengan adanya perikanan tonda dengan rumpon adalah
adanya konflik yang terjadi dengan nelayan luar Sendang Biru, seperti nelayan
purse seine dari Pekalongan. Penyebab konflik adalah nelayan Pekalongan
tersebut menjarah ikan di rumpon milik nelayan tonda Sendang Biru. Hal serupa
juga pernah terjadi dengan nelayan asal Tuban. Kesepakatan mengenai
pemanfaatan rumpon diantara para nelayan tonda Sendang Biru sebenarnya telah
dibuat pada tahun 2010, yaitu tidak memanfaatkan rumpon kelompok nelayan lain
tanpa izin dari kelompok tersebut dan tidak diperbolehkan menerima hasil
tangkapan dari nelayan jaring (seperti purse seine dan payang), jika melanggar
akan dikenakan denda. Konflik diantara nelayan tonda Sendang Biru yang pernah
terjadi yaitu pemanfaatan rumpon tanpa izin milik suatu kelompok nelayan oleh
kelompok lainnya menunjukkan bahwa kesepakatan yang telah dibuat tidak
berjalan. Kondisi ini menunjukkan bahwa masih kurangnya kekompakan diantara
nelayan. Hubungan antara nelayan dalam kehidupan bermasyarakat secara
keseluruhan berjalan cukup baik, begitu pula hubungan nelayan dengan
pengambek. Ketergantungan secara ekonomi dikedua belah pihak merupakan
penyebab hubungan ini terus berjalan. Nelayan membutuhkan pengambek untuk
memberikan pinjaman modal dan pembiayaan operasional penangkapan, dan
pengambek membutuhkan nelayan untuk mendapatkan pendapatan guna
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Semua permasalahan yang terjadi dalam
aspek sosial ini dapat diminimalisir dengan dukungan kelembagaan, baik yang
bersifat formal maupun informal seperti organisasi nelayan Rukun Jaya.
Aspek Kelembagaan
Nelayan Sendang Biru membentuk kelompok nelayan sesuai dengan unit
penangkapan masing-masing, yaitu Tonda Jaya untuk unit tonda/sekoci, Rukun
Mulia untuk unit purse seine dan payang, dan Dayung Abadi untuk unit jukung.
Seluruh kelompok tersebut diwadahi oleh organisasi nelayan yang utama yaitu
Rukun Jaya. Organisasi ini berfungsi sebagai wadah untuk mempersatukan
seluruh nelayan Sendang Biru, penyalur aspirasi nelayan, mengumpulkan dan
menginformasikan bantuan, dan membantu nelayan seperti dalam proses
perizinan pengoperasian kapal dan alat tangkap (Gambar 4.6). Tidak semua
nelayan menjadi anggota, ada beberapa nelayan yang tidak ikut karena merasa
tidak ingin terikat.
Pengawas perikanan di PPP Pondokdadap tidak mampu untuk mengawasi
pengoperasian unit perikanan tonda, dikarenakan wilayah operasi nelayan unit
perikanan tonda sangat jauh, sehingga diperlukan bantuan dan peran masyarakat
nelayan. Peran kelembagaan khususnya organisasi nelayan dalam mengatur
perikanan sebenarnya cukup besar, salah satunya dengan menjaga keamanan laut
dari penjarahan unit penangkapan milik nelayan luar terhadap wilayah operasi
penangkapan nelayan setempat dan sumberdaya ikan yang terdapat di dalamnya.
25
Penjagaan tersebut dapat dilakukan dengan membantu pengawasan wilayah
perairan. Peran tersebut harus didukung dengan partisipasi aktif dari seluruh
masyarakat nelayan. Kondisi yang sering terjadi adalah suatu organisasi nelayan
belum cukup mampu untuk membantu mengatur perikanan di suatu wilayah. Hal
tersebut dikarenakan posisi organisasi nelayan dalam masyarakat belum cukup
kuat, sehingga masyarakat belum sepenuhnya mematuhi peraturan-peraturan lokal
yang memang telah menjadi kesepakatan masyarakat nelayan di wilayah
setempat, seperti halnya yang terjadi di dusun Sendang Biru.
Gambar 4.6 Alur proses perizinan yang dilakukan oleh organisasi nelayan Rukun
Jaya
Perizinan pengoperasian kapal, alat tangkap, dan rumpon sudah dilakukan,
namun belum seluruh kapal. Perizinan ini pun ternyata mengalami kendala,
seperti pada proses pengurusan surat-surat yang cenderung lama dan biaya yang
mahal. Kurangnya koordinasi dari pihak terkait merupakan salah satu penyebab
lamanya proses pengurusan surat izin tersebut. Akibatnya nelayan lebih sering
mengoperasikan kapal dan alat tangkap tanpa izin yang dikeluarkan oleh dinas
terkait. Beberapa unit perikanan tonda di PPP Pondokdadap hanya memiliki Pas
kecil dan SIUP (Surat Izin Usaha Penangkapan Ikan). Rumpon yang dipasang
nelayan di perairan juga tidak memiliki izin dari pemerintah, sehingga adanya
penambahan atau pengurangan jumlah rumpon setiap periode waktu tertentu tidak
tercatat. Hal ini tentunya akan menimbulkan efek negatif karena adanya jumlah
kapal, alat tangkap, dan rumpon yang tidak terkendali dan tidak diatur akan
menimbulkan masalah, diantaranya adalah konflik antar nelayan karena perebutan
sumberdaya ikan dan berkurangnya sumberdaya ikan yang layak tangkap di
wilayah penangkapan nelayan unit perikanan tonda Sendang Biru.
Kenyataan lainnya yang harus menjadi perhatian adalah kurangnya
pemahaman nelayan sebagai pelaku utama kegiatan penangkapan dalam hal
Pemilik kapal Pengumpulan
berkas oleh
Rukun Jaya
Unit Pengelola
PPP
Pondokdadap
- SIUP
- SIPI/SIKPI
Dinas Perikanan
dan Kelautan
Provinsi Jawa
Timur yang
bertempat di
Surabaya
Petugas DKP
Tingkat I melakukan
cek fisik kapal
Pembayaran biaya
pembuatan surat izin
oleh pemilik kapal
Dinas Perhubungan Laut
(Bagian Kesyahbandaran),
dan ahli ukur melakukan
pengukuran
- Surat ukur - Gross akte
- Sertifikat kelaikan
- Pas Kecil/Pas besar/Pas tahunan
Kantor Dishubla di
Probolinggo
26
perizinan. Sebagian besar responden nelayan tidak tahu bagaimana peraturan
mengenai penangkapan dan wilayah operasi penangkapan serta pentingnya aturan
tersebut terhadap keberlangsungan perikanan. Beberapa kali sosialisasi mengenai
peraturan pernah diadakan, tapi sebagian besar nelayan tidak ikut dalam kegiatan
tersebut, sosialisasi biasanya hanya diketahui oleh pengambek.
Penggambaran Masalah dengan Rich Picture
Kekompleksitasan masalah yang terjadi pada sistem perikanan tonda
dengan rumpon dapat diselesaikan dengan cara melihat permasalahan tersebut
secara utuh dalam satu kesatuan sistem, sehingga penyelesaian secara menyeluruh
dapat dilakukan pada setiap aspek kajian. Penyelesaian masalah tersebut dapat
dibantu dengan memformulasikan masalah menggunakan rich picture yang
menggambarkan aktor, proses, dan keseluruhan masalah yang terjadi dalam
sistem (Gambar 4.7).
Pengoperasian alat tangkap dan pemasangan rumpon secara teknis
melibatkan nelayan unit perikanan tonda dan nelayan jaring Sendang Biru.
Nelayan tonda pada awalnya mengoperasikan alat tangkap di wilayah perairan
dekat pantai. Namun, dikarenakan nelayan jaring banyak yang mengoperasikan
alat tangkap pada wilayah perairan yang sama membuat nelayan tonda
mengoperasikan alat tangkapnya di wilayah perairan yang semakin jauh, dengan
jarak sekitar 50-200 mil laut. Harga jual hasil tangkapan yang meningkat menjadi
peluang besar bagi nelayan untuk mendapatkan keuntungan dari pengoperasian
unit perikanan tonda, sehingga nelayan unit perikanan tonda Sendang Biru
mengajak nelayan tonda luar untuk ikut bekerjasama mengoperasikan unit
perikanan tonda di Sendang Biru. Kondisi ini secara langsung akan meningkatkan
upaya penangkapan pada wilayah perairan yang menjadi daerah pengoperasian
unit perikanan tonda. Peningkatan upaya penangkapan ini akan mempengaruhi
aspek ekologi, khususnya sumberdaya ikan.
Nelayan mengeluhkan bahwa ukuran hasil tangkapan unit perikanan tonda
saat ini, khususnya ikan tuna, mengalami penurunan. Perubahan pada aspek
ekologi ini akan mempengaruhi aspek ekonomi, yaitu terjadinya penurunan harga
jual yang akan mempengaruhi nilai pendapatan yang diperoleh nelayan.
Permainan harga yang dilakukan oleh pengambek saat proses pelelangan juga
dianggap merugikan nelayan. Berat hasil tangkapan yang ditimbang dan
dilaporkan pada nelayan telah berkurang dari berat sebenarnya merupakan
kenyataan yang terjadi saat ini.
Kondisi sosial yang berkaitan dengan aspek teknis, ekologi, dan ekonomi
menambah permasalahan pada sistem perikanan tonda di Sendang Biru.
Permasalahannya adalah konflik yang terjadi antara nelayan tonda Sendang Biru
dengan nelayan jaring luar Sendang Biru karena pemanfaatan tanpa izin dan
melakukan penangkapan di rumpon milik nelayan unit perikanan tonda Sendang
Biru. Hubungan ketergantungan antara nelayan dengan pengambek secara
ekonomi membuat nelayan tidak pernah terlepas dari beban hutang yang terus
menumpuk. Kekuatan modal ekonomi yang dimiliki sebagian besar nelayan masih
rendah. Hal lainnya adalah masih kurangnya kekompakan diantara nelayan,
seperti dalam menjaga keamanan daerah penangkapan.
27
Gambar 4.7 Rich picture unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap
27
28
Kelemahan dalam kondisi sosial secara tidak langsung akan
mempengaruhi kondisi kelembagaan dalam sistem perikanan tonda dengan
rumpon di PPP Pondokdadap. Rukun Jaya yang merupakan organisasi nelayan
yang menyatukan seluruh masyarakat nelayan belum berperan maksimal dalam
membantu pemerintah untuk melakukan pengawasan perairan. Rukun Jaya telah
berperan secara aktif dalam hal perizinan pengoperasian alat tangkap dan kapal,
hanya saja kurangnya pengawasan dan koordinasi pada lembaga pemerintahan
membuat proses pengurusan perizinan menjadi tidak sesuai dengan peraturan
yang telah ditetapkan. Hal yang sering dikeluhkan nelayan adalah lamanya proses
pengurusan dan biaya yang mahal, sehingga cenderung membuat nelayan tidak
terlalu memperhatikan lagi pentingnya surat-surat izin tersebut.
Keseluruhan permasalahan yang saling terkait yaitu persaingan wilayah
penangkapan, pemanfaatan rumpon dan upaya penangkapan yang meningkat,
permainan harga oleh pengambek saat pelelangan, perubahan ukuran ikan, konflik
horizontal, proses perizinan yang lama dan mahal, serta kurangnya pengawasan
perairan oleh pemerintah dan masyarakat memerlukan pemecahan masalah secara
menyeluruh dari seluruh aspek kajian. Pemecahan masalah tersebut berfungsi
untuk memperbaiki sistem perikanan tonda yang ada sehingga menjadi lebih baik.
Solusi terhadap permasalahan yang terjadi secara lebih detail akan dijelaskan pada
Bab 5.
Pembahasan
Pengoperasian alat tangkap pancing dengan metode penangkapan yang
beragam pada unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap
merupakan salah satu indikasi bahwa nelayan tonda memiliki kemampuan yang
cukup baik dalam mengoperasikan alat tangkap secara teknis. Kemampuan
tersebut biasanya didasarkan pada pengalaman melaut nelayan. Perolehan hasil
tangkapan yang tidak pasti pada setiap kali operasi penangkapan membuat
nelayan dituntut untuk memiliki kreativitas dalam mengembangkan metode atau
cara penangkapan untuk memperoleh target tangkapan yang optimal. Terlebih lagi
dengan terbatasnya wilayah penangkapan yang menjadi permasalahan teknis pada
sistem perikanan tonda di PPP Pondokdadap. Keterbatasan tersebut dikarenakan
semakin banyaknya rumpon yang dipasang di perairan. Pemanfaatan rumpon di
Sendang Biru tidak hanya dilakukan oleh nelayan unit perikanan tonda saja,
melainkan juga oleh unit perikanan lainnya seperti purse seine. Sondita (2011)
menyatakan bahwa pemanfaatan rumpon tidak hanya terbatas pada alat bantu
penangkapan yang mengumpulkan ikan sehingga nelayan dapat menghemat biaya
operasional dan daerah penangkapan menjadi lebih pasti. Rumpon dapat
dimanfaatkan sebagai salah satu alat untuk mengelola sumberdaya perikanan,
khususnya sumberdaya ikan pelagis. Rumpon bisa dijadikan alat untuk menilai
jumlah ikan yang dapat ditangkap, kelayakan ikan yang ditangkap (jenis dan
ukuran ikan), dan menentukan pembagian ikan diantara nelayan. Fungsi tersebut
akan dapat berjalan jika seluruh pihak telah benar-benar mengerti tentang
pemanfaatan rumpon secara tepat. Habibi et al. (2011) menyatakan bahwa
terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemasangan dan
penempatan rumpon di perairan, diantaranya penggunaan bahan pembuat rumpon
29
yang berasal dari bahan organik dan dapat terdegradasi secara alami, pola
pemasangan tidak boleh menghalangi pola alami ruaya ikan, hindari penempatan
rumpon pada daerah yang sering dipergunakan oleh nelayan lain, dan jarak antar
satu rumpon dengan rumpon lainnya harus lebih dari 10 mil laut. Pemanfaatan
rumpon yang semakin meningkat seiring dengan peningkatan pengoperasian unit
perikanan tonda di perairan. Kemungkinan yang akan terjadi jika pemanfaatan
rumpon menjadi tidak terkendali adalah semakin banyak jumlah rumpon yang
dipasang, terjadinya overfishing, dan berpengaruh terhadap fungsi ekologi yaitu
sumberdaya ikan yang terdapat di perairan. Kondisi ini terlihat dari perhitungan
nilai rata-rata produktivitas alat tangkap dan nelayan yang menurun pada tahun
2011 dibanding pada tahun 2010, yaitu sebesar 0.13 ton/unit dan 0.03 ton/orang.
Berdasarkan wawancara dengan responden diketahui bahwa ukuran hasil
tangkapan yang diperoleh pada setiap trip cenderung menurun, khususnya jenis
ikan tuna. Kecenderungan menurunnya ukuran hasil tangkapan ini merupakan
salah satu indikasi terjadinya tekanan penangkapan di wilayah pengoperasian unit
perikanan tonda, yaitu di sekitar Samudera Hindia. Zulbainarni (2012)
menyatakan bahwa sumberdaya perikanan yang bersifat common property
(kepemilikan bersama) memungkinkan terjadinya pemanfaatan secara berlebih
sehingga menimbulkan inefisiensi dalam penggunaan input, return yang rendah,
dan overfishing (tangkap lebih). Clark (1985) dalam Zulbainarni (2012) juga
menyebutkan bahwa overfishing secara biologi dapat terjadi kapan saja bila
perbandingan antara harga dan biaya yang cukup tinggi. Indikasi tekanan
penangkapan ini juga diteliti oleh Saputra (2011) yang menunjukkan bahwa
kecilnya hasil tangkapan per trip (CPUE) ikan pelagis besar yang tertangkap,
yaitu sebesar 2.25 ton/trip/tahun dengan rata-rata produktivitas kapal tuna
longliner sebesar 0.045 ton/GT/tahun. FAO (2007) dalam Saputra (2011) juga
menyebutkan bahwa kondisi sumberdaya ikan di sekitar perairan Samudera
Hindia dan Samudera pasifik sudah full exploited. Perairan Prigi yang termasuk
dalam perairan Selatan Jawa juga mengalami tekanan penangkapan untuk jenis
tuna, seperti hasil penelitian Ross (2011) yang menyatakan bahwa jenis tuna
mengalami kelebihan tangkap sebesar 39% dari potensi lestari atau sama dengan
614.35 ton/tahun selama lima tahun terakhir.
Penurunan ukuran dan produksi suatu jenis ikan akan mempengaruhi
harga jual ikan tersebut, yang terlihat dari nilai produksi tahun 2011 dan 2012
yang menurun dibandingkan tahun 2010 yaitu sebesar 1.20 miliar rupiah dan 1.26
miliar rupiah. Kondisi pemasaran yang terjadi antara nelayan dengan pengambek
juga memberi pengaruh secara ekonomi. Pengurangan berat ikan saat ditimbang
sebelum proses pelelangan berlangsung akan merugikan nelayan, walaupun
pendapatan yang diperoleh nelayan saat ini sudah layak. Orientasi nelayan dalam
melakukan penangkapan adalah untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal,
sehingga nilai 100 rupiah pun akan sangat berarti bagi nelayan. Berdasarkan hasil
wawancara dengan responden diketahui bahwa kecurangan dalam penimbangan
berat ikan yang akan dilelang ini sudah berlangsung dalam jangka waktu yang
cukup lama, namun karena adanya ketergantungan ekonomi antara nelayan
dengan pengambek sebagai pemberi modal membuat nelayan tidak berani
menuntut masalah tersebut. Kondisi serupa juga terjadi pada nelayan di PPI Lekok
Kabupaten Pasuruan. Pendapatan yang diperoleh nelayan di PPI Lekok belum
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Penyebabnya yaitu minimnya modal yang
30
dimiliki nelayan, tekanan dari pemilik modal, sistem bagi hasil yang tidak adil,
pelelangan ikan yang tidak transparan (dikuasai tengkulak) dan otoritas tidak
punya wibawa untuk mengatur dan menegakkan aturan (Retnowati 2011). Hasil
analisis ekonomi juga membuktikan bahwa usaha perikanan tonda dengan rumpon
di PPP Pondokdadap memiliki keuntungan yang cukup baik, yaitu mencapai
Rp442 605 625/tahun dengan profitabilitas 2.27 persen. Hal ini didukung dengan
hasil analisis finansial berupa nilai NPV positif, IRR lebih besar dari nilai
discount factor dan nilai net B/C lebih besar dari 1 yang menunjukkan bahwa
usaha ini layak untuk dilanjutkan. Tingkat kelayakan yang cukup baik ini mampu
menjadi pemicu peningkatan jumlah unit perikanan tonda dengan rumpon di
Sendang Biru dari tahun ke tahun sehingga diperlukan kesadaran nelayan sebagai
pelaku utama perikanan dalam memanfaatkan sumberdaya ikan yang menjadi
target tangkapan dengan lebih bijak.
Nelayan sebagai pelaku utama sudah seharusnya memahami peraturan
yang berlaku dan harus dipenuhi dalam pengoperasian unit perikanan di daerah
penangkapan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan. Kenyataan dilapangan
menunjukkan kondisi yang berlawanan. Kurangnya kekompakan diantara nelayan
menjadi salah satu penyebab terjadinya masalah sosial dalam masyarakat nelayan,
yang akan berpengaruh terhadap sistem perikanan khususnya perikanan tonda di
Sendang Biru. Kasus yang pernah terjadi adalah pencurian hasil tangkapan oleh
nelayan purse seine dengan memanfaatkan rumpon nelayan tonda. Pencurian
dilakukan dengan bekerjasama dengan salah satu nelayan tonda Sendang Biru,
yang bertujuan untuk bagi hasil diantara kedua nelayan. Tindakan tersebut sangat
tidak sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat. Pemanfaatan rumpon
seharusnya hanya dilakukan pada rumpon masing-masing kelompok sesuai
dengan jenis unit perikanan yang digunakan. Tidak ada penyelesaian dan sanksi
yang jelas bagi pelanggar, padahal kerugian yang diderita oleh pihak yang
dirugikan cukup besar mengingat metode penangkapan yang digunakan unit
perikanan purse seine sangat berbeda dengan unit perikanan tonda. Unit perikanan
jaring seperti purse seine dapat menangkap ikan lebih banyak (baik dari segi
jumlah dan ukuran) dalam sekali proses setting, berbeda dengan unit perikanan
tonda. Kondisi ini memerlukan peran kelembagaan yang lebih kuat, khususnya
bagi organisasi nelayan Rukun Jaya dan seluruh nelayan untuk dapat lebih aktif
dalam menjalankan kesepakatan sebagai wujud partisipasi dalam menjaga dan
mengawasi perairan dan sumberdaya ikan didalamnya.
Sebagian besar unit perikanan tonda dengan rumpon milik nelayan
Sendang Biru tidak memiliki dokumen kapal yang lengkap untuk memanfaatkan
sumberdaya pada wilayah perairan, padahal pengoperasiannya dilakukan pada
wilayah perairan yang cukup jauh yaitu 50-200 mil atau berkisar pada 80-13
0 LS.
Pengurusan izin kapal nelayan di PPP Pondokdadap dibantu organisasi nelayan
Rukun Jaya. Hambatan seperti proses administrasi yang cukup lama dan biaya
yang mahal membuat nelayan merasa kewalahan untuk mengurus dokumen-
dokumen tersebut. Kondisi ini menjadi keprihatinan tersendiri, disaat nelayan
mulai berusaha untuk memperhatikan dan mengurusi perizinan, petugas perikanan
dari pemerintah melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan aturan yang
ditetapkan. Prosedur pendaftaran dan perizinan kapal sebenarnya telah diatur
dalam PER.30/MEN/2012 mengenai usaha perikanan tangkap di wilayah
pengelolaan Republik Indonesia, dimana tahapan perizinan dimulai dari
31
pengajuan penerbitan Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP); permohonan
pemeriksaan fisik kapal, alat penangkapan ikan, dan dokumen kapal penangkap
ikan dan/atau kapal pengangkut ikan; dan pengajuan penerbitan Surat Izin
Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI).
Dokumen lainnya yang harus ada di atas kapal yaitu Surat Laik Operasional
(SLO) dan Surat Izin Berlayar (SIB) (DJPT 2013). Kerjasama diantara pihak yang
terkait (nelayan, organisasi nelayan, dan pemerintah) sudah seharusnya berjalan.
Pengawasan oleh pemerintah pusat (KKP) dan pemerintah daerah (DKP) sangat
diperlukan, mengingat secara hukum, pemerintah merupakan pihak yang
bertanggungjawab untuk mengelola perikanan.
Kesimpulan
Permasalahan yang terjadi pada pengoperasian unit perikanan tonda
dengan rumpon di PPP Pondokdadap adalah terbatasnya area penangkapan karena
banyaknya rumpon di wilayah perairan dekat pantai, kecenderungan terjadinya
peningkatan jumlah kapal dan alat tangkap seiring peningkatan harga jual ikan di
PPP Pondokdadap, penurunan ukuran ikan jenis tuna, permainan harga yang
dilakukan oleh pengambek pada saat pembelian hasil tangkapan dari nelayan,
konflik horisontal diantara nelayan, dan masih kurangnya peran Rukun Jaya
dalam masyarakat khususnya nelayan tonda Sendang Biru. Oleh karena itu,
diperlukan peningkatan dan kerjasama secara aktif dari seluruh komponen yang
terlibat agar tujuan sistem perikanan yang baik dapat tercapai secara optimal.
5 MODEL KONSEPTUAL PADA UNIT PERIKANAN TONDA
DENGAN RUMPON DI PPP PONDOKDADAP
Pendahuluan
Perikanan sebagai sebuah kesatuan dari berbagai aspek yang dipenuhi
dengan kekompleksitasan masalah didalamnya memerlukan suatu tindakan nyata
yang mampu menyelesaikan keseluruhan masalah tersebut. Pembahasan pada bab
ini bertujuan untuk membuat model konseptual sebagai tindakan penyelesaian
terhadap permasalahan yang telah diformulasikan pada bab sebelumnya. Model
konseptual merupakan pemikiran secara teoritis terhadap situasi yang terjadi di
dunia nyata yang berperan sebagai solusi awal untuk suatu permasalahan.
Perumusan model konseptual ini diharapkan dapat memberikan langkah
perubahan berupa strategi yang dijalankan untuk memperbaiki sistem.
Pelaksanaan strategi dalam model konseptual harus berdasarkan
karakteristik perikanan dan kebutuhan seluruh pihak yang terkait pada suatu
wilayah perikanan. Hal ini bertujuan agar seluruh pihak tidak ada yang merasa
dirugikan dan tujuan sistem perikanan yang baik dapat tercapai secara optimal.
Keterlibatan secara aktif dari seluruh pihak sangat diperlukan untuk menjalankan
strategi yang disarankan.
32
Metode
Pengungkapan permasalahan yang digambarkan dalam rich picture akan
dianalisis lebih lanjut dengan root definitions. Checkland (2000) dalam Widjajani
et al. (2009) mengemukakan bahwa root definition dibangun sebagai suatu
ekspresi dari aktivitas bertujuan terhadap suatu proses transformasi (T). Root
definition dinyatakan dengan spesifikasi yang lebih luas sehingga T dapat
dielaborasi dengan mendefinisikan elemen-elemen lain yang membentuk
CATWOE (customers, actors, transformation process, weltanschauung, owners,
and environmental constraints). Customers merupakan pihak yang menerima
dampak proses transformasi; actors adalah orang yang melakukan aktivitas-
aktivitas pada proses transformasi; transformation process merupakan proses
yang mengubah input menjadi output; weltanschauung adalah sudut pandang,
kerangka kerja, atau image yang membuat proses transformasi bermakna; owners
adalah orang yang memiliki kepentingan terbesar terhadap sistem dan dapat
menghentikan proses transformasi, dan environmental constraints adalah elemen-
elemen diluar sistem yang dapat mempengaruhi tetapi tidak dapat mengendalikan
sistem tersebut atau dapat dinyatakan sebagai apa adanya (given). Definisi juga
dinyatakan dalam bentuk PQR, yaitu melakukan P dengan menggunakan Q untuk
dapat berkontribusi dalam mencapai R.
Model konseptual terhadap sistem perikanan tonda dengan rumpon di PPP
Pondokdadap dibuat berdasarkan root definitions tersebut. Model tersebut
merupakan rekomendasi solusi terhadap permasalahan yang terjadi pada sistem
perikanan tonda dengan rumpon. Model konseptual yang diperoleh pada
penelitian ini didasarkan pada permasalahan tiap aspek yang diteliti. Tujuannya
untuk memudahkan pelaku atau pihak yang terkait untuk memperbaiki sistem
perikanan tonda menjadi lebih baik.
Hasil
Aspek Sosial dan Kelembagaan
Root definition dalam aspek ini terdiri dari 2 bentuk, yang pertama lebih
menekankan pada permasalahan kekompakan nelayan, pengawasan, dan konflik
yang terjadi (Gambar 5.1). Peraturan pemerintah berupa keputusan menteri
kelautan dan perikanan KEP.58/MEN/2001 tentang tata cara pelaksanaan sistem
pengawasan masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
kelautan dan perikanan (DJPSDKP 2013) menjadi acuan untuk pembuatan root
definition ini.
Model konseptual pada Gambar 5.3 bertujuan untuk memperkuat peran
kelembagaan Rukun Jaya untuk membantu pemerintah dalam mengawasi
perairan. Pengawasan tersebut dapat diwujudkan jika hubungan sosial masyarakat
nelayan dalam kondisi yang baik. Masyarakat nelayan adalah pihak yang
membangun lembaga nelayan, sehingga dengan semakin kuatnya hubungan
diantara masyarakat nelayan maka akan menguatkan peran kelembagaan.
Penentuan root definition yang kedua menitikberatkan pada permasalahan
perizinan seperti pada Gambar 5.2 dan menghasilkan model konseptual (Gambar
5.4) yang bertujuan untuk menciptakan keteraturan dalam pengoperasian unit
33
perikanan tonda dengan rumpon di perairan yang digambarkan dalam SOP
perizinan yang dibuat oleh pemerintah daerah, dengan memperhatikan
kepentingan dari seluruh pihak seperti nelayan, pengusaha, dan pemerintah.
Gambar 5.1 CATWOE dan root definition terhadap permasalahan pengawasan
pada unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap
Gambar 5.2 CATWOE dan root definition terhadap permasalahan perizinan pada
unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap
CATWOE:
C (Costumers) : Nelayan dan pengusaha perikanan;
A (Actors) : Nelayan, organisasi nelayan Rukun Jaya, pengusaha perikanan
dan pemerintah daerah dan pusat (DKP);
T (Transformation) : Pembuatan Standard Operating Procedure (SOP) perizinan
dengan jelas;
W (Weltanschauung) : Proses perizinan berjalan dengan efektif dan efisien;
O (Owners) : Pemerintah (DKP);
E (Environmental constraints) : Kebijakan pemerintah daerah
Root definition 2:
Proses perizinan unit perikanan tonda dengan rumpon melalui pembuatan dan
penggunaan SOP perizinan oleh pemerintah untuk menciptakan keteraturan dalam
pengoperasian unit perikanan tonda dengan rumpon di perairan.
CATWOE:
C (Costumers) : Nelayan tonda Sendang Biru;
A (Actors) : Nelayan Sendang Biru, nelayan jaring luar Sendang
Biru, masyarakat nelayan Sendang Biru, dan organisasi
nelayan Rukun Jaya;
T (Transformation) : Pembuatan peraturan lokal terhadap pengawasan
perairan;
W (Weltanschauung) : Pengawasan perairan dilakukan secara aktif oleh seluruh
masyarakat nelayan;
O (Owners) : Organisasi nelayan Rukun Jaya;
E (Environmental constraints) : Kebijakan pemerintah Root definition 1:
Meningkatkan kekompakan nelayan, pengawasan, dan meminimalisir konflik
melalui pembuatan dan pelaksanaan peraturan lokal yang ditetapkan bersama
untuk meningkatkan hubungan sosial nelayan dan menjaga wilayah operasi
penangkapan dan sumberdaya ikan didalamnya.
34
Keterangan: : sistem yang diperbaiki/ditambahkan
Gambar 5.3 Model konseptual pembuatan dan pelaksanaan peraturan lokal pengawasan perairan
34
2
Menentukan pihak yang bertanggungjawab
terhadap setiap tindakan pengawasan
4
Pelaksanaan peraturan lokal di lapangan
Monitoring oleh pemerintah,
organisasi nelayan Rukun Jaya
dan masyarakat
Evaluasi
peraturan
1
Rukun Jaya melakukan diskusi dengan
masyarakat nelayan untuk menentukan fokus
tindakan pengawasan dan sanksi pada setiap
pelanggaran
3
Menyampaikan program peraturan lokal pada
pemerintah terkait dan melakukan diskusi
sebagai saran dan kritik terhadap peraturan lokal
Setuju
Tidak
setuju
Penyelesaian secara
lokal (lingkup
masyarakat)
Pelaporan
Pelaporan
Penemuan
Dugaan pelanggaran
Masyarakat atau anggota
pokmaswas
Aparat pengawas terdekat
TNI AL dan/atau
Satpol AIRUD
dan/atau kapal
inspeksi perikanan
Dinas Perikanan
Kabupaten/kota dan
Provinsi
(tembusan: Direktur
Jenderal Pengendalian
Sumberdaya Kelautan
dan Perikanan)
Tindak lanjut terhadap
pelanggaran
35
Keterangan: : sistem yang diperbaiki/ditambahkan
Gambar 5.4 Model konseptual pembuatan dan penggunaan SOP perizinan oleh pemerintah daerah
35
Pemilik kapal
Pengumpulan berkas oleh
Rukun Jaya
Unit Pengelola PPP
Pondokdadap
- SIUP
- SIPI/SIKPI
Dinas Perikanan
dan Kelautan
Provinsi Jawa
Timur
Petugas DKP
Tingkat I
melakukan cek
fisik kapal
Pembayaran biaya pembuatan surat
izin oleh pemilik kapal
Dinas Perhubungan Laut
(Bagian Kesyahbandaran),
dan ahli ukur melakukan
pengukuran
- Surat ukur
- Gross akte
- Sertifikat kelaikan
- Pas Kecil/Pas besar/Pas
tahunan
Kantor Dishubla di
Probolinggo
1
Pemerintah melakukan diskusi dengan melibatkan
seluruh pihak seperti Rukun Jaya (perwakilan dari
masyarakat nelayan) dan pengusaha perikanan
untuk menentukan SOP perizinan secara jelas
2
Menetapkan sanksi bagi setiap pelanggaran yang
dilakukan
3
Mensosialisasikan SOP perizinan kepada seluruh
masyarakat perikanan di daerah setempat
4
Pelaksanaan SOP
perizinan
Monitoring oleh
pemerintah dan
masyarakat nelayan
Evaluasi
36
Aspek Teknis dan Ekologi
Penentuan root definition pada aspek ini didasari dari adanya pemasangan
rumpon yang tidak terkendali di wilayah perairan yang berakibat pada terbatasnya
area penangkapan unit perikanan tonda. Peningkatan upaya penangkapan juga
terjadi pada wilayah perairan yang menyebabkan perubahan dari sisi ekologi,
yaitu penurunan ukuran sumberdaya ikan jenis tuna. Alternatif strategi yang dapat
dilaksanakan adalah dengan pengaturan jumlah dan ukuran ikan layak tangkap.
(Gambar 5.5). Aspek ini disatukan karena penyebab permasalahan yang terjadi
sama pada kedua aspek.
Gambar 5.5 CATWOE dan root definition terhadap permasalahan aspek teknis
dan ekologi pada unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP
Pondokdadap
Model konseptual yang direkomendasikan terhadap permasalahan pada
aspek teknis dan ekologi ini adalah pembuatan peraturan operasional
penangkapan bagi unit perikanan tonda dengan rumpon untuk mengatur jumlah
dan ukuran tangkapan yang layak tangkap sehingga keberlanjutan sumberdaya
ikan dapat terjaga (Gambar 5.6). Pelaksanaan aturan tersebut perlu didukung
dengan tindakan penanganan hasil tangkapan, baik di kapal maupun saat
didaratkan. Perekayasaan alat tangkap dan rumpon dapat dilakukan untuk
menjaga sumberdaya ikan yang menjadi target tangkapan sehingga tangkapan
yang diperoleh adalah ikan dengan jenis dan ukuran yang layak tangkap serta
memiliki kualitas yang baik.
Peraturan yang dibuat sebaiknya merupakan hasil kesepakatan antara
nelayan yang dapat diwakili oleh organisasi nelayan Rukun Jaya dan DKP
Kabupaten. Hal ini untuk meminimalisir dominansi kepentingan diantara salah
satu pihak, dan terciptanya kelancaran pelaksanaan peraturan di lapangan. Oleh
karena itu, diperlukan pengawasan terhadap pelaksanaan aturan dari seluruh pihak
terkait.
CATWOE:
C (Costumers) : Nelayan tonda Sendang Biru;
A (Actors) : Nelayan tonda Sendang Biru dan luar daerah, dan
nelayan jaring Sendang Biru;
T (Transformation) : Pengaturan jumlah dan ukuran tangkapan layak
tangkap bagi unit perikanan tonda dengan rumpon;
W (Weltanschauung) : Pengoperasian alat tangkap dilakukan pada wilayah
yang telah diatur dan tangkapan yang diperoleh
sesuai dengan standar yang ditetapkan;
O (Owners) : DKP Kabupaten Malang dan Organisasi nelayan
Rukun Jaya;
E (Environmental constraints) : Musim ikan
Root definition 3:
Pengaturan jumlah dan ukuran tangkapan layak tangkap bagi unit perikanan tonda
dengan rumpon melalui pembuatan dan pelaksanaan peraturan operasional
penangkapan yang ditetapkan bersama untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya ikan.
37
Keterangan: : sistem yang diperbaiki/ditambahkan
Gambar 5.6 Model konseptual pembuatan peraturan operasional penangkapan
pada unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap
3
Sosialisasi kepada seluruh nelayan
4
Mendiskusikan dan menetapkan sanksi terhadap setiap pelanggaran
5
Pelaksanaan peraturan operasional
Monitoring oleh pemerintah,
Rukun Jaya dan masyarakat
2
Pemerintah melakukan sosialisasi kepada Rukun Jaya dan diskusi
untuk menetapkan kuota tangkapan per kapal
Peneliti
Penyortiran dan penanganan
hasil tangkapan di kapal
Pendaratan hasil tangkapan
Evaluasi peraturan
Nelayan menyiapkan perbekalan
di pelabuhan atau fishing base
Melakukan operasi
penangkapan di rumpon
Pencarian rumpon kelompok
Persiapan operasi penangkapan
1
Perhitungan jumlah dan ukuran
layak tangkap per jenis ikan Pemerintah
38
Aspek Ekonomi
Sistem jual beli antara nelayan dan pengambek terhadap hasil tangkapan
yang didaratkan dianggap merugikan nelayan, karena adanya ketidaksesuaian
harga yang seharusnya diterima oleh nelayan. Hal ini yang mendasari penentuan
root definition pada aspek ekonomi (Gambar 5.7). Root definition tersebut
selanjutnya menjadi dasar untuk membuat model konseptual sebagai penyelesaian
atas masalah yang terjadi.
Model konseptual yang direkomendasikan pada aspek ekonomi ini adalah
pengawasan proses pelelangan di tempat pelelangan ikan PPP Pondokdadap
(Gambar 5.8). Model konseptual ini didasarkan pada peraturan pemerintah daerah
Kabupaten Malang berupa Perda Kabupaten Malang No. 1 Tahun 2009 tentang
penyelenggaraan dan retribusi pelelangan ikan di Tempat Pelelangan Ikan (Ditjen
Kemenkumham 2013). Peraturan tersebut menyebutkan bahwa proses pelelangan
meliputi penerimaan, penimbangan, pelelangan, dan pembayaran, dimana terdapat
retribusi masing-masing sebesar 1.5 persen dari nelayan dan pengambek.
Pungutan tersebut merupakan persentasi dari harga transaksi penjualan ikan pada
saat lelang yang diperoleh nelayan dan pengambek.
Gambar 5.7 CATWOE dan root definition terhadap permasalahan aspek ekonomi
pada unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap
Pelaksanaan model konseptual ini sebaiknya melibatkan seluruh pihak
yang terkait, seperti dari nelayan, pengambek, petugas pelelangan dan masyarakat
sebagai konsumen. Selain itu, diperlukan pembaharuan informasi harga pasar
untuk setiap jenis ikan kepada nelayan secara terus menerus untuk meminimalisir
kecurangan dalam penetapan harga jual ikan saat proses lelang berlangsung.
Model konseptual ini diharapkan dapat menciptakan kondisi pelelangan yang
baik, yaitu adanya harga yang wajar bagi nelayan dan pengambek.
CATWOE:
C (Costumers) : Nelayan tonda Sendang Biru;
A (Actors) : Nelayan tonda Sendang Biru, pengambek, dan
koperasi unit desa (KUD) Mina Jaya;
T (Transformation) : Perbaikan sistem jual beli;
W (Weltanschauung) : Terjadinya harga yang wajar bagi pengambek dan
nelayan;
O (Owners) : Organisasi nelayan Rukun Jaya dan KUD Mina
Jaya;
E (Environmental constraints) : Inflasi dan ketersediaan stok ikan yang dipasarkan
Root definition 4:
Perbaikan sistem jual beli antara nelayan dengan pengambek melalui pengawasan
proses pelelangan di tempat pelelangan ikan untuk mencapai harga yang wajar bagi
nelayan dan pengambek
39
Keterangan: : sistem yang diperbaiki/ditambahkan
Gambar 5.8 Model konseptual pengawasan proses pelelangan di tempat pelelangan ikan PPP Pondokdadap
39
Nelayan menerima informasi harga pasar per jenis ikan yang akan dilelang dari petugas lelang
Penerimaan hasil tangkapan oleh
petugas lelang
Penimbangan hasil tangkapan oleh
petugas lelang dan pengambek
Pelelangan hasil tangkapan yang
diikuti oleh pengambek dan
pembeli (pengusaha/pedagang
kecil)
Pembayaran hasil lelang oleh pengusaha
pada petugas lelang (KUD Mina Jaya)
Nelayan menyerahkan hasil
tangkapan kepada pengambek
Pembayaran hasil
lelang kepada
pengambek
Pembayaran hasil
lelang kepada
nelayan
Tidak ada perbaikan
1
KUD Mina Jaya dan Rukun Jaya melakukan
diskusi dengan masyarakat nelayan untuk
merumuskan tindakan pengawasan dan sanksi
terhadap setiap pelanggaran
2
Menentukan pihak yang bertanggungjawab pada
tindakan pengawasan dan pemberian sanksi
3
Menyampaikan rumusan tindakan pengawasan
pada DKP kabupaten melalui UPPPP
Pondokdadap dan melakukan diskusi sebagai
saran dan kritik terhadap tindakan pengawasan
Evaluasi
Monitoring oleh KUD
Mina Jaya, organisasi
nelayan Rukun Jaya dan
masyarakat
4
Pelaksanaan pengawasan
Ada perbaikan
40
Pembahasan
Pembuatan peraturan operasional penangkapan bagi unit perikanan tonda
dengan rumpon diharapkan dapat menjadi solusi awal terhadap permasalahan
teknis dan ekologi pada sistem perikanan tonda dengan rumpon di PPP
Pondokdadap. Langkah untuk meminimalisir masalah teknis dan ekologi berupa
persaingan wilayah penangkapan dan penurunan ukuran ikan yang diperoleh
nelayan adalah dengan mengatur jumlah dan ukuran tangkapan yang
diperbolehkan, yang didukung dengan penanganan hasil tangkapan yang sesuai
prosedur. Hal ini untuk meningkatkan kualitas ikan yang akan dijual, yang juga
akan mempengaruhi harga jual ikan tersebut. Kualitas hasil tangkapan diperoleh
jika kesegaran hasil tangkapan tetap terjaga hingga didaratkan dan dijual di
tempat pelelangan. Penanganan hasil tangkapan dapat dilakukan dengan cara
mengawetkan hasil tangkapan dengan menggunakan es seperti yang dilakukan
nelayan di Indonesia pada umumnya. Ismanto et al. (2013) dalam penelitiannya
menyebutkan bahwa sistem pendingin dengan coolbox yang berisi es kering
dengan silika gel mampu mempertahankan suhu rendah dalam waktu yang lebih
lama namun tidak stabil dibandingkan dengan coolbox yang berisi es basah seperti
es batu atau es curah. Lama waktu yang mampu dipertahankan es kering dan
silika gel selama 138 jam 30 menit, sedangkan es basah hanya 35 jam.
Penanganan lainnya yang dapat dilakukan adalah dengan mengawetkan ikan
menggunakan freezer seperti yang dilakukan nelayan purse seine di PPP
Bojomulyo. Pengawetan ikan dengan freezer lebih baik jika dibandingkan dengan
pengawetan menggunakan es (Hastrini et al. 2013). Tindakan penanganan hasil
tangkapan yang paling mendasar yang harus diperhatikan oleh nelayan adalah
mencegah kontaminasi langsung antara tangan dan kaki dengan ikan,
meminimalisir cahaya matahari langsung yang mengenai tubuh ikan, dan
meletakkan serta menyimpan ikan pada wadah yang telah dibersihkan.
Cara lainnya adalah dengan merekayasa pancing dan rumpon yang
digunakan saat operasi penangkapan, misalnya dengan mengganti ukuran mata
pancing sehingga peluang untuk menangkap ikan dengan ukuran layak tangkap
menjadi lebih besar. Nugroho (2002) dalam penelitiannya menyatakan bahwa
mata pancing tonda dengan ukuran nomor 5 dapat menangkap ikan lebih banyak
dengan presentase kegagalan yang lebih sedikit. Alatas (2004) menyarankan agar
menggunakan umpan tiruan untuk menangkap ikan dengan lebih efektif, yaitu
menggunakan kombinasi umpan warna biru-putih untuk ikan cakalang, warna
merah-putih untuk menangkap ikan madidihang, kombinasi warna biru-putih dan
merah-putih untuk menangkap ikan albakora, serta kombinasi ketiga jenis umpan
untuk menangkap ikan tongkol. Perekayasaan pancing dalam pengoperasiannya
dimaksudkan untuk menjaga sumberdaya ikan yang menjadi target tangkapan unit
perikanan tonda dengan rumpon agar tetap lestari, baik secara ekologi maupun
ekonomi.
Aspek teknis dan ekologi yang tidak berjalan baik akan mempengaruhi
aspek ekonomi. Permasalahan ekonomi yang dihadapi nelayan tonda di PPP
Pondokdadap saat ini adalah masih adanya kecurangan yang dilakukan
pengambek saat proses pelelangan sehingga menyebabkan nelayan tidak
mendapatkan harga yang wajar dari penjualan hasil tangkapan. Kondisi ini terjadi
karena keinginan untuk memanfaatkan nilai ekonomi secara lebih besar dari hasil
41
tangkapan yang dijual dan adanya kesempatan untuk melakukan kecurangan
tersebut. Kurang akuratnya timbangan yang digunakan pada proses pelelangan
menjadi awal penyebabnya. Oleh karena itu, diperlukan pengawasan pada proses
pelelangan di tempat pelelangan ikan PPP Pondokdadap agar nelayan,
pengambek, dan pengusaha memperoleh keuntungan yang sesuai. Selain itu juga
perlu dilakukan pembaharuan informasi harga pasar kepada nelayan untuk setiap
jenis ikan secara terus menerus dan penerapan sanksi yang tegas terhadap pihak
yang melakukan kecurangan pada saat proses pemasaran atau pelelangan.
Permasalahan teknis, ekologi, dan ekonomi tersebut dapat diminimalisir
jika hubungan sosial diantara seluruh pihak yang terlibat dalam sistem berjalan
dengan baik. Namun, kenyataannya hubungan sosial seperti kekompakan antar
nelayan masih belum baik, yang dibuktikan dengan masih adanya penjarahan
rumpon dan konflik yang masih terjadi dengan nelayan luar daerah. Penyelesaian
terhadap permasalahan sosial ini dapat dilakukan dengan membuat dan
melaksanakan peraturan lokal terhadap pengawasan perairan yang merupakan
hasil kesepakatan diantara seluruh elemen masyarakat. Hasil penelitian Martin
dan Irmayanti (2011) menunjukkan bahwa masyarakat nelayan Sendang Biru
memiliki tradisi yang dikenal dengan nama “ritual petik laut”, yang dilaksanakan
setiap tahun pada tanggal 27 September. Ritual ini memiliki fungsi dan pesan
yang berkaitan dengan pembinaan solidaritas antar masyarakat nelayan dalam
bekerja dan kearifan lokal dalam menjaga lingkungan perairan dan sumberdaya
perikanan. Kenyataannya, kegiatan ini tidak terlalu memberi pengaruh terhadap
kondisi ekologi dan hubungan sosial masyarakat. Tindakan atau kebijakan
pendukung yang bersifat lokal lainnya yang dapat dilakukan, seperti pola kearifan
lokal masyarakat Aceh dalam pengelolaan perikanan yang dikenal dengan hukom
adat laot. Sulaiman (2010) menyatakan bahwa pola hukom adat laot ini sudah
berkembang di Aceh sejak tahun 1607, pada masa pemerintahan Sultan Iskandar
Muda. Hukom adat laot secara implisit menerangkan bahwa terdapat kewenangan
untuk mengatur dan mengawasi sumberdaya perikanan untuk peningkatan
kesejahteraan masyarakat nelayan. Pola kearifan hukom adat laot ini ditegakkan
oleh lembaga adat panglima laot yang berfungsi untuk membantu pemerintah
dalam pembangunan perikanan. Pada pelaksanaannya, panglima laut berwenang
untuk mengawasi setiap usaha penangkapan ikan di laut, menyelesaikan
perselisihan, mengurus dan menyelenggarakan upacara adat laot, dan menjadi
penghubung antara nelayan dengan pemerintah dan panglima laot satu dengan
panglima laot lainnya. Keberadaan panglima laot dalam mengawasi perikanan
didukung dengan adanya peraturan dan sanksi yang sudah dipatuhi oleh nelayan,
keberadaannya sangat didukung oleh pemerintah daerah setempat.
Cara lain yang dapat dilakukan adalah pembentukan kelompok masyarakat
pengawas perikanan atau yang dikenal dengan pokmaswas. Kementerian Kelautan
Perikanan (KKP) telah membentuk satuan kerja (satker) pengawas sumberdaya
kelautan sejak tahun 2007, dimana kemudian satker membentuk pokmaswas yang
keanggotaannya terdiri dari unsur aparat desa, tokoh adat dan agama, dan nelayan,
seperti yang terdapat di Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Partisipasi pokmaswas
dalam mengawasi perairan dapat diukur dari jumlah pelanggaran yang berhasil
diamati, dilaporkan secara tertulis, dan jumlah pelaku yang berhasil ditangkap.
Pemahaman baik mengenai kepentingan kelestarian sumberdaya perikanan sangat
diperlukan dalam hal ini (Yuliana dan Winata 2012). Peran aktif masyarakat
42
nelayan di beberapa wilayah pesisir pada awalnya dianggap sangat membantu
kinerja pemerintah. Namun, ternyata masih memiliki kekurangan, salah satunya
dikarenakan adanya persaingan pada masyarakat dalam memanfaatkan
sumberdaya yang ada. Alains et al. (2009) menyebutkan bahwa salah satu solusi
untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan memadukan peran pemerintah dan
masyarakat secara bersama-sama yang dikenal dengan Co-Management.
Tujuannya adalah untuk menghindari peran dominan yang berlebihan dari satu
pihak dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Pembagian tanggungjawab dan
wewenang antar pihak dapat terjadi dalam berbagai pola, bergantung pada
kemampuan sumberdaya manusia dan institusi yang ada. Pelaksanaan Co-
Management ini dalam jangka panjang diyakini akan memberikan perubahan
salah satunya meningkatkan kesadaran dan pendapatan masyarakat dengan bentuk
pemanfaatan yang lestari dan berkelanjutan.
Penguatan kelembagaan nelayan tersebut akan mendukung pelaksanaan
model konseptual dalam hal perizinan, yaitu pembuatan dan penggunaan SOP
perizinan oleh pemerintah perikanan yang mengurusi surat izin pengoperasian
unit perikanan dan rumpon. Pelaksanaan SOP secara benar oleh pemerintah dan
nelayan secara bersamaan akan membantu kelancaran proses perizinan, dan tujuan
yang diinginkan dari pelaksanaan model konseptual ini dapat tercapai.
Pembenahan perizinan untuk unit perikanan khususnya unit perikanan tonda
dengan rumpon diharapkan dapat meminimalisir dampak negatif dari
pengoperasian unit perikanan dalam suatu kawasan perairan. Keaktifan dari
seluruh pihak terkait seperti nelayan, organisasi nelayan, dan pemerintah sangat
diperlukan dalam hal ini.
Kesimpulan
Model konseptual yang direkomendasikan pada penelitian ini terdiri atas
4, yaitu (1) Model konseptual pembuatan dan pelaksanaan peraturan lokal
pengawasan perairan di PPP Pondokdadap, (2) Model konseptual pembuatan dan
penggunaan SOP perizinan oleh pemerintah daerah, (3) Model konseptual
pembuatan peraturan operasional penangkapan bagi unit perikanan tonda dengan
rumpon di PPP Pondokdadap, dan (4) Model konseptual pengawasan proses
pelelangan di tempat pelelangan ikan PPP Pondokdadap. Pelaksanaan model
konseptual tersebut dapat dilakukan dengan berbagai strategi, yang melibatkan
seluruh komponen perikanan seperti nelayan, pengambek, organisasi nelayan dan
pemerintah.
6 PEMBAHASAN UMUM
Pemanfaatan rumpon pada operasi unit perikanan tonda yang dilakukan
oleh nelayan Sendang Biru merupakan salah satu cara yang diyakini akan
meningkatkan hasil tangkapan. Keberadaan rumpon ternyata menimbulkan
dampak secara teknis, ekologi, ekonomi, dan sosial serta kelembagaan di
masyarakat nelayan. Rumpon pada dasarnya digunakan untuk mengumpulkan
43
ikan yang menjadi target tangkapan, seperti ikan tongkol, tuna, dan cakalang.
Kecenderungan melakukan migrasi secara berkelompok untuk mencari makan dan
berlindung membuat ketiga jenis ikan pelagis ini sering berada di sekitar rumpon.
Penelitian Josse et al. (2000) menyatakan bahwa gerombolan ikan yang berenang
di perairan Polynesia Perancis pada kedalaman 10-50 meter merupakan jenis yang
paling banyak ditemukan di dekat rumpon. Cillauren (1994) dalam Josse et al.
(2000) menyatakan bahwa gerombolan ikan di perairan Vanuatu yang terdiri dari
ikan madidihang dan cakalang tertangkap pada wilayah perairan yang berjarak
200 meter dari rumpon, dimana jenis ikan madidihang berada lebih dekat dengan
rumpon dibandingkan ikan cakalang. Penelitian Menard et al. (2000)
menunjukkan bahwa di Samudera Atlantik, ikan tuna yang berukuran kecil
berkumpul di bawah rumpon untuk berlindung, sementara ikan tuna yang
berukuran besar mendekati rumpon untuk mencari makan. Kemudahan dalam
memperoleh hasil tangkapan dengan adanya rumpon ternyata membuat
pemanfaatan rumpon semakin meningkat dan tidak terkendali. Hal ini yang akan
berdampak terhadap sumberdaya, baik terhadap produksi maupun ukuran hasil
tangkapan.
Pillai dan Satheeshkumar (2012) menyatakan bahwa operasi penangkapan
dapat berdampak terhadap kondisi ekologi seperti terhadap hasil tangkapan,
habitat, kematian sumberdaya karena alat tangkap yang hilang, polusi, dan lain
sebagainya. Kondisi yang sudah dirasakan nelayan tonda di Sendang Biru saat ini
adalah ukuran hasil tangkapan khususnya ikan tuna yang mulai mengecil. Pillai
dan Satheesshkumar (2012) juga menyebutkan bahwa produksi ikan tuna di
Samudera Hindia menurun menjadi 913625 ton pada tahun 2008. Analisis data
secara jelas menunjukkan bahwa populasi ikan tuna di Samudera Hindia
mengalami over-exploited. Produksi ikan cakalang pada tahun 2010 berjumlah
429729 ton, yang menjadi produksi terendah sejak tahun 1998; produksi ikan
madidihang pada tahun 2009 sebesar 268192 ton dengan berat rata-rata 10-20 kg
(tahun 1996) dan menurun menjadi 6-15 kg untuk tahun-tahun selanjutnya.
Dampak yang terjadi pada sumberdaya ini ternyata mempengaruhi kondisi
ekonomi, sosial, dan kelembagaan pada unit perikanan tonda dengan rumpon.
Kondisi ekonomi nelayan unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP
Pondokdadap secara keseluruhan sudah cukup baik. Namun, jika dikaji secara
mendalam, masih terdapat permasalahan yang dianggap mengurangi pendapatan
yang seharusnya di peroleh nelayan, yaitu adanya kecurangan yang dilakukan
oleh pengambek pada saat proses pelelangan. Kecurangan tersebut dapat
diminimalisir dengan melakukan proses pelelangan yang sesuai aturan. Lubis dan
Pane (2012) menyebutkan bahwa peningkatan pendapatan nelayan dapat
dilakukan dengan membenahi proses pemasaran hasil tangkapan. Perbaikan
tersebut dapat dilakukan dengan menjalankan model yang diperoleh, yaitu model
pelelangan ikan terpadu dan model modern pelelangan ikan. Model pelelangan
ikan terpadu merupakan model implementasi secara bertahap dan terarah dengan
memperhatikan persiapan lelang, peran punggawa (juragan), standar minimum
pelaksanaan lelang, menjamin kualitas ikan dan sanitasi di tempat pelelangan
ikan, dan penataan ulang peran punggawa. Model ini dapat diterapkan untuk
Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Pontap. Model yang kedua yaitu model
pelelangan ikan yang modern dan berkesinambungan, merupakan model
implementasi secara bertahap dan terarah dari proses pelelangan ikan dengan
44
meningkatkan modernisasi standar pelelangan ikan yang sebenarnya. Model ini
dapat diterapkan untuk Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu.
Adanya keinginan untuk mendapatkan nilai pendapatan yang lebih besar
dari pelaku usaha perikanan tonda di Sendang Biru memberi pengaruh terhadap
kondisi sosial dan kelembagaan di masyarakat nelayan. Perebutan sumberdaya
dan wilayah operasi penangkapan, kurangnya kekompakan diantara nelayan, dan
lemahnya pengawasan perairan merupakan masalah yang harus diperhatikan.
Salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut
adalah dengan melibatkan masyarakat nelayan pada setiap proses pengelolaan
perikanan tonda. Masyarakat nelayan sebagai pihak yang mempunyai peran kuat
dalam perikanan dapat dijadikan sebagai penggerak konsep pengelolaan yang
akan dijalankan. Pada penelitian ini, tindakan pengelolaan direkomendasikan
melalui pendekatan sistem berupa model konseptual. Model konseptual ini
dianggap sebagai langkah awal untuk memperbaiki sistem perikanan khususnya
sistem perikanan tonda dengan rumpon di Sendang Biru. Islam dan Yew (2013)
dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pengelolaan perikanan berbasis
masyarakat di Bangladesh mampu meningkatkan pendapatan nelayan. Hal ini
dikarenakan nelayan memperoleh akses yang lebih besar terhadap perikanan.
Pengelolaan berbasis masyarakat ini telah merubah sikap nelayan untuk memiliki
kesadaran yang lebih besar terhadap aturan perikanan dan mampu menyelesaikan
konflik yang terjadi dengan lebih mudah.
7 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
(1) Permasalahan yang terjadi pada unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP
Pondokdadap terdiri dari aspek teknis, kelembagaan, ekologi, sosial, dan
ekonomi.
(a) Aspek teknis: wilayah operasi unit perikanan tonda saat ini semakin jauh,
dikarenakan wilayah perairan yang dekat pantai telah dipenuhi oleh
rumpon unit perikanan jenis lainnya. Produktivitas alat tangkap dan
nelayan unit perikanan tonda dengan rumpon pada tahun 2011 dan 2012
mengindikasikan terjadinya tekanan tangkap di wilayah operasi;
(b) Aspek ekologi: hasil tangkapan khususnya jenis tuna cenderung mulai
mengalami penurunan produksi dan ukuran;
(c) Aspek ekonomi: adanya ketidaksesuaian harga yang diterima nelayan
karena adanya permainan harga oleh pengambek;
(d) Aspek sosial: masih adanya konflik horizontal dikarenakan kurangnya
kekompakan diantara nelayan;
(e) Aspek kelembagaan: peran kelembagaan nelayan dan pemerintah
perikanan terhadap pengawasan dan perizinan pengoperasian unit
perikanan tonda dengan rumpon masih kurang.
(2) Model konseptual yang direkomendasikan berdasarkan situasi permasalahan
yang terjadi pada sistem perikanan tonda dengan rumpon terdiri atas 4, yaitu
(1) model konseptual pembuatan dan pelaksanaan peraturan lokal pengawasan
45
perairan di PPP Pondokdadap, (2) model konseptual pembuatan dan
penggunaan SOP perizinan oleh pemerintah daerah, (3) model konseptual
pembuatan peraturan operasional penangkapan bagi unit perikanan tonda
dengan rumpon di PPP Pondokdadap, dan (4) model konseptual pengawasan
proses pelelangan di tempat pelelangan ikan PPP Pondokdadap.
Saran
(1) Pemantauan sistem perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap
harus dilaksanakan secara berkelanjutan, sehingga diperlukan penelitian-
penelitian pendukung yang dapat mengkaji secara lebih detail, seperti analisis
kapasitas penangkapan dan jumlah tangkapan optimal per unit kapal, analisis
mutu hasil tangkapan, dan kuota atau jumlah optimal kapal tonda di PPP
Pondokdadap;
(2) Koordinasi antara nelayan, organisasi nelayan, dan pemerintah sebaiknya
ditingkatkan agar pencapaian tujuan dari model konseptual dapat dilakukan
secara tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Alains A M, Seprianti E P, Prilia H. 2009. Pengelolaan Sumberdaya perikanan
berbasis masyarakat (PSPBM) melalui model Co-Management Perikanan.
Jurnal Ekonomi Pembangunan [Internet]. [diunduh pada 2013 Apr 18].
10(2): 172-198. Tersedia pada: http://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle
/123456789/1066.
Alatas U. 2004. Analisis Hasil Tangkapan dan Respons Penglihatan Ikan Tongkol
(Euthynnus affinis) pada Pancing Tonda Menggunakan Umpan Tiruan
[tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor [Internet]. [diunduh pada 2013
Jul 01]. Tersedia pada: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789 /9042.
[BI] Bank Indonesia. 2013. Suku Bunga Pinjaman [Internet]. [Diunduh pada 2013
Apr 19]. Tersedia pada: http://www.bi.go.id/web/id/Moneter/BI+Rate
/Data+BI+Rate
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Malang. 2012. Kabupaten Malang dalam
Angka Tahun 2012 . Malang (ID): BPS.
Budiono A. 2005. Keefektivan Pengelolaan Konflik pada Perikanan Tangkap di
Perairan Selatan Jawa Timur [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Checkland P, Jim S. 1990. Soft System Methodology in Action. England (UK):
John Wiley and Sons, LTD.
[DJPT] Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2013. Tahapan Perizinan
[Internet]. [diunduh pada 2013 Jun 25]. Tersedia pada:
http://www.perizinan.kkp.go.id/pup/persyaratan_pengajuan_izin.php
46
[DJPSDKP] Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan
Perikanan. 2013. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 58
Tahun 2001 [Internet]. [Diunduh pada 2013 Jun 25]. Tersedia pada:
http://djpsdkp.kkp.go.id/pdf/KEPUTUSAN%20MENTERI/KEPMEN_58_T
AHUN_2001_LAMPIRAN.htm
[DJPP Kemenkumham] Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. 2013.
Peraturan daerah Kabupaten Malang No. 1 Tahun 2009 [Internet]. [diunduh
pada 2013 Des 05]. Tersedia pada: http://ditjenpp.
kemenkumham.go.id/files/ld/2009/KabupatenMalang-2009-1.pdf
[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur. 2013. Laporan
Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Tahun 2013. Surabaya (ID): DKP.
Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen.
Bogor (ID): IPB Pr.
Habibi A, Dwi A, Sugiyanta. 2011. Perikanan Tuna-Panduan Penangkapan dan
Penanganan. WWF-Indonesia [Internet]. [diunduh pada 2013 Jul 01].
Tersedia pada: http://awsassets.wwf.or.id/
Hastrini R, Abdul R, Putut HR. 2013. Analisis Penanganan (Handling) Hasil
Tangkapan Kapal Purse Seine yang Didaratkan di Pelabuhan Perikanan
Pantai (PPP) Bajomulyo Kabupaten Pati. Journal of Fisheries Resources
Utilization Management and Technology UNDIP. 2(3): 1-10
Hermawan D. 2011. Desain Pengelolaan Perikanan Madidihang (Thunnus
albacares) di Perairan ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa Timur
[disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor [Internet]. [diunduh pada
2012 Okt 17]. Tersedia pada: http://repository.ipb.ac.id/handle/
123456789/54779.
Islam G N dan Yew T S. 2013. Property Rights and Access: The Case of
Community Based Fisheries Management in Bangladesh. Journal of
Agricultural Science. 5(6): 164-173.
Ismanto DT, Taufik FN, Alam B. 2013. Desain Sistem Pendingin Ruang Muat
Kapal Ikan Tradisional Menggunakan Es Kering dengan Penambahan
Campuran Silika Gel. Jurnal Teknik Pomits. 2(2): 177-180.
Josse E, Laurent D, Arnaud B. 2000. Typology and Behaviour of Tuna
Aggregations Around Fish Aggregating Devices from Acoustic Surveys in
French Polynesia. Aquatic Living Resour. 13(2000): 183-192.
[KKPa] Kementerian Kelautan Perikanan Republik Indonesia. 2013. Peraturan
Menteri No. 27 Tahun 2012 [Internet]. [diunduh pada 2013 Jun 28].
Tersedia pada: http://infohukum.kkp.go.id/files_permen/.
[KKPb] Kementerian Kelautan Perikanan Republik Indonesia. 2013. Peraturan
Menteri No. 02 Tahun 2011 [Internet]. [diunduh pada 2012 Okt 17].
Tersedia pada: http://infohukum.kkp.go.id/files_permen/PER%2002%20
MEN%202011.pdf
[KUD] Koperasi Unit Desa Mina Jaya. 2013. Laporan Pendaratan dan Pelelangan
Ikan Tahun 2012. Malang (ID): KUD.
Lubis E dan Pane A B. 2012. An Optimum Model of Fish Auction in Indonesia
Fishing Ports in Accordance with The Characterictis of Fisherman.
Journal of Coastal Development. 15(3): 282-296.
47
Martin R, Irmayanti M. 2011. Ritual Petik Laut pada Masyarakat Nelayan
Sendang Biru, Malang: Sebuah Telaah Budaya Bahari. International
Conference ICSSIS; (2011 Jul 18-19); Depok, Indonesia. Depok (ID):
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. hlm 340-351
[Internet]. [diunduh pada 2013 Jun 28]. Tersedia pada:
https://icssis.files.wordpress.com/2012/05/1819072011_27.pdf
Menard F, Bernard S, Alex R, Miguel H, dan Emile M. 2000. Food Consumption
of Tuna in The Equatorial Atlantic Ocean: FAD-Associated Versus
Unassociated Schools. Aquatic Living Resour. 13(2000): 233-240.
Nugroho P. 2002. Pengaruh Perbedaan Ukuran Mata Pancing terhadap Hasil
Tangkapan Pancing Tonda di Perairan Pelabuhanratu Sukabumi Jawa
Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor [Internet]. [diunduh
pada 2013 Jul 01]. Tersedia pada: http://repository.ipb.ac.id/handle/
123456789/15813.
Pillai N G dan Satheeshkumar P. 2012. Biology, Fishery, Conservation and
Management of Indian Ocean Tuna Fisheries. Ocean Science Journal.
47(4): 411-433
Retnowati E. 2011. Nelayan Indonesia dalam Pusaran Kemiskinan Struktural
(Perspektif Sosial, Ekonomi, dan Hukum). Perspektif. (16)3: 149-159.
Ross A. 2011. Model Pengelolaan Perikanan Pelagis secara Berkelanjutan di PPN
Prigi, Trenggalek, Jawa Timur [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Rumajar T P. 2001. Pendekatan Sistem Untuk Pengembangan Usaha Perikanan
Ikan Karang dengan Alat Tangkap Bubu di Perairan Tanjung Manimbaya,
Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah [tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Saputra, S W. 2011. Produktivitas dan Kelayakan Usaha Tuna Longliner di
Kabupaten Cilacap. Jurnal Saintek Perikanan. 6(2): 84-91
Sondita M F A. 2011. Sebuah Perspektif: Rumpon sebagai Alat Pengelola
Sumberdaya Ikan - Buku II New Paradigm in Marine Fisheries:
Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Tri W N,
Domu S, Akhmad S, Shinta Y, editor. Bogor (ID): Departemen
Sumberdaya Perikanan.
Sugiyono. 2007. Statistika untuk Penelitian. Bandung (ID): CV ALFABETA.
Sulaiman. 2010. Model Alternatif Pengelolaan Perikanan Berbasis Hukum Adat
Laot di Kabupaten Aceh Jaya Menuju Keberlanjutan Lingkungan yang
Berorientasi Kesejahteraan Masyarakat [tesis]. Semarang (ID): Program
Magister Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro
[Internet]. [diunduh pada 2013 Jul 01]. Tersedia pada:
http://eprints.undip.ac.id/24019/1/Sulaiman.pdf.
[UPPPP Pondokdadap] Unit Pengelola Pelabuhan Perikanan Pantai Pondokdadap.
2012. Laporan Tahunan Pelabuhan Perikanan Pantai Pondokdadap Tahun
2011. Malang (ID): UPPPP Pondokdadap.
[UPPPP Pondokdadap] Unit Pengelola Pelabuhan Perikanan Pantai Pondokdadap.
2013. Laporan Monitoring Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) dan
Pelabuhan Perikanan (PP): Laporan Bulanan Tahun 2008-2012. Malang
(ID): UPPPP Pondokdadap.
48
Widjajani, Surna T D, Hari L, dan Gatot Y. 2009. Penggunaan Soft System
Methodology dan Grounded Theory dalam Membangun Teori pada
Penelitian Proses Strategi (Strategy Process Research). Jurnal Manajemen
Teknologi. 8(1): 71-87.
Williams B. 2005. Soft System Methodology [Internet]. [diunduh pada 2012 Des
03]. Tersedia pada: http://users.actrixs.com/bobwill/ssm.pdf.
Yuliana E dan Adi W. 2012. Pengaruh Karakteristik dan Persepsi terhadap
Tingkat Partisipasi Anggota dalam Kelompok Masyarakat Pengawas
(Pokmaswas) Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. Jurnal Bumi Lestari.
12(2): 251-259.
Yusfiandayani, R. 2004. Studi tentang Mekanisme Berkumpulnya Ikan Pelagis
Kecil di Sekitar Rumpon dan Pengembangan Perikanan di Perairan
Pasauran, Propinsi Banten [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Zulbainarni N. 2012. Teori dan Praktik Pemodelan Bioekonomi dalam
Pengelolaan Perikanan Tangkap. Bogor (ID): PT Penerbit IPB Press.
49
Lampiran 1 Perhitungan analisis usaha pada unit perikanan tonda dengan rumpon
di PPP Pondokdadap
Uraian Jumlah
INVESTASI
Kapal (umur teknis 10 tahun) 80 000 000
Alat Tangkap (umur teknis 1 tahun) 3 000 000
Rumpon (umur teknis 5 tahun) 50 000 000
Jumlah Investasi 133 000 000
PENERIMAAN
Musim Puncak
tuna (543.94 kg x Rp 52,000) 28 284 880
baby tuna (211.09 kg x Rp 14,400) 3 039 696
cakalang (311.40 kg x Rp 12,400) 3 861 360
marlin (130.71 kg x Rp 18,000) 2 352 780
albacore/tuna mata besar (79.33 kg x Rp 19,000 ) 1 507 270
Jumlah penerimaan per trip 39 045 986
Jumlah trip pada musim puncak 21
Jumlah penerimaan pada musim puncak 819 965 706
Musim Paceklik
tuna (425.60 kg x Rp 46,000) 19 577 600
baby tuna (219.25 kg x Rp 18,000) 3 946 500
cakalang (527.83 kg x Rp 14,000) 7 389 620
tongkol (1033.50 kg x Rp 8,000) 8 268 000
lemadang (239.50 kg x Rp 17,800) 4 263 100
Jumlah penerimaan per trip 43 444 820
Jumlah trip pada musim paceklik 9
Jumlah penerimaan pada musim paceklik 391 003 380
Jumlah Penerimaan 1 210 969 086
BIAYA VARIABEL
Solar (600 liter x @ Rp 4,700) 2 820 000
Pelumas (5 liter x @ Rp 24,000) 120 000
Es (116 balok x @ Rp 8,000) 928 000
Konsumsi (Rp 2,500,000/trip) 2 500 000
Batu (3 karung x @ Rp 35,000) 105 000
Manol (10 orang x @ Rp 4,000) 40 000
Jumlah Biaya Variabel per trip 6 513 000
Jumlah trip dalam setahun 30
Jumlah biaya variabel dalam setahun 195 390 000
50
Lampiran 1 Lanjutan
Uraian Jumlah
BIAYA TETAP
Penyusutan Kapal 8 000 000
Penyusutan Alat Tangkap 3 000 000
Penyusutan Rumpon 10 000 000
Perawatan Kapal 700 000
Perawatan Alat tangkap 300 000
Perawatan rumpon 500 000
Surat izin 300 000
Jumlah Biaya Tetap 22 800 000
Retribusi (TPI 2% + Pengambek 5%) 84 767 836
Biaya Total Sebelum Bagi Hasil 302 957 836
Bagi Hasil (50% dari keuntungan) 465 405 625
Biaya total setelah bagi hasil 768 363 461
Keuntungan bersih usaha 442 605 625
R/C Ratio 1.58
Profitabilitas (%) 2.27
Lampiran 2 Sarana dan prasarana di PPP Pondokdadap
Gedung UPPPP Pondokdadap Gedung penyimpanan
Kantin Gedung TPI lama
51
Lampiran 2 Lanjutan
Gedung TPI baru Lapangan Parkir
Dermaga baru Dermaga lama
KUD Mina Jaya Bollard
Lampu jalan Tangki air bersih
52
Lampiran 3 Peraturan Pemerintah Daerah Kabupaten Malang No. 1 Tahun 2009
53
Lampiran 3 Lanjutan
54
Lampiran 3 Lanjutan
55
Lampiran 3 Lanjutan
56
Lampiran 3 Lanjutan
57
Lampiran 3 Lanjutan
58
Lampiran 3 Lanjutan
59
Lampiran 3 Lanjutan
60
Lampiran 3 Lanjutan
61
Lampiran 3 Lanjutan
62
Lampiran 3 Lanjutan
Lampiran 4 Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan No. 27 Tahun 2012
63
Lampiran 4 Lanjutan
64
Lampiran 4 Lanjutan
65
Lampiran 4 Lanjutan
66
Lampiran 4 Lanjutan
67
Lampiran 4 Lanjutan
68
Lampiran 4 Lanjutan
Lampiran 5 Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan No. 02 Tahun 2011
69
Lampiran 5 Lanjutan
70
Lampiran 5 Lanjutan
71
Lampiran 5 Lanjutan
72
Lampiran 5 Lanjutan
73
Lampiran 5 Lanjutan
74
Lampiran 5 Lanjutan
75
Lampiran 5 Lanjutan
76
Lampiran 5 Lanjutan
77
Lampiran 5 Lanjutan
78
Lampiran 5 Lanjutan
79
Lampiran 5 Lanjutan
80
Lampiran 5 Lanjutan
81
Lampiran 5 Lanjutan
82
Lampiran 5 Lanjutan
83
Lampiran 5 Lanjutan
84
Lampiran 5 Lanjutan
85
Lampiran 5 Lanjutan
86
Lampiran 5 Lanjutan
87
Lampiran 5 Lanjutan
88
Lampiran 5 Lanjutan
Lampiran 6 Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan No. 30 Tahun 2011
89
Lampiran 6 Lanjutan
90
Lampiran 6 Lanjutan
91
Lampiran 6 Lanjutan
92
Lampiran 6 Lanjutan
93
Lampiran 6 Lanjutan
94
Lampiran 6 Lanjutan
95
Lampiran 6 Lanjutan
96
Lampiran 6 Lanjutan
97
Lampiran 6 Lanjutan
98
Lampiran 6 Lanjutan
99
Lampiran 6 Lanjutan
100
Lampiran 6 Lanjutan
101
Lampiran 6 Lanjutan
102
Lampiran 6 Lanjutan
103
Lampiran 6 Lanjutan
104
Lampiran 6 Lanjutan
105
Lampiran 6 Lanjutan
106
Lampiran 6 Lanjutan
107
Lampiran 6 Lanjutan
108
Lampiran 6 Lanjutan
109
Lampiran 6 Lanjutan
110
Lampiran 6 Lanjutan
111
Lampiran 6 Lanjutan
112
Lampiran 6 Lanjutan
113
Lampiran 6 Lanjutan
114
Lampiran 6 Lanjutan
115
Lampiran 6 Lanjutan
116
Lampiran 6 Lanjutan
117
Lampiran 6 Lanjutan
118
Lampiran 6 Lanjutan
119
Lampiran 6 Lanjutan
120
Lampiran 6 Lanjutan
121
Lampiran 6 Lanjutan
122
Lampiran 6 Lanjutan
123
Lampiran 6 Lanjutan
124
Lampiran 6 Lanjutan
125
Lampiran 6 Lanjutan
126
Lampiran 6 Lanjutan
127
Lampiran 6 Lanjutan
128
Lampiran 6 Lanjutan
129
Lampiran 6 Lanjutan
130
Lampiran 6 Lanjutan
131
Lampiran 6 Lanjutan
132
Lampiran 6 Lanjutan
133
Lampiran 7 Keputusan Kementerian Kelautan dan Perikanan No. 58 Tahun 2001
KEPUTUSAN
MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN
NOMOR : KEP. 58/MEN/ 2001
TENTANG
TATA CARA PELAKSANAAN SISTEM PENGAWASAN MASYARAKAT DALAM
PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA
KELAUTAN DAN PERIKANAN
MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN,
Menimbang : a. Bahwa dalam rangka pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan
secara optimal, bertanggung jawab dan lestari, maka dipandang perlu
melaksanakan pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan dengan
melibatkan masyarakat;
b. Bahwa guna terwujudnya pelaksanaan pengawasan sebagaimana
dimaksud butir a, perlu adanya Tata Cara Pelaksanaan Sistem
Pengawasan Masyarakat Dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber
Daya Kelautan dan Perikanan yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri.
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP;
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia;
3. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan;
4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi
PBB tentang Hukum Laut Tahun 1982;
5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya
Alam Hayati dan Ekosistemnya;
6. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran;
7. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia;
8. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup;
9. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia;
10. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah;
11. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan
KUHAP; 12. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan
Sumberdaya Alam Hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia;
13. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1990 tentang Usaha Perikanan;
14. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian
Pencemaran Air;
15. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran dan/atau Perusakan Laut;
16. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom;
17. Peraturan Pemerintah 15 Tahun tentang Usaha Perikanan sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 141 tahun
2000;
134
Lampiran 7 Lanjutan
18. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 Jo. Peraturan Pemerintah
Nomor 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun (B3);
19. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2000 tentang
Pemanfaatan Kapal Perikanan Yang Dinyatakan Dirampas Untuk
Negara;
20 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2000 tentang
Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
21. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 165 Tahun 2000
tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Departemen sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2001;
22. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 177 Tahun 2000
tentang Susunan Organisasi dan Tugas Departemen sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor
38 Tahun 2001;
23. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M Tahun 2001
tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong;
24. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2000
tentang Tata Cara Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan di
Lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan;
25. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 22 Tahun 2000
tentang Tata Cara Pemanfaatan Kapal Perikanan Yang Dinyatakan
Dirampas Untuk Negara; 26. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor :
KEP.01/MEN/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen
Kelautan dan Perikanan, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.30/MEN/2001;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN TENTANG
TATA CARA PELAKSANAAN SISTEM PENGAWASAN
MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN
SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
PERTAMA : Tata Cara pelaksanaan Sistem Pengawasan Masyarakat dalam pengelolaan
dan pemanfaatan atas sumberdaya kelautan dan perikanan yang selanjutnya
disebut SISWASMAS adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran
Keputusan ini.
KEDUA : Tata Cara sebagaimana dimaksud diktum PERTAMA digunakan sebagai
acuan bagi pejabat, aparat dan/atau masyarakat luas serta dunia usaha dalam
melaksanakan SISWASMAS.
KETIGA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 17 Oktober 2001
MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN,
Ttd.
ROKHMIN DAHURI
Disalin sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum dan Organisasi
Narmoko Prasmadji
135
Lampiran 7 Lanjutan
Lampiran : Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor KEP.58/MEN/2001
Tentang Tata Cara Pelaksanaan Sistem
Pengawasan Masyarakat Dalam
Pengelolaan Sumber Daya Kelautan Dan
Perikanan.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Dasar Pemikiran
Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state) yang terdiri dari 17.506 pulau
dengan luas laut sekitar 5,8 juta km² dan bentangan garis pantai sepanjang ± 81.000 km. Potensi
laut tersebut memiliki sumberdaya alam yang beraneka ragam dan merupakan sumber
penghidupan dan sumber pembangunan yang harus dimanfaatkan secara optimal dan
berkelanjutan, guna meningkatkan kemakmuran rakyat menuju terwujudnya bangsa Indonesia
yang sejahtera, maju dan mandiri.
Pembangunan nasional yang berorientasi ke darat mengakibatkan pembangunan di sektor
kelautan dan perikanan belum mendapat perhatian yang proporsional sehingga industrinya relatif
tertinggal dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara lainnya.
Pembangunan kelautan dan perikanan yang telah dilaksanakan dan tengah berlangsung
dapat secara langsung mampu memberikan kontribusi kepada negara berupa penerimaan devisa,
pendapatan asli daerah dan penyerapan tenaga kerja, namun nilai yang dihasilkan dirasakan masih
sangat kecil dan belum sebanding dengan potensi yang tersedia apabila dikelola dan dimanfaatkan
secara optimal.
Melihat luasnya wilayah perairan Indonesia dan kompleksnya permasalahan yang terjadi,
menuntut peran dan tanggung jawab yang besar yang harus diemban oleh Departemen Kelautan
dan Perikanan. Direktorat Jenderal Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan telah
melakukan peningkatan koordinasi dan kerjasama dengan aparat keamanan dan penegak hukum di
laut. Namun demikian keterbatasan sarana dan prasarana serta jumlah personil pengawasan masih
menjadi kendala utama dalam mencapai kinerja pengawasan yang optimal. Di lain pihak, potensi
dan sumberdaya pengawasan yang ada dimasyarakat adalah cukup besar dan sudah menjadi adat
budaya di masing-masing daerah sebagai wujud rasa tanggung jawab terhadap sumber
penghidupannya, seperti : Awig-awig di Bali dan NTB, Sasi di Maluku, Panglima Laut di Aceh,
dan sebagainya. Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut di atas, serta dalam upaya pemberdayaan
sumberdaya pengawasan yang sudah ada dimasyarakat adalah tanggung jawab pemerintah untuk
menyiapkan kebijakan makro di bidang kelautan. Untuk itu diperlukan suatu pengaturan lebih
lanjut dalam sistem pengawasan yang interaktif yaitu dalam bentuk Pedoman Umum Sistem
Pengawasan berbasis Masyarakat yang selanjutnya disebut SISWASMAS.
B. Tujuan dan Sasaran
1. Tujuan
Untuk memberikan pedoman bagi pihak yang berkepentingan (stakesholder) yaitu
pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha dalam pelaksanaan pengawasan pengelolaan
sumberdaya kelautan dan perikanan yang berbasis masyarakat.
2. Sasaran
* Terbentuknya mekanisme pengawasan berbasis masyarakat, yang secara integratif
dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, dan organisasi non pemerintah serta dunia
usaha dengan tetap mengacu kepada peraturan dan perundangan yang ada/ berlaku.
* Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengawasan sumberdaya kelautan dan
perikanan.
136
Lampiran 7 Lanjutan
* Terlaksananya kerjasama pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan oleh aparat
keamanan dan penegak hukum serta masyarakat.
C. BATASAN PERISTILAHAN
Dalam pedoman ini yang dimaksud dengan :
1. Sistem Pengawasan Berbasis Masyarakat (SISWASMAS) adalah sistem pengawasan yang
melibatkan peran aktif masyarakat dalam msngawasi dan mengendalikan pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan secara bertanggung jawab, agar dapat
diperoleh manfaat secara berkelanjutan.
2. Pemanfaatan berkelanjutan adalah pemanfaatan yang dapat memenuhi kebutuhan manusia dan
aspirasi manusia saat ini, tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan dan aspirasi manusia di
masa mendatang, dengan tetap memperhatikan keseimbangan fungsi lingkungan hidup.
3. Masyarakat adalah masyarakat dan/ atau kelompok masyarakat yang berpotensi ikut secara
aktif dalam pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan.
4. Potensi masyarakat pengawasan adalah setiap sumberdaya manusia baik individu atau
kelompok yang berdaya guna untuk melakukan pengawasan dalam pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan. 5. Tatanan hukum adalah suatu peraturan yang dibuat agar setiap individu atau kelompok
masyarakat bertindak dan bersikap sebagaimana yang sudah disepakati untuk ditaati dan
dipatuhi.
6. Adat adalah norma-norma/kebiasaan yang ditaati oleh masyarakat setempat/tertentu secara
turun-temurun dan diakui/ ditaati keberadaannya oleh masyarakat yang terkait.
7. Hukum adat adalah peraturan-peraturan/kebiasaan di suatu masyarakat tertentu yang apabila
dilanggar akan dikenakan sanksi menurut hukum yang berlaku di daerah setempat.
8. Pengawas adalah pejabat pegawai negeri yang diangkat dan ditunjuk oleh pejabat yang
berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan suatu kegiatan tertentu.
9. Pengawasan adalah setiap upaya dan atau tindakan yang bertujuan terciptanya tertib
pelaksanaan peraturan perundang-undangan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan.
BAB II
LINGKUP KEGIATAN SISWASMAS
A. Pembentukan Jaringan SISWASMAS
1. Kelompok masyarakat pengawas (POKMASWAS) merupakan pelaksana pengawasan di
tingkat lapangan yang terdiri dari unsur tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, LSM,
nelayan, petani ikan serta masyarakat maritim lainnya.
2. POKMASWAS dibentuk atas inisiatif masyarakat yang difasilitasi oleh unsur pemerintah
daerah, dan dikoordinir oleh seorang anggota masyarakat dalam POKMASWAS, yang
berfungsi sekaligus sebagai mediator antara masyarakat dengan pemerintah/ petugas.
3. Para nelayan yang menjadi ABK kapal-kapal penangkap ikan dan nelayan-nelayan kecil serta
masyarakat maritim lainnya, dapat merupakan anggota kelompok masyarakat pengawas.
4. Kepengurusan POKMASWAS dipilih oleh masyarakat dan terdaftar sebagai anggota.
B. Pemberdayaan POKMASWAS dan Peningkatan Kemampuan Kelompok-kelompok
Pengawas
1. Tradisi atau budaya setempat yang merupakan perilaku yang ramah lingkungan seperti Sasi,
Awig-awig, Panglima Laut, Bajo dan lainnya merupakan budaya masyarakat yang perlu
didorong kesertaannya dalam SISWASMAS.
2. Dalam rangka melakukan apresiasi pengawasan maka perlu ditumbuhkembangkan
POKMASWAS melalui sosialisasi.
137
Lampiran 7 Lanjutan
3. Sesuai dengan kemampuan pemerintah POKMASWAS dapat diberikan bantuan sarana dan
prasarana pengawasan secara selektif serta disesuaikan dengan kondisi daerah setempat.
4. Pemerintah dan atau Pemerintah daerah wajib memfasilitasi pemberdayaan POKMASWAS
melalui pembinaan, bimbingan dan pelatihan bagi peningkatan kemampuan POKMASWAS
BAB III
JARINGAN DAN MEKANISME OPERASIONAL
1. Masyarakat atau anggota POKMASWAS melaporkan informasi adanya dugaan pelanggaran
dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan kepada aparat
pengawas terdekat seperti :
· Koordinator PPNS;
· Kepala Pelabuhan Perikanan;
· Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan;
· Satpol-AIRUD (atau Polisi terdekat);
· TNI-AL terdekat atau;
· Petugas Karantina di Pelabuhan.
· PPNS
2. Masyarakat pengawas juga dapat melaporkan adanya dugaan tindak pidana perikanan oleh
Kapal Ikan Indonesia (KII) atau Kapal Ikan Asing (KIA) serta tindakan ilegal lain dalam
pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan.
3. Petugas yang menerima laporan dari POKMASWAS melanjutkan informasi kepada PPNS
dan/ atau TNI-AL dan/ atau Satpol-AIRUD dan/ atau Kapal Inspeksi Perikanan.
4. Koordinator Pengawas Perikanan atau Kepala Pelabuhan Perikanan yang menerima data dan
informasi dari nelayan atau masyarakat maritim anggota POKMASWAS, melanjutkan
informasi ke petugas pengawas seperti TNI-AL dan Satpol-AIRUD atau Kapal Inspeksi
Perikanan.
5. Berdasarkan laporan tersebut PPNS, TNI-AL, Pol-AIRUD dan instansi terkait lainnya,
melaksanakan tindakan (penghentian dan pemeriksaan) pengejaran dan penangkapan pada
Kapal Ikan Indonesia (KII) dan Kapal Ikan Asing (KIA) atau para pelanggar lainnya sebagai
tersangka pelanggaran tindak pidana perikanan dan sumberdaya kelautan lainnya, selanjutnya
dilakukan proses penyelidikan dan penyidikan.
6. Pada waktu yang bersamaan PPNS, Pengawas Perikanan dan/ atau (Koordinator PPNS dan/
atau Kepala Pelabuhan Perikanan) meneruskan informasi yang sama kepada Dinas
Kabupaten/Kota dan instansi terkait Propinsi dengan tembusan Direktur Jenderal
Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan.
7. Dinas Perikanan kabupaten dan/ atau propinsi melakukan koordinasi dengan petugas
pengawas (TNI-AL, POLRI, PPNS) termasuk Keamanan Pelabuhan Laut Pangkalan (KPLP)
dalam melakukan operasi tindak lanjut atas pelanggaran yang dilakukan Kapal Ikan Indonesia
(KII) dan Kapal Ikan Asing (KIA) maupun para pelanggar lainnya.
Lampiran 7 Lanjutan
BAB IV
PEMBINAAN SISWASMAS
1. Satuan Pembina SISWASMAS di tingkat Pusat dikoordinir oleh Direktur Jenderal
Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan
dengan anggota unsur Eselon I di lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan, dan
instansi terkait yang mempunyai kewenangan dalam pendayagunaan sumberdaya kelautan dan
perikanan.
2. Satuan Pembina SISWASMAS di tingkat daerah dikoordinir oleh kepala Dinas Kelautan dan
Perikanan dengan anggota unsure-unsur instansi terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya kelautan dan perikanan.
3. Satuan Pembina SISWASMAS memiliki tugas untuk menetapkan kebijakan operasional
pengawasan dan pengendalian sumberdaya kelautan dan perikanan, melaksanakan koordinasi
138
Lampiran 7 Lanjutan
dan menyelaraskan program dan kegiatan antar instansi/lembaga terkait, serta mengambil
tindakan untuk menindaklanjuti dugaan pelanggaran atas informasi dari kelompok pengawas
masyarakat, Dinas Kabupaten/Propinsi maupun lembaga terkait terhadap kapal-kapal perikanan
dan aktivitas pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan lainnya yang melakukan
pelanggaran.
4. Satuan Pembina SISWASMAS melalui Dinas Kabupaten/ Propinsi melakukan peningkatan
kemampuan POKMASWAS baik dalam ketrampilan teknik pengawasan, pemahaman
peraturan perundan-undangan melalui bimbingan dan pelatihan.
5. Dalam melakukan tugas sehari-hari Pembina SISWASMAS ditingkat Pusat dibantu oleh
Sekretariat yang dikoordinir oleh Direktur Pengawasan Sumberdaya Ikan.
6. Sekretariat bertugas mengumpulkan, mengolah dan menganalisa laporan dan informasi, serta
melaporkan kegiatan dan perkembangan pelaksanaan SISWASMAS dari daerah serta
menyiapkan tindak lanjut penyelesaiannya.
BAB V
PENUTUP
Tata cara Sistem Pengawasan Berbasis Masyarakat (SISWASMAS) ini merupakan acuan
bagi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Masyarakat dan dunia usaha dalam merencanakan,
melaksanakan dan mengendalikan aktifitas pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan yang
berbasis masyarakat.
Tata cara ini masih bersifat umum dan dapat dijabarkan ke dalam peraturan daerah atau
pedoman teknis di tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota.
MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN,
Ttd.
ROKHMIN DAHURI
139
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Banda Aceh pada tanggal 8 Mei 1988 sebagai anak
ketiga dari 3 bersaudara dari pasangan Usman AR dan Salmiah Syama’un.
Pendidikan sarjana ditempuh pada Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya
Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, lulus pada tahun 2010.
Penulis aktif di kegiatan kemahasiswaan saat menempuh pendidikan sarjana, yaitu
di HIMAFARIN (Himpunan Mahasiswa Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan)
sebagai anggota bidang Peningkatan Minat dan Bakat pada tahun 2008 dan
anggota bidang Penelitian, Pengembangan, dan Keprofesian pada tahun 2009.
Penulis diterima di Program Studi Sistem dan Pemodelan Perikanan
Tangkap pada Program Magister, Pascasarjana IPB pada tahun 2011. Penulis
pernah mengikuti berbagai kegiatan yang menunjang potensi akademik seperti
seminar nasional perikanan tangkap, workshop penulisan karya ilmiah
internasional, dan seminar nasional penulisan karya ilmiah. Penulis menjalani
pendidikan selama 34 bulan dan dinyatakan lulus pada ujian tesis tanggal 30
Desember 2013.