sipendikum - semnas.unikama.ac.id · (sebuah solusi dalam penegakan hukum di indonesia) suhaimi1...

13
SIPENDIKUM 2018 486 LEGISLASI HUKUM ISLAM SEBAGAI LOGIKAL EXTENTION (Sebuah Solusi dalam Penegakan Hukum di Indonesia) Suhaimi 1 Email: [email protected] Abstrak Hukuman dalam Islam mempunyai kekuatan yang sangat mengikat, karena diperkuat dengan dasar-dasar hukum secara qat’i (kuat). Seperti hukuman hudud, qisas dan ta’zir. Hukuman yang secara tegas dinyatakan oleh nash yaitu menyangkut jarimah hudud, sedangkan untuk jarimah qisas masih dalam tahap menunggu pemaafaan atau keridaan dari keluarga korban. Adapun berkenaan dengan jarimah ta’zi r, penentuan hukumannya ditentukan oleh penguasa (hakim). Tujuan diberlakukannya hukum Islam, tidak lain adalah untuk mencapai kemaslahatan umat manusia. Ukuran bentuk kemaslahatan tersebut, termaktub didalam lima tujuan shari’at yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta serta kehormatan. Oleh karena itu bentuk hukuman yang ditawarkan oleh hukum Islam sangat relevan untuk seyogyanya diberlakukan di Indonesia sebagai upaya penegakan hukum di Indonesia (Law infocement). Adapun metode dalam penyusunan makalah ini dilakukan dengan cara mengkaji literatur-literatur yang berkaitan dengan legislasi Hukum Islam yang kemudian dilakukan semacam interpretasi baik secara objektif maupun subjektif. Kata kunci: Law infocement; Jarimah; maqasid al-Shari’ah. Pendahuluan Sebagai umat Islam tentunya mengenal terminologi hukum Islam, yang selalu disinggung dalam setiap pertemuan atau momentum yang berbasis keislaman, apalagi dalam lingkup perguruan tinggi Islam seperti; Universitas Islam, Institut Agama Islam, Sekolah Tinggi Agama Islam dan lain sebagainya. Konkritnya istilah hukum Islam bukan merupakan suatu hal yang tabu, akan tetapi merupakan diskursus yang sering kali dibicarakan. Hukum Islam merupakan norma atau undang-undang Islam yang harus dipatuhi oleh seluruh pemeluk Islam. Karena hal tersebut menjadi pedoman dan acuan dalam menjalani kehidupan ini. Seorang muslim yang sadar akan hakikat arti kehidupan yang sebenarnya, maka ia akan menyatakan bahwa hidup ini adalah untuk melakukan ketaatan (ibadah). Sedangkan ketentuan ibadah seluruhnya telah diatur dalam hukum Islam, baik dalam al-Qur‟an, Sunnah, Ijma‟ dan Qiyas, serta sumber-sumber hukum yang lain yang dipandang perlu untuk dipedomani. 1 Penulis adalah pengampu matakuliah Hukum Islam pada Fakultas Hukum Unira Pamekasan dan alumni IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Upload: trananh

Post on 10-Mar-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: SIPENDIKUM - semnas.unikama.ac.id · (Sebuah Solusi dalam Penegakan Hukum di Indonesia) Suhaimi1 Email: suhaimi.dorez@gmail.com ... tindakan yang dapat membahayakan jiwa seseorang

SIPENDIKUM 2018

486

LEGISLASI HUKUM ISLAM SEBAGAI LOGIKAL EXTENTION

(Sebuah Solusi dalam Penegakan Hukum di Indonesia)

Suhaimi1

Email: [email protected]

Abstrak

Hukuman dalam Islam mempunyai kekuatan yang sangat mengikat, karena

diperkuat dengan dasar-dasar hukum secara qat’i (kuat). Seperti hukuman

hudud, qisas dan ta’zir. Hukuman yang secara tegas dinyatakan oleh nash

yaitu menyangkut jarimah hudud, sedangkan untuk jarimah qisas masih

dalam tahap menunggu pemaafaan atau keridaan dari keluarga korban.

Adapun berkenaan dengan jarimah ta’zir, penentuan hukumannya

ditentukan oleh penguasa (hakim). Tujuan diberlakukannya hukum Islam,

tidak lain adalah untuk mencapai kemaslahatan umat manusia. Ukuran

bentuk kemaslahatan tersebut, termaktub didalam lima tujuan shari’at yaitu

menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta serta kehormatan. Oleh karena itu bentuk hukuman yang ditawarkan oleh hukum Islam sangat

relevan untuk seyogyanya diberlakukan di Indonesia sebagai upaya

penegakan hukum di Indonesia (Law infocement). Adapun metode dalam

penyusunan makalah ini dilakukan dengan cara mengkaji literatur-literatur

yang berkaitan dengan legislasi Hukum Islam yang kemudian dilakukan

semacam interpretasi baik secara objektif maupun subjektif.

Kata kunci: Law infocement; Jarimah; maqasid al-Shari’ah.

Pendahuluan

Sebagai umat Islam tentunya mengenal terminologi hukum Islam, yang selalu

disinggung dalam setiap pertemuan atau momentum yang berbasis keislaman, apalagi

dalam lingkup perguruan tinggi Islam seperti; Universitas Islam, Institut Agama Islam,

Sekolah Tinggi Agama Islam dan lain sebagainya. Konkritnya istilah hukum Islam

bukan merupakan suatu hal yang tabu, akan tetapi merupakan diskursus yang sering kali

dibicarakan.

Hukum Islam merupakan norma atau undang-undang Islam yang harus dipatuhi

oleh seluruh pemeluk Islam. Karena hal tersebut menjadi pedoman dan acuan dalam

menjalani kehidupan ini. Seorang muslim yang sadar akan hakikat arti kehidupan yang

sebenarnya, maka ia akan menyatakan bahwa hidup ini adalah untuk melakukan

ketaatan (ibadah). Sedangkan ketentuan ibadah seluruhnya telah diatur dalam hukum

Islam, baik dalam al-Qur‟an, Sunnah, Ijma‟ dan Qiyas, serta sumber-sumber hukum

yang lain yang dipandang perlu untuk dipedomani.

1 Penulis adalah pengampu matakuliah Hukum Islam pada Fakultas Hukum Unira Pamekasan dan alumni

IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Page 2: SIPENDIKUM - semnas.unikama.ac.id · (Sebuah Solusi dalam Penegakan Hukum di Indonesia) Suhaimi1 Email: suhaimi.dorez@gmail.com ... tindakan yang dapat membahayakan jiwa seseorang

SIPENDIKUM 2018

487

Dalam kenyataannya hukum Islam sangat mengikat, dalam artian merupakan

suatu keniscayaan untuk dilaksanakan perintahnya dan untuk ditinggalkan apa yang

menjadi pelarangan dalam hukum tersebut. Bagi siapun yang melanggar terhadap

ketentuan hukum, maka si pelaku akan dikenai sanksi hukum sebagaimana yang telah

diatur dalam hukum tersebut. Oleh karena itu untuk lebih memperjelas pemahaman,

berkenaan dengan seberapa jauh daya pikat hukum Islam, bagaimana sanksi-sanksi atau

hukuman yang diberlakukan bagi si pelanggar hukum dan bagaimana pula tentang

legislasi hukum Islam, serta tujuan dari hukum Islam, maka dalam artikel ini akan

dibahas secara konprehensif tentang hukuman dalam Islam yang dapat dijadikan acuan

serta relevan untuk diterapkan di Indonesia sebagai bentuk upaya untuk menegakkan

hukum, sehingga sedapat mungkin meminimalisir tindakan yang melanggar hukum.

Penegakan Hukum (Law Inforcement) Dalam Islam

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau

berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman pelaku dalam lalu-

lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk

mewujudkan ide-ide tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi

kenyataan. Proses perwujudan ide-ide itulah yang merupakan hakikat dari penegakan

hukum.2

Faktor-faktor penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto meliputi : (1)

Faktor hukumnya sendiri, misalnya undang-undang. (2) Faktor penegak hukum, yaitu

pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. (3) Faktor sarana atau fasilitas

yang mendukung penegakan hukum. (4) Faktor kebudayaan, yaitu hasil karya, cipta dan

karsa yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup. (5) Faktor

masyarakat, yaitu lingkungan dimana hukum tersebut berlaku dan diterapkan. 3

Pelaksanaan hukum dalam Islam dilaksanakan tanpa pandang bulu. Kepada

siapapun hukum Islam harus ditegakkan, baik dikalangan penguasa, pejabat maupun

dikalangan rakyat biasa. Kalau merujuk penegakan hukum pada masa Rasulullah,

hukum benar-banar ditegakkan. Siapun saja yang malakukan pelanggaran hukum maka

akan dikenai konsekuensi hukum, yang dikenal dengan sanksi hukum. Bahkan bilamana

keluarga Rasul yang melakukan pelanggaran, maka hukum tetap ditegakkan. Hal ini

dapat dilihat dalam sabda Rasulullah Saw.:

لك الاس لبلكن فإوا أ إذاأ ن الشسف تسك ، عف ألاها ن كاا إذا سسق ف ن الض سسق ف

الري فس الحد د سسلت عل أى فاطوة بت هحو ل د بد .لمطعت دا هحو

"Sesungguhnya hancurnya masyarakat sebelum kalian adalah lantaran bila ada seorang

bangsawan (orang kuat) mencuri mereka biarkan, sedangkan bila orang lemah mencuri,

mereka menegakkan hukum hudud atasnya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di

2 Titik Triwulantutik, 2006, Pengantar llmu Hukum , Jakarta : Prestasi Pustakarya, hal. 226.

3 Ibid., hal. 232-233.

Page 3: SIPENDIKUM - semnas.unikama.ac.id · (Sebuah Solusi dalam Penegakan Hukum di Indonesia) Suhaimi1 Email: suhaimi.dorez@gmail.com ... tindakan yang dapat membahayakan jiwa seseorang

SIPENDIKUM 2018

488

dalam genggaman-Nya, kalau sekiranya Fathimah binti Muhammad saw. mencuri, pasti

akan kupotong tangannya".4

Berbicara tentang penegakan hukum dalam Islam, maka tidak terlepas dari

pembicaraan yang dalam istilah fiqih dibahas dalam bab jinayah,5 yang kemudian

terdapat pembahasan secara khusus yang disebut dengan Fiqih Jinayah. Persoalan ini

secara historis telah mendorong munculnya diskusi yang berkelanjutan sejak awal

sejarah Islam. Apakah ia dapat dipertimbangkan untuk dipertahankan sebagai dasar

hukum yang mampu menjamin keadilan dan ketentraman masyarakat atau sebaliknya

dianggap sesuatu yang menakutkan atau diluar batas kemanusiaan (dehumanisme).

Dalam prakteknya peradilan Islam memainkan peranan yang sangat penting

dalam proses kreasi hukum Islam dalam rangka untuk mewujudkan supremasi hukum.6

Dan juga dalam rangka membentuk setiap individu bermoral, guna menciptakan situasi

dan kondisi masharakat yang berkeadaban sesuai dengan nilai-nilai keislaman.7

Menurut penulis penerapan hukum Islam sangat perlu ditegakkan dalam rangka

untuk mewujudkan masyarakat madani (civil society). Alasan apapun yang digunakan

untuk tidak memberlakukan hukum Islam, hal itu tidak akan membawa andil apapun

terhadap signifikansi hukum Islam. Akan tetapi sungguh disayangkan di Negara

Indonesia ini tidak diterapkan hukum Islam secara ansich. Sehingga implikasi dengan

tidak diterapkannya hukum Islam tersebut, keadaan Negara menjadi tidak stabil, rusak

dan stabilitas keamanan tidak terjamin.

Adapun yang dimaksud fiqih jinayah adalah ilmu tentang hukum shara‟ yang

berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang (jarimah/jinayah) dan hukumnya

(„uqubah), yang diambil dari dalil-dalil terperinci.8 Pengertian jarimah sebagaimana

yang dikemukakan oleh al-Mawardi yaitu:

“Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh shara‟ yang diancam oleh

Allah dengan hukuman had atau ta‟zir”.9

Sedangkan pengertian jarimah menurut Abd al-Qadir Audah yaitu: “Jarimah

adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh shara‟ baik perbuatan tersebut

mengenai jiwa, harta atau lainnya.10

Dalam kitab Bidayatul Mujtahid dinyatakan pengertian jarimah atau jinayah

yaitu; tindakan yang dapat membahayakan jiwa seseorang atau anggota tubuh yang

mengharuskan adanya hukuman langsung di dunia.11

4 Imam Abi „Abdillah Muhammad Ibn Isma‟il Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirat al-Bukhari, 2009, Sahih al-

Bukhari, Jilid 4, Beirut: Dar al-Kutub al-„Ulumiyyah, hal. 192. 5 Mahrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, 2004, Yokyakarta: Logung Pustaka, hal. 78.

6 Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, 1957, Kairo: Matba‟ah Muhaimar, hal. 351-352. Subhi Mahmasani,

Falsafah al-Tashri’fi al-Islam, 1945, Mesir: Dar al-Qalam, hal. 200. 7 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, 1976, Jakarta: Bulan Bintang, hal. 255.

8 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, 2005, Jakarta: Sinar Grafika,hal. ix.

9 Abu al-Hasan al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyah, 1975, Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, hal. 219.

10 Abd al-Qadir Audah, Al-Tashri’ al-Jina’i al-Islami, Juz I, tt. Beirut: Dar al-Kitab al-„Arabi, hal.67.

11 Ibnu Rusyd, Bidayatu al-Mujtahid Wanihayatu al-Muqtasid, Terj. Imam Ghazali Said, Ahmad Zaidun,

2007, Jakarta: Pustaka Amani, hal. 503.

Page 4: SIPENDIKUM - semnas.unikama.ac.id · (Sebuah Solusi dalam Penegakan Hukum di Indonesia) Suhaimi1 Email: suhaimi.dorez@gmail.com ... tindakan yang dapat membahayakan jiwa seseorang

SIPENDIKUM 2018

489

Mengenai macam-macam hukuman dalam Islam yaitu ada 3 macam:12

(1)

Jarimah Hudud, (2) Jarimah Qisas dan Diyat dan (3) Jarimah Ta‟zir. Ketiga kategori

pelanggaran ini juga dinyatakan oleh para pemikir modern dan menjadi sorotan tajam

untuk dijadikan sebagai bahan perbincangan dalam hukum Islam, yang salah satunya

seperti Abdullah Ahmed al-Na‟im.13

1. Jarimah Hudud

Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had. Pengertian

hukuman had sebagaimana yang dinyatakan oleh Abd al-Qadir Audah yaitu: “hukuman

had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh shara‟ dan merupakan hak Allah.”14

Secara bahasa hudud merupakan bentuk plural dari kata had yang berarti sesuatu

yang memisahkan antara dua hal. Juga dapat berarti sesuatu yang membedakan antara

yang satu dengan yang lain. Masuk dalam arti hudud adalah dinding rumah atau

batasan-batasan tanah.15

Secara bahasa hudud memiliki kesamaan makna dengan al-Man’u yang berarti

pencegahan. Hukuman atas suatu pelanggaran disebut dengan hudud, karena hukuman

tersebut bertujuan untuk mencegah orang yang melakukan pelanggaran tidak

mengulangi lagi perbuatan yang menyebabkan dirinya dihukum. Sedangkan dilihat

secara hukum shara‟, hudud artinya ketetapan atas suatu hukuman untuk menjaga hak

Allah SWT.16

Hudud hanya dijatuhkan atas tindak kejahatan berikut:17

(1) zina (pelaku dirajam

[jika muhshan/telah menikah] atau cambuk 100 kali [jika ghayr muhshan/belum

menikah]). (2) homoseksual/liwat (pelaku dibunuh). (3) qazaf menuduh berzina tanpa

didukung 4 orang saksi (pelaku dicambuk 80 kali). (4) minum khamar (pelaku

dicambuk 40/80 kali). (5) murtad yang tidak mau kembali masuk Islam (pelaku

dibunuh). (6) membegal/hirabah (pelaku dibunuh jika hanya membunuh dan tidak

merampas; dibunuh dan disalib jika membunuh dan merampas harta; dipotong tangan

dan kaki secara bersilang jika hanya merampas harta dan tidak membunuh; dibuang jika

hanya meresahkan masyarakat. (7) memberontak terhadap Negara/bughat (pelaku

diperangi dengan perang yang bersifat edukatif, yakni agar pelakunya kembali taat pada

Negara, bukan untuk dihancurkan. (8) Mencuri (pelaku dipotong tangannya hingga

pergelangan tangan jika memang telah memenuhi syarat untuk dipotong).

Kedelapan perbuatan yang harus dijatuhi hukuman hudud yang telah disebutkan

di atas, Abd al-Qadir Audah menyebutkan homoseksual (liwat) sebagai perbuatan yang

terkategori hudud. hal ini memang terdapat perbedaan diantara para ulama. Ada yang

12

Ismail Muhammad Shah, Filsafat Hukum Islam, 1992, Jakarta: Bumi Aksara, hal. 221-229. Muhammad

Abu Shahbah, Al-Hudud fi al-Islam, 1974, Kairo: al-Amiriyah, hal. 201. Ahmad Wardi Muslich, Hukum

Pidana Islam, x-xii. 13

Abdullah Ahmed al-Na‟im, Dekonstruksi Shari’ah, 1994, Yokyakarta: LKis,hal. 199. 14

Abd al-Qadir Audah, Al-Tashri’ al-Jina’i al-Islami, hal. 609. 15

Sayyid Sabiq, Fiqhu al-Sunnah,Juz 3, 1999, Beirut: Dar al-Fatah al-„Arabi,hal. 228. 16

Ibid. 17

Abd al-Qadir Audah, Al-Tashri’ al-Jina’i al-Islami, hal. 79. Abdullah Ahmed al-Na‟im, Dekonstruksi

Shari’ah, hal. 205.

Page 5: SIPENDIKUM - semnas.unikama.ac.id · (Sebuah Solusi dalam Penegakan Hukum di Indonesia) Suhaimi1 Email: suhaimi.dorez@gmail.com ... tindakan yang dapat membahayakan jiwa seseorang

SIPENDIKUM 2018

490

menyatakan homoseksual bukan perbuatan hudud, akan tetapi termasuk ta‟zir.

Ketentuan hukumannya tidak ditentukan oleh shara‟ melainkan ditentukan oleh hakim.

Alasan Abd al-Qadir Audah, menempatkan homoseksual dalam tindakan hudud,

karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang sangat keji yang lebih buruk dari

perbuatan zina. Kalau perbuatan zina melampiaskan nafsu seksual kepada wanita yang

dapat dikatakan lazim, karena nafsu laki-laki memang semestinya kepada wanita.

Namun, kejinya perbuatan zina hanya dikarenakan tidak melalui akad nikah yang sah

sesuai dengan ketentuan shara‟. Sedangkan perbuatan homoseksual melampiaskan

nafsunya kepada sesama laki-laki yang semestinya sangat tidak lazim dilakukan dan

merupakan perbuatan yang sangat buruk, sehingga hukumannya harus dibunuh.

Pendapat ini diperkuat dalam kitab Sahih Fiqh al-Sunnah Wa Adillatuhu

Wataudihu mazahib al-Aimmat, yang dikarang oleh Abu Malik Kamal Ibn Sayyid

Salim, diterangkan bahwa perbuatan homoseksual harus dibunuh. Hal ini berdasarkan

pada ijma‟ sahabat. Akan tetapi para ulama berbeda pendapat bagaimana cara

membunuhnya.18

Dari pengertian di atas dapat dintanyatakan bahwa ciri-ciri dari jinayah hudud

yaitu sebagai berikut: (a) hukumannya tertentu dan terbatas, dalam arti bahwa hukuman

tersebut telah ditentukan oleh shara‟ dan tidak ada batas minimal dan maksimal. (b)

hukuman tersebut merupakan hak Allah semata-mata, atau kalau ada hak manusia

disamping hak Allah, maka hak Allah yang lebih dominan.

2. Jarimah Qisas dan Diyat

Jarimah qisas dan diyat adalah jarimah yang diancam dengan hukuman qisas

atau diyat. Baik qisas maupun diyat keduanya adalah hukuman yang sudah ditentukan

oleh shara‟. Perbedaannya dengan hukuman had adalah bahwa hukuman had

merupakan hak Allah yang harus ditunaikan tanpa adanya dispensasi apapun, dan suatu

keharusan untuk dilaksanakannya. Sedangkan hukuman qisas dan diyat merupakan

hukuman yang dapat dimaafkan (hak manusia), artinya apabila keluarga korban

memaafkan maka hukumaan dapat digugurkan.19

Pengertian qisas menurut Muhammad Abu Zahrah adalah persamaan dan

keseimbangan antara jarimah dan hukuman.20

Sedangkan diyat adalah harta yang harus

ditunaikan ditunaikan disebabkan karena tindak kejahatan dan diserahkan kepada pihak

korban atau walinya.21

Qisas ada dua macam yaitu qisas yang terkait dengan jiwa dan qisas yang terkait

dengan anggota badan (termasuk pelukaan).22

Qisas yang terkait dengan jiwa

maksudnya adalah qisas yang berkaitan dengan penghilangan nyawa seseorang atau

dikenal dengan pembunuhan. Sedangkan qisas yang terkait dengan anggota badan

18

Abu Malik Kamal Ibn Sayyid Salim, Sahih Fiqh al-Sunnah Wa Adillatuhu Wataudihu mazahib al-

Aimmat , tt., Mesir: Al-Qahirah, hal. 48. 19

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, hal. xi. 20

Muhammad Abu Zahrah, Al-Jarimah wa al-‘Uqubah fi al-Fiqh al-Islam, tt. Beirut: Dar Al-Fikr, hal.

380. 21

Sayyid Sabiq, Fiqhu al-Sunnah, hal. 351. 22

Ibnu Rusyd, Bidayatu al-Mujtahid Wanihayatu al-Muqtasid, hal. 505.

Page 6: SIPENDIKUM - semnas.unikama.ac.id · (Sebuah Solusi dalam Penegakan Hukum di Indonesia) Suhaimi1 Email: suhaimi.dorez@gmail.com ... tindakan yang dapat membahayakan jiwa seseorang

SIPENDIKUM 2018

491

maksudnya adalah perbuatan menghilangkan salah satu atau sebagian dari anggota

badan seseorang.

Sedangkan pembunuhan sendiri dalam kitab fiqh al-Sunnah terbagi menjadi 3

macam yaitu: pembunuhan disengaja, pembunuhan semi sengaja dan pembunuhan tidak

disengaja.23

Qisas diberlakukan jika tindakan penganiayaan dilakukan dengan sengaja,

sementara denda (diyat) diberlakukan jika penganiayaan dilakukan tidak dengan sengaja

atau jika tindakan itu kemudian dimaafkan korban. Qisas ataupun diyat tidak

diberlakukan jika korban membebaskan pelakunya dengan rela/tidak menuntutnya.

3. Jarimah Ta’zir

Jarimah ta‟zir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta‟zir. pengertian

ta‟zir menurut bahasa adalah ta‟dib artinya member pelajaran.24

Ta‟zir juga diartikan

dengan al-Raddu wa al-Man’u, yang artinya menolak dan mencegah. Sedangkan

pengertian ta‟zir secara terminolog shara‟ adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak

kejahatan) yang ditentukan hukumannya oleh shara‟.25

Dalam Fiqh al-Sunnah, ta‟zir bermakna pengagungan dan pertolongan. Seperti

dalam firman Allah dalam surat al-Fath ayat 9: “Supaya kamu sekalian beriman kepada

Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya. dan bertasbih

kepada-Nya di waktu pagi dan petang”.26

Maksudnya, mengagungkan-Nya dan membela agama-Nya. Ta‟zir juga berarti

penghinaan, dalam artian memberikan hukuman kepada orang melakukan tindak

pelanggaran. Ta‟zir yang dimaksud dalam shari‟at adalah pembinaan atas kesalahan

yang tidak ada ketentuan hududnya dan tidak pula kaffarat. Maksudnya, ta‟zir

merupakan hukuman pembinaan yang ditetapkan hakim atas tindak kejahatan atau

kemaksiatan yang tidak ditetapkan hukumannya oleh shari‟at atau hukumannya

ditetapkan shari‟at tetapi tidak memenuhi sharat-sharat pelaksanaan. Seperti

berhubungan badan bukan pada kemaluan, mencuri barang yang tidak dikenai potong

tangan, tindak kejahatan yang tidak qisasnya, wanita berhubungan badan dengan

wanita, dan tuduhan dalam kasus diluar perzinaan.27

Kasus ta‘zir secara umum dinataranya; (1) pelanggaran terhadap kehormatan,

(2) pelanggaran terhadap kemuliaan, (3) perbuatan yang merusak akal, (4) pelanggaran

terhadap harta, (5) gangguan keamanan, (6) subversi, (7) pelanggaran yang

berhubungan dengan agama.

Sanksi ta„zir dapat berupa; (1) cambuk yang tidak boleh lebih dari 10 kali, (2)

penjara, (3) pengasingan, (4) pemboikotan, (5) ganti rugi (ghuramah), (6)

penyitaan harta, (7) mengubah bentuk barang, (8) ancaman yang nyata, (9) pencabutan

sebagian hak kekayaan (hurman), (10) pencelaan (tawbikh), (11) pewartaan (tasyhir).

23

Sayyid Sabiq, Fiqhu al-Sunnah, hal. 329. 24

Abd al-Qadir Audah, Al-Tashri’ al-Jina’i al-Islami, hal. 80. 25

Abu al-Hasan al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyah, hal. 236. 26

Al-Qur‟an, 48:9. 27

Sayyid Sabiq, Fiqhu al-Sunnah, hal. 375.

Page 7: SIPENDIKUM - semnas.unikama.ac.id · (Sebuah Solusi dalam Penegakan Hukum di Indonesia) Suhaimi1 Email: suhaimi.dorez@gmail.com ... tindakan yang dapat membahayakan jiwa seseorang

SIPENDIKUM 2018

492

Dan banyak lagi sanksi yang lain yang semuanya tergantung pada hakim yang

memberikan hukuman.

Ketiga macam jarimah yang telah disebutkan di atas yaitu jarimah hudud,

jarimah qisas dan diyat serta jarimah ta‟zir, merupakan suatu bentuk sanksi sebagai

wujud dari penegakan hukum (law inforcement) pada hukum Islam. Tujuannya tidak

lain hanyalah untuk pembelajaran bagi si pelaku kejahatan agar tidak mengulangi lagi

tindakan kejahatannya. Dan menciptakan situasi dan kondisi masharakat yang aman,

tentram dan damai.

Legislasi Hukum Islam Sebagai Logikal Extention (Konsekuensi Logis)

Muhammad Khudari Bek dalam bukunya, Tarikh at-Tasyri’ al-Islami (Sejarah

Pembentukan Hukum Islam) membagi Periodisasi Legislasi hukum Islam dalam enam

periode, yaitu: 28

(1) Periode awal, pada masa Rasulullah saw. (2) Periode para sahabat

besar, berakhir sampai masa Khulafa al-Rashidun (11 sampai 40 H). (3) Periode sahabat

kecil dan thabi‟in, periode ini dimulai dari pemerintahan Mu‟awiyah bin Abu Sufyan

tahun 41H sampai timbulnya segi-segi kelemahan pada kerajaan Arab yakni pada awal

abad ke 2 H. (4) Periode awal abad ke-2 H sampai pertengahan abad ke-4 H, periode

pembukuan al-Sunnah, Fiqh dan munculnya Imam-imam besar yang dikenal oleh

jumhur dengan tokoh-tokoh mazhab. (5) Periode berkembangnya mazhab dan

munculnya taklid mazhab, mulai permulaan abad ke 4 sampai runtuhnya Daulah

Abbasiyah. (6) Periode jatuhnya Baghdad (pertengahan abad ke-7 H oleh Hulagu Khan

1217-1265 ) sampai sekarang.

Dari keenam periode di atas, dalam sejarah pembentukan dan perkembangan

hukum Islam, legislasi dapat dikategorikan menjadi tiga periode atau masa yaitu; (1)

legislasi hukum Islam pada masa rasulullah Rasulullah, (2)legislasi hukum Islam pada

masa sahabat, dan (3) legislasi hukum Islam pada masa tadwin.29

Pertama, legislasi hukum Islam pada masa Rasulullah. Pada masa Rasulullah

tidak terdapat persoalan apapun yang tidak dapat dipecahkan, apalagi yang berkenaan

dengan persoalan hukum, karena pada masa itu Rasulullah sebagai pemutus hukum atas

semua perkara yang terjadi. Ketika terjadi persoalan hukum, maka dapat ditanyakan

langsung kepada Rasulullah, dan beliaulah yang akan memberikan jawaban terhadap

persoalan tersebut dengan berlandaskan pada dua sumber hukum, yaitu al-Qur‟an dan

Sunnah.30

Menurut Abdul Wahhab Khallaf, pada periode Rasulullah hanya terdapat dua

sumber hukum (perundang-undangan); yaitu wahyu Ilahi (al-Qur‟an) dan ijtihad

Rasulullah saw. sendiri (Sunnah). Apabila terjadi peristiwa yang memerlukan ketetapan

hukum, atau ada suatu pertanyaan, permintaan fatwa dan semacamnya, maka Allah

menurunkan wahyu kepada Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah menyampaikan

wahyu tersebut kepada umatnya. Dan wahyu inilah yang menjadi undang-undang yang 28

Hudari Bik, Tarikh al-Tashri’ al-Islami, Terj. Mohammad Zuhri, 1980, Jakarta: Dar al-Ihya‟, hal. 4. 29

„Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, 2001, Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, hal.13. 30

Abuddin Nata, Hafiz Anshary, Al-Qur’an dan Hadis, Dirasah Islamiyah I, 1993, Jakarta: Raja

Grafindo Persada, hal. 150.

Page 8: SIPENDIKUM - semnas.unikama.ac.id · (Sebuah Solusi dalam Penegakan Hukum di Indonesia) Suhaimi1 Email: suhaimi.dorez@gmail.com ... tindakan yang dapat membahayakan jiwa seseorang

SIPENDIKUM 2018

493

wajib diikuti. Apabila Allah tidak menurunkan wahyu-Nya, maka Rasulullah

melakukan ijtihad sendiri. Hasil ijtihad inilah yang kemudian menjadi ketetapan atau

undang-undang yang harus diikuti.31

Pada masa Rasulullah, juga pernah dilakukan ijtihad dengan metode qiyas yang

pernah dilakukan oleh beliau sendiri. Perbuatan Rasul yang bersifat umum ini berarti

membentuk shari‟at bagi umatnya, karena juga tidak terdapat dalil yang

menghususkannya. Oleh karena itu mengqiyaskan kejadian yang tidak ada nasnya

adalah termasuk diantara sunnah Rasul saw. dan bagi umat Islam beliau adalah contoh

teladan (uswatun hasanah). 32

Sebenarnya ketika di analisa secara mendalam, sumber hukum pada masa

Rasulullah, lebih banyak mengacu kepada wahyu dari Allah. Walaupun disitu

Rasulullah pernah melakukan ijtihad, namun implementasinya Rasulullah banyak

mendapatkan petunjuk dari Allah. Karena beliau merupakan Rasul pilihan yang telah

direncanakan Allah menjadi suri tauladan yang baik bagi seluruh umat.

Kedua, legislasi hukum Islam pada masa sahabat. Dengan wafatnya Nabi

Muhammad saw. berhentilah wahyu yang selama kurun waktu 22 tahun, 2 bulan, 22

hari yang beliau terima dari malaikat Jibril, baik waktu beliau berada di Mekah maupun

di Madinah. Begitu juga dengan Sunnah berakhir pula dengan meninggalnya beliau.

Dalam hal ini kedudukan Rasulullah tidak dapat digantikan oleh siapapun saja, karena

beliau adalah seorang Nabi dan Rasul yang agung dan diagungkan oleh Allah. Namun

menyangkut tugas dan peran beliau sebagai penyampai risalah kepada umat harus

senantiasa dilanjutkan.33

Agar risalah Islam tidak berhenti di tengah dijalan dengan

wafatnya Rasulullah saw. dan sebagai pengganti beliau adalah para sahabat.

Adapun sumber hukum pada masa sahabat yaitu; (1) al-Qur‟an, (2) Sunnah, dan

(3) Ijtihad sahabat. Apabila terjadi suatu peristiwa baru atau persengketaan, maka para

ahli fatwa mencari ketetapan hukumnya dalam al-Qur‟an. Apabila mereka mendapatkan

ketetapan hukumnya di dalam nas al-Qur‟an itu, maka mereka menerapkan hukum

tersebut. Akan tetapi, apabila mereka tidak mendapatkan ketetapan hukumnya dalam al-

Qur‟an, maka mereka mencari keterangan dalam sunnah. Dan jika menemukannya

dalam sunnah, maka mereka menetapkan hukum tersebut. Selanjutnya, apabila mereka

tidak menemukannya dalam sunnah, maka para sahabat melakukan ijtihad dengan

mengqiyaskannya dengan suatu hukum yang telah ada ketetapannya dalam nas.34

Adapun dasar argumentasi yang menjadikan ijtihad sahabat merupakan bagian

dari sumber hukum adalah:35

(a) Mereka ikut menyaksikan tindakan dan sikap

Rasulullah saw. ketika mempergunakan kekuatan ijtihatnya pada saat wahyu tidak

turun, dan saat itu ada problematika hukum yang perlu dicari jawabannya. (b) Apa yang

pernah terjadi ketika Rasulullah saw. Muazd bin Jabal menjadi qadi negeri Yaman.

Terjadi dialog antara Rasulullah dengan Muazd. Rasulullah berkata:”Bagaimana caramu 31

„Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, hal. 13. 32

Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Usul al-Fiqh, hal. 82. 33

Abuddin Nata, Hafiz Anshary, Al-Qur’an dan Hadis, Dirasah Islamiyah I,hal. 53. 34

„Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, hal. 48. 35

Ibid.,hal. 49.

Page 9: SIPENDIKUM - semnas.unikama.ac.id · (Sebuah Solusi dalam Penegakan Hukum di Indonesia) Suhaimi1 Email: suhaimi.dorez@gmail.com ... tindakan yang dapat membahayakan jiwa seseorang

SIPENDIKUM 2018

494

menetapkan hukum atas suatu peristiwa yang kamu hadapi?” Muazd:”Aku menetapkan

hukum berdasarkan al-Qur‟an”. Rasul bertanya:”Kalau kamu tidak menemukan

ketetapan dalam al-Qur‟an?” Muazd menjawab:”Aku akan menetapkan berdasarkan

sunnah Nabi saw.” Rasul bertanya:”Kalau kamu tidak menemukan ketetapan dalam

sunnah?” Muazd: ”Aku akan berijtihad dengan pendapatku sendiri.” Mendengar

jawaban dari Muazd, lalu Rasulullah mengakui jawaban tersebut, sambil memuji kepada

Allah SWT. atas pemberian taufiq kepada utusan Rasul-Nya.” (c) Bahwa mereka

memahami berdasarkan adanya penyebutan illat pada sebagian ayat-ayat hukum dalam

al-Qur‟an dan sunnah, sehingga dengan demikian mereka memahami bahwa tujuan

penetapan hukum dalam al-Qur‟an dan sunnah adalah untuk kemaslahatan umat. Oleh

karena itu apapun cara yang ditempuh dalam menetapkan sebuah hukum untuk

mencapai kemaslahatan tersebut harus dilakukan, termasuk dalam melakukan ijtihad.

Ketiga, legislasi hukum Islam pada masa Tadwin. Periode tadwin merupakan

periode keemasan dalam sejarah pembentukan hukum Islam. Dalam periode ini

berbagai sumber hukum Islam telah terkodifikasi secara sistematis dalam bentuk

perundang-undangan hukum Islam. Pada masa ini gerakan penulisan dan pembukuan

hukum-hukum islam mengalami perkembangan dan kemajuan yang sangat pesat.

Seperti hadis-hadis Nabi, fatwa-fatwa dari kalangan sahabat, tabi‟in-tabi‟in, tafsir al-

Qur‟an, fikih para imam mujtahid serta berbagai ilmu usul fiqh telah dikodifikasi dalam

bentuk pembukuan.36

Sumber-sumber hukum pada masa tadwin ini ada empat yaitu; (1) al-Qur‟an, (2)

Sunnah, (3) Ijma‟, dan (4) Ijtihad dengan metode qiyas atau ijtihad dengan salah satu

dari metode istimbath. Kalau seorang mufti mendapatkan ketetapan hukum suatu

masalah dalam al-Qur‟an dan sunnah, maka mereka harus berpedoman pada nas

tersebut. Dan kalau tidak mendapatkan ketetapan dalam al-Qur‟an dan sunnah, maka

mereka menetapkan hukum dengan menggunakan ijma‟ para mujtahid, apabila dalam

ijma‟ telah ditemukan ketetapan hukumnya, maka yang harus dijadikan pedoman adalah

ijma‟. Selanjutnya jika mereka tidak menemukan ketetapan hukum berdasarkan ijma‟,

maka langkah berikutnya adalah berijtihad dengan menggunakan metode istimbat} yang

diajarkan shari‟at, misalnya dengan metode qiyas. 37

Tujuan Hukum Islam (Cita-Cita Sosial Islam)

Secara etimologis, kata hukum berasal dari bahasa Arab yaitu al-hukm berarti al-

‘ilm wa al-fiqh. Juga berarti al-‘adl. Fi‟il muta‟addinya yaitu kata ahkama mempunyai

arti perpegang dengan teguh.38

Al-hukm juga berarti al-qada’ (ketetapan) dan al-man’u

(pencegahan).39

Sedangkan secara terminologis terdapat beberapa pengertian yaitu:

Menurut Muhammad Abu Zahrah, hukum adalah titah (khitab) pembuat shara‟ yang

berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan atau

36

Ibid.,hal. 71. 37

Ibid.,hal. 81. 38

Ibn Mansur, Lisan al-‘Arab, Vol. 12, 1990, Beirut: Dar al-Sadir, hal. 140-143. 39

Abdul Azis Dahlan et.al, Ensiklopedi Hukum Islam,Vol.2, 1996, Jakarta: PT. Ikhtiyar Baru,hal. 571.

Page 10: SIPENDIKUM - semnas.unikama.ac.id · (Sebuah Solusi dalam Penegakan Hukum di Indonesia) Suhaimi1 Email: suhaimi.dorez@gmail.com ... tindakan yang dapat membahayakan jiwa seseorang

SIPENDIKUM 2018

495

penetapan.40

Definisi ini mendekati makna shari‟ah. Sedangkan menurut Muhammad

Hasbi Ash Siddieqy, hukum adalah koleksi daya upaya fuqaha‟dalam menetapkan

shari‟at islam sesuai dengan kebutuhan masharakat.41

Definisi ini lebih mendekati

makna fiqih.

Dalam Oxford English Dictionary yang dikutip oleh Muhammad Muslehuddin,

hukum adalah sekumpulan aturan-aturan, baik berasal dari aturan formal maupun adat,

yang diakui oleh masharakat dan bangsa tertentu sebagai pengikut bagi anggota.42

Berangkat dari definisi hukum Islam di atas, dapat dinyatakan secara tegas

bahwa dalam melakukan perbuatan apa saja harus bersandarkan pada hukum. Artinya

memiliki pedoman atau dasar yang jelas sebagaimana yang telah tercantum dalam

hukum tersebut.

Muhammad Abu Zahra dalam kaitan ini menegaskan bahwa tujuan hakiki

hukum Islam adalah kemaslahatan. Tak satupun hukum yang dishari‟atkan baik dalam

al-Qur‟an maupun Sunnah melainkan terdapat kemaslahatan.43

Kemaslahatan menurut

al-Syatibi adalah sebagai berikut :

ر الشس عة... ضعت لتحمك هما صد الشا زع فى لا م هصا لحن ف الدي الدا هعا

“sesungguhnya syari'at itu bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia

dan akhirat".44

Dalam ungkapan yang lain dinyatakan oleh al-Shatibi:

اال حكام هشسعة لوصالح العباد

“Hukum-hukum dishariatkan untuk kemaslahatan hamba”45

Kemaslahatan dapat diwujudkan jika memenuhi dan memelihara lima unsur

pokok, yaitu :46

memelihara agama (hifd al-Din), memelihara jiwa (hifd al-Nafs),

memelihara akal (hifd} al-‘Aql), memelihara keturunan (hifd al-Nasl), dan memelihara

harta serta kehormatan (hifd al-Mal wa al-‘Ird}).47

Dalam usaha mewujudkan dan

memelihara lima unsur pokok ini, al-Shatibi membagi kepada tiga tingkat yaitu :48

(1)

Maqasid al-Daruriyyat (primer), (2) Maqasid al-Hajiyyat (sekunder), (3) Maqasid al-

Tahsiniyat (tersier).

Maqasid al-Daruriyyat dimaksudkan untuk memelihara lima unsur pokok dalam

kehidupan manusia diatas tersebut. Maqasid al-Hajiyyat dimaksudkan untuk

menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan terhadap lima unsur pokok

40

Muhammad Abu Zahrah, usul al-Fiqh, 1958, Mesir: Dar al-Fikr al-„Arabi,hal. 28. 41

Muhammad Hasbi Ash Siddiqy, Falsafah Hukum Islam, 1993, Jakarta: Bulan Bintang,hal. 44. 42

Muhammad Muslehuddin, Philosopy of Islamic Law and The Orientalists, 1980, Lanore: Islamic

Publication Ltd.,hal. 17. 43

Muhammad Abu Zahrah, usul al-Fiqh,hal. 366. 44

Al-Shatibi, Al-Muwaffaqat fi Usul al-Shari’ah, 1966, Kairo: Dar al-Qalam,hal. 12. 45

Ibid.,hal. 54. 46

Suparman Usman, Hukum Islam, Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam Dalam Tata Hukum

Indonesia, 2001, Jakarta: Gaya Media Pratama,hal. 66. 47

Tentang memelihara kehormatan merupakan penambahan dari Imam al-Qarafi dengan merujuk pada

hadis sahih:” orang Islam itu haram darahnya, harga diri dan hartanya atas orang islam lainnya”. Disini

harga diri digandeng dengan darah dan didahuluklan atas harta. Yusuf al-Qardawi, Membumikan Shari’at

Islam, 1996, Surabaya: Dunia Ilmu, hal.58-59. 48

Al-Shatibi, Al-Muwaffaqat fi Usul al-Shari’ah, hal. 8.

Page 11: SIPENDIKUM - semnas.unikama.ac.id · (Sebuah Solusi dalam Penegakan Hukum di Indonesia) Suhaimi1 Email: suhaimi.dorez@gmail.com ... tindakan yang dapat membahayakan jiwa seseorang

SIPENDIKUM 2018

496

menjadi lebih baik lagi. Sedangkan Maqasid al-Tahsiniyat dimaksudkan agar manusia

dapat melakukan yang terbaik untuk penyempurnaan pemeliharaan lima unsur pokok.49

Sebagai contoh, dalam memelihara unsur agama, aspek daruriyyatnya adalah

mendirikan salat. Salat merupakan aspek daruriyyat, keharusan menghadap kiblat

merupakan aspek hajjiyat, dan menutup aurat merupakan aspek tahsiniyyat.50

Penjelasan dari lima tujuan di atas yaitu; pertama, memelihara agama (hifd al-

Din). Agama adalah sesuatu yang harus dimiliki oleh manusia supaya martabatnya

terangkat lebih tinggi dari makhluk yang lain untuk memenuhi hajat jiwanya. Adapun

wujud aplikasi dari memelihara agama berupa; pengakuan iman, pengucapan dua

kalimat shahadat, mendirikan salat, puasa, haji dan sebagainya. Kedua, memelihara jiwa

(hifd al-Nafs). Untuk tujuan ini, islam melarang pembunuhan, penganiayaan. sehingga

pelaku dari pembunuhan dan penganiayaan tersebut diancam dengan hukuman qisas.51

Ketiga, memelihara akal (hifd al-‘Aql). Aplikasi memelihara akal ini dapat

terwujud dalam bentuk larangan minum khamr (minuman keras), dan minuman lainnya

yang memabukkan karena dapat merusak akal. Keempat, memelihara keturunan (hifd

al-Nasl). untuk memelihara kemurnian keturunan, maka islam mengatur tata cara

pernikahan dan melarang perzinaan serta perbuatan lain yang mengarah pada perzinaan

tersebut. Kelima, memelihara harta serta kehormatan (hifd al-Mal wa al-‘Ird). Aplikasi

dari memelihara harta antara lain; pengakuan hak pribadi, pengaturan mu‟amalah

seperti jual beli, sewa-menyewa, gadai dan sebagainya. Termasuk juga larangan

melakukan riba, penipuan, mencuri dan perbuatan haram lainnya. Sedangkan aplikasi

menjaga kehormatan yaitu; larangan menghina orang lain, menuduh orang lain berzina

tanpa bukti (qadaf) dan sebagainya.52

Ibn Qayyim al-Jauziyah merumuskan tujuan hukum islam sebagai berikut:”

Shari‟at bersendi dan berasas atas hikmat dan kemaslahatan manusia dalam hidupnya di

dunia dan akhirat. Shari‟at adalah keadilan, rahmat (kasih sayang), kemaslahatan dan

kebijaksanaan sepenuhnya. Shari‟at merupakan kasih sayang Allah terhadap makhluk-

makhluknya”. Menurutnya, segala sesuatu yang melanggar ketentuan shari‟at maka

akan berlaku yang sebaliknya, yaitu akan mendatangkan bencana, kerusakan dan

kesengsaraan di dunia maupun di akhirat.53

Secara umum tujuan hukum Islam dapat di kategorikan sebagai barikut:54

(1)

Menjamin keamanan dari kebutuhan-kebutuhan hidup merupakan tujuan pertama dan

utama dari shari‟at. Ini merupakan kebutuhan pokok yang tercantum pada maqasid al-

Shari’ah (lima tujuan shari‟at) yang telah disebutkan di muka. (2) Menjamin keperluan

hidup (keperluan sekunder) atau disebut hajjiyat. Ini mencakup hal-hal yang penting

bagi ketentuan itu dari berbagai fasilitas untuk penduduk dan memudahkan kerja keras

49

Abdul Aziz Dahlan, ed. Ensiklopedi Hukum Islam, 2001, Jakarta : Intermasa, hal. 1109-1011. 50

Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqasid al-Shari’ah, 1996, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,hal. 72. 51

Suparman Usman, Hukum Islam,hal. 66. 52

Ibid., hal. 67. 53

Ibn Qayyim al-Jauziyah sebagaimana yang dikutip oleh Suparman Usman, Hukum Islam,hal. 68. 54

Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, Penegakan Shari’at Dalam Wacana dan Legenda,

2003, Jakarta: Gema Insani, hal. 19.

Page 12: SIPENDIKUM - semnas.unikama.ac.id · (Sebuah Solusi dalam Penegakan Hukum di Indonesia) Suhaimi1 Email: suhaimi.dorez@gmail.com ... tindakan yang dapat membahayakan jiwa seseorang

SIPENDIKUM 2018

497

dan beban tanggung jawab mereka. (3) Membuat berbagai perbaikan, yaitu menjadikan

hal-hal yang dapat menghiasi kehidupan sosial dan menjadikan manusia mampu berbuat

dan mengatur urusan hidup lebih baik (keperluan tersier) atau disebut tahsiniyat.

Penutup

Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum Islam

merupakan pedoman bagi kehidupan manusia agar memperoleh keselamatan di dunia

dan akhirat. Dengan hukum Islam akan tercipta tatanan kehidupan yang damai,

terwujud kemaslahatan dan terbinanya keadaan masharakat yang berkeadaban (civil

society). Sehingga apabila telah terbina kehidupan masharakat yang madani, maka

tujuan hidup yang merupakan ketundukan dan keta‟atan kepada Allah juga akan

tercapai dengan baik.

Daftar Pustaka

Anshary, Abuddin Nata, Hafiz. Al-Qur’an dan Hadis, Dirasah Islamiyah I, 1993,

Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Audah, Abd al-Qadir. Al-Tashri’ al-Jina’i al-Islami, Juz I, tt. Beirut: Dar al-Kitab al-

„Arabi.

Bakri, Asafri Jaya. Konsep Maqasid al-Shari’ah, 1996, Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada.

Bik, Hudari. Tarikh al-Tashri’ al-Islami , Terj. Mohammad Zuhri, 1980, Jakarta: Dar

al-Ihya‟.

Bukhari (al), Imam Abi „Abdillah Muhammad Ibn Isma‟il Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirat.

Sahih al-Bukhari, Jilid 4, 2009, Beirut: Dar al-Kutub al-„Ulumiyyah.

Dahlan ed., Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam, 2001, Jakarta : Intermasa.

Dahlan et.al, Abdul Azis. Ensiklopedi Hukum Islam, Vol. 2, 1996, Jakarta: PT. Ikhtiyar

Baru.

Hanafi, Ahmad. Asas-asas Hukum Pidana Islam, 1976, Jakarta: Bulan Bintang.

Kamal, Abu Malik Ibn Sayyid Salim. Sahih Fiqh al-Sunnah Wa Adillatuhu Wataudihu

mazahib al-Aimmat, tt., Mesir: Al-Qahirah.

Khallaf, „Abdul Wahab. Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, 2001,

Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Mahmasani, Subhi. Falsafah al-Tashri’fi al-Islam, 1945, Mesir: Dar al-Qalam.

Mansur, Ibn. Lisan al-‘Arab, Vol. 12, 1990, Beirut: Dar al-Sadir.

Mawardi (al), Abu al-Hasan. Al-Ahkam al-Sultaniyah, 1975, Mesir: Mustafa al-Babi al-

Halabi.

Munajat,Mahrus. Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, 2004, Yokyakarta: Logung

Pustaka.

Muslich, Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam, 2005, Jakarta: Sinar Grafika.

Page 13: SIPENDIKUM - semnas.unikama.ac.id · (Sebuah Solusi dalam Penegakan Hukum di Indonesia) Suhaimi1 Email: suhaimi.dorez@gmail.com ... tindakan yang dapat membahayakan jiwa seseorang

SIPENDIKUM 2018

498

Muslehuddin, Muhammad. Philosopy of Islamic Law and The Orientalists, 1980,

Lanore: Islamic Publication Ltd.

Na‟im (al), Abdullah Ahmed. Dekonstruksi Shari’ah, 1994, Yokyakarta: LKis.

Qardawi (al),Yusuf. Membumikan Shari’at Islam, 1996, Surabaya: Dunia Ilmu.

Rusyd, Ibnu. Bidayatu al-Mujtahid Wanihayatu al-Muqtasid, Terj. Imam Ghazali Said,

Ahmad Zaidun, 2007, Jakarta: Pustaka Amani.

Sabiq, Sayyid. Fiqhu al-Sunnah,Juz 3, 1999, Beirut: Dar al-Fatah al-„Arabi.

Santoso,Topo. Membumikan Hukum Pidana Islam, Penegakan Shari’at Dalam Wacana

dan Legenda, 2003, Jakarta: Gema Insani.

Shahbah, Muhammad Abu. Al-Hudud fi al-Islam, 1974, Kairo: al-Amiriyah.

Shah, Ismail Muhammad. Filsafat Hukum Islam, 1992, Jakarta: Bumi Aksara.

Shatibi (al). Al-Muwaffaqat fi Usul al-Shari’ah, 1966, Kairo: Dar al-Qalam.

Siddiqy (ash), Muhammad Hasbi. Falsafah Hukum Islam, 1993, Jakarta: Bulan Bintang.

Triwulantutik, Titik. Pengantar llmu Hukum, 2006, Jakarta : Prestasi Pustakarya.

Usman, Suparman. Hukum Islam, Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam Dalam

Tata Hukum Indonesia, 2001, Jakarta: Gaya Media Pratama.

Zahrah, Muhammad Abu. Al-Jarimah wa al-‘Uqubah fi al-Fiqh al-Islam, tt., Beirut:

Dar Al-Fikr.

-------------------------. Usul al-Fiqh, 1957, Kairo: Matba‟ah Muhaimar.

-------------------------. Usul al-Fiqh, 1958, Mesir: Dar al-Fikr al-„Arabi.