sipendikum - semnas.unikama.ac.id · (sebuah solusi dalam penegakan hukum di indonesia) suhaimi1...
TRANSCRIPT
SIPENDIKUM 2018
486
LEGISLASI HUKUM ISLAM SEBAGAI LOGIKAL EXTENTION
(Sebuah Solusi dalam Penegakan Hukum di Indonesia)
Suhaimi1
Email: [email protected]
Abstrak
Hukuman dalam Islam mempunyai kekuatan yang sangat mengikat, karena
diperkuat dengan dasar-dasar hukum secara qat’i (kuat). Seperti hukuman
hudud, qisas dan ta’zir. Hukuman yang secara tegas dinyatakan oleh nash
yaitu menyangkut jarimah hudud, sedangkan untuk jarimah qisas masih
dalam tahap menunggu pemaafaan atau keridaan dari keluarga korban.
Adapun berkenaan dengan jarimah ta’zir, penentuan hukumannya
ditentukan oleh penguasa (hakim). Tujuan diberlakukannya hukum Islam,
tidak lain adalah untuk mencapai kemaslahatan umat manusia. Ukuran
bentuk kemaslahatan tersebut, termaktub didalam lima tujuan shari’at yaitu
menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta serta kehormatan. Oleh karena itu bentuk hukuman yang ditawarkan oleh hukum Islam sangat
relevan untuk seyogyanya diberlakukan di Indonesia sebagai upaya
penegakan hukum di Indonesia (Law infocement). Adapun metode dalam
penyusunan makalah ini dilakukan dengan cara mengkaji literatur-literatur
yang berkaitan dengan legislasi Hukum Islam yang kemudian dilakukan
semacam interpretasi baik secara objektif maupun subjektif.
Kata kunci: Law infocement; Jarimah; maqasid al-Shari’ah.
Pendahuluan
Sebagai umat Islam tentunya mengenal terminologi hukum Islam, yang selalu
disinggung dalam setiap pertemuan atau momentum yang berbasis keislaman, apalagi
dalam lingkup perguruan tinggi Islam seperti; Universitas Islam, Institut Agama Islam,
Sekolah Tinggi Agama Islam dan lain sebagainya. Konkritnya istilah hukum Islam
bukan merupakan suatu hal yang tabu, akan tetapi merupakan diskursus yang sering kali
dibicarakan.
Hukum Islam merupakan norma atau undang-undang Islam yang harus dipatuhi
oleh seluruh pemeluk Islam. Karena hal tersebut menjadi pedoman dan acuan dalam
menjalani kehidupan ini. Seorang muslim yang sadar akan hakikat arti kehidupan yang
sebenarnya, maka ia akan menyatakan bahwa hidup ini adalah untuk melakukan
ketaatan (ibadah). Sedangkan ketentuan ibadah seluruhnya telah diatur dalam hukum
Islam, baik dalam al-Qur‟an, Sunnah, Ijma‟ dan Qiyas, serta sumber-sumber hukum
yang lain yang dipandang perlu untuk dipedomani.
1 Penulis adalah pengampu matakuliah Hukum Islam pada Fakultas Hukum Unira Pamekasan dan alumni
IAIN Sunan Ampel Surabaya.
SIPENDIKUM 2018
487
Dalam kenyataannya hukum Islam sangat mengikat, dalam artian merupakan
suatu keniscayaan untuk dilaksanakan perintahnya dan untuk ditinggalkan apa yang
menjadi pelarangan dalam hukum tersebut. Bagi siapun yang melanggar terhadap
ketentuan hukum, maka si pelaku akan dikenai sanksi hukum sebagaimana yang telah
diatur dalam hukum tersebut. Oleh karena itu untuk lebih memperjelas pemahaman,
berkenaan dengan seberapa jauh daya pikat hukum Islam, bagaimana sanksi-sanksi atau
hukuman yang diberlakukan bagi si pelanggar hukum dan bagaimana pula tentang
legislasi hukum Islam, serta tujuan dari hukum Islam, maka dalam artikel ini akan
dibahas secara konprehensif tentang hukuman dalam Islam yang dapat dijadikan acuan
serta relevan untuk diterapkan di Indonesia sebagai bentuk upaya untuk menegakkan
hukum, sehingga sedapat mungkin meminimalisir tindakan yang melanggar hukum.
Penegakan Hukum (Law Inforcement) Dalam Islam
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman pelaku dalam lalu-
lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk
mewujudkan ide-ide tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi
kenyataan. Proses perwujudan ide-ide itulah yang merupakan hakikat dari penegakan
hukum.2
Faktor-faktor penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto meliputi : (1)
Faktor hukumnya sendiri, misalnya undang-undang. (2) Faktor penegak hukum, yaitu
pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. (3) Faktor sarana atau fasilitas
yang mendukung penegakan hukum. (4) Faktor kebudayaan, yaitu hasil karya, cipta dan
karsa yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup. (5) Faktor
masyarakat, yaitu lingkungan dimana hukum tersebut berlaku dan diterapkan. 3
Pelaksanaan hukum dalam Islam dilaksanakan tanpa pandang bulu. Kepada
siapapun hukum Islam harus ditegakkan, baik dikalangan penguasa, pejabat maupun
dikalangan rakyat biasa. Kalau merujuk penegakan hukum pada masa Rasulullah,
hukum benar-banar ditegakkan. Siapun saja yang malakukan pelanggaran hukum maka
akan dikenai konsekuensi hukum, yang dikenal dengan sanksi hukum. Bahkan bilamana
keluarga Rasul yang melakukan pelanggaran, maka hukum tetap ditegakkan. Hal ini
dapat dilihat dalam sabda Rasulullah Saw.:
لك الاس لبلكن فإوا أ إذاأ ن الشسف تسك ، عف ألاها ن كاا إذا سسق ف ن الض سسق ف
الري فس الحد د سسلت عل أى فاطوة بت هحو ل د بد .لمطعت دا هحو
"Sesungguhnya hancurnya masyarakat sebelum kalian adalah lantaran bila ada seorang
bangsawan (orang kuat) mencuri mereka biarkan, sedangkan bila orang lemah mencuri,
mereka menegakkan hukum hudud atasnya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di
2 Titik Triwulantutik, 2006, Pengantar llmu Hukum , Jakarta : Prestasi Pustakarya, hal. 226.
3 Ibid., hal. 232-233.
SIPENDIKUM 2018
488
dalam genggaman-Nya, kalau sekiranya Fathimah binti Muhammad saw. mencuri, pasti
akan kupotong tangannya".4
Berbicara tentang penegakan hukum dalam Islam, maka tidak terlepas dari
pembicaraan yang dalam istilah fiqih dibahas dalam bab jinayah,5 yang kemudian
terdapat pembahasan secara khusus yang disebut dengan Fiqih Jinayah. Persoalan ini
secara historis telah mendorong munculnya diskusi yang berkelanjutan sejak awal
sejarah Islam. Apakah ia dapat dipertimbangkan untuk dipertahankan sebagai dasar
hukum yang mampu menjamin keadilan dan ketentraman masyarakat atau sebaliknya
dianggap sesuatu yang menakutkan atau diluar batas kemanusiaan (dehumanisme).
Dalam prakteknya peradilan Islam memainkan peranan yang sangat penting
dalam proses kreasi hukum Islam dalam rangka untuk mewujudkan supremasi hukum.6
Dan juga dalam rangka membentuk setiap individu bermoral, guna menciptakan situasi
dan kondisi masharakat yang berkeadaban sesuai dengan nilai-nilai keislaman.7
Menurut penulis penerapan hukum Islam sangat perlu ditegakkan dalam rangka
untuk mewujudkan masyarakat madani (civil society). Alasan apapun yang digunakan
untuk tidak memberlakukan hukum Islam, hal itu tidak akan membawa andil apapun
terhadap signifikansi hukum Islam. Akan tetapi sungguh disayangkan di Negara
Indonesia ini tidak diterapkan hukum Islam secara ansich. Sehingga implikasi dengan
tidak diterapkannya hukum Islam tersebut, keadaan Negara menjadi tidak stabil, rusak
dan stabilitas keamanan tidak terjamin.
Adapun yang dimaksud fiqih jinayah adalah ilmu tentang hukum shara‟ yang
berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang (jarimah/jinayah) dan hukumnya
(„uqubah), yang diambil dari dalil-dalil terperinci.8 Pengertian jarimah sebagaimana
yang dikemukakan oleh al-Mawardi yaitu:
“Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh shara‟ yang diancam oleh
Allah dengan hukuman had atau ta‟zir”.9
Sedangkan pengertian jarimah menurut Abd al-Qadir Audah yaitu: “Jarimah
adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh shara‟ baik perbuatan tersebut
mengenai jiwa, harta atau lainnya.10
Dalam kitab Bidayatul Mujtahid dinyatakan pengertian jarimah atau jinayah
yaitu; tindakan yang dapat membahayakan jiwa seseorang atau anggota tubuh yang
mengharuskan adanya hukuman langsung di dunia.11
4 Imam Abi „Abdillah Muhammad Ibn Isma‟il Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirat al-Bukhari, 2009, Sahih al-
Bukhari, Jilid 4, Beirut: Dar al-Kutub al-„Ulumiyyah, hal. 192. 5 Mahrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, 2004, Yokyakarta: Logung Pustaka, hal. 78.
6 Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, 1957, Kairo: Matba‟ah Muhaimar, hal. 351-352. Subhi Mahmasani,
Falsafah al-Tashri’fi al-Islam, 1945, Mesir: Dar al-Qalam, hal. 200. 7 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, 1976, Jakarta: Bulan Bintang, hal. 255.
8 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, 2005, Jakarta: Sinar Grafika,hal. ix.
9 Abu al-Hasan al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyah, 1975, Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, hal. 219.
10 Abd al-Qadir Audah, Al-Tashri’ al-Jina’i al-Islami, Juz I, tt. Beirut: Dar al-Kitab al-„Arabi, hal.67.
11 Ibnu Rusyd, Bidayatu al-Mujtahid Wanihayatu al-Muqtasid, Terj. Imam Ghazali Said, Ahmad Zaidun,
2007, Jakarta: Pustaka Amani, hal. 503.
SIPENDIKUM 2018
489
Mengenai macam-macam hukuman dalam Islam yaitu ada 3 macam:12
(1)
Jarimah Hudud, (2) Jarimah Qisas dan Diyat dan (3) Jarimah Ta‟zir. Ketiga kategori
pelanggaran ini juga dinyatakan oleh para pemikir modern dan menjadi sorotan tajam
untuk dijadikan sebagai bahan perbincangan dalam hukum Islam, yang salah satunya
seperti Abdullah Ahmed al-Na‟im.13
1. Jarimah Hudud
Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had. Pengertian
hukuman had sebagaimana yang dinyatakan oleh Abd al-Qadir Audah yaitu: “hukuman
had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh shara‟ dan merupakan hak Allah.”14
Secara bahasa hudud merupakan bentuk plural dari kata had yang berarti sesuatu
yang memisahkan antara dua hal. Juga dapat berarti sesuatu yang membedakan antara
yang satu dengan yang lain. Masuk dalam arti hudud adalah dinding rumah atau
batasan-batasan tanah.15
Secara bahasa hudud memiliki kesamaan makna dengan al-Man’u yang berarti
pencegahan. Hukuman atas suatu pelanggaran disebut dengan hudud, karena hukuman
tersebut bertujuan untuk mencegah orang yang melakukan pelanggaran tidak
mengulangi lagi perbuatan yang menyebabkan dirinya dihukum. Sedangkan dilihat
secara hukum shara‟, hudud artinya ketetapan atas suatu hukuman untuk menjaga hak
Allah SWT.16
Hudud hanya dijatuhkan atas tindak kejahatan berikut:17
(1) zina (pelaku dirajam
[jika muhshan/telah menikah] atau cambuk 100 kali [jika ghayr muhshan/belum
menikah]). (2) homoseksual/liwat (pelaku dibunuh). (3) qazaf menuduh berzina tanpa
didukung 4 orang saksi (pelaku dicambuk 80 kali). (4) minum khamar (pelaku
dicambuk 40/80 kali). (5) murtad yang tidak mau kembali masuk Islam (pelaku
dibunuh). (6) membegal/hirabah (pelaku dibunuh jika hanya membunuh dan tidak
merampas; dibunuh dan disalib jika membunuh dan merampas harta; dipotong tangan
dan kaki secara bersilang jika hanya merampas harta dan tidak membunuh; dibuang jika
hanya meresahkan masyarakat. (7) memberontak terhadap Negara/bughat (pelaku
diperangi dengan perang yang bersifat edukatif, yakni agar pelakunya kembali taat pada
Negara, bukan untuk dihancurkan. (8) Mencuri (pelaku dipotong tangannya hingga
pergelangan tangan jika memang telah memenuhi syarat untuk dipotong).
Kedelapan perbuatan yang harus dijatuhi hukuman hudud yang telah disebutkan
di atas, Abd al-Qadir Audah menyebutkan homoseksual (liwat) sebagai perbuatan yang
terkategori hudud. hal ini memang terdapat perbedaan diantara para ulama. Ada yang
12
Ismail Muhammad Shah, Filsafat Hukum Islam, 1992, Jakarta: Bumi Aksara, hal. 221-229. Muhammad
Abu Shahbah, Al-Hudud fi al-Islam, 1974, Kairo: al-Amiriyah, hal. 201. Ahmad Wardi Muslich, Hukum
Pidana Islam, x-xii. 13
Abdullah Ahmed al-Na‟im, Dekonstruksi Shari’ah, 1994, Yokyakarta: LKis,hal. 199. 14
Abd al-Qadir Audah, Al-Tashri’ al-Jina’i al-Islami, hal. 609. 15
Sayyid Sabiq, Fiqhu al-Sunnah,Juz 3, 1999, Beirut: Dar al-Fatah al-„Arabi,hal. 228. 16
Ibid. 17
Abd al-Qadir Audah, Al-Tashri’ al-Jina’i al-Islami, hal. 79. Abdullah Ahmed al-Na‟im, Dekonstruksi
Shari’ah, hal. 205.
SIPENDIKUM 2018
490
menyatakan homoseksual bukan perbuatan hudud, akan tetapi termasuk ta‟zir.
Ketentuan hukumannya tidak ditentukan oleh shara‟ melainkan ditentukan oleh hakim.
Alasan Abd al-Qadir Audah, menempatkan homoseksual dalam tindakan hudud,
karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang sangat keji yang lebih buruk dari
perbuatan zina. Kalau perbuatan zina melampiaskan nafsu seksual kepada wanita yang
dapat dikatakan lazim, karena nafsu laki-laki memang semestinya kepada wanita.
Namun, kejinya perbuatan zina hanya dikarenakan tidak melalui akad nikah yang sah
sesuai dengan ketentuan shara‟. Sedangkan perbuatan homoseksual melampiaskan
nafsunya kepada sesama laki-laki yang semestinya sangat tidak lazim dilakukan dan
merupakan perbuatan yang sangat buruk, sehingga hukumannya harus dibunuh.
Pendapat ini diperkuat dalam kitab Sahih Fiqh al-Sunnah Wa Adillatuhu
Wataudihu mazahib al-Aimmat, yang dikarang oleh Abu Malik Kamal Ibn Sayyid
Salim, diterangkan bahwa perbuatan homoseksual harus dibunuh. Hal ini berdasarkan
pada ijma‟ sahabat. Akan tetapi para ulama berbeda pendapat bagaimana cara
membunuhnya.18
Dari pengertian di atas dapat dintanyatakan bahwa ciri-ciri dari jinayah hudud
yaitu sebagai berikut: (a) hukumannya tertentu dan terbatas, dalam arti bahwa hukuman
tersebut telah ditentukan oleh shara‟ dan tidak ada batas minimal dan maksimal. (b)
hukuman tersebut merupakan hak Allah semata-mata, atau kalau ada hak manusia
disamping hak Allah, maka hak Allah yang lebih dominan.
2. Jarimah Qisas dan Diyat
Jarimah qisas dan diyat adalah jarimah yang diancam dengan hukuman qisas
atau diyat. Baik qisas maupun diyat keduanya adalah hukuman yang sudah ditentukan
oleh shara‟. Perbedaannya dengan hukuman had adalah bahwa hukuman had
merupakan hak Allah yang harus ditunaikan tanpa adanya dispensasi apapun, dan suatu
keharusan untuk dilaksanakannya. Sedangkan hukuman qisas dan diyat merupakan
hukuman yang dapat dimaafkan (hak manusia), artinya apabila keluarga korban
memaafkan maka hukumaan dapat digugurkan.19
Pengertian qisas menurut Muhammad Abu Zahrah adalah persamaan dan
keseimbangan antara jarimah dan hukuman.20
Sedangkan diyat adalah harta yang harus
ditunaikan ditunaikan disebabkan karena tindak kejahatan dan diserahkan kepada pihak
korban atau walinya.21
Qisas ada dua macam yaitu qisas yang terkait dengan jiwa dan qisas yang terkait
dengan anggota badan (termasuk pelukaan).22
Qisas yang terkait dengan jiwa
maksudnya adalah qisas yang berkaitan dengan penghilangan nyawa seseorang atau
dikenal dengan pembunuhan. Sedangkan qisas yang terkait dengan anggota badan
18
Abu Malik Kamal Ibn Sayyid Salim, Sahih Fiqh al-Sunnah Wa Adillatuhu Wataudihu mazahib al-
Aimmat , tt., Mesir: Al-Qahirah, hal. 48. 19
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, hal. xi. 20
Muhammad Abu Zahrah, Al-Jarimah wa al-‘Uqubah fi al-Fiqh al-Islam, tt. Beirut: Dar Al-Fikr, hal.
380. 21
Sayyid Sabiq, Fiqhu al-Sunnah, hal. 351. 22
Ibnu Rusyd, Bidayatu al-Mujtahid Wanihayatu al-Muqtasid, hal. 505.
SIPENDIKUM 2018
491
maksudnya adalah perbuatan menghilangkan salah satu atau sebagian dari anggota
badan seseorang.
Sedangkan pembunuhan sendiri dalam kitab fiqh al-Sunnah terbagi menjadi 3
macam yaitu: pembunuhan disengaja, pembunuhan semi sengaja dan pembunuhan tidak
disengaja.23
Qisas diberlakukan jika tindakan penganiayaan dilakukan dengan sengaja,
sementara denda (diyat) diberlakukan jika penganiayaan dilakukan tidak dengan sengaja
atau jika tindakan itu kemudian dimaafkan korban. Qisas ataupun diyat tidak
diberlakukan jika korban membebaskan pelakunya dengan rela/tidak menuntutnya.
3. Jarimah Ta’zir
Jarimah ta‟zir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta‟zir. pengertian
ta‟zir menurut bahasa adalah ta‟dib artinya member pelajaran.24
Ta‟zir juga diartikan
dengan al-Raddu wa al-Man’u, yang artinya menolak dan mencegah. Sedangkan
pengertian ta‟zir secara terminolog shara‟ adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak
kejahatan) yang ditentukan hukumannya oleh shara‟.25
Dalam Fiqh al-Sunnah, ta‟zir bermakna pengagungan dan pertolongan. Seperti
dalam firman Allah dalam surat al-Fath ayat 9: “Supaya kamu sekalian beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya. dan bertasbih
kepada-Nya di waktu pagi dan petang”.26
Maksudnya, mengagungkan-Nya dan membela agama-Nya. Ta‟zir juga berarti
penghinaan, dalam artian memberikan hukuman kepada orang melakukan tindak
pelanggaran. Ta‟zir yang dimaksud dalam shari‟at adalah pembinaan atas kesalahan
yang tidak ada ketentuan hududnya dan tidak pula kaffarat. Maksudnya, ta‟zir
merupakan hukuman pembinaan yang ditetapkan hakim atas tindak kejahatan atau
kemaksiatan yang tidak ditetapkan hukumannya oleh shari‟at atau hukumannya
ditetapkan shari‟at tetapi tidak memenuhi sharat-sharat pelaksanaan. Seperti
berhubungan badan bukan pada kemaluan, mencuri barang yang tidak dikenai potong
tangan, tindak kejahatan yang tidak qisasnya, wanita berhubungan badan dengan
wanita, dan tuduhan dalam kasus diluar perzinaan.27
Kasus ta‘zir secara umum dinataranya; (1) pelanggaran terhadap kehormatan,
(2) pelanggaran terhadap kemuliaan, (3) perbuatan yang merusak akal, (4) pelanggaran
terhadap harta, (5) gangguan keamanan, (6) subversi, (7) pelanggaran yang
berhubungan dengan agama.
Sanksi ta„zir dapat berupa; (1) cambuk yang tidak boleh lebih dari 10 kali, (2)
penjara, (3) pengasingan, (4) pemboikotan, (5) ganti rugi (ghuramah), (6)
penyitaan harta, (7) mengubah bentuk barang, (8) ancaman yang nyata, (9) pencabutan
sebagian hak kekayaan (hurman), (10) pencelaan (tawbikh), (11) pewartaan (tasyhir).
23
Sayyid Sabiq, Fiqhu al-Sunnah, hal. 329. 24
Abd al-Qadir Audah, Al-Tashri’ al-Jina’i al-Islami, hal. 80. 25
Abu al-Hasan al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyah, hal. 236. 26
Al-Qur‟an, 48:9. 27
Sayyid Sabiq, Fiqhu al-Sunnah, hal. 375.
SIPENDIKUM 2018
492
Dan banyak lagi sanksi yang lain yang semuanya tergantung pada hakim yang
memberikan hukuman.
Ketiga macam jarimah yang telah disebutkan di atas yaitu jarimah hudud,
jarimah qisas dan diyat serta jarimah ta‟zir, merupakan suatu bentuk sanksi sebagai
wujud dari penegakan hukum (law inforcement) pada hukum Islam. Tujuannya tidak
lain hanyalah untuk pembelajaran bagi si pelaku kejahatan agar tidak mengulangi lagi
tindakan kejahatannya. Dan menciptakan situasi dan kondisi masharakat yang aman,
tentram dan damai.
Legislasi Hukum Islam Sebagai Logikal Extention (Konsekuensi Logis)
Muhammad Khudari Bek dalam bukunya, Tarikh at-Tasyri’ al-Islami (Sejarah
Pembentukan Hukum Islam) membagi Periodisasi Legislasi hukum Islam dalam enam
periode, yaitu: 28
(1) Periode awal, pada masa Rasulullah saw. (2) Periode para sahabat
besar, berakhir sampai masa Khulafa al-Rashidun (11 sampai 40 H). (3) Periode sahabat
kecil dan thabi‟in, periode ini dimulai dari pemerintahan Mu‟awiyah bin Abu Sufyan
tahun 41H sampai timbulnya segi-segi kelemahan pada kerajaan Arab yakni pada awal
abad ke 2 H. (4) Periode awal abad ke-2 H sampai pertengahan abad ke-4 H, periode
pembukuan al-Sunnah, Fiqh dan munculnya Imam-imam besar yang dikenal oleh
jumhur dengan tokoh-tokoh mazhab. (5) Periode berkembangnya mazhab dan
munculnya taklid mazhab, mulai permulaan abad ke 4 sampai runtuhnya Daulah
Abbasiyah. (6) Periode jatuhnya Baghdad (pertengahan abad ke-7 H oleh Hulagu Khan
1217-1265 ) sampai sekarang.
Dari keenam periode di atas, dalam sejarah pembentukan dan perkembangan
hukum Islam, legislasi dapat dikategorikan menjadi tiga periode atau masa yaitu; (1)
legislasi hukum Islam pada masa rasulullah Rasulullah, (2)legislasi hukum Islam pada
masa sahabat, dan (3) legislasi hukum Islam pada masa tadwin.29
Pertama, legislasi hukum Islam pada masa Rasulullah. Pada masa Rasulullah
tidak terdapat persoalan apapun yang tidak dapat dipecahkan, apalagi yang berkenaan
dengan persoalan hukum, karena pada masa itu Rasulullah sebagai pemutus hukum atas
semua perkara yang terjadi. Ketika terjadi persoalan hukum, maka dapat ditanyakan
langsung kepada Rasulullah, dan beliaulah yang akan memberikan jawaban terhadap
persoalan tersebut dengan berlandaskan pada dua sumber hukum, yaitu al-Qur‟an dan
Sunnah.30
Menurut Abdul Wahhab Khallaf, pada periode Rasulullah hanya terdapat dua
sumber hukum (perundang-undangan); yaitu wahyu Ilahi (al-Qur‟an) dan ijtihad
Rasulullah saw. sendiri (Sunnah). Apabila terjadi peristiwa yang memerlukan ketetapan
hukum, atau ada suatu pertanyaan, permintaan fatwa dan semacamnya, maka Allah
menurunkan wahyu kepada Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah menyampaikan
wahyu tersebut kepada umatnya. Dan wahyu inilah yang menjadi undang-undang yang 28
Hudari Bik, Tarikh al-Tashri’ al-Islami, Terj. Mohammad Zuhri, 1980, Jakarta: Dar al-Ihya‟, hal. 4. 29
„Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, 2001, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, hal.13. 30
Abuddin Nata, Hafiz Anshary, Al-Qur’an dan Hadis, Dirasah Islamiyah I, 1993, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, hal. 150.
SIPENDIKUM 2018
493
wajib diikuti. Apabila Allah tidak menurunkan wahyu-Nya, maka Rasulullah
melakukan ijtihad sendiri. Hasil ijtihad inilah yang kemudian menjadi ketetapan atau
undang-undang yang harus diikuti.31
Pada masa Rasulullah, juga pernah dilakukan ijtihad dengan metode qiyas yang
pernah dilakukan oleh beliau sendiri. Perbuatan Rasul yang bersifat umum ini berarti
membentuk shari‟at bagi umatnya, karena juga tidak terdapat dalil yang
menghususkannya. Oleh karena itu mengqiyaskan kejadian yang tidak ada nasnya
adalah termasuk diantara sunnah Rasul saw. dan bagi umat Islam beliau adalah contoh
teladan (uswatun hasanah). 32
Sebenarnya ketika di analisa secara mendalam, sumber hukum pada masa
Rasulullah, lebih banyak mengacu kepada wahyu dari Allah. Walaupun disitu
Rasulullah pernah melakukan ijtihad, namun implementasinya Rasulullah banyak
mendapatkan petunjuk dari Allah. Karena beliau merupakan Rasul pilihan yang telah
direncanakan Allah menjadi suri tauladan yang baik bagi seluruh umat.
Kedua, legislasi hukum Islam pada masa sahabat. Dengan wafatnya Nabi
Muhammad saw. berhentilah wahyu yang selama kurun waktu 22 tahun, 2 bulan, 22
hari yang beliau terima dari malaikat Jibril, baik waktu beliau berada di Mekah maupun
di Madinah. Begitu juga dengan Sunnah berakhir pula dengan meninggalnya beliau.
Dalam hal ini kedudukan Rasulullah tidak dapat digantikan oleh siapapun saja, karena
beliau adalah seorang Nabi dan Rasul yang agung dan diagungkan oleh Allah. Namun
menyangkut tugas dan peran beliau sebagai penyampai risalah kepada umat harus
senantiasa dilanjutkan.33
Agar risalah Islam tidak berhenti di tengah dijalan dengan
wafatnya Rasulullah saw. dan sebagai pengganti beliau adalah para sahabat.
Adapun sumber hukum pada masa sahabat yaitu; (1) al-Qur‟an, (2) Sunnah, dan
(3) Ijtihad sahabat. Apabila terjadi suatu peristiwa baru atau persengketaan, maka para
ahli fatwa mencari ketetapan hukumnya dalam al-Qur‟an. Apabila mereka mendapatkan
ketetapan hukumnya di dalam nas al-Qur‟an itu, maka mereka menerapkan hukum
tersebut. Akan tetapi, apabila mereka tidak mendapatkan ketetapan hukumnya dalam al-
Qur‟an, maka mereka mencari keterangan dalam sunnah. Dan jika menemukannya
dalam sunnah, maka mereka menetapkan hukum tersebut. Selanjutnya, apabila mereka
tidak menemukannya dalam sunnah, maka para sahabat melakukan ijtihad dengan
mengqiyaskannya dengan suatu hukum yang telah ada ketetapannya dalam nas.34
Adapun dasar argumentasi yang menjadikan ijtihad sahabat merupakan bagian
dari sumber hukum adalah:35
(a) Mereka ikut menyaksikan tindakan dan sikap
Rasulullah saw. ketika mempergunakan kekuatan ijtihatnya pada saat wahyu tidak
turun, dan saat itu ada problematika hukum yang perlu dicari jawabannya. (b) Apa yang
pernah terjadi ketika Rasulullah saw. Muazd bin Jabal menjadi qadi negeri Yaman.
Terjadi dialog antara Rasulullah dengan Muazd. Rasulullah berkata:”Bagaimana caramu 31
„Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, hal. 13. 32
Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Usul al-Fiqh, hal. 82. 33
Abuddin Nata, Hafiz Anshary, Al-Qur’an dan Hadis, Dirasah Islamiyah I,hal. 53. 34
„Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, hal. 48. 35
Ibid.,hal. 49.
SIPENDIKUM 2018
494
menetapkan hukum atas suatu peristiwa yang kamu hadapi?” Muazd:”Aku menetapkan
hukum berdasarkan al-Qur‟an”. Rasul bertanya:”Kalau kamu tidak menemukan
ketetapan dalam al-Qur‟an?” Muazd menjawab:”Aku akan menetapkan berdasarkan
sunnah Nabi saw.” Rasul bertanya:”Kalau kamu tidak menemukan ketetapan dalam
sunnah?” Muazd: ”Aku akan berijtihad dengan pendapatku sendiri.” Mendengar
jawaban dari Muazd, lalu Rasulullah mengakui jawaban tersebut, sambil memuji kepada
Allah SWT. atas pemberian taufiq kepada utusan Rasul-Nya.” (c) Bahwa mereka
memahami berdasarkan adanya penyebutan illat pada sebagian ayat-ayat hukum dalam
al-Qur‟an dan sunnah, sehingga dengan demikian mereka memahami bahwa tujuan
penetapan hukum dalam al-Qur‟an dan sunnah adalah untuk kemaslahatan umat. Oleh
karena itu apapun cara yang ditempuh dalam menetapkan sebuah hukum untuk
mencapai kemaslahatan tersebut harus dilakukan, termasuk dalam melakukan ijtihad.
Ketiga, legislasi hukum Islam pada masa Tadwin. Periode tadwin merupakan
periode keemasan dalam sejarah pembentukan hukum Islam. Dalam periode ini
berbagai sumber hukum Islam telah terkodifikasi secara sistematis dalam bentuk
perundang-undangan hukum Islam. Pada masa ini gerakan penulisan dan pembukuan
hukum-hukum islam mengalami perkembangan dan kemajuan yang sangat pesat.
Seperti hadis-hadis Nabi, fatwa-fatwa dari kalangan sahabat, tabi‟in-tabi‟in, tafsir al-
Qur‟an, fikih para imam mujtahid serta berbagai ilmu usul fiqh telah dikodifikasi dalam
bentuk pembukuan.36
Sumber-sumber hukum pada masa tadwin ini ada empat yaitu; (1) al-Qur‟an, (2)
Sunnah, (3) Ijma‟, dan (4) Ijtihad dengan metode qiyas atau ijtihad dengan salah satu
dari metode istimbath. Kalau seorang mufti mendapatkan ketetapan hukum suatu
masalah dalam al-Qur‟an dan sunnah, maka mereka harus berpedoman pada nas
tersebut. Dan kalau tidak mendapatkan ketetapan dalam al-Qur‟an dan sunnah, maka
mereka menetapkan hukum dengan menggunakan ijma‟ para mujtahid, apabila dalam
ijma‟ telah ditemukan ketetapan hukumnya, maka yang harus dijadikan pedoman adalah
ijma‟. Selanjutnya jika mereka tidak menemukan ketetapan hukum berdasarkan ijma‟,
maka langkah berikutnya adalah berijtihad dengan menggunakan metode istimbat} yang
diajarkan shari‟at, misalnya dengan metode qiyas. 37
Tujuan Hukum Islam (Cita-Cita Sosial Islam)
Secara etimologis, kata hukum berasal dari bahasa Arab yaitu al-hukm berarti al-
‘ilm wa al-fiqh. Juga berarti al-‘adl. Fi‟il muta‟addinya yaitu kata ahkama mempunyai
arti perpegang dengan teguh.38
Al-hukm juga berarti al-qada’ (ketetapan) dan al-man’u
(pencegahan).39
Sedangkan secara terminologis terdapat beberapa pengertian yaitu:
Menurut Muhammad Abu Zahrah, hukum adalah titah (khitab) pembuat shara‟ yang
berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan atau
36
Ibid.,hal. 71. 37
Ibid.,hal. 81. 38
Ibn Mansur, Lisan al-‘Arab, Vol. 12, 1990, Beirut: Dar al-Sadir, hal. 140-143. 39
Abdul Azis Dahlan et.al, Ensiklopedi Hukum Islam,Vol.2, 1996, Jakarta: PT. Ikhtiyar Baru,hal. 571.
SIPENDIKUM 2018
495
penetapan.40
Definisi ini mendekati makna shari‟ah. Sedangkan menurut Muhammad
Hasbi Ash Siddieqy, hukum adalah koleksi daya upaya fuqaha‟dalam menetapkan
shari‟at islam sesuai dengan kebutuhan masharakat.41
Definisi ini lebih mendekati
makna fiqih.
Dalam Oxford English Dictionary yang dikutip oleh Muhammad Muslehuddin,
hukum adalah sekumpulan aturan-aturan, baik berasal dari aturan formal maupun adat,
yang diakui oleh masharakat dan bangsa tertentu sebagai pengikut bagi anggota.42
Berangkat dari definisi hukum Islam di atas, dapat dinyatakan secara tegas
bahwa dalam melakukan perbuatan apa saja harus bersandarkan pada hukum. Artinya
memiliki pedoman atau dasar yang jelas sebagaimana yang telah tercantum dalam
hukum tersebut.
Muhammad Abu Zahra dalam kaitan ini menegaskan bahwa tujuan hakiki
hukum Islam adalah kemaslahatan. Tak satupun hukum yang dishari‟atkan baik dalam
al-Qur‟an maupun Sunnah melainkan terdapat kemaslahatan.43
Kemaslahatan menurut
al-Syatibi adalah sebagai berikut :
ر الشس عة... ضعت لتحمك هما صد الشا زع فى لا م هصا لحن ف الدي الدا هعا
“sesungguhnya syari'at itu bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia
dan akhirat".44
Dalam ungkapan yang lain dinyatakan oleh al-Shatibi:
اال حكام هشسعة لوصالح العباد
“Hukum-hukum dishariatkan untuk kemaslahatan hamba”45
Kemaslahatan dapat diwujudkan jika memenuhi dan memelihara lima unsur
pokok, yaitu :46
memelihara agama (hifd al-Din), memelihara jiwa (hifd al-Nafs),
memelihara akal (hifd} al-‘Aql), memelihara keturunan (hifd al-Nasl), dan memelihara
harta serta kehormatan (hifd al-Mal wa al-‘Ird}).47
Dalam usaha mewujudkan dan
memelihara lima unsur pokok ini, al-Shatibi membagi kepada tiga tingkat yaitu :48
(1)
Maqasid al-Daruriyyat (primer), (2) Maqasid al-Hajiyyat (sekunder), (3) Maqasid al-
Tahsiniyat (tersier).
Maqasid al-Daruriyyat dimaksudkan untuk memelihara lima unsur pokok dalam
kehidupan manusia diatas tersebut. Maqasid al-Hajiyyat dimaksudkan untuk
menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan terhadap lima unsur pokok
40
Muhammad Abu Zahrah, usul al-Fiqh, 1958, Mesir: Dar al-Fikr al-„Arabi,hal. 28. 41
Muhammad Hasbi Ash Siddiqy, Falsafah Hukum Islam, 1993, Jakarta: Bulan Bintang,hal. 44. 42
Muhammad Muslehuddin, Philosopy of Islamic Law and The Orientalists, 1980, Lanore: Islamic
Publication Ltd.,hal. 17. 43
Muhammad Abu Zahrah, usul al-Fiqh,hal. 366. 44
Al-Shatibi, Al-Muwaffaqat fi Usul al-Shari’ah, 1966, Kairo: Dar al-Qalam,hal. 12. 45
Ibid.,hal. 54. 46
Suparman Usman, Hukum Islam, Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam Dalam Tata Hukum
Indonesia, 2001, Jakarta: Gaya Media Pratama,hal. 66. 47
Tentang memelihara kehormatan merupakan penambahan dari Imam al-Qarafi dengan merujuk pada
hadis sahih:” orang Islam itu haram darahnya, harga diri dan hartanya atas orang islam lainnya”. Disini
harga diri digandeng dengan darah dan didahuluklan atas harta. Yusuf al-Qardawi, Membumikan Shari’at
Islam, 1996, Surabaya: Dunia Ilmu, hal.58-59. 48
Al-Shatibi, Al-Muwaffaqat fi Usul al-Shari’ah, hal. 8.
SIPENDIKUM 2018
496
menjadi lebih baik lagi. Sedangkan Maqasid al-Tahsiniyat dimaksudkan agar manusia
dapat melakukan yang terbaik untuk penyempurnaan pemeliharaan lima unsur pokok.49
Sebagai contoh, dalam memelihara unsur agama, aspek daruriyyatnya adalah
mendirikan salat. Salat merupakan aspek daruriyyat, keharusan menghadap kiblat
merupakan aspek hajjiyat, dan menutup aurat merupakan aspek tahsiniyyat.50
Penjelasan dari lima tujuan di atas yaitu; pertama, memelihara agama (hifd al-
Din). Agama adalah sesuatu yang harus dimiliki oleh manusia supaya martabatnya
terangkat lebih tinggi dari makhluk yang lain untuk memenuhi hajat jiwanya. Adapun
wujud aplikasi dari memelihara agama berupa; pengakuan iman, pengucapan dua
kalimat shahadat, mendirikan salat, puasa, haji dan sebagainya. Kedua, memelihara jiwa
(hifd al-Nafs). Untuk tujuan ini, islam melarang pembunuhan, penganiayaan. sehingga
pelaku dari pembunuhan dan penganiayaan tersebut diancam dengan hukuman qisas.51
Ketiga, memelihara akal (hifd al-‘Aql). Aplikasi memelihara akal ini dapat
terwujud dalam bentuk larangan minum khamr (minuman keras), dan minuman lainnya
yang memabukkan karena dapat merusak akal. Keempat, memelihara keturunan (hifd
al-Nasl). untuk memelihara kemurnian keturunan, maka islam mengatur tata cara
pernikahan dan melarang perzinaan serta perbuatan lain yang mengarah pada perzinaan
tersebut. Kelima, memelihara harta serta kehormatan (hifd al-Mal wa al-‘Ird). Aplikasi
dari memelihara harta antara lain; pengakuan hak pribadi, pengaturan mu‟amalah
seperti jual beli, sewa-menyewa, gadai dan sebagainya. Termasuk juga larangan
melakukan riba, penipuan, mencuri dan perbuatan haram lainnya. Sedangkan aplikasi
menjaga kehormatan yaitu; larangan menghina orang lain, menuduh orang lain berzina
tanpa bukti (qadaf) dan sebagainya.52
Ibn Qayyim al-Jauziyah merumuskan tujuan hukum islam sebagai berikut:”
Shari‟at bersendi dan berasas atas hikmat dan kemaslahatan manusia dalam hidupnya di
dunia dan akhirat. Shari‟at adalah keadilan, rahmat (kasih sayang), kemaslahatan dan
kebijaksanaan sepenuhnya. Shari‟at merupakan kasih sayang Allah terhadap makhluk-
makhluknya”. Menurutnya, segala sesuatu yang melanggar ketentuan shari‟at maka
akan berlaku yang sebaliknya, yaitu akan mendatangkan bencana, kerusakan dan
kesengsaraan di dunia maupun di akhirat.53
Secara umum tujuan hukum Islam dapat di kategorikan sebagai barikut:54
(1)
Menjamin keamanan dari kebutuhan-kebutuhan hidup merupakan tujuan pertama dan
utama dari shari‟at. Ini merupakan kebutuhan pokok yang tercantum pada maqasid al-
Shari’ah (lima tujuan shari‟at) yang telah disebutkan di muka. (2) Menjamin keperluan
hidup (keperluan sekunder) atau disebut hajjiyat. Ini mencakup hal-hal yang penting
bagi ketentuan itu dari berbagai fasilitas untuk penduduk dan memudahkan kerja keras
49
Abdul Aziz Dahlan, ed. Ensiklopedi Hukum Islam, 2001, Jakarta : Intermasa, hal. 1109-1011. 50
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqasid al-Shari’ah, 1996, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,hal. 72. 51
Suparman Usman, Hukum Islam,hal. 66. 52
Ibid., hal. 67. 53
Ibn Qayyim al-Jauziyah sebagaimana yang dikutip oleh Suparman Usman, Hukum Islam,hal. 68. 54
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, Penegakan Shari’at Dalam Wacana dan Legenda,
2003, Jakarta: Gema Insani, hal. 19.
SIPENDIKUM 2018
497
dan beban tanggung jawab mereka. (3) Membuat berbagai perbaikan, yaitu menjadikan
hal-hal yang dapat menghiasi kehidupan sosial dan menjadikan manusia mampu berbuat
dan mengatur urusan hidup lebih baik (keperluan tersier) atau disebut tahsiniyat.
Penutup
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum Islam
merupakan pedoman bagi kehidupan manusia agar memperoleh keselamatan di dunia
dan akhirat. Dengan hukum Islam akan tercipta tatanan kehidupan yang damai,
terwujud kemaslahatan dan terbinanya keadaan masharakat yang berkeadaban (civil
society). Sehingga apabila telah terbina kehidupan masharakat yang madani, maka
tujuan hidup yang merupakan ketundukan dan keta‟atan kepada Allah juga akan
tercapai dengan baik.
Daftar Pustaka
Anshary, Abuddin Nata, Hafiz. Al-Qur’an dan Hadis, Dirasah Islamiyah I, 1993,
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Audah, Abd al-Qadir. Al-Tashri’ al-Jina’i al-Islami, Juz I, tt. Beirut: Dar al-Kitab al-
„Arabi.
Bakri, Asafri Jaya. Konsep Maqasid al-Shari’ah, 1996, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Bik, Hudari. Tarikh al-Tashri’ al-Islami , Terj. Mohammad Zuhri, 1980, Jakarta: Dar
al-Ihya‟.
Bukhari (al), Imam Abi „Abdillah Muhammad Ibn Isma‟il Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirat.
Sahih al-Bukhari, Jilid 4, 2009, Beirut: Dar al-Kutub al-„Ulumiyyah.
Dahlan ed., Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam, 2001, Jakarta : Intermasa.
Dahlan et.al, Abdul Azis. Ensiklopedi Hukum Islam, Vol. 2, 1996, Jakarta: PT. Ikhtiyar
Baru.
Hanafi, Ahmad. Asas-asas Hukum Pidana Islam, 1976, Jakarta: Bulan Bintang.
Kamal, Abu Malik Ibn Sayyid Salim. Sahih Fiqh al-Sunnah Wa Adillatuhu Wataudihu
mazahib al-Aimmat, tt., Mesir: Al-Qahirah.
Khallaf, „Abdul Wahab. Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, 2001,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Mahmasani, Subhi. Falsafah al-Tashri’fi al-Islam, 1945, Mesir: Dar al-Qalam.
Mansur, Ibn. Lisan al-‘Arab, Vol. 12, 1990, Beirut: Dar al-Sadir.
Mawardi (al), Abu al-Hasan. Al-Ahkam al-Sultaniyah, 1975, Mesir: Mustafa al-Babi al-
Halabi.
Munajat,Mahrus. Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, 2004, Yokyakarta: Logung
Pustaka.
Muslich, Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam, 2005, Jakarta: Sinar Grafika.
SIPENDIKUM 2018
498
Muslehuddin, Muhammad. Philosopy of Islamic Law and The Orientalists, 1980,
Lanore: Islamic Publication Ltd.
Na‟im (al), Abdullah Ahmed. Dekonstruksi Shari’ah, 1994, Yokyakarta: LKis.
Qardawi (al),Yusuf. Membumikan Shari’at Islam, 1996, Surabaya: Dunia Ilmu.
Rusyd, Ibnu. Bidayatu al-Mujtahid Wanihayatu al-Muqtasid, Terj. Imam Ghazali Said,
Ahmad Zaidun, 2007, Jakarta: Pustaka Amani.
Sabiq, Sayyid. Fiqhu al-Sunnah,Juz 3, 1999, Beirut: Dar al-Fatah al-„Arabi.
Santoso,Topo. Membumikan Hukum Pidana Islam, Penegakan Shari’at Dalam Wacana
dan Legenda, 2003, Jakarta: Gema Insani.
Shahbah, Muhammad Abu. Al-Hudud fi al-Islam, 1974, Kairo: al-Amiriyah.
Shah, Ismail Muhammad. Filsafat Hukum Islam, 1992, Jakarta: Bumi Aksara.
Shatibi (al). Al-Muwaffaqat fi Usul al-Shari’ah, 1966, Kairo: Dar al-Qalam.
Siddiqy (ash), Muhammad Hasbi. Falsafah Hukum Islam, 1993, Jakarta: Bulan Bintang.
Triwulantutik, Titik. Pengantar llmu Hukum, 2006, Jakarta : Prestasi Pustakarya.
Usman, Suparman. Hukum Islam, Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam Dalam
Tata Hukum Indonesia, 2001, Jakarta: Gaya Media Pratama.
Zahrah, Muhammad Abu. Al-Jarimah wa al-‘Uqubah fi al-Fiqh al-Islam, tt., Beirut:
Dar Al-Fikr.
-------------------------. Usul al-Fiqh, 1957, Kairo: Matba‟ah Muhaimar.
-------------------------. Usul al-Fiqh, 1958, Mesir: Dar al-Fikr al-„Arabi.