section b organizational crises ancaman keluarga dari luar: invasi yang membahayakan keutuhan...

27

Click here to load reader

Upload: faradibs

Post on 29-Jul-2015

34 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Section B ORGANIZATIONAL CRISES Ancaman keluarga dari luar: Invasi yang membahayakan keutuhan keluarga (External Threats: Invasion from without )

AbstraksiSebagian besar keluarga dalam tatanan masyarakat akan melewati proses dimana

keluarga tersebut akan mengalami perubahan formasi keluarga di mana di dalamnya akan melibatkan perkembangan keluarga itu sendiri. Perubahan serta perkembangan dalam keluarga sangat rawan terhadap terjadi-nya konflik dalam keluarga tersebut. Akan tetapi, di balik konflik yang terjadi dalam suatu keluarga pada hakekatnya justru akan memperkuat keluarga tersebut, terutama mengenai nilai-nilai yang harus dilestarikan atau justru dihindari oleh anggota keluarga. Timbul suatu nilai kesepakatan universal dalam keluarga tersebut, terutama menyangkut fungsi dan struktur keluarga. Dalam bagian ini akan menjelaskan bahwa timbulnya konflik dalam keluarga bisa terjadi dari luar (bagian 20), berasal dari dalam keluarga itu sendiri (internal). Buku ini juga menjelaskan dalam bagian lainnya, yakni mengenai penyebab utama konflik yang terjadi dalam suatu keluarga, krisis yang membagi keluarga tersebut dalam blok-blok tertentu, peran orang tua sebagai pemersatu dalam konflik, dan bagaimana cara untuk mempersatukan keluarga tersebut seperti sediakala.

Pendahuluan Keterlibatan pihak luar bisa menyebabkan suatu gangguan terhadap keluarga, di mana

pihak luar yang bukan seharusnya berada di dalam keluarga tersebut yang kemudian diistilah-kan dalam buku ini sebagai “pengganggu” merupakan individu atau beberapa individu yang memang sengaja masuk ke dalam suatu keluarga, atau dibawa oleh salah satu anggota keluarga dalam keluarga tersebut (misalnya menantu, ayah tiri, ibu tiri, anak kandung yang telah lama berpisah, dan lainnya). Hal ini menjadi suatu masalah tersendiri jika pengganggu ini diinginkan oleh beberapa anggota keluarga, namun tidak diinginkan oleh anggota keluarga yang lainnya. Pada kasus tertentu, maka pengganggu ini memang sengaja masuk ke dalam keluarga tersebut atas inisiatifnya sendiri. Misalnya anak kandung yang telah lama berpisah dengan salah satu orang tuanya, (dengan ayah atau dengan ibunya akibat kedua orang tua kandungnya mengalami perceraian). Maka setelah orang tua yang mengasuhnya meninggal, atau tidak sanggup lagi mengasuhnya, anak ini kemudian meminta haknya untuk dirawat dan diambil alih oleh orang tua yang lain. Anak kandung yang masuk dalam keluarga ini akan mendatangkan suatu tekanan tersendiri, baik terhadap pasangan orang tua yang sekarang (ayah atau ibu tiri) dan saudara-saudara tirinya yang lain. Perubahan suasana baru yang disebabkan oleh kehadiran anggota keluarga baru yang tidak termasuk anggota keluarga inti sebelumnya hampir bisa dipastikan akan mengakibatkan tekanan pada anggota keluarga yang lama.

1

Chapter 20Section B ORGANIZATIONAL CRISES

Ancaman keluarga dari luar: Invasi yang membahayakan keutuhan keluarga(External Threats: Invasion from without )

Review Buku The FamilyRobert O. Blood, Jr

New York: The Free Press

Nama : Nindita Farah SasmayaNIM : 117120100111002Mata Kuliah : Sosiologi KeluargaDosen Pengampu : Dr. Ir. Yayuk Yuliati, MS.

Page 2: Section B ORGANIZATIONAL CRISES Ancaman keluarga dari luar: Invasi yang membahayakan keutuhan keluarga (External Threats: Invasion from without )

Kasus-kasus Penambahan Anggota baruSebagian besar dari pengganggu adalah individu yang sebelumnya mempunyai ikatan

kekeluargaan dengan keluarga tersebut. Kasus yang paling sering ditemui adalah orang tua dari salah satu pasangan yang telah renta dan kemudian dirawat serta diajak tinggal dalam suatu keluarga inti, pasangan suami atau isteri dari anak (menantu) yang tinggal di rumah orang tuanya (mertua), atau anak yang bercerai atau menjadi janda akibat kematian suaminya atau isterinya yang kembali ke rumah orang tuanya. Seringkali ancaman yang berpotensi menggang-gu keharmonisan keluarga berasal dari sumber-sumber financial yang berasal dalam keluarga tersebut. Dua kepala keluarga yang hidup dalam satu keluarga dapat menghemat pengeluaran lebih besar. Itu sebabnya, mengapa bentuk keluarga yang dipersatukan dalam satu tempat ting-gal (keluarga gabungan) merupakan suatu bentuk keluarga yang tetap dipertahankan sampai sekarang. Untuk orang tua yang telah berusia lanjut serta membutuhkan perawatan dan bantu-an dari orang lain, maka keluarga gabungan merupakan salah satu solusi yang bisa diambil guna merawat orang tua yang telah berusia lebih lanjut sebagai bentuk perwujudan bakti anak terhadap orang tua mereka. Dalam beberapa kasus, maka anak yang bercerai dan kembali ke rumah orang tuanya akan membawa serta anak-anak mereka. Hal ini menyebabkan terjadinya reuni antar generasi, yakni orang tua, anak, dan cucu yang tinggal bersama dalam satu tempat tinggal. Kehadiran keluarga gabungan yang tanpa disengaja namun harus diterima kehadiran-nya oleh keluarga inti ini seringkali sangat memberikan tekanan yang jauh lebih berat bila dibandingkan dengan keluarga gabungan yang memang sengaja dibentuk sebelumnya (misal-nya keluarga gabungan yang terjadi di India, Pakistan, dan di beberapa negara-negara Arab).

Komarovsky (1964) melaporkan dalam hasil penelitian psikologinya, bahwa jumlah yang cukup besar di kalangan keluarga pekerja di Amerika Serikat mengalami tekanan akibat keluarga gabungan yang tanpa disengaja tersebut, baik mereka bertindak sebagai ‘tuan rumah’ atau sebagai ‘pengganggu’ dalam suatu keluarga inti. Studi di kawasan pinggiran kota London yang dilakukan oleh Willmott dan Young mendapatkan kesimpulan bahwa orang tua yang tinggal dengan salah satu anak mereka, baik karena usia lanjut maupun karena kasus tertentu, maka konflik menjadi suatu hal yang lumrah terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Para orang tua yang lanjut usia tersebut bertutur, bahwa tinggal dengan anak mereka dan keluarganya dalam suatu lingkungan yang baru merupakan suatu hal yang sangat berpotensi menimbulkan ketidak nyamanan, karena mereka merasa asing dengan anak mereka sendiri. Orang tua lanjut usis di Jerman, misalnya menyatkan bahwa ketika mereka tinggal dengan anak mereka dan keluarganya, maka hamper 80 persen mengalami hubungan yang buruk dengan anaknya, dan keluarga dari anaknya tersebut (menantu dan cucunya), sedangkan hanya 61 persen orang tua yang tinggal dengan anaknya merasa nyaman dan bertahan tinggal dengan anaknya dan keluar-ganya dalam waktu yang relative lama (Tatler, 1961). Kecenderungan ini sering diamati oleh para psikolog yang menyelidiki masalah keluarga, di mana mereka menyimpulkan bahwa orang tua yang telah lanjut udia yang membutuhkan kasih sayang ini sangat bergantung sepenuhnya terhadap anak-anaknya. Kondisi mereka yang telah lanjut usia membuat ego mereka semakin tinggi sehingga menginginkan perawatan anak terhadapnya berlangsung secara optimal. Di sisi lain, anak mereka mempunyai keluarga sendiri yang membutuhkan ayah atau ibu mereka seba-gai pasangan maupun sebagai orang tua. Kondisi seperti ini sangat mengganggu keutuhan suatu keluarga, di mana konflik antara anak dengan orang tua, serta anak dengan pasangannya akan berlangsung terus menerus, terutama jika pasangan anaknya (menantu) tidak mempunyai sifat pengertian, atau tidak mempunyai hubungan yang terlalu dekat dengan orang tua pasangannya.

2

Page 3: Section B ORGANIZATIONAL CRISES Ancaman keluarga dari luar: Invasi yang membahayakan keutuhan keluarga (External Threats: Invasion from without )

Keluarga Gabungan tak disengaja yang tinggal di rumah pihak perempuan (matrilineal)Dalam beberapa kultur, maka terdapat bentuk-bentuk keluarga di mana pihak perem-

puan mempunyai kekuasaan lebih dibandingkan dengan pihak laki-laki terutama dalam pem-bagian warisan (matrilineal system). Dalam beberapa kasus keluarga yang tidak mempunyai anak laki-laki, maka mereka akan meminta salah satu anak perempuan mereka (yang telah menikah maupun yang belum menikah) untuk tinggal bersama dengan orang tua dengan tujuan menemani dan merawat mereka di saat lanjut usia. Keluarga dengan pola matrilineal dianggap lebih ‘manusiawi’ bila dibandingkan dengan keluarga ‘patrilineal’ di mana anak laki-laki tinggal di rumah orangtuanya. Keluarga dengan sistem matrilineal dianggap lebih manusiawi, karena factor kedekatan antara anak perempuan dengan orang tuanya tidak bisa dikalahkan dengan kedekatan antara seorang mertua perempuan dan menantu perempuan yang terjadi dalam system patriarki.

Dalam suatu perkawinan poligini, di mana seorang laki-laki menikah dengan dua atau lebih perempuan, maka sering terjadi suatu bentuk keluarga di mana dua isteri atau lebih dikumpulkan dalam satu rumah. System poligini yang demikian sering terjadi di wilayah-wilayah yang mengijinkan untuk menikahkan seorang kakak perempuan dan adik perempuan dengan seorang laki-laki yang sama. Penggabungan keluarga seperti demikian membuat salah seorang isteri menjadi kepala dalam mengurusi urusan keluarga tersebut, sedangkan isteri-isteri yang lainnya bertugas untuk mengikuti aturan isteri yang bertindak sebagai kepala rumah tangga itu. Bentuk rumah tangga sedemikian menjadi bentuk rumah tangga yang dipertahan-kan, terutama di daerah-daerah yang masih mengakui bentuk perkawinan poligini secara legal. Bentuk keluarga seperti ini, bagi sebagian ahli dikatakan sebagai bentuk keluarga matrilineal, karena perempuan berkumpul dengan perempuan lainnya dalam satu atap meskipun mereka tidak terikat hubungan persaudaraan, namun mereka mempunyai hubungan akibat ikatan per-kawinan. System matrilineal yang diakibatkan oleh tradisi poligini yang menempatkan para isteri di dalam satu rumah juga merupakan bentuk keluarga yang lebih rendah tekanan mental maupun emosionalnya, karena para isteri tidak harus berpikir yang tidak-tidak mengenai isteri yang lain. Salah satu naluri perempuan adalah insting kecurigaan, di mana hal ini bisa dihindari seminimal mungkin jika mereka bergabung dengan isteri-isteri yang lain, saling berkomunikasi satu sama lain, serta mengerti kegiatan sehari-hari para isteri yang lain, sehingga bentuk keluarga poligini dengan system matrilineal dianggap jauh lebih sehat disbanding dengan perkawinan poligini yang menempatkan isteri secara berjauhan.

Keluarga gabungan dengan system pembagian keluarga yang terdesentralisasiSalah satu solusi yang bisa ditempuh untuk mengatasi pengeluaran dalam keluarga yang

jumlahnya signifikan dalam suatu keluarga gabungan adalah dengan cara system desentralisasi. Meskipun hal ini tidak merubah substansi dari keluarga gabungan yang menempatkan semua anggota keluarga berkumpul di bawah satu atap namun pemisahan keluarga menjadi keluarga kecil masih bisa dimungkinkan. Sebagai contoh, suatu keluarga gabungan yang terdiri atas dua orang tua, lima anak, lima menantu, sepuluh cucu, dapat didesentraliasi menjadi tiga sampai enam bagian keluarga. Misalnya, keluarga pertama adalah yang bertindak sebagai kepala, yakni orang tua atau anak pertama, dan keluarga-keluarga kecil lainnya yang dipisahkan dalam grup-grup kecil yang akan mengatur urusan keluarganya sendiri-sendiri secara terperinci. Penelitian Komarovsky’s menemukan bahwa kelas pekerja di Amerika yang tinggal dalam bagian-bagian kecil dalam satu rumah besar akan lebih minim tekanan daripada jika suatu keluarga gabungan menganut system sentralisasi untuk mengatur urusan rumah tangga mereka.

3

Page 4: Section B ORGANIZATIONAL CRISES Ancaman keluarga dari luar: Invasi yang membahayakan keutuhan keluarga (External Threats: Invasion from without )

Kendala muncul, ketika rumah yang didiami oleh keluarga gabungan tidak dibangun sebagai rumah tempat tinggal bagi keluarga-keluarga kecil yang otonom (bukanlah, suatu rumah dengan bangunan besar dengan beberapa paviliun kecil) akan tetapi hanya berbentuk rumah dengan bangunan yang sangat besar dengan kamar-kamar untuk masing-masing anggota keluarga termasuk para anggota dalam keluarga gabungan tersebut (misalnya kamar untuk anak pertama, kamar untuk anak kedua, kamar orang tua, dan sebagainya). Bentuk bangunan ini menyebabkan konsekuensi ruangan untuk dapur hanya terdiri atas dapur utama yang menyebabkan seluruh anggota keluarga yang akan melakukan aktivitas konsumsi harus berada atau berasal dari apa yang dihasilkan dari dapur tersebut. Townsend mengemukakan penelitian di London Bethnal Green tahun 1957, dan hasil penelitian mengatakan bahwa pasangan usia lanjut yang tinggal bersama dengan anak-anak mereka dan cucu-cucu mereka dalam satu rumah, seringkali harus menerima ide yang dikemukakan oleh anak-anak mereka yang menginginkan dapur yang terpisah. Kegiatan konsumsi dianggap sebagai kegiatan yang memerlukan alokasi anggaran paling besar, dan untuk itulah demi menghindari ketidak nyamanan dan ketidak adilan pembagian dalam keluarga gabungan, maka dapur terpisah merupakan salah satu cara rasional yang bisa ditempuh untuk sistem desentralisasi dalam keluarga gabungan.

Keluarga-keluarga pasangan lanjut usia golongan kelas menengah yang tinggal di daerah pinggiran perkotaan yang tergabung dalam suatu keluarga gabungan pada sekitar tahun 60-an justru tidak menyukai konsep keluarga gabungan dengan pemisahan dapur tersebut, dimana hal ini sangat bertolak belakang dengan keinginan anak-anaknya yang merupakan pasangan muda dengaan sedikit anak. Keluarga lanjut usia ini masih berprinsip gotong royong, di mana semua kegiatan konsumsi berawal dan berasal dari dapur. Akan tetapi sebenarnya, hal ini membawa konsekuensi yang cukup berat bagi pasangan usia lanjut tersebut. Anak-anak, menantu-menantu, dan cucu-cucu yang melakukan aktivitas konsumsi dari dapur mereka kadang tak terkontrol, sehingga menyebabkan alokasi untuk pengeluaran konsumsi menjadi tak terkontrol. Konsekuensi lainnya adalah menyangkut usia orang tua. Semakin lanjut usia orang tua, maka semakin sedikit privasi yang mereka dapatkan. Apalagi ketika pasangan dari orang tua meninggal, maka orang tua yang masih hidup harus tetap berbagi aktivitas konsumsi dengan anak-anak mereka. Ketika anak-anak dalam keluarga gabungan tersebut, katakanlah menjadi bersikap egois dengan mengabaikan perawatan orang tua mereka yang telah lanjut, maka semakin meranalah orang tua mereka akibat pembagian dalam keluarga gabungan ini.

Komarovsky menyatakan bahwa kesenjangan generasi antara orang tua dan anak akan menyebabkan tekanan yang sangat besar, terutama pada pasangan muda yang menginginkan privasi dalam keluarga mereka. Komarovsky menyatakan sebagai berikut: “Hal yang diinginkan oleh para pasangan muda adalah privasi tanpa batas, terutama yang berkaitan dengan keintim-an dan komunikasi yang terjalin di antara keduanya. Pasangan yang tinggal dengan salah satu orang tuanya (misalnya anak laki-laki yang menetap di rumah orang tuanya) maka disinilah privasi mereka akan mengalami permasalahan. Menantu perempuan (isteri anak laki-laki) yang tinggal bersama dengan mertuanya akan merasa sangat terganggu, terutama ketika mereka menginginkan percakapan yang bersifat seksual misalnya, karena ia harus menjaga sikapnya di depan mertuanya. Sedangkan untuk melakukan hubungan seksual itu sendiri, akan sulit misal-nya jika mereka tinggal dalam satu rumah atau dengan kamar yang bersebelahan dengan mer-tuanya.” Hal ini sangat mendatangkan tekanan bagi para pasangan muda tersebut sehingga kebanyakan dari mereka menginginkan rumah tangga yang terdesentralisasi, guna tetap mem-pertahankan bentuk keluarga gabungan itu sendiri. Komarovsky (1964) melaporkan dalam suatu suatu keluarga gabungan para pekerja maka tekanan antar anggota keluarga gabungan

4

Page 5: Section B ORGANIZATIONAL CRISES Ancaman keluarga dari luar: Invasi yang membahayakan keutuhan keluarga (External Threats: Invasion from without )

menjadi suatu hal yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Keluarga gabungan yang hidup bersama karena hubungan fungsional ini selanjutnya membubarkan diri sesuai dengan tingkat perkembangan ekonomi mereka. Di daerah pinggiran kota London, maka Wilmott dan Young menyatakan bahwa stres akan meningkat pada pasangan muda yang orang tuanya memutuskan untuk berpindah dan tinggal dengan mereka. Hal ini disebabkan karena salah satu orang tua meninggal, sehingga orang tua yang ditinggalkan kesepian, atau orang tua hanya mempunyai satu-satunya anak dalam keluarga, sehingga tinggal bersama anak mereka merupakan suatu pilihan yang rasional bagi mereka yang berusia lanjut dan membutuhkan perawatan. Meskipun tinggal bersama dengan orang tua merupakan suatu hal yang dapat meng-ganggu privasi para pasangan muda, namun hal ini merupakan suatu pranata dalam keluarga yang akan dipertahankan sampai sekarang, terutama apabila orang tua telah lanjut usia dan membutuhkan perawatan lebih lanjut.

Manfaat keluarga gabungan Meskipun hidup bersama dengan keluarga yang lain dalam satu atap dianggap sebagai

suatu hal yang sulit dan melelahkan, namun bentuk keluarga gabungan merupakan salah satu bentuk keluarga yang dipertahankan hingga saat ini. Dalam beberapa kasus, ada beberapa anggota keluarga yang peduli terhadap keluarga tersebut dengan bekerja tanpa pamrih untuk malakukan pelayanan terhadap anggota keluarga gabungan. Adanya sifat iri hati, kecemburuan, serta kedengkian merupakan suatu sifat yang sangat mudah dijumpai dalam keluarga gabungan, terutama bilamana salah satu anggota keluarga malas melakukan pekerjaan rumah, yang lalu ditangani oleh salah satu anggota keluarga lain yang ‘peduli’. Adakalanya, menantu-menantu yang tinggal dalam satu keluarga gabungan yang tidak bekerja, akan bertugas membantu ibu mertua mereka. Hal ini tak jarang menimbulkan kecemburuan dari menantu yang tidak bekerja terhadap menantu yang bekerja misalnya. Terlebih jika menantu yang bekerja tidak memberi-kan kontribusi finansial yang berarti terhadap keluarga gabungan tersebut. Kasus lainnya me-nimpa keluarga gabungan di mana orang tua tinggal bersama dengan salah satu anaknya. Beban perawatan orang tua yang telah lanjut usia ini membawa konsekuensi tersendiri bagi keluarga, terutama keluarga dengan sumber daya finansial yang terbatas. Tak jarang, orang tua yang tinggal dengan anaknya tersebut tidak mempunyai dana pensiun, sehingga anak yang tinggal bersama orang tuanya harus mencari dana ekstra untuk tambahan perawatan orang tuanya. Willmott dan young (1960) meneliti tentang suatu keluarga di mana orang tua tinggal bersama dengan anak laki-lakinya. Anak laki-laki dari orang tua tersebut tidaklah mempunyai masalah yang berarti berkaitan dengan tinggalnya orang tua di tempatnya, namun isteri dari anak laki-laki (menantu) yang justru bermasalah dengan orang tua suaminya.

Anak perempuan juga merupakan pihak yang paling mendapat tekanan ketika orang tua dari anak perempuan tersebut memutuskan untuk tinggal bersama dengan dirinya. Perempuan merupakan mahluk yang dituntut untuk bersifat merawat serta harus menyenangkan semua pihak, merupakan anggoa keluarga yang seringkali mendapat mandat atau justru dipilih sendiri oleh orang tuanya sebagai tempat tinggal dan sebagai anak yang akan merawat dirinya kelak. Merawat orang tua, terutama yang telah pikun merupakan suatu pengalaman yang terkadang menyulitkan anak, namun hal ini dianggap kewajiban yang harus dijalankan oleh anak, teruta-ma anak perempuan. Orang tua yang telah lanjut usia mengalami kemunduran baik secara fisik maupun secara mental dan emosional, sehingga mereka seringkali bersikap seperti anak-anak. Dari pihak orang tua sendiri, mereka sebenarnya tidak ingin bersifat merepotkan anak, namun akibat dari kemunduran fisik dan mental yang mereka alami yang membuat mereka harus berada di bawah pengasuhan anak. Townsend melaporkan bahwa, orang tua yang tinggal

5

Page 6: Section B ORGANIZATIONAL CRISES Ancaman keluarga dari luar: Invasi yang membahayakan keutuhan keluarga (External Threats: Invasion from without )

dengan anak seringkali merasa bermanfaat ketika mereka turut mengasuh cucu-cucu yang mereka sayangi, akan tetapi kondisi ini kadang tidak dimengerti oleh anak sehingga anak-anak lebih menyukai anak mereka diasuh oleh pengasuh anak. Pada akhirnya, maka karakter dari anaklah yang sangat menentukan bagaimana kehidupan orang tua mereka, ketika mereka telah lanjut usia dan harus tinggal di bawah perawatan anak mereka. Terlepas dari norma agama manapun yang mengharuskan anak berbuat baik dan mengasihi orang tuanya, maka Townsend menilai dari sudut pandang psikologis bahwa pengasuhan yang diterima oleh anak sebelumnya (ketika mereka masih kecil dan membutuhkan pengasuhan dari orang tuanya) sangat berperan penting terhadap sikap mereka terhadap orang tuanya ketika mereka telah lanjut usia kelak. Anak-anak yang dididik dengan ketulusan, kasih sayang, tidak bersifat membenci sesama, dan mempunyai mental yang kuat dan kesabaran yang tinggi dinilai akan Townsend sebagai pihak yang berhasil dalam melakukan pengasuhan terhadap orang tuanya di kemudian hari.

Strukturasi yang dibangun dalam suatu keluarga gabunganDalam suatu sistem keluarga gabungan, maka strukturasi dalam keluarga akan terbentu

secara alami, di mana anggota keluarga yang berusia paling tua selalu berada di urutan paling atas. Anak yang telah menikah sekalipun, yang memilih untuk tinggal bersama dengan orang tuanya dalam suatu keluarga gabungan akan berada dalam struktur yang sama. Hal ini berubah, ketika orang tua telah lanjut usia dengan kondisi fisik dan mental yang melemah. Semula orang tua yang berkuasa ini menduduki struktur atas dalam suatu keluarga, namun ketika ia telah pensiun dan berada dalam perawatan anaknya, maka ia harus menduduki struktur bawah. Dengan demikian, struktur dalam keluarga juga terjadi karena faktor lainnya yakni faktor kepemilikan sumber daya ekonomi untuk menunjang kehidupan dalam keluarga tersebut.

Kesenjangan kekuasaan akan terjadi dalam suatu keluarga gabungan, di mana orang tua berada di rumah anaknya, namun orang tua tersebut belumlah terlalu renta sehingga ia berpikir bahwa bagaimanapun ia tetaplah menjadi seorang kepala keluarga. Sebagai contoh, kakek yang baru saja pensiun dan ia tinggal bersama isterinya di rumah anak perempuannya yang telah menikah. Kakek yang telah pensiun namun merasa bahwa dirinya masih mampu memimpin keluarga akan ikut mendominasi pengambilan keputusan yang sebelumnya ditetapkan bersama antara suami (menantu kakek) dan isteri (anak kakek) dalam keluarga tersebut. Fenomena ini dilaporkan oleh Wilmott dan Young (1960) yang menyatakan bahwa kesenjangan kekuasaan lazim terjadi pada keluarga-keluarga gabungan yang baru terbentuk. Anak-anak dari orang tua yang ditinggali oleh orang tuanya tersebut sering tidak mau mengakui kepemimpinan orang tuanya, karena mereka merasa bahwa mereka mempunyai keluarga sendiri yang solid. Selain itu, mereka dibesarkan dengan norma sekarang yang kritis terhadap kepemimpinan orang lain. Solusinya adalah, adanya penegasan demokrasi dari anak sebagai pemiliki keluarga inti, bahwa semua keputusan harus dimusyawarahkan bersama oleh seluruh anggota keluarga untuk mendapatkan hasil yang menguntungkan semua pihak. Hal ini juga merupakan suatu hal yang sulit, terutama harus mengorbankan banyak waktu untuk mengatur pengambilan keputusan.

Keluarga yang mempunyai pola tempat tinggal patriarkis menurut Townsend disebut lebih bersifat menerima pola desentralisasi keluarga bila dibandingkan dengan keluarga yang mempunyai pola tempat tinggal matriarkis. Hal ini disebabkan karena pengambil otoritas ter-tinggi dipegang oleh seorang laki-laki yang secara alami menganggap bahwa pengurusan rumah tangga merupakan urusan yang bersifat domestik, sehingga ia cenderung melepas dan menye-rahkan kebebasan dalam pengurusan rumah tangga masing-masing anak. Hal ini berbeda dengan keluarga gabungan dengan pola tempat tinggal matriarki. Seorang perempuan yang merupakan pemegang otoritas tertinggi telah terbiasa mengurusi masalah-masalah domestik,

6

Page 7: Section B ORGANIZATIONAL CRISES Ancaman keluarga dari luar: Invasi yang membahayakan keutuhan keluarga (External Threats: Invasion from without )

sehingga ia akan masuk ke dalam urusan rumah tangga anak-anak yang tinggal bersamanya. Kasus berlainan muncul ketika justru menantu perempuan menyerahkan kepengurusan rumah tangga kepada mertuanya, dikarenakan kesepakatan atau kesibukan menantu perempuan sehingga ia merasa tidak punya waktu luang untuk mengurus rumah tangganya. Townsend yang melakukan penelitian pada kaum keturunan bangsawan di Inggris menyatakan bahwa di Inggris, maka peraturan yang dibuat sebelumnya oleh menantu perempuan sering dianggap sebagai peraturan yang ‘salah’ oleh mertua yang tinggal bersamanya sehingga mertua berangga-pan bahwa peraturan tersebut harus dirombak. Kontradiksi yang demikian akan menimbulkan perpecahan antara mertua dan menantu perempuan yang menjadi permasalahan universal karena menjadi masalah yang sangat sering terjadi pada keluarga gabungan di manapun.

Orang asing yang tinggal di rumah Jika orang tua dan anak saja mempunyai masalah ketika mereka tinggal bersama dalam

satu rumah, maka bisa dibayangkan apa yang terjadi ketika orang asing ikut tinggal bersama dalam satu rumah. Pada umumnya suatu masalah akan timbul ketika terjadi perkawinan baru di mana ayah atau ibu tiri tinggal bersama dengan anak-anak dari perkawinan sebelumnya. Terdapat suatu kecenderungan, bahwa ayah tiri jauh lebih sulit untuk masuk dalam suatu keluarga dibanding dengan ibu tiri. Hal ini kemungkinan disebabkan karena adanya kecurigaan anak-anak dari perkawinan sebelumnya bahwa ayah tiri sebagai pemimpin baru dalam suatu keluarga akan mengganti peraturan-peraturan atau kebiasaan dan adat yang telah berlangsung secara terus menerus dalam keluarga tersebut, sehingga menghasilkan tekanan tersendiri untuk anak-anak dari perkawinan sebelumnya. Dengan demikian, muncul suatu kecenderungan bahwa untuk masuk dalam suatu keluarga yang baru, maka ayah tiri akan menggunakan cara-cara yang bersifat tawaran terhadap adanya sumber daya ekonomi yang baru dalam keluarga tersebut. Sebagai contoh, ayah tiri akan membujuk anak-anak dari perkawinan sebelumnya dengan hadiah-hadiah, piknik bersama, serta tawaran-tawaran lain yang bersifat pernyataan bahwa terdapat pencari nafkah yang baru dalam suatu keluarga. Ibu tiri, dikatakan lebih mudah untuk masuk dalam suatu keluarga dan tinggal dengan anak-anak hasil perkawinan sebelumnya di mana hal ini disebabkan karena anak-anak pada umumnya masih memiliki ‘harapan’ bahwa ayah mereka akan tetap membiarkan keluarga berjalan seperti semula. Dengan demikian, meski tidak bisa digeneralisir dalam keluarga secara keseluruhan, maka hasil penelitian menyatakan bahwa anak-anak hasil perkawinan sebelumnya cenderung lebih mudah beradaptasi dengan ibu tiri dibanding dengan anak-anak yang harus beradaptasi dengan ayah tiri.

Pemilik rumah yang menyediakan rumah atau kamarnya sebagai tempat indekos atau tempat tinggal kontrakan adalah contoh lain, di mana individu asing bertempat tinggal dalam satu rumah dengan keluarga. Hal ini sering terjadi di kota-kota besar, di mana pemilik rumah membutuhkan tambahan pendapatan, sedangkan pengontrak membutuhkan tempat tinggal. Dengan demikian, terjadi hubungan fungsional antara pemilik rumah dan penyewa.

Masalah mengenai pemilik rumah kontrakan dengan sang pengontrak muncul, terutama berkaitan dengan hubungan asmara yang bersifat terlarang yang terjadi di antara keduanya. Fenomena seperti ini dilaporkan oleh Thomas dan Znaniecki (1958) yang menyelidiki mengenai kehidupan para imigran Polandia yang bermigrasi di Amerika. Para imigran dari Polandia yang sebagian besar adalah laki-laki yang tidak membawa isteri atau pasangan mereka, banyak yang bermigrasi ke Amerika untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Situasi perang mengakibat-kan banyak suami Amerika yang harus meninggalkan isteri mereka guna membela negara dan mengikuti wajib militer. Akibatnya, banyak isteri yang ditinggalkan oleh suami dalam waktu yang lama dikarenakan situasi perang tersebut. Para migran yang jauh dari pasangan tersebut

7

Page 8: Section B ORGANIZATIONAL CRISES Ancaman keluarga dari luar: Invasi yang membahayakan keutuhan keluarga (External Threats: Invasion from without )

kemudian merasa mereka mendapatkan cinta dan kasih sayang dari para isteri yang ditinggal-kan berperang oleh suaminya tersebut. Hubungan terlarang antara pemilik rumah kontrakan dengan pengontrak menjadi fenomena yang berkembang pesat saat itu sehingga dilaporkan terdapat angka perceraian besar-besaran setelah perang dunia I berakhir. Selain itu, muncul pemukiman para migran Polandia baru di Amerika yang merupakan para migran asli Polandia yang melakukan pernikahan dengan isteri mereka yang merupakan penduduk lokal. Fenomena ini menjadi objek penelitian besar-besaran oleh para ilmuwan sosiolog pada waktu itu, sehingga karena sangat menariknya fenomena ini banyak sutradara film yang menjadikannya tayangan.

Fenomena serupa dilaporkan sebelumnya oleh Franzier (1937) di mana ia melakukan penelitian pada imigran kulit hitam yang tinggal di Westcoast Amerika serikat. Fenomena ini cukup menarik karena pada waktu itu diskriminasi terhadap kulit hitam masih sangat marak. Para warga kulit putih yang rumahnya dikontrak oleh warga kulit hitam memberikan izin asal dengan imbalan ekonomi yang memadai. Para perempuan pemilik rumah kontrak yang kemu-dian merasa tertekan akibat rumahnya ditempati oleh warga kulit hitam tersebut. Mereka merasa takut karena mereka harus menggunakan kamar mandi, tempat mencuci, serta fasilitas lainnya dengan warga kulit hitam. Akibat dari fenomena yang berlangsung seperti ini, maka kemudian ada semacam sentimen yang diarahkan kepada warga kulit hitam oleh warga kulit putih supaya tidak menyewakan rumah mereka terhadap warga kulit hitam. Warga kulit hitam yang tidak mendapat tempat untuk hidup tersebut kemudian membuat semacam koloni tersendiri di daerah pinggiran kota, membangun pemukiman-pemukiman di daerah yang tidak ditempati oleh warga kulit putih dan mengajak keluarga yang ditinggalkannya untuk tinggal di pemukiman tersebut. Daerah ‘black area’ inilah yang dahulu dianggap sebagai zona terlarang oleh warga kulit putih dan sering dianggap sebagai daerah-daerah yang rawan kriminalitas.

Godaan dari Orang AsingJika suatu wilayah tidak memenuhi sarana perumahan bagi warganya, maka menyewa

rumah merupakan satu-satunya jalan bagi warga pendatang supaya dapat bermukim di suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu. Hal ini merupakan sisi mata uang, selain mendatangkan keuntungan bagi pemilik rumah yang menyewakan rumahnya untuk ditinggali para pendatang, namun juag mendatangkan sisi negatif. Campbell menyatakan bahwa para pendatang merupa-kan suatu ancaman godaan terseembunyi terhadap hubungan perkawinan para pemilik rumah. Suatu rumah tangga yang menyewakan rumahnya kerap kali mempunyai masalah finansial, atau para isteri yang membutuhkan penghasilan sampingan selain mendapatkan pendapatan dari suaminya. Dalam beberapa kasus, maka para isteri yang menyewakan rumahnya akan sering kontak langsung dengan para penyewa rumahnya. Dari sinilah hubungan terlarang muncul di antara keduanya. Sarana umum, seperti kamar mandi umum, tempat cuci umum, pasar, merupakan tempat yang paling memungkinkan bertemunya penyewa dan pemilik rumah. Terlebih lagi, jika para pendatang tersebut adalah orang-orang yang sebenarnya cukup mampu dari daerah asalnya, namun mereka terpaksa harus bermukim di daerah tersebut karena tuntutan pekerjaan. Campbell melakukan penelitian terhadap fenomena ini dengan mengambil studi kasus para keturunan Yunani yang pada umumnya berparas tampan yang menjadi pekerja di daerah pertambangan di amerika. Sama seperti kasus imigran Polandia, maka para pekerja Yunani ini tercatat banyak menjalin hubungan asmara terlarang dengan para ibu rumah tangga pemilik rumah yang berada di sekitar pertambangan tersebut. Kasus ini tampaknya diperparah dengan desakan kebutuhan finansial dari para ibu rumah tangga yang tinggal di pemukiman pertambangan tersebut, sehingga setelah terjadi penelitian mendalam,

8

Page 9: Section B ORGANIZATIONAL CRISES Ancaman keluarga dari luar: Invasi yang membahayakan keutuhan keluarga (External Threats: Invasion from without )

maka beberapa dari ibu rumah tangga ini memang menyediakan dirinya untuk memenuhi hasrat dari para pekerja tambang kebangsaan Yunani yang jauh dari keluarga mereka.

Teman untuk berbagi masalah Tidak hanya teman yang berlainan jenis, namun teman sesama jenis juga menimbulkan

potensi perpecahan dalam rumah tangga. Locke (1951) menemukan bahwa perkawinan yang semula bahagia dapat mengalami perceraian, ketika pasangan tersebut mempunyai teman yang sesama jenis, baik suami yang berteman dengan sesama laki-laki maupun isteri yang berteman dengan sesama perempuan. Teman akrab pasangan seringkali dianggap ancaman bagi pasangan karena teman akrab pasangan kadang memberikan masukan-masukan atau pendapat yang membuat pasangan mempunyai kekuatan untuk mengkritik atau melawan apa yang selama ini menjadi kebiasaan pasangan tersebut. Sebagai contoh, seorang isteri yang mempunyai teman akrab seorang yang peduli gender, akan merasa bahwa isteri ini dieksploitasi oleh suaminya (misalnya dalam hal pengasuhan anak, suami tidak mau ikut bangun malam, mengganti popok anak, memandikan, dan sebagainya) sehingga isteri telah sampai dalam taraf kewalahan dalam hal pengurusan anak. Isteri yang semula menganggap bahwa peran-peran pengasuhan ini adalah peran kodratinya sebagai perempuan kemudian sadar bahwa sebenarnya pengasuhan ini bisa dipertukarkan dengan suami (dalam artian, tidak menjadi suatu msalah jika suami ikut membantu mengasuh bayi). Hal inilah yang kemudian ia sampaikan kepada suaminya, dan ternyata suaminya tidak menyetujui pembagian tugas yang baru ini sehingga mengakibatkan pertengkaran di antara keduanya. Dalam kasus-kasus lainnya yang lebih berat, maka perceraian bisa terjadi akibat ‘provokasi’ dari teman akrab pasangan yang akan menyebabkan perubahan perilaku pasangan tersebut.

Perempuan dalam faktanya lebih dijumpai mempunyai teman akrab sesama jenis bila dibandingkan dengan laki-laki. Teman akrab sesama jenis ini merupakan tempat yang dituju oleh perempuan tersebut ketika ia mempunyai masalah-masalah yang berkaitan dengan perma-salahan dalam rumah tangga. Pasangan yang mempunyai sifat posesif, cenderung mencemburui kedekatan antara pasangan dengan teman akrabnya ini karena ketakutan akan pengaruh yang dibangkitkan oleh teman akrab pasangan terhadap pasangannya, terutama jika teman akrab pasangannya ini mempunyai pandangan hidup yang berbeda dengan pandangan hidup yang dilaksanakan sehari-harinya dalam keluarga tersebut (sebagai contoh diatas adalah pandangan hidup teman akrab pasangan yang sadar gender akan menyebabkan pasangan melakukan per-lawanan akan tugas-tugas dalam pengasuhan bayi). Ketakutan terbesar pasangan terhadap teman akrab pasangan bukan pada sisi pertemanan itu sendiri, namun ketakutan bahwa teman akrab pasangan akan mempengaruhi pasangan untuk mengubah pandangan hidupnya.

Kasus teman akrab, bukanlah suatu kasus yang bisa digeneralisir. Ada beberapa kasus, di mana teman akrab justru menjadi penengah dalam permasalahan yang terjadi dalam suatu rumah tangga. Dalam beberapa kasus, maka teman akrab bisa berasal dari keluarga pasangan itu sendiri, yang biasanya mampu lebih arif memberikan solusi dalam permasalahan rumah tangga, karena teman akrab yang berasal dari keluarga pasangan itu sendiri rata-rata lebih mengerti sifat dan karakter masing-masing pasangan. Teman akrab, seharusnya merupakan sosok yang bisa dipercaya dalam mengatasi permasalahan rumah tangga, dan justru bukannya memperkeruh atau merusak suatu hubungan perkawinan. Kecenderungan yang terjadi, maka teman akrab yang mempunyai masalah dalam perkawinannya akan cenderung memperkeruh atau memberikan pengaruh buruk terhadap teman akrabnya yang perkawinannya baik-baik saja. Komarovsky menyatakan hal ini dalam penelitiannya terhadap perempuan di kalangan pekerja industri dan buruh pabrik, maka hanya 57 persen para isteri yang menyatakan bahwa

9

Page 10: Section B ORGANIZATIONAL CRISES Ancaman keluarga dari luar: Invasi yang membahayakan keutuhan keluarga (External Threats: Invasion from without )

perkawinan mereka bahagia mengatakan bahwa mereka mempunyai teman akrab tempat untuk mencurahkan permasalahan rumah tangga mereka. Suatu hal yang menarik terjadi, yakni sekitar 77 persen isteri yang menyatakan bahwa perkawinan mereka tidak bahagia menyatakan bahwa mereka mempunyai temabn akrab untuk mencurahkan permasalahan rumah tangga mereka. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa mempunyai teman akrab bisa jadi memberi-kan suatu pengaruh buruk terhadap kehidupan perkawinan seseorang.

Temuan Komarovsky mengenai kehidupan persahabatan isteri yang bahagia dan isteri yang tidak bahagia dapat disimpulkan bahwa hubungan persahabatan bukanlah hubungan yang harus ditakutkan dalam suatu perkawinan, namun komunikasi dan kepedulian antar pasangan dengan sahabatnyalah yang harus diperhatikan. Jangan sampai sahabat ini justru lebih peduli terhadap pasangan daripada dengan suami atau isteri pasangan tersebut. Jika pasangan lebih peduli satu sama lain, maka masukan dari sahabat bukanlah suatu hal yang akan memberi pengaruh buruk terhadap pasangan tersebut.

Dalam mempelajari hubungan kekerabatan dalam rangka menyelesaikan masalah yang terjadi dalam suatu rumah tangga, maka Bell (1962) menemukan bahwa terdapat suatu kecen-derungan bahwa jika anggota keluarga dilibatkan untuk menyelesaikan masalah yang terjadi dalam suatu rumah tangga, maka anggota keluarga suami atau isteri tersebut akan membela masing-masing anggota keluarga yang berada di garisnya, di mana anggota keluarga atau kerabat yang berasal dari pihak suami akan membela suami, dan anggota keluarga atau kerabat yang berasal dari pihak isteri, maka mereka akan membela pihak isteri tersebut. Sudut pandang yang berlainan ini kemudian akan memunculkan perselisihan lebih lanjut. Bell mengemukakan contoh sebagai berikut: Ibu Mrs. Ginni (mertua Mr. Ginni) memberikan uang kepada cucu laki-lakinya untuk membeli permen misalnya, ketika rumah tangga Mr. Ginni dengan Mrs. Ginni ber-masalah, maka memberikan uang jajan kepada cucu ini bisa menjadi suatu masalah yang sensitif di mana pihak keluarga Mrs. Ginni akan menganggap bahwa suami Mrs. Ginni (Mr. Ginni) tidak becus dalam mencari nafkah di kehidupan rumah tangga mereka. Sebaliknya, Mr. Ginni akan merasa tersinggung karena mertuanya memberikan uang jajan yang sebenarnya bisa ia berikan, namun karena alasan lainnya tidak ia berikan (misalnya anaknya alergi permen). Kesalah pahaman seperti ini merupakan masalah yang sering muncul, ketika kerabat pasangan ikut serta mengurusi permasalahan dalam suatu rumah tangga.

Pada akhirnya, Bell menemukan solusi yang paling netral ketika pasangan menghadapi masalah dalam rumah tangga dan ingin mengikut sertakan kerabat sebagai pemberi solusi, yakni dengan cara suami atau isteri yang terlibat masalah melibatkan atau meminta nasehat kepada kerabat dari pasangannya (misal suami yang merasa keberatan dengan tingkah laku isterinya bisa mengadukan kebiasaan buruk isterinya tersebut kepada mertua perempuannya disertai dengan bukti-bukti yang konkret dan masuk akal). Ketika hal ini dilaksanakan, maka mertua (ibu isteri) bisa menasehati anaknya supaya mengubah perilakunya dengan cara yang baik dan senetral mungkin, serta tidak terlalu banyak melibatkan pihak-pihak yang sebenarnya tidak berkepentingan, sehingga konflik berkepanjangan dalam suatu keluarga dapat dihindari.

Melibatkan terapis sebagai pemberi solusi masalah keluargaTerapis perkawinan dalam masa modern ini sering dijadikan pihak yang ditunjuk untuk

mengatasi suatu masalah dalam perkawinan. Terapis yang memang mempunyai latar belakang untuk menyelamatkan suatu perkawinan pada umumnya akan memberi solusi yang netral supaya pihak-pihak yang bertikai dalam perkawinan bisa kembali bersatu.

Masalah bisa muncul, ketika terapis ini hanya ditunjuk oleh salah satu pasangan, tanpa sepengetahuan pasangan yang lain, atau tanpa kesepakatan dan ijin pasangan yang lain. Dengan

10

Page 11: Section B ORGANIZATIONAL CRISES Ancaman keluarga dari luar: Invasi yang membahayakan keutuhan keluarga (External Threats: Invasion from without )

demikian, maka terapis ini hanya sebagai tempat untuk berbagi masalah oleh salah satu pasangan. Telah menjadi naluri manusia, ketika mereka mendengar dari salah satu sisi, maka mereka akan cenderung untuk bersimpati pada pihak yang menceritakan atau dekat dengan mereka. Hal ini juga terjadi pada terapis yang hanya ditunjuk oleh salah satu pasangan, tanpa kesepakatan pasangan yang lainnya. Terapis dalam kasus ini justru bisa menjadi semacam batu sandungan untuk mencapai rekonsiliasi perkawinan karena bisa jadi mereka memberikan suatu solusi yang akan memperumit masalah sebenarnya dalam rumah tangga tersebut. Spiegel (1957) seorang konsultan perkawinan dari Inggris yang memimpin biro konsultasi perkawinan melaporkan, bahwa banyak kasus terapis yang ia terjunkan untuk membantu mengatasi masalah perkawinan, justru memperberat masalah dalam keluarga tersebut karena sudut pandang terapis yang berat sebelah.

Untuk mengatasi permasalahan rumah tangga yang justru diperberat dengan kehadiran seorang terapis, maka Spiegel menganjurkan pasangan untuk menemui terapis secara bersama atau mengunjungi program konseling perkawinan. Selain itu, Spiegel juga membuka sesi terapi konseling keluarga dalam jumlah anggota keluarga yang banyak. Tujuannya adalah supaya terjadi pembagian informasi secara subjektif, serta bagaimana pemecahannya ditinjau dari berbagai sudut pandang. Terapi yang dilaksanakan secara multilateral, di mana melibatkan terapis dan pasangan berdua akan memberikan keuntungan baik bagi pasangan maupun bagi terapis itu sendiri. Terapis akan mampu menilai pendapat dari kedua sudut pandang pasangan, sedangkan pasangan bisa saling mencurahkan perasaan satu sama lain dengan dijembatani oleh sang terapis tersebut. Sehingga pada akhirnya rekonsiliasi dalam perkawinan bisa terlaksana akibat adanya pembicaraan yang berakhir pada kesepakatan antara kedua belah pihak. Akan tetapi, hal ini juga bergantung pada karakter terapis itu sendiri, bagaimana kepandaian terapis dalam menangani masalah perkawinan. Kedua pihak, suami dan isteri yang saling bertikai merupakan individu dengan tingkat emosi serta temperamen yang tinggi, sehingga ketika salah satu pihak merasa diuntungkan, dan salah satu pihak merasa dirugikan, maka proses rekonsiliasi bisa berjalan alot. Justru tidak jarang, dalam beberapa kasus pelibatan seorang terapis akan membuat rumit suatu masalah perkawinan karena terapis dianggap sebagai salah satu pasangan lebih cenderung membela pasangan yang lain, dan menganggap pasangan tidak mampu menyelesaikan masalah rumah tangganya sendiri, sehingga harus mendatangkan individu yang merupakan orang lain.

Dalam beberapa kasus, maka terapis juga tidak perlu berusaha untuk mempersatukan pasangan yang memang sangat riskan untuk bisa dipersatukan kembali (sangat sulit untuk direkonsiliasi), dengan memperhatikan mental, emosi, karakter, dan temperamen dari pasien yang diterapinya. Terapis yang baik sesuai dengan etika profesinya, maka harus mampu bertindak sesuai dengan kondisi yang ada. Ketika suatu perkawinan tidak layak lagi dipertahan-kan, dan karena ketika perkawinan tersebut tetap dipertahankan maka akan membahayakan kesehatan mental dan fisik salah satu pasangan, maka tugas sang terapis adalah mendampingi pasangan tersebut supaya bisa mendapatkan kesepakatan bersama jika keduanya berpisah secara baik-baik.

Dalam hubungan antara terapis dan pasien, maka ada beberapa kasus yang terjadi pada pasien dan terapis yang berlainan jenis adalah kisah cinta yang terjadi pada keduanya. Terapis dan pasien yang berlainan jenis, maka bisa jadi pasiennya justru jatuh cinta pada sang terapis tersebut karena ia menganggap bahwa terapis tersebut lebih mengerti dirinya daripada pasang-annya. Jika hal ini terjadi maka suatu hubungan perkawinan akan menjadi bermasalah, karena bagaimanapun terapis adalah orang yang menangani permasalahan perkawinan secara profesi-onal dan ia dibayar untuk menangani permasalaahan tersebut. Hurvitz (1967) menyatakan

11

Page 12: Section B ORGANIZATIONAL CRISES Ancaman keluarga dari luar: Invasi yang membahayakan keutuhan keluarga (External Threats: Invasion from without )

bahwa dalam kasus terapis dan pasien yang berlawanan jenis, maka kadangkala akan muncul masalah, terutama yang berkaitan dengan problem seksual dalam perkawinan. Pasangan yang mengalami problem seksual akan mendatangkan salah satu kekosongan seksual dalam salah satu pihak, di mana hal ini akan sangat berbahaya jika ada pihak ketiga masuk dalam perkawin-an tersebut. Terapis yang berlawanan jenis yang sangat peduli pada salah satu pasangan, maka pasangan tersebut akan menaruh perasaan juga kepadanya, sehingga bisa timbul suatu perasa-an terlarang antara pasien terhadap terapisnya. Selain itu, Hurvitz juga meyakini bahwa jika hanya salah satu pasangan saja yang datang ke terapis dan membutuhkan bantuan terapis, maka hal ini akan menjadi blunder dalam perkawinan tersebut, di mana pasangan ini akan terbuka terhadaop masalah perkawinannya kepada terapis, namun tidak ada niatan untuk memperbaiki masalah perkawinan tersebut, karena pasien berada dalam posisi nyaman bersa-ma terapisnya. Jika situasi seperti ini terbentuk, maka perkawinan yang terjadi antara kedua orang tersebut dapat sangat berbahaya karena pasangan yang satu akan mengasingkan diri terhadap pasangan lainnya dan justru akan memilih terapis tersebut sebagai tempat untuk memecahkan masalah perkawinannya.

Dalam beberapa kasus tertentu bahkan dalam kasus kelainan seksual, sebenarnya suatu perkawinan masih bisa diperbaiki seandainya salah satu pasangan berusaha sabar, memahami, serta turut mengobati kelainan seksual yang diderita oleh pasangannya. Akan tetapi, hal ini juga bergantung pada seberapa besar tingkat keparahan kelainan seksual tersebut. Sebagai contoh, jika seorang suami menderita kelainan seksual, misalnya sadistik dan isterinya dijadikan objek sado-masokisnya, maka bila isteri berusaha mengobati dan mengajak terapis untuk merawat suaminya, maka kelainan seksual tersebut bisa justru semakin parah dan suami akan semakin mengamuk karena ia merasa dianggap sakit. Sebagian besar kasus seperti ini menyebabkan kehancuran rumah tangga, karena rata-rata isteri akan mengasingkan suaminya dan suami merasa dijauhi oleh isterinya. Seorang terapis, ketika ia masuk dalam perkawinan ini, di mana ia condong membela salah satu pasangan dan berusaha mengobati pasangan yang lain, maka hal ini akan sangat berpotensi besar merusak perkawinan tersebut karena terjadi kesenjangan antara kedua pasangan yang semakin diperparah oleh kehadiran terapis. Solusi yang dikemuka-kan oleh Kohl (1962) mengatakan bahwa hal ini sangat bergantung pada pasangan yang ‘sehat.’ Jika ia berniat untuk mempertahankan perkawinannya, maka peran sang terapis disini adalah sebagai pemandu bagi ‘pasangan yang sehat’ tersebut untuk mengobati ‘pasangan yang sakit’ tanpa melibatkan terapis untuk masuk dalam kehidupan rumah tangga mereka sesuai dengan pendekatan psikologis. Jika dalam kurun waktu tertentu yang telah ditentukan bersama oleh pasangan yang sehat dan terapis telah berakhir namun kelainan seksual tersebut masih ber-tahan atau justru semakin parah, maka berarti perkawinan tersebut bukanlah suatu perkawin-an yang bisa dipertahankan lebih lanjut.

Perselingkuhan dengan mantan kekasih Kita telah melihat bagaimana suatu masalah dalam perkawinan timbul yang diakibatkan

salah satu pasangan (suami atau isteri) menjalin hubungan dengan orang lain di luar pernikah-an atau justru menjalin suatu hubungan asamara dengan terapisnya, seperti yang telah dijelas-kan pada bab sebelumnya. Dalam banyak kasus hubungan asmara di luar pernikahan maka suatu hubungan yang telah terjalin lama sebelumnya (misalnya hubungan yang masih berjalan dengan mantan pacar suami atau isteri) merupakan suatu hubungan yang rentan mengundang perpecahan salam suatu perkawinan. Hubungan dengan mantan kekasih ini merupakan suatu hubungan yang telah terbukti tulus, berjalan bertahun-tahun antara pasangan dengan mantan-

12

Page 13: Section B ORGANIZATIONAL CRISES Ancaman keluarga dari luar: Invasi yang membahayakan keutuhan keluarga (External Threats: Invasion from without )

nya, sehingga jika salah satu pihak terlalu dekat dengan mantannya tersebut maka potensi konflik akan sangat mungkin timbul.

Dalam suatu krisis perkawinan yang melibatkan pihak luar, maka kehadiran mantan kekasih pasangan merupakan tipe pengganggu yang sangat merusak bila dibandingkan dengan kehadiran teman berbagi dan terapis. Dalam kasus mantan kekasih, maka hal ini sangat bergan-tung pada kedua karakter individu tersebut. Mantan kekasih yang memang sengaja datang kem-bali kepada pasangan, dan mendapat tanggapan baik dari pasangan adalah suatu jenis kasus yang membuat suatu hubungan perkawinan berada di ambang masalah. Akan tetapi, jika salah satu pihak mendekati, namun pihak yang lain tidak memberikan respon maka hubungan perse-lingkuhan tidak akan terjadi.

Dalam buku ini, maka dapat dijelaskan definisi tentang perselingkuhan adalah sebagai berikut, yakni individu yang menjalin hubungan asmara dengan individu lainnya di luar perni-kahan yang resmi, dan definisi lainnya menyebutkan bahwa perselingkuhan adalah hubungan emosional yang mendalam antara dua orang individu yang terikat perkawinan, namun pasang-annya tidak mengetahui hal tersebut. Definisi pertama berkaitan dengan perselingkuhan secara fisik, sedangkan definisi kedua lebih condong pada perselingkuhan secara emosional. Hubungan perselingkuhan secara fisik merupakan suatu hubungan yang dapat ditangkap dan dirasakan oleh pasangan yang pasangannya selingkuh secara fisik, melalui bukti-bukti yang bisa dilacak, perubahan perilaku pasangan, perubahan pengeluaran, serta bukti-bukti lainnya. Kinsey (1953) menyatakan bahwa separuh dari suami di Amerika, dan satu dari lima perempuan Amerika melakukan suatu perselingkuhan ketika mereka terikat perkawinan yang sah. Dari proporsi yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan Amerika yang selingkuh inilah dapat disimpulkan bahwa pasangan selingkuh laki-laki Amerika yang melakukan perselingkuhan tak hanya perempuan bersuami saja, namun juga perempuan-perempuan lajang, dan perempuan-perempuan yang telah bercerai, serta terdapat juga beberapa fakta, bahwa terdapat beberapa perempuan yang memang menyediakan diri untuk menjadi pekerja komersialisasi seksual.

Bahkan dalam suatu tatanan masyarakat yang masih konservatif sekalipun, hubungan seksual di luar perkawinan dipandang sebagai suatu hal yang enteng. Penelitian yang dilakukan oleh Murdocks pada tahun 1950 menyatakan bahwa 70 persen warga Amerika menganggap bahwa hubungan seksual sebelum pernikahan adalah suatu hal yang biasa, namun setelah suatu pernikahan terjadi, hanya 2 persen yang menyetujui hubungan perselingkuhan yang melibatkan aktivitas seksual pada pasangan terjadi. Dengan demikian, maka nilai-nilai kesetiaan merupa-kan suatu hal yang dianggap harus dimiliki oleh pasangan yang telah menikah. Murdocks dalam penelitiannya menyatakan bahwa jika suatu hubungan perselingkuhan yang melibatkan aktivi-tas seksual terjadi, maka hal ini akan menyebabkan ledakan kecemburuan yang sangat besar pada pasangan dimana pada umumnya menyebabkan suatu tatanan dalam keluarga seketika menjadi goncang. Dengan demikian, bagaimanapun bentuk tatanan masyarakat, maka kesetiaan dalam perkawinan adalah suatu hal yang sangat mutlak dipertahankan.

Salah satu penekanan mengapa hubungan seksual sebelum pernikahan lebih dimaklumi daripada hubungan seksual (perselingkuhan) di luar pernikahan adalah karena stabilitas dalam suatu perkawinan pada hakekatnya adalah suatu ikatan yang sangat mudah goyah. Hal ini di-karenakan sifat manusia yang sebenarnya bukanlah monogamis. Dengan demikian, maka ikatan perkawinan itu sendiri merupakan ikatan perkawinan monogamis yang dipaksakan. Selain itu, hubungan seksual sebelum perkawinan lebih dimaklumi karena berdasar fakta, ada beberapa kasus yang menyebabkan hubungan seksual sebelum perkawinan justru membuat individu yang terlibat di dalamnya memutuskan untuk menikah, entah karena faktor kecocokan seksual di antara keduanya, atau faktor-faktor lainnya yang mendorong terjadinya perkawinan,

13

Page 14: Section B ORGANIZATIONAL CRISES Ancaman keluarga dari luar: Invasi yang membahayakan keutuhan keluarga (External Threats: Invasion from without )

misalnya kehamilan pasangan perempuan. Di sisi lain, suatu hal yang menyebabkan hubungan seksual setelah perkawinan terjadi (perselingkuhan) adalah hancurnya nilai-nilai komitmen di antara pasangan tersebut, di mana pada dasarnya komitmen merupakan suatu esensi penting dalam perkawinan, melebihi cinta yang terjadi di antara kedua pasangan itu sendiri.

Terlepas dari seberapa bebasnya budaya, maka perselingkuhan merupakan suatu hal yang tidak akan bisa diterima oleh nilai-nilai apapun. Sebagian besar krisis perkawinan yang diakibatkan oleh adanya perselingkuhan akan mengakibatkan pasangan yang tidak terlibat dalam perselingkuhan tersebut menjadi pihak yang tertolak dan akan menimbulkan kemarahan yang sangat dalam pada pasangan tersebut seberapapun besarnya keinginan dari pasangan yang telah berselingkuh untuk memperbaiki perkawinannya yang telah hancur.

Hubungan asmara antara laki-laki dan perempuanHarga diri seorang perempuan seringkali sangat terluka ketika dirinya menjadi pihak

yang dikhianati dalam perkawinan akibat dari perselingkuhan secara seksual yang dilakukan oleh suaminya. Hal ini disebabkan karena salah satu peranan perempuan dalam perkawinan adalah sebagai pemuas kebutuhan seksual suaminya, sehingga ketika suami melakukan perse-lingkuhan, maka pada saat itulah dirinya merasa sebagai pihak yang gagal memuaskan hasrat seksual suami, dan ia merasa tidak diinginkan secara seksual oleh suaminya. Spiro (1956) menyatakan bahwa dalam hasil penelitian, maka terdapat jumlah signifikan pada perempuan paruh baya di Kibbutz Israel yang sangat khawatir terhadap kemungkinan bahwa suaminya melakukan suatu tindakan perselingkuhan, dengan alasan bukan disebabkan karena suaminya mempunyai peluang untuk tertarik dengan perempuan lain, namun mereka meyakini bahwa penyebab dari perselingkuhan suami adalah karena daya tarik seksualitas mereka yang memudar. Dengan demikian, maka perselingkuhan meneguhkan keyakinan perempuan paruh baya tersebut bahwa mereka merupakan sosok figur perempuan yang tidak layak dicintai lagi oleh suaminya. Hal ini sangat signifikan pada golongan Kibbutz di Israel, karena keyakinan mereka supaya perempuan tidak bekerja di luar rumah dan hanya menjadi ibu rumah tangga. Dengan demikian, mereka sangat membutuhkan kasih sayang suami mereka untuk pembuktian kepada masyarakat bahwa mereka adalah perempuan yang berhasil.

Meskipun menghancurkan harga diri perempuan, namun perselingkuhan merupakan suatu hal yang bisa ditolerir terutama dalam kultur masyarakat patriarkis, yang seringkali memberikan kebebasan terhadap suami untuk melakukan hubungan seksual di luar perkawin-an yang sah selama hal tersebut tidak dapat diketahui oleh isteri, atau isteri tidak mau tahu hal tersebut. Hal ini membawa konsekuensi bahwa konstruksi seksual masyarakat akan semakin rusak karena di dalamnya terdapat beberapa lingkaran setan yang menghancurkan satu sama lain. Laki-laki yang terikat perkawinan diperbolehkan untuk melakukan aktivitas seksual di luar perkawinan, perempuan yang terikat perkawinan akan mendidik anak perempuan mereka supaya pasrah terhadap takdir yang mereka jalani dan menganggap bahwa seks merupakan suatu hal yang tabu dan tidak pantas dinikmati, anak-anak perempuan akan mendambakan suami yang setia, di mana hal ini menjadi semacam utopia karena anak laki-laki yang dibesar-kan dalam konstruksi masyarakat patriarkis ini akan belajar seksualitas sesuai dengan apa yang diajarkan oleh ayahnya.

Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa meskipun budaya patriarkis menjadi budaya yang tetap akan dipertahankan, namun hal ini sangat tergantung pada karakter suami isteri dalam perkawinan tersebut. Suami yang memperlakukan isterinya sebagai partner, dan bukan hanya sebagai objek pelampiasan seksual saja maka akan cenderung menaruh rasa hormat ter-

14

Page 15: Section B ORGANIZATIONAL CRISES Ancaman keluarga dari luar: Invasi yang membahayakan keutuhan keluarga (External Threats: Invasion from without )

hadap isterinya sehingga ia akan memperlakukan isterinya dengan baik dan tidak menyakiti isterinya dengan suatu perselingkuhan.

Kebebasan yang terbatasChristensen (1962) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kaum muda Amerika lebih

memaklumi perselingkuhan yang dilakukan secara tak terikat dengan pekerja seks komersial (39 %) daripada perselingkuhan yang dilakukan dengan orang yang masih lajang (34%) atau sudah berpasangan (28%). Hal ini bukan sebatas logika yang dilakukan secara ilmiah, namun salah satu argumen yang dikemukakan mengenai perkawinan poligami adalah karena laki-laki membutuhkan penyaluran hasrat biologis selama isterinya hamil sehingga terjadi masa puasa seks dalam jangka waktu tertentu. Masters Johnsons (1966) menemukan bahwa suami Amerika yang mempunyai latar belakang pendidikan tinggi ternyata melakukan perselingkuhan yang melibatkan aktivitas seksual selama isterinya mengalami kehamilan, sebelum dan sesudah bayi lahir (masa nifas). Hal ini disebabkan karena pada jangka waktu tersebut kondisi isteri yang sudah hamil besar memicu ketidak tegaan suami untuk melakukan aktivitas seksual dengan isterinya, sementara itu nafsu birahinya sudah tak terbendung lagi. Komarovsky (1964) yang melakukan penelitian pada buruh laki-laki menyatakan, bahwa jumlah suami yang melakukan aktivitas seksual di luar pernikahan (perselingkuhan seksual) jumlahnya terbilang cukup signifikan. Para suami ini mengakui bahwa mereka melakukan perselingkuhan ketika isterinya mengalami kehamilan pertama dan kehamilan-kehamilan berikutnya.

Ketika hubungan perselingkuhan diluar perkawinan yang sah diorganisir oleh suatu tatanan masyarakat, maka pemilihan pasangan yang akan diajak selingkuh juga merupakan tatanan yang dibuat oleh masyarakat tersebut sesuai dengan adat dan tradisi yang ada. Dalam tatanan masyarakat konservatif di Inggris misalnya, maka terdapat anjuran kepada suami untuk menikahi adik perempuan isterinya sebagai isteri kedua atau jika ia tidak mempunyai adik perempuan maka saudara perempuan isterinya bisa ia jadikan isteri keduanya. Hal ini berguna untuk meminimalisir kecemburuan isteri akibat dari keinginan suaminya yang melakukan hubungan seksual di luar pernikahan selain dengan dirinya.

Dalam tatanan masyarakat yang monogamis, maka budaya memang tidak mengijinkan adanya kekasih lain yang masuk dalam suatu perkawinan yang terdiri atas suami dan isteri tersebut. Solusi yang digunakan adalah dengan melupakan mantan kekasih, jika sudah terikat tali perkawinan, menganggap adik perempuan isteri adalah sama halnya dengan adik perempuan kandung sehingga perkawinan di antara keduanya merupakan suatu hal yang tabu, dan permisivitas dalam menggunakan jasa perempuan pekerja seks komersial jika sangat menghendaki aktivitas seksual. Semua solusi itu bertujuan untuk melakukan pembatasan seketat mungkin supaya orang asing tidak memasuki lembaga perkawinan yang sah meskipun cara-cara yang digunakan kadang bersifat hipokrit. Perempuan-perempuan bersuami itu sering-kali mengetahui perselingkuhan yang dilakukan suaminya, di mana mereka mengizinkan aktivitas seksual terjadi asalkan tidak ada ikatan emosional di antara keduanya. (Roebuck dan Spray, 1967:393). Pengabaian isteri terhadap suaminya yang berselingkuh pada umumnya diakibatkan oleh ketakutan bahwa suami merupakan pencari nafkah utama dalam suatu keluarga. Akan tetapi, kenyataannya banyak suami yang juga menjamin bahwa meskipun mereka berselingkuh namun keluarga mereka akan tetap berjalan secara utuh. Hal ini diteliti pada keluarga penganut Katolik modern, di mana meskipun mereka menganut agama Katolik secara taat, namun mereka juga mempunyai standar ganda tentang perselingkuhan dalam perkawinan. Dengan kata lain, ketika berada dalam keluarga mereka adalah ayah dan suami yang baik, namun hal ini tidak bisa

15

Page 16: Section B ORGANIZATIONAL CRISES Ancaman keluarga dari luar: Invasi yang membahayakan keutuhan keluarga (External Threats: Invasion from without )

diberlakukan di luar rumah, karena ketika seorang laki-laki keluar dari rumah maka ia akan meninggalkan atribut ayah dan suami yang baik tersebut dan menjadi seorang laki-laki.

Tekanan dalam perkawinanDalam berbagai penelitian mengatakan, bahwa semakin intensif hubungan antara suami

atau isteri dengan teman selingkuhnya, maka semakin merosot pula kekuatan perkawinan pasangan tersebut. Studi yang diadakan sewaktu perang dunia II (1949) menyatakan bahwa perkawinan mengalami cobaan terberat ketika suami meninggalkan perkawinan tersebut untuk pergi berperang dengan konsekuensi tiap pasangan mempunyai kebebasan untuk memilih pasangan seksual masing-masing di luar perkawinan yang sah dalam kurun waktu masa perang tersebut terjadi. Dengan demikian, maka suami isteri yang salah satu pasangannya pergi berpe-rang mereka mempunyai semacam ‘kebijakan’ atau bisa diartikan pemakluman jika pasangan mereka menyalurkan aktivitas seksual terhadap orang lain di luar perkawinan yang sah.

Hal yang sedikit serupa terjadi di suku Tonga di Zambia, yakni adanya suatu pemaklum-an jika suami melakukan hubungan seksual di luar pernikahan yang sah karena hubungan per-nikahan dengan isteri dalam masyarakat Zambia adalah hubungan perkawinan karena pemba-gian pekerjaan, di mana isteri dan suami masing-masing mendapat jatah sendiri dalam pekerja-an tersebut. Dengan demikian, maka hubungan seksual yang dilakukan oleh suami yang terjadi di luar perkawinan merupakan suatu variasi dari hubungan perseliran, di mana isteri sangat mengabaikan hal tersebut. Perselingkuhan yang bersifat seksual bukanlah sesuatu hal yang mengancam perkawinan, namun kemalasan suami, ketidak becusan suami dalam mencari uang adalah suatu hal yang sangat membahayakan perkawinan dalam masayarakat Tonga Zambia.

Semakin besar tumpuan keuangan keluarga dibebankan kepada suami sebagai kepala keluarga, maka semakin besar pula kebebasan suami tersebut dalam melakukan perselingkuh-an. Hal ini dibuktikan melalui penelitian Geertz (1961) pada keluarga masyarakat Jawa, di mana ketika seorang suami melakukan perselingkuhan, maka isteri Jawa rata-rata tidak mau peduli dan tidak mau mengetahui hal tersebut. Bagi isteri Jawa, yang terpenting adalah rumah tangga tetap utuh, dan di dalam rumah suami tersebut adalah suaminya. Bahkan perselingkuhan yang dilakukan oleh suaminya seringkali ia tutupi supaya tidak terbongkar pada khalayak ramai dengan mengesankan kepada orang-orang di sekelilingnya bahwa rumah tangganya baik-baik saja. Adapun dalam suatu kasus di mana perselingkuhan tersebut telah terungkap secara luas ke publik, maka isteri Jawa dalam penelitian Geeertz ini dikatakan cenderung menyerah dengan mengizinkan suaminya berpoligami.

Barangkali, perselingkuhan suami yang telah diketahui oleh publiklah yang membuat seorang isteri memutuskan perceraian dengan suaminya. Rasa malu yang diderita oleh isteri, dan ketidak mampuan untuk menjawab pertanyaan dari berbagai penjuru yang menyebabkan isteri memutuskan perceraian. Solusi lain yang sering dilakukan oleh sebagian keluarga adalah dengan ‘menyembunyikan’ perselingkuhan tersebut atas izin isteri, misalnya suami menikahi isteri kedua dan menempatkannya satu rumah dengan isteri pertama. Hal ini dikatakan sangat mengurangi kecemburuan, serta mengurangi terpaan gosip dari luar.

Perselingkuhan, bagaimanapun akan membutuhkan biaya ekstra yang harus dibayar pasangan yang melakukan perselingkuhan tersebut. Suatu kenyataan bahwa teman selingkuh haruslah diperlakukan sama dengan pasangan atau justru harus lebih baik daripada pasangan merupakan suatu hal yang tertanam dalam benak pasangan yang berselingkuh. Komarovsky (1964) yang meneliti pria yang berselingkuh ketika isterinya sedang mengandung, menyatakan bahwa teman selingkuhannya tersebut selalu menginginkan hadiah-hadiah dan pemberian yang

16

Page 17: Section B ORGANIZATIONAL CRISES Ancaman keluarga dari luar: Invasi yang membahayakan keutuhan keluarga (External Threats: Invasion from without )

mahal sehingga menguras harta bendanya. Bagi suami khususnya, maka pemberian ini dianggap sebagai investasi supaya teman selingkuhannya tersebut tidak meninggalkannya.

Liebow, seorang psikolog yang menyelidiki perilaku seksual warga kulit hitam menemu-kan bahwa perselingkuhan yang dilakukan oleh warga kulit hitam merupakan suatu cara untuk mengatasi kebosanan seksual dalam perkawinan. Ketika mereka bosan dengan isteri mereka, maka mereka akan berselingkuh beberapa saat, lalu kembali kepada pasangan mereka yang sah lagi. Liebow (1967) mencatat bahwa dalam perkawinan, maka kejenuhan akan muncul karena rutinitas yang hanya berjalan seperti itu setiap hari. Suami pulang ke rumah, isteri telah tidur, lalu suami menonton televisi hingga larut malam, bangun pagi, kerja, lalu pulang ke rumah, dan seterusnya. Rutinitas ini seringkali membuat aktivitas seksual bersama isterinya terbengkalai, di mana isterinya juga menyadari hal tersebut namun ia tidak terlalu memperhatikannya karena sibuk mengurus anak-anak hasil dari perkawinan tersebut. Seiring berjalannya waktu hal ini seperti suatu bom waktu yang menyebabkan perkawinan berantakan. Isteri menganggap bahwa suaminya telah menolak dirinya secara seksual karena tidak ada ajakan berhubungan intim dari suami, dan suami menganggap isteri merasa lelah sehingga akhirnya ia mencari hubungan seksual di luar pernikahan tersebut.

Kinsey (1953) menyatakan bahwa perselingkuhan yang dilakukan oleh perempuan atau isteri seringkali memberikan efek yang sangat buruk dalam perkawinan karena suami pada umumnya tidak mau memaafkan isterinya yang telah melakukan perselingkuhan tersebut. Sementara itu, dalam beberapa kasus penyebab perselingkuhan isteri adalah karena isteri ingin membalas perselingkuhan yang dilakukan oleh suaminya.

Pada akhirnya, kesimpulan Kinsey menyatakan bahwa perkawinan haruslah merupakan suatu ikatan yang hanya terdiri atas suami dan isteri saja, tanpa melibatkan pihak luar sama sekali. Kinsey menyatakan bahwa perkawinan yang berhasil (91%) adalah perkawinan yang berbentuk monogamis yang hanya terdiri atas suami dan isteri. Sedangkan hanya 1% dari perkawinan poligamis atau perkawinan antara satu suami dengan banyak isteri yang menyata-kan bahwa perkawinan mereka adalah perkawinan yang bahagia.

17