tidak boleh membahayakan orang lain

15
1 PENGAJIAN JUMAT PETANG BA’DA MAGHRIB KAJIAN HADITS TEMATIK MASJID MARGO RAHAYU NAMBURAN KIDUL YOGYAKARTA Tidak Boleh Membahayakan Orang Lain Masih banyak orang yang, karena sikap egoisnya, melakukan aktivitas tanpa mengindahkan madharatnya pada orang lain, karena keinginannya untuk mendapatkan keuntungan yang optimal bagi dirinya. Sehingga, dalam banyak hal, mereka tidak peduli apakah tindakannya yang dilakukan itu akan memberikan dampak negatif bagi orang lain atau tidak. Yang mereka pertimbangkan adalah kepentingan diri mereka sendiri. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda َ لَ رَ َ َ لَ وَ ارَ ر “Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain.” (Hadits Riwayat Malik bin Anas dari Abu Said Saad bin Malik bin Sinan al- Khudriy, Al-Muwaththa, juz II, hal. 571, hadits no. 31) Hadits yang semakna juga diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni, Sunan ad-Dâruquthni, juz III, hal. 470, hadits no. 4461, Al-Baihaqi, As-Sunan al- Kubrâ, juz VI, hal. 69, hadits no. 11717; dan Al-Hakim, Al-Mustadrak, juz II, hal. 57, hadits no. 2345) Dalam riwayat al-Hâkim dan al-Baihaqi ada tambahan, نَ مّ ارَ ض هّ َ ا نَ مَ وّ اقَ شّ قَ ش ا ه يَ لَ عBarangsiapa membahayakan orang lain, maka Allâh akan membalas bahaya kepadanya dan barangsiapa menyusahkan atau menyulitkan orang lain, maka Allâh akan menyulitkannya.” Hadits Abû Sa’îd al-Khudriy di atas memiliki beberapa penguat dari sejumlah Sahabat lain, di antaranya ‘Ubâdah bin ash-Shâmit (Ibnu Mâjah, Sunan ibn Mâjah, juz III, hal. 330, hadits no. 2340), ‘Abdullâh bin ‘Abbâs (Ibnu Mâjah, Sunan ibn Mâjah, hadits no. 2341), Abu Hurairah, Jâbir bin ‘Abdillâh, Tsa’labah bin Abi Mâlik al-Qurazhi, Abu Lubâbah, dan ‘Aisyah radhiyallâhu anhum. Hadits ini dinilai hasanoleh an-Nawawi rahimahullâh dalam Kitâb al-Arba’în, Ibnu Rajab rahimahullâh dalam Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, dan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni

Upload: muhsin-hariyanto

Post on 22-Jan-2018

518 views

Category:

Education


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tidak boleh membahayakan orang lain

1

PENGAJIAN JUMAT PETANG BA’DA MAGHRIB

KAJIAN HADITS TEMATIK MASJID MARGO RAHAYU NAMBURAN KIDUL YOGYAKARTA

Tidak Boleh Membahayakan Orang Lain

Masih banyak orang yang, karena sikap egoisnya, melakukan

aktivitas tanpa mengindahkan madharatnya pada orang lain, karena keinginannya untuk mendapatkan keuntungan yang optimal bagi dirinya.

Sehingga, dalam banyak hal, mereka tidak peduli apakah tindakannya yang

dilakukan itu akan memberikan dampak negatif bagi orang lain atau tidak.

Yang mereka pertimbangkan adalah kepentingan diri mereka sendiri.

Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda

راالا ارااولااض اضر

“Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain.” (Hadits

Riwayat Malik bin Anas dari Abu Sa’id – Sa’ad bin Malik bin Sinan – al-Khudriy, Al-Muwaththa, juz II, hal. 571, hadits no. 31)

Hadits yang semakna juga diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni, Sunan

ad-Dâruquthni, juz III, hal. 470, hadits no. 4461, Al-Baihaqi, As-Sunan al-

Kubrâ, juz VI, hal. 69, hadits no. 11717; dan Al-Hakim, Al-Mustadrak, juz II,

hal. 57, hadits no. 2345)

Dalam riwayat al-Hâkim dan al-Baihaqi ada tambahan,

ه ااضاراامن ا اعلي هاالل ااشقااشاقااومن ااالل ااض

“Barangsiapa membahayakan orang lain, maka Allâh akan membalas bahaya kepadanya dan barangsiapa menyusahkan atau menyulitkan orang lain, maka Allâh

akan menyulitkannya.”

Hadits Abû Sa’îd al-Khudriy di atas memiliki beberapa penguat dari sejumlah Sahabat lain, di antaranya ‘Ubâdah bin ash-Shâmit (Ibnu Mâjah,

Sunan ibn Mâjah, juz III, hal. 330, hadits no. 2340), ‘Abdullâh bin ‘Abbâs

(Ibnu Mâjah, Sunan ibn Mâjah, hadits no. 2341), Abu Hurairah, Jâbir bin

‘Abdillâh, Tsa’labah bin Abi Mâlik al-Qurazhi, Abu Lubâbah, dan ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anhum. Hadits ini dinilai ‘hasan’ oleh an-Nawawi

rahimahullâh dalam Kitâb al-Arba’în, Ibnu Rajab rahimahullâh dalam Jâmi’ul

‘Ulûm wal Hikam, dan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni

Page 2: Tidak boleh membahayakan orang lain

2

rahimahullâh dalam Silsilatul Ahâdîtsish Shahîhah (hadits no. 250), Irwâ-ul

Ghalîl (hadits no. 896), dan Shahîh Kitâbil Adzkâr wa Dha’îfuhu, juz II, hal.

985, hadits no. 981 dan 1247).

Syarah Hadits

1. Pengertian ad-Dharar dan ad-Dhirâr

Para Ulama berbeda pendapat tentang adakah perbedaan makna antara kata adh-dharar dan adh-dhirâr? Diantara mereka ada yang

mengatakan, makna kedua kata tersebut sama, (diucapkan dua kali) untuk menguatkan. Namun pendapat yang terkenal yaitu antara kedua kata

tersebut terdapat perbedaan makna.

Dharar (bahaya) adalah lawan dari manfaat. Makna hadits tersebut

tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh menimbulkan madharat (bahaya)

tanpa alasan yang dibenarkan dalam syariat. Ada juga yang mengatakan, dharar ialah memudharatkan orang lain yang tidak pernah melakukan hal

yang sama padanya, sedang dhirâr ialah: “membuat kemudharatan terhadap

orang lain yang pernah melakukan hal yang sama padanya (membalas-red) dengan cara yang tidak diperbolehkan.”

Hadits ini menjelaskan kaedah « والضرار ضرر ال » yang telah dibakukan

Ulama. Para ahli fiqih meng-qiyas-kan semua perkara-perkara yang berbahaya dengan kaedah ini, terutama masalah-masalah kontemporer yang

tidak ada pada zaman Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam, misalnya, narkoba dan rokok. Keduanya dihukumi haram karena masuk dalam kaedah ini.

Sebab hal tersebut berbahaya dan membahayakan orang lain. Dan masih banyak contoh lain yang dapat diambil dari kaedah ini. Karena itu, Imam Abu Dâwud rahimahullâh mengatakan bahwa hadits ini termasuk salah satu

hadits yang menjadi poros hukum-hukum fiqih.

Kesimpulannya, Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa sallam menolak dharar (mudharat/bahaya) dan dhirâr (menimbulkan bahaya) tanpa alasan

yang benar. Adapun menimpakan madharat kepada seseorang dengan cara yang benar, maka itu tidak termasuk yang dilarang dalam hadits di atas.

Misalnya, seseorang yang melanggar hukum-hukum Allâh ‘Azza wa Jalla, lalu dihukum sesuai dengan kejahatannya; atau seseorang mezalimi orang

lain, lalu orang yang dizhalimi menuntut balas dengan adil. Karena yang dimaksud dalam hadits di atas ialah menimbulkan madharat dengan cara yang tidak benar.1

Contoh ضرر ال yaitu, seseorang merokok atau mengkonsumsi

narkoba. Orang ini berarti telah berbuat dharar (bahaya/kerugian) terhadap

1 Diringkas dari Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, juz II, hal. 212.

Page 3: Tidak boleh membahayakan orang lain

3

dirinya. Oleh karena itu, ia wajib dicegah dan dia wajib berhenti dari tindakannya itu, karena ia telah mezalimi dirinya sendiri dan

membahayakan orang lain.

Contoh “ ضرار وال ”, seseorang mengkhianati atau menipu kita, maka

untuk mengamalkan potongan hadits itu, kita tidak boleh membalasnya

dengan menipu atau mengkhianatinya. Contoh lain, si A menzinai wanita B, maka keluarga wanita yang dizinai tidak boleh membalas A dengan

menzinai keluarga si A. Akan tetapi, hendaknya dilaporkan ke penguasa agar pelakunya dihukum.

2. Haram, Menimbulkan Madharat Kepada Seorang Muslim

Hadits ini menunjukkan bahwa seorang Muslim tidak boleh

memudharatkan (membahayakan) orang lain tanpa alasan yang benar. Seorang Muslim tidak boleh memudharatkan orang yang

memudharatkannya, tidak boleh mencaci orang yang mencacinya dan tidak boleh memukul orang yang memukulnya. Untuk meminta haknya, ia bisa memintanya melalui hakim tanpa harus mencaci-maki. Dalam banyak

hadits, Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa sallam melarang segala yang mendatangkan bahaya atas kaum Muslimin. Diantaranya, sabda Rasûlullâh

Shallallâhu ‘alaihi wa sallam:

م ااإرنا ماءك م اادر والك م م ااحرام ااوأ ...علي ك

“Sesungguhnya darah kalian dan harta kalian haram atas kalian…”2

Melakukan sesuatu yang membahayakan atau merusak kehormatan,

harta atau jiwa kaum Muslimin adalah tindakan kezhaliman yang diharamkan oleh Allâh ‘Azza wa Jalla. Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang beliau riwayatkan dari Rabbnya,

ي اايا بادر ااإرنرـي ا!ااعر ت م ااوجعل ت ه اا،انف سر ااعلـىاالظل مااحرم ابي نك رما و اافلاا؛ام ...تظالـم

“Wahai hamba-Ku! Sesungguhnya Aku mengharamkan perbuatan zhalim atas diri-Ku dan Aku menjadikannya haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling

menzalimi..”.3

2 Hadits Riwayat Muslim, Shahîh Muslim, juz IV, hal. 39, hadits no. 3009. 3 Hadits Riwayat Muslim, hadits no. 2577, Ahmad, juz V, hal. 154, 160, 177,

at-Tirmidzi, hadits no. 2495, Ibnu Mâjah, hadits no. 4257, ‘Abdurrazzâq, hadits no.

Page 4: Tidak boleh membahayakan orang lain

4

3. Macam-Macam Tindakan Memberikan Mudharat

Pertama: Tindakan yang murni tujuannya untuk menimbulkan

madharat kepada orang lain. Tindakan ini jelas buruk dan diharamkan. Larangan menimbulkan madharat disebutkan di beberapa tempat dalam al-Qur’ân, di antaranya :

a. Dalam wasiat, Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

ن ا ية اابع دراامر و اابرهااي وصىااوصراادي ن ااأ ضارااغي ام

“…Setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (setelah dibayarkan) utangnya

dengan tidak menyusahkan (ahli waris)…” [QS an-Nisâ'/4: 12]

‘Abdullah bin ‘Abbâs Radhiyallâhu anhuma mengatakan, “Menimbulkan madharat dalam wasiat termasuk dosa besar.” Kemudian

beliau Radhiyallâhu anhuma membaca ayat di atas.4 Menimbulkan madharat dalam wasiat itu terkadang dalam bentuk:

1) Melebihkan bagian ahli waris tertentu dari bagian yang telah ditentukan

oleh Allâh ‘Azza wa Jalla . Akibatnya, pasti akan merugikan ahli waris lainnya. Oleh karena itu, Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

طىاقد اااللااإرنا ع ااأ يةاافلاا،احقه ااحقااذري ااك ااوصر رواررث ل

“Sesungguhnya Allâh telah memberi hak kepada para pemiliknya. Oleh karena itu,

tidak ada wasiat bagi ahli waris.”5

2) Berwasiat kepada orang lain dengan harta yang lebih dari sepertiga hartanya. Akibatnya, jatah ahli waris berkurang. Karena itu, Nabi

Shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

20272, Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ', juz V, hal. 125-126, Al-Baihaqi dalam Al-Asmâ' wash Shifât, hal. 65, 159, 213-214, 227, 285)

4 Atsar Mauqûf diriwayatkan oleh ‘Abdur Razzâq dalam al-Mushannaf (no. 16456), Ibnu Abi Syaibah, hadits no. 31454, Sa’îd bin Manshûr dalam Sunan-nya, hadits no. 258-260.

5 Hadits Mutawatir riwayat Abu Dâwud, hadits no. 2870, At-Tirmidzi, hadits no. 2120, Ibnu Mâjah, hadits no. 2713, Ahmad, juz V, hal. 267, Al-Baihaqi, juz VI, hal. 264, dan lainnya dari Sahabat Abu Umâmah Radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini diriwayatkan juga oleh Sahabat lainnya. Lihat Irwâul Ghalîl, hadits no. 1655.

Page 5: Tidak boleh membahayakan orang lain

5

ا اا،ااثلل ث كثري ااواثلل ث

“Sepertiga, dan sepertiga itu sudah banyak.”6

Jika seseorang berwasiat untuk salah seorang ahli waris atau orang

lain dengan harta yang melebihi sepertiga hartanya, maka wasiat itu tidak boleh dilaksanakan kecuali dengan izin semua ahli waris; baik orang yang

berwasiat tersebut sengaja dan berniat menimbulkan madharat atau tidak.

Jika ia sengaja dan berniat menimbulkan madharat dengan cara mewasiatkan lebih dari sepertiga hartanya, maka ia berdosa karena niatnya ini. Pertanyaannya apakah wasiat itu ditolak jika pelakunya memberikan

pengakuan ataukah tidak ? Ibnu ‘Athiyah meriwayatkan sebuah riwayat dari Imam Mâlik bahwa wasiat tersebut harus ditolak. Ada yang mengatakan

bahwa itu analogi pendapat Imam Ahmad.7

b. Dalam masalah rujuk nikah. Allâh ‘Azza wa Jalla berfirman:

ت م ااوإرذا نااالنساءااطلق ناافبلغ جله نااأ وه ك سر م

اافأ و اابرمع ر وف

اأ

نا وه اارسح وف نااولااابرمع ر وه ك اراات م سر وااضر تد ع عل ااومن ااالر ايف ركاذىا سه ااظلماافقد اال نف

“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). Dan janganlah kamu tahan mereka dengan maksud jahat untuk menzalimi mereka. Barang siapa melakukan demikian, maka dia telah

menzalimi dirinya sendiri…” [QS al-Baqarah/2: 231]

Barangsiapa bermaksud menimbulkan madharat ketika merujuk isterinya, ia berdosa. Ini seperti kejadian yang terjadi pada masa permulaan

Islam sebelum talak dibatasi dengan tiga talak. Ketika itu, seseorang bisa mentalak isterinya kemudian meninggalkannya. Ketika iddah isterinya hampir habis, ia rujuk dengan isterinya kemudian mentalaknya lagi. Ia

berbuat seperti itu tanpa batas akhir. Ia membiarkan isterinya dalam status yang tidak jelas, antara berstatus ditalak atau dirujuk. Oleh karena itu, Allâh

6 Muttafaq ‘alaih, riwayat Bukhâri, hadits no. 1295 dan Muslim, hadits no.

1628. 7 Diringkas dari Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, juz II, hal. 212-213

Page 6: Tidak boleh membahayakan orang lain

6

‘Azza wa Jalla membatalkan perbuatan seperti itu dan membatasi talak hingga tiga kali saja.8 [8] Wallâhu a’lam.

c. Dalam îlâ’ (bersumpah tidak menggauli isteri).

Orang-orang jahiliyah zaman dahulu ada yang melakukan tindakan îlâ’ (bersumpah untuk tidak menggauli isterinya) selama setahun atau dua tahun. Tujuannya ialah menyengsarakan isterinya. Akibatnya, sang isteri

menjadi wanita yang terkatung-katung dan tidak merasa sebagai isteri. Oleh karena itu, Allâh ‘Azza wa Jalla menentukan masa îlâ' sampai batas empat

bulan. Jika seorang suami bersumpah untuk tidak menggauli isterinya (îlâ'),

maka masa berlaku îlâ' tersebut adalah empat bulan. Jika suami menarik

kembali îlâ'nya dan menggauli isterinya, itulah bentuk taubatnya. Namun jika ia bersikeras tidak menggauli isterinya lebih dari empat bulan, maka ini tidak boleh dibiarkan begitu saja. Menurut generasi Salaf dan Khalaf, dalam

masalah ini ada dua pendapat:

Pertama: Isterinya ditalak dengan berakhirnya masa îlâ'. Kedua: Dibiarkan. Jika suami menarik kembali îlâ'nya dalam waktu empat

bulan, maka tidak ada tindakan apa-apa, namun jika tidak, maka ia harus disuruh untuk mentalak isterinya.9

d. Dalam masalah menyusui, Allâh ‘Azza wa Jalla berfirman,

ة اات ضاراالا هااوالر ل ود ااولاابرولر هراال اامو برولر

“Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah

(menderita) karena anaknya.” [QS al-Baqarah/2: 233]

Tentang firman Allâh ‘Azza wa Jalla di atas, Mujâhid rahimahulah

menjelaskan, “Seorang ayah tidak boleh melarang wanita yang telah melahirkan (ibu-red) bayinya menyusui anaknya dengan tujuan membuat si

wanita itu bersedih hati.”

‘Athâ', Qatâdah, az-Zuhri, Sufyân, as-Suddi, dan lain-lain berkata, “Jika seorang ibu (wanita yang telah melahirkan anaknya lalu dicerai oleh

suaminya-red) ridha dengan upah yang sama dengan wanita lain, maka ia lebih berhak menyusui anaknya (daripada wanita lainnya-red).”

Dan firman Allâh ‘Azza wa Jalla , ﴿بولده له مولود ولا ﴾ “Dan jangan pula

seorang ayah (menderita) karena anaknya,” termasuk dalam hal ini ialah jika

8 Diringkas dari Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, juz II, hal. 213. 9 Diringkas dari Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, juz II, hal. 214.

Page 7: Tidak boleh membahayakan orang lain

7

wanita yang ditalak meminta untuk menyusui bayinya dengan upah standar, maka ayah si bayi tersebut harus mengabulkan permintaan wanita tersebut;

baik ada wanita lain atau tidak. Ini pendapat Imam Ahmad. Namun jika wanita itu meminta upah lebih tinggi dari upah standar dan ayah si bayi

mendapati wanita lain yang bisa menyusui bayinya, maka sang ayah tidak wajib memenuhi tuntutan wanita yang telah dicerainya itu, karena wanita

tersebut bermaksud menimbulkan mudharat. Imam Ahmad juga berpendapat seperti itu.10

e. Dharar dalam jual-beli.

Pertama: Islam melarang seluruh bentuk jual-beli yang mengandung

dharar (bahaya) dan membahayakan kaum Muslimin. Islam melarang jual-beli ‘inah11, jual beli dengan lemparan batu, jual beli gharar (yang tidak jelas),

jual beli dengan riba, dan lainnya.

Kedua: Tindakan yang tidak murni untuk memudharatkan, dia mempunyai tujuan lain yang benar. Misalnya, seseorang menggunakan

barang miliknya untuk kebaikan dirinya, namun tindakannya menimbulkan madharat pada orang lain atau melarang orang lain memanfaatkan barang miliknya sehingga orang yang ia larang mendapatkan madharat karena

larangannya.

Masalah pertama; Seseorang menggunakan barang miliknya untuk kebaikan dirinya, namun tindakannya menimbulkan madharat pada orang

lain. Jika itu terjadi secara tidak wajar, misalnya seseorang menyalakan api di lahannya di hari yang panas kemudian api membakar apa saja yang ada di

lahan itu dan di lahan sekitarnya. Pelaku tindakan ini berarti telah berbuat zhalim dan harus mengganti kerusakan yang diakibatkan oleh tindakannya.

Namun, jika hal tersebut terjadi secara wajar, maka ada dua pendapat menurut ulama dalam masalah ini:

1. Ia tidak dilarang berbuat seperti itu. Ini pendapat Imam Syâfi’i rahimahullâh, Abu Hanîfah rahimahullâh dan lain-lain.

2. Ia dilarang berbuat seperti itu. Ini pendapat Imam Ahmad rahimahullâh, sejalan dengan pendapat Imam Mâlik rahimahullâh

pada sebagian bentuk (kasus).

10 Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-

‘Utsaimîn. 11 Bai’ul ‘Înah (jual beli ‘înah) yaitu menjual suatu barang kepada seseorang

dengan cara menghutangkannya untuk jangka waktu tertentu dan barang tersebut diserahkan kepadanya, kemudian si penjual membelinya kembali dari pembeli secara kontan dengan harga yang lebih murah, sebelum menerima pembayaran dari si pembeli tersebut. Lihat ‘Aunul Ma’bûd, juz IX, hal. 263, cet. Dârul Fikr dan Silsilah al-Ahâdîtsish Shahîhah, juz I, hal. 42.

Page 8: Tidak boleh membahayakan orang lain

8

Di antara contohnya ialah: seseorang membuka lubang dinding di rumahnya yang tinggi atau membangun rumah tinggi, sehingga ia bisa

melihat tetangganya dan ia tidak menutupnya. Akibatnya, tetangga merasa terganggu. Oleh karena itu, ia wajib menutupnya. Wallâhu a’lam.

Contoh lain ialah menggali sumur di dekat sumur tetangga hingga

menghabiskan air sumur tetangga. Menurut pendapat Imam Mâlik dan Ahmad, sumur tetangganya harus diisi.

Contoh lain, melakukan sesuatu pada barang miliknya, namun

aktifitas ini menimbulkan madharat pada milik tetangga, misalnya

mengguncang, menumbuk, dan lain sebagainya. Itu dilarang menurut Imam

Mâlik dan Ahmad. Itu juga salah satu pendapat sahabat-sahabat Imam asy-Syâfi’i.

Contoh lain, menimbulkan madharat kepada sesama penghuni

rumah. Misalnya, seseorang yang mempunyai bau badan yang tidak enak dan lain sebagainya. Orang ini harus menghilangkan bau badannya.

Masalah kedua; Melarang orang lain memanfaatkan barang

miliknya, seperti melarang orang lain menyandarkan kayu pada tembok rumahnya. Ini tidak boleh kecuali kalau menimbulkan bahaya bagi pemilik tembok, misalnya temboknya kurang kuat sehingga dikhawatirkan roboh.

Namun, pada asalnya tidak boleh melarang, berdasarkan hadits Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam:

نع االا م اايم ك حد ن ااجاره ااأ

زااأ رر

داررهراافر ااخشبةاايغ جر

“Janganlah sekali-kali salah seorang dari kalian melarang tetangganya meletakkan

kayu di temboknya.”12

Abu Hurairah Radhiyallâhu anhu berkata, “Kenapa aku lihat kalian

berpaling dari sunnah ini. Demi Allâh, aku pasti melemparkannya ke tengah-tengah kalian.”13

‘Umar bin Khaththab Radhiyallâhu ‘anhu menjatuhkan vonis kepada

Muhammad bin Maslamah Radhiyallâhu ‘anhu agar ia membiarkan air dari

12 Hadits Riwayat Muslim dari Abu Hurairah r.a., Shahîh Muslim, juz V, hal.

57, hadits no. 4215. 13 Hadits Riwayat al-Bukhâri, hadits no. 2463, 5627, Muslim, hadits no. 1609,

Ahmad, juz II, hal. 396), Abu Dâwud, hadits no. 3634, At-Tirmidzi, hadits no. 1353, Ibnu Mâjah, hadits no. 2335 dan Ibnu Hibbân, hadits no. 516, At-Ta’lîqâtul Hisân.

Page 9: Tidak boleh membahayakan orang lain

9

tetangganya mengalir ke lahannya. Beliau berkata, “Engkau harus mengalirkan airnya meskipun melewati perutmu.”14

Di antara hal yang dilarang pada seseorang karena akan menimbulkan madharat yaitu melarang orang memanfaatkan sisa air. Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

و االا نع لااتـم مـاءراافض و ااالـ نع م اابرهراالر ال كأ

“Jangan kalian melarang (pemanfaatan-red) sisa air (dengan tujuan-red) untuk

melarang (pemanfaatan-red) rumput (di sekitarnya-red).”15

Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

نا و لرم س م كء ااالـ ي ااش اافـر مـاءراافرـي:ااثلث كإرااالـ وانلاررااوال

“Kaum Muslimin itu bersekutu dalam tiga hal yaitu air, rumput dan api.”16

Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

ا نع ناالااثلث م مـاء ااااي اوال االـ وانلار ااكأ

“Tiga hal yang tidak boleh dilarang (pemanfaatannya-red) yaitu air, rumput dan

api.”17

Sebagian besar ulama berpendapat bahwa tidak boleh melarang orang lain secara mutlak untuk memanfaatkan sisa air yang mengalir dan memancar, baik air ini disebut sebagai milik dari pemilik lahan tempat air

berada atau tidak. Ini pendapat Abu Hanîfah, asy-Syâfi’i, Ahmad, Ishâq, Abu ‘Ubaid dan lain-lain.

14 Diriwayatkan oleh Mâlik dalam al-Muwaththa', juz II, hal. 572, hadits no.

33, Asy-Syâfi’i dalam Musnadnya, juz III, hal. 2494, hadits no. 1493, dan al-Baihaqi, juz VI, hal. 157.

15 Hadits Riwayat al-Bukhâri, hadits no. 2353, 6962, Muslim, hadits no. 1566, Abu Dâwud, hadits no. 3473, At-Tirmidzi, hadits no. 1272 dan Ibnu Hibbân, hadits no. 4935 At-Ta’lîqâtul Hisân, dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu

16 Hadits shahîh. Hadits Riwayat Ibnu Majah dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, Sunan ibn Mâjah, juz III, hal. 528, hadits no. 2472.

17 Hadits shahîh. Hadits Riwayat Ibnu Mâjah, hadits no. 2473 dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu.

Page 10: Tidak boleh membahayakan orang lain

10

Imam Ahmad rahimahullâh berpendapat bahwa sisa air wajib diberikan secara gratis tanpa kompensasi apa pun untuk minum manusia,

minum binatang dan mengairi tanaman. Abu Hanîfah rahimahullâh dan asy-Syâfi’i rahimahullâh berpendapat bahwa kelebihan air tidak wajib diberikan

untuk tanaman.18

Termasuk dalam cakupan kandungan sabda Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam , “Tidak boleh memudharatkan” yaitu Allâh ‘Azza wa Jalla tidak

membebani para hamba-Nya untuk mengerjakan hal-hal yang mendatangkan madharat kepada mereka, karena apa saja yang Dia ‘Azza wa

Jalla perintahkan kepada mereka adalah intisari kebaikan agama dan dunia

mereka, serta apa saja yang Dia k larang dari mereka adalah intisari kerusakan agama dan dunia mereka. Allâh ‘Azza wa Jalla juga tidak

memerintahkan hamba-hamba-Nya dengan sesuatu yang akan membahayakan fisik mereka. Oleh karena itu, Allâh ‘Azza wa Jalla

menggugurkan kewajiban bersuci dengan air bagi orang sakit. Allâh ‘Azza wa Jalla berfirman:

يد ااما علااالل ااي رر ج م االر ن ااعلي ك اامر حرج

“… Allâh tidak ingin menyulitkan kamu…” [QS al-Mâidah/5: 6]

Allâh ‘Azza wa Jalla menghapus kewajiban puasa dari orang sakit dan musafir. Allâh ‘Azza wa Jalla berfirman:

يد ا م ااالل ااي رر اابرك يد ااولااال ي س م ااي رر اابرك ال ع س

“… Allâh menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran

bagimu…” [QS al-Baqarah/2: 185]

Dari ‘Abdullah bin ‘Abbâs Radhiyallâhu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Agama apakah yang paling dicintai

Allâh?” Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ية ا حنري فر حة ااالـ السم

“Agama lurus yang toleran.”19

18 Diringkas dari Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, juz II, hal. 217-223. 19 Hadits Hasan Li Ghairihi. Hadits Riwayat Bukhâri dalam Al-Adabul Mufrad,

hadits no. 287, Ahmad, juz I, hal. 236, dan lainnya. Lihat Silsilatul Ahâdîtsish Shahîhah

Page 11: Tidak boleh membahayakan orang lain

11

Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda :

ااإرن ا ل ت ر سر ية ااأ نري فر حة اابر سم

“Sesungguhnya aku diutus dengan membawa agama yang lurus dan toleran.”20

Tentang makna ini, diriwayatkan dari Anas bin Mâlik Radhiyallâhu anhu bahwa Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam melihat seseorang berjalan

dan dikatakan bahwa orang itu bernazar untuk berangkat haji dengan

berjalan kaki kemudian beliau bersabda :

اااللااإرنا يرهرااعن االغنراا،امش واية ااوفرـي ا.ا)فل ي كب اااللاارنا إ(ارر عن االغنر

ا ي بر سه ااهذااتع ذر انف “Sesungguhnya Allâh tidak membutuhkan jalan orang itu, karenanya hendaklah ia

naik kendaraan. (Dalam riwayat lain), “Sesungguhnya Allâh tidak butuh kepada

penyiksaan diri yang dilakukan orang ini.”21

Kaedah Ushul (Fiqh)

Hadits ini والضرار ضرر ال (tidak boleh membuat kemudharatan dan

tidak boleh membalas kemudharatan) adalah kaedah ushûl. Contohnya: seseorang yang hartanya dirusak orang lain, maka ia tidak boleh membalas

dengan merusak harta orang tersebut. Karena, tindakan ini tidak mendatangkan manfaat, justru memperluas kemudharatan. Ia hanya boleh menuntut agar orang yang merusak hartanya mengganti senilai kerusakan

itu.

Kaedah-kaedah cabang yang muncul dari kaedah inti di atas ialah:

ر ا .1 فع ااالض ررااي د كنراابرقد رم

اال

(no. 881)

20 Hadits Hasan, Riwayat Ahmad bin Hanbal dari ‘Aisyah r.a., Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz VI, hal. 116, hadits no. 233.

21 Hadits shahîh. Hadits Riwayat al-Bukhâri dari Anas bin Malik, VIII, hal. 177, hadits no. 1865, 6701, Muslim, hadits no. 1642, At-Tirmidzi, hadits no. 1537, Abu Dâwud, hadits no. 330), An-Nasâi, juz VII, hal. 30), dan Ibnu Hibbân, hadits no. 4367, 4368 at-Ta’lîqâtul Hisân.

Page 12: Tidak boleh membahayakan orang lain

12

“Kemadharatan itu harus dicegah semampunya.”

Maksudnya, menghilangkan kemadharatan yang telah terjadi adalah suatu kewajiban, juga diwajibkan untuk memperbaiki kerusakan yang telah

ditimbulkan. Contoh, jika ada seseorang yang membuat saluran air di jalan

kemudian saluran air tersebut mengganggu orang yang lewat, maka ia wajib membuang saluran air itu dan juga mengganti atau memperbaiki kerusakan akibat saluran airnya.

ر ا .2 ااالض اي زال

“Kemadharatan harus dihilangkan.”

Artinya, kemadharatan harus dicegah sebelum terjadi. Karena, mencegah sesuatu lebih ringan dan lebih mudah daripada menghilangkan

kemudharatan yang sudah terjadi. Bagaimananapun pencegahan lebih baik daripada pengobatan. Namun demikian, usaha untuk mencegah madharat

ini tentu dilakukan semampunya. Contoh, khamr, narkoba, merokok mengganggu dan membahayakan

diri dan orang lain, maka wajib dihilangkan. Karena itu, Pemerintah dan Majelis Ulama wajib melarang mengkonsumsi barang-barang yang haram.

ر ا .3 االااالض ث لرهرااي زال ابرمر

“Kemadharatan tidak dihilangkan dengan kemudharatan yang sebanding.”

Contohnya, seorang anggota serikat tidak boleh memaksa anggota

yang lain untuk membagi harta yang tidak bisa dibagi karena akan merugikan serikat.

ر ا .4 شدااالض ااال ررااي زال خفاابرالض

اال

“Kemadharatan yang lebih berat dihilangkan dengan kemadharatan yang lebih

ringan.”

Contohnya, seorang hakim boleh mengambil bagian harta lebih

banyak dari zakat yang seharusnya dikeluarkan oleh orang kaya, jika zakat

yang telah dikumpulkan belum bisa memenuhi keperluan orang-orang fakir. Karena kemudharatan akibat pengambilan harta dari si kaya lebih ringan

dibandingkan kemudharatan yang ditimbulkan apabila kebutuhan orang-orang fakir tidak terpenuhi.

Page 13: Tidak boleh membahayakan orang lain

13

ا .5 ر ااويتحمل ااالض اص ف عرااال ر االر اعم ااض

“Membiarkan kemadharatan yang sifatnya khusus untuk menghilangkan kemudharatan yang sifatnya umum.”

Artinya, jika ada dua kemadharatan, maka kemadharatan yang

sifatnya umum harus lebih diutamakan untuk dihindari atau dihilangkan, meski akan menimbulkan kemadharatan bagi sekelompok kecil.

Contoh: seorang hakim boleh memaksa seseorang yang menimbun

barang agar menjual sesuai dengan harga pasar. Keputusan hakim tersebut pada dasarnya memang merugikan orang yang menimbun barang, namun jika hakim membiarkannya justru akan terjadi kemadharatan terhadap

masyarakat luas.

دراادر ء ا .6 مفاسر قدم ااالـ اام ااع برمصالرحرااجل

الـ

“Menghindarkan kerusakan lebih diutamakan daripada mendatangkan kemashlahatan.”

Maksudnya, jika dalam satu perkara terdapat sisi kerusakan dan sisi

kemaslahatan, maka yang lebih diutamakan adalah menghindarkan kerusakan. Meskipun dengan begitu, mengabaikan sisi kemaslahatannya.

Contoh, larangan menjual narkoba. Meskipun dengan menjualnya

akan mendapatkan keuntungan materi. Karena, narkoba akan merusak akal, hati, fisik dan moral masyarakat.

Larangan menjual khamr (minuman keras), narkoba, dan menjual

rokok karena akan menimbulkan kerusakan terhadap diri, keluarga dan masyarakat. Maka wajib dicegah meskipun ada keuntungan materi, pajak, dan lainnya.

مانرع ااتعارضااإرذا .7 ااالـ تضر ق م قدم ااوالـ مـانرع ااي االـ

“Apabila penghalang dan pendukung bertentangan, maka penghalang didahulukan.”

Contohnya, larangan untuk membelanjakan harta milik bersama. Meskipun

ia memiliki hak untuk membelanjakannya, namun jika ia membelanjakan dapat memadharatkan anggota lainya yang juga memilikinya.

Kepemilikannya merupakan pendukung, sedangkan kepemilikan orang lain adalah penghalang

ر ا .8 ن االااالض و ي مـاايك قدر

Page 14: Tidak boleh membahayakan orang lain

14

“Kemadharatan yang ada tidak dapat dibiarkan karena lebih dulu ada.”

Hal ini dikarenakan semua jenis madharat harus dihilangkan, tidak peduli apakah kemudharatan tersebut lebih dulu ada atau tidak.

Contoh, seseorang yang memiliki jendela berhadapan dengan tanah

kosong milik orang lain. Kemudian di atas tanah kosong itu didirikan bangunan sehingga jendela yang lebih dulu dibangun tepat menghadap

rumah yang baru dibangun, sehingga mengganggu wanita yang menghuni rumah baru. Maka jendela tersebut harus dipindah, meskipun

keberadaannya lebih dulu.

Kaedah ini merupakan kaedah yang membatasi kaedah lain, yaitu, “yang telah lama dibiarkan sebagaimana adanya.” Kaedah ini sifatnya

umum, mencakup segala sesuatu yang sifatnya telah ada terlebih dahulu.

Contoh, seseorang yang mendapati kayu berada di atas dinding tetangganya, maka ia tidak boleh memindahkan kayu tersebut, karena kayu itu sudah di dinding itu sebelumnya dan diletakkan dengan benar.22

Fawā-id al-Hadîts

Hadits di atas mengandung beberapa pelajaran. Antara lain:

1. Hadits ini merupakan kaedah ushûl yang besar. Hadits ini dapat

dijadikan landasaran untuk menghukumi perkara-perkara baru yang tidak ada nash (dalil) yang tegas melarangnya.

2. Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam diberikan oleh Allâh jawâmi’ul kalim (perkataan yang ringkas namun maknanya padat). Hadits ini termasuk jawâmi’ul kalim

3. Menimbulkan bahaya/kerugian itu haram, baik dengan perkataan, perbuatan atau yang lainnya.

4. Menghilangkan madharat (bahaya/kerugian) itu hukumnya wajib. 5. Haram bagi seseorang untuk membahayakan dirinya, hartanya atau

kehormatannya. Misalnya, dengan melakukan perbuatan yang membahayakan atau mengonsumsi makanan dan minuman yang membahayakan.

6. Agama Islam adalah agama yang selamat yang menuntun manusia kepada kebaikan dunia dan akhirat, dan memerintahkan untuk

meninggalkan perbuatan yang berbahaya dan tidak bermanfaat. 7. Semua perintah dalam Islam akan mendatangkan maslahat dan semua

larangan dalam Islam wajib dijauhkan karena mengandung madharat (bahaya).

22 Qawâ’id wa Fawâ-id, hal. 275-277, Al-Wâfi Syarh al-Arba’în, hal. 252-254,

dengan beberapa tambahan.

Page 15: Tidak boleh membahayakan orang lain

15

8. Madharat (bahaya) tidak boleh dihilangkan dengan kemadharatan (bahaya) semisalnya, apalagi kemadharatan yang lebih besar.

9. Apabila mafsadah (kerusakan) dan maslahat (kebaikan) berbenturan, maka menolak kerusakan harus didahulukan daripada meraih kebaikan.

Demikian kajian hadits kita kali ini. Semoga bermanfaat.

Yogyakarta, 25 Desember 2015