bab ii tinjauan pustaka a. tinjauan konsep kebutuhan dasar...
TRANSCRIPT
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Konsep Kebutuhan Dasar
1. Konsep Kebutuhan Dasar Manusia
Kebutuhan dasar manusia menurut Virginia Henderson
Manusia mengalami perkembangan yang dimulai dari proses tumbuh-
kembang dalam rentang kehidupan (life span). Dalam melakukan
aktivitas sehari-hari, individu memulainya dengan bergantung pada orang
lain dan belajar untuk mandiri melalui sebuah proses yang disebut
pendewasaan. Proses tersebut dipengaruhi oleh pola asuh, lingkungan
sekitar, dan status kesehatan individu. Dalam melakukan aktivitas sehari-
hari, individu dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu
a. Terhambat dalam melakukan aktivitas;
b. Belum mampu melakukan aktivitas; dan
c. Tidak dapat melakukan aktivitas.
Virginia Henderson dalam Potter dan Perry membagi kebutuhan dasar
manusia ke dalam 14 komponen sebagai berikut
a. Bernafas secara normal;
b. Makan dan minum yang cukup;
c. Eliminasi (buang air besar dan kecil);
d. Bergerak dan mempertahankan postur yang diinginkan;
e. Tidur dan istirahat;
f. Memilih pakaian yang tepat;
g. Mempertahankan suhu tubuh dalam kisaran yang normal dengan
menyesuaikan pakaian yang digunakan;
h. Menjaga kebersihan diri dan penampilan;
i. Menghindari bahaya dari lingkungan dan menghindari
membahayakan orang lain;
j. Berkomunikasi dengan orang lain dalam mengekspresikan emosi,
kebutuhan, kekhawatiran, dan opini;
7
7
k. Beribadah sesuai agama dan kepercayaan;
l. Bekerja sedemikian rupa sebagai modal untuk membiayai kebutuhan
hidup;
m. Bermain atau berpatisipasi dalam berbagai bentuk rekreasi; dan
n. Belajar menemukan atau memuaskan rasa ingin tahu yang mengarah
pada perkembangan yang normal, kesehatan, dan penggunaan
fasilitas kesehatan yang tersedia (Mubarok,Lilis,Joko, 2015).
Kebutuhan dasar manusia menurut Abraham Maslow atau yang
disebut dengan Hierarki kebutuhan dasar maslow yang meliputi lima
kategori kebutuhan dasar, yaitu
a. Kebutuhan fisiologis (physiologic Needs)
Kebutuhan fisiologis memiliki prioritas tertinggi dalam hierarki
maslow. Umumnya, seseorang yang memiliki beberapa kebutuhan
yang belum terpenuhi akan lebih dulu memenuhi kebutuhan
fisiologisnya dibandingkan kebutuhan lainnya. Adapun macam-
macam kebutuhan dasar fisiologis menurut hierarki maslow adalah
kebutuhan oksigen dan pertukaran gas, kebutuhan cairan dan
elektrolit, kebutuhan makanan, kebutuhan eliminasi urine dan alvi,
kebutuhan istirahat tidur, kebutuhan aktivitas, kebutuhan kesehatan
temperature tubuh, dan kebutuhan seksual.
b. Kebutuhan keselamatan dan rasa aman (Safety and Security Needs)
Kebutuhan keselamatan dan rasa aman yang dimaksud adalah aman
dari berbagai aspek baik fisiologis maupun psikologis. Kebutuhan ini
meliputi kebutuhan perlindungan diri dari udara dingin, panas,
kecelakaan, dan infeksi. Bebas dari rasa takut dan kecemasan, bebas
dari perasaan terancam karena pengalaman yang baru atau asing.
c. Kebutuhan rasa cinta, memiliki dan dimiliki (Love and Belonging
Needs)
Kebutuhan rasa cinta adalah kebutuhan saling memiliki dan dimiliki
terdiri dari memberi dan menerima kasih sayang, perasaan dimiliki
dan hubungan yang berarti dengan orang lain, kehangatan,
8
8
persahabatan, mendapat tempat atau diakui dalam keluarga,
kelompok serta lingkungan sosial.
d. Kebutuhan harga diri (Self-Esteem Needs)
Kebutuhan harga diri ini meliputi perasaan tidak bergantung pada
orang lain, kompeten, penghargaan terhadapn diri sendiri dan orang
lain.
e. Kebutuhan aktualisasi diri (Needs for Self Actualization)
Kebutuhan aktualisasi merupakan kebutuhan tertinggi dalam
piramida hierarki maslow yang meliputi dapat mengenal diri sendiri
dengan baik (mengenal dan memahami potensi diri), belajar
memenuhi kebutuhan diri sendiri, tidak emosional, mempunyai
dedikasi yang tinggi, kreatif dan mempunyai kepercayaan diri yang
tinggi dan sebagainya.
Konsep hierarki Maslow ini menjelaskan bahwa manusia
senantiasa berubah menurut kebutuhannya. Jika seseorang merasa
kepuasan, ia akan menikmati kesehjateraan dan bebas untuk
berkembang menuju potensi yang lebih besar. Sebaliknya, jika
proses pemenuhan kebutuhan ini terganggu maka akan timbul
kondisi patologis. Oleh karena itu, dengan konsep kebutuhan dasar
maslow akan diperoleh persepsi yang sama bahwa untuk beralih ke
kebutuhan yang lebih tinggi, kebutuhan dasar yang ada dibawahnya
harus terpenuhi terlebih dahulu (Vasra, 2016).
2. Definisi kebutuhan nyeri
Nyeri merupakan suatu kondisi lebih dari sekedar sensasi tunggal
yang disebabkan oleh stimulus tertentu. Nyeri bersifat subyektif dan
sangat bersifat individual. Stimulus dapat berupa stimulus fisik dan atau
mental, sedangkan kerusakan dapat terjadi pada jaringan aktual atau pada
fungsi ego seorang individu (Haswita & sulistyowati, 2017).
Nyeri adalah masalah bagi pasien dalam semua kelompok usia. Studi
secara konsisten menunjukan nyeri yang tidak ditangani dengan baik.
Studi klasik oleh Marks dan Sachar melaporkan bahwa 73% pasien
9
9
medis yang dirawat di rumah sakit mengalami nyeri sedang sampai berat
walaupun telah mendapatkan analgesik narkotik parental. Donovan,
Dillon, dan McGuire menemukan bahwa 353 pasien rawat inap medis
mengalami nyeri, dan 58% mengatakan bahwa rasa nyerinya luar biasa.
Studi ini menemukan bahwa nyeri ditanyakan atau dicatat pada kurang
dari setengah pasien-pasien tersebut (Stanley, 2007).
Nyeri merupakan fenomena multidimensional sehingga sulit untuk
didefinisikan. Nyeri merupakan pengalaman personal dan subjektif, dan
tidak ada dua individu yang merasakan nyeri dalam pola yang identik.
Nyeri dapat didefinisikan dengan berbagai cara. Nyeri biasanya dikaitkan
dengan beberapa jenis kerusakan jaringan, yang merupakan tanda
peringatan, namun pengalaman nyeri labih dari itu. International
Association for the Study of Pain (IASP) memberikan definisi medis
nyeri yang sudah diterima sebagai “pengalaman sensori dan emosional
yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan,
aktual ataupun potensial, atau digambarkan sebagai kerusakan yang sama
(M. Black & Hokanson Hawks, 2014).
3. Fisiologi nyeri
Secara keilmuan, nyeri (pengalaman yang subjektif) terpisah dan
berbeda dari istilah nosisepsi. Nosisepsi merupakan ukuran kejadian
fisiologis. Nesisepsi merupakan sistem yang membawa informasi
mengenai peradangan, kerusakan, atau ancaman kerusakan pada jaringan
kemedula spinalis dan otak. Nosisepsi biasanya muncul tanpa ada rasa
nyeri dan berada di bawah alam sadar. Terlepas dari nosisepsi memicu
nyeri dan perasaan tidak nyaman, sistem ini merupakan komponen yang
penting dari sistem pertahanan tubuh (M. Black & Hokanson Hawks,
2014).
Bagaimana nyeri merambat dan dipersepsikan oleh individu masih
belum sepenuhnya dimengerti. Akan tetapi, bisa tidaknya nyeri dirasakan
dan hingga derajat mana nyeri tersebut mengganggu dipengaruhi oleh
10
10
interaksi antara sistem algesia tubuh dan transmisi sistem saraf serta
interpretasi stimulus (Mubarak & Chayatin, 2008).
Saat terjadinya stimulus yang menimbulkan keruskan jaringan
hingga pengalaman emosional dan psikologis yang meyebabkan nyeri,
terdapat rangkaian peristiwa elektrik dan kimiawi yang kompleks, yaitu
transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi (Haswita & Sulistyowati,
2017).
4. Jenis dan bentuk nyeri
a. Jenis nyeri
1) Nyeri perifer, nyeri ini dapat dibedakan menjadi beberapa yaitu
a) Nyeri superfisisal: rasa nyeri yang muncul akibat rangsangan
pada kulit mukosa;
b) Nyeri viseral: rasa nyeri timbul akibat rangsangan pada
reseptor nyeri di rongga abdomen, kranium dan toraks; dan
c) Nyeri alih: rasa nyeri dirasakan di daerah lain yang jauh dari
jaringan penyebab nyeri.
2) Nyeri sentral, nyeri yang muncul akibat rangsangan pada medula
spinalis, batang otak dan talamus.
3) Nyeri psikogenik, nyeri yang penyebab fisiknya tidak diketahui.
Umumnya nyeri ini di sebabkan karena faktor psikologi (Haswita
& Sulistyowati, 2017).
b. Bentuk nyeri
Tabel 2.1 Bentuk Nyeri
Karakteristik Nyeri akut Nyeri kronik
Pengalaman Suatu kejadian Suatu situasi, status
eksistensi nyeri
Sumber Faktor eksternal atau
penyakit dari dalam
Tidak diketahui
Serangan Mendadak Bisa mendadak atau
bertahap, tersembunyi
Durasi Sampai 6 bulan 6 bulan lebih atau
sampai bertahun-tahun
Pernyataan nyeri Daerah nyeri
diketahui dengan pasti
Daerah nyeri sulit
dibedakan
intensitasnya dengan
daerah yang tidak
nyeri sehingga sulit di
11
11
evaluasi
Gejala klinis Pola respon yang khas
dengan gejala yang
lebih jelas
Pola respon bervariasi
Perjalanan Umumnya gejala
berkurang setelah
beberapa waktu
Gejala berlangsung
terus dengan intensitas
yang tetap atau
bervariasi
Prognosis Baik dan mudah
dihilangkan
Penyembuhan total
umumnya tidak terjadi
Sumber: Haswita & Sulistyowati (2017).
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri
a. Usia
Usia merupakan faktor penting yang mempengaruhi nyeri,
khusunya pada anak-anak dan lansia. Perkembangan yang ditemukan
diantara kelom usia merupakan faktor penting yang mempengaruhi
nyeri, khusunya pada anak-anak dan lansia. Perkembangan yang
ditemukan diantara kelompok usia ini dapat mempengaruhi
bagaimana anak-anak dan lansia bereaksi terhadap nyeri. Anak yang
masih kecil (bayi) mempunyai kesulitan mengungkapkan dan
mengekspresikan nyeri. Para lansia menganggap nyeri sebagai
12
12
komponen alamiah dari proses penuaan dan dapat diabaikan atau
tidak ditangani oleh petugas kesehatan (Haswita & Sulistyowati,
2017).
Individu lansia mungkin menjadikan nyeri mereka sebagai arti
yang berbeda. Nyeri dapat diartikan sebagai manifestasi alami
penuaan. Hal ini dapat diinterpretasikan melalui dua cara. Pertama,
individu lansia mungkin berpikir bahwa nyeri merupakan sesuatu
yang harus dilalui sebagai bagian normal dari proses penuaan.
Kedua, hal ini mungkin dilihat sebagai bagian penuaan, sehingga
nyeri menjadi sesuatu yang harus mereka sangkal karena jika mereka
menerima nyeri, berarti mereka menerima kenyataan bahwa mereka
bertambah tua. Banyak individu lansia yang ragu untuk
mengekpresikan nyeri karena khawatir mendapatkan label “tukang
mengeluh”. Kesalah pahaman ini menyebabkan individu-individu
tersebut mengalami nyeri yang tidak perlu. Pengkajian secara cermat
pada nyeri yang dialami oleh lansia merupakan tahapan yang penting
dalam mencegah kesakitan yang tidak perlu (M. Black & Hokanson
Hawks, 2014).
b. Jenis kelamin
Karakteristik jenis kelamin dan hubungannya dengan sifat
keterpaparan dan tingkat kerentanan memegang peranan tersendiri.
Berbagai penyakit tertentu ternyata erat hubungannya dengan jenis
kelamin, dengan berbagai sifat tertentu. Penyakit yang hanya
dijumpai pada jenis kelamin tertentu, terutama yang berhubungan
erat dengan alat reproduksi atau yang secara genetik berperan dalam
perbedaan jenis kelamin. Di beberapa kebudayaan menyebutkan
bahwa anak laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis,
sedangkan seorang anak perempuan boleh menangis dalam situasi
yang sama. Toleransi nyeri dipengaruhi oleh faktor-faktor biokimia
dan merupakan hal yang unik pada setiap individu tanpa
memperhatikan jenis kelamin. Meskipun penelitian tidak
13
13
menemukan perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam
mengekspresikan nyerinya. Pengobatan ditemukan lebih sedikit pada
perempuan. Perempuan lebih suka mengkomunikasikan rasa
sakitnya, sedangkan laki-laki menerima analgesik oploid lebih sering
sebagai pengobatan untuk nyeri (Haswita & Sulistyowati, 2017).
Jenis kelamin menjadi faktor yang signifikan dalam respons
nyeri, pria lebih jarang melaporkan nyeri dibandingkan wanita. Di
beberapa budaya di Amerika Serikat, pria diharapkan lebih jarang
mengekspresikan nyeri dibandingkan wanita. Hal ini tidak berarti
bahwa pria jarang merasakan nyeri, hanya saja mereka jarang
memperlihatkan hal itu. Meskipun demikian, pemberi layanan
kesehatan yang memiliki nilai untuk bertahan dari nyeri tanpa
mengeluh akan melihat wanita sebagai “tukang mengeluh” dan
mungkin mengabaikan atau menyepelekan ekspresi nyeri mereka.
Baik laki-laki maupun perempuan dapat merasakan pengalaman
nyeri yang tidak perlu jika perawat tidak menyadari adanya bias
gender dalam mengekspresikan nyeri (M. Black & Hokanson
Hawks, 2014).
c. Kebudayaan
Kebudayaan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara
individu mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan
dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi
bagaimana bereaksi terhadap nyeri. Ada perbedaan makna dan sikap
dikaitkan dengan nyeri diberbagai kelompok budaya (Haswita &
Sulistyowati, 2017).
Latar belakang etnik dan budaya merupakan faktor yang
memengaruhi reaksi terhadap nyeri dan ekspresi nyeri. Sebagai
contoh, individu dari budaya tertentu cenderung ekspresif dalam
mengungkapkan nyeri, sedangkan individu dari budaya lain justru
lebih memilih menahan perasaan mereka dan tidak ingin merepotkan
orang lain (Mubarak & Chayatin, 2008).
14
14
d. Makna nyeri
Arti nyeri bagi seseorang memengaruhi respons mereka
terhadap nyeri. Jika penyebab nyeri diketahui, individu mungkin
dapat mengintepretasikan arti nyeri dan bereaksi lebih baik terkait
dengan pengalaman tersebut. Jika penyebabnya tidak diketahui,
maka banyak faktor psikologis negatif (seperti ketakutan dan
kecemasan) berperan dan meningkatkan derajat nyeri yang
dirasakan. Jika pengalaman tersebut diartikan negatif, maka nyeri
yang dirasakan akan terasa lebih intens dibandingkan nyeri yang
dirasakan di situasi dengan hal yang positif (M. Black & Hokanson
Hawks, 2014).
e. Perhatian
Tingkat seorang pasien memfokuskan perhatiannya pada nyeri
dapat mempengaruhi persepsi nyeri (Haswita & Sulistyowati, 2017).
f. Ansietas
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks.
Ansietas sering sekali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga
dapat menimbulkan suatu perasaan ansietas. Pola bangkitan otonom
adalah sama dalam nyeri dan ansietas. Ansietas yang tidak
berhubungan dengan nyeri dapat mendistraksi pasien dan secara
aktual dapat menurunkan persepsi nyeri. Secara umum, cara yang
efektif untuk menghilangkan nyeri adalah dengan mengarahkan
pengobatan nyeri ketimbang ansietas (Haswita & Sulistyowati,
2017).
g. Pengalaman terdahulu
Individu yang mempunyai pengalaman yang multiple dan
berkepanjangan dengan nyeri akan lebih sedikit gelisah dan lebih
toleran terhadap nyeri dibandingkan dengan orang yang hanya
mengalami sedikit nyeri. Bagi kebanyakan orang, bagaimanapun, hal
ini tidak selalu benar. Sering kali, lebih berpengalaman individu
dengan nyeri yang dialami, makin takut individu tersebut terhadap
15
15
peristiwa yang menyakitkan yang akan diakibatkan (Haswita &
Sulistyowati, 2017).
Pengalaman nyeri sebelumnya membuat seseorang
mengadopsi mekanisme koping yang bisa digunakan pada episode
nyeri berikutnya. Diskusikan pengalaman nyeri klien sebelumnya,
termasuk bagaimana klien mengelola nyeri. Sebagai tambahan untuk
metode yang memberikan penurunan atau meredakan nyeri
sebelumnya, kaji tindakan yang tidak memberikan hasil yang positif.
Berikan klien kesempatan untuk menggunakan intervensi positif
yang familiar jika mungkin (M. Black & Hokanson Hawks, 2014).
h. Gaya koping
Mekanisme koping individu sangat mempengaruhi cara setiap
orang dalam mengatasi nyeri. Ketika seseorang mengalami nyeri dan
menjalankan perawatan di rumah sakit adalah hal yang sangat tak
tertahankan. Secara terus-menerus klien kehilangan kontrol dan tidak
mampu untuk mengontrol lingkungan termasuk nyeri. Klien sering
menemukan jalan untuk mengatasi efek nyeri baik fisik maupun
psikologis. Penting untuk mengerti sumber koping individu selama
nyeri (Haswita & Sulistyowati, 2017).
i. Dukungan keluarga dan sosial
Faktor lain juga mempengaruhi respon terhadap nyeri adalah
kehadiran dari orang terdekat. Orang-orang yang sedang dalam
keadaan nyeri sering bergantung pada keluarga untuk mensupport,
mambantu atau melindungi. Ketidak hadiran keluarga atau teman
terdekat mungkin akan membuat nyeri semakin bertambah.
Kehadiran orangtua merupakan hal yang khusus yang penting untuk
anak-anak dalam menghadapi nyeri (Haswita & Sulistyowati, 2017).
Lingkungan yang asing, tingkat kebisingan yang tinggi,
pencahayaan, dan aktivitas yang tinggi di lingkuan tersebut dapat
memperberat nyeri. Selain itu, dukungan dari keluarga dan orang
16
16
terdekat menjadi salah satu faktor penting yang memengaruhi
persepsi nyeri individu (Mubarak & Chayatin, 2008).
6. Penatalaksanaan nyeri
a. Terapi nyeri farmakologi
Analgesik merupakan metode yang paling umum mengatasi
nyeri. Ada tiga jenis pengobatan yang bisa digunakan untuk
mengendalikan nyeri, yaitu
1) Analgesik nonopioid, asetaminofen dan aspirin adalah dua jenis
analgesic nonopioid yang paling sering digunakan. Obat-obatan
ini bekerja terutama pada tingkat perifer untuk mengurangi
nyeri;
2) Opioid, analgesic opioid bekerja dengan cara melekat diri pada
reseptor-reseptor nyeri speripik di dalam SSP; dan
3) Adjuvant. Adjuvan bukan merupakan analgesik yang
sebenernya, tetapi zat tersebut dapat membantu jenis-jenis
nyeri tertentu, terutama nyeri kronis.
Efek samping tanda-tanda dari reaksi yang tidak diinginkan
mungkin tidak dikenali karena tanda-tanda tersebut
menggambarkan tanda-tanda gangguan pada lansia seperti konfusi,
tremor, depresi, konstipasi, dan hilangnya nafsu makan (Stanley,
2007).
b. Terapi nyeri non farmakologi
Walaupun terdapat berbagai jenis obat meredakan nyeri,
semuanya memiliki resiko dan biaya. Untungnya, terdapat banyak
intervensi nonfarmakologi yang dapat membantu meredakan nyeri.
1) Kompres panas dan dingin
Reseptor panas dan dingin mengaktivasi serat-serat A-beta
ketika temperatur mereka berada antara 4◦-5◦C dari temperatur
tubuh. Reseptor-reseptor ini mudah beradaptasi, membutuhkan
temperatur untuk disesuaikan pada interval yang sering berkisar
tiap 5-15 menit.
17
17
Pemberian panas merupakan cara yang baik dalam
menurunkan atau meredakan nyeri sehingga disetujui termasuk
kedalam otonomi keperawatan. Kompres panas dapat diberikan
dengan menghangatkan peralatan (seperti bantal pemanas,
handuk hangat).
Kompres dingin juga dapat menurunkan atau meredakan
nyeri, dan perawat dapat mempertimbangakan metode ini. Es
dapat digunakan untuk mengurangi atau mengurangi nyeri dan
untuk mencegah atau mengurangi edema dan inflamasi (M.
Black & Hokanson Hawks, 2014).
2) Akupuntur
Akupuntur telah dipraktikan di budaya asia selama berabad-
abad untuk mengurangi atau meredakan nyeri. Jarum metal yang
secara cermat ditusukan kedalam tubuh pada lokasi tertentu dan
pada kedalaman dan sudut yang bervariasi. Kira-kira terdapat
1000 titik akupuntur yang diketahui yang menyebar diseluruh
permukaan tubuh dalam pola yang dikenal sebagai meridian (M.
Black & Hokanson Hawks, 2014).
Masalah terbanyak yang dapat diobati dengan akupuntur
meliputi nyeri punggung bagian bawah, nyeri pada otot wajah,
sakit kepala ringan dan migrain, hipertensi, linu panggul, nyeri
bahu (Potter & Perry, 2010).
3) Akupresur
Akupresur adalah metode noninvasif dari pengurangan atau
peredaan nyeri yang berdasarkan pada prinsip akupuntur.
Tekanan, pijatan, atau stimulus kutaneus lainnya, seperti
kompres panas atau dingin, diberikan pada titik-titik akupuntur
(M. Black & Hokanson Hawks, 2014).
4) Napas dalam
Napas dalam untuk relaksasi mudah dipelajari dan
berkontribusi dalam menurunkan atau meredakan nyeri dengan
18
18
mengurangi tekanan otot dan ansietas (M. Black & Hokanson
Hawks, 2014).
5) Distraksi
Perhatian dijauhkan dari sensasi nyeri atau rangsangan
emosional negatif yang dikaitkan dengan episode nyeri.
Penjelasan teoritis yang utama adalah bahwa seseorang mampu
untuk memfokuskan perhatiannya pada jumlah fosi yang
terbatas. Dengan memfokuskan perhatian secara aktif pada tugas
kognitif dianggap dapat membatasi kemampuan seseorang untuk
memperhatikan sensasi yang tidak menyenangkan (M. Black &
Hokanson Hawks, 2014).
6) Hipnotis
Reaksi seseorang akan nyeri dapat diubah dengan
signifikan melalui hipnotis. Hipnotis berbasis pada sugesti,
disosiasi, dan proses memfokuskan perhatian (M. Black &
Hokanson Hawks, 2014).
7. Respon terhadap nyeri
a. Persepsi nyeri
Pada dasarnya, nyeri merupakan salah satu bentuk refleks guna
menghindari rangsangan dari luar tubuh, atau melindungi tubuh dari
segala bentuk bahaya. Akan tetapi, jika nyeri itu terlalu berat atau
berlangsung lama dapat berakibat tidak baik bagi tubuh, dan hal ini
akan menyebabkan penderita menjadi tidak tenang dan putus asa
(Mubarak & Chayatin, 2008).
b. Toleransi terhadap nyeri
Toleransi terhadap nyeri terkait dengan intensitas nyeri yang
membuat seseorang sanggup menahan nyeri sebelum mencari
pertolongan. Tingkat toleransi yang tinggi berarti bahwa individu
mampu menahan nyeri yang berat sebelum ia mencari pertolongan
(Mubarak & Chayatin, 2008).
19
19
c. Reaksi terhadap nyeri
Setiap orang memberikan reaksi yang berbeda terhadap nyeri.
Ada orang yang menghadapinya dengan perasaan takut, gelisah, dan
cemas, ada pula yang menanggapinya dengan sikap yang optimis
dan penuh toleransi (Mubarak & Chayatin, 2008).
8. Pengukuran intensitas nyeri
a. Skala nyeri menurut Hayward
Pengukuran intensitas nyeri dengan menggunakan skala
menurut Hayward dilakukan dengan meminta penderita untuk
memilih salah satu bilangan 0-10 yang menurutnya paling
menggambarkan pengalaman nyeri yang sangat ia rasakan.
Sumber: Haswita & Sulistyowati (2017).
Gambar 2.1 skala nyeri menurut Hayward
b. Skala nyeri menurut Mc Gill
Pengukuran intensitas nyeri dengan menggunakan skala
menurut Mc Gill dilakukan dengan meminta penderita untuk
memilih salah satu bilangan dari 0-5 yang menurutnya paling
menggambarkan pengalaman nyeri yang sangat ia rasakan.
Skala nyeri menurut Mc Gill dapat ditulis sebagai berikut:
0 = Tidak nyeri
1 = Nyeri ringan
2 = Nyeri sedang
3 = Nyeri berat atau parah
4 = Nyeri sangat berat
5 = Nyeri hebat
c. Skala wajah menurut wong-baker FACES ratting scale
20
20
Pengukuran intensitas nyeri di wajah dilakukan dengan cara
memerhatikan mimik wajah pasien pada saat nyeri tersebut
menyerang. Cara ini diterapkan pada pasien yang tidak dapat
menyebutkan intensitas nyerinya dengan skala angka, misalnya
anak-anak dan lansia.
Sumber: Haswita & Sulistyowati (2017).
Gambar 2.2 Skala wajah menurut wong-baker FACES ratting scale
9. Alat bantu menentukan skala nyeri
Alat pengkajian tunggal termasuk Visual Analog Scale (VAS), skala
numerik (0-10), dan skala deskripsi visual. Skala nyeri ini dapat
digunakan untuk mengukur baik intensitas nyeri fisik maupun distres
psikologis. Alat ini mudah untuk digunakan dan memberikan klien dan
perawat petunjuk sederhana untuk mengukur kualitas nyeri. Respon klien
dapat dibandingkan dengan sekor yang didapat, sehingga derajat dari
kontrol nyeri dapat dipertahankan. Penggunaan skala ini tidak
membutuhkan kemampuan untuk berpikir secara abstrak.
Sumber: M. Black & Hokanson Hawks, (2014).
Gambar 2.3 Visual Analog Scale (VAS)
Sumber: M. Black & Hokanson Hawk (2014).
Gambar 2.4 Visual Analog Scale (VAS)
21
21
Sumber: M. Black & Hokanson Hawks (2014).
Gambar 2.5 Visual Analog Scale (VAS)
B. Tinjauan Asuhan Keperawatan
1. Asuhan keperawatan pada klien nyeri
Perawat perlu melakukan pendekatan manajeman nyeri secara
sistematis untuk dapat mengerti dan mengobati nyeri pada klien.
Manajeman nyeri yang berhasil tergantung dari bagaimana hubungan
saling percaya antara petugas kesehatan, klien, dan keluarga dibangun
(Potter & Perry, 2010).
a. Pengkajian
Kemampuan untuk menetapkan diagnosis keperawatan,
menentukan intervensi yang akan diberikan, dan mengevaluasi respon
klien (hasil) terhadap intervesi yang diberikan tergantung kepada
aktivitas pokok dari pengkajian nyeri yang bersifat faktual, tepat
waktu, dan akurat. Inti dari aktivitas ini adalah eksplorasi terhadap
pengalaman nyeri melalui sudut pandang klien. Komponen-komponen
yang bervariasi dapat digunakan untuk mengkaji nyeri klien. Ada
beberapa komponen untuk mengkaji nyeri nosiseptif dan nyeri
neuropatik. Bab ini berfokus pada komponen pengkajian kepada skala
nyeri nosiseptif. Tujuan penggunaan komponen ini adalah untuk
mengidentifikasi berapa banyak nyeri yang dirasakan tanpa
mengganggu aktivitas klien dan bukan untuk mengidentifikasikan
beberapa nyeri yang dapat ditoleransi klien.
1) Ekspresi klien terhadap nyeri
22
22
Laporan klien terhadap nyeri yang dirasakan merupakan satu-
satunya indikator yang dapat dipercaya tentang adanya rasa nyeri
dan intensitas nyeri yang dirasakan.
2) Karakteristik nyeri
Pengkajian terhadap karakteristik nyeri yang lazim
membantu perawat untuk memperoleh suatu pemahaman terhadap
jenis nyeri, pola nyeri, serta jenis intervensi yang dapat
memberikan pertolongan terhadap nyeri.
3) Permulaan serangan/onset dan durasi
Tanyakan pertanyaan untuk menentukan permulaan serangan,
durasi,dan rangkaian nyeri.
4) Lokasi
Untuk mengkaji lokasi nyeri, minta klien untuk mengatakan
atau menunjukan semua area mana klien merasa tidak nyaman.
5) Intensitas
Salah satu karakteristik yang paling subjektif dan paling
berguna dalam pelaporan nyeri adalah “kehebatannya” atau
intensitasnya. Variasi skala nyeri telah tersedia bagi klien untuk
mengkomunikasikan intensitas nyeri mereka.
6) Kualitas
Dikarenakan tidak adanya kosakata yang lazim atau spesifik
dalam penggunaan secara umum, kata-kata yang digunakan untuk
menggambarkan nyeri sangat bervariasi.
7) Pola nyeri
Berbagai macam faktor memengaruhi pola nyeri. Hal ini
membantu untuk mengkaji kejadian atau kondisi tertentu yang
memicu atau memperburuk nyeri.
8) Tindakan mengurangi nyeri
Penting bagi perawat untuk tahu apakah klien memiliki cara
efektif dalam mengobati nyeri, seperti mengubah posisi,
menggunakan perilaku yang bersifat kebiasaan, makan, meditasi,
23
23
berdoa, atau memberikan sensasi dingin atau hangat pada lokasi
nyeri.
9) Gejala-gejala yang menyertai
Ada beberapa gejala yang menjadi penyebab memburuknya
nyeri. Perawat perlu mengkaji gejala-gejala yang berhubungan
tersebut dan mengevaluasi efeknya terhadap persepsi nyeri klien.
10) Efek nyeri terhadap klien
Nyeri mengubah gaya hidup seseorang dan mempengaruhi
kesejahteraan psikologis.
11) Efek perilaku
Ketika klien mengalami nyeri, kaji ekspresi, respon verbal,
gerakan wajah dan tubuh, serta interaksi sosial.
12) Pengaruh terhadap aktivitas sehari-hari
Klien yang hidup dengan nyeri setiap hari memiliki sedikit
kemampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas harian, dimana
hal itu akan memicu penurunan ketahanan fisik klien tersebut.
Tabel 2.2 Pengkajian Nyeri
Mnemonik untuk pengkajian nyeri
P: Provoking atau pemicu, yaitu faktor yang memicu timbulnya
nyeri.
Q: Quality atau kualitas nyeri (mis, tumpul, tajam).
R: Region atau daerah, yaitu daerah perjalanan ke daerah laen.
S: Severity atau keganasan, yaitu intensitas.
T: Time atau waktu, yaitu serangan, lamanya, kekerapan, dan
sebab.
Sumber: Kozier (2010).
b. Diagnosis keperawatan
Diagnosis keperawatan berfokus kepada sifat nyeri yang spesifik
untuk membantu perawat dalam mengidentifiksikan jenis intervensi
yang paling efektif untuk meredakan rasa nyeri dan meningkatkan
fungsi/ peran klien. Pengkajian yang perawat lakukan dapat
mengarahkan perawat untuk membuat diagnosis nyeri akut atau nyeri
kronis (Potter & Perry, 2010).
24
24
Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI,2017 diagnosis yang muncul
pada kasus nyeri akut antara lain
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisiologis (mis,
inflamasi, iskemia, neoplasma);
2) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera kimiawi (mis,
terbakar, bahan kimia iritan); dan
3) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (mis, abses,
amputasi, terbakar, terpotong, mengangkat berat, prosedur operasi,
trauma, latihan fisik berlebihan)
c. Rencana keperawatan
Langkah-langkah dalam proses keperawatan membutuhkan
perawat untuk mengumpulkan informasi dari berbagai sumber.
1) Tujuan dan kriteria hasil
Ketika menangani nyeri klien, tujuan perawat harus dapat
meningkatkan fungsi/ peran klien secara optimal. kriteria hasil
yang didapatkan untuk tujuan tersebut
a) Melaporkan bahwa nyeri berada di skala 3 atau kurang pada
skala 0 sampai 10;
b) Mengidentifikasi faktor-faktor yang meningkatkan rasa nyeri;
c) Melakukan tindakan unutuk mengurangi nyeri secara aman;
dan
d) Tingkat ketidak nyamanan tidak akan menganggu aktivitas
harian
2) Menentukan prioritas
Ketika menentukan prioritas pada manajeman nyeri,
pertimbangan jenis nyeri yang dialami klien dan efek nyeri
terhadap berbagai fungsi tubuh. Dampingi klien memilih
intervensi terhadap sifat dan efek nyeri.
3) Perawatan kolaboratif
Perencanaan yang menyeluruh mencangkup berbagai sumber
untuk mengontrol nyeri. Sumber-sumber tersebut tersedia
25
25
meliputi perawat spesialis, dokter ahli farmakologi, terapi fisik,
terapis okupasional, dan penasehat spritual (Potter & Perry,
2010).
Tabel 2.3 Rencana tindakan asuhan keperawatan
Diagnosa Intervensi utama Intervensi pendamping
Nyeri akut
berhubungan dengan
agen cedera fisiologis
(iskemia)
Tujuan :
Setelah dilakukan
asuhan keperawatan
diharapkan nyeri akut
klien teratasi dengan
kriteria hasil :
1. Klien dapat
mengontrol nyeri
(tahu penyebab
nyeri, mampu
menggunakan
teknik nonfarma-
kologi untuk
mengurangi
nyeri, mencari
bantuan)
2. Melaporkan
bahwa nyeri
berkurang dengan
menggunakan
manajeman nyeri
3. Mampu
mengenali nyeri
(skala, intensitas,
frekuensi dan
tanda nyeri
4. Menyatakan rasa
nyaman setelah
nyeri berkurang
Manajeman nyeri
Observasi
1. Identifikasi lokasi,
karakteristik,
durasi, frekuensi,
kualitas, intensitas
nyeri
2. Identifikasi skala
nyeri
3. Identifikasi respon
nyeri non verbal
4. Identifikasi faktor
yang memperberat
dan memperingat
nyeri
5. Identifikasi
pengetahuan dan
keyakinan tentang
nyeri
6. Identifikasi
pengaruh budaya
terhadap respon
nyeri
7. Identifikasi
pengaruh nyeri
pada kualitas
hidup
8. Monitor
keberhasilan
terapi
komplomenter
yang sudah
diberikan
9. Monitor efek
samping
penggunaan
analgetik
Terapeutik
1. Berikan teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi
rasa nyeri (mis,
TENS, hipnosis,
akupresur, terapi
musik,
1. Aromaterapi
2. Dukungan hipnosis diri
3. Dukungan pengungkapan
diri
4. Edukasi efek samping obat
5. Edukasi
6. manajemen nyeri
7. Edukasi
8. Proses Penyakit
9. Edukasi teknik napas
10. Kompres dingin
11. Kompres panas
12. Konsultasi
13. Latihan pernapasan
14. Manajeman efek samping
obat
15. Manajeman kenyamanan
lingkungan
16. Manajeman medikasi
17. Manajeman sedasi
18. Manajeman terapi radiasi
19. Pemantauan nyeri
20. Pemberian obat
21. Pemberian obat intravena
22. Pemberian obat oral
23. Pemberian obat intravena
24. Pemberian obat topical
25. Pengaturan posisi
26. Perawatan amputasi
27. Perawatan kenyamana
26
26
biofeedback, terapi
pijat, aromaterapi,
teknik imajinasi
terbimbing,
kompres
hangat/dingin,
terapi bermain)
2. Kontrol lingkungan
yang memperberat
rasa nyeri (mis,
suhu ruangan,
pencahayaan,
kebisingan)
3. Fasilitasi istirahat
dan tidur
4. Pertimbangkan
jenis dan sumber
nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri
Pemberian analgesik
Observasi
1. Identifikasi
karakteristik nyeri
(mis, pencetus,
pereda, kualitas,
lokasi, intensitas,
frekuensi, durasi)
2. Identifikasi riwayat
alergi obat
3. Identifikasi
kesesuaian jenis
analgesik, (mis,
narkotika, non-
narkotika, atau
NSAID) dengan
tingkat keparahan
nyeri
4. Monitor tanda-tanda
vital sebelum dan
sesudah pemberian
analgesic
5. Monitor efektifitas
analgesik
Terapeutik
1. Diskusikan jenis
analgesik yang
disukai untuk
mencapai analgesik
optimal, jika perlu
2. Pertimbangkan
penggunaan infus
kontinu, atau bolus
oploid untuk
mempertahankan
28. Teknik distraksi
29. Teknik imajinasi terbimbing
30. Terapi akupresur
31. Terapi akupuntur
32. Terapi bantuan hewan
33. Terapi humor
34. Terapi murattal
35. Terapi music
36. Terapi pemijatan
37. Terapi relaksasi
38. Terapi sentuhan
39. Transcutaneous Electrical
(TENS)
27
27
kadar dalam serum
3. Tetapkan target
efektif analgesik
untuk
mengoptimalkan
respon pasien
4. Dokumentasikan
respon terhadap
efek analgesik dan
efek yang tidak
diinginkan
Edukasi
1. Jelaskan efek terapi
dan efek samping
obat
2. Kolaborasi
pemberian dosis
dan jenis analgesik,
sesuai indikasi
Sumber: SIKI (2018)
d. Implementasi
Terapi nyeri membutuhkan pendekatan secara personal, mungkin
lebih pada penanganan masalah klien yang lain. Perawat, klien, dan
keluarga merupakan mitra kerja sama dalam melakukan tindakan
untuk mengatasi nyeri (Potter & Perry, 2010).
Implementasi adalah pelaksanaan dari rencana keperawatan untuk
mencapai tujuan yang spesifik. Tahap implementasi dimulai setelah
rencana keperawatan disusun dan ditujukan untuk membantu klien
mencapai tujuan yang diharapkan. Tujuan dari implementasi adalah
membantu klien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan yang
mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan
kesehatan dan memfasilitasi koping. Perencanaan keperawatan dapat
dilaksanakan dengan baik jika klien mempunyai keinginan untuk
berpartisipasi dalam implementasi keperawatan (Nursalam, 2009).
e. Evaluasi
Evaluasi keperawatan adalah tahap akhir dari proses keperawatan
untuk mengukur respon klien terhadap tindakan keperawatan dan
kemajuan respon klien kearah pencapaian tujuan (Potter & Perry,
2009). Menurut Deswani (2011), evaluasi dapat berupa evaluasi
28
28
struktur, proses dan hasil. Evaluasi terdiri dari evaluasi formatif yaitu
menghasilkan umpan balik selama program berlangsung. Sedangkan
evaluasi sumatif dilakukan setelah program selesai dan mendapatkan
informasi efektivitas pengambilan keputusan.
Menurut Diniarti, Aryani, Nurheni, Chairani & Tutiany (2013),
evaluasi asuhan keperawatan didokumentasikan dalam bentuk SOAP
(subjektif, objektif, assesment, planning). Komponen SOAP yaitu S
(subjektif) dimana perawat menemukan keluhan klien yang masih
dirasakan setelah dilakukan tindakan. O (objektif) adalah data yang
berdasarkan hasil pengukuran atau observasi klien secara langsung
dan dirasakan setelah selesai tindakan keperawatan. A (assesment)
adalah kesimpulan dari data subjektif dan objektif (biasanya ditulis
dalam bentuk masalah keperawatan). P (planning) adalah perencanaan
keperawatan yang akan dilanjutkan dihentikan, dimodifikasi atau
ditambah dengan rencana kegiatan yang sudah ditentukan
sebelumnya.
C. Tinjauan Konsep Penyakit
1. Definisi lansia
a. Definisi lansia
Lansia atau menua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam
kehidupan manusia. Menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak
hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak
permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses alamiah, yang
berarti seseorang telah melalui 3 tahap kehidupannya, yaitu anak,
dewasa dan tua. 3 tahap ini berbeda baik secara biologis, maupun
psikologia. Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran,
misalnya kemunduran fisk, yang ditandai dengan kulit yang
mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran
kurang jelas, penglihatan semakin memburuk, gerakan lambat dan
figur tubuh yang tidak proporsional.
29
29
b. Batas-batasan lanjut usia
Menurut WHO lanjut usia meliputi
1)Usia pertengahan (middle age), adalah kelompok usia (45-59 tahun);
2) Lanjut usia (eldery) antara (60-74 tahun);
3) Lanjut usia (old) antara (75 dan 90 tahun); dan
4) Usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun.
Menurut Prof DR. Ny.Sumiati Ahmad Muhammad (Alm), Guru
Besar Universitas Gajah Mada Fakultas Kedokteran, periodesasi
biologis perkembangan manusia dibagi sebagai berikut
1) Usia 0-1 tahun (masa bayi);
2) Usia 1-6 tahun (masa prasekolah);
3) Usia 6-10 tahun (masa sekolah);
4) Usia 10-20 tahun (masa pubertas);
5) Usia 40-65 tahun (masa setegah umur, prasenium); dan
6) Usia 65 tahun keatas (masa lanjut usia, senium).
Menurut Dra. Ny. Jos Masdani (pisikolog dari Universitas
Indonesia), lanjut usia merupakan kelanjutan usia dewasa.
Kedewasaan dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu
1) Fase iuventus, antara usia 25-40 tahun;
2) Fase verilitas, antara usia 40-50 tahun;
3) Fase praesenium, antara usia 55-65 tahun; dan
4) Fase senium, antara usia 65 tahun hingga tutup usia.
2. Definisi hipertensi
Hipertensi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami
peningkatan tekanan darah diatas normal yang mengakibatkan
penigkatan angka kesakitan (morbiditas) dan angka kematian/mortalitas.
Tekanan darah 140/90 mmHg didasarkan pada dua fase dalam setiap
denyut jantung yaitu fase sistolik 140 menunjukan fase darah yang
sedang dipompa oleh jantung dan fase diastolik 90 menunjukan fase
darah yg kembali ke jantung (Triyanto, 2014).
30
30
Hipertensi merupakan tekanan darah persisten atau terus menerus
sehingga melebihi batas normal di mana tekanan sistolik di atas
140mmHg dan tekanan diastole di atas 90 mmHg (Ratnawati, 2014).
3. Etiologi hipertensi
Pada umumnya hipertensi tidak memiliki penyebab yang spesifik.
Hipertensi terjadi sebagai respon peningkatan cardiac output atau
peningkatan tekanan perifer. Namun terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi terjadinya hipertensi, yaitu
a. Genetik: respons neurologi terhadap stress atau kelainan ekskresi atau
transport Na;
b. Obesitas: terkait dengan level insulin yang tinggi yang mengakibatkan
tekanan darah meningkat;
c. Stress karena lingkungan; dan
d. Hilangnya elastisitas jaringan dan arterosklerosis pada lansia serta
pelebaran pembuluh darah.
Menurut Aspiani (2014), penyebab hipertensi pada orang dengan
lanjut usia adalah sebagai berikut
a. Elastisitas dinding aorta menurun;
b. Katup jantung menebal dan menjadi kaku;
c. Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun
setelah berumur 20 tahun yang menyebabkan penurunan kontraksi dan
volume jantung;
d. Kehilangan elastisitas pembuluh darah, hal ini terjadi karena
kurangnya efektivitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi; dan
e. Meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer.
4. Klasifikasi Hipertensi
Menurut Aspiani (2014), hipertensi dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Hipertensi primer
Hipertensi primer adalah hipertensi yang belum diketahui
penyebabnya. Diderita oleh sekitar 95% orang. Oleh sebab itu,
penelitian dan pengobatan lebih ditujukan bagi penderita esensial.
31
31
Hipertensi primer diperkirakan disebabkan oleh faktor berikut ini:
1) Faktor keturunan
Dari data statistik terbukti bahwa seseorang akan memiliki
kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika
orang tuanya adalah penderita hipertensi.
2) Ciri perseorangan
Ciri perseorangan yang mempengaruhi timbulnya hipertensi
adalah umur (jika umur bertambah maka tekanan darah
meningkat), jenis kelamin (pria lebih tinggi dibandingkan
perempuan), dan ras (ras kulit hitam lebih banyak dari pada ras
kulit putih).
3) Kebiasaan hidup
Kebiasaan hidup yang sering menyebabkan timbulnya
hipertensi adalah konsumsi garam yang tinggi (lebih dari 30 g),
kegemukan atau makan berlebihan, stres, merokok, minum
alkohol, minum obat-obatan (efedrin, prednison, epinefrin).
b. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder terjadi akibat penyebab yang jelas. Salah
satu contoh hipertensi sekunder adalah hipertensi vaskular renal,
yang terjadi akibat stenosis arteri renalis. Kelainan ini dapat bersifat
kongenital atau akibat arterosklerosis. Stenosis arteri renalis
menurunkan aliran darah ke ginjal sehingga terjadi pengaktifan
baroreseptor ginjal, perangsangan pelepasan renin dan pembentukan
angiotensin II. Angiotensin II secara langsung meningkatkan tekanan
darah, dan secara tidak langsung meningkatkan sinteis andosteron
dan reabsorpsi natrium. Apabila dapat dilakukan perbaikan pada
stenosis, atau apabila ginjal yang terkena diangkat, tekanan darah
akan kembali ke normal.
Penyebab lain dari hipertensi sekunder, antara lain
feokromositoma, yaitu tumor penghasil epinefrindi kelenjar adrenal,
yang menyebabkan peningkatan denyut jantung dan volume
32
32
sekuncup, dan penyakit Cushing, yang menyebabkan peningkatan
volume sekuncup akibat retensi garam dan peningkatan CTR karena
hipersensitivitas sistem saraf simpatis aldosteronisme primer
(peningkatan aldosteron tanpa diketahui penyebabnya) dan
hipertensi yang berkaitan dengan kontrasepsi oral juga dianggap
sebagai kontrasepsi sekunder.
Menurut Aspiani (2014), penyebab hipertensi sekunder dapat
diketahui, seperti
1) Penyakit ginjal: gromerulonefritis, piyelonefritis, nekrosis
tubular akut, tumor;
2) Penyakit vaskular: aterosklerosis, hiperplasia, trombosis,
aneurisma, emboli kolestrol dan vaskulitis;
3) Kelainan endokrin: diabetes melitus, hipertiroidisme,
hipotiroidisme;
4) Penyakit saraf: stroke, ensephalitis, syndrom gulian barre; dan
5) Obat-obatan: kontrasepsi oral, kortikosteroid.
5) Kriteria Hipertensi
The Join Nation Comitten on Detection, Evolution and Treatmen of
High Blood Pressure, suatu badan penelitian hipertensi di USA
menentukan batasan-batasan tekanan darah yang pada tahun 1993
dikenal dengan sebutan JPC-V. Berikut klasifikasi tekanan darah orang
dewasa berumur ≥18 tahun.
Umur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tekanan
darah. Umur berkaitan dengan tekanan darah tinggi (hipertensi). Semakin
tua seseorang maka semakin besar resiko terserang hipertensi (Khomsan,
2003). Penelitian Hasurungan dalam Rahajeng dan Tuminah (2009)
menemukan bahwa pada lansia dibanding umur 55- 59 tahun dengan
umur 60-64 tahun terjadi peningkatan risiko hipertesi sebesar 2,18 kali,
umur 65-69 tahun 2,45 kali dan umur >70 tahun 2,97 kali. Hal ini terjadi
karena pada usia tersebut arteri besar kehilangan kelenturannya dan
menjadi kaku karena itu darah pada setiap denyut jantung dipaksa untuk
33
33
melalui pembuluh darah yang sempit daripada biasanya dan
menyebabkan naiknya tekanan darah (Sigarlaki, 2006).
Tabel 2.5 Kriteria penyakit hipertensi menurut JNC-V USA
No
Kriteria Tekanan Darah
Sistolik Diastolik
1.
2.
3.
Normal
Perbatasan (High Normal)
Hipertensi
Derajat 1 : ringan (mild)
Derajat 2 : sedang (moderate)
Derajat 3 : berat (severel)
Derajat 4 : sangat berat (very severe)
<130
130-139
140-159
160-179
180-209
≥210
<85
85-89
90-99
100-109
110-119
≥120
Sumber: Triyanto (2014).
Catatan:
Jika penderita mempunyai tekanan sistolik dan diastolik yang tidak
termasuk dalam satu kriteria maka ia termasuk dalam kriteria yang lebih
tinggi. Contohnya seseorang mempunyai tekanan darah 180/120 mmHg
(dibaca sistolik 180 mmHg, diastolik 120 mmHg). Berdasarkan
ketentuan ini maka orang tersebut tergolong penderita hipertensi derajat 4
atau sangat berat. Apabila penderita memiliki kerusakan atau risiko
hipertensi, maka risiko tersebut harus disebutkan. Contohnya hipertensi
derajat 4 dengan DM (Aspiani, 2014).
6) Patofisiologi hipertensi
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh
darah terletak dipusat vasomotor pada medulla diotak. Dari pusat
vasomotor ini bermula jarak saraf sympatis, yang berlanjut ke bawah ke
korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis ke ganglia
sympati di thoraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor
dihantarkan dalam bentuk implus yang bergerak kebawah melalui sistem
saraf sympatis ke ganglia simpatis.
Pada titik ini, neuron pre ganglion melepaskan asetikolin, yang akan
merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana
dengan dilepaskannya norefinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh
darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat
34
34
mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang
vasokonstiktor. Klien dengan hipertensi sangat sensitive terhadap
norefinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut
bisa terjadi.
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang
pembuluh darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga
terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medula
adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat
respon vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang
mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal, menyebabkan
pelepasan renin.
Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian
diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada
gilirannya merangsang sekresi aldosterone oleh korteks adenal.Hormon
ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal,
menyebabkan peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor tersebut
cenderung mencetuskan keadaan hipertensi (Aspiani, 2014).
Pada nyeri kepala, rangsang nyeri dapat disebabkan oleh adanya
tekanan, traksi, displacement maupun proses kimiawi dan inflamasi
terhadap nosiseptor pada struktur yang pain sensitive di kepala. Jika
struktur pain sensitive yang terletak pada ataupun diatas tentorium
serebelli dirangsang, maka rasa nyeri akan timbul menjalar pada daerah
frontotemporal dan parietal anterior, yang ditransmisi oleh nervus
trigeminus. Sedangkan rangsangan terhadap struktur yang peka terhadap
nyeri di bawah tentorium, akan menimbulkan nyeri pada daerah oksipital,
sub-oksipital dan servikal bagian atas, dimana akan ditransmisi oleh saraf
kranial IX,X dan saraf spinal C1, C2 dan C3 (Sjahrir, 2008).
35
35
7) Manifestasi klinis hipertensi
Gejala umum yang ditimbulkan akibat menderita hipertensi tidak
sama pada setiap orang, bahkan terkadang hipertensi timbul tanpa adanya
gejala. Menurut Aspiani (2014) terdapat gejala-gejala yang sering
dikeluhkan oleh penderita hipertensi, yaitu:
a. Sakit kepala
b. Rasa pegal dan tidak nyaman pada tengkuk
c. Perasaan berputar-putar serasa ingin jatuh
d. Jantung berdebar atau detak jantung terasa cepat
e. Telinga berdenging
36
36
Menurut Nuratif & Kusuma (2015) tanda dan gejala hipertensi
dibedakan menjadi:
a. Tidak ada gejala
Tidak ada gejala yang spesifik yang dapat dihubungkan dengan
peningkatan tekanan darah, selain penentuan tekanan arteri oleh
dokter yang memeriksa. Hal ini bebrarti hipertensi arterial tidak akan
pernah terdiagnosa jika tekanan arteri tidak terukur.
b. Gejala yang lazim
Seringkali dikatakan bahwa gejala terlazim yang menyerang
hipertensi meliputi nyeri kepala dan kelelahan. Dalam kenyataan ini
merupakan gejala terlazim yang mengenai kebanyakan pasien yang
mencari pertolongan medis.
Beberapa pasien yang menderita hipertensi yaitu:
1) Mengeluh sakit kepala, pusing
2) Lemas, kelelahan
3) Sesak nafas
4) Gelisah
5) Mual
6) Muntah
7) Epistaksis
8) Kesadaran menurun
8) Masalah yang lazim muncul
Menurut NANDA NIC-NOC 2010 masalah yang lazim pada muncul
pada penderita hipertensi adalah:
a. Penurunan curah jantung behubungan dengan peningkatan afterload,
vasokonstriksi, hipertrofi/rigiditas ventrikuler, iskemia miokard
b. Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskuler
serebral dan iskemia
c. Kelebihan volume cairan
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan,
ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen
37
37
e. Ketidakefektifan koping
f. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak
g. Resiko cedera
h. Defisiensi pengetahuan
i. Ansietas
9) Pemeriksaan penunjang hipertensi
a. Pemeriksaan laboratorium
1) Hb/Ht: untuk mengkaji hubungan dari sel-sel terhadap volume
cairan (viskositas) dan dapat mengindikasi faktor resiko seperti
hipokoagulabilitas, anemia.
2) BUN/kreatinin: memberikan informasi tentang perfusi/fungsi
ginjal.
3) Glucosa: hiperglikemia (dm adalah pencetus hipertensi) dapat di
akibatkan oleh pengeluaran kadar ketokolamin.
4) Urinalisa: darah, protein, glukosa, mengisaratkan disfungsi
ginjal dan ada dm.
b. Ct scan: mengkaji adanya tumor cerebral, encelopati.
c. Ekg: dapat menunjukan pola regangan, dimana luas, peninggian
gelombang P adalah salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi
d. IUP: mengidentifikasikan penyebab hipertensi seperti: batu ginjal,
perbaikan ginjal
e. Photo dada: menunjukan destruksi klasifikasi pada area katup,
pembesaran jantung (Nuratif & Kusuma, 2015).
10) Penatalaksanaan hipertensi
a. Pentalaksanaan non farmakologi
penatalaksanaan hipertensi secara non farmakologi adalah
sebagai berikut:
1) Pengaturan diet
Beberapa diet yang dianjurkan bagi penderita hipertensi :
a) Rendah garam, diet rendah garam dapat menurunkan tekanan
darah pada klien hipertensi. Dengan pengurangan konsumsi
38
38
garam dapat mengurangi stimulus system renin-angiotensin
sehingga sangat berpotensi sebagai anti hipertensi. Jumlah
intake sodium yang dianjurkan 50-100 mmol atau setara
dengan 3-6 gram garam per hari.
b) Diet tinggi potasium. Pemberian potasium pada klien dengan
hipertensi dapat menuurunkan tekanan darah namun
mekanismenya belum jelas. Pemberian potasium secara
intravena dapat menyebabkan vasodilatasi, yang dipercaya
dimediasi oleh notric oxide pada dinding vascular.
c) Diet kaya buah dan sayur.
d) Diet rendah kolesterol sebagai pencegah terjadinya penyakit
jantung koroner.
2) Penurunan berat badan
Penurunan berat badan dapat mempengaruhi penurunan tekanan
darah pada penderita hipertensi, karena terjadi penurunan beban
kerja jantung serta penurunan volume sekuncup.
3) Olahraga
Olahraga secara teratur seperti berjalan, berlari, berenang,
bersepeda bermanfaat untuk menurunkan tekanan darah dan
memperbaiki keadaan jantung. Olahraga selama 30 menit
sebanyak 3-4 kali daam satu minggu sangat dianjurkan untuk
menurunkan tekanan darah. Olahraga meningkatkan kadar HDL,
yang dapat mengurangi terbentuknya arterosklerosis akibat
hipertensi.
4) Memperbaiki gaya hidup
Merubah gaya hidup yang tidak sehat seperti merokok,
minuman beralkohol, mengkonsumsi makanan cepat saji penting
untuk dilakukan agar mengurangi efek jangka panjang
hipertensi. Asap rokok diketahui dapat menurunkan kecepatan
aliran darah ke berbagai organ tubuh dan dapat membebani kerja
jantung (Aspiani,2014).
39
39
b. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis bagi klien hipertensi adalah sebagai
berikut:
1) Terapi Oksigen.
2) Pemantauan Haemodinamik.
3) Pemantauan Jantung.
4) Terapi Obat-obatan, seperti:
Diuretik: Chlorthalidon, Hydromox, Lasix, Aldactone, Dyrenium
Diuretic yang bekerja melalui berbagai mekanisme untuk
mengurangi curah jantung dengan mendorong ginjal
meningkatkan ekskresi garam dan airnya (Aspiani, 2014).