sipendikum 2018 - semnas.unikama.ac.id · dapat membedakannya dengan bangsa lain. oleh karenanya...

14
SIPENDIKUM 2018 421 PERLINDUNGAN HAK CIPTATERHADAP EKSPRESI BUDAYA TRADISIONALDI INDONESIAMENURUTHUKUM INTERNASIONAL Fithriatus Shalihah 1 e-mail : [email protected] Abstraks Perlindungan khusus terhadap ekspresi budaya tradisional diatur Bern Convention 1886 maupun dalam revisinya (Konvensi Paris) di tahun 1971,yaitu terdapat dalam pasal 15 ayat (4).Indonesia telah mensinkronkan pengaturan tersebut dalam hukum nasionalnya yang terdapat dalam pasal 38 dan 39 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta.Kendala dalam perlindungan ekspresi budaya tradisional di Indonesia lebih banyak disebabkan karena pemahaman kepemilikan ekspresi budaya tradisional tradisional di Indonesia lebih kepada kepemilikan secara komunal. Maka dalam rangka menerjang hambatan yang bersifat kultural tersebut diperlukan sosialisasi dan pembudayaan Hak Cipta kepada masyarakat. Pergesekan antar bangsa atas pengakuan kepemilikan ekspresi budaya tradisional banyak disebabkan oleh faktor pengenyampingan hak moral dan prinsip first to use yang melekat pada ekspresi budaya tradisional. Keywords : International law, Copy Right, Folklore. Pendahuluan Bern Convention mengalami beberapa kali revisi, revisi yang pertama dilakukan di Paris pada tanggal 4 mei 1896, kemudia dilakukan revisi kembali di Berlin pada tanggal 13 November 1908. Penyempurnaan terus dilakukan tepatnya pada tanggal 24 Maret 1914 di Bern, kemudian direvisi di Roma tanggal 2 Juni 1928, di Brussels pada tanggal 26 Juni 1948, di Stockhlom pada tanggal 14 Juni 1967 dan yang paling terakhir di Paris pada tanggal 24 Juni 1971. Dan revisi Bern Convention 1971 menghasilkan pengaturan yang berpotensi mengatur folklore yaitu terdapat dalam pasal 15 ayat (4), yang selengkapnya berbunyi: Right toEnforce Protected Rights: (a) In the case of unpublished works where there the identity of the author is unknown, but where there is every ground to presume that he is national of a country to designate the competent authority which shall represent the author and shall be entitled to protect and enforce his rightsin the countries of the union. (b) Countries Of The Union which make such disignation under the terms of his provision shall notify the Director General by means of a written declartion giving full information concerning the authority thus designated. The Director General shall at once communicate this declaration to all other countries of the union 1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Riau

Upload: hoangnhi

Post on 15-Mar-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

SIPENDIKUM 2018

421

PERLINDUNGAN HAK CIPTATERHADAP EKSPRESI BUDAYA

TRADISIONALDI INDONESIAMENURUTHUKUM INTERNASIONAL

Fithriatus Shalihah1

e-mail :[email protected]

Abstraks

Perlindungan khusus terhadap ekspresi budaya tradisional diatur Bern

Convention 1886 maupun dalam revisinya (Konvensi Paris) di tahun

1971,yaitu terdapat dalam pasal 15 ayat (4).Indonesia telah mensinkronkan

pengaturan tersebut dalam hukum nasionalnya yang terdapat dalam pasal

38 dan 39 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak

Cipta.Kendala dalam perlindungan ekspresi budaya tradisional di

Indonesia lebih banyak disebabkan karena pemahaman kepemilikan

ekspresi budaya tradisional tradisional di Indonesia lebih kepada

kepemilikan secara komunal. Maka dalam rangka menerjang hambatan

yang bersifat kultural tersebut diperlukan sosialisasi dan pembudayaan Hak

Cipta kepada masyarakat. Pergesekan antar bangsa atas pengakuan

kepemilikan ekspresi budaya tradisional banyak disebabkan oleh faktor

pengenyampingan hak moral dan prinsip first to use yang melekat pada

ekspresi budaya tradisional.

Keywords : International law, Copy Right, Folklore.

Pendahuluan

Bern Convention mengalami beberapa kali revisi, revisi yang pertama dilakukan

di Paris pada tanggal 4 mei 1896, kemudia dilakukan revisi kembali di Berlin pada

tanggal 13 November 1908. Penyempurnaan terus dilakukan tepatnya pada tanggal 24

Maret 1914 di Bern, kemudian direvisi di Roma tanggal 2 Juni 1928, di Brussels pada

tanggal 26 Juni 1948, di Stockhlom pada tanggal 14 Juni 1967 dan yang paling terakhir di

Paris pada tanggal 24 Juni 1971.

Dan revisi Bern Convention 1971 menghasilkan pengaturan yang berpotensi

mengatur folklore yaitu terdapat dalam pasal 15 ayat (4), yang selengkapnya berbunyi:

“Right toEnforce Protected Rights: (a) In the case of unpublished works where

there the identity of the author is unknown, but where there is every ground to presume

that he is national of a country to designate the competent authority which shall

represent the author and shall be entitled to protect and enforce his rightsin the

countries of the union. (b) Countries Of The Union which make such disignation under

the terms of his provision shall notify the Director General by means of a written

declartion giving full information concerning the authority thus designated. The Director

General shall at once communicate this declaration to all other countries of the union

1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Riau

SIPENDIKUM 2018

422

Pasal ini mengatur perlindungan atas ciptaan-ciptaan yang tidak diketahui

penciptanya. Seperti diketahui Folklore di Indonesia banyak yang tidak jelas penciptanya,

jadi aturan inilah yang paling mendekati tentang perlindungan Folklore di dalam Bern

Convention.

Folklore merupakan bagian dalam lingkup Hak Cipta yang mana Hak

Cipta adalah satu dari dua bidang yang tercakup dalam hak milik intelektual

selain hak milik industri.Keberadaan hak milik dalam hukum adalah hak yang

paling kuat dan absolute sifatnya.Dan hak milik intelektual berbeda dengan hak

milik pada umumnya apabila dilihat dari obyeknya, terutama untuk benda -benda

yang merupakan ciptaan Tuhan seperti tanah.Sebab hak milik intelektual lahir

dari kreasi dan intelektual manusia. Kreasi dari olah pikir itu hanya dimiliki oleh

orang-orang yang kreatif dalam memanfaatkan intelektualnya, sehingga sangat

dimungkinkan juga akan dapat membawa kejayaan dalam hal perekonomiannya

(Intellectual Property is the machine of money maker). Jadi hak milik intelektual

adalah sesuatu yang dapat dibanggakan dalam pembangunan ekonomi sebab

eksistensinya lebih dahsyat daripada sumber daya alam. Sementara isu mengenai

perlindungan terhadap Folklore sendiri mulai mengemuka dalam Persetujuan

Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPs Agreement) tahun

1994 dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 1995.

Folklore adalah sebuah karya cipta bangsa yang memiliki hak eksklusif bagi

pencipta atau pemegang Hak Cipta untuk mengatur penggunaan hasil penuangan gagasan

atau informasi tertentu.Pada dasarnya, Hak Cipta merupakan hak untuk menyalin suatu

ciptaan.Hak Cipta dapat juga memungkinkan pemegang hak tersebut untuk membatasi

penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan.Hak Cipta memiliki masa berlaku tertentu yang

terbatas.

Hak Cipta merupakan salah satu jenis hak milik intelektual, namun Hak Cipta

berbeda secara mencolok dari hak kekayaan intelektual lainnya seperti, paten, yang

memberikan hak monopoli atas penggunaan invensi. Karena Hak Cipta bukan merupakan

hak monopoli untuk melakukan sesuatu, melainkan hak untuk mencegah orang lain yang

melakukannya.

Hak Cipta mengenal konsep hak ekonomi dan hak moral. Hak ekonomi adalah

hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan, sedangkan hak moral adalah hak

yang melekat pada diri pencipta atau pelaku (seni, rekaman, siaran) yang tidak dapat

dihilangkan dengan alasan apa pun, walaupun Hak Cipta atau hak terkait telah dialihkan.

Contoh pelaksanaan hak moral adalah pencantuman nama pencipta pada ciptaan,

walaupun misalnya Hak Cipta atas ciptaan tersebut sudah dijual untuk dimanfaatkan

pihak lain.

Pemegang Hak Cipta bisa jadi adalah orang yang memperkerjakan pencipta dan

bukan pencipta itu sendiri bila ciptaan tersebut dibuat dalam kaitannya dengan hubungan

dinas. Prinsip ini umum berlaku; misalnya dalam hukum Inggris (Copyright Designs and

Patents Act 1988) dan Indonesia Pada Pasal 8 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002

tentang Hak Cipta.Dalam undang-undang yang berlaku di Indonesia, terdapat perbedaan

penerapan prinsip tersebut antara lembaga pemerintah dan lembaga swasta.

SIPENDIKUM 2018

423

Ekspresi budaya tradisional merupakan identitas dan ciri dari suatu bangsa yanag

dapat membedakannya dengan bangsa lain. Oleh karenanya Negara perlu memberikan

perlindungan terhadapnya, karena juga menunjukkan kewibawaan sebuah bangsa.

Apalagi pengaturan tentang perlindungan hukum atas ekspresi budaya tradisional telah

dengan tegas diatur dalam Bern Convention 1886 maupun dalam revisinya (Konvensi

Paris) di tahun 1971.

Karenanya dibutuhkan pemahaman yang merata bagi masyarakat Indonesia

tentang keberadaan Folklore dalam lingkup Hak Cipta yang di dalam hukum nasional

telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2016 tentang Hak Cipta.

Pemerintah Indonesia harus lebih tegas dalam mensikapi berbagai pelanggaran Hak Cipta

khususnya terhadap ekspresi budaya tradisional (Folklore) .Tidak ada alasan bahwa

Folklore atau ekspresi budaya tradisional tersebut sulit dicari siapa penciptanya karena

sudah berabad-abad yang lampau, sehingga pemerintah kesulitan menentukan sikap.

Sebab apabila Folklore tidak diketahui penciptanya, maka seharusnya negaralah yang

bertindak sebagai penciptanya.

Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam latar belakang di atas maka penulis

meembuat sebuah telaah dengan judul : Perlindungan Hak CiptaTerhadap Ekspresi

Budaya Tradisional Di IndonesiaMenurut Hukum Internasional.

Perlindungan Hak Cipta Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional Di Indonesia

Menurut Hukum Internasional

Berkaitan dengan perlindungan Hak Cipta ada dua perjanjian internasional yang

sangat penting dalam sejarah perkembangan hukum tentang perlindungan hak milik

intelektual di dunia, yaitu :

a) Konvensi Bern, adalah perjanjian internasional tentang perlindungan terhadap

karya sastra dan seni. Konvensi Bern ini adalah perjanjian yang tertua tentang

Hak Cipta yang tertua di dunia yaitu disetujui tanggal 9 September 1886, dan

terbuka bagi semua Negara untuk meratifikasinya. Ada 133 negara telah turut

dalam menandatangani konvensi ini, dan Indonesia telah meratifikasinya pada

tanggal 5 september 1997.

b) Perjanjian Umum di Bidang Tarif dan Perdagangan (GATT) yang mencakup

juga TRIPs Agreement(Perjanjian tentang Aspek-Aspek perdagangan

Kekayaan Intelektual).

Konvensi Bern dalam memberikan perlindungan terhadap Hak Cipta memiliki

tiga prinsip utama yaitu :

a) Perlakuan nasional tentang karya-karya yang berasal dari salah satu Negara

Berne Convention harus diberikan proteksi yang sama pada setiap Negara

anggota lainnya.

b) Perlakuan nasional tidak tergantung dari formalitas, yang berarti perlindungan

diberikan secara otomatis dantidak memerlukan pendaftaran, deposit atau

pemberitahuan formal dalam kaitan dengan publikasi.

SIPENDIKUM 2018

424

c) Perlindungan karya cipta tersebut adalah independen dari persyaratan proteksi

di Negara asal dari karya tersebut dihasilkan.

Hak-hak eksklusif yang diatur dalam Konvensi Bern adalah :

1) hak terjemahan

2) hak mempertunujukkan drama di depan public

3) karya drama musikal dan karya musik

4) hak untuk menyiarkan

5) hak untuk reproduksi dalam bentuk apapun

6) hak untuk membuat gambar hidup dari karya

7) hak untuk adaptasi

WIPO atau singkatan dari World Intelectuall Property Organization adalah badan

khusus PBB yang menangani masalah Hak Milik Intelektual.WIPO terbentuk tahun 1967

yang bertujuan untuk mendorong kreatifitas dan memperkenalkan perlindungan Hak

Milik intelektual ke seluruh dunia. Hal ini seiring dengan tujuan pembentukan WIPO

yang merupakan rekomendasi dari TRIPs Aggreement yang menyebutkan bahwa,

“ The WIPO has been established to promote the protection of intellectual Property

throughout the world through co-operation among states and, where appropriate, in

collaboration wih other international organization. “

WIPO secara resmi dibentuk oleh Konvensi Pembentukan Organisasi atas

kekayaan intelektual dunia yang ditandatangani di Stockholm pada tanggal 14 Juli 1967

dan di perbaiki pada tanggal 28 September 1979. Dalam salah satu Pasalnya, WIPO

berupaya melakukan promosi atas perlindungan dari hak atas kekayaan intelektual ke

seluruh dunia. Untuk saat ini, WIPO beranggotakan kurang lebih 184 negara dengan

kantor pusatnya di Genewa Swiss. Dan hampir semua Negara anggota PBB menjadi

anggota WIPO.

Selain beranggotakan 184 negara, WIPO telah menghasilkan 23 buah perjanjian

internasional.Vatikan dan hampir seluruh Negara anggota PBB merupakan anggota

WIPO. Sedangkan Negara-negara yang tidak menjadi anggota WIPO adalah Kiribati,

Kepulauan Marshall, Federasi Mikronesia,Nauru, Palau, Palestina, Republik Demokrasi

Arab Sahrawi, Kepulauan Solomon, Taiwan, Timor Leste, Tuvalu, dan Vanuatu.

Pendahulu WIPO bernama BIRPI (Perancis Bureaux Internasionaux Reunis pour

la Protection de la Propiete Intelectuelle), yang didirikan tahun 1893 untuk mengawasi

Konvensi Bern tentangPerlindungan Karya seni dan Sastra dan Konvensi Paris tentang

Perlindungan Hakatas Kekayaan Industri.

WIPO secara resmi dibentuk oleh Konvensi Pembentukan Organisasi Hak Atas

Kekayaan Intelektual Dunia (ditandatangani di Stockhlom pada tanggal 14 Juli 1967 dan

diperbaiki pada tanggal 28 Sepetember 1979).Berdasarkan Pasal 3 ayat (3) dari konvensi

ini WIPO berupaya untuk melakukan promosi atas perlindungan dari milik intelektual ke

seluruh penjuru dunia.Dan pada tahun 1974 WIPO menjadi perwakilan khusus PBB

untuk keperluan tersebut.

SIPENDIKUM 2018

425

Hak Cipta dan Hak-Hak Berdampingan.

WIPO memberikan pengertian tentang Hak Cipta sebagai berikut :“Copyright is a

legal form describing right given to creator for their literary and artistic works” atau

Hak Cipta adalah terminology hukum yang menggambarkanhak-hak yang diberikan

kepada pencipta untuk karya-karya mereka dalam bidang seni dan sastra. Pengertian Hak

Cipta juga disebutkan dalam Copyright, Designs and Patens Act 1988 yang

menyatakan,”Copyright is a property right that subsists in certain specified types of

works.” Pada pengertian lain David Vaver dalam tulisannya berjudul Some Agnostic

Observations on Intellecrual property mendevinisikan bahwa,”Copyright is if one creates

a literary, musical, dramatic or artistic work, one automatically has a copyright on it.”

Dari devinisi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

a) Literary works.

The expression literary work is expressed is print or writing, irrespective of question

wether the quality or styleis high.The word literary seems to be used in a sense

somewhat similar to the use of word literature in political or electioneering literature,

and refers to written or printed matter. As well as works embodying the fruits of

considerable creative or intellectual endeavour, copyright has been allowed in such

mundane compilation of information as a timetable index, trade catalogues,

examination service and the listing of programmes to the broadcast. The principle that

there must be sufficient”skill, judgment and labour” accordingly cases where the

degree of literary compotition is slight.

The requirement that a literary work be “original” was only added to statory

copyright law in the Act of 1911. The adjective has been read in a limited sense. It is

treated as bringing out one caracteristic of the recuirement of scill, labour and

judgment- that the work must originate from the author and not be copied by him from

another source.

b) Dramatic works.

These are divined as including a work of danceor mime. They include the scenario or

script for film, the copyright in the film itself being separate. The general principles

concerning literary works apply to this closelyanalogous category. Nice questions can

arise over the copyright entitlement of those who provide secondary contributions to

scripts written by other playwrights.

c) Musical works : type and quality

The term musical worksis defined in the act only as a work consisting of music,

exclusive of any words or action intended to be sung, spoken or performed with i.

d) Artistic works.

1) General. Here the tension between different conception of copyright

becomesmarket. Some types of work are treated as artistic only if they bear a

distinctive element of aesthetic creatifity others gain protection simply because

labour ang capital ought not to be freely appropriable.

2) Architectural works and models. An architect’s plans fall within category above.

It is actual structure or a model of it which is separately treated in the second

SIPENDIKUM 2018

426

category. By implication, some consideration must be given to artistic quality. It

may well be enough to show something apart from the common stock of ideas.

3) Works of artistic craftsmanship. A considerable miscellany of artefacts jewellary,

furniture, cutlery, toys, educational aids and so on.”

Sedangkan menurut Hukum Nasional terbaru Indonesia tentang Hak Cipta

memberikan devinisi bahwa Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima

hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberi ijin untuk itu

dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundangan yang

berlaku.

Undang-undang Hak Cipta memberikan pengertian bahwa Hak Cipta sebagai hak

khusus, hal ini berarti pemahaman undang-undang berpangkal pada melekatnya sifat

khusus kepada pencipta atau pemilik hak tersebut dikaitkan dengan pemikiran tentang

perlunya pengakuan dan penghormatan terhadap jerih payah pencipta atas segala daya

upaya dan pengorbanan sehingga dapat terlahir sebuah karya intelektual.

Yang dimaksud dengan hak eksklusif sebagaimana disebut dalam Pasal adalah

hak yang semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pilihan lain

yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa ijin pemegangnya.

Dan di dalam penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002

mengatakan bahwa Hak Cipta terdiri atas hak ekonomi (economic right) dan hak moral

(moral right). Hak ekonomi adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku yang

tidak dapat dihilangkan atau dihapus tanpa alas an apapun, walaupun Hak Cipta atau hak

terkait (neighboring right) telah dialihkan.

Hak ekonomi merupakan hak eksklusif dari pencipta untuk memperoleh

keuntungan-keuntungan ekonomi.Hak ekonomis meliputi hak memperbanyak, hak

distribusi, hak pertunjukan dan hak peragaan.Seadangkan hak moral adalah hak yang

melekat pada diri pencipta yang tidak dapat dihilanghan atau dihapus tanpa alasan apapun

walaupun Hak Cipta atau hak terkait telah dialihkan.Adapun ketentuan mengenai hak

moral ini dapat dilihat dalam The Copyright, Designs and Patents Act 1988, yang

menyatakan bahwa,

“ There are four rights within the moral right designation, being :

(a) the right to be identified as the author or director of work, the paternity right

(section 77-79);

(b) the right of an author or director of a work to object to derogatory treatment

of that work, the integrity (section 80-83);

(c) a general right that every person has not to have a workfalsely attributed to

him(section 84)

(d) the commissioner’s right of privacy in respect of a photograph or film made

for private and domestic purposes (section 85).”

Undang-undang Hak Cipta mengatur bahwa kepemilikan Hak Cipta oleh Negara,

apabila karya cipta tersebut dianggap sebagai milik bersama (public domain) atau milik

rakyat. Fungsi kepemilikan Hak Cipta oleh Negara ini sangat berfungsi terhadap masalah

SIPENDIKUM 2018

427

yang menyangkut kebutuhan ciptaan-ciptaan terhadap kemungkinan pelanggaran ciptaan

di luar negri, karena itu Negara bertindak sebagai pemegang Hak Cipta. Karya-karya

cipta yang dianggap sebagai milik bersama tersebut misalnya : dongeng, hikayat, lagu-

lagu rakyat, kaligrafi, tari-tarian tradisional, dan sebagainya.

Undang-undang Hak Cipta memberikan pengertian bahwa Hak Cipta sebagai hak

khusus, hal ini berarti pemahaman undang-undang berpangkal pada melekatnya sifat

khusus kepada pencipta atau pemilik hak tersebut dikaitkan dengan pemikiran tentang

perlunya pengakuan dan penghormatan terhadap jerih payah pencipta atas segala daya

upaya dan pengorbanan sehingga dapat terlahir sebuah karya intelektual.

Dan di dalam Bab II pasal 8 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014

Ekspresi budaya tradisional dan Ciptaan yang tidak diketahui penciptanya diatur

dalam ketentuan baru Pasal 38 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014, yaitu :

(1) Hak Cipta atas ekspresi budaya tradisional dipegang oleh Negara.

(2) Negara wajib menginventarisasi, menjaga, dan memelihara ekspresi budaya

tradisional sebagaimana dimaksud pada pasal (1).

(3) Penggunaan ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

harus memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat

pengembannya.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara atas

ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur

dengan Peraturan Pemerintah.

Kemudian pada Pasal 39 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 disebutkan

bahwa :

1. Dalam hal Ciptaan tidak diketahui Penciptanya dan Ciptaan tersebut belum

dilakukan Pengumuman, Hak Cipta atas Ciptaan tersebut dipegang oleh

Negara unutk kepentingan Pencipta.

2. Dalam hal Ciptaan telah dilakukan Pengumuman tetapi tidak diketahui

Penciptanya, atau hanya tertera nama aliasnya atau samaran Penciptannya,

Hak Cipta atas Ciptaan tersebut dipegang oleh pihak yang melakukan

Pengumuman untuk kepentingan Peencipta.

3. Dalam hal Ciptaan telah diterbitkan tetapi tidak diketahui Penciptanya dan

pihak yang melakukan Pengumannya, Hak Cipta atas Ciptaan tersebut

dipegang oleh Negara unutk kepentingan Pencipta.

4. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) tidak

berlaku jika Pencipta dan/atau pihak yang melakukan Pengumuman dapat

membuktikan kepemilikan atas Ciptaan tersebut.

5. Kepentingan Pencipta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3)

dilaksankan oleh Menteri.

Potensi kultural bangsa Indonesia yang memiliki tidak kurang dari 350 kelompok

etnis memiliki kekhasan sekaligus keragaman dalam cita, rasa, dan ekspresi budaya

tradisional (Folklore) masing-masing. Menyadari potensi ini, sesungguhnya

Indonesiamemiliki kekuatan yang sangat besar dalam meningkatkan pertumbuhan

SIPENDIKUM 2018

428

sekaligus pemerataan ekonomi melalui pengembangan sumber daya kultural. Namun dari

350 etnis sebagaimana sumber yang dikutip di atas, jumlah ekspresi budaya yang telah

terdaftar hak ciptanya jauh relatif sangat sedikit, karena tidak semua folklore dengan

berbagai klasifikasinya telah didaftarkan hak ciptanya oleh pemerintah daerah dalam hal

ini merupakan kepanjangan tangan dari negara yang berkepentingan memberikan

perlindungan terhadap ekspresi budaya tradisional.

Masih sulitnya perlindungan hukum terhadap semua produk kultural atau

Folklore sebagaimana penyebutan dalam Pasal 38 Undang-Undang Hak Cipta Nomor

2014, di sebabkan oleh ketidakmampuan hukum nasional tentang Hak Cipta di Indonesia

dalam mengakomodasi semua Folklore yang ada. Sebab Undang-Undang Hak Cipta yang

saat ini berlaku mengadopsi rezim Hak Cipta konvensional yaitu berdasarkan TRIPs

Aggreement tanpa memberikan ruang yang cukup bagi pengakomodasian dan

perlindungan Folklore bangsa.

Akibatnya terjadi ketidaktepatan penempatan konsep antara hasil karya tradisional

yang dapat dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta dan Folklore yang memang tidak

termasuk dalam kategori karya cipta yang dilindungi Undang-Undang Hak Cipta.

Beberapa ketidaktepatan konsep yang merupakan karakter mendasar yang dipersyaratkan

dalam perlindunga hak cipta adalah :

i. Persyaratan keaslian

ii. Penciptanya yang harus diketahui

iii. Ide atau gagasan yang harus ditransformasikan ke dalam bentuk materiil

atau fisik

iv. Jangka waktu perlindungannya yang terbatas yaitu seumur hidup ditambah

50 tahun setelah penciptanya meninggal dunia

Akibatnya, secara normatif, karakter mendasar yang dipersyaratkan dalam

perlindungan Hak Cipta ini menjadi tidak tepat dengan karakter mendasar yang melekat

pada hasil karya tradisional bangsa.Sebab, dapat menjadi pembenaran bahwa Folklore ini

tidak dapat dikatakan asli karena ekspresi budaya tradisional ini dibuat oleh penciptanya

(yang dalam hal ini telah tidak ada), kemudian diwariskan dan berkembang (direproduksi

dan digunakan) selama ribuan tahun, bahkan dari generasi ke generasi.

Perbedaan konseptual antara ciptaan dalam konsep Hak Cipta dan hak kultural ini

menjadi hambatan normatif dalam memberikan perlindungan terhadap Folklore yang

dimiliki oleh bangsa ini.Oleh karena itu pemerintah harus lebih kreatif mengoptimalkan

sumber daya hukum dan nonhukum dalam mengatur sekaligus melindungi Folklore.

Seharusnya pemerintah mempunyai keberanian menyelesaikan klaim Malaysia

dengan memanfaatkan jalur diplomasi internasional, hal ini akan lebih memberi efek jera

terhadap Malaysia. Yaitu dengan menempuh langkah penyampaian nota diplomatik

maupun pembicaraan tingkat menteri berkenaan dengan keberatan atas klaim-klaim

Folklore asli Indonesia oleh Pemerintah Malaysia. Sehingga dampaknya akan membawa

kerugian kepada Malaysia jika isu ini digulirkan dalam forum TRIPs-WTO maupun

melalui Badan PBB yang berwenang disektor Hak Milik Intelektual, yaitu WIPO.

Keberadaan forum-forum tersebut dapat digunakan untuk menunjukkan fenomena

SIPENDIKUM 2018

429

meningkatnya perhatian masyarakat internasional terhadap perlindungan di bidang Hak

Milik Intelektual.

Indonesia dapat melakukan gugatan kepada saluran-saluran internasional yang

terkait dengan penegakan hak milik intelektual dengan menggunakan Stocholm Revision

of Berne Convention, yang ditandatangani pada tahun 1967. Sebab dalam Pasal 15 (4)

dinyatakan bahwa :

“Dalam kasus karya-karya cipta yang identitas penciptanya tidak dikenal, tetapi ia

adalah warga dari Negara anggota penandatangan konvensi, maka Negara tersebut

dapat membuat Undang-Undang atau aturan yang menunjuk otoritas yang

berkompeten untuk mewakili pencipta dan berhak untuk mewakili pencipta dan

berhak untuk menegakkan haknya diwilayah negara-negara penandatangan

Konvensi.”

Dengan demikian dalam konteks ini sebenarnya pemerintah Indonesia dapat

menggunakan Pasal 38 Undang-Undang Hak Cipta nomor 28 tahun 2014 untuk

melindungi ekspresi budaya tradisional terkait pencipta yang tidak dikenal. Sebab dalam

penjelasannya Undang-Undang Hak Cipta menyatakan bahwa pemerintahlah yang akan

mencegah adanya monopoli ataupun komersialisasi serta tindakan merusak atau

pemanfaatan komersial tanpa seijin negara RI sebagai pemegang Hak Cipta. Ketentuan

ini dimaksudkan untuk menghindari pihak asing yang dapat merusak nilai kebudayaan

tersebut.

Dalam kasus klaim Malaysia terhadap terhadap ekspresi budaya tradisional

beberapa waktu yang lalu, langkah yang dilakukan pemerintah hanya menyikapi klaim

tersebut dengan membentuk pakar yang bertugas mengkaji kesenian tradisional.Langkah

ini selain diambil untuk menyikapi klaim atas Reyog Ponorogo, tari Tor-tor dan Pendet,

juga dalam kasus klaim lagu rasa sayange oleh Pemerintah Malaysia. Menurut Menteri

kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia saat itu, Jero Wacik, bahwa pemerintah

akan membentuk tim pakar untuk mengkaji dan memilah kesenian tradisional Indonesia

dan Malaysia sehingga tidak terjadi saling klaim terutama yang termasuk kategori area

seperti lagu-lagu yang sudah ada sejak jaman dulu dan berkembang dikedua Negara serta

tidak jelas siapa yang menggubahnya. Kemiripan budaya dan kesenian ini menurutnya

sangat wajar karena banyak penduduk Malaysia yang bersal dari Indonesia yang

bermukin sudah sangat lama. Namun demikian, Pemerintah berjanji tetap akan

meningkatkan perlindungan terhadap seni dan budaya tradisional itu sehingga tidak lagi

di klaim oleh Negara lain.

Sudah seharusnya Pemerintah mengambil peran yang besar.Akan lebih bagus lagi

apabila tidak perlu menunggu dari daerah bersangkutan dalam mengurus Hak Cipta

kekayaan budaya daerahnya, tetapi Pemerintah melalui berbagai instansi terkait dapat

memfasilitasi atau jemput bola.Ada pemahaman bahwa mengurus Hak Cipta begitu rumit

dan persepsi kekayaan budaya daerah seharusnya sudah langsung menjadi kekayaan

budaya Indonesia.Namun sekarang penulis juga belum mengetahui apakah Pemerintah

telah menyadari mempunyai kekayaan budaya yang besar dan berharga, apakah data-

SIPENDIKUM 2018

430

datanya sudah ada atau hanya sekedar mendengar bahwa sebenarnya punya. Oleh sebab

itu, database tentang kekayaan budaya masing-masing daerah sangat dibutuhkan

sekaligus melihat status Hak Cipta budaya tersebut. Penulis menyadari bahwa saat ini

budaya asli Indonesia mulai terkikis oleh arus globalisasi yang disebabkan banyak

budaya asing yang mampu menggeser budaya lokal.Dan sampai dengan detik ini

kondisinya demikian.Akhirnya budaya daerah termasuk Folklore menjadi menghilang

dari pemahaman dan pengetahuan generasi muda.Siapa sebenarnya yang bertugas

melestarikan budaya daerah.Tentu saja sangat tidak bijaksama apabila kita semata-mata

menyalahkan generasi muda atau pihak daerah setempat, tetapi Pemerintah juga harus

mengetahui kesalahannya. Tayangan televisi, media massa atau yang lain sudah banyak

yang melupakan atau bahkan hampir tidak pernah menyinggung tentang kekayaan

budaya daerah. Oleh sebab itu, sekali lagi Pemerintah dengan perpanjangantangannya

harus mulai melindungi kekayan budaya daerah dan selalu mengenalkan budaya tersebut

kepada generasi muda, salah satu nya adalah dengan memanfaatkan jalur pendidikan

formal sebagaimana penulis bahas di atas.

Peranan hukum internasional, baik perjanjian bilateral maupun multilateral, dalam

perkembangan hukum tentang perlindungan hak kekayaan intelektual tidak dapat

dipungkiri.Penegakan hukum tentang HAKI dirasakan semakin penting mengingat

perdagangan barang dan jasa tidak lepas dari aspek industrial property yang melekat

padanya.

Permasalahan HAKI erat hubungannya dengan dunia bisnis, pelaku bisnis dituntut

untuk melahirkan hasil karya dan kreasi yang memiliki nilai jual.Sehingga peningkatan

pelanggaran terhadap hak kekayaan intelektual di negara-negara sedang berkembang,

merupakan kendala perdagangan dan investasi bagi negara industri maju.

Indonesia telah berhasil merumuskan pengaturan-pengaturan hukum HAKI dalam

waktu yang singkat.Memberikan perlindungan atau mempertahankan kekayaan

tersebut.Baik diukur dari segi nilai moral maupun nilai komersial atau nilai ekonomis.

Indonesia telah menandatangani sejumlah konvensi atau persetujuan internasional

mengenai kekayaan intelektual.Konvensi-konvensi ini mengikat Indonesia.Hal ini berarti

Indonesia telah memberlakukan dan harus menyinkronkan hukum nasional tentang Hak

Cipta agar sesuai dengan konvensi-konvensi tersebut.

Terlebih lagi, Indonesia terlibat dalam ekonomi global di mana kekayaan

intelektual merupakan hal yang penting, di mana transaksi-transaksi yang menyangkut

kekayaan intelektual diatur oleh konvensi-konvensi internasional ini.

Ketika di satu pihak masalah Hak Cipta muncul berkaitan dengan masalah liberalisasi

ekonomi, sementara di pihak lain masalah kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia

masih dalam masa transisi industrial yang belum semuanya mengerti dan memahami

masalah Hak Cipta yang sebelumnya tidak dikenal. Masyarakat transisi industrial

digambarkan sebagai masyarakat yang sedang mengalami perubahan dari masyarakat

agraris yang bercorak komunal-tradisional ke masyarakat industri yang bercorak

individu-modern. Perubahan itu berkaitan dengan struktur hubungan masyarakat yang

belum tuntas ke corak yang lebih rasional dan komersial sebagai akibat dari proses

pembangunan yang dilakukan.

SIPENDIKUM 2018

431

Dalam masyarakat semacam itu hukum yang mengatur juga mencerminkan masa

peralihan yang digambarkan sebagai wajah hukum yang berpijak pada dua kaki sedang

melangkah pada corak hukum moderen sementara kaki yang lain masih menapak pada

hukum tradisional. Demikian halnya dengan hukum yang mengatur masalah Hak Cipta,

meskipun secara normatif tidak banyak mengandung masalah untuk diberlakukan di

Indonesia, akan tetapi secara kultural akan banyak mengalami problem dalam

pelaksanaannya. Hal ini disebabkan oleh dasar filosofi yang melatarbelakangi masyarakat

hukum itu berbeda.Hak Cipta muncul di Negara-negara barat bersamaan dengan

munculnya masyarakat yang lebih mengedepankan kepentingan atau hak-hak individu

(private rights) dengan watak kapitalistik, sementara masyarakat Indonesia dengan corak

ketimuran lebih mengedepankan nilai-nilai kebersamaan (komunal). Hal ini berakibat

pada pemikiran bahwa jika mereka berkarya dan hasilnya bermanfaat bagi orang banyak,

mereka akan merasa bangga dan tidak begitu mempermasalahkan apabila ternyata orang

lain menirunya, bahkan merasa telah diuntungkan karena hasil karyanya telah

disebarluaskan dan dikenal oleh orang banyak.

Banyaknya jumlah ekspresi budaya tradisional yang tidak didaftarkan apabila

merujuk pada pendapat di atas menunjukkan masih terdapat sebagian masyarakat pemilik

karya budaya tradisional yang merasa senang apabila ciptaan warisannya itu ditiru,

diperbanyak atau dipertunjukkan oleh pihak lain kepada umum. Perbuatan seperti itu

tidak merugikan kepentingan mereka, akan tetapi anggapan lebih kepada sesuatu yang

menguntungkan, yaitu semakin memasyarakatkan ekspresi budaya tradisional mereka di

kalangan masyarakat. Mereka memandang bahwa Folklore tidak hanya semata-mata

bernilai materi belaka, akan tetapi mempunyai nilai sosial dan religius. Mereka meyakini

adanya nilai pahala yang dapat dipetik dari karya ciptanya. Ilmu yang dimiliki seseorang

apabila dipelajari, diamalkan seseorang kepada orang lain, maka yang memiliki ilmu

tersebut akan mendapatkan pahala dari sang Pencipta.

Budaya masyarakat tradisional di Indonesia pada umumnya tidak mengenal Hak

Cipta.Nilai-nilai budaya masyarakat Indonesia tidak mengenal pemilikan individu

terhadap suatu Folklore dalam bidang ilmu pengetahuan, sastra dan seni.Satu-satunya

sistem pemilikan yang melembaga dalam kehidupan masyarakat tradisional adalah

kepemilikan tanah.Namun kepemilikan itu sifatnya komunal, artinya dimiliki oleh

keluarga atau masyarakat hukum adatnya.Keadaan ini terlihat dari penghargaan atas

kreatifitas dan karya seni dalam masyarakat tradisional.

Sehingga dalam masyarakat tradisional suatu ekspresi budaya tradisional yang

telah diumumkan kepada masyarakat langsung menjadi milik umum (public

domain).Siapa saja boleh meniru dan mencontoh ciptaan tersebut dengan tidak

mempermasalahkan siapa penciptanya.Ciri khas masyarakat tradisional adalah kolektif

atau kebersamaan.Hak Cipta tidak memiliki akar budaya dalam masyarakat tradisional.

Nilai falsafah yang mendasari pemilikan individu terhadap suatu karya cipta manusia,

baik dalam bidang ilmu pengetahuan, sastra dan seni adalah nilai budaya barat yang

menjelma dalam sistem hukumnya.

Atas dasar inilah maka perlindungan Hak Cipta terhadap ekspresi budaya

tradisional (Folklore)akan banyak mengalami hambatan, terutama hambatan yang

SIPENDIKUM 2018

432

bersifat kultural. Maka dalam rangka menerjang hambatan yang bersifat kultural tersebut

diperlukan sosialisasi dan pembudayaan Hak Cipta kepada masyarakat, dengan tujuan

pada akhirnya masyarakat dapat mengetahui, bersifat positif dan menghormati Hak Cipta.

Kesimpulan

Sebagai bagian dari Hak Cipta, perlindungan atas ekspresi budaya tradisional

diperoleh secara otomatis, maksudnya adalah ekspresi budaya tradisional dilindungi

secara langsung oleh hukum sejak pertama kali diumumkan. Tanpa harus melalui

pendaftaran, pada prinsipnya hak milik intelektual telah melekat pada

masyarakatnya.Perlindungan hak cipta terhadap ekspresi budaya tradisional di Indonesia

menurut hukum Internasional yang termaktub dalam Bern Convention maupun revisiya

adalah kebudayaan yang diturunkan secara turun temurun. Oleh karena itu telah menjadi

milik bersama bangsa Indonesia. Dan Indonesia telah mensinkronkan pengaturan tersebut

dalam hukum nasionalnya yang terdapat dalam pasal 38 dan 39 Undang-Undang Nomor

28 Tahun 2014 tentang hak Cipta.

Kendala dalam perlindungan ekspresi budaya tradisional di Indonesia lebih

banyak disebabkan karena pemahaman kepemilikan ekspresi budaya tradisional

tradisional di Indonesia lebih kepada kepemilikan secara komunal. Maka dalam rangka

menerjang hambatan yang bersifat kultural tersebut diperlukan sosialisasi dan

pembudayaan Hak Cipta kepada masyarakat. Pergesekan antar bangsa atas pengakuan

kepemilikan ekspresi budaya tradisional banyak disebabkan oleh faktor

pengenyampingan hak moral dan prinsip first to use yang melekat pada ekspresi budaya

tradisional.

Hukum internasional termasuk di dalamnya hukum yang mengatur ketentuan

tentang hak cipta pada dasarnya adalah ajakan moral yang baik, sebagaimana yang

dikatakan oleh John Austin bahwa : The International law is not a real law, but just

positive morality. Dengan demikian sanksi bagi pelanggarnya dalam tataran penegakan

juga sulit, mengingat ini terkait dengan kesadaran moral suatu bangsa, misalnya

kesadaran untuk tidak melakukan klaim folklore Negara lain menjadi identitas folklore

Negara tersebut. Seharusnya badan internasional yang membidangi itu seperti WIPO

lebih teliti lagi dalam melakukan penelusuran sejarah dalam memberikan penilaian terkait

keaslian folklore.

Undang-Undang Nomor 28tahun 2014 adalah hukum nasional tentang hak cipta

yang durujuk dari ketentuan hukum internasional tentang hak cipta. Di dalam UUHC

tersebut telah diatur perlindungan terhadap ekspresi budaya tradisional (folklore). Upaya

pelestarian Folklore agar tidak punah ditelan waktu bisa dengan memanfaatkan jalur

pendidikan formal dengan memasukkan ekspresi budaya tradisional di masing-masing

daerah dalam kurikulum lokal, dengan demikian generasi muda sekarang dan yang akan

datang tidak hanya mendengar namanya namun juga mengenal dan mencintai budaya

warisan nenek moyang ini. Menyelamatlan budaya bangsa adalah benar tanggung jawab

Pemerintah, namun sangat tidak salah apabila masyarakat turut berperan dalam

melaksanakan program tersebut.

SIPENDIKUM 2018

433

Daftar Pustaka

Abdul R. Saliman, Hermansyah, Ahmad Jalis, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori

dan Contoh Kasus, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006.

Ashok Kumar, Intellectual PropertyRights, Allied Publisher Limited, New Delhi, 1994

David I Bainbridge, Intellectual Property, Pitman Publishing, London, 1992

Eddy Damian, Hukum Hak Cipta, Paten, dan Merek, Yrama Widya, Bandung, 2002

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT.Grasindo, Jakarta, 2000.

Suyud Margono dan amir Angkasa, Komersialisasi Asset Intelektual, Aspek Hukum

Bisnis, PT.Gramedia, Jakarta, 2002.

-------------------, Hukum dan Perlindungan Hak Cipta, CV.Novindo Pustaka Mandiri,

Jakarta, 2003.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, PT. RajaGrafindo

Persada,2001.

Moh. Natsir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta,1999.

Maryadi, Transformasi Budaya, Cetakan Pertama, MuhammadiyahUniversity Press, Surakarta, 2002.

OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, PT. Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 2003.

Rachmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual, Perlindungan dan Dimensi

Hukumnya di Indonesia, PT. Alumni Bandung, 2003.

Sentosa Sembiring, Prosedur dan Tata Cara Memperoleh Hak Kekayaan Intelektual di

Bidang Hak Cipta, CV. Yrama widya, Bandung, 2002.

Syafrinaldi, Hukum, Hak Milik Intelektual dan Pembangunan, UIR Press, Pekanbaru,

2002.

------------, Hukum Tentang Perlindungan Hak Milik Intelektual Dalam Menghadapi Era

Globalisasi, UIR Press, Pekanbaru, 2003.

Tamotsu Hozumi, Asian Copyright Handbook (Buku Panduan Hak Cipta), Asia Pasific

Kultural Center for UNESCO & IKAPI, Jakarta, 2006.

W.r. Cornish, Intellectual Property : Patents,Copyright, Trade Marks, and Allied Rights,

Sweet & Maxwell, London, 1989.

Jurnal

Ade Maman suherman, Pengakuan Hukum Atas Hak Kekayaan Intelektual Di Indonesia,

Jurnal Hukum Bisnis, Vol.23., Nomor 1, 2004

M..syamsuddin, Nilai-Nilai karya Cipta dan Problematikanya, Jurnal Hukum UII ,

Nomor 16, Vol.8, 2001.

Syafrinaldi, Hak Milik Intelektual, Sejarah dan Pelaksanaannya di Indonesia Mahkamah

UIR, edisi Oktober, Vol.15, Nomor 2, 2003.

SIPENDIKUM 2018

434

Peraturan

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta

Revisi Bern Convention 1971

Internet

http://www.kompas.com/Budaya-Folklore Alat Pemersatu Bangsa

http: //groups.google co.id/Perlindungan Hak Cipta atas karya tradisional

http://www.republika.com/Krisis Percaya Diri Landa Malaysia

http://id.wikipedia.org/wiki/Reyog

http://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi_Hak_Kekayaan _Intelektual_Dunia

http://www.ramelan.com/Ekspresi Kebudayaan dalam Globalisasi

http://haki.depperin.gi.id/advokasi-hukum/Perlindungan HAKI Tradisional Indonesia

Dalam Perdagangan Dunia

http://dansur.blogster.com/ Sejarah danPerkembangan Hak kekayaan Intelektual

Indonesia

http://www.korantempo.com/Melindungi Kekayaan Kultural bangsa

http://yusranandpartner.wordpress.com/Hak Cipta, Korupsi, dan Martabat Bangsa

http://haki.depperin.go.id/advokasi-Hukum Perlindungan HAKI Tradisional Indonesia

Dalam Perdagangan Dunia